KEHILANGAN AIR PADA TANAMAN KENTANG (Solanum tuberosum L.) BERDASARKAN NERACA AIR LAHAN Salwati1) dan Handoko2) 1) Peneliti Muda Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jambi, Badan Litbang Pertanian, 2) Program Studi Agrometeorologi, Departemen Geofisika dan Meteorologi, FMIPA IPB, email :
[email protected],
[email protected]
ABSTRACT Determination of proper planting time to get adequate water availability and minimize water loss through surface runoff is an important for an alternative water management. Information on soil water dynamics in relation to rainfall and water loss through evapotranspiration (actual) and surface runoff (run-off, Ro) was indispensable. Such information can be obtained through the analysis of the soil water balance, soil moisture and amount of rainfall during potato growth period. This study was intended to obtain the value of the actual water loss through evapotranspiration and surface runoff in highlands potato production center “Pacet”, Cianjur. Research designused in this experiment wassplit block design with three replications, two spacing as the main plot (Ji) and three sizes of potatoes seed as a subplot (Uj) .The analysis was performed using soil water balance observations and rainfall. Water loss through the ETa + Ro was 1424 mm, which is calculated from the 75 days of measurement and was equivalent to 19 mm/day . This value was much higher than the potential evapotranspiration (ETp) of 5 mm /day. The difference in the value between ETa and ETp + Ro at 14 mm/day caused by Ro value of 1027 mm (70 %) during plant growth and associated with a 20 % slope degree. Key Words:Evapotranspiration, soil water content, potato, run off, water balance
PENDAHULUAN Tanaman kentang di Indonesia pada umumnya dibudidayakan pada ketinggian di atas 800 m dari permukaan laut (Sutapradja 2008), pada daerah pegunungan dengan tingkat kemiringan yang tinggi, sehingga air sering menjadi masalah serius pada musim hujan karena limpasan permukaan. Sebaliknya, pada musim kemarau kadar air tanah yang rendah menjadi kendala untuk menunjang pertumbuhan tanaman. Penentuan waktu tanam yang tepat untuk mendapatkan ketersediaan air yang cukup dan meminimalkan kehilangan air melalui limpasan permukaan merupakan alternatif pengelolaan air yang penting. Informasi mengenai dinamika air tanah dalam hubungannya dengan curah hujan dan kehilangan air melalui evapotranspirasi (aktual)serta aliran permukaan (run off, Ro) sangat diperlukan. Informasi tersebut dapat diperoleh melalui analisis neraca air pada lahan, menggunakan kadar air tanah dan curah hujan selama pertumbuhan tanaman kentang. Nasir (1993) mendefinisikan neraca air sebagai selisih antara jumlah air yang diterima oleh tanaman dan kehilangan air dari tanaman beserta tanah melalui evapotranspirasi. Neraca air dapat dibuat dalam selang waktu harian, mingguan, bulanan maupun musiman tergantung kebutuhan (Annandale et al. 1999). Menurut (Steyn et al. 2007) kebutuhan air tanaman adalah jumlah air yang digunakan untuk memenuhi evapotranspirasi yang dapat dihitung melalui perhitungan neraca air. Evapotranspirasi merupakan jumlah air yang hilang dari tanah dan tanaman dalam satuan waktu tertentu yang jumlahnya bergantung pada jenis tanaman, jenis tanah serta kondisi cuaca pada lingkungan sekitar tanaman terutama suhu dan kelembaban (Kirnak dan Short 2001).Evapotranspirasi adalah kombinasi dua proses kehilangan air melalui jalur yang berbeda, yaitu melalui permukaan tanah (evaporasi) dan tanaman (transpirasi). Meskipun evaporasi dan transpirasi terjadi melalui jalur yang berbeda, namun keduanya sangat sulit dibedakan dan terjadi secara simultan (Allen et al. 1998) Xiong (2008) menyatakan evapotranspirasi merupakan indikator yang dapat digunakan untuk menduga kebutuhan air tanaman. Menurut Biggs et al. (2008) pada prinsipnya evapotranspirasi sama dengan kebutuhan air tanaman, air yang terinfiltrasi juga berfungsi memenuhi kebutuhan untuk evapotranspirasi. Bila curah hujan melebihi evapotranspirasi, air akan disimpan di dalam tanah sampai batas maksimum tanah menyimpan air yang selanjutnya akan digunakan oleh tanaman untuk evapotranspirasi pada waktu yang akan datang.
Ada tiga faktor yang menentukan kecepatan evapotranspirasi yaitu (1) faktor iklim mikro yang mencakup : radiasi netto, suhu, kelembaban dan angin, (2) faktor tanaman yangmeliputi jenis tanaman, derajat penutupannya, struktur tanaman, stadia perkembangan sampai masak, keteraturan dan banyaknya stomata, mekanisme menutup dan membukanya stomata, dan (3) faktor tanah yang terdiri dari : kondisi tanah, aerasi tanah, potensial air tanah dan kecepatan air tanah bergerak ke akar tanaman (Seyhan 1995). Tanaman kentang merupakan tanaman yang sangat sensitif terhadap kekurangan air tanah (Steyn. et al 2007). Akar tanaman kentang dapat mencapai kedalaman lebih dari 80 cm dan tanaman yang mempunyai perakaran lebih dalam lagi akan lebih tahan terhadap cekaman air. Mekanisme ini terjadi karena kemampuanakar menyerap cadangan air pada lapisan tanah yang lebih dalam dan lebih efisien terhadap pemberian air irigasi (Stalham dan Allen 2001). Penelitian ini dimaksudkan untuk mendapatkan nilai kehilangan air melalui evapotranspirasi aktual dan limpasan permukaan pertanaman kentang di dataran tinggi Pacet. Kabupaten Cianjur. Analisis yang dilakukan menggunakan neraca air lahan berdasarkan pengamatan kadar air tanah serta curah hujan.
METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Percobaan Percobaan dilakukan di Kebun Percobaan Balitbiogen, Pacet Kabupaten Cianjur dengan luas lahan penelitian ± 1000 m2, pada ketinggian ± 1150 m dpl, kemiringan lahan ± 20%. Waktu percobaan mulai dari Desember 2009 sampai Maret 2010.
Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan meliputi : bibit kentang varietas Granola (G0, G1, G2) dan Atlantik (G4), pupuk anorganik (Urea, KCl, SP-36) dan organik (pupuk kandang, jerami) serta insektisida untuk pengendalian hama dan penyakit tanaman, data iklim harian (curah hujan, suhu udara, kelembaban udara, radiasi surya, dan kecepatan angin). Alat yang digunakan meliputi : (1) alat budidaya tanaman kentang, terdiri atas: traktor, cangkul, parang, sekop, garu, ember, drum, selang penyalur air, kantong plastik, tali, pisau, ajir; (2) alat pengukur kadar air tanah; (3) alat pengukur unsur-unsur cuaca yang dipasang di lokasi penelitian.
Rancangan Percobaan Rancangan yang digunakan dalam percobaan ini adalah rancangan blok terpisah dengan tiga ulangan, dua jarak tanam sebagai petak utama(J i)dan tiga ukuran bibit kentang sebagai anak petak (Uj). Jarak tanam (Ji) adalah sebagai berikut : J1 = jarak tanam 20 x 20 cm J2 = jarak tanam 40 x 20 cm Ukuran benih (Uj) terdiri dari : U1 = berat bibit 1,5 - 3,5 g/butir U2 = berat bibit 0,5 - 1,5 g/butir U3 = berat bibit < 0,5 g/butir
Pelaksanaan Penelitian Pengolahan tanah dilakukan menggunakan traktor dan cangkul sesuai dengan perlakuan, setiap unit percobaan menggunakan empat unit guludan. Pupuk kandang dan sekam jerami diberikan menurut baris tanam sesuai perlakuan. Pada setiap lubang tanam ditanam satu benih kentang. Pemupukan sesuai dosis anjuran diberikan secara melingkar di sekeliling bibit kentang. Setelah pemberian pupuk dasar bibit kentang ditutupi dengan tanah lapisan atas setebal ± 12 cm dengan menggunakan cangkul, sehingga akan terbentuk guludan-guludan memanjang. Penyiangan dan pembumbunan dilakukan dua kali secara bersamaan pada saat tanaman berumur satu dan dua bulan setelah tanam. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan dengan mengunakan pestisida sesuai tingkat serangan.
Pengukuran Kadar Air Tanah dan Kalibrasi Alat
Pengukuran kadar air tanah dilakukan menggunakan prinsip hambatan listrik. Alat dipasang pada kedalaman 10 cm, 20 cm, 40 cm, 60 cm, 80 cm dan 100 cm, ditempatkan pada setiap kombinasi perlakuan. Kadar air tanah diukur dengan menggunakan sensor kadar air tanah yang dipasang minggu ke duasetelah tanam. Sebelum alat digunakan, dilakukan kalibrasi pada masing-masing kedalaman dan perlakuan. Contoh tanah diambil dari masing-masing kedalaman sekitar 1 kg kemudian dikeringkan dan dioven selama 24 jam pada suhu 105 oC. Tanah kering oven dari masing-masing contoh kemudian dihaluskan dan diayak sehingga diameter partikel tidak lebih dari 1 mm. Hasil ayakan yang sudah ditimbang dimasukkan pada masing-masing gelas plastik yang telah diisi sensor, diberi tanda kedalaman dan perlakuan.Tiap gelas diberi lubang kecil-kecil pada dasarnya untuk drainase air. Tanah tersebut kemudian dimasukkan hingga volume tertentu (V) dan ditimbang, sehingga diperoleh berat kering tanah sebagai berikut : Wd =Wg,s,d - Wg,s (1) Wd
=
berat kering tanah (g)
Wg,s,d
=
berat gelas, sensor dan berat kering tanah (g)
Wg,s
=
berat gelas dan sensor (g)
Masing-masing gelas plastik yang sudah berisi tanah diberi air secara perlahan dan bertahap hingga terjadi drainase serta tanah menjadi jenuh. Setelah tiga hari dilakukan pengukuran pertama, yang dilanjutkan setiap hari hingga tanah menjadi kering.Pengukuran dilakukan terhadap berat masing-masing gelas (gram) dan tahanan, R (ohm) yang terbaca pada AVO meter. Kadar air selanjutnya dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: = 100 * (Wg,s,w - Wg,s,d) / Wd. 100 (2) θw = kadar air tanah secara gravimetri (% w) θw Wg,s,w = berat gelas, sensor dan tanah basah (g) Wg,s,d
=
berat gelas, sensor dan berat kering tanah g)
Wd
=
berat kering tanah (g)
Setelah volume tanah (V) didapatkan dari masing-masing contoh tanah yang dikalibrasi maka nilai tahanan tersebut dapat dikonversi langsung menjadi kadar air secara volumetri (θv). θv= θw . Wd / V θv= kadar air tanah secara volumetri (% v)
(3)
θw= kadar air tanah secara gravimetri (% w) Wd = berat kering tanah (g)
V= volume tanah (cm3) Data hasil pengukuran kadar air tanah (θv) dan hambatan listrik (R) selanjutnya diplotkan dan kurva kalibrasi dapat diturunkan menggunakan persamaan yang relevan.
Neraca Air
Perhitungan neraca air didasarkan pada masukan ( input) dan keluaran (output) air pada lahan tanaman kentang tiap perlakuan. t = t-1 + Pt - (ETat + Rot ) (4) sehingga, ETat + Rot= t-1 - t + Pt ETat = evapotranspirasi aktual hari ke t (mm), Rot t
=
limpasan permukaan hari ke t (mm)
=
kadar air tanah hari ke t (mm)
t-1 Pt
=
kadar air tanah hari ke t-1 (mm)
=
curah hujan hari ke t (mm)
(5)
HASIL DAN PEMBAHASAN Kalibrasi Alat Ukur Kadar Air Tanah Kadar air tanah diukur dengan menggunakan prinsip hambatan listrik, sehingga dibuat hubungan antara kadar air tanah (% volume) dengan hambatan listrik (kΩ)pada semua percobaan yang disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil kalibrasi hubungan antara kadar air tanah (% volume) dengan hambatan listrik (ohm dalam kΩ) pada percobaan pertama, kedua dan ketiga.
Kedalaman Tanah (cm)
Percobaan pertama
Percobaan kedua
Persamaan Kalibrasi
R2
Persamaan Kalibrasi
10
y= 51,56x-0,43
0,99
20
y=39,83x-0,44
Percobaan ketiga R2
Persamaan Kalibrasi
y=43,81x-0,4
0,92
y=57,02x-0,71
0,98
0,98
y=37,26x-0,37
0,89
y=59,78x-0,46
0,95
40
y=39,07x
-0,36
0,97
y=61,81x
-0,35
0,98
y=57,82x
-0,99
0,97
60
y=42,99x-0,40
0,99
y=66,99x-0,35
0,99
y=65,28x-0,53
0,97
80
y=29,67x
-0,47
0,96
y=71,14x
-0,34
0,99
y=43,98x
-0,44
0,97
100
y=42,32x-0,38
0,97
y=54,38x-0,30
0,99
y=51,73x-0,49
0,95
R2
Tabel 1 menunjukkan, bahwa alat ukur mampu mengukur kisaran kadar air tanah yang lebar (dari basah hingga kering) dengan koefisien determinasi yang sangat tinggi (R 2 ≥0,89) pada semua percobaan.
Profil Kadar Air Tanah Profil kadar air tanah dari berbagai perlakuan menunjukkan variasi yang sangat beragam (Gambar 1). Perubahan kadar air tanah terbesar terjadi hingga kedalaman 60 cm yang menunjukkan kedalaman dengan aktivitas evaporasi dan penyerapan air tertinggi oleh akar tanaman kentang. Perubahan kadar air tanah yang besar dan bervariasi sampai kedalaman 60 cm tersebut berhubungan penggunaan air oleh tanaman kentang dalam bentuk evapotranspirasi.Evapotranspirasi dapat mengurangi simpanan air tanah karena air hujan yang jatuh pada permukaan tanah lebih banyak yang hilang melalui limpasan permukaan langsung, akibat kapasitas infiltrasi ke dalam tanah yang terbatas. Perubahan kadar air tanah di bawah kedalaman 60 cmmakin berkurang, dan pada kedalaman 80 - 100 cm hampir tidak terjadi lagi perubahan. Fenomena ini juga berhubungan dengan laju perkolasi yang makin berkurang dengan kedalaman tanah (Gambar 1). Akar tanaman kentang memiliki percabangan lebat dan agak dangkal, sekitar 90% berada pada kedalaman 50 - 60 cm dari permukaan tanah, sehingga sampai kedalaman 60 cm ini cenderung rentan terhadap cekaman kekurangan air (Rubatzky dan Yamaguchi 1998).Menurut Stalham & Allen (2001), akar tanaman dapat mencapai kedalaman lebih dari 80 cm dan tanaman yang mempunyai perakaran lebih dalam akan lebih tahan terhadap cekaman air karena mampu menyerap cadangan air pada lapisan tanah yang lebih dalam di samping lebih efisien terhadap pemberian air irigasi. Penelitian di Turki dengan kisaran suhu udara harian 7 - 25 oC mendapatkan bahwa pengaruh irigasi terhadap hasil kentang sangat nyata. Kehilangan air tanaman melalui evapotranspirasi pada perlakuan irigasi penuh mencapai kisaran 382 - 473 mm, sedangkan pada kontrol (tanpa irigasi) hanya 166 - 226 mm (Onder et al. 2005). Fabeiro et al. (2001); Ferreira dan Goncalves (2007) dan Unlu et al.(2006) menyatakan bahwa peningkatan hasil umbi akan diikuti oleh penggunaan jumlah air oleh tanaman yang lebih banyak.
Kedalam…
0
-20 -50
-100
Kadar Air… 30
-20
30
80
80
2
Perlakuan U1J2
-100 0
Perlakuan U2J1
30
80
-100
2
Perlakuan U3J1
Kadar Air…
0
30
-100
80
2
-50
Perlakuan U2J2
80
-50
-20
2
-50
30
-100
Kadar Air…
-20
0 Kadar Air Tanah (% V)
-20
2
-50
Perlakuan U1J1
Kedalama…
2
-50
-100
80
Kadar Air Tanah (% V)
0
Kedalam…
30
Kedalam…
-20
Kadar Air Tanah (%…
Kedalam…
Kedalam…
0
Perlakuan U3J2
Gambar 1. Profil kadar air tanah hingga kedalaman 1 m dari tiga waktu pengukuran, hari setelah tanam (HST).
Neraca Air Tanaman Kentang Komponen neraca air yang menunjukkan interaksi antara curah hujan, evapotranspirasi (ETa), limpasan permukaan (Ro), dan kadar air tanah (KAT) dari rata-rata seluruh perlakuan pada ketiga percobaan disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Komponen neraca air antar perlakuan selama pengukuran. Komponen Neraca Air
Curah hujan KAT Awal (mm/m) 1) KAT akhir (mm/m) 2) dKAT ETa+Ro (mm) Rata-rata ETa+Ro (mm)/J1,J2 Rata-rata ETa+Ro (mm)
Perlakuan U1 1470 314 210 105 1365 1393 1424
Keterangan :1)pengukuran pada 26 Hari Setelah Tanam (HST),
J1 U2 1470 228 252 -24 1494
2)
U3 1470 391 240 151 1320
U1 1470 202 180 21 1449 1455
J2 U2 1470 212 183 29 1441
U3 1470 219 225 -7 1477
101 HST.
Kehilangan air tanaman dalam bentuk ETa+Rotergantung dari simpanan KAT sebelumnya. Jika tanah dalam kondisi padat maka laju infiltrasi tanah menjadi rendah, sehingga saat curah hujan tinggi air sulit terinfiltrasi ke dalam tanah yang menyebabkan Ro menjadibesar. Sebaliknya, jika tanah gembur maka laju infiltrasi meningkatyang menyebabkan Ro berkurang dan KAT meningkat.Pada penelitian ini nilai KAT bervariasi antar kedalaman pada setiap perlakuan dan antar percobaan. Menurut Biggs et al. (2008) perbedaan KAT pada kedalaman yang sama (berlainan petak) disebabkan oleh perbedaan kehilangan air tanah melalui proses evapotranspirasi dan perbedaan kemampuan menahan air oleh tanah yang disebabkan sifat fisika dan kimia tanah. Komponen neraca air terdiri dari curah hujan, evapotranspirasi, limpasan permukaan, dan kadar air tanah. Komponen curah hujan dan kadar air diukur langsung di lapang. Evapotranspirasi terdiri dari evaporasi yang merupakan proses penguapan di atas tanah dan transpirasi terjadi pada tanaman melalui stomata (Allen et al. 1998) dan sangat sulit dibedakan proses keduanya melalui pengukuran di lapang. Nilai kehilangan air tanaman kentang dalam percobaan ini dihitung sebagai ETa+Ro (evapotranspirasi aktual ditambah dengan limpasan permukaan).
Perhitungan menggunakan neraca air dalam penelitian ini menghasilkan jumlah ETa dan Ro yang tidak dapat dipisahkan. Untuk mengatasi hal ini, nilai evapotranspirasi (ETa) didekati darievapotranspirasi potensial (ETp) yang dihitung berdasarkan formula Penman (Penman 1948) sebagai fungsi dari cuaca. Dalam hal ini, nilai evapotranspirasi dianggap selalu dalam keadaan maksimum dan air bukan merupakan faktor pembatas.Nilai ETa+Ro, Ro dan ETp selama pengukuran pada Tabel 3. Tabel 3. Nilai ETa+Ro, ETp dan Ro.
Percobaan
Curah hujan ETa+Ro (mm) ETp(mm) Ro (mm)*
Rata-rata selama pengukuran Percobaan pertama1) 1470 1424 398 1027
Rata-rata per hari 20 19 5 14
Keterangan : *) Ro yang dihitung dengan asumsi ETa = ETp
Hasil percobaan menunjukkan nilai rata-rata ETa+Ro dari semua perlakuan sebesar 1424 mm untuk selang 75 hari, yang setara dengan 19 mm/hari. Nilai ini jauh lebih tinggi dari rata-rata evapotranspirasi potensial (ETp) sebesar 5 mm/hari. Dengan asumsi ETa = ETp, perbedaan nilai antara ETa+Ro dan ETp sebesar 14 mm/hari merupakan nilai limpasan permukaan (Ro). Nilai Ro ini erat hubungannya dengan kemiringan lahan 20% pada lokasi pertanaman kentang tersebut. Kondisi ini menunjukkan curah hujan yang mencapai permukaan tanah sedikit yang terinfiltrasi ke dalam tanah tetapi lebih banyak menjadi menjadilimpasan permukaan (Ro). Curah hujan yang tinggi (1470 mm), dengan Eta+Ro (1424 mm), dan Ro juga tinggi (1027 mm)pada percobaan ini menyebabkan simpanan kadar air selama pertumbuhan tanaman mengalami penurunan. Proses hilangnya air akibat evapotranspirasi merupakan salah satu komponen penting karena dapat mengurangi simpanan air dalam tanah dan tanaman.Ferreira dan Carr (2002) menyatakan bahwa evapotranspirasi total tanaman kentang pada iklim kering di Timur Laut Portugal berkisar antara 150-550 mm, tergantung dari sistem irigasi dan lamanya musim tanam. Onder et al. (2005) menambahkan bahwa kisaran ETa kentang adalah 166-473 mm. Jika ETa+Ro lebih besar dari curah hujan maka kadar air tanah berkurang. Jika kondisi ini terjadi terus menerus akan menyebabkan defisit air, sehingga tanaman kentang menjadi kekurangan air. Sebaliknya, jika ETa+Ro lebih besar dari curah hujan maka kadar air tanah akan bertambah. Evapotranspirasi yang tinggi dapat menurunkan kadar air tanah yang ada, untuk itu diperlukan upaya penambahan air melalui pengairan tambahan seperti penyiraman dan irigasi. Laureti dan Marras (1995) mendapatkan hubungan linier antara peningkatan hasil tanaman pada aplikasi pemberian air sampai 100% evapotranspirasi. Estragnat dan Garric (1991) menyatakan bahwa di Perancis aplikasi irigasi setara 50% evapotranspirasi cukup untuk memperoleh hasil yang maksimum, sedangkan di Northem Greece disarankan untuk aplikasi irigasi setara 75% evapotranspirasi tanaman (Kauotroubas et al. 2000).
KESIMPULAN 1. 2.
Perubahan kadar air tanah terbesar terjadi hingga kedalaman 60 cm. Perubahan kadar air tanah di bawah kedalaman 60 cmmakin berkurang, dan pada kedalaman 80 - 100 cm hampir tidak terjadi lagi perubahan. Hasil percobaan dengan curah hujan 1470 mm menghasilkan rata-rata kehilangan air dalam bentuk ETa+Ro dari semua perlakuan sebesar 1424 mm untuk selang 75 hari pengukuran,setara dengan 19 mm/hari.
DAFTAR PUSTAKA AllenRG, Pereira LS, Raes D, Smith M. 1998. Crop evapotranspiraton: guidelines for computing crop water requirements. FAO irrigation and drainage paper, 56. FAO. Rome Anandale JG, Benade N, Jovanovie NZ, Steyn JM, Sautoy DUN. 1999. Facilitating irrigation scheduling by means of the soil water balance model, University of pretoria, Submitted to Water Research Commission. Biggs TW, Mishra PK, Turral H. 2008. Evapotranspiration and regional probabilities of soil moisture stress in rainfed crops, southern India. Agricand Forest Meteo 148:1585-1597. FabeiroC, de Santa Ollala FM, de Juan JA. 2001. Yield and size of deficit irrigated potatoes. Agric. Water Mngt. 48 : 255-266. Ferreira TC and Goncalves DA. 2007. Crop-yield/water-use production functions of potatoes (Solanum tuberosum, L.) grown under differential nitrogen and irrigation treatments in a hot, dry climate. Agric. Water Mngt. 90: 45 - 55. FerreiraTC, and Carr MKV. 2002. Responses of potatoes (Solanum tuberosum L.) to irrigation and nitrogen in a hot, dry climate. Field Crops Research 78:51-64. Kirnak, H, Short TH. 2001. An evaporation model for nursery plant grown in a lysimeter under field conditions,
Turk J Agric for 25:57-63.
Koutroubas SD, Papakosta DK and Dioitsinis A. 2000. Water requirement for castor oil crop (Ricinus communis L). In a Mediaterranean climate. J Agron and Crop Science. 184:241-253. Laureti D, Marras G. 1995. Irrigation of castor (Ricinus communis L) in Italy. Eur J Agron. 4:229-235 NasirAA. 1993. Neraca Air dan Prosedur Analisisnya. Diktat Kuliah. Geofisika dan Meteorologi, FMIPA-IPB. Bogor. OnderS, Caliskanb ME, Ondera D, Caliskan S. 2005. Different irrigation methods and water stress effects on potato yield and yield components. Agric. Water Mngt. 73: 73-86. Rubatzky EV, Yamaguchi M. 1998. Sayuran Dunia: Prinsip, Produksi dan Gizi, Jilid 1/Vincent. Bandung. Institut Tehnologi Bandung. SeyhanE. 1995. Dasar-Dasar Hidrologi. Gadjah mada University Press. Yogyakarta StalhamMA, Allen EJ. 2001. Effect of variety, irrigation regime and planting date on depth, rate, duration and density of root growth in the potato (Solanum tuberosum) crop. J Agric Science. Cambridge. 137 : 251270. Steyn JM, Kabago DM and Annanade JG. 2007. Patato grown and yield responses to irrigation regimes in contrasting seasion of a subtropical region. African Crop Science Conference Proceeding. 8:1647-1651. SutapradjaH. 2008. Pengaruh jarak tanam dan ukuran umbi bibit terhadap pertumbuhan dan hasil kentang varietas Granola untuk bibit. J. Hort. 18 (2) : 155-159. Unlu MR, Kanber, Senyigit U,Onaran H, Diker K. 2006. Trickle and sprinkler irrigation of potato ( Solanum tuberosum L.) in the Middle Anatolian Region in Turkey. Agric. Water Mngt. 79 : 43-71 Xiong D. 2008. Estimation of Daily Evapotranspiration by Three-Temperatures Model at Large Catchment Scale.
The International Archieves of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Science. Vol.37 Part B8.