REALITAS KETIMPANGAN SOSIAL MUATAN KARYA SASTRA

Download Realitas ketimpangan sosial Muatan Karya Sastra. Oleh. Ucu, S.S, M.Pd. Sastra adalah hasil dari suatu kegiatan kreatif yang memadukan unsur...

0 downloads 590 Views 195KB Size
Realitas ketimpangan sosial Muatan Karya Sastra Oleh Ucu, S.S, M.Pd Sastra adalah hasil dari suatu kegiatan kreatif yang memadukan unsur estetika dan komunikatif yang berisikan ide, pemikiran dan gagasan dari pengarang. Dalam prespretif muatan, pada dasarnya sastra merupakan cerminan masyarakatnya. Sementara dalam perspektif kemasyarakatan sastra merupakan sebuah budaya yang saling mengisi dengan kehidupan manusia. Oleh karena itu sastra berperan penting dalam kehidupan kemanusiaan, peran tersebut dalam diejawantahkan ke dalam berbagai bidang kehidupan manusia, baik ekonomi, sosial, politik maupun lainnya. Berbicara mengenai upaya pengkajian sebuah karya sastra, Frederik Eagles (Terry Eagleton, 2001: …) mengemukakan bahwa seni (sastra) jauh lebih kaya dan sulit dipahami, dibandingkan dengan teori politik maupun ekonomi. Seni (sastra) tidak semata-mata ideologis. Untuk itu, maka intensitas pengkajian karya sastra harus terus mendapat kesempatan yang lebih banyak guna mengembangkan pemahaman terhadap karya sastra tersebut maupun penggunaan teori pengkajiannya. Mengenali proses kelahirannya, penciptaan sebuah karya sastra mengalami proses yang panjang hingga dapat sampai ke tangan pembaca, Proses ini seringkali tidak diketahui oleh pembaca awam dan mungkin pula dianggap sepele oleh sebagian penelaah sastra awam, mulai dari munculnya dorongan pertama untuk menulis, pengendapan ide (ilham), penggarapan, sampai akhirnya tercipta sebuah karya yang siap untuk dibaca oleh publik. Setiap karya sastra yang ditulis tentunya memiliki ide, gagasan, pengalaman, dan amanat yang ingin disampaikan kepada pembaca, dengan harapan apa yang disampaikan itu menjadi sesuatu yang berharga bagi perkembangan kehidupan masyarakat. Adapun ide, gagasan atau pengalaman dan amanat yang ingin disampaikan sastrawan tersebut tidak akan terlepas dari kondisi lingkungan penulisnya. Pradopo (2002:59) mengemukakan bahwa karya sastra secara langsung atau tidak langsung dipengaruhi oleh pengalaman dari lingkungan pengarang. Sejalan dengan kondisi tersebut, Herder (dalam Atmazaki, 1990: 44) menjelaskan bahwa karena karya sastra dipengaruhi oleh lingkungannya, maka karya sastra merupakan ekspresi zamannya sendiri. Kondisi ini mengakibatkan adanya hubungan sebab akibat dan timbal balik antara karya satra dengan situasi sosial tempatnya dilahirkan. Terkait hal itu pula Ikhwanuddin Nasution dalam tulisannya pada saat pengukuhan guru besarnya di Universitas Sumatra Utara (Nasution, 2009 : 2) menyatakan bahwa karya sastra (sastra) merupakan kristalisasi nilai-nilai dari suatu masyarakat. Meskipun karya sastra yang baik pada umumnya tidak langsung menggambarkan atau memperjuangkan nilai-nilai tertentu, tetapi aspirasi masyarakat mau tidak mau tercermin dalam karya sastra tersebut. Oleh karena itu, karya sastra tidak terlepas dari sosial-budaya dan kehidupan masyarakat yang digambarkannya.

Keberadaan ini mengisyarakatkan bahwa, sebenarnya (dan memang) karya sastra memiliki peran penting dalam kehidupan kemanusiaan, peran tersebut dapat tereksplorasi dari tradisi moral dan religi yang senantiasa menumbuhkan penghayatan terhadap nilai-nilai kebaikan, sehingga dapat membangun manusia untuk mengenali, memilih, dan meyakini yang benar adalah benar serta yang salah adalah salah. Dari awal keberadaannya sebagai hasil kebudayaan yang dikenal dengan sastra tradisional, karya sastra Indonesia kemudian terus berkembang hingga akhirnya dikenal dengan sastra modern. Perkembangan sastra Indonesia mengalami berbagai ekplorasi substansi (terutama tema) mulai dari keberadaan permasalahan ekonomi, sosial, politik maupun budaya dan permasalahan keagamaan. Dari awal masa kemerdekaan novel Matahariah karya Mas Marco Kartodikromo mengangkat pemikiran multikulturalisme yang tidak terlepas dari realitas sosial dengan mengeksplorasi permasalahan kemiskinan serta kolonialisme, konfrontasi ras, bangsabangsa, dan kebudayaan, sehingga ironisnya, aktivis seperti Marco menjadi korban pertama yang mengakhiri hidupnya di penjara yang penuh nyamuk malaria (Ratih Dewi 2006: 2). Selain itu pada tahun ’60-an karya-karya Pramoedya Ananta Toer seperti Tetralogi novel Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Rumah Kaca, dan Jejak Langkah, kemudian, novel Perburuan, Gadis Pantai dan lainnya yang mengeksplorasi sosio-kultural Indonesia yang juga dipadukan dengan konfrontasi ras, ketimpangan sosial dan ekonomi yang begitu signifikan. Pada era tahun 70-an permasalahan budaya dan adat kemudian mengemuka yang ditandai dengan hadirnya novel Siti Nurbaya karya Marah Rusli, dan terus berlanjut pada tahun 80-an walaupun pada akhirnya tahun ini perkembangan permasalahan ketimpangan sosial, ekonomi, politik lebih banyak berkembang seperti yang tereksplorasi dalam trilogi novel Ahmad Tohari Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang kemukus Dini Hari, dan Jentera Bianglala. Tahun 70-an yang bila meminjam kata-kata Moh. Wan anwar bahwa karya sastra tahun 70-an lebih tercurah pada eksperimentasi estetik dengan budaya tradisi sebagai sumber. Walaupun pada waktu itu ada karya-karya Iwan Simatupang yang menulis karya sastra dengan sindiran dan ejekannya yang juga menonjolkan ketidakberesan sosial (Zaimar 1991:207-218), namun hal tersebut tidak membangun pandangan pembaca terhadap keseluruhan hasil karya sastra yang muncul pada tahun 70-an. Perkembangan karya sastra yang memperbincangkan permasalahan ketimpangan ekonomi dan sosial pada tahun 90-an hingga tahun 2000-an masih terus berlanjut dengan munculnya novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata. Ketimpangan sosial dan perekonomian yang terejawantahkan ke dalam bentuk kemiskinan dalam novel Laskar Pelangi, tampak jelas dengan adanya sekolah khusus yang dibentengi dengan tembok tinggi bagi karyawan PN Timah yang menyediakan sarana-prasarana pendidikan memadai, fasilitas yang lengkap, dan kehidupan yang layak. Sedangkan SD Muhammadiyah tidak mempunyai semua fasilitas yang dimiliki oleh sekolah PN Timah, semangat anak-anak kampung miskin tersebut untuk berjuang dengan gigihnya agar dapat belajar tidak pernah padam walaupun dalam keadaan yang serba terbatas. Mereka bersekolah tanpa alas kaki, baju tanpa kancing, atap sekolah yang bocor jika hujan, dan papan tulis yang berlubang sehingga terpaksa ditambal dengan poster Rhoma Irama.

Pembahasan mengenai ketimpangan ekonomi dan sosial ini menjadi sebuah bom pada tahun 2000-an ini bagi keberadaan masyarakat sekarang setelah perkembangan karya sastra sebelumnya yang lebih mengeksplorasi permasalahan cinta dan ketabuan yang diantaranya hubungan seksual dan permasalahan kelamin yang dapat terlihat pada karya-karya Ayu Utami, Jenar Mahesa Ayu dan lainnya serta karya-karya yang lebih berkisar pada karya novel populer Islami yang lebih di setir oleh Helvi Tiana Rosa dan karya-karya yang lebih mementingkan aspek pasar. Sehingga fenomena laskar pelangi ini menjadi sebuah karya yang mendapat tempat khusus dihati masyarakat.