JURNAL KEPERAWATAN

Download 2015. PERSETUJUAN PEMBIMBING. JURNAL. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penerimaan Orang Tua. Anak Retardasi Mental di SLB Negeri Pohuwato ...

0 downloads 366 Views 1MB Size
2015

Jurnal Keperawatan JURUSAN KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN DAN KEOLAHRAGAAN UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO

PERSETUJUAN PEMBIMBING

JURNAL Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penerimaan Orang Tua Anak Retardasi Mental di SLB Negeri Pohuwato

2015

Jurnal Keperawatan JURUSAN KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN DAN KEOLAHRAGAAN UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO

LEMBAR PENGESAHAN

JURNAL Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penerimaan Orang Tua Anak Retardasi Mental di SLB Negeri Pohuwato

Oleh NURFAIZAH Y. RUPU NIM. 841 411 009

2015

Jurnal Keperawatan JURUSAN KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN DAN KEOLAHRAGAAN UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENERIMAAN ORANG TUA ANAK RETARDASI MENTAL DI SLB NEGERI POHUWATO

Nurfaizah Y. Rupu1, dr. Vivien Novarina, M.Kes 2, Rhein R. Djunaid, S.Kep, Ns, M.Kes3 1. Mahasiswa Jurusan Ilmu Keperawatan UNG 2. Dosen Jurusan Keperawatan UNG 3. Dosen Jurusan Keperawatan UNG

SUMMARY Nurfaizah Y. Rupu. 2015. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Orang Tua Anak Retardasi Mental di SLB Negeri Pohuwato. Skripsi, Jurusan Ilmu Keperawatan, Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan dan Keolahragaan, Universitas Negeri Gorontalo, Pembimbing I dr. Vivien Novarina, M.Kes, dan Pembimbing II Rhein R. Djunaid, S.Kep, Ns, M.Kes. Anak dengan retardasi mental biasanya mendapat tanggapan negatif dari masyarakat sehingga hal tersebut menimbulkan dampak bagi penerimaan orangtua terhadap anak. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan orang tua anak retardasi mental di SLB Negeri Pohuwato. Penelitian ini dilakukan dengan metode Survei Deskriptif. Dengan Populasi orangtua anak retardasi mental di SLB Negeri Pohuwato berjumlah 51 responden, dengan teknik sampling Total Sampling dan analisa distribusi, frekuensi. Hasil penelitian didapatkan bahwa seluruh orang tua dari anak retardasi mental dapat menerima kondisi anaknya yang mengalami retardasi mental. Faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan orangtua terbanyak pada usia 3659 tahun (84,3%), tingkat pendidikan yang rendah (68,6%), ekonomi keluarga yang kurang (62,7%), dukungan sosial yang baik (82,4%), latar belakang agama yang baik (94,1%), status keharmonisan perkawinan yang baik (96,1%) dan sarana penunjang yang kurang (54,9%). Berdasarkan hasil penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan orang tua anak retardasi mental di SLB Negeri Pohuwato adalah usia, pendidikan, ekonomi keluarga, dukungan sosial, latar belakang agama, keharmonisan perkawinan dan sarana penunjang. Disarankan kepada orang tua yang memiliki anak retardasi mental untuk melakukan kerja sama yang baik dengan pihak sekolah guna untuk meningkatkan kemampuan dari anak retardasi mental. Kata Kunci Daftar Pustaka

: Retardasi mental, Penerimaan orangtua : 10 (2004-2014)

Jurnal Keperawatan JURUSAN KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN DAN KEOLAHRAGAAN UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO

2015

Jurnal Keperawatan

2015

JURUSAN KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN DAN KEOLAHRAGAAN UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO

PENDAHULUAN Retardasi mental adalah istilah yang digunakan untuk menyebut anak yang mempunyai kemampuan intelektual di bawah rata-rata atau sering juga disebut dengan tuna grahita” (Somantri, S, 2012)1. Di Indonesia, berdasarkan data Departemen Pendidikan Nasional (DEPDIKNAS) tahun 2009 terdapat 4.253 anak retardasi mental yang terdapat pada seluruh sekolah luar biasa (Norhidayah., Wasilah, dan A.N. Husein, 2013) 2. Berdasarkan data yang diperoleh dari SLB Negeri Pohuwato, jumlah total siswa yang berkebutuhan khusus di SLB tersebut adalah 106 siswa. Dimana siswa dengan retardasi mental berjumlah 51 orang. “Anak dengan retardasi mental biasanya mendapat tanggapan negatif masyarakat sehingga menimbulkan berbagai reaksi pada orang tua mereka, seperti ada orang tua yang mengucilkan anaknya atau tidak mau mengakui anak yang mengalami retardasi mental. Di sisi lain, ada pula orang tua yang berusaha memberikan perhatian lebih dan memberikan yang terbaik kepada anaknya” (Novi, L., I.G. Agung., N.P.Y. Sutari, dan D. Andriana, 2014)3. “Reaksi pertama orang tua ketika anaknya dikatakan bermasalah adalah tidak percaya, shock, sedih, kecewa, merasa bersalah, marah dan menolak. Tidak mudah bagi orang tua yang anaknya menyandang kecacatan untuk mengalami fase ini, sebelum akhirnya sampai pada tahap penerimaan (acceptance)” (Rachmayanti, S, 2009) 4. Ada 7 faktor yang mempengaruhi penerimaan orang tua terhadap anak yaitu: dukungan sosial, ekonomi keluarga, latar belakang agama yang kuat, tingkat pendidikan, status keharmonisan perkawinan, usia orang tua dan sarana penunjang. Penelitian yang dilakukan oleh Alvina Ulyantin Nur (2012) 5 tentang hubungan antara dukungan sosial dan religiusitas dengan penerimaan orang tua pada anak berkebutuhan khusus. Hasil penelitian menunjukan sebesar 52,3% dukungan sosial dan religiusitas memberikan sumbangan efektif terhadap penerimaan orang tua pada anak berkebutuhan khusus, atau dengan kata lain ada hubungan antara dukungan sosial dan religiusitas dengan penerimaan orang tua pada anak berkebutuhan husus. Berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh peneliti dengan enam orang tua dari anak yang mengalami retardasi mental di SLB Negeri Pohuwato, 1

2

3

4

5

Somantri, S. Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: Rafika Aditama. Banjarmasin. Jurnal Berkala Kedokteran. 2012. Norhidayah., S. Wasilah, dan A.N. Husein. Gambaran Kejadian Kecemasan Pada Ibu Penderita Retardasi Mental Sindromik Di SLB-C.2013. Novi, L., I.G. Agung., N.P.Y. Sutari, dan D. Andriana. Hubungan Mekanisme Koping Dengan Pola Asuh Orang Tua Anak Retardasi Mental Ringan Di Sekolah Luar Biasa C Negeri Denpasar. Jurnal COPING (Community of Publishing in Nursing). 2014. Sri, R dan A. Zulkaida. Gambaran Penerimaan Diri Orang Tua Terhadap Anak Autis Dan Perannya Dalam Terapi Autisme. Skripsi. Universitas Gunadarma Jakarta. 2009. Alvina, U, N. Hubungan Antara Dukungan Sosial Dan Religiusitas Dengan Penerimaan Orang Tua Pada Anak Berkebutuhan Khusus. Skripsi. Universita Maria Kudus. 2012.

2015

Jurnal Keperawatan JURUSAN KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN DAN KEOLAHRAGAAN UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO

ditemukan bahwa dari enam orang tua yang peneliti wawancara tersebut dapat menerima kondisi anaknya, meskipun awalnya beberapa dari mereka memerlukan waktu yang sedikit lama untuk mencapai tahap penerimaan. Dan keempat dari orang tua tersebut mengemukakan bahwa mereka sudah dapat menerima kondisi anak mereka karena mereka yakin bahwa itu sudah merupakan pemberian dan ketetapan tuhan kepada mereka. Dan dua diantaranya mengemukakan bahwa faktor yang mendukung mereka sehingga dapat menerima kondisi anaknya yang mengelami retardasi mental adalah dukungan dari keluarga mereka. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi faktor usia orang tua, tingkat pendidikan, ekonomi keluarga, dukungan sosial, latar belakang agama, status keharmonisan perkawinan, dan sarana penunjang mempengaruhi penerimaan orang tua anak retardasi mental di SLB Negeri Pohuwato. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di SLB Negeri Pohuwato Provinsi Gorontalo pada tanggal 20-27 Mei 2015, dengan menggunakan desain survei deskriptif. Variabel penelitian ini yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan orang tua anak retardasi mental. Populasi dalam penelitian ini berjumlah 51 orang dengan teknik sampling total sampling, dan teknik analisa distribusi frekuensi. HASIL PENELITIAN Distribusi Responden Berdasarkan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Orang Tua Faktor Usia - 26-35 thn - 36-59 thn Pendidikan - Pendidikan Rendah - Pendidkan menengah - Pendidikan Tinggi Ekonomi - Kurang - Cukup Dukungan Sosial - Cukup - Baik Latar Belakang Agama - Cukup - Baik Keharmonisan Perkawinan - Tidak Harmonis - Harmonis Sarana Penunjang - Kurang - Cukup

Jumlah (n)

Persentase %

8 43

15,7 84,3

35 12 4

68,6 23,5 7,8

32 19

62,7 37,3

9 42

17,6 82,4

3 48

5,9 94,1

2 49

3,9 96,1

28 23

54,9 45,1

Sumber: Data Primer, 2015 Berdasarkan Tabel diatas menunjukan bahwa responden yang berada pada usia dewasa akhir (36-59) sebanyak 43 (84,3%), dan dewasa awal (25-35) sebanyak 8 (15,%). Responden yang memiliki pendidikan rendah yaitu sebanyak 35 (68,6%), pendidikan menengah sebanyak 12 (23,5%) dan untuk pendidikan tinggi sebanyak 4 (7,8%). Responden yang memiliki tingkat pendapatan kurang yaitu sebanyak 32 (62,7%) dan tingkat pendapatan yang cukup yaitu sebanyak 19

Jurnal Keperawatan

2015

JURUSAN KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN DAN KEOLAHRAGAAN UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO

(37,3%). Responden yang memiliki dukungan sosial yang baik yaitu sebanyak 42 (82,4%) dan dukungan sosial yang cukup sebanyak 9 (17,6%). Dari tabel diatas juga menunjukan bahwa sebanyak 48 (94,1%) responden memiliki latar belakang agama yang baik, dan 3 (5,9%) responden memiliki latar belakang agama yang cukup, sebanyak 49 (96,1%) responden memiliki perkawinan yang harmonis, dan 2 (3,9%) memiliki perkawinan yang tidak harmonis, dan sebanyak 28 (54,9%) responden memiliki sarana penunjang yang kurang dan 23 (45,1%) responden memiliki sarana penunjang yang cukup. PEMBAHASAN Faktor Usia Orang Tua Hasil penelitian menunjukan bahwa sebagian besar responden (84,3%) yang dapat menerima kondisi anaknya berada pada usia dewasa akhir (36-59). Peneliti berasumsi, hal tersebut disebabkan, pada usia dewasa akhir individu sudah mengalami kematangan fisik dan psikologis. Individu atau orang tua tersebut sudah melewati banyak hal yang terjadi dalam hidupnya, termasuk masalahmasalah yang ia hadapi selama masa perkembangannya menuju dewasa akhir, masalah-masalah itulah yang akan melatih kedewasaannya sehingga akan membuat dirinya dapat menempatkan diri dengan kenyataan-kenyataan yang ia hadapi, dan akan berusaha mencari jalan keluar untuk menyelesaikan masalah tersebut. Adapun orang tua yang berada pada usia dewasa awal (25-35) sebanyak (15,7%) juga dapat menerima kondisi anaknya dengan baik. Peneliti berasumsi hal tersebut disebabkan pada usia dewasa muda seseorang individu mulai mengalami masa transisi, dan mulai menyesuaikan diri dengan kondisi yang ada, dan mulai belajar untuk menempatkan diri dengan kenyataan dan kondisi yang ada. Sehingga wajar 15,7% orang tua dengan usia dewasa muda dapat menerima kondisi anaknya, karena pada usia inilah seorang individu sudah mulai untuk tidak mementingkan ego dari pada perasaan orang lain. Hal tersebut sesuai seperti yang diungkapkan oleh Sarasvati (2004)6 bahwa ”usia yang matang dan dewasa pada orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus akan memperbesar kemungkinan untuk menerima, kondisi anaknya dengan relatif lebih tenang. Dan dengan kedewasaan yang mereka miliki, pikiran serta tenaga, mereka fokuskan untuk mencari jalan keluar yang lebih baik”. Sebagaimana Penelitian yang dilakukan oleh Sri Rachmayanti dan Anita Zulkaida (2009)7 tentang gambaran penerimaan diri orang tua dan perannya dalam terapi autisme. Hasil penelitian menunjukan bahwa secara keseluruhan subjek dapat menerima kondisi anaknya, dan hal tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satunya yaitu faktor usia orang tua.

6

7

Sarasvati. Meniti pelangi:Perjalanan seorang ibu yang tak kenal menyerah dalam membimbing putranya keluar dari belenggu ADHD dan autisme.Jakarta: PT Elex MediaKomputindo. 2004. Sri, R dan A. Zulkaida. Gambaran Penerimaan Diri Orang Tua Terhadap Anak Autis Dan Perannya Dalam Terapi Autisme. Skripsi. Universitas Gunadarma Jakarta. 2009.

Jurnal Keperawatan

2015

JURUSAN KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN DAN KEOLAHRAGAAN UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO

Hal ini menunjukan bahwa usia orang tua berpeluang untuk mempengaruhi penerimaan orang tua anak retardasi mental. Faktor Pendidikan Hasil penelitian menunjukan bahwa sebagian besar responden memiliki pendidikan yang rendah yang terdiri dari SD dan SMP yaitu sebanyak (68,6%). Hal tersebut dikarenakan kondisi keuangan keluarga dari orang tua retardasi mental yang kurang sehingga banyak dari mereka yang mengenyam pendidikan hanya sampai pada bangku SD-SMP. Adapun orang tua dari anak retardasi mental yang mempunyai pendidikan yang rendah dapat menerima kondisi anaknya. Peneliti berasumsi hal tersebut dikarenakan walaupun mereka memiliki tingkat pendidikan yang rendah, akan tetapi mereka mempunyai kemauan untuk mencari informasi mengenai kondisi anaknya seperti membaca buku tentang anak tuna grahita (retardasi mental). Selanjutnya responden dengan tingkat pendidikan menengah (SMA) sebanyak (23,5%) dan untuk pendidikan tinggi (Perguruan Tinggi) sebanyak (7,8 %) juga dapat menerima kondisi anaknya hal tersebut dikarenakan semakin tinggi pendidikan orang tua akan semakin cepat pula ia mencari informasi dan mencari penyembuhan untuk anaknya. Hal tersebut sebagaimana yang diungkapkan oleh Sarasvati (2004)8. “Semakin tinggi tingkat pendidikan, relatif makin cepat pula orang tua menerima kenyataan dan segera mencari penyembuhan. Penelitian yang dilakukan oleh Indah Moningsih (2007)9 tentang penerimaan orangtua pada anak mental retradation, hasil penelitian menunjukan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi dalam penerimaan orang tua yang memiliki anak retardasi mental yaitu diantaranya tingkat pendidikan orang tua. Hal tersebut menunjukan bahwa tingkat pendidikan berpeluang untuk mempengaruhi penerimaan orang tua anak retardasi mental. Faktor Ekonomi Keluarga Hasil penelitian menunjukan bahwa sebagian besar responden memiliki tingkat pendapatan yang kurang yaitu sebanyak (62,7%), peneliti berasumsi hal tersebut dikarenakan pekerjaan mereka yang sebagian besar hanyalah ibu rumah tangga (IRT) sehingga hal tersebut berpengaruh pada tingkat pendapatan atau ekonomi keluarga. Adapun untuk penerimannya terhadap kondisi sang anak, orang tua dengan ekonomi yang kurang dapat menerima kondisi anaknya. Peneliti berasumsi hal tersebut dikarenakan tidak selamanya ekonomi atau keuangan mempengaruhi cara seseorang dalam menyikapi suatu masalah yang ia hadapi. Peneliti juga berasumsi bahwa kebanyakan orang tua dari anak retardasi mental di SLB Negeri Pohuwato adalah IRT jadi intensitas waktu kebersamaan mereka dengan anak sangatlah 8

Sarasvati. Meniti pelangi:Perjalanan seorang ibu yang tak kenal menyerah dalam membimbing putranya keluar dari belenggu ADHD dan autisme.Jakarta: PT Elex MediaKomputindo. 2004. 9 Indah, M. Penerimaan Orang Tua Pada Anak Mental Retradation. Jurnal Psikologi Universitas Gunadarma. 2007.

Jurnal Keperawatan

2015

JURUSAN KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN DAN KEOLAHRAGAAN UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO

banyak, dengan banyaknya waktu kebersamaan dan kedekatannya dengan sang anak, orang tua akan mengerti dan mengetahui kondisi anaknya sehingga akan mempengaruhi penerimaannya terhadap kondisi sang anak. Selanjutnya sebanyak 37,3% orang tua dengan tingkat pendapatan yang cukup. Hal tersebut karena beberapa orang responden memiliki pekerjaan sebagai wiraswasta dan juga PNS, sehingga tingkat pendapatan mereka berada pada kategori cukup yaitu > Rp. 1.400.000 dalam sebulan. Adapun untuk penerimaannya, orang tua dengan ekonomi keluarga yang cukup juga dapat menerima kondisi anaknya hal tersebut dikarenakan keuangan keluarga yang memadai dapat memberikan kesempatan yang lebih baik bagi orang tua untuk memberikan penyembuhan bagi anak. Sehingga orang tua akan merasa lebih lega dan hal tersebut akan membuat orang tua dapat menerima kondisi sang anak. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Sarasvati (2004)10 bahwa “dengan kemampuan finansial yang lebih baik, makin besar pula kemungkinan orang tua untuk dapat memberikan beberapa terapi sekaligus, sehingga proses penyembuhan juga semakin cepat. Penelitian yang dilakukan oleh Sri Rachmayanti dan Anita Zulkaida (2009)11 tentang gambaran penerimaan diri orang tua dan perannya dalam terapi autisme. Hasil penelitian menunjukan bahwa secara keseluruhan subjek dapat menerima kondisi anaknya, dan hal tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satu diantaranya yaitu faktor ekonomi keluarga. Hal tersebut menunjukan bahwa ekonomi keluarga dapat berpeluang untuk mempengaruhi penerimaan orang tua anak retardasi mental. Faktor Dukungan sosial Pada penelitian ini ditemukan bahwa 82,4% orang tua dari anak retardasi mental di SLB Negeri Pohuwato yang mendapatkan dukungan sosial yang baik dan 17,6% yang mendapatkan dukungan sosial yang cukup dapat menerima kondisi anaknya. Adapun untuk 82,4% orang tua dengan anak retardasi mental yang memiliki dukungan sosial yang baik dapat menerima kondisi anaknya, peneliti berasumsi hal tersebut dikarenakan dukungan sangat dibutuhkan oleh individu dalam menjalani kehidupannya. Dengan adanya dukungan dari lingkungan keluarga maupun sosial akan menimbulkan pengaruh positif bagi individu itu sendiri yang dapat mengurangi gangguan psikologi sebagai pengaruh dari tekanan. Hal tersebut dibuktikan dengan Adapun untuk dukungan dari tenaga kesehatan sebagian besar responden menyatakan bahwa mereka jarang mendapatkan penjelasan tentang kondisi anak mereka dari dokter, hal tersebut dikarenakan, tidak terdapatnya dokter ahli di lingkungan tempat tinggal mereka, sehingga mereka jarang untuk mengunjungi 10

11

Sarasvati. Meniti pelangi:Perjalanan seorang ibu yang tak kenal menyerah dalam membimbing putranya keluar dari belenggu ADHD dan autisme.Jakarta: PT Elex MediaKomputindo. 2004. Sri, R dan A. Zulkaida. Gambaran Penerimaan Diri Orang Tua Terhadap Anak Autis Dan Perannya Dalam Terapi Autisme. Skripsi. Universitas Gunadarma Jakarta. 2009.

Jurnal Keperawatan

2015

JURUSAN KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN DAN KEOLAHRAGAAN UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO

dokter ahli. Namun dengan adanya dukungan-dukungan sosial dari keluarga, dan masyarakat akan membuat orang tua dapat menerima kenyataan dan tidak merasa sendiri dalam menghadapi cobaan, sehingga hal tersebut dapat mempengaruhi penerimaannya terhadap kondisi sang anak. Untuk 17,6% orang tua dengan anak retardasi mental yang memiliki dukungan sosial yang cukup, peneliti berasumsi bahwa hal tersebut disebabkan oleh perbedaan antara sikap masyarakat disekitar lingkungan tempat tinggal, sehingga ada orang yang mendapatkan dukungan sosial yang baik dari lingkungannya, dan ada juga yang mendapatkan dukungan sosial yang cukup. Untuk penerimaannya terhadap kondisi sang anak, ditemukan bahwa orang tua dengan dukungan sosial yang cukup dapat menerima kondisi anaknya, peneliti berasumsi hal tersebut dikarenakan, walaupun dukungan sosial dari masyarakat kurang akan tetapi dengan adanya dukungan sosial dari keluarga akan membuat orang tua tersebut tidak merasa sendiri, sehingga akan membuat mereka lebih mampu menerima kondisi sang anak. Menurut Sarasvati (2004)12 “Penerimaan orang tua terhadap anak yang berkebutuhan khusus dipengaruhi oleh ada atau tidaknya dukungan sosial dari orang-orang sekitar karena manusia tak akan lepas dari orang lain” Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Adella Rahayu (2011)13 tentang gambaran penerimaan dan dukungan sosial yang diberikan ayah pada anak autis, hasil penelitian menunjukan bahwa faktor yang mempengaruhi penerimaan ayah terhadap anak yang menderita autis adalah dukungan sosial atau tanggapan yang diberikan oleh lingkungan kepada sang ayah. Hal tersebut menunjukan bahwa dukungan sosial dapat berpeluang untuk mempengaruhi penerimaan orang tua anak retardasi mental. Faktor Latar Belakang Agama (Religiusitas) Pada penelitian ini ditemukan bahwa 94,1% responden dengan latar belakang agama yang baik dapat menerima kondisi anaknya yang mengalami retardasi mental dan sebanyak 5,9% responden dengan latar belakang agama yang cukup juga dapat menerima kondisi anaknya. Peneliti berasumsi hal ini disebabkan karena agama merupakan hal yang dominan dalam kehidupan seharihari individu yang dapat mempengaruhi gaya hidup, keyakinan, nilai, dan sikap. Ketika mereka menerima takdir Tuhan dan meyakini bahwa Tuhan memberikan cobaan sesuai dengan kemampuan mereka, dan cobaan tersebut datang untuk kebaikan perkembangan spritual mereka maka hal tersebut akan dapat mempengaruhi penerimaan mereka terhadap kondisi sang anak. Berdasarkan hasil wawancara pada observasi awal, ditemukan bahwa empat dari enam orang tua yang memiliki anak retardasi mental mengatakan bahwa mereka dapat menerima kondisi anak mereka karena mereka yakin bahwa itu sudah merupakan ketetapan tuhan kepada mereka. 12

13

Sarasvati. Meniti pelangi:Perjalanan seorang ibu yang tak kenal menyerah dalam membimbing putranya keluar dari belenggu ADHD dan autisme.Jakarta: PT Elex MediaKomputindo. 2004. Adella, R. Gambaran Penerimaan dan Dukungan Sosial yang Diberikan Ayah Pada Anak Autis. Jurnal Psikologi. 2011.

Jurnal Keperawatan

2015

JURUSAN KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN DAN KEOLAHRAGAAN UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO

Hal tersebut menunjukan bahwa, dengan adanya latar belakang agama yang kuat, relatif membuat orang tua lebih mampu menerima kondisi anak yang menderita keterbelakangan mental. Karena dengan adanya keyakinan yang positif akan takdir tuhan membuat orang tau mampu menerima kondisi anak. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Sarasvati (2004) bahwa “latar belakang agama yang kuat, relatif membuat orang tua lebih mampu menerima cobaan, karena percaya bahwa cobaan itu datang untuk kebaikan perkembangan spritualnnya. Diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Faraznasia Benny, Adhil Edwin Nurdin, dan Eva Chundrayeti (2014)14 tentang penerimaan ibu yang memiliki anak retardasi mental di SLB YPAC Padang. Hasil penelitian menunjukan bahwa faktor terbesar yang melatarbelakangi penerimaan ibu adalah faktor agama. Hal tersebut menunjukan bahwa latar belakang agama dapat berpeluang untuk mempengaruhi penerimaan orang tua anak retardasi mental. Faktor Status Keharmonisan Perkawinan Pada penelitian ini ditemukan bahwa sebagian besar responden (96,1%) memiliki status keharmonisan perkawinan yang baik, atau harmonis. Peneliti berasumsi bahwa hal ini disebabkan karena adanya saling menguatkan antara pasangan suami istri yang merupakan orang tua dari anak retardasi mental. Adapun orang tua dengan status keharmonisan yang baik atau harmonis dapat menerima kondisi anaknya, karena dengan adanya perhatian dan dukungan antar pasangan suami istri akan membuat orang tua dari anak retardasi mental tidak merasa sendiri dalam menghadapi masalah dan cobaan sehingga hal tersebut membuat mereka dapat menerima kondisi anaknya yang mengalami retardasi mental. Hal tersebut seperti yang diungkapkan oleh Sarasvati (2004)15 bahwa “keharmonisan perkawinan dapat mempengaruhi penerimaaan orang tua terhadap anak retardasi mental karena dengan adanya saling bahu membahu, dan saling menguatkan antara pasangan suami istri dalam menghadapi cobaan akan membuat orang tua baik ayah maupun ibu, tidak merasa sendiri dalam menghadapi cobaan”. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sri Rachmayanti dan Anita Zulkaida (2009)16 tentang gambaran penerimaan diri orang tua dan perannya dalam terapi autisme. Hasil penelitian menunjukan bahwa secara keseluruhan subjek dapat menerima kondisi anaknya, dan hal tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satunya yaitu faktor status keharmonisan perkawinan dimana pada penelitian tersebut subyek 1 dan 2 mempunyai status perkawinan yang harmonis, tidak ada rasa saling menyalahkan satu sama lain, dan berusaha saling memotivasi untuk kesembuhan anaknya. 14

15

16

Faraznasia, B,. A.E. Nurdin, dan E. Chundrayeti. Penerimaan Ibu Yang Memiliki Anak Retardasi Mental. Jurnal Kesehatan Andalas. 2014. Sarasvati. Meniti pelangi:Perjalanan seorang ibu yang tak kenal menyerah dalam membimbing putranya keluar dari belenggu ADHD dan autisme.Jakarta: PT Elex MediaKomputindo. 2004. Sri, R dan A. Zulkaida. Gambaran Penerimaan Diri Orang Tua Terhadap Anak Autis Dan Perannya Dalam Terapi Autisme. Skripsi. Universitas Gunadarma Jakarta. 2009.

Jurnal Keperawatan

2015

JURUSAN KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN DAN KEOLAHRAGAAN UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO

Untuk (3,9%) responden yang memiliki status keharmonisan yang kurang baik, atau tidak harmonis dapat menerima kondisi anaknya. Peneliti berasumsi hal tersebut dikarenakan, responden mendapatkan dukungan dan suport dari keluarganya, dan juga latar belakang agama mereka yang baik, sehingga meskipun status keharmonisan perkawinan mereka kurang baik, mereka tetap dapat menerima kondisi anak mereka yang mengalami retardasi mental. Hal tersebut menunjukan bahwa keharmonisan perkawinan dapat berpeluang untuk mempengaruhi penerimaan orang tua anak retardasi mental. Faktor Sarana Penunjang Pada penelitian ini, hasil menunjukan bahwa 54,9% responden dengan sarana penunjang yang kurang dan 45,1% responden dengan sarana penunjang yang cukup. Hal tersebut dikarenakan masih minimnya ketersediaan tenaga kesehatan, terutama dokter ahli dan belum terdapatnya pusat terapi di wilayah tempat tinggal responden. Adapun orang tua dengan anak retardasi mental yang memiliki sarana penunjang yang cukup dan kurang dapat menerima kondisi anaknya yang mengalami retardasi mental. Peneliti berasumsi hal tersebut disebabkan oleh adanya faktor-faktor lain yang membuat mereka bisa menerima kondisi anak mereka, seperti faktor dukungan sosial. Peneliti juga berasumsi bahwa adanya sekolah khusus untuk anak yang berkebutuhan khusus seperti retardasi mental yaitu SLB Negeri Pohuwato akan memberikan rasa kelegaaan tersendiri bagi orang tua karena anak-anak mereka akan tetap mendapatkan pendidikan dan pelatihan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi mereka, sehingga hal tersebut mempengaruhi penerimaannya terhadap kondisi sang anak. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Sarasvati (2004)17 bahwa “Sarana penunjang seperti pusat-pusat terapi, sekolah khusus, dokter ahli, dan pusat konseling keluarga merupakan sarana penunjang yang sangat dibutuhkan oleh orang tua dalam mengasuh anak-anak dengan kebutuhan khusus. Dengan adanya sarana penunjang ini, semakin mudah pula orang tua mencari penyembuhan untuk anaknya, sehingga semakin tinggi pula kesiapan mereka dalam menghadapi cobaan hidup”. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Indah Moningsih (2007)18 tentang penerimaan orang tua pada anak mental retradation. Hasil penelitian menunjukan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi penerimaan orang tua dari anak retardasi mental diantaranya yaitu tersedianya sarana penunjang seperti memasukan anak ke sekolah khusus agar anak dapat belajar bersosialisasi dengan teman bermainnya.

17

18

Sarasvati. Meniti pelangi:Perjalanan seorang ibu yang tak kenal menyerah dalam membimbing putranya keluar dari belenggu ADHD dan autisme.Jakarta: PT Elex MediaKomputindo. 2004. Indah, M. Penerimaaan Orang Tua Pada Anak Mental Retradation. Jurnal Psikologi Universitas Gunadarma. 2007.

Jurnal Keperawatan

2015

JURUSAN KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN DAN KEOLAHRAGAAN UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO

Simpulan Faktor usia yang mempengaruhi penerimaan orang tua dari anak retardasi mental paling banyak adalah usia 36-59 yaitu sebanyak (84,3%), faktor tingkat pendidikan yang mempengaruhi penerimaan orang tua paling banyak adalah tingkat pendidikan rendah (68,6%), faktor ekonomi/pendapatan keluarga yang mempengaruhi penerimaan orang tua paling banyak adalah tingkat pendapatan yang kurang (62,7%). Faktor dukungan sosial yang mempengaruhi penerimaan orang tua paling banyak adalah dukungan sosial yang baik (82,4%). Faktor tatar belakang agama yang mempengaruhi penerimaan orang tua paling banyak adalah latar belakang agama yang baik (94,1%). Faktor status keharmonisan perkawinan yang mempengaruhi penerimaan orang tua paling banyak adalah status keharmonisan perkawinan yang baik, atau harmonis (96,1%). Dan faktor sarana penunjang yang mempengaruhi penerimaan orang tua yang memiliki anak retardasi mental paling banyak adalah sarana penunjang yang kurang (54,9%). Saran Bagi orang tua yang memiliki anak retardasi mental diharapkan lebih meningkatkan rasa kasih sayang, kepedulian, dukungan serta pengasuhan yang optimal kepada sang anak. Bagi SLB diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran tentang penerimaan orang tua dan faktor-faktor yang dapat mempengaruhinya. Diharapkan turut menjalin kerja sama yang baik dengan orang tua dalam upaya untuk meningkatkan kemampuan dan bakat untuk anak retardasi mental. Bagi peneliti selanjutnya yang tertarik melakukan penelitian dengan tema yang sama, disarankan hasil penelitian ini dapat ditingkatkan lagi dengan skala yang lebih besar. Daftar Pustaka Benny, F., A.E. Nurdin, dan E. Chundrayeti. 2014. Penerimaan Ibu Yang Memiliki Anak Retardasi Mental. Jurnal Kesehatan Andalas. Moningsi, I. 2007. Penerimaan Orang Tua Pada Anak Mental Retradation. Jurnal Psikologi Universitas Gunadarma. Norhidayah., S. Wasilah, dan A.N. Husein. 2013. Gambaran Kejadian Kecemasan Pada Ibu Penderita Retardasi Mental Sindromik Di SLB-C Novi, L., I.G. Agung., N.P.Y. Sutari, dan D. Andriana. 2014. Hubungan Mekanisme Koping Dengan Pola Asuh Orang Tua Anak Retardasi Mental Ringan Di Sekolah Luar Biasa C Negeri Denpasar. Jurnal COPING (Community of Publishing in Nursing). Nur, A.U. 2012. Hubungan Antara Dukungan Sosial Dan Religiusitas Dengan Penerimaan Orang Tua Pada Anak Berkebutuhan Khusus. Skripsi. Universita Maria Kudus. Rahayu, A. 2011. Gambaran Penerimaan dan Dukungan Sosial yang Diberikan Ayah Pada Anak Autis. Jurnal Psikologi. Rahmayanti, S, dan A. Zulkaida. 2009. Gambaran Penerimaan Diri Orang Tua Terhadap Anak Autis Dan Perannya Dalam Terapi Autisme. Skripsi. Universitas Gunadarma Jakarta.

Jurnal Keperawatan

2015

JURUSAN KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN DAN KEOLAHRAGAAN UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO

Sarasvati. 2004. Meniti pelangi:Perjalanan seorang ibu yang tak kenal menyerah dalam membimbing putranya keluar dari belenggu ADHD dan autisme.Jakarta: PT Elex MediaKomputindo. Somantri, S. 2012. Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: Rafika Aditama. Banjarmasin.Jurnal Berkala Kedokteran. Sugiono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R & D. Bandung: Alfabeta.