INKULTURASI BUDAYA JAWA DAN AJARAN KRISTEN PADA

Download Penelitian ini mengkaji hubungan antara inkulturasi budaya Jawa dengan kekristenan pada komunitas gereja GKJW di Surabaya, Jawa Timur. Pene...

0 downloads 495 Views 799KB Size
Pudjio Santoso, “Inkulturasi Budaya Jawa dan Ajaran Kristen Pada Komunitas Jemaat GKJW di Kota Surabaya” hal. 85-104.

Inkulturasi Budaya Jawa dan Ajaran Kristen Pada Komunitas Jemaat GKJW d Kota Surabayai Pudjio Santoso [email protected] (Antropologi FISIP- Universitas Airlangga, Surabaya) Abstract This study examined the relation between the inculturation of Javanese culture and Christianity in the community of GKJW Church in Surabaya, East Java. This study was done with the purpose to understand how Javanese culture in the perspective of historical development and present condition become the identity of the church community. In addition, this study also examined the perception of pastors and church members toward the inculturation that occurred in the community which made the existence of GKJW church still hold up until today even in the urban society. Qualitative method was used in this study, with in-depth interviews to 8 subject informants which consisted of both pastors and church members. In the interviewing process, researcher showed pictures of GKJW logos and photos of unduh-unduh ritual ceremony to the informant for them to retell the pictures and photos according to their own knowledge and understanding. Observational method also used in which researcher observed thanksgiving ritual ceremony called unduh-unduh. The result of this study revealed that this community able to survive even in the urban society because of solidarity and active participation which were built starting from the church services to family groups services. Javanese culture has become the social identity of church members as well as the most appropriate Gospel evangelism tool in the society with solid local culture. Nevertheless, when the culture started to melt away, it is time for a change. This study also concludes that all kind of rules, manners, and symbols of the church have been integrated and patterned within every member of the church so that those things were not considered as something that existed outside of their self anymore. Keywords: Inculturation, Javanese Culture, Protestant Church, GKJW, East Java.

Abstrak Penelitian ini mengkaji hubungan antara inkulturasi budaya Jawa dengan kekristenan pada komunitas gereja GKJW di Surabaya, Jawa Timur. Penelitian dilakukan untuk melihat bagaimana budaya Jawa dalam perspektif sejarah perkembangan dan kondisi saat ini menjadi identitas dari komunitas Gereja tsb. Di samping itu penelitian ini juga mengkaji pemahaman pendeta dan anggota jemaat terhadap inkulturasi yang terjadi dalam komunitas tersebut, sehingga eksistensi gereja GKJW masih tetap terpelihara hingga saat ini bahkan di perkotaan. Metode kualitatif dipergunakan melalui wawancara mendalam terhadap 8 informan subyek baik itu pendeta maupun anggota jemaat. Di dalam proses wawancara, peneliti juga menunjukkan gambar logo GKJW dan foto-foto kegiatan upacara ritual unduh-unduh kepada informan untuk menceriterakan kembali isi foto tersebut sesuai dengan pengetahuan dan pemahamannya. Di samping itu metode pengamatan terhadap aktivitas upacara ucapan syukur yang disebut dengan unduh-unduh. Hasil penelitian yang diperoleh adalah bahwa komunitas ini dapat terus berlangsung bahkan di wilayah perkotaan karena solidaritas dan partisipasi aktif yang dibangun mulai dari ibadah di gereja hingga ibadah di kelompok-kelompok Rumahtangga. Budaya Jawa menjadi identitas sosial warga gereja sekaligus alat pekabaran Injil yang paling tepat di masyarakat yang masih kental dengan budaya lokal, namun ketika budaya tersebut mulai “cair” maka saatnya perubahan dilakukan. Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa segala aturan, tata cara dan simbol-simbol gereja telah menyatu dan terpola dalam diri setiap anggota jemaat hingga hal itu tidak lagi dilihat sebagai sesuatu yang ada di luar dirinya. Kata Kunci: Inkulturasi, Budaya Jawa, Gereja Protestan, GKJW, Jawa Timur.

BioKultur, Vol.II/No.1/Januari-Juni 2013, hal. 85

Pudjio Santoso, “Inkulturasi Budaya Jawa dan Ajaran Kristen Pada Komunitas Jemaat GKJW di Kota Surabaya” hal. 85-104.

M memiliki

asuknya ajaran keKristenan

dianut oleh orang-orang Jawa yang

(Protestan)

Indonesia,

menjadi Kristen namun tetap tidak

khususnya di pulau Jawa

meninggalkan budaya Jawa. Inilah yang

keunikan,

di

sebab

meskipun

kemudian

dikenal

dengan

nama

terdapat kesan bahwa kolonial Belanda

Inkulturasi (sebuah konsep yang pada

bukan saja masuk ke Indonesia untuk

awalnya digunakan secara khusus dan

menjajah ekonomi dan perdagangan,

khas di kalangan Katolik).

namun juga paham keagamaan. Namun

Beberapa tulisan tentang inkul-

berdasarkan sejarah yang ada (Guillot,

turasi budaya kebanyakan membahas

1985; Herwanto, 2002; Lombard, 2005;

pada komunitas Katolik, baik di Jawa

Rachmadi, 1997) sesungguhnya kolonial

maupun luar Jawa. Hans J. Daeng (1989)

Belanda, baik pada waktu VOC maupun

misalnya,

pemerintah Hindia-Belanda tidak pernah

tradisional yang ada di masyarakat

mengijinkan misi penyebaran agama

Manggarai dan Ngada Flores masih tetap

Kristen karena mereka khawatir hal ini

dipertahankan dan bersatupadu dengan

justru

ajaran Katolik. Berkembangnya ajaran

akan

menyebabkan

pembe-

rontakan dari masyarakat Indonesia.

melihat

bahwa

agama

Katolik di kedua wilayah tersebut tidak

Agama Kristen di pulau Jawa baru

serta merta menghilangkan agama-agama

dikenal dan kemudian berkembang sejak

tradisional yang sebelumnya telah ada.

awal abad ke 19 melalui jasa orang-orang

Demikian

peranakan Belanda, yang sama sekali

sebelumnya

awam (bukan kalangan teolog atau

tradisional tidak langsung membuang

pendeta), serta beberapa orang Jawa yang

kepercayaan

gemar ngelmu (mencari pengetahuan

beralih ke agama Katolik. Demikian pula

hakiki tentang Tuhan). Akibatnya timbul

dengan

dualisme

agama

inkulturasi budaya Jawa dalam gereja

yang

Katolik di Yogyakarta dan Surakarta

Kristen,

pengajaran antara

tentang mereka

mengutamakan Kristen model Eropa (Belanda)

dan

Kristen

model

dengan

pula telah

masyarakat

yang

menganut

agama

tradisionalnya

Mathias

paparan

Supriyono

deskriptif

itu

dan

melihat

tentang

Jawa

(sangat dipengaruhi oleh budaya Jawa). Dualisme

ini

terus

terjadi

hingga

memberikan corak kekristenan yang BioKultur, Vol.II/No.1/Januari-Juni 2013, hal. 86

Pudjio Santoso, “Inkulturasi Budaya Jawa dan Ajaran Kristen Pada Komunitas Jemaat GKJW di Kota Surabaya” hal. 85-104.

prosesi

dan

perayaan

Ekaristi1

menggunakan tari-tarian Jawa. Nilai-nilai

tumbuh dan berkembang dari wilayah pedesaan, tak terkecuali Gereja Kristen

kekristenan

berpadu dengan budaya Jawa

yang

Jawi Wetan (GKJW). GKJW tumbuh dan

yang

berkembang

dari

wilayah

pedesaan

semula tumbuh dan berkembang di

Mojowarno2 (berjarak 15 km dari kota

daerah pedesaan atau agraris, ternyata

Jombang, Jawa Timur). GKJW Mojowarno

masih

daerah

sangat kental pengaruh budaya Jawa

perkotaan seperti Surabaya dan bahkan

dalam aktivitas peribadatan, bukan saja

cukup banyak jumlahnya. Di wilayah Jawa

bahasa yang digunakan dalam kotbah,

Timur

ini

melainkan juga kitab suci menggunakan

menamakan dirinya sebagai Greja Kristen

bahasa Jawa. Demikian pula dengan

Jawi Wetan (GKJW). Mereka tersebar di

nyanyian yang dilantunkan, tari-tarian

sejumlah wilayah baik perkotaan maupun

serta tradisi petani dalam beberapa

pedesaan, mulai Ngawi di perbatasan

upacara keagamaan, misalnya upacara

Jawa Timur dan Jawa Tengah hingga

ucapan syukur yang dikenal dengan

Banyuwangi di ujung timur pulau Jawa.

sebutan unduh-unduh. Dalam perayaan

Saat ini warga GKJW yang ada di wilayah

unduh-unduh,

Jawa

diwujudkan dalam bentuk uang saja,

mampu

bertahan

komunitas

Timur

kurang

lebih

di

Kristen

diperkirakan 150.000

Jawa

berjumlah jiwa

ucapan

syukur

tidak

yang

melainkan juga natura hasil bumi seperti

terhimpun dalam 152 jemaat (gereja),

padi, jagung, buah-buahan dan hewan

dan di kota Surabaya terdapat 9 gereja..

ternak. Seiring perjalanan waktu GKJW

Dalam sejarah keagamaan Kristen

tumbuh dan berkembang ke berbagai

Protestan di Indonesia memang tidak

daerah

dapat

seperti Surabaya.

antara kolonial

dilepaskan

dari

pergumulan”

budaya lokal dengan budaya Belanda.

termasuk

wilayah

perkotaan

Di wilayah perkotaan, GKJW masih

Banyak

tetap menampilkan ciri khas budaya Jawa

kelompok/persekutuan Kristen Protestan

baik dalam bentuk bangunan, bahasa yang digunakan, alat musik gamelan

1

Merupakan istilah yang berasal dari kata ‘eucharistein‘ yang artinya ucapan terima kasih kepada Allah. Bentuk perayaan Ekaristi adalah perayaan perjamuan kudus seperti yang pernah dilakukan oleh Kristus bersama para muridmuridNya. Perayaan perjamuan Kudus pada saat ini ditandai dengan makan roti tak beragi dan minum anggur sebagai perlambang tubuh dan darah Kristus.

2

Adapula yang menyebut awal Kekristenan di Jawa Timur tidak terlepas dari peran tokoh Belanda yang bernama C.J. Coolen yang saat itu diberi tugas membuka sebuah hutan di wilayah Ngoro, Jombang dan menjadikan wilayah tersebut sebagai wilayah pemukiman baru, sekaligus menjadi awal terbentuknya Kristen Jawa pertamakali. BioKultur, Vol.II/No.1/Januari-Juni 2013, hal. 87

Pudjio Santoso, “Inkulturasi Budaya Jawa dan Ajaran Kristen Pada Komunitas Jemaat GKJW di Kota Surabaya” hal. 85-104.

untuk

acara-acara

tertentu

maupun

yang memiliki budaya Jawa yang sangat

ibadah ucapan syukur yang bernuansa

“cair” serta persaingan antar gereja yang

Jawa yang disebut dengan unduh-unduh,

ada. Berbeda dengan kondisi perdesaan

juga pada saat perayaan Paskah dan Natal

yang masih memegang kuat tradisi

juga tidak jarang menggunakan wayang

budaya Jawa, masyarakat kota seperti

sebagai media penyampai pesan. Dalam

Surabaya ini sudah demikian longgar

ibadah mingguan di GKJW Pasamuan

keterikatannya

Surabaya yang berlangsung sebanyak 5

(apakah karena terjadinya kawin campur

kali, 1 kali ibadah menggunakan bahasa

antar etnis ataupun pergaulan dengan

Jawa mulai dari nyanyian, kitab suci

berbagai macam manusia dengan latar

maupun kotbah. Di samping itu dalam

belakang budaya yang berbeda). Di

jam ibadah yang lainnya tidak jarang

samping

diselingi

Jawa,

Surabaya ini makin banyak bermunculan

nyanyian rohani Jawa. Dalam perayaan

gereja-gereja dengan bermacam aliran

unduh-unduh atau disebut juga dengan

yang sangat universal (tidak terkait sama

ucapan syukur, setidaknya sekali dalam

sekali dengan budaya lokal yang ada di

setahun

Indonesia).

penggunaan

(biasanya

bahasa

dalam

setahun

itu

dengan

di

budaya

perkotaan

Jawa

seperti

berlangsung 2 kali) selain gereja dihias

Paparan ini akan lebih mengacu

dengan hiasan bernuansa pedesaan Jawa

pada inkulturasi Kekristenan dengan

seperti janur dan pohon pisang, juga

budaya Jawa, khususnya yang terjadi

terdapat

tidak

pada gereja GKJW (Greja Kristen Jawi

harus berwujud uang, melainkan bisa

Wetan) yang ada di kota Surabaya.

berupa hasil panenan dan hewan ternak.

Perjumpaan

Memang saat ini persembahan

berupa

budaya Jawa telah ada sejak awal abad

natura sudah tidak populer lagi karena

19, dan bukan sebagai upaya dari

memang lingkungan geografisnya sudah

pemerintah kolonial Belanda, namun

tidak mendukung lagi, namun masih tetap

pengaruh beberapa orang peranakan

diadakan dan dijadwal pada jam ibadah

Belanda yang bekerja di perkebunan di

tertentu.

tanah jawa dan juga adanya beberapa

persembahan

Inkulturasi

khusus

kekristenan

ajaran

Kristen

dengan

dengan

tokoh orang Jawa yang gemar mencari

budaya Jawa ini menjadi menarik untuk

ngelmu. Beberapa tradisi yang dahulu

dibahas dalam konteks masyarakat Kota

dipakai sebagai bentuk upacara ritual,

BioKultur, Vol.II/No.1/Januari-Juni 2013, hal. 88

Pudjio Santoso, “Inkulturasi Budaya Jawa dan Ajaran Kristen Pada Komunitas Jemaat GKJW di Kota Surabaya” hal. 85-104.

yakni unduh-unduh dan wayang hingga

(1988:134) mengatakan ada lebih dari

saat ini masih dipakai sebagai bagian

300 definisi tentang budaya. Menurut

ritual dalam peristiwa tertentu di GKJW.

Tylor

Demikian

(1988:134) mengatakan bahwa “budaya

pula

ornamen

bangunan,

yang

dikutip

dari

pakaian dan bahasa yang mencerminkan

merupakan

nilai budaya Jawa masih tetap mewarnai

yang

suasana bergereja di GKJW. Secara lebih

kepercayaan, seni, moral, hukum, adat

khusus pembahasan dalam tulisan ini

istiadat, serta segala kemampuan serta

mengenai inkulturasi yang terjadi pada

kebiasaan yang dimiliki manusia sebagai

masyarakat kota seperti Surabaya untuk

anggota masyarakat”. Sedangkan Kroeber

mengungkap bagaimana sesungguhnya

dan Kluckhohn seperti yang dikutip dari

gereja dan juga jemaat GKJW dalam

Poerwanto (2000: 52-53) mengatakan

mengkonstruksi nilai-nilai ajaran Kristen

kebudayaan adalah

dan budaya Jawa pada anggota jemaat GKJW serta “calon” jemaat GKJW sehingga mereka mau dan bersedia menjadi bagian dari komunitas tersebut dengan segala atribut

nilai

budaya

yang

menjadi

identitas mereka.

keseluruhan

Luzbetak

terdiri

dari

mengatakan

Sebelum menjelaskan lebih jauh

pengetahuan,

“keseluruhan pola tingkah alku dan pola bertingkah laku, baik eksplisit maupun implisit, yang diperoleh dan diturunkan melalui simbol, yang akhirnya mampu membentuk sesuatu yang khas dari kelompokkelompok manusia, termasuk perwujudannya dalam benda-benda materi”.

Selanjutnya Inkulturasi Budaya Jawa

kompleksitas

Kluckhohn

bahwa

dalam

juga setiap

kebudayaan senantiasa terdapat unsur-

mengenai inkulturasi, terlebih dahulu

unsur

dikemukakan tentang konsep budaya,

universal, yang artinya ada dalam setiap

sebab inkulturasi sebagai sebuah proses

kebudayaan manusia di seluruh dunia.

menghadirkan

Unsur-unsur

ajaran

dan

“budaya”

kebudayaan

yang

kebudayaan

bersifat

universal

Kristen ke dalam masyarakat yang telah

tersebut

terlebih dahulu memiliki latar belakang

organisasi

budaya dan sistem kepercayaan sendiri.

pencaharian hidup, sistem teknologi,

Konsep budaya memiliki spektrum

meliputi

bahasa,

sistem

sosial,

sistem

mata

sistem pengetahuan, kesenian, dan religi.

yang sangat luas, bahkan Kroeber dan

Setiap

unsur

budaya

universal

itu

Kluckhohn yang dikutip dari Luzbetak

mengandung tiga wujud kebudayaan,

BioKultur, Vol.II/No.1/Januari-Juni 2013, hal. 89

Pudjio Santoso, “Inkulturasi Budaya Jawa dan Ajaran Kristen Pada Komunitas Jemaat GKJW di Kota Surabaya” hal. 85-104.

yakni sistem budaya (gagasan), sistem

membantu

sosial (tindakan), dan artefak (benda-

pemeluknya (Supriyanto, 2002: 1-2).

benda).

iman

para

Sekalipun sudah sejak tahun 1962

Definisi kebudayaan yang lebih abstrak

penghayatan

dikemukakan

C.Geertz

namun baru pada tahun 1974 istilah

(1973), yakni bahwa budaya adalah

tersebut banyak digunakan (Calves, 1986:

sistem simbol. Oleh karenanya maka

260). Menurut Hans

kebudayaan

Inkulturasi merujuk pada suatu proses di

melalui

hanya

oleh

dicetuskan gagasan tentang inkulturasi,

bisa

pemaknaan,

dimengerti dan

Daeng (1989),

untuk

dalamnya komunitas gerejani menghayati

memahami makna dari suatu kebudayaan

iman dan pengalamannya dalam konteks

maka seseorang harus dapat menafsirkan

budaya setempat. Sementara itu menurut

simbol-simbol yang dipergunakan oleh

Calves (1986: 263), inkulturasi adalah :

seseorang. Inkulturasi

sesungguhnya

merupakan

konsep

digunakan

gereja

yang

khusus

Katolik

untuk

menggambarkan sebuah upaya gereja dalam

membangun

hubungan

yang

harmonis dengan budaya lokal. Konsep

“usaha untuk menghadirkan berita dan nilai-nilai Injil dalam bentuk dan cara yang sesuai dengan setiap kebudayaan, sehingga iman dan hidup Kristen dari setiap Gereja lokal dapat diintegrasikan sedalam dan seintim mungkin ke dalam pranata budaya yang sudah ditentukan”.

Oleh sebab itu Inkulturasi bukan

Inkulturasi muncul sejak Konsili Vatikan

sekedar

adaptasi

II (1962-1965). Bagi umat Katolik di

budaya,

sebab

Indonesia, kesempatan ini dimanfaatkan

sinkretisme

sebaik-baiknya

menyebarkan

penyangkalan terhadap Injil. Adaptasi

ajaran Katolik pada masyarakat yang

yang dilakukan bisa saja menyesuaikan

masih

adat

ajaran Kristen dengan sistem nilai yang

istiadat dan budaya lokal. Perpaduan

terdapat dalam budaya lokal, dan ini yang

antara

meliputi

ditolak oleh pencetus gagasan inkulturasi.

bahasa, musik, tari, seni rupa dan sistem

Seharusnya yang terjadi menurut mereka

nilai budaya dengan ajaran Kristen yang

adalah

condong pada budaya Eropa dianggap

menyesuaikan sistem nilai budaya lokal

lebih

dengan ajaran Injil.

sangat budaya

mudah

simbol-simbol

untuk kuat

memegang

lokal,

yang

dipahami. budaya

Penggunaan lokal

atau

penyesuaian

adaptasi dapat

mencari

dan

ataupun merupakan

jika

perlu

sangat

BioKultur, Vol.II/No.1/Januari-Juni 2013, hal. 90

Pudjio Santoso, “Inkulturasi Budaya Jawa dan Ajaran Kristen Pada Komunitas Jemaat GKJW di Kota Surabaya” hal. 85-104.

Inkulturasi adalah sebuah upaya

lokal sebagai bagian dari penyebaran

“kompromis” untuk menyebarkan ajaran

ajaran Kristen. Elemen-elemen budaya

Kristen

lokal

ke

berbagai

wilayah

yang

atau

kepercayaan

lokal

dapat

memiliki keragaman budaya. Namun

menjadi jembatan bagi penyebaran ajaran

acapkali

Kristen.

yang menjadi

kekhawatiran

pejabat Gereja adalah mengakomodir

Beberapa

konsep

yang

sering

budaya lokal yang sembarangan akan

diperdebatkan dengan inkulturasi adalah

menciptakan aliran agama baru yang

indigenisasi

bersifat sinkretisme. Secara hakiki ajaran

Menurut Costa (1988: xii) inkulturasi dan

Kristen adalah satu dan universal. Oleh

indigenisasi

karena itu melalui inkulturasi tidak boleh

Injil yang fokus pada menerjemahkan

ada

dan

atau menginterpretasikan teks Injil sesuai

bertentangan antara satu gereja dengan

dengan kebudayaan lokal yang ada.

gereja lain karena pengaruh budaya lokal

Namun konsep indigenisasi sudah jarang

(Sinaga, TT:54).

digunakan daripada inkulturasi.

pemahaman

Paus

yang

adalah metode pekabaran

Konsep inkulturasi dianggap lebih

suatu

spesifik agama, dalam hal ini Katolik,

situaasi yang dilematis antara dua garis

maka orang lebih senang menggunakan

ekstrem, yakni anjuran untuk melakukan

konsep kontekstualisasi. Banawiratma

inkulturasi di satu sisi dapat berakibat

yang dikutip dari Supriyanto (2002: 22)

pada

lebih

sendiri

umat

kontekstualisasi.

Katolik

sedunia)

(pemimpin

muncul

dan

mengalami

pengaburan

iman

bahkan

setuju

menggunakan

sinkretisme, dan di sisi yang lain apabila

kontekstualisasi

ajaran Kristen yang bercorak Eropa itu

Alasannya adalah di luar gereja konsep

diterapkan

tanpa

tersebut

mempertimbangkan budaya lokal, akan

menjadi

membawa pengaruh yang buruk dan

mempersulit dialog dengan orang-orang

merugikan dalam penyebaran agama

di

begitu

saja

luar

tidak tidak gereja.

daripada

konsep

inkulturasi.

digunakan3

sehingga

komunikatif Selain

itu

dan konsep

Kristen (Sinaga, TT: 68). Sementara itu Luzbetak (1988: 6770) melihat inkulturasi dan juga inkarnasi sebagai bagian dari proses akomodasi, yakni penggunaan unsur-unsur budaya

3

Dalam antropologi lebih sering digunakan konsep akulturasi, yakni suatu proses sosial yang timbul manakala suatu kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur dari suatu kebudayaan asing. Kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaannya sendiri tanpa menyebabkan hilangnya unsur kebudayaan kelompok itu sendiri. BioKultur, Vol.II/No.1/Januari-Juni 2013, hal. 91

Pudjio Santoso, “Inkulturasi Budaya Jawa dan Ajaran Kristen Pada Komunitas Jemaat GKJW di Kota Surabaya” hal. 85-104.

kontekstualisasi

secara

eksplisit

Berbagai definisi inkulturasi di atas

mempunyai cakupan yang lebih luas dan

sesungguhnya menggambarkan bahwa

dapat dipakai bukan saja menyangkut

penyebaran agama Kristen yang terpusat

budaya, melainkan juga ekonomi, politik

pada

dan seluruh pengalaman hidup manusia.

mengakomodir nilai-nilai budaya lokal.

Subandrijo

(2009:

98-100)

Atau

kebenaran dengan

kata

Injil lain

harus

menemukan

memberikan definisi yang lebih konkrit

kesamaan nilai-nilai budaya lokal yang

mengenai kontekstualisasi. Menurutnya

sesuai dengan ajaran Kristen. Selain itu

ada dua bentuk yang berbeda antara

apabila ada nilai-nilai budaya lokal yang

Konstekstualisasi Teologi dan Teologi

tidak sesuai dengan ajaran Kristen, maka

Kontekstual.

Kontekstualisasi

Teologi

dilakukan penyesuaian agar nilai-nilai

merupakan

“upaya

untuk

baru tersebut tidak asing bagi masyarakat

mengungkapkan kebenaran Injil dalam

lokal.

konteks kebudayaan tertentu”, sedangkan Teologi Kontekstual adalah “upaya untuk menemukan

kebenaran

Injil

Kekristenan (Protestan) di Jawa

dalam

Masuknya agama Kristen Protestan

setiap konteks kebudayaan di tengah

di

dinamika masyarakat, pada tempat dan

dibandingkan dengan wilayah-wilayah

jaman tertentu”. Di dalam pengertian

lain di luar Jawa. sebut misalnya daerah

yang pertama berarti menempatkan Injil

Maluku, NTT dan Sumatera yang telah

sebagai suatu kebenaran yang universal

mengenal kekristenan terlebih dahulu.

yang harus diungkapkan dalam setiap

Hal ini bisa terjadi karena pemerintah

kebudayaan

bersifat

kolonial Belanda, baik VOC maupun

partikular. Sedangkan pengertian yang

pemerintah Belanda merasa kuatir jika

kedua mencari kebenaran yang ada pada

misi kekristenan berkembang di Jawa

budaya lokal, dan yang sesuai dengan

maka akan terjadi perlawanan dari

kebenaran

Dengan

komunitas Islam, dan ini sangat tidak

menggunakan pengertian yang kedua ini,

menguntungkan bagi perdagangan. Oleh

budaya lokal tidak ditempatkan lebih

sebab itu kontrol yang ketat terhadap

rendah

sekedar

gerakan misi di Jawa diatur dengan

untuk

peraturan-peraturan dan dibatasi pada

lokal

dalam

dari

memanfaatkan

yang

Injil.

Injil budaya

atau lokal

kepentingan penyebaran agama.

tanah

pelayanan

Jawa

pastoral

agak

untuk

terlambat

pegawai-

BioKultur, Vol.II/No.1/Januari-Juni 2013, hal. 92

Pudjio Santoso, “Inkulturasi Budaya Jawa dan Ajaran Kristen Pada Komunitas Jemaat GKJW di Kota Surabaya” hal. 85-104.

pegawai kolonial (Singgih, 1995). Di

peranakan Belanda seperti J. Emde, L.C.

samping

Coolen,

itu

kebudayaan

dengan Belanda

membatasi

hanya

untuk

kalangan mereka sendiri, maka ini akan dapat

Jellesma

dan

beberapa

lainnya telah mengubah cara berpikir mereka tentang ngelmu.

memperlambat akulturasi, dan dengan demikian

Ny.

Orang-orang Jawa yang mula-mula

menghambat

memeluk agama Kristen tidak terlepas

perkembangan bangsa Indonesia yang

dari peran kiai Jawa (Sadrach, Tunggul

dijajah (Lombard, 2005: 97), dan perlu

Wulung) dan orang-orang Belanda non-

diingat bahwa pada saat itu agama

gereja (Coolen, Emde, Jellesma). Secara

Kristen identik dengan kebudayaan Eropa

umum terdapat dua ciri khas orang-orang

atau Belanda

Belanda

Batavia, Semarang dan Surabaya

non-gereja

pertama,

mereka

tersebut, semuanya

yakni adalah

menjadi daerah-daerah yang penting bagi

pengelola perkebunan, dan yang kedua,

awal masuknya paham kekristenan di

mereka mempunyai ikatan yang istimewa

Jawa. Di Batavia sudah berdiri gereja dan

dengan tanah Jawa karena kawin dengan

pendeta sebagai warisan bangsa Portugis

orang Jawa atau juga karena peranakan

yang terlebih dahulu menjajah bangsa

(orangtuanya yang Belanda menikah

Indonesia, kemudian pada tahun 1753

dengan Jawa) (Guillot,1981). Oleh karena

terdapat seorang pendeta di Semarang,

kontak yang terjadi antara orang-orang

dan seorang lagi pendeta ada di Surabaya

Jawa

pada tahun 1785.

mengembangkan ajaran Kristen dengan

Karena sulitnya orang-orang Jawa

yang

mempelajari

dan

orang-orang peranakan Belanda tersebut,

untuk belajar tentang agama Kristen dari

maka

orang-orang Belanda, maka beberapa

kekristenan di Jawa terjadi dualisme

orang Jawa yang gemar mencari ngelmu

yakni antara mereka yang meninggalkan

dan laku batin berkeliling ke seluruh

adat dan tradisi budaya Jawa untuk

wilayah Jawa untuk belajar agama baik

kemudian menjadi Kristen serta mereka

Islam maupun Kejawen. Sebut misalnya

yang

tokoh-tokoh

Sadrach,

budaya Jawa sekalipun menjadi Kristen.

Tunggul Wulung, Abisai Ditotruno dan

Hal ini tampak dari gerakan penginjilan

Paulus Tosari. Akan tetapi perjumpaan

yang dilakukan oleh kelompok Emde dan

mereka

kelompok Coolen.

seperti

dengan

Kyai

beberapa

orang

sesungguhnya

masih

tetap

dalam

sejarah

mempertahankan

BioKultur, Vol.II/No.1/Januari-Juni 2013, hal. 93

Pudjio Santoso, “Inkulturasi Budaya Jawa dan Ajaran Kristen Pada Komunitas Jemaat GKJW di Kota Surabaya” hal. 85-104.

Johannes Emde lahir tahun 1774 di Jerman

dari

keluarga

Ia

yang menetap dan membuka daerah

dibesarkan dalam tradisi yang memegang

hutan di Ngoro Jombang. Selanjutnya ia

teguh ketaatan dan kesalehan yang total

mengajarkan kekristenan pada orang-

(Pietis). Ia kemudian ikut pelayaran VOC

orang Jawa yang ikut membuka hutan.

ke wilayah Indonesia dan masuk tentara

Namun ajaran yang ia perkenalkan sangat

pada saat Raffles memerintah. Namun

jauh berbeda dengan apa yang diajarkan

kemudian ia mengundurkan diri dan

oleh Emde. Coolen---karena dipengaruhi

menikah dengan perempuan Jawa dari

oleh

keluarga Kraton Solo. Bersama beberapa

mengajarkan iman Kristen dengan ciri

orang

Emde

adat istiadat Jawa. Menurut Coolen untuk

membentuk perkumpulan Kristen yang

masuk menjadi Kristen tidak perlu harus

diberi nama “orang saleh dari Surabaya”

meninggalkan adat istiadat dan budaya

(Guillot, 1981). Perkumpulan tersebut

Jawa misalnya, mereka tidak perlu harus

dibentuk setelah kedatangan seorang

dibaptis4 sebab hal ini dianggap oleh

misionari Belanda yang bernama J. Kam

Coolen sebagai budaya Belanda. Kristen

tahun 1814. Kam sesungguhnya dikirim

yang diajarkan oleh Coolen memadukan

oleh

Zendeling

dengan mistik Jawa (Rachmadi, 1997).

Genootschap atau Lembaga Utusan Injil

Konsep pengajarannya lebih dekat pada

Belanda) untuk mengabarkan Injil di

bentuk sinkretisme daripada inkulturasi.

wilayah

Sinkretisme bukan saja terhadap ajaran

Belanda

NZG

peranakan

(Nederlandsche

Maluku,

petani.

Coolen adalah seorang peranakan

namun

ia

untuk

budaya

Jawa

ibunya---

sementara waktu tinggal di Surabaya

animisme

sambil menunggu keberangkatan kapal

personifikasi Dewi Sri

menuju Maluku (Ambon). Perkumpulan

yang melambangkan kesuburan, tetapi

“orang saleh dari surabaya” tersebut

juga

melakukan aksi misinya dengan cara

syahadat Kristen yang mirip dengan

menyebarkan

ajaran

dzikir seperti yang lazim dilakukan oleh

Kristen. Beberapa orang yang tertarik

umat Islam: “La ilah illa Allah, Yesus

dengan brosur tersebut mencoba mencari

Kristus iyo Roh Allah” (End, 1988: 200).

brosur

tentang

tahu tentang isi ajaran tersebut hingga ke daerah Wiyung.

4

yang

dari

terhadap

tercermin

ajaran

pada

dan Sri Sadono Islam

berupa

Tahapan berupa upacara yang dilakukan seseorang untuk menjadi seorang Kristen berupa percikan atau ada juga yang melakukan dengan celupan air pada kepala seseorang. Hal ini juga dilakukan oleh Yesus Kristus pada saat itu. BioKultur, Vol.II/No.1/Januari-Juni 2013, hal. 94

Pudjio Santoso, “Inkulturasi Budaya Jawa dan Ajaran Kristen Pada Komunitas Jemaat GKJW di Kota Surabaya” hal. 85-104.

Persaingan ajaran Kristen antara

3) Tidak

Coolen di Ngoro Jombang dan Emde di

boleh

menonton

pertunjukan wayang

Surabaya menimbulkan kebimbangan dan

4) Tidak boleh memakai ikat kepala

perpecahan di antara para pengikutnya.

atau kain kepala pada saat

Coolen dengan tegas mengatakan bahwa

berada di gereja

apabila pengikutnya mengikuti ajaran

5) Jangan melakukan sunat

Emde

6) Jangan menyanyikan tembang

yang

mengikuti

bercorak

Baptisan,

meninggalkan

desa

Eropa

maka

ia

Ngoro.

seperti harus Namun

atau membaca sastra Jawa 7) Jangan menyelenggarakan dan

tampaknya para pengikut Coolen banyak yang kecewa dengan ajarannya, sebab menganggap

Coolen

menghadiri slametan 8) Jangan merawat dan mendatangi

menyembunyikan

makam leluhur

ajaran-ajaran Kristen yang sesungguhnya,

9) Jangan menghiasi makam dan

bahwa jika menjadi Kristen seseorang

menaburkan bunga di makam

wajib menjalani ritual Baptisan, akan

10)Jangan

membiarkan

tetapi jika mereka mengikuti ajaran Emde

anakmu

maka akibatnya harus meninggalkan desa.

permainan yang sia-sia

Sedangkan menurut Emde, untuk menjadi seorang Kristen, maka harus menjalani

kehidupan

sebagai

orang

bermain

anakdengan

(Guillot, 1981: 25; Tim Sejarah GKJW Jemaat Surabaya, 2006: 1516).

Kristen secara total serta menjauhkan

Di samping itu masih ada juga

mereka dari budaya setempat (Jawa).

larangan untuk membawa keris ke dalam

Kecuali aturan untuk wajib membayar

gereja serta memakai pakaian pantalon dan

pajak dan kerja rodi, semua orang Kristen

jaket. Di sini tampak jelas Emde di satu sisi

Jawa oleh Emde benar-benar dicabut dari

menarik orang-orang Jawa yang masuk

akar budayanya. Hal ini bisa dilihat dari

Kristen menjauhi budayanya (Jawa), namun

peraturan yang harus diikuti oleh mereka

di sisi yang lain tidak diperbolehkan

yang menjadi Kristen, yakni:

menggunakan atribut budaya Eropa.

1) Memotong pendek rambutmu 2) Tidak

boleh

musik gamelan

mendengarkan

Inkulturasi Budaya Jawa Dalam Kehidupan Bergereja Di GKJW Inkulturasi sesungguhnya adalah sebuah

upaya

untuk

menyamakan

BioKultur, Vol.II/No.1/Januari-Juni 2013, hal. 95

Pudjio Santoso, “Inkulturasi Budaya Jawa dan Ajaran Kristen Pada Komunitas Jemaat GKJW di Kota Surabaya” hal. 85-104.

“bahasa” antara orang yang menyam-

mengajarkan Alkitab pada orang Jawa).

paikan suatu pesan (evangelis) dan orang

Inkulturasi menuntut seseorang yang

yang akan menerima pesan (masyarakat

akan mengajarkan ajaran Alkitab pada

sasaran)

orang

dalam

sebuah

proses

Jawa

benar-benar

menghayati

komunikasi (Suseno, TT: 18). Injil yang

budaya orang Jawa. namun demikian

merupakan bahasa religius, dan telah

Inkulturasi bukan berarti isi pesan yang

menyebar ke benua Eropa, maka tentu

utama yakni Injil disesuaikan dengan

terpengaruh

Eropa.

budaya Jawa. Atau dengan kata lain,

Selanjutnya melalui orang-orang Eropa

Inkulturasi bukan suatu kompromi antara

itulah

diperkenalkan

sikap-sikap budaya Jawa dengan isi Injil

kepada masyarakat di benua Afrika dan

(Suseno, TT: 21). Inti ajaran Kristen yang

Asia termasuk Indonesia yang memiliki

termuat dalam Injil itu yang harus

berbagai macam budaya. Olehkarenanya

menjadi filter atau “pedang pemisah”

kemudian para Evangelis memikirkan

antara tradisi dan budaya Jawa yang tidak

bagaimana mengajarkan ajaran Kristen

sesuai dengan ajaran Injil. Menurut salah

dalam

seorang

oleh

ajaran

budaya

Kristen

konteks

budaya

masyarakat

informan

pendeta

penerima. Melalui cara inilah maka pesan

mengibaratkan inkulturasi budaya Jawa

yang merupakan “bahasa Ilahi” dan

dengan Injil itu seperti air yang dituang

disampaikan oleh orang yang berbeda

secara terus menerus ke dalam gelas

latar belakang budayanya dengan si

(budaya Jawa) yang berisi minyak (ajaran

penerima

atau nilai budaya Jawa yang bertentangan

dapat

dimengerti

dan

dipahami.

dengan Injil), hingga pada suatu saat

Dalam konteks orang Jawa, maka iman

Kristen

dapat

(tumpah) dan yang tersisa adalah iman

Kristen

Kristen yang dihayati oleh orang Jawa

dikemas dalam “bahasa” (simbol-simbol,

dengan budaya dan nilai-nilai Jawa yang

bahasa, nilai) Jawa. Namun Inkulturasi

tidak

tidak

Kristen.

dimengerti

sama

adaptasi

hanya

apabila

dengan

hanya

akan

seluruh minyak itu akan terdesak ke luar

ajaran

adaptasi,

sebatas

sebab

penyesuaian

dengan kondisi setempat (sebagai contoh Evangelis yang berasal dari Belanda memakai blangkon dan beskap ketika

bertentangan

dengan

ajaran

“jadi inkulturasi itu diumpamakan... kepercayaan semula itu diumpamakan gelas di mana di dalamnya ada minyak. Minyak ini adalah kepercayaan semula dan budaya ini adalah wadah. Wadah dari kepercayaan kan begitu karena memang berisi, kan seperti BioKultur, Vol.II/No.1/Januari-Juni 2013, hal. 96

Pudjio Santoso, “Inkulturasi Budaya Jawa dan Ajaran Kristen Pada Komunitas Jemaat GKJW di Kota Surabaya” hal. 85-104.

hati Dewi Sri (Sri Sadana). Mitos dewi Sri

itu. Kalau dituang Injil terus menerus dan itu terus dilakukan dalam kesadaran maka minyak ini akan naik ke atas lalu kemudian hilang, .... dan kemudian tinggallah di wadah ini air. Harus seperti itu. Itulah inkulturasi”.

sebagai dewi kesuburan atau dewi padi dan Sadana sebagai makhluk ular naga yang bertugas mengusir babi hutan

Ada beberapa bentuk inkulturasi budaya Jawa yang tumbuh dalam gereja GKJW sejak awal mula, yakni orang Kristen Jawa dari Ngoro, Mojowarno dan Surabaya yang berlangsung terus hingga saat

ini

sekalipun

ada

beberapa

modifikasi akibat perubahan jaman. Ritual Unduh-Unduh, penggunaan bahasa Jawa dalam kebaktian, kesenian tradisional Jawa

dalam

beberapa

acara

besar

keagamaan (Paskah, Natal), atribut dan simbol khas Jawa (janur, pisang, kelapa kuning atau cengkir dan tebu) sebagai ornamen

hiasan

pada

waktu

acara

keagamaan. Unduh-Unduh berasal dari bahasa Jawa yang berarti panen atau memetik hasil dari pekerjaan menanam. Konsep ini muncul karena gereja GKJW berkembang pedesaan

agraris

Mojowarno. Saat panen adalah masa yang paling ditunggu-tunggu oleh para petani sebagai hasil akhir jerih payahnya bekerja berbulan-bulan

menanam

1977: 55-56), saat itu sangat dipercaya oleh sebagian besar petani di Mojowarno. Untuk mewujudkan ucapan terimakasih atas kebaikan dan kemurahan hati Dewi Sri, maka setiap panen tiba masyarakat desa

Mojowarno

menyelenggarakan

upacara ucapan syukur. Akan tetapi sejak masuknya agama Kristen ke wilayah Mojowarno, maka sosok Dewi Sri diubah dan digantikan oleh person lain yakni Tuhan. Maka sejak saat itu upacara ritual unduh-unduh tetap berlangsung namun dengan kemasan yang berbeda, sekalipun tujuannya sama, yakni sebagai ungkapan rasa syukur karena telah memperoleh

a) Ritual Unduh-Unduh

dari suatu daerah

hewan hama tanaman padi (lihat Santiko,

padi.

Kepercayaan masyarakat petani pada saat itu menganggap bahwa hasil panen yang melimpah tidak terlepas dari kebaikan

hasil panen yang banyak Upacara ritual unduh-unduh mempunyai bentuk

yang

universal,

karena

di

beberapa kebudayaan juga ditemukan. Bahkan dalam kitab Perjanjian Lama cukup banyak ditemukan cerita tentang aktivitas manusia yang berkaitan dengan upacara ucapan syukur seperti yang ada pada Kitab Keluaran 23:16 yang berbunyi demikian: “Kaupeliharalah juga hari raya menuai, yakni mennuai buah bungaran dari hasil usahamu menabur di ladang; demikian juga BioKultur, Vol.II/No.1/Januari-Juni 2013, hal. 97

Pudjio Santoso, “Inkulturasi Budaya Jawa dan Ajaran Kristen Pada Komunitas Jemaat GKJW di Kota Surabaya” hal. 85-104.

hari raya pengumpulan hasil pada akhir tahun, apabila engkau mengumpulkan hasil usahamu dari ladang”.

keggagalan akibat sesuatu hal yang tidak kemampuan

rasional

Di samping ayat tersebut, beberapa

kekuatan

luar

tokoh pendahulu gereja

GKJW

dapat dijelaskan oleh pengetahuan dan

juga

di

manusia.

kekuatan

Ada

manusia

(supranatural dan supraempiris) yang

melegitimasi upacara ritual yang telah

mana

berurat akar dalam kebudayaan Petani

kepadanya. Manusia sangat terikat oleh

Jawa dengan ayat lain dalam Kitab

sebuah kekuatan yang tidak diketahui dan

Perjanjian Lama yakni Ulangan 26:1-2

tak

(berisi ajaran Nabi Musa kepada bangsa

kegagalan dapat terjadi meskipun usaha

Israel yang telah berhasil keluar dari

yang

penjajahan bangsa Mesir dan menuju

pengetahuan rasional sudah dilakukan.

tanah “perjanjian”) yang berbunyi:

Oleh karenanya jalan untuk melepaskan

manusia

sangat

terjangkau, gigih

yang dan

tergantung

menyebabkan menggunakan

“Apabila engkau telah masuk ke negeri yang diberikan Tuhan, Allahmu, kepadamu menjadi milik pusakamu, dan engkau telah mendudukinya dan diam di sana”, (ayat 1). “Maka haruslah engkau membawa hasil pertama dari bumi yang telah kaukumpullkan dari tanahmu yang diberikan kepadamu oleh Tuhan, Allahmu, dan haruslah engkau menaruhnya dalam bakul, kemudian pergi ke tempat yang akan dipilih Tuhan, Allahmu, untuk membuat namaNya diam di sana”. (ayat 2)

diri dari situasi tersebut adalah melalui

Proses Inkulturasi budaya agraris

memperkuat rasa solidaritas di antara

Jawa dengan ajaran Injil dimaksudkan

upacara ritual. Upacara ritual menurut Suzanne K. Langer yang dikutip oleh O’Dea

(1976:

transformasi

76)

simbolik

merupakan dari

berbagai

pengalaman yang tak dapat diungkapkan dengan tepat menggunakan media lain. Melalui kesadaran

upacara diri

ritual, yang

tertanam

tinggi

yang

anggota komunitas tersebut.

agar pola kebiasaan masyarakat tidak

Meskipun upacara ritual unduh-

terusik oleh karena masuknya ajaran

unduh tumbuh dan berkembang dari

baru, dan mereka dapat menghayati iman

wilayah agraris pedesaan, namun di

Kristen melalui perspektif budaya Jawa.

perkotaan

Sebagai sebuah upacara ritual, unduh-

tersebut juga dilaksanakan hingga saat ini.

unduh merupakan sebuah ungkapan rasa

Upacara ritual unduh-unduh selain

syukur sekaligus harapan manusia petani

sebagai tradisi budaya Jawa sebagai

agar tanaman padinya tidak mengalami

bentuk ucapan syukur pada Tuhan yang

seperti

Surabaya,

tradisi

BioKultur, Vol.II/No.1/Januari-Juni 2013, hal. 98

Pudjio Santoso, “Inkulturasi Budaya Jawa dan Ajaran Kristen Pada Komunitas Jemaat GKJW di Kota Surabaya” hal. 85-104.

masih tetap dipertahankan di gereja

Religious Life” (dikutip dari Pals, 2001:

GKJW, juga dapat dilihat sebagai bentuk

191):

sosialisasi pada generasi muda dan orangorang non-GKJW terhadap identitas dan ciri khas gereja dan kehidupan bergereja komunitas Kristen yang telah tumbuh pertama kali di tanah Jawa. keterlibatan anak-anak dan remaja dalam kegiatan upacara ini sangat jelas pada saat prosesi arak-arakan,

dimana

mereka

terlibat

membawa barang-barang persembahan.

“…..fungsi sosial dari ritual agama selalu tetap konstan, kandungan intelektual dari kepercayaan agama selalu berubah-ubah. Kepercayaan adalah “sisi spekulatif” dari agama. Kepercayaan mungkin yang bertindak memisahkan orang-orang Kristen dari orang Yahudi dan Hindu, tapi sebenarnya, ide-ide tertentu yang dikemukakan hanya sedikit berbeda. Ide-ide selalu berganti dari waktu ke waktu dan bahkan dari zaman ke zaman di dalam agama yang sama. Namun kebutuhan akan upacara selalu ada”.

Di samping itu menurut informan pendeta ini, upacara unduh-unduh sebagai bentuk

Demikian dan

pula

dengan

identitas

fungsi

penegasan identitas budaya Jawa yang

solidaritas

kelompok,

harus tetap dipertahankan.

Durkheim (Pals, 2001:191) menjelaskan ritual,

bahwa kebutuhan akan upacara agama

merupakan

selalu ada, oleh karena upacara agama

transformasi ajaran animisme yang telah

adalah sumber kesatuan masyarakat yang

berlangsung pada masa pra-Kristen di

sesungguhnya,

wilayah pedesaan agraris, melainkan juga

masyarakat

telah menjadi pengikat solidaritas dan

pengikat yang sesungguhnya, dan upacara

identitas sosial komunitas Kristen Jawa di

itu mengungkapkan makna agama yang

Jawa Timur, karena hal ini tidak dijumpai

sesungguhnya.

Sebagai unduh-unduh

sebuah bukan

upacara saja

dan

pada

setiap

upacara

agama

adalah

pada komunitas Kristen Jawa di tempat lain. Sebagai sebuah bentuk transformasi, inti pesan dari upacara tersebut, yakni ucapan terimakasih kepada “sosok yang dihormati” tetap ada, namun sosok tersebut yang diubah dari dewi Sri menjadi

Tuhan

Allah.

Seperti

yang

dikemukakan oleh Emile Durkheim dalam bukunya “The Elementary Form of TheThe

b) Penggunaan Bahasa Jawa dalam Liturgi Gereja Inkulturasi dalam bahasa bukan sekedar mengadaptasikan ajaran Alkitab dalam bahasa Jawa, melainkan bagaimana mengajak audiens pendengar itu untuk bisa menghayati Firman Tuhan sesuai dengan yang tertulis dalam Alkitab. Penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa BioKultur, Vol.II/No.1/Januari-Juni 2013, hal. 99

Pudjio Santoso, “Inkulturasi Budaya Jawa dan Ajaran Kristen Pada Komunitas Jemaat GKJW di Kota Surabaya” hal. 85-104.

Jawa sudah dilakukan oleh salah seorang

dalam bahasa Jawa hanya sekali dalam

misionaris berkebangsaan Belanda yang

setiap Minggu (4 lainnya menggunakan

bernama Bruckner pada tahun 1814

bahasa Indonesia). Bahkan di GKJW lain

(Guillot, 1985: 22-23), namun hanya Kitab

yang ada di Surabaya jadwal kebaktian

Perjanjian Baru (Kitab Perjanjian Lama

yang menggunakan bahasa pengantar

belum diterjemahkan). Melalui Alkitab

bahasa Jawa hanya sekali dalam satu

berbahasa Jawa ini beberapa orang Jawa

bulan, misalnya di GKJW Rungkut hanya

yang mampu membaca dan menulis pada

diadakan pada minggu ke-IV jam 17.00. Di

waktu itu dapat mempelajari agama

gereja GKJW Mulyosari dilaksanakan pada

Kristen. Pada saat ini gereja GKJW sudah

minggu

memiliki Alkitab berbahasa Jawa yang

kecenderungan di beberapa gereja GKJW,

lengkap dan buku nyanyian berbahasa

terutama di Surabaya, yang mengalami

Jawa

penurunan jemaat yang hadir dalam

yang

disebut

dengan

Kidung

ke-I

jam

Pasamuwan Kristen. Sekalipun berada di

ibadah berbahasa Jawa

wilayah

Persoalan

perkotaan,

seperti

Surabaya,

07.00.

penggunaan

Ada

bahasa

Jawa

gereja GKJW tetap mengagendakan jam

sebenarnya

kebaktian dalam bahasa Jawa. Namun

sendiri, melainkan lebih pada tingkat

demikian

yang

kesulitan bahasa Jawa (kromo Inggil) yang

dipergunakan dalam kebaktian dengan

digunakan oleh Pendeta, dan ini dianggap

bahasa Jawa dalam pergaulan sehari-hari

rumit. Di samping itu disadari pula adanya

memiliki tingkatan yang berbeda, dimana

“persaingan” antar gereja yang ada di

dalam kebaktian menggunakan bahasa

Surabaya.

Jawa kromo inggil (tingkat paling tinggi

bermunculan

dalam

sedangkan

menawarkan “daya tarik” kemeriahan dan

kebanyakan anggota Jemaat, khususnya

kekhusyukan dalam beribadah seperti

yang muda hanya mengerti bahasa Jawa

gereja

Ngoko

jaringannya5), gereja Kharismatik, gereja

karena

bahasa

bahasa

Jawa),

(tingkatan

Akibatnya

jadwal

menggunakan

Jawa

bahasa

paling

rendah).

kebaktian Jawa

yang

semakin

bukan

pada

Banyak di

Bethany

bahasa

gereja

Surabaya

(termasuk

ini

itu

yang yang

sel-sel

Mawar Saron, dan beberapa gereja lain yang dianggap lebih “Alkitabiah” menurut

berkurang dan kebanyakan yang hadir adalah jemaat lanjut usia. Misalnya di GKJW Jemaat Surabaya, jadwal kebaktian

5

Gereja Bethany memiliki jaringan sel yang cukup banyak seperti gereja Gosyen Blessing, Bethany Yobel. BioKultur, Vol.II/No.1/Januari-Juni 2013, hal. 100

Pudjio Santoso, “Inkulturasi Budaya Jawa dan Ajaran Kristen Pada Komunitas Jemaat GKJW di Kota Surabaya” hal. 85-104.

informan

jemaat

gereja

GKJW

yang

pernah aktif di gereja Kharismatik.

Jawa hanya karena ingin merasakan suasana budaya Jawa.

Untuk mengatasi masalah kesulitan

Bahkan salah satu informan pendeta

pemahaman jemaat terhadap isi kotbah

mengatakan bahwa sekalipun bahasa

berbahasa

Jawa

Jawa

tersebut,

biasanya

menjadi

salah satu ciri

khas

Pendeta mengkonversi kata-kata yang

kehidupan bergereja di GKJW namun jika

terlalu sulit untuk dimengerti ke dalam

tidak mau melakukan perubahan gaya

bahasa Suroboyoan yang lebih mudah

bahasa dari tingkatan yang tinggi menjadi

dipahami.

bahasa Jawa sehari-hari maka akan sulit

Kesulitan mengikuti segala aktivitas gereja (kebaktian reguler dan peristiwa spesial seperti Natal, Paskah dan ritual unduh-unduh)

di

GKJW

untuk bisa dipertahankan keberlangsungannya. Kondisi

nyata

(masalah

bahasa

yang

Jawa) yang harus dihadapi oleh gereja

menggunakan atau menyelipkan ucapan

GKJW, terutama di wilayah perkotaan

dan kata-kata dalam bahasa Jawa bukan

telah direspon melalui pembaharuan dan

saja dirasakan oleh warga jemaat yang

penyempurnaan Tata dan Pranata GKJW

non-Jawa, melainkan yang Jawa sekalipun.

yang diputuskan dalam sidang Majelis

Pada saat ini pelajaran bahasa daerah

Agung pada tahun 1988. Jika sebelumnya

(Jawa) di sekolah mulai SD hingga SMA

bahasa dalam buku tersebut ditulis dalam

semakin kurang intensif, demikian pula di

bahasa Jawa, maka sejak tahun 1988 telah

dalam kehidupan sehari-hari baik di

diubah

rumah maupun lingkungan pergaulan

Indonesia.

makin jarang dipergunakan bahasa Jawa

dan

ditulis

Perubahan

dalam

bahasa

dalam

bahasa buku

yang halus (kromo madya dan kromo

aturan, visi dan misi gereja GKJW ini

inggil). Sehingga bisa dipahami kalau

dimaksudkan

kebaktian yang menggunakan bahasa

menjembatani

Jawa sebagian besar yang hadir adalah

mengerti

warga yang berusia lanjut. Menurut

mengingat

informan pak Inswiono ada beberapa

sebelumnya menggunakan bahasa Jawa

jemaat non-Jawa yang menikah dengan

“halus”. Akan tetapi dalam kenyataan

pasangan Jawa dan dapat berbahasa Jawa

hidup

kasar mengikuti kebaktian berbahasa

GKJW tidak pernah membaca bahkan

sebagai

upaya

untuk

yang

tidak

bahasa

Jawa,

jemaat

secara

baik

bahasa

sehari-hari

yang

jemaat

digunakan

komunitas

BioKultur, Vol.II/No.1/Januari-Juni 2013, hal. 101

Pudjio Santoso, “Inkulturasi Budaya Jawa dan Ajaran Kristen Pada Komunitas Jemaat GKJW di Kota Surabaya” hal. 85-104.

memiliki

buku

aturan

ini.

Mereka

budaya

Jawa

yang

mengutamakan

melakukan segala aktivitas bergereja

harmonisasi (keselarasan). Hal ini juga

seperti

tampak dari cara pengambilan keputusan

yang

berlangsung

sepanjang

waktu tanpa mengetahui aturan yang

dalam

organisasi,

dimana

keputusan

tertulis.

diambil melalui mekanisme musyawarah mufakat antara majelis jemaat (penatua)

Penutup

dan pendeta.

Inkulturasi

budaya

Jawa

dalam

Inkulturasi

budaya

Jawa

paling

kehidupan bergereja di komunitas GKJW

menonjol dan masih dipegang teguh

mempunyai akar sejarah yang panjang

hingga saat ini termasuk di wilayah

dan diwarnai oleh perbedaan pendapat

perkotaan adalah upacara ritual unduh-

antara kelompok yang menginginkan

unduh, yakni upacara ucapan syukur dari

corak gereja yang menonjolkan ciri

anggota

budaya Jawa secara lengkap termasuk di

“panen”. Upacara ritual model arak-

dalamnya nilai-nilai budayanya dengan

arakan dengan mengusung gunungan

kelompok yang lebih suka dengan corak

hasil

gereja

Kristen

yang

berinkulturasi

buahan) dan menggunakan adat Jawa

dengan

budaya

Jawa

sebatas

tidak

menjadi ciri khas komunitas ini. Upacara

dengan

ajaran

Injil.

ini

bertentangan

komunitas

panenan

dianggap

terhadap

(sayuran

sebagai

hasil

dan

buah-

penghormatan

Beberapa nilai budaya Jawa yang masih

terhadap tradisi budaya Jawa yang sesuai

melekat dalam kehidupan gereja GKJW

dengan ajaran Injil, yakni ucapan syukur

hingga saat ini tercermin dari struktur

atas berkah yang telah diperoleh manusia

organisasi

selama bekerja. Selain itu penggunaan

yang

egaliter

dan

tidak

memberikan kekuasaan penuh pada salah

hasil

satu

segi

keterikatan manusia pada tanah atau

denominasi GKJW berkiblat pada ajaran

alam, sekalipun ia sudah tidak bekerja

Calvinisme. Corak organisasi ini akibat

secara langsung mengolah sawah atau

sejarah awal dimana kekristenan Jawa

kebun.

organ,

sekali

pun

dari

diprakarsai oleh orang-orang yang awam

panenan

inkulturasi

merupakan

menurut

simbol

pemahaman

tentang ajaran Kristen (bukan Pendeta

pendeta adalah sesuatu yang tidak bisa

atau penginjil). Di samping itu corak

dihindari

egaliter ini bersesuaian dengan nilai

diperkenalkan dan diajarkan pada orang-

ketika

agama

Kristen

mau

BioKultur, Vol.II/No.1/Januari-Juni 2013, hal. 102

Pudjio Santoso, “Inkulturasi Budaya Jawa dan Ajaran Kristen Pada Komunitas Jemaat GKJW di Kota Surabaya” hal. 85-104.

orang yang berlatar belakang budaya lokal seperti

Jawa

memasukkan kepada

ini.

Inkulturasi

unsur-unsur

nilai-nilai

budaya

berarti

ajaran

Injil

Jawa,

serta

mengganti nilai budaya Jawa jika tidak sesuai dengan ajaran Injil. Penggantian nilai-nilai budaya yang tidak sesuai ini hanya bisa berhasil jika dilakukan secara terus menerus dan didukung sepenuhnya oleh anggota jemaat. Akan tetapi jika tidak bertentangan, budaya Jawa harus tetap dipertahankan sebagai identitas kehidupan bergereja

di

komunitas

Kristen

Jawa.

Inklulturasi juga dianggap memudahkan dalam pengajaran dan pekabaran Injil di tengah-tengah

masyarakat

bagaimanapun

juga

Jawa

karena

pandangan

hidup

mereka sudah terpola dan terlembagakan dengan budaya Jawa. Daftar Pustaka Daeng, Hans J (2005), Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan. Tinjauan Antropologis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. End, van Den (1988), Harta dalam Bejana. Jakarta: BPK. Geertz, Clifford (1973), The Interpretation of Cultures: Selected Essays. New York: Basic Books Inc. Guillot, C (1985), Kiai Sadrach. Riwayat Kristenisasi di Jawa. Terjemahan A.W. Adam. Jakarta: Grafiti Pers.

Herwanto, Lydia (2002), Pikiran dan Aksi Kiai Sadrach. Gerakan Jemaat Kristen Jawa Merdeka. Jogyakarta: Mata Bangsa. Lombard, Denys (2005), Nusa Jawa: Silang Budaya. Kajian Sejarah Terpadu. Bagian I: Batas-Batas Pembaratan. Terjemahan Winarsih Partaningrat Arifin, dkk. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Luzbetak, Louis J (1988), The Church and Cultures. New Perspectives in Missiological Anthropology. New York: Orbis Book. O’Dea, Thomas (1990), Sosiologi Agama. Jakarta: CV. Rajawali. Pals, Daniel L (2001), Seven Theories of Religion. Dari Animisme E.B.Tylor, Materialisme Karl Marx hingga Antropologi Budaya C.Geertz. terjemahan Ali Noer Zaman. Yogyakarta: Penerbit Qalam. Poerwanto, Hari (2000), Kebudayaan dan Lingkungan dalam Pespektif Antropologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Rachmadi, Simon (1997), “Kiai Sadrach 1835-1924: Pergulatan Komunitas Kristen Jawa Pedesaan untuk Mendapatkan Akses ke Dunia Modern Secara Emansipatif dengan Tetap Berbasis pada "Rumah Bahasa" Budaya Lokal. Bahan kuliah Sejarah Gereja di Indonesia. Santiko, Sariani (1977), “Dewi Sri Unsur Pemujaan Kesuburan pada Mitos Padi”, dalam Majalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia. Jakarta: Bharata. Sinaga, Anicetus B (TT), Gereja dan Inkulturasi. Yogyakarta: Penerbit Yayasan Kanisius. BioKultur, Vol.II/No.1/Januari-Juni 2013, hal. 103

Pudjio Santoso, “Inkulturasi Budaya Jawa dan Ajaran Kristen Pada Komunitas Jemaat GKJW di Kota Surabaya” hal. 85-104.

Subandrijo, Bambang (2009), Pekabaran Injil (PI) dalam Konteks Budaya Jawa, dalam buku “Mewartakan Kasih Allah dalam Konteks Indonesia Masa Kini”. Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen. Supriyanto, Mathias (2002), Inkulturasi Tari Jawa di Yogyakarta dan Surakarta. Surakarta: Citra Etnika Surakarta.

Suseno, Franz Magnis (1983), Mewartakan Injil dalam Masyarakat Jawa. Beberapa catatan tentang Kemungkinan Inkulturasi Gereja di Alam Jawa, dalam F.X. Koesno (ed) “Inkulturasi “Pengalaman Religius Manusia Jawa” ditinjau dari sudut Iman Kristiani”. Sari Bunga Setaman IV. Tim

Penulisan Sejarah GKJWJemaat Mojowarno (2006), 125 Tahun, Tumbuh dan Berkembang dalam Panggilan-Nya. Mojowarno: GKJW Jemaat Mojowarno.

Artikel ini merupakan bagian dari Tesis S2 penulis pada prodi Magister Sosiologi FISIPUNAIR. i

BioKultur, Vol.II/No.1/Januari-Juni 2013, hal. 104