INDUKSI KALUS EMBRIOGENIK DUA GENOTIPE MUTAN JAGUNG

Download Adanya pengaruh genotipe dalam perbanyakan klon jagung, menyebabkan perlu dilakukan penelitian yang spesifik terhadap genotipe tertentu yan...

0 downloads 439 Views 2MB Size
i

INDUKSI KALUS EMBRIOGENIK DUA GENOTIPE MUTAN JAGUNG (Zea mays L.) PADA MEDIA DASAR MS DAN N6

RISKA APRISA A24070034

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

ii

RINGKASAN RISKA APRISA. Induksi Kalus Embriogenik Dua Genotipe Mutan Jagung (Zea mays L.) pada Media Dasar MS dan N6. (Dibimbing oleh SURJONO H. SUTJAHJO dan DEWI SUKMA). Adanya pengaruh genotipe dalam perbanyakan klon jagung, menyebabkan perlu dilakukan penelitian yang spesifik terhadap genotipe tertentu yang ingin dikembangkan untuk tujuan pemuliaan. Penelitian bertujuan untuk mempelajari pengaruh komposisi media dan ukuran eksplan (embrio muda) terhadap induksi kalus embriogenik dari dua genotipe mutan jagung. Genotipe mutan yang digunakan berasal dari galur G8 (SgPD/660/15) dan G3 (Gw92D343L4DMR PC3S4-56) yang telah diradiasi sinar gamma, diseleksi dan dimurnikan hingga generasi ketujuh. Penelitian dilaksanakan dari bulan Februari 2011-Januari 2012. Tempat penelitian di Laboratorium Kultur Jaringan 1, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian terbagi menjadi dua percobaan. Percobaan pertama disusun menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan tiga

faktor.

Pengelompokan berdasarkan hari tanam, karena hari tanam yang berbeda dengan eksplan yang sama menyebabkan kesegaran eksplan berbeda-beda akibat adanya penyimpanan. Faktor pertama adalah genotipe, yaitu G3M7 dan G8M7. Faktor kedua adalah panjang embrio, yaitu 0.3 cm dan 0.4 cm. Faktor ketiga adalah komposisi media yang terdiri atas 6 komposisi media yaitu 1) N6 + 2 ppm 2.4-D; 2) N6 + 3 ppm 2.4-D; 3) N6 + 6 ppm 2.4-D; 4) MS + 6 ppm 2.4-D; 5) MS + 2 ppm 2.4-D + 100 mg/l arginin + 2 mg/l glycine + 100 mg/l glutamine; 6) MS + 1 ppm 2.4-D + 1 % mannitol. Semua kombinasi perlakuan ditanam dalam 10 kelompok, sehingga terdapat 240 satuan percobaan (botol kultur). Setiap botol kultur ditanam 5 eksplan sebagai satuan amatan. Percobaan kedua bertujuan untuk menguji pengaruh komposisi media induksi kalus embriogenik dengan menggunakan jenis auksin picloram pada media dasar N6 dan MS. Rancangan percobaan yang digunakan adalah RAK dengan satu faktor, yaitu 3 komposisi media yang terdiri atas 1) MS + 2 ppm Picloram; 2) N6 + 2 ppm Picloram; dan 3) MS + 2 ppm 2.4-D. Genotipe yang

iii

digunakan pada percobaan kedua adalah G8M7 karena diketahui lebih baik dalam menginduksi kalus pada percobaan pertama. Hasil

percobaan

pertama

menunjukkan

Genotipe

G8M7

dapat

menginduksi kalus kompak embriogenik (tipe I) pada komposisi media N6 + 2 ppm 2.4-D, MS + 6 ppm 2.4-D, MS + 2 ppm 2.4-D + 100 mg/l arginin + 2 mg/l glycine + 100 mg/l glutamine dan MS + 1 ppm 2.4-D + 1 % mannitol. Media terbaik berdasarkan jumlah kalus kompak dan embriogenik (kalus tipe I) untuk genotipe G8M7 adalah MS + 6 ppm 2.4-D, namun tidak ada tunas yang terbentuk dari kalus embriogenik yang diinduksi. Selanjutnya untuk media terbaik berdasarkan jumlah planlet yang dihasilkan adalah media MS + 2 ppm 2.4-D + asam amino (arginin, glutamin, dan glycine). Genotipe G3M7 hanya dapat menginduksi kalus embriogenik dan planlet pada media N6 + 3 ppm 2.4-D. Eksplan embrio muda dengan panjang 0.3 cm dan 0.4 cm dapat diinduksi menjadi kalus embriogenik. Komposisi media MS + 6 ppm 2.4-D dan N6 + 6 ppm 2.4-D menghambat pertumbuhan organogenesis tunas dan akar pada kalus embriogenik. Media pendewasaan yang digunakan dalam penelitian adalah MS + 1 ppm 2.4-D + 1 % mannitol. Interaksi hanya terjadi pada 2 hari setelah tanam (HST) terhadap waktu dan persentase pembentukan kalus. Interaksi genotipe dan ukuran eksplan mempengaruhi bobot kalus yang dihasilkan. Hasil percobaan kedua menunjukkan komposisi media MS + 2 ppm Picloram menghasilkan kalus kompak dan embriogenik (tipe I) tertinggi sebesar 9.47 % dengan jumlah planlet yang dihasilkan sebanyak 4 planlet.

iv

INDUKSI KALUS EMBRIOGENIK DUA GENOTIPE MUTAN JAGUNG (Zea mays L.) PADA MEDIA DASAR MS DAN N6

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

RISKA APRISA A24070034

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

v

Judul

: Induksi Kalus Embriogenik Dua Genotipe Mutan Jagung (Zea mays L.) pada Media Dasar MS dan N6

Nama

: RISKA APRISA

NIM

:

A24070034

Menyetujui,

Pembimbing I

Pembimbing II

Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S. NIP 19600204 198503 1 003

Dr. Dewi Sukma, S.P., M.Si. NIP 19700404 199702 2 001

Mengetahui, Ketua Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian

Dr. Ir. Agus Purwito, M.Sc.Agr. NIP 19611101 198703 1 003

Tanggal lulus:………..

vi

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah pada tanggal 27 April 1989 sebagai putri kedua dari pasangan Bapak Musyahadad (Alm.) dan Ibu Romdanah. Pendidikan SD, SMP dan SMA ditempuh di Pangkalan Bun (Kal-Teng) berturut-turut lulus, pada tahun 2001, 2004, dan 2007. Penulis melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian. Selama kegiatan perkuliahan, penulis aktif dalam beberapa kepanitiaan dan organisasi. Organisasi yang pernah diikuti penulis diantaranya IAAS (International Association of students in Agricultural and related Sciences) Local Committee IPB sebagai staf Divisi Project dan menjabat sebagai manajer Express Course IAAS (2008/2009). Tahun 2009 penulis aktif di Himpunan Mahasiswa Agronomi (HIMAGRON) sebagai sekretaris umum. Selain organisasi, penulis pernah berkesempatan mengikuti PIMNAS XXII di Universitas Brawijaya, Malang (2009) dan The Second International Agricultural Student Symposium di Universiti Putra Malaysia (2010). Penulis juga berkesempatan menjadi asisten paktikum mata kuliah Dasar Pemuliaan Tanaman, Dasar Teknologi Benih, dan Pembiakan Tanaman pada tahun ajaran 2010/2011. Penulis juga telah mengikuti berbagai pelatihanpelatihan selama menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor.

vii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberi kekuatan dan hidayah sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Penulis menyampaikan terimakasih kepada Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S. sebagai pembimbing akademik sekaligus dosen pembimbing skripsi I dan Dr. Dewi Sukma, S.P., M.Si. sebagai dosen pembimbing skripsi II atas semua ilmu, bimbingan, arahan, saran, serta motivasi yang diberikan sejak perkuliahan sampai masa penyusunan rencana, pelaksanaan dan penulisan skripsi ini. Rasa terimakasih disampaikan pula kepada: 1. Dr. Ir. Ni Made Armini Wiendi, M.S. sebagai dosen penguji, atas nasihat yang diberikan dan masukan yang sangat membangun dalam perbaikan skripsi ini. 2. Seluruh staf pengajar Departemen Agronomi dan Hortikultura atas semua ilmu yang diberikan. 3. Ir. Atra Romeida M.S. dan Dr. Rustikawati M.Si. atas bimbingan dan arahan sebelum dan selama penelitian berlangsung. 4. Ibu Juariah selaku laboran dan para peneliti yang berkerja di Laboratorium Kultur Jaringan 1 atas perhatian, kerjasama dan bantuan selama penelitian. 5. Ibunda dan saudari-saudariku tercinta atas iringan do’a yang tiada henti, pengertian, harapan, kepercayaan, motivasi, dukungan materil sehingga studi ini dapat terselesaikan. 6. Teman-teman Kost Andaleb 2, Pondok Rizky dan AGH 44 atas rasa persahabatan dan kekeluargaan selama studi berlangsung. 7. Seluruh pihak yang membantu dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini. Penulis berharap dengan adanya skripsi ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang pertanian.

Bogor, Juni 2012 Penulis

viii

DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ....................................................................................

x

DAFTAR GAMBAR ................................................................................

xii

DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................

xiv

PENDAHULUAN .................................................................................... Latar Belakang ............................................................................... Tujuan ............................................................................................ Hipotesis.........................................................................................

1 1 3 3

TINJAUAN PUSTAKA............................................................................ Botani dan Syarat Tumbuh Jagung .................................................. Kultur Jaringan ............................................................................... Embriogenesis Somatik .................................................................. Regenerasi Tanaman dari Kultur Jaringan Jagung ...........................

4 4 5 10 13

BAHAN DAN METODE ......................................................................... Tempat dan Waktu Percobaan ......................................................... Bahan dan Alat ............................................................................... Metode Percobaan .......................................................................... Pelaksanaan Percobaan ................................................................... Penanaman Bahan Eksplan Penelitian .................................... Sterilisasi Alat dan Botol ........................................................ Pembuatan Media Kultur ........................................................ Sterilisasi Sumber Eksplan dan Penanaman in vitro ................ Pengamatan ............................................................................

17 17 17 18 20 20 21 21 21 22

HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................. Percobaan 1 .................................................................................... Kondisi Umum ....................................................................... Waktu dan Persentase Eksplan Membentuk Kalus .................. Respon Perkembangan Eksplan pada Media Induksi Kalus Embriogenik .......................................................................... Persentase Kalus Embriogenik (Tipe I) dan Struktur Embrio ................................................................................... Diameter dan Bobot Kalus ..................................................... Warna Kalus .......................................................................... Respon Pembentukan Organ Akar dan Tunas ......................... Percobaan 2 .................................................................................... Kondisi Umum ....................................................................... Respon Perkembangan Eksplan pada Media Induksi Kalus Embriogenik .......................................................................... Waktu dan Persentase Pembentukan Kalus ............................. Diameter dan Bobot Kalus ..................................................... Warna Kalus ..........................................................................

25 25 25 27 29 36 42 44 47 52 52 52 53 54 55

ix

Persentase Eksplan Membentuk Akar ..................................... Persentase Kalus Embriogenik (Tipe I) dan Jumlah Struktur Embrio .....................................................................

56 56

KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................. Kesimpulan .................................................................................... Saran ..............................................................................................

59 59 59

DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................

60

LAMPIRAN .............................................................................................

64

x

DAFTAR TABEL No.

Halaman

1. Senyawa organik yang umum digunakan dalam media kultur jaringan ...............................................................................................

7

2. Zat pengatur tumbuh yang umum digunakan dalam kultur jaringan ...............................................................................................

8

3. Persentase kontaminasi eksplan (embrio muda) jagung dalam media induksi kalus embriogenik ........................................................

25

4. Rekapitulasi sidik ragam waktu dan persentase eksplan berkalus jagung .................................................................................................

27

5. Pengaruh komposisi media induksi kalus embriogenik terhadap waktu dan persentase eksplan berkalus jagung ....................................

28

6. Pengaruh genotipe, ukuran eksplan, dan komposisi media induksi kalus embriogenik jagung terhadap persentase eksplan yang mengalami pemanjangan koleoptil dan berakar (7HST).......................

30

7. Pengaruh genotipe, ukuran eksplan, dan komposisi media induksi kalus embriogenik terhadap persentase eksplan membentuk kalus lembut (soft callus) jagung pada 7 HST ...............................................

33

8. Pengaruh interaksi genotipe dan komposisi media induksi kalus embriogenik terhadap persentase kalus kompak jagung (7 HST) .........

35

9. Pengaruh media induksi kalus embriogenik terhadap persentase jumlah kalus kompak yang berpotensi embriogenik pada dua genotipe dan ukuran eksplan jagung ....................................................

37

10. Pengaruh media induksi kalus embriogenik terhadap jumlah kalus tipe I, struktur embrio dan planlet jagung yang terbentuk pada 8 MST....................................................................................................

38

11. Rekapitulasi sidik ragam rata-rata diameter dan bobot kalus jagung .................................................................................................

42

12. Pengaruh genotipe, ukuran eksplan dan komposisi media induksi kalus embriogenik jagung terhadap rataan diameter dan bobot kalus pada 2 MST ...............................................................................

43

13. Pengaruh interaksi genotipe dan ukuran eksplan terhadap rataan bobot kalus jagung (2 MST) pada tiap komposisi media induksi kalus embriogenik ...............................................................................

44

14. Persentase eksplan membentuk organ tunas pada media induksi kalus embriogenik jagung....................................................................

51

xi

15. Pengaruh media induksi kalus embriogenik terhadap bobot (2-3 MST), diameter (2 MST), waktu dan persentase pembentukan kalus jagung G8M7 .............................................................................

54

16. Persentase kalus kompak, kalus tipe I, jumlah struktur embrio dan tunas yang terbentuk pada media induksi kalus embriogenik jagung .................................................................................................

57

xii

DAFTAR GAMBAR No.

Halaman

1. Keseimbangan Auksin dan Sitokinin dalam Proses Morfogenesis........

9

2. Perbandingan antara Embriogenesis Somatik dan Embriogenesis Zigotik (Zimmerman, 1993) ................................................................

12

3. Struktur Kimia Zat Pengatur Tumbuh 2.4-D ........................................

13

4. Perkembangan Embrio Zigotik Jagung (Rochon et al., 1998) ..............

14

5. Proses Pengambilan Embrio Jagung (a) Arah Pemotongan Kernel; (b) Pengeluaran Embrio dari Kernel ....................................................

22

6. Respon Perkembangan Eksplan (Embrio Muda) Jagung Umur 1 MST terdiri atas Pemanjangan Koleoptil (K); a) Pembentukan Kalus Kompak (Kk); b) Pembentukan Akar (A); c) Pembentukan Kalus Lembut (Kl); dan d) Kalus Embriogenik Tipe I Umur 3 MST....

23

7. Kualifikasi Warna Kalus yang Terbentuk pada Induksi Kalus dari Dua Genotipe Mutan Jagung (Keterangan: didasarkan pada keragaan kalus penelitian) ...................................................................

24

8. Bagan Alir Proses Kultur Pembentukan Embrio Zigotik Sekunder Jagung Selama Penelitian ....................................................................

26

9. Eksplan pada Kultur Jaringan Jagung yang Terkontaminasi (a) Kontaminasi Bakteri yang Berasal dari Eksplan; (b) Kontaminasi Cendawan yang Berasal dari Media Kultur..........................................

26

10. Skema Proses Perkembangan Eksplan (Embrio Muda) Jagung Selama Penelitian ................................................................................

29

11. Keragaan Pertumbuhan Koleoptil dari Embrio Zigotik Jagung pada Media N6A (N6 + 2 ppm 2.4-D) dan N6C (N6 + 3 ppm 2.4-D) ...........

31

12. Eksplan Membentuk Kalus Lembut Jagung. (a) Struktur Kalus Lembut Menyerupai Akar pada 1 MST; (b) Kalus Lembut pada 2 MST dan Struktur Menyerupai Akar Masih Tampak; (c) Pertumbuhan Dominan Kalus Lembut pada G3M7 dengan Umur Eksplan 14 HSS; (d) Kalus Lembut yang Berasal dari Daerah Koleoptil dilihat dengan Mikroskop Diseksi; (e) Tunas Berwarna Ungu yang Tumbuh dari Permukaan Kalus Lembut. ...........................

32

13. Eksplan yang Membentuk Kalus Kompak Jagung dengan Banyak Nodul a) Kalus Kompak Berwarna Kuning Tembus Cahaya; b) Kalus Kompak yang Memiliki Sedikit Warna Putih Tidak Tembus Cahaya ................................................................................................

35

14. Kalus Embriogenik Jagung Genotipe G8M7 yang Membentuk Struktur Globular pada 3 MST ............................................................

40

xiii

15. Perkembangan Kalus Embriogenik Jagung Genotipe G8M7 Sampai Membentuk Tunas a) Struktur Koleptilar ditunjukkan Mata Panah (3 MST); b) Struktur Skutelar ditunjukkan Mata Panah (5 MST); c) Terbentuk Tunas (8MST) ....................................................................

41

16. Perkembangan Kalus Embriogenik Jagung Genotipe G3M7 (0.3) Sampai Membentuk Tunas a) Struktur Embrio Terbentuk pada Media Pendewasaan (36 HST) Menunjukkan Ciri Kalus Tipe I, Kompak, Putih, dan Struktur Menyerupai Skutelar; b) Terbentuk Tunas (41 HST); c) Tunas umur 48 HST .............................................

41

17. Grafik Pola Perubahan Warna Kalus Jagung .......................................

45

18. Grafik Persentase Kalus Hijau Jagung 1-3 MSK pada Beberapa Media Induksi Kalus Embriogenik ......................................................

47

19. Grafik Pengaruh Media Induksi Kalus Embriogenik terhadap Persentase Eksplan Berakar Jagung .....................................................

48

20. Keragaan Pertumbuhan Organ Akar pada Kalus Jagung dalam Media MS9 (MS + 1 ppm 2.4-D + 1 % mannitol) dan MS6 (MS + 6 ppm 2.4-D). Komposisi Media MS9 Mendorong Pertumbuhan Akar yang Lebih Banyak .............................................................................

49

21. Kalus Jagung yang Menghasilkan Nodul diduga Embriogenik, pada Perkembangannya Nodul Membentuk Akar (Umur 30 HST) ...............

50

22. Akar yang Terbentuk pada Kalus Jagung saat di Subkultur ke Media Pendewasaan dan Regenerasi (a) Akar pada Kalus Embriogenik dalam Media Pendewasaan MS9; (b) Akar pada Kalus Embriogenik dalam Media Regenerasi MS0 ........................................

50

23. Grafik Pengaruh Media Induksi Kalus Embriogenik Jagung G8M7 terhadap Respon Pemanjangan Tunas, Pembentukan Akar, Kalus Lembut (Soft Callus) dan Kalus Kompak (Compact Callus) 7 HST .....

53

24. Grafik Perubahan Warna pada Kalus Jagung Percobaan 2 ...................

55

25. Pengaruh Media Induksi Kalus Embriogenik Jagung G8M7 terhadap Persentase Eksplan Berakar...................................................

56

26. Perkembangan Kalus Embriogenik Jagung sampai Membentuk Tunas pada media P2M (MS + 2 ppm Picloram); a) Struktur Embrio Koleoptilar ditunjukkan Mata Panah (4 MST); b) Kalus Embriogenik Jagung G8M7 pada Media Pendewasaan MS9 (MS + 1 % mannitol + 1 ppm 2.4-D) Umur 6 MST; c) Tunas yang Terbentuk pada 8 MST ........................................................................

57

27. Perkembangan Kalus Embriogenik Jagung G8M7 pada Media MS2 (MS + 2 ppm + 2.4-D); a) Kalus Embriogenik (Tipe I) Jagung yang ditunjukkan Mata Panah pada Tahap Pendewasaan; (b) Tahap Regenerasi pada MS0 Terlihat Pertumbuhan Akar yang Dominan .......

58

xiv

DAFTAR LAMPIRAN No.

Halaman

1. Rekapitulasi Beberapa Penelitian Embriogenesis Jagung .....................

64

2. Komposisi Media Murashige dan Skoog. ............................................

71

3. Komposisi Media Chu (N6) ................................................................

71

4. Embrio yang dihasilkan dari Dua Genotipe Mutan Jagung (a) Ukuran Embrio G8M7 dengan Umur 12-13 HSS; (b) Ukuran Embrio G3M7 dengan Umur 14 HSS ..................................................

72

5. Sidik Ragam Persentase Eksplan Membentuk Kalus 1 HST (Percobaan 1) ......................................................................................

72

6. Sidik Ragam Persentase Eksplan Membentuk Kalus 2 HST (Percobaan 1) ......................................................................................

72

7. Sidik Ragam Persentase Eksplan Membentuk Kalus 3 HST (Percobaan 1) ......................................................................................

73

8. Sidik Ragam Persentase Eksplan Membentuk Kalus 4 HST (Percobaan 1) ......................................................................................

73

9. Sidik Ragam Persentase Eksplan Membentuk Kalus 5 HST (Percobaan 1) ......................................................................................

73

10. Sidik Ragam Persentase Eksplan Membentuk Kalus 6 HST (Percobaan 1) ......................................................................................

74

11. Sidik Ragam Persentase Eksplan Membentuk Kalus 7 HST (Percobaan 1) ......................................................................................

74

12. Sidik Ragam Respon Pemanjangan Koleoptil (Percobaan 1) ...............

75

13. Sidik Ragam Respon Pembentukan Akar (Percobaan 1) ......................

75

14. Sidik Ragam Respon Pembentukan Kalus Lembut (Percobaan 1) ........

75

15. Sidik Ragam Respon Pembentukan Kalus Kompak (Percobaan 1).......

76

16. Sidik Ragam Bobot Kalus 2-3 MST (Percobaan 1) ..............................

76

17. Sidik Ragam Kalus Kompak (Percobaan 1) .........................................

77

18. Sidik Ragam Bobot Kalus 2 MST (Percobaan 2) .................................

77

19. Sidik Ragam Diameter Kalus 2 MST (Percobaan 2) ............................

77

1

PENDAHULUAN Latar Belakang Jagung (Zea mays L.) merupakan tanaman C4 yang ditandai dengan aktivitas fotosintesis tinggi serta potensi hasil biji dan biomassa yang bernilai ekonomis. Pemanfaatan jagung tidak hanya untuk bahan pangan tetapi juga sebagai pakan ternak, bahan baku industri, dan biofuel. Selain itu, jagung yang termasuk tanaman monokotil juga tergolong spesies tanaman menyerbuk silang, Oleh karena sifat-sifat agronominya, jagung sering digunakan menjadi tanaman model untuk penelitian dasar maupun yang bersifat aplikatif. Penelitian mengenai regenerasi tanaman jagung melalui kultur jaringan telah dilakukan sejak tahun 1982 oleh Green dan Philips. Hingga saat ini, perbaikan sifat tanaman jagung melalui pendekatan bioteknologi dengan mengkombinasikan teknik kultur jaringan dan transformasi genetik, telah sampai pada aplikasinya dalam pembentukan jagung transgenik. Tahapan awal dalam kultur jaringan jagung adalah mencari protokol untuk menginduksi kalus embriogenik lalu meregenerasikannya menjadi tanaman utuh. Oleh Green dan Philips (1983) induksi kalus embriogenik jagung telah berhasil diinisiasi dari eksplan embrio muda. Kalus embriogenik yang dihasilkan dibedakan menjadi dua tipe yaitu tipe I dan tipe II. Kalus tipe I memiliki ciri kompak, sedangkan kalus tipe II remah. Kalus tipe I telah ditemukan pada banyak nomor genotipe jagung sementara kalus tipe II hanya pada genotipe tertentu seperti A188 (genotipe jagung subtropis) dan beberapa hibrida silangan A188. Duncan et al. (1985) menemukan bahwa dalam kultur jaringan jagung ukuran embrio, genotipe, dan zat pengatur tumbuh dalam media kultur sangat berpengaruh terhadap induksi kalus embriogenik pada jagung. Adanya pengaruh genotipe dalam perbanyakan klon jagung secara in vitro, menyebabkan perlu adanya penelitian spesifik tiap genotipe jagung yang ingin dikembangkan untuk kebutuhan pemuliaan. Penelitian tentang evaluasi beberapa genotipe jagung di Indonesia untuk menghasilkan embriogenesis telah dilaporkan oleh Aisyah et al. (2007), yaitu pada 10 genotipe jagung hasil koleksi Balit Biogen Bogor, dengan menggunakan

2

berbagai taraf konsentrasi 2.4-D. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa galur G8 (SgPD/660/15) dan G3 (Gw92D343L4DMR PC3S4-56) menunjukkan frekuensi kalus embriogenik tertinggi (100%) daripada genotipe lain. Sementara untuk tipe kalus embriogenik yang dihasilkan dari penelitian tersebut tidak dijelaskan. Selanjutnya oleh Sutjahjo et al. (2009) galur G3 dan G8 diinduksi mutasi radiasi menggunakan sinar gamma, lalu diseleksi secara in vivo (di lapang) dan in vitro (dalam botol kultur) ke arah toleran tanah masam. Tanaman hasil seleksi yang diperoleh kemudian dimurnikan sampai generasi ke-4. Galur mutan yang diperoleh kemudian diuji daya gabung melalui persilangan dialel untuk menghasilkan kultivar hibrida nasional yang toleran terhadap tanah masam. Hasil penelitian tersebut menunjukkan hibrida G3 x G8 merupakan salah satu hibrida yang memiliki penampilan vegetatif dan vigor yang baik pada tanah masam Podsolik Merah Kuning Jasinga. Galur mutan G3 dan G8 selanjutnya terus dikembangkan untuk pemuliaan lanjut. Perbanyakan klon jagung melalui kultur in vitro dapat digunakan untuk membantu pemuliaan pada galur jagung yang ingin dikembangkan, seperti galur mutan G8 dan G3. Manfaat perbanyakan klon antara lain membantu dalam penyediaan bahan persilangan dan dapat digunakan untuk perbanyakan tanaman hasil transformasi. Jalur yang dinilai paling efisien dalam perbanyakan klon adalah melalui embriogenesis. Tahap awal studi embriogenesis secara in vitro adalah melalui pembentukan kalus embriogenik. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh kombinasi media dan ukuran eksplan (embrio muda) pada umur tertentu terhadap daya pembentukan kalus embriogenik dua genotipe mutan jagung G3 dan G8 yang telah dimurnikan hingga generasi ke-7 (M7). Melalui studi tersebut protokol untuk genotipe mutan jagung G3M7 dan G8M7 seperti komposisi media dan faktor lain yang mampu menginduksi kalus embriogenik dapat diperoleh.

3

Tujuan Tujuan penelitian ini adalah: 1. Mempelajari pengaruh kombinasi media dan ukuran eksplan (embrio muda) pada umur tertentu terhadap daya pembentukan kalus embriogenik dua genotipe mutan jagung. 2. Mengetahui perkembangan kalus embriogenik dua genotipe mutan jagung secara morfologi dalam lingkungan in vitro.

Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: 1. Terdapat respon yang berbeda dari dua genotipe mutan jagung terhadap media induksi kalus. 2. Terdapat komposisi media yang dapat meningkatkan induksi kalus embriogenik dari dua genotipe mutan jagung. 3. Ukuran atau umur eksplan (embrio muda) memberikan pengaruh yang berbeda dalam pembentukan kalus embriogenik. 4. Terdapat interaksi antara genotipe dengan ukuran eksplan, genotipe dengan media, ukuran eksplan dengan media, dan interaksi ketiganya.

4

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Syarat Tumbuh Jagung Jagung merupakan salah satu anggota dari famili Gramineae (Poaceae), subfamili Panicoideae, ordo Andropogoneae, subordo Tripsacineae dan genus Zea. Jagung merupakan tanaman pangan beriklim panas dan pada dasarnya tumbuh pada temperatur antara 21-30 oC (70-86 F), meskipun benih berkecambah optimum pada temperatur yang lebih rendah, antara 18-21 oC (64-58 F) (Martin, 1989). Jagung menunjukkan pertumbuhan yang kerdil pada suhu dibawah 10 oC dan diatas 45 oC. Hasil atau produksi tinggi ditemukan di area dimana jagung membutuhkan waktu 130-140 hari untuk mencapai kematangan (White dan Johnson, 2003). Varietas-varietas yang adaptif pada hari panjang di daerah berilklim sedang akan menjadi pendek dan tidak produktif pada hari pendek di daerah beriklim tropis. Produktivitas jagung akan berkurang di tanah yang cukup masam (pH <5) atau tanah basa (pH >8) (Martin, 1989). Jagung merupakan salah satu spesies pertama yang diketahui memiliki lintasan fotosintesis asam dikarboksilat C4. Tanaman C4 lebih efisien dalam penggunaan air daripada kebanyakan tanaman C3. Daun jagung memiliki laju fotosintesis yang tinggi, tingkat kompensasi CO2 yang rendah, dan tidak jenuh cahaya untuk fotosintesis, sekalipun saat cahaya matahari penuh (Fisher dan Palmer, 1992). Tanaman jagung memiliki struktur pembungaan monocious (berumah satu) dengan bunga jantan (staminate) di bagian ujung tanaman (tassel) dan bunga betina (pistillate) di tunas bagian tengah batang. Penyerbukan disempurnakan oleh transfer polen yang telah matang dari stamen yang berasal dari tassel ke tangkai putik (silk), organ penerima serbuk sari pada bunga betina (Poehlman dan Sleper, 1995). Tidak seperti serealia lainnya, tanaman jagung memproduksi hasil ekonominya (bijian) pada tunas samping (lateral). Jagung bersifat protandrous, yaitu bunga jantan mekar (pecahnya polen) biasanya terjadi satu atau dua hari sebelum muncul tangkai putik (umumnya dikenal sebagai rambut). Oleh karena bunga betina dan bunga jantan terpisah dan memiliki sifat protandrous, jagung termasuk spesies tanaman menyerbuk silang (Fisher dan Palmer, 1992).

5

Heterozigositas dan keragaman genetik adalah karakteristik dari tanaman menyerbuk silang. Berdasarkan ilmu pemuliaan, varietas jagung dapat dibedakan menjadi dua yaitu varietas bersari bebas (open pollinated) dan hibrida. Sumber polen pada jagung bersari bebas dapat berasal dari tetua yang berbeda. Hal ini menyebabkan di suatu pertanaman jagung bersari bebas tidak ada jagung yang benar-benar tepat memiliki genotipe yang sama (Poehlman dan Sleper, 1995). Jagung hibrida menggantikan kultivar bersari bebas karena produksi jagungnya yang lebih tinggi. Potensi untuk hasil tinggi adalah sasaran yang kompleks disebabkan oleh ekspresi gen yang berasosiasi dengan pengambilan nutrisi, fotosintesis, transpirasi, translokasi, dan metabolisme pada tanaman jagung, serta interaksi gen dengan lingkungan. Produksi hasil juga dipengaruhi oleh asosiasi gen dengan karakter-karakter yang berperan dalam stabilitas produksi, seperti kemasakan optimum, kualitas batang, dan ketahanan terhadap stres lingkungan atau ketahanan terhadap hama penyakit (Poehlman dan Sleper, 1995).

Kultur Jaringan Kultur jaringan adalah suatu metode untuk mengisolasi bagian dari tanaman, seperti protoplasma, sel, sekelompok sel, jaringan dan organ, serta menumbuhkannya dalam kondisi aseptik, sehingga bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi mejadi tanaman utuh kembali (Gunawan, 1992). Teknik ini digunakan untuk tujuan propagasi, modifikasi genotipe (pemuliaan tanaman), produksi biomassa produk-produk biokimiawi, patologi tanaman, penyimpanan dan pengawetan, penelitian ilmiah dan lain-lainnya (Hartmann et al., 1990). Hartmann et al. (1990) membedakan jenis regenerasi tanaman secara vegetatif (somatik) pada kultur jaringan menjadi lima jenis, yaitu kultur ujung meristem (meristem-tip culture), proliferasi tunas aksilar (axillary shoot proliferation),

induksi

tunas

adventif

(adventitious

shoot

induction),

organogenesis, dan embriogenesis somatik. Bila embrio terbentuk langsung dari kultur anther atau mikrospora prosesnya disebut androgenesis. Sedangkan proses pembentukan embrio dari ovari yang belum mengalami fertilisasi disebut

6

ginogenesis. George et al. (2008) mengelompokkan jenis regenerasi tanaman dalam dua tipe kultur yaitu kultur struktur terorganisir (cultures of organized structures) dan kultur struktur tidak terorganisir (cultures of unorganized structure). Pengelompokan kultur tersebut berdasarkan asal eksplan. Kultur struktur terorganisir (kultur organ). Kultur organ digunakan sebagai istilah umum untuk jenis-jenis kultur dimana suatu pertumbuhan bentuk organ dapat dipelihara secara kontinyu. Hal ini mencakup kultur meristem (meristem cultures), kultur tunas ujung atau kultur tunas, kultur node (node culture) dari mata tunas leteral yang terpisah, kultur isolasi akar (isolated root cultures dan kultur embrio (embryo cultures). Kultur struktur yang tidak terorganisir. Kultur jaringan umumya digunakan sebagai sebuah istilah untuk mendeskripsikan semua jenis kultur tanaman secara in vitro. Walaupun seharusnya hanya mengacu pada kultur agregat sel yang tidak terorganisir. Jenis kultur berikut ini yang paling umum dikenal yaitu: kultur kalus (atau jaringan), kultur suspensi, kultur protoplasma dan kultur anther. Kultur jaringan memerlukan media kultur yang mampu memenuhi kebutuhan hara tanaman. Media kultur jaringan terdiri atas kompenen-komponen yang dapat dikategorikan menjadi empat kelompok: elemen mineral, senyawa organik, zat pengatur tumbuh (ZPT), dan pH media (Acquaah, 2004). 1. Elemen mineral Elemen mineral terdiri atas nutrisi makro dan mikro seperti yang terdapat dalam tanah mineral. Beberapa komposisi dari elemen mineral yang paling umum digunakan adalah media Murashige dan Skoog (MS). Elemen mineral terdiri atas nutrisi inorganik yang berfungsi sebagai nutrisi makro dan mikro bagi tanaman. Nutrisi makro meliputi Nitrogen dari NO3 dan NH4, Fosfor (P), dan Pottasium (K). Nutrisi mikro meliputi Ca, Mg, Cl, Fe, S, Na, B, Mn, Zn, Cu, Mo, Co, dan I.

2. Senyawa Organik Senyawa organik menyediakan sumber karbon dan faktor lain yang mendukung pertumbuhan. Senyawa organik yang umum digunakan adalah gula,

7

vitamin, dan myo-inositol (Tabel 1). Gula yang paling umum adalah sukrosa, gula utama yang ditransportasikan di hampir semua spesies tanaman (Acquaah, 2004).

Tabel 1. Senyawa organik yang umum digunakan dalam media kultur jaringan Senyawa

Fungsi

Gula

Biasanya sukrosa (terkadang fruktosa, glukosa, sorbitol); energi karbon; berkontribusi dalam potensial osmotik.

Vitamin

Biasanya thiamine (B1), tetapi juga nicotinic acid (niacin/ B2), pyridoxine (B6), vitamin C, E; syarat untuk metabolisme karbohidrat.

Myo-

Gula alkohol; memiliki peran pada perkembangan membran dan

inositol

dinding sel.

Organik

Meliputi santan, ekstrak ragi (yeast), jus buah; secara umum

kompleks

meningkatkan pertumbuhan.

Arang aktif

Menyerap senyawa racun yang dikeluarkan oleh jaringan tanaman; membantu dalam induksi akar.

3. Zat pengatur tumbuh Zat pengatur tumbuh (ZPT) adalah senyawa organik bukan nutrisi yang mampu mendorong, menghambat, atau secara kualitatif mengubah pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Semua hormon tanaman sintetik yang mempunyai sifat fisiologis dan biokimia yang serupa dengan hormon alami tanaman adalah ZPT (Wattimena, 1992). Zat pengatur tumbuh sama artinya dengan hormon pertumbuhan pada hewan dan memiliki dampak morfogenik pada kultur jaringan. Manipulasi perkembangan dan pertumbuhan dari kultur sel dan jaringan dapat dilakukan dengan memvariasikan konsentrasi dari ZPT. Zat pengatur tumbuh yang biasa digunakan dalam kultur jaringan adalah auksin dan sitokinin (Tabel 2). Auksin umumnya memicu pertumbuhan akar, sementara sitokinin memicu pertumbuhan tunas (Acquaah, 2004).

8

Tabel 2. Zat pengatur tumbuh yang umum digunakan dalam kultur jaringan Senyawa

Fungsi

Auksin

Menyebabkan pemanjangan sel, akar adventif dan dormansi apikal. Berguna juga untuk induksi kalus dari eksplan dan embriogenesis somatik. Contoh auksin alami adalah Indole-3Acetic Acid (IAA), Indole-3-Butyric Acid (IBA), auksin sintetik meliputi 1-Naphthalene Acetic Acid (NAA), 2.4-Dichlorophenoxy Acetic Acid (2.4-D), 2.4.5-Trichloropenoxy Acetic Acid (2.4.5-T), Dicamba, Tordon 4-CPA, dan Picloram.

Sitokinin

Menyebabkan dampak yang berlawanan terkait dominansi apikal. Sering menghambat embriogenesis dan induksi akar. Terdiri atas sitokinin alami (contohnya zeatin) dan sintetik (contohnya benzyladine atau BA, kinetin)

Giberellin

Peran utamanya adalah untuk memicu pemanjangan batang dan pembungaan. Hanya dua bentuk yang dapat digunakan dalam kultur jaringan yaitu GA3 dan GA4+7.

Menurut Wattimena et al. (1992) peran fisiologi auksin adalah mendorong pemanjangan sel, pembelahan sel, diferensiasi jaringan xylem dan floem, pembentukan akar, dominansi apikal, respon tropisme, menghambat pengguguran daun, bunga dan buah, pada tanaman diocious berperan dalam pembentukan bunga betina. Peran fisiologis sitokinin adalah mendorong pembelahan sel, morfogenesis,

pertunasan,

pembentukan kloroplas,

pemecahan dormansi,

pembukaan stomata, pembentukan buah partenokarpi dan pembentukan umbi pada kentang. Sitokinin juga menghambat senescence dan absisi. Contoh sitokinin sintetik lainnya adalah 2-iP, PBA. Konsentrasi yang diperlukan dari masingmasing ZPT tersebut (auksin dan sitokinin) tergantung dari: jenis eksplan, kondisi (lingkungan kultur) serta jenis sitokinin dan auksin yang dipergunakan. Morfogenesis dari eksplan pada kultur jaringan selalu bergantung pada interaksi antara auksin dan sitokinin. Prinsip keseimbangan auksin dan sitokinin

9

dari Skoog dan Miller (1975) digambarkan oleh George dan Sherrington (1984) dalam Wattimena et al. (1992) seperti pada Gambar 1. . Auksin

Sitokonin

Tinggi

Rendah Pembentukan akar pada stek in vitro Embriogenesis Pembentukan tunas adventif dari kalus Inisiasi kalus tanaman dikotil Pembentukan tunas adventif Proliferasi tunas aksilar

Gambar 1. Keseimbangan Auksin dan Sitokinin dalam Proses Morfogenesis Gambar tersebut menjelaskan tentang keseimbangan auksin dan sitokinin sebagai berikut: 1. Pembentukan akar pada stek in vitro hanya memerlukan auksin tanpa sitokinin atau dengan sitokinin dalam konsentrasi rendah sekali. 2. Embriogenesis

memerlukan

nisbah

auksin

sitokinin

yang

tinggi

(konsentrasi auksin lebih tinggi dari konsentrasi sitokinin). 3. Pembentukan akar adventif dari kalus selain auksin tetap dibutuhkan sitokinin. 4. Pembentukan kalus dari tanaman dikotil tetap memerlukan sitokinin disamping auksin yang tinggi, sedangkan pada tanaman monokotil pembentukan kalus hanya membutuhkan auksin yang tinggi tanpa sitokinin. 5. Pembentukan tunas adventif disamping memerlukan sitokinin dalam taraf konsentrasi yang tinggi tetap diperlukan juga auksin dalam taraf konsentrasi rendah.

10

6. Proliferasi tunas aksilar hanya memerlukan sitokinin dalam konsentrasi yang tinggi, tanpa auksin atau dengan auksin dalam konsentrasi yang rendah sekali.

Embriogenesis Somatik Embriogenesis somatik adalah proses dimana sel somatik berkembang melalui tahapan embriogeni menjadi tanaman utuh tanpa fusi gamet. Embriogenesis somatik dapat terjadi secara langsung (direct) dengan sel embriogenik berkembang secara langsung dari sel eksplan, atau secara tidak langsung (indirect) dengan sejumlah ketidak teraturan, siklus mitosis non embrionik yang terjadi antara jaringan eksplan terdiferensiasi

dan struktur

embrionik (Merkle et al., 1990). Struik (1991) menyatakan dalam artian yang lebih sederhana bahwa embriogenesis somatik dapat terjadi melalui dua jalur yang berbeda, secara tidak langsung (setelah beberapa tipe kultur kalus) dan secara langsung (tanpa fase pertumbuhan kalus). Secara skematis menurut Wattimena et al. (1992) tahapan kultur kalus (morfogenesis secara tidak langsung) tersebut adalah: Pembentukan tunas secara tidak langsung  Planlet Eksplan  Kalus Embriogenesis tidak langsung  Bibit

Kalus adalah suatu kumpulan sel amorphous yang terjadi dari sel-sel jaringan yang membelah diri secara terus menerus. Kalus dalam keadaan in vivo, pada umumnya terbentuk pada bekas-bekas luka akibat serangan infeksi mikroorganisme: Agrobacterium tumefaciens, gigitan atau tusukan serangga dan nematode. Kalus juga dapat terbentuk sebagai akibat stress (George & Sherrington dalam Gunawan, 1992). Kalus dalam kultur in vitro, dapat dihasilkan dari potongan organ yang telah steril, di dalam media yang mengandung auksin dan kadang-kadang juga sitokinin. Kalus dapat diinisiasi dari hampir semua bagian tanaman, tetapi organ yang berbeda menunjukkan kecepatan pembelahan sel yang berbeda pula. Bagian tanaman seperti embrio muda, hipokotil, kotiledon

11

dan batang muda merupakan bagian yang mudah untuk dediferensiasi dan menghasilkan kalus (Gunawan, 1992) Wattimena et al. (1992) mengelompokkan embriogenesis somatik secara tidak langsung menjadi empat, yaitu: (1) embriogenesis pada kultur kalus primer (kalus yang terbentuk dari eksplan pada tahap inisiasi), (2) embriogenesis pada kultur kalus sekunder yaitu kalus primer yang tidak memiliki kemampuan bermorfogenesis, namun bisa diinduksi melalui subkultur ke medium yang menginduksi morfogenesis, (3) embriogenesis dari kultur suspensi dimana embrio somatik dapat diinisiasi dari kalus embriogenik maupun dari kalus nonembriogenik,

sel-selnya tetap memiliki kemampuan untuk beregenerasi

membentuk embriosomatik dan pada umumnya embrio diinisiasi dari kalus yang dikulturkan dalam medium cair, (4) pembentukan protocorm pada kultur jaringan anggrek dan dapat dikatakan sebagai embriogenesis. Disamping terbentuk langsung dari eksplan, protocorm juga dapat terbentuk secara tidak langsung dari kalus atau kultur suspensi. Embrio somatik adalah suatu struktur bipolar yang bebas, yang secara fisik tidak menempel pada jaringan asalnya dan dihasilkan dari suatu sel somatik (sel yang tidak reproduktif dan mengandung dua set kromosom). Tidak seperti embrio zigotik yang diproduksi secara seksual (hasil dari reproduksi seksual) (Struik, 1991). Vajrabhaya, (1988) menyebutkan bahwa embrio zigotik dan embrio somatik berasal dari sumber yang berbeda, namun memiliki kesamaan urutan dari bentuk embrio mulai tahapan globular, hati, dan torpedo (embriogenesis). Embrio somatik bisa berasal dari sel tunggal atau bahkan protoplas, tetapi juga dapat dikembangkan dari banyak sel yang berasal dari sumber yang sama. Menurut Gray (2005) embrio zigotik dan non-zigotik memiliki pola perkembangan yang sama, yaitu melalui tahap globular, skutelar, dan koleoptilar untuk tanaman monokotil, atau tahap globular, hati, torpedo, dan kotiledonari untuk tanaman dikotil dan konifer. Zimmerman (1993) menggambarkan kesamaan tahapan embriogenesis somatik dan zigotik seperti pada Gambar 2. Embriogenesis mempunyai beberapa tahap spesifik, yaitu induksi sel dan kalus embriogenik, (2) pendewasaan, (3) perkecambahan, dan (4) hardening

12

(Purnamaningsih, 2002). Von Arnold (2008) menyebutkan regenerasi tanaman melalui embriogenesis somatik meliputi lima tahapan yaitu: 1. Inisiasi kultur embriogenik dengan mengkulturkan eksplan primer pada medium yang ditambahkan ZPT, terutama auksin tetapi seringkali sitokinin. 2. Proliferasi kultur embriogenik pada media solid atau cair yang ditambahkan dengan ZPT pada konsentrasi yang sama seperti pada tahap inisiasi. 3. Pra-pendewasaan embrio somatik pada media dengan pengurangan atau tanpa

ZPT;

hal

ini

menghambat

proliferasi dan

menstimulasi

pembentukan dan perkembangan awal somatik embrio. 4. Pendewasaan embrio somatik dengan mengkulturkan pada media yang ditambahkan ABA dan atau memiliki penurunan potensial osmotik. 5. Regenerasi tanaman pada medium tanpa ZPT.

Gambar 2. Perbandingan antara Embriogenesis Somatik dan Embriogenesis Zigotik (Zimmerman, 1993)

Embriogenesis somatik dari tanaman monokotil seperti pada jagung berbeda dengan yang biasa terjadi pada tanaman dikotil khususnya dalam bentuk atau struktur embrio yang mengikuti pola globular, torpedo, heart dan

13

cotiledonary. Embrio non-zigotik untuk tanaman monokotil memiliki pola perkembangan melalui tahap globular, scutellar, dan coleoptilar (Gray, 2005). Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa 2.4-D merupakan auksin yang efektif untuk induksi kalus embriogenik. Zat pengatur tumbuh tersebut merupakan auksin sintetis yang cukup kuat dan tahan terhadap degradasi karena reaksi enzimatik dan fotooksidasi (Purnamaningsih, 2002). Auksin sintetik, seperti 2.4-D, yang cukup efektif untuk memacu pembentukan dan proliferasi kultur embriogenik, biasanya tidak dimetabolisme oleh sel pada tingkat yang sama seperti auksin alami. Oleh karena itu, untuk menstimulasi pertumbuhan lebih lanjut dari embrio somatik perlu mentransfer kultur embriogenik pada medium yang rendah atau tanpa auksin. Salah satu mekanisme dimana auksin dapat mengatur embriogenesis adalah melalui pengasaman sitoplasma dan dinding sel (Zimmerman, 1993). Konsentrasi 2.4-D yang paling umum digunakan adalah satu sampai sepuluh mikromolar.

Kebutuhan auksin atau ZPT

lain untuk inisiasi

embriogenesis somatik secara umum ditentukan oleh stadia perkembangan jaringan eksplan (Kutschera, 1994 dalam Von Arnold, 2008). Gambar 3 menunjukkan struktur kimia dari 2.4-Dicholophenoxyacetic acid.

Gambar 3. Struktur Kimia Zat Pengatur Tumbuh 2.4-D

Regenerasi Tanaman dari Kultur Jaringan Jagung Embriogenesis

merupakan

salah

satu

jalur

regenerasi

tanaman.

Embriogenesis dalam kultur in vitro dapat terjadi secara langsung (direct atau terbentuk langsung dari eksplan awal tanpa melalui fase kalus) dan tidak langsung

14

(indirect atau melalui fase kalus). Embriogenesis secara langsung hampir selalu terjadi dalam sistem embriogenesis (Merkle et al., 1990). Finer (1995) dalam percobaan embriogenesis langsung pada jagung menyatakan bahwa produksi kalus biasanya justru tidak diinginkan jika tujuan penelitian adalah embriogenesis. Eksplan

yang

sering

digunakan

untuk

menginduksi

dan

mempelajari

embriogenesis secara langsung adalah embrio zigotik muda (Merkle et al., 1990). Jaringan ini secara alami telah embriogenik dan membutuhkan sedikit nutrisi dibandingkan jaringan embriogenik lainnya untuk menginduksi respon embrio somatik. Menurut Gunawan (1992), bagian tanaman seperti embrio muda, hipokotil, kotiledon dan batang muda merupakan bagian yang mudah untuk didiferensiasi dan menghasilkan kalus. Embrio zigotik juga harus berada pada suatu status perkembangan yang responsif. Umur embrio atau jumlah hari setelah polinasi harus dievaluasi guna menentukan stadia untuk induksi optimal (Finer, 1995). Proses perkembangan embrio zigotik jagung berdasarkan stadia umur setelah polinasi disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4. Perkembangan Embrio Zigotik Jagung (Rochon et al., 1998) Keterangan: HSP= Hari Setelah Polinasi; A) pembelahan sel zigotik; B) pretransisional proembrio; C) transisional proembrio; D) stadia koleoptilar; E) stadia koleptilar 1; F) Stadia koleptilar 2; ep= embrio proper; bc= sel dasar; s= suspensor; m= meristem; sc= skutelum; sa= apeks tunas; cr= cincin koleptilar; ea= aksis embrio.

Regenerasi tanaman dari kultur jaringan jagung pertama kali dilaporkan oleh Green dan Phillips (1975). Embrio muda dari genotipe jagung tertentu, khususnya A188, diletakkan dengan aksis tunas-akar menyentuh media Murashige dan Skoog (MS) yang dimodifikasi dan berisi 2.4-D sebagai sumber auksin.

Posisi

seperti

ini

memperlambat

perkecambahan

embrio

dan

15

meningkatkan proliferasi sel skutelar untuk menghasilkan kalus yang dapat diregenerasikan. Kalus yang dihasilkan kompak (pencampuran proliferasi dari seluruh jaringan kalus, meristem tunas, dan struktur menyerupai skutelum). Kalus ini telah dimodelkan sebagai kalus ‘Tipe I’. Istilah Tipe I digunakan untuk mendeskripsikan kalus jagung yang kompak dan embriogenik, mengindikasikan bahwa kalus yang kompak pada beberapa kasus mendukung organogenesis dan embriogenesis. Kalus Tipe I telah ditemukan pada banyak nomor genotipe jagung. Kalus tipe I yang dihasilkan memiliki ciri kompak dan pertumbuhannya lambat (Somers et al., 1988) Kalus jagung yang friable dan embriogenik (tipe II) diisolasi dari sektor embriogenik yang ditemukan pada kalus tipe I A188 di laboratorium B.G. Gengenbach. Kalus ini berisi proembrio somatik dan embrio lahir dari suspensor (semacam suatu struktur, yang diperkirakan asal suatu sel tunggal). Oleh karena remah (friable) atau kurang kompak, dan pertumbuhannya cepat, kalus tipe II dipilih untuk digunakan dalam percobaan seleksi in vitro. Amstrong dan Green (1985) kemudian mendemonstrasikan bahwa prolin dikombinasikan dengan medium N6 mampu menginduksi kalus yang remah dan embriogenik pada genotipe A188. Kemanjuran prolin dalam menginduksi kalus remah dan embriogenik bergantung pada genotipe dan ukuran/ umur eksplan embrio muda. Hanya sedikit genotipe yang menghasilkan kalus remah dan embriogenik jika dibandingkan dengan jumlah yang menghasilkan kalus Tipe I. Berdasarkan studi genetik frekuensi inisiasi kalus tipe I dan II, telah menunjukkan bahwa inisiasi kalus yang dapat diregenerasikan pada jagung di kontrol dengan oleh hanya sedikit gen (Somers et al., 1988). Secara skematis regenerasi tanaman jagung dengan menggunakan eksplan embrio muda yang ditemukan oleh Green dan Philips (1975) dapat digambarkan sebagai berikut. 1. Eksplan (embrio muda)  Kalus embriogenik tipe I (kompak)  Planlet 2. Eksplan (kalus embriogenik tipe I)  kalus embriogenik tipe II (remah)  Planlet Springer et al. (1979) melalui pemeriksaan histologi kultur jaringan jagung yang berasal dari embrio muda menunjukkan bahwa regenerasi tanaman yang terjadi adalah dengan cara organogenesis. Lu et al. (1982) menemukan bahwa

16

regenerasi tanaman juga dapat terjadi melalui embriogenesis somatik. Kedua tipe regenerasi tersebut berasal dari kalus yang keras, kompak, putih atau kuning yang dideskripsikan sebagai struktur mirip skutelar (scutellar) (Lu et al., 1983). Studi histologi memberikan fakta bahwa embriogenesis adalah jalur regenerasi tanaman yang lebih umum terjadi pada poliferasi jaringan kompak yang berasal dari skutelum embrio muda jagung (Vasil et al., 2005). Finer (1995) memberikan contoh untuk embriogenesis somatik secara langsung menggunakan jagung (genotipe A188 dan B73) sebagai perwakilan tanaman monokotil. Eksplan yang digunakan adalah embrio muda. Respon embrio sebagian besar bergantung pada stadia perkembangan eksplan. Terdapat dua tipe yang berbeda dari kalus embriogenik terbentuk. Tipe I berwarna putih hingga krem dan keras, dengan perkembangan struktur lanjut (ditandai oleh kehadiran embrio yang berkembang dengan sangat baik dan terdapat struktur yang berwarna hijau). Kalus Tipe II berwarna krem hingga kuning terang dan remah. Somatik embrio muda terlihat dipermukaan kalus embriogenik jagung tipe II. Stadia embrio lanjut (skutelar dan koleoptilar) pada kalus jagung Tipe I berkembang sangat cepat selama dalam kultur media perkembangan. Kalus Tipe II membentuk proliferasi embrio terlebih dahulu pada stadia perkembangan awal dan karena hal tersebut, kalus tipe II membutuhkan waktu lebih lama untuk membentuk stadia embrio lanjut. Studi embriogenesis somatik jagung lebih rinci disajikan dalam tabel pada Lampiran 1.

17

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Percobaan Penelitian dilaksanakan dari Februari 2011 sampai Januari 2012 di Laboratorium Kultur Jaringan 1, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian IPB. Eksplan (embrio muda) yang digunakan untuk penelitian diperoleh dari hasil pertanaman genotipe mutan di Kebun Percobaan Leuwikopo, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB Darmaga Bogor.

Bahan dan Alat Bahan yang digunakan sebagai eksplan adalah embrio muda yang diambil dari dua genotipe mutan jagung generasi ke-7 (G3M7 dan G8M7), yang diperoleh dari pertanaman G3M6 dan G8M6 kemudian dilakukan penyerbukan sendiri. Eksplan (embrio muda) dalam penelitian ditentukan berdasarkan ukuran embrio dan tidak berdasarkan umur selfing (penyerbukan sendiri), hal ini disebabkan oleh penanaman

jagung

yang

dilakukan di

lapang.

Penanaman di

lapang

mempengaruhi keberhasilan penyerbukan sendiri karena pembuahan di hari yang sama sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Eksplan embrio muda jagung pada genotipe G8M7 dengan panjang 0.3 cm diperoleh dari embrio yang berumur 12 hari setelah selfing (HSS), sedangkan embrio muda dengan panjang 0.4 cm diperoleh dari embrio yang berumur 13 HSS. Eksplan embrio muda jagung genotipe G3M7 dengan panjang embrio 0.3 cm diperoleh dari embrio berumur 1213 HSS, sedangkan eksplan dengan panjang 0.4 cm berasal dari embrio berumur 14 HSS (Lampiran 4). Bahan yang digunakan untuk pembuatan media meliputi larutan stok makro dan mikro dari media dasar Chu (N6), dan Murashige dan Skoog (MS), zat pengatur tumbuh 2.4-D (2.4-Dichlorophenoxy Acetic Acid) dan picloram, sukrosa (gula pasir), asam amino L-arginin, L-glutamine, dan glycine serta D-mannitol. Media regenerasi menggunakan ZPT BAP (Benzyl Amino Purin) dan IAA (Indole Acetic Acid). Bahan-bahan lain yang digunakan adalah bahan untuk sterilisasi eksplan yaitu clorox, aquades steril, alkohol 70 % dan 96 %.

18

Alat-alat yang digunakan spiritus, korek api, bunsen, plastik penutup, karet gelang, plastik wrap, tissue, sudip, autoclave, botol kultur, oven, Laminar Air Flow (LAF), erlenmeyer, gelas ukur, gelas piala, petridish, botol kultur, pipet hisap, labu ukur, corong, timbangan analitik, kompor, tabung gas, alat diseksi (scalpel dan mata pisau, pinset, gunting), mikroskop diseksi, alat tulis, hand sprayer, kertas pH, kertas millimeter blok, masker, dan rak kultur.

Metode Percobaan Percobaan 1 Penelitian menggunakan percobaan faktorial yang disusun secara acak kelompok. Pengelompokan berdasarkan hari tanam, karena hari tanam yang berbeda dengan eksplan yang sama menyebabkan kesegaran eksplan berbeda akibat adanya penyimpanan. Percobaan pertama terdiri atas 3 faktor. Faktor pertama yaitu genotipe, terdiri atas 2 genotipe mutan jagung generasi ketujuh (G3M7 dan G8M7). Faktor kedua adalah panjang embrio, yaitu 0.3 cm dan 0.4 cm. Faktor ketiga adalah 6 komposisi media kultur. Semua kombinasi perlakuan ditanam dalam 10 kelompok, sehingga terdapat 240 satuan percobaan (botol kultur). Setiap botol kultur ditanam 5 eksplan sebagai satuan amatan. Berikut adalah penjabaran komposisi media yang digunakan. N6A

: garam Chu (N6) + vitamin B5 + 100 mg/l myoinositol + 2 ppm 2.4-D

N6C

: garam Chu (N6) + vitamin B5 + 100 mg/l myoinositol + 3 ppm 2.4-D

N6F

: garam Chu (N6) + vitamin B5 + 100 mg/l myoinositol + 6 ppm 2.4-D

MS6

: MS + vitamin B5 + 6 ppm 2.4-D

MS8

: MS + vitamin B5 + 2 ppm 2.4-D + 100 mg/l arginin + 2 mg/l glycine + 100 mg/l glutamin

MS9

: MS + vitamin B5 + 1 ppm 2.4-D + 1 % mannitol Semua media dasar diberi tambahan gula pasir 3 % (30 g/l). Komposisi

media MS dan Chu (N6) disajikan pada Lampiran 2 dan Lampiran 3. Model linier yang digunakan adalah sebagai berikut: Yijkl = µ + αi + βj + (αβ)ij + γk + (αγ)ik + (βγ)jk + (αβγ)ijk + l + εijkl ;

19

Yijkl

= Nilai pengamatan pada faktor genotipe taraf ke-i, faktor ukuran eksplan taraf ke-j, faktor media ke-k, dan kelompok ke-l.

µ

= nilai tengah umum

αi

= Pengaruh taraf ke-i dari genotipe

βj

= Pengaruh taraf ke-j dari ukuran eksplan

(αβ)ij = Pengaruh interaksi taraf ke-i dari genotipe dan taraf ke-j dari ukuran eksplan γk

= Pengaruh media ke-k

(αγ)ik = Pengaruh interaksi taraf ke-i dari genotipe dan media ke-k (βγ)jk = Pengaruh interaksi taraf ke-j dari ukuran eksplan dan media ke-k (αβγ)ijk = Pengaruh interaksi taraf ke-i dari genotipe, taraf ke-j dari ukuran eksplan dan taraf ke-k dari media l

= Pengaruh kelompok ke-l

εijkl

= Galat percobaan taraf ke-i dari genotipe, taraf ke-j dari ukuran eksplan, media ke-k, dan kelompok ke-l

Data dianalisis menggunakan Uji Ragam dengan prosedur General Linier Model. Perlakuan yang berpengaruh nyata, diuji lanjut menggunakan Duncan Multiple Range Test (DMRT) di antara perlakuan pada taraf 5% untuk mengetahui beda nilai tengah.

Percobaan 2 Rancangan percobaan yang digunakan pada percobaan dua adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan satu faktor yaitu 3 kombinasi media. Tiap kombinasi diulang 10 kali, sehingga terdapat 30 satuan percobaan. Eksplan yang digunakan adalah genotipe G8M7. Berikut adalah penjabaran 3 komposisi media yang digunakan: P2M

: MS + vitamin B5 + 2 ppm Picloram

P2N

: N6 + vitamin B5 + 2 ppm Picloram

MS2

: MS + vitamin B5 + 2 ppm 2.4-D Model linier yang digunakan adalah sebagai berikut (Gomez dan Gomez,

1995): Yij = µ + αi + j + εij ;

20

Yij

= Nilai pengamatan yang dihasilkan

µ

= nilai tengah umum

αi

= Pengaruh media ke-i

j

= Pengaruh kelompok ke-j

εij

= Galat percobaan

Analisis data dilakukan menggunakan Uji Ragam dengan prosedur General Linier Model. Jika hasil analisis ragam yang diperoleh menunjukkan perlakuan berpengaruh nyata, maka dilakukan uji lanjut Duncan Multiple Range Test (DMRT) di antara perlakuan pada taraf 5% untuk mengetahui beda nilai tengah.

Pelaksanaan Percobaan Penanaman Bahan Eksplan Penelitian Bahan tanaman di lapang untuk menghasilkan embrio muda (generasi ke7) adalah mutan generasi ke-6 hasil radiasi sinar gamma pada dua galur yaitu G8 (SgPD/660/15) dan G3 (Gw92D343L4DMR PC3S4-56) yang telah diseleksi dan dimurnikan. Pengolahan lahan dilakukan dengan mencangkul, menggemburkan tanah, serta pemberian pupuk kandang. Biji setiap individu ditanam dalam barisan. Jarak tanam yang digunakan adalah 75 cm x 25 cm dengan 1 biji per lubang, terdapat 20 tanaman untuk tiap genotipe. Lubang tanam yang digunakan sedalam 5 cm dan telah ditaburi furadan. Penanaman dilakukan tiap minggu, dengan jumlah yang ditanam tiap minggu adalah 2 tanaman untuk masing-masing genotipe. Hal ini bertujuan untuk mengatur waktu antara panen di lapang dan penanaman embrio muda di kultur jaringan, sehingga dapat mengurangi waktu penyimpanan eksplan. Dosis pupuk yang digunakan untuk budidaya tanaman jagung yaitu urea 300 kg/ha, SP-18 200 kg/ha, dan KCl 150 kg/ha. Pupuk urea setengah dosis dan dosis penuh SP-18 dan KCl diaplikasikan bersamaan pada saat tanam. Setengah dosis urea sisanya diaplikasikan 4 minggu setelah tanam (MST). Penyulaman dilakukan saat 1 MST. Pemeliharaan berupa pengendalian gulma pada umur 3 dan 6 MST, pembumbunan pada 6 MST, pengendalian hama dan penyakit pada umur 4 dan 8 MST. Penyungkupan tassel dilakukan pada 50 HST. Sementara

21

penyungkupan bunga betina (tongkol) 1-3 hari setelah antesis bunga jantan. Sebelum penyungkupan tongkol, ujung tongkol dipotong. Setelah muncul rambut jagung (silk) yang merupakan tangkai putik maka penyerbukan sendiri dapat dilakukan. Panen jagung untuk mengambil embrio mudanya dilakukan pada 12-14 hari setelah selfing (HSS), yaitu saat warna jagung putih ke kuningan dan ukuran bijinya ± 0.5 cm dan ukuran embrio 0.3-0.4 cm.

Sterilisasi Alat dan Botol Sebelum alat dan botol digunakan, terlebih dahulu semuanya dicuci bersih dengan sabun cuci atau detergen kemudian disterilkan dalam autoklaf selama 45 menit dengan tekanan 20 psi.

Pembuatan Media Kultur Pembuatan media dasar MS dan N6 dilakukan dengan memipet media stok sesuai dengan volume pipet pada protokol yang telah ada. Setelah itu, ditambahkan 30 g gula pasir yang telah dilarutkan dalam aquades dan dimasukkan dan ditera dalam labu takar 1 liter. Kemasaman (pH) media di atur sebesar 5.7-5.8 sebelum di autoklaf, dengan penambahan beberapa tetes KOH 0.1 N atau HCl 0.1 N ke dalam media, kemudian ditambahkan agar sebanyak 6 g. Lalu media dipanaskan sampai agar-agar larut (sambil diaduk). Selanjutnya larutan media ditakar dan dimasukkan ke dalam botol yang sudah disterilkan sebelumnya sebanyak 20 ml setiap botol. Setelah itu botol ditutup dengan plastik, diikat dengan karet dan disterilkan dalam autoklaf selama 20 menit dengan suhu 121 oC pada tekanan 17-18 psi. Setelah diautoklaf media disimpan dahulu selama 3-7 hari di ruang kultur. Media yang tidak terkontaminasi dipergunakan untuk inisiasi kultur.

Sterilisasi Sumber Eksplan dan Penanaman in vitro Eksplan yang digunakan berupa embrio muda (immature embrio) yang dipanen 12-14 hari setelah selfing. Sebelum embrio dikeluarkan dari biji, semua biji jagung yang masih melekat pada tongkolnya (tanpa klobot) dicuci kemudian disterilisasi permukaannya dulu dengan larutan alkohol 96 % selama 10 menit lalu

22

dibilas satu kali. Setelah itu, direndam sambil dikocok dalam chlorox 20 % (v/v), masing-masing selama 10 menit. Selanjutnya biji dibilas dengan aquades steril sebanyak tiga kali. Embrio dikeluarkan dengan memotong bagian endosperma biji satu persatu, seperti pada Gambar 5. Embrio yang sudah diambil kemudian ditanam di dalam botol kultur dengan posisi aksis tunas dan akar menempel pada permukaan media.

a

b

Gambar 5. Proses Pengambilan Embrio Jagung (a) Arah Pemotongan Kernel; (b) Pengeluaran Embrio dari Kernel

Penanaman dilakukan di dalam LAF dan tiap botol kultur ditanam 5 buah eksplan. Selanjutnya botol kultur ditutup dengan plastik dan diikat dengan karet. Kemudian semua botol yang telah berisi eksplan ditempatkan dalam ruang gelap selama 2-4 minggu tergantung perkembangan embrio. Suhu ruang dijaga agar stabil 28 oC. Setelah masa inkubasi, koleoptil yang tumbuh di ujung kalus dipotong dan dibuang. Selanjutnya kalus dikulturkan kembali pada media pendewasaan (MS9= MS + 1 ppm 2.4-D + 1 % mannitol) selama 2 minggu di ruang terang dengan suhu 21-25 oC. Setelah masa pendewasaan embrio diregenerasikan pada media regenerasi.

Pengamatan Pengamatan dilakukan selama 8 minggu. Pengamatan dilakukan pada seluruh eksplan. Adapun peubah-peubah yang diamati adalah:

23

a. Persentase eksplan mati dan terkontaminasi, serta penyebab kontaminasi. b. Hari pembentukan kalus yaitu dihitung berdasarkan hari setelah tanam (HST). c. Respon eksplan pada 7 hari setelah tanam (HST) berupa persentase eksplan yang mengalami pemanjangan koleoptil (K), pembentukan akar (A): pembentukan kalus lembut (soft callus) (Kl), dan kalus kompak (callus compact) (Kk) (Gambar 5). d. Morfologi kalus lembut, kalus kompak, dan kalus tipe I yaitu kalus yang kompak dan embriogenik (Gambar 6).

K A Kk

a

b

c

d

K Kl

Gambar 6. Respon Perkembangan Eksplan (Embrio Muda) Jagung Umur 1 MST terdiri atas Pemanjangan Koleoptil (K); a) Pembentukan Kalus Kompak (Kk); b) Pembentukan Akar (A); c) Pembentukan Kalus Lembut (Kl); dan d) Kalus Embriogenik Tipe I Umur 3 MST e. Persentase eksplan membentuk kalus. Persentase kalus =

embrio muda berkalus ×100% embrio muda yang ditanam

f. Persentase kalus embriogenik. Persentase kalus embriogenik =

kalus embriogenik ×100% kalus yang ditanam

g. Pengamatan mikroskopik kalus/ kalus embriogenik. h. Diameter kalus diukur pada 2 MST.

24

i.

Bobot kalus diukur pada 2-3 MST.

j.

Pengamatan warna kalus. Pengamatan warna kalus dikelompokkan ke dalam 4 kategori (Gambar 7).

Kategori warna kalus didasarkan pada keberagaman kalus dari embrio muda yang diinduksi. Opaque merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan kalus yang memiliki warna kekuningan dengan dominan putih (tidak transparan). Kalus ada yang berbentuk bulat tanpa nodul dan bulat bernodul. Translucent merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan kalus yang berwarna kuning dan bening atau transparan.

D Hijau

A Opaque

B Translucent

C Coklat

Gambar 7. Kualifikasi Warna Kalus yang Terbentuk pada Induksi Kalus dari Dua Genotipe Mutan Jagung (Keterangan: didasarkan pada keragaan kalus penelitian) k. Persentase eksplan membentuk organ tunas dan akar. l.

Jumlah planlet yang berhasil diregenerasikan dari kalus embriogenik

25

HASIL DAN PEMBAHASAN Percobaan 1 Kondisi Umum Kematian eksplan hanya terjadi pada genotipe G8M7. Persentase eksplan mati pada eksplan dengan panjang 0.3 cm sebesar 1.35 %, sedangkan pada eksplan dengan panjang 0.4 cm hanya 0.35 %. Persentase kontaminasi yang terjadi terus meningkat dari 1 MST sampai 4 MST, seperti yang disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Persentase kontaminasi eksplan (embrio muda) jagung dalam media induksi kalus embriogenik Genotipe

G8M7 G3M7

Panjang Eksplan (cm) 0.3 0.4 0.3 0.4

Minggu Setelah Tanam (MST) 1 2 3 4 …………………….….%.................................... 3.15 4.08 6.36 15.38 1.03 2.92 16.01 31.58 2.22 6.82 13.70 33.61 1.50 5.13 13.70 20.99

Peningkatan persen kontaminasi (±15 %) pada 3 dan 4 MST disebabkan adanya penimbangan bobot kalus pada 3 MST. Selama penelitian kontaminasi lebih banyak disebabkan oleh bakteri (Gambar 8-a) dibandingkan dengan cendawan (Gambar 8-b). Hal ini karena metode sterilisasi yang digunakan dalam penelitian hanya untuk sterilisasi permukaan saja, sehingga diduga bakteri berasal dari dalam kernel dan terbawa oleh embrio. Kondisi embrio muda yang rentan terhadap bahan sterilan menyebabkan berisiko bila langsung disterilisasi pada embrio. Eksplan diinkubasi untuk membentuk kalus selama 2-4 minggu (tergantung perkembangan eksplan) dalam ruang gelap (24 jam/hari). Suhu ruang kultur pada saat penelitian adalah 27-28oC dengan suhu AC 18-19oC. Setelah itu, semua kalus yang terbentuk disubkultur pada media pendewasaan [MS + 1 ppm 2.4-D + 1 % mannitol (MS9)] selama 4 minggu dan diletakkan di ruang terang dengan pencahayaan 24 jam/hari, menggunakan lampu TL 18 watt.

26

a

b

Gambar 8. Eksplan pada Kultur Jaringan Jagung yang Terkontaminasi (a) Kontaminasi Bakteri yang Berasal dari Eksplan; (b) Kontaminasi Cendawan yang Berasal dari Media Kultur Subkultur dilakukan dua minggu sekali. Media pendewasaan diperoleh dari hasil percobaan pendahuluan pada beberapa komposisi media pendewasaan dan diperoleh media pendewasaan yang terbaik adalah MS9 dengan komposisi MS + 1 ppm 2.4-D + 1% mannitol (data tidak ditampilkan). Kalus embriogenik yang terbentuk kemudian diregenerasikan dalam media MS0 (MS tanpa hormon) atau media MS11 yaitu MS + 0.1 ppm IAA dan 0.5 ppm BAP. Secara skematis proses kultur in vitro jagung selama penelitian sebagai berikut.

Media induksi kalus embriogenik (2-3 minggu)     

N6A= N6 + 2 ppm 2.4-D; N6C= N6 + 3 ppm 2.4-D; N6F= N6 + 6 ppm 2.4-D; MS6= MS + 6 ppm 2.4-D; MS8= MS + 2 ppm 2.4-D + 100 mg/l arginin + 2 mg/l glycine + 100 mg/l glutamine;  MS9= MS + 1 ppm 2.4-D + 1 % mannitol

Media pendewasaan (4 minggu) MS9= MS + 1 ppm 2.4-D + 1 % mannitol

Media regenerasi  MS0 = MS tanpa hormon  MS11= MS + 0.1 ppm IAA + 0.5 ppm BAP

Gambar 9. Bagan Alir Proses Kultur Pembentukan Embrio Zigotik Sekunder Jagung Selama Penelitian

27

Waktu dan Persentase Eksplan Membentuk Kalus Embrio muda mulai berkalus pada 2 hari setelah tanam (HST) yaitu ditandai dengan munculnya kalus lembut (soft callus). Hasil sidik ragam pada Tabel 4 menunjukkan bahwa genotipe, eksplan, dan media berpengaruh nyata pada rata-rata persentase eksplan berkalus, dan interaksinya berpengaruh nyata pada 2 HST. Tabel 4 menunjukkan bahwa genotipe, ukuran eksplan, dan media berpengaruh sangat nyata terhadap rata-rata persentase eksplan berkalus dimulai dari 3 HST.

Tabel 4. Rekapitulasi sidik ragam waktu dan persentase eksplan berkalus jagung HST 1 2 3 4 5 6 7

Ukuran Genotipe Eksplan (G) (E) tn tn * * ** ** ** ** ** ** ** ** ** **

Media (M) tn * ** ** ** ** **

G*E G*M tn * tn tn tn tn tn

tn * tn tn tn tn tn

E*M

G*E*M

tn * tn tn tn tn tn

tn * tn tn tn tn tn

KK (%) 2.46 5.94 13.32 17.54 16.92 15.68 14.23

Keterangan: *, **= berbeda nyata pada taraf 5% dan 1%; tn= tidak berbeda nyata pada taraf 5%; data merupakan hasil transformasi x + 2; HST= Hari Setelah Tanam

Genotipe G3M7 dengan panjang embrio 0.4 cm dalam media N6A menghasilkan waktu paling cepat dalam membentuk kalus yaitu pada 1 HST. Media N6A memberikan persen eksplan berkalus tertinggi pada 4-7 HST untuk genotipe G8M7 (0.3 dan 0.4) dan pada 3-7 HST untuk genotipe G3M7 (0.3). Sementara pada genotipe G3M7 (0.4) media N6C memberikan persen eksplan berkalus tertinggi pada 5-7 HST (Tabel 5). Genotipe G8M7 (0.3 dan 0.4) pada komposisi media MS8 (MS + 2 ppm 2.4-D + 100 mg/l arginin + 2 mg/l glycine + 100 mg/l glutamin), N6A (N6 + 2 ppm 2.4-D) dan N6C (N6 + 3 ppm 2.4-D) belum mampu menghambat pertumbuhan kalus lembut di bawah 50 %. Lu et al. (1983) dengan ukuran eksplan 1.0-1.5 mm pada beberapa genotipe berbeda melaporkan pembentukan respon kalus lembut tertinggi hanya mencapai 48 % pada beberapa media dengan konsentrasi 0.25-2 ppm 2.4-D dan sukrosa 3-6 %.

28

Tabel 5. Pengaruh komposisi media induksi kalus embriogenik terhadap waktu dan persentase eksplan berkalus jagung Genotipe; Ukuran Eksplan

G8M7 (0.3 cm)

G8M7 (0.4 cm)

G3M7 (0.3 cm)

G3M7 (0.4 cm)

Media HST 1 2 3 4 5 6 7 1 2 3 4 5 6 7 1 2 3 4 5 6 7 1 2 3 4 5 6 7

N6A 0.0 0.0B 2.5aC 23.8aB 38.8aA 48.8aA 58.8aAB 0.0 0.0B 18.0aB 30.0abcB 52.0aA 54.0aA 56.0aB 0.0 0.0B 14.0aBC 40.0aAB 58.0aA 66.0aA 78.0aA 3.0 14.3aA 37.1aA 55.7aA 60.0aA 67.0aA 77.1aA

N6C 0.0 0.0 1.3aB 10.0bC 25.0bC 38.8abB 42.5bcC 0.0 0.0 16.0abA 36.0abAB 50.0aAB 54.0aAB 58.0aBC 0.0 0.0 2.0bB 22.0bcBC 32.0bcBC 48.0abB 66.0abAB 0.0 0.0b 25.7abA 51.4aA 70.0aA 75.7aA 86.4aA

N6F 0.0 0.0 1.3aB 10.0bB 21.3bBC 30.0bcB 33.8bcB 0.0 0.0 14.0abA 34.0abcA 44.0abAB 44.0aB 54.0aAB 0.0 0.0 0.0bB 5.70cB 14.3cC 42.9bB 51.4bAB 0.0 1.8b 10.9bA 38.2aA 60.0aA 60.0aA 72.7aA

MS6

MS8

0.0 0.0 0.0aB 5.0bB 12.5bC 22.5cB 28.8cC 0.0 0.0 10.0abAB 22.0bcAB 34.0abB 38.0aB 44.0aBC 0.0 0.0 2.0bAB 10.0bcB 18.0cBC 32.0bB 56.0bAB 0.0 0.0b 14.3bA 37.1aA 58.6aA 64.3aA 77.1aA

0.0 0.0 4.0aB 10.7bC 20.0bC 29.3bcB 42.7bcB 0.0 2.0 18.0aAB 42.0aAB 50.0aAB 58.0aA 62.0aAB 0.0 0.0 4.0bB 24.0abBC 40.0bB 54.0abA 66.0abAB 0.0 0.0b 22.9abA 48.6aA 64.3aA 70.0aA 78.6aA

MS9 0.0 0.0 0.0aB 5.0bB 12.5bB 29.3bcA 46.7abA 0.0 0.0 4.0bAB 18.0cAB 28.0bB 46.0aA 44.0aA 0.0 0.0 0.0bB 10.0bcB 20.0cB 40.0bA 46.0bA 0.0 1.8b 10.9bA 38.2aA 60.0aA 60.0aA 73.0aA

Keterangan: HST= Hari Setelah Tanam; Angka yang diikuti dengan huruf yang sama (dalam kolom dengan huruf kapital dan dalam baris dengan huruf kecil) untuk masingmasing media pada tiap HST tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 5% (data merupakan hasil transformasi x + 2); N6A= N6 + 2 ppm 2.4-D; N6C= N6 + 3 ppm 2.4-D; N6F= N6 + 6 ppm 2.4-D; MS6= MS + 6 ppm 2.4-D; MS8= MS + 2 ppm 2.4D + 100 mg/l arginin + 2 mg/l glycine + 100 mg/l glutamine; MS9= MS + 1 ppm 2.4-D + 1 % mannitol

Waktu terbentuk kalus terlama (4 HST) dihasilkan pada media MS9 (MS + 1 ppm 2.4-D + 1 % mannitol), MS6 (MS + 6 ppm 2.4-D) dan N6C (N6 + 3 ppm

29

2.4-D) untuk kedua genotipe dengan ukuran eksplan 0.3 cm. Selanjutnya, persentase eksplan berkalus terkecil pada 7 HST dihasilkan oleh genotipe G8M7 (0.3) dalam media MS6, sedangkan yang tertinggi dihasilkan oleh genotipe G3M7 (0.4) dalam media N6C.

Respon Perkembangan Eksplan pada Media Induksi Kalus Embriogenik Respon perkembangan embrio muda jagung pada 7 HST yang ditanam dalam berbagai komposisi media adalah berupa tumbuhnya koleoptil dan akar dari aksis embrio zigotik serta terbentuknya kalus lembut dan kalus kompak. Terbentuknya kalus lembut dan kompak dapat terjadi pada satu eksplan. Tipe kalus embriogenik yang terbentuk pada penelitian hanya kalus tipe I. Secara skematis respon perkembangan eksplan selama penelitian dapat digambarkan sebagai berikut.

Respon perkembangan eksplan 7 HST

Eksplan (Embrio muda)

1. Pemanjangan koleoptil

Menghambat pertumbuhan kalus kompak Mendorong regenerasi embrio zigotik menjadi tanaman utuh Mendorong pertumbuhan kalus lembut

2. Pembentukan akar

Mendorong regenerasi embrio zigotik menjadi tanaman utuh

3. Kalus lembut (basah, dan tidak embriogenik)

1. Organogenesis akar 2. Organogenesis tunas

4. Kalus kompak (tipe I) (pembengkakkan pada skutelum)

embriogenesis

1. Jika pertumbuhan kalus lembut dominan= organogenesis akar 5. Kalus lembut + kompak 2. Jika pertumbuhan kalus kompak dominan= berpotensi embriogenesis

Gambar 10. Skema Proses Perkembangan Eksplan (Embrio Muda) Jagung Selama Penelitian

30

Lu et al. (1983) mengelompokkan respon pembentukan kalus embrio muda jagung menjadi soft callus dan embryogenic callus. Penggunaan istilah kalus kompak sebagai salah satu respon (7 HST) dalam penelitian ini, dikarenakan tidak semua kultur kalus yang kompak berpotensi embriogenik. Kalus lembut dan kalus kompak ada yang dihasilkan secara bersamaan dalam satu eksplan.

a. Pemanjangan Koleoptil dan Pembentukan Akar Pengamatan respon perkembangan eksplan yang mengalami pemanjangan koleoptil dan pembentukan akar dilakukan pada 7 HST. Pengaruh genotipe, ukuran eksplan, dan komposisi media induksi kalus embriogenik jagung terhadap persentase eksplan yang mengalami pemanjangan koleoptil dan eksplan berakar disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Pengaruh genotipe, ukuran eksplan, dan komposisi media induksi kalus embriogenik jagung terhadap persentase eksplan yang mengalami pemanjangan koleoptil dan berakar (7HST) Perlakuan Media N6A N6C N6F MS6 MS8 MS9 Genotipe G8M7 G3M7 Ukuran Eksplan 0.3 cm 0.4 cm

Variabel Pengamatan Pemanjangan Koleoptil (%) Eksplan berakar (%) 91.9 13.2 a 85.7 2.1 b 82.8 3.7 b 79.4 2.1 b 85.4 1.7 b 82.5 9.8 a 85.7 83.8

7.4 c 3.0 d

81.5 f 88.7 e

6.2 3.4

Keterangan: Angka dalam kolom yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 5 %; HST= Hari Setelah Tanam; N6A= N6 + 2 ppm 2.4-D; N6C= N6 + 3 ppm 2.4-D; N6F= N6 + 6 ppm 2.4-D; MS6= MS + 6 ppm 2.4-D; MS8= MS + 2 ppm 2.4-D + 100 mg/l arginin + 2 mg/l glycine + 100 mg/l glutamine; MS9= MS + 1 ppm 2.4-D + 1 % mannitol

Komposisi media induksi kalus embriogenik dan genotipe tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap persentase eksplan mengalami

31

pemanjangan koleoptil. Ukuran eksplan memberikan pengaruh yang nyata terhadap persentase eksplan berkoleoptil. Ukuran eksplan 0.4 cm secara nyata memberikan persentase eksplan berkoleoptil lebih tinggi daripada ukuran eksplan 0.3 cm. Hal ini menunjukkan umur eksplan yang lebih tua pada ukuran embrio 0.4 cm mendorong perkecambahan eksplan lebih banyak. Semua persentase eksplan yang mengalami pemanjangan koleoptil di atas 70 %. Pemberian konsentrasi 6 ppm 2.4-D pada komposisi media MS6 dan N6F ternyata belum mampu mengurangi persentase eksplan mengalami pemanjangan koleoptil. Pengaruh taraf konsentrasi 2.4-D pada media N6 terlihat pada pertumbuhan panjang koleoptil yang dihasilkan (Gambar 11). Secara umum, pertumbuhan koleoptil pada komposisi media dengan N6 + 2 ppm 2.4-D (N6A) terlihat lebih panjang dibandingkan dengan koleoptil yang tumbuh pada komposisi media N6 + 3 ppm 2.4-D (N6C). Penggunaan komposisi media N6 dengan penambahan auksin 2.4-D sebanyak 3 ppm ternyata sudah dapat menghambat pertumbuhan panjang koleoptil.

Koleoptil

Kalus N6A

N6C

Gambar 11. Keragaan Pertumbuhan Koleoptil dari Embrio Zigotik Jagung pada Media N6A (N6 + 2 ppm 2.4-D) dan N6C (N6 + 3 ppm 2.4-D)

Respon eksplan berakar banyak ditemukan dari embrio zigotik. Terbentuknya akar menghambat pertumbuhan kalus dan menyebabkan eksplan lebih cenderung tumbuh menjadi tanaman utuh. Tabel 6 menunjukkan bahwa komposisi media induksi kalus embriogenik memberikan pengaruh yang nyata

32

terhadap persentase eksplan berkalus. Komposisi media N6A (N6 + 2 ppm 2.4-D) secara nyata memberikan persentase eksplan berakar lebih tinggi daripada media N6C (N6 + 3 ppm 2.4-D), N6F (N6 + 2 ppm 2.4-D), MS6 (MS + 6 ppm 2.4-D), dan MS8 (MS + 2 ppm 2.4-D + 100 mg/l arginin + 2 mg/l glycine + 100 mg/l glutamine), namun tidak berbeda nyata dengan komposisi media MS9 (MS + 1 ppm 2.4-D + 1 % mannitol). Genotipe juga berpengaruh nyata terhadap persentase eksplan berakar. Genotipe G8M7 secara nyata memberikan persentase eksplan berakar lebih tinggi daripada genotipe G3M7.

b. Pembentukan Kalus Lembut (Soft callus) Salah satu respon pembentukan kalus dari embrio muda jagung yang terbentuk pada 7 HST dalam penelitian adalah kalus lembut (soft callus). Hasil pengamatan secara visual memperlihatkan bahwa kalus lembut memiliki struktur yang lembut, basah, tidak teratur, transparan (translucent), dan pertumbuhan yang cepat.

a

b

d

c

e

Gambar 12. Eksplan Membentuk Kalus Lembut Jagung. (a) Struktur Kalus Lembut Menyerupai Akar pada 1 MST; (b) Kalus Lembut pada 2 MST dan Struktur Menyerupai Akar Masih Tampak; (c) Pertumbuhan Dominan Kalus Lembut pada G3M7 dengan Umur Eksplan 14 HSS; (d) Kalus Lembut yang Berasal dari Daerah Koleoptil dilihat dengan Mikroskop Diseksi; (e) Tunas Berwarna Ungu yang Tumbuh dari Permukaan Kalus Lembut.

33

Kalus lembut diduga berasal dari daerah koleoriza pada embrio zigotik, pangkal koleoptil, dan permukaan bawah skutelum (Gambar 12). Kalus lembut jagung tidak embriogenik, sehingga berbeda dengan kalus friabel (tipe II), yang memiliki struktur remah dan embriogenik serta berasal dari isolasi jaringan embriogenik kalus tipe I. Perkembangan kalus lembut cenderung membentuk akar dan sedikit sekali membentuk organ tunas, oleh karena itu pertumbuhannya tidak diharapkan. Menurut Green dan Philips (1975) hubungan antara umur, ukuran, dan genotipe pada embrio dan konsentrasi hormon mempengaruhi tipe kalus yang dihasilkan. Persentase respon eksplan membentuk kalus lembut pada 7 HST disajikan dalam Tabel 7.

Tabel 7. Pengaruh genotipe, ukuran eksplan, dan komposisi media induksi kalus embriogenik terhadap persentase eksplan membentuk kalus lembut (soft callus) jagung pada 7 HST Perlakuan Media N6A N6C N6F MS6 MS8 MS9 Genotipe G8M7 G3M7 Ukuran Eksplan 0.3 cm 0.4 cm

Variabel Pengamatan Soft callus (%) 67.2 a 62.6 ab 52.6 bc 50.8 c 61.6 abc 52.2 bc 46.4 e 71.4 d 49.3 g 67.7 f

Keterangan: Angka dalam kolom yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 5 %; HST= Hari Setelah Tanam; N6A= N6 + 2 ppm 2.4-D; N6C= N6 + 3 ppm 2.4-D; N6F= N6 + 6 ppm 2.4-D; MS6= MS + 6 ppm 2.4-D; MS8= MS + 2 ppm 2.4-D + 100 mg/l arginin + 2 mg/l glycine + 100 mg/l glutamine; MS9= MS + 1 ppm 2.4-D + 1 % mannitol

Tabel 7 menunjukkan bahwa persentase eksplan membentuk kalus lembut dipengaruhi oleh genotipe, ukuran eksplan, dan komposisi media induksi kalus embriogenik jagung. Koposisi media N6A (N6 + 2 ppm 2.4-D) memberikan

34

persentase eksplan membentuk kalus lembut sebesar 67.2 %, tidak berbeda nyata dengan komposisi media N6C (N6 + 3 ppm 2.4-D) dan MS8 (MS + 2 ppm 2.4-D + 100 mg/l arginin + 2 mg/l glycine + 100 mg/l glutamine). Komposisi media MS9 dengan konsentrasi 1 ppm 2.4-D dan penambahan 1% mannitol mampu memberikan rata-rata persentase eksplan membentuk kalus lembut tidak berbeda nyata dengan komposisi media MS6 (MS + 6 ppm 2.4-D), N6F (N6 + 6 ppm 2.4D), N6C dan MS8. Hal ini menunjukkan komposisi media MS9 (MS + 1 ppm 2.4D + 1 % mannitol) mampu meminimalisir pembentukan kalus lembut. Penambahan 1 % mannitol pada media MS9 yang hanya mengandung 1 ppm 2.4D dapat membantu meminimalisir kalus lembut. Hal ini diduga karena mannitol merupakan gula alkohol, yang biasanya tidak dimetabolisme oleh jaringan tanaman sehingga tidak tersedia sebagai sumber karbon. Oleh karena itu, mannitol lebih berperan sebagai osmotikum untuk memodifikasi potensial air dalam media kultur (Thorpe et al., 2008). Hasil penelitian Lu et al. (1983) menunjukkan bahwa pemberian 6 % sukrosa mampu mengurangi terbentuknya kalus lembut. Peningkatan osmotikum yang disebabkan oleh penambahan 1 % mannitol dalam media MS9 diduga menyebabkan pengaruh yang sama seperti pada pemberian sukrosa 6 %. Pengaruh genotipe terhadap persentase eksplan membentuk kalus lembut pada tabel 7 menunjukkan genotipe G8M7 secara nyata memberikan persentase yang lebih rendah daripada genotipe G3M7. Selanjutnya ukuran eksplan 0.3 cm secara nyata juga memberikan persentase eksplan membentuk kalus lembut lebih rendah dibandingkan ukuran eksplan 0.4 cm.

c. Pembentukan Kalus Kompak (Compact callus) Selain kalus lembut eksplan juga membentuk kalus kompak (compact callus). Berdasarkan pengamatan visual kalus kompak memiliki struktur yang kompak dan terdiri atas nodul-nodul. Kalus ada yang berwarna putih tidak tembus cahaya (opaque), dan kuning tembus cahaya (translucent). Pertumbuhan kalus kompak lebih lambat dibandingkan kalus lembut dan pada 1 MST eksplan yang berpotensi membentuk kalus kompak seperti ini baru terlihat mengalami pembengkakan. Pembengkakan yang terjadi diduga berasal dari bagian koleoriza

35

dan seluruh bagian permukaan atas (kubah) skutelum. Kalus kompak yang berwarna putih tidak tembus cahaya biasanya kurang embriogenik, berbentuk bulat, tanpa atau sedikit bernodul, cenderung berakar yang lama kelamaan mengalami pencoklatan (browning) dan mati. Kalus kompak yang tembus cahaya dan bernodul banyak cenderung berpotensi sebagai kalus embriogenik seperti terlihat pada Gambar 13.

a

b

Gambar 13. Eksplan yang Membentuk Kalus Kompak Jagung dengan Banyak Nodul a) Kalus Kompak Berwarna Kuning Tembus Cahaya; b) Kalus Kompak yang Memiliki Sedikit Warna Putih Tidak Tembus Cahaya Tabel 8. Pengaruh interaksi genotipe dan komposisi media induksi kalus embriogenik terhadap persentase kalus kompak jagung (7 HST) Media N6A N6C N6F MS6 MS8 MS9

Genotipe G8M7 G3M7 ………….%............... 24.8 dA 18.2 cA 53.6 abA 48.5 bA 40 bcA 56.7 abA 53.2 abB 70 aA 57.6 aA 56.5 abA 36.4 cdB 65 abA

Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama (dalam kolom dengan huruf kecil dan dalam baris dengan huruf kapital) menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 5 %; HST= Hari Setelah Tanam; N6A= N6 + 2 ppm 2.4-D; N6C= N6 + 3 ppm 2.4-D; N6F= N6 + 6 ppm 2.4-D; MS6= MS + 6 ppm 2.4-D; MS8= MS + 2 ppm 2.4-D + 100 mg/l arginin + 2 mg/l glycine + 100 mg/l glutamine; MS9= MS + 1 ppm 2.4-D + 1 % mannitol

Persentase eksplan membentuk kalus kompak terendah pada G3M7 dihasilkan oleh media N6A (N6 + 2ppm 2.4-D). Sementara pada genotipe G8M7 media N6A (N6 + 2 ppm 2.4-D) secara nyata memberikan persentase eksplan

36

membentuk kalus kompak lebih rendah daripada media N6C, N6F, MS6, dan MS8, namun tidak berbeda nyata dengan media MS9. Persentase kalus kompak pada genotipe G8M7 yang dihasilkan pada komposisi media MS8 mencapai 57.6 % tidak berbeda nyata dengan komposisi media N6C dan MS6 Sementara untuk genotipe G3M7 persentase kalus kompak mencapai 70 % pada komposisi media MS6 namun tidak berbeda nyata dengan komposisi media N6F, MS8 dan MS9. Pengaruh interaksi genotipe dengan media, menunjukkan persentase eksplan membentuk kalus kompak genotipe G3M7 secara nyata lebih tinggi daripada genotipe G8M7 pada media MS8 dan MS9 (Tabel 8).

Persentase Kalus Embriogenik (Tipe I) dan Struktur Embrio Lu et al. (1983) mendeskripsikan tipe regenerasi jagung berasal dari kalus yang keras, kompak, putih atau kuning yang dideskripsikan sebagai struktur mirip skutelar. Green dan Philips (1975) menyebutkan kalus embriogenik tersebut sebagai kalus tipe I. Sementara kalus embriogenik tipe II merupakan istilah untuk kalus yang remah (friable) dan embriogenik. Kalus tipe II merupakan hasil isolasi jaringan embriogenik kalus tipe I dan dihasilkan hanya pada genotipe-genotipe tertentu seperti A188 dan hibridanya. Kalus embriogenik jagung yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah kalus tipe I. Kalus tipe I yang embriogenik memiliki struktur mirip skutelar, berwarna putih dan kompak diduga berasal dari kalus kompak yang mengalami proliferasi pada bagian skutelar, berwarna kuning tidak tembus cahaya dan kuning tembus cahaya, serta bernodul. Berdasarkan ciri tersebut pengamatan kalus yang berpotensi embriogenik diamati pada 2 MST. Hal ini karena pada 2 MST pertumbuhan kalus yang lebih dominan sudah terlihat antara eksplan yang membentuk kalus lembut atau kalus kompak. Persentase kalus berpotensi embriogenik disajikan pada Tabel 9. Persentase kalus kompak berpotensi embriogenik yang dihasilkan oleh eksplan embrio zigotik umur 12-14 HSS pada berbagai media induksi kalus embriogenik memiliki rentang yang sangat besar yaitu dari 0 % sampai 71.43 %. Komposisi media memberikan pengaruh yang nyata pada pembentukan kalus kompak. Persentase kalus kompak berpotensi embriogenik yang dihasilkan dalam

37

penelitian tergolong rendah, karena rata-rata keseluruhan di bawah 40 % dan dari rentang rata-rata hanya mampu menghasilkan persentase tertinggi sebesar 71.4%. Beberapa penelitian mendapatkan hasil yang lebih baik (>75%) dimana hasil tersebut sudah merupakan persentase kalus embriogenik.

Tabel 9. Pengaruh media induksi kalus embriogenik terhadap persentase jumlah kalus kompak yang berpotensi embriogenik pada dua genotipe dan ukuran eksplan jagung Eksplan Media N6A N6C N6F MS6 MS8 MS9

G8M7 0.3 cm 17.14 b 41.15 a 40 a 68.18 a 49.09 a 18.33 b

0.4 cm 22 b 31.11 b 42.22 ab 60 a 57.78 a 40 ab

G3M7 0.3 cm 8.57 b 40 a 25 ab 50 a 27.5 ab 47.5 a

0.4 cm 0 d 48.57 bc 51.25 ab 71.43 a 37.5 bc 24 c

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama dalam kolom menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%. N6A= N6 + 2 ppm 2.4-D; N6C= N6 + 3 ppm 2.4-D; N6F= N6 + 6 ppm 2.4-D; MS6= MS + 6 ppm 2.4-D; MS8= MS + 2 ppm 2.4D + 100 mg/l arginin + 2 mg/l glycine + 100 mg/l glutamine; MS9= MS + 1 ppm 2.4-D + 1 % mannitol

Aisyah et al. (2007) menggunakan bahan galur bukan mutan dengan genotipe yang sama memiliki keberhasilan 30-40 % pada media MS + 2 ppm 2.4D dan meningkat menjadi 100 % pada media yang diberi tambahan 30 % mannitol. Hasil percobaan Finer (1995) memaparkan bahwa persentase eksplan membentuk kalus embriogenik adalah 95-100 %. Selain pengaruh genotipe, perbedaan persentase eksplan yang cukup tinggi ini dikarenakan penggunaan umur eksplan yang lebih tua dan ukuran embrio yang lebih besar, sehingga eksplan lebih banyak membentuk kalus lembut daripada kalus kompak. Kalus kompak umur 2 MST yang berpotensi embriogenik disubkultur pada 3 MST pada media pendewasaan MS + 1 ppm 2.4-D + 1 % mannitol (MS9). Menurut Von Arnold (2008) tahap pra-pendewasaan embrio somatik pada media dengan pengurangan atau tanpa ZPT akan menghambat proliferasi dan menstimulasi pembentukan dan perkembangan awal somatik embrio. Penambahan

38

1% mannitol dalam media MS9 diduga mempengaruhi pembentukan embrio somatik karena potensial osmotik yang dihasilkan. Thrope et al. (2008) menyebutkan potensial osmotik pada media dapat mempengaruhi terjadinya embriogenesis somatik dan dapat mengatur arah perkembangan embrio. Potensial osmotik yang rendah (bernilai negatif tinggi) membantu induksi embriogenesis somatik pada beberapa tanaman. Penambahan 10-30 g/l sorbitol dalam media L-6, menyebabkan adanya level yang tinggi dari embriogenesis pada suspensi Vigna aconitifolia dan kapasitas embriogenesis menjadi tertahan pada kultur jangka panjang. Sutjahjo (1994) menyatakan bahwa pemberian 3 % mannitol dan 15 % air kelapa mampu meningkatkan frekuensi pembentukan kalus jagung mencapai 85 %.

Tabel 10. Pengaruh media induksi kalus embriogenik terhadap jumlah kalus tipe I, struktur embrio dan planlet jagung yang terbentuk pada 8 MST G8M7 Media N6A N6C N6F MS6 MS8 MS9

Media N6A N6C N6F MS6 MS8 MS9

0.3 cm Persentase Jumlah Kalus Tipe I SE (±) 2.98 (2/67) 4 0 0 0 0 2.82 (2/71) 6 2.7 (2/74) 9 1.56 (1/64) 3 0.3 cm Persentase Jumlah Kalus Tipe I SE (±) 0 0 3.64 (2/55) 16 0 0 0 0 0 0 0 0

0.4 cm Jumlah Persentase Jumlah Planlet Kalus Tipe I SE (±) 0 0 0 0 0 0 0 6.12 (3/49) 2 0 14 (7/50) 3 2 2 (1/50) 15 0 0 0 G3M7 0.4 cm Jumlah Persentase Jumlah Planlet Kalus Tipe I SE (±) 0 0 0 0 1.69 (1/55) 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Jumlah Planlet 0 0 0 0 4 0

Jumlah Planlet 0 1 0 0 0 0

Keterangan: Nilai dalam persen adalah persentase jumlah kalus tipe I per total eksplan hidup; MST= Minggu Setelah Tanam; SE = Struktur Embrio; N6A= N6 + 2 ppm 2.4-D; N6C= N6 + 3 ppm 2.4-D; N6F= N6 + 6 ppm 2.4-D; MS6= MS + 6 ppm 2.4-D; MS8= MS + 2 ppm 2.4-D + 100 mg/l arginin + 2 mg/l glycine + 100 mg/l glutamine; MS9= MS + 1 ppm 2.4-D + 1 % mannitol

39

Kalus kompak embriogenik yang mengalami perubahan warna menjadi hijau dan mampu menghasilkan struktur embrio pada media pendewasaan serta planlet pada media regenerasi MS0 dan MS 11 disebut dengan kalus embriogenik tipe I. Persentase kalus embriogenik yang dihasilkan dari tiap genotipe dan ukuran eksplan di sajikan pada Tabel 10. Persentase kalus tipe I tertinggi untuk genotipe G8M7 dari percobaan pertama dihasilkan oleh media MS6 yang mengandung 6 ppm 2.4-D. Komposisi media MS6 dan N6F dengan pemberian konsentrasi auksin (2.4-D) 6 ppm diduga mampu meningkatkan persentase kalus tipe I pada genotipe G8M7 namun menghambat pertumbuhan tunas dan pembentukan planlet. Pembentukan planlet hanya terjadi pada kalus embriogenik yang dihasilkan dari media MS8. Green dan Philips (1975) menemukan bahwa pada konsentrasi 6 ppm 2.4D, skutelar menghasilkan pertumbuhan kalus yang lambat dan tidak terbentuk tanaman saat diferensiasi. Walaupun media MS8 hanya memberikan kalus tipe I sebesar 2 %, jumlah struktur embrio yang dihasilkan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah struktur embrio pada media MS6. Pemberian asam amino arginin, glutamine, dan glycine pada media MS8 yang hanya mengandung 2 ppm 2.4-D diduga mampu meningkatkan embriogenesis pada kalus embriogenik jagung. Menurut Wattimena et al. (1992) yang dibutuhkan dalam induksi kalus embriogenik adalah adanya suplai nitrogen tereduksi dalam bentuk ion NH4+ atau asam amino seperti glutamine dan alanine. Claparols et al. (1993) menemukan bahwa pemberian asam amino glycine dan asparagin secara tunggal mampu memberikan persentase kalus embriogenik yang tinggi (> 65 %) pada jagung galur W64Ao2 dalam media N6. Kalus tipe I dan planlet dihasilkan pada media N6C (N6 + 3 ppm 2.4-D) pada genotipe G3M7 untuk kedua ukuran eksplan. Keseluruhan data pada Tabel 10 menunjukkan bahwa terdapat tanggap media yang berbeda dari kedua genotipe yang diujikan. Genotipe G8M7 lebih tanggap pada berbagai komposisi media induksi kalus embriogenik dan lebih mudah membentuk kalus tipe I. Persentase kalus tipe I yang sangat kecil (< 14 %) diduga karena ukuran atau umur eksplan yang digunakan terlalu besar atau hampir mencapai fase dewasa (0.3-0.4 cm),

40

dengan menggunakan eksplan 0.1-0.2 cm mungkin persentase yang diperoleh akan lebih besar. Eksplan dengan panjang 0.1-0.15 cm untuk genotipe G3M7 dan G8M7 dapat diperoleh dari embrio yang berumur 9-10 HSS. Kalus embriogenik akan berhasil membentuk planlet jika saat subkultur perkembangan struktur koleoptilar pada kalus embriogenik tipe I sudah berkembang dengan baik. Struktur koleoptilar pada beberapa kalus kompak ada yang telah berkembang dengan baik saat berumur 3 MST, ada pula yang masih berbentuk menyerupai globular (Gambar 14).

a Gambar 14. Kalus Embriogenik Jagung Genotipe G8M7 yang Membentuk Struktur Globular pada 3 MST Kalus pada Gambar 14 pada saat subkultur, diujicoba dengan memisahkan satuan bentuk mirip globular, kemudian dipindahkan pada media regenerasi MS0 tanpa melalui media pendewasaan (MS9). Kalus mulai menghijau namun tidak terdapat respon pembentukan tunas dan hanya terbentuk akar. Kalus kemudian dipindah ke media MS11 yang mengandung 0.1 ppm IAA dan 0.5 ppm BAP, namun kalus justru menjadi coklat dan mati. Hal ini menunjukkan bahwa stadia embrio untuk di subkultur ke media regenerasi membutuhkan perkembangan embriogenesis lanjut dalam media pendewasaan sebelum diregenerasikan. Kalus dengan struktur koleoptilar yang telah terlihat (Gambar 15) disubkultur melalui media pendewasaan tanpa pemisahaan atau pembelahan pada kalus. Kalus merespon dengan perubahan warna menjadi hijau dan terus berkembang sampai umur 5 MST (23 hari dalam media induksi + 15 hari dalam media pendewasaan) seperti pada Gambar 15. Terlihat pembentukan akar, tunas, dan struktur skutelar tampak berwarna putih tidak tembus cahaya. Kalus

41

kemudian diregenerasikan pada media MS0 dan menghasilkan sebanyak 4 tunas dan 1 planlet pada umur 8 MST (22 hari dalam media regenerasi) seperti Gambar 15.

a

b

c

Gambar 15. Perkembangan Kalus Embriogenik Jagung Genotipe G8M7 Sampai Membentuk Tunas a) Struktur Koleptilar ditunjukkan Mata Panah (3 MST); b) Struktur Skutelar ditunjukkan Mata Panah (5 MST); c) Terbentuk Tunas (8MST)

a

b

c

Gambar 16. Perkembangan Kalus Embriogenik Jagung Genotipe G3M7 (0.3) Sampai Membentuk Tunas a) Struktur Embrio Terbentuk pada Media Pendewasaan (36 HST) Menunjukkan Ciri Kalus Tipe I, Kompak, Putih, dan Struktur Menyerupai Skutelar; b) Terbentuk Tunas (41 HST); c) Tunas umur 48 HST

42

Gambar 16 menunjukkan sebanyak satu kalus embriogenik dari genotipe G3M7 mampu menghasilkan dua struktur embrio tahap skutelar dan berhasil membentuk tunas, namun pada akhirnya mati karena akar tidak tumbuh dengan baik. Kalus embriogenik terbentuk dari media N6C (N6 + 3 ppm 2.4-D) kemudian disubkultur pada media pendewasaan MS9 (MS + 1 ppm 2.4-D + 1 % mannitol).

Diameter dan Bobot Kalus Hasil rekapitulasi sidik ragam (Tabel 11) menunjukkan bahwa genotipe, ukuran eksplan, dan media berpengaruh nyata terhadap diameter kalus pada 2 MST, dimana interaksi antara ketiganya tidak menunjukkan pengaruh yang nyata. Genotipe tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap bobot kalus 2-3 MST, namun terdapat interaksi antara genotipe dan ukuran eksplan.

Tabel 11. Rekapitulasi sidik ragam rata-rata diameter dan bobot kalus jagung Peubah pada Kalus Diameter 2 MST Bobot 2-3MST

Genotipe (G)

Ukuran Eksplan (E)

Media (M)

G*E

G*M

E*M

G*E *M

KK

**

**

**

tn

tn

tn

tn

16.31

tn

**

**

**

tn

tn

tn

29.51

Keterangan: **= berbeda nyata pada taraf 1%; tn= tidak berbeda nyata pada taraf 5%; data merupakan hasil transformasi x + 2; MST= Minggu Setelah Tanam

Perlakuan komposisi media MS8 (MS + 2 ppm 2.4-D + 100 mg/l arginin + 2 mg/l glycine + 100 mg/l glutamine) secara nyata memberikan diameter kalus lebih besar daripada media N6A (N6 + 2 ppm 2,4-D), N6C (N6 + 3 ppm 2.4-D), N6F (N6 + 6 ppm 2.4-D) dan MS9 (MS + 1 ppm 2.4-D + 1 % mannitol), namun tidak berbeda nyata dengan media MS6 (MS + 6 ppm 2.4-D). Genotipe G3M7 nyata memberikan diameter kalus lebih besar daripada genotipe G3M7. Ukuran eksplan 0.4 cm juga secara nyata memberikan diameter kalus lebih besar daripada ukuran eksplan 0.3 cm. (Tabel 12). Perlakuan komposisi media memberikan pengaruh nyata terhadap bobot kalus. Perlakuan komposisi media M8 (MS + 2 ppm 2.4-D + 100 mg/l arginin + 2

43

mg/l glycine + 100 mg/l glutamine) secara nyata memberikan diameter kalus lebih besar daripada media N6A (N6 + 2 ppm 2,4-D), N6C (N6 + 3 ppm 2.4-D), N6F (N6 + 6 ppm 2.4-D) dan MS6 (MS + 6 ppm 2.4-D), namun tidak berbeda nyata dengan media MS9 (MS + 1 ppm 2.4-D + 1 % mannitol) (Tabel 12).

Tabel 12. Pengaruh genotipe, ukuran eksplan dan komposisi media induksi kalus embriogenik jagung terhadap rataan diameter dan bobot kalus pada 2 MST Perlakuan Media N6A N6C N6F MS6 MS8 MS9 Genotipe G8M7 G3M7 Ukuran Eksplan 0.3 cm 0.4 cm

Variabel Pengamatan Diameter (mm) Bobot (mg) 7.088 c 1.396 c 7.280 bc 1.565 c 6.802 c 1.395 c 7.797 ab 1.900 b 8.121 a 2.173 a 7.393 bc 2.117 ab 7.076 e 7.850 d

1.735 1.808

7.078 g 7.829 f

1.544 g 2.018 f

Keterangan: Angka dalam kolom yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 5%; N6A= N6 + 2 ppm 2.4-D; N6C= N6 + 3 ppm 2.4-D; N6F= N6 + 6 ppm 2.4-D; MS6= MS + 6 ppm 2.4-D; MS8= MS + 2 ppm 2.4-D + 100 mg/l arginin + 2 mg/l glycine + 100 mg/l glutamine; MS9= MS + 1 ppm 2.4-D + 1 % mannitol

Pengaruh interaksi genotipe dan ukuran eksplan terhadap rataan bobot kalus jagung disajikan dalam Tabel 13. Interaksi yang terjadi antara genotipe dan ukuran eksplan menunjukkan bahwa pada kedua genotipe semakin besar ukuran embrio yang digunakan, bobot basah kalus yang dihasilkan juga akan semakin besar. Rata-rata bobot kalus yang dihasilkan komposisi media dasar MS memiliki hasil lebih besar dibandingkan dengan bobot kalus yang dihasilkan komposisi media dasar N6.

44

Tabel 13. Pengaruh interaksi genotipe dan ukuran eksplan terhadap rataan bobot kalus jagung (2 MST) pada tiap komposisi media induksi kalus embriogenik G

E cm

Media N6A N6C N6F MS6 MS8 MS9 ..………………..…………….mg……..……………………...

G8 M7

0.3

136.3bcAB

151bcB

117.9c4B

165.5bBC

207aB

207aAB

0.4

143.2bA

156bB

140.4bB

212aAB

210aB

226.6aA

G3 M7

0.3

99.6cB

121.6bcB

123.2bcB

139.3bC

173.9aB

167.5aB

0.4

174.7bA

198.7bA

177.2bA

249.8aA

286.9aA

249.8aA

Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama (dalam kolom dengan huruf kapital dan pada baris dengan huruf kecil) untuk masing-masing media tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 5%; G = Genotipe, E = Ukuran Eksplan; N6A= N6 + 2 ppm 2.4-D; N6C= N6 + 3 ppm 2.4-D; N6F= N6 + 6 ppm 2.4-D; MS6= MS + 6 ppm 2.4-D; MS8= MS + 2 ppm 2.4-D + 100 mg/l arginin + 2 mg/l glycine + 100 mg/l glutamine; MS9= MS + 1 ppm 2.4-D + 1 % mannitol

Pengamatan diameter dan bobot menunjukkan rata-rata diameter kalus yang kecil belum tentu menghasilkan rata-rata bobot kalus yang kecil atau sebaliknya diameter kalus besar belum tentu bobot kalus yang dihasilkan pun besar. Hal ini diduga karena pada beberapa kalus yang ditimbang ada yang telah membentuk akar sehingga menyebabkan bobot lebih besar. Perbedaan jenis kalus yang dihasilkan pada tiap jenis media mempengaruhi bobot kalus.

Warna Kalus Pola warna yang terbentuk disajikan pada diagram batang pada Gambar 17. Warna kalus jagung pada 1 MST lebih didominasi dengan putih atau kuning opaque (tidak tembus cahaya) dan terus menurun sampai 4 MST. Sementara persentase kalus translucent (tembus cahaya) mengalami peningkatan pada 2 MST dan menurun pada 4 MST. Kalus mengalami pencoklatan yang disebabkan penuaan (senescence) mulai terlihat pada 2 MST dan terus meningkat sampai 4 MST. Hasil pengamatan menunjukkan peningkatan kalus translucent pada 2 MST diikuti dengan penurunan kalus opaque pada 2 MST memperlihatkan proses perubahan tekstur kalus. Perubahan tekstur yang terjadi yaitu seperti pertumbuhan

45

nodul dipermukaan skutelar. Pertumbuhan kalus yang didominasi oleh kalus lembut juga menyebabkan kalus menjadi translucent. 450

Persentase Warna (%)

400 350 300 250 200 150 100 50 0 1

2 MST

3

4

1

Opaque N6A

2 MST

3

4

1

2 MST

Translucent N6C

N6F

MS6

3

4

Coklat MS8

MS9

Gambar 17. Grafik Pola Perubahan Warna Kalus Jagung Keterangan: MST= Minggu Setelah Tanam; N6A= N6 + 2 ppm 2.4-D; N6C= N6 + 3 ppm 2.4-D; N6F= N6 + 6 ppm 2.4-D; MS6= MS + 6 ppm 2.4-D; MS8= MS + 2 ppm 2.4-D + 100 mg/l arginin + 2 mg/l glycine + 100 mg/l glutamine; MS9= MS + 1 ppm 2.4-D + 1 % mannitol

Persentase kalus opaque tertinggi saat 1 MST dihasilkan oleh media N6A masing-masing sebesar 71.1 % dan terendah (57.5 %) dihasilkan oleh media N6C. Berdasarkan pengamatan pada media N6A, kalus opaque yang berwarna putih tanpa nodul pada bagian kubah skutelar cenderung membentuk akar. Hal ini didukung dengan data respon kalus berakar pada 7 HST. Media N6A menghasilkan persentase kalus berakar yang paling tinggi pada semua genotipe. Persentase kalus translucent pada 1 MST tertinggi dihasilkan pada media N6C yaitu sebesar 45.54 %. Persentase kalus translucent diatas 40 % juga di hasilkan pada media MS8 yaitu dengan nilai 41.58 %, sedangkan media lainnya menghasilkan kalus translucent dibawah 40 %. Kalus translucent berstruktur

46

kompak, dan bernodul berpotensi sebagai kalus embriogenik. Kalus putih opaque yang pada perkembangannya mengalami perubahan warna menjadi kuning translucent dan bernodul banyak, juga berpotensi sebagai kalus embriogenik. Persentase kalus translucent mulai menurun pada 3 MST, hal ini dikarenakan rata-rata persentase kalus coklat mengalami peningkatan sebesar 25 % dari rata-rata persentase kalus coklat pada 2 MST. Hal ini menunjukkan kalus jagung dalam media 20 ml/botol memiliki waktu subkultur terbaik pada 2 MST. Namun demikian, berdasarkan pengamatan waktu subkultur 2 MST tidak cukup baik untuk mendapatkan kalus embriogenik. Hal ini karena pertumbuhan kalus embriogenik belum siap untuk dipindahkan pada media pendewasaan akibat pertumbuhan struktur koleoptilar yang belum tampak pada 2 MST. Penelitian Sutjahjo (1994) mengenai studi masa inkubasi kalus jagung juga menunjukkan hal yang serupa. Masa inkubasi kalus jagung terbaik adalah 2-4 MST ditunjukkan oleh banyaknya jumlah planlet yang dihasilkan dari kalus embriogenik. Kalus yang mengalami perubahan warna menjadi coklat tertinggi saat 2 dan 3 MST adalah pada media MS9 yaitu sebesar 20.18 % dan 42.97 %, diduga karena penggunaan mannitol. Menurut Riov dan Yang (1982b) dalam Moshkov et al. (2008), mannitol sebagai osmotikum yang umum digunakan dalam protoplast dan kultur jaringan lainnya, menyebabkan biosintesis etilen meningkat. Etilen diproduksi selama kultur oleh semua jenis sel tanaman, jaringan dan organ. Kecepatan biosintesis meningkat jika sel menjadi sasaran stress. Etilen dalam konsentrasi tertentu dapat menyebabkan proses penuaan (Wattimena, 1988). Persentase kalus coklat pada media N6F (N6 + 6 ppm 2.4-D) saat 1- 3 MST berturut-turut adalah 1.17 %, 10.2 % dan 40.7 %. Selanjutnya, pada media MS6 persentase kalus coklat paling tinggi mendekati 40 % terlihat pada 3 MST yaitu sebesar 39.72 %. Hal ini diduga karena tingginya kandungan 2.4-D dalam media yaitu 6 ppm. Menurut Gray (2005) auksin 2.4-D dapat menstimulasi gas etilen, yang dalam konsentrasi rendah dapat meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan embrio somatik, tetapi jika konsentrasi etilen terlalu tinggi dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan embrio yang akhirnya dapat menyebabkan browning pada kultur kalus embrionik. Menurut Wattimena (1992) browning dapat dicegah dengan meningkatkan intensitas subkultur baik pada

47

media yang sama atau media pada konsentrasi auksin yang lebih rendah. Rata-rata persentase kalus yang mengalami perubahan warna menjadi coklat di atas 60 % saat 4 MST. Kalus yang mengalami perubahan warna hijau ditemukan pada 1-3MST dari ke dua genotipe dan ukuran eksplan. Persentase kalus hijau disajikan dalam

Persentase kalus Hijau (%)

bentuk grafik pada Gambar 18.

5 4.5 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0

N6A N6C N6F MS6 MS8 MS9 1 MST

2 MST

3 MST

Gambar 18. Grafik Persentase Kalus Hijau Jagung 1-3 MSK pada Beberapa Media Induksi Kalus Embriogenik Keterangan: MST= Minggu Setelah Tanam; N6A= N6 + 2 ppm 2.4-D; N6C= N6 + 3 ppm 2.4-D; N6F= N6 + 6 ppm 2.4-D; MS6= MS + 6 ppm 2.4-D; MS8= MS + 2 ppm 2.4-D + 100 mg/l arginin + 2 mg/l glycine + 100 mg/l glutamine; MS9= MS + 1 ppm 2.4-D + 1 % mannitol

Rata-rata persentase kalus kehijauan tertinggi pada 1 MST saat kalus masih diinduksi dalam ruang gelap dihasilkan pada media MS8 yaitu sebesar 4.16 %. Subkultur pada 2 dan 3 MST menyebabkan peningkatan pada rata-rata persentase kalus kehijauan. Hal ini karena pada subkultur pertama kalus dipindah ke ruang terang. Persentase kalus yang dihasilkan saat 2 MST pada media MS6 dan MS8 masing-masing adalah sebesar 3.2 % dan 2.86 %.

Respon Pembentukan Organ Akar dan Tunas a. Organ Akar Persentase eksplan membentuk organ akar pada beberapa komposisi media perlakuan disajikan dengan grafik pada Gambar 19. Tingginya kemampuan

48

terbentuk organ akar pada kalus jagung merupakan salah satu penghambat terjadinya embriogenesis. Aisyah et al. (2007) memaparkan dalam hasil penelitiaannya bahwa pada minggu ke tiga sebagian besar (60 %) kalus jagung membentuk organ akar. Finer (1995) memaparkan bahwa akar dan tidak adanya embrio terbentuk mengikuti transfer jaringan ke media maize development atau media MS (tanpa auksin). Kultur tidak embriogenik tetapi justru membentuk akar, walaupun mungkin juga terjadi suatu pencampuran pada produksi sel embriogenik dan akar.

Persentase Eksplan Berakar (%)

45 40 35

N6A

30

N6C

25

N6F

20

MS6

15

MS8

10

MS9

5 0 1 MST

2 MST

3 MST

4 MST

Gambar 19. Grafik Pengaruh Media Induksi Kalus Embriogenik terhadap Persentase Eksplan Berakar Jagung Keterangan: MST= Minggu Setelah Tanam; N6A= N6 + 2 ppm 2.4-D; N6C= N6 + 3 ppm 2.4-D; N6F= N6 + 6 ppm 2.4-D; MS6= MS + 6 ppm 2.4-D; MS8= MS + 2 ppm 2.4-D + 100 mg/l arginin + 2 mg/l glycine + 100 mg/l glutamine; MS9= MS + 1 ppm 2.4-D + 1 % mannitol

Berdasarkan grafik pada Gambar 19 konsentrasi auksin pada komposisi media perlakuan memberikan pengaruh terhadap persentase eksplan berakar. Komposisi media MS9 dengan konsentrasi 1 ppm 2.4-D + mannitol 1 % terlihat memberikan persentase eksplan berakar tertinggi pada 3 dan 4 MST yaitu sebesar 41.4 % dan 40.8 %. Diduga pemberian konsentrasi 2.4-D yang lebih rendah dan penambahan mannitol 1 % memacu pertumbuhan akar. Selanjutnya media N6A (N6 + 2 ppm 2.4-D) dan MS8 (MS + 2 ppm 2.4-D + 100 mg/l arginin + 2 mg/l glycin + 100 mg/l glutamine) masing-masing menghasilkan persentase eksplan berakar sebesar 23.36 % dan 23 %. Komposisi media N6C dengan kandungan N6

49

+ 3 ppm 2.4-D telah mampu memberikan persentase eksplan berakar dibawah 20%. Pengaruh ini terlihat pada 2-3 MST dimana persentase eksplan berkalus yang dihasilkan rata-rata 5 % seperti pada media MS6 (MS + 6 ppm 2.4-D) dan N6F (N6 + 6 ppm 2.4-D). Hal ini menunjukkan komposisi media yang mengandung 2.4-D 3-6 ppm mampu menghambat pertumbuhan akar pada kalus jagung dibawah 20%. Pertumbuhan akar yang lebih banyak terlihat pada eksplan yang dikulturkan pada komposisi media MS9 dibandingkan dengan komposisi media MS6 (MS + 6 ppm 2.4-D) (Gambar 20). Green dan Philips (1975) menemukan bahwa pertumbuhan akar pada kultur jaringan jagung menjadi minimal pada media dengan konsentrasi 2.4-D sebesar 6 ppm.

MS9

MS6

Gambar 20. Keragaan Pertumbuhan Organ Akar pada Kalus Jagung dalam Media MS9 (MS + 1 ppm 2.4-D + 1 % mannitol) dan MS6 (MS + 6 ppm 2.4-D). Komposisi Media MS9 Mendorong Pertumbuhan Akar yang Lebih Banyak Selain pengaruh media, eksplan jagung yang berasal dari embrio zigotik diduga menyebabkan terbentuknya akar lebih dominan. Diduga karena kalus yang dihasilkan lebih banyak berasal dari jaringan koleoriza (bakal akar), sehingga kalus lebih mudah membentuk akar. Menurut Finer (1995) jika embrio terlalu besar (lebar), akar akan terbentuk tetapi tidak ada jaringan skutelar yang berpriloferasi dengan kehadiran 2.4-D dalam media induksi kalus. Finer selanjutnya menjelaskan morfologi beberapa

jaringan organogenik akar

50

menyerupai jaringan embrionik, karena keduanya memunculkan nodul, dalam penelitian ditunjukkan pada Gambar 21.

16 HST

22 HST

30 HST

Gambar 21. Kalus Jagung yang Menghasilkan Nodul diduga Embriogenik, pada Perkembangannya Nodul Membentuk Akar (Umur 30 HST)

a

b

Gambar 22. Akar yang Terbentuk pada Kalus Jagung saat di Subkultur ke Media Pendewasaan dan Regenerasi (a) Akar pada Kalus Embriogenik dalam Media Pendewasaan MS9; (b) Akar pada Kalus Embriogenik dalam Media Regenerasi MS0 Gambar 22 menunjukan ketika kalus embriogenik dipindah pada media pendewasaan MS9 dan media regenerasi MS0 pertumbuhan akar menjadi dominan. Menurut Finer (1995) perbedaan dari jaringan pembentuk akar dengan jaringan embriogenik, yaitu pada karakteristik permukaan dan kekonsistensian jaringan. Jaringan embriogenik permukaannya kering dengan struktur yang agak

51

bulat, sedangkan jaringan pembentuk akar tipenya lebih basah dan keras pada permukaan.

b. Organ Tunas Pertumbuhan organ tunas pada kalus jagung ditemukan pada 2 dan 3 MST setelah subkultur pada media pendewasaan yang dihasilkan oleh genotipe G3M7 dengan panjang eksplan 0.4 cm. Organ menyerupai tunas ungu juga ditemukan dalam penelitian yaitu pada 3 MST oleh genotipe G3M7 dengan panjang eksplan 0.3 cm.

Tabel 14. Persentase eksplan membentuk organ tunas pada media induksi kalus embriogenik jagung Media N6A N6C N6F MS6 MS8 MS9

Waktu Eksplan Bertunas Terbentuknya Hujau Tunas (MST) 2 0 3 0 2 0 3 2.86 2 0 3 0 2 0 3 2.86 2 0 3 2.86 2 1.67 3 7.5

Eksplan Bertunas Ungu

 Tunas Hijau

0 7.5 0 2.5 0 0 0 0 0 5 0 9.29

0 0 0 1 0 0 0 2 0 2 1 3

Keterangan: MST= Minggu Setelah Tanam; N6A= N6 + 2 ppm 2.4-D; N6C= N6 + 3 ppm 2.4-D; N6F= N6 + 6 ppm 2.4-D; MS6= MS + 6 ppm 2.4-D; MS8= MS + 2 ppm 2.4-D + 100 mg/l arginin + 2 mg/l glycine + 100 mg/l glutamine; MS9= MS + 1 ppm 2.4-D + 1 % mannitol

Tunas dari embrio zigotik yang tumbuh setelah dilakukan pemotongan juga tidak jarang terjadi. Tunas yang dihasilkan dari kalus belum berhasil di regenerasikan. Hal ini karena setelah tunas dipisahkan dari kalus dan dipindahkan ke media regenerasi MS0 dan MS11 (MS + 0.1 ppm IAA dan 0.5 ppm BAP) tunas tidak berhasil membentuk akar dan mengalami kematian.

52

Pertumbuhan kalus membentuk tunas terbanyak dihasilkan oleh media MS9 setelah itu MS8, N6A dan N6C, sedangkan pada media MS6 dan N6F persentase kalus membentuk tunas sangat kecil bahkan tidak terbentuk (Tabel 14). Hal ini menunjukkan komposisi media MS9, MS8, N6A dan N6C mampu mendorong kalus jagung menjadi lebih mudah membentuk organ tunas, diduga karena pemakaian konsentrasi 2.4-D yang lebih rendah dari 6 ppm.

Percobaan 2 Kondisi Umum Percobaan kedua bertujuan untuk mengetahui pengaruh jenis auksin picloram dalam menginduksi kalus embriogenik jagung. Hal ini karena persentase kalus tipe I yang dihasilkan pada percobaan pertama masih tergolong rendah yaitu rata-rata 4.17 %. Eksplan yang digunakan adalah genotipe G8M7 dengan panjang eksplan 0.3-0.4 cm. Picloram merupakan salah satu auksin sintetik seperti 2.4-D yang banyak digunakan untuk induksi kalus. Picloram aktif pada konsentrasi rendah pada banyak genotipe. Pemakaian konsentrasi auksin pada tanaman dikotil lebih rendah (0.3-0.3 ppm) daripada tanaman monokotil (2-10 ppm) dan kadangkadang dikombinasikan dengan sitokinin (Wattimena et al., 1992). Persentase eksplan mati pada percobaan dua saat 1 MST sebesar 1.37 %. Kontaminasi terjadi pada 1- 3 MST berturut-turut sebesar 1.1 %, 7.28 %, dan 12.11 %. Kontaminasi di awal minggu setelah tanam lebih banyak disebabkan oleh bakteri. Kontaminasi meningkat pada 3 MST (> 10 %), disebabkan pada minggu ke dua sampai ke tiga dilakukan penimbangan bobot kalus.

Respon Perkembangan Eksplan pada Media Induksi Kalus Embriogenik Persentase respon perkembangan eksplan embrio muda jagung berupa pemanjangan koleoptil, pembentukan akar, kalus lembut (soft callus) dan kalus kompak (campact callus) pada 7 HST disajikan dalam grafik pada Gambar 23. Komposisi media P2N (N6 + 2 ppm Picloram) menghasilkan rataan persentase kalus lembut tertinggi (56.44 %) dan kalus kompak terendah. Persentase kalus kompak tertinggi dihasilkan pada media P2M yaitu MS + 2 ppm Picloram (68.66

53

%). Hal ini menunjukkan bahwa media dasar N6 kurang baik dalam menginduksi kalus kompak yang lebih berpotensi untuk membentuk kalus tipe I. Komposisi media MS2 (MS + 2 ppm 2.4-D) menghasilkan persentase kalus kompak sebesar 64 %.

Persentase Respon Eksplan (%)

100 90 80

70 60

K (Pemanjangan koleoptil)

50

A (Pembentukan akar)

40

Kl (Kalus lembut)

30

Kk (Kalus kompak)

20 10 0 P2M

P2N

MS2

Gambar 23. Grafik Pengaruh Media Induksi Kalus Embriogenik Jagung G8M7 terhadap Respon Pemanjangan Tunas, Pembentukan Akar, Kalus Lembut (Soft Callus) dan Kalus Kompak (Compact Callus) 7 HST Keterangan: MST= Minggu Setelah Tanam; P2M= MS + 2 ppm Picloram; P2N= N6 + 2 ppm Picloram; MS2= MS + 2 ppm 2.4-D

Jika dilihat dari persentase kalus lembut, komposisi media MS2 (MS + 2 ppm 2.4-D) menghasilkan rataan persentase kalus lembut yang jauh lebih rendah (< 15%) dibandingkan komposisi media P2M (MS + 2 ppm Picloram) dan P2N (N6 + 2 ppm Picloram). Pembentukan akar pada 1 MST hanya terjadi pada komposisi media yang mengandung auksin picloram. Pemberian konsentrasi 2 ppm picloram belum mampu menghambat pertumbuhan eksplan bertunas. Hal ini ditunjukan pada Gambar 23, persentase pemanjangan tunas pada media P2M dan P2N masih di atas 80%.

Waktu dan Persentase Pembentukan Kalus Persentase pembentukan kalus dilihat dari pembentukan kalus lembut. Waktu pembentukan kalus rata-rata pada 3 HST, dengan persentase tertinggi dihasilkan oleh media P2N (N6 + 2 ppm Picloram) (Tabel 15). Pembentukan

54

kalus pada media MS2 (MS + 2 ppm 2.4-D) terjadi pada 4 HST dengan persentase kalus lembut hanya 2 %. Berdasarkan data tersebut penggunaan komposisi media MS2 (MS + 2 ppm 2.4-D) relatif lebih baik dalam menghambat pembentukan kalus lembut, namun tidak bisa menghambat pertumbuhan koleoptil eksplan. Hal ini didukung dengan data pada Gambar 23 yang menunjukkan persentase eksplan mengalami pemanjangan koleoptil tertinggi dihasilkan oleh media MS2 (MS + 2 ppm 2.4-D).

Diameter dan Bobot Kalus Pengamatan bobot dan diameter kalus diamati pada minggu ke dua sampai tepat minggu ke tiga. Berdasarkan uji F media memberikan pengaruh yang nyata terhadap bobot kalus, namun tidak berbeda nyata pada diameter kalus.

Tabel 15. Pengaruh media induksi kalus embriogenik terhadap bobot (2-3 MST), diameter (2 MST), waktu dan persentase pembentukan kalus jagung G8M7 Media P2M P2N MS2 Media P2N P2M MS2

Waktu Pembentukan Kalus (HST) 1 2 3 4 5 6 7 …………………………………..%.................................................... 0 0 3 24 33 44 51 0 0 12 32 41 50 56 0 0 0 2 5 10 13 Bobot (mg) Diameter (mm) 231.10b 8.114 332.65a 8.879 286.20ab 7.871

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama dalam kolom menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%. MST= Minggu Setelah Tanam; HST= Hari Setelah Tanam; P2M= MS + 2 ppm Picloram; P2N= N6 + 2 ppm Picloram; MS2= MS + 2 ppm 2.4-D.

Bobot kalus tertinggi yang dihasilkan media P2M (MS + 2 ppm Picloram) berbeda nyata dengan media P2N (N6 + 2 ppm Picloram), namun tidak berbeda nyata dengan MS2 (MS + 2 ppm 2.4-D). Hal ini menunjukkan bahwa media dasar mempengaruhi bobot kalus sedangkan jenis auksin tidak memberikan pengaruh yang nyata. Perbedaan jenis kalus mempengaruhi bobot kalus yang dihasilkan.

55

Warna Kalus Pola perubahan warna kalus yang terjadi pada percobaan dua sama dengan pola yang terbentuk pada percobaan satu (Gambar 24). Kalus opaque pada 1-2 MST paling dominan, namun grafiknya terus menurun sampai 4 MST pada semua media. Kalus translucent rata-rata mengalami peningkatan dari 1-2 MST kemudian menurun pada 3-4 MST.

Persentase warna kalus (%)

90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 1

2

3 MST

Opaque P2M= MS + 2 ppm Picloram

4

1

2

3 MST

4

Translucent P2N = N6 + 2 ppm Picloram

1

2

3 MST

4

Coklat MS2= MS + 2 ppm 2.4-D

Gambar 24. Grafik Perubahan Warna pada Kalus Jagung Percobaan 2

Persentase kalus coklat (browning) terus meningkat sampai 4 MST. Perubahan warna yang cukup drastis terjadi pada media MS2. Kalus translucent meningkat pada 3 MST mencapai 58%, kemudian mengalami penurunan pada 4 MST. Hal ini disebabkan oleh adanya kontaminasi yang tinggi pada 4 MST, sehingga menyebabkan kalus menjadi coklat. Persentase kalus coklat pada 3 MST paling tinggi terjadi pada media P2M (MS + 2 ppm Picloram) dan P2N (N6 + 2 ppm Picloram). Picloram memiliki aktifitas auksin yang lebih kuat daripada 2.4D. Dampak browning pada eksplan diduga sama dengan dampak akibat penggunaan konsentrasi auksin (IAA)

yang tinggi yang menyebabkan

peningkatan dramatis pada produksi etilen (Machakova et al., 2007).

56

Persentase Eksplan Membentuk Akar Pengaruh media terhadap persentase eksplan berakar disajikan dalam grafik pada Gambar 25. Komposisi media jelas terlihat mempengaruhi persentase eksplan membentuk akar. Picloram dengan konsentrasi 2 ppm baik pada media dasar MS maupun N6 relatif mampu menekan pertumbuhan akar dibanding dengan pemberian 2 ppm 2.4-D pada media MS2. Perbedaan kenaikan persentase eksplan berakar pada media MS2 tampak pada 2 MST dan 3 MST. Data pada 4 MST pada media MS2 tidak teramati.

Persentase Eksplan Berakar (%)

60 50 40

P2M= MS + 2 ppm Picloram

30

P2N= N6 + 2 ppm Picloram

20

MS2= MS + 2 ppm 2.4-D

10 0 1 MST

2 MST

3 MST

4 MST

Gambar 25. Pengaruh Media Induksi Kalus Embriogenik Jagung G8M7 terhadap Persentase Eksplan Berakar

Persentase Kalus Embriogenik (Tipe I) dan Jumlah Struktur Embrio Persentase kalus kompak adalah hasil pengamatan yang dilakukan pada 2 MST. Kalus kompak yang dapat menghasilkan struktur embrio seperti yang dideskripsikan oleh Green dan Philips dalam penelitian ini disebut kalus Tipe I mengikuti istilah yang digunakan Green dan Philips (1975). Persentase kalus kompak, kalus tipe I, jumlah struktur embrio yang terbentuk pada Tabel 16 menunjukkan bahwa media P2M (MS + Picloram 2 ppm) relatif lebih baik untuk menginduksi embriogenesis pada jagung. Jumlah struktur embrio yang dihasilkan pada P2M mencapai 29 embrio, sedangkan MS2 (MS + 2

57

ppm 2.4-D) hanya sebesar 5 embrio, namun jumlah tunas yang dihasilkan rendah (4 tunas). Hal ini diduga penggunaan picloram dengan konsentrasi 2 ppm masih tergolong tinggi sehingga menghambat pembentukan tunas pada embrio somatik.

Tabel 16. Persentase kalus kompak, kalus tipe I, jumlah struktur embrio dan tunas yang terbentuk pada media induksi kalus embriogenik jagung Media P2M P2N MS2

Kalus kompak (%)

Kalus Tipe I (%)

Jumlah Struktur Embrio

Jumlah Tunas

57.08 43.75 51.67

9.47 (9/95) 0 5 (2/40)

29 0 5

4 0 2

Keterangan: Nilai dalam persen adalah persentase jumlah kalus tipe I per total eksplan hidup; P2M= MS + 2 ppm Picloram; P2N= N6 + 2 ppm Picloram; MS2= MS + 2 ppm 2.4D

a

b

c

Gambar 26. Perkembangan Kalus Embriogenik Jagung sampai Membentuk Tunas pada media P2M (MS + 2 ppm Picloram); a) Struktur Embrio Koleoptilar ditunjukkan Mata Panah (4 MST); b) Kalus Embriogenik Jagung G8M7 pada Media Pendewasaan MS9 (MS + 1 % mannitol + 1 ppm 2.4-D) Umur 6 MST; c) Tunas yang Terbentuk pada 8 MST

58

a

b b Gambar 27. Perkembangan Kalus Embriogenik Jagung G8M7 pada Media MS2 (MS + 2 ppm + 2.4-D); a) Kalus Embriogenik (Tipe I) Jagung yang ditunjukkan Mata Panah pada Tahap Pendewasaan; (b) Tahap Regenerasi pada MS0 Terlihat Pertumbuhan Akar yang Dominan Kalus embriogenik yang terbentuk kemudian disubkultur ke media pendewasaan MS + 1 ppm 2.4-D + 1 % mannitol. Setelah tahap pendewasaan, struktur embrio (skutelar dan koleoptilar) dipindah ke media regenerasi. Media regenerasi yang digunakan adalah MS0 (MS tanpa hormon). Akar terbentuk sangat banyak seperti terlihat pada Gambar 27-a dan Gambar 27-b, hal ini pun terjadi pada percobaan 1.

59

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1.

Genotipe, ukuran eksplan, dan komposisi media mempengaruhi bobot dan diameter kalus pada kedua genotipe. Genotipe G8M7 lebih tanggap terhadap media induksi kalus dan lebih mudah membentuk kalus embriogenik.

2.

Komposisi media terbaik berdasarkan jumlah planlet yang dihasilkan genotipe G8M7 pada percobaan 1 adalah media MS8 yaitu MS + 2 ppm 2.4D + asam amino (arginin, glutamin, dan glycine). Kalus embriogenik yang berhasil membentuk planlet dari genotipe G3M7 hanya terbentuk pada media N6C yaitu N6 + 3 ppm 2.4-D. Media terbaik berdasarkan jumlah kalus tipe I adalah MS6 yaitu MS + 6 ppm 2.4-D, namun tidak ada tunas yang terbentuk dari kalus embriogenik yang diinduksi.

3.

Eksplan embrio muda dengan panjang 0.3 cm dan 0.4 cm dapat digunakan untuk induksi kalus embriogenik jagung,

namun

persentase kalus

embriogenik yang dihasilkan rendah (rata-rata 4.17%). 4.

Interaksi hanya terjadi pada 2 HST terhadap waktu dan persentase pembentukan kalus. Interaksi genotipe dan ukuran eksplan mempengaruhi bobot kalus yang dihasilkan.

5.

Komposisi media terbaik untuk menginduksi kalus kompak dan embriogenik (tipe I) pada percobaan 2 adalah P2M (MS + 2 ppm Picloram).

Saran Sebaiknya rancangan menggunakan sampel untuk penimbangan bobot sehingga mengurangi kontaminasi yang terjadi setelah penimbangan. Tongkol jagung yang digunakan sebagai bahan esksplan (embrio muda) untuk ditanam dalam kultur in vitro sebaiknya tidak dilakukan penyimpanan.

60

DAFTAR PUSTAKA Acquaah, G. 2004. Understanding Biotechnology: An Integrated and Cyber-Based Approach. Pearson Education., Inc. Upper Saddle River, New Jersey. 289 p. Aisyah, I.S, S.H. Sutjahjo, Rustikawati, dan C. Herison. 2007. Induksi kalus embriogenik pada kultur in vitro jagung (Zea mays L.) dalam rangka peningkatan keragaman genetik melalui variasi somaklonal. Jurnal IlmuIlmu Pertanian Indonesia Edisi Khusus (3):344-350. Anami, S.E., A.J. Mgutu, C. Taracha, G. Coussens, M. Karimi, P. Hilson, M. Van Lijsebettens, and J. Machuka. 2010. Somatic embryogenesis and plant regeneration of tropical maize genotypes. Plant Cell Tissue Culture 102:285-295. Armstrong, C.L. and C.E. Green. 1985. Establishment and maintenance of friable, embriogenic maize callus and involvement of L-proline. Planta 164:207214. Badan

Pusat Statistik (BPS). 2011. Statistik http://www.bps.go.id. [11 Januari 2012].

Indonesia.

Jakarta,

Claparols, I., M.A. Santos and J.M. Torné. 1993. Influence of some exogenous amino acids on the production of maize embryogenic callus and on endogenous amino acid content. Plant Cell Tissue and Organ Culture 34:1-11. Duncan, D.R., M.E. Williams, B.E. Zehr, and J.M. Widholm. 1985. The production of callus capable of plant regeneration from immature embryos of numerous Zea mays genotypes. Planta 165:322-332. Finner, J.J. 1995. Direct somatic embryogenesis, p: 91-102. In: O.L. Gamborg and G.C Philips (Eds.). Plant Cell, Tissue and Organ Culture. Springer. New York. Fischer, K.S. and A.F.E. Palmer. 1992. Jagung tropik. hal 281-328. Dalam P.R. Goldswrthy and N.M. Fisher (Eds.) Fisiologi Tanaman Budidaya Tropik. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. George, E.F. and G-J. de Klerk. 2008. Micropropagation: Uses and Methods. 2965. In : E.F. George, M.A. Hall and G-J de Klerk (Eds). Plant Propagation by Tissue Culture 3rd Edition. Springer: Netherland. Gomez, A.K. dan A.A. Gomez. 1995. Prosedur Statistika untuk Penelitian pertanian (diterjemahkan dari Statistical Procedures for Agricultural Research, penerjemah: E. Sjamsudin dan J.S. Baharsjah). Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. 698 hal.

61

Gray, D.J. 2005. Propagation from nonmeristematic tissue: nonzygotic embryogenesis, 187-200. In : R.N. Trigiano and D.J. Gray (Eds). Plant Development and Biotechnology. CRC Press. United States of America. Green, C.E. and R.L. Philips. 1975. Plant regeneration from tissue culture of Maize. Crop Sci. 15:417-421. Gunawan, L.W. 1992. Teknik Kultur Jaringan Tumbuhan. Pusat Antar Universitas Bioteknologi, IPB. Bogor.165 hal. Hartmann, H.T., D.E. Klester, and F.T. Davies. 1990. Plant Propagation Principle and Practices. 5th ed. Prentice Hall, New Jersey. Lu, C., I.K. Vasil, and P. Ozias-Akins. 1982. Somatic Embryogenesis in Zea mays L. Theor Appl Genet. 62:109-112. Lu, C., V. Vasil, and I.K. Vasil. 1983. Improved efficiency of somatic embryogenesis and plant regeneration in tissue cultures of maize (Zea mays L.). Theor Appl Genet. 66: 285-289. Machakova, I., E. Zazimalova and E.F. Geoerge. 2008. 175-204. In : E.F. George, Michael A. Hall and Greet-Jan De Klerk (Eds). Plant Propagation by Tissue Culture 3rd Edition. Springer: Netherland. Martin, W.F. 1989. Maize. Echo Technical Note: USA. 7 p. Merkle, S.A., W.A. Parrott, and E.G. Williams. 1990. Application of somatic embryogenesis and embryo cloning. 67-102. In : S.S. Bhojwani (Eds). Plant Tissu Culture: Application and Limitations. Elsevier: Amsterdam. Moshkov, I.E., G.V. Navikova, M.A. Hall, and E.F. Geoerge. 2008. 227-283. In : E.F. George, Michael A. Hall and Greet-Jan De Klerk (Eds). Plant Propagation by Tissue Culture 3rd Edition. Springer: Netherland. Poehlman, J.M. and D.A. Sleper. 1995. Breading Field Crops. Forth Edition. IOWA State University Press. USA. 494 p. Prioli, L.M. and W.J. da Silva. 1989. Somatic embryogenesis and plant regeneration capacity in tropical maize inbreeds. Brazil J. Genetics 12,3:553-566. Purnamaningsih, R. 2002. Regenerasi Tanaman melalui Embriogenesis Somatik dan Beberapa Gen yang Mengendalikannya. Buletin AgroBio. 5(2):5158. Rakshit, S., Z. Rashid, J.C. Sekhar, T. Fatma, and S. Dass. 2010. Callus induction and whole plant regeneration in elite Indian maize (Zea mays L.) inbreeds. Plant Cell, Tissue and Organ Culture 100:31-37.

62

Rochon, E.M., F. Piola, E. Le Deunff, R. Mòl, and C. Dumas. 1998. In vitro development of maize immature embrio: a tool for embryogenesis analysis. Experimental Botany 49(322): 839-845. Shohael, A.M., M.A.L. Akanda, S. Pervez, S. Mahfuja, M.F. Alam, R. Islam, and N. Joarder. 2003. Somatic embryogenesis and plant regeneration from immature embryo derived callus of inbreed maize (Zea mays L.). Biotechnology 2:154-161 Skirvin, R.M., M. Norton, and K.D. Mc Pheeter. 1993. Somaclonal variation: Has it proved useful for plant improvement. Acta Hort. 289:219-222. Springer, W.D. Green, C.E. dan Khon K.A. 1979. A histological examination of tissue culture initiation from immature embyo of maize. Protoplasma 101:269-281. Somers, D.A., R.L. Phillips, and H.W. Rines. 1988. Corn and oat tissue culture and genetic variation in regenerated plants. Proceeding of the Seminar Cell and Tissue Culture in Field Crop Improvement. Food and Fertilizer Technology Center for the Asian and Pasific Region. Taiwan, Republic of China. p 51-65. Struik, P.C. 1991. Plant tissue culture, p 66-97. In Open universiteit, Netherlands and Thamer Polytechnic, United Kingdom (Eds). Biotechnological Innovation in Crop Improvement. Butterworth-Heinemann.London. Sutjahjo, H.S. 1994. Induksi Keragaman Somaklonal ke Arah Ketenggangan Terhadap Keracunan Aluminium pada Tanaman Jagung. Disertasi. Program Doktor, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 117 hal. Sutjahjo, H.S., D. Sukma, dan Rustikawati. 2009. Perakitan Kultivar Unggul Jagung Toleran Kemasaman: Seleksi In Vitro Mutan Iridiasi Sinar Gamma dan Varian Somaklon. Laporan Akhir Program Insentif Riset Dasar Ketahanan Pangan, LPPM Institut Pertanian Bogor. Bogor. 118 hal. Thorpe, T., C. Stasolla, E.C. Yeung, G-J de Klerk, A. Robert, and E.F. Goerge. 2008. 115-175. In : E.F. George, Michael A. Hall and Greet-Jan De Klerk (Eds). Plant Propagation by Tissue Culture 3rd Edition. Springer: Netherland. Vajrabhaya, M. 1988. Embryogenesis. Proceeding of the Seminar Cell and Tissue Culture in Field Crop Improvement. Food and Fertilizer Technology Center for the Asian and Pasific Region. Taiwan, Republic of China. p 24-32. Vasil, I.K. 2005. Tissue culture of maize. Maydica 50:361-365.

63

Von Arnnold, S. 2008. Somatic Embryogenesis. p 335-355. In : E.F. George, Michael A. Hall and Greet-Jan De Klerk (Eds). Plant Propagation by Tissue Culture 3rd Edition. Springer: Netherland. Wattimena, G.A. 1988. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. Pusat Antar Universitas Bioteknologi, IPB. Bogor. 145 hal. Wattimena, G.A., L.W. Gunawan, N.A. Mattjik, E. Syamsudin, N.A. Wiendi., dan A. Ernawati. 1992. Bioteknologi Tanaman. Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor. 309 hal. White, P.J. and L.A. Johnson. 2003. Corn Chemistry and Technology. Second Edition. American Assiciation of cereal chemist, Inc. St. Paul, Minnesota, USA. 892 p. Zimmerman, J.L. 1993. Somatic embryogenesis: a model for early development in higher plants. The Plant Cell 5:1411-1423.

64

LAMPIRAN

64

Lampiran 1. Rekapitulasi Beberapa Penelitian Embriogenesis Jagung No.

1.

Eksplan dan Komposisi Media ukurannnya (mm, HSP, HSS)

Galur A188, R- Embrio: Induksi kultur embriogenik: navajo, A619, 14-24 HSP 1. Garam MS + vitamin + asam A632, B9A, dan (embrio amino + 20 g/L sukrosa + 8 g/L W64A disimpan agar pH: 6 maksimal 2. Garam Straus + 20 g/L sukrosa + 8 12 jam pada g/L agar suhu 40C) Diferensiasi: Garam MS + vitamin 1 mm = 14 + asam amino + 20 g/L sukrosa + 8 HSP g/L agar 3 mm = 18 Regenerasi: Garam MS + Vit + HSP vitamin + asam amino + 20 g/L 5 mm = 22 sukrosa + 8 g/L agar HSP Vitamin: 7.7 mg/l glycine, 1.98 g/L (mature asparagin, 1.3 mg/l niacin, 0.25 mg/l embrio) thiamine-HCl, 0.25 mg/l pyridoxineHCl, 0.25 mg/l CAP

Sebanyak 12 Embrio genotipe jagung muda dengan panjang

Lama Inkubasi Kondisi Kultur

Hasil Penelitian

Referensi

&

1, 2, 4, 6 Induksi mg/l 2.4- kalus: 21-28 D, NAA hari dan 2iP Suhu: 28 – 30oC,

Eksplan optimum untuk Inisiasi kalus Green dan skutelar 18 HSP = 3 mm Philips (1975) 1 mg/l 2.4-D menginisiasi tunas dan akar dari embrio zigotik muda 2 mg/l 2.4-D konsentrasi terbaik untuk inisiasi kalus dari skutelar

Fotoperiod: 16/8 jam 0.25 mg/l 4 mg/l 2.4-D kurang efektif dalam Lampu: 2000 2.4-D inisiasi kalus lux. 6 mg/l 2.4-D pertumbuhan tunas dan akar minimal. Skutelar menghasilkan pertumbuhan kalus yang lambat. Tanpa Tidak terbentuk tanaman saat 2.4-D diferensiasi.

0.25-5.0 Suhu: 27oC mg/l 2.4- dalam gelap N6 dan MS medium + 0-12 % D sukrosa. pH 5.8 Induksi kalus embriogenik:

1-

ZPT

Hormon kombinasi untuk meningkatkan inisaiasi kalus skutelar 1 mg/l 2.4-D, 4 mg/L NAA dan 0.05 2iP Suatu jaringan kalus yang tidak Lu et al. tembus cahaya, putih, kompak, dan (1982) teroraginsir dibentuk dari proliferasi sel skutelar yang berada disekitar node

64

2.

Tanaman/ Genotipe

Lanjutan Lampiran 1 1.5 mm

3.

Sebanyak 8 Embrio Kultivar jagung muda: hibrida (‘Asgrow 1-1.5 mm Rx 112’, ‘Coker 16’, ‘Dekalb XL80’, Dekalb XL82’, Florida Stay Sweet, Funk G4507A, Funk G4864’, Pioneer 3030’, Pioneer 3320, Silver Queen.

skutelar dekat koleoriza. Somatik embrio yang terorganisir dengan baik terbentuk dari proliferasi dipermukaan skutelar dalam waktu 3 minggu. Induksi kalus embriogenik: MS 2.4-D Suhu: 27oC (1962)+ sukrosa 3, 6, dan 12 % pH: 0.25, 0.5, dalam Gelap 5.8 1.0, 2.0 mg/l

8-10 hari kompak, tidak trasparan/ Lu et al. buram (opaque), jaringan berwarna (1983) putih, membentuk kalus embriogenik terbentuk dari koleoriza dan skutelum. Konsentrasi 0.25-2 mg/l 2.4-D tidak berbengaruh pada kualitas dan kuantitas pembentukan kalus embriogenik, sama halnya dengan konsentrasi sukrosa. Kalus embriogonik yang terbentuk pada media dengan 3 % sukrosa kurang kompak dan buram dibandingkan pada konsentrasi 6 dan 12 %. Kalus hanya dihasilkan pada bagian tertentu dari skutelum, sementara bagian lainnya terbentuk daun dan kalus lembut.

4.

A188

Embrio Induksi kalus embriogenik: muda: saat

0.5-1 mg/ 2.4-D

Suhu: 30oC

28-

Media N6 dengan peningkatan Amstrong konsentrasi L-proline menghasilkan dan Green

65

Kalus embriogenik meningkat pada konsentrasi 6 dan 12 % sukrosa. Kalus lembut berkurang atau tidak ada pada 6 % sukrosa.

Lanjutan Lampiran 1 masuk development stage (10-13 HSP)

1. Garam MS + vit. modifikasi (0.5 mg/l thiamin-HCl) + 150 mg/l Lasparagin monohydrate + 20 g/l sukrosa + 7.0 g/l Difco Bacto agar + 5, 10, 15, 20, 25 mM L-proline dan L-glutamin.

0.5-1 mg/ 2.4-D

Cahaya fluorescent: 16-8 jam siklus cahaya dan gelap

2. Garam N6 (Chu N6) + 100 mg/l casamino acid + 20 g/l sukrosa + 7.0 g/l Difco Bacto agar + 5, 10, 15, 20, 25 mM L-proline dan Lglutamin. 5.

Tahun 1983: Embrio Sebanyak 101 muda, yang galur murni, tidak tembus Tahun 1984: cahaya Sebanyak 218 (opaque). galur murni ukuran 1tambahan dan 1.5 mm beberapa stok (panjang) plasma nutfah hasil penyerbukan silang

4.5 µM Suhu: 28oC 2.4-D di inkubasi Media N6 macronutrient + 12 mM Ldalam gelap proline + 1.0 ml/l NaFeDTA + 28.0 15 µM siklus gelap mM KNO3 + 60-360 mM sukrosa +8 Dicamba tiap 14 hari. g/l Bacto-agar Difco + pH 5.8 dengan lima kompisisi media yang berbeda. Induksi kalus embriogenik:

± N6 micronutrient, ± N6 nutrient organic, ± B5 micronutrien, ± RT vitamin (1.0 mg/l), ± casein hydrolisat (0.1 g/l), ± vitamin tanpa

Penamban proline pada MS tidak menstimulasi pembentukan embrio. Embrio somatik ditemukan dalam media dengan level glutamine 6-12 mM, namun tidak berbeda signifikan dengan tanpa glutamine pada selang kepercayaan 95 % (α = 0.05). Tahun 1983: Terdapat perbedaan Duncan et genetik pada potensi tiap galur jagung al. (1985) untuk tumbuh dan beregenerasi menjadi tanaman.

66

Regenerasi: Media N6 macronutrient + 12 mM L-proline + 1.0 ml/l NaFeDTA + 28.0 mM KNO3 + 60-360 mM sukrosa +8 g/l Bactoagar Difco + pH 5.8 dengan 3 kompisisi media yang berbeda.

rentang 0 % pada kontrol, 14.5 % (1985) pada media dengan 9 mM proline, 23 % pada media dengan 25 mM proline.

Lanjutan Lampiran 1 asam casamino (0.5 g/l), ± ThiaminHCl (1.1 µM), ± Glucosa (56 mM), ± arang aktif (5 g/l.) ± : dengan atau tanpa penambahan 6.

Sebanyak 34 Embrio galur murni muda 11-18 jagung Brazil HSP (1.01.5 mm)

Induksi dan pemeliharaan kalus embriogenik: Garam N6 + 30 µM glycine + 15 µM thiamin-HCl + 7.5 µM nicotic acid + 7.5 µM pyridoxine + 550 µM inositol + 2.3 g/l gelrite + 3-6% sukrosa. Regenerasi: MS + 15 µM thiaminHCl + 7.5 µM nicotic acid + 7.5 µM pyridoxine + 550 µM inositol + 2.3 g/l gelrite + 2% sukrosa.

0-160µM 2.4-D, pCPA, dan picloram.

Inkubasi kalus dalam gelap dengan suhu: 28 ± 1oC Kelus disubkultur tiap 15 hari. Regenerasi diinkubasi di ruang terang 14/10 jam potoperiod cahaya/gelap

Perbedaan morfologi dan kemampuan Prioli dan regenerasi kalus ditemukan antara Da Silva galur. (1989) 6 % sukrosa pada rata-rata 5-10 % lebih efisien dibandingkan 3 % surkrosa untuk inisiasi kalus embriogenik yang kompak dan tidak tembus cahaya. Dicamba dan 2.4-D merupakan ZPT yang paling efektif untuk produksi somatik embrio dan regenerasi tanaman. Respon optimum berada pada konsentrasi ZPT 2.5 µM samapai 20µM. Konsentrasi media dengan 2.5 µM 2.4-D sangat baik untuk perkecambahan somatik embrio.

Efek genotipe dan media sangat signifikan dalam tiap musim

67

Konsentrasi 2.4-D (10 µM) memperlambat perkecambahan somatik embrio.

Lanjutan Lampiran 1 pertumbuhan. Kebutuhan konsentrasi 2.4-D dan sukrosa untuk mengoptimumkan induksi kalus mungkin berbeda untu genotipe-genotipe yang berbeda. 7.

Sebanyak 4 macam genotipe: 2 Galur murni S8 G1 (ArC1-94-3-33-1-2-1-3-x) dan G2 (Ar C1-178-13-1-1-4-2-2-x)

Embrio Indusi kalus embriogenik: MS + 2 mg/l muda (1- 3% sukrosa + 0.8% agar Bacto 2.4-D 1.5) diambil a) L-proline 6 mM 10 hari b) Arginin 1 mM setelah c) Mannitol 3% selfing d) Air kelapa 0%, 10%, 15%

Suhu: 28 ± Media terbaik untuk menginduksi Surjono H. 2oC kalus embriogenik adalah MS + 2 Sutjahjo, mg/l 2.4-D + 3% mannitol + air (1994) Photoperiode kelapa 15% 16 jam/hari diberikan cahaya Pendewasaan: MS + 6% sukrosa 0.5 mg/l dengan lampu TL 20 Regenerasi: MS + 100 mg/l casein BAP watt hydrolisat + 3% mannitol 0.1 mg/l NAA

1 hibrida silang tunggal (G1xG2) 1 varietas bersari bebas (arjuna) 8.

Sebanyak 3 galur murni (CML-161, CML-323, dan CML-327)

Embrio muda 14 hari setelah polinasi. Ukuran 1-2 mm

Induksi kalus embriogenik: Garam MS + Iron EDTA + Vit. B5 + 2% Sukrosa + 0.8 g/l Agarose + AgNO310 mg/l Media perkembangan: Garam MS + Iron EDTA + Vit. B5 + 6% sukrosa + 0.2% Gelrite

1 mg/l Suhu: 2.4-D 27oC

25-

Mengasilkan kalus tipe I dan tipe II

Kalus embriogenik jagung terjadi 16-23 jam dalm rentang 95-100 % photoperiod Pembentukan embrio somatik terjadi Subkultur 1-2 < 10% minggu

Embrio Induksi kalus embriogenik: 2.4-D Inkubasi muda 10-12 1. Garam MS + 3% sukrosa + 6 mg/l (0.5 dan kalus dengan hari setelah agar + beberapa konsentrasi L- 1 mg/l) suhu: 28 ± anthesis asparagin dan Thiamine. pH 5.7 1oC

Finer (1995)

68

9.

Hibrida A188xB73

Pada media N6 persentese kalus Shohael et embriogenik tertinggi sebesar 72.0 % al. (2003). dengan 2.3 g/l L-proline, 200 mg/l casein hydrolisat, dan 1.0 mg/l 2.4-D

Lanjutan Lampiran 1 2. Garam N6 + 3% sukrosa + 6 mg/l BA dan Selama agar + beberapa konsentrasi LKinetin hari proline dan casein hydrolisate pH (0.1 dan 5.7 0.5 mg/l) Regenerasi: MS dan N6 + 3% IAA sukrosa + 6 mg/l agar BA 0.5, dan mg/l) 10.

Media regenerasi tanaman terbaik adalah MS tanpa hormon.

dan (0, 1.0, 2.0

Sebanyak 10 Embrio Induksi kalus: MS + 3% sukrosa + galur murni G1- muda 1.0- 0.8% agar G10 1.5 mm Induksi kalus embriogenik: MS + sekitar 163% sukrosa + 0.8% agar + 20 HSS a) 2 ppm 2.4-D b) 2 ppm 2.4-D + 3% mannitol

2, 4, 6, 8, dan 10 ppm 2.4D

Kalus di inkubasi selama 1 minggu, kemudian skutelum yang tumbuh dipotong, dikulturkan kembali selama 2 minggu di media yang sama

Sebanyak lima Embrio galur murni muda yang jagung elit Indian tua (13-14 hari setelah (CM111, CM117,

1, 2, 3, 4 mg/l 2.4D dan Dicamba

Di inkubasi Frekuensi kalus tertinggi adalah pada Rakshit et dalam gelap media MS + 1 mg/l 2.4-D al. (2009) (24 jam) pada Frekuensi kalus organogenik tertinggi suhu 28oC. adalah pada media N6

Induksi kalus: N6 dan MS + 3% sukrosa + 2.303 g/l L-proline + 200 mg/l casein hydrolisat + 15 mg/l silver nitrat

Konsentrasi media tidak berpengaruh Aisyah et nyata terhadap bobot kalus. al. (2007) Media yang paling efektif untuk menginduksi kalus embriogenik adalah MS + 2 ppm 2.4-D + 3 % mannitol

69

11.

21 Pada media MS persentese kalus embriogenik tertinggi sebesar 68.66 % dengan 150 mg/l L-asparagin, 50 mg/l Thiamine dan 1.0 mg/l 2.4-D

Lanjutan Lampiran 1 CM124, CM125, polinasi) CM 300) dengan ukuran 1-2 mm

Setelah itu di transfer ke 16 jam photoperiode pada suhu 28oC.

Frekuensi kalus yang diinduksi pada media N6 + Dicamba memberikan hasil yang sama baiknya dengan N6 + 2.4-D Frekuensi kalus organogenik tertinggi adalah pada media N6 + 2 mg/l Dicamba. Media regenrasi yang menghasilkan tunas tertinggi adalah 1 mg/l BAP dan 0.5 mg/l IAA pada genotipe CM124 dan CM300 CM124, CM125, dan memberikan kalus terbaik.

12.

Dua galur murni jagung tropis (CML216 dan CML244), TL26 (asal Kenya), Jagung subtropis genotipe B104

Embrio muda 14-16 dan 12 hari setelah polinasi (11.5 mm)

Induksi kalus: LS, N6 dan MS + 0.3 1.5-2 Suhu 28oC % gelrite + 30-60 % sukrosa + L- ppm 2.4- dengan siklus proline + AgNO3+ Glycine + casein D 16 jam hydrolisat. pH 5.8 cahaya/ 8 jam gelap

CM300

Frekuensi induksi kalus dan embrio Anami et somatik yang membentuk planlet al. (2010) lebih tinggi ketia dikulturan dengan media LS dibandingkan dengan media N6

70

71

Lampiran 2. Komposisi Media Murashige dan Skoog. Stok

Bahan

A B C

NH4NO3 KNO3 KH2PO4 H3BO3 KI Na2MoO4.2 H2O CoCl2.6 H2O D CaCl2.2 H2O E MgSO4.7 H2O MnSO4.4 H2O ZnSO4.7 H2O CuSO4.5 H2O F FeSO4.7 H2O Na2EDTA G Myo-Inositol Vitamin Thiamin-HCl Niacin Pyridoxin-HCl Glycine Sumber : Gunawan (1992)

MS dalam Media (mg/l) 1 650 1 900 170 6.2 0.83 0.25 0.0025 440 370 22.3 8.6 0.025 27.8 37.3 100 0.1 0.5 0.5 2

Konsentrasi Larutan (mg/l) 82 500 95 000 34 000 1 240 166 50 5 88 000 74 000 4 450 1 720 5 2 780 3 730 10 000 10 50 50 200

Pemakaian per Liter Media (mg/l) 20 20 5

5 5

10 10 10

Lampiran 3. Komposisi Media Chu (N6) Micro Element FeNaEDTA H3BO3 KI MnSO4.4 H2O ZnSO4.7 H2O Macro element CaCl2.2 H2O KH2PO4 KNO3 MgSO4 (NH4)2SO4 Vitamin Glycine Thiamin HCl Phyridoxin HCl Nicotinic acid Sumber: Katalog Ducefa, 2006-2008

mg/l 36.70 1.60 0.80 33.33 1.50 mg/l 125.33 400.00 2830.00 90.27 463.00

µM 100.00 25.88 4.81 19.70 5.22 mM 1.13 2.94 27.99 0.75 3.50

mg/l 2.00 1.00 0.50 0.50

µM 554.94 1.19 2.43 4.60

72

Lampiran 4. Embrio yang dihasilkan dari Dua Genotipe Mutan Jagung (a) Ukuran Embrio G8M7 dengan Umur 12-13 HSS; (b) Ukuran Embrio G3M7 dengan Umur 14 HSS

G8M7 12 dan 13 HSS

G3M7 14 HSS

a

b

Lampiran 5. Sidik Ragam Persentase Eksplan Membentuk Kalus (Percobaan 1) Tipe III Derajat Kuadrat FSumber Keragaman Jumlah Bebas Tengah Hitung Kuadrat Genotipe (G) 1 0.00085695 0.00085695 0.71 Ukuran Eksplan (E) 1 0.00066387 0.00066387 0.55 G*E 1 0.00122444 0.00122444 1.01 Media (M) 5 0.00431342 0.00086268 0.71 G*M 5 0.00431342 0.00086268 0.71 E*M 5 0.00450004 0.00090001 0.74 G*E*M 5 0.00450004 0.00090001 0.74 Ulangan 15 0.01430179 0.00095345 0.79 Galat 251 0.30433355 0.00121248 Total Terkoreksi 289 0.34196249

1 HST

Pr>F 0.4013 0.46 0.3159 0.6153 0.6153 0.5924 0.5924 0.6924

Lampiran 6. Sidik Ragam Persentase Eksplan Membentuk Kalus 2 HST (Percobaan 1) Tipe III Derajat Kuadrat FSumber Keragaman Jumlah Pr>F Bebas Tengah Hitung Kuadrat Genotipe (G) 1 0.03090183 0.03090183 4.3 0.0392 Ukuran Eksplan (E) 1 0.04546544 0.04546544 6.32 0.0125 G*E 1 0.05220587 0.05220587 7.26 0.0075 Media (M) 5 0.0851331 0.01702662 2.37 0.0401 G*M 5 0.10211113 0.02042223 2.84 0.0163 E*M 5 0.08430308 0.01686062 2.34 0.0419 G*E*M 5 0.1027467 0.02054934 2.86 0.0157 Ulangan 15 0.1208556 0.00805704 1.12 0.338 Galat 250 1.7975072 0.00719003 Total Terkoreksi 288 2.47454736

73

Lampiran 7. Sidik Ragam Persentase Eksplan Membentuk Kalus 3 HST (Percobaan 1) Sumber Keragaman

Derajat Bebas

Genotipe (G) Ukuran Eksplan (E) G*E Media (M) G*M E*M G*E*M Ulangan Galat Total Terkoreksi

1 1 1 5 5 5 5 15 250 288

Tipe III Jumlah Kuadrat 0.3596663 3.13413978 0.11226733 1.19357529 0.31786714 0.23244772 0.02024071 1.08334144 10.80190409 17.96830421

Kuadrat Tengah 0.3596663 3.13413978 0.11226733 0.23871506 0.06357343 0.04648954 0.00404814 0.07222276 0.04320762

FHitung 8.32 72.54 2.6 5.52 1.47 1.08 0.09 1.67

Pr>F 0.0043 <.0001 0.1082 <.0001 0.1997 0.3742 0.9932 0.057

Lampiran 8. Sidik Ragam Persentase Eksplan Membentuk Kalus 4 HST (Percobaan 1) Sumber Keragaman

Derajat Bebas

Genotipe (G) Ukuran Eksplan (E) G*E Media (M) G*M E*M G*E*M Ulangan Galat Total Terkoreksi

1 1 1 5 5 5 5 15 250 288

Tipe III Jumlah Kuadrat 1.81038547 6.63978201 0.19317906 2.71639119 0.25928008 0.54635536 0.18184328 2.14283536 21.7258365 37.81896681

Kuadrat Tengah 1.81038547 6.63978201 0.19317906 0.54327824 0.05185602 0.10927107 0.03636866 0.14285569 0.08690335

FHitung 20.83 76.4 2.22 6.25 0.6 1.26 0.42 1.64

Pr>F <.0001 <.0001 0.1372 <.0001 0.7025 0.283 0.8357 0.0631

Lampiran 9. Sidik Ragam Persentase Eksplan Membentuk Kalus 5 HST (Percobaan 1) Sumber Keragaman

Derajat Bebas

Genotipe (G) Ukuran Eksplan (E) G*E Media (M)

1 1 1 5

Tipe III Jumlah Kuadrat 2.17505227 7.58924691 0.35440918 3.14116469

Kuadrat Tengah 2.17505227 7.58924691 0.35440918 0.62823294

FHitung 20.07 70.04 3.27 5.8

Pr>F <.0001 <.0001 0.0717 <.0001

74

G*M E*M G*E*M Ulangan Galat Total Terkoreksi

5 5 5 15 250 288

0.18186046 0.98509301 0.52301156 2.86780393 27.08948829 46.43203409

0.03637209 0.1970186 0.10460231 0.19118693 0.10835795

0.34 1.82 0.97 1.76

0.8911 0.1097 0.4396 0.0402

Lampiran 10. Sidik Ragam Persentase Eksplan Membentuk Kalus 6 HST (Percobaan 1) Sumber Keragaman

Derajat Bebas

Genotipe (G) Ukuran Eksplan (E) G*E Media (M) G*M E*M G*E*M Ulangan Galat Total Terkoreksi

1 1 1 5 5 5 5 15 249 287

Tipe III Jumlah Kuadrat 3.05315284 3.49521816 0.21372329 2.17141656 0.21089825 0.6226686 0.27491075 4.96642918 26.25287719 42.36094923

Kuadrat Tengah 3.05315284 3.49521816 0.21372329 0.43428331 0.04217965 0.12453372 0.05498215 0.33109528 0.10543324

FHitung 28.96 33.15 2.03 4.12 0.4 1.18 0.52 3.14

Pr>F <.0001 <.0001 0.1558 0.0013 0.8486 0.3189 0.7599 0.0001

Lampiran 11. Sidik Ragam Persentase Eksplan Membentuk Kalus 7 HST (Percobaan 1) Sumber Keragaman

Derajat Bebas

Genotipe (G) Ukuran Eksplan (E) G*E Media (M) G*M E*M G*E*M Ulangan Galat Total Terkoreksi

1 1 1 5 5 5 5 15 249 287

Tipe III Jumlah Kuadrat 4.96348192 2.03459946 0.32392499 1.54093178 0.38361843 0.64209665 0.25398349 5.62762333 24.00482991 40.81313191

Kuadrat Tengah 4.96348192 2.03459946 0.32392499 0.30818636 0.07672369 0.12841933 0.0507967 0.37517489 0.09640494

FHitung 51.49 21.1 3.36 3.2 0.8 1.33 0.53 3.89

Pr>F <.0001 <.0001 0.068 0.0081 0.5535 0.2511 0.7558 <.0001

75

Lampiran 12. Sidik Ragam Respon Pemanjangan Koleoptil (Percobaan 1)

Sumber Keragaman

Derajat Bebas

Genotipe (G) Ukuran Eksplan (E) G*E Media (M) G*M E*M G*E*M Kelompok Galat Total Terkoreksi

1 1 1 5 5 5 5 14 235 272

Tipe III Jumlah Kuadrat 191.47 4048.46 628.97 3544.90 2777.43 1500.70 3583.16 6996.37 79044.76 102876.56

Kuadrat Tengah 191.468 4048.46 628.967 708.979 555.486 300.14 716.631 499.741 336.361

FHitung 0.57 12.04 1.87 1.87 1.65 0.89 2.13 1.49

Pr>F 0.4513 0.0006 0.1728 0.0653 0.1473 0.4869 0.0626 0.1171

Lampiran 13. Sidik Ragam Respon Pembentukan Akar (Percobaan 1) Sumber Keragaman

Derajat Bebas

Genotipe (G) Ukuran Eksplan (E) G*E Media (M) G*M E*M G*E*M Kelompok Galat Total Terkoreksi

1 1 1 5 5 5 5 14 237 274

Tipe III Jumlah Kuadrat 1805.12 339.57 390.93 4964.10 996.01 1149.67 139.25 2122.73 34533.46 46242.18

Kuadrat Tengah 1805.12 339.571 390.933 992.82 199.201 229.935 27.8495 151.623 145.711

FHitung 12.39 2.33 2.68 6.81 1.37 1.58 0.19 1.04

Pr>F 0.0005 0.1282 0.1028 <.0001 0.2374 0.167 0.9657 0.4137

Lampiran 14. Sidik Ragam Respon Pembentukan Kalus Lembut (Percobaan 1) Sumber Keragaman

Derajat Bebas

Genotipe (G) Ukuran Eksplan (E) G*E Media (M)

1 1 1 5

Tipe III Jumlah Kuadrat 35799.81 14854.75 2114.04 10240.34

Kuadrat Tengah 35799.8 14854.8 2114.04 2048.07

FHitung 52.43 21.75 3.10 3.00

Pr>F <.0001 <.0001 0.0797 0.012

76

G*M E*M G*E*M Kelompok Galat Total Terkoreksi

5 5 5 15 249 287

2144.48 4465.49 1695.05 35949.34 170030.51 285371.88

428.896 893.099 339.009 2396.62 682.853

0.63 1.31 0.50 3.51

0.6785 0.2611 0.7788 <.0001

Lampiran 15. Sidik Ragam Respon Pembentukan Kalus Kompak (Percobaan 1) Sumber Keragaman

Derajat Bebas

Genotipe (G) Ukuran Eksplan (E) G*E Media (M) G*M E*M G*E*M Kelompok Galat Total Terkoreksi

1 1 1 5 5 5 5 14 237 274

Tipe III Jumlah Kuadrat 4757.30 671.89 4.33 43239.70 8795.68 6845.69 3738.13 28884.58 175507.44 274844.909

Kuadrat Tengah

FHitung

4757.3 671.892 4.32519 8647.94 1759.14 1369.14 747.626 2063.18 740.538

Pr>F

6.42 0.91 0.01 11.68 2.38 1.85 1.01 2.79

0.0119 0.3418 0.9391 <.0001 0.0397 0.1042 0.4127 0.0007

FHitung

Pr>F

Lampiran 16. Sidik Ragam Bobot Kalus 2-3 MST (Percobaan 1) Sumber Keragaman

Derajat Bebas

Genotipe (G) Ukuran Eksplan (E) G*E Media (M) G*M E*M G*E*M Ulangan Galat Total Terkoreksi

1 1 1 5 5 5 5 14 268 306

Tipe III Jumlah Kuadrat 0.00462266 0.1793207 0.07824864 0.32674821 0.01252411 0.02006939 0.01228818 0.0785543 0.73232197 1.42960747

Kuadrat Tengah 0.00462266 0.00462266 0.07824864 0.06534964 0.00250482 0.00401388 0.00245764 0.00523695 0.00273254

1.69 65.62 28.62 23.92 0.92 1.47 0.9 1.92

0.1945 <.0001 <.0001 <.0001 0.4706 0.2002 0.482 0.0218

77

Lampiran 17. Sidik Ragam Kalus Kompak (Percobaan 1) Sumber Keragaman

Derajat Bebas

Genotipe (G) Ukuran Eksplan (E) G*E Media (M) G*M E*M G*E*M Ulangan Galat Total Terkoreksi

1 1 1 5 5 5 5 14 178 215

Tipe III Jumlah Kuadrat 0.03741604 0.22352032 0.30811501 10.63577904 1.39060002 0.67472304 1.88652146 3.25316101 28.87386733 46.96940216

Kuadrat Tengah

FHitung

0.03741604 0.22352032 0.30811501 2.12715581 0.27812 0.13494461 0.37730429 0.23236864 0.16221274

0.23 1.38 1.9 13.11 1.71 0.83 2.33 1.43

Pr>F 0.6316 0.242 0.1699 <.0001 0.1335 0.5286 0.0447 0.1421

Lampiran 18. Sidik Ragam Bobot Kalus 2 MST (Percobaan 2) Sumber Keragaman Media (M) Ulangan Galat Total Terkoreksi

Derajat Bebas 2 20 16 38

Tipe III Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah 0.08574041 0.0428702 0.07163461 0.00358173 0.11671069 0.00729442 0.27608066

FHitung 5.88 0.49

Pr>F 0.0122 0.9333

Lampiran 19. Sidik Ragam Diameter Kalus 2 MST (Percobaan 2) Sumber Keragaman Media (M) Ulangan Galat Total Terkoreksi

Derajat Tipe III Jumlah Bebas Kuadrat 2 0.15130261 17 0.05932372 17 0.15303823 36 0.37127236

Kuadrat Tengah 0.00890015 0.02966186 0.00900225

FHitung 0.99 3.29

Pr>F 3.29 0.0618