KARAKTERISTIK WILAYAH DAN KELUARGA MISKIN DI PERDESAAN: BASIS PERUMUSAN INTERVENSI KEBIJAKAN Regional Characteristics and Poor Family in Rural Areas: The Formulation Basis of Policy Intervention I Wayan Rusastra1 dan Togar A. Napitupulu2 1
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161 2 UNESCAP-CAPSA, Jl. Merdeka No. 29 Bogor
ABSTRACT Poverty alleviation in Indonesia is presumably not very well organized. The existence of poverty indicators, such as education, health status, infant mortality are not promisingly improved, while inter-regional growth and income disparity are widened. This paper aimed at the discussion on general characteristics of poverty, regional characteristics and accessibility on infrastructures. This paper focuses on household profile and poor people in rural areas. The objective is to diagnose and make intervention on policy in its relation with rural poverty alleviation. Some recommendation and policy implications include the development of dry land, improvement of environment, improvement of access to water, land availability, and agricultural reform and rural economy. Key words: poverty, poverty characteristics, poverty indicators ABSTRAK Penanggulangan kemiskinan di Indonesia diduga tidak berjalan dengan baik. Eksistensi indikator kemiskinan seperti tingkat pendidikan, status kesehatan, angka kematian bayi berkembang semakin memprihatinkan sementara disparitas pertumbuhan dan pendapatan antarwilayah semakin melebar. Tulisan ini mencoba mengulas karakteristik umum kemiskinan, karakteristik wilayah dan akses infrastruktur. Hal yang menjadi perhatian utama dalam makalah ini adalah profil rumah tangga dan penduduk miskin di perdesaan. Tujuan akhir tulisan ini melakukan diagnosis dan intervensi kebijakan dalam upaya pengentasan kemiskinan masyarakat perdesaan. Beberapa saran dan implikasi kebijakan yang disarankan, antara lain pengembangan wilayah lahan kering, perbaikan lingkungan, perbaikan akses air bersih ketersediaan lahan, dan reformasi pertanian dan ekonomi perdesaan. Kata kunci : kemiskinan, karakteristik kemiskinan, indikator kemiskinan
PENDAHULUAN
Belakangan ini terdapat indikasi menguatnya permasalahan atau melemahnya kinerja penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Menurut World Bank (2006) indikasi tersebut ditunjukkan oleh melemahnya indikator kemiskinan “non-income”, serta semakin timpangnya kinerja dan pemanfaatan hasil
I Wayan Rusastra dan Togar A. Napitupulu
pembangunan. Dalam periode 2005-2006, proporsi penduduk miskin mengalami peningkatan yang relatif signifikan. Di perdesaan meningkat dari 19,5 persen menjadi 21,9 persen dan di perkotaan dari 11,4 persen menjadi 13,4 persen. Penduduk dengan batas garis kemiskinan US$2.00 per hari mencapai 49,1 persen. Eksistensi indikator kemiskinan “non-income” seperti tingkat pendidikan, status kesehatan, angka kematian bayi, dan lain-lain semakin memprihatinkan. Keadaan ini semakin diperparah oleh permasalahan sosial yang diindikasikan oleh peningkatan disparitas pertumbuhan dan pendapatan antarwilayah, kelompok masyarakat dan individual. Pemahaman karakteristik dan profil wilayah dan keluarga miskin ini dinilai penting dan strategis dalam konteks pendalaman permasalahan teknis, ekonomi dan sosial penduduk miskin, serta sebagai basis diagnosis dalam perumusan intervensi kebijakan pengentasan kemiskinan ke depan. Intervensi kebijakan tersebut dapat mencakup perumusan pendekatan dan strategi pengentasan kemiskinan, serta pemantapan target sasaran secara spasial dan kelompok miskin. Penulisan paper ini mempunyai empat tujuan pokok: (i) mengidentifikasi karakteristik umum kemiskinan di perdesaan; (ii) mengidentifikasi karakteritik wilayah dan akses infrastruktur dan sumber daya utama bagi penduduk miskin; (iii) mengidentifikasi profil rumah tangga dan penduduk miskin di perdesaan; dan (iv) melakukan diagnosis dan intervensi kebijakan dalam upaya pengentasan kemiskinan masyarakat perdesaan.
KARAKTERISTIK UMUM PENDUDUK MISKIN
Bahasan ini menampilkan tiga aspek: (i) dimensi spasial dan sektoral serta kedalaman dan keparahan tingkat kemiskinan; (ii) membahas aspek non-ekonomi penduduk miskin; dan (iii) merumuskan konsekuensi dan antisipasi pendekatan pengentasan kemiskinan. Aspek terakhir pada hakikatnya adalah derivasi dari karakteristik dan kinerja penanggulangan kemiskinan selama ini yang dinilai belum sepenuhnya menggembirakan.
Dimensi Spasial dan Keparahan Kemiskinan Dari sudut pandang spasial dan sektoral, kemiskinan terkait dengan perdesaan, pertanian, sektor informal, dan status pekerjaan kelompok miskin. Sebagian besar penduduk miskin tinggal di perdesaan (69%), bekerja di sektor pertanian (64%), sifat pekerjaan adalah informal (75%), dan sekitar 22 persen sebagai pekerja keluarga yang tidak dibayar (World Bank, 2006). Ketergantungan pada sektor pertanian di luar Jawa nampak lebih besar dibandingkan dengan di Jawa (75,4% versus 42,3%). Orientasi pembangunan yang bias pada daerah perkotaan, usaha yang bersifat formal dan komersial, serta fokus pada Jawa dinilai semakin mempersulit upaya percepatan pengentasan kemiskinan di Indonesia. Reorientasi fokus dan sasaran ini bagi perencana pembangunan dan perumus kebijakan dinilai penting dan sangat mendasar.
10
Karakteristik Wilayah dan Keluarga Miskin di Perdesaan: Basis Perumusan Intervensi Kebijakan
Poverty Gap Index (P1) atau indeks kedalam kemiskinan merupakan ukuran kesenjangan pengeluaran penduduk miskin terhadap batas garis kemiskinan. Semakin tingi nilai P1 semakin besar tingkat kesenjangan pengeluaran penduduk miskin, atau kehidupan ekonomi penduduk miskin semakin terpuruk. Dalam periode 2002-2004, secara agregat nasional nilai P1 mengalami penurunan dari 3,01 menjadi 2,89, yakni menurun sangat lambat(1,99%/tahun), sementara di luar Jawa bersifat stagnan (Tabel 1). Indeks keparahan kemiskinan atau Distributional Sensitive Index (P2) menunjukkan penyebaran pengeluaran penduduk miskin dan dapat mengukur tingkat intensitas kemiskinan. Secara nasional, tingkat intensitas atau keparahan kemiskinan bersifat stabil pada tingkat 0.80, sementara di Jawa mengalami peningkatan dari 0.50 menjadi 0.62 selama periode 2002-2004. Secara spasial, tingkat keparahan kemiskinan di Luar Jawa lebih tinggi dibandingkan dengan di Jawa. Tabel 1. Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) di Indonesia, 2002-2004 Uraian
2002
2003
2004
• Jawa
2.59
2.64
2.35
• Luar Jawa
3.43
3.62
3.43
• Indonesia
3.01
3.13
2.89
• Jawa
0.50
0.70
0.62
• Luar Jawa
1.08
1.00
0.94
1. Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1)
2. Indeks Keparahan Kemiskinan (P2)
• Indonesia 0.79 0.85 Sumber: Data dan Informasi Kemiskinan, 2004 (Badan Pusat Statistik, Jakarta)
0.78
Dimensi Nonekonomi Kemiskinan Pemahaman dimensi ekonomi dan “nonekonomi” bersifat komplemen dalam pemahaman karakteristik dan perumusan antisipasi strategi penanggulangannya. Pada prinsipnya dimensi “nonekonomi” kemiskinan tersebut terkait dengan kapasitas sumber daya manusia, aksesibilitas terhadap kebutuhan utama, dan keterlibatan pada kesempatan kerja dan berusaha dalam arti luar (Sudaryanto dan Rusastra, 2006). Secara detail dan spesifik, sedikitnya terdapat delapan dimensi non-ekonomi penduduk miskin, yaitu (i) ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar (pangan, sandang, dan perumahan); (ii) aksesibilitas ekonomi rendah terhadap pendidikan, kesehatan, sanitasi, dan lain-lain; (iii) kemampuan akumulasi kapital dan investasi yang rendah; (iv) rentan terhadap goncangan faktor eksternal (teknis/alam, ekonomi, sosial/politik); (e) kualitas sumberdaya manusia dan penguasaan sumberdaya alam rendah; (f) terbatasnya keterlibatan dalam kegiatan sosial kemasyarakatan; (g) terbatasnya akses terhadap kesempatan kerja secara berkelanjutan; dan (h) ketidakmampuan berusaha karena cacat fisik/ mental.
11
I Wayan Rusastra dan Togar A. Napitupulu
Antisipasi Pendekatan Penanggulangan Kemiskinan Berdasarkan kinerja program penanggulangan kemiskinan dan karakteristik ekonomi, sosial, dan kelembagaan penduduk miskin, perlu dilakukan reorientasi terhadap pendekatan dalam penanggulangan kemiskinan di perdesaan (Mubyarto, 2002; Adiyoga dan Hermiati, 2003), dengan mempertimbangkan pemikiran berikut: (a) penanggulangan kemiskinan mengacu pada karakteristik dan permasalahan riil masyarakat miskin; (b) pengakuan terhadap potensi partisipatif dan pemberdayaan serta modal sosial kaum miskin untuk keluar dari kemiskinan; (c) fokus pada pemenuhan kebutuhan dasar, revitalisasi pertanian, reformasi agraria yang dikomplemen dengan reformasi ekonomi perdesaan; dan (d) penumbuhan potensi partisipatif, transparansi dan akuntabilitas dalam perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi program penanggulangan kemiskinan oleh masyarakat desa sendiri.
KARAKTERISTIK WILAYAH DAN AKSES INFRASTRUKTUR/SUMBERDAYA
Bahasan ini akan mengungkap tiga aspek yaitu: (a) karakteristik wilayah marginal dan strategi pengembangannya bagi peningkatan kesejahteraan penduduk miskin; (b) kondisis perumahan dan akses infrastruktur publik serta konsekwensi dan antisipasi kebijakan ke depan; dan (c) kinerja penguasaan dan akses sumberdaya lahan serta antisipasi kebijakan ekonomi lahan bagi kelompok miskin.
Karakteristik Wilayah Miskin Karakteristik wilayah miskin umumnya adalah lahan kering dengan kompleksitas permasalahan teknis, ekonomi, dan sosial. Menurut Dar dan Bantilan (2005) kompleksitas permasalahan lahan kering dicirikan oleh eksistensi sejumlah faktor pembatas sebagai berikut: (a) degradasi kualitas lahan dan keterbatasan ketersediaan sumber daya air; (b) keterbatasan pengembangan infrastruktur dan ketersediaan serta akses teknologi; (c) faktor kekeringan secara sporadis mengalami malnutrisi dan migrasi; (d) marginalisasi sosial-budaya dan keterbatasan peluang ekonomi pengembangan sektor pertanian, off-farm, dan kesempatan kerja perkotaan; (d) dampak negatif kebijakan dan liberalisasi ekonomi terhadap dayasaing komoditas lahan kering. Dibalik faktor pembatas tersebut, pada hakekatnya prospek pengembangan lahan kering memiliki prospek yang menjanjikan dalam bentuk implementasi diversifikasi pertanian melalui pengembangan integrasi tanaman dan ternak, serta pengembangan komoditas bernilai ekonomi tinggi dengan orientasi ekspor atau substitusi impor. Dalam perumusan strategi pengembangan lahan kering perlu dipertimbangkan dua pendekatan secara inklusif (Dar dan Bantilan, 2005), yaitu: (a) pembangunan dan pertumbuhan berkelanjutan multidimensi dengan mempertimbangkan keterkaitan institusional bagi semua stakeholder dengan
12
Karakteristik Wilayah dan Keluarga Miskin di Perdesaan: Basis Perumusan Intervensi Kebijakan
orientasi pengentasan kemiskinan; dan (b) perencanaan dan implementasi pembangunan secara sinergis dengan mempertimbangkan sejumlah instrumen kebijakan yang dinilai memiliki prioritas tinggi dalam pencapaian sasaran peningkatan produksi, efisiensi, dan daya saing komoditas dan wilayah lahan kering. Instrumen kebijakan prioritas yang perlu dipertimbangkan diantaranya adalah (a) ketersediaan dan akses air (irigasi) sebagai katalis pembangunan; (b) reorientasi kebijakan publik dengan sasaran peningkatan produtivitas dan pengentasan kemiskinan; (c) diversifikasi usaha pertanian dengan fokus integrasi tanaman dan ternak; (d) perbaikan pengelolaan DAS dan sumberdaya publik dengan pendekatan berbasis masyarakat; (e) kebijakan perdagangan dengan orientasi pasar dan pemasaran komoditas lahan kering; dan (f) pengembangan kapasitas dan jaringan kerja sama serta inovasi kelembagaan pengembangan lahan kering.
Kondisi Perumahan dan Akses Infrastruktur Publik Kondisi perumahan dan akses infrastruktur publik akan berdampak luas terhadap pengembangan potensi dan produktivitas penduduk miskin. Dengan mempertimbangkan empat indikator utama: rumah berlantai tanah, jamban sendiri/bersama, akses air bersih, dan akses listrik nampak bahwa potensi dan kapasitas pengembangan diri dan tingkat kesejahteraan penduduk miskin dalam posisi yang kurang memadai. Sebagai ilustrasi, secara agregat nasional, proporsi rumah tangga miskin dengan rumah berlantai tanah dan jamban sendiri/bersama adalah 28,8 persen dan 55,6 persen, sementara untuk penduduk tidak miskin adalah 23,0 persen dan 75,3 persen (Tabel 2). Akses air bersih rumah tangga miskin versus tidak miskin adalah 42,1 persen versus 59,2 persen, dan akses listrik adalah 78,9 persen versus 90,6 persen. Untuk keempat indikator tersebut, kondisi Luar Jawa lebih buruk daripada Jawa. Tabel 2. Proporsi Rumah Tangga menurut Kondisi Perumahan dan Akses Infrastruktur Publik di Indonesia, 2004 (%) Uraian
Jawa
Luar Jawa
Indonesia
1. Keluarga Miskin • Lantai Tanah • Jamban sendiri/bersama • Air bersih • Listrik 2. Tidak Miskin • Lantai Tanah
26.33 58.73 54.58 92.44
31.17 52.47 30.52 65.33
28.75 55.60 42.55 78.87
12.80
13.26
13.03
• Jamban sendiri/bersama • Air bersih
80.01 69.06
70.42 49.42
75.25 59.24
• Listrik 97.87 83.23 90.55 Sumber : Data dan Informasi Kemiskinan, 2004 (Badan Pusat Statistik, Jakarta)
13
I Wayan Rusastra dan Togar A. Napitupulu
Infrastruktur publik lainnya yang dinilai penting bagi pengembangan sumberdaya manusia adalah yang terkait dengan aspek sanitasi, pendidikan, dan telekomunikasi. Proporsi penduduk miskin yang memiliki akses terhadap sanitasi yang baik, tinggal di desa dengan fasilitas SLTP, dan desa dengan fasilitas telepon adalah 27 persen, 50 persen, dan 51 persen (World Bank, 2006). Proporsi penduduk Indonesia yang memiliki akses terhadap ketiga infrastruktur publik tersebut adalah 51 persen, 58 persen, dan 64 persen. Kecuali untuk fasilitas pendidikan (SLTP), nampak bahwa akses penduduk miskin adalah lebih rendah. Sekitar 73 persen penduduk miskin tidak memiliki akses terhadap sanitasi yang baik, yang akan berpengaruh terhadap kesehatan dan tingkat produktivitas mereka. Berdasarkan pada kondisi perumahan dan akses infrastruktur publik tersebut, dapat dirumuskan kondisi dan antisipasi ke depan dalam bentuk perbaikan potensi dan peningkatan kesejahteraan penduduk miskin, yaitu: (a) kondisi perumahan yang kondusif akan berdampak terhadap kesehatan dan produktivitas penduduk miskin; (b) akses infrastruktur publik akan berdampak pada pengembangan sumberdaya manusia dan kesempatan kerja dan berusaha pada penduduk miskin; (c) pencapaian saat ini dinilai relatif memadai, kecuali akses sanitasi yang baik perlu upaya perbaikan secara serius, dan perlu dikomplemen dengan perbaikan kinerja pembangunan sektor riil; dan (d) prioritas dan fokus pengembangan perlu diberikan pada daerah dengan keragaan dan kinerja yang relatif kurang baik seperti Banten, Luar Jawa dan daerah tertinggal lainnya.
Penguasaan dan Akses Sumberdaya Lahan Hasil analisis Rusastra et al. (2007) dengan menggunakan data Sensus Pertanian 1973-2003 terkait dengan dinamika distribusi, penguasaan lahan pertanian diperoleh beberapa informasi menarik sebagai berikut: (a) Gini rasio penguasaan lahan selama periode tiga dasawarsa terakhir (1973-2003) mengalami peningkatan dari 0,5481 menjadi 0,7171; (b) ketimpangan penguasaan lahan di Jawa nampak lebih tinggi dibandingkan dengan diluar Jawa, dengan Gini rasio 0,7227 versus 0,5816 (tahun 2003); (c) tingkat ketimpangan penguasaan lahan ini dinilai sudah sangat mengkhawatirkan (ketimpangan tinggi) dengan nilai Gini rasio > 0,50 (Oshima, 1976), dan rumah tangga dengan penguasaan lahan < 0,10 hektar merupakan sumber ketimpangan distribusi penguasaan lahan. Hasil analisis dinamika petani kecil dan luas penguasaan lahan selama periode 1993-2003 (Rusastra et al., 2007) menunjukkan beberapa indikasi, sebagai berikut: (a) proporsi rumah tangga petani kecil (< 0,50 hektar) mengalami peningkatan 2,39 persen per tahun, dari 52,66 persen menjadi 56,20 persen; (b) luas penguasaan lahan dengan kategori < 0,50 hektar, relatif sangat kecil dan mengalami penurunan dari 0,09 hektar menjadi 0,07 hektar; (c) sebaliknya untuk petani luas dengan kategori penguasaan lahan > 2,00 hektar mengalami peningkatan luas penguasaan dari 2,80 hektar menjadi 3,26 hektar. Fakta dinamika distribusi dan luas penguasaan lahan pertanian selama dua dasawarsa terakhir ini menunjukkan adanya indikasi polarisasi penguasaan lahan, lemahnya
14
Karakteristik Wilayah dan Keluarga Miskin di Perdesaan: Basis Perumusan Intervensi Kebijakan
akses lahan bagi petani kecil, dan petani gurem merupakan sumber kemiskinan di perdesaan. Berdasarkan pada keragaan dan permasalahan penguasaan dan akses sumberdaya lahan dapat dirumuskan beberapa antisipasi kebijakan ekonomi lahan bagi kelompok miskin (Janvry dan Sadoulet, 2001; Rusastra, 2007) sebagai berikut: (a) pengembangan penguasaan lahan komunal bagi masyarakat dengan modal sosial tinggi; (b) penguasaan dan registrasi formal bagi daerah dengan tingkat kelangkaan lahan tinggi dan modal sosial masyarakat rendah; (c) pengembangan sistem kontrak/bagi hasil dalam kondisi adanya kegagalan pasar dan kelembagaan; (d) pengembangan pasar lahan informal bila ketersediaan lahan melimpah dan modal sosial masyarakat relatif memadai; (e) distribusi lahan (dibandingkan dengan redistribusi) dinilai lebih layak (feasible) dan praktis bagi tuna kisma dan petani kecil; dan (f) pelaksanaan reformasi lahan pertanian perlu didukung oleh reformasi agraria, perdesaan dan ekonomi, serta dalam implementasinya perlu dikoordinasikan oleh institusi dengan tingkat otoritas yang tinggi.
KARAKTERISTIK KELUARGA MISKIN DI PERDESAAN
Bahasan ini akan mengungkap empat aspek terkait dengan karakteristik keluarga miskin di perdesaan, yaitu : (a) struktur keluarga dan kesempatan kerja penduduk miskin; (b) keragaan pendidikan kepala keluarga penduduk miskin; (c) kinerja kesehatan penduduk miskin; dan (d) proporsi pengeluaran pangan dan nonpangan penduduk miskin sebagai indikator pengukuran tingkat kesejahteraan mereka. Berdasarkan kepada keragaan keempat aspek tersebut, akan diungkap antisipasi kebijakan kedepan terkait dengan perbaikan pelayanan pendidikan dan kesehatan dengan keberpihakan bagi penduduk miskin di perdesaan.
Struktur Keluarga dan Kesempatan Kerja Salah satu ciri yang menonjol keluarga miskin adalah ukuran keluarga yang relatif besar. Jumlah anak cenderung besar, karena anak dinilai bukan sebagai aset (investasi), tetapi sebagai sumber faktor produksi (tenaga kerja) untuk menambah pendapatan keluarga. Data menunjukkan bahwa proporsi rumah tangga miskin dengan ukuran keluarga lebih dari 5 orang mencapai angka 48 persen, sementara itu data agregat Indonesia hanya 28 persen (World Bank, 2006). Terkait dengan struktur keluarga diperoleh informasi bahwa pada tahun 2004 tidak terdapat perbedaan antarproporsi penduduk miskin laki-laki dan perempuan relatif terhadap total penduduk, yaitu 16,6 persen dan 16,7 persen (Badan Pusat Statistik (BPS), 2004). Fakta ini berdasarkan data dan informasi kemiskinan 2004 yang merupakan penerbitan resmi BPS yang terakhir. Informasi menarik adalah proporsi kepala rumah tangga miskin perempuan relatif terhadap jumlah penduduk miskin mencapai 8,38 persen (Tabel 3).
15
I Wayan Rusastra dan Togar A. Napitupulu
Tabel 3. Proporsi Penduduk Miskin menurut Jenis Kelamin Penduduk dan Kepala Rumah Tangga di Indonesia, 2000-2004 Uraian
Laki-Laki
Perempuan
Total
• Jawa
14.06
14.00
14.03
• Luar Jawa
19.16
19.44
19.29
16.61
16.72
16.66
• Jawa
90.45
9.55
100.00
• Luar Jawa
92.79
7.21
100.00
• Indonesia
91.62
8.38
100.00
1. Penduduk miskin
1)
• Indonesia 2)
2. Kepala rumah tangga
Keterangan: 1) Persentase terhadap total penduduk wilayah bersangkutan 2) Persentase terhadap total penduduk miskin wilayah bersangkutan Sumber: Data dan Informasi Kemiskinan, 2004 (Badan Pusat Statistik, Jakarta)
Dapat dinyatakan bahwa satu dari 12 rumah tangga miskin mempunyai kepala keluarga perempuan. Dalam konteks gender, hal ini perlu mendapatkan penekanan, tanpa harus mengabaikan kemungkinan peran wanita sebagai kepala rumah tangga. Dibutuhkan kekhususan instrumen kebijakan terkait dengan pengembangan potensi sumberdaya manusia, fasilitasi pengembangan usaha, dan upaya pemantapan kesejahteraan rumah tangga dengan memperhatikan peran gender yang berbeda. Secara agregat nasional, proporsi penduduk miskin yang bekerja disektor pertanian menempati posisi dominan dengan nilai 58,83 persen (Tabel 4). Ketergantungan penduduk miskin terhadap sektor pertanian lebih dominan di Luar Jawa, yaitu 75,4 persen versus 42,3 persen di Jawa. Secara agregat, status pekerjaan utama bagi penduduk miskin adalah berusaha sendiri (58,23%) dan sebagai karyawan/berburuh (Tabel 5). Sudah dapat dipastikan bahwa kegiatan berusaha dan berburuh yang banyak digeluti penduduk miskin adalah di sektor pertanian di perdesaan. Dalam konteks pemantapan usahatani kecil sebagai sumber pertumbuhan dan pemerataan (implisit pengentasan kemiskinan di perdesaan), dibutuhkan tiga elemen penting kebijakan (Hazell et al., 2007), yaitu: (a) stabilitas ekonomi makro dan dukungan pendanaan pemerintah pada pertanian dan infrastruktur perdesaan (fisik dan kelembagaan); (b) mendorong produksi pertanian sesuai permintaan pasar (market driven agricultural development) dan perbaikan efisiensi pemasaran dalam rangka perbaikan bagian harga yang diterima petani; dan (c) menginisiasi inovasi kelembagaan dalam menjamin terpenuhinya kebutuhan teknologi, input utama, modal, dan pelayanan lainnya pada tingkat harga yang mampu menjamin peningkatan efisiensi dan pendapatan petani.
16
Karakteristik Wilayah dan Keluarga Miskin di Perdesaan: Basis Perumusan Intervensi Kebijakan
Tabel 4. Proporsi Penduduk Miskin menurut Lapangan Pekerjaan Rumah Tangga di 1) Indonesia, 2004 Lapangan Pekerjaan
Jawa
Luar Jawa
Indonesia
1. Tidak bekerja
12.51
4.47
8.49
2. Pertanian
42.29
75.37
58.83
3. Industri
7.83
3.27
5.60
4. Lainnya
37.27
16.89
27.08
Total (1000 kk)
20.483
15.664
36.147
Keterangan: 1) Presentase terhadap total penduduk miskin wilayah bersangkutan Sumber: Data dan Informasi Kemiskinan, 2004 (Badan Pusat Statistik, Jakarta) Tabel 5. Proporsi Penduduk Miskin menurut Status Pekerjaan Kepala Rumah Tangga di 1) Indonesia, 2004 Status Pekerjaan
Jawa
Luar Jawa
Indonesia
1. Tidak bekerja
12.51
4.47
8.49
2. Berusaha sendiri
48.82
67.64
58.23
3. Berusaha dibantu
2.63
2.81
2.72
4. Karyawan/buruh
35.45
24.35
29.90
5. Pekerja keluarga
0.59
0.73
0.66
20.483
15.664
36.147
Total (1000 KK)
Keterangan: 1) Presentase terhadap total penduduk miskin wilayah bersangkutan Sumber: Data dan Informasi Kemiskinan, 2004 (Badan Pusat Statistik, Jakarta)
Kinerja Pendidikan Penduduk Miskin Kinerja pendidikan bagi penduduk miskin disampaikan pada Tabel 6, 7 dan 8 dengan narasi ringkas sebagai berikut; (a) secara agregat pendidikan kepala keluarga penduduk miskin adalah tidak/belum tamat Sekolah Dasar (SD) 41,7 persen, tamatan SD 38,4 persen, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) dan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) 19,2 persen, dan diatas SLTA 0,8 persen; (b) tingkat partisipasi sekolah dan putus sekolah penduduk miskin umur 7-12 tahun adalah 94,1 persen dan 1,8 persen; dan (c) tingkat partisipasi sekolah dan putus sekolah penduduk miskin umur 13-15 tahun adalah 71,8 persen dan 9,5 persen. Keragaan pendidikan Jawa versus Luar Jawa relatif sama. Secara umum dapat dinyatakan bahwa dengan tujuan pengembangan agribisnis dan akses kesempatan kerja di luar pertanian tingkat pendidikan penduduk miskin dinilai tidak memadai. Dengan semakin meningkat umur anak-anak miskin (7-15 tahun) tingkat partisipasi sekolah cenderung menurun, sementara putus sekolah mengalami peningkatan secara tajam.
17
I Wayan Rusastra dan Togar A. Napitupulu
Tabel 6. Proporsi Penduduk Miskin menurut Pendidikan Kepala Rumah Tangga di 1) Indonesia, 2004
1. 2. 3. 4. 5.
Pendidikan Tidak belum tamat SD Sekolah Dasar SLTP SLTA Diatas SLTA
Total (1000 KK)
Jawa 43.24 36.84 10.97 8.56 0.39
Luar Jawa 40.10 39.88 12.03 6.88 1.11
Indonesia 41.67 38.36 11.50 7.72 0.75
20.483
15.664
36.147
Keterangan: 1) Presentase terhadap total penduduk miskin wilayah bersangkutan Sumber: Data dan Informasi Kemiskinan, 2004 (Badan Pusat Statistik, Jakarta) Tabel 7. Angka Partisipasi Sekolah dan Putus Sekolah Kelompok Usia 7-12 Tahun di Indonesia, 2004 (%) Uraian
Jawa
Luar Jawa
Indonesia
95.11 98.18 97.67
92.81 96.86 95.87
93.96 97.52 96.77
1. Partisipasi sekolah • Miskin • Tidak miskin • Total 2. Putus sekolah • Miskin 1.46 1.98 1.72 • Tidak miskin 0.58 1.00 0.79 • Total 0.75 1.23 0.99 Sumber: Data dan Informasi Kemiskinan, 2004 (Badan Pusat Statistik, Jakarta)
Tabel 8. Angka Partisipasi Sekolah dan Putus Sekolah Kelompok Usia 13-15 Tahun di Indonesia, 2004 (%) Uraian 1. Partisipasi sekolah • Miskin • Tidak miskin • Total
Jawa
Luar Jawa
Indonesia
72.62 88.64 86.10
71.00 84.10 80.88
71.81 86.37 83.49
2. Putus sekolah • Miskin 8.82 10.08 9.45 • Tidak miskin 2.16 4.92 3.54 • Total 3.02 6.32 4.67 Sumber: Data dan Informasi Kemiskinan, 2004 (Badan Pusat Statistik, Jakarta)
18
Karakteristik Wilayah dan Keluarga Miskin di Perdesaan: Basis Perumusan Intervensi Kebijakan
Kinerja Kesehatan Penduduk Miskin Kinerja kesehatan penduduk miskin tahun 2004 disajikan pada Tabel 9 dan 10, dengan narasi ringkas sebagai berikut: (a) dari lima penyakit utama, proporsi balita diimunisasi untuk keluarga miskin relatif lebih rendah dibandingkan dengan keluarga tidak miskin; (b) sebagai ilustrasi, kisaran untuk keluarga miskin adalah 67,0 persen (hepatitis B) -82,9 persen (polio), sedangkan untuk keluarga tidak miskin kisarannya adalah 75,9 persen (hepatitis B) -90,0 persen (BCG); (c) penggunaan alat keluarga berencana bagi keluarga miskin versus tidak miskin adalah 74,7 persen versus 72,8 persen; (d) persalinan dengan tenaga kesehatan bagi keluarga miskin versus tidak miskin adalah 55,6 persen versus 75,5 persen. Keragaan perolehan dan pelayanan kesehatan di Jawa nampak lebih baik dibandingkan dengan Luar Jawa. Implikasi yang dapat dipetik dari fakta kinerja kesehatan ini adalah disamping aspek keterjangkauan, pembinaan kesadaran dan urgensi akan peran imunisasi ini bagi penduduk miskin masih perlu ditingkatkan. Tabel 9. Proporsi Balita Keluarga Miskin yang Telah Imunisasi di Indonesia, 2004 (%) Uraian 1. Keluarga miskin • BCG • DPT • Polio • Campak • Hepatitis B
Jawa
Luar Jawa
Indonesia
83.99 83.14 84.16 71.48 69.56
80.29 77.76 81.62 70.50 64.34
82.14 80.45 82.89 70.99 66.95
2. Keluarga tidak miskin • BCG 92.60 87.32 89.96 • DPT 91.16 85.00 88.08 • Polio 91.84 87.04 89.44 • Campak 80.95 76.59 78.77 • Hepatitis B 79.75 72.01 75.88 Sumber: Data dan Informasi Kemiskinan, 2004 (Badan Pusat Statistik, Jakarta) Tabel 10. Proporsi Pengguna Alat Keluarga Berencana dan Pertolongan Persalinan oleh Tenaga Kesehatan bagi Keluarga Miskin dan Tidak Miskin di Indonesia, 2004 (%) Uraian Jawa Luar Jawa Indonesia 1. Penggunaan alat keluarga berencana • Miskin 77.00 72.44 74.72 • Tidak miskin 72.80 72.80 72.80 • Total 73.16 72.98 73.07 2. Persalinan dengan tenaga kesehatan • Miskin 60.68 50.60 55.64 • Tidak miskin 80.83 70.25 75.54 • Total 77.33 65.71 71.52 Sumber: Data dan Informasi Kemiskinan, 2004 (Badan Pusat Statistik, Jakarta)
19
I Wayan Rusastra dan Togar A. Napitupulu
Proporsi Pengeluaran Penduduk Miskin Proporsi pengeluaran penduduk miskin tahun 2002 ditampilkan pada Tabel 11 (World Bank, 2006). Berdasarkan pada tiga kategori pengeluaran utama, yaitu pangan, perumahan, dan fasilitasnya; dan barang/sandang/jasa/dan lain-lainnya nampak jelas bahwa tingkat kesejahteraan penduduk miskin adalah relatif sangat rendah. Proporsi pengeluaran penduduk miskin untuk pangan tidak kurang dari 71,0 persen. Hanya sebagian kecil pendapatan yang masih tersisih (29%) untuk memenuhi kebutuhan non-pangan. Sementara itu untuk penduduk tidak miskin, pengeluaran pangan hanya 55,0 persen, sehingga sekitar 45,0 persen masih tersisa untuk memenuhi kebutuhan dasar lainnya. Dengan anggaran tersisa sebesar 29 persen untuk memenuhi kebutuhan di luar pangan (sandang, papan, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain) dinilai sulit bagi penduduk miskin untuk melakukan pemantapan dan peningkatan investasi sumber daya manusia. Tabel 11. Proporsi Pengeluaran Keluarga Miskin Menurut Jenis Komoditas dan Kebutuhan di Indonesia, 2002 (%) Komoditas/Kebutuhan
Miskin
Tidak Miskin
1. Beras 24.1 9.4 2. Sirih & Tembakau 6.3 6.6 3. Sayur-sayuran 6.6 4.3 4. Telur dan susu 2.5 3.4 5. Makanan dan minuman jadi 6.7 10.3 6. Pangan lainnya 24.3 21.3 7. Perumahan dan fasilitasnya 14.7 18.8 8. Barang dan jasa 7.3 13.3 9. Pakaian dan sejenisnya 5.4 5.1 10. Barang tahan lama 1.0 4.8 11. Pajak dan asuransi 0.3 0.9 12. Perayaan dan hari raya/seremonial 0.7 1.8 Total 100 100 Sumber: SUSENAS, 2002, Badan Pusat Statistik, Jakarta (World Bank, 2006)
Total 11.8 6.8 4.7 3.3 9.8 21.9 18.0 12.2 5.2 4.1 0.8 1.6 100
Antisipasi Kebijakan Ke Depan World Bank (2006) dalam studi di Indonesia menunjukkan beberapa indikator pengembangan sumberdaya manusia yang dinilai masih tertingggal yaitu transisi pendidikan lanjutan, kematian ibu saat melahirkan, malnutrisi pada anakanak, akses air bersih dan sanitasi yang baik. Berkenaan dengan kebijakan pendidikan kedepan terkait dengan pengentasan kemiskinan, disarankan: (a) perbaikan kualitas pendidikan yang mencakup sistem pengajaran, kualitas dan gaji guru, insentif guru di daerah tertinggal, dan investasi materi/buku pelajaran; (b) keterjangkauan biaya pendidikan yang meliputi pemantapan program Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Bantuan Langsung Tunai (BLT) bersyarat pendidikan,
20
Karakteristik Wilayah dan Keluarga Miskin di Perdesaan: Basis Perumusan Intervensi Kebijakan
dan minimisasi biaya tidak resmi (di luar tuition fee); dan (c) ketersediaan infrastruktur pendidikan dengan mempertimbangkan akses pendidikan dasar, kualitas kehadiran guru di daerah terpencil, perbaikan manajemen dan insentif guru, dan peningkatan kapasitas dan jumlah sekolah lanjutan. Kebijakan antisipatif bidang kesehatan terkait dengan pengentasan kemiskinan disarankan tiga hal pokok (World Bank, 2006), yaitu: (a) perbaikan kualitas pelayanan kesehatan di Puskesmas; (b) investasi pelatihan tenaga paramedis terkait dengan peningkatan pelayan bagi penduduk miskin di perdesaan; dan (c) peningkatan kemampuan penduduk miskin untuk akses pada pelayanan kesehatan (program transfer tunai, sistem voucher, program kartu sehat, dan lain-lain). Dalam konteks ini perlu terus dimantapkan dan didorong kemauan politik, komitmen, interest dan kapasitas pemerintah untuk menggalang kerja sama dengan berbagai pihak dalam memberikan support yang dibutuhkan terkait dengan perbaikan tingkat dan pelayan pendidikan dan kesehatan sebagai basis utama peningkatan sumberdaya manusia penduduk miskin.
KESIMPULAN
Bagi pengembangan sumberdaya manusia penduduk miskin dibutuhkan pemantapan transisi pendidikan dasar kependidikan lanjutan melalui perbaikan kualitas, keterjangkauan, dan ketersediaan infrastruktur pendidikan bagi penduduk dan wilayah miskin. Terkait dengan kesehatan dibutuhkan pemantapan dan keberlanjutan investasi pelatihan paramedis, peningkatan akses kesehatan, dan perbaikan kualitas pelayanan di tingkat Puskesmas. Disamping itu, perbaikan pendidikan dan kesehatan dari sisi “supply and demand side” dengan keberpihakan penduduk miskin perlu terus diupayakan secara berkesinambungan. Dalam konteks pengembangan wilayah dan infrastruktur serta akses terhadap sumber daya alam, beberapa kebijakan strategis dan program yang perlu dipertimbangkan adalah (a) pengembangan wilayah lahan kering dan lahan marginal; (b) perbaikan lingkungan, karena penduduk miskin adalah korban dan agen kerusakan lingkungan; (c) perbaikan akses air bersih dan perbaikan sanitasi bagi penduduk miskin; (d) lahan adalah aset terpenting, sehingga ketersediaan dan akses lahan bagi penduduk miskin adalah suatu keharusan; dan (e) reformasi lahan perlu dikomplemen dengan reformasi pertanian dan ekonomi perdesaan, dengan keberpihakan pada penduduk miskin. Dibutuhkan reorientasi pendekatan dan program pengentasan kemiskinan dengan deskripsi sebagai berikut: (a) basis reorientsi adalah kompleksitas karakteristik dan permasalahan penduduk miskin; (b) reorientasi kependekatan holistik-multisektoral berbasis komunitas dan bersifat partisipatif; (c) pemantapan pembangunan perdesaan dan integrasi desa-kota melalui strategi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi pro-kelompok miskin; (d) fokus pada revitalisasi pertanian, usaha mikro kecil menengah (UMKM), kesempatan kerja informal, dan kesetaraan gender; dan (e) pemantapan dan perluasan program keluarga harapan
21
I Wayan Rusastra dan Togar A. Napitupulu
(PKH/Conditional Direct Cash Transfer) di daerah Program Pengembangan Kecamatan (PPK)/multisectoral community-based development program)
DAFTAR PUSTAKA Dar, D.W. and C. Bantilan. 2005,. Asian Dryland Agriculture: Ideas, Paradigns and Policies. International Conference on Agricultural and Rural Development in Asia: Ideas, Paradigms, and Policies Three Decades After. 10-11 November 2005. Mandarin Oriental Hotel, Makati, Philippines. SEARCA, Los Baños, The Philippines Janvry, A. and E. Sadoulet. 2001. Access to Land and Land Policy Reforms. Policy Brief No. 3. World Institute for Development Economic Research. The United Nation University, Helsinki, Finland Mubiyarto. 2002. Penanggulangan Kemiskinan di Jawa Tengah dalam Era Otonomi Daerah. Jurnal Ekonomi Rakyat. Artikel Tahun I No. 7, November 2002, Jakarta. www.ekonomirakyat.orgRusastra, I W. 2007. Land and Household Economy: Policies for Poverty Reduction. CAPSA Flash Volume 5 No. 7, July 2007. UNESCAP-CAPSA, Bogor, Indonesia Rusastra, I W., E.M. Lokollo, and S. Priyatno. 2007. Land and Household Economy: Analysis of Agricultural Census 1983-2003. National Seminar on “Land and Household Economy 1970-2007: Changing Roads for Poverty Reduction” jointly organized by the Indonesian Center for Agricultural Socio Economic and Policy Studies (ICASEPS) and UN CAPSA on 25 June 2007, in Bogor, Indonesia Rusastra, I W., M. Ariani, dan H.P.S. Rachman. 2007. Kesejahteraan dan Pemikiran Penanggulangan Kemiskinan Petani. Kinerja dan Prospektif Pembangunan Pertanian Indonesia (Ed. Kedi Suradisastra, et.al. 2007). Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor World Bank. 2006. Making the New Indonesia Work for the Poor. The World Bank Office, Jakarta
22