jurusan ilmu kesehatan masyarakat fakultas ilmu ... - unnes

MTBS. 2). Bagi petugas pemegang program dianjurkan untuk meningkatkan kualitas pelayanan Manajemen Terpadu Balita Sakit, serta melakukan sosialisasi m...

64 downloads 848 Views 3MB Size
FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN IMPLEMENTASI MANAJEMEN TERPADU BALITA SAKIT (MTBS) DI PUSKESMAS DI KOTA SEMARANG TAHUN 2010

SKRIPSI Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

Oleh : Agita Maris Nurhidayati NIM. 6450405039

JURUSAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

2011

Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Semarang Juli 2011 ABSTRAK Agita Maris Nurhidayati. Faktor yang Berhubungan dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) Di Puskesmas Di Kota Semarang Tahun 2010, VI + 120 halaman + 23 tabel + 2 gambar + 17 lampiran Setiap tahun 12 juta anak di dunia meninggal sebelum berusia 5 tahun. Tujuh diantara setiap sepuluh anak ini meninggal oleh karena diare, pneumonia, campak, malaria atau malnutrisi dan sering merupakan kombinasi dari kondisi-kondisi tersebut. Manajemen Terpadu Balita Sakit adalah suatu pendekatan yang terintegrasi/ terpadu dalam tatalaksana balita sakit dengan fokus kepada kesehatan anak usia 0-59 bulan (balita) secara menyeluruh. Kegiatan MTBS merupakan upaya pelayanan kesehatan yang ditujukan untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian sekaligus meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan di unit rawat jalan kesehatan dasar. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor yang berhubungan dengan implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di Puskesmas di Kota Semarang Tahun 2010. Jenis penelitian ini adalah explanatory research dengan pendekatan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah semua petugas pemegang program manajemen terpadu balita sakit (MTBS) di Puskesmas di Kota Semarang. Besar sampel penelitian sebanyak 37 sampel dengan teknik pengambilan sampel secara total sampling. Instrumen penelitian ini adalah kuesioner. Data primer diperoleh dari hasil observasi, dokumentasi, dan wawancara secara langsung. Data sekunder diperoleh dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, Dinas Kesehatan Kota Semarang. Analisis data dilakukan secara univariat dan bivariat menggunakan uji Chi Square dengan derajat kemaknaan (α) = 0,05. Kesimpulan dari penelitian ini adalah ada hubungan sikap petugas (p = 0,040), pelatihan MTBS yang diikuti petugas (p = 0,037), kepemimpinan kepala puskesmas (p = 0,032), rapat koordinasi tingkat puskesmas (p = 0,037), sistem pencatatan/ pelaporan MTBS (p = 0,031), pelaksanaan supervisi MTBS oleh Dinas Kesehatan (p = 0,036), pelaksanaan evaluasi oleh kepala puskesmas (p = 0,013) dengan implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit, dan tidak ada hubungan antara pengetahuan petugas tentang MTBS (p=0,160), motivasi kerja petugas (p = 0,180), ketersediaan peralatan (p = 0,630), alokasi dana (p = 0,212) dengan implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit. Saran yang dapat disampaikan, antara lain: 1). Bagi Dinas Kesehatan Kota Semarang adalah perlunya diadakan pelatihan bagi petugas, peningkatan pelaksanaan supervisi MTBS, dan perlu kiranya membuat suatu kebijakan kesehatan mengenai MTBS. 2). Bagi petugas pemegang program dianjurkan untuk meningkatkan kualitas pelayanan Manajemen Terpadu Balita Sakit, serta melakukan sosialisasi mengenai MTBS ke masyarakat. 3). Bagi peneliti lain adalah perlunya diadakan penelitian yang lebih mendalam dalam bidang kesehatan yang berkaitan dengan masalah MTBS. Kata Kunci : Manajemen Terpadu Balita Sakit, Puskesmas, Petugas Kesehatan, Praktik Pelaksanaan MTBS, Implementasi MTBS Kepustakaan : 51 (1996-2010)

ii

epartment of Public Health Sciences Faculty of Sport Sciences Semarang State University July 2011 ABSTRACT Agita Maris Nurhidayati. Factors Associated with Implementation of Integrated Management of Childhood Illness (IMCI) on Public Health Center in the Semarang City in 2010, VI + 120 pages + 2 tables + 23 pictures + 17 appendix Every year 12 million children in the world die before 5 years old. Seven among every ten children die from diarrhea, pneumonia, measles, malaria or malnutrition and often a combination of these conditions. Integrated Management of Childhood Illness is an integrated approach / integrated in the management of sick infants with a focus on the health of children aged 0-59 months (Children Under Five) thoroughly. An IMCI activity was an effort aimed at health care to reduce morbidity and mortality while enhancing the quality of health care in primary health outpatient unit. The purpose of this study was to determine factors related to the implementation of Integrated Management of Childhood Illness (IMCI) at Public health centers in the Semarang City in 2010. This type of research was explanatory research with cross sectional approach. The populations in this study were all officers of integrated management programs holders toddler illness (IMCI) at health centers in the city of Semarang. Large sample study of 37 samples with a total sampling technique of sampling. This research instrument was a questionnaire. Primary data obtained from observations, documentation, and interviews directly. Secondary data obtained from the Central Java Provincial Health Office, Public Health Department Semarang City. Data analysis was performed using univariate and bivariate Chi Square test with degrees of significance (á) = 0.05. The conclusion of this study was there was a relationship attitude of staff (p = 0.040), followed by IMCI training officers (p = 0.037), head of health center leadership (p = 0.032), Public Health Center Level coordination meetings (p = 0.037), recording system / IMCI reporting (p = 0.031), the implementation of IMCI supervision by the Department of Health (p = 0.036), the evaluation by the head of the health center (p = 0.013) with the implementation of Integrated Management of Childhood Illness, and there is no relationship between of knowledge workers on IMCI (p = 0160),officers work motivation (p = 0.180), availability of equipment (p = 0.630), the allocation of funds (p = 0.212) with the implementation of Integrated Management of Childhood Illness. Suggestions that could be delivered, among others: 1). For the City Health Department Semarang is the need of holding training for officers, improving supervision of the implementation of IMCI, and it is necessary to create a health policy on IMCI. 2). For a program officer holders are encouraged to improve the quality of care Integrated Management of Childhood Illness, and dissemination of IMCI into the community. 3). For other researchers was the need for a more in-depth research conducted in healthrelated problems IMCI. Keywords

: Integrated Management of Childhood Illness, Public Health Center, Health Officer, IMCI Implementation Practice, Implementation of IMCI Bibliography : 51 (1996-2010)

iii

iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan dan tiada jalan sulit bila dihadapi dengan kesabaran dan ketenangan hati, maka apabila kamu telah selesai dari suatu urusan, kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang lain, dan hanya kepada Tuhanmulah kamu berharap”(Q.S. Al-Insyiroh: 6-8). “Kejarlah impianmu sampai kau dapat, jangan cepat menyerah walau banyak rintangan menghadang, jangan putus asa disaat kau jatuh, jangan menyerah disaat kau hancur, jadikanlah rintangan adalah awal dari perjuanganmu, tetap semangat walau dalam keadaan apapun, hanya keyakinan dan semangat yang akan membawa kamu menuju kesuksesan”(Penulis).

PERSEMBAHAN Karya ini saya persembahkan kepada : 1. Ayahanda Tafsir, dan Ibunda Sri Sugiharti (Almh), sebagai Dharma Bakti Ananda 2. Adikku tersayang, Dik A. Rijal Ainun Najib 3. Almamaterku UNNES

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga skripsi yang berjudul ” Faktor yang Berhubungan dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) Di Puskesmas Di Kota Semarang Tahun 2010 ” dapat terselesaikan dengan baik. Skripsi ini disusun untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat di Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, pada Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang. Sehubungan dengan penyelesaian skripsi ini, dengan rasa rendah hati disampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat : 1. Pembantu Dekan Bidang Akademik Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Semarang, Drs. Said Junaidi, M.Kes., atas ijin penelitian. 2. Ketua Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, dr. H. Mahalul Azam M.Kes., atas persetujuan penelitian dan kesempatan untuk menyelesaikan skripsi ini. 3. Dosen Pembimbing I, dr. H. Mahalul Azam, M.Kes., atas bimbingan, arahan dan motivasinya dalam penyusunan skripsi ini. 4. Dosen Pembimbing II, dr. Hj. Arulita Ika Fibriana, M.Kes (Epid)., atas bimbingan, arahan dan motivasinya dalam penyusunan skripsi ini. 5. Dosen Jurusan IKM, atas bekal ilmu pengetahuan yang telah diberikan selama di bangku kuliah. 6. TU Jurusan IKM, Bapak Sungatno atas semua bantuannya dalam mengurus ijin skripsi sampai terselesaikan.

vi

7. Kepala Sub Bagian Umum dan Kepegawaian Dinas Kesehatan Kota Semarang, Dra. Johana, atas ijin penelitian. 8. Kepala Puskesmas di wilayah Kota Semarang, atas pemberian ijin penelitian. 9. Ayahanda Tafsir dan Ibunda Sri Sugiharti (Almh) terima kasih atas do’a, perhatian, pengorbanan, cinta dan kasih sayang, serta motivasi, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. 10. Adikku A. Rijal Ainun Najib atas do’a, dukungannya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. 11. Masku Aris Solihin atas bantuan, dan motivasinya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. 12. Sahabatku (Milly, Tya Cunil, Rifky, Zecky, Upie) atas bantuan, dan semangatnya dalam penyusunan skripsi ini. 13. Semua teman IKM Angkatan 2005, terutama teman-teman bimbingan, atas bantuan dan motivasinya dalam penyelesaian skripsi ini. 14. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Semoga amal baik dari semua pihak mendapatkan pahala yang berlipat ganda dari Allah SWT. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Semarang,

November 2011 Penyusun

vii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ......................................................................................

i

ABSTRAK .....................................................................................................

ii

ABTRACT .....................................................................................................

iii

HALAMAN PERSETUJUAN ........................................................................

iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ...................................................................

v

KATA PENGANTAR ....................................................................................

vi

DAFTAR ISI ................................................................................................... viii DAFTAR TABEL ..........................................................................................

xi

DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xiv DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xv BAB I PENDAHULUAN ..............................................................................

1

1.1 Latar Belakang Masalah ............................................................................

1

1.2 Rumusan Masalah .....................................................................................

4

1.3 Tujuan Penelitian ......................................................................................

6

1.4 Manfaat Penelitian ....................................................................................

8

1.5 Keaslian Penelitian ....................................................................................

9

1.6 Ruang Lingkup Penelitian ......................................................................... 12 BAB II LANDASAN TEORI ........................................................................ 13 2.1 Landasan Teori ......................................................................................... 13 2.2 Kerangka Teori ......................................................................................... 67

viii

BAB III METODE PENELITIAN ............................................................... 68 3.1 Kerangka Konsep ...................................................................................... 68 3.2 Hipotesis Penelitian ................................................................................... 68 3.3 Jenis dan Rancangan Penelitian ................................................................. 70 3.4 Variabel Penelitian .................................................................................... 70 3.5 Definisi Operasional dan Skala Pengukuran Variabel ................................. 72 3.6 Populasi dan Sampel Penelitian ................................................................. 74 3.7 Sumber Data Penelitian ............................................................................. 75 3.8 Instrumen Penelitian ................................................................................. 76 3.9 Teknik Pengambilan Data ......................................................................... 80 3.10 Teknik Pengolahan dan Analisis Data ...................................................... 81 BAB IV HASIL PENELITIAN .................................................................... 84 4.1 Deskripsi Data Penelitian .......................................................................... 84 4.2 Hasil Penelitian ......................................................................................... 85 4.2.1 Analisis Univariat ........................................................................... 85 4.2.2 Analisis Bivariat ............................................................................. 93 BAB V PEMBAHASAN ............................................................................... 106 5.1 Pembahasan .............................................................................................. 106 5.1.1 Hubungan antara Pengetahuan Petugas dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) .............................................................. 106 5.1.2 Hubungan antara Sikap Petugas dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) .............................................................. 107

ix

5.1.3 Hubungan antara Motivasi Kerja Petugas dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) ............................................ 109 5.1.4 Hubungan antara Pelatihan MTBS yang Diikuti Petugas dengan Implementasi Terpadu Balita Sakit (MTBS) ......................................... 110 5.1.5 Hubungan antara Kepemimpinan Kepala Puskesmas dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) ............................................ 111 5.1.6 Hubungan antara Ketersediaan Peralatan yang Digunakan dalam Pemeriksaan MTBS dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) ...................................................................................... 112 5.1.7 Hubungan antara Alokasi Dana dari Dinas Kesehatan dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) ...................... 113 5.1.8 Hubungan antara Rapat Koordinasi Tingkat Puskesmas dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) ...................... 115 5.1.9 Hubungan antara Sistem Pencatatan/ Pelaporan Pelaksanaan MTBS dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) ............... 116 5.1.10 Hubungan antara Pelaksanaan Supervisi MTBS oleh Dinas Kesehatan dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) ............... 117 5.1.11 Hubungan antara Pelaksanaan Evaluasi MTBS oleh Kepala Puskesmas dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) ............... 118 5.2 Hambatan dan Kelemahan Penelitian ......................................................... 120

x

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 121 6.1 Simpulan .................................................................................................. 121 6.2 Saran ........................................................................................................ 123 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 125 LAMPIRAN .................................................................................................. 129

xi

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Keaslian Penelitian ...................................................................

9

Tabel 1.2 Matriks Perbedaan Penelitian ....................................................

11

Tabel 3.1 Definsi Operasional dan Skala Pengukuran Variabel ..................

72

Tabel 3.2 Pedoman untuk Memberikan Interpretasi terhadap Koefisien Kontingensi .............................................................................

83

Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Responden ............................

86

Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Sikap Responden .......................................

87

Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Motivasi Kerja Responden .........................

87

Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Keikutsertaan Pelatihan Responden............

88

Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Kepemimpinan Kepala Puskesmas .............

88

Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Ketersediaan Peralatan MTBS ...................

89

Tabel 4.7 Distribusi Frekuensi Alokasi Dana dari Dinas Kesehatan ...........

89

Tabel 4.8 Distribusi Frekuensi Rapat Koordinasi Tingkat Puskesmas .........

90

Tabel 4.9 Distribusi Frekuensi Sistem Pencatatan/ Pelaporan Pelaksanaan MTBS ......................................................................................

91

Tabel 4.10 Distribusi Frekuensi Pelaksanaan Supervisi MTBS ....................

91

Tabel 4.11 Distribusi Frekuensi Pelaksanaan Evaluasi MTBS .....................

92

Tabel 4.12 Distribusi Frekuensi Implementasi MTBS .................................

92

Tabel 4.13 Tabulasi

Silang

antara

Pengetahuan

Petugas

dengan

Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) ............

xii

93

Tabel 4.14 Tabulasi Silang antara Sikap Petugas dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) .................................

94

Tabel 4.15 Tabulasi Silang antara Motivasi Kerja Petugas dengan Implementasi Manejemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) ............

95

Tabel 4.16 Tabulasi Silang antara Keikutsertaan Pelatihan MTBS oleh Petugas dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS)....................................................................................

96

Tabel 4.17 Tabulasi Silang antara Kepemimpinan Kepala Puskesmas dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit ..............

97

Tabel 4.18 Tabulasi Silang antara Ketersediaan Peralatan yang Digunakan dalam Pemeriksaan MTBS dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) ....................................................

98

Tabel 4.19 Tabulasi Silang antara Alokasi Dana dari Dinas Kesehatan dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS).................................................................................... 100 Tabel 4.20 Tabulasi Silang antara Rapat Koordinasi Tingkat Puskesmas dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS).................................................................................... 101 Tabel 4.21 Tabulasi

Silang

antara

Sistem

Pencatatan/

Pelaporan

Pelaksanaan MTBS dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) ................................................................. 102

xiii

Tabel 4.22 Tabulasi Silang antara Pelaksanaan Supervisi MTBS oleh Dinas Kesehatan dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) ................................................................. 103 Tabel 4.23 Tabulasi Silang antara Pelaksanaan Evaluasi MTBS oleh Kepala Puskesmas dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) ................................................................. 104

xiv

DAFTAR GAMBAR

Gambar Gambar 2.1 Kerangka Teori .......................................................................

67

Gambar 3.1 Kerangka Konsep .....................................................................

68

xv

DAFTAR LAMPIRAN

1. Surat Keputusan Penetapan Dosen Pembimbing Skripsi .......................... 129 2. Form Pengajuan Ijin Penelitian ............................................................... 130 3. Surat Ijin Permohonan Penelitian untuk Kesbangpolinmas Kota Semarang............................................................................................... 131 4. Surat Ijin Permohonan Penelitian untuk Dinas Kesehatan Kota Semarang............................................................................................... 132 5. Surat Ijin Penelitian dari Kesbangpolinmas Kota Semarang ..................... 133 6. Surat Ijin Penelitian dari Dinas Kesehatan Kota Semarang ...................... 134 7. Surat Keterangan telah Melakukan Penelitian dari Dinas Kesehatan Kota Semarang ...................................................................................... 135 8. Surat

Ijin

Permohonan

Validitas

dan

Reliablitas

untuk

Kesbangpolimnas Kabupaten Semarang.................................................. 136 9. Surat Ijin Permohonan Validitas dan Reliabilitas untuk Dinas Kesehatan Kabupaten Semarang ............................................................................. 137 10. Surat Tugas Panitia Ujian Sarjana ........................................................... 138 11. Kuesioner Penelitian .............................................................................. 139 12. Rekapitulasi Jawaban Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner ................ 148 13. Rekapitulasi Data Identitas Responden Penelitian ................................... 154 14. Rekapitulasi Jawaban Responden Variabel Pengetahuan Petugas ............. 155 15. Rekapitulasi Jawaban Responden Variabel Sikap Petugas ....................... 156 16. Rekapitulasi Jawaban Responden Variabel Motivasi Kerja Petugas ......... 157

xvi

17. Rekapitulasi Jawaban Responden Variabel Pelatihan MTBS yang Diikuti oleh Petugas ............................................................................... 158 18. Rekapitulasi Jawaban Responden Variabel Kepemimpinan Kepala Puskesmas ............................................................................................. 159 19. Rekapitulasi Jawaban Responden Variabel Ketersediaan Peralatan .......... 160 20. Rekapitulasi Jawaban Responden Variabel Aloksi Dana dari Dinas Kesehatan .............................................................................................. 161 21. Rekapitulasi Jawaban Responden Variabel Rapat Koordinasi Tingkat Puskesmas ............................................................................................. 162 22. Rekapitulasi

Jawaban

Responden

Variabel

Sistem

Pencatatan/

Pelaporan Pelaksanaan MTBS ................................................................ 163 23. Rekapitulasi Jawaban Responden Variabel Pelaksanaan Supervisi MTBS oleh Dinas Kesehatan .................................................................. 164 24. Rekapitulasi Jawaban Responden Variabel Pelaksanaan Evaluasi MTBS oleh Kepala Puskesmas .......................................................................... 165 25. Rekapitulasi Jawaban Responden Variabel Implementasi MTBS ............. 166 26. Analisis Univariat dan Bivariat ............................................................... 167 27. Peta Kota Semarang ............................................................................... 182 28. Dokumentasi Penelitian .......................................................................... 183

xvii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Integrated Management of Childhood Illness (IMCI) yang dalam bahasa Indonesia disebut Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) adalah suatu pendekatan yang terintegrasi/ terpadu dalam tatalaksana balita sakit dengan fokus kepada kesehatan anak usia 0-59 bulan (balita) secara menyeluruh. MTBS bukan merupakan suatu program kesehatan tetapi suatu pendekatan/ cara penatalaksanaan balita sakit. Kegiatan MTBS merupakan upaya pelayanan kesehatan yang ditujukan untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian sekaligus meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan di unit rawat jalan kesehatan dasar (puskesmas dan jaringannya termasuk Puskesmas Pembantu (Pustu), Pondok Bersalin Desa (Polindes), Pos Kesehatan Desa (Poskesdes), dll) (Departemen Kesehatan RI, 1999). Pada tahun 1992, WHO mulai mengembangkan cara yang cukup efektif serta dapat dikerjakan untuk mencegah sebagian besar penyebab kematian bayi dan balita melalui program “Integrated Management of Childhood Illness (IMCI)” atau dikenal sebagai program Manajemen Terpadu Balita (MTBS) untuk diterapkan dan direplikasikan di negara-negara yang mempunyai angka kematian bayi (AKB) di atas 40 per 1000 kelahiran hidup. Menurut World Health Organization (WHO), bila tatalaksana ini dilakukan dengan baik, akan mampu mencegah kematian balita akibat infeksi saluran

1

2

pernafasan akut (ISPA) hingga sebesar 60-80%, dan mencegah kematian akibat diare sebesar 90%. Penerapan MTBS akan efektif jika ibu/ keluarga segera membawa balita sakit ke petugas kesehatan yang terlatih serta mendapatkan pengobatan yang tepat. Oleh karena itu, pesan mengenai kapan ibu perlu mencari pertolongan bila anak sakit merupakan bagian yang penting dalam MTBS (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depkes RI, 2008). Di Indonesia angka kematian bayi sebesar 50 per 1000 kelahiran hidup sedangkan angka kematian balita sebesar 64 per 1000 kelahiran hidup. Hal ini yang menyebabkan WHO merekomendasikan untuk melaksanakan program MTBS yang diadaptasikan sesuai dengan permasalahan kesehatan bayi dan balita di Indonesia. Proses adaptasi MTBS berlangsung selama 2 tahun dengan bantuan tenaga Ikatan Dokter Ahli Anak (IDAI) berdasarkan epidemiologi penyakit, sistem pelayanan kesehatan yang berlaku, konseling nutrisi, penggunaan istilah lokal. Sejak Juni 1997 telah dilakukan orientasi MTBS dan fasilitator secara bertahap. Tetapi hasil yang didapatkan belum memenuhi target yaitu 60% dari jumlah balita yang mendapatkan pelayanan MTBS (Mahmulsyah Munthe, 2006). Menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, pada kelompok bayi (0-11 bulan), penyebab terbanyak kematian adalah penyakit diare sebesar 42% dan pneumonia 24%, sedangkan pada kelompok balita, kematian akibat diare sebesar 25,2%, pneumonia 15,5%, Demam Berdarah Dengue (DBD) 6,8% dan campak 5,8%, kejadian gizi buruk pada balita

3

sebesar 5,4% dan gizi kurang sebesar 13% (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, 2008). Bila dilaksanakan dengan baik, pendekatan MTBS tergolong lengkap untuk mengantisipasi penyakit-penyakit yang sering menyebabkan kematian bayi dan balita di Indonesia. Dikatakan lengkap karena meliputi upaya preventif (pencegahan penyakit), perbaikan gizi, upaya promotif (berupa konseling) dan upaya kuratif (pengobatan) terhadap penyakit-penyakit dan masalah yang sering terjadi pada balita. WHO telah mengakui bahwa pendekatan MTBS sangat cocok diterapkan negara-negara berkembang dalam upaya menurunkan angka kematian, kesakitan dan kecacatan pada bayi dan balita. Menurut laporan Bank Dunia (1993), MTBS merupakan jenis intervensi yang paling

cost effective

yang memberikan dampak terbesar pada

beban penyakit secara global. Bila puskesmas menerapkan MTBS berarti turut membantu dalam upaya pemerataan pelayanan kesehatan dan membuka akses bagi seluruh lapisan masyarakat untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang terpadu (Awi Muliadi Wijaya, 2009). Menurut data hasil survei yang dilakukan sejak tahun 1990-an hingga saat ini (SKRT 1991, 1995, SDKI 2003 dan 2007), penyakit/ masalah kesehatan yang banyak menyerang bayi dan anak balita masih berkisar pada penyakit/ masalah yang kurang-lebih sama yaitu gangguan perinatal, penyakit-penyakit infeksi dan masalah kekurangan gizi. Berdasarkan kenyataan (permasalahan) di atas, pendekatan MTBS dapat menjadi solusi yang jitu apabila diterapkan dengan benar. Pada sebagian besar balita sakit

4

yang dibawa berobat ke puskesmas, keluhan tunggal jarang terjadi. Menurut data WHO, tiga dari empat balita sakit seringkali memiliki beberapa keluhan lain yang menyertai dan sedikitnya menderita 1 dari 5 penyakit tersering pada balita yang menjadi fokus MTBS. Hal ini dapat diakomodir oleh MTBS karena dalam setiap pemeriksaan MTBS, semua aspek/ kondisi yang sering menyebabkan keluhan anak akan ditanyakan dan diperiksa (Awi Muliadi Wijaya, 2009). Hingga akhir tahun 2009, penerapan MTBS telah mencakup 33 provinsi, namun belum seluruh puskesmas mampu menerapkan. Menurut data laporan rutin yang dihimpun dari Dinas Kesehatan provinsi seluruh Indonesia melalui pertemuan nasional program kesehatan anak tahun 2010, jumlah puskesmas yang melaksanakan MTBS hingga akhir tahun 2009 sebesar 51,55%. Puskesmas dikatakan sudah menerapkan MTBS bila sudah melakukan pendekatan MTBS minimal 60% dari jumlah kunjungan balita sakit di puskesmas tersebut (Awi Muliadi Wijaya, 2009). Berdasarkan data kualitas anak dan gambaran program anak Provinsi Jawa Tengah tahun 2009, didapatkan data cakupan jumlah balita yang mendapatkan pelayanan MTBS di seluruh kabupaten (yang berjumlah 35 kabupaten) dengan cakupan yang berbeda di masing-masing kabupaten tersebut. Namun sebanyak 40% kabupaten diantaranya belum dapat menerapkan MTBS dengan baik, dengan cakupan jumlah balita yang mendapatkan pelayanan MTBS dibawah 60% seperti yang terjadi pada Kota Semarang yakni 8,25% (Dinkes Provinsi Jawa Tengah, 2009).

5

Oleh karena itu peneliti tertarik untuk meneliti tentang ”Faktor yang Berhubungan dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di Puskesmas di Kota Semarang Tahun 2010”. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut :

1.2.1 Rumusan Masalah Umum Faktor apa sajakah yang berhubungan dengan implementasi MTBS di Puskesmas di Kota Semarang Tahun 2010? 1.2.2 Rumusan Masalah Khusus 1.2.2.1 Adakah hubungan antara pengetahuan petugas pemegang program MTBS dengan implementasi MTBS di Puskesmas di Kota Semarang Tahun 2010? 1.2.2.2 Adakah hubungan antara sikap petugas pemegang program MTBS dengan implementasi MTBS di Puskesmas di Kota Semarang Tahun 2010? 1.2.2.3 Adakah hubungan antara motivasi kerja petugas pemegang program MTBS dengan implementasi MTBS di Puskesmas di Kota Semarang Tahun 2010?

6

1.2.2.4 Adakah hubungan antara pelatihan MTBS yang diikuti petugas dengan implementasi MTBS di Puskesmas di Kota Semarang Tahun 2010? 1.2.2.5 Adakah hubungan antara kepemimpinan kepala Puskesmas dengan implementasi MTBS di Puskesmas di Kota Semarang Tahun 2010? 1.2.2.6 Adakah hubungan antara ketersediaan peralatan yang digunakan dalam pemeriksaan MTBS, seperti: formulir tatalaksana MTBS, kartu nasihat ibu, dan obat dengan implementasi MTBS di Puskesmas di Kota Semarang Tahun 2010? 1.2.2.7 Adakah hubungan antara alokasi dana dari Dinas Kesehatan untuk pelaksanaan MTBS dengan implementasi MTBS di Puskesmas di Kota Semarang Tahun 2010? 1.2.2.8 Adakah hubungan antara rapat koordinasi tingkat Puskesmas dengan implementasi MTBS di Puskesmas di Kota Semarang Tahun 2010? 1.2.2.9 Adakah

hubungan

antara

sistem

pencatatan/

pelaporan

pelaksanaan MTBS dengan implementasi MTBS di Puskesmas di Kota Semarang Tahun 2010? 1.2.2.10 Adakah hubungan antara pelaksanaan supervisi MTBS oleh Dinas

Kesehatan

terhadap

pelaksanaan

MTBS

dengan

implementasi MTBS di Puskesmas di Kota Semarang Tahun 2010?

7

1.2.2.11 Adakah hubungan antara pelaksanaan evaluasi (penilaian) MTBS oleh kepala Puskesmas terhadap pelaksanaan MTBS dengan implementasi MTBS di Puskesmas di Kota Semarang Tahun 2010? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Untuk mengetahui beberapa faktor yang berhubungan dengan implementasi MTBS di Puskesmas Kota Semarang Tahun 2010. 1.3.2 Tujuan Khusus 1.3.2.1 Untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan petugas pemegang program MTBS dengan implementasi MTBS di Puskesmas di Kota Semarang Tahun 2010? 1.3.2.2 Untuk mengetahui hubungan antara sikap petugas pemegang program MTBS dengan implementasi MTBS di Puskesmas di Kota Semarang Tahun 2010? 1.3.2.3 Untuk mengetahui hubungan antara motivasi kerja petugas pemegang program MTBS dengan implementasi MTBS di Puskesmas di Kota Semarang Tahun 2010? 1.3.2.4 Untuk mengetahui hubungan antara pelatihan MTBS yang diikuti oleh petugas dengan implementasi MTBS di Puskesmas di Kota Semarang Tahun 2010?

8

1.3.2.5 Untuk mengetahui hubungan antara kepemimpinan kepala Puskesmas dengan implementasi MTBS di Puskesmas di Kota Semarang Tahun 2010? 1.3.2.6 Untuk mengetahui hubungan antara ketersediaan peralatan yang digunakan

dalam

pemeriksaan

MTBS,

seperti:formulir

tatalaksana MTBS, kartu nasihat ibu, dan obat dengan implementasi MTBS di Puskesmas di Kota Semarang Tahun 2010? 1.3.2.7 Untuk mengetahui hubungan antara alokasi dana dari Dinas Kesehatan untuk kegiatan MTBS dengan implementasi MTBS di Puskesmas di Kota Semarang Tahun 2010? 1.3.2.8 Untuk mengetahui hubungan antara rapat koordinasi tingkat Puskesmas dengan implementasi MTBS di Puskesmas di Kota Semarang Tahun 2010? 1.3.2.9 Untuk mengetahui hubungan antara sistem pencatatan/ pelaporan pelaksanaan MTBS dengan implementasi MTBS di Puskesmas di Kota Semarang Tahun 2010? 1.3.2.10 Untuk mengetahui hubungan antara pelaksanaan supervisi MTBS oleh Dinas Kesehatan terhadap pelaksanaan MTBS dengan implementasi MTBS di Puskesmas di Kota Semarang Tahun 2010? 1.3.2.11 Untuk mengetahui hubungan antara pelaksanaan evaluasi (penilaian) MTBS oleh kepala Puskesmas terhadap pelaksanaan

9

MTBS dengan implementasi MTBS di Puskesmas di Kota Semarang Tahun 2010? 1.4 Manfaat Penelitian Peneitian ini diharapkan akan memberikan manfaat bagi berbagai pihak antara lain : 1.

Bagi Peneliti Sebagai latihan dalam memecahkan masalah-masalah pelayanan kesehatan khususnya yang berkaitan dengan penerapan MTBS dalam mengintegrasikan berbagai teori dan konsep yang didapatkan dalam perkuliahan ke dalam aplikasi penelitian ilmiah., dan hasil penelitian diharapkan dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi peneliti dalam memahami permasalahan-permasalahan yang ada di puskesmas.

2.

Bagi Puskesmas Dapat dijadikan sebagai salah satu bahan acuan guna meningkatkan kinerja petugas dalam memberikan pelayanan bagi masyarakat, dan sebagai bahan pertimbangan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan terhadap balita yang sakit.

3.

Bagi Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat Penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan referensi untuk diadakan penelitian selanjutnya mengenai MTBS di wilayah yang lain.

10

1.5 Keaslian Penelitian Tabel 1.1 Keaslian Penelitian N No.

Judul/ Peneliti/ Lokasi Penelitian

Tahun

Desain

Variabel

Hasil

(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

1.

Hubungan Penerapan 2008 Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) diare dengan kesembuhan diare akut pada balita di Puskesmas I Kartasura/ Rosyidah Munawarah/ di Puskesmas I Kartasura

Mengguna kan desain penelitian prospektif dengan pendekatan kuantitatif dengan mengukur Chi Square untuk mengukur nilai p

Variabel bebas : Penerapan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) diare

2.

Evaluasi Pelaksanaan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di Puskesmas di Kabupaten Tanah Laut Propinsi Kalimantan Selatan/ Hari Pratono/ di Kabupaten Tanah Laut Propinsi Kalimantan Selatan

2007

Deskriptif dengan pendekatan studi kasus

Menilai pelaksanaan MTBS dengan pengamatan langsung untuk mengetahui alur pelayanan dan keterpaduan pelayanan. kepatuhan

Alur pelayanan praktik MTBS sudah mengikuti pola pemeriksaan dengan pelayanan yang terintegrasi yang melibatkan tim yang dikelola oleh seorang case manager serta dengan intervensi yang terintegrasi meliputi pengobatan,

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

(1)

Tidak ada hubungan antara penerapan MTBS diare dengan kesembuhan diare akut pada balita di Puskesmas I Kartasura. didapatkan balita yang Variabel terikat : tidak sembuh kesembuhan berdasarkan MTBS diare akut pada dengan rencana terapi A balita untuk diare akut tanpa dehidrasi sebesar 13,33% dan balita yang tidak sembuh dengan rencana terapi B untuk diare akut dehidrasi ringan sebesar 50%, tetapi tidak bermakna secara statistik. dan hanya 6,25% balita dengan diare akut yang tidak sembuh dengan terapi tanpa MTBS.

11

Petugas Dinilai dengan Membandingkan dengan Cheklis Berdasarkan Buku Bagan MTBS.

Promosi dan pencegahan. Kepatuhan terhadap standar MTBS cukup dengan nilai 67%. Praktik MTBS ini mendapat dukungan manajemen dari Dinas Kesehatan Kabupaten Tanah Laut. Peran seorang case manager sebagai penanggungjawab pelaksanaan MTBS yang didukung oleh manajemen Puskesmas menjadikan praktik Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) tetap terjaga kelangsungannya.

12

Sedangkan perbedaan penelitian yang akan dilakukan dengan penelitian sebelumnya dapat dilihat pada matrik dibawah ini:

Tabel 1.2 Matrik Perbedaan Penelitian No (1) 1

2 3

4

Pembeda (2) Judul

Rosyidah Munawarah (3)

Hubungan Penerapan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) Diare dengan Kesembuhan Diare Akut Pada Balita di Puskesmas I Kartasura Tahun dan 2008, Puskesmas I Tempat Karatasura Penelitian Rancangan Desain penelitian Penelitian prospektif dengan pendekatan kuatitatif dengan mengukur Chi Square untuk mengukur nilai p Variabel  Variabel bebas : Penelitian Penerapan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) diare  Variabel terikat : Kesembuhan diare akut pada balita

Hari Pratono (4 )

Agita Maris Nurhidayati (5)

Evaluasi Pelaksanaan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di Puskesmas di Kabupaten Tanah Laut Propinsi Kalimantan Selatan

Faktor yang Berhubungan dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di Puskesmas di Kota Semarang

2007, di Kabupaten Tanah Laut Propinsi Kalimantan Selatan Deskriptif dengan pendekatan studi kasus

2010, di Puskesmas di Kota Semarang Survey explanatory dengan pendekatann crosss sectional

 Variabel bebas :  Variabel Bebas : Menilai Pelaksanaan 1. Pengetahuan petugas MTBS dengan pemegang program Pengamatan Langsung MTBS. untuk Mengetahui 2. Sikap petugas Alur pelayanan dan pemegang program Keterpaduan MTBS. Pelayanan. 3. Motivasi kerja  Variabel terikat : petugas pemegang Kepatuhan petugas program MTBS. dinilai dengan 4. Pelatihan MTBS membandingkan yang pernah diiukuti dengan cheklis petugas. berdasarkan buku 5. Kepemimpinan bagan MTBS. kepala puskesmas. 6. Ketersediaan peralatan yang digunakan dalam pemeriksaan MTBS. 7. Alokasi dana dari dinkes untuk kegiatan MTBS.

13

(1)

(2)

(3)

(4)

8. Rapat koordinasi tingkat puskesmas (5) 9. Sistem pencatatan/ pelaporan pelaksanaan MTBS. 10. Pelaksanaan supervisi MTBS oleh dinkes terhadap pelaksanaan MTBS. 11. Pelaksanaan evaluasi (penilaian) MTBS oleh kepala puskesmas terhadap pelaksanaan MTBS.  Variabel Terikat : Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS)

1.6 Ruang Lingkup Penelitian 1.6.1 Ruang lingkup tempat Lokasi penelitian dilaksanakan di seluruh puskesmas di Kota Semarang yang berjumlah 37 puskesmas. 1.6.2 Ruang lingkup waktu Pelaksanaan penelitian dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan September 2011. 1.6.3 Ruang lingkup materi Materi yang dipaparkan adalah materi yang berkenaan dengan bidang Ilmu Kesehatan Masyarakat yang mencakup tentang Administrasi Kebijakan Kesehatan (AKK), terkait dengan masalah

kebijakan

pemerintah mengenai penerapan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di pelayanan kesehatan dasar.

BAB II LANDASAN TEORI

2.1 Landasan Teori 2.1.1 Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) 2.1.1.1 Pengertian MTBS Manajemen Terpadu Balita Sakit merupakan suatu pendekatan keterpaduan dalam tatalaksana balita sakit yang datang berobat ke fasilitas rawat jalan pelayanan kesehatan dasar yang meliputi upaya kuratif terhadap penyakit pneumonia, diare, campak, malaria, infeksi telinga, malnutrisi dan upaya promotif dan preventif yang meliputi imunisasi, pemberian vitamin A dan konseling pemberian makan yang bertujuan untuk menurunkan angka kematian bayi dan anak balita dan menekan morbiditas karena penyakit tersebut (Departemen Kesehatan RI, 2006f: 2). Manjemen Terpadu Balita Sakit merupakan suatu pendekatan keterpaduan dalam tatalaksana balita sakit. MTBS bukan merupakan program vertikal.

Manajemen

Terpadu

Balita

Sakit

atau

IMCI (Integrated

Management of Childhood Illness) di Indonesia merupakan bagian dari primary health care. Oleh karena itu sebagai focal point bagi kegiatan ini adalah Direktorat Bina Kesehatan Keluarga, Direktorat Jenderal Binkesmas, Depkes RI yang dalam hal ini adalah pada Subdirektorat Bina Kesehatan Bayi dan Anak Prasekolah. Langkah-langkah yang diterapkan dalam MTBS, jelas bahwa keterkaitan peran dan tanggung jawab antar petugas kesehatan di

14

15

puskesmas perlu memahami MTBS dan perannya untuk memperlancar penerapan MTBS. Persiapan yang perlu dilakukan oleh setiap puskesmas yang akan mulai menerapkan MTBS dalam pelayanan pada balita sakit meliputi diseminasi informasi MTBS kepada seluruh petugas puskesmas, rencana penerapan MTBS di puskesmas, rencana penyiapan obat dan alat yang akan digunakan dalam pelayanan MTBS, serta pencatatan dan pelaporan hasil pelayanan MTBS di puskesmas. Kegiatan diseminasi informasi MTBS kepada seluruh petugas puskesmas dilaksanakan dalam suatu pertemuan yang dihadiri oleh semua petugas yang meliputi perawat, bidan, petugas gizi, petugas imunisasi, petugas obat, pengelola SP2TP, pengelola program P2M, petugas loket dan lain-lain. Diseminasi informasi dilaksanakan oleh petugas yang lebih dilatih MTBS, bila perlu dihadiri oleh supervisor dari Dinas Kesehatan kabupaten/ kota (Departemen Kesehatan RI, 2006f: 2). Manajemen

Terpadu

Balita

Sakit

merupakan

suatu

bentuk

pengelolaan balita yang mengalami sakit, yang bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan anak serta kualitas pelayanan kesehatan anak. Bentuk ini sebagai salah satu cara yang efektif untuk menurunkan angka kematian dan kesakitan pada bayi dan anak, mengingat bentuk pengelolaan ini dapat dilakukan pada pelayanan tingkat pertama seperti di unit rawat jalan, puskesmas, polindes dan lain-lain. Bentuk manajemen ini dilaksanakan secara terpadu tidak terpisah, dikatakan terpadu karena bentuk pengelolaannya dilaksanakan secara bersama dan penanganan kasus tidak terpisah-pisah yang meliputi manajemen anak sakit, pemberian nutrisi, pemberian imunisasi,

16

pencegahan penyakit sereta promosi untuk tumbuh kembang (Aziz Alimul Hidayat, 2008: 142). MTBS merupakan sistem untuk mengklasifikasikan penyakit dan pemberian pengobatan atau tindakan dengan panduan bagan alur MTBS. Bagan alur MTBS memandu petugas kesehatan untuk mengenali gejala-gejala penyakit balita, mengklasifikasikan penyakit tersebut, dan memberikan pengobatan atau tindakan yang diperlukan. Intervensi inti dari MTBS adalah keterpaduan tatalaksana kasus dari 5 penyebab utama dari kematian balita, antara lain ISPA, diare, campak, malaria, dan malnutrisi, serta kondisi yang biasa mengikutinya. Pada setiap negara, kombinasi intervensi yang ada pada MTBS dapat dimodifikasi untuk mencakup kondisi penting lain yang sudah mempunyai cara pengobatan dan/ atau cara pencegahan yang efektif. Intervensi utama dari strategi MTBS global bisa berubah, tergantung adanya data baru hasil penelitian tentang penyebab utama penyakit anak. Selama ini upaya menurunkan angka kematian bayi (AKB) dan balita (AKBa) di tingkat pelayanan kesehatan dasar disamping menekankan pencegahan primer melalui upaya-upaya yang bersifat promotif dan preventif, telah memanfaatkan upaya pencegahan sekunder termasuk upaya kuratif dan rehabilitatif di unit rawat jalan. Pendekatan program perawatan balita sakit di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, yang dipakai selama ini adalah program intervensi secara terpisah untuk masing-masing penyakit. Program intervensi secara vertikal, antara lain pada program pemberantasan penyakit infeksi

17

saluran pernafasan akut (ISPA), program pemberantasan penyakit diare, program pemberantasan penyakit malaria, dan penanggulangan kekurangan gizi. Penanganan yang terpisah seperti ini akan menimbulkan masalah kehilangan peluang dan putus pengobatan pada pasien yang menderita penyakit lain selain penyakit yang dikeluhkan dengan gejala yang sama atau hampir sama. Untuk mengatasi kelemahan program atau metode intervensi tersebut, pada tahun 1994 WHO dan UNICEF mengembangkan suatu paket yang memadukan pelayanan terhadap balita sakit dengan cara memadukan intervensi yang terpisah tersebut menjadi satu paket tunggal yang disebut Integrated Management of Chilhood Ilness (IMCI). IMCI yang oleh WHO dikembangkan di negara-negara Afrika dan India telah berhasil memberikan keterampilan terhadap tenaga kesehatan yang bertugas di pelayanan kesehatan dasar. Keterampilan tersebut antara lain meliputi bagaimana cara melakukan klasifikasi penyakit, menilai status gizi, melakukan pengobatan secara benar, melakukan proses rujukan dengan cepat dan benar dan juga dapat menjadikan pengurangan biaya pada pelayanan kesehatan. Pada tahun 1997 IMCI mulai dikembangkan di Indonesia dengan nama Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) yaitu suatu program yang bersifat menyeluruh dalam menangani balita sakit yang datang ke pelayanan kesehatan dasar. Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) menangani balita sakit menggunakan suatu algoritme, program ini dapat mengklasifikasi penyakit-penyakit secara tepat, mendeteksi semua penyakit yang diderita oleh balita sakit, melakukan rujukan secara cepat apabila diperlukan, melakukan penilaian status gizi dan memberikan

18

imunisasi kepada balita yang membutuhkan. Selain itu, bagi ibu balita juga diberikan bimbingan mengenai tata cara memberikan obat kepada balitanya di rumah, pemberian nasihat mengenai makanan yang seharusnya diberikan kepada balita tersebut dan memberi tahu kapan harus kembali ataupun segera kembali untuk mendapat pelayanan tindak lanjut, sehingga Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) merupakan paket komprehensif yang meliputi aspek preventif, promotif, kuratif, maupun rehabilitatif yang dilaksanakan pada pelayanan kesehatan dasar. 2.1.1.2 Tujuan MTBS MTBS bertujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan di unit rawat jalan fasilitas kesehatan dasar, yang pada gilirannya diharapkan mempercepat penurunan angka kematian dan kesakitan bayi dan balita. 2.1.1.3 Strategi MTBS MTBS merupakan kombinasi perbaikan tatalaksana balita sakit (kuratif) dengan aspek nutrisi, imunisasi (preventif dan promotif). Penyakit anak dipilih yang merupakan penyebab utama kematian dan kesakitan bayi dan anak balita. Diantaranya strategi seperti berikut ini : 1. Kuratif meliputi a. Pneumonia

e. DBD

b. Diare

f. Masalah telinga

c. Malaria

g. Masalah gizi

d. Campak 2. Promotif dan preventif

19

a. Upaya mengurai missed opportunities imunisasi b. Konseling gizi c. Konseling pemberian ASI d. Suplemen Vitamin A Menurut WHO dalam Depkes RI (2006a) implementasi strategi MTBS di seluruh dunia mengikuti tiga komponen, yaitu: memperbaiki keterampilan petugas kesehatan lewat pembekalan tentang petunjuk MTBS dan kegiatan promosi, perbaikan sistem kesehatan yang dibutuhkan untuk pengelolaan anak sakit dengan efektif serta perbaikan kesehatan keluarga dan masyarakat. Strategi utama dari MTBS adalah pengelolaan masalah penyakit anak di negara berkembang dengan fokus penting pada pencegahan kematian anak. Strategi tersebut meliputi intervensi pada kegiatan preventif dan kuratif dengan tujuan untuk memperbaiki pelayanan di sarana pelayanan kesehatan dan pelayanan rumah. Implementasi MTBS juga berguna untuk memperbaiki keterampilan petugas kesehatan pada tingkat pertama pelayanan kesehatan juga termasuk kemampuan berkomunikasi dan konseling sehingga diharapkan kualitas layanan kesehatan pada anak juga dapat diperbaiki serta komunikasi yang baik pada orang tua. Implementasi MTBS merupakan gabungan antara tatalaksana Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) serta pemecahan masalahnya pada tingkat distrik dan sarana pelayanan kesehatan sekitarnya, petugas kesehatan serta anggota masyarakat yang dilayani. 2.1.1.4 Pelaksana Manajemen Terpadu Balita Sakit

20

Tenaga kesehatan di unit rawat jalan di fasilitas kesehatan tingkat dasar meliputi : a. Paramedis (bidan, perawat) b. Dokter puskesmas (karena merupakan supervisor dari paramedis) 2.1.1.5 Pelaksanaan MTBS 1. Pelaksanaan Saat Pelatihan Para fasilitator dari Dinas Kesehatan mengundang tenaga ahli untuk melatih peserta (dokter puskesmas, perawat dan bidan) dilatih selama 48 jam dengan ketentuan 4 hari teori, 2 hari praktek di Puskesmas dan RSUD di bangsal anak dan perinatologi. Dalam pelaksanaan praktek langsung dengan pasien dengan menggunakan formulir MTBS dan MTBM serta bagan, diharapkan dalam pelaksanaan sesuai dengan bagan dan alur MTBS sebagai bahan ajar acuan dalam pelatihan tersebut setiap peserta diberikan modul sebanyak 7 buah dengan materi pada masing-masing modul sebagai berikut: Modul I memuat tentang pengantar MTBS, modul II memuat tentang penilaian dan klasifikasi anak sakit umur 2 bulan sampai 5 tahun, modul III memuat tentang penentuan tindakan dan pemberian obat, modul IV memuat tentang konseling bagi ibu, modul V memuat tentang tindak lanjut yang perlu diberikan, modul VI memuat tentang manajeman terpadu bayi muda umur 1 hari sampai 2 bulan, modul VII memuat tentang pedoman penerapan MTBS di Puskesmas. 2. Pelaksanaan Di Puskesmas

21

Pelaksanaan MTBS di puskesmas dilakukan setiap hari, tempat pelaksanaannya disediakan ruangan khusus untuk MTBS dimasing-masing puskesmas. Setelah diadakan pelatihan dari dokter puskesmas, perawat dan bidan maka akan diadakan kalakarya yang melibatkan seluruh lapisan organisasi puskesmas mulai dari kepala puskesmas sampai staf walaupun tidak semua nantinya sebagai pelaksana MTBS. Kala karya ini bertujuan untuk menyatukan persepsi, visi dan misi dari semua lapisan organisasi puskesmas yang ada tentang MTBS. 2.1.1.6 Indikator Keberhasilan Program MTBS Indikator prioritas MTBS yang digunakan dalam fasilias pelayanan dasar meliputi keterampilan petugas kesehatan, dukungan sistem kesehatan dalam menjalankan MTBS dan kepuasan ibu balita atau pendamping balita (Departemen Kesehatan RI, 2006a). Sedangkan Indikator keberhasilan MTBS adalah angka mortalitas dan morbiditas anak balita menurun, juga cakupan neonatal dalam kunjungan rumah meningkat. 2.1.1.7 Sasaran Manajeman Terpadu Balita Sakit Menurut Departemen Kesehatan RI (2006a), sasaran dari Manajemen Terpadu Balita Sakit, meliputi : 1. Bayi muda umur 1 minggu - 2 bulan 2. Anak umur 2 bulan - 5 tahun 2.1.1.8 Langkah-langkah dalam Melaksanakan MTBS

22

Pada Manajemen Terpadu Balita Sakit ini model pengelolaannya dapat meliputi : 1. Penilaian adanya tanda dan gejala dari suatu penyakit dengan cara bertanya, melihat dan mendengar, meraba dengan kata lain dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan fisik secara dasar dan anamnesa. 2. Membuat klasifikasi, dengan menentukan tingkat kegawatan dari suatu penyakit yang digunakan untuk menentukan tindakan bukan diagnosis khusus penyakit. 3. Menentukan tindakan dan mengobati, yakni memberikan tindakan pengobatan di fasilitas kesehatan, membuat resep serta mengajari ibu tentang obat serta tindakan yang harus dilakukan di rumah. 4. Memberikan konseling dengan menilai cara pemberian makan dan kapan anak harus kembali ke fasilitas pelayanan kesehatan. 5. Memberikan pelayanan tindak lanjut pada kunjungan ulang.

2.1.1.9 Penyesuaian Alur Pelayanan MTBS Salah satu konsekuensi penerapan MTBS di puskesmas adalah waktu pelayanan menjadi lebih lama. Untuk mengurangi waktu tunggu bagi balita sakit, perlu dilakukan penyesuaian alur pelayanan. Khusus untuk pelayananan bayi muda (sehat maupun sakit) dapat dilaksanakan di unit rawat jalan puskesmas ataupun pustu, akan tetapi diutamakan dikerjakan pada saat kunjungan neonatal oleh para bidan di desa.

23

Penyesuaian alur pelayanan balita sakit disusun dengan memahami langkah-langkah pelayanan yang diterima oleh balita sakit. Langkah-langkah tersebut adalah sejak penderita datang hingga mendapatkan pelayanan yang lengkap meliputi : 1. Pendaftaran 2. Pemeriksaan dan konseling 3. Tindakan yang diperlukan (di Klinik) 4. Pemberian obat, atau 5. Rujukan, bila diperlukan 2.1.1.10 Penatalaksanaan Balita Sakit dengan Pendekatan MTBS Seorang balita sakit dapat ditangani dengan pendekatan MTBS oleh petugas kesehatan yang telah dilatih. Petugas memakai tool yang disebut algoritma MTBS untuk melakukan penilaian atau pemeriksaan, yakni dengan cara : menanyakan kepada orang tua/ wali, apa saja keluhan-keluhan/ masalah anak kemudian memeriksa dengan cara 'lihat dan dengar' atau 'lihat dan raba'. Setelah itu petugas akan mengklasifikasikan semua gejala berdasarkan hasil tanya-jawab dan pemeriksaan. Berdasarkan hasil klasifikasi, petugas akan menentukan jenis tindakan/ pengobatan, misalnya anak dengan klasifikasi pneumonia berat atau penyakit sangat berat akan dirujuk ke dokter puskesmas, anak yang imunisasinya belum lengkap akan dilengkapi, anak dengan masalah gizi akan dirujuk ke ruang konsultasi gizi, dst. Gambaran tentang begitu sistematis dan terintegrasinya pendekatan MTBS dapat dilihat pada item di bawah ini tentang hal-hal yang diperiksa

24

pada pemeriksaan dengan pendekatan MTBS. Ketika anak sakit datang ke ruang pemeriksaan, petugas kesehatan akan menanyakan kepada orang tua/ wali secara berurutan, dimulai dengan memeriksa tanda-tanda bahaya umum seperti : a. Apakah anak bisa minum/menyusu? b. Apakah anak selalu memuntahkan semuanya? c. Apakah

anak

menderita

kejang?

Kemudian

petugas

akan

melihat/memeriksa apakah anak tampak letargis/tidak sadar? Setelah itu petugas kesehatan akan menanyakan keluhan utama lain: a. Apakah anak menderita batuk atau sukar bernafas? b. Apakah anak menderita diare? c. Apakah anak demam? d. Apakah anak mempunyai masalah telinga? e. Memeriksa status gizi f. Memeriksa anemia g. Memeriksa status imunisasi h. Memeriksa pemberian vitamin A i.

Menilai masalah/keluhan-keluhan lain Berdasarkan hasil penilaian hal-hal tersebut di atas, petugas akan

mengklasifikasi keluhan/penyakit anak, setelah itu melakukan langkahlangkah

tindakan/pengobatan

yang

telah

ditetapkan

penilaian/klasifikasi. Tindakan yang dilakukan antara lain : a. Mengajari ibu cara pemberian obat oral di rumah

dalam

25

b. Mengajari ibu cara mengobati infeksi lokal di rumah c. Menjelaskan kepada ibu tentang aturan-aturan perawatan anak sakit di rumah, misal aturan penanganan diare di rumah d. Memberikan konseling bagi ibu, misal: anjuran pemberian makanan selama anak sakit maupun dalam keadaan sehat e. Menasihati ibu kapan harus kembali kepada petugas kesehatan 2.1.1.11 Praktik MTBS Di Puskesmas Pada pelayanan MTBS di puskesmas, petugas puskesmas ikut berperan dalam menentukan kelancaran dan pelaksanaan langkah-langkah dari MTBS tersebut.

Oleh karena itu seluruh petugas puskesmas perlu

memahami MTBS dan perannya untuk memperlancar penerapan MTBS. Petugas puskesmas tersebut, antara lain: bidan, perawat, petugas gizi, petugas imunisasi, petugas obat, pengelola SP2TP, maupun petugas loket. Pada pelaksanaannya, petugas memiliki peran dan tanggung jawab masing-masing dan disesuaikan dengan jumlah kunjungan balita yang sakit dan juga petugas kesehatan yang ada. Untuk dapat melaksanakan peran dan tanggung jawabnya maka, petugas harus mengetahui tentang MTBS tersebut. Hal ini berkaitan dengan perilaku dari petugas tersebut (Departemen Kesehatan RI, 2006f: 2). Pemeriksaan balita sakit di puskesmas ditangani oleh tim yang dipimpin oleh pengelola MTBS atau pemegang program MTBS yang berfungsi sebagai case manager. Semua kegiatan pemeriksaan dan konseling tersebut dilakukan di ruang khusus MTBS. Case manager di sini adalah bidan

26

yang telah dilatih MTBS yang bertanggung jawab terhadap kelangsungan kegiatan MTBS. 1. Fungsi dan Kedudukan Case Manager. Kedudukan case manager tidak ada dalam struktur organisasi puskesmas. Pemilihannya oleh kepala puskesmas berdasarkan pertimbangan pernah mengikuti pelatihan dan sanggup untuk mengelola MTBS. Dalam keseharian pengelola bertanggung jawab kepada koordinator KIA puskesmas. Case manager bertanggung jawab melakukan pemeriksaan dari penilaian membuat klasifikasi serta mengambil tindakan serta melakukan konseling dengan dipandu buku/ bagan dan tercatat dalam formulir pemeriksaan. Case manager bertanggung jawab mengelola kasus balita sakit dari penilaian, membuat klasifikasi, dan menentukan tindakan, serta case manager menentukan konseling yang diperlukan oleh pasien. Apabila memerlukan konseling gizi, kesehatan lingkungan (kesling), serta imunisasi, petugas mengirim ke petugas yang dibutuhkan dan pasien akan disuruh kembali kepada case manager. Sesudah mendapatkan konseling baru dilakukan penulisan resep serta penjelasan agar ibu/ pengantar balita mematuhi perintah yang diberikan dalam pengobatan di rumah. Konseling mengenai cara pemberian obat, dosis, lama pemberian, waktu pemberian, cara pemberian dan lain-lain menjadi hal yang rutin dilakukan. Hasil kegiatan pemeriksaan dicatat dalam register kunjungan, kemudian direkap setiap akhir bulan untuk laporan kegiatan MTBS kepada Dinas Kesehatan.

27

Keberadaan tim dalam penanganan balita sakit sangat mendukung praktik MTBS. Tim yang dipimpin oleh seorang manajer kasus (case manager) yaitu seorang bidan yang bertanggungjawab kepada bidan koordinator KIA. Apabila ada masalah yang berkenaan dengan MTBS bidan koordinator mengkonsultasikan kepada kepala puskesmas. Manajer kasus mendistribusikan tugas serta pekerjaan kepada anggota tim lainnya yaitu petugas gizi untuk menangani konseling gizi, petugas imunisasi untuk pemberian imunisasi yang dibutuhkan anak pada saat pemeriksaan serta petugas kesehatan lingkungan yang menangani penyuluhan berkenaan dengan penyakit yang diakibatkan oleh perilaku dan lingkungan. Kejelasan tugas dalam pembagian kerja menyebabkan penanganan kasus lebih efektif. Masing-masing petugas bisa mengerti pekerjaan dan tugas-tugas yang lain sehingga ketika petugas lain yang diperlukan tidak ada, petugas yang ada bisa mengambil alih. Sifat yang fleksibel antar anggota tim inilah yang membantu dalam praktik MTBS sehingga pekerjaan terus berlangsung walaupun ada anggota tim yang tidak ada. 2.1.2 Pelayanan Kesehatan 2.1.2.1 Konsep Pelayanan Kesehatan Pelayanan kesehatan menurut Levey dan Loomba (1973) dalam Azrul Azwar (1996) adalah setiap upaya yang diselenggarakan sendiri atau secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan perseorangan, keluarga, kelompok dan ataupun masyarakat.

28

Pelayanan kesehatan adalah segala kegiatan yang secara langsung atau tidak langsung berupaya untuk menghasilkan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan atau dituntut oleh masyarakat untuk mengatasi masalah kesehatannya (Budioro B, 1997: 117). Sedangkan menurut (Soekidjo Notoatmodjo, 2005: 5), pelayanan kesehatan adalah tempat atau sarana yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan. Menurut Djoko Wijono (2000: 204), pelayanan kesehatan adalah suatu proses kegiatan pemberian jasa atau pelayanan di bidang kesehatan yang hasilnya dapat berupa hasil pelayanan yang bermutu, kurang bermutu, atau tidak bermutu yang tergantung dari proses pelaksanaan kegiatan pelayanan itu sendiri, sumber daya yang berkaitan dengan kegiatan pelayanan, dan faktor lingkungan yang mempengaruhi, serta manajemen mutu pelayanan. Baik atau tidaknya keluaran (output) suatu pelayanan kesehatan sangat dipengaruhi oleh masukan (input), proses (process), dan lingkungan (environment), maka mutu pelayanan kesehatan ada kaitannya dengan unsurunsur pokok yaitu sebagai berikut (Azrul Azwar, 1996: 46) : 1. Unsur Masukan Yang dimaksud dengan unsur masukan adalah semua hal yang diperlukan untuk terselenggaranya pelayanan kesehatan. Unsur masukan ini banyak macamnya, diantaranya meliputi : tenaga (man) yaitu petugas kesehatan, dana (money), manajemen, serta sarana (material) yang mendukung kelancaran kegiatan. Secara umum disebutkan apabila tenaga dan

29

sarana

(kuantitas dan kualitas) tidak sesuai dengan standar yang telah

ditetapkan (standard of personnels and facilities), serta jika dana yang tersedia tidak sesuai kebutuhan, maka sulit diharapkan baiknya mutu pelayanan.

2. Unsur Proses Yang dimaksud dengan unsur proses adalah semua tindakan yang dilakukan pada pelayanan kesehatan. Tindakan tersebut secara umum dapat dibedakan dua macam yakni tindakan medis (medical procedure) yang bersifat penyembuhan penyakit dan tindakan non-medis (non-medical procedures) yang meliputi pelayanan administrasi, dan pelayanan apotek. Secara umum disebutkan apabila kedua tindakan ini tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan (standard of conduct), maka sulit diharapkan baiknya mutu pelayanan. 3. Unsur Lingkungan Yang dimaksud unsur lingkungan adalah keadaan sekitar yang mempengaruhi pelayanan kesehatan. Untuk suatu institusi kesehatan, keadaan sekiar yang terpenting adalah kebijakan (policy), organisasi (organization) dan manajemen (management). Secara umum disebutkan apabila kebijakan, organisasi, dan manajemen tersebut tidak sesuai dengan standar atau tidak bersifat mendukung, maka sulit diharapkan baiknya mutu pelayanan kesehatan. 4. Unsur Keluaran Yang dimaksud dengan unsur keluaran adalah yang menunjuk pada penampilan pelayanan kesehatan yang diselenggarakan (performance).

30

Penampilan yang dimaksudkan disini banyak macamnya. Secara umum dapat dibedakan atas dua macam. Pertama, penampilan aspek medis (medical performance).

Kedua

penampilan

aspek

non-medis

(non-medical

performance). Secara umum disebutkan apabila kedua penampilan ini tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan (standard of performance) maka berarti sulit diharapkan baiknya pelayanan kesehatan yang bermutu (Azrul Azwar, 1996). Pada output ini yang dimaksud adalah sistem Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) dengan tujuan untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan pada balita yang sedang sakit. Dengan diterapkannya pendekatan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di puskesmas diharapkan dapat membantu mempermudah dalam proses anamnesis, pemeriksaan, serta diagnosis penyakit pada balita. 2.1.2.2 Macam Pelayanan Kesehatan Menurut pendapat Hodgetts dan Cascio (1983) dalam Azrul Azwar (1996) bentuk dan jenis pelayanan kesehatan adalah : a. Pelayanan Kedokteran Pelayanan kesehatan yang termasuk dalam kelompok pelayanan kedokteran ( medical service) ditandai dengan cara pengorganisasian yang dapat bersifat sendiri (solo practice) atau secara bersama-sama dalam satu organisasi (institution), tujuan utamanya untuk menyembuhkan penyakit dan memelihara kesehatan serta sasarannya terutama untuk perseorangan dan keluarga. b. Pelayanan Kesehatan Masyarakat

31

Pelayanan kesehatan yang termasuk dalam kelompok pelayanan kesehatan masyarakat (public health services) ditandai dengan cara pengorganisasian yang umumnya secara bersama-sama dalam satu organisasi, tujuan utamanya untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah penyakit. Sasarannya terutama untuk kelompok dan masyarakat. Menurut Azrul Azwar (1996: 38) pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada masyarakat harus memiliki berbagai persyaratan pokok, antara lain :

1. Tersedia dan berkesinambungan (continous and available) Pelayaan kesehatan yang baik adalah pelayanan kesehatan tersebut harus tersedia di masyarakat (available) serta bersifat berkesinambungan (continous), artinya semua jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan oleh masyarakat tidak sulit ditemukan, serta keberadaannya dalam masyarakat adalah pada setiap saat dibutuhkan. 2. Dapat diterima dan wajar (acceptable) Pelayanan kesehatan tersebut tidak bertentangan dengan keyakinan dan kepercayaan masyarakat. Pelayanan kesehatan yang bertentangan dengan adat istiadat, kebudayaan, keyakinan, dan kepercayaan masyarakat, serta bersifat tidak wajar, bukanlah suatu pelayanan kesehatan yang baik. 3. Mudah dicapai (accessible) Pengertian ketercapaian yang dimaksudkan di sini adalah terutama dari sudut lokasi. Dengan demikian untuk dapat mewujudkan pelayanan kesehatan yang baik, maka pengaturan distribusi sarana kesehatan menjadi

32

sangat penting. Pelayanan kesehatan yang terlalu terkonsentrasi di daerah perkotaan saja, dan sementara itu tidak ditemukan di daerah pedesaan, bukanlah pelayanan kesehatan yang baik. 4. Mudah dijangkau (affordable) Pengertian keterjangkauan yang dimaksud disini adalah dari sudut biaya. Untuk dapat mewujudkan keadaan yang seperti ini harus dapat diupayakan biaya pelayanan kesehatan tersebut sesuai dengan kemampuan ekonomi masyarakat. Pelayanan kesehatan yang mahal dan karena itu hanya mungkin dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat saja, bukanlah pelayanan kesehatan yang baik. 5. Bermutu (certifiable) Pengertian mutu yang dimaksudkan di sini adalah yang menunjuk pada tingkat kesempurnaan pelayanan kesehatan yang diselenggarakan, yang di satu pihak dapat memuaskan para pemakai jasa pelayanan, dan dipihak lain tata cara penyelenggaraannya sesuai dengan kode etik serta standar yang telah ditetapkan. 2.1.3 Standar Pelayanan Kesehatan Menurut Imbalo S. Pohan (2003: 32) standar pelayanan kesehatan adalah suatu pernyataan tentang mutu yang diharapkan yaitu yang menyangkut masukan, proses, dan keluaran atau outcome system pelayanan kesehatan. Sedangkan di kalangan profesi pelayanan kesehatan sendiri terdapat berbagai definisi tentang standar pelayanan kesehatan antara lain : 1. Petunjuk Pelaksanaan

33

Pernyataan dari para ahli yang merupakan rekomendasi untuk dijadikan suatu prosedur. Petunjuk pelaksanaan digunakan sebagai referensi teknis yang luwes dan menjelaskan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh pemberi pelayanan kesehatan dalam kondisi klinis tertentu. 2. Protokol Ketentuan rinci dari pelaksanaan suatu proses atau pelaksanaan suatu kondisi klinis. 3. Standar Prosedur Operasional (SPO) Pernyataan tentang harapan bagaimana petugas kesehatan melakukan suatu kegiatan yang bersifat administratif.

4. Spesifikasi Penjelasan rinci dari karakteristik atau ukuran dari suatu produk pelayanan kesehatan atau keluaran (outcome). 2.1.4 Indikator Pelayanan Kesehatan Pada dasarnya indikator mutu pelayanan kesehatan dibagi menjadi 2 macam, yaitu : 1. Indikator Subyektif Indikator ini tergantung dari pendapatan atau pandangan pemakai jasa pelayanan kesehatan. Pada umumnya indikator ini berupa keluhan atau ketidakpuasan terhadap pelayanan kesehatan yang diberikan. 2. Indikator Obyektif

34

Indikator ini berhubungan erat dengan asuhan keperawatan, karena dalam hal ini sangat berkaitan erat dengan kehendak atau keinginan pemenuhan kebutuhan dan keinginan kelompok atau perseorangan dari konsumen. Maka tolok ukurnya adalah profesional, yaitu standar praktek asuhan keperawatan yang telah ditetapkan. Menurut Lori Di Prete dalam Imbalo S. Pohan (2003: 19) terdapat dimensi mutu pelayanan kesehatan yaitu : 1. Kompetensi Teknik Kompetensi teknik menyangkut keterampilan, kemampuan, dan penampilan atau kinerja pemberi pelayanan kesehatan. 2. Keterjangkauan atau Akses terhadap Pelayanan Kesehatan Pelayanan kesehatan itu harus dicapai oleh masyarakat, tidak terhalang oleh keadaan geografis, sosial, ekonomi, organisasi dan bahasa. 3. Efektifitas Pelayanan Kesehatan Pelayanan kesehatan itu harus efektif artinya pelayanan kesehatan harus mampu mengobati atau mengurangi keluhan yang ada, mencegah terjadinya penyakit serta berkembangnya dan atau meluasnya penyakit yang ada. 4. Efisiensi Pelayanan Kesehatan Sumber daya kesehatan itu sangat terbatas, oleh sebab itu dimensi efisiensi ini sangat penting dalam pelayanan kesehatan. 5. Kesinambungan Pelayanan Kesehatan

35

Artinya pasien harus dapat dilayani sesuai kebutuhannya, termasuk rujukan jika diperlukan tanpa mengulangi prosedur diagnosis dan terapi yang tidak perlu. 6. Keamanan Dimensi keamanan pelayanan kesehatan itu harus aman, baik bagi pasien, bagi pemberi pelayanan kesehatan atau masyarakat sekitarnya. Pelayanan kesehatan yang bermutu harus aman dari resiko cedera, infeksi, efek samping, atau bahaya lain yang ditimbulkan oleh pelayanan kesehatan itu sendiri. 7. Kenyamanan Kenyamanan

tidak berhubungan

langsung dengan

efektivitas

pelayanan kesehatan, namun mempengaruhi kepuasan pasien. Sehingga mendorong pasien untuk datang berobat kembali ke tempat tersebut. Kenyamanan juga terkait dengan penampilan fisik pelayanan kesehatan, pemberi pelayanan, peralatan medik dan non medik. 8. Informasi Pelayanan kesehatan yang bermutu harus mampu memberikan informasi yang jelas tentang apa, siapa, kapan, dimana, dan bagaimana pelayanan kesehatan itu dilaksanakan. 9. Ketepatan Waktu Agar berhasil pelayanan kesehatan itu harus dilaksanakan dalam waktu dan cara yang tepat. Oleh pemberi pelayanan yang tepat dan

36

menggunakan peralatan dan obat yang tepat serta dengan biaya yang efisien (tepat). 10. Hubungan Antar Manusia Hubungan antar manusia merupakan interaksi pemberi pelayanan kesehatan dengan pasien atau konsumen, antar sesama pemberi pelayanan kesehatan, hubungan atasan-bawahan, Dinas Kesehatan, rumah sakit, puskesmas, pemerintah daerah, LSM, masyarakat, dan lain-lain. Hubungan antara manusia yang baik akan menimbulkan kepercayaan atau kredibilitas dengan cara saling menghargai, menjaga rahasia, saling menghormati, responsif, dan memberi perhatian. 2.1.5 Mutu Pelayanan Mutu adalah penentuan pelanggan, bukan ketetapan insinyur, pasar, atau ketetapan manajemen. Mutu berdasarkan pengalaman nyata pelanggan terhadap produk dan jasa pelayanan, mengukurnya, mengharapkannya, dijanjikan atau tidak, sadar atau hanya dirasakan, operasional teknik atau subyektif sama sekali dan selalu menggambarkan target yang bergerak dalam pasar yang kompetitif (Djoko Wijono, 1999: 3). Mutu pelayanan kesehatan adalah hasil akhir (outcome) dari interaksi dan ketergantungan antara berbagai aspek, komponen atau unsur organisasi pelayanan kesehatan sebagai suatu sistem (Djoko Wijono, 1999: 38). Djoko Wijono (1999) mengatakan bahwa mutu pelayanan kesehatan dapat semata-mata dimaksudkan dari aspek teknis medis yang hanya berhubungan langsung antara pelayanan medis dan pasien saja, atau mutu

37

pelayanan kesehatan dari sudut pandang sosial dan sistem pelayanan kesehatan

secara

keseluruhan,

termasuk

akibat-akibat

manajemen

administrasi, keuangan, peralatan dan tenaga kesehatan lainnya. Juga dikatakan bahwa pembahasan tentang kualitas pelayanan kesehatan yang baik mengenal dua pembatasan, yaitu: 1. Pembatasan pada derajat kepuasan pasien Kualitas pelayanan kesehatan yang baik adalah apakah pelayanan kesehatan yang diselenggarakan tersebut dapat menimbulkan rasa puas pada diri setiap pasien dengan tingkat kepuasan pasien rata-rata pendidikan yang menjadikan sasaran utama pelayanan kesehatan tersebut. 2. Pembatasan pada upaya yang dilakukan Kualitas pelayanan kesehatan yang baik adalah apabila tata cara penyelenggaraannya sesuai dengan standar serta kode etik profesi yang telah ditetapkan. Mutu pelayanan kesehatan dapat diukur melalui tiga cara (Imbalo S. Pohan, 2003: 85), yaitu : 1. Pengukuran mutu prospektif Merupakan pengukuran mutu pelayanan kesehatan yang dilakukan sebelum pelayanan kesehatan diselenggarakan.

2. Pengukuran mutu konkuren Merupakan pengukuran mutu pelayanan kesehatan yang dilakukan selama pelayanan kesehatan sedang berlangsung.

38

3. Pengukuran mutu pelayanan retrospektif Merupakan pengukuran mutu pelayanan kesehatan yang dilakukan sesudah pelayanan kesehatan selesai dilaksanakan. Pada umumnya untuk meningkatkan mutu pelayanan ada dua cara (Djoko Wijono, 1999: 37-38) : 1. Meningkatkan mutu dan kuantitas sumber daya, tenaga, biaya, peralatan, perlengkapan dan materi yang diperlukan dengan menggunakan teknologi tinggi atau dengan kata lain meningkatkan input atau struktur, namun cara ini mahal. 2. Memperbaiki metode atau penerapan teknologi yang dipergunakan dalam kegiatan pelayanan, hal ini berarti memperbaiki proses pelayanan organisasi pelayanan kesehatan. Mutu produk dan jasa pelayanan secara langsung dipengaruhi oleh 9 faktor fundamental (Djoko Wijono, 1999: 10) : 1. Men : kemajuan teknologi, komputer dan lain-lain memerlukan pekerjapekerja spesialis yang makin banyak. 2. Money

:

meningkatnya

kompetisi

disegala

bidang

memerlukan

penyesuaian pembiayaan yang luar biasa termasuk untuk mutu. 3. Materials : bahan-bahan yang semakin terbatas dan berbagai jenis material yang diperlukan. 4. Machines dan mechanization : selalu perlu penyesuaian-penyesuaian seiring dengan kebutuhan kepuasan pelanggan.

39

5. Modern information methods : kecepatan kemajuan teknologi komputer yang harus selalu diikuti. 6. Markets : tuntutan pasar yang semakin tinggi dan luas. 7. Management : tanggung jawab manajemen mutu oleh perusahaan. 8. Motivation : meningkatnya mutu yang kompleks perlu kesadaran mutu bagi pekerja-pekerja. 9. Mounting product requirement : persyaratan produk yang meningkat yang diminta pelanggan perlu penyesuaian mutu terus-menerus. Menurut Prof. A. Donabedian dalam Djoko Wijono (1999: 48), ada tiga pendekatan evaluasi (penilaian) mutu yaitu dari aspek : 1. Standar struktur Adalah standar yang menjelaskan peraturan dan sistem, misalnya personel, peralatan, gedung, rekam medis, keuangan, obat, dan fasilitas. 2. Standar proses Yaitu menyangkut semua aspek pelaksanaan kegiatan pelayanan kesehatan, melakukan prosedur dan kebijakan. 3. Luaran atau outcome Adalah hasil akhir atau akibat dari pelayanan kesehatan. Standar luaran akan menunjukkan apakah pelayanan kesehatan berhasil atau gagal. Mutu

sumber

daya

manusia

kesehatan

sangat

menentukan

keberhasilan upaya dan manajemen kesehatan. Mutu pelayanan kesehatan sangat dipengaruhi oleh kualitas sarana fisik, jenis tenaga yang tersedia, obat, alat kesehatan dan sarana penunjang lainnya, proses pemberian pelayanan,

40

dan kompensasi yang diterima serta harapan masyarakat pengguna. Dengan demikian maka peningkatan kualitas fisik serta faktor-faktor tersebut di atas merupakan prakondisi yang harus dipenuhi. Selanjutnya proses pemberian pelayanan ditingkatkan melalui peningkatan mutu dan profesionalisme sumber daya kesehatan sebagaimana diuraikan di atas (Departemen Kesehatan RI, 1999: 25). 2.1.6 Karakteristik Mutu Pelayanan Kesehatan Menurut Zethamal, Parasuraman dan Berry (1985) yang dikutip dalam Fandy Tjiptono dan Anastasia Diana (2001: 27), bahwa lima kelompok karakteristik yang digunakan para pelanggan dalam mengevaluasi kualitas jasa/ pelayanan kesehatan, yaitu : 1. Bukti langsung (tangibles), meliputi fasilitas fisik, perlengkapan, pegawai dan sarana komunikasi, yang semuanya dapat dirasakan langsung oleh pelanggan. 2. Kehandalan (reliability), yaitu kemampuan untuk memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan segera dan dapat memuaskan pelanggan. 3. Daya tanggap (responsiveness), yaitu kemampuan dari karyawan memberikan pelayanan kepada pelanggan untuk membantu pelanggan dan memberikan jasa dengan cepat dan tepat, serta mendengar dan mengatasi keluhan yang diajukan pelanggan. 4. Jaminan (assurance), mencakup kemampuan, kesopanan, dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki para staf, yaitu bebas dari bahaya, risiko dan keragu-raguan. Karakteristik jaminan ini merupakan gabungan dari

41

dimensi kompetensi (ketrampilan dan pengetahuan yang dimiliki oleh para karyawan) dan dimensi kesopanan. 5. Empati (emphaty), meliputi kemampuan membina hubungan, komunikasi yang baik, perhatian dan memahami kebutuhan pelanggan. Karakteristik perhatian ini merupakan gabungan dari akses (kemudahan untuk memanfaatkan jasa), komunikasi (kemampuan melakukan komunikasi untuk

menyampaikan

informasi

kepada

pelanggan/

memperoleh

masukan), pemahaman pada pelanggan (usaha untuk mengetahui dan memahami kebutuhan dan keinginan pelanggan). 2.1.7 Pelayanan Kesehatan Dasar (Puskesmas) 2.1.7.1 Pengertian Puskesmas Puskesmas adalah suatu unit pelaksana fungsional yang berfungsi sebagai pusat pembangunan kesehatan, pusat pembinaan peran serta masyarakat dalam bidang kesehatan serta pusat pelayanan kesehatan tingkat pertama yang menyelenggarakan kegiatannya secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan pada suatu masyarakat yang bertempat tinggal dalam suatu wilayah tertentu. Pelayanan kesehatan yang memadai merupakan tumpuan masyarakat. Pelayanan kesehatan adalah salah satu kebutuhan mendasar selain pangan dan juga pendidikan. Pelayanan kesehatan bukan salah monopoli rumah sakit saja. Penduduk Indonesia yang jumlahnya melebihi 200 juta jiwa tidak mungkin harus bergantung dari rumah sakit yang jumlahnya sedikit dan tidak merata penyebarannya.

42

Pelayanan kesehatan yang bermutu masih jauh dari harapan masyarakat, serta berkembangnya kesadaran akan pentingnya mutu, maka UU Kesehatan Nomor 23 tahun 1992 menekankan pentingnya upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan, khususnya ditingkat Puskesmas. Pusat fungsional

Kesehatan yang

Masyarakat

menyelenggarakan

(Puskesmas) upaya

adalah

kesehatan

yang

organisasi bersifat

menyeluruh, terpadu, merata, dapat diterima dan terjangkau oleh masyarakat, dengan peran serta aktif masyarakat dan menggunakan hasil pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna, dengan biaya yang dapat dipikul oleh pemerintah dan masyarakat. Upaya kesehatan tesebut diselenggarakan dengan menitikberatkan kepada pelayanan untuk masyarakat luas guna mencapai derajat kesehatan yang optimal, tanpa mengabaikan mutu pelayanan kepada perorangan. Pengelolaan puskesmas biasanya berada di bawah Dinas Kesehatan Kabupaten dan Kota. 2.1.7.2 Fungsi Puskesmas Sesuai dengan Sistem Kesehatan Nasional (SKN), puskesmas sebagai fasilitan pelayanan kesehatan tingkat pertama mempunyai tiga fungsi sebagai berikut : a. Pusat Penggerak Pembangunan Berwawasan Kesehatan Puskesmas harus mampu membantu menggerakkan (motivator, fasilitator) dan turut serta memantau pembangunan yang diselenggarakan di tingkat kecamatan agar dalam pelaksanaannya mengacu, berorientasi serta dilandasi oleh kesehatan sebagai faktor pertimbangan utama.

43

b. Pusat Pemberdayaan Masyarakat dan Keluarga Pemberdayaan masyarakat adalah segala upaya fasilitas yang bersifat non instruktif guna meningkatkan pengetahuan dan kemampuan masyarakat atau keluarga agar mampu mengidentifikasi masalah, merencanakan dan mengambil keputusan untuk pemecahannya dengan benar. c. Pusat Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama Upaya pelayanan kesehatan tingkat pertama yang diselenggarakan puskesmas bersifat holistik, komprehensif, terpadu dan berkesinambungan. Pelayanan

kesehatan tingkat pertama

meliputi pelayanan

kesehatan

masyarakat dan pelayanan medik. Pada umumnya pelayanan kesehatan tingkat pertama ini bersifat pelayanan rawat jalan. 2.1.7.3 Program Pokok Puskesmas Untuk dapat memberikan pelayanan kesehatan secara menyeluruh (comprehensive health care services) kepada seluruh masyarakat di wilayah kerjanya, puskesmas menjalankan beberapa usaha pokok yang meliputi 6 (enam) program wajib yaitu : a. Upaya Promosi Kesehatan b. Upaya Kesehatan Lingkungan c. Upaya Kesehatan Ibu dan Anak serta Keluarga Berencana d. Upaya Perbaikan Gizi Masyarakat e. Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular f. Upaya Pengobatan

44

Semua kegiatan program pokok yang dilaksanakan di puskesmas dikembangkan berdasarkan program pokok pelayanan kesehatan dasar seperti yang dianjurkan oleh badan kesehatan dunia (WHO) yang dikenal dengan “basic seven” WHO. Basic seven tersebut terdiri dari : 1) Maternal and Child Health Care, 2) Medical Care, 3) Environmenial Sanitation, 4) Health Education, untuk kelompok, kelompok masyarakat, 5) Simple Laboratory, 6) Communicable Disease Control, dan 7) Simple Statistic, atau pencatatan dan pelaporan. Dari ke-12 program pokok puskesmas, basic seven WHO harus lebih diprioritaskan untuk dikembangkan sesuai dengan masalah kesehatan masyarakat yang potensial berkembang di wilayah kerjanya, kemampuan sumber daya manusia (staf) yang dimiliki oleh puskesmas, dukungan sarana/ prasarana yang tersedia di puskesmas, dan peran serta masyarakat (Azrul Azwar, 1996: 125). 2.1.7.4 Manajemen Puskesmas Manajemen telah ada sejak lama, dikatakan demikian oleh karena pengertian pokok dari manajemen adalah mencapai tujuan yang telah dikehendaki dengan jalan menggunakan orang atau orang lain untuk bekerja, guna mendapat hasil yang dicita-citakan (Hani T. Handoko, 2001: 76). Pengertian lain dari manajemen adalah ilmu dan seni mengatur proses pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber daya lainnya secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan tertentu. Tujuan manajemen adalah terciptanya pengelolaan semua program-program secara baik dan teratur

45

berdasarkan urutan-urutan kebutuhan dan waktu pelaksanaan (Malayu S.P. Hasibuan, 2009: 2). Sedangkan menurut A. A. Gde Muninjaya (1999: 15), manajemen adalah ilmu atau seni tentang bagaimana menggunakan sumber daya secara efisien, efektif dan rasional untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan sebelumnya. Berdasarkan pengertian tersebut, manajemen mengandung tiga prinsip pokok yang menjadi ciri utama penerapannya yaitu efisien dalam pemanfaatan sumber daya, efektif dalam memilih alternatif kegiatan untuk mencapai tujuan organisasi, dan rasional dalam pengambilan keputusan. Manajemen hanya merupakan alat untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Dengan manajemen yang baik, akan memudahkan terwujudnya tujuan suatu organisasi, sehingga daya guna dan hasil guna unsur-unsur manajemen akan dapat ditingkatkan. Adapun unsur-unsur manajemen itu meliputi unsur 5M yaitu: man, money, methode, machines, dan materials. Agar dapat memberi pelayanan dengan baik maka dibutuhkan berbagai sumber daya yang harus diatur dengan proses manajemen secara baik (Tjandra Yoga A, 2002: 15). Dibidang kesehatan manajemen diartikan sama dengan administrasi kesehatan yaitu suatu proses yang menyangkut perencanaan, pengorganisasian, pengawasan, tata cara dan kesanggupan yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan terhadap kesehatan, perawatan kedokteran serta lingkungan yang sehat dengan jalan menyediakan dan menyelenggarakan berbagai upaya kesehatan yang ditujukan kepada

46

perseorangan, keluarga, kelompok, dan atau masyarakat (Azrul Azwar, 1996: 5). Dari uraian tersebut jelas bahwa peranan kantor dalam Sistem Kesehatan Indonesia tidak hanya sebagai pelaksana fungsi administrasi saja tetapi juga sebagai pelaksana fungsi pelayanan kesehatan. Dengan kata lain kantor Departemen Kesehatan dan atau Kantor Dinas Kesehatan yang terdapat di kabupaten juga bertanggung jawab menyelenggarakan pelayanan kesehatan masyarakat. Sedangkan pelaksana pelayanan kesehatan masyarakat sehari-hari dipercayakan kepada puskesmas yang oleh pemerintah didirikan di semua kecamatan. Puskesmas merupakan suatu unit pelaksanaan fungsional yang berfungsi sebagai pusat pembangunan kesehatan, pusat pembinaan peran serta masyarakat dibidang kesehatan yaitu dalam rangka fungsi promotif (penyuluhan) dan pengambilan kebijakan publik oleh pemerintah (advokasi) yang mengarah pada usaha preventif (pencegahan) serta pusat pelayanan kesehatan tingkat pertama yang menyelenggarakan kegiatannya secara menyeluruh, terpadu dan berkeseimbangan pada suatu masyarakat yang bertempat tinggal pada suatu wilayah tertentu (Azrul Azwar, 1996: 119). Agar dapat menjalankan fungsi dan tugasnya sebagaimana mestinya, maka puskesmas didukung oleh suatu sistem manajemen yang sebenarnya sudah dibakukan oleh Depkes. Pada hakikatnya puskesmas : a. Melaksanakan fungsi-fungsi manajemen seperti P1 (Perencanaan), P2 (Pelaksanaan dan Penggerakan), P3 (Pengarahan, Pengawasan, dan Penilaian).

47

b. Dengan dukungan sumber daya seperti tenaga, dana, peralatan, teknologi, informasi, dan lain-lainnya, yang biasanya terbatas, dan karena itu harus dimanfaatkan secara efektif dan efisien. c. Untuk dapat

menghasilkan

kegiatan-kegiatan

pokok

yang telah

ditetapkan. d. Agar tercapai target atau sasaran yang telah direncanakan. Ada beberapa komponen kegiatan dalam manajemen puskesmas yang pedoman pelaksanaannya sudah digariskan untuk dapat dilaksanakan oleh puskesmas agar dapat berfungsi secara optimal. Komponen manajemen puskesmas tersebut antara lain :

1. Perencana Tingkat Puskesmas (PTP) Perencanaan tingkat puskesmas dapat diartikan sebagai suatu proses kegiatan sistematis untuk menyusun atau menyiapkan kegiatan yang akan dilaksanakan oleh puskesmas pada tahun berikutnya untuk meningkatkan cakupan dan mutu pelayanan kesehatan kepada masyarakat dalam upaya mengatasi masalah-masalah kesehatan setempat. Maksud dari kegiatan PTP ini adalah untuk dapat disusunnya 2 rumusan perencanaan, yaitu: Rencana Usulan Kegiatan (RUK) dan Rencana Pelaksanaan Kegiatan (RPK). 2. Penggerakan dan Pelaksanaan (Mini Lokakarya) Maksud dari mini lokakarya adalah untuk melaksanakan fungsi manajemen P2 (Penggerakan dan Pelaksanaan), yaitu untuk meningkatkan kemampuan tenaga puskesmas untuk bekerja sama dalam tim, baik lintas

48

program (antar program dalam puskesmas) maupun lintas sektoral (dengan sektor-sektor lain di luar puskesmas). Maksud tersebut dilaksanakan dengan mengadakan rapat kerja secara periodik untuk tim antar program dalam puskesmas dan antar sektor dengan unit-unit terkait lainnya di luar puskesmas. 3. Sistem Pencatatan dan Pelaporan Puskesmas (SP3) Dalam manajemen diperlukan tersedianya data atau informasi yang akurat, tepat waktu, dan kontinue serta mutakhir secara periodik. Data atau informasi tersebut adalah untuk mendukung fungsi-fungsi manajemen seperti perencanaan, penggerakkan, pelaksanaan, pengawasan, pengarahan dan penilaian. SP3 adalah tata cara pencatatan dan pelaporan yang lengkap untuk pengelolaan puskesmas, meliputi keadaan fisik, tenaga, sarana dan kegiatan pokok yang dilakukan serta hasil yang dicapai oleh puskesmas. Proses pelaksanaan SP3 sebenarnya mencakup 3 hal, yaitu : pencatatan, pelaporan, dan pengolahan/ analisis/ pemanfaatan. Pencatatan hasil kegiatan oleh pelaksana dicatat dalam buku-buku register yang berlaku untuk masing-masing program. Data tersebut kemudian direkapitulasi ke dalam format laporan SP3 yang sudah dibakukan. 4. Stratifikasi Puskesmas Tujuan diadakannya stratifikasi puskesmas adalah untuk mendapatkan gambaran tentang tingkat perkembangan fungsi puskesmas secara terus menerus dalam rangka pembinaan dan pengembangannya. Aspek yang dinilai adalah mengenai hal-hal sebagai berikut :

49

a. Hasil cakupan program kegiatan pokok puskesmas b. Proses manajemen (P1, P2, P3) c. Sumber daya atau sarana (tenaga, dana, perlengkapan, dan obat-obatan) d. Aspek lingkungan (Budioro, 2002: 134). Untuk terselenggaranya berbagai upaya kesehatan perorangan dan upaya kesehatan masyarakat yang sesuai dengan azas penyelenggaraan puskesmas perlu ditunjang oleh manajeman puskesmas yang baik. Manajemen puskesmas adalah rangkaian kegiatan yang bekerja secara sistematik untuk menghasilkan luaran puskesmas yang efektif dan efisien. Rangkaian kegiatan sistematis yang dilaksanakan oleh puskesmas membentuk fungsi-fungsi manajeman. Dengan manajemen yang baik, akan memudahkan terwujudnya tujuan suatu organisasi, sehingga daya guna dan hasil guna unsur-unsur manajemen akan dapat ditingkatkan. Untuk meningkatkan mutu pelayanan dalam program MTBS di puskesmas dapat terkait dengan unsur-unsur dalam manajemen puskesmas itu sendiri. Adapun unsur-unsur dari manajemen pelayanan MTBS tersebut, dapat meliputi unsur 5M yaitu : man, money, methode, machines, dan materials. Secara lebih rinci faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit antara lain : a. Man (Manusia) Merujuk pada manusia sebagai tenaga kerja atau dengan kata lain merupakan sumber daya manusia di puskesmas. Penerapan Manajemen

50

Sumber Daya Manusia (SDM) di puskesmas telah lama diterapkan seiring dengan makin berkembangnya puskesmas ke era-desentralisasi. Setiap kebijakan yang dijalankan harus didukung dengan ketersediaan sumber daya manusia bidang kesehatan yang ada. Profesi kesehatan juga telah berkembang menjadi jabatan fungsional yang mempunyai tugas pokok dan fungsi yang jelas sesuai tingkat keahlian atau profesi yang dijabatnya. Man adalah segala hal permasalahan yang terkait dengan aspek tenaga kerja dilihat dari aspek : lemahnya pengetahuan, kurang keterampilan, pengalaman, kelelahan, kekuatan fisik, lambatnya kecepatan kerja, banyak tekanan kerja, stress dll. b. Machines (Mesin) Merupakan sarana kesehatan yang digunakan puskesmas untuk mencapai tujuan organisasi dan segala masalah yang terkait dengan aspek peralatan,

merujuk pada mesin sebagai fasilitas/ alat penunjang kegiatan

perusahaan baik operasional maupun nonoprasional. Mesin merupakan sarana kesehatan atau bahan-bahan yang digunakan untuk pelayanan kesehatan seperti alat-alat kesehatan , alat-alat laboratorium kesehatan sederhana. c. Money (Uang/ Modal/ Alokasi Dana dari Dinkes) Merupakan unsur pembiayaan atau anggaran di puskesmas merujuk pada uang sebagai modal untuk pembiayaan seluruh kegiatan perusahaan, misalnya ketidaktersediaan anggaran. Namun untuk penerapan MTBS di puskesmas, tidak ada dana khusus untuk menunjang pelaksanaan MTBS. Rata-rata puskesmas masih mengharapkan bantuan sarana dan prasarana dari

51

tingkat kabupaten bahkan provinsi. Terutama untuk pengadaan formulir MTBS dan ARI timer. d.

Method (Metode/ Prosedur) Merupakan cara-cara yang dijalankan puskesmas untuk mencapai

tujuan organisasi/ misi puskesmas, merujuk pada metode/ prosedur sebagai panduan pelaksanaan kegiatan suatu perusahaan/ organisasi. e. Materials (Bahan baku) Merupakan prasarana kesehatan atau bahan-bahan yang digunakan untuk pelayanan kesehatan seperti : materi penyuluhan kesehatan, buku-buku petunjuk (Philip Kotler & Kevin Lane Keller, 2006, Muh.Fakhrurrozie, 2009). Selain komponen di atas mengenai petugas MTBS, faktor yang juga berperan dalam kelancaran kegiatan MTBS adalah adanya materials yang digunakan untuk menunjang keberlangsungan kegiatan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS).

2.2 Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) masih menjadi sesuatu yang baru bagi tenaga-tenaga kesehatan terutama yang berada di pelayanan kesehatan dasar di Indonesia. Oleh karena itu akan terus dikembangkan sehingga dapat menjadi standar dalam menangani balita sakit di pelayanan kesehatan dasar dalam rangka menurunkan angka kematian bayi dan balita.

52

Keberhasilan pelaksanaan MTBS tersebut sangat didukung oleh berbagai faktor, salah satunya adalah faktor sumber daya manusia dalam hal ini petugas puskesmas yang bertanggung jawab terhadap pelayanan kesehatan ibu dan anaknya khususnya menyangkut MTBS. Pelaksanaan MTBS ini terintegrasi dengan program-program kesehatan dasar lainnya, untuk itu perlu dilakukan manajemen sumber daya manusia yang baik. Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas dan cakupan pelayanan MTBS di puskesmas, namun cakupan pelayanan MTBS cenderung bervariasi di setiap daerah. Dalam hal ini Depkes RI mengupayakan strategi pelayanan MTBS secara komprehensif. Dalam upaya tersebut mengarah pada peningkatan kualitas sumber daya manusia, peningkatan manajemen pelayanan dan evaluasi cakupan MTBS termasuk supervisi yang dilakukan oleh puskesmas maupun Dinas Kesehatan (Departemen Kesehatan RI, 2006a). Evaluasi keberhasilan pelayanan kesehatan dasar selama ini hanya difokuskan kepada jangkauan pelayanan, cakupan pelayanan, dan peran serta masyarakat dalam pelayanan kesehatan, sedangkan mutu pelayanan tidak pernah dievaluasi atau dinilai. Hal ini disebabkan karena fokus pelayanan kesehatan masih ditujukan untuk mencapai pemerataan pelayanan yang menjangkau banyaknya penduduk yang dapat dilayani (aspek equity). Dalam perjalanannya, pelaksanaan MTBS masih mengalami kendala seperti keterbatasan fasilitas, kemampuan petugas yang masih menggunakan caracara konvensional pada pemeriksaan bayi dan balita sakit. Oleh karena itu

53

diperlukan upaya untuk meningkatkan mutu pelayanan dalam program MTBS. 2.2.1 Faktor Pemudah (predispossing factor) 2.2.1.1 Pengetahuan Petugas Pengetahuan merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan tindakan terhadap suatu obyek tertentu. Penginderaan terjadi melalui indera manusia yaitu indera manusia seperti indera penglihatan, pendengaran, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Soekidjo Notoatmodjo, 2003: 127). Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam

membentuk

tindakan

seseorang

(over

behavior)

(Soekidjo

Notoatmodjo, 2003: 122). Pengetahuan petugas kesehatan mengenai pelayanan kesehatan akan mempengaruhi tindakan petugas tersebut. Menurut Soekidjo Notoatmodjo (2003: 128) pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif mempunyai enam tingkatan yaitu : 1. Tahu (know) Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Tahu merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa seseorang tahu apa yang dipelajari antara lain : menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan dan sebagainya. 2. Memahami (comprehension)

54

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan dan menyebutkan. Misalnya dapat menjelaskan mengapa harus makan makanan yang bergizi. 3. Aplikasi (application) Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya) misalnya dapat menggunakan prinsip-prinsip siklus pemecahan masalah (problem solving cycle) di dalam pemecahan masalah kesehatan dari kasus yang diberikan. 4. Analisis (analysis) Analisis merupakan suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitanya satu sama lain. 5. Sintesis (synthesis) Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian dari suatu bentuk keseluruhan yang baru. Misalnya dapat menyusun, dapat merencanakan, dapat meringkas, dapat menyesuaikan dan sebagainya. 6. Evaluasi (evaluation) Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian

55

itu berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria yang telah ada. Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subyek penelitian atau responden (Soekidjo Notoatmodjo, 2003: 130). 2.2.1.2 Sikap Petugas Sikap (attitude) merupakan pernyataan yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan seseorang terhadap objek, orang lain atau peristiwa. Hal ini mencerminkan bagaimana perasaan seseorang tentang sesuatu dalam melakukan pekerjaan. Sikap mempunyai tiga komponen, yaitu : kesadaran, perasaan, dan perilaku. Kesadaran akan menimbulkan perasaan pada seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan

yang kemudian akan

menghasilkan perilaku yang akan mempengaruhi hasil kerja (Robbins, 2008: 92). Menurut Soekidjo Notoatmodjo (2003: 130) sikap merupakan reaksi atau respons seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu. Dalam kehidupan sehari-hari adalah merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial. Seperti halnya pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan, yaitu : 1. Menerima ( Receiving) Menerima, diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek).

56

2. Merespons (Responding) Menberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, lepas pekerjaan itu benar atau salah adalah berarti orang menerima ide tersebut. 3. Menghargai (Valuing) Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang lain terhadap suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga. 4. Bertanggung jawab (Responsible) Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala risiko adalah merupakan sikap yang paling tinggi. 2.2.1.3 Motivasi Kerja Petugas Menurut Winslow (1991) yang dikutip oleh Budioro B (2002: 5), keberhasilan

program

kesehatan

masyarakat

dengan

kemauan

dan

kesadarannya sendiri bersedia menerima semua yang diwajibkan kepada mereka. Lebih akan berhasil lagi bila mereka dengan pengetahuan dan pengertian serta sikap yang positif merasa ikut bertanggung jawab atas terselenggaranya program tersebut. Hal ini akan dapat dicapai dengan lebih berhasil dan lebih mantap bila diberikan penyuluhan. Motivasi berasal dari perkataan motif yang artinya adalah rangsangan, dorongan, dan ataupun pembangkit tenaga yang dimiliki seseorang sehingga orang tersebut memperlihatkan perilaku tertentu. Sedangkan yang dimaksud

57

motivasi adalah upaya untuk menimbulkan rangsangan, dorongan, dan ataupun pembangkit tenaga pada seseorang atau sekelompok masyarakat tertentu, untuk mau berbuat dan bekerja sama secara optimal untuk melaksanakan sesuatu yang telah direncanakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Azrul Azwar, 1996: 288). 2.2.1.4 Pelatihan MTBS yang Diikuti Petugas Petugas yang baru saja ditunjuk untuk melakukan suatu jenis kegiatan, jarang secara tepat sesuai kebutuhan, mereka harus dilatih agar dapat melaksanakan pekerjaan dengan efektif. Program pelatihan dapat mempengaruhi perilaku kerja dalam dua cara. Yang paling jelas adalah dengan langsung memperbaiki keterampilan yang diperlukan untuk karyawan

itu

agar

berhasil menyelesaikan

pekerjaannya. Peningkatan kemampuan memperbaiki potensi karyawan itu untuk berkinerja pada tingkat yang lebih tinggi. Tentu saja apakah potensi tersebut bisa terealisasi sebagian besar merupakan soal motivasi. Manfaat kedua adalah bahwa pelatihan itu meningkatkan keefektifan diri seorang karyawan. Keefektifan diri seorang karyawan merupakan pengharapan seseorang bahwa ia dapat dengan sukses melaksanakan perilaku yang dituntut untuk memproduksi suatu hasil. Bagi para karyawan, perilaku-perilaku tersebut adalah tugas-tugas kerja dan hasilnya adalah kinerja yang efektif. Karyawan dengan keefektifan diri yang tinggi mengandung harapan yang kuat mengenai kemampuan mereka untuk sukses berkinerja dalam situasi baru. Mereka percaya diri dan mengharapkan untuk sukses.

58

Maka pelatihan merupakan suatu cara untuk mempengaruhi secara positif keefektifan diri karena para karyawan mungkin lebih bersedia untuk menjalankan tugas-tugas pekerjaan dan mengarahkan tingkat upaya yang tinggi, atau dalam lingkup harapan, individu-indiviu lebih mungkin untuk mempersepsikan upaya mereka sebagai mengarah ke kinerja (Stephen P. Robbins, 2001: 235). Tujuan dari pelatihan ini yaitu dihasilkannya petugas kesehatan yang terampil menangani bayi dan balita sakit dengan menggunakan tatalaksana MTBS. Sasaran utama pelatihan MTBS ini adalah perawat dan bidan, akan tetapi dokter puskesmas pun perlu terlatih MTBS agar dapat melakukan supervisi penerapan MTBS di wilayah kerja puskesmas (Yeyen, 2006). 2.2.1.5 Kepemimpinan Kepala Puskesmas Kepemimpinan merupakan faktor yang sangat penting dalam mempengaruhi prestasi kerja organisasi karena kepemimpinan merupakan aktifitas yang utama agar tujuan organisasi tercapai. Kepemimpinan adalah kemampuan seseorang untuk memberikan pengaruh kepada perubahan perilaku orang lain baik secara langsung maupun tidak. Seorang manajer yang ingin kepemimpinannya lebih efektif, ia harus mampu : a. Memotivasi dirinya sendiri untuk bekerja dan banyak membaca b. Memiliki kepekaan yang lebih tinggi terhadap permasalahan organisasi. Ia harus selalu merasa ditantang untuk mengatasi hambatan kerja yang dapat menjadi penghalang tercapainya tujuan organisasi yang ia pimpin.

59

c. Menggerakkan (memotivasi) stafnya agar mereka mampu melaksanakan tugas pokok organisasi sesuai dengan kewenangan yang diberikan kepadanya dan tanggung jawab yang melekat pada setiap tugas (A.A. Gde Muninjaya, 1999: 70). Keberhasilan perusahaan jasa dalam mempertahankan keberadaannya sangat tergantung kepada semangat seluruh sumber daya manusia yang ada dalam perusahaan untuk memberikan yang terbaik bagi perusahaan maupun konsumen dibandingkan dengan apa yang dilakukan para pesaingnya. Memegang teguh nilai-nilai dalam organisasi tidak hanya dijadikan pedoman dalam menghadapi para konsumen, tetapi juga diharapkan melekat dalam gaya hidup sehari-hari. Untuk itu, diperlukan persyaratan penting agar bisa menanamkan nilai-nilai istimewa kepada karyawan. Disinilah peran seorang pimpinan organisasi, mampu menunjukkan yang terbaik dan memberikan contoh perilaku istimewa yang diinginkan, tidak sekedar komando atau perintah-perintah saja. Manusia adalah faktor yang sangat menentukan dalam perusahaan jasa, terutama pada industri yang lebih banyak menggunakan manusia daripada mesin (labor intensive). Apabila manusia dengan semua perilaku baiknya, yang menjunjung nilai organisasi yang baik dapat dimanfaatkan secara optimal, maka kemampuannya ini merupakan kekuatan yang potensial dalam mencapai tujuan suatu organisasi (Farida Jasfar, 2005: 231).

60

2.2.2 Faktor Pemungkin (enabling factor) 2.2.2.1 Peralatan yang Digunakan dalam Pemeriksaan MTBS Adapun peralatan penunjang pemeriksaan balita sakit yang digunakan dalam penerapan MTBS antara lain : timer ISPA atau arloji dengan jarum detik, tensimeter dan manset anak, gelas, sendok, dan teko tempat air matang dan bersih untuk membuat oralit, infuse set dengan wing needles, semprit dan jarum suntik, timbangan bayi, termometer, kasa/ kapas, pipa lambung, alat penumbuk obat, alat pengisap lendir, RDT (Rapid Diagnostic Test) untuk malaria (Departemen Kesehatan RI, 2006c). a. Formulir Tatalaksana MTBS yang Digunakan dalam Pemeriksaan MTBS Penyiapan formulir tatalaksana Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) dan Kartu Nasihat Ibu (KNI) perlu dilakukan untuk memperlancar pelayanan.

Formulir tatalaksana MTBS digunakan oleh petugas dalam

memberikan pelayanan terhadap balita yang sakit. b. Kartu Nasihat Ibu (KNI) yang Digunakan dalam Kegiatan MTBS Kartu Nasehat Ibu (KNI) diberikan dengan tujuan agar ibu/ pengasuh mudah dalam mengingat konseling atau nasehat mengenai cara perawatan anak dan pemberian obat di rumah sesuai dengan yang disampaikan oleh bidan/ petugas kesehatan di puskesmas. c. Obat yang Digunakan dalam Pemeriksaan MTBS Logistik yang dimaksud meliputi obat-obatan. Adapun obat-obatan yang digunakan dalam penanganan balita sakit adalah obat yang sudah lazim ada dan telah termasuk dalam Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN)

61

(Departemen Kesehatan RI, 2006: 4). Obat-obat yang diperlukan adalah: kotrimoksazol tablet dewasa atau tablet atau sirup, sirup amoksilin atau tablet amoksilin, kaplet ampisilin, kapsul tetrasiklin, tablet asam nalidiksat, tablet klorokuin, tablet primakuin, tablet sulfaduksin pirimetamin (fansidar), tablet kina, diazepam suppositoria, suntikan kloramfenikol, suntikan gentamisin, suntikan penisilin prokain, suntikan ampisilin, suntikan kinin, suntikan fenobarbital, diazepam infeksi (5 mg dan 10 mg), tablet nistatin, tablet parasetamol atau sirup, tetrasiklin atau kloramfenikol salep mata, gentian violet 1% (sebelum digunakan, harus diencerkn menjadi 0,25% atau 0,5% sesuai kebutuhan), sirup besi (sulfat ferosus) atau tablet besi, vitamin A 200.000 IU dan 100.000 IU, tablet pirantel pamoat, aqua bides untuk pelarut, oralit 200cc, cairan infuse: ringer laktat, dextrose 5% NaCl, alkohol 70%, glycerin, povidone iodine. Pada saat ini, beberapa obat dan alat yang jarang/ belum ada di puskesmas adalah: asam nalidiksat, suntikan kloramfenikol, suntikan gentamisin, suntikan kinin, infus set (untuk anak dan bayi) dan manset anak. Walaupun obat dan alat tersebut belum ada di puskesmas, tidak akan menghambat pelayanan bagi balita sakit, karena obat-obat tersebut pada umumnya merupakan obat pilihan kedua atau obat yang dibutuhkan bagi anak yang akan dirujuk, sehingga pemberian obat tersebut dapat diserahkan kepada institusi tempat rujukan (Departemen Kesehatan RI, 2006c).

62

2.2.2.2 Alokasi Dana dari Dinkes untuk Kegiatan MTBS Karena tidak ada dana khusus untuk menunjang pelaksanaan MTBS yang dialokasikan oleh puskesmas sampai saat ini, maka Dinas Kesehatan kabupaten, Dinas Kesehatan provinsi, dan Departemen Kesehatan RI masih berusaha mengalokasikan dana untuk memenuhi sarana tersebut. Namun selalu dijelaskan kepada pihak puskesmas bahwa hal tersebut tidak dapat berlangsung terus menerus sehingga diharapkan sedikit demi sedikit puskesmas dapat memenuhi kebutuhan sarana penunjang tersebut sendiri. Saat ini sarana penunjang cukup tersedia, sehingga penatalaksanaan MTBS dapat berjalan baik. Adapun sarana tersebut meliputi tenaga paramedis dan medis terlatih, yang mengerjakan tatalaksana MTBS, alat bantu hitung napas, barang cetakan berupa pencatatan formulir, kartu nasehat ibu dan penyediaan obat-obatan (Djoko Mardijanto dan Mubasysyir Hasanbasri, 2005). 2.2.2.3 Rapat Koordinasi Tingkat Puskesmas Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, pemimpin satuan organisasi memerlukan koordinasi pengaturan tata kerja dan tata hubungan lainnya, oleh karenanya diperlukan kesamaan pengertian masing-masing anggota dalam organisasi tentang hal tersebut, supaya terjadi hubungan yang harmonis di antara satuan-satuan organisasi dalam usaha bersama mencapai tujuan organisasi. Menurut George R. Terry dalam Azrul Azwar (1996: 112), koordinasi adalah suatu usaha yang sinkron/ teratur untuk menyediakan jumlah dan waktu yang tepat, dan mengarahkan pelaksanaan untuk menghasilkan suatu

63

tindakan yang seragam dan harmonis pada sasaran yang telah ditentukan. Selain itu, koordinasi merupakan suatu proses atau kegiatan untuk menyatukan tujuan-tujuan atau kegiatan-kegiatan dari berbagai unit organisasi ke arah pencapaian tujuan utama atau tujuan bersama supaya efisien dan efektif. Secara sederhana rapat sama dengan pertemuan. Dalam istilah kerennya disebut juga meeting. Rapat merupakan media untuk melakukan musyawarah dan mufakat, khususnya dalam membahas masalah pelayanan puskesmas. Hal ini dilakukan untuk menelaah rencana kerja, target kegiatan dan capaian hasil pelayanan. Pada dasarnya rapat bertujuan mempertemukan berbagai sudut pandang, dan menyampaikan curah pendapat, dalam menerapkan visi dan misi puskesmas. Rapat kerja yang dilaksanakan ada yang bersifat evaluasi, konsultasi dan koordinasi. Rapat koordinasi adalah melaksanakan pertemuan dalam rangka koodinasi terpadu kegiatan antar program maupun antar instansi (lintas sektoral) yang terkait dengan masalah kesehatan masyarakat, sehingga tercapai tujuan pembangunan kesehatan yang menyeluruh. Dalam tatanan institusi lainnya yang terkait, pelaksanaan rapat kerja tersebut umumnya dijalankan dengan teknis yang berbeda. Sedangkan dalam tatanan pelayanan organisasi sosial politik, biasanya kegiatan rapat kerja tersebut memiliki jenjang yang bertahap dari tingkat daerah sampai pusat. Apapun nama rapatnya, tentu manfaatnya akan sama untuk melakukan evaluasi, konsultasi dan koordinasi, dalam rangka mencapai tujuan institusi.

64

Fungsi koordinasi pada hakikatnya hampir sama dengan proses menghubung-hubungkan (komunikasi) antar berbagai unit atau individu dalam organisasi, baik dalam arah horisontal maupun vertikal, agar ada kesatuan gerak yang sinkron antara berbagai ”departemen” tadi dalam upaya mencapai tujuan bersama yang telah digariskan. Fungsi koordinasi merupakan salah satu fungsi administrasi yang sangat penting yang harus dilakukan oleh pimpinan atau manajer yang membawahi berbagai ”departemen” agar berbagai kegiatan yang beraneka-ragam di dalamnya yang mungkin kait-mengkait, saling bergantung dan saling mendukung yang satu dengan yang lainnya tetap sinkron dan searah untuk mencapai tujuan organisasi. Tanpa koordinasi yang baik antar program-program (koordinasi internal) yang berkaitan dengan faktor tersebut, dan juga koordinasi eksternal (lintas sektoral) dengan instansi terkait, akan sulit untuk mengupayakan percepatan (akselarasi) pelaksanaan program pelayanan kesehatan di puskesmas (Budioro B, 2002: 95). Dengan adanya rapat koordinasi yang berfungsi untuk melaksanakan fungsi manajemen P2 (penggerakan dan pelaksanaan), yaitu untuk meningkatkan kemampuan tenaga puskesmas untuk bekerjasama dalam team, baik lintas program (antar program dalam puskesmas), maupun lintas sektoral (dengan sektor-sektor lain di luar puskesmas). Maksud tersebut yakni dilaksanakan dengan mengadakan rapat kerja secara periodik untuk team

65

antar program dalam puskesmas dan antar sektor dengan unit-unit terkait lainnya diluar puskesmas. Secara garis besarnya ”mini lokakarya” dalam bentuk rapat kerja ini adalah untuk memperoleh antara lain : 1. Masukan dari berbagai program seperti KIA, KB, Gizi, P2M, HS, PKM, dan lain-lain. 2. Menginventarisasikan apa yang sudah dilakukan dalam kurun waktu yang lalu. 3. Masukan tentang kegiatan peran serta masyarakat. 4. Memperhitungkan beban kerja, pembagian tugas dan tanggung jawab, dan merealokasikan kebutuhan sumber daya untuk penyesuaian kegiatan dalam kurun waktu berikutnya. 5. Penggalangan kerjasama dalam team, baik antar program dalam puskesmas maupun antar sektor dengan unit-unit lainnya di luar puskesmas (Budioro, 2002: 167). Untuk melaksanakan suatu rencana yang telah disusun dalam rapat koordinasi sehingga terwujud dalam kegiatan sehari-hari, banyak hal yang harus dilakukan. Salah satu diantaranya yang dipandang mempunyai peranan yang cukup penting adalah menyusun rencana pelaksanaan (plan of action). Untuk dapat menyusun Rencana Pelaksanaan Kegiatan (RPK) yang disebut juga ”Plan Of Action” (POA) yang disusun untuk tahun yang sedang berjalan setelah Rakerkesda (Rapat Kerja Kesehatan Daerah) Dati II untuk dilaksanakan dalam tahun anggaran yang sama (yang sedang berjalan) dengan

66

pembiayaan dan sumberdayanya (DIP- APBN, DIP Dati I dan II, Inpres Kesehatan dan sumber lainnya). Penyusunan RPK dilakukan melalui suatu pembahasan dalam ”mini lokakarya” atau rapat koordinasi tersebut dan terdiri dari 2 langkah utama, yaitu : 1. Langkah penyusunan rencana pelaksanaan kegiatan yang harus dirinci dan menjelaskan hal-hal sebagai berikut : a. Jenis kegiatan b. Rincian kegiatan c. Volume kegiatan d. Lokasi pelaksanaan e. Tenaga pelaksana f. Sumber pembiayaan g. Penjadwalan, dll. 2. Langkah analisa hambatan, potensial, yaitu untuk mengantisipasi hambatan yang mungkin timbul atau dihadapi dalam pelaksanaan suatu kegiatan, agar dibahas dan diinventarisasikan hambatan-hambatan tersebut serta langkah-langkah penanggulangannya (Budioro B, 2002: 166). Sesungguhnya peranan rencana pelaksanaan dalam dalam pekerjaan administratisi cukup penting. Dengan adanya rencana pelaksanaan, dapatlah dilaksanakan berbagai kegiatan tepat pada waktunya, serta pemakaian sumber sesuai dengan peruntukannya (Azrul Azwar, 1996: 242).

67

Keterpaduan pelayanan yang dilakukan praktik MTBS menunjukan suatu kerja tim yang kompak dan fleksibel dengan dipandu buku panduan atau formulir MTBS menggambarkan bahwa MTBS merupakan suatu sistem pelayanan kesehatan (Rafless Bencoolen, 2011). 2.2.2.4 Sistem Pencatatan/ Pelaporan Pelaksanaan MTBS Pencatatan/ pelaporan di puskesmas yang menerapkan MTBS sama dengan puskesmas yang lain yaitu menggunakan sistem pencatatan dan pelaporan terpadu puskesmas (SP2TP). Dengan demikian semua pencatatan dan pelaporan yang digunakan tidak perlu mengalami perubahan. Perubahan yang perlu dilakukan adalah konversi klasifikasi MTBS kedalam kode diagnosis dalam SP2TP sebelum masuk kedalam sistem pelaporan (Departemen Kesehatan RI, 2006a). a. Pencatatan hasil Pencatatan

seluruh

hasil

pelayanan

yaitu

kunjungan,

hasil

pemeriksaan hingga penggunaan obat tidak memerlukan pencatatan khusus. Pencatatan yang telah ada di puskesmas digunakan sebagai alat pencatatan. Alat pencatatan yang dapat digunakan adalah : 1. Register kunjungan 2. Register rawat jalan 3. Register kohort bayi 4. Register kohort balita 5. Register imunisasi

68

6. Register malaria, demam berdarah dangue, diare, ISPA, gizi dan lainlain 7. Register obat b. Pelaporan hasil pelayanan Sebagaimana dengan pencatatan hasil pelayanan MTBS, pelaporan yang digunakan juga tidak memerlukan perubahan. Pelaporan yang digunakan adalah : 1. Laporan bulanan 1/ laporan bulanan data kesakitan (LB 1) 2. Laporan pemakaian dan lembar permintaan obat (LP LPO) 3. Laporan bulanan gizi, KIA, Imunisasi dan P2M (LB 3) 4. Laporan mingguan diare 5. Laporan kejadian luar biasa (Departemen Kesehatan RI, 2006f). 2.2.3 Faktor Penguat (reinforcing factor) 2.2.3.1 Pelaksanaan Supervisi MTBS oleh Dinkes Menurut Nasrul Effendy (1998: 183), supervisi adalah upaya pengarahan dengan cara mendengarkan alasan dan keluhan tentang masalah dalam pelaksanaan dan memberikan petunjuk serta saran-saran dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi pelaksana, sehingga meningkatkan daya guna dan hasil guna serta kemampuan pelaksana dalam melaksanakan upaya kesehatan di puskesmas. Adapun tujuan dari supervisi antara lain : a. Terselenggaranya upaya kesehatan puskesmas secara berhasil guna dan berdaya guna.

69

b. Terselenggaranya program upaya kesehatan puskesmas sesuai dengan pedoman pelaksanaan. c. Kekeliruan dan penyimpangan dalam pelaksanaan dapat diluruskan kembali. d. Meningkatkan mutu pelayanan kesehatan. e. Meningkatnya hasil pencapaian pelayanan kesehatan. Supervisi selain merupakan monitoring langsung yang merupakan kegiatan lanjutan pelatihan. Melalui supervisi dapat diketahui bagaimana petugas yang sudah dilatih tersebut menerapkan semua pengetahuan dan keterampilannya. Selain itu supervisi dapat merupakan suatu proses pendidikan dan pelatihan berkelanjutan dalam bentuk on the job training. Supervisi harus dilaksanakan pada setiap tingkatan dan di semua pelaksana, karena dimanapun petugas bekerja akan tetap memerlukan bantuan untuk mengatasi masalah dan kesulitan yang mereka temukan. Suatu umpan balik tentang penampilan kerja mereka harus selalu diberikan untuk meningkatkan kinerja petugas. 2.2.3.2 Pelaksanaan Evaluasi (penilaian) MTBS oleh Kepala Puskesmas Evaluasi pembangunan kesehatan perlu senantiasa dilaksanakan secara rutin dimaksudkan untuk mengetahui gambaran secara menyeluruh upaya pelayanan kesehatan yang dilaksanakan untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan. Apakah pelaksanaannya telah sesuai dengan rencana yang telah dibuat maupun tolok ukur yang telah ditetapkan.

70

Pada umumnya evaluasi dilaksanakan terhadap program-program pembangunan

kesehatan

khususnya

evaluasi/

penilaian

terhadap

pembangunan kesehatan di tingkat kabupaten/ dati II, rumah sakit pemerintah dengan instrumen stratifikasi rumah sakit atau akreditasi rumah sakit swasta serta penilaian terhadap puskesmas dengan instrumen sratifikasi puskesmas. Penilaian (evaluasi) menurut Djoko Wijono (1997: 135) adalah kegiatan untuk membandingkan antara hasil yang telah dicapai dengan rencana yang telah ditentukan. Penilaian merupakan alat penting untuk membantu pengambilan keputusan sejak tingkat perumusan kebijakan maupun pada tingkat pelaksanaan program. Menurut WHO, evaluasi adalah suatu cara yang sistematis untuk memperbaiki kegiatan-kegiatan yang sedang berjalan sekarang serta untuk meningkatkan perencanaan yang lebih baik dengan menyeleksi secara seksama alternatif-alternatif tindakan yang akan datang. Ini menyangkut analisa yang kritis mengenai berbagai aspek pengembangan dan pelaksanaan suatu program dan kegiatan-kegiatan yang membentuk program itu, relevansinya, rumusannya, efisiensinya dan efektivitasnya, biayanya dan penerimaannya oleh semua pihak yang terlibat. Dengan demikian maksud dan tujuan evaluasi dalam pembangunan kesehatan adalah untuk memperbaiki program-program kesehatan dan pelayanan kesehatan, dan untuk mengarahkan alokasi sumber daya, tenaga dan dana kepada program-program dan pelayanan kesehatan yang ada saat ini dan dimasa yang akan datang (Djoko Wijono, 1997: 216).

71

Sedangkan menurut Wahid Iqbal Mubarak (2009: 378), evaluasi merupakan kegiatan menentukan keberhasilan dalam mencapai tujuan yang sudah ditentukan sebelumnya. Adapun tujuan dari evaluasi antara lain sebagai berikut : 1. Membantu perencanaan di masa yang akan datang. 2. Mengetahui apakah sarana yang tersedia dimanfaatkan dengan sebaikbaiknya. 3. Menentukan kelemahan dan kekuatan daripada program , baik dari segi teknis maupun administratif yang selanjutnya diadakan perbaikanperbaikan. 4. Membantu menentukan strategi, artinya mengevaluasi apakah cara yang telah dilaksanakan selama ini masih bisa dilanjutkan, atau perlu diganti. 5. Mendapatkan dukungan dari sponsor (pemerintah atau swasta), berupa dukungan moral maupun material. 6. Motivator, jika program berhasil , maka akan memberikan kepuasan dan rasa bangga kepada para staf, hingga mendorong mereka bekerja lebih giat lagi.

.

72

2.3 Kerangka Teori Faktor Pemudah (Predispossing Factors) ; Pengetahuan petugas Sikap petugas Motivasi kerja petugas Pelatihan MTBS yang diikuti oleh petugas Kepemimpinan kepala puskesmas

Faktor Pemungkin (Enabling Factors) ; Ketersediaan peralatan yang digunakan dalam pemeriksaan MTBS

Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS)

Alokasi dana dari Dinkes

di puskesmas Rapat koordinasi tingkat puskesmas Sistem pencatatan/ pelaporan pelaksanaan MTBS

Faktor Penguat (Reinforcing Factors) : Pelaksanaan supervisi MTBS oleh Dinkes Pelaksanaan evaluasi (penilaian) MTBS oleh kepala puskesmas

Gambar 2.1 Kerangka Teori Sumber: A.A. Gde Muninjaya (1999), Azrul Azwar (1996), Budioro B (2002), Depkes RI (2006), Djoko Wijono (1997, 2000), Farida Jasfar (2005),

73

Nasrul Effendy (1998), Stephen P. Robbins (2008), Soekidjo Notoatmodjo (2003), Wahid Iqbal Mubarak (2009).

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Kerangka Konsep

Variabel Bebas

Variabel

Pengetahuan petugas Terikat

Sikap petugas Motivasi kerja petugas Pelatihan MTBS yang diikuti petugas Kepemimpinan kepala puskesmas Ketersediaan peralatan pemeriksaan MTBS Alokasi dana dari Dinkes Rapat koordinasi tingkat puskesmas Sistem pencatatan/ pelaporan pelaksanaan MTBS Pelaksanaan supervisi MTBS oleh Dinkes terhadap pelaksanaan MTBS Pelaksanaan evaluasi MTBS oleh kepala puskesmas terhadap pelaksanaan MTBS

Gambar 3.1 Kerangka Konsep

74

Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di puskesmas

75

3.2 Hipotesis Penelitian 3.2.1Hipotesis Mayor Ada faktor yang berhubungan dengan implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di Puskesmas di Kota Semarang Tahun 2010. 3.2.2Hipotesis Minor 3.2.2.1 Ada hubungan antara pengetahuan petugas pemegang program MTBS dengan implementasi MTBS di Puskesmas di Kota Semarang Tahun 2010. 3.2.2.2 Ada hubungan antara sikap petugas pemegang program MTBS dengan implementasi MTBS di Puskesmas di Kota Semarang Tahun 2010. 3.2.2.3 Ada hubungan antara motivasi kerja petugas pemegang program MTBS dengan implementasi MTBS di Puskesmas di Kota Semarang Tahun 2010. 3.2.2.4 Ada hubungan antara pelatihan MTBS yang diikuti oleh petugas dengan implementasi MTBS di Puskesmas di Kota Semarang Tahun 2010. 3.2.2.5 Ada hubungan antara kepemimpinan kepala puskesmas dengan implementasi MTBS di Puskesmas di Kota Semarang Tahun 2010. 3.2.2.6 Ada hubungan antara ketersediaan peralatan yang digunakan dalam pemeriksaan MTBS, seperti: formulir tatalaksana MTBS, kartu nasihat ibu, dan obat dengan implementasi MTBS di Puskesmas di Kota Semarang Tahun 2010.

76

3.2.2.7 Ada hubungan antara alokasi dana dari Dinas Kesehatan untuk kegiatan MTBS dengan implementasi MTBS di Puskesmas di Kota Semarang Tahun 2010. 3.2.2.8 Ada hubungan antara rapat koordinasi tingkat puskesmas dengan implementasi MTBS di Puskesmas di Kota Semarang Tahun 2010. 3.2.2.9 Ada hubungan antara sistem pencatatan/ pelaporan pelaksanaan MTBS dengan implementasi MTBS di Puskesmas di Kota Semarang Tahun 2010. 3.2.2.10 Ada hubungan antara pelaksanaan supervisi MTBS oleh Dinas Kesehatan terhadap pelaksanaan MTBS dengan implementasi MTBS di Puskesmas di Kota Semarang Tahun 2010. 3.2.2.11 Ada hubungan antara pelaksanaan evaluasi (penilaian) MTBS oleh kepala puskesmas terhadap pelaksanaan MTBS dengan implementasi MTBS di Puskesmas di Kota Semarang Tahun 2010. 3.3 Jenis dan Rancangan Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian penjelasan (explanatory research) yaitu menjelaskan hubungan antara variabel pengaruh dan variabel terpengaruh melalui pengujian hipotesis. Metode yang digunakan adalah metode survei dengan pendekatan cross sectional yaitu melakukan pengumpulan data yang menyangkut variabel bebas dan variabel terikat pada saat yang bersamaan (Soekidjo Notoatmodjo, 2005: 26).

77

3.4 Variabel Penelitian Variabel adalah ukuran atau ciri yang dimiliki oleh anggota-anggota suatu kelompok yang berbeda dengan yang dimiliki oleh kelompok yang lain (Soekidjo Notoatmodjo, 2005: 70). Adapun variabel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 3.4.1 Variabel Bebas Variabel bebas (independent variable) adalah variabel yang mempengaruhi variabel terikat (dependent) (Soekidjo Notoatmodjo, 2005: 70). Variabel bebas dalam penelitian ini adalah faktor-faktor yang berhubungan dengan implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) yaitu : pengetahuan petugas pemegang program MTBS, sikap petugas pemegang program MTBS, motivasi kerja petugas pemegang program MTBS, pelatihan MTBS yang diikuti oleh petugas, kepemimpinan kepala puskesmas, ketersediaan peralatan yang digunakan dalam pemeriksaan (seperti: formulir tatalaksana MTBS, kartu nasihat ibu, dan obat), alokasi dana dari Dinas Kesehatan untuk kegiatan MTBS, rapat koordinasi tingkat puskesmas, sistem pencatatan/ pelaporan pelaksanaan MTBS, pelaksanaan supervisi MTBS oleh Dinas Kesehatan terhadap pelaksanaan MTBS, serta pelaksanaan evaluasi (penilaian) MTBS oleh kepala puskesmas terhadap pelaksanaan MTBS. 3.4.2 Variabel Terikat Variabel terikat (dependent) adalah variabel yang dipengaruhi variabel bebas (independent) (Soekidjo Notoatmodjo, 2005: 70). Variabel terikat

78

dalam penelitian ini adalah implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS). 3.5 Definisi Operasional dan Skala Pengukuran Variabel Tabel 3.1 Definisi Operasional dan Skala Pengukuran Variabel No.

Variabel

1.

Variabel Terikat : Implementasi MTBS

2.

Variabel Bebas : Pengetahuan petugas

Definisi Operasional

Cara Pengukuran

Penerapan pelaksanaan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) yang dilakukan oleh petugas, dengan menggunakan lembar standar operasional minimum tatalaksana balita sakit.

Wawancara dengan menggunakan kuesioner

Pengetahuan petugas adalah pengetahuan petugas pemegang program MTBS mengenai hal-hal yang berhubungan dengan MTBS

Wawancara dengan menggunakan kuesioner - Jawaban benar =1 - Jawaban salah =0

Skala Pengukuran

Klasifikasi 1. Rendah,

jika

skor

Ordinal

X 2. Tinggi, jika skor

X

(Agus Irianto, 2007: 44)

1. Pengetahuan kurang, jika < 60% jawaban benar 2. Pengetahuan cukup, jika 60%-80% jawaban benar 3. Pengetahuan baik, jika > 80 % jawaban benar

Ordinal

(Yayuk Farida Baliwati, 2004: 117). Sikap petugas

Motivasi petugas

kerja

Merupakan reaksi atau respon emosional petugas pemegang program MTBS terhadap pelaksanaan MTBS yang lebih bersifat penilaian pribadi dan dapat dilanjutkan dengan kecenderungan untuk melakukan suatu tindakan

Wawancara dengan menggunakan kuesioner dengan pilihan jawaban a. Tidak setuju =0 b. Setuju = 1

Suatu dorongan kerja yang timbul pada diri petugas pemegang program MTBS untuk menerapkan MTBS guna mencapai

Wawancara dengan menggunakan kuesioner dengan pilihan jawaban a.Tidak setuju =0 b.Setuju = 1

1. Kurang, jika: (µ-1,0 σ) 2. Cukup, jika: ≥ (µ-1,0 σ) s.d < (µ+1,0 σ) 109-110). 3. Baik, jika: ≥ (µ+1,0 σ)

Ordinal

(Saifuddin Azwar, 2005: 109-110).

1. Rendah, jika: (µ-1,0 σ) 2. Sedang, jika: ≥ (µ-1,0 σ) s.d < (µ+1,0 σ) 3. Tinggi, jika:

Ordinal

79

≥ (µ+1,0 σ)

indikator keberhasilan program MTBS

(Saifuddin Azwar, 2005: 109-110)

(1)

(2) Pelatihan MTBS yang diikuti petugas

Kepemimpinan kepala puskesmas

Ketersediaan peralatan pemeriksaan MTBS

Alokasi dana dari dinkes

Rapat koordinasi tingkat puskesmas

Sistem pencatatan/ pelaporan pelaksanaan

(3) Pelatihan merupakan proses atau cara yang perlu diikuti oleh petugas terlebih dahulu sebelum melaksanakan suatu jenis kegiatan MTBS Kemampuan seseorang Kepala Puskesmas untuk memberikan pengaruh kepada perubahan perilaku staffnya baik secara langsung maupun tidak, agar kegiatan organisasi terebut dapat berjalan dengan baik.

(4) Wawancara dengan menggunakan kuesioner

Seluruh peralatan yang digunakan untuk kegiatan MTBS, yang terdiri atas: formulir MTBS dan Kartu Nasihat ibu, serta logistik (peralatan dan obat yang mendukung dalam kegiatan pemeriksaan MTBS Uang/ dana dari Dinkes yang digunakan untuk kegiatan MTBS

Wawancara dengan menggunakan kuesioner

1. Belum skor

(5) Pernah,

jika

(6) Nominal

X X

2. Pernah, jika skor

(Agus Irianto, 2007: 44) Wawancara dengan menggunakan kuesioner

1. Kurang, jika: (µ-1,0 σ) 2. Cukup, jika: ≥ (µ-1,0 σ) s.d < (µ+1,0 σ) 3. Baik, jika: ≥ (µ+1,0 σ)

Ordinal

(Saifuddin Azwar, 2005: 109-110) 1. Tidak

Lengkap,

skor X 2. Lengkap,

jika

jika

Nominal

skor

X (Agus Irianto, 2007: 44)

Wawancara dengan menggunakan kuesioner

pertemuan dalam rangka koodinasi terpadu kegiatan antar program maupun antar instansi (lintas sektoral) untuk menyusun rencana pelaksanaan kegiatan.

Wawancara dengan menggunakan kuesioner

Ada tidaknya pencatatan yang meliputi jumlah kunjungan balita yang sakit yang datang ke

Wawancara dengan menggunakan kuesioner

1. Ada, jika nilai didapatkan kuesioner =1 2. Tidak ada, jika yang didapatkan kuesioner =0

yang dari

Nominal

nilai dari

1. Tidak Ada, jika skor

Nominal

X 2. Ada, jika skor

X

(Agus Irianto, 2007: 44)

1. Kurang, jika: (µ-1,0 σ) 2. Cukup, jika: ≥ (µ-1,0 σ) s.d < (µ+1,0 σ)

Ordinal

80

MTBS

(1)

Puskesmas dan jumlah balita sakit yang ditangani dengan menggunakan pendekatan MTBS.

3. Baik, jika: ≥ (µ+1,0 σ) (Saifuddin Azwar, 2005: 109-110)

(2)

(3)

(4)

Supervisi dinkes terhadap pelaksanaan MTBS

Ada tidaknya pembinaan, bimbingan dan pengawasan program MTBS yang dilakukan oleh Dinkes

Wawancara dengan menggunakan kuesioner - Jawaban, ya =1 Jawaban, tidak =0

(5) 1. Rendah,

(6) jika

skor

Ordinal

X 2. Tinggi, jika skor

X

(Agus Irianto, 2007: 44) Evaluasi (penilaian) pelaksanaan MTBS

Ada tidaknya penilaian hasil pelaksanaan kegiatan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS)

Wawancara dengan menggunakan kuesioner

1. Rendah,

jika

skor

X 2. Tinggi, jika skor

X

(Agus Irianto, 2007: 44)

3.6 Populasi dan Sampel Penelitian 3.6.1 Populasi Populasi secara umum dapat diartikan wilayah generalisasi yang terdiri atas, subyek atau obyek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulanya (Sugiyono, 2005 : 55). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh petugas pemegang program (yang bertindak sebagai case manager) Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di 37 puskesmas yang berada di Kota Semarang yang berjumlah 37 orang.

Ordinal

81

3.6.2 Sampel Sampel penelitian adalah bagian dari populasi yang dipilih dengan cara tertentu sehingga dapat dianggap mewakili populasinya (Sudigdo, 2008: 49). Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan total sampling/ sampel jenuh yaitu teknik penentuan sampel apabila semua anggota populasi digunakan sebagai sampel (Sugiyono, 2005: 61). Jadi sampel yang diambil adalah semua petugas pemegang program (case manager) MTBS di Puskesmas di Kota Semarang yang berjumlah 37 orang. 3.7 Sumber data Penelitian Sumber data penelitian dalam penelitian ini di dapatkan dari data primer dan data sekunder. 3.7.1 Data primer Data primer merupakan data yang diperoleh atau dikumpulkan sendiri oleh peneliti dari responden selama penelitian. Data primer diperoleh dari hasil observasi, dokumentasi, dan wawancara secara langsung dengan menggunakan lembar kuesioner yang telah dirancang. Pengisian kuesioner dengan metode wawancara terhadap responden. Kuesioner berisi pertanyaan yang sudah ada alternatif jawabannya. 3.7.2 Data sekunder Data sekunder merupakan data yang diperoleh peneliti dari orang lain yang dalam penelitian ini berasal dari instansi-instansi kesehatan yaitu dari

82

Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, Dinas kesehatan Kota Semarang, yaitu

data mengenai gambaran program anak, data kualitas anak, data

jumlah kunjungan balita yang sakit, data jumlah balita yang mendapatkan pelayanan MTBS, data kegiatan kesehatan anak, data rekapitulasi program kesehatan anak, data pencapaian indikator SPM, serta data kematian bayi dan balita. 3.8 Instrumen Penelitian Instrumen penelitian adalah alat-alat yang akan digunakan untuk pengumpulan data (Soekidjo Notoatmodjo, 2005: 48). Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar kuesioner yang digunakan untuk memperoleh data berdasarkan pertanyaan dan pernyataan mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di Puskesmas di Kota Semarang Tahun 2010. Kuesioner dapat digunakan sebagai alat ukur penelitian jika sudah memenuhi syarat validitas dan reliabilitas. Untuk itu kuesioner tersebut harus di uji coba ” trial” lapangan. 1) Validitas Validitas adalah suatu indeks yang menunjukan alat ukur tersebut benar-benar mengukur apa yang diukur. Kuesioner diujikan pada petugas pemegang program MTBS di 20 Puskesmas yang berada di wilayah Kabupaten Semarang, dimana di wilayah kerja tersebut memiliki karakteristik yang sama dengan wilayah Kota Semarang. Adapun Puskesmas tersebut meliputi: Puskesmas Ungaran, Puskesmas Lerep, Puskesmas

83

Kalongan, Puskesmas Leyangan, Puskesmas Jimbaran, Puskesmas Bergas, Puskesmas

Pringapus,

Puskesmas

Sumowono,

Puskesmas Puskesmas

Bawen,

Puskesmas

Banyubiru,

Ambarawa,

Puskesmas

Jambu,

Puskesmas Tuntang, Puskesmas Gedangan, Puskesmas Pabelan, Puskesmas Getasan, Puskesmas Jetak, Puskesmas Tengaran, Puskesmas Susukan, dan Puskesmas Suruh. Pengujian validitas instrumen pada penelitian ini menggunakan program SPSS versi 12.00, dimana hasil akhirnya (r hitung) dibandingkan dengan nilai r tabel product moment pearson, dimana untuk uji validitas dengan N = 20 dan taraf signifikansi 5% diketahui bahwa nilai r tabel = 0,444. Jika r hitung > r tabel = 0,444, maka butir atau variabel pertanyaan tersebut dinyatakan valid. Dari hasil perhitungan uji validitas seluruh jumlah soal yang berjumlah 69 butir soal, yang terdiri dari 12 butir soal untuk vaiabel pengetahuan petugas, 10 butir soal untuk variabel sikap petugas, 2 butir soal untuk variabel pelatihan MTBS yang diikuti oleh petugas, 15 butir soal untuk variabel motivasi kerja petugas, 10 butir soal untuk variabel kepemimpinan kepala puskesmas, 4 butir soal untuk variabel ketersediaan peralatan MTBS, 1 butir soal untuk variabel alokasi dana, 3 butir soal untuk variabel rapat koordinasi tingkat puskesmas, 4 butir soal untuk variabel sistem pencatatan/ pelaporan pelaksanaan MTBS, 3 butir soal untuk variabel pelaksanaan supervisi MTBS oleh Dinas Kesehatan, 2 butir soal untuk variabel pelaksanaan evaluasi MTBS oleh kepala puskesmas terhadap

84

pelaksanaan MTBS, serta 3 butir soal untuk variabel implementasi MTBS, yang dilakukan melalui program SPSS versi 12.00 diperoleh hasil 67 butir soal dinyatakan valid, dan 2 butir soal tidak valid untuk variabel pengetahuan petugas. Sehingga dilakukan uji validitas kembali yaitu dengan menghilangkan 2 butir soal yang tidak valid tersebut, dan dilakukan perhitungan uji validitas terhadap 67 butir soal kembali. Berdasarkan hasil perhitungan uji validitas dari 67 butir soal tersebut dengan menggunakan program SPSS versi 12.00, maka diperoleh koefisien korelasi (r xy) atau r hitung untuk variabel pengetahuan petugas pada butir soal no.1 = 0,600, soal no.2 = 0,735, soal no.3 = 0,519, soal no.4 = 0,660, soal no.5 = 0,526, soal no.6 = 0,527, soal no.7 = 0,527, soal no.8 = 0,585, soal no.9 = 0,579, dan soal no.10 = 0,563. Pada variabel sikap petugas diperoleh koefisien korelasi (r hitung) untuk butir soal no.1 = 0,570, soal no.2 = 0,620, soal no.3 = 0,459, soal no.4 = 0,654, soal no.5 = 0,567, soal no.6 = 0,563, soal no.7 = 0,687, soal no.8 = 0,928, soal no.9 = 0,694, dan soal no.10 = 0,766. Pada variabel pelatihan MTBS yang diikuti oleh petugas diperoleh koefisien korelasi (r hitung) untuk butir soal no.1 = 0,613, dan soal no.2 = 0,514. Pada variabel motivasi kerja petugas diperoleh koefisien korelasi (r hitung) untuk butir soal no.1 = 0,526, soal no.2 = 0,570, soal no.3 = 0,455, soal no.4 = 0,478, soal no.5 = 0,546, soal no.6 = 0,585, soal no.7 = 0,527, soal no.8 = 0,605, soal no.9 = 0,478, dan soal no.10 = 0,541, soal no.11 =

85

0,539, soal no.12 = 0,543, soal no.13 = 0,627, soal no.14 = 0,738, dan soal no.15 = 0,839. Pada variabel kepemimpinan kepala puskesmas diperoleh koefisien korelasi (r hitung) untuk butir soal no.1 = 0,458, soal no.2 = 0,462, soal no.3 = 0,532, soal no.4 = 0,484, soal no.5 = 0,455, soal no.6 = 0,519, soal no.7 = 0,448, soal no.8 = 0,500, soal no.9 = 0,519, dan soal no.10 = 0,494. Pada variabel ketersediaan peralatan MTBS diperoleh koefisien korelasi (r hitung) untuk butir soal no.1 = 0,458, soal no.2 = 0,535, soal no.3 = 0,600, dan soal no.4 = 0,538. Pada variabel alokasi dana dari Dinas Kesehatan diperoleh koefisien korelasi (r hitung) untuk butir soal no.1 = 0,466. Pada variabel rapat koordinasi tingkat puskesmas diperoleh koefisien korelasi (r hitung) untuk butir soal no.1 = 0,490, soal no.2 = 0,486, dan soal no.3 = 0,483. Pada variabel sistem pencatatan/ pelaporan pelaksanaan MTBS diperoleh koefisien korelasi (r hitung) untuk butir soal no.1 = 0,567, soal no.2 = 0,512, soal no.3 = 0,473, dan soal no.4 = 0,502. Pada variabel pelaksanaan supervisi MTBS oleh Dinas Kesehatan diperoleh koefisien korelasi (r hitung) untuk butir soal no.1 = 0,573, soal no.2 = 0,490, dan soal no.3 = 0,526. Pada variabel pelaksanaan evaluasi MTBS oleh kepala puskesmas terhadap pelaksanaan MTBS diperoleh koefisien korelasi (r hitung) untuk butir soal no.1 = 0,535, dan soal no.2 = 0,496.

86

Pada variabel implementasi MTBS diperoleh koefisien korelasi (r hitung) untuk butir soal no.1 = 0,527, soal no.2 = 0,454, dan soal no.3 = 0,599. Sehingga semua butir soal yang berjumlah 67 pertanyaan dinyatakan valid, karena koefisien korelasi (r xy) atau r hitung lebih besar dari r tabel = 0,444. 2) Reliabilitas Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan (Soekidjo Notoatmodjo, 2002: 118). Hal ini berarti menunjukkan sejauh mana hasil pengukuran itu tetap konsisten bila dilakukan pengukuran dua kali atau lebih terhadap gejala yang sama, dengan menggunakan alat ukur yang sama. Seperti halnya dengan uji validitas, untuk mengetahui apakah instrumen penelitian ini reliabel atau tidak maka digunakan program komputer. Adapun tolak ukur untuk mempresentasikan derajat reliabilitas adalah dengan menggunakan metode Alpha Cronbach. Apabila pengujian reliabilitas dengan metode Alpha, maka nilai r hitung diwakili oleh Alpha. Jika Alpha hitung lebih besar daripada r tabel dan Alpha hitung bernilai positif, maka instrumen penelitian tersebut reliabel. Berdasarkan hasil perhitungan uji reliabilitas dari 67 butir soal tersebut dengan menggunakan program SPSS versi 12.00, maka diperoleh nilai Alpha = 0,967, sehingga instrumen (kuesioner) penelitian tersebut dinyatakan reliabel.

87

3.9 Teknik Pengambilan Data Teknik pengambilan data yang dilakukan selama penelitian ini adalah : 3.9.1Wawancara Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara dengan menggunakan lembar kuesioner yang berisi pertanyaan atau pernyataan yang berhubungan dengan variabel penelitian yang harus dijawab responden. Pengumpulan data diambil dari data primer (jawaban lembar kuesioner) dan data sekunder yang diambil dari puskesmas maupun dari Dinas Kesehatan Kota Semarang. 3.9.2Dokumentasi Dokumentasi dalam penelitian ini digunakan untuk mencari data pendukung dari kegiatan penelitian yang berupa visual, yaitu : foto kegiatan penelitian.

3.10 Teknik Pengolahan dan Analisis Data Data yang telah dikumpulkan, dilakukan pengolahan data dengan tahapan sebagai berikut : 3.10.1 Editing Sebelum diolah data tersebut diteliti terlebih dahulu. Data atau keterangan yang telah dikumpulkan perlu dibaca sekali lagi dan diperbaiki

88

jika dirasakan masih ada kesalahan dan keraguan data. Langkah ini dimaksudkan

untuk

melakukan

pengecekan

kelengkapan

data,

kesinambungan data, dan keseragaman data mengenai karakteristik responden serta gambaran wilayah dan gambaran kesehatan. 3.10.2 Koding Data yang sudah dikumpulkan dalam bentuk kalimat yang pendek atau panjang, untuk memudahkan analisa, maka jawaban tersebut perlu diberi kode. Mengkode jawaban adalah menaruh angka pada tiap jawaban. 3.10.3 Entri Data yang telah dikode kemudian dimasukkan dalam program komputer untuk selanjutnya diolah dengan dengan bantuan soft ware . 3.10.4 Tabulasi Sebagai kelanjutan dari tahap entri data, maka dilakukan tabulasi data yaitu mengelompokkan data sesuai dengan variabel dan kategori data penelitian. Tabulasi data yang dilakukan meliputi variabel faktor yang berhubungan dengan

implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit

(MTBS).

3.10.5 Analisis Data Teknik analisis data penelitian ini diolah secara statistik dengan menggunakan program SPSS versi 12.00. Adapun analisisnya sebagai berikut :

89

3.10.5.1 Analisis Univariat Analisis univariat dilakukan terhadap tiap variabel dari hasil penelitian. Dalam penelitian ini hanya menghasilkan distribusi persentase dari tiap variabel (Soekidjo Notoatmodjo, 2002: 188). 3.10.5.2 Analisis Bivariat Analisis bivariat digunakan untuk mencari hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat dengan uji statistik yang disesuaikan dengan skala data yang ada. Uji statistik yang digunakan adalah chi-square atau chi kuadrat.

Taraf

signifikansi

yang

digunakan

adalah

95%

dengan

menggunakan nilai kemaknaan atau p sebesar 5% (Sugiyono, 2005: 104). Menurut Sopiyudin Dahlan (2004:18), syarat uji chi-square adalah tidak ada sel dengan nilai observed yang bernilai 0 dan sel yang mempunyai nilai expected kurang dari 5, maksimal 20% dari jumlah sel. Jika syarat uji chisquare tidak terpenuhi, maka uji alternatifnya : 1. Alternatif uji chi-square untuk tabel 2x2 adalah uji fisher. 2. Alternatif uji chi-square untuk tabel 2xK adalah uji kolmogorov-smirnov. 3. Alternatif uji chi-square untuk tabel selain 2x2 dan 2xK adalah uji penggabungan sel. Dasar pengambilan keputusan yang dipakai adalah berdasarkan probabilitas. Adapun kriteria hubungan berdasarkan nilai p value (probabilitas) yang dihasilkan dibandingkan dengan nilai kemaknaan, sebagai berikut : 1. Jika p<0,05 =Ho ditolak, artinya kedua variabel “ada hubungan”.

90

2. Jika p 0,05 =Ho diterima, artinya kedua variabel “tidak ada hubungan”. Sedangkan untuk mengetahui besarnya hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat, maka dipakai koefisien kontingensi yang dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 3.2

Pedoman untuk Memberikan Interpretasi terhadap Koefisien Kontingensi Interval Koefisien

Tingkat Hubungan

0,00-0,199

Sangat Lemah

0,20-0,399

Lemah

0,40-0,599

Sedang

0,60-0,799

Kuat

0,80-1,000

Sangat Kuat

Sumber: Sopiyudin Dahlan, 2008: 236

BAB IV HASIL PENELITIAN

4.1

Deskripsi Data Penelitian

4.1.1

Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kota Semarang terletak antara garis 6º50’ - 7º10’ Lintang Selatan dan

garis 109º35’ - 110º50’ Bujur Timur. Dibatasi sebelah Barat dengan Kabupaten Kendal, sebelah Timur dengan Kabupaten Demak, sebelah Selatan dengan Kabupaten Semarang, dan sebelah Utara dibatasi oleh Laut Jawa dengan panjang garis pantai meliputi 13,6 Km. Ketinggian Kota Semarang terletak antara 0,75 sampai dengan 348,00 di atas garis pantai. Dengan luas wilayah sebesar 373,70 km2 , Kota Semarang terbagi dalam 16 kecamatan dan 177 kelurahan. Dari 16 kecamatan yang ada, Kecamatan Mijen (57,55 km2) dan Kecamatan Gunungpati (54,11 km2), dimana sebagian besar wilayahnya berupa persawahan dan perkebunan. Sedangkan kecamatan dengan luas terkecil adalah Semarang Selatan (5,93 km2) dan Kecamatan Semarang Tengah (6,14 km2), sebagian besar wilayahnya berupa pusat perekonomian dan bisnis Kota Semarang, seperti bangunan toko/ mall, pasar, perkantoran dan sebagainya. Jumlah penduduk Kota Semarang menurut registrasi sampai dengan akhir Desember tahun 2009 sebesar 1.506.924. jiwa, terdiri dari 748.515 jiwa penduduk laki-laki dan 758.409 jiwa penduduk perempuan. Dengan jumlah

91

92

sebesar itu Kota Semarang termasuk dalam 5 besar Kabupaten/ Kota yang mempunyai jumlah penduduk terbesar di Jawa Tengah. Lokasi penelitian ini berada di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Semarang yang berjumlah 37 puskesmas, yaitu Puskesmas Poncol, Puskesmas Miroto, Puskesmas Bandarharjo, Puskesmas Bulu Lor, Puskesmas Halmahera, Puskesmas Bugangan, Puskesmas Karangdoro, Puskesmas Pandanaran, Puskesmas Lamper Tengah, Puskesmas Karangayu, Puskesmas Lebdosari,

Puskesmas

Ngemplak Simongan,

Manyaran,

Puskesmas

Puskesmas Gayamsari,

Krobokan,

Puskesmas

Puskesmas Candilama,

Puskesmas Kagok, Puskesmas Pegandan, Puskesmas Genuk, Puskesmas Bangetayu, Puskesmas Tlogosari Wetan, Puskesmas Tlogosari Kulon, Puskesmas Kedungmundu, Puskesmas Rowosari, Puskesmas Ngesrep, Puskesmas Padangsari, Puskesmas Srondol, Puskesmas Pudakpayung, Puskesmas Gunungpati, Puskesmas Sekaran, Puskesmas Mijen, Puskesmas Karangmalang, Puskesmas Tambakaji, Puskesmas Purwoyoso, Puskesmas Ngaliyan, Puskesmas Mangkang, dan Puskesmas Karanganyar. Responden dalam penelitian ini adalah petugas pemegang program Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) yang dalam satu puskesmas diambil satu orang petugas, sehingga berjumlah 37 orang petugas pemegang program Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS).

93

4.2

Hasil Penelitian

4.2.1 Analisis Univariat Analisis univariat bertujuan untuk mengetahui gambaran distribusi frekuensi dan presentase dari masing-masing variabel. Analisis univariat dilakukan terhadap tiap variabel-variabel yang meliputi pengetahuan petugas, sikap petugas, motivasi kerja petugas, pelatihan MTBS yang diikuti oleh petugas, kepemimpinan kepala puskesmas, ketersediaan peralatan yang digunakan dalam pemeriksaan MTBS, alokasi dana dari Dinas Kesehatan untuk kegiatan MTBS, rapat koordinasi tingkat puskesmas, sistem pencatatan/ pelaporan pelaksanaan MTBS, pelaksanaan supervisi MTBS oleh Dinas Kesehatan

terhadap

pelaksanaan

MTBS,

serta

evaluasi

(penilaian)

pelaksanaan MTBS oleh kepala puskesmas, serta implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS). 4.2.1.1. Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada 37 responden, maka dapat diperoleh distribusi data pengetahuan petugas tentang Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) yang dapat dilihat pada Tabel 4.1 berikut ini : Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Responden Pengetahuan Responden

Frekuensi

Kurang Cukup Baik Jumlah Sumber: Data Hasil Penelitian Tahun 2011

Persentase (%)

2

5,4

24 11 37

64,9 29,7 100,0

94

Berdasarkan Tabel 4.1 diketahui bahwa responden yang memiliki pengetahuan kurang sebanyak 2 orang (5,4%), responden yang memiliki pengetahuan cukup sebanyak 24 orang (64,9%), serta sebanyak 11 orang (29,7%) memiliki pengetahuan baik. 4.2.1.2. Distribusi Responden Berdasarkan Sikap Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada 37 responden, maka dapat diperoleh distribusi data sikap petugas yang dapat dilihat pada Tabel 4.2 berikut ini : Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Sikap Responden Sikap Responden

Frekuensi

Persentase (%)

Cukup

13

35,1

Baik

24

64,9

Jumlah

37

100,0

Sumber: Data Hasil Penelitian Tahun 2011 Berdasarkan Tabel 4.2 diketahui bahwa responden yang memiliki sikap cukup sebanyak 13 orang (35,1%), dan responden yang memiliki sikap baik sebanyak 24 orang (64,9%). 4.2.1.3. Distribusi Responden Berdasarkan Motivasi Kerja Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada 37 responden, maka dapat diperoleh distribusi data motivasi kerja petugas yang dapat dilihat pada Tabel 4.3 berikut ini :

95

Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Motivasi Kerja Responden Motivasi Kerja Responden

Frekuensi

Persentase (%)

Sedang

2

5,4

Tinggi

35

94,6

Jumlah

37

100,0

Sumber: Data Hasil Penelitian Tahun 2011 Berdasarkan Tabel 4.3 diketahui bahwa responden yang memiliki motivasi kerja sedang sebanyak 2 orang (5,4%), dan responden yang memiliki motivasi kerja tinggi sebanyak 35 orang (94,6%). 4.2.1.4. Distribusi Responden Berdasarkan Keikutsertaan Pelatihan MTBS Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada 37 responden, maka dapat diperoleh distribusi data keikutsertaan pelatihan MTBS oleh petugas yang dapat dilihat pada Tabel 4.4 berikut ini : Tabel 4.4 Distribusi Keikutsertaan Pelatihan Responden Pelatihan yang Diikuti

Frekuensi

Persentase (%)

Belum Pernah

22

59,5

Pernah

15

40,5

Jumlah

37

100.0

Sumber: Data Hasil Penelitian Tahun 2011 Berdasarkan Tabel 4.4 diketahui bahwa responden yang belum pernah mengikuti pelatihan sebanyak 22 orang (59,5%) dan responden yang pernah mengikuti pelatihan sebanyak 15 orang (40,5%). 4.2.1.5. Distribusi Responden Berdasarkan Kepemimpinan Kepala Puskesmas Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada 37 responden, maka dapat diperoleh distribusi data kepemimpinan kepala puskesmas yang dapat dilihat pada Tabel 4.5 berikut ini :

96

Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Kepemimpinan Kepala Puskesmas Kepemimpinan

Frekuensi

Persentase (%)

Cukup

8

21,6

Baik

29

78,4

Jumlah

37

100.0

Sumber: Data Hasil Penelitian Tahun 2011 Berdasarkan Tabel 4.5 diketahui bahwa responden yang menjawab kepemimpinan kepala puskesmas cukup sebanyak 8 orang (21,6%), dan responden yang menjawab kepemimpinan kepala puskesmas baik sebanyak 29 orang (78,4%). 4.2.1.6. Distribusi Responden Berdasarkan Ketersediaan Peralatan MTBS Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada 37 responden, maka dapat diperoleh distribusi data ketersediaan peralatan MTBS yang dapat dilihat pada Tabel 4.6 berikut ini : Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Ketersediaan Peralatan MTBS Ketersediaan Peralatan

Frekuensi

Persentase (%)

Tidak Lengkap

18

48,6

Lengkap

19

51,4

Jumlah

37

100.0

Sumber: Data Hasil Penelitian Tahun 2011 Berdasarkan Tabel 4.6 diketahui bahwa responden yang menjawab bahwa ketersediaan peralatan MTBS di puskesmas tidak lengkap sebanyak 18 orang (48,6%), dan responden yang menjawab bahwa ketersediaan peralatan MTBS di puskesmas lengkap sebanyak 19 orang (51,4%).

97

4.2.1.7. Distribusi Responden Berdasarkan Alokasi Dana dari Dinkes Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada 37 responden, maka dapat diperoleh distribusi data alokasi dana dari Dinkes yang dapat dilihat pada Tabel 4.7 berikut ini : Tabel 4.7 Distribusi Frekuensi Alolasi Dana Alokasi Dana

Frekuensi

Persentase (%)

Tidak Ada

30

81,1

Ada

7

18,9

Jumlah

37

100,0

Sumber: Data Hasil Penelitian Tahun 2011 Berdasarkan Tabel 4.7 diketahui bahwa responden yang menjawab tidak ada alokasi dana sebanyak 30 orang (81,1%), dan responden yang menjawab ada alokasi dana sebanyak 7 orang (18,9%). 4.2.1.8.

Distribusi Responden Berdasarkan Rapat Koordinasi Tingkat Puskesmas Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada 37 responden, maka

dapat diperoleh distribusi data rapat koordinasi tingkat puskesmas yang dapat dilihat pada Tabel 4.8 berikut ini : Tabel 4.8 Distribusi Frekuensi Rapat Koordinasi Tingkat Pukesmas Rapat Koordinasi

Frekuensi

Persentase (%)

Tidak Ada

22

59,5

Ada

15

40,5

Jumlah

37

100,0

Sumber: Data Hasil Penelitian Tahun 2011

98

Berdasarkan Tabel 4.8 diketahui bahwa responden yang menjawab tidak ada rapat koordinasi tingkat Puskesmas sebanyak 22 orang (59,5%), dan responden yang menjawab ada rapat koordinasi tingkat puskesmas sebanyak 15 orang (40,5%). 4.2.1.9. Distribusi Responden Berdasarkan Sistem Pencatatan/ Pelaporan Pelaksanaan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada 37 responden, maka dapat diperoleh distribusi data sistem pencatatan/ pelaporan pelaksanaan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) yang dapat dilihat pada Tabel 4.9 berikut ini : Tabel 4.9 Distribusi Frekuensi Sistem Pecatatan/ Pelaporan Pelaksanaan MTBS Sistem Pencatatan/ Frekuensi Persentase (%) Pelaporan Cukup 19 51,4 Baik

18

48,6

Jumlah

37

100,0

Sumber: Data Hasil Penelitian Tahun 2011 Berdasarkan Tabel 4.9 diketahui bahwa responden yang menjawab sistem pencatatan/ pelaporan MTBS cukup sebanyak 19 orang (51,4%), dan responden yang menjawab sistem sebanyak 18 orang (48,6%).

pencatatan/ pelaporan MTBS baik

99

4.2.1.10. Distribusi Responden Berdasarkan Pelaksanaan Supervisi MTBS oleh Dinas Kesehatan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada 37 responden, maka dapat diperoleh distribusi data pelaksanaan supervisi MTBS oleh Dinas Kesehatan yang dapat dilihat pada Tabel 4.10 berikut ini : Tabel 4.10 Distribusi Frekuensi Pelaksanaan Supervisi MTBS oleh Dinas Kesehatan Pelaksanaan Supervisi

Frekuensi

Persentase (%)

Rendah

13

35,1

Tinggi

24

64,9

Jumlah

37

100,0

Sumber: Data Hasil Penelitian Tahun 2011 Berdasarkan Tabel 4.10 diketahui bahwa responden yang menjawab pelaksanaan supervisi rendah sebanyak 13 orang (35,1%), dan responden yang menjawab pelaksanaan supervisi tinggi sebanyak 24 orang (64,9%). 4.2.1.11. Distribusi Responden Berdasarkan Pelaksanaan Evaluasi MTBS oleh Kepala Puskesmas Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada 37 responden, maka dapat diperoleh distribusi data pelaksanaan evaluasi MTBS oleh kepala puskesmas yang dapat dilihat pada Tabel 4.11 berikut ini : Tabel 4.11 Distribusi Frekuensi Pelaksanaan Evaluasi MTBS Pelaksanaan Evaluasi

Frekuensi

Persentase (%)

Rendah

12

32,4

Tinggi

25

67,6

Jumlah

37

100,0

Sumber: Data Hasil Penelitian Tahun 2011

100

Berdasarkan Tabel 4.11 diketahui bahwa responden yang menjawab pelaksanaan evaluasi MTBS rendah sebanyak 12 orang (32,4%), dan responden yang menjawab pelaksanaan evaluasi MTBS tinggi sebanyak 25 orang (67,6%). 4.2.1.12. Distribusi Responden Berdasarkan Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada 37 responden, maka dapat diperoleh distribusi data implementasi MTBS yang dapat dilihat pada Tabel 4.12 berikut ini : Tabel 4.12 Distribusi Frekuensi Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) Pelaksanaan Supervisi

Frekuensi

Persentase (%)

Rendah

20

54,1

Tinggi

17

45,9

Jumlah

37

100,0

Sumber: Data Hasil Penelitian Tahun 2011 Berdasarkan Tabel 4.12 diketahui bahwa responden yang menjawab implementasi MTBS rendah sebanyak 20 orang (54,1%), dan responden yang menjawab implementasi MTBS tinggi sebanyak 17 orang (45,9%).

101

4.2.2 Analisis Bivariat 4.2.2.1. Hubungan antara Pengetahuan Petugas dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) Hubungan

antara

pengetahuan

petugas

dengan

implementasi

Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) dapat dilihat dalam tabulasi sebagai berikut : Tabel 4.13 Tabulasi Silang antara Pengetahuan Petugas dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) Implementasi MTBS Pengetahuan tentang MTBS

Rendah

Jumlah

Tinggi

Kurang + Cukup

n 16

% 43,24

n 10

% 27,0

N 26

% 70,3

Baik

4

10,81

7

18,9

11

29,7

Jumlah

20

54,1

17

45,9

37

100

P value 0,160

Sumber: Data Hasil Penelitian Tahun 2011 Berdasarkan Tabel 4.13 dapat diketahui bahwa dari 26 responden yang memiliki pengetahuan kurang dan cukup tentang MTBS terdapat 16 responden (43,24%) dengan implementasi MTBS rendah dan 10 responden (27,0%) dengan implementasi MTBS tinggi. Sedangkan dari 11 responden yang memiliki pengetahuan baik tentang

MTBS, terdapat 4 responden

(10,81%) dengan implementasi MTBS rendah dan 7 responden (18,9%) dengan implementasi MTBS tinggi.

102

Hasil analisis dengan menggunakan uji Chi Square dengan taraf kepercayaan 95% diperoleh p value = 0,160 dimana itu lebih dari 0,05 (0,160> 0,05) berarti Ho diterima atau dapat dikatakan tidak ada hubungan antara pengetahuan petugas tentang MTBS dengan implementasi MTBS di Puskesmas di Kota Semarang. 4.2.2.2. Hubungan antara Sikap Petugas dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) Hubungan antara sikap petugas dengan implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) dapat dilihat dalam tabulasi sebagai berikut : Tabel 4.14 Tabulasi Silang antara Sikap Petugas dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) Implementasi MTBS Sikap Petugas

Cukup Baik Jumlah

Rendah

Tinggi

Jumlah

n

%

n

%

N

%

10

27,03

3

8,11

13

35,14

10

27,03

14

37,8

24

64,83

20

54.1

17

45.9

37

100

P value

CC

0,040

0,320

Sumber: Data Hasil Penelitian Tahun 2011 Berdasarkan Tabel 4.14 dapat diketahui bahwa dari 13 responden yang memiliki sikap cukup, terdapat 10 responden (27,03%) dengan implementasi MTBS rendah dan 3 responden (8,11%) dengan implementasi MTBS tinggi. Sedangkan dari 24 responden yang memiliki sikap baik, terdapat 10 responden (27,03%) dengan implementasi MTBS rendah dan 14 responden (37,8%) dengan implementasi MTBS tinggi.

103

Hasil analisis dengan menggunakan uji Chi Square dengan taraf kepercayaan 95% diperoleh p value = 0,040 dimana itu kurang dari 0,05 (0,040 < 0,05) berarti Ho ditolak atau dapat dikatakan ada hubungan antara sikap petugas dengan implementasi MTBS . Berdasarkan Symmetric Measures didapatkan Coefisient Contingency sebesar 0,320. Hal ini dapat dikatakan bahwa ada hubungan yang lemah antara sikap petugas terhadap implementasi MTBS di Puskesmas di Kota Semarang. 4.2.2.3. Hubungan antara Motivasi Kerja Petugas dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) Hubungan antara motivasi kerja petugas dengan implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) dapat dilihat dalam tabulasi sebagai berikut : Tabel 4.15 Tabulasi Silang antara

Motivasi

Kerja

Petugas

dengan

Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) Implementasi MTBS Motivasi Kerja Petugas

Sedang Tinggi Jumlah

Rendah

Tinggi

Jumlah P value

n

%

n

%

N

%

2

5,4

0

0

2

5,4

18

48,7

17

45,9

35

94,6

20

54,10

17

45,9

37

100

0,489

Sumber: Data Hasil Penelitian Tahun 2011 Berdasarkan Tabel 4.15 dapat diketahui bahwa dari 2 responden yang memiliki motivasi kerja sedang, terdapat 2 responden (5,4%) dengan implementasi MTBS rendah dan tidak ada responden dengan implementasi

104

MTBS tinggi. Sedangkan dari 35 responden yang memiliki motivasi kerja tinggi terdapat 18 responden (48,7%) dengan implementasi MTBS rendah dan 17 responden (45,9%) dengan implementasi MTBS tinggi. Hasil analisis dengan menggunakan uji Chi Square dengan taraf kepercayaan 95% diperoleh p value = 0,489 dimana itu lebih dari 0,05 (0,489 > 0,05) berarti Ho diterima atau dapat dikatakan tidak ada hubungan antara motivasi kerja petugas dengan implementasi MTBS di Puskesmas di Kota Semarang. 4.2.2.4. Hubungan antara Pelatihan MTBS yang Diikuti Petugas dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) Hubungan antara keikutsertaan pelatihan MTBS oleh petugas dengan implementasi MTBS dapat dilihat dalam tabulasi sebagai berikut : Tabel 4.16 Tabulasi Silang antara Keikutsertaan Pelatihan MTBS oleh Petugas dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) Implementasi MTBS Pelatihan yang Diikuti

Belum Pernah Pernah Jumlah

Rendah

Tinggi

Jumlah

n

%

n

%

N

%

15

40,54

7

18,9

22

59,44

5

13,51

10

27,0

15

40,51

20

54,1

17

45,9

37

100

P value

CC

0,037

0,325

Sumber: Data Hasil Penelitian Tahun 2011 Berdasarkan Tabel 4.16 dapat diketahui bahwa dari 22 responden yang belum pernah mengikuti pelatihan MTBS , terdapat 15 responden

105

(40,54%) dengan implementasi MTBS rendah dan 7 responden (18,9%) dengan implementasi MTBS tinggi. Sedangkan dari 15 responden yang pernah mengikuti pelatihan MTBS, terdapat 5 responden (13,51%) dengan implementasi MTBS rendah dan 10 responden (27%) dengan implementasi MTBS tinggi. Hasil analisis dengan menggunakan uji Chi Square dengan taraf kepercayaan 95% diperoleh p value = 0,037 dimana itu kurang dari 0,05 (0,037 < 0,05) berarti Ho ditolak atau dapat dikatakan ada hubungan antara keikutsertaan pelatihan MTBS oleh petugas dengan implementasi MTBS. Berdasarkan Symmetric Measures didapatkan Coefisient Contingency sebesar 0,325. Hal ini dapat dikatakan bahwa ada hubungan yang lemah antara pelatihan MTBS yang diikuti petugas terhadap implementasi MTBS di Puskesmas di Kota Semarang. 4.2.2.5. Hubungan antara Kepemimpinan Kepala Puskesmas dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) Hubungan

antara

kepemimpinan

kepala

puskesmas

dengan

implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) dapat dilihat dalam tabulasi sebagai berikut :

106

Tabel 4.17 Tabulasi Silang antara Kepemimpinan Kepala Puskesmas dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) Implementasi MTBS Kepemimpinan Kepala Puskesmas

Cukup Baik Jumlah

Rendah

Jumlah

Tinggi

n

%

n

%

N

%

7

18,92

1

2,7

8

21,62

13

35,14

16

43,2

29

78,34

20

54.1

17

45,9

37

100

P value

CC

0,032

0,332

Sumber: Data Hasil Penelitian Tahun 2011 Berdasarkan Tabel 4.17 dapat diketahui bahwa dari 8 responden yang mengatakan kepemimpinan kepala puskesmas cukup, terdapat 7 responden (18,92%) dengan implementasi MTBS rendah dan 1 responden (2,7%) dengan implementasi MTBS tinggi. Sedangkan dari 29 responden yang mengatakan kepemimpinan kepala puskesmas baik, terdapat 13 responden (35,14%) dengan implementasi MTBS rendah dan 16 responden (43,2%) dengan implementasi MTBS tinggi. Hasil analisis dengan menggunakan uji Chi Square dengan taraf kepercayaan 95% diperoleh p value = 0,032 dimana itu kurang dari 0,05 (0,032 < 0,05) berarti Ho ditolak atau dapat dikatakan ada hubungan antara kepemimpinan kepala puskesmas dengan implementasi MTBS. Berdasarkan Symmetric Measures didapatkan Coefisient Contingency sebesar 0,332. Hal ini dapat dikatakan bahwa ada hubungan yang lemah antara kepemimpinan

107

kepala puskesmas terhadap implementasi MTBS di Puskesmas di Kota Semarang. 4.2.2.6. Hubungan antara Ketersediaan Peralatan yang Digunakan dalam pemeriksaan MTBS dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) Hubungan antara ketersediaan peralatan yang digunakan dalam pemeriksaan MTBS dengan implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) dapat dilihat dalam tabulasi sebagai berikut :

Tabel 4.18 Tabulasi Silang antara Ketersediaan Peralatan yang Digunakan dalam pemeriksaan MTBS dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) Implementasi MTBS Ketersediaan Peralatan

Tidak Lengkap Lengkap Jumlah

Rendah

Jumlah

Tinggi

P value

n

%

n

%

N

%

9

24,32

9

24,32

18

48,6

11

29,73

8

21,62

19

51,4

20

54,1

17

45,9

37

100

0,630

Sumber: Data Hasil Penelitian Tahun 2011 Berdasarkan Tabel 4.18 dapat diketahui bahwa dari 18 responden yang mengatakan ketersediaan peralatan MTBS tidak lengkap, terdapat 9 responden (24,32%) dengan implementasi MTBS rendah dan 9 responden (24,32%) dengan implementasi MTBS tinggi. Sedangkan dari 19 responden yang mengatakan ketersediaan peralatan MTBS lengkap, terdapat 11

108

responden (29,73%) dengan implementasi MTBS rendah dan 8 responden (21,62%) dengan implementasi MTBS tinggi. Hasil analisis dengan menggunakan uji Chi Square dengan taraf kepercayaan 95% diperoleh p value = 0,630 dimana itu lebih dari 0,05 (0,630 > 0,05) berarti Ho diterima atau dapat dikatakan tidak ada hubungan antara ketersediaan peralatan yang digunakan dalam pemeriksaan MTBS dengan implementasi MTBS di Puskesmas di Kota Semarang.

4.2.2.7. Hubungan antara Alokasi Dana dari Dinas Kesehatan dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) Hubungan antara alokasi dana dari dinas kesehatan dengan implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) dapat dilihat dalam tabulasi sebagai berikut : Tabel 4.19 Tabulasi Silang antara Alokasi Dana dari Dinas Kesehatan dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) Implementasi MTBS Rendah

Alokasi Dana

Tidak Ada Ada Jumlah

Tinggi

Jumlah P value

n

%

n

%

N

%

18

48,65

12

32,43

30

81,1

2

5,4

5

13,51

7

18,9

20

54.1

17

45,9

37

100

0,212

Sumber: Data Hasil Penelitian Tahun 2011 Berdasarkan Tabel 4.19 dapat diketahui bahwa dari 30 responden yang mengatakan tidak ada alokasi dana, terdapat 18 responden (48,65%)

109

dengan implementasi MTBS rendah dan 12 responden (32,43%) dengan implementasi MTBS tinggi. Sedangkan dari 7 responden yang mengatakan ada alokasi dana, terdapat 2 responden (5,4%) dengan implementasi MTBS rendah dan 5 responden (13,51%) dengan implementasi MTBS tinggi. Hasil analisis dengan menggunakan uji Chi Square dengan taraf kepercayaan 95% diperoleh p value = 0,212 dimana itu lebih dari 0,05 (0,212 > 0,05) berarti Ho diterima atau dapat dikatakan tidak ada hubungan antara alokasi dana dari Dinkes dengan implementasi MTBS di Puskesmas di Kota Semarang. 4.2.2.8. Hubungan antara Rapat Koordinasi Tingkat Puskesmas dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) Hubungan antara rapat koordinasi tingkat puskesmas dengan implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) dapat dilihat dalam tabulasi sebagai berikut : Tabel 4.20 Tabulasi Silang antara Rapat Koordinasi Tingkat Puskesmas dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) Implementasi MTBS Rapat Koordinasi

Tidak Ada Ada Jumlah

Rendah

Tinggi

Jumlah

n

%

n

%

N

%

15

40,54

7

18,9

22

59,44

5

13,51

10

27,0

15

40,51

20

54.1

17

45.9

37

100

Sumber: Data Hasil Penelitian Tahun 2011

P value

CC

0,037

0,325

110

Berdasarkan Tabel 4.20 dapat diketahui bahwa dari 22 responden yang mengatakan tidak ada rapat koordinasi, terdapat 15 responden (40,54%) dengan implementasi MTBS rendah dan 7 responden (18,9%) dengan implementasi MTBS tinggi. Sedangkan dari 15 responden yang mengatakan ada rapat koordinasi, terdapat 5 responden (13,51%) dengan implementasi MTBS rendah dan 10 responden (27,0%) dengan implementasi MTBS tinggi. Hasil analisis dengan menggunakan uji Chi Square dengan taraf kepercayaan 95% diperoleh p value = 0,037 dimana itu kurang dari 0,05 (0,037 < 0,05) berarti Ho ditolak atau dapat dikatakan ada hubungan antara rapat koordinasi dengan implementasi MTBS. Berdasarkan Symmetric Measures didapatkan Coefisient Contingency sebesar 0,325. Hal ini dapat dikatakan bahwa ada hubungan yang lemah antara rapat koordinasi tingkat puskesmas terhadap implementasi MTBS di Puskesmas di Kota Semarang. 4.2.2.9. Hubungan antara Sistem Pencatatan/ Pelaporan Pelaksanaan MTBS dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) Hubungan antara sistem pencatatan/ pelaporan pelaksanaan MTBS dengan implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) dapat dilihat dalam tabulasi sebagai berikut :

111

Tabel 4.21 Tabulasi Silang antara Sistem Pencatatan/ Pelaporan Pelaksanaan MTBS dengan Implementasi MTBS Implementasi MTBS Sistem Pencatatan/ Pelaporan MTBS

Jumlah Rendah

Tinggi

n

%

n

%

N

%

Cukup

7

18,92

12

32,43

19

51,35

Baik

13

35,14

5

13,51

18

48,65

Jumlah

20

54,1

17

45,9

37

100

P value

CC

0,031

0,334

Sumber: Data Hasil Penelitian Tahun 2011 Berdasarkan Tabel 4.21 dapat diketahui bahwa dari 19 responden yang mengatakan sistem pencatatan/ pelaporan MTBS cukup, terdapat 7 responden (18,92%) dengan implementasi MTBS rendah dan 12 responden (32,43%) dengan implementasi MTBS tinggi. Sedangkan dari 18 responden yang mengatakan sistem pencatatan/ pelaporan MTBS baik, terdapat 13 responden (35,14%) dengan implementasi MTBS rendah dan 5 responden (13,51%) dengan implementasi MTBS tinggi. Hasil analisis dengan menggunakan uji Chi Square dengan taraf kepercayaan 95% diperoleh p value = 0,031 dimana itu kurang dari 0,05 (0,031 < 0,05) berarti Ho ditolak atau dapat dikatakan ada hubungan antara sistem

pencatatan/

pelaporan

MTBS

dengan

implementasi

MTBS.

Berdasarkan Symmetric Measures didapatkan Coefisient Contingency sebesar 0,334. Hal ini dapat dikatakan bahwa ada hubungan yang lemah antara sistem pencatatan/ pelaporan MTBS terhadap implementasi MTBS di Puskesmas di Kota Semarang.

112

4.2.2.10. Hubungan antara Pelaksanaan Supervisi MTBS oleh Dinas Kesehatan dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) Hubungan antara pelaksanaan supervisi MTBS oleh dinas kesehatan dengan implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) dapat dilihat dalam tabulasi sebagai berikut : Tabel 4.22 Tabulasi Silang antara Pelaksanaan Supervisi MTBS oleh Dinkes dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) Implementasi MTBS Pelaksanaan Supervisi MTBS

Rendah Tinggi Jumlah

Rendah

Tinggi

Jumlah

n

%

n

%

N

%

4

10,81

9

24,32

13

35,13

16

43,24

8

21,62

24

64,86

20

54,1

17

45,9

37

100

P value

CC

0,036

0,325

Sumber: Data Hasil Penelitian Tahun 2011 Berdasarkan Tabel 4.22 dapat diketahui bahwa dari 13 responden yang mengatakan pelaksanaan supervisi MTBS rendah, terdapat 4 responden (10,81%) dengan implementasi MTBS rendah dan 9 responden (24,32%) dengan implementasi MTBS tinggi. Sedangkan dari 24 responden yang mengatakan pelaksanaan supervisi MTBS tinggi, terdapat 16 responden (43,24%) dengan implementasi MTBS rendah dan 8 responden (21,62%) dengan implementasi MTBS tinggi.

113

Hasil analisis dengan menggunakan uji Chi Square dengan taraf kepercayaan 95% diperoleh p value = 0,036 dimana itu kurang dari 0,05 (0,036 < 0,05) berarti Ho ditolak atau dapat dikatakan ada hubungan antara pelaksanaan supervisi MTBS oleh dinas kesehatan dengan implementasi MTBS. Berdasarkan Symmetric Measures didapatkan Coefisient Contingency sebesar 0,325. Hal ini dapat dikatakan bahwa ada hubungan yang lemah antara pelaksanaan supervisi MTBS oleh Dinkes terhadap implementasi MTBS di Puskesmas di Kota Semarang. 4.2.2.11. Hubungan antara Pelaksanaan Evaluasi MTBS oleh Kepala Puskesmas dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) Hubungan antara pelaksanaan evaluasi MTBS oleh kepala puskesmas dengan implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) dapat dilihat dalam tabulasi sebagai berikut :

Tabel 4.23 Tabulasi Silang antara Pelaksanaan Evaluasi MTBS oleh Kepala Puskesmas dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) Pelaksanaan Evaluasi MTBS Rendah Tinggi Jumlah

Implementasi MTBS Jumlah

Rendah n % 10 27,03

Tinggi n % 2 5,4

N 12

% 32,43

10

27,03

15

40,5

25

67,53

20

54,1

17

45,9

37

100

Sumber: Data Hasil Penelitian Tahun 2011

P value

CC

0,013

0,377

114

Berdasarkan Tabel 4.23 dapat diketahui bahwa dari 12 responden yang mengatakan pelaksanaan evaluasi MTBS rendah, terdapat 10 responden (27,03%) dengan implementasi MTBS rendah dan 2 responden (5,4%) implementasi MTBS tinggi. Sedangkan dari 25 responden yang mengatakan pelaksanaan evaluasi MTBS tinggi, terdapat 10 responden (27,03%) dengan implementasi MTBS rendah dan 15 responden (40,5%) dengan implementasi MTBS tinggi. Hasil analisis dengan menggunakan uji Chi Square dengan taraf kepercayaan 95% diperoleh p value = 0,013 dimana itu kurang dari 0,05 (0,013 < 0,05) berarti Ho ditolak atau dapat dikatakan ada hubungan antara pelaksanan evaluasi MTBS oleh kepala puskesmas dengan implementasi MTBS. Berdasarkan Symmetric Measures didapatkan Coefisient Contingency sebesar 0,377. Hal ini dapat dikatakan bahwa ada hubungan yang lemah antara pelaksanaan evaluasi MTBS oleh kepala puskesmas terhadap implementasi MTBS di Puskesmas di Kota Semarang.

BAB V PEMBAHASAN

5.1 Pembahasan 5.1.1 Hubungan

antara Pengetahuan

Petugas

dengan

Implementasi

Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara pengetahuan petugas dengan implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di Puskesmas di Kota Semarang. Hal ini didasarkan pada hasil analisis dengan uji Chi Square diperoleh p value = 0,036 (p value < 0,05). Berdasarkan hasil penelitian pula menunjukkan bahwa dari 26 responden yang memiliki pengetahuan kurang dan cukup tentang MTBS terdapat 16 responden (43,24%) dengan implementasi MTBS rendah dan 10 responden (27,0%) dengan implementasi MTBS tinggi. Sedangkan dari 11 responden yang memiliki pengetahuan baik tentang

MTBS, terdapat 4

responden (10,81%) dengan implementasi MTBS rendah dan 7 responden (18,9%) dengan implementasi MTBS tinggi. Hal ini dapat dimengerti bahwa petugas

yang mempunyai

pengetahuan baik cenderung akan baik dalam menerapkan tatalaksana terhadap balita sakit dengan menggunakan pendekatan MTBS, sesuai dengan teori perilaku yang mengatakan bahwa perilaku seseorang terhadap sesuatu akan sesuai dengan tingkat pemahaman terhadap sesuatu tersebut.

115

116

Hal ini tidak sesuai dengan pendapat Rogers (1974) dalam Soekidjo Notoatmodjo (2003: 121), bahwa perilaku yang didasari pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. 106 Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Titin Irawati (1998), yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan bermakna antara pengetahuan dengan kepatuhan bidan desa terhadap standar minimal pelayanan antenatal ANC 5T di Kabupaten Dt.II Cianjur dan sejalan pula dengan penelitian Yuliana (2000) yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara pengetahuan petugas dengan kepatuhan petugas terhadap standar ANC di 6 puskesmas pelaksana QA di Kabupaten Bekasi Jawa Barat. Hal ini tidak sejalan dengan pendapat Benyamin Bloom dalam Soekidjo Notoatmodjo (2003: 127), yang menyatakan bahwa perilaku dibagi dalam 3 domain yaitu pengetahuan tentang sesuatu materi, sikap terhadap materi tersebut, serta tindakan sehubungan dengan materi tersebut. Artinya perilaku baru dimulai dari petugas mengetahui terlebih dahulu apa isi dari tatalaksana MTBS, sehingga akan menimbulkan suatu pengetahuan baru, kemudian timbul suatu respon batin yang merupakan sikap terhadap tatalaksana MTBS tersebut.

117

5.1.2 Hubungan antara Sikap Petugas dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara sikap petugas dengan implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di Puskesmas di Kota Semarang. Hal ini didasarkan pada hasil analisis dengan uji Chi Square diperoleh p value = 0,040 (p value < 0,05). Berdasarkan hasil penelitian pula menunjukkan bahwa dari 13 responden yang memiliki sikap cukup, terdapat 10 responden (27,03%) dengan implementasi MTBS rendah dan 3 responden (8,11%) dengan implementasi MTBS tinggi. Sedangkan dari 24 responden yang memiliki sikap baik, terdapat 10 responden (27,03%) dengan implementasi MTBS rendah dan 14 responden (37,8%) dengan implementasi MTBS tinggi. Hal ini dapat dimengerti bahwa petugas yang mempunyai sikap baik cenderung akan baik dalam menerapkan tatalaksana terhadap balita sakit dengan menggunakan pendekatan MTBS, sesuai dengan teori perilaku yang mengatakan bahwa perilaku seseorang terhadap sesuatu akan sesuai dengan tingkat pemahaman terhadap sesuatu tersebut. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Sri Hastuti (2010) yang menunjukkan adanya pengaruh antara sikap terhadap penatalaksanaan MTBS pada petugas kesehatan di Puskesmas Kabupaten Boyolali. Hal ini sejalan dengan pendapat Soekidjo Notoatmodjo (2003: 130), perilaku seseorang dapat dipengaruhi oleh sikap, pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki serta dalam hal tertentu oleh material yang

118

tersedia. Sikap dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya adalah pengalaman pribadi, kebudayaan orang lain yang dianggap penting oleh media massa, institusi atau lembaga pendidikan dan lembaga agama serta emosi dari dalam diri atau individu. Sikap tidak dibawa orang sejak lahir, melainkan dibentuk sepanjang perkembangannya. Sikap dapat berubah-ubah, oleh karena itu sikap dapat dipelajari. Sikap tidak berdiri sendiri, melainkan selalu berkaitan dengan suatu objek.

5.1.3 Hubungan antara Motivasi Kerja Petugas dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara motivasi kerja petugas dengan implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di Puskesmas di Kota Semarang. Hal ini didasarkan pada hasil analisis dengan uji Chi Square diperoleh p value = 0,180 (p value > 0,05). Berdasarkan hasil penelitian pula menunjukkan bahwa dari 2 responden yang memiliki motivasi kerja sedang, terdapat 2 responden (5,4%) dengan implementasi MTBS rendah dan tidak ada responden dengan implementasi MTBS tinggi. Sedangkan dari 35 responden yang memiliki motivasi kerja tinggi terdapat 18 responden (48,7%) dengan implementasi MTBS rendah dan 17 responden (45,9%) dengan implementasi MTBS tinggi. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Wiwiek Pudjiastuti (2002: 104) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara motivasi

119

dengan kepatuhan

petugas dalam tatalaksana MTBS di Puskesmas DKI

Jakarta. Motivasi merupakan dorongan yang dapat menggerakan seseorang untuk berperilaku tertentu, yang muncul dari dalam diri seseorang dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Budioro, 2002: 92). Oleh karena itu, untuk dapat menunjang program MTBS secara baik, responden harus tetap dapat menumbuhkan akan pentingnya motivasi kerja. Hal ini dikarenakan motivasi kerja dapat mengarahkan kepada perilaku yang merefleksikan kinerja seseorang dalam suatu organisasi. Sehingga semakin baik motivasi kerja seorang petugas, maka diharapkan semakin baik pula kinerja petugas dalam menerapkan penatalaksanaan terhadap balita sakit dengan melakukan pemeriksaan yang menggunakan pendekatan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS). 5.1.4 Hubungan antara Pelatihan MTBS yang Diikuti Petugas dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara pelatihan MTBS yang diikuti petugas dengan implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di Puskesmas di Kota Semarang. Hal ini didasarkan pada hasil analisis dengan uji Chi Square diperoleh p value = 0,037 (p value < 0,05). Berdasarkan hasil penelitian pula menunjukkan bahwa dari 22 responden yang belum pernah mengikuti pelatihan MTBS , terdapat 15 responden (40,54%) dengan implementasi MTBS rendah dan 7 responden

120

(18,9%) dengan implementasi MTBS tinggi. Sedangkan dari 15 responden yang pernah mengikuti pelatihan MTBS, terdapat 5 responden (13,51%) dengan implementasi MTBS rendah dan 10 responden (27%) dengan implementasi MTBS tinggi.. Sesuai dengan pernyataan Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2002: 125) yang menyatakan bahwa kemampuan dan keterampilan tenaga pemeriksa antara lain ditentukan oleh pelatihan. Pelatihan merupakan salah satu upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Tujuan dari pelatihan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) ini yaitu dihasilkannya petugas kesehatan yang terampil menangani bayi dan balita sakit dengan menggunakan tatalaksana MTBS. Sasaran utama pelatihan MTBS ini adalah perawat dan bidan, akan tetapi dokter puskesmas pun perlu terlatih MTBS agar dapat melakukan supervisi penerapan MTBS di wilayah kerja puskesmas (Yeyen, 2006). 5.1.5 Hubungan

antara

Kepemimpinan

Kepala

Puskesmas

dengan

Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara kepemimpinan kepala puskesmas dengan implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di Puskesmas di Kota Semarang. Hal ini didasarkan pada hasil analisis dengan uji Chi Square diperoleh p value = 0,032 (p value < 0,05). Berdasarkan hasil penelitian pula menunjukkan bahwa dari 8 responden yang menjawab kepemimpinan kepala puskesmas cukup, terdapat

121

7 responden (18,92%) dengan implementasi MTBS rendah dan 1 responden (2,7%) dengan implementasi MTBS tinggi. Sedangkan dari 29 responden yang menjawab kepemimpinan kepala puskesmas baik, terdapat 13 responden (35,14%) dengan implementasi MTBS rendah dan 16 responden (43,2%) dengan implementasi MTBS tinggi. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Wiwiek Pudjiastuti (2002: 107) yang menyatakan bahwa ada hubungan antara komitmen pimpinan dengan kepatuhan petugas dalam tatalaksana MTBS di Puskesmas DKI Jakarta. Hal ini selaras dengan pendapat dari Anwar dalam Widiyaningsih (2007), menyebutkan bahwa kepemimpinan merupakan inti dari manajemen karena kepemimpinan adalah motor penggerak dari sumber daya manusia dan sumber daya lainnya. Pemeliharaan dan pengembangan sumber daya manusia merupakan keharusan mutlak. Kurangnya pemeliharaan dan perhatian pada tenaga bisa menyebabkan semangat kerja menjadi rendah, cepat lelah, bosan serta lamban dalam menyelesaikan tugas, sehingga dapat menurunkan prestasi kerja yang bersangkutan. 5.1.6 Hubungan antara Ketersediaan Peralatan yang Digunakan dalam pemeriksaan MTBS dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara ketersediaan peralatan yang digunakan dalam pemeriksaan MTBS dengan implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di Puskesmas

122

di Kota Semarang. Hal ini didasarkan pada hasil analisis dengan uji Chi Square diperoleh p value = 0,630 (p value > 0,05). Berdasarkan hasil penelitian pula menunjukkan bahwa dari 18 responden yang menjawab ketersediaan peralatan MTBS tidak lengkap, terdapat 9 responden (24,32%) dengan implementasi MTBS rendah dan 9 responden (24,32%) dengan implementasi MTBS tinggi. Sedangkan dari 19 responden yang menjawab ketersediaan peralatan MTBS lengkap, terdapat 11 responden (29,73%) dengan implementasi MTBS rendah dan 8 responden (21,62%) dengan implementasi MTBS tinggi. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Wiwiek Pudjiastuti (2002: 106) yang menyatakan bahwa ada hubungan antara ketersediaan sumberdaya atau sarana MTBS dengan kepatuhan petugas dalam tatalaksana MTBS di Puskesmas DKI Jakarta. Dimana sumberdaya atau sarana untuk kegiatan MTBS bukan merupakan barang atau alat bantu, karena sudah tercakup dalam sarana esensial Puskesmas, kecuali untuk formulir tatalaksana MTBS dan Kartu Nasehat Ibu (KNI) yang memerlukan penggandaan secara khusus. Menurut pendapat Azrul Azwar (1996) yang menyatakan bahwa sarana (alat) merupakan suatu unsur dari organisasi untuk mencapai suatu tujuan. Sarana termasuk dalam salah satu unsur dalam pelayanan kesehatan yang dibutuhkan untuk mencapai penyelenggaraan pelayanan kesehatan. Oleh karena itu, agar pelayanan menjadi bermutu maka persyaratan ketersediaan sarana prasarana harus tetap terpenuhi.

123

Berdasarkan hasil penelitian maka diharapkan sarana pendukung MTBS yang dimiliki masing-masing puskesmas dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh petugas untuk mendukung pemeriksaan yang dilakukan agar mendapatkan hasil yang akurat. Sarana yang dimaksudkan disini adalah semua

sarana

dan

prasarana

yang

digunakan

untuk

menunjang

keberlangsungan kegiatan Manajemen Terpadu Balita Sakit, yang terdiri atas : ruang MTBS, formulir MTBS dan kartu nasihat ibu, serta logistik (peralatan dan obat-obatan yang mendukung dalam kegiatan pemeriksaan MTBS pada balita sakit, yang meliputi : thermometer, stetoskop, dan timer ISPA atau arloji). Sarana tersebut hampir sama dengan sarana yang dibutuhkan pada puskesmas atau poli pongobatan pada umumnya begitu juga dengan obat MTBS. 5.1.7 Hubungan antara Alokasi Dana dari Dinas Kesehatan dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara alokasi dana dari Dinas Kesehatan dengan implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di Puskesmas di Kota Semarang. Hal ini didasarkan pada hasil analisis dengan uji Chi Square diperoleh p value = 0,212 (p value > 0,05). Berdasarkan hasil penelitian pula menunjukkan bahwa dari 30 responden yang mengatakan tidak ada alokasi dana, terdapat 18 responden (48,65%) dengan implementasi MTBS rendah dan 12 responden (32,43%) dengan implementasi MTBS tinggi. Sedangkan dari 7 responden yang

124

mengatakan ada alokasi dana, terdapat 2 responden (5,4%) dengan implementasi MTBS rendah dan 5 responden (13,51%) dengan implementasi MTBS tinggi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Djoko Mardijanto dan Mubasysyir Hasanbasri (2005), yang hasil penelitiannya menyebutkan bahwa tidak ada dana khusus untuk menunjang pelaksanaan MTBS. Rata-rata puskesmas masih mengharapkan bantuan sarana dan prasarana dari tingkat Kabupaten bahkan Provinsi. Terutama untuk pengadaan formulir MTBS dan ARI timer. Sarana penunjang cukup tersedia sehingga penatalaksanaan balita sakit dengan MTBS dapat berjalan baik. Sarana tersebut meliputi tenaga paramedis dan medis terlatih MTBS yang mengerjakan tatalaksana MTBS, alat bantu hitung napas, barang cetakan yang antara lain meliputi formulir MTBS dan Kartu Nasehat Ibu serta obat-obatan. Menurut A. A. Gde Muninjaya (2004: 159), dana operasional diarahkan untuk menunjang pelaksanaan kegiatan program oleh masingmasing staf pelaksana program. Alokasinya digunakan untuk biaya kunjungan pembinaan ke lapangan, pemeliharaan, dan pembelian alat penunjang kegiatan rutin program dan sebagainya. Karena tidak ada dana khusus untuk menunjang pelaksanaan MTBS yang dialokasikan oleh puskesmas sampai saat ini, maka Dinas Kesehatan kabupaten, Dinas Kesehatan provinsi, dan Departemen Kesehatan RI masih berusaha mengalokasikan dana untuk memenuhi sarana tersebut. Namun selalu dijelaskan kepada pihak puskesmas bahwa hal tersebut tidak dapat

125

berlangsung terus menerus sehingga diharapkan sedikit demi sedikit puskesmas dapat memenuhi kebutuhan sarana penunjang tersebut sendiri. 5.1.8 Hubungan antara Rapat Koordinasi Tingkat Puskesmas dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara rapat koordinasi tingkat puskesmas dengan implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di Puskesmas di Kota Semarang. Hal ini didasarkan pada hasil analisis dengan uji Chi Square diperoleh p value = 0,037 (p value < 0,05). Berdasarkan hasil penelitian pula menunjukkan bahwa dari 22 responden yang mengatakan tidak ada rapat koordinasi, terdapat 15 responden (40,54%) dengan implementasi MTBS rendah dan 7 responden (18,9%) dengan implementasi MTBS tinggi. Sedangkan dari 15 responden yang mengatakan ada rapat koordinasi, terdapat 5 responden (13,51%) dengan implementasi MTBS rendah dan 10 responden (27,0%) dengan implementasi MTBS tinggi. Menurut George R. Terry dalam Azrul Azwar (1996: 112) yang dimaksud rapat koordinasi adalah melaksanakan pertemuan dalam rangka koodinasi terpadu kegiatan antar program maupun antar instansi (lintas sektoral) yang terkait dengan masalah kesehatan masyarakat, sehingga tercapai tujuan pembangunan kesehatan yang menyeluruh. Dalam hal ini keterpaduan pelayanan yang dilakukan praktik MTBS menunjukkan suatu kerja tim yang kompak dan fleksibel dengan dipandu

126

buku panduan atau formulir MTBS menggambarkan bahwa MTBS merupakan suatu sistem pelayanan kesehatan (Rafless Bencoolen, 2011). Maksud tersebut yakni dilaksanakan dengan mengadakan rapat kerja secara periodik untuk team antar program dalam puskesmas dan antar sektor dengan unit-unit terkait lainnya diluar puskesmas guna menunjang kegiatan puskesmas yang berkaitan dengan masalah Manajemen Terpadu Balita Sakit. Tanpa koordinasi yang baik antar program-program (koordinasi internal) yang berkaitan dengan faktor tersebut, dan juga koordinasi eksternal (lintas sektoral) dengan instansi terkait, akan sulit untuk mengupayakan percepatan (akselarasi) pelaksanaan program pelayanan kesehatan di Puskesmas (Budioro B, 2002: 95). 5.1.9 Hubungan antara Sistem Pencatatan/ Pelaporan Pelaksanaan MTBS dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara sistem pencatatan/ pelaporan pelaksanaan MTBS dengan implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di Puskesmas di Kota Semarang. Hal ini didasarkan pada hasil analisis dengan uji Chi Square diperoleh p value = 0,031 (p value < 0,05). Berdasarkan hasil penelitian pula menunjukkan bahwa dari 19 responden yang mengatakan sistem pencatatan/ pelaporan cukup, terdapat 7 responden (18,92%) dengan implementasi MTBS rendah dan 12 responden (32,43%) dengan implementasi MTBS tinggi. Sedangkan dari 18 responden yang mengatakan sistem pencatatan/ pelaporan baik, terdapat 13 responden

127

(35,14%) dengan implementasi MTBS rendah dan 5 responden (13,51%) dengan implementasi MTBS tinggi. Menurut Nasrul Effendy (1998: 185), Sistem Pencatatan dan Pelaporan Terpadu Puskesmas (SP2TP) merupakan tata cara pencatatan dan pelaporan yang lengkap untuk pengelolaan puskesmas, meliputi keadaan fisik, tenaga sarana dan kegiatan pokok yang dilakukan serta hasil yang dicapai oleh puskesmas. Dengan adanya pencatatan dan pelaporan maka dapat tersedianya data dan informasi yang akurat, tepat waktu dan mutakhir secara periodik dan teratur untuk pengelolaan program kesehatan masyarakat melalui puskesmas di berbagai tingkat administrasi. 5.1.10 Hubungan

antara Pelaksanaan Supervisi

MTBS

oleh Dinas

Kesehatan dengan Implementasi MTBS Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara pelaksanaan supervisi MTBS oleh Dinas Kesehatan dengan implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di Puskesmas di Kota Semarang. Hal ini didasarkan pada hasil analisis dengan uji Chi Square diperoleh p value = 0,036 (p value < 0,05). Berdasarkan hasil penelitian pula menunjukkan bahwa dari 13 responden yang mengatakan pelaksanaan supervisi MTBS rendah, terdapat 4 responden (10,81%) dengan implementasi MTBS rendah dan 9 responden (24,32%) dengan implementasi MTBS tinggi. Sedangkan dari 24 responden yang mengatakan pelaksanaan supervisi MTBS tinggi, terdapat 16 responden

128

(43,24%) dengan implementasi MTBS rendah dan 8 responden (21,62%) dengan implementasi MTBS tinggi. Menurut Nasrul Effendy (1998: 183) supervisi adalah upaya pengarahan dengan cara mendengarkan alasan dan keluhan tentang masalah dalam pelaksanaan dan memberikan petunjuk serta saran-saran dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi pelaksana, sehingga meningkatkan daya guna dan hasil guna serta kemampuan pelaksana dalam melaksanakan upaya kesehatan di puskesmas. Supervisi selain merupakan monitoring langsung yang merupakan kegiatan lanjutan pelatihan. Melalui supervisi dapat diketahui bagaimana petugas yang sudah dilatih tersebut menerapkan semua pengetahuan dan keterampilannya. Selain itu supervisi dapat merupakan suatu proses pendidikan dan pelatihan berkelanjutan dalam bentuk on the job training. Supervisi harus dilaksanakan pada setiap tingkatan dan di semua pelaksana, karena dimanapun petugas bekerja akan tetap memerlukan bantuan untuk mengatasi masalah dan kesulitan yang mereka temukan. Karena merupakan suatu umpan balik tentang penampilan kerja mereka harus selalu diberikan untuk meningkatkan kinerja petugas. 5.1.11 Hubungan antara Pelaksanaan Evaluasi MTBS oleh Kepala Puskesmas dengan Implementasi MTBS Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara pelaksanaan evaluasi MTBS oleh kepala puskesmas dengan implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di Puskesmas di

129

Kota Semarang. Hal ini didasarkan pada hasil analisis dengan uji Chi Square diperoleh p value = 0,013 (p value < 0,05). Berdasarkan hasil penelitian pula menunjukkan bahwa dari 12 responden yang mengatakan pelaksanaan evaluasi MTBS rendah, terdapat 10 responden (27,03%) dengan implementasi MTBS rendah dan 2 responden (5,4%) dengan implementasi MTBS tinggi. Sedangkan dari 25 responden yang mengatakan pelaksanaan evaluasi MTBS tinggi, terdapat 10 responden (27,03%) dengan implementasi MTBS rendah dan 15 responden (40,5%) dengan implementasi MTBS tinggi. Penilaian (evaluasi) menurut Djoko Wijono (1997: 135) adalah kegiatan untuk membandingkan antara hasil yang telah dicapai dengan rencana yang telah ditentukan. Penilaian merupakan alat penting untuk membantu pengambilan keputusan sejak tingkat perumusan kebijakan maupun pada tingkat pelaksanaan program. Dengan demikian maksud dan tujuan evaluasi dalam pembangunan kesehatan adalah untuk memperbaiki program-program kesehatan dan pelayanan kesehatan, dan untuk mengarahkan alokasi sumber daya, tenaga dan dana kepada program-program dan pelayanan kesehatan yang ada saat ini dan dimasa yang akan datang (Djoko Wijono, 1997: 216). Kepala puskesmas memegang peranan yang sangat penting dalam rangka evaluasi pelaksanaan tatalaksana pemeriksaan terhadap balita sakit dengan menggunakan pendekatan MTBS, oleh karena kepala puskesmaslah yang berhubungan langsung dengan petugas pelaksana. Evaluasi ini

130

menyimpulkan bahwa pelaksanaan MTBS telah berjalan bergantung pada petugas yang sudah pernah dilatih. Kinerja petugas dalam pemeriksaan proses MTBS meliputi kelengkapan pengisian formulir tatalaksana MTBS dan pembuatan klasifikasi keluhan pada balita yang sakit.

5.2 Hambatan dan Kelemahan Penelitian 5.2.1 Hambatan Penelitian Penelitian mengenai faktor yang berhubungan dengan implementasi MTBS, tidak selalu berjalan dengan lancar. Adapun kendala yang dihadapi yaitu: 1. Peneliti mengalami kesulitan dalam mencari alamat tempat penelitian karena luasnya wilayah penelitian sehingga membutuhkan waktu yang relatif lama untuk pengumpulan data. 2. Pertanyaan-pertanyaan

dalam

kuesioner

untuk

unsur

pendukung

penerapan MTBS kurang mendalam yang sesuai dengan indikator dalam formulir tatalakana Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS). 5.2.2 Kelemahan Penelitian 1. Dalam penelitian ini diperlukan adanya kerjasama, keseriusan maupun kejujuran

responden

dalam

menjawab

pertanyaan.

Sehingga

memungkinkan terjadinya bias dalam penelitian ini. Hal tersebut dikarenakan, responden yang diteliti adalah petugas kesehatan, sehingga jawaban yang didapat cenderung bersifat subyektif, karena dipengaruhi

131

oleh ingatan, pengetahuan, persepsi, dan sosial responden saat wawancara dilaksanakan. 2. Pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner untuk variabel pengetahuan petugas, cenderung mempunyai pilihan alternatif jawaban yang hampir senada (mirip/ sama), sehingga dalam uji validitas terdapat 2 butir soal yang tidak valid. 3. Desain/ rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Crossectional, dimana data yang diambil selama penelitian berlangsung. Sehingga hasil yang diperoleh hanya mencerminkan implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) dalam jangka waktu tersebut saja.

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan Berdasarkan hasil penelitian mengenai faktor yang berhubungan dengan implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS), maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 6.1.1 Tidak ada hubungan antara pengetahuan petugas tentang MTBS dengan implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di Puskesmas di Kota Semarang Tahun 2010 dengan nilai p value = 0,160. 6.1.2 Ada hubungan antara sikap petugas dengan implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di Puskesmas di Kota Semarang Tahun 2010 dengan nilai p value = 0,040. 6.1.3 Tidak ada hubungan antara motivasi kerja petugas dengan implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di Puskesmas Di Kota Semarang Tahun 2010 dengan nilai p value = 0,489. 6.1.4 Ada hubungan antara pelatihan MTBS yang diikuti petugas terhadap implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di Puskesmas Di Kota Semarang Tahun 2010 dengan nilai p value = 0,037. 6.1.5 Ada hubungan antara kepemimpinan kepala puskesmas terhadap implementasi MTBS di Puskesmas di Kota Semarang Tahun 2010 dengan nilai p value = 0,032.

132

133

6.1.6 Tidak ada hubungan antara ketersediaan peralatan MTBS dengan implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di Puskesmas di Kota Semarang Tahun 2010 dengan nilai p value = 0,630. 6.1.7 Tidak ada hubungan antara alokasi dana dengan implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di Puskesmas di Kota Semarang Tahun 2010 dengan nilai p value = 0,212. 6.1.8 Ada hubungan antara rapat koordinasi tingkat puskesmas terhadap implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di Puskesmas di Kota Semarang Tahun 2010 dengan nilai p value = 0,037. 6.1.9 Ada hubungan antara sistem pencatatan/ pelaporan MTBS dengan implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di Puskesmas di Kota Semarang Tahun 2010 dengan nilai p value = 0,031. 6.1.10 Ada hubungan antara pelaksanaan supervisi MTBS oleh dinas kesehatan dengan implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di Puskesmas di Kota Semarang Tahun 2010 dengan nilai p value = 0,036. 6.1.11 Ada hubungan antara pelaksanan evaluasi oleh kepala puskesmas dengan implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di Puskesmas di Kota Semarang Tahun 2010 dengan nilai p value = 0,013.

134

6.2 Saran Berdasarkan simpulan dari hasil penelitian ini, beberapa saran yang dapat diberikan antara lain : 6.2.1 Bagi Dinas Kesehatan Kota Semarang 6.2.1.1 Perlunya diadakan pelatihan bagi petugas yang belum pernah mendapatkan pelatihan. Penekanan pelatihan pada pentingnya klasifikasi pada tatalaksana balita sakit, penanganan bila ditemukan balita sakit dalam

keadaan

memburuk,

dan

sistem

pencatatan/

pelaporan

pelaksanaan MTBS. 6.2.1.2 Bagi petugas yang sudah pernah mendapat pelatihan diharapkan perlu kiranya diadakan pelatihan dengan cara on the job training, dengan tujuan untuk refresing. 6.2.1.3 Perlunya peningkatan pelaksanaan supervisi MTBS dengan disertakan bimbingan teknis, tentang penatalaksanaan kasus balita sakit, meliputi pemeriksaan

dan

klasifikasinya,

pemantauan

berkala

terhadap

pelaksanaan kegiatan MTBS di puskesmas, serta pencatatan/ pelaporan pelaksanaan program MTBS. 6.2.1.4 Perlu kiranya membuat suatu kebijakan kesehatan tentang pelayanan kesehatan pada balita sakit di puskesmas dengan menggunakan pendekatan MTBS, karena hal ini diperlukan sebagai pedoman bagi pimpinan puskesmas dalam menetapkan kebijakan pelayanan di puskesmas.

135

6.2.2 Bagi Petugas Pemegang Program Di Puskesmas 6.2.2.1 Meningkatkan kualitas pelayanan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS), baik di puskesmas maupun saat kunjungan rumah. 6.2.2.2. Melakukan sosialisasi dan memberikan penyuluhan mengenai MTBS ke ibu-ibu yang mempunyai anak balita pada saat posyandu dan kunjungan rumah.

6.2.3 Bagi Peneliti selanjutnya 6.2.3.1. Diharapkan perlu adanya penelitian lebih mendalam dengan mempeluas sampel serta lebih memperhatikan variabel-variabel yang terkait. 6.2.3.2. Perlunya diadakan penelitian yang lebih mendalam dalam bidang Administrasi Kebijakan Kesehatan (AKK), tentang evaluasi program Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) sehingga dapat mengetahui lebih jauh tentang MTBS dan dapat meningkatkan pelayanan kesehatan di puskesmas yang berkaitan dengan masalah Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS).

DAFTAR PUSTAKA

A. A. Gde Muninjaya, 1999, Manajemen Kesehatan Edisi 1, Jakarta: Buku Kedokteran EGC. ____________________, 2004, Manajemen Kesehatan Edisi 2, Jakarta: Buku Kedokteran EGC. A. Aziz Alimul Hidayat. 2008, Pengantar Ilmu Kesehatan Anak Untuk Pendidikan Kebidanan, Jakarta: Salemba Medika Agus Irianto, 2007, Statistik Konsep Dasar dan Aplikasinya, Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Azrul Azwar, 1996, Pengantar Administrasi Kesehatan, Jakarta: Binarupa Aksara. Awi Muliadi Wijaya, 2009, Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) atau Integrated Management of Childhood Illness (IMCI), http://www.infodokterku.com/index.php?option=com_content&view=arti cle&id=54:mtbs-imci&catid=27:helath-programs&Itemid=44, diakses tanggal 22 April 2011. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, Laporan Nasional 2007. http://www.infodokterku.com/index.php?option=com_content&vie w= article & id 37:manajemen-terpadu-balita-sakit-mtbs&catid=27:helath programs & Itemid= 28, diakses 1 Juni 2010. Budioro B, 2002, Pengantar Administrasi Kesehatan Masyarakat, Semarang: FKM Universitas Diponegoro. Departemen Kesehatan RI, 1999, Informasi Manajemen Terpadu Balita Sakit, Jakarta: Departemen Kesehatan RI. ______________________, 1999, Gerakan Pembangunan Berwawasan Kesehatan sebagai Strategi Pembangunan Nasional untuk mewujudkan Indonesia Sehat 2010, Jakarta: DepKes RI. ______________________, 2002, Pedoman Perencanaan Penerapan MTBS, Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

136

137

______________________, 2006a, Manajemen Terpadu Balita Sakit Modul 1 Pengantar, Jakarta: DepKes RI. ______________________, 2006b, Manajemen Terpadu Balita Sakit Modul 2 Penilaian dan Klasifikasi Anak Sakit Umur 2 Bulan Sampai 5 tahun, Jakarta: DepKes RI. 125 ______________________, 2006c, Manajemen Terpadu Balita Sakit Modul 3 Menentukan Tindakan Dan Memberi Pengobatan, Jakarta: DepKes RI. ______________________, 2006d, Manajemen Terpadu Balita Sakit Modul 4 Konseling Bagi Ibu, Jakarta: DepKes RI. ______________________, 2006e, Manajemen Terpadu Balita Sakit Modul 5 Tindak Lanjut, Jakarta: DepKes RI. ______________________, 2006f, Manajemen Terpadu Balita Sakit Modul 7 Pedoman Penerapan MTBS Di Puskesmas, Jakarta: DepKes RI. Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah. 2009, Data Kualitas Anak dan Gambaran Program Anak Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009, Semarang: Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah. Dinkes Kota Semarang, 2009, Rekap Laporan Pelaksanaan Manajemen Terpadu Balita (Umur 2 Bulan-5 Tahun) Tahun 2009, Semarang: Dinas Kesehatan Kota Semarang. ___________________, 2009, Profil Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Semarang, Semarang: Dinkes Kota Semarang. Djoko Mardijanto dan Mubasysyir Hasanbasri, 2005, Evaluasi Manajemen Terpadu Balita Sakit Di Kabupten Pekalongan, JMPK Vol. 08/No.01/Maret/2005. Djoko Wijono, 1997, Manajemen Kepemimpinan dan Organisasi Kesehatan, Surabaya: Airlangga University Press. _____________, 1999, Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan, Surabaya: Airlangga University Press. Fandy Tjiptono dan Anastasia Diana, 2001, Total Quality Management. Yogyakarta: Andi Offset. Farida Jasfar, 2005, Manajemen Jasa Pendekatan Terpadu, Bogor: Ghalia Indonesia.

138

Faridah, 2009, Analisis Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Motivasi Kerja Petugas Pelaksana Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di Puskesmas Kota Surabaya, Semarang: UNDIP. Imbalo S. Pohan, 2003, Jaminan Mutu Pelayanan Kesehatan (Penerapannya dalam Pelayanan Kesehatan), Jakarta: EGC. Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, 2007, Pedoman Penyusunan Skripsi Mahasiswa Program Strata I, Semarang: UNNES Press. _________________________________, 2010, Petunjuk Penyusunan Skripsi Mahasiswa Program Strata I, Semarang: UNNES Press. Mahmulsyah Munthe, Tjahjono Kuntjoro, 2006, Strategi Perbaikan Mutu pelayanan MTBS di Puskesmas Rantau Panjang Kabupaten Merangin, Jambi, Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada. Manajemen Terpadu Balita Sakit,http://www.scribd.com/doc/21336672/Manajemen-Terpadu-BalitaSakit, diakses tanggal 14 Agustus 2010. Muh.

Fakhrurrozie, 12 Agustus 2009, Forum Puskesmas, http://puskesmassungkai.wordpress.com/2009/08/12/aplikasi-manajemensumber-daya-manusia-di-puskesmas-sungkai-kecamatan-simpang-empatkabupaten-banjar/, diakses tanggal 21 April 2011.

Nasrul Effendy, 1998, Dasar-Dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat Edisi 2, Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Philip Kotler & Kevin Lane Keller, Marketing Manaagement, 2006, http://id.wikipedia.org/wiki/5M New Jersey, PEarson Education, Inc, diakses tanggal 16 Mei 2011. Rafless bencoolen, Makalah Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS), Rabu 06 April 2011, http://bahankuliahkesehatan.blogspot.com/2011/04/makalahmanajemen-terpadu-balita-sakit.html, diakses 20 April 2011. Rosyidah Munawarah, 2008, Hubungan Penerapan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) Diare dengan Kesembuhan Diare Akut pada Balita di Puskesmas I Kartasura, Skirpsi: UMS. Saiffudin Azwar, 2005, Penyusunan Skala Psikologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Soekidjo Notoatmodjo, 2003, Pendidikan dan Perilaku Kesehatan, Jakarta: PT. Asdi Mahasatya.

139

__________________, 2003, Ilmu Kesehatan Masyarakat (Prinsip-Prinsip Dasar), Jakarta: PT. Rineka Cipta. Sopiyudin Dahlan, 2008, Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan, Jakarta: Salemba Medika. Sri Hastuti, 2010, Pengaruh Pengetahuan, Sikap dan Motivasi terhadap Penatalaksanaan MTBS Pada Petugas Kesehatan Di Puskesmas Kabupaten Boyolali, Tesis: Universitas Sebelas Maret Surakarta. Stephen P. Robbins, 2001, Perilaku Organisasi (Konsep, Kontroversi, Aplikasi) Edisi Kedelapan, Jakarta: PT. Prenhallindo. ________________, 2008, Perilaku Organisasi edisi 12, Jakarta: Salemba Empat. Sudigdo Sastroasmoro dan Sofyan Ismael, 2002, Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis Edisi Ke-2, Jakarta: CV. Sagung Seto. Sugiyono, 2005, Statistika Untuk Penelitian, Bandung: CV. Alfabeta. Titin Irawati, 1998, Analisis Kepatuhan Bidan di Desa terhadap Standar Minimal Pelayanan Antenatal 5T di Kabupaten Dt.II Cianjur Tahun 1998, Tesis: FKM Universitas Indonesia. Wahid Iqbal Mubarak dan Nurul Chayatin, 2009, Ilmu Kesehatan Masyarakat Teori dan Aplikasi, Jakarta: Salemba Medika. Widiyaningsih, 2007, Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kinerja Petugas UKS Puskesmas di Kota Cirebon Tahun 2007, Skripsi: Universitas Diponegoro. Yayuk Farida Baliwati, dkk, 2004, Pengantar Pangan dan Gizi, Jakarta: Penebar Swadaya. Yeyen,

2006, Pelatihan MTBS (Manajemen Terpadu Balita Sakit), http://30300086.blog.friendster.com/2006/12/pelatihan-mtbs-manajementerpadu-balita-sakit/, diakses 21 April 2011.

Yuliana Nurbaety, 2000, Faktor yang Berhubungan dengan Kepatuhan Petugas terhadap Standar Antenatal Care (ANC) di 6 Puskesmas Pelaksana QA di Kabupaten Bekasi Jawa Barat, Tesis: FKM Universitas Indonesia.

140

Lampiran – lampiran

Lampiran 1- 10 Surat-surat ijin penelitian

141

Lampiran 11

KUESIONER PENELITIAN ”Faktor yang Berhubungan dengan Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di Puskesmas Kota Semarang Tahun 2010”. Kode Responden

:

Tanggal wawancara

:

Petunjuk Pengisian Kuesioner a. Lengkapilah terlebih dahulu identitas diri Anda di tempat yang telah tersedia. b. Bacalah dengan teliti setiap pertanyaan dan kemungkinan jawaban. c. Untuk menentukan pilihan jawaban, berilah tanda silang (X) pada jawaban yang Anda pilih atau beri tanda ( √ ) pada kolom ”S” untuk jawaban setuju dan kolom ”TS” untuk jawaban tidak setuju. d. Untuk menentukan pilihan jawaban, berilah tanda silang (X) pada jawaban yang Anda pilih atau beri tanda ( √ ) pada kolom ”Y” untuk jawaban Ya, kolom ”T” untuk jawaban Tidak, dan kolom ”K” untuk jawaban Kadang-kadang. e. Apabila Anda ingin merubah jawaban yang telah diberikan tanda silang (X), maka berilah tanda sama dengan (=) pada jawaban tersebut. f. I.

Jawaban yang Anda berikan dijamin kerahasiannya.

Data Karakteristik Responden 1. Nama Responden

:

............................................................................. 2. Pangkat/ NIP

:

............................................................................. 3. Umur

:

............................................................................. 4. Alamat

:

............................................................................. 5. Jenis Kelamin

:

............................................................................. 6. Jabatan/ Status Kepegawaian

:

............................................................................. 7. Pendidikan terakhir

:

.............................................................................

142

8. Lama Bertugas

:

............................................................................. 9. Lama Bertugas di Tempat Sekarang

:

............................................................................. 10. Puskesmas Tempat Bekerja

:

............................................................................. 11. Pelatihan MTBS

:

Pernah/

Tidak

Pernah,

Berapa

Kali..................... II. Pengetahuan Petugas 1. Apa yang dimaksud dengan MTBS? a. Manajemen Terpadu Balita Sehata b. Manajemen Tepadu Balita Sakit 2. Apakah tujuan dari program MTBS? a. Untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan b. Untuk pengelolaan masalah penyakit pada anak balita 3. Apakah petugas pernah mengadakan sosialisasi tentang program MTBS ke masyarakat/ ibu balita yang berkunjung sebelum pemeriksaan? a. Pernah b. Tidak pernah 4. Adakah keterkaitan MTBS dengan program lain di puskesmas? a. Ya b. Tidak ada 5. Apakah Anda selalu melakukan pencatatan dan pelaporan setelah melaksanakan pelayanan MTBS? a. Ya b. Tidak 6. Apakah Anda melakukan rujukan bila ditemukan penderita dalam keadaan memburuk? a. Ya b. Tidak 7. Klasifikasi apa sajakah yang termasuk dalam strategi kuratif MTBS? a. Konseling gizi, Konseling pemberian ASI, dan Suplemen Vitamin A b. Diare, Campak, dan Masalah gizi 8. Indikator keberhasilan dari program MTBS meliputi:

143

a. Angka mortalitas dan mobiditas menurun b. Angka mortalitas dan mobiditas meningkat 9. Langkah-langkah apa sajakah dalam pelaksanaan MTBS? a. Melakukan pemeriksaan terhadap balita sakit b. Menilai dan membuat klasifikasi anak sakit 10. Apakah tanda bahaya umum pada anak balita yang sakit? a. Anak tidak bisa minum atau menetek, anak kejang, anak selalu memuntahkan semuanya, anak letargis atau tidak sadar b. Napas cepat, sudah berapa lama anak batuk atau sukar bernapas, tarikan dinding dada kedalam, stridor pada anak yang tenang

144

III. Sikap Petugas No. 11.

Pernyataan Sikap Saya merasa kesulitan untuk melakukan klasifikasi penyakit pada bayi atau balita sakit sebagaimana sistem pengklasifikasian pada MTBS

12.

Sebagai petugas pelaksana MTBS saya merasa bertanggung jawab atas berlangsungnya Program ini

13.

Saya melaksanakan MTBS, sesuai dengan alur pelaksanaan MTBS

14.

Saya selalu memberikan penjelasan kepada ibu yang memeriksakan bayi atau balita

15.

Saya selalu memberikan kartu nasehat ibu

16.

MTBS membutuhkan konsentrasi tersendiri, dan saya mampu menjalankan dengan baik

17.

Potensi yang saya miliki kurang mendukung dalam memperoleh prestasi kerja yang optimal

18.

Saya merasa bosan dan jenuh terhadap pekerjaan ini

19.

Promosi jabatan dapat meningkatkan produktivitas kerja

20.

Pekerjaan yang saya lakukan bersifat kreatif dan inovatif

IV. Pelatihan MTBS yang Diikuti Petugas 21. Apakah saudara pernah mengikuti pelatihan mengenai MTBS? a. Ya b. Tidak 22. Apabila ada pelatihan, apakah Saudara sering diikutsertakan? a. Ya, selalu b. Tidak selalu

S

TS

Skor

145

V. Motivasi Kerja No.

Pernyataan Motivasi Kerja

23.

Sebagai pelaksana program MTBS, saya mengerjakan tugas yang diberikan pimpinan sesuai target pencapaian yang telah di tetapkan sebelumnya

24.

Pada saat melaksanakan kegiatan MTBS, saya dan tim MTBS selalu bekerjasama dengan baik

25.

Tugas dan tanggung jawab mengenai pelaksanaan MTBS, telah disampaikan kepada saya pada saat akan dimulainya penerapan MTBS di Puskesmas

26.

Dalam perencanaan pencapaian MTBS, saya selalu dilibatkan dalam rapat koordinasi dengan tim MTBS

27.

Saya mendapatkan bimbingan dan arahan setiap saya mendapati masalah terkait dengan pelaksanaan MTBS

28.

Kerjasama team MTBS membuat saya dapat melaksanakan program MTBS dengan baik

29.

Melaksanakan pelayanan dengan MTBS di Puskesmas ini, bagi saya membuat tantangan untuk maju

30.

Hubungan kerja (terkait program MTBS) antara saya dan pimpinan terjalin dengan baik dan tidak kaku

31.

Di Puskesmas ini, kerjasama terjalin dengan baik diantara teman-teman sehingga mendorong saya bekerja keras dalam penerapan MTBS

32.

Jika mempunyai loyalitas yang tinggi, pekerjaan apapun pasti dapat terselesaikan

33.

Kurang tanggap dalam bekerja karena saya merasa ribet dengan adanya progam baru

34.

Saya merasa senang dan semangat dalam melakukan pekerjaan ini

35.

Saya tidak selalu menjalani tugas dengan SOP dalam bekerja

36.

Atasan sering memberikan pengarahan dalam melaksanakan tugas

37.

Penghargaan dapat memotivasi saya untuk bekerja

S

TS

Skor

146

VI. Kepemimpinan Kepala Puskesmas No.

Pernyataan Kepemimpinan

38.

Kepala Puskesmas memberikan perhatian terhadap hasil kerja saudara

Y

T

(misalnya dengan menanyakan perkembangan, kesulitan, hambatan dalam pengelolaan data) 39.

Kepala Puskesmas mengingatkan untuk selalu menyajikan laporan tepat waktu

40.

Kepala Puskesmas bersikap ramah dan bijaksana

41.

Kepala Puskesmas mau menerima usulan atau gagasan yang saya sampaikan

42.

Kepala Puskesmas memberi petunjuk tentang apa yang akan saudara kerjakan

43.

Kepala Puskesmas mengevaluasi pekerjaan saya, bila hasil pekerjaan saya dianggap tidak memuaskan atau memuaskan

44.

Kepala Puskesmas selalu mengikutsertakan saya bila ada suatu kegiatan yang berhubungan dengan pekerjaan saya yang berkaitan dengan masalah MTBS

45.

Kepala Puskesmas tidak begitu menyimak dengan baik setiap keluhan yang saya sampaikan

46.

Kepala Puskesmas memberi semangat pada staf untuk berpartisipasi dalam tim kerja

47.

Kepala Puskesmas selalu memonitoring dan mengevaluasi tugas atau pekerjaan saudara

VII. Ketersediaan Peralatan yang Digunakan dalam Pemeriksaan MTBS 48. Apakah alat pemeriksaan yang dibutuhkan untuk pelaksanaan MTBS di Puskesmas ini selalu tersedia untuk balita sakit yang datang? a. Ya b. Tidak 49. Apakah formulir tatalaksana MTBS selalu tersedia untuk setiap balita yang ditangani dengan MTBS? a. Ya b. Tidak

K

Skor

147

50. Apakah kartu nasihat ibu (KNI) selalu tersedia bagi ibu/ pengantar dari balita sakit yang datang? a. Ya b. Tidak 51. Apakah obat-obatan yang dibutuhkan untuk pelaksanaan MTBS di Puskesmas ini selalu tersedia untuk balita sakit yang datang? a. Ya b. Tidak VIII. Alokasi Dana dari Dinas Kesehatan 52. Adakah alokasi dana khusus untuk pelaksanaan MTBS di Puskesmas tempat saudara bekerja? a. Ya, ada b. Tidak ada

IX. Rapat Koordinasi 53. Apakah di Puskesmas Anda bekerja, terdapat agenda/ jadwal rapat kerja untuk melaksanakan kegiatan MTBS? a. Ada b. Tidak ada c. Tidak tahu 54. Apakah untuk melaksanakan kegiatan MTBS, terlebih dahulu dilakukan rapat koordinasi internal antar program yang ada Puskesmas secara periodik? a. Ya, Selalu b. Kadang-kadang c. Jarang d. Tidak pernah 55. Apakah dalam melaksanakan kegiatan MTBS, terlebih dahulu dilakukan rapat koordinasi eksternal antar sektor diluar Puskesmas? a. Ya, Selalu b. Kadang-kadang c. Jarang d. Tidak pernah

148

X. Sistem Pencatatan/ Pelaporan Pelaksanaan MTBS 56. Apakah dalam setiap pelaksanaan kegiatan Manajemen Terpadu Balita Sakit selalu dilakukan pencatatan jumlah balita sakit yang berkunjung? a. Ya, selalu b. Tidak selalu 57. Apakah dalam setiap pelaksanaan kegiatan MTBS selalu dilakukan pencatatan jumlah balita sakit yang dilakukan pemeriksaan dengan menggunakan pendekatan MTBS? a. Ya, selalu b. Tidak selalu 58. Apakah dalam setiap pelaksanaan kegiatan MTBS selalu dilakukan pencatatan mengenai jumlah perlengkapan dan obat yang dibutuhkan? a. Ya b. Tidak 59. Apakah dalam setiap pelaksanaan kegiatan MTBS selalu dilakukan pelaporan secara sistematik setiap bulan? a. Ya, selalu b. Tidak selalu

XI. Supervisi Dinkes terhadap Pelaksanaan MTBS 60. Di Puskesmas tempat Anda bekerja, apakah pernah dilakukan supervisi menyangkut pembinaan program MTBS oleh Dinas Kesehatan Kota Semarang? a. Ya b. Tidak 61. Di Puskesmas tempat Anda bekerja, apakah pernah dilakukan supervisi menyangkut pengawasan (meliputi pemantauan dan koordinasi) program MTBS oleh Dinas Kesehatan Kota Semarang? a. Ya b. Tidak 62. Apakah supervisi tersebut dilaksanakan secara periodik (1 tahun 2X) ? a. Ya b. Tidak

149

XII. Evaluasi (Penilaian) Pelaksanaan MTBS oleh Kepala Puskesmas 63. Apakah Kepala Puskesmas melakukan evaluasi pelaksanaan MTBS di Puskesmas tempat saudara bekerja? a. Ya b. Jarang c. Tidak pernah 64. Apakah evaluasi tersebut dilakukan secara periodik (1 bulan sekali) ? a. Ya b. Jarang c. Tidak pernah

XIII. Pertanyaan Pendukung Penerapan MTBS 65. Apakah pelayanan MTBS dilaksanakan setiap hari? a. Ya b. Tidak 66. Apakah semua balita sakit yang datang dilayani dengan MTBS? a. Ya b. Tidak 67. Apabila formulir MTBS habis, apakah Anda tetap memberikan pelayanan MTBS? a. Ya b. Tidak

150

Daftar Tilik Observasi Pelaksanaan Pemeriksaan MTBS Di Puskesmas : Apakah petugas menanyakan indikator tatalaksana MTBS terhadap pengantar balita, yang meliputi : No.

Indikator Tatalaksana MTBS

1.

Apakah anak bisa minum/ menyusu?

2.

Apakah anak selalu memuntahkan semuanya?

3.

Apakah anak menderita kejang?

4.

Apakah anak tampak letargis/ tidak sadar?

5.

Apakah anak menderita batuk atau sukar bernafas?

6.

Apakah anak menderita diare?

7.

Apakah anak demam?

8.

Apakah anak mempunyai masalah telinga?

9.

Apakah petugas memeriksa kondisi status gizi balita tersebut?

10.

Apakah petugas memeriksa masalah anemia balita tersebut?

11.

Apakah petugas memeriksa status imunisasi balita tersebut?

12.

Apakah petugas memeriksa pemberian vitamin A?

13.

Apakah petugas menilai masalah/ keluhan-keluhan lain?

14.

Apakah petugas mengajari ibu/ pengantar balita mengenai cara pemberian obat oral di rumah?

15.

Apakah petugas mengajari ibu/ pengantar balita mengenai cara mengobati infeksi lokal di rumah?

16.

Apakah petugas menjelaskan kepada ibu/ pengantar balita tentang aturanaturan perawatan anak sakit di rumah (misal : aturan penanganan diare di rumah) ?

17.

Apakah petugas memberikan konseling bagi ibu (misal : anjuran pemberian makanan selama anak sakit maupun dalam keadaan sehat) ?

Y

T

Skor

151

18.

Apakah petugas menasihati ibu/ pengantar balita mengenai kapan harus kembali kepada petugas kesehatan?

152

UJI VALIDITAS DAN RELIABILITAS ALL VARIABELS Case Processing Summary N Cases

%

Valid Excluded(a) Total

20 100.0 0 .0 20 100.0 a Listwise deletion based on all variables in the procedure. Reliability Statistics Cronbach's Alpha

N of Items

.967

67

Item Statistics Mean P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 P10 P11 P12 P13 P14 P15 P16 P17 P18 P19 P20 P21 P22 P23 P24

.75 .60 .85

Std. Deviation .444 .503 .366

N

.75 .75 .85 .85 .80 .70 .65 .80

.444 .444 .366 .366 .410 .470 .489 .410

20 20 20 20 20 20 20 20

.55 .70 .75 .85 .65 .75 .65 .70

.510 .470 .444 .366 .489 .444 .489 .470

20 20 20 20 20 20 20 20

.65 .75 .90 .75 .65

.489 .444 .308 .444 .489

20 20 20 20 20

20 20 20

153

Lanjutan : P25 P26 P27 P28 P29 P30 P31 P32 P33 P34 P35 P36 P37 P38 P39 P40 P41 P42 P43 P44 P45 P46 P47 P48 P49 P50 P51 P52 P53 P54 P55 P56 P57 P58 P59 P60 P61 P62 P63 P64 P65 P66 P67

.60 .60 .75 .80 .85 .70

.503 .503 .444 .410 .366 .470

20 20 20 20 20 20

.60 .70 .65 .55 .75 .55 .55 1.45

.503 .470 .489 .510 .444 .510 .510 .605

20 20 20 20 20 20 20 20

1.10 1.60 1.60 1.55 1.75 1.00 1.00 1.75

.641 .503 .503 .510 .444 .725 .918 .444

20 20 20 20 20 20 20 20

1.85 .35 .85 .75 .60 .75 1.60 1.75

.366 .489 .366 .444 .503 .444 .503 .444

20 20 20 20 20 20 20 20

1.35 .85 .80 .60 .85 .70 .80 .55

.813 .366 .410 .503 .366 .470 .410 .510

20 20 20 20 20 20 20 20

1.70 1.45 .85 .65 .70

.470 .510 .366 .489 .470

20 20 20 20 20

154

Item-Total Statistics

Scale Mean if Item Deleted P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 P10 P11 P12 P13 P14 P15 P16 P17 P18 P19 P20 P21 P22 P23 P24 P25 P26 P27 P28 P29 P30 P31 P32 P33 P34 P35 P36 P37 P38 P39 P40 P41

Scale Variance if Item Deleted

Corrected Item-Total Correlation

Cronbach's Alpha if Item Deleted

58.70 58.85

319.589 315.924

.600 .735

.966 .966

58.60 58.70 58.70 58.60 58.60 58.65 58.75 58.80

322.358 318.642 320.747 322.253 322.253 320.555 319.355 319.221

.519 .660 .526 .527 .527 .585 .579 .563

.967 .966 .967 .967 .967 .966 .966 .966

58.65 58.90 58.75 58.70 58.60 58.80 58.70 58.80

320.766 317.779 321.355 318.747 321.726 319.221 318.221 313.011

.570 .620 .459 .654 .567 .563 .687 .928

.966 .966 .967 .966 .966 .966 .966 .965

58.75 58.80 58.70 58.55 58.70 58.80 58.85 58.85

317.461 315.747 319.379 323.524 320.747 319.116 320.871 320.450

.694 .766 .613 .514 .526 .570 .455 .478

.966 .966 .966 .967 .967 .966 .967 .967

58.70 58.65 58.60 58.75 58.85 58.75 58.80 58.90

320.432 320.555 322.253 318.934 320.450 319.987 319.642 319.147

.546 .585 .527 .605 .478 .541 .539 .543

.966 .966 .967 .966 .967 .966 .966 .966

58.70 58.90 58.90 58.00 58.35 57.85 57.85

319.168 315.674 313.884 319.053 318.345 319.503 320.345

.627 .738 .839 .458 .462 .532 .484

.966 .966 .966 .967 .967 .967 .967

155

P42

57.90

320.726

.455

.967

57.70

320.853

.519

.967

58.45 58.45 57.70 57.60 59.10 58.60 58.70 58.85

317.208 312.261 320.853 322.674 321.042 322.147 319.589 319.397

.448 .500 .519 .494 .458 .535 .600 .538

.967 .967 .967 .967 .967 .967 .966 .967

58.70 57.85 57.70 58.10 58.60 58.65 58.85 58.60

321.695 320.239 321.379 314.726 321.726 321.608 320.555 322.568

.466 .490 .486 .483 .567 .512 .473 .502

.967 .967 .967 .967 .966 .967 .967 .967

58.75 58.65 58.90 57.75 58.00 58.60 58.80 58.75

319.461 321.924 319.463 320.092 320.000 322.253 321.116 319.039

.573 .490 .526 .535 .496 .527 .454 .599

.966 .967 .967 .967 .967 .967 .967 .966

Lanjutan : P43 P44 P45 P46 P47 P48 P49 P50 P51 P52 P53 P54 P55 P56 P57 P58 P59 P60 P61 P62 P63 P64 P65 P66 P67

Scale Statistics Mean 59.45

Variance 329.313

Std. Deviation 18.147

N of Items 67

156

DATA MENTAH HASIL PENELITIAN I. VARIABEL PENGETAHUAN PETUGAS No. Item Pertanyaan

Kode Resp.

P1

P2

P3

P4

P5

P6

P7

P8

P9

P10

R 01 R 02 R 03 R 04 R 05 R 06 R 07 R 08 R 09 R10 R 11 R 12 R 13 R 14 R 15 R 16 R 17 R 18 R 19 R 20 R 21 R 22 R 23 R 24 R 25 R 26 R 27 R 28 R 29 R 30 R 31 R 32 R 33 R 34 R 35 R 36 R 37

1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1

0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0

1 0 0 0 1 0 0 1 1 0 1 1 0 1 0 0 0 1 0 0 0 1 1 1 0 1 1 1 1 0 0 0 1 0 1 1 1

1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

0 1 1 1 0 1 1 1 1 0 0 1 0 0 1 0 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 0 0 1 1 1 1 0

1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1

1 1 0 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 1 0 0 0 0 1 1 0 0 0 1 1 0 0 1 0 1 1 1 1 1

0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

Total

Persentase (%)

Kategori

7 7 7 8 7 8 8 9 9 7 9 9 7 7 7 6 8 8 7 5 5 9 9 9 7 8 9 9 6 7 8 7 8 8 9 9 8

70 80 70 80 70 80 80 90 90 70 90 90 70 70 70 60 80 80 70 50 50 90 90 90 70 80 90 90 60 70 80 70 80 80 90 90 80

Cukup Cukup Cukup Cukup Cukup Cukup Cukup Baik Baik Cukup Baik Baik Cukup Cukup Cukup Cukup Cukup Cukup Cukup Kurang Kurang Baik Baik Baik Cukup Cukup Baik Baik Cukup Cukup Cukup Cukup Cukup Cukup Baik Baik Cukup

157

II. VARIABEL SIKAP PETUGAS No. Item Pertanyaan

Kode Resp. R 01 R 02 R 03 R 04 R 05 R 06 R 07 R 08 R 09 R10 R 11 R 12 R 13 R 14 R 15 R 16 R 17 R 18 R 19 R 20 R 21 R 22 R 23 R 24 R 25 R 26 R 27 R 28 R 29 R 30 R 31 R 32 R 33 R 34 R 35 R 36 R 37

P13

P14

P15

P16

P17

P18

P19

P20

P21

P22

0 0 0 1 0 1 1 1 1 1 0 1 1 1 0 1 0 1 1 1 0 1 1 0 0 0 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1

1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 0

0 0 0 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 0 1 0 0 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

0 1 0 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 0 1 0 1 1 0 0 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1

1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1

1 0 1 0 0 1 1 0 1 1 0 1 1 1 0 1 1 1 1 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

1 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 1 1 0 0 1 1 1 0 0 1 1 1 1 0 0 0 1 1 1 0 0 0 1 1 0 1

1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

Total

Kategori

6 5 5 7 6 6 9 8 9 9 5 9 9 8 5 10 5 9 8 5 5 8 9 9 9 7 8 9 9 9 8 5 6 9 9 8 8

Cukup Cukup Cukup Baik Baik Cukup Baik Baik Baik Baik Cukup Baik Baik Baik Cukup Baik Cukup Baik Baik Cukup Cukup Baik Baik Cukup Cukup Baik Baik Baik Baik Baik Baik Cukup Cukup Baik Baik Baik Baik

158

III. VARIABEL MOTIVASI KERJA PETUGAS No. Item Pertanyaan

Kode Resp.

P25

P26

P27

P28

P29

P30

P31

P32

P33

P34

P35

P36

P37

P38

P39

R 01 R 02 R 03 R 04 R 05 R 06 R 07 R 08 R 09 R10 R 11 R 12 R 13 R 14 R 15 R 16 R 17 R 18 R 19 R 20 R 21 R 22 R 23 R 24 R 25 R 26 R 27 R 28 R 29 R 30 R 31 R 32 R 33 R 34 R 35 R 36 R 37

1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 0 1 1 0 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 0 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1

1 1 0 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

0 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 0 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 0 1 1 1 0 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 0 1 1 1 1 1 0

0 1 1 0 1 1 0 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1

1 1 1 0 0 0 1 1 1 1 0 1 0 1 1 1 1 0 0 1 1 1 1 1 1 0 0 1 1 1 1 0 1 1 1 1 0

Total

Kategori

13 15 13 13 14 10 13 14 15 14 12 15 14 14 14 15 13 13 13 15 13 15 15 14 12 14 10 15 14 14 14 14 14 15 15 15 13

Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Sedang Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Sedang Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi

159

IV. VARIABEL PELATIHAN MTBS YANG DIIKUTI PETUGAS No. Item Pertanyaan Kode Resp. R 01 R 02 R 03 R 04 R 05 R 06 R 07 R 08 R 09 R10 R 11 R 12 R 13 R 14 R 15 R 16 R 17 R 18 R 19 R 20 R 21 R 22 R 23 R 24 R 25 R 26 R 27 R 28 R 29 R 30 R 31 R 32 R 33 R 34 R 35 R 36 R 37

P23

P24

1 1 1 1 1 0 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

1 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 1 1 1 1 0 1 0 0 0 0 0 1 0 1 1 1 0 0 0 0 1 1 0

Total

Kategori

2 1 1 2 2 0 1 2 1 0 1 2 1 1 2 2 2 2 1 2 0 1 0 1 1 2 1 2 2 2 1 1 1 1 2 2 1

Pernah Tidak Pernah Tidak Pernah Pernah Tidak Pernah Tidak Pernah Tidak Pernah Pernah Tidak Pernah Tidak Pernah Tidak Pernah Pernah Tidak Pernah Tidak Pernah Pernah Pernah Pernah Pernah Tidak Pernah Pernah Tidak Pernah Tidak Pernah Tidak Pernah Tidak Pernah Tidak Pernah Pernah Tidak Pernah Pernah Pernah Pernah Tidak Pernah Tidak Pernah Tidak Pernah Tidak Pernah Pernah Pernah Tidak Pernah

160

V. VARIABEL KEPEMIMPINAN KEPALA PUSKESMAS No. Item Pertanyaan

Kode Resp.

P40

P41

P42

P43

P44

P45

P46

P47

P48

P49

R 01 R 02 R 03 R 04 R 05 R 06 R 07 R 08 R 09 R10 R 11 R 12 R 13 R 14 R 15 R 16 R 17 R 18 R 19 R 20 R 21 R 22 R 23 R 24 R 25 R 26 R 27 R 28 R 29 R 30 R 31 R 32 R 33 R 34 R 35 R 36 R 37

1 2 1 2 2 1 1 2 2 2 2 1 1 2 2 2 1 2 2 2 2 2 2 2 1 2 0 2 1 2 2 2 1 1 2 2 2

1 2 2 2 2 1 2 2 2 2 2 1 2 2 2 2 1 2 2 2 2 2 2 2 1 2 2 2 1 2 2 2 1 2 2 2 2

1 2 2 2 2 1 2 2 2 2 2 2 1 2 2 2 1 2 2 2 2 2 2 2 2 2 1 2 1 2 2 2 2 2 2 2 2

2 1 2 2 2 1 2 2 2 1 2 2 2 2 2 2 1 2 2 1 2 2 2 2 2 2 1 2 1 2 2 1 2 2 2 2 2

2 1 2 1 2 1 1 2 2 2 2 1 1 2 2 2 1 2 2 2 2 2 2 2 2 2 1 2 1 2 2 1 1 2 2 2 2

2 1 1 1 2 2 1 1 2 2 2 1 2 2 2 2 1 2 2 2 2 2 2 2 1 2 0 2 1 2 2 2 1 2 2 2 2

1 1 1 2 2 1 1 2 2 2 2 2 1 2 2 2 1 2 2 2 2 1 2 2 1 2 1 2 1 2 2 2 2 2 2 2 2

0 1 0 0 2 2 1 2 2 2 2 1 2 2 2 2 2 2 2 0 2 1 2 2 2 2 1 2 0 2 2 0 2 2 2 2 2

2 1 1 2 2 1 1 2 2 2 2 2 1 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 1 2 1 2 2 2 2 2 2 2 2

1 1 1 1 2 2 1 2 2 2 2 1 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 1 2 1 2 2 2 2 2 1 2 2 2 2

Total

Kategori

13 13 13 15 20 13 13 19 20 19 20 14 15 20 20 20 13 20 20 17 20 18 20 20 15 20 9 20 10 20 20 16 15 19 20 20 20

Cukup Cukup Cukup Baik Baik Cukup Cukup Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Cukup Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Cukup Baik Cukup Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik

161

VI. VARIABEL KETERSEDIAAN PERALATAN MTBS No. Item Pertanyaan Kode Resp. R 01 R 02 R 03 R 04 R 05 R 06 R 07 R 08 R 09 R10 R 11 R 12 R 13 R 14 R 15 R 16 R 17 R 18 R 19 R 20 R 21 R 22 R 23 R 24 R 25 R 26 R 27 R 28 R 29 R 30 R 31 R 32 R 33 R 34 R 35 R 36 R 37

P50

P51

P52

P53

1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

0 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1

1 0 1 1 1 0 0 0 1 0 1 0 1 1 1 1 1 1 0 1 1 0 0 1 0 1 0 0 1 0 1 1 1 0 0 0 1

1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

Total

Kategori

3 3 4 4 4 3 2 3 4 3 4 3 3 4 4 4 4 4 3 4 4 1 3 4 3 4 3 3 4 3 4 4 4 2 3 3 4

Tidak Lengkap Tidak Lengkap Lengkap Lengkap Lengkap Tidak Lengkap Tidak Lengkap Tidak Lengkap Lengkap Tidak Lengkap Lengkap Tidak Lengkap Tidak Lengkap Lengkap Lengkap Lengkap Lengkap Lengkap Tidak Lengkap Lengkap Lengkap Tidak Lengkap Tidak Lengkap Lengkap Tidak Lengkap Lengkap Tidak Lengkap Tidak Lengkap Lengkap Tidak Lengkap Lengkap Lengkap Lengkap Tidak Lengkap Tidak Lengkap Tidak Lengkap Lengkap

162

VII. VARIABEL ALOKASI DANA

Kode Resp.

No. Item Pertanyaan

Total

Kategori

0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0

Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Ada Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Ada Tidak Ada Tidak Ada Ada Tidak Ada Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak ada Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada

P54 R 01 R 02 R 03 R 04 R 05 R 06 R 07 R 08 R 09 R10 R 11 R 12 R 13 R 14 R 15 R 16 R 17 R 18 R 19 R 20 R 21 R 22 R 23 R 24 R 25 R 26 R 27 R 28 R 29 R 30 R 31 R 32 R 33 R 34 R 35 R 36 R 37

0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0

163

VIII. VARIABEL RAPAT KOORDINASI No. Item Pertanyaan Kode Resp. R 01 R 02 R 03 R 04 R 05 R 06 R 07 R 08 R 09 R10 R 11 R 12 R 13 R 14 R 15 R 16 R 17 R 18 R 19 R 20 R 21 R 22 R 23 R 24 R 25 R 26 R 27 R 28 R 29 R 30 R 31 R 32 R 33 R 34 R 35 R 36 R 37

P55

P56

P57

1 1 1 1 1 1 2 1 2 1 2 1 1 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 2 1 2 1 1 2 1 2 1 1 1 1 1 2

1 0 1 3 3 1 1 0 3 2 1 1 1 0 3 1 1 1 2 1 3 1 3 3 1 3 0 3 1 0 1 1 3 1 1 1 1

1 0 1 1 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 1 3 1 1 0 0 1 1 1 0 0 0 1 3 1

Total

Kategori

3 1 3 5 4 2 3 1 5 4 3 2 2 1 4 3 2 3 3 2 4 3 5 8 3 6 1 4 4 2 4 2 4 2 3 5 4

Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Ada Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Ada Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Ada Tidak Ada Ada Ada Tidak Ada Ada Tidak Ada Ada Ada Tidak Ada Ada Tidak Ada Ada Tidak Ada Tidak Ada Ada Ada

164

IX. VARIABEL SISTEM PENCATATAN/ PELAPORAN MTBS No. Item Pertanyaan Kode Resp. R 01 R 02 R 03 R 04 R 05 R 06 R 07 R 08 R 09 R10 R 11 R 12 R 13 R 14 R 15 R 16 R 17 R 18 R 19 R 20 R 21 R 22 R 23 R 24 R 25 R 26 R 27 R 28 R 29 R 30 R 31 R 32 R 33 R 34 R 35 R 36 R 37

P58

P59

P60

P61

0 0 1 0 0 1 1 1 0 0 1 0 0 1 0 1 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 1 1 0 1 1 1 0 1 1 1 1

1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 1 0 0

1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

Total

Kategori

2 2 3 2 2 3 3 3 2 2 3 2 2 4 2 3 2 2 4 2 2 2 3 2 2 2 3 4 2 4 3 3 2 3 4 3 3

Cukup Cukup Baik Cukup Cukup Baik Baik Baik Cukup Cukup Baik Cukup Cukup Baik Cukup Baik Cukup Cukup Baik Cukup Cukup Cukup Baik Cukup Cukup Cukup Baik Baik Cukup Baik Baik Baik Cukup Baik Baik Baik Baik

165

X. VARIABEL PELAKSANAAN SUPERVISI MTBS OLEH DINKES No. Item Pertanyaan Kode Resp. R 01 R 02 R 03 R 04 R 05 R 06 R 07 R 08 R 09 R10 R 11 R 12 R 13 R 14 R 15 R 16 R 17 R 18 R 19 R 20 R 21 R 22 R 23 R 24 R 25 R 26 R 27 R 28 R 29 R 30 R 31 R 32 R 33 R 34 R 35 R 36 R 37

P62

P63

P64

1 1 1 1 1 0 1 1 0 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

0 0 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 0 1 0 1 1 1 1 0 0 1 1 0 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1

1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

Total

Kategori

2 2 3 3 2 2 3 3 2 3 2 3 2 3 2 3 3 3 3 2 2 2 3 2 3 2 3 3 3 2 3 3 3 3 3 3 3

Rendah Rendah Tinggi Tinggi Rendah Rendah Tinggi Tinggi Rendah Tinggi Tinggi Tinggi Rendah Tinggi Rendah Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Rendah Rendah Rendah Tinggi Rendah Tinggi Rendah Tinggi Tinggi Tinggi Rendah Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi

166

XI. VARIABEL PELAKSANAAN EVALUASI MTBS OLEH KA-PUS No. Item Pertanyaan Kode Resp. R 01 R 02 R 03 R 04 R 05 R 06 R 07 R 08 R 09 R10 R 11 R 12 R 13 R 14 R 15 R 16 R 17 R 18 R 19 R 20 R 21 R 22 R 23 R 24 R 25 R 26 R 27 R 28 R 29 R 30 R 31 R 32 R 33 R 34 R 35 R 36 R 37

P65

P66

1 1 1 2 2 1 1 1 2 2 1 2 2 1 2 1 1 2 2 2 2 2 2 2 1 2 1 2 2 1 2 1 2 1 1 1 1

1 1 1 1 2 1 1 1 2 2 2 2 1 1 2 2 1 2 2 2 2 1 2 2 1 2 1 2 2 2 2 2 2 1 2 1 2

Total

Kategori

2 2 2 3 4 2 2 2 4 4 3 4 3 2 4 3 2 4 4 4 4 3 4 4 2 4 2 4 4 3 4 3 4 2 3 2 3

Rendah Rendah Rendah Tinggi Tinggi Rendah Rendah Rendah Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Rendah Tinggi Tinggi Rendah Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Rendah Tinggi Rendah Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Rendah Tinggi Rendah Tinggi

167

XII. VARIABEL IMPLEMENTASI MTBS No. Item Pertanyaan Kode Resp. R 01 R 02 R 03 R 04 R 05 R 06 R 07 R 08 R 09 R10 R 11 R 12 R 13 R 14 R 15 R 16 R 17 R 18 R 19 R 20 R 21 R 22 R 23 R 24 R 25 R 26 R 27 R 28 R 29 R 30 R 31 R 32 R 33 R 34 R 35 R 36 R 37

P67

P68

P69

1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1

0 0 0 1 1 0 0 0 1 1 0 1 1 0 1 0 0 0 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 1 1 0 1 0 1 1 1 0

1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

Total

Kategori

2 2 2 3 3 2 2 2 3 3 2 3 3 2 3 2 2 2 2 3 2 3 2 3 1 3 2 3 3 3 2 2 2 3 3 3 2

Rendah Rendah Rendah Tinggi Tinggi Rendah Rendah Rendah Tinggi Tinggi Rendah Tinggi Tinggi Rendah Tinggi Rendah Rendah Rendah Rendah Tinggi Rendah Tinggi Rendah Tinggi Rendah Tinggi Rendah Tinggi Tinggi Tinggi Rendah Rendah Rendah Tinggi Tinggi Tinggi Rendah

168

Lampiran

HASIL ANALISIS UNIVARIAT Frequencies Statistics

N

Kepemimpinan Kepala Puskesmas

Sikap Petugas

Motivasi Kerja

37

37

37

37

37

37

0

0

0

0

0

0

Valid Missing

Pelatihan MTBS

Ketersediaan Peralatan MTBS

Pengetahuan Petugas

Statistics (Lanjutan)

Alokasi Dana

N

Valid Missing

Rapat Koordinasi Tingkat Puskesmas

Sistem Pencatatan/ Pelaporan

Pelaksanaan Supervisi MTBS oleh Dinkes

Pelaksanaan Evaluasi MTBS oleh Kepala Puskesmas

Implementasi MTBS

37

37

37

37

37

37

0

0

0

0

0

0

Frequency Table Pengetahuan Petugas (Sebelum Gabung) Frequency Valid

kurang cukup baik Total

2 24 11 37

Percent

Valid Percent

5.4 64.9 29.7 100.0

5.4 64.9 29.7 100.0

Cumulative Percent 5.4 70.3 100.0

Pengetahuan Petugas (Setelah Gabung)

Valid

kurang+cukup baik Total

Frequency 26 11 37

Percent 70.3 29.7 100.0

Valid Percent 70.3 29.7 100.0

Cumulative Percent 70.3 100.0

169

Sikap Petugas Frequency Valid

cukup baik Total

13 24 37

Percent

Valid Percent

35.1 64.9 100.0

35.1 64.9 100.0

Cumulative Percent 35.1 100.0

Motivasi Kerja Frequency Valid

sedang tinggi Total

2 35 37

Percent

Valid Percent

5.4 94.6 100.0

5.4 94.6 100.0

Cumulative Percent 5.4 100.0

Pelatihan MTBS Frequency Valid

tidak pernah pernah Total

22 15 37

Percent

Valid Percent

59.5 40.5 100.0

59.5 40.5 100.0

Cumulative Percent 59.5 100.0

Kepemimpinan Kepala Puskesmas Frequency Valid

cukup baik Total

8 29 37

Percent

Valid Percent

21.6 78.4 100.0

21.6 78.4 100.0

Cumulative Percent 21.6 100.0

Ketersediaan Peralatan MTBS Frequency Valid

tidak lengkap lengkap Total

18 19 37

Percent 48.6 51.4 100.0

Valid Percent 48.6 51.4 100.0

Cumulative Percent 48.6 100.0

Alokasi Dana Frequency Valid

tidak ada ada Total

30 7 37

Percent 81.1 18.9 100.0

Valid Percent 81.1 18.9 100.0

Cumulative Percent 81.1 100.0

170

Rapat Koordinasi Tingkat Puskesmas Frequency Valid

tidak ada ada Total

Percent

22 15 37

Valid Percent

59.5 40.5 100.0

Cumulative Percent

59.5 40.5 100.0

59.5 100.0

Sistem Pencatatan/ Pelaporan Frequency Valid

cukup baik Total

Percent

19 18 37

Valid Percent

51.4 48.6 100.0

Cumulative Percent

51.4 48.6 100.0

51.4 100.0

Pelaksanaan Supervisi MTBS oleh Dinkes Frequency Valid

rendah tinggi Total

Percent

13 24 37

Valid Percent

35.1 64.9 100.0

Cumulative Percent

35.1 64.9 100.0

35.1 100.0

Pelaksanaan Evaluasi MTBS oleh Kepala Puskesmas Frequency Valid

rendah tinggi Total

Percent

12 25 37

Valid Percent

32.4 67.6 100.0

32.4 67.6 100.0

Cumulative Percent 32.4 100.0

Implementasi MTBS Frequency Valid

rendah tinggi Total

Percent

Valid Percent

20 17

54.1 45.9

54.1 45.9

37

100.0

100.0

Cumulative Percent 54.1 100.0

171

HASIL ANALISIS BIVARIAT 1.

CR0SSTAB VARIABEL PENGETAHUAN PETUGAS TENTANG MTBS DENGAN IMPLEMENTASI MTBS

Sebelum Penggabungan Sel Case Processing Summary Cases Missing N Percent

Valid N Pengetahuan Petugas * Implementasi MTBS

Pengetahuan Petugas

Percent 37

100.0%

0

Total N

.0%

37

Pengetahuan Petugas * Implementasi MTBS Crosstabulation Implementasi MTBS rendah tinggi kurang Count 1

cukup

baik

Total

Expected Count % within Pengetahuan Petugas Count Expected Count % within Pengetahuan Petugas Count Expected Count % within Pengetahuan Petugas Count Expected Count % within Pengetahuan Petugas

Percent 100.0%

Total 1

2

1.1

.9

2.0

50.0%

50.0%

100.0%

15 13.0

9 11.0

24 24.0

62.5%

37.5%

100.0%

4 5.9

7 5.1

11 11.0

36.4%

63.6%

100.0%

20 20.0

17 17.0

37 37.0

54.1%

45.9%

100.0%

Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases

df

2.089(a) 2.101 1.260

2 2 1

Asymp. Sig. (2-sided) .352 .350 .262

37

a 2 cells (33.3%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .92. Symmetric Measures Value Nominal by Nominal

Phi Cramer's V Contingency Coefficient Pearson's R Spearman Correlation

.238 .238 .231 .187 .200 37

Interval by Interval Ordinal by Ordinal N of Valid Cases a Not assuming the null hypothesis. b Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis.

Asymp. Std. Error(a)

.165 .164

Approx. T(b)

1.127 1.209

Approx. Sig. .352 .352 .352 .267(c) .235(c)

172

c Based on normal approximation.

CR0SSTAB PENGETAHUAN PETUGAS TENTANG MTBS DENGAN IMPLEMENTASI MTBS Setelah Penggabungan Sel Case Processing Summary Cases Valid N Pengetahuan Petugas * Implementasi MTBS

Missing Percent

37

100.0%

N

Total

Percent 0

N

Percent

.0%

37

Pengetahuan Petugas * Implementasi MTBS Crosstabulation Implementasi MTBS rendah Pengetahuan Petugas

kurang+cukup

Count Expected Count % within Pengetahuan Petugas

baik

10

26

14.1

11.9

26.0

61.5%

38.5%

100.0%

4

7

11

5.9

5.1

11.0

36.4%

63.6%

100.0%

20

17

37

20.0

17.0

37.0

54.1%

45.9%

100.0%

Expected Count

Total

Count Expected Count % within Pengetahuan Petugas

Total

tinggi 16

Count % within Pengetahuan Petugas

100.0%

Chi-Square Tests Value

df

Asymp. Sig. (2-sided) .160 .297 .159

Pearson Chi-Square 1.973(b) 1 Continuity Correction(a) 1.089 1 Likelihood Ratio 1.982 1 Fisher's Exact Test Linear-by-Linear 1.919 1 .166 Association N of Valid Cases 37 a Computed only for a 2x2 table b 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5.05.

Exact Sig. (2-sided)

.279

Exact Sig. (1-sided)

.148

173

Symmetric Measures Asymp. Std. Error(a)

Value Nominal by Nominal

Phi Cramer's V Contingency Coefficient Pearson's R Spearman Correlation

.231 .231 .225 .231 .231 37

Interval by Interval Ordinal by Ordinal N of Valid Cases a Not assuming the null hypothesis. b Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis. c Based on normal approximation.

2.

Approx. T(b)

.160 .160

Approx. Sig. .160 .160 .160 .169(c) .169(c)

1.404 1.404

CR0SSTAB SIKAP PETUGAS DENGAN IMPLEMENTASI MTBS Case Processing Summary Cases Valid Missing Percent N Percent

N Sikap Petugas * Implementasi MTBS

37

100.0%

0

Total N

.0%

Percent 37

100.0%

Sikap Petugas * Implementasi MTBS Crosstabulation Implementasi MTBS Total rendah Sikap Petugas

cukup

Count

10

3

13

Expected Count

7.0

6.0

13.0

76.9%

23.1%

100.0%

10

14

24

13.0

11.0

24.0

41.7%

58.3%

100.0%

20

17

37

20.0

17.0

37.0

54.1%

45.9%

100.0%

% within Sikap Petugas baik

Count Expected Count % within Sikap Petugas

Total

tinggi

Count Expected Count % within Sikap Petugas

Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Continuity Correction(a) Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases

4.220(b) 2.920 4.403

Asymp. Sig. (2-sided)

df 1 1 1

Exact Sig. (2-sided)

.040 .087 .036 .082

4.106

1

Exact Sig. (1-sided)

.043

37 a Computed only for a 2x2 table b 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5.97.

.042

174

Symmetric Measures Value Nominal by Nominal

Phi Cramer's V Contingency Coefficient Pearson's R Spearman Correlation

Asymp. Std. Error(a)

.338 .338 .320 .338 .338 37

Interval by Interval Ordinal by Ordinal N of Valid Cases a Not assuming the null hypothesis. b Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis. c Based on normal approximation.

3.

Approx. T(b)

.148 .148

Approx. Sig. .040 .040 .040 .041(c) .041(c)

2.123 2.123

CR0SSTAB MOTIVASI KERJA PETUGAS DENGAN IMPLEMENTASI MTBS Case Processing Summary Valid N

Motivasi Kerja * Implementasi MTBS

Percent 37

100.0%

Cases Missing N Percent 0

Total N

.0%

37

Percent 100.0 %

Motivasi Kerja * Implementasi MTBS Crosstabulation Implementasi MTBS Total rendah Motivasi Kerja

sedang

Count Expected Count % within Motivasi Kerja

tinggi

Count Expected Count % within Motivasi Kerja

Total

tinggi

Count Expected Count % within Motivasi Kerja

2

0

2

1.1

.9

2.0

100.0%

.0%

100.0%

18

17

35

18.9

16.1

35.0

51.4%

48.6%

100.0%

20

17

37

20.0

17.0

37.0

54.1%

45.9%

100.0%

Chi-Square Tests Value

df

Asymp. Sig. (2-sided) .180 .541 .110

Exact Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square 1.797(b) 1 Continuity Correction(a) .373 1 Likelihood Ratio 2.558 1 Fisher's Exact Test Linear-by-Linear 1.749 1 .186 Association N of Valid Cases 37 a Computed only for a 2x2 table b 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .92.

.489

Exact Sig. (1-sided)

.285

175

Symmetric Measures Asymp. Std. Error(a)

Value Nominal by Nominal

Phi Cramer's V Contingency Coefficient Pearson's R Spearman Correlation

.220 .220 .215 .220 .220 37

Interval by Interval Ordinal by Ordinal N of Valid Cases a Not assuming the null hypothesis. b Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis. c Based on normal approximation.

4.

CR0SSTAB PELATIHAN IMPLEMENTASI MTBS

N Pelatihan MTBS * Implementasi MTBS

MTBS

YANG

Approx. T(b)

.080 .080

IIKUTI

100.0%

PETUGAS

0

.180 .180 .180 .190(c) .190(c)

1.337 1.337

Case Processing Summary Cases Valid Missing Percent N Percent 37

Approx. Sig.

DENGAN

Total N

.0%

Percent 37

100.0%

Pelatihan MTBS * Implementasi MTBS Crosstabulation Implementasi MTBS rendah Pelatihan MTBS

tidak pernah

Count Expected Count

pernah

% within Pelatihan MTBS Count Expected Count

Total

% within Pelatihan MTBS Count Expected Count % within Pelatihan MTBS

Total

tinggi 15

7

22

11.9

10.1

22.0

68.2%

31.8%

100.0%

5

10

15

8.1

6.9

15.0

33.3%

66.7%

100.0%

20

17

37

20.0

17.0

37.0

54.1%

45.9%

100.0%

Chi-Square Tests Asymp. Sig. Value df (2-sided) 4.361(b) 1 .037 3.071 1 .080 4.432 1 .035

Exact Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square Continuity Correction(a) Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear 4.243 1 .039 Association N of Valid Cases 37 a Computed only for a 2x2 table b 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6.89.

.050

Exact Sig. (1-sided)

.039

176

Symmetric Measures Asymp. Std. Error(a)

Value Nominal by Nominal

Phi Cramer's V Contingency Coefficient Pearson's R Spearman Correlation

.343 .343 .325 .343 .343 37

Interval by Interval Ordinal by Ordinal N of Valid Cases a Not assuming the null hypothesis. b Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis. c Based on normal approximation.

5.

.155 .155

Approx. T(b)

Approx. Sig. .037 .037 .037 .037(c) .037(c)

2.163 2.163

CR0SSTAB KEPEMIMPINAN KEPALA PUSKESMAS DENGAN IMPLEMENTASI MTBS

N Kepemimpinan Kepala Puskesmas * Implementasi MTBS

Case Processing Summary Cases Valid Missing Percent N Percent 37

100.0%

0

Total N

Percent

.0%

37

100.0%

Kepemimpinan Kepala Puskesmas * Implementasi MTBS Crosstabulation Implementasi MTBS Total rendah Kepemimpinan Kepala Puskesmas

cukup

baik

Total

Count Expected Count % within Kepemimpinan Kepala Puskesmas Count Expected Count % within Kepemimpinan Kepala Puskesmas Count Expected Count % within Kepemimpinan Kepala Puskesmas

tinggi 7

1

8

4.3

3.7

8.0

87.5%

12.5%

100.0%

13 15.7

16 13.3

29 29.0

44.8%

55.2%

100.0%

20 20.0

17 17.0

37 37.0

54.1%

45.9%

100.0%

Chi-Square Tests Asymp. Sig. Value df (2-sided) 4.597(b) 1 .032 3.040 1 .081 5.129 1 .024

Exact Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square Continuity Correction(a) Likelihood Ratio Fisher's Exact Test .048 Linear-by-Linear 4.473 1 .034 Association N of Valid Cases 37 a Computed only for a 2x2 table b 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3.68.

Exact Sig. (1-sided)

.037

177

Symmetric Measures Asymp. Std. Error(a)

Value Nominal by Nominal

Phi Cramer's V Contingency Coefficient Pearson's R Spearman Correlation

.352 .352 .332 .352 .352 37

Interval by Interval Ordinal by Ordinal N of Valid Cases a Not assuming the null hypothesis. b Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis. c Based on normal approximation.

6.

Approx. T(b)

.129 .129

Approx. Sig. .032 .032 .032 .032(c) .032(c)

2.228 2.228

CR0SSTAB KETERSEDIAAN PERALATAN DENGAN IMPLEMENTASI MTBS

N Ketersediaan Peralatan MTBS * Implementasi MTBS

Case Processing Summary Cases Valid Missing Percent N Percent 37

100.0%

0

Total N

.0%

Percent 37

100.0%

Ketersediaan Peralatan MTBS * Implementasi MTBS Crosstabulation Implementasi MTBS rendah Ketersediaan Peralatan MTBS

tidak lengkap

Count Expected Count % within Ketersediaan Peralatan MTBS

lengkap

9

9

18

9.7

8.3

18.0

50.0%

50.0%

100.0%

11

8

19

10.3

8.7

19.0

57.9%

42.1%

100.0%

Count Expected Count % within Ketersediaan Peralatan MTBS Count

Total

Expected Count % within Ketersediaan Peralatan MTBS

Total

tinggi

20

17

37

20.0

17.0

37.0

54.1%

45.9%

100.0%

Chi-Square Tests Value

df

Asymp. Sig. (2-sided) .630 .879 .630

Exact Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square .232(b) 1 Continuity Correction(a) .023 1 Likelihood Ratio .232 1 Fisher's Exact Test Linear-by-Linear .226 1 .635 Association N of Valid Cases 37 a Computed only for a 2x2 table b 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 8.27.

.746

Exact Sig. (1-sided)

.440

178

Symmetric Measures Asymp. Std. Error(a)

Value Nominal by Nominal

Phi Cramer's V Contingency Coefficient Pearson's R Spearman Correlation

-.079 .079 .079 -.079 -.079 37

Interval by Interval Ordinal by Ordinal N of Valid Cases a Not assuming the null hypothesis. b Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis. c Based on normal approximation.

7.

Approx. T(b)

.164 .164

Approx. Sig. .630 .630 .630 .641(c) .641(c)

-.470 -.470

CR0SSTAB ALOKASI DANA DENGAN IMPLEMENTASI MTBS

N Alokasi Dana * Implementasi MTBS

Case Processing Summary Cases Valid Missing Percent N Percent 37

100.0%

0

Total N

.0%

Percent 37

100.0%

Alokasi Dana * Implementasi MTBS Crosstabulation Implementasi MTBS Total rendah Alokasi Dana

tidak ada

Count Expected Count % within Alokasi Dana

ada

Count Expected Count % within Alokasi Dana

Total

Count Expected Count % within Alokasi Dana

tinggi 18

12

30

16.2

13.8

30.0

60.0%

40.0%

100.0%

2

5

7

3.8

3.2

7.0

28.6%

71.4%

100.0%

20

17

37

20.0

17.0

37.0

54.1%

45.9%

100.0%

Chi-Square Tests Asymp. Sig. Value df (2-sided) 2.257(b) 1 .133 1.169 1 .280 2.293 1 .130

Exact Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square Continuity Correction(a) Likelihood Ratio Fisher's Exact Test .212 Linear-by-Linear 2.196 1 .138 Association N of Valid Cases 37 a Computed only for a 2x2 table b 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3.22.

Exact Sig. (1-sided)

.140

179

Symmetric Measures Asymp. Std. Error(a)

Value Nominal by Nominal

Phi Cramer's V Contingency Coefficient Pearson's R Spearman Correlation

.247 .247 .240 .247 .247 37

Interval by Interval Ordinal by Ordinal N of Valid Cases a Not assuming the null hypothesis. b Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis. c Based on normal approximation.

8.

CR0SSTAB RAPAT KOORDINASI IMPLEMENTASI MTBS

N Rapat Koordinasi Tingkat Puskesmas * Implementasi MTBS

TINGKAT

.155 .155

100.0%

0

Total N

Percent

.0%

rendah

Total

tidak ada

Count

ada

Expected Count % within Rapat Koordinasi Tingkat Puskesmas Count Expected Count % within Rapat Koordinasi Tingkat Puskesmas Count Expected Count % within Rapat Koordinasi Tingkat Puskesmas

.133 .133 .133 .141(c) .141(c)

DENGAN

37

Rapat Koordinasi Tingkat Puskesmas * Implementasi MTBS Crosstabulation Implementasi MTBS Rapat Koordinasi Tingkat Puskesmas

Approx. Sig.

1.508 1.508

PUSKESMAS

Case Processing Summary Cases Valid Missing Percent N Percent 37

Approx. T(b)

tinggi

100.0%

Total

15

7

22

11.9

10.1

22.0

68.2%

31.8%

100.0%

5 8.1

10 6.9

15 15.0

33.3%

66.7%

100.0%

20 20.0

17 17.0

37 37.0

54.1%

45.9%

100.0%

Chi-Square Tests Asymp. Sig. Value df (2-sided) 4.361(b) 1 .037 3.071 1 .080 4.432 1 .035

Exact Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square Continuity Correction(a) Likelihood Ratio Fisher's Exact Test .050 Linear-by-Linear 4.243 1 .039 Association N of Valid Cases 37 a Computed only for a 2x2 table b 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6.89.

Exact Sig. (1-sided)

.039

180

Symmetric Measures Asymp. Std. Error(a)

Value Nominal by Nominal

Phi Cramer's V Contingency Coefficient Pearson's R Spearman Correlation

.343 .343 .325 .343 .343 37

Interval by Interval Ordinal by Ordinal N of Valid Cases a Not assuming the null hypothesis. b Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis. c Based on normal approximation.

9.

Approx. T(b)

.155 .155

Approx. Sig. .037 .037 .037 .037(c) .037(c)

2.163 2.163

CR0SSTAB SISTEM PENCATATAN/ PELAPORAN PELAKSANAAN MTBS DENGAN IMPLEMENTASI MTBS

N Sistem Pencatatan/ Pelaporan * Implementasi MTBS

Case Processing Summary Cases Valid Missing Percent N Percent 37

100.0%

0

Total N

.0%

Percent 37

100.0%

Sistem Pencatatan/ Pelaporan * Implementasi MTBS Crosstabulation Implementasi MTBS rendah Sistem Pencatatan/ Pelaporan

cukup

Count Expected Count % within Sistem Pencatatan/ Pelaporan

baik

Total

Count Expected Count % within Sistem Pencatatan/ Pelaporan Count Expected Count % within Sistem Pencatatan/ Pelaporan

Total

tinggi 7

12

19

10.3

8.7

19.0

36.8%

63.2%

100.0%

13 9.7

5 8.3

18 18.0

72.2%

27.8%

100.0%

20 20.0

17 17.0

37 37.0

54.1%

45.9%

100.0%

Chi-Square Tests Value

df

Asymp. Sig. (2-sided) .031 .067 .029

Exact Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square 4.659(b) 1 Continuity Correction(a) 3.343 1 Likelihood Ratio 4.771 1 Fisher's Exact Test Linear-by-Linear 4.533 1 .033 Association N of Valid Cases 37 a Computed only for a 2x2 table b 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 8.27.

.049

Exact Sig. (1-sided)

.033

181

Symmetric Measures Asymp. Std. Error(a)

Value Nominal by Nominal

Phi Cramer's V Contingency Coefficient Pearson's R Spearman Correlation

-.355 .355 .334 -.355 -.355 37

Interval by Interval Ordinal by Ordinal N of Valid Cases a Not assuming the null hypothesis. b Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis. c Based on normal approximation.

Approx. T(b)

.153 .153

Approx. Sig. .031 .031 .031 .031(c) .031(c)

-2.245 -2.245

10. CR0SSTAB PELAKSANAAN SUPERVISI MTBS OLEH DINKES DENGAN IMPLEMENTASI MTBS Case Processing Summary Valid N Pelaksanaan Supervisi MTBS oleh Dinkes * Implementasi MTBS

Percent 37

Cases Missing N Percent

100.0%

0

Total N

Percent

.0%

37

Pelaksanaan Supervisi MTBS oleh Dinkes * Implementasi MTBS Crosstabulation Implementasi MTBS rendah tinggi Pelaksanaan Supervisi MTBS oleh Dinkes

rendah

tinggi

Total

Count Expected Count % within Pelaksanaan Supervisi MTBS oleh Dinkes Count Expected Count % within Pelaksanaan Supervisi MTBS oleh Dinkes Count Expected Count % within Pelaksanaan Supervisi MTBS oleh Dinkes

100.0%

Total

4

9

13

7.0

6.0

13.0

30.8%

69.2%

100.0%

16 13.0

8 11.0

24 24.0

66.7%

33.3%

100.0%

20 20.0

17 17.0

37 37.0

54.1%

45.9%

100.0%

Chi-Square Tests Value

df

Asymp. Sig. (2-sided) .036 .081 .035

Exact Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square 4.375(b) 1 Continuity Correction(a) 3.049 1 Likelihood Ratio 4.448 1 Fisher's Exact Test Linear-by-Linear 4.257 1 .039 Association N of Valid Cases 37 a Computed only for a 2x2 table b 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5.97.

.047

Exact Sig. (1-sided)

.040

182

Symmetric Measures Asymp. Std. Error(a)

Value Nominal by Nominal

Phi Cramer's V Contingency Coefficient Pearson's R Spearman Correlation

-.344 .344 .325 -.344 -.344 37

Interval by Interval Ordinal by Ordinal N of Valid Cases a Not assuming the null hypothesis. b Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis. c Based on normal approximation.

Approx. T(b)

.154 .154

Approx. Sig. .036 .036 .036 .037(c) .037(c)

-2.167 -2.167

11. CR0SSTAB PELAKSANAAN EVALUASI MTBS OLEH KEPALA PUSKESMAS DENGAN IMPLEMENTASI MTBS Case Processing Summary Valid Percent

N Pelaksanaan Evaluasi MTBS oleh Kepala Puskesmas * Implementasi MTBS

37

Cases Missing N Percent

100.0%

0

Total N

Percent

.0%

37

100.0%

Pelaksanaan Evaluasi MTBS oleh Kepala Puskesmas * Implementasi MTBS Crosstabulation Implementasi MTBS Total rendah tinggi Pelaksanaan rendah Count Evaluasi MTBS oleh 10 2 12 Kepala Puskesmas Expected Count 6.5 5.5 12.0 % within Pelaksanaan Evaluasi 83.3% 16.7% 100.0% MTBS oleh Kepala Puskesmas tinggi

Total

Count Expected Count % within Pelaksanaan Evaluasi MTBS oleh Kepala Puskesmas Count Expected Count % within Pelaksanaan Evaluasi MTBS oleh Kepala Puskesmas

10 13.5

15 11.5

25 25.0

40.0%

60.0%

100.0%

20 20.0

17 17.0

37 37.0

54.1%

45.9%

100.0%

Chi-Square Tests Value 6.130(b) 4.510 6.585

df

Asymp. Sig. (2sided) .013 .034 .010

Exact Sig. (2sided)

Pearson Chi-Square 1 Continuity Correction(a) 1 Likelihood Ratio 1 Fisher's Exact Test Linear-by-Linear 5.965 1 .015 Association N of Valid Cases 37 a Computed only for a 2x2 table b 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5.51.

.017

Exact Sig. (1-sided)

.015

183

Symmetric Measures

Nominal by Nominal

Phi Cramer's V Contingency Coefficient Pearson's R Spearman Correlation

Value .407 .407 .377 .407 .407 37

Interval by Interval Ordinal by Ordinal N of Valid Cases a Not assuming the null hypothesis. b Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis. c Based on normal approximation.

Asymp. Std. Error(a)

.138 .138

Approx. T(b)

2.636 2.636

Approx. Sig. .013 .013 .013 .012(c) .012(c)

184

PETA KOTA SEMARANG

KETERANGAN : Kota Semarang terletak antara garis 6º50’ - 7º10’ Lintang Selatan dan garis 109º35’ - 110º50’ Bujur Timur. Luas Wilayah : 373,70 km2 Jumlah Kecamatan : 16 Kecamatan Jumlah Kelurahan : 177 Kelurahan Jumlah Puskesmas : 37 Puskesmas

185

Lampiran

DOKUMETASI PENELITIAN

Dokumentasi 1 Wawancara dan Pengisian Kuesioner oleh Responden

Dokumentasi 2 Wawancara dan Pengisian Kuesioner oleh Responden

186

Dokumentasi 3 Pemeriksaan Balita Sakit oleh Petugas

Dokumentasi 4 Pemeriksaan Balita Sakit oleh Petugas

187

Dokumentasi 5 Salah Satu Lokasi Penelitan (Puskesmas Mijen)

Dokumentasi 6 Peralatan yang Digunakan dalam Pemeriksaan MTBS