JURNAL: KONFLIK PILKADA DALAM ERA DEMOKRASI ILMU ADMINISTRASI

Download 5 Jun 2013 ... Jurnal: Konflik Pilkada Dalam Era Demokrasi. Dosen: Kurnia Nur Fitriana, SIP. Guna memenuhi Tugas Individu. Mata Kuliah Dasa...

3 downloads 547 Views 256KB Size
Jurnal: Konflik Pilkada Dalam Era Demokrasi Dosen: Kurnia Nur Fitriana, SIP. Guna memenuhi Tugas Individu Mata Kuliah Dasar-dasar Sosiologi

Disusun Oleh: Tsani Khoirur Rizal NIM: 12417144023

ILMU ADMINISTRASI NEGARA FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2013

Judul Konflik Pilkada Dalam Era Demokrasi Abstrak Konflik merupakan proses sosial antara dua orang atau lebih dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Dalam proses demokrasi, konflik merupakan sebuah keniscayaan karena setiap individu atau kelompok sosial memiliki kepentingan, pemahaman, dan nilai yang berbedabeda. Pilkada secara langsung merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat. Latar belakang diadakannya pilkada yaitu merupakan jawaban atas tuntutan aspirasi rakyat Pemilihan pemecahan konflik melalui jalur hukum lebih didasarkan pada kenyataan bahwa kerusuhan tersebut bukanlah merupakan kerusuhan yang dikarenakan perbedaan pendapat dalam proses demokrasi. Sehingga, pilkada tetap dapat berlangsung, dan hukum tetap dapat ditegakkan. Kata kunci: Pilkada, konflik, demokrasi

Pendahuluan Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Dalam proses demokrasi, konflik merupakan sebuah keniscayaan karena setiap individu atau kelompok sosial memiliki kepentingan, pemahaman, dan nilai yang berbeda-beda. Demokrasi dan konflik sebenarnya juga merupakan dua hal yang tidak mudah dihubungkan. Dalam demokrasi, konflik tidak dipahami sebagai hal yang negatif, melainkan sebagai satu gejala responsif dalam upaya menciptakan kontrol dan keseimbangan di antara pihak-pihak yang berkepentingan. Pilkada merupakan salah satu pesta demokrasi di Indonesia yang dilakukan di sebuah propinsi. Pesta demokrasi tersebut acap kali didengar dalam pemberitaan di media massa baik lokal maupun nasional sering berdampak negatif atau terjadi konflik. Konflik terjadi diantara para pendukung calon kepala daerah tersebut yang memang dikenal sangat fanatik Pilkada

sebagai

kendaraan

demokrasi

sebenarnya

dirancang

untuk

mentransformasikan sifat konflik yang terjadi di masyarakat. Pilkada berupaya mengarahkan agar konflik tidak meluas menjadi kekerasan pada kenyataannya seringkali jauh dari apa yang diharapkan. Pilkada yang dirancang justru menjadi ajang baru timbulnya konflik kekerasan antar pendukung calon kepala daerah.

Indonesia menganut sistem pemerintahan Demokrasi. Salah satu perwujudan dari digunakannya sistem demokrasi di Indonesia adalah Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung. Pemilihan Kepala Daerah atau sering disebut dengan Pilkada merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah Provinsi dan atau Kabupaten/Kota dimana pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur untuk Provinsi, Bupati dan Wakil Bupati untuk Kabupaten, dan Walikota dan Wakil Walikota untuk kota. Setelah suksesnya Pemilu tahun 2004, mulai bulan Juni 2005 lalu di 226 daerah meliputi 11 propinsi serta 215 kabupaten dan kota, diadakan Pilkada untuk memilih para pemimpin daerahnya. Kesadaran akan pentingnya demokrasi sekarang ini sangat tinggi. Hal ini dapat dilihat dari peran serta rakyat Indonesia dalam melaksanakan Pemilihan Umum baik yang dilaksakan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Tidak seperti tahun tahun yang dahulu yang menggunakan perwakilan dari partai. Pilkada secara langsung merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat. Latar belakang diadakannya pilkada yaitu merupakan jawaban atas tuntutan aspirasi rakyat, karena pemilihan presiden dan wakil presiden, DPR, DPD, kepala desa telah dilakukan secara langsung. Pilkada langsung sebagai sarana pembelajaran demokrasi politik bagi rakyat yang diharapkan dapat membentuk kesadaran kolektif segenap unsur bangsa tentang pentingnya memilih pemimpin yang benar sesuai nuraninya. Namun tidak dipungkiri masih banyak daerah yang mengalami kegagalan dalam pelaksanaan Pilkada hal tersebut dibuktikan dengan seringakali adanya gugatan dari para peserta Pilkada yang tidak menang dan merasa dirugikan.

Faktor yang melatarbelakangi konflik Pilkada 1. Salah satu kelemahan UU 32/2004 tentang Pilkada adalah pemberian otoritas penuh kepada partai politik sebagai satu-satunya penjual tiket calon kepala daerah. Hal ini tentu bisa memicu ketidakpuasan, karena pada kenyataannya di banyak daerah terdapat tokoh-tokoh non-partai yang disukai masyarakat. 2. Hubungan emosional antara konstituen dengan kepala daerah jauh lebih dekat dibandingkan dengan kepala negara atau pemimpin di level nasional. Hal itu bukan hanya disebabkan kedekatan fisik, tetapi juga sosial, budaya, geografis dan sebagainya. Jika tidak ada manajemen konflik yang baik, terutama terhadap bolong-bolong yang terdapat pada aturan Pilkada, maka ketidakpuasan konstituen terhadap konstituen dan kandidat lain atau proses pemilihan kepala daerah bisa memicu lahirnya konflik di daerah. Dengan kata lain, sensitivitas konstituen dalam pilkada sangat tinggi.

3. UU 32/2004 memberi peluang dan dominasi kepada partai dalam proses pencalonan. Ada kemungkinan partai-partai besar terobsesi untuk hanya mencalonkan pasangan dari partai sendiri tanpa memperhatikan polarisasi politik yang ada. Padahal seharusnya, proses pencalonan kepala daerah harus mempertimbangkan kekuatan-kekuatan politik dan sosial yang terdapat di daerah bersangkutan. 4. Kerja KPUD (Komisi Pemilihan Umum Daerah) berpotensi diintervensi oleh partai politik yang mempunyai kekuatan di DPRD. Sebab, sejalan dengan kewenangan yang besar dalam proses-proses politik lokal, partai berpotensi membajak fungsi KPUD, jika kerja KPUD dianggap tidak menguntungkannya. 5. Kerancuan peran DPRD juga terlihat dalam pasal 82 UU 32/2004 yang mengatakan bahwa pasangan calon dan/atau tim kampanye yang terbukti menjanjikan atau memberikan uang dan/atau materi untuk mempengaruhi pemilih berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, dikenai sanksi pembatalan pasangan calon oleh DPRD. Ketentuan ini terkesan paradoks. Bagaimana mungkin lembaga legislatif yang notabene wakil dari partai-partai memainkan peran pelaksana pemilu. Mestinya pemberian sanksi dilakukan oleh KPUD sebagai penyelenggara Pilkada. Jarang sekali kandidat yang mau menerima kekalahan. Pasalnya, mereka telah mengeluarkan dana terlalu besar demi meraih kemenangan. Alhasil, jika mereka kalah, maka jalan lain akan digunakan untuk menggugat hasil Pilkada. Biaya yang dikeluarkan calon tidaklah sebanding dengan gaji yang akan diterima ketika menjabat. Agar dapat balik modal kandidat yang berkuasa cenderung untuk korupsi.

Contoh Konflik Pilkada dan Penyebabnya sumber konflik horizontal yang berujung pada tindak kekerasan dalam Pilkada disebabkan beberapa hal diantaranya : 1. Adanya rasa ketidakpuasan dari pasangan calon atau pendukung pasangan calon ketika gugur dalam tahap pencalonan. Kekerasan yang dilakukan pendukung pasangan calon akibat gugur dalam tahap pencalonan juga terjadi dalam pilkada di Kabupaten Puncak Provinsi Papua yang menewaskan sekitar 19 orang. Konflik terjadi akibat KPU setempat menolak salah satu pasangan calon yang diajukan oleh Partai Gerindra karena partai tersebut sebelumnya sudah mendaftarkan pasangan calon yang lain. Akibatnya terjadi dualisme dukungan yang diberikan oleh Partai Gerindra kepada dua pasangan calon yang berbeda. 2. Adanya rasa tidak puas pasangan calon terhadap hasil penghitungan Pilkada.

Pendataan pemilih yang kurang valid pada saat penetapan pemenang biasanya akan terjadi kekisruhan. Pihak yang kalah selalu mengangkat isu penggelembungan suara, banyak warga yang tidak terdaftar dan persoalan pendataan pemilih lainnya sebagai sumber utama kekalahan. Massa yang merasa tidak mendapatkan hak pilihnya biasanya memprotes dan dimanfaatkan oleh pasangan yang kalah. Hal ini tercermin dalam Pilkada di Sumatra Selatan, dimana pendukung Syahrial Oesman menuding adanya penggelembungan suara di Kabupaten Musi Banyuasin yang mengakibatkan kemenangan tipis Alex Noerdin. Selain itu kisruh pilkada juga terjadi di Tana Toraja Sulawesi Selatan Tahun 2010. Kerusuhan dipicu ketidakpuasan ratusan pendukung dua pasangan calon bupati dan Wakil bupati, yakni Nikodemus BiringkanaeKendek Rante dan pasangan Victor Datuan Bata-Rosina Palloan, atas hasil penghitungan sementara pemilihan umum kepala daerah yang dilakukan beberapa lembaga survei. Kerusuhan itu menyebabkan 1 orang tewas dan 10 orang luka berat dan ringan. Kerusuhan juga mengakibatkan sejumlah bangunan kantor pemerintahan rusak, seperti Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) Tana Toraja, Kantor Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu), Gedung DPRD, Kantor Dewan Pimpinan Daerah Partai Golongan Karya, dan rumah dinas Bupati Tana Toraja Johannes Amping Situru. Ketidakpuasan warga terhadap hasil Pilkada juga terjadi di Kabupaten Soppeng dan Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Di Soppeng, massa merusak Kantor KPU Soppeng dan dua kantor kecamatan, yakni Takkalala dan Lalabata. Sementara di Maros, massa melempari Kantor Kecamatan Tabralili dengan bom Molotov. Kerusuhan akibat rasa tidak puas terhadap hasil Pilkada juga pernah terjadi pada tahun 2006 di Kabupaten Tuban Jawa Timur. Kerusuhan itu mengakibatkan beberapa bangunan umum seperti Pendopo Kabupaten Tuban hangus dibakar massa. 3. Tidak bersedianya DPRD menetapkan hasil Pilkada. Meskipun tidak memiliki dampak yuridis terhadap hasil Pilkada, namun penolakan DPRD tersebut memunculkan sengketa politik berkepanjangan pasca Pilkada. Seperti misalnya yang terjadi pada Pilkada Banyuwangi 2005 di mana pihak DPRD bersikukuh menolak penetapan Bupati Banyuwangi terpilih. Kasus penolakan penetapan oleh DPRD biasanya diawali oleh kekalahan pasangan calon yang didukung oleh banyak partai yang secara politik memiliki kekuatan signifikan di DPRD. Dan umumnya penolakan tersebut berujung pada tidak harmonisnya hubungan kekuatan eksekutif dan legislatif pasca Pilkada.

Konflik Pilkada di Ilaga, Puncak Jaya, Papua Peristiwa tragis ini terjadi akhir Juli 2011 di Kabupaten Puncak, Papua, yang dikenal dengan ‘peristiwa Ilaga’. Ini adalah Pilkada pertama di kabupaten baru hasil pemekaran dari Kabupaten Puncak Jaya yang diresmikan tanggal 21 Juni 2008. Massa pendukung dari Distrik Ilaga dan Distrik Dome saling serang. Peristiwa itu terjadi tanggal 30 Juli 2011 ketika Simon Alom tengah mendaftar ke KPUD setempat sebagai bakal calon Bupati Kabupaten Puncak. Namun, berkasnya ditolak karena partai pendukungnya (Gerindra) ternyata telah mencabut dukungan. Massa pendukung dari dua kubu calon bupati baku-bunuh dengan jumlah korban sangat fantastis. 300 orang tewas dan 900 orang luka-luka termasuk korban dari aparat Polisi yang mengamankan insden itu. Pengurus Gerindra Kab. Puncak yang dipimpin Ketua DPC Thomas Tabuni ternyata telah mendukung Elvis Tabuni. Gara-gara pencabutan dukungan itu, masa pendukung Simon Alom dari Distrik Ilaga marah dan menyerang masa pendukung Thomas dan Elvis Tabuni di Distrik Dome.

Analisa Pilkada Berdasarkan UU No. 32 tahun 2004 Dalam UU No. 32 Tahun 2004 hanya dijelaskan bahwa Pemilihan terhadap Kepala Daerah secara demokratis dengan mengingat bahwa tugas dan wewenang DPRD menurut UU No.22 Tahun 2003 (UU Susduk MPR/DPR/DPD/DPRD) yang menyatakan antara lain bahwa DPRD tidak memiliki tugas dan wewenang untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Dengan dasar pemilihan Kepala Daerah yang dikehendaki konstitusi secara demokratis, maka pembentuk UU No.32 Tahun 2004 mengambil keputusan Pilkada dilakukan langsung oleh rakyat. Ilmuwan politik Juan J Linz dan Alfred Stepan mengatakan, suatu negara dikatakan demokratis bila memenuhi prasyarat antara lain masyarakat memiliki kebebasan untuk merumuskan preferensi-preferensi politik mereka melalui jalur-jalur perserikatan, informasi dan komunikasi; memberikan ruang berkompetisi yang sehat dan melalui cara-cara damai; serta tidak melarang siapapun berkompetisi untuk jabatan politik.

Kelebihan Sistem Pilkada Langsung 

Meningkatkan kesadaran dan kualitas seleksi kepemimpinan di daerah.



Memaksimalkan partisipasi masyarakat daerah dalam pemungutan suara dalam pilkada.



Mendukung pelaksanaan demokrasi di tingkat nasional.



Meningkatan rasa pertanggungjawaban dan kredibilitas kepala daerah karena dipilih langsung oleh masyarakat.

Kekurangan Sistem Pilkada Langsung 

Money politics. Pembelian suara oleh calon kepala daerah kepada partai politik untuk dapat memenangkan pilkada.



Munculnya konflik pasca pilkada dapat terjadi akibat kecurangan-kecurangan pada saat seperti, kempanye, manipulasi data berupa penggelembungan suara dan rasa tidak puas akibat calon idaman kalah.



Kuatnya hubungan emosional antara calon dan konstituen. Kuatnya hubungan emosional yang terbentuk dapat mengakibatkan legitimasi politik konstituen yang diterima kepala daerah lebih besar daripada legitimasi yang diterima presiden.

Cara Mengatasi Konflik Pilkada Pemilihan pemecahan konflik melalui jalur hukum lebih didasarkan pada kenyataan bahwa kerusuhan tersebut bukanlah merupakan kerusuhan yang dikarenakan perbedaan pendapat dalam proses demokrasi. Sehingga, pilkada tetap dapat berlangsung, dan hukum tetap dapat ditegakkan. Untuk mengatasi dan meminimalisasi konflik pilkada diperlukan suatu UndangUndang tersendiri tentang tata kelola konflik publik termasuk konflik pemilu. Negara melalui organisasi-organisasinya harus mampu mereduksi kekerasan partai politik dan menciptakan konflik kepentingan yang konstruktif untuk pembangunan perdamaian. Dengan adanya Good Government, secara perlahan ajang pilkada tidak akan diperebutkan sebagai serana mendapatkan keuntungan materi dan politik semata, namun sebagai sarana melayani publik serta mensejahterkan rakyat sehingga potensi konflik pemilu yang terjadi baik itu karena kekalahan dalam hasil pemungutan suara dan lain sebagainya dapat diminalisir. 1) Adanya kemandirian dan ketidakberpihakan. KPU tidak boleh menjadi alat yang dikendalikan oleh seseorang, penguasa atau partai politik tertentu. KPU harus berfungsi netral. 2) Efisiensi. Efisiensi menjadi sangat penting dalam proses pemilu ketika terjadi masalah di tingkat teknis dan masalah-masalah yang dapat menstimulasi kericuhan dan pelanggaran aturan.

3) Profesionalisme. Pemilihan umum juga memiliki arti penting dalam fungsi demokrasi dimana anggota KPU harus memiliki pengetahuan yang mendalam mengenai prosedur pemilihan umum dan filosofi pemilihan umum yang bebas dan adil, diberi wewenang untuk melaksanakan dan mengatur proses tersebut. 4) Kompeten. KPU harus memiliki sumber daya dan kompeten memahami aturan untuk dapat memenuhi harapan masyarakat dalam memastikan terselenggaranya pemilu yang bebas dan adil. 5) Transparansi. Dalam hal ini, komunikasi dan kerjasama semua stakeholder: KPU, panwaslu, partai politik dan institusi-institusi dalam masyarakat harus dibangun atas dasar kerjasama untuk kepentingan bersama.

Kesimpulan konflik pilkada yang semakin ramai mendominasi pelaksanaan pilkada akhir-akhir ini mesti segera disikapi dengan langkah antisipatif. Pertama, KPUD hendaknya secara sungguhsungguh memposisikan diri sebagai pihak yang independen, netral, dan mampu memberikan pelayanan yang objektif kepada semua kandidat. Kedua, perlu segera mengevaluasi dan memperbaiki sistem kerja di setiap tahapan pilkada yang selama ini ini rawan memicu konflik. Ketiga, merevitalisasi fungsi Bawaslu dan Panwaslu dalam merespon laporan pelanggaran. Karena pihak panwaslu tidak merespon secara cepat, maka masyarakat kemudian mai hakim sendiri yang berbuntut pada konflik. Keempat, para kandidat yang sudah ditetapkan sebagai calon resmi hendaknya secara sungguh-sungguh melaksanakan komitmen siap menang dan siap kalah. Selama ini, jargon tersebut sekedar ucapan simbolik untuk meraih simpati. Selanjutnya, untuk menjamin legitimasi politis bagi pemimpin yang terpilih, hendaknya para kandidat yang bertarung dalam pilkada mampu memberi contoh kepada masyarakat bahwa menang dan kalah adalah sebuah dinamika dalam demokrasi. Dengan berakhirnya konflik dan perselisihan, Pilkada yang berlangsung selama ini diharapkan mempu melahirkan suasana yang lebih demokrasi. Fakta menunjukkan bahwa lembaga-lembaga demokrasi di Indonesia seperti KPU, masih berjalan pada dimensi formalitas, tata kelola demokratis yang tidak berjalan, sehingga tidak terbentuk kualitas proses pelaksanaan misi lembaga. KPU tidak hanya menjalankan fungsi mengatur, tetapi juga

harus menjalankan fungsi akomodasi dalam mengelola konflik yang membantu penemuan pemecahan masalah. Masalahnya fungsi akomodasi selama ini tidak dijalankan dengan baik sehingga banyak aksi kekerasan dalam pilkada. Idealnya warga negara merujuk pada kesediaan warga mengikuti dan memanfaatkan lembaga demokrasi. Bersedia mengikuti aturan main tanpa aksi kekerasan. Suatu ideal dari Masyarakat Demokrasi. Faktanya Masyarakat Demokrasi (Democratic Citizenship) masih belum terbentuk baik di Indonesia dan malah melembagakan anakhisme politik. Sehingga ketidakpuasan dan proses terhadap pelaksanaan pilkada di daerah-daerah hampir selalu diwarnai dengan aksi kekerasan dan pengrusakan gedung Pilkada seharusnya menjadi mekanisme demokratis untuk mencari pemimpin terbaik. Supaya proses itu bisa terjadi, setiap figur kandidat seharusnya beradu program politik, gagasan, dan integritas. Itulah yang mestinya ditonjolkan melalui kampanye. Setelah kampanye usai, serahkan kepada rakyat untuk menentukan sikap politiknya melalui kotak suara. Apapun keputusan rakyat, setiap kandidat harus legowo untuk menghargai dan menerima.

DAFTAR PUSTAKA Subakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta : Gramedia Widiasarana Indonesia. Ruhpina. L. said, 2002. Menuju Demokrasi Pemerintahan. Mataram. Universitas Mataram Press. Undang Undang No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah. Undang Undang No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Iskandar: Potensi Konflik dalam Pilkada Langsung. http://perpustakaan.bappenas.go.id/. Rabu, 5 Juni 2013, 13.30 Berdikari Online: Konflik Pilkada. http://www.berdikarionline.com/editorial/20130402/konflik-pilkada.html. Rabu, 5 Juni 2013, 22.30 Usman Yassin: Konflik Pilkada. http://www.scribd.com/doc/9770134/Konflik-Pilkada. Rabu, 5 Juni 2013, 22.50 Sarjito Ir: Pilkada Paling Berdarah di Era Otonomi. http://politik.kompasiana.com/2012/01/07/pilkada-paling-berdarah-di-era-otonomi428814.html. Kamis, 6 Juni 2013, 21.15 http://gudangilmusosiologi.blogspot.com/search/label/Konflik