KANDUNGAN GIZI DAUN KELOR

Download Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kandungan Gizi Daun. Kelor (Moringa oleifera) Berdasarkan Posisi Daun dan Suhu Penyeduhan...

8 downloads 660 Views 14MB Size
KANDUNGAN GIZI DAUN KELOR (Moringa oleifera) BERDASARKAN POSISI DAUN DAN SUHU PENYEDUHAN

AJENG KINANTI SUGIANTO

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016

ii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kandungan Gizi Daun Kelor (Moringa oleifera) Berdasarkan Posisi Daun dan Suhu Penyeduhan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari Penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, September 2016 Ajeng Kinanti Sugianto NIM I14120105

iv

ABSTRAK AJENG KINANTI SUGIANTO. Kandungan Gizi Daun Kelor (Moringa oleifera) Berdasarkan Posisi Daun dan Suhu Penyeduhan. Dibimbing oleh CLARA M. KUSHARTO Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari posisi daun tanaman kelor (Moringa oleifera) yang memiliki kandungan gizi paling baik serta mengamati suhu penyeduhan yang optimal terhadap kandungan EGCG (epigallocatechin-3-gallate), yang merupakan penyusun terbanyak katekin sebagai antioksidan dalam teh. Tahapan dalam penelitian ini meliputi tahap persiapan, analisis proksimat dan EGCG pada daun kering, penyeduhan (1 gram : 100 ml), serta analisis EGCG dan aktvitas antioksidan pada hasil seduhan. Daun terpilih berdasarkan analisis uji proksimat dan EGCG pada daun kering, diseduh dalam suhu 70o, 80o, 90o, dan 100oC. Hasil uji menunjukan bahwa posisi daun terbaik adalah bagian atas atau pucuk. Uji hedonik menunjukkan bahwa suhu penyeduhan yang paling disukai adalah hasil seduhan pada suhu 70oC. Hasil analisis hasil seduhan menunjukkan kadar EGCG dan aktivitas antioksidan yang dinyatakan dalam AEAC (Ascorbic acid Equivalent Antioxydant Capacity) tertinggi berada pada hasil seduhan di suhu 90oC. Berdasarkan hasil tersebut, suhu optimal untuk menyeduh daun kelor adalah pada suhu 90oC. Kata kunci: antioksidan, AEAC, EGCG, kelor, Moringa oleifera

ABSTRACT AJENG KINANTI SUGIANTO. Nutritional Quality of Kelor (Moringa oleifera) Leaves Based on Leave Position and Steeping Temperature. Supervised by CLARA M. KUSHARTO The aim of this study was to identify the leaves position of moringa plant (Moringa oleifera) which has the most nutritive value and identify optimum brewing temperature based on its EGCG (epigallocatechin-3-gallate) content, which is the most abundant catechins that work as antioxidant in tea. Stages of this study include the preparation stage, the proxymate and EGCG analysis of dry leaves, brewing (1 gram : 1ml), also EGCG and antioxidant capacity analysis of the results of steeping and hedonic test. Selected leaves based on proximate and EGCG content result, brewed in temperatures of 70o, 80o, 90o and 100oC. Best leaves are those positioned on the shoot position. Hedonic test results showed that the most preferred result was steeping result on the temperature of 70°C. The highest result of the steeping result analysis showed levels of EGCG and antioxidant activity expressed in AEAC (Ascorbic acid Antioxidant Equivalent Capacity) is the highest on the steeping temperature at 90°C temperature. Based on these results, the optimal temperature for brewing the leaves of Moringa is at the temperature of 90°C. Keywords: antioxydant, AEAC, EGCG, kelor, Moringa oleifera

KANDUNGAN GIZI DAUN KELOR (Moringa oleifera) BERDASARKAN POSISI DAUN DAN SUHU PENYEDUHAN

AJENG KINANTI SUGIANTO

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi di Program Studi Ilmu Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016

PRAKATA Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Ucapan terimakasih tidak hentinya diberikan kepada, 1. Arna Dwi Hartani dan Sugianto, sebagai orang tua saya yang telah memberikan segala dukungan dalam bentuk moril dan materil. 2. Pembimbing skripsi, Prof. Dr. drh. Clara M. Kusharto, M.Sc serta segenap dosen, tenaga pengajar dan staff Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor yang telah memperlancar segala sesuatu yang berhubungan dengan penyusunan karya tulis ini. 3. Sahabat saya Muthia Khalida, Amida, dan Levita yang menemani saya selama 4 tahun tanpa kurang satu haripun. 4. Sahabat saya yang terhimpun dalam kelompok Jungleland serta Dinda, Tevin, Yusuf, dan Fajar yang membantu saya dalam melakukan penelitian dalam rangka penyusunan karya ilmiah ini. 5. Sahabat Wushu, Kevin Arthur Hary dan Muhammad Nuzul Azhim Ash Siddiq yang selalu memberi dorongan dan selalu sedia membantu dikala penelitian ini membentur hambatan. Karya tulis ini sangat jauh dari kesempurnaan oleh karena itu, kritik dan saran dari berbagai pihak akan sangat membantu perbaikan Penulisan. Demikian yang dapat saya sampaikan Semoga karya ilmiah ini dapat bermaanfat.

Bogor, September 2016 Ajeng Kinanti Sugianto

i

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang

ii ii iii 1 1

Perumusan Masalah

2

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

2

METODE Waktu dan Tempat

3 3

Bahan dan Alat

3

Tahapan Penelitian

4

Uji Hedonik Hasil Seduhan

11

Pengolahan dan Analisis Data

12

HASIL DAN PEMBAHASAN Tahap Persiapan

13 13

Tahap Analisis I

15

Tahap Analisis II

18

Uji Hedonik Minuman Daun Kelor

20

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

23 23 23 24 27

ii

DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7

Hasil analisis proksimat dan EGCG (epigallocatechin-3-gallate) Analisis proksimat daun teh hijau kering (Akande et al. 2011) Hasil analisis proksimat daun kelor Moringa oleifera) kering yang dilakukan oleh Offor et al. (2014)a dan Moyo et al. (2011)b Hasil analisis kadar mineral pada daun kelor (Moringa oleifera) kering (Moyo et al. 2011) Kadar EGCG (epigallocatechin-3-gallate) berdasarkan suhu penyeduhan daun kelor Kadar EGCG (epigallocatechin-3-gallate) berdasarkan suhu penyeduhan daun teh hijau (Vuong et al. 2011) Hasil analisis kekuatan antioksidan dalam AEAC (Ascorbic acid Equivalent Antioxydant Capacity) pada hasil seduhan daun kelor

15 16 16 17 18 18 20

DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

12 13

Diagram alir tahapan penelitian Kandungan Gizi Daun Kelor (Moringa oleifera) Berdasrkan Posisi Daun dan Suhu Penyeduhan 5 Prosedur tahap persiapan penelitian Kandungan Gizi Daun Kelor (Moringa oleifera) Berdasarkan Posisi Daun dan Suhu Penyeduhan 5 Diagram alir metode analisis protein pada daun kelor kering (978.04) 6 Diagram alir prosedur analisis lemak (Modifikasi AOAC 945.16 (ISO 6492 : 1999)) 7 Diagram alir prosedur analisis air pada daun kelor kering (AOAC 935.29)8 Diagram alir prosedur analisis abu pada daun kelor kering (Nollet 2004) 9 Prosedur penyeduhan daun kelor (modifikasi Putri (2014), Theppakorn (2014), dan Yang et al. (2000)) 10 Metode analisis kadar EGCG (National Science Foundation, USA) 10 Prosedur analisis aktivitas antioksidan seduhan daun kelor (modifikasi Kubo et al. (2002)) 11 Contoh satu dahan kelor yang dipanen dan hasil penomoran posisi daun pada dahan 14 Daun kelor beradasarkan posisi daun, Daun A (bagian pucuk, daun muda), Daun B (bagian tengah, usia pertengahan), Daun C (bagian bawah, daun yang sudah tua) 14 Grafik kekuatan antioksidan dalam AEAC (Ascorbic acid Equivalent Antioxydant Capacity) seduhan daun kelor 20 Grafik hasil rekapitulasi organoleptik hedonik minuman kelor berdasarkan suhu penyeduhan yang berbeda 21

iii

14 Rekapitulasi penentuan formula terbaik seduhan daun kelor

berdasarkan kadar EGCG, uji hedonik, dan aktivitas antioksidan

22

DAFTAR LAMPIRAN

1 2

3

4 5 6 7 8 9

Hasil uji normalitas analisis proksimat pada daun kelor kering berdasarkan posisi daun Hasil uji beda (One Way ANOVA) pada hasil analisis prosimat dan EGCG (epigallocatechin-3-gallate) daun kelor kering berdasarkan posisi daun Hasil uji beda (Kruskal Wallis) pada hasil analisis proksimat dan EGCG (epigallocatechin-3-gallate) daun kelor kering berdasarkan posisi daun Hasil uji normalitas analisis uji kadar EGCG (epigallocatechin-3-gallate) pada variasi suhu seduhan Hasil uji beda (One Way ANOVA) pada hasil analisis kandungan EGCG (epigallocatechin-3-gallate) pada seduhan daun kelor Kurva standar asam askorbat (Ascorbic acid) Hasil perhitungan kapasitas inhibisi antioksidan & AEAC (Ascorbic acid Equivalent Antioxidant Capacity) Hasil uji normalitas pada hasil analisis aktivitas antioksidan pada seduhan daun kelor Hasil uji beda (Krukal Wallis) pada hasil analisis aktivitas antioksidan pada seduhan daun kelor

27

27

28 28 28 29 30 30 30

1

PENDAHULUAN Latar Belakang Tanaman kelor (Moringa oleifera) dikatakan sebagai World’s most valuable multipurpose trees dan miracle tree dalam Small (2012). Seluruh bagian tanaman ini dapat dimanfaatkan menjadi sesuatu yang berguna, dimulai dari makanan, obat, kosmetik, bahkan pemurni air (biji). Tanaman ini juga dapat tumbuh di berbagai iklim, meskipun termasuk dalam tanaman tropis. Afrika sebagai daerah yang menderita masalah kelaparan, merupakan negara degan iklim yang tidak bersahabat dengan pertanian atau perkebunan. Akan tetapi, pohon ini dapat tumbuh di daerah tersebut dan menjadi salah satu solusi inovasi untuk mengurangi berbagai permasalahan disana. Tanaman kelor dapat tumbuh dengan cepat, sangat bertoleransi dengan iklim yang ekstrim serta buah dan daunnya dapat disimpan sebagai bahan pangan bergizi pada odd-season ketika makanan yang tersedia sangat terbatas (Small 2012). Offor et al. (2014) mengatakan bahwa diperkirakan terdapat paling tidak 300 penyakit yang dapat disembuhkan dengan mengonsumsi atau menggunakan suplemen dengan bahan dasar tanaman kelor, selain itu daun tanaman kelor kaya akan protein, vitamin A, vitamin B, C, dan mineral. Produk pangan selalu memiliki bagian yang premium. Contohnya bahan pangan yang berasal dari sapi. Bagian terbaik dari daging sapi adalah prime rib yang didapatkan dengan memotong daging sapi di daerah ketiga dan keempat rusuk sapi. Hal tersebut karena bagian tersebut merupakan bagian yang memiliki tekstur terlembut dan memiliki rasa yang terbaik dibandingkan dengan potongan daging lain (Jordan 2003). Sementara, untuk daun teh (Camelia sinensis) sebagai tanaman yang sudah banyak dan umum dikonsumsi masyarakat sebagai minuman, bagian terbaik dan termahal dipercaya merupakan daun muda lunak (tiga pucuk daun teratas) yang dipetik di tempat teduh (Astawan & Kasih 2008). Chan et al. (2007) mengatakan kualitas daun teh terbaik berada pada pucuk daun teh. Penelusuran mengenai produk premium atau bagian terbaik dari daun kelor belum pernah diteliti. Oleh karena itu, daun kelor yang seperti apa yang dapat dikatakan sebagai premium dalam hal kandungan gizinya diteliti pada penelitian ini. Teh merupakan minuman yang dikonsumsi secara luas dan umum di masyarakat khususnya masyarakat Indonesia. Total produksi teh di Indonesia menurut Direktorat Jenderal Perkebunan (2014) mencapai 143 751 ton pada tahun 2014. Konsumsi teh di Indonesia seperti ditulis oleh Fredman (2014), berdasarkan data dari euromonitor mencapai 1.007 lb atau 0.45 kg perorang setiap tahunnya. Angka ini lebih tinggi dari Switzerland, Ceko, dan Singapura yang tidak mencapai angka 1 lb. Teh kaya akan polifenol yang 70%-nya terdiri dari katekin. EGCG (epigallocatechin-3-gallate) merupakan jenis katekin terbanyak yang menyusun total katekin pada teh (Moore 2009). EGCG disebutkan memiliki efek kemopreventif dan efek therapeutic yang berpotensi untuk melawan berbagai jenis kanker (Khan et al.2006). Penelitian yang dilakukan oleh Zanzer (2011) menunjukkan bahwa teh hijau yang mengandung 100 mg EGCG dan 200 mg EGCG memiliki pengaruh yang nyata terhadap respon glukosa darah. Sementara penelitian yang dilakukan oleh

2

Putri (2014) menunjukkan bahwa 3 gram daun kelor kering yang diseduh dalam 200 ml air memiliki kadar EGCG sebesar 114.37 mg. Dapat dikatakan bahwa seduhan daun kelor memiliki potensi menjadi alternatif minuman teh karena kadar EGCGnya yang pada penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa jumlahnya memiliki pengaruh nyata terhadap gula darah. Konsumsi teh yang tinggi juga menjadi alasan mengapa pengolahan menjadi teh dipilih. Labbé et al. (2005) dan Sharma et al. (2005), menunjukan bahwa suhu memiliki pengaruh yang nyata terhadap kandungan EGCG dalam seduhan teh hijau. Oleh karena itu, penelitian ini juga tertarik untuk meneliti suhu optimum penyeduhan daun teh kelor untuk mendapat kandungan EGCG teroptimal.

Perumusan Masalah Rumusan masalah yang ingin diusung pada penelitian ini antara lain: 1. Apakah terdapat perbedaan karakteristik daun kelor (Moringa oleifera) berdasarkan posisi daun? 2. Manakah posisi daun kelor yang memiliki kandungan gizi terbaik dan bagaimana karakteristiknya? 3. Berapakah suhu penyeduhan daun kelor yang paling optimal untuk mengeluarkan kadar EGCG yang terbaik?

Tujuan Penelitian Tujuan umum : Mengetahui posisi daun tanaman kelor (Moringa oleifera) yang memiliki kandungan gizi paling baik serta mengetahui suhu penyeduhan dari daun tanaman kelor (Moringa oleifera) yang paling optimal. Tujuan khusus : 1. Mengidentifikasi morfologi dan karakteristik daun tanaman kelor. 2. Menganalisis secara langsung kandungan gizi daun tanaman kelor (Moringa oleifera). 3. Mengidentifikasi posisi daun yang memiliki kandungan gizi terbaik. 4. Mengidentifikasi suhu penyeduhan daun terbaik untuk mengoptimalkan kandungan EGCG (epigallocatechin-3-gallate) dari daun kelor.

Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan referensi mengenai bagian terbaik dari daun tanaman kelor serta suhu penyeduhan terbaik untuk mengoptimalkan kandungan EGCG (epigallocatechin-3-gallate) sebagai salah satu jenis polifenol yang dikandung oleh daun kelor.

3

METODE Waktu dan Tempat Penelitian Kandungan Gizi Daun Kelor (Moringa oleifera) Berdasarkan Posisi Daun dan Suhu Penyeduhan dilakukan pada bulan April hingga Agustus 2016. Pemetikan daun kelor dilakukan di daerah Jalan KH. Agus Salim, Bekasi Timur, Bekasi, Jawa Barat sementara analisi dilakukan di Laboratorium Biokimia dan Gizi, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia.

Bahan dan Alat Bahan yang digunakan pada penelitian Kandungan Gizi Daun Kelor (Moringa oleifera) Berdasarkan Posisi Daun dan Suhu Penyeduhan terdiri dari bahan utama dan bahan pendukung. Bahan utama dari penelitian ini adalah daun tanaman kelor (Moringa oleifera) dan bahan pendukung yang digunakan adalah air dan pereaksi untuk analisis. Berikut ini adalah klasifikasi tanaman Moringa oleifera, Kingdom : Plantae (Tumbuhan) Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh) Super Divisi : Spermatophyta Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga) Kelas : Magnoliopsida (Berkeping dua / dikotil) Subkelas : Dilleniidae Ordo : Capparales Famili : Moringaceae Spesies : Moringa oleifera (Nurcahyati 2014) Daun tanaman kelor yang digunakan pada penelitian ini diambil di lingkungan daerah pemukiman Bekasi Timur Jalan Agus Salim, Kelurahan Bekasi Jaya, Kecamatan Bekasi Timur, Kota Bekasi, Jawa Barat. Tanaman di daerah ini bukan merupakan tanaman yang dibudidayakan atau sengaja ditanam, melainkan hanya dibiarkan tumbuh sebagai pohon di pekarangan, sehingga tidak ada perawatan khusus yang diterima oleh tanaman ini. Analisis yang dilakukan meliputi analisis proksimat dan analisis kadar EGCG (epigallocatechin-3-gallate) serta aktivitas antioksidan pada seduhan akhir. Analisis proksimat meliputi uji karbohidrat, protein, lemak, serta abu dan air. Bahan yang digunakan untuk melakukan uji proksimat adalah selenium mix, H2SO4 pekat, HCl 0.1 N, NaOH 30%, asam borat 3%, kertas saring, soxhlet filter paper, dan benang wool bebas lemak. Bahan yang digunakan untuk menganalisis kandungan EGCG adalah reagen EGCG Standar. Sementara bahan yang digunakan untuk menganalisis aktivitas antioksidan adalah buffer asetat (pH 5.5), larutan DPPH (2,2-diphenyl-1-picrylhydrazyl), dan standar asam askorbat konsentrasi 0, 10, 25, 50, 75, 100, 150, 200, 300, 400, dan 500 ppm.

4

Peralatan yang digunakan pada penelitian Kandungan Gizi Daun Kelor (Moringa oleifera) Berdasarkan Posisi Daun dan Suhu Penyeduhan ini dibagi berdasarkan beberapa tahap perlakuan. Tahap persiapan, tahap analisis I yang berisikan tahapan analisis proksimat dan tahapan analisis kadar EGCG pada daun kering, dan tahap analisis II yang berisikan tahapan analisis kadar EGCG dan aktivitas antioksidan pada seduhan. Alat yang digunakan pada tahap persiapan adalah gunting tanaman, tampah, dan timbangan digital. Alat yang digunakan untuk analisis proksimat adalah labu kjedhal, labu destilasi, labu erlenmeyer, buret, labu takar, pipet volumetric, sudip, 1 set alat soxhlet, labu lemak, pemanas listrik, oven dengan termostat, timbangan analitik, gelas piala, mortar, desikator, gegep, gunting/cutter, dan cawan alumunium. Alat yang digunakan pada tahap analisis kadar EGCG adalah High Performance Liquid Chromatography (HPLC), timbangan, pipet, dan labu takar. Alat yang digunakan pada tahap analisis aktivitas antioksidan adalah tabung reaksi, spektofotometer, vortex, labu takar, vial dan pipet. Tahapan Penelitian Tahapan pelaksanaan penelitian ini dimulai dari pengambilan sampel. Sampel diambil dari 10 pohon yang tumbuh di daerah Jalan KH. Agus Salim, Bekasi Timur, Jawa Barat. Sampel dimasukan kedalam plastik kedap udara kemudian dilanjutkan ke proses sortasi. Sortasi dilakukan dengan mengelompokkan setiap daun berdasarkan posisinya dalam 1 (satu) cabang dahan pohon. Kelompok daun A adalah kelompok daun pada posisi atas atau pucuk dengan umur yang masih muda, kelompok daun B adalah kelompok daun tengah yang berada pada posisi tengah dengan umur daun medium atau tidak terlalu tua dan juga tidak terlalu muda, sementara kelompok daun C adalah kelompok daun bawah yang berada pada posisi bawah dengan umur daun yang sudah tua. Pengeringan dilakukan dengan menebar daun kelor diatas kertas putih dan meletakkannya dalam ruang gelap selama 1 minggu. Suhu yang digunakan adalah suhu ruang. Pengeringan juga dilakukan di Kota Bekasi. Letak astronomis Kota Bekasi berada pada 106o48’28’’ – 107o27’29’’ Bujur Timur dan 6o10’6’’ – 6o30’6’’ Lintang Selatan dengan suhu rendah rata rata 23-24oC dan suhu tinggi rata-rata 3233oC serta kelembapan terendah pada siang hari adalah 49% dan kelembapan tertinggi pada malam hari yaitu 89%. Metode pengeringan dengan cara menebar daun serta menyimpannya dalam ruang gelap ini disarankan oleh El-Baz (2006) yang mengatakan bahwa hal tersebut dilakukan untuk mencegah daun berubah hitam dengan cepat. El-Baz (2006) juga menyarankan agar pengeringan dilakukan dengan cara menggantung tanaman agar minyak esensial yang berada di akar/batang tanaman turun ke daun. Ukuran daun kelor yang tidak besar karena disortasi dengan melepaskan daunnya dari dahannya menyebabkan menggantung daun kelor tidak memungkinkan untuk dilakukan. Oleh karena itu, mengeringkan daun dengan cara ditebar diatas kertas dipilih. Daun kering kemudian dianalisis proksimat dan kadar EGCG-nya. Bagian daun terpilih kemudian dilanjut ke tahap penyeduhan. Formulasi suhu penyeduhan menggunakan suhu 70o, 80o, 90o, dan 100oC. Formulasi ini merupakan modifikasi metode yang dilakukan oleh Labbé et al. (2005) dan berdasarkan referensi yang

5

didapat dari McGee (2010) mengenai suhu penyeduhan optimal jenis jenis teh. Hasil dari seduhan selanjutnya diuji kadar EGCG, aktivitas antioksidan, dan penerimaannya dengan uji hedonik.

Pengambilan sampel

Sampel A (Pucuk)

Sampel B (Tengah)

Sampel C (Bawah)

Pengeringan dengan suhu ruang Analisis daun kelor kering

Penyeduhan

Analisis hasil seduhan Gambar 1

Diagram alir tahapan penelitian Kandungan Gizi Daun Kelor (Moringa oleifera) Berdasrkan Posisi Daun dan Suhu Penyeduhan

A. Tahap persiapan Tahap persiapan diawali dengan penetapan standar daun kelor tiap kelompok. Hal yang diperhatikan dari standar adalah posisi daun dan karakteristik daun. Selanjutnya daun disortasi sesuai dengan standar yang sudah ditentukan. Kemudian dilakukan pengeringan selama ±1 minggu. Pemetikan daun tanaman kelor (Moringa oleifera) ↓ Sortasi menjadi daun bagian atas (A), daun bagian tengah (B), dan daun bagian bawah (C) ↓ Pengeringan pada suhu ruang selama ±1 minggu Gambar 2

Prosedur tahap persiapan penelitian Kandungan Gizi Daun Kelor (Moringa oleifera) Berdasarkan Posisi Daun dan Suhu Penyeduhan

B. Tahap analisis I Tahap analisis I berisikan tahap penentuan bagian terbaik dari daun tanaman kelor kering sebelum diseduh. Analisis proksimat dan penentuan

6

kadar EGCG (epigallocatechin-3-gallate) pada tiap daun kering hasil sortasi dilakukan. 1. Prosedur Analisis Protein (AOAC 978.04) Peralatan yang digunakan untuk menganalisis kandungan protein pada sampel adalah labu kjedhal, labu destilasi, labu Erlenmeyer 100 ml, buret, labu takar 100ml, pipet volumetrik dan sudip. Bahan yang dibutuhkan untuk menganalisis kandungan protein pada sampel adalah, Selenium mix, H2SO4 pekat, HCl 0.1 N, NaOH 30%, asam borat 3% dan sampel Daun A (daun kelor bagian atas), sampel Daun B (daun kelor bagian tengah), dan sampel Daun C (daun kelor bagian bawah). Sampel ditimbang sebanyak 2 gram dan dihaluskan ↓ Sampel dimasukkan kedalam labu kjehdhal ↓ Ditambahkan 1 sudip selenium mix dan 25 ml H2SO4 ↓ Labu kjedhal dipanaskan hingga asap SO2 hilang dan warna sampel menjadi hijau jernih ↓ Sampel didinginkan ↓ Sampel dipindahkan ke dalam labu takar 100 ml kemudian tera ↓ 10 ml sampel dari labu takar, 10 ml NaOH 30% dan indikator MM:MB sebanyak 3 tetes dimasukkan kedalam labu destilasi ↓ 20 ml larutan asam borat 3% dan indikator MM:MB sebanyak 3 tetes dimasukkan kedalam Erlenmeyer sebagai destilat ↓ Destilasi dilakukan hingga warna ungu pada penampung destilat berubah menjadi warna hijau ↓ Hasil destilasi, dititrasi dengan HCl dan catat volume HCl Gambar 3

Diagram alir metode analisis protein pada daun kelor kering (978.04)

Perhitungan kadar protein : % Total Nitrogen =

(𝑚𝑙 𝑐𝑜𝑛𝑡𝑜ℎ) × 𝑁 𝐻𝐶𝑙 × 𝑓𝑝 × 14 × 100% 𝑚𝑔 𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑐𝑜𝑛𝑡𝑜ℎ

% Protein = (% total Nitrogen) ×faktor konversi Keterangan : fp = faktor pengenceran (10); fk = faktor konversi (6.25)

7

2. Prosedur Analisis Lemak (Modifikasi AOAC 945.16 (ISO 6492 : 1999)) Peralatan yang digunakan untuk menganalisis kandungan lemak pada sampel adalah 1 set alat soxhlet, labu lemak, pemanas listrik, oven dengan thermostat, timbangan analitik, gelas piala 250 ml, mortas, desikator, gegep, gunting/cutter. Bahan yang dibutuhkan untuk menganalisis kandungan lemak pada sampel adalah, kertas saring dan soxhlet filter paper benang wool, dan sampel Daun A (daun kelor bagian atas), sampel Daun B (daun kelor bagian tengah), dan sampel Daun C (daun kelor bagian bawah).

2 gram sampel ditimbang kemudian dihaluskan ↓ Sampel dimasukkan kedalam selongsong kertas saring (pembuatan timbel) ↓ Sampel dikeringkan dalam oven dalam suhu 80oC selama 1 jam ↓ Labu lemak dioven selama 15 menit dalam suhu yang sama ↓ Labu lemak didinginkan hingga mencapai suhu kamar ↓ Labu kemak kosong ditimbang dan dicatat beratnya ↓ Sampel yang sudah siap, dimasukkan kedalam soxhlet yang sudah dipasang penyangga ↓ Heksana dituangkan secukupnya dan dialirkan lewat ujung pendingin soxhlet ↓ Labu lemak diambil setelah 2 jam dan dikeringkan menggunakan oven pada suhu diatas 100oC selama 15 menit ↓ Labu lemak diambil dari oven dengan penjepit ↓ Labu lemak didinginkan dalam desikator ↓ Labu lemak ditimbang Gambar 4

Diagram alir prosedur analisis lemak (Modifikasi AOAC 945.16 (ISO 6492 : 1999))

Perhitungan kadar lemak : Kadar lemak (%b) =

𝑊1 − 𝑊2 × 100% 𝑊

Keterangan : W = bobot sampel (g); W1 = bobot labu lemak dan lemak (g) W2 = bobot labu lemak kosong (g)

3. Prosedur Analisis Air (AOAC 935.29)

8

Peralatan yang digunakan untuk menganalisis kandungan air pada sampel adalah timbaangan analitik, sudip, oven, desikator, gegep, dan cawan alumunium. Bahan yang dibutuhkan untuk menganalisis kandungan air pada sampel adalah sampel Daun A (daun kelor bagian atas), sampel Daun B (daun kelor bagian tengah), dan sampel Daun C (daun kelor bagian bawah). Cawan alumunium kosong dipanaskann dalam oven (105 ± 2)oC selama 1 jam ↓ Cawan alumunium didinginkan di dalam desikator hingga mencapai suhu kamar ↓ Cawan alumunium ditimbang dan dicatat hasil penimbangannya ↓ 2 gram sampel dimasukan ke dalam cawan alumunium (x gram) ↓ Cawan yang sudah berisikan sampel dimasukkan ke dalam oven (105 ± 2)oC selama 3 jam ↓ Cawan dan sampel yang sudah dioben kemudian didiamkan dalam desikator hingga mencapai suhu kamar ↓ Berat akhir cawan dan isinya ditimbang (y gram) Gambar 5

Diagram alir prosedur analisis air pada daun kelor kering (AOAC 935.29)

Perhitungan kadar air : Kadar air (% bb) =

𝑥 − 𝑦 × 100% 𝑥−𝑎

Keterangan : x = berat cawan dan sampel sebelum dikeringkan kosong (g) y = berat cawan dan sampel setelah dikeringkan (g) a = berat cawan kosong (g)

4. Prosedur Analisis Abu (Nollet, 2004) Peralatan yang digunakan untuk menganalisis kandungan abu pada sampel adalah timbangan analitik, penangas, cawan porselen, tanur, dan gegep besi. Bahan yang dibutuhkan untuk menganalisis kandungan abu pada sampel adalah sampel Daun A (daun kelor bagian atas), sampel Daun B (daun kelor bagian tengah), dan sampel Daun C (daun kelor bagian bawah).

9

Cawan porselen kosong dipanaskan didalam tanur selama 1 jam dalam suhu 550oC. Dinginkan menggunakan desikator kemudian timbang cawan kosong ↓ 3 gram sampel dimasukkan ke dalam cawan porselen ↓ Sampel diarangkan dengan menggunakan penangas hingga sampel tidak lagi mengeluarkan asap ↓ Hasil pengarangan dimasukkan ke dalam desikator dan panaskan pada suhu 550oC sampai terbentuk abu putih (±18 jam) ↓ Dinginkan dalam desikator sampai suhu kamar ↓ Timbang berat akhir cawan dan sampel

Gambar 6

Diagram alir prosedur analisis abu pada daun kelor kering (Nollet 2004)

Perhitungan kadar abu : Kadar abu (%b) =

(𝑊1 − 𝑊2) × 100 𝑊

Keterangan : W = bobot cawan kosong (g) W1 = bobot cawan dan sampel awal (g) 5. Prosedur Analisis Karbohidrat (by difference) % 𝐾𝑎𝑟𝑏𝑜ℎ𝑖𝑑𝑟𝑎𝑡 = 100 − (%𝑝𝑟𝑜𝑡𝑒𝑖𝑛 − %𝑙𝑒𝑚𝑎𝑘 − %𝑎𝑖𝑟 − %𝑎𝑏𝑢)

C. Tahap penyeduhan Cara pembuatan teh daun kelor merupakan hasil modifikasi dari penelitian Putri (2014). Penelitian tersebut memilih metode pembuatan tersebut dengan pertimbangan untuk mendapatkan nilai EGCG (epigallocatechin-3-gallate) yang maksimal dari daun tanaman kelor. Komposisi seduhan yang dibuat pada penelitian ini berdasarkan prosedur yang dilakukan oleh Theppakorn (2014) dan Yang et al. (2000).

Daun kering ditimbang Diseduh dalam air dengan perbandingan 1g : 100 ml Diaduk selama 1 menit dan dibiarkan selama 2 menit

10

Gambar 7

Prosedur penyeduhan daun kelor (modifikasi Putri (2014), Theppakorn (2014), dan Yang et al. (2000))

D. Tahap analisis II Tahap analisis II berisikan kegiatan analisis pasca penyeduhan. Uji yang dilakukan pada sampel adalah uji analisis kandungan EGCG (epigallocatechin-3-gallate) dan uji analisis aktifitas antioksidan. 1. Prosedur analisis kandungan EGCG Analisis kandungan EGCG (epigallocatechin-3-gallate) dalam minuman teh menurut National Science Foundation, USA. 5.0 ml sampel dipipet Dimasukan kedalam labu takar 25 ml 10 ml H3PO4 0.1% ditambah, ultrasonic larutan pada suhu 60oC, selama 60 menit Larutan didiamkan hingga dingin Dihimpit dengan H3PO4 0.1%, dihomogenisasi Disaring dengan 0.45 µm membrane filter, dimasukkan ke dalam vial Sampel siap disuntikkan ke HPLC

Gambar 8

Metode analisis kadar EGCG (National Science Foundation, USA)

2. Prosedur analisis aktivitas antioksidan

11

Langkah yang harus diambil sebelum melakukan analisis antioksidan merupakan modifikasi dari metode yang dijelaskan oleh (Simopoulos et al. 2003) & (Khemani et al. 2012), sementara langkah pada saat analisis aktivitas antioksidan, merupakan modifikasi dari Kubo et al. (2002). Analisis aktivitas antioksidan terdiri dari beberapa tahap, tahap-tahap tersebut antara lain, a. Menentukan konsentrasi DPPH yang akan digunakan b. Membuat kurva standar vitamin C c. Menganalisis sampel Apabila disederhanakan, tahapan analisis antioksidan disajikan di bawah ini. Peralatan yang digunakan untuk menganalisis aktivitas antioksidan pada sampel adalah tabung reaksi, rak tabung reaksi, spektofotometer, vortex, labu takar, botol vial dan pipet. Bahan yang dibutuhkan untuk menganalisis aktivitas antioksidan pada sampel adalah hasil seduhan daun kelor terpilih, DPPH, Asam askorbat dan air bebas ion. Dibuat standar asam askorbat dengan konsentrasi 0, 10, 25, 50, 75 100, 200, 300, 400, 500 ppm. ↓ 3.9 ml buffer asetat (pH 5.5) dipipet kedalam tabung reaksi. ↓ Ditambahkan 1 ml DPPH 0.5 mM dan 0.1 ml ekstrak sampel ↓ Divorteks kemudian disimpan dalam suhu gelap selama 30 menit ↓ Absorbansi dibaca pada gelombang 517 nm ↓ Absorbansi dibaca dan dinyatakan dalam AEAC (Ascorbic acid Equivalent Antioxidant Capacity) Gambar 9

Prosedur analisis aktivitas antioksidan seduhan daun kelor (modifikasi Kubo et al. (2002))

Perhitungan kapasitas inhibisi antioksidan 𝐾𝑎𝑝𝑎𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑖𝑛ℎ𝑖𝑏𝑖𝑠𝑖 𝑎𝑛𝑡𝑖𝑜𝑘𝑠𝑖𝑑𝑎𝑛 (%) = {(𝐴0 − 𝐴1)/𝐴0} × 100% Keterangan : A0: Absorbansi kontrol A1: Absorbansi sampel

Uji Hedonik Hasil Seduhan Formula minuman teh yang dibuat berdasarkan suhu penyeduhan, diujikan terhadap 30 orang panelis. Pengujian ini dilakukan untuk meneliti daya terima dan mutu dari hasil seduhan. Formula yang diujikan adalah hasil seduhan pada suhu 70oC, hasil seduhan pada suhu 80oC, hasil seduhan pada suhu 90oC, dan hasil

12

seduhan pada suhu 100oC. Uji hedonik ini dilakukan menggunakan metode skala rating (Katan 1996). Skala yang digunakan adalah skala 1 sampai dengan 5 (sangat tidak suka hingga sangat suka). Semakin tinggi skor, mengartikan semakin tinggi tingkat kesukaan panelis terhadap hasil seduhan. Atribut yang dinilai pada uji hedonik adalah, warna, kepekatan, kejernihan, rasa (flavor), bau, kesepatan (pungency), serta rasa secara keseluruhan. Agar panelis dapat dengan mudah mengenali bau daun kelor, sampel daun kelor kering disediakan pada sesi organoleptik untuk memberikan gambaran aroma daun kelor. Pengolahan dan Analisis Data Rancangan percobaan yang digunakan merupakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan variabel suhu penyeduhan daun kelor yaitu suhu 70 o, 80o, 90o, dan 100oC. Berikut ini merupakan model matematika dari rancangan percobaan yang dimaksud. 𝑌𝑖𝑗 = 𝜇 + 𝜏𝑖 + 𝜀𝑖𝑗 Keterangan : Yij = Nilai pengamatan pada perlakuan penyeduhan suhu ke-i, ulangan ke-j µ = Nilai rata – rata τi = Pengaruh penyeduhan suhu ke-i εij = Nilai galat error dari perlakuan penyeduhan suhu ke-i, dan ulangan ke-j i = Perlakuan penyeduhan j = pengulangan Data diolah menggunakan Microsoft Excel 2013 dan Statistical Package for Social Science for Windows (SPSS) 21.0. Proses yang dilakukan selama pengolahan dan analisis data adalah coding, entry, dan edting.

13

HASIL DAN PEMBAHASAN Tahap Persiapan Tanaman kelor merupakan family dari Moringaceae dan dikenal sebagai horseradish di daerah negara Barat. Nama lain dari tanaman ini adalah ben-tree, benzolive tree, cabbage tree, kelor tree, moringa, radish tree, dan West Indian ben. Tumbuhan tropis ini merupakan tumbuhan asli di kaki bukit Himalaya Selatan, serta di bagian utara India dan Pakistan, namun kini ditanam di semua negara tropis seperti Asia, Afrika, serta beberapa daerah tropis di daerah Amerika dan Oceania. Pohon tanaman kelor umumnya memiliki tinggi 5-10 meter dan terkadang dapat mencapai 15 meter. Tumbuhan ini, dapat tumbuh dengan cepat hingga 4 meter di tahun pertama. Warna daunnya adalah hijau evergreen, tergantung dari iklim tumbuhnya (Small 2012). Tanaman kelor merupakan tanaman dengan pertumbuhan yang cepat. Tanaman ini dapat tumbuh hingga tinggi 3 meter dalam waktu 3 bulan dan dalam beberapa tahun dapat mencapai 12 meter apabila dibiarkan tumbuh secara alami (diluar perkebunan atau nursery) (Leone 2015). Menurut Leone (2015), plantasi tanaman kelor dapat dibagi menjadi 3 yaitu, (1) Produksi intensif dengan jarak tanam 10 cm x 10 cm sampai 20 cm x 20 cm dan pemupukan dan irigasi yang baik, interval pemanenan 35-45 hari; (2) Produksi semi-intensif dengan jarak tanam 50 x 100 cm serta irigasi dan pemupukan dalam taraf ‘disarankan’ atau suggested, interval pemanenan 50-60 hari; (3) Produksi yang berintegrasi dengan sistem agroforestry dengan jarak tanam 2-4 meter, interval pemanenan sekitar 60 hari dan irigasi serta pemupukan tidak terlalu dibutuhkan. Plantasi tanaman kelor sendiri di Indonesia sudah terdapat di Blora, Jawa Timur. Pohon yang digunakan pada penelitian ini bukanlah pohon yang tanam pada plantasi melainkan pohon yang tumbuh tanpa perawatan apapun. Pemanenan pertama dilakukan untuk menstandarisasi karakteristik daun kelor dan penomoran posisi daun untuk mengelompokkan daun kelor. Nomor 1 dan nomor 2 dikelompokkan sebagai daun posisi pucuk atau atas dengan kode Daun A. Nomor 3 hingga nomor 4 dikelompokan sebagai daun posisi tengah dan dengan kode Daun B, sedangkan nomor 5 kebawah dikelompokkan sebagai daun posisi bawah dengan kode Daun C. Hasil pengelompokan dan penomoran daun tanaman kelor dapat dilihat pada gambar 10.

14

Gambar 10

Contoh satu dahan kelor yang dipanen dan hasil penomoran posisi daun pada dahan

Secara jelas, karakteristik daun pada kelompok Daun A, Daun B, dan Daun C dapat dilihat pada gambar 11.

Daun A Daun B Daun C Gambar 11 Daun kelor beradasarkan posisi daun, Daun A (bagian pucuk, daun muda), Daun B (bagian tengah, usia pertengahan), Daun C (bagian bawah, daun yang sudah tua) Daun A memiliki ciri batang yang masih lunak dan berwarna hijau muda. Daun C memiliki ciri berwarna hijau gelap. Karena usia daun C yang lebih tua dibandingkan dengan Daun A dan Daun B, terkadang ditemukan daun dengan warna kekuningan pada daun di bagian C seperti yang dapat dilihat pada Gambar

15

11, dibagian kanan bawah daun, terdapat kelompok daun yang memiliki warna kekuningan. Daun tersebut, dibuang pada saat sortasi atau tidak digunakan. Daun B merupakan daun bagian tengah yang memiliki ciri warna daun tidak terlalu tua dan tidak terlalu muda.

Tahap Analisis I Tahap analisis I dilakukan pada daun kering. Daun dianalisis secara proksimat dan kadar EGCG (epigallocatechin-3-gallate). Analisis proksimat meliputi analisis kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, dan kadar karbohidrat secara by difference. Minuman teh yang umumnya dibuat dengan proposi 1 gram daun kering dalam 100 ml air dan diseduh selama ±3 menit, dapat menghasilkan karakteristik senyawa fenolik, (-)-epigallocathecin-3-gallate (EGCG), (-)-gallocatechin (EGC), (-)-epicatechin-3-gallate (ECG), dan (-)epicatechin yang secara umum dikenal sebagai katekin (Yang et al. 2000). EGCG (epigallocatechin-3-gallate) merupakan jenis katekin penyusun total polifenol di dalam teh yang paling banyak ditemukan (Moore et al. 2009). Penelitian yang dilakukan oleh Collins et al. (2007) menunjukkan bahwa EGCG mampu menghambat hepatic gluconeogenesis dalam konsentrasi ≤1µM dengan mengaktivasi AMPK (5’-AMP-activated-protein kinase) yang dimediasi dengan CaMKK (Ca2+/calmodulin-dependent protein kinase) dan ROS (Reactive Oxygen Species) yang diketahui sebagai pengaktif CaMKK. Waltner-Law et al. (2002) menyatakan EGCG memiliki kemampuan yang mirip dengan insulin dalam menurunkan produksi glukosa hepatik dan dikatakan dapat menjadi agen antidiabetes. Hasil analisis proksimat dan EGCG (epigallocatechin-3-gallate) disajikan pada tabel 1.

Tabel 1 Hasil analisis proksimat dan EGCG (epigallocatechin-3-gallate) Kadar Protein (%)*a

Kadar Karbohidrat (%)*a

Kadar EGCG (%)*b

8.42 ± 1.84

39.00 ± 1.62

35.80 ± 6.43

0.76 ± 0.004

10.64 ± 0.76 9.81 ± 0.06 10.07 ± 1.22 Daun Cz 12.80 ± 0.43 9.46 ± 0.91 9.16 ± 3.05 Keterangan : * Dalam basis kering (bk) x Daun bagian pucuk, daun muda y Daun bagian tengah, daun usia pertengahan z Daun bagian bawah, daun usia tua a Tidak memiliki perbedaan nyata (p> 0.05) b Memiliki perbedaan nyata (p<0.05)

26.96 ± 8.75

53.77 ± 10.78

0.70 ± 0.003

26.72 ± 8.19

48.41 ± 3.32

0.62 ± 0.0001

Kelompok

Kadar Air (%) a

Kadar Abu (%)* a

Daun Ax

13.19 ± 0.30

16.77 ± 6.65

Daun By

Kadar Lemak (%)*a

Sebagai pembanding, berikut ini disajikan hasil analisis proksimat dari teh hijau yang dilakukan oleh Akande et al. (2011) yang menggunakan sampel teh hijau kemasan dari Lagos Nigeria.

16

Tabel 2 Analisis proksimat daun teh hijau kering (Akande et al. 2011) Parameter (%) Air Abu Lemak Protein Karbohidrat

Mean ± S.E.M 13.85 ± 0.01 4.79 ± 0.01 6.09 ± 0.1 0.16 ± 0.00 78.61 ± 0.36

Analisis proksimat juga dilakukan oleh Offor et al. (2014) dan Moyo et al. (2011) dengan menggunakan daun kelor yang berasal dari tanaman kelor yang tumbuh di Afrika. Berikut ini merupakan hasil analisis proksimat yang dilakukan oleh Offor et al. (2014) dan Moyo et al. (2011).

Tabel 3 Hasil analisis proksimat daun kelor Moringa oleifera) kering yang dilakukan oleh Offor et al. (2014)a dan Moyo et al. (2011)b Parameter (%) Air Abu Lemak Protein Karbohidrat

Mean ± S.E.M* a 14.8 ± 0.2 3.8 ± 0.2 4.5 ± 0.1 24.2 ± 0.9 50.4 ± 0.2

Mean ± S.E.M* b 9.533 ± 0.194 7.64 ± 0.4333 6.50 ± 1.042 30.29 ± 1.480 -

Keterangan : *Standard Error of Mean

Kadar air, kadar abu, kadar protein, dan kadar EGCG (epigallocatechin-3gallate) tertinggi pada sampel daun kelor yang diteliti, ditunjukan oleh kelompok Daun A sementara kadar lemak dan kadar karbohidrat tertinggi ditunjukkan oleh kelompok Daun B. Kadar air merupakan karakteristik yang mempengaruhi tekstur dan penampakan bahan pangan serta juga menentukan kesegaran dan daya awet bahan pangan tersebut. Kadar air yang tinggi dapat menyebabkan bahan pangan mudah ditumbuhi kapang dan jamur (PERSAGI 2009). Kadar air yang cenderung tinggi disebabkan oleh proses pengeringan yang hanya mengandalkan suhu ruang. Offor et al. (2014) melakukan pengeringan daun selama 3 minggu dalam suhu ruang dan hasilnya tidak jauh berbeda dari hasil yang didapatkan dari penelitian. SNI 3836:2013 mengenai teh kering kemasan menyebutkan bahwa syarat kadar air maksimum untuk teh kering dalam kemasan adalah 8% sementara SNI 01-039451995 tentang teh hijau mengatakan bahwa kadar air maksimum untuk teh hijau adalah 12%. Kadar abu memiliki hubungan erat dengan kandungan mineral serta kebersihan suatu bahan (PERSAGI 2009). Hasil dari percobaan terhadap ketiga kelompok daun kelor menunjukkan kadar abu yang relatif tinggi. Menurut Sohaimy et al. (2015), daun kelor merupakan daun dengan mineral yang tinggi seperti Natrium (Na), Kalium (K), Magnesium (Mg), Kalsium (Ca), Fosfor (P), dan Besi (Fe). Berikut ini merupakan hasil analisis mineral yang dilakukan Moyo et al. (2011).

17

Tabel 4 Hasil analisis kadar mineral pada daun kelor (Moringa oleifera) kering (Moyo et al. 2011) Mineral Kalsium (Ca) % Fosfor (P) % Magnesium (Mg) % Kalium (K) % Natrium (Na) % Sulfur (S) % Zinc (Zn) mg/kg Tembaga (Cu) mg/kg Mangan (Mn) mg/kg Besi (Fe) mg/kg Selenium (Se) mg/kg Boron (Br) mg/kg

Mean ± S.E.M* 3.65 ± 0.036 0.30 ± 0.004 0.50 ± 0.005 1.50 ± 0.019 0.164 ± 0.017 0.63 ± 0.146 31.03 ± 3.410 8.25 ± 0.143 86.8 ± 3.940 490 ± 49.645 363 ± 0.413 49.93 ± 2.302

Keterangan : *Standard Error of Mean

Kadar protein yang cukup tinggi pada hasil percobaan juga ditemui oleh Teizeira (2014) yang mengemukakan bahwa daun kelor memiliki kandungan crude protein yang tinggi. Daun tanaman kelor memiliki kandungan asam amino esensial yang tinggi, termasuk asam amino sulfur yang mirip dengan asam amino yang dikandung biji kedelai (Burlando et al. 2009). Daun Moringa oleifera juga mengandung tanin, saponin, dan alkaloid (Burlando et al. 2010). Uji beda menggunakan One Way Anova dan Kruskal Wallis menunjukkan hasil analisis uji kadar air (p = 0.63), kadar abu (p = 0.180), kadar lemak (p = 0.766), protein (p = 0.276), dan kadar karbohidrat (p = 0.193) antar sampel tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Sementara hasil uji Annova menunjukkan perbedaan yang signifikan terhadap kadar EGCG (p<0.05). Produk yang dituju setelah tahap analisis I adalah penyeduhan dan kandungan yang diamati pada proses penyeduhan adalah kadar EGCG (epigallocatechin-3-gallate), sehingga Daun A sebagai daun dengan hasil EGCG tertinggi dan secara statistik menunjukkan hasil yang berbeda nyata dibandingkan dengan sampel lainnya, merupakan kelompok daun terpilih. Hasil penelitian ini diharapkan untuk dapat diterapkan di masyarakat seharihari. Pemanfaatan Daun A yaitu daun muda atau pucuk dari tanaman untuk konsumsi sehari-hari dalam skala rumah tangga dan bukan skala industri akan sulit untuk diimplementasikan karena jumlah pucuk setiap pohon terbatas. Sebagai perbandingan, tanaman teh yang umum dikonsumsi membutuhkan waktu untuk kuncup daun menjadi pucuk yang siap untuk dipetik bervariasi pada 40 hari di Afrika Utara dan 55-80 hari di Sri Lanka (Nair 2010). Setiap pohon kelor memiliki jumlah dahan yang bervariasi (tergantung tinggi dan umur pohon) setiap dahan hanya memiliki 1 (satu pucuk). Rendemen daun tanaman kelor adalah 10% sehingga dibutuhkan 100 gram daun kelor basah untuk mendapatkan 10 gram daun kering (Putri 2014). Apabila tidak ditanaman dalam skala besar atau dbudiayakan, sulit untuk memenui kebutuhan 100 gram pucuk atau daun muda daun basah. Selain itu, waktu yang dibutuhkan untuk pohon kelor tumbuh dari 0 adalah 2.5 bulan

18

(Jonni et al. 2008). Kesalahan pemetikan yang dilakukan pada daun yang masih muda juga dapat mengganggu pertumbuhan tanaman. Hal tersebut diakibatkan oleh rusaknya 7.5% pati untuk pertumbuhan tanaman. Pemeliharaan yang teratur dan pemupukkan berkelanjutan dibutuhkan agar proses pertumbuhan tanaman tidak terganggu (Effendi et al. 2010). Pemeliharaan yang teratur yang dimaksud disini adalah pemeliharaan yang memenuhi syarat penanaman daun kelor yang sudah dijelaskan pada paragraf 2 (dua) pada sub-bab Tahap Persiapan. Oleh karena itu, mempertimbangkan ketersediaan dan keberlanjutan tanaman, Daun B sebagai kelompok daun dengan rangking terbaik 2, ditetapkan menjadi kelompok bagian daun terpilih.

Tahap Analisis II Tahap analisis kedua mencangkup kadar EGCG (epigallocatechin-3-gallate) dari hasil seduhan. Berikut ini merupakan hasil analisis kadar EGCG sampel berdasarkan perbedaan suhu seduhan.

Tabel 5 Kadar EGCG (epigallocatechin-3-gallate) berdasarkan suhu penyeduhan daun kelor Suhu Penyeduhan (oC) 70 80 90 100 Keterangan :a : p<0.05

EGCG (mg/ml)a 0.29 ± 0.00036 0.39 ± 0.00014 0.42 ± 0.00028 0.36 ± 0.00021

Sebagai pembanding, berikut ini merupakan hasil analisis kadar EGCG (epigallocatechin-3-gallate) pada daun teh hijau dengan beberapa variasi temperatur seduhan yang dilakukan oleh Vuong et al. (2011).

Tabel 6 Kadar EGCG (epigallocatechin-3-gallate) berdasarkan suhu penyeduhan daun teh hijau (Vuong et al. 2011) Suhu Penyeduhan (oC) 5 15 25 50 70 80 90 Keterangan :a : p<0.05

EGCG (mg/g)a 0.7 ± 0.1 9.9 ± 0.8 10.2 ± 1.5 19.8 ± 2.5 37.1 ± 1.1 56.7 ± 1.1 52.0 ± 2.9

19

Rasio seduhan yang digunakan oleh Vuong et al. (2011) adalah 1 gram daun teh hijau dalam 100 ml air dalam waktu seduhan 30 menit. Suhu dijaga dengan menggunakan waterbath. Waktu ekstraksi juga memiliki efek yang besar terhadap ekstraksi katekin. Penelitian yang dilakukan oleh Vuong et al. (2011). Menunjukkan bahwa waktu optimal untuk mengekstraksi katekin teh hijau adalah dengan infusi dalam suhu 80oC (berdasarkan hasil yang ditunjukkan pada tabel 6) dalam waktu 30 menit. Waktu total penyeduhan minuman daun kelor adalah 3 menit. Penelitian yang dilakukan oleh Vuong et al. (2011) menggunakan waktu 5 menit sebagai waktu minimum ekstraksi dan hasil yang didapatkan dari waktu ekstraksi 5 menit adalah EGCG sebaganyak 3.9 ± 0.6 mg/g. Tabel 5 menunjukkan hasil kadar EGCG dari seduhan daun kelor dengan suhu yang berbeda. Tabel tersebut menunjukkan EGCG tertinggi berada pada seduhan 90oC dan kadar EGCG turun pada suhu titik didih air yaitu 100oC. Hasil uji beda dengan One Way Anova menunjukkan hasil hasil yang berbeda nyata (p< 0.05). Sehingga dapat dikatakan bahwa suhu optimum penyeduhan daun kelor dilihat dari EGCG-nya adalah hasil penyeduhan disuhu 90oC. Hasil seduhan teh hijau yang diseduh dalam rasio yang sama memiliki kadar EGCG sebanyak 70.20 mg dalam 100 ml (USDA 2014), sementara EGCG seduhan daun kelor dalam temperatur optimal yaitu sebanyak 42 mg dalam 100 ml. Apabila dibandingkan, teh hijau masih memiliki kadar EGCG lebih banyak dibandingkan dengan seduhan daun kelor. Hasil penelitian mengenai suhu seduhan ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Labbe et al. (2005) yang menunjukkan bahwa limit dari suhu ekstraksi dari EGCG adalah 50oC untuk suhu terendahnya dan 90oC untuk suhu tertingginya. Selain itu, hasil temuan pada penelitian in juga didukung oleh Vuong et al. (2011) yang mengatakan bahwa temperatur yang tinggi dapat meningkatkan keekstraksian katekin, akan tetapi temperatur yang terlalu tinggi dapat menyebabkan degradasi katekin. Hasil penelitian ini bertentangan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sharma et al. (2004). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sharma et al. (2004) menunjukkan bahwa suhu terbaik untuk mengestrak EGCG adalah suhu 100oC dimana jumlah katekin terutama EGCG dan ECG ((-)-gallocatechin) berada pada jumlah tertinggi. Sampel yang digunakan oleh Sharma et al. (2004) adalah teh hijau Jepang yang dibuat dengan metode yang menyesuaikan suhu dan waktu infusi dari teh yang digunakan dalam upacara minum teh jepang. Teh yang digunakan adalah teh hijau jenis matcha yang berbentuk bubuk. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel daun kelor dengan bentuk daun. Daun kelor dikeringkan tanpa membuatnya menjadi bubuk. Kosinska & Andlauer (2014) mengatakan bahwa perbedaan bentuk dan tekstur dapat mempengaruhi jumlah katekin maupun aktivitas antioksidannya. Partikel yang lebih kecil seharusnya memberikan nilai total katekin atau kandungan EGCG yang lebih banyak karena luas area partikel yang bersentuhan dengan air lebih banyak. Akan tetapi, ukuran partikel yang kecil seperti pasir ini memiliki kecenderungan untuk mengendap sehingga interaksi dengan air menjadi terganggu (Vuong et al. 2011). Penelitian yang dilakukan oleh Cordero et al. (2009) di Italia menunjukkan bahwa minuman teh dengan katekin terbanyak atau terkaya adalah teh yang dibuat dari infusi daun teh. Kekuatan aktivitas antioksidan pada sampel dinyatakan dengan menggunakan satuan AEAC (Ascorbic acid Equivalent Antioxidant Capacity).

20

0.189

0.200 0.180

AEAC mg/ml

0.160 0.140 0.120

0.104

0.100 0.080 0.060

0.066 0.046

0.040 0.020 0.000 70

80

90

Suhu Penyeduhan

Gambar 12

100

(oC)

Grafik kekuatan antioksidan dalam AEAC (Ascorbic acid Equivalent Antioxydant Capacity) seduhan daun kelor

Gambar 12 menunjukkan grafik kekuatan antioksidan berdasarkan hasil seduhan dalam suhu yang berbeda. Kekuatan antioksidan terus naik hingga suhu 90oC dan turun pada suhu 100oC. Penurunan kekuatan pada suhu 100oC ini diduga akibat menurunnya TPC (Total Phenolic Compond) pada sampel (Su 2007). Vuong et al. (2011) mengatakan penurunan ini dapat terjadi karena adanya kenaikan kemungkinan terjadinya epimerasi, oksidasi, dan degradasi katekin.

Tabel 7 Hasil analisis kekuatan antioksidan dalam AEAC (Ascorbic acid Equivalent Antioxydant Capacity) pada hasil seduhan daun kelor Suhu Penyeduhan (oC) 70 80 90 100 Keterangan : a P =0.051

Kekuatan Antioksidan AEAC (mg/ml)a 0.29 ± 0.00036 0.39 ± 0.00014 0.42 ± 0.00028 0.36 ± 0.00021

Hasil analisis uji beda (Kruskal wallis) pada hasil analisis kekuatan antioksidan seduhan daun kelor, tidak menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan pada hasil sampel (p=0.051). Belum terdapat sumber dan sitasi yang jelas menyatakan bahwa temperatur memiliki efek yang signifikan terhadap aktivitas antioksidan minuman teh. Uji Hedonik Minuman Daun Kelor Minuman seduhan daun kelor bukan merupakan minuman yang sering atau umum dikonsumsi. Baik warna, rasa, maupun aroma dari seduhan daun kelor belum tentu diterima. Oleh karena itu, uji hedonik daun kelor dilakukan untuk melihat

21

tingkat kesukaan panelis terhadap hasil seduhan daun kelor. Produk dengan zat gizi yang baik namun memiliki tingkat penerimaan yang rendah tentunya akan membuat produk itu sulit untuk dimanfaatkan. Panelis yang digunakan dalam uji organoleptik ini adalah sebanyak 30 orang dengan atribut uji antara lain warna, kepekatan, kejernihan, rasa (flavor), bau, kesepatan (pungency), serta rasa secara keseluruhan. Pemilihan atribut penilaian ini mengikuti atribut penilaian standar teh. Warna, rasa, dan aroma merupakan atribut dasar yang digunakan sebagai evaluasi kualitas seduhan teh (Zhen et al. 2002). Rasa sepat (pungency) merupakan indikator dari kekuatan rasa suatu teh (UNESCO 2009).

Keseluruhan

Warna 4.00 3.50 3.00 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00

Rasa 70°C 80°C 90°C

Kesepatan

Kepekatan

Kejernihan

Gambar 13

100°C

Aroma

Grafik hasil rekapitulasi organoleptik hedonik minuman kelor berdasarkan suhu penyeduhan yang berbeda

Gambar 13 menunjukkan bahwa formula dengan seduhan pada suhu 70oC lebih mudah diterima atau disukai, diikuti dengan formula dengan suhu penyeduhan 80oC di tempat kedua, formula dengan suhu penyeduhan 90oC di tempat ketiga, dan formula dengan suhu penyeduhan 100oC di tempat ketiga. Hasil tinjauan lembar saran dan komentar di formulir organoleptik menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu penyeduhan, rasa yang ditimbulkan semakin pahit dan aroma daunnya semakin kuat. Kedua hal tersebut membuat minuman hasil seduhan 100oC menjadi hasil seduhan yang paling tidak disukai. Zhen et al. (2002) mengatakan bahwa rasa pahit dalam teh disebabkan oleh kandungan fenolik dan kafein. Kafein merupakan kontributor tebesar dalam menyebabkan rasa pahit dalam teh. Menurut Vuong et al. (2010), EGCG sebagai salah satu senyawa fenolik penyusun katekin terbanyak, memiliki rasa yang identik dengan rasa pahit dan tajam. Suteerapataranon et al. (2008) mengatakan bahwa semakin tinggi suhu ekstraksi, semakin banyak kafein yang terekstrasi. Oleh karena itu, meskipun kadar EGCG pada suhu 100oC menurun, kafein yang terekstrasi semakin banyak, sehingga rasa yang didapatkan menjadi semakin pahit.

22

Rekapitulasi Penentuan Formula Terbaik 70°C

80°C

90°C

100°C

EGCG (mg/ml) 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0

Hedonic Score

Gambar 14

mg/ml AEAC

Rekapitulasi penentuan formula terbaik seduhan daun kelor berdasarkan kadar EGCG, uji hedonik, dan aktivitas antioksidan

Hasil dari kadar EGCG, aktivitas antioksidan AEAC, dan skor penerimaan hedonik direkapitulasi dalam grafik pada gambar 15. Hasil menunjukkan bahwa suhu teroptimal dengan kandungan EGCG terbaik dan aktivitas antioksidan tertinggi serta skor penerimaan hedonik yang dapat diterima adalah suhu penyeduhan pada suhu 90oC.

23

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Tanaman kelor merupakan family dari Moringaceae yang umumnya memiliki tinggi 5-10 meter. Daun tumbuhan ini memiliki warna hijau evergreen dan setiap lapisan daunnya memiliki warna hijau yang berbeda. Semakin bawah layer daun, semakin tua warna daunnya. Penelitian ini mengelompokkan daun berdasarkan layernya. Layer atas atau pucuk merupakan daun muda dengan warna hijau muda, pada layer tengah merupakan daun dengan usia sedang atau medium yang memiliki warna hijau. Terakhir, layer terbawah merupakan daun dengan usia tertua dengan warna hijau gelap. Hasil analisis menunjukkan bahwa daun dengan kandungan gizi terbaik adalah daun kelor pada layer atas atau daun muda dengan hasil analisis proksimat kadar air 13.19 %, kadar abu 16.77% (bk), kadar lemak 8.42% (bk), kadar protein 39.00% (bk), dan kadar kabohidrat 35.80% (bk) serta hasil analisis EGCG (epigallocatechin-3-gallate) 0.76% (bk). Pertimbangan keberlanjutan pertumbuhan tanaman dan ketersediaan, layer tengah dipilih dengan pertimbangan hasil uji diferensial ANOVA dan kruskal-walis, tidak ada perbedaan yang signifikan (p>0.05) antar sampel. Hasil analisis seduhan daun terpilih berdasarkan kadar EGCG (0.42 mg/ml), kekuatan antioksidan dalam AEAC (0.186 mg/ml AEAC), dan penerimaan hedonik menunjukkan bahwa suhu yang paling optimal adalah suhu penyeduhan 90oC. Saran Daun kelor kaya akan berbagai manfaat. Penelusuran mengenai kandungan gizi lain yang dikandung oleh daun kelor, sangat disarankan untuk dilakukan lebih mendalam. Pemanfaatan bagian terbaik daun kelor untuk menjadi makanan atau minuman yang dapat dibuat dan dikonsumsi dengan mudah setiap hari serta formulasi untuk menambahkan daya terima seduhan daun kelor juga sangat dianjurkan untuk memperluas pemanfaatan dan penggunaan daun kelor. Selain itu, pertimbangan by product hasil seduhan daun kelor juga sangat disarankan untuk diteliti kembali.

24

DAFTAR PUSTAKA

Akande IS, Samuel TA, Agbazue U, Olowoglagh. Comparative proximate analysis of ethanolic and water extracts of Cymbopogon citratus (Lemon grass) an four tea brands. Plant Sciences Research 3 (4) 29-35. Astawan M & Kasih AL. 2008. Khasiat Warna-Warni Makanan. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka Utama. Burlando B, Verotta L, Cornara L, Bottini-Massa E. 2010. Herbal principle in cosmetics. New York (US): CRC Press. Chan EWC, Lim YY, Chew YL. 2007. Antioxidant activity of Camellia sinensis leaves and tea from a lowland plantation in Malaysia. Food Chemistry (102) 1214-1222. Collins QF, Liu HY, Pi J, Liu Z, Quon MJ, Cao W. 2007. Epigallocatechin-3gallate (EGCG), a green tea polyphenol suppresses hepatic gluconeogenesis trough 5’-AMP-activated protein kinase. The Journal of Biological Chemisty (282) 30143-30149. Cordero C, Canale F, Del Rio D, Bicchi C. 2009. Identification, quantitation, and method validation for flava-3-ols in feremented ready-to-drink teas from Italian market using HPLC-UV/dad AND lc-ms/ms. J. Sep Sci (32). 36433651. Direktorat Jenderal Perkebunan. 2014. Statistik Perkebunan Indonesia. Jakarta (ID): Kementrian Pertanian Indonesia. Efendi DS, Syakir M, Yusron M, Wiratno. 2010. Budi Daya dan Pasca Panen Teh. Jakarta (ID): Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementrian Pertanian Republik Indonesia. El-Baz, Mary. 2006. Wild plant teas and coffees of Missouri. North Carolina (US): Lulu Enterprise. Fredman, Roberto A. 2014. Where the world’s biggest tea drinkers are [Internet]. [diunduh pada 26 Mei 2016]. Tersedia pada: http://qz.com/168690/wherethe-worlds-biggest-tea-drinkers-are/. Jordan, Harry. 2003. Meat Harry: A Meat Lover’s Guide to Buying and Preparing Beef, Pork, and Poultry. Ontario (CA): General Store Publishing House. Katan LL. 1996 Migration From Food Contact Materials. London (UK): Blackie Academic & Professional. Khan N, Afaq F, Saleem M, Ahmad N, Mukthar H. 2005. Targeting multiple signaling pathways by green tea polyphenol (-)-Epigallocatechin-3-gallate. American Association for Cancer Research (5) 2500-2505. Khemani LD, Srivastava MM, Srivastava M. 2012. Chemistry of Phytopotentials: Health, Energy and Environmental Perspective. Berlin-Heidelberg (DE): Springer.

25

Kubo I. Masuoka N. Xiao P. Haraguchi H. 2002. Antioxidant activity of deodecul gallate. Journal of Agricultural and Food Chemistry (50) 3533-3539. Labbé D. Tremblay A, Bazinet L. 2005. Effect of brewing temperature and duration on green tea catechin solubilization: Basis for production of EGC and EGCGenriched fractions. Separation and Purification Technology (49) 1-9. Leone A, Spada A, Battezzati A, Schiraldi A, Aristil J, Bertoli S. 2015. Cultivation, gemetic, ethnopharmacology, phytochemistry and pharmacology of Moringa oleifera leaves: an overview. International Journal of Molecular Sciences (16) 12791-12835. Doi: 10.3390/ijms160612791. McGee, Harold. 2010. Keys to good cooking: A guide to making the best food and recipes. London (UK): Hodder & Stoughton. Moore RJ, Jackson KG, Minihane AM. 2009. Green tea (Camellia sinensis) catechins and vascular function. British Journal of Nutrition (102) 1780 – 1802. Moyo B, Masika PJ, Hugo A, Muchenje V. 2011. Nutritional characterization of moringa (Moringa oleifera lam.) leaves. African Journal of Biotechnology 10 (60) 12925-12933. Doi: 10.5897/AJB10.1559. Nair, KP Prabhakaran. 2010. The Agronomy and Economy of Important Tree Crops of The Developing World. Massachuset (US) : Elsevier. Nollet, MLM. 2004. Handbook of Food Analysis. New York (US): Marcel Dekker. Nurcahyati, Erna. 2014. Khasiat Dahsyat Daun Kelor. Jakarta (ID): Jendela Sehat. Offor IF, Ehiri RC, Njoku CN. 2014. Proximate analysis and heavy metal composition of dried Moringao oleifera leaves from Oshiri Onicha L.G.A Ebonyi State, Nigeria . IOSR Journal of Environmental Science, Toxicology and Food technology (8) 57-62. Putri, Novi Luthfiana. 2014. Pengaruh pemberian teh daun kelor (Moringa oleifera) setelah dan sebelum terhadap glukosa darah post-pandrial dewasa sehat [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Sharma V, Gulati A. Ravindranath SD. 2004. Extractibility of tea catechins as a function of manufacture procedure and temperature of infusion. Food Chemistry (93) 141-148. Small, Ernest. 2012. Top 100 exotic food plants. New York (US): CRC Press. Su X, Duan J, Yueming J, Duan X, Feng C. 2007. Polyphenolic profile and antioxidant activities of oolong tea infusion under various steeping conditions. International Journal of Molecular Sciences (8) 1196-1205. Suteerapataranon S, Butsoongnern J, Punturat P, Jorpalit W, Thanomsilp C. 2009. Caffeine in chiang rai rea infusions: effects of tea variety, type, leaf form, and infusion conditions. Food Chemistry (114) 1335-1338. Teixeira EMB, Carvalho MRB, Neves VA, Silva MA, Arantes-Pereira LA. 2014. Chemical charactheristic and fractionation of proteins from Moringa oleifera Lam. leaves. Food Chemistry 147 51-54.

26

Theppakorn T, Luthfivyyah A, Ploysri K. 2014. Simultaneois determination of caffeine and 8 catechins in oolong teas produced in Thailand. International Food Research Journal 21 (5) 2055-2061. Vuong VQ, Golding JB, ,CE,Nguyen MH, Roach PD. 2010. Extraction and isolation of cathecins from tea. J. Sep Sci, (34) 3099-3106. Doi: 10.1002/jssc.201000438. Vuong VQ, Golding JB, Statophoulus, CE,Nguyen MH, Roach PD. 2011. Optimizing conditions for the extraction of catechins from green tea using hot water. J. Sep Sci, (34) 3099-3106. Waltner-Law ME, Wang XL, Law BK, Hall RK, Nawano M, Granner DK. 2002. Epigallocatechin gallate, a constituent of green tea, represses hepatic glucose production. The Journal of Biological Chemistry (277) 34933-3490. Yang CS, Chung JY, Yang G, Chhabra SK, Lee MJ. 2000. Tea and tea polyphenols in cancer prevention. The Journal of Nutrition (130) 472S-478S. Zanzer, Yoghatama Cindya. 2011. Studi pengaruh variasi pemberian kadar EGCG (Epigallocatechin gallate) teh hijau dalam mengontrol level glukosa plasma darah post-pandrial pada subjek dewasa muda sehat [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Zhen YS, Chen ZM, Cheng SJ, Chen ML. 2002. TEA bioactivity and therapeutic potential. London (UK): Taylor & Francis Inc.

27

LAMPIRAN

Lampiran 1

Hasil uji normalitas analisis proksimat pada daun kelor kering berdasarkan posisi daun Tests of Normality Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk Statistic df Sig. Statistic df Sig. .212 6 .200* .902 6 .385 .328 6 .043 .688 6 .005 * .207 6 .200 .894 6 .340 .244 6 .200* .866 6 .210 .170 6 .200* .977 6 .937

Kadar Air Kadar Abu Kadar Lemak Kadar Protein Kadar Karbohidrat Kadar EGCG .211 6 .200* Kode Sampel .202 6 .200* *. This is a lower bound of the true significance. a. Lilliefors Significance Correction

Lampiran 2

.866 .853

6 6

.211 .167

Hasil uji beda (One Way ANOVA) pada hasil analisis prosimat dan EGCG (epigallocatechin-3-gallate) daun kelor kering berdasarkan posisi daun

Between Groups Kadar Air Within Groups Total Between Kadar Groups Lemak Within Groups Total Between Kadar Groups Protein Within Groups Total Between Kadar Groups Karbohidrat Within Groups Total Between Groups Kadar EGCG Within Groups Total

ANOVA Sum of df Squares 4.528 2

Mean Square 2.264

F

Sig.

7.939

.063

.291

.766

2.040

.276

2.993

.193

.009 1089.769

.000

.856 5.384 2.730

3 5 2

.285

14.070 16.800 197.703

3 5 2

145.345 343.048 338.173

3 5 2

169.495 507.668 .019

3 5 2

56.498

.000 .019

3 5

.000

1.365 4.690 98.852 48.448 169.087

28

Lampiran 3

Hasil uji beda (Kruskal Wallis) pada hasil analisis proksimat dan EGCG (epigallocatechin-3-gallate) daun kelor kering berdasarkan posisi daun Test Statisticsa,b Kadar Abu Chi-Square 3.429 df 2 Asymp. Sig. .180 a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: Kode Sampel

Lampiran 4

Hasil uji normalitas analisis uji kadar EGCG (epigallocatechin-3gallate) pada variasi suhu seduhan Tests of Normality Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk Statisti df Sig. Statistic df Sig. c .162 8 .200* .897 8 .274

Suhu Penyeduhan Kadar EGCG .175 8 .200* .897 *. This is a lower bound of the true significance. a. Lilliefors Significance Correction Lampiran 5

8

.270

Hasil uji beda (One Way ANOVA) pada hasil analisis kandungan EGCG (epigallocatechin-3-gallate) pada seduhan daun kelor

ANOVA Kadar EGCG Sum of

df

Mean Square

F

Sig.

Squares Between Groups

.019

3

.006

Within Groups

.000

4

.000

Total

.020

7

552.936

.000

29

Absorbansi

Lampiran 6

Kurva standar asam askorbat (Ascorbic acid)

Konsentrasi (ppm)

Absorbansi

500 400 300 200 150 100 75 50 25 10 0

0.279014256 0.280668713 0.324221658 0.337242168 0.36251027 0.391473966 0.415668776 0.389339837 0.406713933 0.402304814 0.404503778

0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0

y = -0.0003x + 0.4108 R² = 0.9383 0

100

200 300 400 Konsentrasi (ppm)

500

600

30

Lampiran 7

Hasil perhitungan kapasitas inhibisi antioksidan & AEAC (Ascorbic acid Equivalent Antioxidant Capacity)

Formula

Ulangan

70

1 1 2 2 1 1 2 2 1 1 2 2 1 1 2 2

80

90

100

Lampiran 8

Absorbansi 0.38 0.40 0.40 0.40 0.39 0.39 0.39 0.39 0.34 0.36 0.36 0.36 0.40 0.34 0.39 0.39

Kapasitas Inhibisi Antioksidan (%) 31.10 27.23 27.63 26.83 29.19 29.19 29.57 29.19 39.00 34.79 35.15 34.79 27.63 39.34 29.19 29.19

AEAC (mg/ml) 0.10 0.03 0.04 0.02 0.06 0.06 0.07 0.06 0.25 0.17 0.17 0.17 0.04 0.25 0.06 0.06

AEAC (mg/ml)

0.046 ± 0.025

0.066 ± 0.003

0.189 ± 0.025

0.104 ± 0.056

Hasil uji normalitas pada hasil analisis aktivitas antioksidan pada seduhan daun kelor Tests of Normality Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk Statistic df Sig. Statistic df Sig. * .167 16 .200 .868 16 .025 .278 16 .002 .836 16 .009

Suhu Penyeduhan Aktivitas Antioksidan *. This is a lower bound of the true significance. a. Lilliefors Significance Correction

Lampiran 9

Hasil uji beda (Krukal Wallis) pada hasil analisis aktivitas antioksidan pada seduhan daun kelor Tests of Normality Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk Statistic df Sig. Statistic df Sig. * .167 16 .200 .868 16 .025 .278 16 .002 .836 16 .009

Suhu Penyeduhan Aktivitas Antioksidan *. This is a lower bound of the true significance. a. Lilliefors Significance Correction

31

Lampiran 10 Formulir uji organoleptik seduhan daun kelor FORMULIR UJI ORGANOLEPTIK TEH DAUN KELOR Nama panelis Umur Asal daerah No. HP

: : : :

NIM Jenis kelamin

: :

Beri tanda silang (x) pada salah satu pilihan dibawah ini Berapa kali anda mengonsumsi teh dalam satu minggu? (c) > 5 kali (a) <3 kali (b) 3-5 kali Jenis teh yang paling sering dikonsumsi (a) Teh hitam (b) Teh Oolong

(c) Teh hijau

Apakah anda pernah mendengar atau melihat daun kelor? (a) Ya (b) Tidak Bila ya, darimanakah anda pernah mendengar atau melihat daun kelor? (a) Televisi (b) Radio (c) Internet (d)Lainnya Apakah anda pernah mencoba olahan daun kelor? (a) Ya (b) Tidak Jika ya, bentuk….............................................................................................. Apakah anda pernah mengetahui manfaat dari daun kelor? (a) Ya (b) Tidak

dalam

32

Lampiran 10 Formulir uji organoleptik seduhan daun kelor (lanjutan) Nama Panelis :

(P/L) Nama Produk

: Teh Kelor

Dihadapan Anda disajikan sampel 4 gelas teh. Anda diminta untuk menilai sampel tersebut dengan ketentuan sebagai berikut : 1. Beri tanda checklist (√) pada titik antara skala 1-5 dibawah ini yang tepat menggambarkan persepsi atau pandangan anda dan berikan kode sampelnya 2. Skala 1 : Sangat tidak suka Skala 4 : Suka Skala 2 : Tidak suka Skala 5 : Sangat suka Skala 3 : Biasa 3. Silahkan untuk berkumur atau minum terlebih dahulu sebelum Anda menilai sampel berikutnya 4. Mohon tidak membandingkan antar sampel saat Anda melakukan penilaian Kode Sampel : Hedonik Warna 1 2

3

4

5

Rasa (flavour) 1 2 3

4

5

Kepekatan 1 2

3

4

5

Aroma 1 2

4

5

Kejernihan 1 2

3

4

5

Kesepatan (pungency) 1 2 3 4

5

Keseluruhan 1 2

3

4

5

3

Komentar (wajib) ……………………….……………………….…………………………………… ……………………….……………………….…………………………………… Apakah anda merasakan keunikan dari produk ini? Jika ya, seperti apa? ……………………….……………………….…………………………………… ……………………….……………………….…………………………………… Aspek apa yang paling Anda tidak sukai? Mengapa? ……………………….……………………….…………………………………… ……………………….……………………….…………………………………… Seluruh komentar dan saran yang Anda berikan, sangat berarti bagi pengembangan produk yang saya teliti. - Terima Kasih –

33

34