KARYA SASTRA (PUISI)

Download Kata lagu mempunyai arti ragam suara yang berirama (2007: 624). Lagu ... Puisi merupakan susunan kata yang pada masing-masing barisnya terd...

0 downloads 606 Views 57KB Size
BAB II LANDASAN TEORI

A. Lirik Lagu Sebagai Genre Sastra Lirik itu mempunyai dua pengertian yaitu (1) karya sastra (puisi) yang berisi curahan perasaan pribadi, (2) adalah susunan sebuah nyanyian (Moeliono (Ed),2007: 678). Dalam menggunakan lirik seorang penyair atau pencipta lagu itu harus benar-benar pandai mengolah kata. Kata lagu mempunyai arti ragam suara yang berirama (2007: 624). Lagu (nyanyian) merupakan hasil karya seni hubungan dari seni suara dan seni bahasa, sebagai karya seni suara melibatkan melodi dan warna suara penyanyinya. Dari pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa lagu adalah karya seni gabungan dari seni suara dan seni bahasa yang puitis, bahasanya singkat dan ada irama dengan bunyi yang padu dan pemilihan kata-kata kias (imajinatif) dan melibatkan melodi dan suara penyanyinya. Genre (Perancis) berasal dari akar kata genus (Latin), memiliki tiga pengertian, yaitu: sikap, macam, dan jenis. Dalam sastra yang digunakan adalah pengertian ketiga. Istilah kind (macam) untuk menunjuk klasifikasi utama, sedangkan genre digunakan untuk menunjuk penggolongan selanjutnya yang kemudian dibedakan menjadi spesies. Klasifikasi utama yang digunakan di Indonesia semula dilakukan oleh Aristoteles (Teeuw dalam Ratna, 2009: 72) dalam bukunya yang berjudul Poetics. Pada dasarnya Aristoteles membedakan tiga klasifikasi, yaitu: (a) klasifikasi menurut sarana representasi, terdiri atas prosa dan puisi, (b) klasifikasi menurut objek representasi, seperti tragedi, komedi,

dan roman, dan (c) klasifikasi menurut repsresentasi ciri-ciri puitika, seperti epik, lirik, dan dramatik (Ratna, 2009: 72-73) Puisi merupakan susunan kata yang pada masing-masing barisnya terdapat pola rima (persajakan) tertentu (Sayuti, 1985:13). Di dalam sebuah puisi memepunyai struktur bentuk dan struktur makna. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa, puisi adalah sebentuk pengucapan bahasa yang memperhitungkan adanya aspek bunyi-bunyi di dalamnya yang mengungkapkan pengalaman imajinatif, emosional dan intelektual penyair yang ditimba dari kehidupan individual dan sosialnya. Sebuah lirik lagu pada intinya sama dengan puisi, karena pada keduanya memepunyai ciri yang sama yaitu keduanya terdapat struktur bentuk dan struktur makna. Lirik lagu terbentuk dari bahasa yang dihasilkan dari komunikasi antara pencipta lagu dengan masyarakat penikmat lagu sebagai wacana tulis, karena disampaikan dengan media tulis pada sampul albumnya dapat juga sebagai wacana lisan melalui kaset. Lirik lagu merupakan ekspresi seseorang dari dalam batinnya tentang suatu hal baik yang sudah dilihat, didengar maupun dialami. Lirik lagu memiliki kesamaan dengan sajak tetapi hanya saja dalam lirik lagu juga mempunyai kekhususan terendiri karena penuangan ide lewat lirik lagu diperkuat dengan melodi dan jenis irama yang disesuaikan dengan lirik lagu dan warna suara penyayinya. Puisi (lirik) merupakan salah satu genre sastra. Secara konvensional puisi dapat diartikan sebagai tuturan yang terikat oleh baris, bait, dan irama (Noor, 2006: 25). Puisi merupakan pemikiran yang bersifat musikal (Pradopo, 1995: 6). Penyair dalam menciptakan puisi memikirkan bunyi yang merdu seperti musik dalam puisinya dengan

menggunakan orkestrasi bunyi. Selain itu, puisi juga merupakan pemikiran manusia secara konkret dan artistik dalam bahasa emosional serta berirama (Tarigan,1984: 7). Jadi, puisi adalah ekspresi dari pemikiran yang membangkitkan perasaan, merangsang imajinasi panca indera dalam susunan berirama. Dapat dikatakan bahwa unsur-unsur puisi itu berupa emosi, imajinasi, pemikiran, ide, nada, bunyi, irama, kesan panca indera, susunan kata-kata kiasan, dan sebagainya. Bunyi merupakan salah satu unsur puisi. Bunyi berkaitan erat dengan lagu. Lirik sebuah lagu dapat dikatakan bersifat puitis, karena mampu membangkitkan perasaan, menarik perhatian, menimbulkan tanggapan yang jelas dan menimbulkan keharuan (Pradopo, 1995: 13)

B. Diksi Diksi atau pilihan kata merupakan istilah yang digunakan untuk mengungkap suatu ide, gaya bahasa dan ungkapan. Gaya bahasa sebagai bagian dari diksi berkaitan dengan ungkapan-ungkapan yang individual atau karakteristik yang bernilai artistik tinggi. Jadi, dapat dikatakan bahwa diksi atau pilihan kata mencakup pengertian kata-kata mana yang dipakai untuk menyampaikan suatu gagasan atau ide, bagaimana menggunakan ungkapan-ungkapan yang tepat, dan gaya mana yang paling baik digunakan dalam suatu situasi dan nilai rasa (Keraf, 2010: 22). Barfield (dalam Pradopo, 1997: 54) mengemukakan bahwa bila kata-kata dipilih dan disusun dengan cara yang sedemikian rupa hingga artinya menimbulkan atau dimaksudkan untuk menimbulkan imaginasi estetik, maka hasilnya itu disebut diksi puitis. Jadi, diksi itu untuk mendapatkan kepuitisan, untuk mendapatkan nilai estetik.

C. Jenis-jenis Gaya Bahasa Gaya bahasa sebagai media komunikasi secara khusus, yaitu penggunaan bahasa secara bergaya dengan tujuan untuk ekspresivitas pengucapan menarik perhatian dan dipergunakan dalam percakapan sehari-hari atau dalam penulisan sebuah karya seni ekspresi termasuk lirik lagu. Gaya bahasa dalam lirik lagu cenderung ditentukan oleh pilihan kata dan jenis gaya bahasanya. Mengingat banyaknya jenis gaya bahasa yang ada, berikut ini adalah penjelasan dari beberapa jenis gaya bahasa yang digunakan peneliti dalam menganalisis gaya bahasa pada lirik lagu dalam album musik Klakustik karya Band Kla Project. Tarigan (2009: 6) berpendapat bahwa gaya bahasa dikelompokkan atas empat kategori, yaitu gaya bahasa perbandingan, perulangan, pertautan, dan pertentangan. 1. Gaya Bahasa Perbandingan Gaya bahasa perbandingan adalah bahasa kiasan yang menyamakan satu hal dengan yang lain dengan mempergunakan kata-kata pembanding, antara lain: bagai, sebagai, bak, seperti, semisal, seumpama, laksana, se-, dan kata-kata pembanding yang lain. Adapun gaya bahasa perbandingan yang dipakai untuk menganalisis album musik Klakustik ini meliputi: personifikasi, metafora, simile, pleonasme, dan epitet. a. Personifikasi atau Prosopopoeia Personifikasi atau prosopopoeia adalah semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa seolaholah memiliki sifat kemanusiaan. Personifikasi (penginsanan) merupakan suatu corak

khusus dari metafora, yang mengiaskan benda-benda mati bertindak, berbuat, berbicara seperti manusia (Keraf, 2008: 140). Tarigan (2009: 17) mengemukakan bahwa personifikasi atau penginsanan adalah jenis majas yang melekatkan sifat-sifat insani kepada benda yang tidak bernyawa dan ide yang abstrak. Dari dua pendapat di atas, peneliti dapat mengemukakan bahwa personifikasi adalah gaya bahasa yang melekatkan sifat-sifat manusia kepada benda yang akan digambarkan untuk memperjelas maksud. b. Metafora Metafora adalah menyamakan sesuatu hal dengan sesuatu hal lain tanpa menggunakan kata pembanding. Metafora itu melihat sesuatu dengan perantaraan benda yang lain (Baribin, 1990: 49). Keraf (2008: 139) menambahkan bahwa metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal secara langsung tetapi dalam bentuk yang lebih singkat. Metafora sebagai perbandingan langsung tidak mempergunakan kata seperti, bak, bagaikan, laksana dan sebagainya, sehingga pokok pertama langsung dihubungkan dengan pokok kedua. Peneliti menyimpulkan bahwa gaya bahasa metafora adalah gaya bahasa yang membandingkan benda satu dengan benda lain, karena adanya persamaan sifat keduanya agar lebih berkesan. c. Perumpamaan Persamaan atau simile adalah perbandingan yang bersifat eksplisit. Yang dimaksud dengan perbandingan yang bersifat eksplisit ialah bahwa ia langsung

menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain. Untuk itu, memerlukan upaya yang secara eksplisit menunjukkan kesamaan itu, yaitu kata-kata: seperti, sama, sebagai, bagaikan, laksana, dan sebagainya (Keraf, 2008: 138). Tarigan (2009: 9) berpendapat bahwa perumpamaan adalah perbandingan dua hal yang pada hakikatnya berlainan dan sengaja kita anggap sama. Itulah sebabnya maka sering pula kata ‘perumpamaan’ disamakan saja dengan ‘persamaan’. d. Pleonasme Pleonasme adalah acuan yang mempergunakan kata-kata yang lebih banyak daripada yang diperlukan untuk menyatakan sama pikiran atau gagasan. Suatu acuan disebut pleonasme bila kata yang berlebihan itu dihilangkan, artinya tetap utuh (Keraf, 2008: 133). Tarigan (2009: 28) berpendapat bahwa pleonasme adalah pemakaian kata yang mubazir (berlebihan), yang sebenarnya tidak perlu (seperti menurut sepanjang adat; saling tolong-menolong). Peneliti menyimpulkan bahwa gaya bahasa pleonasme adalah gaya bahasa yang menggunakan keterangan yang tidak perlu, karena keterangan itu sudah terkandung dalam kata yang diterangkannya. e. Epitet Epitet adalah gaya bahasa atau acuan yang menyatakan suatu sifat atau ciri khusus dari seseorang atau sesuatu hal (Keraf, 2008: 141).

2. Gaya Bahasa Perulangan Gaya bahasa perulangan adalah gaya bahasa yang mengulang kata demi kata entah itu diulang pada bagian depan, tengah, atau akhir, sebuah kalimat. Gaya bahasa perulangan ini meliputi: aliterasi, asonansi, simploke, dan repetisi. a. Aliterasi dan Asonansi Menurut Brooks (dalam Sayuti, 1985: 49) bahwa kombinasi vokal konsonan dalam puisi berfungsi melancarkan ucapan, mempermudah pengertian serta bertujuan untuk mempercepat irama. Hal inilah yang menyebabkan penyair dengan sengaja mempermudah aspek bunyi aliterasi dan asonansi dalam puisi karena memang menimbulkan efek keindahan tertentu. Keraf (2008: 130) menyebutkan aliterasi adalah semacam gaya bahasa yang berwujud perulangan konsonan yang sama. Sedangkan asonansi adalah semacam gaya bahasa yang berwujud perulangan bunyi vokal yang sama. Biasanya digunakan dalam puisi untuk memperoleh efek penekanan atau sekedar keindahan. b.

Repetisi Repetisi adalah pengulangan bunyi, suku kata, kata atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai (Keraf, 2008: 127).

3. Gaya Bahasa Pertautan Asindeton Asindeton adalah suatu gaya yang berupa acuan padat dan mampat di mana beberapa kata, frasa, atau klausa yang sederajat tidak dihubungkan dengan kata sambung. Bentuk-bentuk tersebut biasanya dipisahkan saja oleh tanda koma, seperti vini, vidi, vici,

adalah ucapan Julius Caesar yang berarti ‘saya datang, saya lihat, saya menang’ (Keraf, 2008: 131). 4. Gaya Bahasa Pertentangan a. Hiperbola Hiperbola adalah gaya bahasa yang cara penuturannya bertujuan menekankan maksud dengan sengaja melebih-lebihkan (Nurgiyantoro, 2010: 300). Keraf (2008: 135) berpendapat bahwa hiperbola adalah semacam gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan, dengan membesar-besarkan sesuatu hal. Begitu juga dikemukakan Tarigan (2009: 55) bahwa hiperbola adalah gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang berlebih-lebihan jumlahnya, ukurannya atau sifatnya dengan maksud memberi penekanan pada suatu pernyataan atau situasi untuk memperhebat, meningkatkan kesan dan pengaruhnya. Gaya bahasa ini melibatkan kata-kata, frase, atau kalimat. Dari ketiga pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa hiperbola adalah gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang berlebihan dari kenyataan. b. Pun atau Paronomasia Pun atau paronomasia adalah kiasan atau permainan kata dengan mempergunakan kemiripan bunyi, tetapi terdapat perbedaan besar dalam maknanya (Keraf, 2008: 145).

D. Gaya Bahasa dalam Konteks Sastra Gaya atau khususnya gaya bahasa dikenal dalam retorika dengan istilah style. Kata style diturunkan dari kata Latin stilus, yaitu semacam alat untuk menulis pada lempengan lilin. Kelak pada waktu penekanan dititikberatkan pada keahlian untuk menulis indah, maka style lalu berubah menjadi kemampuan dan keahlian untuk menulis atau mempergunakan kata-kata secara indah. Karena perkembangan itu, gaya bahasa atau style menjadi masalah atau bagian dari diksi atau pilihan kata yang mempersoalkan cocok tidaknya pemakaian kata, frasa atau klausa tertentu untuk menghadapi situasi tertentu. Sebab itu, persoalan gaya bahasa meliputi semua hierarki kebahasaan: pilihan kata secara individual, frasa, klausa, dan kalimat, bahkan mencakup pula sebuah wacana secara keseluruhan. Akhirnya style atau gaya bahasa dapat dibatasi sebagai cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis atau pemakai bahasa (Keraf, 2008: 112-113). Pradopo (1997: 263) mengemukakan bahwa gaya bahasa merupakan sarana sastra yang turut menyumbangkan nilai kepuitisan atau estetika karya sastra, bahkan seringkali nilai seni suatu karya sastra ditentukan oleh gaya bahasanya. Dari beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa merupakan cara penggunaan bahasa secara khusus untuk mendapatkan fungsi tertentu. Dalam karya sastra yang efektif tentu ada fungsi estetik yang menyebabkan karya yang bersangkutan bernilai seni. Nilai seni dalam karya sastra disebabkan oleh adanya gaya bahasa dan fungsi lain yang menyebabkan karya sastra menjadi indah seperti adanya gaya bercerita atau pun penyusunan alurnya.

Slametmuljana (dalam Pradopo, 1997: 93) mengemukakan bahwa gaya bahasa ialah susunan perkataan yang terjadi karena perasaan yang timbul atau hidup dalam hati penulis, yang menimbulkan suatu perasaan tertentu dalam hati pembaca. Hal ini seperti dikemukakan juga oleh Dick Hartoko dan Rahmanto (dalam Pradopo, 1997: 264) bahwa gaya bahasa adalah cara yang khas dipakai seseorang untuk mengungkapkan diri (gaya pribadi). Dari uraian tersebut, tampak bermacam-macam definisi mengenai pengertian gaya bahasa. Pada umumnya definisi tersebut menunjukkan persamaan, yaitu gaya bahasa itu cara bertutur untuk mendapatkan efek estetik dan efek kepuitisan. Gaya bahasa itu menghidupkan kalimat dan memberi gerak pada kalimat untuk menimbulkan reaksi tanggapan pikiran kepada pembaca. Gaya bahasa, baik intensitas pemakaiannya maupun fungsi dan kedudukannya dalam struktur totalitas berbeda sesuai dengan genre sastra. Gaya dengan demikian mendominasi struktur puisi. Puisi seolah-olah merupakan struktur gaya bahasa. Dengan cara yang berbeda puisi-puisi konkret harus dipahami dalam kaitannya dengan struktur visualisasi. Di dalamnya kata-kata dianggap tidak mampu untuk mewakili ide pengarang. Dikaitkan dengan objeknya, maka cara yang paling mudah adalah meneliti gaya sebuah karya seorang pengarang, baik puisi, novel, maupun drama. Tidak ada gaya yang lahir secara tiba-tiba. Karya sastra adalah adalah hasil imajinasi, tetapi imajinasi tidak lahir dari kekosongan, melainkan memiliki akar tempatnya berpijak (Ratna,2009: 63-69).

E. Sastra sebagai Sarana Pengajaran Apabila karya-karya sastra dianggap tidak berguna, tidak bermanfaat untuk menafsirkan dan memahami masalah-masalah dunia nyata, maka tentu saja pengajaran

sastra tidak akan ada gunanya untuk diadakan. Namun, jika dapat ditunjukkan bahwa sastra itu mempunyai relevansi dengan maslah-masalah dunia nyata, maka pengajaran sastra harus dipandang sebagai sesuatu yang penting yang patut menduduki tempat yang selayaknya. Jika pengajaran sastra dilakukan dengan cara yang tepat, maka pengajaran sastra dapat juga memberikan sumbangan yang besar untuk memecahkan masalahmasalah nyata yang cukup sulit untuk dipecahkan di dalam masyarakat (Pradopo, 1997: 15). Pengajaran sastra termasuk salah satu aspek pengajaran bahasa, disamping tata bahasa dan kemampuan bahasa. Ditinjau dari berbagai segi, pada dasarnya pengajaran sastra memiliki karakteristik yang tersendiri, artinya pengajaran sastra memang tidak selalu harus dikaitkan dengan pengajaran bahasa. Pengajaran sastra selalu berkenaan dengan masalah kepekaan terhadap nilai keindahan dan nilai kehidupan. Rahmanto (1997: 16-25) berpendapat bahwa pengajaran sastra dapat membantu pendidikan secara utuh apabila cakupannya meliputi 4 manfaat, yaitu: membantu keterampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan cipta dan rasa, dan menunjang pembentukan watak. l. Membantu keterampilan berbahasa Mengikutsertakan pengajaran sastra dalam kurikulum berarti akan membantu siswa berlatih keterampilan membaca dengan membacakan puisi. Dalam pengajaran sastra, siswa dapat melatih keterampilan menyimak dengan mendengarkan suatu karya yang dibacakan oleh guru, teman atau lewat pita rekaman. Siswa dapat melatih keterampilan wicara dengan ikut berperan dalam suatu drama. Dan karena sastra

menarik, siswa dapat mendiskusikan dan kemudian menuliskan hasil diskusinya sebagai latihan keterampilan menulis. 2. Meningkatkan pengetahuan budaya Dapat merangsang siswa untuk memahami fakta-fakta dalam karya sastra, lamakelamaan siswa itu akan sampai pada realisasi bahwa fakta-fakta itu sendiri tidak lebih penting dibandingkan dengan keterkaitannya satu sama lain sehingga dapat saling menopang dan memperjelas apa yang ingin disampaikan lewat karya sastra itu. Sastra dapat merangsang siswa untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang relevan. Dengan demikian, mereka diharapkan sampai pada pemahaman masalah yang sebenarnya baik dengan cara membaca suatu karya sastra maupun dengan cara membaca penelitian. Tugas pengajaran yang utama adalah memperkenalkan anak didiknya dengan sederet kemajuan yang dicapai manusia seluruh dunia, tanpa merusak kebanggaan atas kebudayaan yang mereka miliki sendiri. 3. Mengembangkan cipta dan rasa Dalam melaksanakan pengajaran tidak boleh berhenti pada penguraian pengertian keterampilan ataupun pengetahuan. Setiap guru hendaknya selalu menyadari bahwa setiap siswa adalah seorang individu dengan kepribadiannya yang khas, kemampuan, masalah dan kadar perkembangannya masing-masing yang khusus. Oleh karena itu penting sekali kiranya memandang pengajaran sebagai proses pengembangan individu secara keseluruhan. Dalam hal pengajaran sastra, kecakapan yang perlu dikembangkan adalah kecakapan yang bersifat indra; bersifat penalaran; bersifat afektif dan bersifat sosial; serta dapat ditambahkan lagi yang bersifat religius.

4. Menunjang pembentukan watak Dalam nilai pengajaran sastra ada dua tuntutan yang dapat diungkapkan sehubungan dengan watak ini. Pertama, pengajaran sastra hendaknya mampu membina perasaan yang lebih tajam. Seseorang yang telah banyak mendalami berbagai karya sastra biasanya mempunyai perasaan yang lebih peka untuk menunjuk hal mana yang bernilai dan mana yang tak bernilai. Tuntutan kedua sehubungan dengan pembinaan watak ini adalah bahwa pengajaran sastra hendaknya dapat memberikan bantuan dalam usaha mengembangkan berbagai kualitas kepribadian siswa yang antara lain meliputi: ketekunan, kepandaian, pengimajian, dan penciptaan. Moody (dalam Sayuti, 1985: 197-198) dalam bentuknya yang paling sederhana, pengajaran sastra membekali para siswa dengan keterampilan mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Keterampilan mendengarkan diperoleh pada saat siswa mendengarkan pembacaan puisi atau berdeklamasi. Sebaliknya keterampilan berbicara diperoleh terutama pada saat siswa memperoleh giliran membaca puisi atau berdeklamasi. Keterampilan membaca berkaitan dengan kelancaran bacaan, ketepatan penempatan jeda, dan keserasian intonasi dengan isi kalimat. Keterampilan ini sangat penting, karena salah penempatan jeda dalam baris puisi akan menimbulkan salah tafsir atau makna yang berbeda. Selain itu pengajaran sastra juga banyak membantu menambah kosakata para siswa. Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa karya sastra bersifat menyenangkan dan berguna atau dengan kata lain karya sastra bermanfaat, yaitu: a. membantu keterampilan berbahasa yang meliputi: keterampilan mendengarkan, berbicara, membaca, menulis, dan menambah kosakata; b. meningkatkan pengetahuan budaya; c. mengembangkan cipta dan rasa; d. menunjang pembentukan watak.

Keberhasilan karya sastra adalah bila karya itu memberikan pengaruh positif dan pengetahuan kepada pembacanya.

F. Pembelajaran Gaya Bahasa di SMA Kelas X Semester I Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan terdapat Standar Kompetensi yaitu memahami puisi yang disampaikan secara langsung atau pun tidak langsung, dan Kompetensi Dasar yaitu mengidentifikasi unsur-unsur bentuk suatu puisi yang disampaikan secara langsung atau pun melalui rekaman. Untuk memahami puisi guru hendaknya memilih bahan berdasarkan tingkat kemampuan siswa-siswanya. Puisi merupakan bentuk karya sastra dengan bahasa yang terpilih dan tersusun dengn penuh perhatian. Dalam mengajak para siswa untuk memahami dan menikmati puisi hendaknya guru tidak terlalu tergesa-gesa membebani para siswa dengan istilah teknis seperti gaya bahasa metafora, hiperbola, dan personifikasi. Beberapa puisi memang sering menghadirkan pengalaman dalam hidup, namun secara emosional menjadi tergerak untuk melacak pengalaman lewat puisi tersebut. Puisi mempunyai nilai seni, bila pengalaman jiwa yang menjadi dasarnya dapat dijelmakan ke dalam kata. Kata bagi penyair adalah alat untuk menjelmakan pengalamannya. Puisi selalu berurusan dengan kata dan harus dapat memilih kata yang tepat. Pemilihan kata itu disebut diksi. Gaya bahasa sebagai bagian dari diksi berkaitan dengan ungkapan-ungkapan yang individual atau karakteristik yang bernilai artistik tinggi. Jadi, dapat dikatakan bahwa diksi atau pilihan kata mencakup pengertian kata-kata mana yang dipakai untuk menyampaikan suatu gagasan atau ide, bagaimana menggunakan ungkapan-ungkapan yang tepat, dan gaya mana yang paling baik digunakan dalam suatu situasi dan nilai rasa.

Baribin (1990: 41-57) mengemukakan unsur pembentuk puisi antara lain: 1. Bunyi, termasuk juga rima, irama. Dalam puisi bunyi bersifat estetik, merupakan unsur puisi untuk mendapatkan keindahan dan tenaga ekspresif. Bunyi di samping menjadi hiasan dalam puisi, juga mempunyai tugas yang lebih penting lagi, yaitu untuk memperdalam ucapan, menimbulkan rasa, menimbulkan bayangan angan yang jelas, menimbulkan suasana yang khusus. Bunyi yang sama, yang berulang-ulang ditemukan dalam sajak disebut rima (sajak). Menurut tempatnya dalam puisi, rima dibedakan: (a) Rima awal Contoh:

Beta bermenung Karena bingung Beta berlutut Hendak bersujud

(b) Rima tengah Contoh:

Aku pengapa padiku ini Jika dilurut, pecah batangnya Aku pengapa hatiku ini Jika diturut datangnya

(c) Rima akhir Contoh:

Aku lalai di hari pagi, Beta lengah di masa muda, Kini hidup meracun hati Miskin ilmu, miskin harta

Persamaan bunyi (rima) itu ada yang secara keseluruhan sama, dan ada sempurnanya persamaan bunyi itu, rima dapat dibedakan:

(a) Rima sempurna Contoh:

Demikian rasa Datang semasa

(b) Rima tidak sempurna Contoh:

Tuhanku Dalam termangu Aku masih menyebut nama Mu Di samping itu terdapat pula persamaan bunyi pada konsonannya saja, persamaan

bunyi itu disebut aliterasi. Sedang persamaan bunyi pada vokalnya saja disebut asonansi. Contoh aliterasi: Kaulah Kandil kemerlap Contoh asonansi: Segala cintaku hilang terbang Bunyi yang berulang, pergantian yang teratur, dan variasi-variasi bunyi menimbulkan suatu gerak yang hidup, seprti gercik air yang mengalir turun tak putusputus; gerak yang teratur itu disebut irama. Irama dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu: (a) metrum, dan (b) ritme. Metrum adalah irama yang tetap, artinya pergantiannya sudah tetap menurut pola tertentu. Hal ini disebabkan oleh jumlah suku kata yang sudah tetap dan tekanan yang tetap, sehingga alun suara yang menaik dan menurun itu tetap saja. Ritme adalah irama yang disebabkan oleh pertentangan atau pergantian bunyi tinggi-rendah secara teratur. Ritme merupakan unsur yang fundamental dalam puisi. Ritme ini sangat disadari oleh penyair, misalnya dengan mempertentangkan bunyi, membuat perulangan, menyingkat kata, memilih kata yang cocok bunyinya, dan sebagainya.

Dalam puisi timbulnya irama itu karena perulangan berturut-turut dan bervariasi, misalnya rima akhir, asonansi dan aliterasi. Begitu juga adanya paralelisme-paralelisme, ulangan-ulangan kata, ulangan-ulangan bait. Dengan adanya irama, selain puisi terdengar merdu, mudah dibaca, juga hal ini menyebabkan aliran perasaan atau pun pikiran tak terputus dan terkonsentrasi sehingga menimbulkan bayangan (imaji-imaji) yang jelas dan hidup. 2. Kata, meliputi makna, diksi, pigura bahasa, dan citraan. Y. Elema dalam dalil seni sastra mengatakan bahwa puisi mempunyai nilai seni, bila pengalaman jiwa yang menjadi dasarnya dapat dijelmakan ke dalam kata Slametmuljana (dalam Baribin, 1990: 46). Kata bagi penyair adalah alat untuk menjelmakan pengalamannya. Penyair selalu berurusan dengan kata dan harus dapat memilih kata yang tepat. Pemilihan kata itu disebut diksi. Jadi diksi itu untuk mendapatkan kepuitisan dan mendapatkan nilai estetik. Kata memiliki dua aspek arti, yakni (a) denotasi, dan (b) konotasi. Arti denotatif ialah arti yang tersurat, arti yang ditemukan dalam kamus. Arti denotatif akan menunjuk pada satu benda atau satu hal. Misal: kembang: bunga. Arti konotatif adalah arti yang tersirat, arti yang ditambahkan atau disarankan apada arti yang tersurat itu. Misal: kembang desa: gadis. Untuk mendapatkan kepuitikan, penyair memilih kata dan mengolah dengan berbagai cara. Salah satu cara untuk mendapatkan kepuitikan itu ialah menggunakan pigura bahasa (figurative language). Pigura bahasa ini menyebabkan sajak menjadi menarik perhatian, menimbulkan ketegaran, hidup, dan terutama menimbulkan kejelasan gambaran angan.

Pigura bahasa itu bermacam-macam, tetapi memiliki suatu sifat yang umum, yakni mempertalikan sesuatu dengan cara menghubungkannya dengan sesuatu yang lain Altenbarnd (dalam Baribin, 1990: 48). Pigura bahasa dapat dibedakan menjadi: simile, metafora, simile epik, alegori, personifikasi, metonimia, dan sinekdok. Untuk mencapai kepuitikan, penyair menggunakan berbagai cara. Di samping pigura bahasa seperti di atas, juga digunakan gaya bahasa. Gaya bahasa ialah susunan perkataan yang terjadi karena perasaan yang timbul atau hidup dalam hati penulis (penyair) yang menimbulkan suatu perasaan tertentu dalam hati pembaca. Gaya bahasa Pujangga Baru sesuai dengan konsepsi estetikanya yang menghendaki keseimbangan yang simetris dan juga aliran romantik yang penuh curahan perasaan, maka yang dominan digunakan ialah tautologi, pleonasme paralelisme, enumerasi, retorik repetisi. Tentu saja gaya bahasa yang lain juga digunakan, tetapi tidak dominan, tidak banyak atau sering. Pada angkatan ’45, sesuai dengan realisme dan ekspresionisme yang dianutnya, banyak menggunakan gaya bahasa yang bertujuan intensitas dan ekspresivitas, di antaranya hiperbola, litotes, teutologi, dan enaumerasi. Sedangkan sajak-sajak yang berisi pemikiran atau filsafat banyak mempergunakan gaya bahasa paradoks dan kiasmus. Dalam puisi, penyair selalu mencari kata dan menemukan bahasa untuk menggambarkan

angan-angan

(pikiran)

dengan

setepat-tepatnya.

Bahasa

yang

melukiskan gambar-gambar pikiran dan penggambaran angan-angan atau pikiran itu disebut citraan (imagery). Gambar pikiran itu disebut citra atau imaji (image).

Gambaran-gambaran angan itu bermacam-macam, dihasilkan oleh indera penglihatan, pendengaran, perabaan, pencacapan, penciuman. Bahkan yang dihasilkan oleh indera penglihatan dan gerakan. Citraan yang dihasilkan oleh indera penglihatan disebut citra penglihatan (visual imagery), yang ditimbulkan oleh pendengaran disebut citra pendengaran (auditory imagery), dan sebagainya. Citraan merupakan salah satu alat kepuitikan yang terutama. Dengan citraan, karya sastra (puisi) mencapai sifat-sifat konkret, khusus, mengharukan, dan sugestif. Citraan adalah kemampuan menciptakan citra atau bayangan dalam benak pembaca dengan tujuan mengajak pembaca atau penikmatnya untuk dapat ikut merasakan apa yang dirasa, melihat apa yang dilihat, mendengar segala sesuatu yang didengarnya (Suharianto, 1982:51). Citraan (imagery) adalah gambaran-gambaran dalam pikiran dan bahasa yang menggambarkannya, sedangkan setiap gambar pikiran disebut citra atau imaji (Pradopo, 1995:79). Sarana puitik yang lain, yang tak dapat diabaikan dalam puisi ialah simbol (lambang) simbol adalah sesuatu yang mengandung arti lebih daripada apa yang terdapat dalam fakta.