KEDUDUKAN KREDITUR SEPARATIS DALAM HUKUM KEPAILITAN Oleh: Adem Panggabean A. PENDAHULUAN Pada dunia bisnis dapat terjadi salah satu pihak tidak dapat melakukan kewajibannya
membayar
hutang-hutangnya
kepada
pihak
lain
sehingga
mengakibatkan terjadi penyitaan atas harta (aset) perusahaan untuk melunasi hutang tersebut setelah adanya gugatan oleh pihak yang berpiutang (kreditur) ke pengadilan dalam hal ini sering disebut dengan terjadi pailit terhadap perusahaan (debitur). Pailit merupakan suatu keadaan di mana debitur tidak mampu untuk melakukan pembayaran-pembayaran terhadap utang-utang dari para kreditornya. Keadaan tidak mampu membayar lazimnya disebabkan karena kesulitan kondisi keuangan dan usaha debitur yang telah mengalami kemunduran. Sedangkan kepailitan merupakan putusan pengadilan yang mengakibatkan sita umum atas seluruh kekayaan debitur pailit, baik yang telah ada maupun yang akan ada di kemudian hari. Pengurusan dan pemberesan kepailitan dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas dengan tujuan utama menggunakan hasil penjualan harta kekayaan tersebut untuk membayar seluruh utang debitur pailit tersebut secara proporsional dan sesuai dengan struktur kreditor. Kepailitan merupakan suatu jalan keluar yang bersifat komersial untuk keluar dari persoalan utang piutang yang rnenghimpit seorang debitur, di mana debitur tersebut sudah tidak mempunyai kemampuan lagi untuk membayar utang-utang tersehut kepada para kreditornya. Sehingga, bila keadaan kezidakrmampuan untuk membayar kewajiban yang telah jatuh tempo tersebut disadari oleh debitur. maka langkah untuk mengajukan permohonan penetapan status pailit terhadap dirinya (voluntary petition for self bankruptcy) menjadi suatu langkah yang memungkinkan, atau penetapan status pailit oleh pengadilan terhadap debitur tersebut bila kemudian
1
ditemukan bukti bahwa debitur tersebut memang telah tidak mampu lagi membayar utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih (involuntary petition for bankcruptcy).1 Proses kepailitan dimulai dengan adanya suatu permohonan pailit terhadap debitur yang memenuhi syarat, sesuai Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Undang-Undang Kepailitan) yang menyatakan bahwa ”Debitur yang mempunyai dua atau lebih Kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih dari krediturnya.” Dengan memenuhi syarat yang ditentukan di atas, maka permohonan pailit atas debitur tersebut, dapat diajukan oleh satu atau lebih krediturnya ke pengadilan niaga, yang merupakan badan peradilan yang berwenang untuk memproses, memeriksa dan mengadili perkara kepailitan. Apabila permohonan pailit tersebut dikabulkan maka pengadilan niaga akan mengeluarkan putusan yang menyatakan debitur tersebut dalam keadaan pailit. Undang-Undang
Kepailitan
menentukan
kreditur
yang
mengajukan
permohonan kepailitan merupakan pihak yang bertindak selaku pemohon pailit dan merupakan pihak yang mempunyai tagihan kepada debitur yang dimohonkan pailit. Debitur dan kepailitan, dapat berupa perserorangan atau badan hukum maupun institusi. Selain dapat diajukan oleh kreditur, berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Kepailitan, untuk kepentingan umum permohonan kepailitan atas debitur dapat juga diajukan oleh kejaksaan. Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang dibahas dalam makalah ini adalah tentang pembagian dan kedudukan kreditur setelah terjadinya debitur dinyatakan pailit oleh Pengadilan, terutama dalam hal ini kreditur yang 1
Ricardo Simanjuntak, “Esensi Pembuktian Sederhana dalam Kepailitan” dalam Emmy Yuhassarie (ed), Undang-Undang Kepailitan dan Perkembangannya. (Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, Jakarta, 2005), hal. 55-56.
2
memegang hak jaminan kebendaan (kreditur separatis) yang mempunyai hak preferen (hak didahulukan) dari kreditur-kreditur yang lainnya. Hal ini karena dalam hal terjadi suatu pailit sudah pasti kreditur lebih dari satu, sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Undang-Undang Kepalitan. B. PENGERTIAN PAILIT Kepailitan adalah pelaksanaan lebih lanjut dari prinsip paritas creditorium dan prinsip pari passu prorate parte dalam rezim hukum harta kekayaan (vermogensrechts). Prinsip paritas creditorium berarti bahwa semua kekayaan debitur baik yang berupa barang bergerak ataupun barang tidak bergerak maupun harta yang sekarang telah dipunyai debitur dan barang-barang di kemudian hari akan dimiliki debitur terikat kepada penyelesaian kewajiban debitur.2 Sedangkan prinsip pari passu prorate parte berarti bahwa harta kekayaan tersebut merupakan jaminan bersama untuk para kreditur dan hasilnya harus dibagikan secara proporsional antara mereka, kecuali apabila antara para kreditur itu ada yang menurut undang-undang harus didahulukan dalam menerima pembayaran tagihannya.3 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Undang-Undang Kepailitan) sebagai pranata hukum lembaga kepailitan yang menjadi pedoman bertindak para pihak yang terlibat di dalamnya. Undang-Undang Kepailitan ini merupakan pengganti dari Peraturan Kepailitan (Faillissement Verordening) Stb. 1905-217 jo. 1906-348, yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 1998 yang selanjutnya diundangkan menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998. Pada saat ketentuan Peraturan Kepailitan (Faillissement Verordening) Stb. 1905-217 jo. 1906-348 diberlakukan, dalam prakteknya, masih sangat sedikit 2
Kartini Mulyadi, dalam Rudy A Lontoh, Penyelesaian Utang Putang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Bandung: Alumni, 2001), hal. 168. 3 Ibid., hal. 168.
3
para pihak yang ada pada saat itu mempergunakan lembaga dan Peraturan Kepailitan untuk menyelesaikan persoalan utang piutangnya.4 Perubahan kemudian dilakukan atas ketentuan pranata hukum yang digunakan dalam penyelesaian utang piutang dengan lembaga kepailitan ini. Hal ini disebabkan karena Peraturan Kepailitan sebagai produk hukum kolonial warisan zaman penjajahan Belanda dirasakan sudah tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan para pihak akan mekanisine penyelesaian utang piutang. Dengan dikeluarkannya ketentuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 1998 yang selanjutnya diundangkan menjadi UndangUndang Nomor 4 Tahun 1998, para pihak seperti bersemangat untuk mencoba penyelesaian utang piutang dengan menggunakan lembaga kepailitan, dengan pengertian bahwa lembaga kepailitan ini akan dapat menyelesaikan permasalahan utang piutang mereka dengan prosedur yang serba cepat.5 Untuk memenuhi kebutuhan para pihak akan lembaga peradilan yang dapat menampung upaya penyelesaian utang piutang melalui lembaga kepailitan, maka pada tahun 1998 dibentuk Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, dan kemudian menyusul Pengadilan Niaga Medan, Semarang, Surabaya dan Makasar pada tahun 1999. Pailit adalah suatu keadaan, dimana seorang debitur tidak mempunyai kemampuan lagi untuk melakukan pembayaran atas utang-utangnya kepada kreditur, dan pernyataan pailit atas debitur tersebut harus dimintakan pada pengadilan. Pengertian kepailitan yang diberikan oleh undang-undang, tercantum dalam ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Kepailitan, yaitu: “Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitur Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.”
4
Munir Fuady, Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktek, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002), hal. 1. 5 Ibid., hal. 1.
4
Kepailitan mempunyai tujuan: 1. Untuk menjamin pembagian yang sama terhadap harta kekayaan debitur di antara para krediturnya. Tujuan dari kepailitan ini merupakan perwujudan dari asas jaminan sebagaimana ditentukan dalam ketentuan Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata.6 Menjamin agar pembagian harta debitur kepada para krediturnya sesuai dengan asas pari passu, dibagi secara proporsional. Dengan demikian kepailitan dengan tegas memberikan perlindungan pada kreditur konkuren. 2. Mencegah agar debitur tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan kepentingan para kreditur. Dengan dinyatakan pailit, debitur tidak lagi memiliki kewenangan untuk mengurus, memindahtangankan harta kekayaannya yang berubah status hukumnya menjadi harta pailit.7 C. JENIS KREDITUR DALAM KEPAILITAN Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Kepalitan menyatakan: Kreditur adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau Undang-Undang yang dapat ditagih di muka pengadilan. Keberadaan atau eksistensi dari kreditur adalah syarat mutlak dalam kepailitan dengan alasan sebagai berikut: 1. Karena Pasal 2 ayat 1 mensyaratkan adanya concersus creditorium yaitu debitur setidaknya memiliki lebih dari dua kreditur. Dalam hal ini, pemohon pailit harus dapat membuktikan bahwa debitur juga memiliki kreditur lain dengan jumlah minimum dua orang. 6
Pasal 1131 KUH Perdata berbunyi: Segala barang-barang bergerak dan tak bergerak milik debitur, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan perorangan debitur itu. Selanjutnya Pasal 1132 KUH Perdata berbunyi: Barang-barang itu menjadi jaminan bersama bagi semua kreditur terhadapnya; hasil penjualan barang-barang itu dibagi menurut perbandingan piutang masing-masing kecuali bila di antara para kreditur itu ada alasan-alasan sah untuk didahulukan. 7 Munir Fuady, Op. Cit., hal. 37.
5
2. Kehadiran kreditur atau wakilnya yang sah sangat penting untuk menentukan diterima atau tidak rencana perdamaian yang diajukan oleh debitur dalam rapat kreditur. Jika jumlah kreditur yang hadir tidak memenuhi ketentuan maka quorum suara tidak terpenuhi. Kemudian dalam Pasal 1132 KUHPerdata telah menginsyaratkan bahwa setiap kreditur memiliki kedudukan yang sama terhadap kreditur lainnya, kecuali jika ditentukan lain oleh undang-undang karena memiliki alasan-alasan yang sah untuk didahulukan dari para kreditur-kreditur lainnya. Dengan adanya kalimat dalam Pasal 1132 KUH Perdata yang bunyinya “kecuali apabila diantara para kreditur terdapat alasan-alasan yang sah untuk didahulukan dari para kreditur lainnya” maka terdapat kreditur-kreditur tertentu yang oleh undang-undang diberikan kedudukan yang lebih tinggi dari pada kreditur lainnya”. Dari uraian diatas dapat diketahui beberapa jenis kreditur, yaitu: 1. Kreditur Konkuren Dalam lingkup kepailitan, yang dapat digolongkan sebagai kreditur konkuren (unsecured creditor) adalah kreditur yang piutangnya tidak dijamin dengan hak kebendaan (security right in rem) dan sifat piutangnya tidak dijamin sebagai piutang yang diistimewakan oleh undang-undang. Dengan kata lain kreditur konkuren adalah kreditur yang harus berbagi dengan para kreditur lain secara proporsional, yaitu menurut perbandingan besarnya tagihan masing-masing dari hasil penjualan harta kekayaan debitur yang tidak dibebani dengan hak jaminan. Sedangkan pembayaran terhadap kreditur konkuren adalah ditentukan oleh kurator.8 2. Kreditur Preferen Kreditur Preferen termasuk dalam golongan secured creditors karena sematamata sifat piutangnya oleh undang-undang diistimewakan untuk didahulukan pembayarannya. Dengan kedudukan istimewa ini, kreditur preferen berada diurutan atas sebelum kreditur konkuren atau unsecured creditors lainnya. Utang debitur pada
8
Ibid., hal. 103.
6
kreditur preferen memang tidak diikat dengan jaminan kebendaan, tapi undangundang mendahulukan mereka dalam hal pembayaran. Oleh karena itu jika debitur dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga, maka prosedur pembayaran terhadap kreditur preferen sama seperti kreditur konkuren yaitu dengan cara memasukkan tagihannya kepada kurator untuk diverifikasi dan disahkan dalam rapat verifikasi.9 3. Kreditur Separatis Dalam ketentuan Pasal 1133 KUHPerdata dijelaskan siapa-siapa saja yang memiliki hak untuk didahulukan diantara para kreditur yaitu kreditur yang memiliki hak istimewa (kreditur preferen) dan kreditur pemegang hak jaminan atas kebendaan seperti gadai, hipotik dan hak tanggungan dan fidusia. Sehubungan dengan istilah kreditur separatis, ada terdapat perbedaan perbedaan pendapat pemakaian istilah diantara para sarjana. Menurut Munir Fuady bahwa: ”dikatakan separatis yang berkonotasi pemisahan karena kedudukan kreditur tersebut memang dipisahkan dari kreditur lainnya, dalam arti ia dapat menjual sendiri dan mengambil sendiri dari hasil penjualan yang terpisah dengan harta pailit pada umumnya”.10 Mariam Darus Badrulzaman menyebutkan bahwa sebagai kreditur pemegang hak jaminan yang memiliki hak preferen dan kedudukannya sebagai kreditur separatis. Dengan demikian, Mariam Darus Badrulzaman membedakan antara hak dan kedudukan kreditur yang piutangnya dijamin dengan hak atas kebendaan. Haknya disebut sebagai preferen karena ia digolongkan oleh Undang-Undang sebagai kreditur yang diistimewakan pembayarannya. Sedangkan kedudukannya adalah sebagai kreditur separatis karena ia memiliki hak yang terpisah dari kreditur preferen lainnya yaitu piutangnya dijamin dengan hak kebendaan.11 9
Ibid., hal. 104. Ibid., hal. 105. 11 Mariam Darus Badrulzaman, Posisi Hak Tanggungan Dalam Hukum Jaminan Nasional, Makalah yang disajikan dalam Seminar Nasional “Kesiapan Dan Persiapan Dalam Rangka Pelaksanaan Undang-undang Hak Tanggungan” yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran. pada tanggal 27 Mei 1996 di Bandung. dan dalam Seminar Nasional Sehari 10
7
Dalam hukum kepailitan, kreditur yang dapat digolongkan sebagai kreditur separatis karena piutangnya dijamin dengan security right in rem adalah kreditur pemegang hak yang terdiri dari: 1) Hipotik yang diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan 2) Gadai yang diatur dalam Pasal 1150 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 3) Fidusia yang diatur dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia 4) Kreditur yang memiliki hak retensi atas suatu barang dalam Pasal 65 UndangUndang Kepailitan Menurut Sudargo Gautama, “mereka ini karena sifatnya pemilik suatu hak yang dilindungi secara super preferen dapat mengeksekusi hak mereka seolah-olah tidak terjadi kepailitan.12 Mereka ini karenanya dianggap separatis (berdiri sendiri). Sejalan dengan itu menurut Munir Fuady, kedudukan kreditur separatis sangat tinggi, lebih tinggi dari kreditur yang diistimewakan lainnya.13 Kedudukan kreditur separatis tersebut dipisahkan dari kreditur lainnya, dan objek jaminannya juga dipisahkan dari harta pailit. Adapun arti dari kedudukan kreditur separatis di atas adalah dalam pengeksekusian jaminan utang. Kreditur separatis dapat menjual dan mengambil sendiri hasil dari penjualan objek jaminan. Bahkan jika diperkirakan hasil penjualan atas jaminan utang itu tidak dapat menutupi seluruh utangnya, maka kreditur separatis dapat memintakan agar terhadap kekurangan tersebut dia diperhitungkan sebagai kreditur konkuren. Sebaliknya apabila hasil dari penjualan jaminan utang melebihi utang-utangnya, maka kelebihan itu harus dikembalikan kepada debitur.
‘Persiapan Pelaksanaan Hak Tanggungan Di Lingkungan Perbankan” yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. pada tanggal 25 Juli 1996 di Medan, hal. 12. 12 Sudargo Gautama, Komentar atas Peraturan Baru Untuk Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1998), hal. 78. 13 Munir Fuady, Op. Cit., hal. 105.
8
D. KEDUDUKAN KREDITUR SEPARATIS DALAM HUKUM KEPAILITAN Yang dimaksud kreditur preferen dalam golongan secured creditors sematamata karena sifat piutangnya oleh undang-undang diistimewakan untuk didahulukan pembayarannya. Dengan kedudukan istimewa ini, kreditur preferen berada diurutan atas sebelum kreditur konkuren atau unsecured creditors lainnya. Kedudukan preferen lebih tinggi dari kedudukan kreditur lainnya. Menurut Pasal 1133 KUHPerdata, seorang kreditur merupakan kreditur preferen apabila tagihan kreditur tersebut adalah merupakan: a. Piutang yang berupa hak istimewa b. Piutang yang dijamin dengan Hak Gadai c. Piutang yang dijamin dengan Hipotik Setelah berlaku Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan dan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, maka selain kreditur yang memiliki piutang sebagaimana yang dimaksud dengan Pasal 1133 KUH Perdata, juga kreditur-kreditur yang dijamin dengan hak tanggungan dan hak fidusia termasuk kreditur preferen atau separatis. Kreditur Separatis adalah kreditur yang memiliki hak agunan kebendaan, seperti hak gadai, hipotik, hak tanggungan dan jaminan fidusia. Kedudukan kreditur separatis dipisahkan dari kreditur lainnya dalam pengeksekusian jaminan utang. Kedudukan kreditur separatis diatur dalam dua tahap yaitu masa pra pailit dan setelah masa kreditur dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga (pasca pailit) baik kepailitan yang timbul karena prosedur kepailitan maupun yang timbul dari Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 1. Kedudukan Kreditur Separatis Pada Periode Pra Pailit Kedudukan para kreditur separatis dengan jelas diatur dalam Pasal 55 Undang-Undang Kepailitan, yaitu kreditur separatis dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Ketentuan dalam Pasal 55 ini konsisten dengan
9
ketentuan perundangan lainnya yang mengatur tentang parate executie dari pemegang hak jaminan atas kebendaan seperti hak tanggungan, hipotik, gadai, fidusia, kreditur pemegang ikatan panenan dan kreditur pemegang hak retensi.14 2. Kedudukan Kreditur Separatis periode Pasca Pernyataan Pailit Kedudukan kreditur separatis pada periode pra pailit dengan pasca pailit pada dasarnya tetap mengacu pada pasal 55 dan 244 ayat 1 Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yaitu kreditur separatis ditempatkan diluar dari kepailitan debiturnya karena sifat jaminan piutang yang dimilikinya memberinya hak untuk mengeksekusi sendiri barang jaminan guna pelunasan piutangnya. Namun demikian, Undang-Undang Kepailitan juga mengatur kedudukan kreditur separatis pada periode setelah debitur pailit sebagai berikut: a. Pasal 56 dan Pasal 246 Undang-Undang Kepailitan Kedua pasal tersebut dikenal juga sebagai ketentuan yang mengatur tentang automatic stay, yang diberlakukan bagi kreditur separatis setelah debitur dinyatakan pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang sementara ditetapkan. Berdasarkan ketentuan penangguhan eksekusi ini kreditur belum dapat mengeksekusi sendiri haknya selama 90 hari. b. Pasal 60 ayat 3 jo Pasal 189 ayat 5 Undang-Undang Kepailitan Apabila hasil penjualan barang jaminan piutang kreditur separatis tidak mencukupi untuk memenuhi pembayaran piutangnya, kreditur separatis dapat mengajukan tagihan pelunasan atas kekurangan tersebut kepada kurator. Konsekuensinya, kreditur separatis berubah menjadi kreditur konkuren tetapi hanya untuk kekurangan tagihan pembayarannya. Dengan demikian, kekurangan tagihan ini harus diajukan untuk dicocokan dalam rapat verifikasi.
14
Lihat juga Pasal 224 ayat 1 dan 246 Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang menyatakan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang sementara tidak berlaku lagi bagi kreditur separatis dan Pasal 55, pasal 57 dan pasal 58 berlaku mutatis mutandis dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
10
c. Pasal 138 Undang-Undang Kepailitan Kreditur separatis yang dapat membuktikan bahwa kemungkinan sebagian dari piutangnya tersebut tidak dapat dilunasi dari hasil penjualan barang jaminan dapat menjadi kreditur konkuren atas bagian piutang yang tak dapat dilunasi tersebut. Ketentuan ini dibuat untuk mengantisipasi kemungkinan dari nilai jaminan kebendaan yang dimiliki oleh kreditur separatis kurang dari nilai piutang yang dimilikinya. d. Pasal 149 ayat 1 jo Pasal 118 ayat 2 Undang-Undang Kepailitan Kreditur Separatis pada prinsipnya tidak berhak mengeluarkan suara dalam rapat kreditur. Namun jika kreditur separatis telah melepaskan haknya sebagai kreditur separatis (waiver) menjadi kreditur konkuren, ia memiliki hak yang sama dengan kreditur konkuren lainnya, misalnya rencana perdamaian yang diajukan debitur tidak diterima kreditur. Kondisi seperti ini hanya akan terjadi dalam hal hak kreditur separatis untuk didahulukan dibantah dalam rapat verifikasi. Terhadap tagihan kreditur separatis yang dibantah ini, Pasal 118 ayat 2 menegaskan bahwa tagihannya harus dimasukkan dalam daftar piutang yang diakui sementara.15 E. PENUTUP Pailit merupakan suatu keadaan di mana debitur tidak mampu untuk melakukan pembayaran-pembayaran terhadap utang-utang dari para kreditornya. Keadaan tidak mampu membayar lazimnya disebabkan karena kesulitan kondisi keuangan dan usaha debitur yang telah mengalami kemunduran. Sedangkan
15
Lihat Pasal 113, pasal 115, pasal 117 dan pasal 126 Undang-Undang Kepailitan tentang rapat verifikasi dimana semua tagihan diajukan untuk diverifikasi. Hasilnya adalah ada tagihan yang diakui (admitted debt), diakui sementara (provisionally admitted debt) atau dibantah (denied debt) oleh debitur. Hakim Pengawas berperan dalam hal ini karena iadapat mengakui sementara piutang yang diajukan tapi debitur juga berhak membantah yang diakui sementara oleh Hakim Pengawas tersebut. Selanjutnya, tagihan-tagihan yang diajukan di rapat verifikasi akan dikategorikan sebagai piutang yang diakui (admitted claim), yang diakui sementara (provisionally admitted claim) dan piutang yang dibantah (disputed claim).
11
kepailitan merupakan putusan pengadilan yang mengakibatkan sita umum atas seluruh kekayaan debitur pailit, baik yang telah ada maupun yang akan ada di kemudian hari. Pengurusan dan pemberesan kepailitan dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas dengan tujuan utama menggunakan hasil penjualan harta kekayaan tersebut untuk membayar seluruh utang debitur pailit tersebut secara proporsional dan sesuai dengan struktur kreditor. Di dalam terjadinya pailit maka kreditur dapat dibagi atas kreditur konkuren, kreditur preferen dan kreditur separatis. Kreditur Separatis adalah kreditur yang memiliki hak agunan kebendaan, seperti hak gadai, hak tanggungan dan jaminan fidusia. Kedudukan kreditur separatis dipisahkan dari kreditur lainnya dalam pengeksekusian jaminan utang. Kedudukan kreditur separatis tetap dijamin pembayarannya oleh Undang-Undang Kepailitan baik pada masa pra pailit maupun setelah debitur dinyatakan pailit. Bahkan jika tagihannya dibantah, tagihan tersebut harus diakui secara bersyarat oleh Kurator dalam rapat verifikasi dan dimasukkan dalam daftar piutang yang diakui sementara. Demikian juga jika jaminan yang ada padanya tidak mencukupi untuk memenuhi pembayaran tagihannya, kreditur separatis dapat menjadi kreditur konkuren untuk kekurangan tagihannya tersebut tanpa kehilangan hak istimewanya untuk mengeksekusi sendiri barang jaminan yang ada padanya. Namun demikian, kepailitan lebih banyak dimanfaatkan oleh kreditur konkoren yang tidak memiliki hak prioritas apapun terhadap aset debitur, sehingga memerlukan mekanisme kepailitan yang tegas untuk mengamankan kepentingan tagihan-tagihan kreditur konkuren terhadap harta debitur. Walaupun kreditur separatis sudah memegang jaminan hak tanggungan dan dapat mengeksekusi jaminan hak tanggungan yang dipegangnya seolah-olah tidak terjadi kepailitan, akan tetapi kreditur pemegang hak tanggungan (separatis) masih memiliki kepentingan yang berupa sisa tagihan yang tidak cukup ditutup dengan eksekusi jaminan serta kepentingan mengenai keberlangsungan usaha debitur.
12
DAFTAR PUSTAKA Badrulzaman, Mariam Darus, Posisi Hak Tanggungan Dalam Hukum Jaminan Nasional, Makalah yang disajikan dalam Seminar Nasional “Kesiapan Dan Persiapan Dalam Rangka Pelaksanaan Undang-undang Hak Tanggungan” yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran. pada tanggal 27 Mei 1996 di Bandung. dan dalam Seminar Nasional Sehari ‘Persiapan Pelaksanaan Hak Tanggungan Di Lingkungan Perbankan” yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. pada tanggal 25 Juli 1996 di Medan Fuady, Munir, Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktek, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002). Gautama, Sudargo, Komentar atas Peraturan Baru Untuk Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1998) Lontoh, Rudy A, Penyelesaian Utang Putang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Bandung: Alumni, 2001) Simanjuntak, Ricardo, “Esensi Pembuktian Sederhana dalam Kepailitan” dalam Emmy Yuhassarie (ed), Undang-Undang Kepailitan dan Perkembangannya. (Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, Jakarta, 2005) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
13