ISOLASI DAN PEMURNIAN ASAP CAIR BERBAHAN DASAR TEMPURUNG DAN SABUT KELAPA SECARA PIROLISIS DAN DISTILASI
CANDRA LUDITAMA F34102053
2006 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
ISOLASI DAN PEMURNIAN ASAP CAIR BERBAHAN DASAR TEMPURUNG DAN SABUT KELAPA SECARA PIROLISIS DAN DISTILASI
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh CANDRA LUDITAMA F34102053
2006 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ISOLASI DAN PEMURNIAN ASAP CAIR BERBAHAN DASAR TEMPURUNG DAN SABUT KELAPA SECARA PIROLISIS DAN DISTILASI
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Oleh CANDRA LUDITAMA F34102053 Dilahirkan di Tangerang pada tanggal 20 Februari 1984 Tanggal Lulus : 9 November 2006
Bogor, Desember 2006 Menyetujui,
Dr.Ir. Erliza Noor NIP : 131667793 Pembimbing I
Dr. Gustan Pari, MSi, APU NIP : 710.005.078 Pembimbing II
Candra Luditama (F34102053). Isolation and Purification of Liquid Smoke from Coconut Shell and Coir by Pyrolisis and Distillation. Revised by Dr. Ir. Erliza Noor and Dr. Gustan Pari, MSi. SUMMARY Liquid smoke is a vinegar obtained by pyrolisis of organic material such as wood, then followed by condensation through water-cooled condenser. Liquid smoke consist of antibakterial and antioxydant compounds, so that it was widely used in food industries as preservatives, health industries, fertilizers, bioinsecticides, pesticides, desinfectants, herbisides, and many more. Smoke was obtained by the combustion of the wood that is consist of hemicellulose, cellulose, and lignine. The combustion of hemicellulose, cellulose, and lignine of wood will produce acids and its derivations, alcohols, phenols, aldehydes, karbonils, ketons and piridins. Besides antimikrobial and antioxydant compounds, liquid smoke also consist of Polysiclic Aromatic Hydrocarbon (PAH) that is hazardous if consumed by human being. This hazardous substrate can be separated from the liquor by precipitation for 24 hours or by distillation. Principally, another organic material that is consist of hemicellulose, cellulose, and lignine can be used as a raw material of liquid smoke, such as coconut coir, coconut shell, and paddy rank. The condition of combustion process affects the quality and quantity of liquid smoke obtained. Factors that is determine the quality and quantity of liquid smoke are the materials, pressure, heat temperature, and the duration of combustion process. The aim of this research is to produce liquid smoke from coconut shell and coir at various conditions of process, identify the compounds consist in liquid smoke, and separate the active compouns in liquid smoke. The pyrolisis was carried out in a reactor at temperature 300 °C and 500 °C for 5 hours. At this pyrolisis process, wood components, that is consist of hemicellulose, cellulose, and lignine, decomposed to acids and its derivations, alcohols, phenols, aldehydes, karbonils, ketons, piridins, and tar. After that, purification is done to separate tar and condense the concentration of phenol and acetic acid. Purification is conducted by distillation at 4 spanning temperatures, that is 0-100 °C, 100-125 °C, 125-150 °C, dan 150-200 °C. The result of coconut coir combustion at temperature of 300 °C and 500 °C yield 40,29 % dan 57,45 % liquid smoke and the coconut shell combustion at temperature of 300 °C dan 500 °C yield 40,08 % and 42,10 % liquid smoke. The result of 300 °C and 500 °C coconut coir’s liquid smoke purificaton yield 14,7 % - 22,9 % and 7,5 % - 45,5%, while the 300 °C and 500 °C coconut shell’s liquid smoke purificaton yield 1,4 % - 15,9 % and 1,3 % - 18,8 %. From physical and chemical properties test, purified liquid smoke has 1,76 - 2,97 acidity, 4,151 % - 59,934 % acids, 0,370 % - 0,835 % phenols, and 1,076 g/ml – 1,144 g/ml of specific gravity. Liquid smoke characteristic in the form of pH, acid contents and specific gravity fulfill standard of wood Japan vinegar.
Candra Luditama (F34102053). Isolasi dan Pemurnian Asap Cair Berbahan Dasar Tempurung dan Sabut Kelapa Secara Pirolisis dan Distilasi. Dibawah bimbingan Dr. Ir. Erliza Noor dan Dr. Gustan Pari, MSi. RINGKASAN Asap cair merupakan asam cuka (vinegar) yang diperoleh dengan cara pirolisis bahan baku pengasap seperti kayu, lalu diikuti dengan peristiwa kondensasi dalam kondensor berpendingin air. Asap cair mengandung senyawasenyawa antibakteri dan antioksidan, sehingga penggunaannya sangat luas mencakup industri makanan sebagai pengawet, industri kesehatan, pupuk tanaman, bioinsektisida, pestisida desinfektan, herbisida, dan lain sebagainya. Asap diperoleh melalui pembakaran kayu yang mengandung selulosa, hemiselulosa dan lignin. Pembakaran hemiselulosa, selolusa, dan lignin dari kayu akan menghasilkan senyawa asam dan turunannya, alkohol, fenol, aldehid, karbonil, keton dan piridin. Selain terdapat zat antimikroba, antibakteri, dan antioksidan, di dalam asap cair juga terdapat senyawa Polisiklik Aromatis Hidrokarbon (PAH) yang berbahaya apabila dikonsumsi oleh manusia. Zat berbahaya ini dapat dipisahkan dari asap cair dengan cara diendapkan selama 24 jam atau didistilasi. Pada prinsipnya, bahan-bahan lain yang memiliki kandungan senyawa-senyawa diatas dapat digunakan sebagai bahan baku asap cair, seperti serabut kepala, tempurung kelapa maupun merang padi. Kondisi proses pembakaran mempengaruhi kualitas dan kuantitas asap cair yang diperoleh. Faktor-faktor yang menentukan kualitas dan kuantitas asap cair tersebut adalah bahan baku, tekanan, suhu pembakaran, dan lamanya waktu pembakaran. Penelitian ini bertujuan untuk membuat asap cair dari tempurung dan sabut kelapa pada berbagai kondisi proses, mengidentifikasi komposisi senyawasenyawa yang terkandung di dalamnya, dan memisahkan komponen-komponen aktif pada asap cair. Variasi suhu pembakaran adalah 300 °C dan 500 °C selama 5 jam. Pada proses pirolisis ini, komponen kayu, yaitu selulosa, hemiselulosa, dan lignin, mengalami dekomposisi menghasilkan senyawa asam dan turunannya, alkohol, fenol, aldehid, karbonil, keton piridin dan tar. Selanjutnya dilakukan proses pemurnian untuk memisahkan senyawa tar dan meningkatkan konsentrasi fenol dan asam organik. Proses pemurnian ini dilakukan dengan cara distilasi pada 4 rentang suhu, yaitu 0-100 °C, 100-125 °C, 125-150 °C, dan 150-200 °C. Hasil pembakaran sabut kelapa pada suhu pembakaran 300 °C dan 500 °C menghasilkan asap cair dengan rendemen sebesar 40,29 % dan 57,45 %, sedangkan pembakaran tempurung kelapa pada suhu 300 °C dan 500 °C menghasilkan asap cair dengan rendemen sebesar 40,08 % dan 42,10 %. Pada pemurnian asap cair dengan cara distilasi didapatkan hasil bahwa asap cair dari bahan sabut kelapa dengan suhu pembakaran 300 °C dan 500 °C memiliki rendemen distilasi sebesar 14,7 % - 22,9 % dan 7,5 % - 45,5%, sedangkan pada pemurnian asap cair dari bahan tempurung kelapa dengan suhu pembakaran 300 °C dan 500 °C memiliki rendemen distilasi sebesar 1,4 % - 15,9 % dan 1,3 % 18,8 %. Dari pengujian sifat fisik dan kimia asap cair didapatkan bahwa asap cair yang didistilasi memiliki keasaman (pH) sebesar 1,76-2,97, kadar asam sebesar
4,151 % - 59,934 %, kadar fenol 0,370 % - 0,835 %, dan bobot jenis 1,076 g/ml – 1,144 g/ml. Karakteristik asap cair berupa pH, kadar asam dan bobot jenis memenuhi standar wood vinegar Jepang.
LEMBAR PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripasi dengan judul : ISOLASI
DAN
PEMURNIAN
ASAP
CAIR
BERBAHAN
DASAR
TEMPURUNG DAN SABUT KELAPA SECARA PIROLISIS DAN DISTILASI adalah karya asli saya sendiri, dengan arahan dosen pembimbing akademik, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya Bogor, Desember 2006 Yang membuat pernyataan
Candra Luditama NRP : F34102053
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Tangerang pada tanggal 20 Februari 1984 dan merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Penulis memulai jenjang pendidikannya di SDN Cipeureudeuy I dan SDN Serang XI, lalu melanjutkan ke SLTPN 1 Serang dan SLTPN 5 Cirebon
serta
SMUN
1
Cirebon.
Penulis
melanjutkan pendidikannya ke Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI pada tahun 2002. Selama pendidikannnya di IPB, penulis pernah terlibat dalam beberapa organisasi
diantaranya
Kekeluargaan
Cirebon),
KOPMA serta
(Koperasi
menjadi
staf
Mahasiswa), Departemen
IKC
(Ikatan
Kewirausahaan
HIMALOGIN (Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri). Selain itu juga penulis pernah mengikuti seminar-seminar yang diadakan di IPB. Selain itu, penulis pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Gambar Teknik pada semester 5 dan asisten praktikum mata kuliah Laboratorium Penyimpanan dan Pengemasan pada semester 6. Penulis juga terlibat dalam tim PKM (Program Kreativitas Mahasiswa) berjudul ‘Penanganan Limbah Cair dan Gas pada Industri Kecil dengan Teknologi Biotrickling Filter’. Pada tahun 2005, penulis melaksanakan Praktek Lapang di PG. Jatitujuh dengan judul ‘Mempelajari Teknologi Proses Produksi Gula di PT. Rajawali II Unit PG. Jatitujuh’.
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena hanya berkat kuasanya skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik dan sebagaimana mestinya. Skripsi ini disusun berdasarkan penelitian berjudul Isolasi dan Pemurnian Asap Cair Berbahan Dasar Tempurung dan Sabut Kelapa Secara Pirolisis dan Distilasi. Penelitian ini dilaksanakan selama bulan Maret sampai Agustus di Laboratorium Kimia Kayu, Pusat Pengembangan dan Penelitian Hasil Hutan Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Dr. Ir. Erliza Noor sebagai dosen pembimbing yang telah mengarahkan penulis selama menyelesaikan kuliah dan skripsi, 2. Dr. Gustan Pari, MSi sebagai pembimbing II yang telah menyediakan sarana dan prasarana penelitian serta bimbingan, 3. Prayoga Suryadharma, STP, MT sebagai dosen penguji atas evaluasi dan sarannya pada skripsi ini, 4. Ayah dan Ibu tercinta atas kesabaran, perhatian, dan saran-saran bijaknya, serta adikku Tika, 5. Pak Mahpudin, Pak Salim, Pak Dadang S., serta seluruh staf dan karyawan Laboratorium Kimia Kayu, Pusat Pengembangan dan Penelitian Hasil Hutan Bogor yang telah banyak membantu penulis dalam melakukan penelitian, 6. Nurlita Soraya, yang selalu ada dan mendampingi penulis serta memberikan semangat dan dorongan untuk menyelesaikan skripsi ini, serta 7. Seluruh pihak yang telah membantu dan tidak dapat disebutkan satu-persatu. Penulis sadar bahwa skripsi ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan demi perbaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermafaat bagi pembaca. Desember 2006 Penulis
DAFTAR ISI Halaman Halaman Pengesahan..................................................................................
i
Summary......................................................................................................
ii
Ringkasan....................................................................................................
iii
Lembar Pernyataan....................................................................................
v
Riwayat Hidup.............................................................................................
vi
Kata Pengantar...........................................................................................
vii
Daftar Isi......................................................................................................
viii
Daftar Tabel................................................................................................
x
Daftar Gambar............................................................................................
xi
Daftar Lampiran.........................................................................................
xii
I. PENDAHULUAN.................................................................................
1
A. Latar Belakang..................................................................................
1
B. Tujuan..............................................................................................
3
C. Manfaat............................................................................................
3
II. TINJAUAN PUSTAKA........................................................................
4
A. Asap Cair..........................................................................................
4
B. Bahan Pengasap................................................................................
7
C. Proses Pirolisa..................................................................................
9
D. Pemurnian Asap Cair Dengan Distilasi............................................
10
E. Perkembangan Produksi Asap Cair..................................................
11
F. Aplikasi............................................................................................
11
III. METODOLOGI....................................................................................
14
A. Bahan dan Alat..................................................................................
14
B. Metode..............................................................................................
14
C. Rancangan Percobaan.......................................................................
16
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN............................................................
18
A. Pengaruh Suhu Terhadap Produksi Asap Cair
Secara Pirolisis..................................................................................
18
B. Komponen-Komponen pada Asap Cair............................................
21
C. Fraksinasi Asap Cair........................................................................
23
D. Pengujian Kualitas Asap Cair..........................................................
25
1. Nilai pH.....................................................................................
26
2. Kadar Asam...............................................................................
29
3. Kadar Fenol................................................................................
33
4. Bobot Jenis.................................................................................
36
5. Produktivitas Asap Cair Hasil Pemurnian..................................
37
V. KESIMPULAN DAN SARAN.............................................................
41
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................
42
LAMPIRAN..............................................................................................
47
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1.
Komposisi Kimia Asap Cair.....................................................
6
Tabel 2.
Komposisi Kimia Tempurung Kelapa......................................
8
Tabel 3.
Komposisi Kimia Sabut dan Serbuk Sabut Kelapa...................
9
Tabel 4.
Produksi Asap Cair pada Dua Suhu Pirolisis yang Berbeda.....
19
Tabel 5.
Senyawa Dominan di dalam Asap Cair Hasil Deteksi GC-MS...............................................................
21
Tabel 6.
Jumlah Kondensat Asap Cair Pada Berbagai Rentang Suhu Distilasi.............................................................. 24
Tabel 7.
Nilai pH Asap Cair Pada Berbagai Variasi Bahan Pengasap dan Suhu Pembakaran...............................................
27
Nilai pH Asap Cair Pada Berbagai Variasi Bahan Pengasap, Suhu Pembakaran dan Suhu Distilasi...........
28
Kadar Asam Asap Cair Pada Berbagai Variasi Bahan Pengasap dan Suhu Pembakaran....................................
30
Kadar Asam Asap Cair Pada Berbagai Variasi Bahan Pengasap, Suhu Pembakaran dan Suhu Distilasi...........
32
Tabel 8. Tabel 9. Tabel 10. Tabel 11.
Kadar Asam pada Bahan Pengasap........................................... 32
Tabel 12.
Kadar Fenol Asap Cair Pada Berbagai Variasi Bahan Pengasap dan Suhu Pembakaran.................................... 33
Tabel 13.
Kadar Fenol Asap Cair Pada Berbagai Variasi Bahan Pengasap, Suhu Pembakaran dan Suhu Distilasi...........
35
Tabel 14.
Kadar Fenol pada Bahan Pengasap...........................................
35
Tabel 15.
Bobot Jenis Asap Cair Pada Berbagai Variasi Bahan Pengasap........................................................................
36
Bobot Jenis Asap Cair Pada Berbagai Variasi Bahan Pengasap, Suhu Pembakaran dan Suhu Distilasi...........
37
Tabel 17.
Produktivitas Asap Cair Hasil Pemurnian.................................
38
Tabel 18.
Kualitas Dan Kuantitas Asap Cair pada Berbagai Grade..........
39
Tabel 16.
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1.
Alat Pembuat Asap Cair......................................................... 14
Gambar 2.
Rancangan Alat Untuk Distilasi............................................. 15
Gambar 3.
Sabut dan Tempurung Kelapa................................................ 18
Gambar 4.
Asap Cair Sabut dan Tempurung Kelapa............................... 20
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Lampiran 2.
Hasil Deteksi GC-MS Kondensat Sabut Kelapa Suhu 300 °C.................................................
48
Hasil Deteksi GC-MS Kondensat Sabut Kelapa Suhu 500 °C.................................................
49
Lampiran 3.
Hasil Deteksi GC-MS Kondensat Tempurung Kelapa Suhu 300 °C........................................ 50
Lampiran 4.
Hasil Deteksi GC-MS Kondensat Tempurung Kelapa Suhu 500 °C........................................ 51
Lampiran 5.
Komponen Kondensat Sabut Kelapa Suhu 300 °C Hasil Deteksi GC-MS...................................
52
Komponen Kondensat Sabut Kelapa Suhu 500 °C Hasil Deteksi GC-MS...................................
54
Komponen Kondensat Tempurung Kelapa Suhu 300 °C Hasil Deteksi GC-MS...................................
55
Komponen Kondensat Tempurung Kelapa Suhu 500 °C Hasil Deteksi GC-MS...................................
56
Lampiran 9.
Hasil Uji ANOVA Pirolisis.............................................
57
Lampiran 10.
Hasil Uji ANOVA Distilasi.............................................
58
Lampiran 11.
Hasil Uji ANOVA pH.....................................................
60
Lampiran 12.
Hasil Uji ANOVA Kadar Asam......................................
62
Lampiran 13.
Hasil Uji ANOVA Kadar Fenol......................................
64
Lampiran 14.
Hasil Uji ANOVA Bobot Jenis.......................................
66
Lampiran 15.
Data dan Perhitungan Pirolisis...........................................
68
Lampiran 16.
Data dan Perhitungan Distilasi...........................................
69
Lampiran 17.
Data dan Perhitungan Kadar Asam....................................
70
Lampiran 18.
Data dan Perhitungan Kadar Fenol..................................... 72
Lampiran 19.
Data dan Perhitungan Bobot Jenis...................................... 74
Lampiran 20.
Data dan Perhitungan Produktivitas...................................
Lampiran 21.
Analisis Sifat Fisik dan Kimia............................................ 77
Lampiran 6. Lampiran 7. Lampiran 8.
76
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Asap cair merupakan asam cuka (vinegar) yang diperoleh dengan cara distilasi kering bahan baku pengasap seperti kayu, lalu diikuti dengan peristiwa kondensasi dalam kondensor berpendingin air. Asap cair berasal dari bahan alami yaitu pembakaran hemiselulosa, selulosa, dan lignin dari kayu-kayu keras sehingga menghasilkan senyawa-senyawa yang memiliki efek antimikroba, antibakteri, dan antioksidan seperti senyawa asam dan turunannya, alkohol, fenol, aldehid, karbonil, keton dan piridin. Prospek penggunaan asap cair sangat luas, mencakup industri makanan sebagai pengawet, industri kesehatan, pupuk tanaman, bioinsektisida, pestisida desinfektan, herbisida, dan lain sebagainya. Prospek penggunaan asap cair yang sangat luas ini memiliki berbagai keunggulan bila dibandingkan dengan penggunaan bahan kimia sintetik. Asap cair lebih mudah diaplikasikan karena konsentrasi asap cair dapat dikontrol agar memberi flavor dan warna yang sama dan seragam. Asap cair telah disetujui oleh banyak negara untuk digunakan pada bahan pangan dan sekarang ini banyak digunakan pada produk daging. Bahan ini dapat diproduksi secara sederhana dengan menggunakan bahan dan peralatan yang mudah diperoleh serta relatif murah. Kualitas dan kuantitas unsur kimia asap umumnya tergantung pada jenis bahan pengasap yang digunakan. Bahan baku yang umum digunakan adalah bahan yang mengandung selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Selama ini bahan kayu keras seperti kayu jati (Firmansyah, 2004), mangium, tusam (Nurhayati, 2000), dan sengon banyak digunakan sebagai bahan pembuatan asap cair. Kedua jenis kayu tersebut digunakan dalam bentuk blok kayu ataupun serbuk kayu yang dipres. Namun, harga kayu yang mahal dan ketersediaannya yang terbatas menyebabkan biaya produksi pembuatan asap cair menjadi tinggi. Adanya kendala-kendala penggunaan bahan pengasap dari kayu tersebut mendorong penggunaan bahan pengasap dari jenis lain, seperti tempurung dan sabut kelapa. Bahan ini masih memiliki komponen selulosa, hemiselulosa, dan lignin yang cukup besar. Selain itu, penggunaan limbah kelapa ini dapat
memberikan nilai tambah lain sebagai asap cair dibandingkan dengan penggunaannya sebagai keset, anyaman, atau suvenir. Saat ini asap cair dijual dengan harga berkisar antara Rp. 6000,- sampai Rp. 18000,- per liter, tergantung kualitas dari asap cair. Kualitas dan kuantitas asap cair sangat dipengaruhi oleh kondisi proses pembakaran bahan bakunya. Selama ini, penelitian-penelitian terdahulu telah dilakukan untuk menentukan proses terbaik dalam pembuatan asap cair. Misalnya Tranggono et al. (1996) yang menggunakan suhu pembakaran 350 - 400 °C. Selain itu, Nurhayati (2000) mencoba membandingkan dua metode pembakaran, yaitu metode tungku kubah dan metode distilasi kering (destructive distillation) pada produksi asap cair. Dari hasil penelitian ini didapatkan hasil bahwa metode destilasi kering, dimana suhu karbonisasi dapat dikontrol sampai 500 °C menghasilkan asap cair dengan jumlah yang lebih banyak daripada metode tungku yang memiliki rata-rata suhu sebesar 350 °C. Selain itu juga, metode distilasi kering mampu menghasilkan asap cair dengan kadar fenol dan kadar asam yang lebih besar. Firmansyah (2004) juga mencoba untuk menentukan kondisi proses pembakaraan yang terbaik untuk memproduksi asap cair dengan cara menambahkan cangkang telur pada bahan pengasap berupa serbuk kayu jati dengan berbagai komposisi yang mampu meningkatkan suhu pembakaran. Namun asap cair yang dihasilkan pada penelitian ini memiliki kadar fenol yang kecil karena suhu pembakaran yang terbentuk tidak terlalu tinggi yaitu sekitar 210 °C. Dari ketiga penelitian terdahulu diatas, dapat diketahui bahwa kondisi proses berupa suhu pembakaran sangat mempengaruhi kualitas dan kuantitas dari asap cair yang dihasilkan. Oleh karena itu, pada penelitian ini digunakan suhu yang lebih tinggi yaitu 500 °C untuk menghasilkan asap cair dengan kualitas dan kuantitas yang lebih tinggi daripada penelitian-penelitian terdahulu. Selain itu, suhu 500 °C dipilih agar komponen lignin dapat terdekomposisi membentuk senyawa fenol pada suhu 400 °C. Sedangkan suhu 300 °C dipilih karena pada suhu tersebut komponen selulosa dan hemiselulosa terdekomposisi membentuk senyawa-senyawa asam organik.
Kualitas dari asap cair ditentukan oleh kemurnian dari senyawa-senyawa yang terkandung didalamnya, terutama fenol dan asam-asam organik. Oleh karena itu, proses pemurnian perlu dilakukan untuk memisahkan kedua senyawa tersebut sehingga dihasilkan asap cair dengan kualitas yang tinggi. Selama ini, proses pemurnian yang dilakukan pada asap cair hanya sebatas menghilangkan kandungan tar dengan cara mengendapkannya selama 24 jam. Cara tersebut tidak mampu memisahkan senyawa fenol dan asam organik. Pemurnian yang digunakan pada penelitian ini adalah dengan cara distilasi berdasarkan perbedaan titik didih. Kualitas dan kuantitas fenol dan asam asetat dibandingkan pada berbagai rentang suhu distilasi. B. Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan rendemen asap cair dari berbagai kondisi fisik (suhu pembakaran dan suhu distilasi) dan kimia (bahan baku) C. Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi mengenai produksi serta kualitas asap cair dari bahan pengasap tempurung dan sabut kelapa.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Asap Cair Pengasapan merupakan pemanfaatan panas dan asap dari hasil pembakaran. Tujuan pengasapan pada awalnya hanya untuk pengawetan bahan makanan, namun dalam pengembangannya berubah, yaitu menghasilkan produk dengan aroma tertentu, meningkatkan cita rasa, memperbaiki penampilan dan meningkatkan daya simpan produk yang diasap (Girard, 1992). Asap mengandung sejumlah besar senyawa yang dibentuk oleh pirolisis konstituen dari kayu seperti selulosa, hemiselulosa dan lignin, dari hasil ikutan hewani seperti tulang, darah dan sebagainya (Djatmiko et al., 1985). Asap cair merupakan suatu campuran larutan dan dispersi koloid dari uap asap kayu dalam air yang diperoleh dari hasil pirolisa kayu atau dibuat dari campuran senyawa murni (Maga, 1988). Asap diproduksi dengan cara pembakaran yang tidak sempurna yang melibatkan reaksi dekomposisi konstituen polimer menjadi senyawa organik dengan berat molekul rendah karena pengaruh panas yang meliputi reaksi oksidasi, polimerisasi, dan kondensasi (Girrard, 1992). Partikel asap mempunyai diameter 0,1 μm. Proporsi partikel padatan dan cairan dalam medium gas menentukan kepadatan asap. Selain itu asap juga memberikan atribut warna dan flavor pada medium pendispersi gas (Pszczola, 1995). Asap cair merupakan asam cuka (vinegar) diperoleh secara distilasi kering bahan baku asap misalnya batok kelapa, sabut kelapa atau kayu pada suhu 400 °C selama 90 menit lalu diikuti dengan peristiwa kondensasi dalam kondensor berpendingin air (Pszczola, 1995). Destilat yang diperoleh dimasukkan dalam corong pemisah untuk dipisahkan dari senyawa-senyawa kimia yang tidak diinginkan misalnya senyawa tar yang tidak larut dengan asam pirolignat. Asam pirolignat merupakan campuran dari asam-asam organik, fenol, aldehid, dan lainlain. Asap cair pertama kali diproduksi pada tahun 1980 oleh sebuah pabrik farmasi di Kansas City, dikembangkan dengan metode kasar dari distilasi kayu asap (Pszczola, 1995). Produk yang berupa asap cair digunakan untuk
mengawetkan daging babi dan babi asin dan untuk memberi citarasa pada beberapa bahan makanan. Menurut Maga (1988), asap cair mempunyai kelebihan antara lain : a. Beberapa flavor dapat dihasilkan dalam produk yang seragam dengan konsentrasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pengasapan tradisional. b. Lebih intensif dalan pemberian flavor. c. Kontrol hilangnya flavor lebih mudah d. Dapat diaplikasikan pada berbagai jenis bahan pangan. e. Dapat digunakan oleh konsumen pada level komersial. f. Lebih hemat dalam pemakaian kayu sebagai sumber asap. g. Polusi lingkungan dapat diperkecil. h. Dapat
diaplikasikan
ke
dalam
berbagai
cara
penyemprotan,
pencelupan, atau dicampur langsung ke dalam makanan (Pearson and Tauber, 1984). Eklund (1982) mengemukakan bahwa asap cair tidak menunjukkan karsinogenik atau sifat-sifat toksik lain dari hasil pengujian Hidrokarbon Aromatik Polisiklik (HAP). Hal ini didukung oleh pernyataan Hollenbeck (1978), bahwa asap cair mempunyai sifat anti bakterial, mudah diaplikasikan dan lebih aman dari asam konvensional dan fraksi tar yang mengandung hidrokarbon aromatik dapat dipisahkan, sehingga produk asap cair bebas polutan dan karsinogenik. Zaitsev et al. (1969) mengemukakan bahwa asap mengandung beberapa zat antimikroba, antara lain : a. Asam dan turunannya : format, asetat, butirat, propionat, metil ester. b. Alkohol : metil, etil, propil, alkil, dan isobutil alkohol. c. Aldehid : formaldehid, asetaldehid, furfural, dan metil furfural. d. Hidrokarbon : silene, kumene, dan simene. e. Keton : aseton, metil etil keton, metil propil keton, dan etil propil keton. f. Fenol g. Piridin dan metil piridin.
Menurut Harris dan Karmas (1989), komponen asap dibagi menjadi 4 kelompok berdasarkan pengaruhnya terhadap nilai gizi produk yang diasap, antara lain : a. Zat yang melindungi penyusutan nilai gizi produk yang diasap dengan menghambat perubahan kimiawi dan biologis yang merugikan. b. Komponen yang tidak menunjukkan aktivitas dari segi nilai gizi. c. Senyawa yang berinteraksi dengan komponen
bahan pangan dan
menurunkan nilai gizi produk yang diasap. d. Komponen beracun. Komposisi kimia asap cair beserta persentasenya dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi Kimia Asap Cair Komposisi Kimia
Kandungan (%)
Air
11 – 92
Fenol
0,2 – 2,9
Asam
2,8 – 4,5
Karbonil
2,6 – 4,6
Ter
1 - 17
Sumber : Maga (1988)
Senyawa yang sangat berperan sebagai antimikrobial adalah senyawa fenol dan asam asetat, dan peranannya semakin meningkat apabila kedua senyawa tersebut ada bersama – sama (Darmadji, 1995). Selain fenol, senyawa aldehid, aseton dan keton juga memiliki daya bakteriostatik dan bakteriosidal pada produk asap. Menurut Maga (1987), asap cair pada konsentrasi 6,5 gr/kg dapat memperpanjang fase lage Staphylococcus aurus (105 CFU/ml) selama 4 hari pada suhu kamar (30ºC) dan pada konsentrasi 9,8 g/kg adalah 14 hari. Girrard (1992) menyatakan bahwa asap dalam bentuk cair berpengaruh terhadap keseluruhan jumlah asam dalam kondensat asap, yaitu mencapai 40% dengan 35 jenis asam. Kandungan asam yang mudah menguap dalam asam akan menurunkan pH, sehingga dapat memperlambat pertumbuhan mikroorganisme (Buckle et al.,1985). Menurut Haris dan Karmas (1989), kerja bakteriosidal dari pengasapan adalah
faktor nyata dalam perlindungan nilai gizi produk yang diasap terhadap perusakan biologis. Efek fungisidal dalam asap disebabkan oleh fenol dan formaldehid (Daun, 1979; Toth dan Potthast, 1984). Fenol selain bersifat bakteriosidal juga sebagai antioksidan. Sifat ini terutama pada senyawa fenol dengan titik didih tinggi, seperti 2,6-dimethoksi fenol, 2,6-dimethoksi-4-metil fenol dan 2,6-dimethoksi-4-ethyl fenol (Pearson dan Tauber, 1973). Senyawa – senyawa fenolat lainnya yang terdapat dalam asap dan memperlihatkan aktivitas oksidatif adalah pirokathkol, hidrokuinon, guaiakol, eugenol, isoeugenol, vanilin, salisilaldehid, asam 2-hidroksibenzoat, dan senyawa - senyawa tersebut hampir semuanya bersifat larut dalam eter (Maga, 1988; Fiddler et al., 1970). Senyawa ini mendonasikan hidrogen dan dalam konsentrasi yang sangat kecil sudah memperlihatkan efektivitasnya sebagai penghambat reaksi oksidasi. (Maga, 1988). Senyawa fenol dengan titik didih rendah memiliki sifat antioksidan yang agak rendah. Aktivitas antioksidan dari komponen asap adalah sifat yang penting dalam melindungi penyusutan nilai gizi produk yang diasap (Daun, 1979). Asap dalam bentuk cair juga masih mempunyai berbagai sifat fungsional. Fungsi lainnya adalah untuk memberikan flavor yang diinginkan pada produk asap karena adanya senyawa fenol dan karbonil (Pszczola, 1995). Rasa dan aroma khas produk pengasapan terutama disebabkan oleh senyawa guaiakol, 4-metilguaiakol, dan 2,6-dimetoksi fenol. Girard (1992) mengatakan bahwa dari berbagai penelitian terdahulu, diketahui bahwa senyawa – senyawa fenolat tertentu seperti guaiakol, 4-metil guaiakol, 2,6-dimetoksi fenil dan seringol menentukan flavor dari bahan pangan yang diasap dimana guaiakol akan memberikan rasa asap dan seringol memberikan aroma asap. Rasa dan aroma yang khas pada makanan yang diasap disebabkan oleh senyawa fenol yang bereaksi dengan protein dan lemak yang terdapat pada makanan (Daun, 1979). B. Bahan Pengasap Asap diperoleh melalui pembakaran kayu keras dan kayu lunak yang banyak mengandung selulosa, hemiselulosa dan lignin (Maga, 1988). Menurut Zaitsev
et al. (1969), umumnya kayu mengandung selulosa 40-60%,
hemiselulosa 20-30%, lignin 20-30%. Menurut Tillman et al. (1981), secara umum kayu keras memiliki holoselulosa (e.g. karbohidrat) dan lebih sedikit lignin daripada kayu lunak. Selulosa adalah golongan polisakarida (C6H10O5)n dengan berat molekul sekitar 1.500.000, jika dihidrolisis akan membentuk glukosa. Selanjutnya dikatakan, bahwa selain kayu juga dapat digunakan serabut dan tempurung kelapa maupun merang padi sebagai penghasil asap (Zaitsev et al., 1969). Hasil pirolisis dari senyawa selulosa, hemiselulosa dan lignin diantaranya akan menghasilkan asam organik, fenol dan karbonil yang berbeda dalam proporsi diantaranya tergantung pada jenis kayu, kadar air kayu dan suhu pirolisis yang digunakan (Yulistyani et al., 1997). Tempurung kelapa dikategorikan oleh Grimwood (1975) sebagai kayu keras, tetapi mempunyai kadar lignin lebih tinggi dan kadar selulosa lebih rendah. Pirolisa tempurung kelapa menghasilkan senyawa fenol 4,13%, karbonil 1,30% dan keasaman 10,2% (Tranggono et al., 1996; Darmadji, 1995). Tempurung merupakan lapisan yang keras dengan ketebalan 3-5 mm. Sifat kerasnya disebabkan oleh banyaknya kandungan silikat (SiO2) di tempurung tersebut. Dari berat total buah kelapa, 15-19% merupakan berat tempurungnya. Selain itu, tempurung juga banyak mengandung lignin. Sedangkan kandungan methoxyl dalam tempurung hampir sama dengan yang terdapat dalam kayu. Namun, jumlah kandungan unsur-unsur itu bervariasi tergantung lingkungan tumbuhnya. Komposisi kimia tempurung kelapa menurut Djatmiko et al. (1985) disajikan dalam Tabel 2. Tabel 2. Komposisi Kimia Tempurung Kelapa Komponen
Persentase (%)
Abu
0,23
Lignin
33,30
Selulosa
27,31
Pentosan
17,67
Metoxil
5,39
Sumber : Djatmiko et al., (1985)
Sutater et al. (1998) menyatakan bahwa sifat kimia dari serbuk sabut kelapa sangat bervariasi dari daerah mana kelapa tersebut diproduksi. Komponen utama penyusun sabut kelapa dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Komposisi Kimia Sabut dan Serbuk Sabut Kelapa Komponen
Persentase (%) Sabut Kelapa
Serbuk Sabut Kelapa
Air
26,0
5,23
Pektin
14,25
3,00
Hemiselulosa
8,50
0,25
Lignin
29,23
45,84
Selulosa
21,07
43,44
Sumber : Joseph dan Kindagen (1993)
C. Proses Pirolisa Proses pirolisa melibatkan berbagai proses reaksi yaitu dekomposisi, oksidasi, polimerisasi, dan kondensasi. Reaksi-reaksi yang terjadi selama pirolisa kayu adalah : penghilangan air dari kayu pada suhu 120-150 °C, pirolisa hemiselulosa pada suhu 200-250 °C, pirolisa selulosa pada suhu 280-320 °C dan pirolisa lignin pada suhu 400 °C. Pirolisa pada suhu 400 °C ini menghasilkan senyawa yang mempunyai kualitas organoleptik yang tinggi dan pada suhu lebih tinggi lagi akan terjadi reaksi kondensasi pembentukan senyawa baru dan oksidasi produk kondensasi diikuti kenaikan linier senyawa tar dan hidrokarbon polisiklis aromatis (Girrard, 1992; Maga, 1988). Hemiselulosa adalah komponen kayu yang mengalami pirolisa paling awal menghasilkan furfural, furan, asam asetat dan homolognya. Hemiselulosa tersusun atas pentosan (C5H8O4) dan heksosan (C6H10O5) dan rata-rata proporsi ini tergantung pada spesies kayu. Pirolisis dari pentosan membentuk furfural, furan dan turunannya beserta suatu seri yang panjang dari asam karboksilat. Bersama-sama dengan selulosa, pirolisis heksosan membentuk asam asetat dan homolognya. Dekomposisi hemiselulosa terjadi pada suhu 200-250 °C (Girrard, 1992). Lignin dalam pirolisis menghasilkan senyawa fenol dan eter fenolik seperti
guaiakol (2-metoksifenol) dan homolognya serta turunannya yang berperan terhadap aroma asap dari produk-produk hasil pengasapan. Fenol dihasilkan dari dekomposisi lignin yang terjadi pada suhu 300 °C dan berakhir pada suhu 450 °C (Girrard, 1992). Proses selanjutnya yaitu pirolisa selulosa menghasilkan senyawa asam asetat, dan senyawa karbonil seperti asetaldehida, glikosal dan akreolin. Pirolisa lignin akan menghasilkan senyawa fenol, guaiakol, siringol bersama dengan homolog dan derivatnya (Maga, 1988). Distilasi kering kayu adalah salah satu cara yang digunakan untuk membuat produk-produk komersial dalam bentuk cair, padat maupun gas. Proses distilasi kering dilakukan dengan cara memanaskan kayu secara langsung maupun tidak langsung dengan udara terbatas ataupun tanpa udara. (Hendra, 1992). Produk yang diawetkan dengan asap yang diproduksi pada suhu 400 °C, lebih unggul mutu organoleptiknya dibanding perlakuan asap yang diproduksi dengan suhu yang lebih tinggi (Hanson, 2004). Selain itu, menurut Fretheim et al. (1980), efektifitas antara antioksidan dari fenol yang paling baik adalah dari hasil pembakaran pada temperatur 400 °C. Jumlah dan sifat fenol yang terdapat dalam asap berhubungan langsung dengan suhu pirolisis kayu (Hamm dan Potthast, 1976 dalam Girard, 1992). Kadar maksimum senyawa fenol tercapai pada suhu pirolisis 600 °C (Hamm dan Potthast, 1976 dalam Girard, 1992). Peningkatan suhu sebesar 150 °C dari 350 menjadi 500 °C secara nyata tidak merubah kondensat asam, tetapi terjadi sedikit peningkatan efek antioksidatif. Suhu optimum pembuatan asap adalah sekitar 400 °C (Fratheim et al., 1980). D. Pemurnian Asap Cair Dengan Distilasi Unit operasi distilasi merupakan metode yang digunakan untuk memisahkan komponen-komponen yang ada di dalam suatu larutan atau cairan, yang tergantung pada distribusi komponen-komponen yang ada di dalam suatu larutan atau cairan, yang tergantung pada distribusi komponen-komponen tersebut antara fase uap dan fase cair. Semua komponen-komponen ini terdapat dalam kedua fase tersebut. Fase uap terbentuk dari fase cair melalui penguapan pada titik didihnya (Geankoplis, 1983). Distilasi asap cair dilakukan untuk menghilangkan
senyawa-senyawa yang tidak diinginkan dan berbahaya, seperti poliaromatik hidrokarbon (PAH) dan tar, dengan cara pengaturan suhu didih sehingga diharapkan didapat asap cair yang jernih, bebas ter dan benzopiren (Darmadji, 2002). Senyawa utama yang terkandung di dalam tar yang merupakan hasil dari suatu proses distilasi adalah senyawa fenol yang terdapat dalam jumlah yang sedikit terutama terdiri dari senyawa piridin dan quinolin (Holleman, 1903). E. Perkembangan Produksi Asap Cair Asap cair adalah kondensat komponen asap yang bisa digunakan untuk menciptakan flavor asap pada produk (Whittle dan Howgate, 2002). Asap cair sudah dibuat pada akhir tahun 1800-an, tapi baru sepuluh sampai lima belas tahun belakangan digunakan secara komersial pada industri pengasapan ikan (Moody dan Flick, 1990). Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengembangkan produk asap cair, diantaranya melihat sifat kimia dan komposisi kimia asap cair dari berbagai jenis kayu yang dibuat secara pirolisis pada suhu 350 – 400 °C (Tranggono et al., 1996; Holzschuh et al., 2003). Darmadji (2002) melakukan optimasi kondisi proses barupa suhu distilasi, waktu distilasi dan suhu kondensasi pembuatan asap cair dengan menggunakan bahan tempurung kelapa pada suhu 400 °C yang dibakar selama 1 jam. Saat ini, asap cair yang beredar di pasaran adalah asap cair yang telah dipisahkan dari komponen tar. Di dalam tar terkandung senyawa Polisiklik Aromatik Hidrokarbon (PAH) yang karsinogenik terhadap manusia. Cara pemisahan komponen tar dari asap cair dilakukan dengan cara mengekstrak kondensat hasil pirolisis dengan menggunakan pelarut antara lain gugus CO, propana, metana, etilen, amonia, metanol, air dan campuran dari satu atau lebih komponen tersebut (Plaschke, 2002). F. Aplikasi Pengasapan cair merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk dapat membandingkan ikan asap yang dihasilkan dari pengasapan tradisional. Metode pengasapan cair akan dapat dilakukan modifikasi proses
pengeringan atau pengovenan sehingga kadar air produk yang dihasilkan dapat lebih rendah yang berdampak pada daya simpan yang lebih lama. Selain itu, senyawa-senyawa Hidrokarbon Aromatik Polisiklik (HAP) dapat diminimalisasi (Maga, 1988). Pengasapan cair lebih mudah diaplikasikan karena konsentrasi asap cair dapat dikontrol agar memberi flavor dan warna yang sama dan seragam. Asap cair telah juga disetujui oleh banyak negara untuk digunakan pada bahan pangan dan sekarang ini banyak digunakan pada produk daging (Eklund, 1982). Pengasapan cair dilakukan dengan merendam produk pada asap yang sudah dicairkan melalui proses pirolisis. Pengasapan dengan cara ini dilakukan dengan menggunakan larutan asap, baik asap cair alami ataupun sintetik (Maga, 1988). Penggunaan asap cair menurut Pearson dan Tauber (1973), pada pembuatan makanan yang diasap adalah dengan cara : a. Mencampur secara langsung ke dalam emulsi daging. b. Pencelupan. c. Pemercikan cairan (spraying). d. Penyemprotan kabut asap cair ke dalam ruang pengasapan (atomizing). e. Asap cair diuapkan dengan cara meletakkan asap cair tersebut di atas permukaan yang panas. Boetje (1998) melakukan penelitian terhadap total jamur dari ikan asap yang diberikan perlakuan penyuntikan dalam asap cair dalam perlakuan kuring, dan perendaman dalam larutan kuring masing-masing 3 x 10, 9.8 x 103 dan 1.2 x 102. Hasil distilasi kering yang potensial untuk dimanfaatkan terutama adalah ter, kreosote, fenol dan asam-asam kayu. Ter mempunyai peluang untuk digunakan sebagai bahan pelunak (softener) sebagai campuran dalam pembuatan ban, desinfektan dan bahan pengawet kayu dan juga dapat digunakan sebagai bahan perekat. Residu produk tunggal yang tertinggal dalam retort adalah arang kayu. Arang kayu ini dapat diaplikasikan lebih lanjut menjadi arang aktif yang dapat memberikan nilai tambah lebih tinggi (Hendra, 1992).
Cuka kayu merupakan produk multi manfaat karena dapat berfungsi sebagai penyubur tanaman, hormon dan pupuk, pengendali organisme perusak tanaman dan berfungsi sebagai antiseptik yang optikal. Penggunaannya sebagai pestisida, hormon dan pupuk memberipetunjuk bahea cuka kayu termasuk bagian dari teknologi Clean Development Mechanism. Oleh karena itu, selain dalam penggunaannya tidak memberikan efek pada lingkungan (tidak beracun dan dapat dipegang oleh pemakai), juga terdapat pendaur ulangan unsur C, yaitu pengembalian unsur C ke tanah melalui semprotan pada tanaman yang mengakibatkan tanaman menjadi sehat (Nurhayati et al., 2003). Di Jepang, asap cair dari bambu diaplikasikan sebagai anti alergi dan antioksidan. Asap cair ini dibuat dengan suhu pembakaran 350 °C sampai 450 °C dan didistilasi pada suhu rendah, yaitu 50 °C sampai 60 °C. Asap cair ini untuk konsumsi sehingga umumnya 1 liter asap cair dicampur dengan 100 liter air atau jus jeruk. Komponen utama dari asap cair ini adalah asam asetat dan tidak mengandung senyawa penyebab kanker seperti benzopyren, dibenzathracene, dan methylcholanthrene (Imamura dan Watanabe, 2004).
III. METODOLOGI
A. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah sabut kelapa dan tempurung kelapa yang didapat dari penjual kelapa parut di Pasar Gunung Batu. Tempurung kelapa dibersihkan permukaannya dari sabut dan dipecah dengan menggunakan golok sampai diameter 5-8 cm, sedangkan sabut dan serbuk kelapa dipisahkan dari jaringannya dengan menggunakan tangan. Untuk bahan analisis digunakan etanol 95 %, akuades, reagen Folin-Ciocalteu, asam tanat 0,2 %, Na2S2O3 5 %, Na2CO3 5 %, indikator fenolphthalein, dan NaOH 0,1 N. Peralatan yang digunakan adalah pembuat arang, labu leher tiga, kondensor, selang, bunsen, golok, termometer, pH meter, erlenmeyer, gelas piala, tabung reaksi, buret, pipet tetes, labu ukur, vortex shaker, sentrifuse, spektrofotometer, piknometer, dan GC-MS. B. Metode Adapun metodologi pelaksanaan penelitian ini terdiri dari beberapa tahap, yaitu : 1. Pembuatan Asap Cair
Gambar 1. Alat pembuat asap cair
Sebelum dibakar, bahan baku dibersihkan terlebih dahulu. Tempurung kelapa dibersihkan untuk menghilangkan sabut dari permukaannya. Setelah itu, tempurung kelapa dipotong-potong sampai berukuran diameter kira-kira 5-6 cm, sedangkan sabut dilepaskan serat-seratnya agar mudah dimasukkan ke dalam alat pembakar.. Pengukuran kadar air dilakukan pada bahan setiap bahan baku sebelum dibakar. Pembuatan asap cair dilakukan dengan menggunakan kiln yang terbuat dari baja tahan karat yang dilengkapi dengan alat pemanas listrik, tiga kondensor dan dua buah labu penampung destilat. Setiap kali pembakaran, kiln dapat memuat 2000 – 2500 gram tempurung kelapa atau 500 gram sabut kelapa. Suhu pengolahan diukur dengan thermokopel yang dipasang pada bagian tengah kiln. Suhu yang digunakan adalah 300 °C dan 500 °C untuk masing-masing bahan dengan pemanasan selama 5 jam. Cairan yang terbentuk mengalir melalui bagian bawah kiln ke alat pendingin, kemudian destilat ditampung dalam 2 buah labu dengan volume 2 liter. Destilat dikumpulkan dalam labu pemisah, dikocok dan dibiarkan 24 jam untuk mengendapkan ter. Bagian atas larutan destilat adalah pyroligneous liquor sedangkan bagian bawah adalah endapan ter (settled ter). 2. Pemurnian Asap Cair
Gambar 2. Rancangan alat untuk distilasi
Pemurnian asap cair dilakukan dengan cara distilasi. Asap cair dimasukkan sebanyak 200 ml ke dalam labu distilasi, dipanaskan menggunakan pemanas listrik. Proses distilasi ini dilakukan untuk mengambil seluruh fraksi dan diatur pada berbagai suhu dan dilakukan hingga suhu maksimum, yaitu 200 °C. Suhu yang ditera adalah suhu asap cair dalam labu distilasi. Uap yang terbentuk lalu masuk ke dalam pipa pendingin balik (condensor) dan destilat ditampung dalam sebuah wadah atau labu. 3. Analisis Analisis – analisis yang dilakukan antara lain : a. Rendemen (SNI 06-3735-1998) b. pH (AOAC, 1995) c. Total Asam Tertitrasi (SNI, 1992) d. Kadar Fenol (Shetty et al., 1995) e. Bobot Jenis (SNI 06-2388-1998) 4. Studi Pustaka Studi pustaka dilakukan untuk menganalisis hasil penelitian yang didapat dan menarik kesimpulan dari apa yang diteliti. Studi pustaka ini dapat berasal dari buku, jurnal, laporan penelitian, majalah, atau melalui media elektronik seperti internet. C. Rancangan Percobaan Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktor tunggal dengan dua kali ulangan. Faktor-faktor dalam rancangan ini adalah : a. Sampel yang terdiri dari dua taraf, yaitu a11 = sabut kelapa, dan a12 = tempurung kelapa b. Suhu pirolisis yang terdiri dari dua taraf, yaitu a21 = 300 °C, dan a22 = 500 °C c. Suhu distilasi yang terdiri dari empat taraf, yaitu a31 = T < 100 °C, a32 = 100 °C < T < 125 °C, a33 = 125 °C < T < 150 °C, dan a34 = 150 °C < T < 200 °C. Adapun model rancangan percobaannya sebagai berikut :
Y = μ + aij + ε dimana
Y
= Pengamatan hasil percobaan
μ
= Rataan umum
aij
= Faktor ke-i, taraf ke-j
ε
= Pengaruh galat
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pengaruh Suhu Terhadap Produksi Asap Cair Secara Pirolisis
Gambar 3. Sabut dan tempurung kelapa Bahan baku yang digunakan untuk pembuatan asap cair pada penelitian ini adalah tempurung dan sabut kelapa (Gambar 3) yang mengalami proses pirolisis pada dua suhu yang berbeda, yaitu 300 °C dan 500 °C. Suhu 300 °C dipilih sebagai suhu pembakaran, karena menurut Girard (1992) dan Maga (1988), pada suhu 300 °C komponen selulosa terdekomposisi menghasilkan asam-asam organik. Suhu 500 °C dipilih sebagai suhu pembakaran, karena menurut Girard (1992) dan Maga (1988) pada suhu 500 °C komponen kayu seperti lignin dapat diuraikan dan menghasilkan berbagai macam senyawa seperti fenol, guaiakol, dan sebagainya. Selain itu, suhu 500 °C juga merupakan suhu pembakaran maksimal pada proses pembuatan asap cair. Pada suhu diatas 500 °C, yang terjadi bukan lagi dekomposisi komponen-komponen kayu menjadi senyawa-senyawa organik, melainkan proses pemanasan dan pemasakan arang. Menurut Girard (1992), reaksi-reaksi yang terjadi selama pirolisa kayu adalah : 1. Penghilangan air dari kayu pada suhu 120-150 °C; 2. Pirolisa hemiselulosa pada suhu 200-250 °C yang menghasilkan furfural, furan, asam asetat, dan homolognya; 3. Pirolisa selulosa pada suhu 280-320 °C yang menghasilkan senyawa asam asetat, dan senyawa karbonil seperti asetaldehid, glioksal, dan akreolin; dan 4. Pirolisa lignin pada suhu 400 °C menghasilkan senyawa fenol, guaiakol, siringol bersama dengan homolog dan derivatnya.
Perbedaan suhu reaksi penguraian komponen-komponen kayu tersebut menjadi dasar pemilihan suhu pada penelitian ini. Banyaknya kondensat yang diperoleh dihitung dengan membandingkan antara bobot kondensat yang diperoleh dengan bobot awal bahan baku yang dibakar. Jumlah Kondensat (%b/b)
=
Bobot kondensat hasil pirolisis (gram) Bobot awal bahan yang dibakar (gram)
Jumlah Arang (%b/b)
=
Bobot arang hasil pirolisis (gram) Bobot awal bahan yang dibakar (gram)
Produksi asap cair sabut dan tempurung kelapa kotor pada dua suhu pirolisis yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Produksi Asap Cair pada Dua Suhu Pirolisis yang Berbeda No
Bahan Pengasap
1
Sabut Kelapa
Suhu Pirolisis (°C) 300
Jumlah Kondensat (% b/b) 40,29
Jumlah Arang (% b/b) 45,57
Jumlah Bobot yang Hilang (%) 14,14
2
Sabut Kelapa
500
57,45
37,08
5,47
3
Tempurung Kelapa
300
40,08
38,27
21,16
4
Tempurung Kelapa
500
42,10
34,42
23,48
Keterangan : Data dan perhitungan pada Lampiran 15
Hasil yang didapat pada penelitian ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Tranggono et al. (1996) yaitu sebesar 52,85 %. Tranggono menggunakan bahan baku berbagai jenis kayu dan tempurung kelapa serta dilakukan pada suhu pembakaran 350 - 400 °C. Asap cair dari sabut kelapa pada suhu pembakaran 500 °C memiliki bobot yang paling tinggi yaitu sebesar 57,45 %. Hal ini disebabkan karena pada pirolisis dengan suhu 300 °C belum terjadi dekomposisi lignin yang sempurna sehingga jumlah asap yang dihasilkan lebih sedikit bila dibandingkan dengan pirolisis suhu 500 °C. Sabut kelapa memiliki jumlah kondensat yang lebih besar bila dibandingkan dengan tempurung kelapa. Hal ini disebabkan karena sabut kelapa memiliki kadar air yang lebih besar daripada tempurung kelapa. Sabut kelapa yang dibakar pada suhu 300 °C dan 500 °C masing-masing memiliki kadar air
awal sebesar 23,14 % dan 27,04 %, sedangkan tempurung kelapa yang dibakar pada suhu 300 °C dan 500 °C memiliki kadar air masing-masing sebesar 14,06 % dan 14,88 %. Bahan yang memiliki kadar air yang tinggi cenderung menghasilkan kondensat yang lebih banyak. Hal ini dikarenakan pada saat pembakaran berlangsung, kandungan air pada bahan akan ikut menguap pada suhu 100 °C dan mengalami kondensasi ketika uap air melalui kondensor sehingga meningkatkan jumlah kondensat asap cair yang dihasilkan. Selisih jumlah kondensat yang dihasilkan dari pembakaran sabut pada suhu 300 °C dan 500 °C adalah sebesar 17,16 %, sedangkan selisih jumlah kondensat dari pembakaran tempurung kelapa pada suhu 300 °C dan 500 °C adalah sebesar 2,02 %. Ini menunjukkan bahwa perbedaan kandungan komponen lignin pada sabut, yang lebih besar daripada tempurung kelapa, berpengaruh terhadap jumlah kondensat yang dihasilkan. Sabut kelapa mengandung 29,2345,84 % lignin, sedangkan tempurung kelapa mengandung 33,30 % lignin (Joseph dan Kindagen (1993); Djatmiko et al. (1985)). Jumlah kondensat asap cair pada suhu pembakaran 500 °C lebih banyak daripada jumlah kondensat pada suhu pembakaran 300 °C karena pada suhu pembakaran 500 °C terjadi dekomposisi lignin pada suhu 400 °C sehingga meningkatkan jumlah kondensat dari asap cair.
Gambar 4. Asap cair sabut dan tempurung kelapa Pada produksi asap cair ini terdapat kehilangan (loss) bobot sebesar 5,4723,48 %. Kehilangan bobot terbesar terdapat pada proses pirolisis tempurung kelapa yaitu sebesar 21,16-23,48 %. Bobot yang hilang ini dapat berupa gas yang
tidak terkondensasi dan langsung manguap setelah melewati kondesor. Selain itu, kehilangan bobot pada proses pirolisis ini juga dapat berupa kerak yang tertinggal pada alat pembakaran ataupun pada kondensor. B. Komponen-Komponen pada Asap Cair Analisis GC-MS dilakukan untuk mengetahui jenis-jenis senyawa yang terdapat pada asap cair. Campuran senyawa yang dilewatkan pada kromatografi gas akan terpisah menjadi komponen-komponen individual. Lima senyawa dominan dari masing-masing sampel asap cair dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Senyawa Dominan di dalam Asap Cair Hasil Deteksi GC-MS No
Sampel
Komponen
%
1
Kondensat Sabut Kelapa Suhu 300 °C
Fenol 2-methoxy fenol 1,2-benzenediol 4 methyl catecol 2,6-dimethoxy fenol
44,10 14,84 7,22 4,54 4,17
2
Kondensat Sabut Kelapa Suhu 500 °C
Fenol 1,2-benzenediol 2,6-dimethoxy fenol 4 methyl catechol 3 methyl-1,2-benzenediol
44,30 15,06 13,64 5,55 2,90
3
Kondensat Tempurung Kelapa Suhu 300 °C
Fenol 2,6-dimethoxy fenol 2-methoxy fenol 1,2-benzenediol 3-methoxy-1,2-benzenediol
34,45 12,58 9,81 8,62 6,46
4
Kondensat Tempurung Kelapa Suhu 500 °C
Fenol 2,6-dimethoxy fenol 1,2-benzenediol 2-methoxy fenol 3-methoxy-1,2-benzenediol
31,93 12,44 9,47 9,19 6,20
Dari hasil spektra kromatografi gas, senyawa dominan dari masingmasing sampel adalah fenol (C6H6O, BM = 94) dengan luas area bervariasi antara 31,93 - 44,30 %. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Tranggono, et al. (1996), yang menggunakan bahan baku berbagai jenis kayu dan tempurung kelapa pada suhu pembakaran 350-400 °C, dimana senyawa dominan dari asap
cair hasil penelitiannya adalah fenol dengan luas area sebesar 44,13 %. Senyawa dominan lainnya adalah 2,6-dimethoxy fenol yang terdapat pada seluruh sampel dan merupakan senyawa dominan kedua pada sampel yang menggunakan bahan pengasap tempurung kelapa. Senyawa lainnya yang terdapat pada keempat sampel adalah 1,2-benzenediol yang terdapat pada masing-masing sampel dengan persentase luas area yang bervariasi, lalu diikuti oleh 2-methoxy fenol, 4 methyl catechol, 3 methoxy 1,2-benzenediol, dan 3 methyl 1,2-benzenediol. Dari hasil pengukuran menggunakan GC-MS diatas juga dapat diketahui bahwa asap cair sabut kelapa memiliki kadar fenol yang lebih besar bila dibandingkan dengan asap cair dari tempurung kelapa. Asap cair sabut kelapa memiliki fenol sebesar 44,10 - 44,30 % sedangkan asap cair tempurung kelapa memiliki fenol sebesar 31,93 - 34,45 %. Hal ini berarti bahwa sabut kelapa memiliki potensi yang lebih besar sebagai asap cair daripada tempurung kelapa apabila dilihat dari kandungan fenol pada asap cairnya. Selain itu, dari pengukuran asap cair menggunakan GC-MS juga dapat diketahui bahwa asap cair yang dibakar pada suhu pembakaran 300 °C memiliki fenol yang tidak jauh berbeda dengan asap cair yang dibakar pada suhu pembakaran 500 °C. Padahal berdasarkan teori, kadar fenol pada asap cair berasal dari dekomposisi lignin pada suhu pembakaran 400 °C yang berarti pada suhu pembakaran 300 °C seharusnya tidak terdapat fenol. Namun, pada penelitian ini diketahui bahwa pada suhu pembakaran 300 °C terdapat fenol yang jumlahnya tidak jauh berbeda dengan fenol yang terdapat pada asap cair dengan suhu pembakaran 500 °C. Dengan kata lain, fenol ternyata tidak hanya dihasilkan dari dekomposisi lignin saja, namun juga dapat dihasilkan dari dekomposisi hemiselulosa atau selulosa pada suhu pembakaran dibawah 300 °C. Fenol dan turunannya menjadi senyawa yang paling dominan dari seluruh sampel asap cair. Hal ini dikarenakan komponen yang paling banyak terdapat pada bahan pengasap kayu terutama kayu keras adalah lignin. Lignin apabila dibakar dan mengalami pirolisis akan menghasilkan senyawa fenol. Hasil lengkap senyawa penyusun masing-masing sampel asap cair hasil analisis GC-MS dapat dilihat pada Lampiran 1 – 8.
C. Fraksinasi Asap Cair Distilasi merupakan salah satu cara pemurnian terhadap asap cair, yaitu merupakan proses pemisahan kembali suatu larutan berdasarkan perbedaan titik didihnya. Distilasi asap cair dilakukan untuk memisahkan zat aktif pada asap cair, dalam hal ini berupa fenol dan asam asetat, sehingga didapatkan asap cair yang memiliki sifat pengawetan yang tinggi. Selain itu, distilasi asap cair juga dilakukan untuk menghilangkan senyawa-senyawa yang tidak diinginkan dan ,berbahaya, seperti Poliaromatik Hidrokarbon (PAH) dan ter, dengan cara pengaturan suhu didih sehingga diharapkan didapat asap cair yang jernih, bebas ter dan benzopiren. Distilasi ini dilakukan pada empat rentang suhu yang berbeda untuk mendapatkan empat fraksi asap cair. Fraksi-fraksi tersebut yaitu fraksi suhu sampai 100 °C, 100 °C sampai 125 °C, 125 °C sampai 150 °C, dan 150 °C sampai 200 °C (Darmadji, 2002). Rentang suhu distilasi ini dipilih berdasarkan titik didih komponen yang akan dipisahkan. Seperti yang terlihat pada subbab B, komponen dominan pada asap cair adalah fenol. Fenol merupakan zat aktif pada asap cair yang akan dipisahkan dari asap cair. Fraksi suhu sampai 100 °C dipilih untuk menghilangkan kandungan air pada asap cair. Fraksi suhu 100 °C sampai 125 °C dipilih untuk memisahkan senyawa asam organik berupa asam asetat. Asam asetat adalah senyawa yang memiliki titik didih 118 °C. Fraksi suhu 150 °C sampai 200 °C dipilih untuk memisahkan komponen senyawa fenol pada asap cair. Fenol merupakan zat aktif pada asap cair yang memiliki titik didih 181,8 °C. Proses distilasi asap cair ini terjadi dalam rentang waktu total 3 sampai 3,5 jam. Pada distilasi asap cair dari tempurung kelapa, asap cair terfraksinasi selama 1,5 sampai 2 jam pada suhu 0 - 100 °C, 0,5 sampai 1 jam pada suhu distilasi 100 °C - 125 °C, 0,5 jam pada suhu distilasi 125 °C - 150 °C, dan 0,5 jam pada suhu distilasi 150 - 200 °C. Pada distilasi asap cair dari sabut kelapa, asap cair terfraksinasi selama 2 jam pada suhu distilasi 0 - 100 °C, dan 0,5 sampai 1 jam pada suhu distilasi 100 - 125 °C. Pada distilasi asap cair dari sabut kelapa, asap cair hanya terdistilasi sampai suhu distilasi 100 °C sampai 125 °C.
Jumlah kondensat hasil pemurnian yang diperoleh dihitung berdasarkan perbandingan volume kondensat yang diperoleh dalam satuan mililiter dengan volume asap cair yang didistilasi dalam satuan mililiter. Jumlah kondensat (%v/v) =
Volume asap cair terdistilasi (ml) Volume awal asap cair yang didistilasi (ml)
Jumlah kondensat asap cair pada berbagai rentang suhu distilasi dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Jumlah Kondensat Asap Cair Pada Berbagai Rentang Suhu Distilasi No
Bahan Pengasap
Jumlah Kondensat (% v/v) T≤100 56,75
100
125
150
Kondensat Sabut Kelapa Suhu 500 °C
79,25
13,00
-
-
3
Kondensat Tempurung Kelapa Suhu 300 °C
39,75
30,75
4,45
3,57
4
Kondensat Tempurung Kelapa Suhu 500 °C
44,75
24,25
5,10
3,13
1
Kondensat Sabut Kelapa Suhu 300 °C
2
Keterangan : Data dan perhitungan pada Lampiran 16
Untuk masing-masing sampel (sabut dan tempurung kelapa), suhu distilasi mampu menghasilkan jumlah kondensat asap cair yang berbeda. Ini dapat dilihat dari jumlah kondensat asap cair yang semakin kecil seiring dengan peningkatan suhu distilasi. Dari hasil analisis ANOVA juga diketahui bahwa suhu pembakaran tidak mempengaruhi jumlah kondensat asap cair yang diperoleh. Apabila dianalisis sampai pada suhu distilasi fraksi kedua, jenis sampel dan suhu distilasi mempengaruhi jumlah kondensat asap cair yang diperoleh. Hal ini dapat dilihat pada hasil uji ANOVA pada Lampiran 10.
Berdasarkan hasil pengamatan dari keempat sampel kondensat yang didistilasi, rendemen distilat asap cair yang terbesar terdapat pada fraksi suhu distilasi sampai 100 °C. Hal ini dikarenakan pada suhu sampai 100 °C hampir semua fraksi air yang ada pada asap cair tersebut menguap sehingga memperbesar rendemen yang diperoleh. Selanjutnya semakin tinggi suhu fraksi distilasi, persentase asap cair yang terekstrak semakin kecil. Hal ini dikarenakan pada suhu fraksi diatas 100 °C, komponen yang teruapkan tidak lagi mengandung air bebas, melainkan hanya komponen-komponen penyusun asap cair sehingga jumlah fraksi asap cair yang dihasilkan tidak terlalu besar. Fraksi suhu sampai 100 °C diharapkan memiliki komponen dominan berupa air karena 100 °C merupakan titik didih air. Kehadiran air pada fraksi asap cair akan menurunkan kemurnian dari asap cair yang dihasilkan. Oleh karena itu diharapkan fraksi asap cair pada suhu distilasi antara 100 °C sampai 125 °C, fraksi suhu antara 125 °C sampai 150 °C, dan fraksi suhu 150 °C sampai 200 °C tidak lagi mengandung air bebas dan hanya mengandung senyawa aktif yang memiliki sifat pengawet. Pada fraksi suhu 100 °C sampai 125 °C diharapkan mengandung senyawa asam asetat. Asam asetat merupakan senyawa yang memiliki sifat antimikroba. Fraksi suhu 150 °C sampai 200 °C diharapkan memiliki komponen dominan berupa fenol. Fenol merupakan zat aktif pada asap cair yang memiliki sifat antibakteri dan antioksidan. Hasil pengukuran pada penelitian ini berbeda dengan hasil yang didapat oleh Darmadji (2002) yang menggunakan bahan tempurung kelapa dimana jumlah fraksi suhu sampai 100 °C sebesar 15,72 %, jumlah fraksi suhu 100 °C sampai 125 °C sebesar 42,11 %, jumlah fraksi suhu 125 °C sampai 150 °C sebesar 27,22 %, dan fraksi suhu 150 °C sampai 200 °C sebesar 3,69 %. D. Sifat Fisik dan Kimia Asap Cair Kualitas asap cair sangat ditentukan oleh komposisi senyawa-senyawa kimia yang dikandungnya, sebab senyawa tersebut dijadikan kriteria mutu citarasa dan aroma sebagai ciri khas yang dimiliki oleh asap. Pengujian kualitas asap cair terdiri dari pengujian sifat asap cair secara fisik maupun kimia. Sifat fisik yang
diamati adalah bobot jenis, sedangkan sifat kimia yang diamati meliputi pH, kadar asam, dan kadar fenol. 1. Nilai pH Nilai pH merupakan salah satu parameter kualitas dari asap cair yang dihasilkan. Nilai pH ini menunjukkan tingkat proses penguraian komponen kayu yang terjadi untuk menghasilkan asam organik pada asap cair. Bila asap cair memiliki nilai pH yang rendah, maka kualitas asap cair yang dihasilkan tinggi karena secara keseluruhan berpengaruh terhadap nilai awet dan daya simpan produk asap maupun sifat organoleptiknya. Pengukuran nilai pH ini dilakukan dengan menggunakan alat pH meter. Hasil pengukuran sampel sebelum distilasi menunjukkan bahwa kenaikan suhu pembakaran tidak mempengaruhi nilai pH dari asap cair. Hal ini dikarenakan komponen kayu yang menghasilkan asam organik dan homolognya, yaitu hemiselulosa dan selulosa, telah mengalami proses pirolisis pada suhu pembakaran dibawah 300 °C. Nilai pH asap cair pada suhu pembakaran 300 °C lebih rendah daripada asap cair pada suhu pembakaran 500 °C karena kadar asam asap cair suhu pembakaran 300 °C lebih besar daripada asap cair suhu 500 °C (lihat Tabel 9). Hasil pengukuran juga menunjukkan bahwa sabut kelapa memiliki nilai pH yang lebih besar dibandingkan dengan tempurung kelapa. Hal ini dikarenakan tempurung kelapa memiliki komponen hemiselulosa dan selulosa lebih besar daripada sabut kelapa sehingga jumlah asam yang dihasilkan lebih besar. Hemiselulosa dan selulosa adalah komponen kayu yang apabila terdekomposisi akan menghasilkan senyawa-senyawa asam organik seperti asam asetat. Menurut Grimwood (1975), sabut kelapa mengandung hemiselulosa, yang merupakan penghasil asam organik ketika dibakar, sebesar 7,69 % dan selulosa sebesar 18,24 %, sedangkan tempurung kelapa mengandung hemiselulosa sebesar 8,80 % dan selulosa sebesar 19,24 %. Selain itu, perbedaan nilai pH dari sabut dan tempurung kelapa juga dipengaruhi oleh kadar fenol dari kedua bahan ini. Semakin tinggi kadar fenol dari asap cair, maka semakin rendah pula nilai pH dari asap cair tersebut. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 13, dimana tempurung kelapa memiliki
kadar fenol yang lebih tinggi daripada sabut kelapa sehingga tempurung kelapa memiliki pH yang kebih rendah daripada sabut kelapa. Nilai pH asap cair pada suhu pembakaran 500 °C lebih besar daripada pH asap cair pada suhu pembakaran 300 °C. Hal ini juga disebabkan karena kadar fenol pada asap cair pada suhu pembakaran 500 °C lebih besar daripada kadar fenol asap cair pada suhu pembakaran 300 °C (lihat Tabel. 12). Seperti yang sudah dikatakan diatas bahwa kadar fenol mempengaruhi keasaman asap cair dimana semakin tinggi kadar fenol maka asap cair akan semakin asam. Nilai pH asap cair pada berbagai variasi bahan pengasap dan suhu pembakaran dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Nilai pH Asap Cair Pada Berbagai Variasi Bahan Pengasap dan Suhu Pembakaran No
Sampel
pH 300 °C
500 °C
1
Sabut Kelapa
3,51
3,55
2
Tempurung Kelapa
2,75
2,80
Nilai pH asap cair hasil distilasi dapat dilihat pada Tabel 8. Hasil uji ANOVA dari nilai pH asap cair setelah distilasi (Lampiran 11) menunjukkan bahwa untuk masing-masing sampel (sabut dan tempurung kelapa), suhu distilasi menghasilkan nilai pH yang berbeda. Hal ini dapat dilihat dari nilai pH yang semakin kecil (semakin asam) seiring dengan peningkatan suhu distilasi. Dari hasil analisis ANOVA juga dapat diketahui baha suhu pembakaran tidak mempengaruhi nilai pH yang diperoleh. Apabila dianalisis sampai pada suhu distilasi fraksi kedua, jenis sampel dan suhu distilasi mempengaruhi nilai pH dari kondensat asap cair. Pengukuran pH pada masing-masing fraksi menunjukkan bahwa asap cair sabut dan tempurung kelapa memiliki tingkat keasaman yang tinggi. Fraksi asap cair dengan suhu distilasi sampai 100 °C seharusnya memiliki pH 7 karena hanya mengandung air, namun hasil pengukuran menunjukkan bahwa fraksi tersebut memiliki pH 2,66 sampai 2, 97. Keasaman pada fraksi asap cair ini kemungkinan disebabkan adanya kandungan fenol pada asap cair. sperti yang telah disebutkan
sebelumnya bahwa kandungan fenol pada asap cair dapat menurunkan pH asap cair tersebut. Tabel 8. Nilai pH Asap Cair Pada Berbagai Variasi Bahan Pengasap, Suhu Pembakaran dan Suhu Distilasi No
Sampel
pH T≤100 2,97
100
125
150
Kondensat Sabut Kelapa Suhu 500 °C
2,98
2,87
-
-
3
Kondensat Tempurung Kelapa Suhu 300 °C
2,66
2,47
2,07
1,76
4
Kondensat Tempurung Kelapa Suhu 500 °C
2,66
2,44
2,07
1,77
1
Kondensat Sabut Kelapa Suhu 300 °C
2
Perlakuan distilasi pada asap cair cenderung menurunkan nilai pH atau membuat asap cair semakin asam. Dari Tabel 7 dan Tabel 8 dapat dilihat bahwa nilai pH dari sampel sebelum distilasi lebih rendah daripada nilai pH setelah distilasi. Hal ini terjadi karena komponen asam organik pada asap cair yang didistilasi terfraksinasi berdasarkan perbedaan titik didihnya masing-masing. Dari Tabel 8 juga dapat dilihat bahwa nilai pH menjadi semakin rendah seiring dengan meningkatnya fraksi suhu distilasi. Asap cair yang didistilasi sampai suhu 100 °C memiliki pH yang paling tinggi, karena pada fraksi asap cair ini mengandung banyak air sehingga menurunkan keasaman dari asap cair. Fraksi asap cair pada suhu distilasi 100 °C sampai 125 °C memiliki nilai pH yang lebih besar karena fraksi asap cair ini mengandung asam asetat yang memiliki titik didih 118 °C ataupun asam butanoic yang memiliki titik didih 122 °C. Fraksi asap cair dengan suhu distilasi 125 °C sampai 150 °C dan suhu distilasi 150 °C sampai 200 °C
memiliki pH yang sangat rendah karena fraksi-fraksi asap cair tersebut memiliki kadar asam yang sangat tinggi yaitu berkisar antara 43-60 % (Tabel 11). Hasil pengukuran nilai pH pada penelitian ini sesuai dengan standar kualitas wood vinegar asal Jepang yaitu berkisar antara 1,5 sampai 3,7. 2. Kadar Asam Kadar asam merupakan salah satu sifat kimia yang menentukan kualitas dari asap cair yang diproduksi. Asam organik yang memiliki peranan tinggi dalam asap cair adalah asam asetat. Asam asetat kemungkinan terbentuk sebagian dari lignin dan sebagian lagi dari komponen karbohidrat dari selulosa. Achsan dalam Browning (1963) memformulasikan produksi asam asetat sebagai berikut : CH2OH
CH2OH
CH2OH
OH
OH
HOH HO OH OH
OH
CH2OH
CH2
HO OH
OH
CH2OH
HO OH
HO OH OH
- H2O CH2OH
OH
- H2O CH2OH
CH2 HOCH
O
HOH HO OH
OH OH
O
- H2O C6H10O5
Dehidration and Charring
OH
Lalu apabila (C6H10O5)n dihidrolisis akan membentuk glukosa : (C6H10O5)n + nH2O
(C6H12O6)
C6H12O6
3CH3COOH
C6H12O6
CH3CH2CH2COOH + 2HCOOH
Senyawa-senyawa asam pada asap cair memiliki sifat antimikroba. Sifat antimikroba tersebut akan semakin meningkat apabila asam organik ada bersamasama dengan senyawa fenol.Ssenyawa asam organik terbentuk dari pirolisis komponen-komponen kayu seperti hemiselulosa dan selulosa pada suhu tertentu. Penentuan kadar asam ini dengan menggunakan metode total asam tertitrasi yang dihitung sebagai jumlah asam asetat dalam asap cair. Hasil pengamatan kadar asam asap cair sebelum distilasi menunjukkan bahwa asap cair memiliki kadar asam yang lebih kecil pada suhu pembakaran yang lebih tinggi. Perbedaan jumlah kadar asam ini dikarenakan asam organik yang dihasilkan dari dekomposisi komponen hemiselulosa dan selulosa mengalami proses pirolisis pada suhu pembakaran dibawah 300 °C. Asap cair pada suhu pembakaran 500 °C memiliki kadar asam yang lebih rendah karena menurut Maga (1988) pada suhu pembakaran diatas 300 °C senyawa-senyawa fenol, guaikol, siringol telah terdekomposisi dari lignin sehingga mempengaruhi kadar asam dari asap cair. Sedangkan perbedaan kadar asam pada asap cair sabut dan tempurung kelapa disebabkan karena perbedaan kadar fenol dari kedua asap cair tersebut. Asap cair tempurung kelapa memiliki kadar fenol yang lebih tinggi daripada asap cair sabut kelapa sehingga kadar asam asap cair tempurung kelapa lebih tinggi daripada kadar asam asap cair sabut kelapa. Kadar asam asap cair pada berbagai variasi bahan pengasap dan suhu pembakaran dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Kadar Asam Asap Cair Pada Berbagai Variasi Bahan Pengasap dan Suhu Pembakaran No
Sampel
Kadar Asam (%) 300 °C
500 °C
1
Sabut Kelapa
7,918
6,815
2
Tempurung Kelapa
8,390
8,273
Kadar asam asap cair hasil distilasi dapat dilihat pada Tabel 10. Hasil uji ANOVA dari kadar asam asap cair setelah distilasi (Lampiran 12) menunjukkan bahwa untuk masing-masing sampel (sabut dan tempurung kelapa), suhu distilasi mempengaruhi persentase kadar asam dari asap cair. Hal ini dapat dilihat dari persentase kadar asam yang semakin tinggi (semakin asam) seiring dengan peningkatan suhu distilasi. Apabila dianalisis sampai pada suhu distilasi fraksi kedua, jenis sampel dan suhu distilasi mempengaruhi nilai rendemen yang diperoleh. Kadar asam yang diperoleh pada penelitian ini berkisar antara 4,262 % sampai 59,934 % yang jauh berbeda dengan hasil Darmadji (2002) yang dihasilkan pada suhu 400 °C selama 1 jam dengan kadar asam berkisar antara 4,94 % sampai 29,10 %. Hal ini terjadi karena proses pirolisis pada penelitian ini berlangsung selama 5 jam sehingga memungkinkan bagi komponen dari kayu untuk terdekomposisi seluruhnya menghasilkan senyawa-senyawa penyusun asap cair, termasuk asam-asam organik. Apabila pembakaran dilakukan secara cepat, maka ada kemungkinan komponen kayu tersebut tidak terdekomposisi secara sempurna. Selain itu, suhu pembakaran yang digunakan pada penelitian ini lebih tinggi daripada suhu yang digunakan pada penelitian Darmadji (2002). Pirolisis pada suhu 400 °C akan menghasilkan senyawa yang mempunyai kualitas organoleptik tinggi dan pada suhu lebih tinggi lagi akan terjadi reaksi kondensasi pembentukan senyawa baru dan oksidasi produk kondensasi diikuti kenaikan linier senyawa tar dan hidrokarbon polisiklis aromatik (Girrard, 1992; Maga, 1988). Keasaman dari asap cair ini juga dipengaruhi oleh kadar fenol pada asap cair tersebut. Semakin tinggi kadar fenol, maka asap cair akan menjadi semakin asam. Hal ini dapat dibuktikan pada Tabel 13 dimana semakin tinggi suhu distilasi, kadar fenol dari asap cair hasil distilasi juga semakin tinggi. Hasil pengujian kadar asam dari asap cair juga menunjukkan bahwa semakin tinggi fraksi suhu distilasi, maka kadar asamnya menjadi semakin besar. Hal ini sesuai dengan hasil pengukuran pH (Tabel 8) dimana semakin tinggi fraksi suhu distilasi, maka pH asap cair menjadi semakin kecil atau dengan kata lain asap cair menjadi semakin asam.
Tabel 10. Kadar Asam Asap Cair Pada Berbagai Variasi Bahan Pengasap, Suhu Pembakaran dan Suhu Distilasi No
Sampel
Kadar Asam (%) T≤100 4,262
100
125
150
1
Kondensat Sabut Kelapa Suhu 300 °C
2
Kondensat Sabut Kelapa Suhu 500 °C
4,151
8,082
-
-
3
Kondensat Tempurung Kelapa Suhu 300 °C
9,649
18,748
43,963
59,934
4
Kondensat Tempurung Kelapa Suhu 500 °C
9,582
18,919
44,243
58,634
Keterangan : Data dan perhitungan pada Lampiran 17
Apabila data kadar asam pada Tabel 9 dikalikan dengan jumlah persen kondensat hasil pirolisis pada Tabel 4 dan hasilnya dirata-ratakan, maka akan didapat data kadar asam sebagai asam asetat yang terdapat pada bahan baku asap cair. Kadar asam pada bahan baku (%)= Kadar asam pada asap cair (%) Jumlah kondensat hasil pirolisis (%) Dari hasil perhitungan kadar asam pada bahan baku didapatkan bahwa kandungan asam organik yang berperan sebagai zat antimikroba pada asap cair pada sabut dan tempurung kelapa relatif sama yaitu sekitar 3,5 %. Data kadar asam pada sabut dan tempurung kelapa dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Kadar Asam pada Bahan Pengasap No
Sampel
Kadar Asam (%)
1
Sabut Kelapa
3,552
2
Tempurung Kelapa
3,442
3. Kadar Fenol Fenol merupakan zat aktif yang dapat memberikan efek antibakteri dan antimikroba pada asap cair. Selain itu, fenol juga dapat memberikan efek antioksidan kepada bahan makanan yang akan diawetkan. Identifikasi fenol terhadap kualitas asap cair yang dihasilkan diharapkan dapat mewakili kriteria dari mutu asap cair tersebut, sehingga hasilnya dapat diaplikasikan kepada semua produk pengasapan. Kadar fenol pada asap cair juga menentukan aplikasi asap cair tersebut. Kadar fenol yang rendah digunakan untuk asap cair yang dapat dikonsumsi langsung oleh manusia. Kadar fenol asap cair pada berbagai variasi bahan pengasap dan suhu pembakaran dapat dilihat pada Tabel 12. Dari Tabel 12 dapat dilihat bahwa perbedaan suhu pembakaran dari suatu bahan tidak mempengaruhi kadar fenol dari asap cair. Hal ini dapat dilihat dari kadar fenol yang nilainya hampir sama pada asap cair dengan suhu pembakaran yang berbeda. Sedangkan perbedaan penggunaan bahan pengasap mempengaruhi kadar fenol pada asap cair yang dihasilkan. Perbedaan kadar fenol pada bahan pengasap ini disebabkan oleh perbedaan kandungan lignin pada bahan pengasap. Lignin
merupakan komponen
kayu yang apabila terdekomposisi akan
menghasilkan senyawa fenol. Menurut Djatmiko, et al. (1985), tempurung kelapa mengandung lignin sebesar 33,30 % sedangkan menurut Joseph dan Kindagen (1993), sabut kelapa mengandung lignin sebesar 29,23 %. Tabel 12. Kadar Fenol Asap Cair Pada Berbagai Variasi Bahan Pengasap dan Suhu Pembakaran No
Sampel
Kadar Fenol (%) 300 °C
500 °C
1
Sabut Kelapa
0,89
0,91
2
Tempurung Kelapa
1,40
1,44
Faktor utama yang menentukan kadar fenol dalam asap cair adalah banyaknya asap yang dihasilkan selama pembakaran. Hal ini terkait pada faktor suhu dan bahan pengasap yang digunakan. Intensitas pirolisis berhubungan langsung dengan suhu yang dicapai yang terdiri atas transfer panas dan
keberadaan oksigen (reaksi oksidasi). Sedangkan bahan pengasap berhubungan langsung dengan jenis bahan yang terdiri atas kayu keras ataupun bahan yang dapat dibakar yaitu selulosa, hemiselulosa, lignin, persenyawaan protein dan mineral yang mempengaruhi keberadaan senyawa-senyawa kimia asap (Djatmiko et al., 1985). Kadar fenol asap cair hasil distilasi dapat dilihat pada Tabel 13. Hasil uji ANOVA dari kadar asam asap cair setelah distilasi (Lampiran 13) menunjukkan bahwa untuk masing-masing sampel (sabut dan tempurung kelapa), suhu distilasi mampu menghasilkan nilai kadar fenol yang berbeda. Hal ini dapat dilihat dari kadar fenol yang cenderung semakin besar seiring dengan peningkatan suhu distilasi kecuali pada fraksi suhu distilasi keempat. Dari analisis ANOVA ini juga dapat dikatahui bahwa suhu pembakaran tidak mempengaruhi kadar fenol yang diperoleh. Apabila dianalisis sampai pada suhu distilasi fraksi kedua, suhu distilasi mempengaruhi nilai kadar fenol dari asap cair yang diperoleh. Asap cair yang didistilasi memiliki kadar fenol yang lebih rendah daripada asap cair sebelum distilasi. Hal ini dikarenakan asap cair tersusun dari berbagai macam senyawa fenolat dengan titik didih yang bervariasi. Senyawa fenolat tersebut diantaranya fenol, 2-methyl fenol, 2-methoxy fenol, 2-ethyl fenol, 2,4dimethyl fenol, 3-ethyl fenol, 3,4-dimethyl fenol, dan 2-methoxy-4-methyl fenol. Dengan distilasi pada suhu yang berbeda-beda, senyawa-senyawa fenolat tersebut terfraksinasi berdasarkan titik didihnya masing-masing. Selain itu, ada beberapa senyawa fenolat yang memiliki titik didih tinggi sehingga tidak terfraksinasi pada distilasi sampai suhu 200 °C yang digunakan pada penelitian ini sehingga menyebabkan kadar fenol pada asap cair setelah distilasi lebih rendah daripada kadar fenol asap cair sebelum distilasi. Dari hasil pengukuran kadar fenol dari fraksi-fraksi asap cair, didapatkan hasil bahwa fraksi yang memiliki kadar fenol paling tinggi adalah fraksi asap cair dengan suhu distilasi 150 °C sampai 200 °C. Hal ini terjadi karena senyawa fenol, yang merupakan komponen dominan pada asap cair memiliki titik didih 181,8 °C. Kadar fenol asap cair pada penelitian ini berkisar antara 0,39 - 1,44 %, sesuai dengan hasil penelitian Maga (1988) yaitu kadar fenol sebesar 0,2 % - 2,9 %.
Tabel 13. Kadar Fenol Asap Cair Pada Berbagai Variasi Bahan Pengasap, Suhu Pembakaran dan Suhu Distilasi No
Sampel
Kadar Fenol (%) T≤100 0,39
100
125
150
1
Kondensat Sabut Kelapa Suhu 300 °C
2
Kondensat Sabut Kelapa Suhu 500 °C
0,37
0,62
-
-
3
Kondensat Tempurung Kelapa Suhu 300 °C
0,47
0,59
0,64
0,78
4
Kondensat Tempurung Kelapa Suhu 500 °C
0,44
0,66
0,84
0,64
Keterangan : Data dan perhitungan pada Lampiran 18
Apabila data Tabel 12 dibagi dengan jumlah kondensat pirolisis (Tabel 4) maka akan didapatkan data kadar fenol yang terdapat pada bahan baku asap cair. Kadar fenol pada bahan pengasap (%) = Kadar fenol asap cair (%) Jumlah kondensat hasil pirolisis (%) Dari hasil perhiungan kadar asam pada bahan baku dapat dilihat bahwa kandungan fenol pada sabut kelapa lebih sedikit bila dibandingkan dengan kadar fenol yang terdapat pada tempurung kelapa. Hal ini disebabkan karena pada asap cair sabut kelapa tidak mengandung fenol yang bertitik didih tinggi. Hal ini dapat terlihat dari hasil distilasi dimana asap cair sabut kelapa hanya mampu terdistilasi sampai fraksi suhu 100 °C-125 °C. Data kadar fenol pada bahan pengasap dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Kadar Fenol pada Bahan Pengasap No
Sampel
Kadar Fenol (%)
1
Sabut Kelapa
0,087
2
Tempurung Kelapa
0,134
4. Bobot Jenis Bobot jenis merupakan rasio antara berat suatu sampel dengan volumenya. Dalam sifat fisik asap cair, bobot jenis tidak berhubungan langsung dengan tinggi rendahnya kualitas asap cair. Namun bobot jenis dapat menunjukkan banyaknya komponen di dalam asap cair. Penentuan bobot jenis asap cair ini dilakukan dengan menggunakan alat piknometer. Hasil pengamatan bobot jenis asap cair sebelum distilasi menunjukkan bahwa jenis sampel dan suhu pembakaran tidak mempengaruhi nilai bobot jenis dari asap cair. Bobot jenis dari keempat sampel asap cair diatas menunjukkan nilai yang tidak jauh berbeda yaitu berkisar antara 1,084 sampai 1,119. Bobot jenis asap cair pada berbagai variasi bahan pengasap dan suhu pembakaran dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. Bobot Jenis Asap Cair Pada Berbagai Variasi Bahan Pengasap dan Suhu Pembakaran No
Sampel
Bobot Jenis 300 °C
500 °C
1
Sabut Kelapa
1,091
1,084
2
Tempurung Kelapa
1,113
1,119
Hasil pengamatan bobot jenis fraksi asap cair pada penelitian ini berkisar antara 1,076 sampai 1,151. Hasil yang didapat tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Nurhayati (2000) yang menggunakan bahan pengasap kayu mengium dan tusam dengan bobot jenis asap cair antara 1,019 sampai 1,028. Hasil pengamatan bobot jenis fraksi asap cair pada penelitian ini lebih besar daripada standar wood vinegar Jepang yang bernilai 1,001 sampai 1,005. Bobot jenis asap cair hasil distilasi dapat dilihat pada Tabel 16. Hasil uji ANOVA dari bobot jenis asap cair setelah distilasi (Lampiran 14) menunjukkan bahwa untuk masing-masing sampel (sabut dan tempurung kelapa), suhu distilasi mempengaruhi nilai bobot jenis dari asap cair. Hal ini dapat dilihat dari nilai bobot jenis yang semakin tinggi seiring dengan peningkatan suhu distilasi. Dari analisis ANOVA ini juga dapat diketahui bahwa suhu pembakaran tidak
mempengaruhi nilai bobot jenis asap cair. Apabila dianalisis sampai pada suhu distilasi fraksi kedua, jenis sampel dan suhu distilasi mempengaruhi nilai bobot jenis asap cair yang diperoleh. Bobot jenis ini dipengaruhi oleh berat molekul dari senyawa-senyawa yang menyusun asap cair. Tabel 16. Bobot Jenis Asap Cair Pada Berbagai Variasi Bahan Pengasap, Suhu Pembakaran dan Suhu Distilasi No
Sampel
Bobot Jenis T≤100
100
125
150
1
Kondensat Sabut Kelapa Suhu 300 °C
1,076
1,084
-
-
2
Kondensat Sabut Kelapa Suhu 500 °C
1,077
1,083
-
-
3
Kondensat Tempurung Kelapa Suhu 300 °C
1,090
1,100
1,127
1,151
4
Kondensat Tempurung Kelapa Suhu 500 °C
1,087
1,112
1,125
1,144
Keterangan : Data dan perhitungan pada Lampiran 19
E. Produktivitas Asap Cair Hasil Pemurnian Perhitungan produktivitas asap cair ini berguna untuk memperkirakan jumlah kondensat asap cair yang didapatkan per 1000 gram bahan baku, dihitung dengan mengalikan persentase kondensat hasil pirolisis (Tabel 4) dengan berat bahan baku, lalu dibagi bobot jenisnya masing-masing (Tabel 15). Jumlah kondensat pirolisis (ml) = Persen kondensat (%) × 1000 gram Bobot jenis (gr/ml) Jumlah kondensat distilasi (ml) = Jumlah kondensat pirolisis (ml) × Persen kondensat distilasi (%) Jumlah kondensat distilasi (gr) = Jumlah kondensat distilasi (ml) × Bobot jenis (gr/ml)
Produktivitas = Jumlah kondensat distilasi (gr) × 100 % 1000 gram Perhitungan produktivitas asap cair ini berguna ketika kita akan mendirikan suatu industri pembuatan asap cair yang dimurnikan, terutama pada saat penentuan kapasitas produksi. Data jumlah kondensat hasil pemurnian per 1000 gram sabut dan tempurung kelapa disajikan pada Tabel 17. Tabel 17. Produktivitas Asap Cair Hasil Pemurnian No
Bahan Pengasap
Produktivitas (%) T≤100
100
125
150
1
Kondensat Sabut Kelapa Suhu 300 °C
22,9
14,7
-
-
2
Kondensat Sabut Kelapa Suhu 500 °C
45,5
7,5
-
-
3
Kondensat Tempurung Kelapa Suhu 300 °C
15,9
12,3
1,8
1,4
4
Kondensat Tempurung Kelapa Suhu 500 °C
18,8
10,2
2,1
1,3
Keterangan : Data dan perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 20
Fraksi asap cair yang dihasilkan pada penelitian ini memiliki kualitas dan kuantitas yang bervariasi yang disebabkan oleh perbedaan suhu distilasi. Semakin tinggi suhu distilasi, kualitas asap cair yang dihasilkan semakin tinggi. Namun sebaliknya, semakin tinggi suhu distilasi, kuantitas asap cair yang dihasilkan semakin rendah. Aplikasi dari asap cair yang dihasilkan pada penelitian ini dapat disesuaikan dengan kualitas dan kuantitas asap cair tersebut. Oleh karena itu, grade asap cair dibuat untuk membedakan kualitas dan kuantitas dari masingmasing fraksi asap cair yang dihasilkan pada penelitian ini. Grade ini dibuat berdasarkan fraksi suhu pada proses distilasi atau pemurnian. Grade 1 adalah
fraksi asap cair yang dihasilkan pada suhu distilasi 150
Grade*
Kuantitas
Kualitas
(% b/b)
Kadar Fenol (%) Kadar Asam (%)
1
Grade 1
1,3 - 1,4
0,64 - 0,78
58,63 - 59,93
2
Grade 2
1,8 - 2,1
0,64
43,96 - 44,24
3
Grade 3
7,5 - 14,7
0,59 - 0,64
8,08 - 18,92
4
Grade 4
15,9 - 45,5
0,37 - 0,47
4,15 - 9,65
*Keterangan : Penentuan grade oleh penulis
Grade 1 merupakan asap cair yang dihasilkan dari distilasi pada suhu 150 °C sampai 200 °C. Grade 1 memiliki kualitas yang tertinggi dibandingkan dengan fraksi asap cair lainnya karena memiliki kandungan fenol dan asam organik yang paling tinggi. Asap cair grade 1 ini memiliki kadar fenol sebesar 0,64 - 0,78 % dan kadar asam sebesar 58,63 - 59,93 %. Menurut Darmadji (1995), fenol dan asam organik berfungsi sebagai zat antimikrobial pada asap cair, dan peranannya akan semakin meningkat apabila kedua senyawa tersebut ada bersama-sama. Namun, grade 1 ini memiliki kuantitas distilat yang paling rendah dibandingkan dengan grade lainnya yaitu hanya 1,3 - 1,4 %. Grade 1 hanya terdiri dari asap cair dengan bahan baku tempurung kelapa yang dibakar pada suhu 300 °C dan 500 °C. Grade 2 merupakan asap cair yang dihasilkan dari distilasi pada suhu 125 °C sampai 150 °C. Asap cair grade 2 ini memiliki kualitas dibawah kualitas asap cair grade 1 karena memiliki kadar fenol sebesar 0,64 % dan kadar asam sebesar 43,96 - 44,24 %. Namun asap cair grade 2 ini memiliki kuantitas sebesar 1,8 - 2,1 %, yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan kuantitas asap cair grade 1. Asap
cair grade 2 ini hanya terdiri dari asap cair dengan bahan baku tempurung kelapa pada suhu pembakaran 300 °C dan 500 °C. Grade 3 merupakan asap cair yang berasal dari distilasi pada suhu 100 °C sampai 125 °C. Asap cair grade 3 ini memiliki kualitas dibawah kualitas asap cair grade 2 karena memiliki kadar fenol dan kadar asam yang lebih rendah. Asap cair grade 3 ini memiliki kadar fenol sebesar 0,59 - 0,64 % dan kadar asam sebesar 8,08 - 18,92 %. Asap cair grade 2 ini memiliki kuantitas yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan asap cair grade 2 dan grade 1. Jumlah distilat yang bisa dihasilkan pada grade 3 ini adalah sebesar 7,5 - 14,7 %. Asap cair grade 3 ini terdiri dari asap cair dengan bahan baku sabut dan tempurung kelapa dengan suhu pembakaran 300 °C dan 500 °C. Grade 4 merupakan asap cair yang berasal dari distilasi pada suhu sampai 100 °C. Asap cair grade 4 ini merupakan asap cair dengan kualitas yang paling rendah karena memiliki kadar fenol dan kadar asam yang paling kecil, yaitu sebesar 0,37 - 0,47 % dan 4,15 - 9,65 %. Walaupun memiliki kualitas yang paling rendah, asap cair drade 4 ini memiliki kuantitas yang paling tinggi diantara grade lainnya, yaitu sebesar 15,9 - 45,5 %. Kuantitas yang tinggi ini disebabkan karena asap cair grade 4 ini memiliki komponen air dalam jumlah yang banyak. Air dapat menurunkan kepekatan dan kualitas dari asap cair. Asap cair grade 4 ini terdiri dari asap cair dengan bahan baku sabut dan tempurung kelapa dengan suhu pembakaran 300 °C dan 500 °C. Kualitas asap cair yang dihasilkan pada penelitian ini ditentukan oleh kadar fenol dan kadar asam pada asap cair karena kedua senyawa tersebut yang memiliki peranan paling besar sebagai zat antimikroba. Semakin tinggi kadar fenol dan kadar asam dari asap cair, maka kemampuan untuk menekan pertumbuhan mikroorganisme dari asap cair tersebut akan semakin tinggi. Asap cair yang memiliki kualitas paling tinggi (grade 1) memiliki kuantitas yang paling rendah karena kandungan air pada asap cair tersebut sangat rendah sehingga meningkatkan kepekatan dari zat aktif di dalamnya seperti fenol dan asam asetat. Sebaliknya, asap cair dengan kualitas yang paling rendah (grade 4) memiliki kuantitas yang paling tinggi, karena kandungan air di dalamnya sangat tinggi sehingga menurunkan tingkat kepekatan zat aktif di dalamnya.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan 1. Tempurung dan sabut kelapa memiliki potensi sebagai bahan baku pembuatan asap cair. 2. Kualitas asap cair, yaitu kadar fenol dan asam asetat, dari asap cair tempurung kelapa lebih tinggi dari asap cair sabut kelapa yaitu masing-masing sebesar 19,23 % dan 128,13 % pada suhu pembakaran 300 °C, serta sebesar 30,30 % dan 132,98 % pada suhu pembakaran 500 °C. 3. Distilasi mampu memisahkan berbagai komponen asap cair tempurung dan sabut kelapa menjadi empat fraksi dengan suhu distilasi antara 0 sampai 200 °C. Namun perlu dilakukan aplikasi secara langsung untuk mengetahui kemampuan masing-masing fraksi sebagai pengawet atau fungsi lainnya. B. Saran Perlunya dilakukan analisis komponen kimia penyusun fraksi-fraksi asap cair hasil distilasi dengan menggunakan GC-MS untuk menentukan kegunaan dari fraksi-fraksi asap cair hasil distilasi tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Association of Official Analytical Chemist. 1995. Official Method of Analysis. 16th edition. Assiciation of Official Analytical Chemist, Inc. Washington. Buckle, K. A., R. A. Edwards, G. H. Fleet dan M. Wooton. 1985. Ilmu Pangan. Terjemahan H. Purnomo dan Adiono. Indonesian University Press. Jakarta. Boetje. 1998. pengaruh Cara Aplikasi Asap Cair Terhadap Umur Simpan Cakalang Asar dalam Bentuk ‘Steak’. Penelitian Pasca Sarjana. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Browning, B. L. 1963. The Chemistry of Wood. Interscience Publishers John Wiley & Sons, Inc. USA. Cutting, C. I. 1965. Smoking dalam Fish As Food. Vol 3. Edited by Borgstorm. G. New York. Academic Press. 55-105p. Darmadji, P. 1995 Produksi Asap Cair dan Sifat-Sifat Fungsionalnya. Fakultas Teknologi Pangan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Darmadji, P. 2002. Optimasi Pemurnian Asap Cair dengan Metode Redistilasi. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan 8(3);267-171. Daun, H.1979. Interaction of Wood Smoke Components and Foods. Food Technol. 33 (5) 66-71. Davis, T. A. 1992. Coconut Research Institute, Manado Indonesia Overview of Research Activities, Indonesia.
Departemen Pertanian. 2002. Statistik Perkebunan Kelapa Indonesia. Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan. Departemen Pertanian, Jakarta.
Djatmiko, B., S. Ketaren dan Setyakartini. 1985. Arang Pengolahan dan Kegunaannya. Departemen Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Eklund. 1982. Inhibitor of Clostridium botulinum Types A and B Toxin Production by Liquid Smoke and NaCl in Hot Process Smoke Flavoured Fish. J. Food Protect. 6:32-41. Foster, W. W. 1977. The Physic of Wood Smoke dalam Fish as Food. Vol. 3. Edited by Borgstorm. G. London. Three Academic Press. Fremond,Y., R. Ziller, dan M. De La Motte. 1966. Le Cocotier. Maisonneuve and La Rose, Paris. Fretheim, K., P. E. Granum dan Vold. 1980 Influence of Generation Temperature on The Chemical Composition, Antioxidative Antimicrobial Effects of Wood Smoke. J. Food Science 45 : 999-1007. Geankoplis, C. J. 1983. Transport Processes and Unit Operations, 2nd ed. Allyn and Bacon, Inc., Boston. Girrard, J.P. 1992. Technology of Meat and Meat Products. Ellis horwood. New York. Grimwood, B. E. 1975. Coconut Palm Product Tropical. London. Product Institute. Harris, R. S. dan E. Karmas. 1989. Evaluasi Gizi pada Pengolahan Pangan. Terjemahan Achmadi S., Bandung Technology Institute Press, Bandung.
Hendra, D. 1992. Hasil Pirolisis dan Nilai Kalor dari 8 Jenis Kayu di Indonesioa Bagian Timur. Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol. 10(4);122-124. Holleman, H. F. 1903. A Text Book of Organic Chemistry. John Wiley & Sons, New York. Hollenbeck, C. M. 1978. Summaries of Addition Paper on Smoke Curing. The Symposium Smoke Curing Advances in Theory of Food Tech. Dallas. Texas June 4-7. Holzschuh, Pierre ;
et al. Process for the production of alimentary smoke by
pyrolysis, the use of means particularly adapted to said process, smoke and smoked foodstuffs obtained. www.uspto.gov Immamura, E., dan Y. Watanabe. 2004. Anti-Allergy Composition Comprising Wood Vinegar or Bamboo
Vinegar-Distilled Solution. United States
Patent Application. Cleveland. Joseph, G. H. dan J. G. Kindagen. 1993. Potensi dan Peluang Pengembangan Tempurung, Sabut dan Batang Kelapa untuk Bahan Baku. Prosiding Konperensi Nasional Kelapa III, Yogyakarta. Kuriyama, A. 1961. Destructive distillation of Wood. Overseas Technical Corporation Agency. Tokyo. Maga, J.A. 1988. Smoke in Food Processing. CRC Press, Florida. Moeljanto. 1982. Pengasapan dan Fermentasi Ikan. Jakarta. Penebar Swadaya. Moody, M. W. dan G. J. Flick. 1990. Smoked, Cured, and Dried Fish. Di dalam Martin, R. E. Dan G. J. Flick (eds.) The Seafood Industry. Van Nostrand Reinhold. New York.
Nurhayati, T. 2000. Produksi Arang dan Destilat Kayu Mangium dan Tusam dari Tungku Kubah. Buletin Penelitian Hasil Hutan 18(3);137-151. Nurhayati, T., Sylviani, dan Mahpudin. 2003. Analisis Teknis dan Ekonomis Produksi Terpadu Arang dan Cuka Kayu dari Tiga Jenis Kayu. Buletin Penelitian Hasil Hutan 21(2) ; 155-166. Pearson, A.M. dan F.W. Tauber. 1973. Processed Meats, second edition. AVI Publishing Company Inc., Wesport Connecticut. Pranatalia, D. 2004. Pyroligneous Acid dari Limbah Tempurung Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq) dan Pemanfaatannya pada Bibit Mahoni (Swietenia macrophylla
King). Skripsi. Fakultas Kehutanan, Institut
Pertanian Bogor. Price, J. F., B. S. Schweigert. 1987. The Science of Meat and Meat Products. Food and Nutrition Press, Inc. Wesport, Connecticut. Pszczola, Donald E. 1995. Tour Highlights Production and Uses of Smoke-Based Flavors. Food Technol. 49(1);70-74. Reinhold, J. F. F. 1993. Martindale. The Extract Pharmacopodia 30th. edition. The Pharmacentical. London Rumokoi, M. M. M., H. F. J. Motulo, H. Kembuan, E. Goniwala, dan E. Lumintang. 1997. Biokonversi Sabut dan Air Kelapa menjadi Pakan dan Pupuk Organik. Laporan Tahunan Balai Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma Lain. Badan Penalitian dan Pengambangan Pertanian, Manado. Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Edisi Kedua. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Soetoyo, M. D. 1987. Pedoman Mengasap Ikan Cara Sederhana dan Modern. Jakarta. Titik Terang. Sutater, T., Sucianti dan R. Tejasarwana. 1998. Serbuk Sabut Kelapa sebagai Media Tanam Krisan. Konperensi Nasional Kelapa. Modernisasi Usaha Pertanian Berbasis Kelapa. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Bandar Lampung. Tillman, D. A., A. J. Rossi dan W. D. Kitto. 1981. Wood Combustion, Principles, Processes, and Economics.Academic Press. New York. Toth, L. dan K. Potthast. 1984. Chemical Aspect of the Smoking of Meat and Meat Products dalam C. O. Chichester, E. M. Mrakdan B. S. Schweigert (ed.). Advances in Food Research. Vol. 29. Academic Press, Inc., New York. London. Tranggono, Suhardi, B. Setiadji, P.Darmadji, Supranto, dan Sudarmanto. 1996. Identifikasi Asap Cair dari Berbagai jenis Kayu dan tempurung Kelapa. J. Ilmu dan Teknologi Pangan 1(2);15 – 24. Whittle, K. J., P. Howgate. 2002. Glossary of Fish Technology Terms. www.onefish.org/global/ishTechnologyGlossaryFeb02. Zaitsev, I., I. Kizeveter, L. Lacunov, T. Makarova, L. Mineer, dan V. Podsevalor. 1969. Fish Curing and Processing. Mir Publishers. Moskow.
Lampiran 1. Hasil Deteksi GC-MS Kondensat Sabut Kelapa Suhu 300 °C
Lampiran 2. Hasil Deteksi GC-MS Kondensat Sabut Kelapa Suhu 500 °C
Lampiran 3. Hasil Deteksi GC-MS Kondensat Tempurung Kelapa Suhu 300 °C
Lampiran 4. Hasil Deteksi GC-MS Kondensat Tempurung Kelapa Suhu 500 °C
Lampiran 5. Komponen Kondensat Sabut Kelapa Suhu 300 °C Hasil Deteksi GC-MS No
Sampel
%
1
Fenol
44,1
2
Pyridin, 3-methoxy
0,92
3
Butanoic acid, propyl ester
0,70
4
2-cyclopenten-1-one, 2-hydroxy-3-methyl
1,68
5
1,3-dimethyl-2-cyclopentwn
0,13
6
Fenol, 2-methyl
2,78
7
Fenol, 2-methoxy
14,84
8
Oxyrane, propyl
0,19
9
2-methoxycyclohexanone / trans-2-methyl-4-hexan
1,83
10
4-pyran-4-one, 3-hydroxy-2-metil
0,93
11
2-cyclopenten-1-one, 3ethyl-2-hydroxy
0,72
12
Fenol, 2-ethyl
0,21
13
Fenol, 2,4-dimethyl
0,90
14
Fenol, 3-ethyl
0,51
15
Fenol, 3,4-dimethyl
0,70
16
2-methoxy-4-methyl fenol
1,99
17
Pyridinone, 3-methyl
1,04
18
1,2-benzenediol
7,22
19
1-methoxy-4-(1’-methyl ethyl) cyclo
0,23
20
1,2-benzenediol, 3-methoxy
1,95
21
Fenol, 4-ethyl-2-methoxy
0,55
22
1,2-benzenediol, 3-methyl
1,69
23
4-methyl catechol
4,54
24
Fenol, 2,6-dimethoxy
4,17
25
2,5-dihydroxybenzaldehide
0,29
26
Benzaldehide, 4-hydroxy-3-methoxy
0,27
27
1,3-benzenediol, 4-ethyl
0,89
Lampiran 5. Komponen Kondensat Sabut Kelapa Suhu 300 °C Hasil Deteksi GC-MS (lanjutan) No
Sampel
%
28
1,2,4-trimethoxybenzene
0,83
29
Etanone
0,27
30
3-(2-nepthyl)-1-butene
0,32
31
2,6-dimethyl-4-hydroxyaniline
1,45
Lampiran 6. Komponen Kondensat Sabut Kelapa Suhu 500 °C Hasil Deteksi GC-MS No
Sampel
%
1
Fenol
44,30
2
1-hidroxy-2-pentanone
1,84
3
Pyridin, 3-methoxy
0,79
4
2-cyclopenten-1-one, 2-hydroxy-3-methyl
1,44
5
Fenol, 2-methyl
4,62
6
Fenol, 2-methoxy
7
3-methylene-1,5-heptadien-4-ol
0,31
8
4-pyran-4-one, 3-hydroxy-2-metil
0,22
9
2-cyclopenten-1-one, 3ethyl-2-hydroxy
0,28
10
Fenol, 2-ethyl
0,18
11
Fenol, 2,4-dimethyl
0,57
12
Fenol, 3-ethyl
0,93
13
Fenol, 2,4-dimethyl
0,48
14
2-methoxy-4-methyl fenol
0,84
15
4-ethoxy pyridine
0,06
16
1,2-benzenediol
15,06
17
1,2-benzenediol, 3-methoxy
1,91
18
1,2-benzenediol, 3-methyl
2,90
19
4-methyl catechol
5,55
20
Fenol, 2,6-dimethoxy
2,42
21
4-flourocumene
1,16
22
4,5-dimethoxy-2-methyl fenol
0,60
23
2,3,5-trimethoxy toluene
0,22
24
2-methoxy-4-propyl fenol
0,91
13, 64
Lampiran 7. Komponen Kondensat Tempurung Kelapa Suhu 300 °C Hasil Deteksi GC-MS No
Sampel
%
1
Fenol
34,45
2
3-cyclobutene-1,2-dione, 3,4-dihydroxy
0,18
3
Pyridin, 3-methoxy
0,35
4
Butanoic acid, propyl ester
0,32
5
2-cyclopenten-1-one, 2-hydroxy-3-methyl
2,57
6
Fenol, 2-methyl
1,84
7
Fenol, 2-methoxy
9,81
8
4-hexene-3-one, 4,5-dimethyl
0,52
9
Hexadecane, 1,1-dimethoxy
4,21
10
Fenol, 3-ethyl
0,38
11
2-methoxy-4-methyl fenol
3,05
12
1,2-benzenediol
8,62
13
1,2-benzenediol, 3-methoxy
6,46
14
1,2-benzenediol, 3-methyl
0,66
15
4-methyl catechol
1,60
16
Fenol, 2,6-dimethoxy
12,57
17
Fenol, 3,4-dimethoxy
0,29
18
Benzoic acid, 4-hydroxy metil ester
0,91
19
Benzaldehide, 4-hydroxy-2-methoxy
0,32
20
Fenol, 2-methoxy-4-(1-propenyl)
0,32
21
Benzene, 1,2,3-trimethoxy
3,09
22
2,4-dimethyl-3-(methoxycarbonil)
2,62
23
Benzeneacetic acid, 4-hydroxy-3-metil
1,38
24
Fenol, 2,4-dimethoxy-4-(2-propenyl)
0,96
25
Ethanone, 1-(4-hydroxy-2,5,dimethoxy)
0,37
26
2-pentanone, 1-(2,4,6-trihydroxyphenyl)
1,45
Lampiran 8. Komponen Kondensat Tempurung Kelapa Suhu 500 °C Hasil Deteksi GC-MS No
Sampel
%
1
Fenol
31,93
2
2-pyran, 3,4-dihydro-2-methoxy
0,22
3
Pyridin, 3-methoxy
0,31
4
Butanoic acid
0,26
5
2-cyclopenten-1-one, 2-hydroxy-3-methyl
2,53
6
Fenol, 2-methyl
1,67
7
Fenol, 2-methoxy
9,19
8
Thiopene, 2-propyl
0,44
9
Octadecane, 1,1-dimethoxy
3,40
10
Fenol, 2,4-dimethyl
0,34
11
Fenol, 3,5-dimethyl
0,41
12
2-methoxy-4-methyl fenol
2,85
13
1,2-benzenediol
9,47
14
1,2-benzenediol, 3-methoxy
6,20
15
4-methyl catechol
1,87
16
Fenol, 2,6-dimethoxy
12,44
17
Fenol, 3,4-dimethoxy
0,26
18
Benzoic acid, 4-hydroxy metil ester
1,42
19
Benzaldehide, 4-hydroxy-3-methoxy
0,39
20
Fenol, 2-methoxy-4-(1-propanyl)
0,64
21
1,2,4-trimethoxybenzene
3,62
22
4-(methylthio) acetophenone
0,67
23
7,8-dimethylbenzocyclooctene
3,45
24
Benzeneacetic acid, 4-hydroxy-3-metil
1,67
25
Fenol, 2,4-dimethoxy-4-(2-propenyl)
1,44
26
2-chloro-1-phenyl-1-penten-3-ol
0,52
27
Ethanone, 1-(4-hydroxy-3,5-dimethoxy)
0,53
28
1-butanone, 1-(2,4,6-trihydroxy-3-methylpenyl)
1,87
Lampiran 9. Hasil Uji ANOVA Pirolisis Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 2 268.47115333 134.23557667 3.95 0.0712 Error 7 238.10560667 34.01508667 Corrected Total 9 506.57676000 R‐Square C.V. Root MSE KONDST Mean 0.529971 13.16475 5.83224542 44.30200000 Source DF Anova SS Mean Square F Value Pr > F SAMPEL 1 68.77962667 68.77962667 2.02 0.1980 SUHU 1 199.69152667 199.69152667 5.87 0.045
Lampiran 10. Hasil Uji ANOVA Distilasi
Distilasi sabut Analysis of Variance Procedure Dependent Variable: DIS Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 2 3763.06250000 1881.53125000 8.03 0.0275 Error 5 1171.40625000 234.28125000 Corrected Total 7 4934.46875000 R‐Square C.V. Root MSE DIS Mean 0.762607 33.04993 15.30624872 46.31250000 Source DF Anova SS Mean Square F Value Pr > F SUPMB 1 0.28125000 0.28125000 0.00 0.9737 SUDIS 1 3762.78125000 3762.78125000 16.06 0.0102 Distilasi Tempurung Analysis of Variance Procedure Dependent Variable: DIS Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 4 4535.23812500 1133.80953125 145.53 0.0001 Error 11 85.70171875 7.79106534 Corrected Total 15 4620.93984375 R‐Square C.V. Root MSE DIS Mean 0.981454 14.79052 2.79124799 18.87187500 Source DF Anova SS Mean Square F Value Pr > F SUPMB 1 0.66015625 0.66015625 0.08 0.7764 SUDIS 3 4534.57796875 1511.52598958 194.01 0.0001
Lampiran 10. Hasil Uji ANOVA Distilasi (lanjutan) Distilasi Sabut+tempurung Analysis of Variance Procedure Dependent Variable: DIS Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 3 3903.04687500 1301.01562500 7.52 0.0043
Error 12 2075.56250000 172.96354167 Corrected Total 15 5978.60937500 R‐Square C.V. Root MSE DIS Mean 0.652835 32.39799 13.15156043 40.59375000 Source DF Anova SS Mean Square F Value Pr > F SAMPEL 1 523.26562500 523.26562500 3.03 0.1075 SUPMB 1 1.26562500 1.26562500 0.01 0.9332 SUDIS 1 3378.51562500 3378.51562500 19.53 0.0008
Lampiran 11. Hasil Uji ANOVA pH pH Sabut Analysis of Variance Procedure Dependent Variable: PH Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 2 0.02322500 0.01161250 29.59 0.0017 Error 5 0.00196250 0.00039250 Corrected Total 7 0.02518750
R‐Square C.V. Root MSE PH Mean 0.922084 0.677031 0.01981161 2.92625000 Source DF Anova SS Mean Square F Value Pr > F SUPMB 1 0.00011250 0.00011250 0.29 0.6153 SUDIS 1 0.02311250 0.02311250 58.89 0.0006 pH Tempurung Analysis of Variance Procedure Dependent Variable: PH Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 4 1.91292500 0.47823125 1277.22 0.0001 Error 11 0.00411875 0.00037443 Corrected Total 15 1.91704375 R‐Square C.V. Root MSE PH Mean 0.997852 0.864574 0.01935024 2.23812500 Source DF Anova SS Mean Square F Value Pr > F SUPMB 1 0.00005625 0.00005625 0.15 0.7057 SUDIS 3 1.91286875 0.63762292 1702.91 0.0001
Lampiran 11. Hasil Uji ANOVA pH (lanjutan) pH sabut+tempurung Analysis of Variance Procedure Dependent Variable: PH Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 3 0.63642500 0.21214167 200.84 0.0001 Error 12 0.01267500 0.00105625 Corrected Total 15 0.64910000 R‐Square C.V. Root MSE PH Mean 0.980473 1.185050 0.03250000 2.74250000 Source DF Anova SS Mean Square F Value Pr > F SAMPEL 1 0.54022500 0.54022500 511.46 0.0001 SUPMB 1 0.00010000 0.00010000 0.09 0.7636
SUDIS 1 0.09610000 0.09610000 90.98 0.0001
Lampiran 12. Hasil Uji ANOVA Kadar Asam kadar asam sabut Analysis of Variance Procedure Dependent Variable: KAS Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 2 21.30730600 10.65365300 26.60 0.0022 Error 5 2.00241000 0.40048200 Corrected Total 7 23.30971600 R‐Square C.V. Root MSE KAS Mean 0.914095 12.55752 0.63283647 5.03950000 Source DF Anova SS Mean Square F Value Pr > F SUPMB 1 1.05705800 1.05705800 2.64 0.1652 SUDIS 1 20.25024800 20.25024800 50.56 0.0009 kadar asam tempurung Analysis of Variance Procedure
Dependent Variable: KAS Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 4 5227.95373975 1306.98843494 1488.30 0.0001 Error 11 9.65996119 0.87817829 Corrected Total 15 5237.61370094 R‐Square C.V. Root MSE KAS Mean 0.998156 3.123816 0.93711167 29.99893750 Source DF Anova SS Mean Square F Value Pr > F SUPMB 1 0.67363056 0.67363056 0.77 0.3998 SUDIS 3 5227.28010919 1742.42670306 1984.14 0.0001
Lampiran 12. Hasil Uji ANOVA Kadar Asam (lanjutan) kadar asam sabut+tempurung Analysis of Variance Procedure Dependent Variable: KAS Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 3 432.29107850 144.09702617 58.82 0.0001 Error 12 29.39664750 2.44972063 Corrected Total 15 461.68772600 R‐Square C.V. Root MSE KAS Mean 0.936328 15.34845 1.56515834 10.19750000 Source DF Anova SS Mean Square F Value Pr > F SAMPEL 1 259.48377225 259.48377225 105.92 0.0001 SUPMB 1 0.00313600 0.00313600 0.00 0.9720 SUDIS 1 172.80417025 172.80417025 70.54 0.0001
Lampiran 13. Hasil Uji ANOVA Kadar Fenol kadar fenol sabut Analysis of Variance Procedure Dependent Variable: FENOL Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 2 146573.29040000 73286.64520000 38.99 0.0009 Error 5 9397.68180000 1879.53636000 Corrected Total 7 155970.97220000 R‐Square C.V. Root MSE FENOL Mean 0.939747 8.027036 43.35361992 540.09500000 Source DF Anova SS Mean Square F Value Pr > F SUPMB 1 1700.61120000 1700.61120000 0.90 0.3852 SUDIS 1 144872.67920000 144872.67920000 77.08 0.0003 kadar fenol tempurung Analysis of Variance Procedure Dependent Variable: FENOL Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 4 205570.47272501 51392.61818125 6.60 0.0058 Error 11 85699.13207500 7790.83018864 Corrected Total 15 291269.60480000 R‐Square C.V. Root MSE FENOL Mean 0.705774 13.40497 88.26567956 658.45500000
Source DF Anova SS Mean Square F Value Pr > F SUPMB 1 6211.80422500 6211.80422500 0.80 0.3910 SUDIS 3 199358.66850000 66452.88950000 8.53 0.0033
Lampiran 13. Hasil Uji ANOVA Kadar Fenol (lanjutan) kadar fenol sabut+tempurung Analysis of Variance Procedure Dependent Variable: FENOL Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 3 205195.01762500 68398.33920833 28.02 0.0001 Error 12 29287.45515000 2440.62126250 Corrected Total 15 234482.47277500 R‐Square C.V. Root MSE FENOL Mean 0.875097 8.904125 49.40264429 554.82875000 Source DF Anova SS Mean Square F Value Pr > F SAMPEL 1 3473.33422500 3473.33422500 1.42 0.2559 SUPMB 1 147.62250000 147.62250000 0.06 0.8099 SUDIS 1 201574.06090000 201574.06090000 82.59 0.0001
Lampiran 14. Hasil Uji ANOVA Bobot Jenis BJ sabut Analysis of Variance Procedure Dependent Variable: BJ Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 2 0.00009125 0.00004562 3.59 0.1082 Error 5 0.00006363 0.00001273 Corrected Total 7 0.00015488 R‐Square C.V. Root MSE BJ Mean 0.589185 0.330259 0.00356721 1.08012500 Source DF Anova SS Mean Square F Value Pr > F SUPMB 1 0.00000012 0.00000012 0.01 0.9249 SUDIS 1 0.00009112 0.00009112 7.16 0.0440 BJ tempurung Analysis of Variance Procedure Dependent Variable: BJ Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 4 0.00787975 0.00196994 62.78 0.0001 Error 11 0.00034519 0.00003138 Corrected Total 15 0.00822494 R‐Square C.V. Root MSE BJ Mean 0.958032 0.501480 0.00560185 1.11706250 Source DF Anova SS Mean Square F Value Pr > F SUPMB 1 0.00000006 0.00000006 0.00 0.9652 SUDIS 3 0.00787969 0.00262656 83.70 0.0001
Lampiran 14. Hasil Uji ANOVA Bobot Jenis (lanjutan) BJ sabut+tempurung Analysis of Variance Procedure
Dependent Variable: BJ Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 3 0.00175225 0.00058408 16.55 0.0001 Error 12 0.00042350 0.00003529 Corrected Total 15 0.00217575 R‐Square C.V. Root MSE BJ Mean 0.805354 0.545705 0.00594068 1.08862500 Source DF Anova SS Mean Square F Value Pr > F SAMPEL 1 0.00115600 0.00115600 32.76 0.0001 SUPMB 1 0.00002025 0.00002025 0.57 0.4634 SUDIS 1 0.00057600 0.00057600 16.32 0.0016
Lampiran 15. Data dan Perhitungan Pirolisis No
Sampel
Suhu Bobot Kadar Bobot Persen Bobot (°C) Sampel Air kondensat Kondensat Arang (gr) (%) (gr) (% b/b) (gr) 300 520 22,57 175 41,13 195
Persen Arang (% b/b) 46,02
1
Sabut
2
Sabut
300
480
23,71
153
39,45
175
45,18
3
Sabut
500
507
26,31
231
57,56
147
36,57
4
Sabut
500
503
27,76
226
57,34
148
37,60
5
Tempurung
300
2600
14,77
952
42,02
948
41,85
6
Tempurung
300
2600
13,34
875
38,14
796
34,70
7
Tempurung
500
1704
15,14
688
46,48
519
35,07
8
Tempurung
500
2322
14,63
764
37,72
684
33,77
Contoh Perhitungan : Sampel 1 Berat kering = Bobot Sampel × 100 % (100 + kadar air) % = 520 gr × 100 % = 424,25 gr (100 + 22,57) % Persen Kondensat = Bobot Kondensat × 100 % Berat Kering = 175 gr × 100 % = 41,13 % 424,25 gr Persen Arang = Bobot Arang × 100 % Berat Kering = 195 gr × 100 % = 46,02 % 424,25 gr Rata-rata Persen kondensat rata-rata = % kondensat ulangan 1 + % kondensat ulangan 2 2 = 41,13 % + 39,45 % = 40,29 % (lihat Tabel 4) 2
Lampiran 16. Data dan Perhitungan Distilasi No 1
Sampel
Volume Awal (ml) 200
Kondensat Sabut
T≤100 Vol % (ml) (v/v) 148 74,00
100
125
150
Kelapa Suhu 300 °C 2
Kondensat Sabut
200
117
58,50
70
35,00
-
-
-
-
200
169
84,50
15
7,50
-
-
-
-
200
148
74,00
37
18,50
-
-
-
-
200
81
40,50
60
30,00
4,2
2,10
6,8
3,40
200
78
39,00
63
31,50
4,7
2,35
7,5
3,75
200
94
47,00
45
22,50
4,5
2,25
6,5
3,25
200
85
42,50
52
26,00
5,7
2,85
6
3,00
Kelapa Suhu 300 °C 3
Kondensat Sabut Kelapa Suhu 500 °C
4
Kondensat Sabut Kelapa Suhu 500 °C
5
Kondensat Tempurung Kelapa Suhu 300 °C
6
Kondensat Tempurung Kelapa Suhu 300 °C
7
Kondensat Tempurung Kelapa Suhu 500 °C
8
Kondensat Tempurung Kelapa Suhu 500 °C
Contoh Perhitungan : Sampel 7 Persen terekstrak (T≤100) = Volume Terekstrak (ml) × 100 % Volume Awal (ml) = 94 ml × 100 % = 47,00 % 200 ml % terekstrak rata-rata = %Terekstrak ulangan 1 + %Terekstrak ulangan 2 × 100% 2 = 47,00 % + 42,50 % × 100 % = 44,75 % ( lihat Tabel 6) 2
Lampiran 17. Data dan Perhitungan Kadar Asam No
Sampel
Suhu Pembakaran (°C)
Suhu Distilasi
Bobot Sampel (gr)
1
Sabut
300
-
2,036
Vol. NaOH Awal (ml) 0
2
Sabut
300
-
2,025
0,3
28,3
8,296
3
Sabut
500
-
2,037
0
28,2
8,306
4
Sabut
500
-
2,032
0,1
28,8
8,474
5
Tempurung
300
-
1,988
0
21,4
6,426
6
Tempurung
300
-
1,982
21,7
45,5
7,205
7
Tempurung
500
-
1,992
1,4
29,3
8,404
8
Tempurung
500
-
1,991
0
24,7
7,443
9
Sabut
300
T≤100
1,968
20,2
35
4,512
10
Sabut
300
T≤100
1,967
35
49,9
4,545
11
Sabut
300
100
1,988
0
27,4
8,270
12
Sabut
300
100
1,999
0
28
8,404
13
Sabut
500
T≤100
1,973
0
9,8
2,980
14
Sabut
500
T≤100
1,976
9,8
19,8
3,050
15
Sabut
500
100
1,989
19,8
40
6,093
16
Sabut
500
100
1,997
0
20,2
6,069
17
Tempurung
300
T≤100
1,993
0
32,9
9,905
18
Tempurung
300
T≤100
1,980
0
32,6
9,879
19
Tempurung
300
100
2,017
0
62
18,443
20
Tempurung
300
100
2,019
0
62,6
18,603
21
Tempurung
300
125
0,516
0
39,1
45,465
22
Tempurung
300
125
0,512
0
39,4
46,172
23
Tempurung
300
150
0,514
0
51,3
59,883
24
Tempurung
300
150
0,524
0
53,2
60,916
25
Tempurung
500
T≤100
1,970
0
30,4
9,529
26
Tempurung
500
T≤100
1,981
0
31,1
9,419
27
Tempurung
500
100
2,006
0
63,7
19,053
28
Tempurung
500
100
2,015
0
64,6
19,236
29
Tempurung
500
125
0,523
0
37,5
43,021
30
Tempurung
500
125
0,520
0
38,8
42,461
30
Tempurung
500
150
0,528
0
50,5
57,386
32
Tempurung
500
150
0,516
0
50,7
58,953
Vol. NaOH Akhir (ml) 28
Kadar Asam (%) 8,251
Lampiran 17. Data dan Perhitunagn Kada Asam (lanjutan) Contoh Perhitungan : Sampel 5 Kadar Asam = Vol NaOH (l) × N NaOH × BM as. asetat × 100 % Bobot Contoh (gr) = (21,4-0) × 0,1 × 60 × 100 % = 6,426 % 1,988 × 1000 Kadar Asam Rata-Rata = % Kadar Asam Ulangan 1 + % Kadar Asam Ulangan 2 2 = 6,426 % + 7,205 % = 6,815 % (lihat Tabel 9) 2
Lampiran 18. Data dan Peritungan Kadar Fenol No
Sampel
1
Sabut
Suhu Pembakaran (°C) 300
Suhu Distilasi (°C) -
Kadar Fenol gr/l % 946,54 0,895
2
Sabut
500
-
967,19
0,914
3
Tempurung
300
-
1482,38
1,402
4
Tempurung
500
-
1522,48
1,439
5
Sabut
300
T≤100
398,54
0,377
6
Sabut
300
T≤100
439,85
0,416
7
Sabut
300
100
657,35
0,622
8
Sabut
300
100
722,96
0,684
9
Sabut
500
T≤100
346,29
0,327
10
Sabut
500
T≤100
437,42
0,414
11
Sabut
500
100
625,76
0,592
12
Sabut
500
100
692,59
0,655
13
Tempurung
300
T≤100
467,80
0,442
14
Tempurung
300
T≤100
527,34
0,499
15
Tempurung
300
100
645,20
0,610
16
Tempurung
300
100
603,89
0,571
17
Tempurung
300
125
633,05
0,598
18
Tempurung
300
125
718,10
0,679
19
Tempurung
300
150
803,16
0,759
20
Tempurung
300
150
844,47
0,798
21
Tempurung
500
T≤100
467,80
0,442
22
Tempurung
500
T≤100
527,34
0,499
23
Tempurung
500
100
667,07
0,631
24
Tempurung
500
100
721,75
0,682
25
Tempurung
500
125
885,78
0,837
26
Tempurung
500
125
880,92
0,833
27
Tempurung
500
150
594,17
0,562
28
Tempurung
500
150
752,13
0,711
Lampiran 18. Data dan Perhitungan Kadar Fenol (lanjutan) Contoh Perhitungan : Sampel 1 Kadar Fenol (%) = Kadar Fenol (gr/l) × 1 l BJ Fenol (gr/ml) 1000 ml = 946,54 (gr/l) × 1 l 1,0576 1000 ml
= 0.895 %
Kadar Fenol Rata-Rata = Kadar Fenol Ulangan 1 + Kadar Fenol Ulangan 2 2 = 0,377 % + 0,416 % = 0,396 % (lihat Tabel 13) 2
Lampiran 19. Data dan Perhitunagn Bobot Jenis No
Sampel
1
Sabut
Suhu Pembakaran (°C) 300
2
Sabut
500
-
5
13,110
18,530
1,084
3
Tempurung
300
-
5
13,147
18,709
1,113
4
Tempurung
500
-
5
13,147
18,742
1,119
5
Sabut
300
T≤100
5
13,108
18,478
1,074
6
Sabut
300
T≤100
5
13,110
18,490
1,076
7
Sabut
300
100
5
13,109
18,494
1,077
8
Sabut
300
100
5
13,111
18,516
1,081
9
Sabut
500
T≤100
5
13,107
18,502
1,079
10
Sabut
500
T≤100
5
13,110
18,495
1,077
11
Sabut
500
100
5
13,110
18,510
1,080
12
Sabut
500
100
5
13,109
18,519
1,082
13
Tempurung
300
T≤100
5
13,113
18,538
1,085
14
Tempurung
300
T≤100
5
13,110
18,555
1,089
15
Tempurung
300
100
5
13,111
18,616
1,101
16
Tempurung
300
100
5
13,109
18,654
1,109
17
Tempurung
300
125
5
13,111
18,756
1,129
18
Tempurung
300
125
5
13,108
18,723
1,123
19
Tempurung
300
150
5
13,114
18,854
1,148
20
Tempurung
300
150
5
13,112
18,872
1,152
21
Tempurung
500
T≤100
5
13,107
18,502
1,079
22
Tempurung
500
T≤100
5
13,111
18,586
1,095
23
Tempurung
500
100
5
13,110
18,635
1,105
24
Tempurung
500
100
5
13,108
18,643
1,107
25
Tempurung
500
125
5
13,109
18,719
1,122
26
Tempurung
500
125
5
13,112
18,732
1,124
27
Tempurung
500
150
5
13,110
18,830
1,144
28
Tempurung
500
150
5
13,107
18,807
1,140
Suhu Distilasi (°C) -
Volume (ml) 5
Bobot Awal (gr) 13,103
Bobot Akhir (gr) 18,558
Bobot Jenis (gr/ml) 1,091
Lampiran 19. Data dan Perhitungan Bobot Jenis (lanjutan) Contoh Perhitungan Sampel 5 Bobot Jenis = Bobot Akhir (gr) – Bobot Awal (gr) Volume (ml) = 18,478 gr – 13,108 gr = 1,074 gr/ml 5 ml Bobot Jenis Rata-Rata = Bobot Jenis Ulangan 1 + Bobot Jenis Ulangan 2 2 = 1,074 + 1,076 = 1,075 (lihat Tabel 16) 2
Lampiran 20. Data dan Perhitungan Produktivitas No
Sampel
Suhu Pembakaran (°C)
Suhu Distilasi (°C)
1
Sabut
300
T≤100
Jumlah Kondensat Distilasi (%) 56,75
2
Sabut
300
100
36,50
1,084
40,29
14,7
3
Sabut
500
T≤100
79,25
1,077
57,45
45,5
4
Sabut
500
100
13,00
1,083
57,45
7,5
5
Tempurung
300
T≤100
39,75
1,090
40,08
15,9
6
Tempurung
300
100
30,75
1,100
40,08
12,3
7
Tempurung
300
125
4,45
1,127
40,08
1,8
8
Tempurung
300
150
3,57
1,151
40,08
1,4
9
Tempurung
500
T≤100
44,75
1,087
42,10
18,8
10
Tempurung
500
100
24,25
1,112
42,10
10,2
11
Tempurung
500
125
5,10
1,125
42,10
2,1
12
Tempurung
500
150
3,13
1,144
42,10
1,3
Boot Jenis (gr/ml)
Produktivitas (%)
1,076
Jumlah Kondensat Pirolisis (%) 40,29
Contoh Perhitungan (basis 1000 gram) Sampel 1 Jumlah Kondensat Pirolisis = Persen Kondensat Pirolisis (%) × 1000 gram Bobot Jenis (gr/ml) = 40,29 % × 1000 gram = 374,44 ml 1,076 gr/ml Jumlah Kondensat Distilasi = Jumlah kondensat Pirolisis (ml) × % Kondensat Distilasi (%) = 374,44 ml × 56,75 % = 212,50 ml Jumlah kondensat distilasi (gr) = Jumlah kondensat distilasi (ml) × Bobot jenis (gr/ml) = 212,50 ml × 1,076 gr/ml = 228,64 gram Produktivitas = Jumlah kondensat distilasi (gr) × 100 % 1000 gram = 228,64 gr × 100 % = 22,86 % 1000 gr
22,9
Lampiran 21. Analisis Sifat Fisik dan Kimia a. Rendemen (SNI 06-3735-1998) Rendemen diukur berdasarkan volume kondensat yang dihasilkan (ml) dari setiap satuan berat bahan yang dibakar. Rendemen (%) =
Volume (ml)
× 100 %
Berat bahan (gram) b. pH (AOAC, 1995) Sampel sebanyak 10 ml diukur dengan menggunakan pH meter, dengan terlebih dahulu dilakukan standarisasi dengan buffer pH 4,0 dan 7,0. pengukuran sampel dilakukan dengan mencelupkan elektroda pH meter ke dalam sampel dan skala dibaca setelah jarum penunjuk konstan. c. Total Asam Tertitrasi (SNI, 1992) Sampel sebanyak 10 gram diencerkan menjadi 100 ml dengan akuades. Larutan sampel sebanyak 10 ml ditambah indikator fenolphthalein sebanyak 2-3 tetes dan dititrasi dengan larutan NaOH 0,1 N sampai titik akhir titrasi, yaitu berubahnya warna sampel menjadi merah keunguan dan stabil (tidak berubah bila dihomogenkan). Total asam tertitrasi dinyatakan sebagai persen asam asetat. % Total Asam = V × N × BM × 100 % BC V
= Volume titar NaOH
N
= Normalitas NaOH
BM = Berat molekul asam asetat BC = Bobot contoh (gram) d. Kadar Fenol (Shetty et al., 1995) Sampel sebanyak 10 ml disentrifuse pada 400 rpm selama 10 menit. Lalu 10 ml sampel ditempatkan ke dalam tabung reaksi yang sudah berisi 1 ml etanol 95 % dan 5 ml air destilat ke dalam tabung reaksi tersebut. Kemudian
ditambahkan 0,5 ml reagen Folin-Ciocalteu ke masing-masing tabung tersebut. Diamkan selama 5 menit, lalu ditambahkan 1 ml Na2S2O3 5 % ke tiap-tiap sampel, lalu dikocok dalam Vortex Shaker, lalu disimpan dalam ruang gelap selama 60 menit. Setelah 60 menit, sampel kembali dikocok dengan menggunakan Vortex Shaker dan diukur absorbansinya pada panjang gelombang 725 nm. Pembuatan kurva standar : 0,2 % asam tanat dibuat dengan pelarut air. Kemudian ambil masing-masing 0, 1, 2, 3, 4, 5 ml dan masukkan dalam labu ukur 10 ml. Kemudian tambahkan akuades ke dalam labu ukur sampai tera. Kemudian masing-masing standar dipipet ke dalam tabung reaksi, ditambahkan 1 ml etanol 95 %, 5 ml akuades, 0,5 ml reagen Folin-Ciocalteu, dan 1 ml Na2CO3 5 %. Diamkan selama 60 menit, lalu ukur absorbansinya pada panjang gelombang 725 nm. e. Bobot Jenis (SNI 06-2388-1998) Piknometer dibersihkan dengan alkohol, kemudian dikeringkan dan ditimbang dengan teliti. Sampel diisi ke dalam piknometer sampai melebihi tanda tera, kemudian ditutup dan dihindari dari adanya gelembung-gelembung udara. bagian luar piknometer dikeringkan dari bahan yang menempel. Piknometer yang telah diisi oleh akuades didiamkan beberapa saat, kemudian ditimbang. Bobot Jenis = (berat sampel + berat piknometer kosong) – berat piknometer kosong (gr) (berat air + berat piknometer kosong) – berat piknometer kosong (gr) f. GC-MS Instrument
:
Agilent
Technologies
6890
Gas
Chromatograph with Auto Sampler and 5973 Mass Selective Detector and Chemstation Data System Ionisation mode
:
Electron Impact
Electron energy
:
70 eV
Coloumn
:
HP Ultra , Capillary Coluomn
Length 50 (m) × 0,2 (mm) I.D × 0,11 (µm) Film Thickness Oven temperature
:
Initial temperature at 60 ºC hold for 2 minutes, rising at 5 ºC/min to 280 ºC hold for 5 minutes
Injection port temperature
:
250 ºC
Ion source temperature
:
230 ºC
Interface temperature
:
280 ºC
Quadrupole temperature
:
140 ºC
Carrier gas
:
Helium
Colounm mode
:
Constant flow
Flow coloumn
:
0,6 µL/minute
Injection volume
:
5 µL
Split
:
100 : 1