JURNAL PENELITIAN VOL. 10 PELAKSANAAN PENDIDIKAN MORAL DI SEKOLAH DASAR KOTA YOGYAKARTA (Oleh : Wisnu Giyono, Tarto Sentono) Abstract The purpose of this study is to investigate the implementation of moral education especially for the independence of students in schools in Yogyakarta City Elementary School and would like to know the implementation of moral education, especially for the independence of students in the elementary school families in Yogyakarta. To achieve these objectives, the research methodology used in explanatory approach. The study population was all Elementary School District and the private status of the city. Determination of the sample using random sampling techniques quota area. Methods of data collection using a guided interview method used principal and complementary methods of observation and documentation methods. Methods of data analysis using descriptive statistical methods using techniques percentage. Based on the analysis of these data it can be concluded (1) the implementation of moral education in particular independence, for students in the elementary schools in the city of Yogyakarta is 73 %, (2) the implementation of moral education in particular independence, for students in a family environment in SD City Yogyakarta is 73 %. Suggested moral education needs to be improved with regard to the religious aspects and moral education needs to be improved through the integration of subjects. Keywords : moral education in particular kemandirian, students. A. Pendahuluan Menurut Doni Koesoema A (2007) Pendidikan Moral merupakan dasar bagi sebuah pendidikan karakter. Moralitas terutama berbicara tentang apakah aku sebagai manusia, merupakan manusia yang baik atau buruk. Moralitas melihat bagaimana manusia yang satu mesti memperlakukan manusia yang lain. Moralitas merupakan pemahaman nilai dan norma yang menjadi pegangan bagi seorang individu dan komunitas agar kebebasan dan keunikan masing–masing individu tidak dilanggar sehingga mereka semakin menghargai kemerdekaan masing–masing. Secara umum moralitas berbicara tentang bagaimana memperlakukan orang atau hal–hal lain secara baik sehingga menjadi cara bertindak terutama bagi pribadi dan komunitas. Pendidikan moral di sekolah mestinya mendapatkan porsi yang lebih dan utama, sebab tujuan pendidikan nasional berdasar Undang–Undang RI Nomor 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan sebagai berikut. Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab (Undang–Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, 2003: 3). Dengan demikian, pendidikan tidak hanya membentuk manusia sehat, berilmu, cakap, dan kreatif, namun tidak kalah pentingnya adalah membentuk manusia bermoral, 6
JURNAL PENELITIAN VOL. 10 yakni beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, mandiri, warga negara yang demokratis, dan bertanggungjawab. Pendidikan moral menjadi sangat penting peranannya dalam mewujudkan pendidikan nasional. Namun harapan guru sejak SD (Sekolah Dasar) dibangun karakter yang baik tampaknya masih jauh dari kenyataan. Soejanto Sandjaja (Harian Kedaulatan Rakyat, Rabu Pon 22 Maret 2006, 2006: 11) menyatakan “misbehavior”yang dilakukan peserta didik SD di sekolah antara lain mencuri, menipu, berbohong, berkata kotor dan kasar, merusak milik sekolah, membolos, mengganggu temannya atau orang lain dengan menggertak, mengejek dan menimbulkan keributan. Perilaku peserta didik SD yang belum sesuai dengan harapan guru tersebut sampai sekarang masih dilakukan peserta didik SD di sekolah, yakni berkata jorok, kurang sopan, malas mengerjakan pekerjaan rumah dan suka mencontoh pekerjaan teman saat ulangan. Kejadian yang sangat memprihatinkan dalam dunia pendidikan di Kota Yogyakarta adalah sebagai berikut. Kasus kriminal yang melibatkan geng pelajar di Kota Yogyakarta kembali terjadi pada awal 2012 ini. Bahkan aksi yang dilakukan geng pelajar semakin beringas. Tidak hanya tawuran, mereka juga berani menyekap dan menganiaya korbannya. Untuk menakuti lawannya, anggota geng pelajar berani mengaku sebagai polisi, pada Minggu (1/1) dini hari, usai perayaan pergantian tahun. Enam pemuda ditangkap polisi dan ditetapkan sebagai tersangka. ( Harian Jogja, Kamis 5 Januari 2012). Kasus lain yang memprihatinkan dalam dunia pendidikan khususnya di Sekolah Dasar adalah sebanyak tujuh bocah dalam satu kampung di wilayah Depok, Sleman, diduga dicabuli oleh teman sebaya yang masih bersekolah di Sekolah Dasar, yang bernama Bone (12 tahun, bukan nama sebenarnya kelas 5 SD). Perbuatan tersangka, berlangsung sejak Agustus hingga Oktober 2011 (Harian Kedaulatan Rakyat, Jumat Pon 7 Oktober 2011, halaman 8). Di Kebumen Seorang siswa SD Negeri 2 Lemburpurwo, Kecamatan Mirit, Kebumen terpaksa mengerjakan soal Ujian Akhir Berstandar Nasional (UASBN) di kantor kepolisian karena kasus pencurian (2009.www.suaramerdeka.com. diakses 12 -10 - 2011). Di Kabupaten Sampang, Madura, Jawa Timur 30 (Tiga puluh) anak SD terlibat kasus pencurian udang di sebuah tambak milik warga Desa Apaan, Kecamatan Penggerengan (2010. www.Bataviase.co.id. diakses12 -10 - 2011). Harian Radar Jogja, Kamis 12 September 2013, memberitakan, 10 (sepuluh) pelajar sekolah di kota Yogyakarta, pada saat pembelajaran membolos dan masih menggunakan seragam sekolah, berada di warnet dan tempat game on line. Ada juga siswa yang terkena razia, pada ponselnya terdapat situs porno. Hal ini menunjukkan pendidikan moral di SD belum dilaksanakan secara efektif. Pesan–pesan moral yang disampaikan melalui Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan dan Pendidikan Agama, belum dapat dimengerti sepenuhnya oleh peserta didik dan belum dapat mengubah perilaku peserta didik SD menjadi lebih bermoral (Harian Kedaulatan Rakyat, Rabu Pon, 22 Maret 2006). Berbagai kejadian yang memprihatinkan terjadi di sekolah dasar atau di masyarakat oleh kelompok peserta didik tersebut di atas, maka perlu dilakukan pengkajian tentang bagaimana pelaksanaan pendidikan moral di sekolah, khususnya Sekolah Dasar sehingga menyadari tentang kewajiban melaksanakan pendidikan moral dan mewujudkan di sekolah. Namun mengingat keterbatasan waktu, tenaga, dan kesempatan, pada penelitian ini memfokuskan pada pendidikan moral tentang mandiri. Bagaimanakah upaya sekolah dan keluarga dalam melaksanakan pendidikan moral untuk pembinaan dan pengembangan siswa menjadi manusia mandiri. 7
JURNAL PENELITIAN VOL. 10 Permasalahan penelitian ini adalah bagaimanakah pelaksanaan pendidikan moral, khususnya kemandirian bagi siswa–siswa di lingkungan sekolah dan keluarga di Kota Yogyakarta. B. Tujuan dan Manfaat Tujuan penelitian ini adalah ingin mengetahui pelaksanaan pendidikan moral, khususnya kemandirian bagi siswa–siswa di lingkungan sekolah dan keluarga di Sekolah Dasar di Kota Yogyakarta. Manfaat penelitian ini adalah sebagai acuan melaksanakan pendidikan moral bagi guru, Kepala Sekolah, toko–toko masyarakat dan orang tua peserta didik juga sebagai bahan dasar pembuatan kebijakan pemerintah daerah Kota Yogyakarta untuk menanggulangi kenakalan remaja khususnya siswa Sekolah Dasar serta sebagai wawasan ke depan bagi para peneliti yang lain. C. Tinjauan Pustaka Penemuan penelitian yang lalu, penelitian Darmiyati Zuchdi, dkk (dalam Cakrawala Pendidikan, 2010) menyimpulkan model pendidikan karakter yang efektif adalah yang menggunakan pendekatan komprehensif. Pembelajarannya tidak hanya melalui bidang studi tertentu, tetapi diintregasikan ke dalam berbagai bidang studi. Penelitian Mukhamad Murdiono (dalam Cakrawala Pendidikan, 2010), menyimpulkan strategi implementasi nilai–nilai moral religius yang diterapkan dalam proses pembelajaran meliputi: keteladanan (modelling), analisis masalah atau kasus, penanaman nilai edukatif yang kontekstual dan penguatan nilai moral yang sudah ada. Hasil penelitian Wisnu Giyono (2010) menyimpulkan sebagai berikut : (1) Sekolah Dasar di UPT Kecamatan Kretek, Bantul, sangat menyadari tugasnya tentang pendidikan moral, terbukti pernyataan para guru dan kepala sekolah terhadap pelaksanaan pendidikan moral di SD, sangat baik (79,3%) dan (2) Sekolah Dasar di UPT Kecamatan Kretek, sangat bagus mewujudkan tujuan–tujuan pendidikan nasional, terutama tentang aspek moral, terbukti para peserta didik di SD telah berhasil sangat baik dalam pelaksanaan pendidikan moral (81%). Penelitian Suratman (2007), menyimpulkan pendidikan moral, khususnya kemandirian, sangat baik dilaksanakan di IKIP PGRI Wates. Kemandirian ini, berkorelasi positif dengan prestasi belajarnya, artinya seorang siswa atau mahasiswa yang jiwa moral khususnya kemandirian sangat bagus, maka prestasi belajarnya sangat bagus pula. Dengan demikian pendidikan moral, khususnya kemandirian, sangat berperanan dalam peningkatan mutu pendidikan. “Sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui”, kata peribahasa. Sekali melaksanakan pendidikan moral, khususnya kemandirian, sekalian mencapai peningkatan prestasi belajarnya. Doni Koesoema A (2007) menyatakan pendidikan moral mestinya memberikan kepada peserta didik atau anak didik yang sedang dalam proses pertumbuhan moral, sebuah pengalaman strukturalisasi diri yang mendalam. Tahap–tahap itu mesti dilalui dengan kesadaran lewat pengalaman, sehingga terbentuklah apa yang disebut keseimbangan moral. Oleh karena itu, pertumbuhan individu dalam kehidupan moral semestinya merupakan sebuah upaya yang sifatnya progresif, bukan regresif. Edison Ahmad Jamli, dkk (2012) menyatakan komitmen moral dan intelektual merupakan kata kunci yang harus dibangun melalui sektor kehidupan masyarakat. Hal ini dapat ditempuh melalui pendidikan. Pendidikan merupakan upaya yang terprogram secara sistematis, terencana dalam proses pembimbingan dan pembelajaran bagi individu, agar berkembang dan tumbuh menjadi manusia yang mandiri, bertanggungjawab dan berakhlak mulia, memiliki moralitas tinggi yang perlu dipersiapkan. Moral perlu pengembangan 8
JURNAL PENELITIAN VOL. 10 dengan cara pembinaan, pelatihan, dan pemberdayaan sumber daya manusia yang berkelanjutan. Selanjutnya Edison Ahmad Jamli (2007), menyatakan guna membangun peradaban karakter yang kuat bagi generasi penerus, maka perlu komitmen dan kesepahaman akan program serta aktualisasi. Generasi muda yang duduk di bangku sekolah dan butuh pendidikan karakter, guna menjadi manusia yang cerdas, namun tetap bermoral. Pendidikan sangat berperan dalam membina moral. Melalui pendidikan, dapat mewujudkan manusia yang bermoral. Dengan demikian perkembangan moral sangat berperan terhadap pendidikan untuk mewujudkan manusia yang bermoral “adiluhung”. Sekolah merupakan salah satu faktor yang ikut mempengaruhi perkembangan moral peserta didik. Melalui pendidikan di sekolah peserta didik mendapatkan sejumlah rangsangan dan bentuk informasi mengenai pengetahuan dan hal–hal lainnya yang dapat merangsang pembentukan struktur kognitif mereka. Di sekolah peserta didik tumbuh dan berkembang melalui identifikasi dan modifikasi dari dasar kepribadian dan pola–pola sikap. Segala sesuatu yang diperoleh atau ditemuinya di sekolah merangsang peserta didik untuk mengembangkan kemampuan nalarnya dengan melakukan pertimbangan–pertimbangan apakah hal itu patut dilakukan atau tidak. Di samping itu, perkembangan moral dapat terjadi hubungan guru dengan peserta didik, baik itu pada jam pelajaran maupun komunikasi antara guru dan peserta didik pada waktu jam–jam di luar pelajaran. Menurut Doni Koesuma A (2007) situasi sosial kultural masyarakat akhir–akhir ini memang semakin mengkhawatirkan. Ada berbagai macam peristiwa dalam pendidikan yang semakin merendahkan harkat dan derajat manusia. Hancurnya nilai–nilai moral, merebaknya ketidakadilan, tipisnya rasa solidaritas, telah terjadi dalam lembaga pendidikan. Hal ini mewajibkan untuk mempertanyakan sejauh mana lembaga pendidikan telah mampu menjawab dan tanggap atas berbagai macam persoalan dalam masyarakat. Apa sebab manusia “dewasa” yang telah lepas dari lembaga pendidikan formal tidak mampu menghadapi gerak dan dinamika masyarakat yang telah melanggar norma agama dan etika. Sekolah telah lama dianggap sebagai sebuah lembaga pendidikan yang memiliki fokus terutama pada pengembangan intelektual dan moral bagi peserta didiknya. Pengembangan karakter atau moral di tingkat sekolah tidak dapat melalaikan dua tugas khas ini. Oleh karena itu pendidikan moral di dalam sekolah memiliki sifat dwifungsi, yaitu pengembangan kemampuan intelektual dan kemampuan moral. Dua arah pengembangan ini diharapkan menjadi semacam idealisme bagi para peserta didik agar mereka semakin mampu mengembangkan ketajaman intelektual dan integritas diri sebagai pribadi yang memiliki karakter kuat. Pendidikan moral menjadi semakin mendesak untuk diterapkan dalam lembaga pendidikan, mengingat berbagai macam perilaku yang non edukatif kini telah merambah dalam lembaga pendidikan seperti fenomena kekerasan, pelecehan seksual, bisnis manusia lewat sekolah, korupsi dan kesewenang–wenangan yang terjadi di kalangan sekolah. Tanpa pendidikan moral atau pendidikan karakter, berarti membiarkan campur aduknya kejernihan pemahaman akan nilai–nilai moral dan sifat ambigu yang menyertainya, yang pada gilirannya menghambat para peserta didik untuk dapat mengambil keputusan yang memiliki landasan moral yang kuat. Pendidikan moral sebagai dasar pendidikan karakter akan memperluas wawasan para peserta didik tentang nilai–nilai moral dan etika yang membuat mereka semakin mampu mengambil keputusan yang secara moral dapat dipertanggungjawabkan. Menurut Ki Fudyartanta (1995) pelaksanaan pendidikan moral atau pendidikan budi pekerti dapat mengikuti periodisasi perkembangan peserta didik. Menganjur–anjurkan atau kalau perlu memerintahkan peserta didik untuk duduk yang baik, tidak usah berteriak agar tidak mengganggu peserta didik yang lain, bersih kondisi badan dan pakaian, hormat 9
JURNAL PENELITIAN VOL. 10 terhadap ibu bapak atau kedua orang tua dan kepada guru dan orang lain, menolong teman yang perlu ditolong. Menurut Suratman (2007) kemandirian adalah suatu kecenderungan menggunakan kemampuan diri sendiri untuk menyelesaikan masalah secara bebas progresif, penuh inisiatif, self control, self esteem, dan self confidence. Menurut Suardiman (1984), kemandirian adalah suatu kemampuan yang cenderung berperilaku dan bertindak atas kehendak sendiri secara bebas, tidak tergantung pada orang lain atau kebiasaan konvensional, tetapi penuh tanggungjawab. Edison Ahmad Jamli, dkk (2012) menyatakan bahwa aspek–aspek pendidikan karakter atau pendidikan moral adalah sebagai berikut (a) pelaksanaan ibadah, (b) kedisiplinan, (c) kebersihan, (d) sopan santun, (e) jujur, (f) bertanggungjawab, (g) kerja keras, (h) berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif, (i) cinta ilmu, dan (j) mandiri. Mandiri termasuk salah satu aspek pendidikan karakter dan pendidikan moral. Mandiri adalah sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas– tugas, dan percaya diri dalam menyelesaikan masalah yang dihadapinya. D. Metodologi Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan Explanatory, yang penelitian ini ingin mendapatkan data pada saat suatu kegiatan dilaksanakan, sesuai dengan kondisi dan keadaan senyatanya, tentang pelaksanaan pendidikan moral, khususnya kemandirian, bagi siswa–siswa di lingkungan sekolah dan keluarga, Sekolah Dasar di Kota Yogyakarta. Populasi penelitian ini adalah semua sekolah–sekolah dasar berstatus Negeri dan Swasta di Kota Yogyakarta. Sampel penelitian menggunakan teknik quota area random sampling. Jumlah SD yang dijadikan sampel ditentukan sebanyak 12 SD (quota sampling) dari masing–masing wilayah (Yogya Utara, Yogya Tengah dan Yogya Selatan) diambil 2 (dua) Kecamatan (area sampling). Sedangkan masing–masing Kecamatan diambil 2 SD, masing–masing SD diambil 20 orang peserta didik (quota sampling) yang nama–namanya ditentukan secara acak atau undian (random sampling). Data dikumpulkan lewat metode interview terpimpin sebagai metode pokok dan metode pelengkap digunakan metode observasi dan dokumentasi. Instrumen penelitian yang digunakan dalam mengumpulkan data, memodifikasi instrumen penelitian Wisnu Giyono (2010) pada aspek kemandirian. Instrumen tersebut sudah valid dan reliabel, sehingga tidak perlu diujicobakan lagi. Instrumen penelitian tersebut terdiri dari dua lingkungan, yakni pendidikan moral, khususnya kemandirian, pada lingkungan sekolah, dan lingkungan keluarga. Metode analisis data yang digunakan adalah metode statistik deskriptif dengan menggunakan teknik prosentase. E. Hasil Penelitian Pengumpulan data dilaksanakan pada bulan September dan Oktober 2013. Jumlah sekolah dasar yang dijadikan tempat penelitian adalah sebagai berikut: sekolah–sekolah dasar wilayah utara meliputi, SD Negeri Tegalrejo II, SD BOPKRI Karangwaru, SD Negeri Demangan, dan SD Negeri Klitren. Wilayah tengah meliputi, SD Negeri Ngabean, SD Negeri Serangan, SD Negeri Margoyasan, dan SD Islamiyah Pakualaman. Wilayah selatan meliputi, SD Negeri Suryodiningratan I, SD Kanisius Pugeran I, SD Negeri Pilahan, dan SD Negeri Kotagede V. Jumlah subyek penelitian, masing–masing sekolah dasar diambil 20 orang siswa yang terdiri dari kelas VI sejumlah 10 orang, kelas V sejumlah 10 orang juga. Jadi jumlah subyek seluruhnya ada 240 orang, dari 12 sekolah dasar. 10
JURNAL PENELITIAN VOL. 10 Hasil analisis data didapatkan pelaksanaan pendidikan moral, khususnya di lingkungan sekolah, adalah sebagai berikut : SD Negeri Tegalrejo II sebesar 69%, SD BOPKRI Karangwaru 65%, SD Negeri Demangan 78%, SD Negeri Klitren 79%, SD Negeri Ngabean 74%, SD Negeri Serangan 71%, SD Negeri Margoyasan 78%, SD Islamiyah Pakualaman 78%, SD Negeri Suryodiningratan I sebesar 68%, SD Kanisius Pugeran I sebesar 76%, SD Negeri Pilahan 73%, dan SD Negeri Kotagede V sebesar 72%. Rata–rata seluruhnya (dari 12 SD tersebut) sebesar 73%. Hasil analisis data, didapatkan pelaksanaan pendidikan moral, khususnya kemandirian di lingkungan keluarga, adalah sebagai berikut, SD Negeri Tegalrejo II sebesar 65%, SD BOPKRI Karangwaru 71%, SD Negeri Demangan 75%, SD Negeri Klitren 75%, SD Negeri Ngabean 71%, SD Negeri Serangan 75%, SD Negeri Margoyasan 77%, SD Islamiyah Pakualaman 74%, SD Negeri Suryodiningratan I sebesar 74%, SD Kanisius Pugeran I sebesar 78%, SD Negeri Pilahan 70%, dan SD Negeri Kotagede V sebesar 71%. Rata–rata seluruhnya (dari 12 SD tersebut) sebesar 73%. Dalam pelaksanaan penelitian ditemukan beberapa kasus positif sebagai berikut antara lain: Sekolah Dasar wilayah tengah guru–guru berinisiatif sendiri membuat suatu perencanaan pendidikan karakter dengan membuat catatan harian siswa, buku kemajuan kepribadian, buku kedisplinan, buku penghubung anekdot, dan melakukan home visit. Sekolah Dasar wilayah Utara terdapat suatu kegiatan tambahan pelajaran semacam siraman rohani dari Yayasan. Sekolah Dasar wilayah Selatan guru mengadakan pertemuan rutin dengan wali murid seusai pelajaran sekolah. Dalam pelaksanaan penelitian ditemukan beberapa kasus negatif sebagai berikut antara lain: Sekolah Dasar wilayah tengah siswa pernah melakukan aksi tawuran. Sekolah Dasar wilayah tengah, pada saat siswa banyak yang tidak mengerjakan pekerjaan rumah, dihukum keluar kelas dan dilempar sepatu oleh gurunya. Untung tidak mengenai siswa. Sekolah Dasar wilayah tengah, guru mengingatkan siswa yang tidak mengerjakan pekerjaan rumah, dengan cara memukulkan sapu ke lantai dengan nada marah. Sekolah Dasar wilayah selatan, terdapat kasus siswa menyimpan video porno. F. Kesimpulan dan Rekomendasi Kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut pelaksanaan pendidikan moral, khususnya kemandirian bagi siswa–siswa di lingkungan sekolah, di Sekolah Dasar Kota Yogyakarta adalah 73%. Pelaksanaan pendidikan moral, khususnya kemandirian bagi siswa–siswa di lingkungan keluarga, di Sekolah Dasar kota Yogyakarta adalah 73%. Rekomendasi diajukan kepada penanggungjawab pendidikan di Kota Yogyakarta, khususnya Dinas Pendidikan supaya lebih ditingkatkan peranan Komite Sekolah sebagai fasilitator hubungan antara sekolah dengan keluarga, sehingga jika terjadi hal–hal yang tidak diinginkan terutama dalam pelaksanaan pendidikan moral, dapat dipecahkan atau dicari jalan keluar yang tidak merugikan terhadap kejiwaan siswa. Lebih ditingkatkan intensitas pertemuan guru–guru dengan orang tua siswa. Pertemuan ini tidak hanya pada saat pengambilan rapor, tetapi bisa dilaksanakan setiap satu bulan sekali. Lebih ditingkatkan pengawasan guru terhadap kegiatan siswa, terutama berkaitan dengan kemajuan teknologi (hp, internet, dan sebagainya), sehingga kemajuan teknologi tidak merugikan kehidupan siswa, justru dapat memanfaatkan untuk kepentingan pembelajaran atau peningkatan pengetahuan dan ilmu, serta wawasan bagi siswa. Lebih ditingkatkan pelaksanaan home visit bagi sekolah yang sudah melaksanakan, dan perlu diprogramkan dan dilaksanakan home visit, sehingga dapat lebih mempererat lembaga kekeluargaannya antara sekolah dengan keluarga. Namun juga perlu dipikirkan dalam perencanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (APBS), sehingga guru dapat melaksanakan home visit, tidak menambah beban ekonomi guru. Lebih ditingkatkan kerja sama antara Dinas Pendidikan dengan Lembaga–lembaga Agama, Kepolisian, dan Lembaga–lembaga sosial 11
JURNAL PENELITIAN VOL. 10 yang lain untuk pembinaan dan peningkatan pendidikan moral di sekolah, dengan cara mendatangkan lembaga–lembaga tersebut ke sekolah. Namun hal ini juga direncanakan dalam APBS bersama Komite Sekolah. Lebih ditingkatkan lagi pembinaan guru–guru secara rutin, baik dalam bidang pembelajaran, maupun dalam pengetahuan psikologi pendidikan bagi para siswa, sehingga proses pendidikan dan pembelajaran di sekolah terlaksana lebih kondusif, dan mengutamakan keterpihakan pada siswa. Daftar Pustaka Anonimius. 2009. Bobol Kios Ponsel, Siswa SD Ujian di Polsek. www.suaramerdeka.com. diakses 12 -08 -2011. . 2012. Kasus Geng Pelajar di Yogyakarta. Harian Jogja, 5 Januari 2012. . 2011. Pelaku Siswa SD, 7 Bocah Korban Pencabulan. Harian Kedaulatan Rakyat, Jumat Pon 7 Oktober 2011. . 2013. Warnet Tempat Favorit Membolos. Harian Radar Jogja. Kamis 12 September 2013. . 2010. 30 Anak SD Terlibat Kasus Pencurian. www.bataviase.co.id. diakses 12 -08 -2011. Depdiknas. 2003. Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta. Depdiknas Doni Koesoema, A. 2007. Pendidikan Karakter. Jakarta: Grasindo. Edison Ahmad Jamli, dkk. 2012. Panduan Tata Krama Berlandaskan Nilai-nilai Pancasila bagi Peserta Didik di kabupaten Bantul. Bantul: Dinas Pendidikan Menengah dan Non Formal Kabupaten. Fudyartanto, RBS. 1996. Mengenal Tamansiswa. Yogyakarta: Majelis Luhur Tamansiswa. Lembaga Pengabdian Masyarakat UNY. 2010. Cakrawala Pendidikan. Yogyakarta.: LPM UNY. Soejanto Sandjaja. 2006. Pendidikan Moral di Sekolah Dasar Belum Dilaksanakan Secara Efektif. Harian Kedaulatan Rakyat 22 Maret 2006. Suratman. 2007. Kaitan Kemandirian dan Penyesuaian Diri dengan Prestasi Belajar Mahasiswa pada Perguruan Tinggi PGRI di Daerah Istimewa Yogyakarta. Laporan Penelitian. Yogyakarta: IKIP PGRI Wates. Wisnu Giyono. 2010. Pendidikan Moral di Sekolah Dasar di Kecamatan Kabupaten Bantul: Dinamika dan Pengembangannya. Laporan Penelitian. PGSD FKIP UST.
12