KANDUNGAN BORAKS PADA BAKSO DI MAKASSAR SKRIPSI OLEH

Download Boraks merupakan senyawa kimia turunan dari logam berat boron (B) dan biasa digunakan sebagai bahan anti ..... 2.4.1 Pengertian Boraks . ...

0 downloads 428 Views 2MB Size
i

KANDUNGAN BORAKS PADA BAKSO DI MAKASSAR

SKRIPSI

OLEH:

IMELDA MEILIANY PRIANDINI O111 10 278

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2015

ii

KANDUNGAN BORAKS PADA BAKSO DI MAKASSAR

IMELDA MEILIANY PRIANDINI

Skripsi Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Program Studi Kedokteran Hewan

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2015

iii

iv

PERNYATAAN KEASLIAN

1. Yang bertanda tangan dibawah ini : Nama

: Imelda Meiliany Priandini

NIM

: O111 10 278

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa : a. Karya skripsi saya adalah asli b. Apabila sebagian atau seluruhnya dari skripsi ini, terutama dalam bab hasil dan pembahasan, tidak asli atau plagiasi, maka saya bersedia dibatalkan dan dikenakan sanksi akademik yang berlaku. 2. Demikian pernyataan keaslian ini dibuat untuk dapat digunakan seperlunya.

Makassar, 23 Februari 2015

IMELDA MEILIANY PRIANDINI

v

KANDUNGAN BORAKS PADA BAKSO DI MAKASSAR Intisari

Imelda Meiliany Priandini (O111 10 278). Dibawah bimbingan Prof. Dr. drh. Lucia Muslimin, M.Sc sebagai pembimbing utama dan drh. Dedy Rendrawan M.P sebagai pembimbing anggota.

Boraks merupakan senyawa kimia turunan dari logam berat boron (B) dan biasa digunakan sebagai bahan anti jamur, pengawet kayu, dan antiseptik pada kosmetik. Penggunaan boraks sebagai bahan pengawet dalam makanan telah dilarang penggunaanya oleh pemerintah. Namun, kenyataannya masih banyak ditemukan penggunaan boraks dalam makanan salah satunya yaitu bakso. Tujuan dari penelitian ini untuk mengidentifikasi dan menentukan kadarboraks yang terkandung dalam bakso. Lokasi pengambilan sampel dilakukan di 14 kecamatan yang ada di Kota Makassar. Penelitian ini dilakukan dengan melakukan destruksi basah pada sampel bakso dengan menggunakan HNO3 pekat dan aquades dengan perbandingan 1:1 dan dipanaskan pada tanur listik dalam lemari asam. Penentuan kadar boraks dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer serapan atom (AAS). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari 42 sampel yang diuji terdapat 31 sampel yang positif mengandung boraks. Kandungan boraks yang terdapat pada sampel positif berkisar antara 0,064-8,919 µg/g.

Kata kunci : bakso, boraks, spektrofotometer serapan atom (AAS)

vi

BORON CONTENT OF THE MEATBALLS IN MAKASSAR Abstract

Imelda Meiliany Priandini (O111 10 278). Supervised by Prof. Dr. drh. Lucia Muslimin, M.Sc as the main supervisor and drh. Dedy Rendrawan, M.P as a cosupervisor.

Borax is a chemical compound derived from heavy metals boron (B) and is used as an anti-fungal, wood preservative and antiseptic in cosmetics. The use of borax as a preservative in foods has been banned its use by the government. However, the reality is still found the use of borax in food one of them is a meatball. The purpose of this study was to identify and determine the levels of boron contained in the meatballs. Location of sampling conducted in 14 districts in the city of Makassar. This study was conducted by wet digestion in the sample meatballs using HNO3 and distilled water in the ratio of 1: 1 and heated in the electric furnace in a fume hood. Determination of borax performed using atomic absorption spectrophotometer (AAS). The results of this study showed that of the 42 samples tested contained 31 positive samples containing borax. The content of boron contained in the positive samples ranged from 0,064 to 8,919 µg/g.

Keywords: meatballs, borax, atomic absorption spectrophotometer (AAS)

vii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 01 Mei 1992 di Kota Makale Kabupaten Tana Toraja Provinsi Sulawesi Selatan, dari ayahanda M.S. Padidi dan ibunda Erny Elysie Homer. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Penulis menyelesaikan Sekolah Dasar di SD Kristen Makale I pada tahun 2003, kemudian penulis melanjutkan pendidikan ke SMP Katolik Makale dan lulus pada tahun 2006. Pada tahun 2009 penulis menyelesaikan pendidikan di SMAN 1 Makale. Penulis diterima di Program Studi Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin pada tahun 2010 melalui ujian lokal. Selama perkuliahan penulis aktif dalam organisasi internal kampus yaitu Himpunan Mahasiswa Kedokteran Hewan (HIMAKAHA) Fakultas Kedokteran Universits Hasanuddin menjabat sebagai anggota Divisi Informasi dan Komunikasi periode 2011-2012.

pada

viii

KATA PENGANTAR

Salam Sejahtera Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul Kadungan Boraks pada Bakso di Makassar. Tulisan ini merupakan hasil penelitian penulis yang dimaksudkan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di program studi Kedokteran Hewan Universitas Hasanuddin dengan judul “Kandungan Boraks pada Bakso di Makassar”. Penulis berharap bahwa apa yang disajikan dalam tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua, dan tak lupa penulis mengucapkan permohonan maaf yang sebesar-besarnya dan berharap adanya kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan penelitian ini. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih pihak-pihak yang telah membantu dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini. Ungkapan terima kasih yang terindah, penulis persembahkan kepada orang tua terkasih, ayahanda M.S Padidi dan ibunda Erny Elysie Homer untuk setiap kasih sayang, doa dan dukungan baik materil maupun moril kepada penulis serta adik saya Ignatz Novrian Fayliencent yang selalu medukung dan mendoakan penulis agar cepat meraih gelar kesarjanaan. Tak lupa pula penulis sampaikan ucapan terima kasih yang tulus kepada: 1. Prof. Dr. drh. Lucia Muslimin, M.Sc selaku Ketua Program Studi Kedokteran Hewan Universitas Hasanuddin sekaligus Pembimbing utama yang dengan sabar dan ikhlas memberi bimbingan dan arahan kepada penulis. 2. Drh. Dedy Rendrawan, M.P selaku Pembimbing anggota yang dengan kesabaran memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis sejak penyusunan proposal hingga penulisan akhir. 3. Bapak Dr. Hikmah M. Ali, S.Pt, M.Si, Dr. Drh. Farida Nur Yuliaty, M.Sc, Dr. drh. Dwi Kesuma Sari selaku penguji yang telah memberikan kritik dan saran berupa masukan kepada penulis demi kesempurnaan skripsi ini. 4. Staf Pengajar dan Staf Administrasi yang telah memberikan bantuan dan bimbingan kepada penulis selama mengikuti pendidikan di PSKH FK-UH. 5. Bapak Aras dan Ibu Inna selaku laboran Bagian Analisis Kimia Laboratorium Kesehatan Makassar yang telah membantu penulis selama melaksanakan penelitian. 6. Ibu F.L. Rerung, Kak Dedy Pranata, Adik Yizhar Aldy Tandi dan seluruh keluarga besar yang selalu mendoakan dan mendukung secara moril maupun materil kepada penulis selama menjalani pendidikan di PSKH FK-UNHAS. 7. Kak Agustina, Lois Sendana, Magda Teresia, Stefany Datu, Pretty, Edwina untuk segala doa dan dukungannya kepada penulis.

ix

8. Teman-teman yang selalu memberikan dukungan, bantuan dan semangat Pratiwi Dengen, Ryan Payung, Titin Tambing, Priskha Pirade, Rozana Salamena, Meyby E.P.L, Vilzah Fatimah, Andi Noor Warizah, Rahayu Anggraini. 9. Teman seperjuangan saya, Riana yang selalu bersama-sama mulai dari penulisan proposal hingga ujian akhir. 10. Teman-teman V-Gen 2010 terima kasih untuk kebersamaannya selama ini kalian luar biasa. 11. Teman-teman ’09 CREW IKASMANSA MAKALE yang selalu mendukung dan menyemangati penulis. 12. Teman-teman MICO Gank KKN UNHAS Gel. 87 Kecamatan Ponre Kabupaten Bone, Naldo Kristian, Sitti Mutia, Nur Fajri, Dwi Nugraha Rini, Ryan Kachfi, dan Aswin yang selalu memberikan dukungan dan semangat bagi penulis. 13. Teman-teman lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang sudah mendukung dan mendoakan. Penulis sangat menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini terdapat berbagai kekurangan dan tentu saja masih jauh dari kata “sempurna”, hal ini tak lepas karena keterbatasan penulis sebagai manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan. Oleh karena itu penulis dengan besar hati menerima adanya kritikan dan saran yang sifatnya membangun dari pihak yang membaca skripsi ini. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini berguna bagi pembaca khususnya teman-teman mahasiswa Kedokteran Hewan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar.

Penulis

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................ i HALAMANAN PENGESAHAN .......................................................................... iii PERNYATAAN KEASLIAN ................................................................................ iv ABSTRAK .............................................................................................................. v RIWAYAT HIDUP ............................................................................................... vii KATA PENGANTAR ......................................................................................... viii DAFTAR ISI ........................................................................................................... x DAFTAR TABEL .................................................................................................. xi DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. xi DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................... xi 1. PENDAHULUAN .............................................................................................. 1 1.1 Latar Belakang… .................................................................................. 1 1.2 Rumusan Masalah ................................................................................ .3 1.3 Tujuan Penelitian .................................................................................. 3 1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................... 3 2. TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................... 4 2.1 Pangan ................................................................................................... 4 2.1.1 Keamanan Pangan ........................................................................ 5 2.2 Bahan Tambahan Pangan ...................................................................... 5 2.3 Bahan Pengawet .................................................................................... 7 2.4 Boraks……… .................................................................................... ...8 2.4.1 Pengertian Boraks ........................................................................ 8 2.4.2 Kegunaan Boraks ......................................................................... 9 2.4.3 Sifat Boraks .................................................................................. 9 2.4.4 Bahaya Boraks Bagi Tubuh ......................................................... 9 2.5 Bakso ................................................................................................... 10 2.6 Bahan Tambahan Pengganti Boraks ................................................... 12 2.7 Spektrofotometer Serapan Atom (AAS) ............................................. 13 3. MATERI DAN METODE PENELITIAN ....................................................... 14 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ........................................................... 14 3.1.1 Tempat ..................................................................................... 14 3.1.2 Waktu ...................................................................................... 14 3.2 Materi Penelitian................................................................................ 14 3.2.1 Sampel……… ......................................................................... 14

xi

3.3.2 Bahan dan Alat ........................................................................ 14 3.3 Prosedur Penelitian ............................................................................ 15 3.3.1 Pengambilan sampel................................................................ 15 3.3.2 Pengujian Laboratorium .......................................................... 15 3.3.3 Penentuan Panjang Gelombang .............................................. 15 3.3.4 Pembuatan Kurva .................................................................... 16 3.4 Analisis Data...................................................................................... 16 4. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................ 17 4.1 Hasil ................................................................................................... 17 4.2 Pembahasan ....................................................................................... 17 5. KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................ 21 5.1 Kesimpulan ........................................................................................ 21 5.2 Saran .................................................................................................. 21 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 22 LAMPIRAN .......................................................................................................... 25

DAFTAR TABEL 1. Syarat mutu objektif dari bakso daging menurut SNI ..................................... 11 2. Kriteria mutu sensoris bakso ........................................................................... 11 3. Nilai rata-rata penggunaan boraks tiap kecamatan ......................................... 17

DAFTAR GAMBAR 1. Struktur Natrium Tetraborat dekahidrat ............................................................ 9 2. Struktur kimia Tripolifosfat ............................................................................ 13 3. Grafik rata-rata penggunaan boraks tiap kecamatan ....................................... 18

1. 2. 3. 4. 5.

DAFTAR LAMPIRAN Perhitungan nilai kadar boraks ........................................................................ 25 Panjang gelombang untuk pemeriksaan boraks .............................................. 25 Kurva kalibrasi pemeriksaan boraks ............................................................... 26 Laporan hasil uji.............................................................................................. 27 Dokumentasi ................................................................................................... 29

1

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Peningkatan kualitas hidup manusia tidak hanya ditentukan oleh kualitas pendidikan dan ilmu pengetahuan. Salah satu faktor yang mendukung kualitas hidup manusia adalah kualitas pangan yang dikonsumsi. Menurut UU No. 7 tahun tahun 1996 menyatakan bahwa kualitas pangan yang dikonsumsi harus memenuhi beberapa kriteria, diantaranya adalah aman, bergizi, bermutu dan dapat terjangkau oleh daya beli masyarakat. Aman yang dimaksud mencakup bebas dari pencemaran biologis, mikrobiologi, logam berat dan pencemaran lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia (Asteriani et al, 2006). Makanan yang baik bagi manusia adalah yang memenuhi kandungan, persyaratan kesehatan dan kebersihan. Di Indonesia pada umumnya setiap makanan dapat dengan leluasa beredar dan dijual tanpa harus terlebih dahulu melalui kontrol kualitas dan kontrol kesehatan (Asteriani et al, 2006). Pada umumnya dalam pengelolaan makanan selalu diusahakan untuk menghasilkan produk makanan yang disukai dan berkualitas baik. Makanan yang tersaji harus tersedia dalam bentuk dan aroma yang lebih menarik, rasa enak, warna dan konsistensinya baik serta awet. Untuk mendapatkan makanan seperti yang diinginkan maka sering pada proses pembuatannya dilakukan penambahan “Bahan Tambahan Pangan (BTP)” yang disebut zat aktif kimia (food additive) (Widyaningsih dan Murtini, 2006). Penggunaan Bahan Tambahan Pangan (BTP) harus seusai dengan aturan perundangundangan yang telah ditetapkan. Keselamatan dan kesehatan masyarakat harus dilindungi terhadap pangan yang tidak memenuhi syarat dan terhadap kerugian sebagai akibat produksi, peredaran dan perdagangan pangan yang tidak benar. Cara produksi dan peredaran pangan yang tidak benar dapat merugikan dan membahayakan kesehatan masyarakat. Penjaminan pangan yang bermutu dan aman merupakan tanggung jawab pemerintah, industri pangan dan konsumen, sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing (Cahyadi, 2008). Banyak bahan kimia berbahaya yang biasanya digunakan untuk bahan industri yang digunakan sebagai bahan tambahan pada makanan misalnya, rhodamin B, formalin, methanil yellow, dan boraks. Namun yang paling berbahaya dan sering digunakan dan dijual bebas dimasyarakat adalah formalin dan boraks. Boraks adalah senyawa kimia dengan nama Natrium Tetraborat (NaB4O7.10 H2O). Boraks berbentuk kristal putih, tidak berbau dan stabil pada suhu ruangan. Boraks biasanya digunakan dalam pembuatan antiseptik dan deterjen. Mengkonsumsi boraks tidak menimbulkan akibat secara langsung, tetapi boraks akan menumpuk sedikit demi sedikit karena diserap dalam tubuh konsumen secara kumulatif (Tubagus et al, 2013). Dampak buruk penggunaan boraks bagi kesehatan adalah iritasi saluran cerna yang ditandai dengan sakit sakit kepala, pusing, muntah, mual, diare, penyakit kulit

2

yakni kemerahan pada kulit, diikuti dengan terkelupasnya kulit ari. Gejala lebih lanjut adalah badan menjadi lemah, kerusakan ginjal, pingsan, bahkan shock hingga kematian (Cahyadi, 2008). Penggunaan bahan tambahan pangan khususnya boraksdalampanganperlu diwaspadai,baik oleh produsen maupunkonsumen. Seseorang yang mengkonsumsi makanan yang mengandung boraks tidak akan langsung mengalami dampak buruk bagi kesehatan, tetapi senyawa tersebut diserap dalam tubuh secara kumulatif. Selain melalui saluran pencernaan, boraks dapat diserap melalui kulit. Dosis yang cukup tinggi dalam tubuh akan menyebabkan munculnya gejala pusing, muntah dan kram perut. Pada anak kecil dan bayi, bila dosis dalam tubuhnya sebanyak 5 gram atau lebih dapat menyebabkan kematian, sedangkan untuk orang dewasa kematian terjadi pada dosis 10 sampai 20 gram (Asteriani et al, 2006). Bakso atau baso adalah jenis produk pangan olahan yang berasal dari daging sapi, babi, maupun ayam yang dicampur dengan tepung. Bakso banyak dikonsumsi karena penyajiannya yang praktis dan mudah didapatkan diberbagai tempat seperti swalayan, pasar tradisional, dan warung bakso. Bakso dikonsumsi oleh berbagai kalangan masyarakat mulai dari anak-anak hingga orang tua (Purnomo, 1998 dalam Widati et al, tanpa tahun). Oleh karena itu, pedagang bakso dapat dijumpai di manamana mulai dari pedagang bakso yang keliling dalam suatu kompleks perumahan hingga di hotel mewah pun menu bakso bisa kita dapatkan. Dalam penyajiannya bakso biasanya disajikan dengan mie atau bihun atau bahan pelengkap lainnya misalnya sayuran ditambah dengan kuah kaldu dari daging yang digunakan sebagai bahan dasar. Hal ini bertujuan agar satu mangkok bakso yang kita konsumsi bisa memenuhi keseimbangan gizi dalam tubuh seperti karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral. Sebagai makanan yang disukai oleh masyarakat pedagang membuat bakso dengan berbagai macam bentuk ada yang berbentuk bulat, kotak, halus, maupun kasar. Hal ini dilakukan untuk menarik minat masyarakat untuk mengkonsumsi bakso. Para pedagang biasanya memproduksi dalam jumlah yang banyak untuk menekan biaya produksi, sehingga bakso yang dibuat dapat disimpan dan tahan lama. Maka tidak jarang pedagang menambahkan bahan pengawet dalam bakso. Saat ini, banyak pedagang menggunakan bahan pengawet yang sudah dilarang penggunaanya. Salah satu bahan pengawet yang sering digunakan adalah boraks. Pemerintah telah melarang penggunaan boraks sebagai bahan tambahan makanan melalui Peraturan Menteri Kesehatan RI No.772/Menkes/Per/IX/88 dan No.1168/Menkes/Per/X/1999 (Cahyadi, 2008). Berdasarkan data BPOM pada tahun 2005 bahwa bahan makanan yang menduduki peringkat teratas mengandung formalin dan boraks adalah ikan laut, mie basah, tahu dan bakso. Menurut penelitian Balai Besar Penelitian Obat dan Makanan (BB POM) Makassar pada tahun 2005 dari 37 sampel bakso yang beredar di Makassar mengandung boraks. Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak orang yang belum menyadari dampak dari penggunaan bahan pengawet ini (Anonim, 2005). Mujianto et al. (2005) melaporkan bahwa dari 30 sampel bakso yang diteliti di Kecamatan Pondok Gede, Bekasi ada 38% yang positif mengandung boraks. Hasil penelitian mengenai pemeriksaan boraks pada bakso yang dijual di sekolah dasar di

3

Kecamatan Bangkimang, Kabupaten Kampar diketahui bahwa bakso yang di jual di sekolah tersebut mengandung boraks berkisar dari 0,48 mg/g sampel hingga 2,32 mg/g sampel (Nurkholidah et al,2012).

1.2 Rumusan Masalah 1. 2.

Apakah bakso yang beredar di Kota Makassar mengandung boraks? Berapa nilai kadar boraks pada sampel bakso yang menunjukkan hasil positif?

1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini untuk mengidentifikasi dan menganalisis kandungan boraks pada bakso dari pedagang bakso di Kota Makassar.

1.4 Manfaat Penelitian

1.

2.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat : Masyarakat dapat meningkatkan wawasan dan pengetahuan masyarakat akan karakteristik bakso yang baik untuk dikonsumsi dan mengetahui bahaya yang ditimbulkan oleh bakso yang mengandung boraks. Sebagai bahan masukan dan informasi dan evaluasi bagi pemerintah dan instansi terkait dalam mengawasi akan penyalahgunaan penggunaan boraks dalam memproduksi bakso.

4

2.1 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pangan Menurut UU RI no.7 Tahun 1996 tentang Pangan menjelaskan pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber daya hayati dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman. Bahan pangan umumnya terdiri atas air, protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral. Komponen ini berperan sangat penting dalam memberikan karakter terhadap bahan pangan baik yang bersifat fisik, kimia, biologi, maupun fungsional (Lestari et al, 2010). Menurut Hardiansyah dan Sumali (2001) kualitas pangan dapat ditinjau dari aspek mikrobiologis, fisik (warna, bau, rasa dan tekstur) dan kandungan gizinya. Pangan yang tersedia secara alamiah tidak selalu bebas dari senyawa yang tidak diperlukan oleh tubuh, bahkan dapat mengandung senyawa yang merugikan kesehatan orang yang mengkonsumsinya. Senyawa-senyawa yang dapat merugikan kesehatan dan tidak seharusnya terdapat di dalam suatu bahan pangan dapat dihasilkan melalui reaksi kimia dan biokimia yang terjadi selama pengolahan maupun penyimpanan, baik karena kontaminasi ataupun terdapat secara alamiah. Selain itu sering dengan sengaja ditambahkan bahan tambahan pangan (BTP) atau bahan untuk memperbaiki tekstur, warna dan komponen mutu lainnya ke dalam proses pengolahan pangan. Menurut Saparinto dan Hidayati (2006) pangan dapat dibedakan menjadi 3 berdasarkan asalnya yaitu : 1. Pangan Segar Pangan segar adalah pangan yang belum mengalami pengolahan. Pangan segar dapat dikonsumsi langsung ataupun tidak langsung. 2. Pangan Olahan Pangan olahan adalah makanan atau minuman hasil proses pengolahan dengan cara atau metode tertentu, dengan atau tanpa bahan tambahan. Pangan olahan bisa dibedakan lagi menjadi pangan olahan siap saji dan tidak siap saji. a. Pangan olahan siap saji adalah makanan dan minuman yang sudah diolah dan siap disajikan di tempat usaha atau di luar tempat usaha atas dasar pesanan. b. Pangan olahan tidak siap saji adalah makanan atau minuman yang sudah mengalami proses pengolahan, akan tetapi masih memerlukan tahapan pengolahan lanjutkan untuk dapat dimakan atau minuman. 3. Pangan Olahan Tertentu Pangan olahan tertentu adalah pangan olahan yang diperuntukkan bagi kelompok tertentu dalam upaya memelihara dan meningkatkan kualitas kesehatan. Contoh: ekstrak tanaman stevia untuk penderita diabetes, susu rendah lemak untuk orang yang menjalani diet rendah lemak dan sebagainya.

5

2.1.1 Keamanan Pangan Peraturan Pemerintah nomor 28 tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu, dan Gizi Pangan bertujuan untuk mendukung pelaksanaan Undang-Undang nomor 7 tahun 1996 dan memberikan perlindungan kepada masyarakat akan keamanan, mutu, dan gizi pangan. Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia. Pangan yang aman serta bermutu dan bergizi tinggi penting perannya bagi pertumbuhan, pemeliharaan dan peningkatan derajat kesehatan serta peningkatan kecerdasan masyarakat (Cahyadi, 2008). Seiring dengan berkembangnya peradaban manusia dan kemajuan ilmu dan teknologi, maka keamanan pangan merupakan salah atu masalah yang dinamis. Oleh karena itu, diperlukan suatu sistem yang mampu mengawasi proses produksi, pengolahan, penanganan, pengangkutan, penyimpanan dan pendistribusian pangan serta penyajian kepada konsumen. Pencemaran mikrobiologik dan pencemaran kimiawi terhadap bahan pangan dapat terjadi pada rantai penanganan pangan dari mulai saat pra-panen, pascapanen/pengolahan sampai saat produk pangan didistribusikan dan dikonsumsi (Seto, 2001). Keamanan pangan merupakan aspek yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Kurangnya perhatian terhadap hal ini telah sering mengakibatkan terjadinya dampak berupa penurunan kesehatan konsumennya, mulai dari keracunan makanan akibat tidak higienisnya proses penyiapan dan penyajian sampai resiko munculnya penyakit kanker akibat penggunaan bahan tambahan (food additive) yang berbahaya (Syah, 2005 dalam Nasution, 2009).

2.2 Bahan Tambahan Pangan Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No.772/Menkes/Per/IX/88 bahan tambahan pangan adalah bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan ingredien khas makanan, mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang dengan sengaja ditambahkan ke dalam makanan untuk maksud teknologi (termasuk organoleptik) pada pembuatan, pengolahan, penyediaan, perlakuan, pewadahan, pembungkusan, penyimpanan atau pengangkutan makanan untuk menghasilkan atau diharapkan menghasilkan (langsung atau tidak langsung) suatu komponen yang mempengaruhi sifat khas makanan tersebut (Budianto, 2004). Bahan tambahan pangan (BTP) yang digunakan dalam proses produksi pangan perlu diwaspadai bersama, baik oleh produsen maupun oleh konsumen. Dampak penggunaanya dapat berakibat positif maupun negatif bagi masyarakat khususnya pemuda sebagai generasi penerus pembangunan bangsa (Cahyadi, 2008). Tujuan penggunaan bahan tambahan pangan adalah untuk meningkatkan atau mempertahankan nilai gizi dan kualitas daya simpan, membuat bahan pangan lebih mudah dihidangkan, serta mempermudah preparasi bahan pangan. Berdasarkan asalnya bahan tambhan pangan dapat berasal dari sumber alamiah, seperti lesitin, asam sitrat, dan lain sebagainya. Bahan ini dapat juga disintesis dari bahan kimia

6

yang memiliki sifat serupa dengan bahan alamiah yang sejenis, baik susunan kimia maupun sifat metabolismenya, misalnya -karoten dan asam askorbat. Pada umumnya bahan sintesis memiliki kelebihan, yaitu lebih pekat, lebih stabil, dan lebih murah, tetapi adapula kelemahannya yaitu sering terjadi ketidaksempurnaan proses sehingga mengandung zat-zat yang berbahaya bagi kesehatan, dan kadang-kadang bersifat karsinogenik yang dapat merangsang terjadinya kanker pada hewan dan manusia (Winarno, 1992). Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 33 tahun 2012 yang merupakan revisi dari Permenkes No.722/Menkes/Per/IX/1988 dan Permenkes No.1168/ Menkes/Per/X/1999 dijelaskan bahan tambahan pangan yang dapat digunakan dalam pangan terdiri atas beberapa golongan yaitu: 1. Antikempal (Anticaking agent) Bahan tambahan pangan yang digunakan untuk mencegah menggumpalnya makanan serbuk, tepung, atau bubuk. Contohnya: Kalium silikat 2. Antioksidan (Antioxidant) Bahan tambahan pangan yang digunakan untuk menghambat atau mencegah proses oksidasi lemak sehingga mencegah terjadinya ketengikan. Contohnya: Tertiary Butylhydroquinon (TBHQ) 3. Pemanis buatan (Artificial Sweetener) Bahan tambahan pangan yang dapat menyebabkan rasa manis pada makanan yang tidak atau hampir tidak memiliki nilai gizi. Contohnya: Sakarin, Siklamat, dan Aspartam. 4. Pengatur keasaman (Acidity regulator) Bahan tambahan yang dapat mengasamkan, menetralkan, dan mempertahankan derajat keasaman makanan. Contohnya: agar, alginate, lesitin, dan gum. 5. Pengawet (Preservative) Bahan tambahan pangan yang dapat mencegah atau menghambat terjadinya fermentasi, pengasaman, atau penguraian lain pada makanan yang disebabkan oleh pertumbuhan mikroba. Contohnya: asam asetat, asam propinoat, dan asam benzoat 6. Pemutih dan pematang telur (Flour treatment agent) Bahan tambahan pangan yang mempercepat proses pemutihan atau pematangan tepung sehingga memperbaiki mutu penanganan. Contohnya: asam askorbat dan aalium bromat 7. Pengemulsi, pengatur keseimbangan, dan pengental (Emulsifir, Stabilizer, and Thickener) Bahan tambahan pangan yang digunakan untuk mengatur keseimbangan emulsi dari lemak dan air sehingga produk tetap stabil, tidak meleleh, tidak terpisah antara bagian lemak dan air, serta mempunyai tekstur yang kompak. Contohnya agar, alginate, dekstrin, gelatine, gum, karagenan dan Carboxymethyl Cellulose (CMC). 8. Pengeras (Firming agent) Bahan tambahan pangan yang digunakan untuk membuat makanan menjadi lebih keras atau mencegah makanan menjadi lunak. Contoh: Kalsium glukomat, Kalsium klorida, dan Kalsium sulfat

7

9.

10.

11.

Penyedap rasa dan aroma, penguat rasa (Flavour, Flavour enhancer) Bahan tambahan pangan yang dapat memberi, menambah, atau mempertegas rasa dan aroma. Contoh: Monosodium Glutamat (MSG) Pewarna (Colour) Bahan tambahan pangan yang dapat memperbaiki atau memberi warna pada makanan. Contohnya : Amaranth, indigotine, dan Nafthol yellow Sekuestran (Sequestrant) Bahan tambahan pangan yang dapat mengikat ion logam yang terdapat dalam makanan, sehingga memantapkan aroma, warna, dan tekstur. Contohnya: Asam fosfat dan Kalium dinatrium edetat

Beberapa bahan tambahan pangan yang dilarang penggunaanya dalam makanan menurut Permenkes RI No.722/Per/IX/1988 dan No.1168/Menkes/Per/X/1999 sebagai berikut (Cahyadi, 2008): Boraks (Natrium Tetraborat), formalin (formaldehyd), minyak nabati yang dirominasi (brominated vegetable oils), kloramfenikol (chlorampenicol), Kalium klorat (potassim chlorate), Dietilpirokarbonat (diethylpyrocarbonat, DEPC), Nitofuranzon (nirtofuranzone), PPhenetilkarbamida (p-phenethycarbamide, dulcin, 4-ethoxyphenylurea), asam salisilat dan garamnya (salicylic acid and its salt), pewarna merah (rhodamin B), pewarna kuning (methanyl yellow), pemanis sintesis (dulsin), pengeras (potasium bromat). Winarno dan Sulistyowati (1994), bahan tambahan pangan bertujuan untuk mempertahankan nilai gizi makanan, sebagai konsumsi sekelompok orang yang memerlukan makanan diet, mempertahankan mutu atau kestabilan makanan atau untuk memperbaiki sifat-sifat organoleptiknya hingga tidak menyimpang dari sifat alamiahnya, dan dapat membantu mengurangi makanan yang dibuang, sebagai keperluan pembuatan, pengolahan, penyediaan, perlakuan, pewadahan, pembungkusan, pemindahan, atau pengangkutan, dan membuat makanan menjadi lebih menarik.

2.3 Bahan Pengawet Bahan pengawet adalah senyawa yang mampu menghambat dan menghentikan proses fermentasi, pengasaman, atau bentuk kerusakan lainnya, atau bahan yang dapat memberikan perlindungan bahan pangan dari pembusukan. Penggunaan bahan pengawet bertujuan untuk mempertahankan kualitas dan memperpanjang umur simpan bahan pangan. Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 722/Menkes/Per/IX/1988 tentang Bahan Tambahan Pangan, bahan pengawet bertujuan untuk mencegah atau menghambat fermentasi, pengasaman, atau penguraian lain terhadap pangan yang disebabkan oleh mikroorganisme (Cahyadi, 2008). Menurut Rohman dan Sumantri (2007) zat pengawet terdiri dari senyawa organik dan senyawa anorganik dalam bentuk asam dan garamnya. 1. Pengawet Organik

8

Penggunaan zat pengawet organik lebih sering digunakan dari pada zat pengawet anorganik. Hal ini dikarenakan zat pengawet organik lebih mudah dibuat dan dapat terdegradasi sehingga mudah untuk dieksresikan. Bahan pengawet organik yang sering digunakan adalah: asam sorbat, asam propianat, dan asam benzoat. 2.

Pengawet Anorganik Pengawet anorganik yang masih sering dipakai dalam bahan makanan adalah: nitrit, nitrat dan sulfit. Penggunaan bahan pengawet dari satu sisi menguntungkan karena dengan bahan pengawet, bahan pangan dapat membebaskan mikroba, baik bersifat patogen yang dapat menyebabkan keracunan atau gangguan kesehatan lainnya maupun mikrobial non patogen yang dapat menyebabkan kerusakan bahan pangan, misalnya pembusukan. Namun dari sisi lain, bahan pengawet pada dasarnya adalah senyawa kimia yang merupakan bahan asing yang masuk bersama bahan pangan yang dikonsumsi. Apabila pemakaian bahan pangan dan dosisnya tidak diatur dan diawasi, kemungkinan besar akan menimbulkan kerugian bagi pemakainya, baik yang bersifat langsung, misalnya keracunan; maupun yang bersifat tidak langsung atau kumulatif, misalnya apabila bahan pengawet yang digunakan bersifat karsinogenik (Cahyadi, 2008). Penggunaan bahan pengawet pada makanan bertujuan untuk menghambat pertumbuhan mikroba pembusuk pada pangan baik yang bersifat patogen maupun yang tidak patogen, memperpanjang umur simpan pangan, tidak menurunkan kualitas gizi, warna cita rasa, dan bau bahan pangan yang digunakan, tidak untuk menyembunyikan keadaan pangan yang berkualitas rendah, tidak digunakan untuk menyembunyikan penggunaan bahan yang salah atau yang tidak memenuhi persyaratan, dan tidak digunakan untuk menyembunyikan kerusakan bahan pangan (Azaz, 2013).

2.4 Boraks 2.4.1 Pengertian Boraks Boraks merupakan senyawa kimia turunan dari logam berat boron (B) dan biasa digunakan sebagai bahan anti jamur, pengawet kayu, dan antiseptik pada kosmetik. Berdasarkan data yang dihimpun oleh BPOM padatahun 2005 bahwa bahan makanan yang menduduki peringkat teratas mengandung formalin dan boraks adalah ikan laut, mie basah, tahu dan bakso (Panjaitan, 2009). Boraks berbentuk kristal berwarna putih yang terjadi dalam suatu deposit hasil proses penguapan hot spring (pancuran air panas) atau danau garam. Boraks termasuk kelompok mineral borat, suatu senyawa kimia alami yang terbentuk dari boron (B) dan oksigen (O2) (Winarno dan Sulistyowati, 1994). Boraks adalah zat pengawet yang banyak digunakan dalam industri pembuatan taksidermi, insektarium dan herbarium, tapi dewasa ini boraks cenderung digunakan

9

dalam industri rumah tangga sebagai bahan pengawet makanan seperti pada pembuatan mie dan bakso ( Tumbel, 2010). Menurut Subiyakto (1991) dalam Tubagus et al (2013) boraks adalah senyawa berbentuk kristal putih tidak berbau dan stabil pada suhu ruangan. Boraks merupakan senyawa kimia dengan nama natrium tetraborat (NaB4O7.10 H2O). Sruktur Natrium tetraborat dekahidrat (NaB4O7.10 H2O) disajikan pada Gambar 1 berikut ini :

Gambar 2.1. Struktur Natrium Tetraborat dekahidrat (Winarno, 1992) 2.4.2 Kegunaan Boraks Zat ini normalnya digunakan untuk industri seperti keramik, kertas, gelas, pengawet kayu, antiseptik, dan pengontrol kecoa dan penggunaannya telah dilarang sejak tahun 1979 (Nurhadi, 2012). Boraks sudah digunakan sejak lama, yaitu sebagai zat pembersih (cleaning agent), zat pengawet makanan (additive), dan untuk penyamak kulit. Boraks sebagai antiseptik dan pembunuh kuman. Oleh karena itu boraks banyak digunakan sebagai anti jamur, bahan pengawet kayu, dan untuk bahan antiseptik pada kosmetik. Dalam industri tekstil boraks digunakan untuk mencegah kutu, lumut, dan jamur. Boraks juga digunakan sebagai insektisida dengan mencampurkannya dalam gula untuk membunuh semut, kecoa, dan lalat (Sugiyatmi, 2006). 2.4.3 Sifat Boraks Sifat fisika dan kimia boraks antara lain : memiliki berat molekul (BM) 381,4, titik lebur 75oC, titik didih 320oC, tidak larut dalam alkohol dan asam, larut dalam gliserol, larut dalam air, kelarutannya adalah 6 gr/100 ml air dan pH-nya 9,5 (BPOM, 2002). Menurut Timm (1966) dan Lewis (1993) dalam Stefanny (2006), sifat kimia asam borat antara lain : titik lebur 170,9oC, titik didih 300oC, kelarutannya dalam air pada suhu ruang ( 27oC), semakin tinggi suhu yang digunakan untuk melarutkan boraks (100oC) maka tingkat kelarutannya juga semakin tinggi, kelarutannya dalam air adalah 4-5 gr/100 ml air. 2.4.4 Bahaya Boraks bagi Tubuh Bereau of Food and Drug (BFAD), Food Standard Code dan Department of Health (DOH) Australia menyatakan bahwa boraks merupakan senyawa kimia yang dapat merusak organ dalam tubuh termasuk otak. BFAD dan DOH juga menyatakan bahwa boraks merupakan desinfektan yang dilarang penggunaanya sejak tahun 1984 sebagai bahan tambahan makanan. Boraks dalam dosis cukup tinggi dalam tubuh akan menyebabkan timbulnya gejala pusing, muntah, diare, keram perut, tekanan darah rendah, anemia, demam dan kerusakan organ dalam lainnya dalam tubuh termasuk otak sehingga dapat menyebabkan kematian (Lewis, 2002 dalam Stefany, 2006).

10

Penggunaan boraks dapat mengganggu daya kerja sel dalam tubuh manusia sehingga menurunkan aktivitas organ, oleh karena itu penggunaan bahan pengawet ini sangat dilarang oleh pemerintah khususnya Departemen Kesehatan karena dampak negatif yang ditimbulkan sangat besar. Boraks apabila terdapat dalam makanan, maka dalam waktu lama walau hanya sedikit akan terjadi akumulasi (penumpukan) pada otak, hati, lemak dan ginjal (Tumbel, 2010). Efek bagi kesehatan secara langsung timbul jika penggunaan dalam dosis besar yaitu berupa muntah, diare, suhu badan menurun, rasa lemah, sakit kepala, tidak tenang, dan rash erythemateous. Biasanya sistem organ yang paling sering terpengaruh adalah gastrointestinal, otak, hati, dan ginjal (Darmansjah dan Wiria, 2007). Menurut Winarno (1997) mengatakan bila konsumen mengkonsumsi makanan yang mengandung boraks, tidak serta merta berakibat buruk terhadap kesehatan. Tetapi boraks yang jumlahnya sedikit dalam pangan dapat diserap dalam tubuh konsumen secara kumulatif. Namun pelanggaran peraturan di atas masih sering dilakukan oleh produsen makanan. Menurut Medikasari (2003) dalam Pane et al (2012), hal ini terjadi selain karena kurangnya pengetahuan para produsen juga karena harga pengawet yang khusus digunakan untuk industri relatif lebih murah dibandingkan dengan harga pengawet yang khusus digunakan untuk makanan maupun minuman.

2.5 Bakso Bakso merupakan bahan pangan sumber protein hewani alternatif yang relatif murah, bila dibandingkan dengan daging sapi sehingga harganya dapat terjangkau oleh masyarakat umum. Kualitas bakso ditentukan oleh daging yang digunakan sebagai bahan baku dan kandungan daging tersebut dibandingkan dengan patinya. Pada umumnya bakso yang bermutu tinggi, kadar patinya rendah yaitu sekitar 15% dari total adonan. Semakin tinggi kandungan patinya semakin rendah mutu bakso yang dihasilkan, sehingga harganya akan semakin murah (Winarno, 1997). Purnomo dan Rahadiyan (2008) mengatakan bakso tradisional Indonesia atau lebih dikenal dengan bakso diproduksi dari campuran daging yang ditumbuk halus dengan garam, tepung tapioka, dan bawang putih. Adonan kemudian dibuat bulat menyerupai bola pingpong dimasak dalam air mendidih dan disajikan dengan mie, tahu goreng atau kukus yang diisi dengan daging cincang. Menurut SNI 01-3818-1995 bakso adalah produk makanan berbentuk bulatan atau lain, yang diperoleh dari campuran daging ternak (kadar daging tidak kurang dari 50%) dan pati atau serealia dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain, serta bahan tambahan makanan yang izinkan. Syarat mutu bakso menurut SNI yaitu bau bakso yang normal atau bau khas dari daging yang digunakan, rasa yang gurih, warna yang normal (keabu-abuan), teksturnya yang kenyal, tidak mengandung bahan tambahan makanan yang berbahaya.

11

Tabel 2.1. Syarat mutu objektif dari bakso daging menurut SNI (01-3818 tahun 1995) No Kriteria Uji Satuan Persyaratan 1 Air % b/b Maks. 70.0 2 Abu % b/b Maks. 3.0 3 Protein % b/b Min. 9.0 4 Lemak % b/b Maks. 2.0 5 Boraks Tidak boleh ada 6. Cemaran Mikroba: Angka Lempeng Total Koloni / g Maks. 1.0 x 105 Escherichia coli APM / g <3 Staphylococcus aureus Koloni / g Maks. 1.0 x 102 Menurut Wibowo (2005), kriteria mutu sensori bakso dapat diketahui berdasarkan lima parameter sensori utamanya seperti tercantum pada tabel 2. Tabel 2.2. Kriteria mutu sensori bakso Parameter Bakso Daging Penampakan Bentuk bulat halus, berukuran seragam, bersih dan cemerlang, tidak kusam, sedikitpun tidak tampak berjamur, tidak berlendir. Warna Coklat muda cerah atau sedikit agak kemerahan atau coklat muda hingga coklat muda agak keputihan atau abu-abu. Warna tersebut merata tanpa warna lain yang mengganggu (jamur). Bau Bau khas daging segar rebus dominan, tanpa bau tengik, asam, basi, atau busuk. Bau bumbu cukup tajam. Rasa Rasa lezat, enak, rasa daging dominant dan rasa bumbu cukup menonjol tapi tidak berlebihan. Tidak terdapat rasa asing yang mengganggu. Tekstur Tekstur kompak, elastis, kenyal, tetapi tidak liat atau membal, tidak ada serat daging, tidak lembek, tidak basah berair, dan tidak rapuh. Sumber : Wibowo (2005)

12

Sebagai produk olahan yang berbasis daging, bakso merupakan media yang baik bagi kuman untuk tumbuh dan berkembang biak, sehingga akan memiliki masa simpan yang pendek bila disimpan pada temperatur kamar. Untuk mengatasi hal tersebut para pembuat bakso biasanya menambahkan bahan tambahan makanan sebagai pengawet ke dalam adonan bakso. Adapun ciri-ciri dari bakso yang mengandung boraks yaitu struktur bakso yang kenyal dan lebih keras, memiliki daya tahan penyimpanan yang sangat lama, bertahan sampai lima hari, tekstur sangat kental, warna tidak kecoklatan seperti penggunaan daging namun lebih cenderung berwarna agak putih, bau tidak alami atau ada bau lain yang muncul, dan bila dilempar ke lantai akan memantul seperti bola (BPOM, 2013).

2.6 Bahan Tambahan Pengganti Boraks Penggunaan boraks sebagai bahan pengenyal bakso sangat mengkhawatirkan bagi masyarakat. Padahal, ada bahan tambahan lain yang dapat ditambahkan pada bakso. Bahan kimia yang boleh ditambahkan itu yaitu natrium tripolifosfat dengan konsentrasi maksimum 0,4%. Tetapi dari berbagai penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa ahli, pemakaian natrium tripolifosfat sebesar 0,2% sudah efektif untuk mengenyalkan bakso (Legowo, 2006 dalam Chernanda, 2008). Alkali polifosfat merupakan bahan tambahan makanan yang diperkenankan, tidak bersifat toksik, terdegradasi secara kimia dan enzimatik pada jaringan. Menurut United States Department of Agriculture (USDA) batas penggunaan alkali fosfat adalah 0,5% pada hasil akhir (Detienne dan Wiecker, 1999; Kaufmann et al, 2005 dalam Yuanita et al, 2009), walaupun penggunaan alkali fosfat 0,2 -0,3 % tidak mengurangi sifat fungsional produk sedangkan Departemen Kesehatan RI membatasi 3 gram perkilogram berat adonan (Permenkes, 1998). Salah satu senyawa alkali fosfat yang mempunyai efektivitas tinggi untuk mengawetkan daging adalah natrium tripolifosfat (sodium tripolyphosphate), dan yang diperuntukkan pada bahan makanan disebut natrium tripolifosfat Food Grade. Natrium tripolifosfat berperan meningkatkan tekstur daging yang disebabkan oleh kenaikan derajat keasaman daging, kekuatan ion, dan disosiasi kompleks aktomiosin. Penambahan natrium tripolifosfat menghambat turunnya kadar protein dan asam amino akibat reaksi hidrolisis, meningkatkan daya cerna protein, serta mencegah oksidasi lemak daging (Yuanita et al, 1997 dalam Yuanita et al, 2009). Sebagai antioksidan, natrium tripolifosfat mengurangi ransiditas oksidatif, mempertahankan flavor, aroma dan warna daging. Penggunaan natrium tripolifosfat akan menghambat pertumbuhan bakteri sehingga mengurangi kerusakan bahan makanan akibat mikroba, hal ini disebabkan oleh penurunan Aw(water activity) bahan dan terjadinya pengikatan kation logam yang bersifat essensial bagi pertumbuhan bakteri. Berikut ini struktur kimia tripolifosfat

13

Gambar 2.2. Struktur Kimia Tripolifosfat

2.7 Spektrofotometri Serapan Atom Pada awalnya, spektroskopi adalah ilmu yang mempelajari tentang radiasi sinar tampak yang berintegrasi dengan molekul pada panjang gelombang tertentu dan menghasilkan suatu spektra, yang merupakan hasil interaksi antara energi radiasi dengan panjang gelombang atau frekuensi. Pengertian ini dikembangkan tidak hanya untuk radiasi sinar tampak, tapi juga jenis radiasi elektromagnetik yang lain seperti sinar X, ultraviolet, inframerah, gelombang mikro, dan radiasi frekuensi radio. Ilmu yang berhubungan dengan pengukuran spektra tersebut dinamakan spektrofotometer (Skoog, West, Holler,1996 dalam Rusli,2012). Spektrofotometri serapan atom (SSA) merupakan suatu metode analisis unsur secara kuantitatif yang pengukurannya berdasarkan penyerapan cahaya dengan panjang gelombang tetentu oleh atom logam dalam keadaan bebas (Skoog, 2000 dalam Anshori, 2005). Dalam Metode SSA, sampel diubah ke dalam bentuk uap atom. Proses perubahan ini disebut dengan istilah atomisasi, pada proses ini sampel diuapkan dan didekomposisi untuk membentuk atom dalam bentuk uap.

14

3

MATERI DAN METODE

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.1.1 Tempat Pengambilan sampel berasal dari beberapa pedagang bakso yang beredar di 14 kecamatan di Kota Makassar, yaitu Kecamatan Tamalanrea, Biringkanaya, Tamalate, Bontoala, Mamajang, Makassar, Manggala, Mariso, Rappocini, Panakukang, Tallo, Ujung Pandang, Kecamatan Ujung Tanah, dan Wajo. Penelitian dilakukan di Laboratorium Analisis Kimia Balai Besar Kesehatan Makassar. 3.1.2 Waktu Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2014

3.2 Materi Penelitian 3.2.1 Sampel Sampel bakso yang digunakan sebanyak 42 sampel yang diambil pedagang yang beredar di Makassar. Sampel di ambil dengan menggunakan metode Simple Random Sampling dengan rumus (T-1)(n-1) ≥ 15 Keterangan : T = Perlakuan (Perbedaan lokasi pengambilan sampel) n = Jumah sampel yang diambil dari tiap lokasi Sehingga diperoleh : (14-1)(n-1) ≥ 15 13n-13 ≥ 15 13n

≥ 28

n ≥ 28/13 n ≥ 2,15 atau n ≥ 3 (dilakukan pembulatan ke atas) 3.2.2 Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel bakso yang diambil dari beberapa penjual yang ada di Makassar, HNO3 pekat, aquades.Alat-alat

15

yang digunakan dalam penelitian ini adalah neraca analitik, kantong sack, mortir dan penggerus, Spektofotometri Serapan Atom (AAS), tanur listrik, peralatan gelas, labu erlenmeyer 50 ml, pisau, kertas saring, kertas label, dan spidol.

3.3 Prosedur Penelitian 3.3.1 Pengambilan sampel Sampel bakso diambil dari 42 pedagang bakso yang memiliki warung menetap di Kota Makassar yang terdapat di Kecamatan Tamalanrea, Biringkanaya, Tamalate, Bontoala, Mamajang, Makassar, Manggala, Mariso, Rappocini, Panakukang, Tallo, Ujung Pandang, Ujung Tanah, dan Wajo dengan jumlah sampel bakso yang diambil dari tiap pedagang tersebut kurang lebih 50 gram. Sampel bakso dikemas dalam wadah seperti plastik yang kering. Wadah plastik diberi kode dengan mencantumkan nama kecamatan dan nama warung bakso tempat pengambilan sampel. Setelah itu, sampel bakso dibawa dari tempat pengambilan sampel untuk dilakukan tahap pengujian di laboratorium. 3.3.2 Pengujian Laboratorium Pemeriksaan kandungan boraks dilakukan dengan menggunakan spektofotometri serapan atom. Pemeriksaan ini berdasarkan standar metode yang telah ditetapkan. Sampel terlebih dahulu digerus dan ditimbang sebanyak 5 gr, kemudian dimasukkan ke dalam gelas ukur dengan menambahkan aquades dan HNO3 dengan perbandingan 1:1. Sampel didestruksikan dalam lemari asam hingga terjadi perubahan warna menjadi kehijauan atau kekuningan. Hasil destruksi kemudian ditambahkan aquades 50 ml dan disaring ke dalam labu ukur 50 ml. Hasil yang telah didestruksi kemudian diukur kadar boraksnya menggunakan spektrofotometer serapan atom (AAS). Penentuan nilai positif dan kadar boraks yang terkandung dalam bakso dilakukan dengan terlebih dahulu dengan menghitung nilai atau kadar boron yang ada dalam bakso. Hal ini dilakukan karena boraks merupakan turunan dari Boron (B). Perhitungan untuk mendapatkan nilai kadar boraks dapat dilihat pada Lampiran 1. 3.3.3 Penentuan Panjang Gelombang Panjang gelombang maksimum adalah panjang gelombang yang mempunyai serapan yang maksimum. Pada AAS penentuan panjang gelombang dilakukan pada saat pengaturan AAS lampu katoda berongga (hollow cathode lamp) dimasukkan kedalam alat sehingga secara otomatis alat akan mencari panjang gelombang maksimumnya yang akan digunakan. Pada penelitian ini panjang gelombang yang digunakan yaitu 249,7 nm.

16

3.3.4 Pembuatan Kurva Penetapan kurva baku dilakukan dengan cara membuat suatu seri larutan baku dan dibaca serapannya. Waktu operasi yang dihasilkan dari tahap ini dan panjang gelombang maksimum yang telah dihasilkan melalui proses scanning. Kurva baku ini digunakan untuk menghitung kadar zat pada sampel. Data yang diperoleh pada penetapan kurva baku yang dibuat dengan mencari hubungan antara konsentrasi dengan absorbansi diperoleh persamaan regresi linier, yaitu: Y = bx + a, Y = absorbansi, a = intersep, b = slope 3.4 Analisis Data Pada penelitian ini kumpulan data dari hasil uji kuantitatif ditabulasi dengan menggunakan tabel dan dianalisis secara deskriptif.

17

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Hasil pemeriksaan kandungan boraks menggunakan metode atomisasi terhadap 42 sampel bakso yang diambil dari 14 kecamatan di Kota Makassar yang pengujian dilakukan di Laboratorium Analisis Kimia Balai Besar Laboratorium Kesehatan Kota Makassar dapat dilihat pada Tabel 4.1 berikut ini Tabel.4.1 Nilai rata-rata penggunaan boraks tiap kecamatan Jumlah Persentase Nilai rataNo. Kecamatan Sampel Positif (%) rata (ppm) 1 A 3 100 2,776 2 B 3 66,66 1,187 3 C 3 100 4,334 4 D 3 33,33 0,064 5 E 3 33,33 2,015 6 F 3 66,66 0,517 7 G 3 100 1,265 8 H 3 100 2,937 9 I 3 33,33 1,006 10 J 3 66,66 0,339 11 K 3 100 8,616 12 L 3 100 7,601 13 M 3 100 2,829 14 N 3 33,33 0,347 Dari tabel 4.1 dapat dilihat bahwa kecamatan yang memiliki rata-rata tertinggi dalam penggunaan boraks yaitu Kecamatan K dengan nilai rata-rata 8,616ppm dan dari 3 sampel bakso yang diambil semuanya menunjukkan positif mengandung borkasdan terendah yaitu Kecamatan D dengan nilai rata-rata 0,064ppm dan 3 sampel bakso yang diambil hanya 1 yang positif mengandung boraks. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan metode atomisasi dengan menghitung kandungan boraks menggunakan spektrofotometri serapan atom. Spektrofotometri serapan atom merupakan metode yang sangat tepat untuk analisis zat pada konsentrasi rendah (Khopkar, 1990).

4.2 Pembahasan Berdasarkan uji laboratorium yang telah dilakukan di Laboratorium Analisis Kimia Balai Besar Laboratorium Kesehatan Makassar terhadap 42 sampel bakso, terdapat 31 (73,8%) sampel yang dinyatakan positif mengandung boraks dengan

18

kadar yang berbeda. Pengambilan sampel dilakukan berdasarkan beberapa kriteria yang telah ditentukan. Kriteria tempat pengambilan sampel yaitu pedagang bakso yang menetap disuatu tempat, memiliki jumlah konsumen yang banyak, dan bakso yang dijual dibuat oleh pedagang itu sendiri. Dari 42 sampel yang diuji terdapat 31 sampel bakso yang dinyatakan positif mengandung boraks, kandungan boraks paling tinggi berasal dari Kecamatan Kyaitu 8,919 ppm dan paling rendah dari Kecamatan D dengan nilai kandungan boraks 0,064 ppm. Nilai Rata-rata Penggunaan Boraks Tiap Kecamatan 10 9

8.616

8

7.601

7 6 5

4.334

4 3

2.937

2.776

2.829

2.015

2

1.265

1.187

1

1.006

0.517

0.064

0.347

0.339

0 A

B

C

D

E

F

G

H

I

J

K

L

M

N

Gambar 4.1. Grafik Nilai Rata-rata Penggunaan Boraks tiap Kecamatan Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa di Makassar penggunaan boraks sebagai bahan tambahan pangan masih tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan hasil penelitian yang dilakukan di 14 kecamatan di Makassar tidak ada satupun kecamatan yang bebas dari penggunaan boraks sebagai bahan tambahan pangan. Penelitian ini menggunakan analisis kuantitatif dengan menghitung kandungan boraks dengan metode atomisasimenggunakan spektrofotometri serapan atom. Penggunaan metode ini lebih sensitif karena berdasarkan penelitian sebelumnya bahwa metode ini di mampu membaca nilai kandungan boraks yang terkecil. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bakso yang mengandung boraks yang ada di Makassar masih tinggi. Ciri-ciri bakso yang mengandung boraks dan yang tidak mengandung boraks adalah bakso yang mengandung boraks lebih kenyal dibanding bakso yang tidak mengandung boraks, jika digigit sedikit lebih keras dibandingkan bakso yang tidak mengandung boraks, tahan lama lebih selama 3 hari sedang yang tidak mengandung boraks dalam sehari sudah berlendir, warnanya tampak lebih putih merata, baunya tidak alami atau ada bau lain yang muncul, serta bila dilemparkan ke lantai akan memantul seperti bola bekel (Putra, 2009). Berdasarkan UU No.8 Tahun 2012 tentang Pangan, bahwa keamanan pangan adalah

19

kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia. Boraks merupakan racun bagi semua sel. Pengaruhnya terhadap organ tubuh tergantung konsentrasi yang dicapai dalam organ tubuh. Kadar tertinggi tercapai pada waktu diekskresi maka ginjal merupakan organ yang paling terpengaruhdibandingkan dengan organ yang lain. Dosis tertinggi yaitu 10-20 gr/kg berat badan orang dewasa dan 5 gr/kg berat badan anak-anak akan menyebabkan keracunan bahkan kematian. Sedangkan dosis terendah yaitu dibawah 10-20 gr/kg berat badan orang dewasa dan kurang dari 5 gr/kg berat badan anak-anak (Saparianto dan Hidayati, 2006). Sering mengkonsumsi makanan yang mengandung boraks akan menyebabkan gangguan otak, hati, lemak dan ginjal. Dalam jumlah yang banyak boraks dapat menyebabkan demam, anuria, sianosis, tekanan darah rendah, kerusakan ginjal, bahkan kematian (Widyaningsih dan Murtini, 2006). Boraks memiliki efek racun yang sangat berbahaya pada sistem metabolisme manusia sebagaimana halnya zat-zat tambahan makanan lain yang merusak kesehatan manusia. Dalam Peraturan Menteri Kesehatan No.772/MenKes/Per/IX/88 menyatakan bahwa boraks merupakan bahan berbahaya dan dilarang penggunaannya pada bahan makanan. Makanan mengandung boraks yang masuk ke dalam tubuh akan terserap oleh darah dan disimpan dalam hati. Karena tidak boraks mudah larut dalam air dan bersifat kumulatif (Suklan H, 2002). Berdasarkan penelitian Dody (2003) penggunaan boraks sebagai bahan pengawet dapat diganti dengan bahan pengawet alami makanan salah satunya adalah karagenan. Karagenan merupakan bahan pengenyal yang terbuat dari rumput laut (Euchena sp) dan aman untuk dikonsumsi. Meskipun harganya sedikit lebih mahal dari boraks namun karagenan lebih disarankan kepada pedagang bakso dibanding dengan menggunakan boraks yang dapat menimbulkan penyakit hingga pada kematian. Selain penggunaan karagenan yang bersifat alami pemerintah juga mengizinkan penggunaan Natrium Tripolifospat sebagai bahan pengenyal. Kesadaran masyarakat akan bahaya penggunaan boraks masih terlalu kecil, sehingga mereka tidak memikirkan dampak yang dapat ditimbulkan jika terusmenerus menggunakan boraks sebagai bahan pengawet. Salah satu hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan dampak yang dapat ditimbulkan jika terus-menerus menggunakan boraks sebagai bahan pengawet adalah sosialisasi kepada para pedagang bakso mengenai bahan tambahan makanan yang penggunaannya telah dilarang. Pemerintah wajib menyarankan bahan tambahan yang dapat digunakan sebagai bahan pengawet. Selain kepada para pedagang bakso masyarakat pada umumnya harus diberikan sosialisasi mengenai karakteristik bakso yang menggunakan boraks karena berbahaya bagi tubuh agar masyarakat mampu membedakan bakso yang aman dikonsumsi dengan yang tidak aman untuk dikonsumsi. Pengawasan pemakaian bahan tambahan berbahaya dalam pangan asal hewan yang perlu dilaksanakan oleh Pemerintah antara lain inspeksi, monitoring dan surveilens, akreditasi dan sertifikasi. Untuk itu diperlukan sistem keamanan pangan

20

asal hewan yang merupakan bagian dari sistem kesehatan masyarakat veteriner (SISKESMAVET), yang harus didukung oleh organisasi, sarana dan prasarana, sumberdaya manusia, program yang baik, sistem informasi yang baik, serta dana yang rasional dan operasional. Pengendalian dan pencegahan pemakaian bahan tambahan yang berbahaya dalam pangan yang efektif dimulai dari komitmen dari produsen pangan. Selain itu, pemerintah berkewajiban mengatur dan mengawasi produksi, distribusi dan peredaran bahan kimia sehingga tidak masuk ke dalam rantai makanan. Hal itu didukung oleh pemberlakuan peraturan perundangan dan penegakan hukumnya. Pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah antara lain pengambilan contoh dalam rangka monitoring dan surveilen, inspeksi, audit dan sertifikasi. Konsumen perlu dilibatkan dalam pengawasan pemakaian bahan tambahan berbahaya untuk pangan.

21

5.

KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa dari 42 sampel bakso yang diambil dari 14 kecamatan di Kota Makassar ditemukan 31 (73,80%) sampel bakso yang positif mengandung boraks setelah di uji dengan menggunakan spektrofotometri serapan atom. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kesadaran pedagang bakso akan dampak penggunaan boraks masih sangat kurang meskipun boraks telah dilarang penggunaanya di Indonesia.

5.2 Saran Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disarankan hal-hal sebagai berikut : 1. Perlu dilakukan sosialisasi oleh instansi terkait kepada masyarakat akan bahaya penggunaan boraks dan bahan pengawet berbahaya lainnya sehingga masyarakat berhati-hati dalam memilih pangan yang aman dikonsumsi. 2. Sebaiknya Dinas Kesehatan dan Badan Besar Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) kota Makassar meningkatkan pemantauan dan pengawasan terhadap berbagai bahan panganyang beredar dalam masyarakat. 3. Perlunya sosialisasi kepada produsen bahan tambahan pengganti yang murah dan tidak berbahaya bagi tubuh. 4. Perlu dilakukan pembinaan, pengawasan dan evaluasi secara berkala oleh Balai Pengawasan Obat dan Makanan khususnya bakso sehingga dapat dilakukan tindakan pencegahan dalam penggunaan bahan-bahan berbahaya sebagai bahan tambahan dalam makanan. 5. Perlu dilakukan pengawasan terhadap boraks agar tidak diperjual belikan secara bebas. 6. Perlu dilakukan upaya pendidikan bagi masyarakat baik produsen dan konsumen makanan melalui media cetak dan elektronik tentang keamanan pangan. 7. Kepada produsen sekaligus penjual bakso sebaiknya menggunakan karagenan atau natrium tripolifospat sebagai pengenyal pengganti boraks karena aman untuk dikonsumsi masyarakat. 8. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai penggunaan bahan kimia berbahaya dalam bakso.

22

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2005. Makanan Berboraks Beredar Juga di Makassar. Makassar. Asteriani, Elmatris dan Endrinaldi. 2006. Identifikasai dan Penetapan Kadar Boraks pada Mie Basah yang Beredar Dibeberapa Pasar di Kota Padang. Padang. Azas, Q. 2013. Analisis Kadar Boraks Pada Kurma Yang Beredar Di Pasar Tanah Abang Dengan Menggunakan Spektrofotometer UV-Vis [skripsi]. Jakarta (ID) : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. BPOM. 2002. Informasi Penanganan Bahan Berbahaya : Boraks (Borax). Direktorat Pengawasan Produk dan Bahan Berbahaya, Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya. Jakarta : BPOM. BPOM. 2013. Ciri Bakso yang Mengandung Boraks. Jakarta : BPOM. Cahyadi, W. 2008. Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan. Edisi 2 Cetakan I. Bumi Aksara. Jakarta. Chernanda, E. 2008. Pengaruh Konsentrasi Natrium Tripolifosfat dengan Campuran Tepung Tapioka dan Tepung Sagu Terhadap Mutu Bakso Sapi (skripsi). Medan (ID): Universitas Sumatera Utara. Darmansjah I, Wiria MS. 2007. Farmakologi Terapan. Edisi 5. Jakarta: Gaya Baru. Depkes, RI. 1988. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, No.722/Menkes/IX/1988. Jakarta Depkes, RI. 1995. Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta Detienne, N.A. and Wiecker, L. 1999. Sodium Chloride and Tripolyphosphate Effects on Physical and Quality Characteristics of Injected Pork Loins. Journal of Food Science 64:1042-1049. Fardiaz, S. 2007. Bahan Tambahan Makanan. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor. [diunduh tanggal 30 Juni 2014]. Tersedia pada : http://perpustakaan.pom.go.id/KoleksiLainnya/Buletin%20Info%20POM/0110. pdf. Hardiansyah dan Atmadjo, SM. 2001. Pegendalian Mutu dan Keamanan Pangan. Jakarta : Koswara. Khopkar, S.M., 1990, Konsep Dasar Kimia Analitik Edisi kedua. Jakartam : UI Press. Lestari I, Hidayati A dan Mifbakhuddin. 2010. Hubungan Tingkat Pengetahuan dan Sikap Produsen dengan Derajat Keberadaan Boraks dalam Kerupuk di Desa Sijeruk Kecamatan Kendal Kabupaten Kendal. Semarang. Mujianto B, Purba AV, Widada NS dan Martini R. 2005. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penggunaan Boraks pada Bakso di Kecamatan Pondok GedeBekasi. Buletin penelitian Kesehatan [internet]. [diunduh tanggal 24 Januari 2014] 33(4). Tersedia pada : http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/BPK/article/viewFile/218/293 Nurhadi,M. 2012. Kesehatan Masyarakat Veteriner (Higiene Bahan Pangan Asal Hewan dan Zoonosis). Yogyakarta (ID): Gosyen Publishing.

23

Nurkholidah, Ilza M, Jose C. 2012. Analisis Kandungan Boraks pada jajanan Bakso Tusuk di Sekolah dasar di Kecamatan Bangkinang Kabupaten Kampar. Jurnal Penelitian [internet]. [diunduh tanggal 24 Januari 2014] 6(2). Tersedia pada : http://ejournal.unri.ac.id/index.php/JIL/article/download/963/956 Pane IS, Nuriani D dan Chayaya I. 2012. Analisis Kandungan Boraks (Na2B4O7.10H2O) pada Roti Tawar yang Bermerek dan Tidak Bermerek yang Dijual di Kelurahan Padang Bulan Kota Medan Tahun 2012. Medan (ID) : Universitas Sumatera Utara. Purnomo H dan Rahadiyan D. 2008. Indonesian Traditional Meatball. International Food Research Journal [internet]. [diunduh 24 Januari 2014]. 15(2): 101108(2008). Putra, AK. 2009. Formalin dan Boraks pada Makanan. Bandung : Institt Teknologi Bandung. Rohman, A dan Sumantri. 2007. Analisis Makanan. Institut Teknologi Bandung. Bandung. Saparianto C dan Hidayati D. 2006. Bahan Tambahan Pangan. Kanisius. Yogyakarta. Silalahi J, Meliala I dan Panjaitan. 2010. Pemeriksaan Boraks di dalam Bakso di Medan. Majalah Kedokteran Indonesia [artikel penelitian]. [diunduh 24 Januari 2014]. 11(11)-60(2008). Seto, S. 2001. Pangan dan Gizi Ilmu Teknologi Industri dan Perdaganga Internasional. Bogor : Fakultas Tekologi Pertanian. Standarisasi Nasional Indonesia 01-3818.1995. Bakso Daging Sapi. Dewan Standarisasi Nasional. Jakarta. Stefany, A. 2006. Evaluasi Keamanan Pangan Bakso Cilok Ditinjau dari Kandungan Boraksnya Dibeberapa Sekolah Dasar (SD) Di Wilayah Semarang [skripsi]. Semarang. Sugiyatmi, S. 2006. Analisis Faktor-Faktor Risiko Pencemaran Bahan Toksik Boraks dan Pewarna pada Makanan Jajanan Tradisional yang Dijual di Pasar-Pasar Kota Semarang Tahun 2006 (skripsi). Semarang (ID) : Universitas Diponegoro Semarang. Suklan, H. 2002. Apa da Mengapa Boraks dalam Makana. Penyehatan Air dan Sanitasi (PAS) Vol. IV. Nomor 7. Syah, D et al. 2005. Manfaat dan Bahaya Bahan Tambahan Pangan. Impunan Alumni Fakltas Teknologi Pangan IPB. Bandung. Tumbel, M. 2010. Analisis Kandungan Boraks dalam Mie Basah yang Beredar di Kota Makassar. Jurnal Chemica (internet). (diunduh 24 Januari 2014) 11(1). Hal. 57-64. Tubagus I, Citraningtyas G, Fatimawali. 2013. Identifikasi dan Penetapan Kadar Boraks Dalam Bakso Jajanan di Kota Manado. Jurnal Ilmiah Farmasi [internet]. [diunduh 18 Januari 2014]. 2(4). Tersedia pada : http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/pharmacon/article/download/3104/2648. Wibowo, S. 2005. Pembuatan Bakso Daging dan Bakso Ikan. Jakarta : Penebar Swadaya

24

Widati AS, Widyastuti ES, Rulita, Zenny MS. (tanpa tahun). The effect of addition tapioca starch on quality of chicken meatball chips with vacuum frying method [internet]. [diunduh 22 Januari 2014]. 21 (2): 11-27. Tersedia pada : http://jiip.ub.ac.id/index.php/jiip/article/viewFile/114/122. Widayat, D. 2011. Uji Kandungan Boraks pada Bakso (Studi pada Warung Bakso di Kecamatan Sumbersari Kabupaten Jember)(skripsi). Jember (ID) : Universitas Jember. Widianingsih DT dan Murtini ES. 2006. Alternatif Pengganti Formalin Pada Produk Pangan. Surabaya : Trubus Agriarana. Winarno, F.G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta :Gramedia Pustaka Utama. Winarno, F.G . 1997. Keamanan Pangan. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Winarno, FG dan Sulistyowati, T. 1994. Bahan Tambahan untuk Makanan dan Kontaminan. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan. Yuanita, L et al. 2009. Penggunaan Natrium Tripolifospat untuk Meningkatkan Daya Simpan Daging Ayam. Agritech Vol. 29(2) :79-86.

25

Lampiran 1. Rumus perhitungan kadar boraks Konsentrasi sampel = konsentrasi larutan – larutan blanko Konsentrasi sampel (µg/L) x Volume akhir (mL) Boron (µg/g ) = Berat sampel (g) Boron x Berat Molekul Boron Natrium Tetraborat (ppm) = Berat Molekul Natrium Tetraborat

Lampiran 2. Panjang gelombang untuk penentuan boraks

26

Lampiran 3. Kurva kalibrasi pemeriksaan boraks

27

Lampiran 4. Laporan hasil uji

28

29

Lampiran 5. Dokumentasi

Proses penimbangan sampel

Larutan hasil destruksi

Proses destruksi sampel dengan Penambahan aquades dan HNO3

Proses penyaringan larutan

30

Proses pemeriksaan larutan sampel menggunakan Spektrofotometer Serapan Atom (ASC-7000)