islam dan etika: pemikiran nurcholish madjid - USU Institutional

1 Nurcholish Madjid. 2003. Islam Agama Kemanusiaan. Jakarta: Penerbit Paramadina. Hal. 188. 2 Nurcholish Madjid. 1999. Cendekiawan dan Religiusitas Ma...

17 downloads 320 Views 495KB Size
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Salah satu persoalan besar dalam kehidupan politik bangsa Indonesia adalah masalah kemerosotan moral, terutama moral pemimpin para elit di negeri ini. Hal ini ditandai dengan terjadinya berbagai macam bentuk penyelewengan, seperti korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), serta tindakan pelanggaran lainnya dalam kehidupan politik dan pemerintahan. Dan hal ini pada akhirnya melahirkan berbagai macam krisis dalam kehidupan politik bangsa. Krisis telah menerpa kehidupan bangsa Indonesia sejak tahun 1997 lalu hingga saat ini dan meninggalkan persoalan pelik di berbagai bidang kehidupan. Berbagai persoalan terjadi di bidang ekonomi, politik, sosial dan budaya ini secara signifikan membawa dampak yang besar bagi keberadaan bangsa dan negara hingga saat ini. Krisis di bidang ekonomi, telah menyebabkan kemerosotan yang luar biasa pada kehidupan masyarakat, terutama terkait dengan upaya pemenuhan kebutuhan pokok seperti pangan dan sandang. Di awal krisis, semua kebutuhan pokok masyarakat mengalami kenaikan harga yang sangat tajam. Sektor riil menjadi lumpuh dan dunia perbankan yang runtuh telah memperburuk kondisi perekonomian di negeri ini. Bidang politik turut mengalami kondisi serupa, bahkan menjadi salah satu penyumbang terbesar penyebab keterpurukan dan krisis kepanjangan di negeri ini.

Universitas Sumatera Utara

Masalah moralitas, kepemimpinan dan kesantunan dalam berpolitik menjadi menjadi persoalan panjang yang tidak terselesaikan dalam kehidupan politik bangsa. Perilaku para elit politik yang sering kali meninggalkan nilai-nilai moral luhur dalam melakukan aktivitas politiknya, telah mencederai persoalan moral dalam kehidupan politik bangsa ini. Berbagai solusi telah ditawarkan, sebagai upaya penyelesaian persoalan kemerosotan moral di bidang politik yang menimpa bangsa. Salah satunya adalah agar bangsa Indonesia kembali pada ajaran agama, sebagai upaya mengatasi persoalan kemerosotan moral, terutama yang terjadi pada elite politik. Dan juga, yang tak kalah pentingnya pada masyarakat bangsa secara keseluruhan. Islam sebagai agama terbesar yang dianut oleh mayoritas masyarakat Indonesia, dipastikan mampu memberikan wawasan dan tuntunannya sebagai solusi dari segala persoalan yang menimpa kehidupan bangsa Indonesia saat ini. Terutama sebagai wawasan dan tuntunan moral dalam kehidupan politik bangsa. Islam sendiri sebenarnya telah menjelaskan dan juga memberikan banyak petunjuk mengenai berbagai persoalan hidup manusia di dunia. Salah satunya adalah masalah hubungan antara agama dengan kehidupan masyarakat, termasuk di dalamnya persoalan politik. Hal inilah yang menjadi salah satu keunikan Islam diantara agama-agama lain. Menurut telaah perbandingan yang lebih luas dengan agama-agama lain, keunikan Islam sebenarnya bukan terletak pada persoalan keterkaitan yang erat antara agama dan politik. Agama-agama lain juga mengenal keterkaitan yang erat

Universitas Sumatera Utara

dengan politik. Bahkan bisa dikatakan menyatu atau tidak mengenal pemisahan dengan

masalah

politik.

Istilah

perpolitikan

”theokrasi”

sendiri

sudah

menunjukkan adanya kemungkinan agama mana saja untuk menyatu dengan politik, sehingga kekuasaan yang berlaku dipandang sebagai ”kekuasaan (politik) Tuhan”.1 Terkait persoalan ini, Nurcholish Madjid, tokoh yang selama ini banyak memberikan sumbangan pemikirannya dalam kehidupan keagamaan dan politik di Indonesia, memiliki pandangan yang secara jelas menggambarkan keterkaitan antara agama (Islam) dan politik. Salah satunya mengenai hubungan antara kekuasaan dan moral. Menurut Nurcholish Madjid, atau yang lebih akrab disapa Cak Nur, dalam kehidupan politik kita tidak boleh meninggalkan nilai-nilai keagamaan. Kehidupan politik yang pada dasarnya bersifat duniawi, tidak bisa lepas dari tuntunan moral yang tinggi. Berpolitik haruslah dengan standar akhlak mulia, yang sekarang dikenal dengan etika politik.2 Persoalan etika ini menggambarkan makna sentral semangat kepatuhan kepada hukum atau aturan sebagai tiang pancang masyarakat berperadaban. Menurut bahasa politik modern, ini adalah orientasi hukum dan keadilan yang mendasari perkembangan suatu peradaban. Orientasi ini sangat penting dalam menumbuhkan negara hukum dan mencegah munculnya negara kekuasaan.3

1

Nurcholish Madjid. 2003. Islam Agama Kemanusiaan. Jakarta: Penerbit Paramadina. Hal. 188. Nurcholish Madjid. 1999. Cendekiawan dan Religiusitas Masyarakat. Jakarta: Tabloid Tekad dan Penerbit Paramadina. hal. 52. 3 Nurcholish Madjid. 2003. Islam Agama Kemanusiaan. Ibid. hal. 52. 2

Universitas Sumatera Utara

Tuntunan moral yang tinggi dalam etika politik, oleh Nurcholish Madjid secara konsisten dijelaskan olehnya yaitu meliputi prinsip-prinsip moral kemanusiaan dan keadilan. Permasalahan prinsip moral kemanusiaan dan keadilan ini, dalam pandangan Nurcholis Madjid merupakan hal yang mutlak penting adanya. Karena merupakan landasan ketahanan suatu bangsa menghadapi perubahan kehidupan yang semakin kompleks. Tanpa adanya prinsip moral atau akhlak yang baik, kehidupan suatu bangsa dipastikan akan dibinasakan oleh Tuhan. Sebuah syair dalam bahasa Arab menerangkan masalah ini: “Sesungguhnya bangsa-bangsa itu tegak selama (mereka berpegang) pada akhlaknya, bila akhlak mereka rusak, maka rusak binasa pulalah mereka”.4 Prinsip moral kemanusiaan itu sendiri sangat terkait dengan agama, terutama dengan rasa ketuhanan. Rasa kemanusiaan hanya terwujud jika dilandasi rasa ketuhanan. Rasa kemanusiaan yang lepas dari rasa ketuhanan, akan menyebabkan terjadinya praktek-praktek pemutlakan sesama manusia. Karena itu kemanusiaan sejati harus bertujuan pada keridlaan Tuhan semata. Orientasi keridlaan Tuhan ini merupakan landasan bagi peningkatan nilai-nilai kemanusiaan seseorang.5 Mengenai hal tersebut dijelaskan dalam Al Quran: ”Barang siapa menghendaki kemuliaan, pada Allah lah kemuliaan itu semua. Kepada Nyalah

4

Ibid. hal. 174. Nurcholish Madjid. 2000. Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan. Jakarta: Penerbit Paramadina. hal. 102.

5

Universitas Sumatera Utara

naik ide-ide yang baik (al-khalim at-thayyib), dan Dia mengangkat (menghargai) perbuatan kebajikan”.6 Nilai kemanusiaan dalam iman seseorang merupakan keseluruhan pandangan transendental yang menyangkut kesadaran akan asal dan tujuan wujud serta hidupnya, yang harus berpusat pada Tuhan Yang Maha Esa. Karena manusia atau nilai kemanusiaan menjadi ukuran amal perbuatan. Maka segala sesuatu yang ada di muka bumi ini, dan tak bermanfaat bagi manusia dan kemanusiaan akan sirna. Sedangkan yang bermanfaat akan tetap bertahan. Prinsip moral kemanusiaan ini pada hakikatnya meliputi pula kewajiban menegakkan keadilan. Keadilan mempunyai kedudukan yang penting karena merupakan bagian dari Sunatullah, dan merupakan fitrah manusia dari Allah, perjanjian primordial antara manusia dengan Allah. Sebagai sunatullah, kewajiban menegakkan prinsip keadilan merupakan hukum obyektif, tidak bergantung pada kemauan pribadi manusia dan bersifat immutable (tidak akan berubah). Masalah keadilan ini dalam Al Quran merupakan bagian dari hukum kosmos, yaitu hukum keseimbangan (Al Mizan) yang menjadi hukum bagi jagad raya.7 Al Quran dalam Q. S. Muhammad 47: 38 menegaskan prinsip keadilan ini, terutama masalah keadilan sosial, berupa usaha pemerataan dan peringanan penderitaan kaum yang tak berpunya. Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa Allah

6 7

Q. S. Al Fathir 35: 10. Ibid. hal 184.

Universitas Sumatera Utara

akan membinasakan umat itu untuk diganti dengan umat lain yang secara moral dan etika tidak seperti mereka.8 Sedangkan dalam Q. S. Al Isra’ 17: 16, didapati ancaman Allah untuk membinasakan suatu negeri, jika negeri itu tidak lagi ada rasa keadilan dengan indikasi leluasanya orang yang hidup mewah dan tidak peduli dengan keadaan masyarakat sekelilingnya yang kurang beruntung.9 Melihat begitu besarnya peran etika, terutama prinsip moral kemanusiaan dan keadilan dalam menentukan kelangsungan hidup manusia -termasuk dalam kehidupan politik- maka sangatlah penting bagi bangsa Indonesia untuk kembali bersandar pada kedua hal tersebut. Hal itu sebagai upaya untuk keluar dari berbagai persoalan yang menghimpit kehidupan politik bangsa saat ini. Pandangan Nurcholish Madjid terhadap kedua hal tersebut diharapkan mampu menjadi pemicu tumbuhnya kesadaran dan kebangkitan sikap membangun prinsip moral kemanusiaan dan keadilan sebagai sebuah landasan etis, dan dijadikan sebagai upaya bagi bangsa ini untuk keluar dari persoalan politik yang berkepanjangan. Serta dalam rangka mewujudkan kehidupan politik bangsa yang beretika di masa yang akan datang.

8 9

Ibid. hal 175. Ibid.

Universitas Sumatera Utara

B. Rumusan Masalah Penulisan skripsi ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan: Bagaimana pemikiran Nurcholish Madjid mengenai etika, terutama terkait dengan prinsip moral kemanusiaan dan keadilan, mampu menjadi solusi bagi persoalan kemerosotan moral dalam kehidupan politik bangsa Indonesia?

C. Tujuan Penelitian Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan dan memahami pemikiran Nurcholish Madjid mengenai etika Islam dalam kehidupan politik bangsa Indonesia, terutama yang berkaitan dengan prinsip moral kemanusiaan dan keadilan. Kemudian, memberikan solusi bagi persoalan kemerosotan moral dalam berpolitik. Tulisan ini juga memberikan manfaat serta menambah wawasan dan pemahaman

tentang

kehidupan

politik

yang

lebih

beretika

dengan

mengedepankan prinsip moral kemanusiaan dan keadilan di masa mendatang.

D. Tinjauan Pustaka 1. Etika Politik dalam Perspektif Nurcholish Madjid 1.1. Sudut Pandang Nurcholish Madjid Melihat Wacana Etika Politik dalam Islam Salah satu hal yang sangat diperlukan dalam menghadapi perubahan kehidupan politik dewasa ini adalah masalah akhlak atau moral. Keberadaan Islam sebagai agama mayoritas penduduk negeri ini diharapkan mampu memberi peranan

Universitas Sumatera Utara

yang besar dalam membentuk sisi kesadaran moral dan wawasan etis dalam kehidupan politik bangsa ini.10 Sisi kesadaran moral yang sangat terkait dengan masalah etika inilah yang kemudian membentuk lahirnya prinsip atau segi etis dalam berpolitik yang sesuai dengan ajaran agama Islam, yaitu etika Islam dalam politik. Kegiatan politik sendiri adalah kegiatan yang bertujuan untuk merebut dan memperoleh kekuasaan, karena dengan kekuasaan seseorang atau kelompok masyarakat akan mempunyai akses yang besar untuk ikut merumuskan dan menetapkan kebijakan publik yang menguntungkan dirinya atau kelompoknya. Bahkan kekuasaan politik dianggap sebagai kekuatan nyata untuk mengatur kehidupan masyarakat dalam berbagai aspeknya, karena tanpa kekuasaan politik pengaruh seseorang atau kelompok tidak akan efektif dalam kehidupan masyarakat. Prinsip etika politik bersinggungan dengan mengatur, mengarahkan, dan memaksakan masalah-masalah kebijakan serta keputusan publik. Pada kasus Islam, diperlukan suatu pola dan sistem etika politik yang begitu jelas, mengingat bahwa selama ini pertumbuhan Islam tidak dapat dilepaskan dari relasi kuasa-politik. Sampai saat ini terkesan bahwa politik Islam merupakan suatu reaksi budaya yang bersifat defensif terhadap perubahan sosial yang demikian cepat. Sejak abad ke-18, masalah Islam modern sebagai sistem agama dibangun berdasarkan konfrontasi dengan kekuasaan superior di dalam bidang sains, teknologi, yang disebut dengan Eropa

10

Nurcholish Madjid. 2003. Islam Agama Kemanusiaan. Jakarta: Penerbit Paramadina. hal. 172.

Universitas Sumatera Utara

modern. Imbas secara politik adalah tidak terbangunnya suatu tatanan etik-politis dalam berbagai lapisannya.11 Dalam konsep filsafat Islam, etika politik didasarkan pada politik moral, bukan politik kekuasaan. Kekuasaan sifatnya relatif dan tidak mutlak, yang dijalankan dengan pengetahuan konseptual yang berdimensi transendental. Kepemimpinan politik Islam tidak terletak pada Islam yang formalistik, tetapi pada Islam yang substansinya ada pada aktualitas prinsip musyawarah, keadilan, kebenaran, persamaan, dan kebebasan berpikir. Oleh karena itu, pilar penyangga dari lembaga kepemimpinan politik Islam, tidak hanya pada adanya lembaga eksekutif, yudikatif, legislatif, tetapi juga berfungsinya lembaga pers dan organisasi non pemerintah atau lembaga swadaya masyarakat (LSM).12 Dalam kehidupan politik, seringkali rnuncul fenomena politik kekuasaan, bukan politik moral, yaitu tindakan politik yang semata-mata untuk merebut dan memperoleh kekuasaan, karena dengan kekuasaan politik yang dimilikinya, seseorang atau kelompok masyarakat akan memperoleh keuntungan materi, popularitas dan fasilitas yang membuat hidupnya berkecukupan dan terhormat. Kondisi ini akan menyebabkan seseorang menghalalkan segala macam cara dalam mencapai tujuan politiknya, termasuk menjatuhkan kawan dan lawan sesuai dengan kepentingan politik yang ingin dicapai. Sedangkan dalam politik moral, kekuasaan politik bukan tujuan akhir, tetapi merupakan alat perjuangan dan cita-cita moral dan kemanusiaan. Tujuan kekuasaan

11 12

Musa Asy’ arie. 1999. Filsafat Islam Sunah Nabi dalam Berpikir. Yogyakarta: LESFI. hal. 105. Ibid. hal. 106.

Universitas Sumatera Utara

yang hendak dicapai, tidak menghalalkan segala cara, tetapi ditentukan oleh cara-cara yang bijak, yang dibenarkan oleh moralitas kemanusiaan dan kepatutan sosial. Melihat hubungan antara etika politik dengan upaya menumbuhkan prinsip moral maka masalah moral atau akhlak ini menjadi penting, karena merupakan sendi atau ketahanan suatu bangsa dalam menghadapi cobaan dan perubahan. Tanpa moral atau akhlak yang baik suatu bangsa akan binasa. Sebuah syair dalam bahasa Arab menyatakan: "Sesungguhnya bangsa-bangsa itu tegak selama (mereka berpegang pada) akhlaknya, bila akhlak mereka rusak, maka rusak-binasa pulalah mereka".13 Saat ini moral atau akhlak merupakan suatu hal yang sangat diperlukan dalam menghadapi perubahan kehidupan bangsa yang sangat kompleks. Harapan pada peranan ajaran Islam menjadi suatu hal yang wajar dalam menyikapi hal ini, terkait dengan kesadaran keimanan seseorang karena beragama Islam, ataupun pada kenyataan bahwa sebagian besar penduduk Indonesia memeluk agama Islam. Kondisi diatas diharapkan mampu melahirkan kesadaran bagi bangsa Indonesia untuk melihat secara jujur dirinya melalui pertanyaan: “Benarkah bangsa Indonesia, khususnya umat Islam, telah dijiwai dan dibimbing oleh akhlak yang mulia?”. Sudahkah umat Islam memenuhi penegasan Nabi SAW, bahwa Beliau diutus ”hanyalah untuk menyempurnakan berbagai keluhuran akhlak?”14 Bangsa Indonesia sering membanggakan diri sebagai “Bangsa Timur” (dengan konotasi berbudaya tinggi dan sopan) atau “bangsa yang religius” (yang tentunya juga berarti bangsa yang berakhlak tinggi). Tetapi dengan jujur harus diakui bahwa 13 14

Ibid. hal. 174. Sebuah hadist. Ibid. hal. 173.

Universitas Sumatera Utara

kebanggaan tersebut sering kosong belaka. Mungkin sekali bahwa bangsa ini adalah bangsa yang sopan dan ramah. Banyak orang asing yang membawa pulang kesan positif itu, tetapi hal itu tampaknya terbatas hanya pada bidang-bidang pergaulan perorangan sehari-hari. Meskipun hal ini juga penting, namun bukanlah hal yang sangat sentral.15 Terkait dengan masalah moral atau akhlak tersebut, hal utama yang paling menentukan bertahan atau hancurnya suatu bangsa adalah masalah keadilan, sebagaimana menurut Al Quran, Q. S. Ar Rahman 55: 7-8, yang menerangkan bahwa keadilan adalah prinsip yang merupakan hukum seluruh jagad raya. Melanggar keadilan adalah melanggar hukum kosmos, dan dosa ketidakadilan akan menyebabkan dampak kehancuran tatanan masyarakat manusia, tidak peduli apakah masyarakat itu (secara formal) terdiri dari masyarakat yang beragama atau tidak. Namun, sebelum membicarakan prinsip moral keadilan ini, ada hal lain yang lebih mendasar, dan bahkan menjadi landasan bagi umat manusia untuk mewujudkan keadilan ini, yaitu adanya prinsip moral kemanusiaan yang menjelaskan mengenai kesadaran manusia akan asal dan tujuan wujud serta hidupnya, yang harus berpusat pada Tuhan Yang Maha Esa.

15

Ibid. hal 173.

Universitas Sumatera Utara

1. 2. Sudut Pandang Nurcholish Madjid dalam Melihat Wacana Etika Politik di Barat Sedangkan dalam perspektif Barat, pengertian etika yang digunakan di sini mempunyai makna yang lebih mendasar, dari apa yang biasanya kita tangkap sebagai arti dari kata etika itu sendiri. Etika tidak hanya diartikan sekedar masalah kesopanan semata, melainkan dalam pengertiaannya yang lebih mendalam dimaksudkan sebagai konsep dan ajaran yang serba meliputi atau komprehensif, yang menjadi pangkal pandangan hidup tentang baik dan buruk, benar dan salah. Ajaran etis dalam makna yang seluas-luasnya mencakup keseluruhan pandangan

dunia

(Weltanschauung,

world

outlook)

dan

pandangan

hidup

(liebenanschauung, way of life), dengan demikian pembicaraan tentang etika tidak dapat lepas dari pembicaraan etika secara keseluruhan. Menurut Karl Barth, etika (dari ethos) adalah sebanding dengan moral (dari mos). Kedua-duanya merupakan filsafat tentang adat kebiasaan (sitten). Perkataan Jerman sine (dari Jerman kuno, situ) menunjukkan arti moda (mode) tingkah laku manusia, suatu konstansi (constancy, kelumintuan) tindakan manusia. Karena itu, secara umum etika atau moral adalah filsafat, ilmu, atau disiplin tentang moda-moda tingkah laku manusia atau konstansi-konstansi tindakan manusia.16 Terkait dengan pengertian dan makna dari etika itu, maka dapat dikatakan bahwa etika politik adalah filsafat moral tentang dimensi politis kehidupan manusia.17 Walaupun, masih cukup banyak perdebatan mengenai apa yang dimaksud dengan 16

Nurcholish Madjid. 2003. Islam Doktrin dan Peradaban. Ibid. hal. 466. Franz Magnis Suseno. 2001. Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. hal. 8.

17

Universitas Sumatera Utara

etika politik ini. Namun setidaknya, pengertian di atas cukup mampu mewakili apa yang menjadi keterkaitan antara etika dan politik itu. Fungsi etika politik dalam masyarakat terbatas pada penyediaan alat-alat teoritis untuk mempertanyakan serta menjelaskan legitimasi politik secara bertanggung jawab. Hal ini mempunyai arti tidak berdasarkan emosi, prasangka dan apriori. Melainkan secara rasional, obyektif dan argumentatif. Etika politik tidak secara langsung mencampuri urusan politik praktis. Etika politik tidak dapat menentukan apa yang harus dilakukan oleh seseorang. Etika politik memiliki tugas subsider, yaitu membantu agar pembahasan masalah-masalah ideologis dapat dijalankan secara obyektif, artinya berdasarkan argumen-argumen yang dapat dipahami dan ditanggapi oleh semua yang mengerti permasalahan.18 Etika politik tidak dapat mengkhotbahi para politikus, tetapi dapat memberikan patokan-patokan orientasi dan pegangan-pegangan normatif bagi mereka yang berkeinginan untuk menilai kualitas tatanan dan kehidupan politik dengan tolok ukur martabat manusia.19 Manfaat etika politik justru tidak bersifat "praktis". Melainkan sebaliknya, etika politik menuntut agar segala klaim atas hak untuk menata masyarakat dipertanggungjawabkan pada prinsip-prinsip moral dasar. Klaim-klaim legitimasi dari segala macam kekuatan, baik bersifat langsung, maupun yang bersembunyi di belakang pembenaran-pembenaran normatif dipaksa untuk membenarkan diri.

18 19

Ibid. hal. 3. Ibid. hal. 3.

Universitas Sumatera Utara

Etika politik ditempatkan sebagai upaya untuk mencari prinsip-prinsip moral penataan masyarakat dan kritik terhadap klaim-klaim ideologis dalam negara yang telah mendasarkan diri pada sebuah ideologi. Sebagaimana etika pada kehidupan umumnya yang tidak berwenang untuk menawarkan suatu sistem moral, baik dalam suatu masyarakat maupun individu, begitu pula etika politik tidak dapat menawarkan suatu sistem normatif sebagai dasar negara. Etika politik tidak berada di tingkat sistem legitimasi politik tertentu dan tidak dapat menyaingi suatu ideologi negara. Tetapi etika politik dapat membantu usaha masyarakat untuk mengejawantahkan ideologi negara yang luhur ke dalam realitas politik yang nyata. Misalnya dengan merefleksikan apa inti keadilan sosial, apa dasar etis kerakyatan, dan bagaimana kekuasaan harus ditangani supaya sesuai dengan martabat manusia dan sebagainya.20

2. Prinsip Kemanusiaan dalam Perspektif Nurcholish Madjid 2. 1. Sudut Pandang Nurcholish Madjid Melihat Wacana Kemanusiaan dalam Islam Manusia adalah mahluk ciptaan Tuhan yang memiliki kesempurnaan tertinggi dan paling mulia. Manusia dianugerahi oleh Tuhan harkat dan martabat kemanusiaan yang tinggi, namun manusia juga memiliki potensi yang besar untuk turun derajat menjadi serendah-rendahnya mahluk, kecuali mereka yang beriman kepada Tuhan dan berbuat kebaikan.

20

Ibid. hal 7.

Universitas Sumatera Utara

Sebagai mahluk sosial, manusia selalu berupaya untuk mempertahankan harkat dan martabat kemanusiaannya, hal ini disebabkan karena manusia lebih banyak mengalami kehilangan fithrah dan kebahagiannya karena berbagai kelemahan yang dimiliki, kecuali jika dirinya memiiiki rasa ketuhanan yang kuat. Prinsip moral kemanusiaan sangat terkait dengan agama, terutama dengan rasa ketuhanan. Rasa kemanusiaan hanya terwujud jika dilandasi rasa ketuhanan. Rasa kemanusiaan yang lepas dari rasa ketuhanan, akan menyebabkan terjadinya praktekpraktek pemutlakan sesama manusia. Karena itu, kemanusiaan sejati harus bertujuan pada keridlaan Tuhan semata. Orientasi keridlaan Tuhan ini merupakan landasan bagi peningkatan nilai-nilai kemanusiaan seseorang.21 Mengenai hal ini dijelaskan dalam Al Quran: "Barang siapa menghendaki kemuliaan, pada Allah-lah kemuliaan itu semua. Kepada-Nyalah naik ide-ide yang baik (al khalim at thayyib), dan Dia mengangkat (menghargai) perbuatan kebajikan".22 Nilai kemanusiaan dalam iman seseorang merupakan keseluruhan pandangan transendental yang menyangkut kesadaran akan asal dan tujuan wujud serta hidupnya, yang harus berpusat pada Tuhan Yang Maha Esa. Manusia atau nilai kemanusiaan, menjadi ukuran amal perbuatan, maka segala sesuatu yang ada di muka bumi ini, yang tidak bermanfaat bagi manusia dan kemanusiaan akan sirna, sedangkan yang bermanfaat bagi manusia dan kemanusiaaan akan tetap bertahan.23

21

Nurcholish Madjid. 2000. Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan. Jakarta: Penerbit Paramadina. hal. 102. 22 Q. S. Al Fathir 35: 10. 23 Nurcholish Madjid. 2000. Islam Doktrin dan Peradaban. Ibid. hal. 100.

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan hal itu, manusia akan selalu memiliki kesadaran untuk memusatkan pandangan kepada Tuhan, karena dengan demikian manusia akan menemukan dirinya, dan memperoleh ketentraman lahir dan bathin serta rasa optimis terhadap hidup serta kemantapan diri. Kondisi ini akan melahirkan manusia yang berketuhanan, dan manusia yang berketuhanan secara otomatis akan menjadi manusia yang berperikemanusiaan.24 Manusia yang berperikemanusiaan akan menjadi pribadi yang berpola hidup saling menghormati sesama manusia. Pola hidup saling menghormati ini, merupakan perwujudan saling memuliakan diantara manusia, sebagaiman Tuhan sendiri memuliakan manusia. Hubungan antara manusia yang satu dengan lainnya ini membentuk sebuah pola interaksi diantara pribadi-pribadi yang berbeda, yang pada akhirnya akan berpengaruh pada kualitas dirinya sebagai manusia, yaitu kualitas harkat dan martabat. Setiap pribadi harus memandang bahwa pola interaksi dengan pribadi yang lain merupakan bentuk representasi seluruh kemanusiaan. Perbuatan baik kepada seorang manusia akan bernilai sebagai perbuatan baik kepada keseluruhan kemanusiaan, dan sebaliknya, perbuatan jahat kepada seorang manusia akan bernilai sebagai perbuatan jahat kepada keseluruhan kemanusiaan. Sebagaimana tercantum dalam Al Quran : "Oleh sebab itu telah kami (Tuhan) tetapkan atas anak turun Israel bahwasanya barangsiapa membunuh seseorang tanpa kesalahan (membunuh orang lain) atau membuat kerusakan di bumi maka seakan-

24

Ibid. hal. 101.

Universitas Sumatera Utara

akan ia telah membunuh umat manusia seluruhnya, dan barangsiapa menghidupkan (berbuat baik) kepadanya maka seakan-akan ia telah menghidupkan umat manusia seluruhnya".25 Prinsip moral kemanusiaan yang berlandaskan rasa ketuhanan ini, pada akhirnya akan mewujudkan pola hubungan antar manusia dalam semangat egalitarianisme. Setiap pribadi manusia berharga sebagai mahluk Tuhan yang bertanggungjawab langsung kepada-Nya, tidak seorangpun dari mereka itu yang dibenarkan diingkari hak-hak azasinya, demikian pula sebaliknya. Maka dapat disimpulkan bahwa prinsip moral kemanusiaan yang melahirkan semangat egalitarianisme akan mampu melandasi demokrasi, dan menghindarkan dari totalitarianisme, otoritarianisme dan tirani.26

2. 2. Sudut Pandang Nurcholish Madjid Melihat Wacana Kemanusiaan di Barat Berbicara masalah kemanusiaan dalam perspektif Barat sangat terkait dengan persoalan hak-hak azasi manusia (HAM). Persoalan HAM ini menjadi dasar bagi persoalan kemanusiaan karena didalamnya terkait dengan hak-hak dasar manusia yang berasal dari pemberian Tuhan, tanpa memandang berbagai perbedaan yang ada. Kesadaran akan hak azasi manusia (HAM) mulai tumbuh di Barat dengan beberapa tonggak penting diantaranya, yaitu :

25 26

Q. S. Al Maidah 5: 32. Nurcholish Madjid. 2000. Islam Doktrin dan Peradaban. Ibid. hal. 103.

Universitas Sumatera Utara

a. Perjanjian Agung (Magna Charta) di Inggris pada 15 Juni 1215, sebagai bagian dari pemberontakan para Baron Inggris terhadap Raja John (saudara raja Richard, seorang pemimpin tentara Salib). Isi pokok dokumen ini adalah agar raja tidak melakukan pelanggaran terhadap hak milik dan kebebasan pribadi dari seorang rakyat. Pendorong pemberontakan para Baron itu sendiri antara lain karena dikenakannya pajak yang sangat besar oleh raja, dan dipaksakannya para Baron untuk membolehkan anak-anak perempuan mereka kawin dengan rakyat biasa. b.

Bill of Rights (1628), berisi penegasan tentang pembatasan kekuasaan raja dan dihilangkannya hak raja untuk melaksanakan kekuasaan terhadap siapapun, atau untuk memenjara, menyiksa, dan mengirimkan tentara secara sewenang-wenang tanpa dasar hukum.

c. Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat 4 Juli 1776, memuat penegasan bahwa setiap orang dilahirkan dalam persamaan dan kebebasan dengan hak untuk hidup dan mengejar kebahagiaan, serta keharusan mengganti pemerintahan yang tidak mengindahkan ketentuan-ketentuan dasar tersebut. d. Deklarasi Hak-hak Manusia dan Warga Negara (Declaration des Droits de l 'Homme et du Citoyen), Prancis, 4 Agustus 1789, dengan titik berat pada lima hak azasi manusia, yaitu pemilikan harta (propiete), kebebasan (liberte), persamaan (egalite), keamanan (securite) dan perlawanan terhadap penindasan (resistence a l 'oppression). e. Deklarasi Universal tentang Hak-hak Azasi Manusia, Desember 1948, yang memuat pokok-pokok tentang kebebasan, persamaan, pemilikan harta, hak-hak dalam

Universitas Sumatera Utara

perkawinan, pendidikan, pekerjaan dan kebebasan beragama (termasuk hak untuk berpindah agama).27 Sejarah panjang kemanusiaan dalam upaya penegakan hak-hak azasi manusia di atas merupakan bukti bahwa ide tentang hak azasi bukanlah sesuatu yang muncul begitu saja, melainkan melalui suatu perjalanan panjang dan pengorbanan yang besar. Seluruh umat manusia wajib menyadari dan menghayati hal ini serta berapaya untuk menumbuhkan dan mengembangkan pengakuan terhadap hak-hak azasi manusia itu. Hak-hak azasi manusia sesungguhnya juga merupakan bagian dari hakikat kemanusiaan yang paling intrinsik, maka sejarah pertumbuhan konsep-konsepnya dan perjuangan menegakkannya sekaligus menyatu dengan sejarah manusia dan kemanusiaan itu sendiri semenjak dikenalnya peradaban. Hal ini dapat dilihat dari ajaran-ajaran agama, terutama agama-agama semitik (Yahudi, Kristen dan Islam) dimana salah satu persoalan kemanusiaan yang paling dini diungkapkan melalui penuturan tentang peristiwa pembunuhan yang menyangkut dua anak lelaki Adam dan Hawa, yaitu Qadil (Cain) dan Habil (Abel). Peristiwa pembunuhan pertama sesama manusia ini menghasilkan dekrit Tuhan : "Bahwa barang siapa membunuh suatu jiwa tanpa (kesalahan) membunuh jiwa yang lain atau membuat kerusakan di bumi, maka ia bagaikan membunuh umat manusia seluruhnya, dan barang siapa menolong hidup suatu jiwa maka ia bagaikan menolong hidup umat manusia seluruhnya". (Q. S. Al Maidah 5: 27-32 dan Kitab Kejadian 4. 1-16).28

27 28

Nurcholish Madjid. 2003. Islam Agama Kemanusiaan. Ibid. hal. 212. Ibid. hal. 212.

Universitas Sumatera Utara

3. Prinsip Keadilan dalam Perspektif Nurcholish Madjid 3. 1. Sudut Pandang Nurcholish Madjid Melihat Wacana Keadilan dalam Islam Prinsip moral keadilan memiliki keterkaitan dengan iman. Keadilan bagi manusia merupakan tindakan persaksian, bagi Tuhan Yang Maha Adil. Menegakkan prinsip keadilan merupakan perbuatan yang mendekati takwa atau keinsyafan ketuhanan dalam diri manusia. Jika keadilan dikaitkan dengan agama, maka yang pertama-tama dapat dikatakan ialah bahwa usaha mewujudkan keadilan merupakan salah satu dari sekian banyak sisi kenyataan tentang agama. Sudah sejak umat manusia mengenal peradaban di lembah Sawab (Mesopotamia, Irak sekarang) sekitar 6000 tahun lalu, persoalan keadilan selalu merupakan tantangan hidup yang tidak pernah berhenti diperjuangkan.29 Sejarah manusia yang mengantarkannya untuk mengenal peradaban telah menyebabkan lahirnya tingkatan-tingkatan dalam kehidupan. Tingkatan dalam kehidupan ini menyebabkan ada kelompok manusia yang kuat dan menguasai kelompok yang lebih lemah. Hal inilah yang kemudian melahirkan masalah keadilan. Keadilan berasal dari kata adil, istilah dalam bahasa Arab yaitu, adl atau qisth. Merupakan istilah yang serba meliputi, mencakup semua jenis kebaikan dalam pemikiran kefilsafatan. Namun, keadilan memiliki dasar rasa ketuhanan,

29

Ibid. hal. 177.

Universitas Sumatera Utara

maka hal ini menyebabkan keadilan berdasarkan iman melahirkan makna yang lebih dalam dan manusiawi, dari sekedar keadilan formal dalam sistem hukum Romawi.30 Tetapi dalam Al Quran, pengertian adil atau justice ini ternyata tidak hanya diwakili oleh kata ’adl. Sebagai kata benda, paling tidak ada dua kata yang artinya adil atau justice, yakni ‘adl itu sendiri dan qisth. Dari akar kata ‘a-d-l, sebagai kata benda, kata ini disebut sebanyak 14 kali dalam Al Quran, sedangkan kata qisth berasal dari akar kata q-s-th, diulang sebanyak 15 kali sebagai kata benda.31 Kata yang artinya keadilan ini dalam Al Quran mula-mula diturunkan, baik kata 'adl maupun qisth adalah dalam surat Al A'raf 7: 29, 159 dan 18. Dalam Al A'raf 7: 29 ini kata keadilan dinyatakan dengan qisth. Arti dari ayat tersebut adalah: Dan apabila mereka melakukan perbuatan keji, mereka berkata: "Kami mendapati nenek moyang kami mengerjakan perbuatan yang demikian itu, dan Allah menyuruh kami mengerjakannya". Katakanlah: "Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang keji". Mengapa engkau mengada-ada terhadap Allah apa yang kamu tidak ketahui? Katakanlah: "Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan (qisth)". Dan katakanlah: "Luruskan mukamu di setiap shalat dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatanmu kepada-Nya, sebagaimana Dia

30

Nurcholish Madjid. 2003. Islam Doktrin dan Peradaban. Ibid. hal. 115. Muhammad Dawam Rahardjo. 2002. Ensiklopedia Al Quran. Jakarta: Penerbit Paramida bekerjasama dengan Jurnal Ulumul Quran. hal. 369. 31

Universitas Sumatera Utara

telah menciptakan kamu pada awalnya, demikian pulalah kamu akan kembali kepadaNya.32 Pada Al A'raf 28 dinyatakan bahwa Allah melarang perbuatan keji. Menurut riwayat, yang dimaksud dengan perbuatan keji di sini adalah perbuatan syirik, seperti lari-lari (bertelanjang) di depan Ka'bah yang dilakukan orang-orang musyrik (agar Allah merasa senang). Ketika mereka diperingatkan bahwa perbuatan itu tidak sepantasnya, mereka memberi alasan, bahwa hal itu sudah menjadi tradisi turuntemurun dan suruhan Allah juga. Hal ini disanggah oleh Allah, bahwa dia tidak menyuruh orang melakukan perbuatan keji.33 Ayat 29, selanjutnya menjelaskan bahwa Allah menyuruh orang menjalankan keadilan. Secara konkret, yang disebut keadilan (qisth) ini adalah: (a) mengkonsentrasikan perhatian dan shalat kepada Allah, dan (b) mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya. "Meluruskan muka (wajah)" dalam shalat, pada ayat 29 ini maksudnya adalah tidak menyangkutkan perhatian kepada sesuatu yang lain, yang membuat seseorang seolah-olah menyembah sesuatu perantaraan, yang berarti syirik. Maksud lain keadilan pada ayat di atas adalah taat secara ikhlas kepada Allah. Ketaatan yang ikhlas ini artinya mendasarkan diri dan berorientasi kepada Allah, berbuat sesuatu karena diperintahkan Allah, dan tidak berbuat sesuatu karena dilarang oleh Allah. Keadilan kedua ini merupakan konsekuensi dari keadilan pertama.34 Lawan dari keadilan adalah tindakan yang meragikan manusia, yang merampas hak-hak manusia dan segala perbuatan yang dapat menimbulkan 32

Ibid. hal. 370. Ibid. hal. 370. 34 Ibid. hal. 370. 33

Universitas Sumatera Utara

kerusakan pada masyarakat. Apabila kita meletakkan keadilan pada konteks sekarang, maka perjuangan hak-hak asasi manusia adalah perjuangan menegakkan keadilan. Demikian pula perjuangan mencegah kerusakan lingkungan hidup. Semua kegiatan yang berusaha meniadakan kerugian pada masyarakat dan mengembalikan hak-hak rakyat, dapat disebut sebagai perjuangan menegakkan keadilan. Berbuat adil, adalah standar minimal bagi perilaku manusia. Kelanjutan dari bersikap adil adalah berbuat kebajikan dan beramal sosial, setidak-tidaknya kepada kaum kerabatnya sendiri, berbarengan dengan itu, orang juga harus mampu menghindarkan diri dari berbagai perilaku keji, mungkar, dan permusuhan dengan sesama manusia. Dalam Islam, keadilan pada akhirnya -dan dalam renungan tertinggidipahami sebagai "keadilan Illahi". Ada tiga nilai fundamental yang dinyatakan dalam Al Quran, yaitu: Tawhid atau pengesaan Tuhan, Islam atau penyerahan dan ketundukan kepada Allah, dan Keadilan, yaitu keyakinan bahwa segala perbuatan kita di dunia ini kelak akan dinilai Allah, Hakim Yang Maha Adil. Rasa keadilan yang berdasarkan iman akan keluar dari hati nurani yang terdalam. Keadilan ini terkait erat dengan ihsan, yaitu keinginan berbuat baik untuk sesama manusia secara tulus dan murni karena perbuatan tersebut merupakan wujud persaksian kepada Tuhan, dan tidak akan pernah dapat disembunyikan, Istilah lain mengenai "adil" juga berasal dari bahasa Arab, yang berarti tengah atau seimbang. Jadi dapat dikatakan bahwa prinsip dasar dari keadilan adalah keseimbangan (Al Mizan), yaitu suatu sikap tidak berlebihan, baik ke kanan atau ke

Universitas Sumatera Utara

kiri. Kemampuan untuk berbuat adil senantiasa dikaitkan dengan kearifan atau wisdom, yang dalam bahasa Arab disebut sebagai hikmah, yaitu suatu kualitas pribadi yang diperoleh karena adanya pengetahuan yang menyeluruh dan seimbang (tidak pincang atau parsial) tentang suatu perkara.35 Terkait dengan masalah keadilan ini di dalam Al Quran dijelaskan bahwa hal ini dikaitkan hukum ketetapan Allah bagi kosmos atau alam raya. Pelanggaran terhadap prinsip keadilan dapat diartikan sebagai melanggar hukum kosmos, dan berarti merupakan sebuah dosa besar. Allah berfirman: "Dan langitpun ditinggikan oleh-Nya, dan ditetapkan-Nya (hukum) keseimbangan (Al Mizan). Maka hendaknya kamu (umat manusia) janganlah melanggar (hukum) keseimbangan itu, serta tegakkanlah timbangan dengan jujur, dan janganlah merugikan (hukum) keseimbangan ".36 Salah seorang ahli tafsir Al-Quran yang terkenal, Al Zamakhsyari, mengatakan bahwa perkataan "timbangan" atau "al-wazn" dalam firman Allah itu dapat diartikan secara metamorfosis. Maksud "timbangan" dalam artian ini ialah setiap rasa keadilan yang meliputi seluruh kegiatan hidup kita, baik yang lahir maupun bathin. Maka perintah Allah agar kita "melakukan timbangan secara jujur itu" ialah perintah agar kita dalam segala perkara senantiasa memperhatikan rasa keadilan dan kejujuran. Jika tidak, maka berarti kita telah melanggar, merusak dan merugikan hukum seluruh alam raya. Ini berarti bahwa reaksi keberatan terhadap tindakan tidak adil dan tidak jujur, berasal tidak hanya dari orang yang dirugikan, tetapi juga berasal

35 36

Nurcholish Madjid. 2002. Pintu Pintu Menuju Tuhan. Jakarta: Penerbit Paramadina. hal. 41. Q. S. Ar Rahman 55: 7-9.

Universitas Sumatera Utara

dari seluruh alam raya. Hal ini yang menjelaskan bahwa keadilan adalah sebuah hukum kosmos. Terkait dengan masalah hukum kosmos ini juga maka dapat dikatakan bahwa keadilan adalah sunatullah ("sunat Allah"). Sebagai sebuah kepastian sunatullah maka keadilan adalah sesuatu yang obyektif dan tidak akan berubah (immutable). Keadilan dikatakan obyektif karena tidak tergantung pada pikiran atau kehendak manusia, dan tidak akan berubah karena berlaku selama-lamanya tanpa interupsi atau koneksi kepada seseorang.37 Sifat obyektif jugalah yang mengantarkan keadilan memiliki hubungan yang sangat erat dengan masalah kemanusiaan, dimana manusia dalam keadilan ini dilihat dalam proporsi dan kedudukan yang sama tanpa adanya suatu perbedaan. Selain itu, keadilan juga memiliki makna yang sangat penting, ketika dikaitkan dengan "amanat" (amanah), yang berarti titipan suci dari Tuhan kepada umat manusia untuk sesamanya, terutama amanat ini terkait dengan masalah memerintah atau kekuasaan. Kekuasaan pemerintahan adalah sesuatu yang tak terhindarkan demi ketertiban tatanan kehidupan manusia. Sendi setiap bentuk kekuasaan adalah kepatuhan dari banyak orang kepada para penguasa (ulu al-amr, bentuk dari wali al-amr). Kekuasaan dan ketaatan adalah dua segi dari satu kenyataan. Namun, kekuasaan yang patut dan harus ditaati hanyalah yang berasal dari orang banyak dan mencerminkan rasa keadilan karena menjalankan amanat Tuhan. Maka yang pertama-tama harus dipenuhi bagi

37

Nurcholish Madjid. 2002. Pintu-Pintu Menuju Tuhan. Ibid. hal. 43.

Universitas Sumatera Utara

suatu kekuasaan untuk mendapatkan keabsahan atau legitimasinya, adalah menjalankan amanat itu, dengan menegakkan keadilan sebagai saksi kehadiran Tuhan.38 Hal itu tertulis dalam Al Quran: "Hai sekalian orang beriman, taatlah kepada Allah, dan taatlah kepada Rasul-Nya, dan kepada para pemegang kekuasaan dari antara kamu. Jika kamu berselisih tentang suatu perkara, kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Itulah keputusan yang lebih baik dan lebih tepat".39 Beberapa pendekatan kebahasaan di atas sudah cukup menjelaskan apa yang dimaksud dengan "adil" dan "keadilan" menurut ajaran agama Islam. Sedangkan sebagai konsep, makna keadilan itu jauh lebih luas dan rumit daripada makna kebahasaannya. Menurut Murtadla al Muthahhari, salah seorang pemikir muslim zaman modem, terdapat empat pengertian pokok tentang adil dan keadilan:40 Pertama, keadilan mengandung pengertian perimbangan atau keadaan seimbang (mawzun, balanced), tidak pincang. Jika suatu kesatuan terdiri dari bagianbagian yang kesemuanya secara bersama-sama dalam kesatuan itu menuju satu tujuan yang sama, maka dituntut beberapa syarat tertentu, bahwa masing-masing bagian itu mempunyai ukuran yang tepat dan berada dalam kaitan yang tepat pula antara satu dengan lainnya dan antara setiap bagian itu dengan keseluruhan kesatuan. Kondisi ini akan menyebabkan keseluruhan kesatuan tersebut akan mampu untuk mempertahankan diri dan mencapai tujuan yang diharapkan.

38

Nurcholish Madjid. 2000. Islam Doktrin dan Peradaban. Ibid. hal. 116. An Nisa 4: 58. 40 Ibid. hal. 153. 39

Universitas Sumatera Utara

Kedua, keadilan mengandung makna persamaan (musawah, egalite) dan tidak adanya diskriminasi dalam bentuk apapun. Berdasarkan makna ini seseorang dikatakan bertindak adil jika dirinya memperlakukan orang lain secara sama. Perlakuan yang sama ini dengan tetap memperhatikan adanya perbedaan kemampuan, tugas, dan fungsi dari masing-masing orang. Perlakuan sama tanpa memperhatikan hal-hal tersebut justru merupakan sebuah kezaliman. Tetapi jika perlakuan yang sama dilakukan terhadap orang yang memiliki hak yang sama (kemampuan, fungsi dan tugas yang sama), maka pengertian persamaan sebagai makna keadilan dapat dibenarkan. Ketiga, keadilan bermakna sebagai pemberian perhatian kepada hak-hak pribadi dan penunaian hak kepada siapa saja yang berhak. Perampasan hak dan pelanggaran hak oleh orang yang tidak berhak merupakan bentuk kezaliman dari pengertian ini. Keadilan dalam makna ini menyangkut dua hal penting, yaitu: (a) masalah hak dan kepemilikan (al-huquq wa al-uluwiyyat, rights and properties). Hal ini tidak saja mencakup hak dan pemilikan seseorang sesuai dengan usaha dan hasil usahanya, tetapi juga mencakup hak dan pemilikan alami, seperti hak seorang bayi untuk mendapatkan susuan ibunya, berdasarkan "design" alami berkenaan dengan kebutuhan bayi itu untuk pertumbuhannya. (b) kekhususan hakiki manusia, yaitu kualitas manusiawi tertentu yang haras dipenuhi oleh dirinya dan diakui oleh orang lain untuk dapat mencapai tujuan hidupnya yang lebih tinggi. Menghalangi orang lain dari memenuhi kualitas itu atau mengingkarinya adalah kezaliman. Keempat, makna keadilan adalah keadilan Tuhan (al-Ad'l al-lllahi), berupa kemurahan-Nya dalam melimpahkan rahmat kepada sesuatu atau seseorang, setingkat

Universitas Sumatera Utara

dengan kesediaannya untuk menerima eksistensi dirinya sendiri dan pertumbuhannya ke arah kesempurnaan. Sedangkan menurut Baharuddin Lopa ada lima model keadilan yang didapatkan dari ajaran Islam. Pertama, keadilan hukum, yakni keadilan yang dapat mewujudkan ketentraman, kebahagiaan dan ketenangan secara wajar dalam masyarakat (Q. S. Al Maidah: 8, Q. S. An Nisa: 5-6, Q. S. An Nisa: 58, Q. S. Al Hujurat: 12, Q. S. Al Isra: 15 dan Q. S. Al Hadid: 25). Kedua, keadilan dalam kehidupan sosial ekonomi (Q. S. Al Jumu' ah: 10, Q. S. Al Baqarah: 29, Q. S. Al Baqarah: 188, Q. S. Al Mulk: 15, Q. S. At Taubah: 105, Q. S. Al Qashash: 77, Q. S. An Nisa: 58, Q. S. At Thur: 21). Ketiga, keadilan dalam kehidupan beragama (Q. S. Ar Ruum: 30, Q. S. Al Baqarah: 111, Q. S. Al Baqarah: 170, Q. S. Al Ankabut: 46, Q. S. Al An’ am: 148, Q. S. Saba': 24, Q. S. Al Ahqaf: 4, Q. S. At Thur: 34, Q. S. Al Maidah: 6, Q. S. Al Maidah: 104, Q. S. Al Hasyr: 2, Q. S. An Nisa: 59, Q. S. An Nisa: 82, Q. S. As Syura: 10, Q. S. Al Isra': 36, Q. S. Yunus: 68, Q. S. An Nahl: 43, Q. S. At Taubah: 122).41

3. 2. Sudut Pandang Nurcholish Madjid Melihat Wacana Keadilan di Barat Keadilan dalam perspektif Barat, diartikan sebagai memberi masingmasing pihak apa yang menjadi haknya. Jadi, sasarannya adalah hak-hak manusia, baik sebagai perorangan maupun sebagai masyarakat dan warga negara. Manusia mempunyai hak-hak, baik sebagai perorangan maupun sebagai warga masyarakat atau 41

Anas Urbaningrum. 2004. Islamo Demokrasi: Pemikiran Nurcholish Madjid. Jakarta: Katalis dan Penerbit Republika. hal. 95.

Universitas Sumatera Utara

negara. Demikian pula masyarakat dan negara mempunyai hak-hak yang harus dihormati oleh para anggotanya. Keadilan dapat pula ditinjau dari beberapa aspek, yaitu aspek hukum, politik, materi dan kesempatan.42 Keadilan dilihat dari segi hukum berarti adanya persamaan di depan hukum atau adanya kesamaan kedudukan yang dimiliki oleh setiap individu di depan hukum. Keadilan dalam arti ini tidak pernah terwujud sepenuhnya, karena dalam hukum tetap ditemukan adanya perlakuan yang berbeda menyangkut keberadaan seseorang dari segi fisik, seperti anak-dewasa, pria-wanita, sehat-sakit. Melihat kenyataan ini maka digunakanlah istilah "keadilan prosedural" untuk keadilan hukum ini. Menurut Almond, keadilan prosedural menunjukkan kondisi-kondisi, pembatasan-pembatasan dan proses-proses tertentu yang dibutuhkan dalam penerapan hukum terhadap para pelanggar hukum. Keadilan dari segi politik, berarti persamaan politik (political equality), meliputi kesamaan hak memilih seseorang untuk menduduki suatu jabatan tertentu, mencalonkan diri untuk suatu jabatan tertentu (rekrutmen politik) dan berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan politik. Keadilan dari segi materi, berarti persamaan materi (material equality). Terdapat perdebatan terkait dengan keadilan materi ini, yaitu apakah suatu keputusan politik dapat memberikan, atau bahkan harus memberikan persamaan materi kepada mereka yang memilikinya. Jadi menyangkut distribusi barang-barang dan jasa, atau sama dengan keadilan distributif tersebut di atas. Sering dikatakan bahwa 42

Andre Bayo Ala. 1985. Hakekat Politik, Siapa Melakukan Apa untuk Memperoleh Apa. Yogyakarta: Penerbit Akademia. hal. 39.

Universitas Sumatera Utara

persamaan materi merupakan suatu prasyarat bagi persamaan-persamaan lain, dalam kasus di mana konflik di antara nilai-nilai politik tidak dapat ditangani atau diselesaikan dengan mudah. Keadilan dari segi kesempatan, berarti adanya persamaan kesempatan (equal opportunity), bahwa semua orang mempunyai kesempatan yang sama dan memiliki hakhak yang sama untuk menggunakan kesempatan tersebut. Menghormati hak-hak tersebut adalah adil dan melanggar hak-hak tersebut adalah tidak adil.

E. Metodologi Penelitian 1. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan studi tentang pemikiran Nurcholish Madjid mengenai segi etis dalam Islam, yang secara konsisten dijelaskan olehnya meliputi prinsip moral kemanusiaan dan keadilan. Segi etis inilah yang kemudian dikenal dengan istilah etika politik dalam kehidupan politik modern sekarang ini. Pilihan ini kemudian menjadikan metode penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif menjadi relevan untuk digunakan karena akan banyak bermanfaat dalam proses analisa dan pemaknaan data yang tidak bersifat statistika. Adapun langkah-langkah metodis yang ditempuh dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Inventarisasi; untuk mengurai berbagai konsep mengenai etika Islam ini, pertamatama akan dihimpun berbagai literature yang memperjelas identifikasi konsep etis dalam Islam, yang ternyata mengerucut pada prinsip-prinsip moral kemanusiaan dan

Universitas Sumatera Utara

keadilan. Kemudian akan ditampilkan berbagai perspektif tentang prinsip-prinsip moral ini, berbagai pandangan pakar atau filosof tentang hal ini, mengkomparasikan pandangan-pandangan tersebut dan juga akan digali bagaimana praksis-praksis mengenai kedua prinsip ini dalam kehidupan politik yang banyak mengalami berbagai tafsir konseptual dan perdebatan karena adanya perbedaan pandangan. b. Analisis konsep; langkah selanjutnya adalah analisis konsep yang berguna untuk melihat dan memaknai sejauh mana prinsip-prinsip yang ditawarkan ini mampu memberikan solusi bagi persoalan yang timbul, kelebihan dan kelemahan yang dimiliki, serta faktor ideologis atau strategis apa yang menyebabkan lahirnya pemikiran tersebut. c. Komparasi; langkah berikutnya adalah dengan mengkomparasikan dan mempertentangkan konsep ini dengan konsep serupa menurut pemikiran Barat maupun Islam sendiri dalam Al Quran, sehingga akan diketahui sisi-sisi persamaan ataupun perbedaan diantara keduanya atau bahkan gabungan dari dua jalur pemikiran itu. d. Sintesis; langkah berikutnya adalah dengan "mengendapkan" hakikat dari seluruh hal yang ada untuk kemudian dapat diperoleh pemaknaan yang utuh dan menyeluruh mengenai konsep tersebut, dan kesesuaiannya untuk menghadapi berbagai persoalan dalam kehidupan sosial dan politik yang diharapkan akan memperoleh "pencerahan" dengan kembali ke jalan agama ini. e. Heuristika; setelah berbagai konsep mengenai prinsip-prinsip moral ini dikupas dari berbagai pandangan, diharapkan akan mampu dilakukan pemetaan terhadap

Universitas Sumatera Utara

pandangan tokoh yang menelurkan pemikiran tersebut, atau bahkan lahir suatu cara pemaknaan baru melihat konsep etis dalam Islam ini, terutama terkait dengan persoalan prinsip moral kemanusiaan dan keadilan. Hal ini diharapkan bisa membuka cakrawala dan pemahaman baru mengenai cara berpolitik yang lebih santun dan bermartabat melalui penerapan etika politik yang benar menurut ajaran agama Islam.

2. Jenis Penelitian Penelitian ini termasuk ke dalam jenis penelitian kepustakaan (library research). Penelitian ini akan merujuk pada berbagai pustaka yang telah disiapkan, baik dari buku-buku yang merupakan sumber utama dari pemikiran Nurcholish Madjid, maupun tulisan orang lain mengenai pemikiran Nurcholish Madjid ini, juga buku-buku yang memuat konsep mengenai etika politik, segi etis dalam Islam, maupun prinsipprinsip moral kemanusiaan dan keadilan dalam berbagai tulisan dan pendapat, baik yang berbahasa Indonesia, Inggris, maupun Arab. Kajian ini juga akan memanfaatkan referensi dari berbagai artikel, baik di koran, majalah, dan situs-situs internet yang mendukung tema bahasan. Berbagai pustaka yang telah disiapkan ini, diharapkan bisa mendukung, memperlancar dan mempermudah tercapainya tujuan penelitian ini.

Universitas Sumatera Utara

3. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dilakukan melalui cara mengumpulkan data yang berupa bahan-bahan tertulis, termasuk arsip-arsip, buku-buku tentang pendapat, teori, dalil atau hukum-hukum yang berhubungan dengan penelitian.43 Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer berupa karya-karya Nurcholish Madjid, baik berupa tulisan maupun pernyataan-pernyataannya, baik berupa buku maupun artikel di berbagai media massa cetak.44 Sedangkan data sekunder yang digunakan adalah data pendukung yang relevan dan berkaitan secara langsung maupun tidak langsung, seperti tulisan ataupun pemyataan yang membahas pemikiran dari Nurcholish Madjid oleh tokoh lain.

4. Metode Analisis Data Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehmgga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.45 Penelitian ini dilakukan dengan melakukan tahap-tahap seperti di bawah ini: a. Membaca dan melakukan telaah terhadap sumber data yang terkait dengan penelitian ini. 43

Hadari Nawawi dan Martini Hadari. 1992. Instrumen Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: UGM Press. hal. 69-70. 44 Anton Baker dan Ahmad Chariss Zubair. 1994. Metodologi Penelitian Filsafat. Jakarta: Kanisius. hal. 61. 45 Lexy J. Moeleng. 1998. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Penerbit Remaja Rosdakarya. hal. 61.

Universitas Sumatera Utara

b. Mengadakan reduksi data untuk mengidentifikasikan aspek-aspek penting dari isu-isu penting dalam pertanyaan, memfokuskan pengumpulan data dan metode, sampai dengan kesimpulan. Reduksi data ini dapat dilakukan dengan membuat abstraksi, yaitu usaha membuat rangkuman yang inti, proses, pernyataan-pernyataan yang perlu dijaga sehingga tetap berada di dalamnya.46 c. Menyusun dalam satuan-satuan kategorisasi yang lebih spesifik. d. Pemeriksaan terhadap keabsahan data. e. Penafsiran atau intepretasi atas teks sampai pada penarikan kesimpulan sesuai dengan pertanyaan penelitian.

46

Ibid. hal. 190.

Universitas Sumatera Utara

F. Sistematika Penelitian BAB I

PENDAHULUAN G. Latar Belakang Masalah H. Rumusan Masalah I. Tujuan Penelitian J. Tinjauan Pustaka 1. Etika Politik dalam Perspektif Nurcholish Madjid 1. 1. Sudut Pandang Nurcholish Madjid Melihat Wacana Etika Politik dalam Islam 1. 2. Sudut Pandang Nurcholish Madjid Melihat Wacana Etika Politik di Barat 2. Prinsip Kemanusiaan dalam Perspektif Nurcholish Madjid 2. 1. Sudut Pandang Nurcholish Madjid Melihat Wacana Kemanusiaan dalam Islam 2. 2. Sudut Pandang Nurcholish Madjid Melihat Wacana Kemanusiaan di Barat 3. Prinsip Keadilan dalam Perspektif Nurcholish Madjid 3. 1. Sudut Pandang Nurcholish Madjid Melihat Wacana Keadilan dalam Islam 3. 2. Sudut Pandang Nurcholish Madjid Melihat Wacana Keadilan di Barat

Universitas Sumatera Utara

K. Metodologi Penelitian 1. Metode Penelitian 2. Jenis Penelitian 3. Metode Pengumpulan Data 4. Metode Analisis Data F. Sistematika Penelitian BAB II

SEJARAH SOSIAL DAN INTELEKTUAL NURCHOLISH MADJID D. Riwayat Hidup Nurcholish Madjid E. Perjalanan Intelektual Nurcholish Madjid F. Karya-karya Intelektual Nurcholish Madjid

BAB III

PEMIKIRAN NURCHOLISH MADJID: ESENSI KEMANUSIAAN DAN KEADILAN DALAM POLITIK MENUJU BANGSA YANG BERETIKA D. Etika dan Keteguhan Moral Bangsa E. Kemanusiaan Melahirkan Demokrasi dalam Politik F. Keadilan Melahirkan Obyektivitas dalam Politik

BAB IV

ANALISIS D. Etika dan Moralitas Kepemimpinan: Mampukah Mengatasi Seluruh Persoalan Bangsa

Universitas Sumatera Utara

E. Kemanusiaan Melahirkan Demokrasi: Sesuaikah dengan Konteks Indonesia F. Keadilan Melahirkan Obyektivitas dalam Politik: Persoalan Panjang yang Tak Terselesaikan BAB V

PENUTUP C. Kesimpulan D. Saran

Universitas Sumatera Utara