KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PELAYANAN KESEHATAN PENAL POLICY

Download Bagian Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. 2 .... pasien adalah dalam jurnal ilmu hukum tentang Perlindungan Hukum Bagi Pa...

1 downloads 374 Views 374KB Size
1

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PELAYANAN KESEHATAN

PENAL POLICY IN HEALTH CARE

Bahriah 1, Andi Sofyan 1, H.Faisal Abdullah 2

1

2

Bagian Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Bagian Hukum Kesehatan, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

Alamat Korespondensi Bahriah Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar, 90221 No.Hp : 085696025684 Email : [email protected]

2 ABSTRAK Pemerintah telah melakukan pembaharuan peraturan perundang-undangan di bidang kesehatan guna mengikuti kebutuhan masyarakat namun tetap saja ada kendala dalam implementasinya.Penelitian ini bertujuan Untuk mengetahui bagaimana kebijakan pidana saat ini dalam memberikan pelayanan kesehatan. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum yuridis normatif. Data dikumpulkan melalui studi pustaka dengan mengkaji Undang-Undang kesehatan terbaru yaitu Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa Perumusan tindak pidana dan pemidanaan dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 telah dirumuskan secara tegas karena dalam Undang-Undang kesehatan yang lama yaitu Undang-Undang Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992 masih banyak memberikan perlindungan hukum secara tidak langsung. Namun demikian Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 masih mengandung kelemahan. Untuk memaksimalkan pelaksanan pemidanaan tindak pidana dalam pelayanan kesehatan atau lazimnya disebut tindak pidana medis maka perlu segera diterbitkan peraturan pelaksana Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Kata Kunci : Tindak Pidana Medis, Pemidanaan.

ABSTRACT The government has made reform legislation in the field of health in order to follow the needs of the community but still there are difficulties in its implementation. This study was intended to determine how the current penal policy in providing health services. The method used in this study is a normative empirical legal research. Data were collected through a literature review by reviewing the latest health law is the statethrough Act No. 36 of 2009 on Health. It can be concluded that the formulation of a crime and punishment in Law No. 36 of 2009 has been formulated expressly for the health law is longer (the statethrough Act No. 23 of 1992 on Health) is still a lot of legal protection indirectly. However, the statethrough Act No. 36 of 2009 still contain flaws. To maximize the implementation of sentencing a criminal offense in the health service or commonly called medical criminal offense must be immediately issued regulations implementing the statethrough Act No. 36 of 2009 on Health. Keywords : Crime Of Medical, Punishment.

3

PENDAHULUAN Pelayanan kesehatan di instansi rumah sakit saat ini telah mengalami kemajuan dan peningkatan mutu yang lebih baik namun tetap tidak terlepas dari sorotan masyarakat. Padahal banyak peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pelayanan kesehatan maupun tindak pidana di biang medis. Dalam KUHP diatur mengenai beberapa tindak pidana di bidang medis. Untuk lebih mengikuti perkembangan masyarakat maka dibentuk peraturan perundangundangan khusus di bidang kesehatan seperti Undang-undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-undang

Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Undang-undang

No.29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran . Dalam Undang–Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dalam Pasal 2 disebutkan

bahwa

pembangunan

kesehatan

diselenggarakan

dengan

berasaskan

perikemanusiaan, keseimbangan, manfaat, pelindungan, penghormatan terhadap hak dan kewajiban, keadilan, gender dan nondiskriminatif dan norma-norma agama. Sedangkan dalam Pasal 3 disebutkan pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis (Anonim, 2009). Peraturan perundang-undangan di bidang kesehatan ini harus senantiasa mengikuti dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Harus bisa menjawab permasalahan masayarakat di bidang kesehatan sehingga masyarakat merasa tentram sebagai warga negara. Menjadi tugas pemerintah agar masyarakat dapat menikmati pelayanan kesehatan dengan biaya terjangkau. Selain itu, rumah sakit harus senantiasa menjaga profesionalnya. Dalam memberikan pelayanannya, profesional itu bertanggung jawab kepada diri sendiri dan kepada masyarakat. Bertanggung jawab kepada diri sendiri, artinya dia bekerja karena integritas moral, intelektual dan profesional sebagai bagian dari kehidupannya. Dalam memberikan pelayanan, seorang profesional selalu mempertahankan cita-cita luhur profesi sesuai dengan tuntutan kewajiban hati nuraninya, bukan karena sekedar hobi belaka. Bertanggung jawab kepada masyarakat, artinya kesediaan memberikan pelayanan sebaik mungkin tanpa membedakan antara pelayanan bayaran dan pelayanan cuma-cuma serta menghasilkan layanan yang bermutu, yang berdampak positif bagi masyarakat. Pelayanan yang diberikan tidak sematamata bermotif mencari keuntungan, melainkan juga pengabdian kepada sesama manusia.

4

Bertanggung jawab juga berani menanggung segala resiko yang timbul akibat dari pelayanannya itu. Kelalaian dalam melaksanakan profesi menimbulkan dampak yang membahayakan atau mungkin merugikan diri sendiri, orang lain dan berdosa kepada Tuhan (Abdulkadir, 2001) Mutu pelayanan hanya dapat diketahui apabila telah dilakukan penilaian-penilaian, baik terhadap tingkat kesempurnaan, sifat, wujud, ciri-ciri pelayanan kesehatan dan kepatuhan terhadap standar pelayanan. Setiap orang mempunyai kriteria untuk kualitas dan mempunyai cara-cara penilaian yang berbeda. Penyedia layanan kesehatan tidak dapat mengetahui apakah para pasien yang memberikan pendapat yang positif atau negatif bisa mewakili seluruh populasi yang dilayani (P. R., 2000) Meskipun pemerintah telah melakukan pembaharuan peraturan perundang-undangan di bidang kesehatan guna mengikuti kebutuhan masyarakat tetap saja ada kendala dalam implementasinya. Hal itu terlihat dengan masih banyaknya keluhan pasien terhadap rumah sakit. Pada Mei 2013, keluarga pasien mengeluhkan adanya dokter yang tidak beretika karena menyampaikan perihal penyakit pasien kepada pasien secara berlebihan atau melebihkan padahal kondisi pasien tersebut belum seburuk itu. Pasien itu bernama Jibe yang masuk ruang perwatan Lontara III pada hari Selasa Tanggal 7 Mei 2013 divonis menderita kanker hati stadium lanjut namun kondisi pasien tidak terlalu buruk. Dokter juga tidak cepat tanggap menangani pasien Jibe karena pasien belum mendapatkan perawatan maksimal, sebab hari kamis tanggal merah jadi semua dokter juga libur dan pas hari sabtu dan minggu dokter juga tidak masuk. Jadi pasien cuma dikasih obat penghilang nyeri. Mengenai masalah pelayan yang tidak nyaman tersebut, keluarga pasien bernama Muli sudah mengadukan pada pihak manajemen rumah sakit dan melalui costumer service untuk ditindaklanjuti lebih lanjut. (Masniati, 2013) Menteri Kesehatan ,Dr Nafsiah Mboi menyebut, masih ada rumah sakit yang meminta uang muka kepada pasien Unit Gawat Darurat (UGD) sebelum ditangani petugas medis. Padahal, pasien UGD perlu penanganan cepat. Pasalnya, penyakit yang diderita rata-rata berat. Seperti serangan jantung, korban kecelakaan lalulintas dan kecelakaan kerja. Menurut Nafsiah, rumah sakit yang meminta uang muka lebih dulu dianggap melanggar Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (Anonim, 2013) Kebanyakan orang kurang dapat memahami bahwa sebenarnya masih banyak faktor lain di luar kekuasaan tenaga medis yang dapat mempengaruhi hasil upaya medis, seperti misalnya stadium penyakit, kondisi fisik, daya tahan tubuh, kualitas obat dan juga kepatuhan pasien untuk

5

mentaati nasehat dokter. Faktor-faktor tersebut dapat mengakibatkan upaya medis (yang terbaik sekali pun) menjadi tidak berarti apa-apa. Oleh sebab itu tidaklah salah jika kemudian dikatakan bahwa hasil suatu upaya medis penuh dengan ketidakpastian (uncertainty) dan tidak dapat diperhitungkan secara matematik (Sutrisno, 1991) Hasil penelitian yang menunjukkan bahwa masih lemahnya perlindungan hukum bagi pasien adalah dalam jurnal ilmu hukum tentang Perlindungan Hukum Bagi Pasien Penerima Jasa Pertolongan Persalinan (Maryam, 2013 dkk) yang menunjukkan bahwa perlindungan hukum bagi penerima jasa pertolongan persalinan belum terwujud secara maksimal oleh karena pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang mengatur rekam medis, informed consent dan penggunaan SOP serta pembinaan dan pengawasannya belum sepenuhnya terlaksana dengan baik. Kondisi tersebut terkait dengan belum dipahaminya peraturan perundang-undangan yang mengatur hak-hak pasien penerima jasa pertolongan persalinan melalui pelaksanaan rekam medis, informed consent dan penggunaan SOP pertolongan persalinan oleh tenaga medis dan paramedis penolong persalinan serta penanggung jawab pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan rekam medis, informed consent dan penggunaan SOP pertolongan persalinan dalam hal ini Dinas Kesehatan, Komite Medik Rumah Sakit dan organisasi profesi (IDI dan IBI) kabupaten. Seringnya ditemukan penyimpangan yang terjadi dalam memberikan pelayanan kesehatan. Hal itu juga memberikan jawaban bahwa masih lemahnya perlindungan hukum dalam pelayanan kesehatan. Oleh karena itu penelitian ini ditujukan untuk mengetahui Kebijakan hukum pidana saat ini dalam bidang pelayanan kesehatan.

BAHAN DAN METODE Lokasi & Rancangan Penelitian Penelitian ini berlokasi di Perpustakaan Fakultas Hukum dan Perpustakaan Umum Universitas Hasaniddun.Adapun jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif yang lebih mengarah pada studi kepustakaan. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data sebagai bahan penelitian adalah melalui teknik studi kepustakaan yaitu studi dokumen dilakukan dengan cara mencari bahan pustaka berupa bahan bacaan.

6

Penelitian hukum normatif merupakan penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka. Penelitian hukum normatif atau kepustakaan ini mencakup penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematika hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal, perbandingan hukum dan sejarah hukum. (Soekanto, 2004) Analisis data Temuan data akan dianalisis secara deskriptif dan disajikan secara kualitatif. Analisis secara deskriptif berarti penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan suatu keadaan dengan fakta-fakta yang dihubungkan dengan kebijakan hukum pidana di bidang pelayangan kesehatan, teori-teori serta pendapat-pendapat dari ahli hukum mengenai tindakan rumah sakit yang tidak memberikan pelayanan kesehatan pada pasien..

HASIL PENELITIAN Penelitian mengenai kebujakan hukum pidana dalam pelayanan kesehatan ini yaitu menganalisis peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pelayanan kesehatan. Diperoleh hasil yaitu selain hukum pidana yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang KUHPidana, ada juga beberapa kebijakan pidana yang mengatur mengenai perlindungan hukum pidana dalam pelayanan kesehatan atau medis. Peraturan perundang-undangan tersebut yaitu Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Undang-undang No.29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran dan masih banyak lagi peraturan perundang-undangan lain yang berhubungan dengan kebijakan pidana di bidang kesehatan. Dalam membahas kebijakan hukum pidana dalam pelayanan kesehatan berarti akan dibahas mengenai politik hukum pidana dalam pelayanan kesehatan . Sejak jaman yunani kuno, ilmu hukum telah menyentuh hampir semua aspek kehidupan manusia, kecuali bidang kedokteran. Tenaga kesehatan yang ada pada masa itu mengatur cara kerjanya sendiri dengan kode etik dan sumpah profesi yang berakar kuat pada tradisi dan berpengaruh kuat dalam masyarakat. Pada awalnya masyarakat menganggap penyakit sebagai misteri. Pemahaman yang berkembang selalu dikaitkan dengan kekuatan yang bersifat supranatural. Pengobatannya hanya bisa dilakukan oleh para pendeta atau pemuka agama ataupu yang dikenal di masyarakat adalah dukun. Undang-undang yang mereka buat memberi ancaman hukuman yang berat, misalnya

7

hukuman potong tangan bagi seseorang yang melakukan pekerjaan dokter dengan menggunakan metode yang menyimpang dari buku yang ditulis sebelumnya, sehingga orang enggan memasuki profesi ini. Pada Tahun 2200 SM mulai terlihat perkembangan hukum pidana dalam pelayanan kesehatan, dalam Kode Hammurabi diatur ketentuan tentang kelalaian dokter beserta daftar hukumannya, mulai dari hukuman denda sampai hukuman yang mengerikan. Diatur pula ketentuan yang mengharuskan dokter mengganti budak yang mati akibat kelalian dokter ketika menangani budak tersebut. Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tercantum jelas cita-cita bangsa Indonesia yang sekaligus merupakan tujuan nasional bangsa Indonesia. Tujuan nasional tersebut adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi serta keadilan sosial. Untuk mencapai

tujuan

nasional

tersebut

diselenggarakanlah

upaya

pembangunan

yang

berkesinambungan yang merupakan suatu rangkaian pembangunan yang menyeluruh terarah dan terpadu, termasuk di antaranya pembangunan kesehatan. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Untuk mewujudkan pembangunan dibidang kesehatan maka pemerintah selalu melakukan peningkatan mutu pelayanan kesehatan. Sejalan dengan perkembangan peradaban di dunia yaitu pada abad abad 20 an telah terjadi perubahan sosial yang sangat besar kemajuan di bidang kedokteran menjadi sangat pesat, sehingga perlu dibatasi dan dikendalikan oleh perangkat hukum untuk mengontrol profesi kedokteran. Ketentuan pidana mengenai pelayanan kesehatan tidak hanya diatur dalam peraturan perundang-undangan

umum tetapi telah diatur secara khusus. Hukum kesehatan dapat

ditemukan dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kesehatan manusia atau peraturan perundang-undangan lainnya yang memuat pasal atau ketentuan mengenai kesehatan manusia.

8

Ada beberapa kebijakan hukum pidana yang mengatur mengenai perlindungan hukum pidana dalam pelayanan kesehatan atau medis. Sebelum diterbitkan peraturan khusus yang digunakan adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Untuk memberi perhatian khusus pada masyarakat dalam pelayanan kesehatan maka diterbitkan Undang-Undang Kesehatan. Ketentuan mengenai hukum kesehatan yang saat ini sedang populer sebagai bahan diskusi mengenai hukum kesehatan adalah Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan sebagai perubahan dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Peraturan perundang-undang khusus lain yang terkait dengan pelayanan kesehatan adalah Undang-undang No.29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, undang-Undang Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit dan peraturan lainnya. Dalam penelitian ini akan dibahas kebijakan hukum pidana atau politik hukum pidana dalam pelayanan kesehatan. Terbitnya Undang-Undang Kesehatan terbaru yaitu Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang merupakan perubahan dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Sebelum adanya Undang-Undang Kesehatan, yang berlaku hanyalah kaidah hukum yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Dalam mengurai kebijakan hukum pidana dalam pelayanan kesehatan ini akan dibahas Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan sebagai Undang-Undang kesehatan terbaru. Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan,tindak pidana yang berkaitan dengan kesalahan atau kelalaian di bidang medis berupa ketentuan pidananya diatur dalam Pasal 190 ayat (1) dan ayat (2) Pasal 191, Pasal 192, Pasal 193, Pasal 194, Pasal 195, Pasal 196, Pasal 197, Pasal 198, Pasal 199 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 200, dan Pasal 201. Pasal 190 ayat (1) menyebutkan pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) atau Pasal 85 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Pasal 190 ayat (2) menyebutkan bahwa dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan terjadinya kecacatan atau kematian, pimpinan fasilitas pelayanan

9

kesehatan dan/atau tenaga kesehatan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) Pasal 191 menyebutkan setiap orang yang tanpa izin melakukan praktik pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan alat dan teknologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) sehingga mengakibatkan kerugian harta benda, luka berat atau kematian dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) Pasal 192 menyebutkan setiap orang dengan sengaja memperjualbelikan organ atau jaringan tubuh dengan dalih apa pun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) Pasal 193 menyebutkan setiap orang

dengan sengaja melakukan bedah plastik dan

rekonstruksi untuk tujuan mengubah identitas seseorang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) Pasal 194 menyebutkan setiap orang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) Pasal 195 menyebutkan setiap orang dengan sengaja memperjualbelikan darah dengan dalih apapun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 Ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal 196 menyebutkan setiap orang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) Pasal 197 menyebutkan setiap orang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah)

10

Pasal 198 menyebutkan setiap orang yang dianggap mampu betanggung jawab melakukan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 sedangkan dia tidak memiliki keahlian dan kewenangan untuk itu

dipidana dengan pidana denda paling banyak

Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) Pasal 199 ayat (1) menyebutkan setiap orang dengan sengaja memproduksi atau memasukkan rokok ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan tidak mencantumkan peringatan kesehatan berbentuk gambar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan dendan paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Selanjutnya pada ayat (2) menyebutkan setiap orang dengan sengaja melanggar kawasan tanpa rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 dipidana denda paling banyak Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) Pasal 200 menyebutkan setiap orang dengan sengaja menghalangi program pemberian air susu ibu eksklusif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (2) dipidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah) Pasal 201 ayat (1) menyebutkan dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 190 ayat (1), Pasal 191, Pasal 192, Pasal 196,Pasal 197, Pasal 198, Pasal 199, dan Pasal 200 dilakukan oleh korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 190 ayat (1), Pasal 191, Pasal 192, Pasal 196 , Pasal 197, Pasal 198, Pasal 199, dan Pasal 200. Sedangkan pada ayat (2) menyebutkan bahwa selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha; dan/atau pencabutan status badan hukum. . PEMBAHASAN Penelitian normatif mengenai kebijakan pidana dalam pelayanan keehatan saat ini menunjukkan bahwa Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan merupakan Undang-Undang kesehatan yang terbaru yang didasarkan pada paradigma sehat yang mengutamakan upaya promotif dan preventif tanpa mengabaikan kuratif dan rehabilitatif. Selain itu, Undang-Undang Kesehatan ini mengubah sistem kesehatan di negara kita yaitu dari sentralistik menuju ke desentralistik.

11

Pasal-Pasal yang mengatur mengenai ketentuan pidana dalam pelayanan kesehatan pada Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 yaitu Pasal 190 sampai dengan Pasal 201. UndangUndang Nomor 36 Tahun 2009 memiliki beberapa kelebihan karena mengatur beberapa hal yang sebelumnya tidak jelas diatur bahkan tidak diatur dalam Undang-undang Kesehatan sebelumnya. Hal tersebut seperti Pasal 71 sampai dengan 77 mengatur tentang kesehatan dalam reproduksi, Pasal 75 mengatur masalah aborsi untuk korban perkosaan, Mengarah ke desentralisasi karena pada Pasal 171 mengatur mengenai pembiayaan kesehatan yakni 5 % APBN, 10 % APBD , Pasal 128 mengatur mengenai keharusan memberikan ASI esklusif dan Bab XIV mengatur mengenai hak mendapatkan informasi dan perlindungan kesehatan Selain kelebihan diatas, ada beberapa ketentuan yang menjadi kontroversi, antara lainpertama pada Pasal 72 yang memuat perihal reproduksi. Ada yang berpendapat bahwa rumusan ini mendiskriminasi hak atas kesehatan seseorang yang seharusnya bersifat individual tapi justeru direduksi atas dasar status perkawinannya. Namun menurut peneliti disisi lain, rumusan Pasal ini akan mengurangi tingkat pergaulan bebas dikalangan remaja yang semakin hari semakin tidak terkontrol. Kedua persoalan kesehatan reproduksi yang dilaksanakan melalui pendekatan upaya kesehatan ibu, kesehatan anak, keluarga berencana, kesehatan reproduksi remaja, pencegahan dan penanggulangan infeksi saluran seksual termasuk HIV/AIDS serta kesehatan reproduksi lanjut usia, ternyata tidak mengakomodir kesehatan reproduksi bagi perempuan dewasa lajang sebagai satu kategori yang berhak mendapatkan layanan kesehatan reproduksi. Jika undangUndang Kesehatan masih mengharuskan hubungan yang sah, maka hak kesehatan reproduksi individu lajang menjadi diabaikan. Karena, dalam prakteknya, papsmear mensyaratkan harus sudah menikah. Menurut peneliti, dalam hal kesehatan reproduksi seharusnya tidak diskriminasi artinya wanita lajang pun seharusnya berhak atas kesehatan reproduksi. Ketiga potensi kriminalisasi dan hilangnya hak atas kepastian hukum dan keadilan. Potensi mengkriminalkan orang tidak bersalah, khususnya perempuan, termasuk pula menghilangkan asas praduga tak bersalah, serta pengabaian terhadap hak dan jaminan perlindungan bagi perempuan korban perkosaan yang trauma bila kehamilan dilanjutkan hadir dalam pasal tentang ketentuan pidana. Misalnya ketentuan pidana Pasal 194 ’Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda

12

paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pada bagian ini, Undang-undang Nomor 23 tahun 1992 ketentuan pidana hanya berlaku pada para medis yang melakukan aborsi. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 ketentuan pidana ini berlaku pada semua pihak, termasuk perempuan. Karena Undang-Undang Kesehatan ini hanya mengecualikan aborsi untuk (1) kondisi kedaruratan medis dan (2) korban perkosaan yang mengalami trauma, dengan masing-masing mensyaratkan pada usia kehamilan harus masih di bawah 6 minggu. Untuk Tindak Pidana Aborsi yang tercatat di Pengadilan biasanya menggunakan KUHP bkn UU Khusus Kesehatan. Tindak pidana tersebut tidak diancam pidana sesuai undang-undang No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan atau tidak menggunakan Undang-Undang khusus karena dalam Undang-undang No. 36 Tahun 2009 tidak diatur mengenai “ada tidaknya persetujuan dalam melakukan aborsi” dan tentang “membantu melakukan aborsi”, padahal unsur-unsur tersebut adalah penting dalam menjatuhkan sanksi pidana karena unsur-unsur itu juga membedakan hakim dalam menjatuhkan pidana pada pelaku. Untuk tindak pidana malpraktik mengenai transplantasi organ diatur cukup ketat di dalam Undang – Undang Kesehatan yang baru ini dimana bagi yang melanggar ketentuan pasal – pasal tersebut di atas dapat dikenakan sanksi pidana sesuai Pasal 192 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 yang jika dibandingkan dengan Pasal 80 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 untuk pidana penjara memang lebih ringan karena di undang – undang 23 Tahun 1992 Hukuman pidana penjaranya 15 tahun, tetapi untuk dendanya hanya 300.000.000 ( Tiga Ratus Juta Rupiah ) tentunya Undang – Undang kesehatan yang baru memiliki hukuman denda hampir tiga kali lipat , dengan demikian diharapkan dapat memberikan efek jera bagi pelaku tindak pidana malpraktik kedokteran. Sengketa antara dokter dan pasien merupakan sengketa yang timbul akibat adanya hubungan dalam rangka melakukan upaya penyembuhan. Sengketa dapat terjadi akibat ketidakpuasan pasien yang umumnya disebabkan karena dugaan kelalaian, kesalahan yang dilakukan oleh dokter. Hal tersebut terjadi karena kurangnya informasi yang seharusnya menjadi hak dan kewajiban keduanya. Saat ini makin banyak kasus yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh dokter, dokter gigi maupun rumah sakit. Semakin berkembangnya pemahanan dan kesadaran masyarakat atas haknya dalam pelayanan kesehatan akan menyebabkan jumlah kasus medis yang dilaporkan ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dan lembaga advokasi konsumen kesehatan lainnya. ( Bastian dkk : 2011)

13

Kebijakan pidana di bidang kesehatan ini telah mengalami perubahan ke arah yang lebih baik, namun harus selalu diadakan perbaikan dalam peraturan perundang-undangan di bidang kesehatan yang lebih mengikuti dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Jeremy Bentham sangat percaya bahwa hukum harus dibuat secara utiltarianistik, melihat gunanya dengan patokan-patokan yang didasarkan pada keuntungan, kesenangan dan kepuasan manusia. Dalam hukum tidak ada masalah kebaikan atau keburukan, atau hukum yang tertinggi atau yang tertinggi dalam ukuran nilai. Bentham berpandangan bahwa adalah hukum dapat

tujuan

hukum

memberikan jaminan kebahagiaan kepada individu-individu. (Erwin,

2001). Jika kita lihat dari teori uitlitas maka kebijakan di bidang kesehatan harus dapat memberikan kamanfaatan pada pasien dengan memberikan perlindungan hukum. Sedangkan untuk

memenuhi

teori

pertanggungjawaban

pidananya

harus

melihat

kemampuan

bertanggungjawab dan adanya kesalahan. Seorang tenaga kesehatan yang melakukan tindak pidana dianggap mampu bertanggungjawab karena dokter atau perawat adalah orang yang telah melalui sebuah pendidikan. Sedangkan adanya kesalahan sangat penting dalam menentukan tindak pidana dibidang medis artinya harus jelas apakan perbuatan itu adalah sebuah kelalaian atau risiko medis.

KESIMPULAN DAN SARAN Dari hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan pidana yang dibahas adalah Undang-Undang Kesehatan terbaru Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Perumusan tindak pidana dan pemidanaan dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 telah dirumuskan secara tegas karena dalam Undang-Undang kesehatan yang lama yaitu Undang-Undang Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992 masih banyak memberikan perlindungan hukum secara tidak langsung. Namun demikian Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 masih mengandung kelemahan. Untuk memaksimalkan pelaksanan pemidanaan tindak pidana dalam pelayanan kesehatan atau lazimnya disebut tindak pidana medis maka perlu segera diterbitkan peraturan pelaksana Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.

14

DAFTAR PUSTAKA Abdulkadir, Muhamad. (2001). Etika Profesi Hukum. Bandung : Citra Aditya Bakti Anonim. (2009). Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Bandung : Fokusmedia. Anonim. (2013). Buruknya Pelayanan Kesehatan-Program Askes dan Jamkesmas Tidak Optimal. [ cited 2013 Mar 7 ] available from : www.sapa-indonesia.com Bastian, Indra dkk. (2011). Penyelesaian Sengketa Kesehatan. Jakarta : Salemba Medika Erwin, Muh, (2001), Filsafat Hukum : Refleksi Kritis Terhadap Hukum, Jakarta : Rajawali Pers Maryam,St. dkk. (2013). Perlindungan Hukum Bagi Pasien Penerima Jasa Pertolongan Persalinan. Jurnal Ilmu Hukum di Pasca Unhas. Masniati. (2013) : Pasien Keluhkan Dokter. Tribun Timur Tanggal Mei 2013, Makassar: [ cited 2013 June 16]: Available from :www.tribuntimur.com Moejatno. (2007). Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jakarta : PT.Bumi Aksara. Sutrisno, S. (1991). Tanggungjawab Dokter di bidang Hukum Perdata. Segi-segi Hukum Pembuktian, Makalah dalam Seminar Malpraktek Kedokteran, Semarang 29 Juni 1991 Soekanto, Soerjono dkk. (2004) Penelitian Hukum Normatif "Suatu Tinjauan Singkat". Jakarta : PT Raja Grafindo Persada P. R , Kongstvedt. (2000). Pokok-Pokok Pengelolaan Usaha Pelayanan Kesehatan. Alih Bahasa: Susi Purwoko. Jakarta : EGC