KEKURANGAN VITAMIN A PADA KELOMPOK BAY1 DAN FAKTOR

Download bahwa masalah KVA (Kekurangan Vitamin diperiksa mempunyai nilai serum ...

0 downloads 363 Views 529KB Size
PGM 2003,26(2): 20--26

Kekurangan vitamin A pada kelompok beyi

Muherdiyantiningsih; dkk

KEKURANGAN VITAMIN A PADA KELOMPOK BAY1 DAN FAKTOR YANG BERHUBUNGAN Dl KABUPATEN BOGOR Muherdiyanfiningsih; Nuning M. Kiptiyah; Muhilal; Sri Martufi Frank J. Weringa dan MarjoleineA. Dijkhuizen

ABSTRACT VITAMIN A DEFICIENCY AND ITS RELATED FACTORS IN INFANTS IN BOGOR DISTRICT Background: Based on clinical indicators, vitamin A deficiency in lndonesia is not a public health pmblem because the prevalence of xerophthalmia has been decreased to 0.34%. But, this decrease has not been followed by a decrease of marginal deficiency of vitamin A in vulnerable gmups, especially infants. Methods: The cross-sectional baseline study was conducted at Bogor District. The aim of the study was to collect information about the vitamin A status of the breastfed infant, and to l w k for a relationship between many factors related to it. The samples were 183 breastfed infants aged 2 - 4 months without chronic disease, congenital disease, severe PEM nor twins. The chi-square and the prevalence odds ratio (POR) at the 95% confidence interval were used to measure the association between variables. Multiple logistic regression analysis was used to measure the closest factors to infant's vitamin A status. Results: The study showed that 54.1% of breastfed infants were at risk of vitamin A deficiency. Based on bivariate analysis, there are two significant independent variables related to infants vitamin A status, which are maternal vitamin A status and infant infection status. Multiple logistic regression analysis showed that infection status is the closest factor to vitamin A deficiency in infants, followed by matemal vitamin A status and breast feeding frequency.There are no significant association between supplementary feeding, age, nutritional status and the infant's vitamin A status. Conclusions: Marginal vitamin A deficiency in infants aged 2-10 months is still a public health problem in the research area. The infection status is the closest factor to vitamin A deficiency in infants, followed by matemal vitamin A status and breast feeding frequency. [Penel Gizi Makan 2003,26(2): 2&26]. Key Words: vitamin A deficiency, breast feeding, infection, complementary feeding,infant

PENDAHULUAN uwei nasional tahun 1993 menunjukkan bahwa masalah KVA (Kekurangan Vitamin A), yang diindikasikan dengan prevalensi Bercak Bitot, bukan merupakan masalah kesehatan masyarakat lagi. Angka Bercak Bitot ada pada 0 3 % (1). Menurut WHO World Health Organization), KVA merupakan masalah kesehatan masyarakat, bila angka bercak Bitot 0,5% (2). Walaupun tejadi penurunan KVA secara klinis, ha1 tersebut tidak disertai dengan penurunan KVA marginal. Dengan indikator retinol dalam serum S 0,70 pmoln sebagai KVA marginal, maka saat ini angka KVA masih mengkhawatirkan. Angka KVA pada anak balita di lndonesia Bagian Timur adalah sebesar 62,5% (3), sedangkan angka KVA di tujuh provinsi di lndonesia adalah sebesar 50,6% (4). Kriteria terbaru yang ditetapkan WHO yang merujuk pada nilai vitamin A dalam serum

S

menyebutkan bahwa bila >20% anak balita yang diperiksa mempunyai nilai serum <0,70 pmoVI, maka besar masalah KVA di daerah itu tergolong berat (5). Masalah KVA saat ini tidak hanya dikaitkan dengan kebutaan. Masalah kelulushidupan anak (child survival) sangat eat kaitannya dengan masalah KVA (6). Analisis meta yang dilakukan oleh Beaton et. al, yang menguji beberapa peneliian di Asia, termasuk Indonesia, menyimpulkan bahwa penurunan angka kematian anak prasekolah karena intewensi vitamin A sebesar 30%. Penelitian yang dilakukan di Bogor oleh Muhilal, dkk mendapatkan bahwa angka kernatian anak balita di daerah yang mendapat fortifikasi vitamin A lebih rendah secara signifikan dibanding daerah kontrol(7).

PGM 2003,26(2): 20-26

Kekurangan vitamin A pada kelornpok bayi

Masalah penting yang perlu digarisbawahi adalah bahwa KVA marginal sudah tejadi pada usia yang dini, yakni usia bayi, bahkan kurang dari 6 bulan. Hasil temuan secara terserak di Jawa Tengah menunjukkan bahwa KVA marginal pada bayi yang diperiksa sebesar 3676,5% (8,9). Kondisi ini perlu diwaspadai mengingat berbagai konsekuensi yang ditimbulkan sebelum lejadinya xemflalmia, yakni peningkatan infeksi berat, anemia, menurunnya ketahanan terhadap penyakit, dan hambatan pertumbuhan. Bila masalah KVA marginal ini dapat ditangani, maka konsekuensi yang lebih berat dan mahal tersebut dapat dihindari. Jawa Barat, khususnya Kabupaten Bogor, me~pakandaerah rawan KVA. Angka prevalensi KVA pada ibu hamil, ibu menyusui dan anak balita masing-masing sebesar 33,5%; 36%, dan 52,3% (10, 11, 12). Melihat pola menyusui bayi yang menunjukkan masih kuatnya tradisi pemberian AS1 pada masyarakat desa, maka me~pakaninfonasi yang bermanfaat bila dapat diketahui hubungan status vitamin A ibu dan status vitamin A bayi. Faktor lain yang digali hubungannya dengan KVA pada bayi adalah umur bayi, pemberian ASI, pemberian MP-ASI, status gizi bayi, dan status infeksi. Tujuan dari penulisan ini adalah mengetahui besarnya masalah KVA pada bayi dan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tejadinya KVA marginal pada bayi.

BAHANDANCARA Desain penelitian ini adalah cross sectional yang memanfaatkan data hasil penelitian pendahuluan (baseline data) dengan sampel penelitian bayi menyusu usia 2-10 bulan. Penelitian dilakukan di Kabupaten Bogor dengan pertimbangan proporsi KVA marginal masih tinggi pada beberapa kelompok rawan. Ditetapkan Kecamatan Cibungbulang secara purposif, kemudian dipilih Desa Situ Udik dan Desa Situ Ilir. S e l u ~ hbayi yang ada di dua desa tersebut dan memenuhi kriteria, diikutsertakan dalam penelitian. Besar sampel dihitung dengan pertimbangan bahwa proporsi KVA marginal pada

Muherdiyantiningsih; dkk

penelitian lain 0,60; pada penelitian ini perbedaan proporsi sebesar lo%, dengan tingkat kepercayaan 95%, dan kekuatan uji sebesar 80%, maka jumlah sampel yang diperlukan adalah 183 bayi (13). Sampel yang diikutsertakan dalam penelitian ini adalah yang memenuhi kriteria sebagai berikut: umur bayi 2-10 bulan, bayi mendapatkan ASI, tidak menderita kelainan bawaan, TB paru dan KEP berat, serta bukan bayi kembar. Sebelum diikutsertakan dalam penelitian, responden diberi penjelasan mengenai risiko dan manfaat penelitian dan berhak menolak atau mengundurkan din tanpa dikenakan sanksi apapun. Dilanjutkan dengan penandatanganan inform concern. Data yang dikumpulkan meliputi: data identitas sampel, riwayat pemberian ASI, dan makanan pendamping AS1 yang dilakukan oleh ahli gizi dengan wawancara. Data kesehatan bayi selama sebulan terakhir, pemeriksaan fisik bayi dan ibu dilakukan oleh dokter anak. Data biokimia darah bayi dan ibu meliputi kadar retinol plasma bayi dan ibu serta CRP (C-reactive protein) bayi dilakukan oleh analis kimia yang terlatih. Serta data antmpometri bayi meliputi berat badan (BE) dan tinggi badan (TB) bayi dilakukan oleh lenaga pengukur berpengalaman. S e l u ~ h anggota tim lapangan yang terlibat dalam pengumpulan data, baik melalui wawancara, pemeriksaan fisik, pengambilan spesimen maupun pengukuran antmpometri, mendapat pelatihan agar diperoleh persepsi dan standar keja yang sama antarpetugas. Agar diperoleh data yang sahih, petugas pengumpul data dihawskan menguji coba kuesioner terlebih dulu. Penimbangan berat badan bayi dilakukan dengan menggunakan timbangan berat badan nondigital model MP 25 (buatan CMS Weighing Equipment Ltd. Inggris) dengan ketelitian 0.1 kilogram. Panjang badan bayi diukur dengan pengukur panjang badan yang mempunyai ketelitian pembacaan 0,l cm. Penetapan status gizi bayi didasarkan pada skor-z (2-score) dengan baku WHO-NCHS (World Health OrganizationUnited States National Center for Health Statistics) menurut indeks BBlU (Berat Badan menurut

PGM 2003,26(2): 2C-26

Kekurangan vitamin A pada kelompok bayi

Umur). Bayi disebut KEP (Kurang Energi Pmtein) bila skor-z kurang dari -2 SD. Analisis retinol ditentukan dengan alat HPLC (High Peflwmance Liquid Chromatography), sedangkan penentuan CRP dilakukan dengan metode ELlSA (Enzyme Linked Immunoassays). Status vitamin A bayi dan ibu dikategorikan menurut krileria WHO, yakni bila kadar retinol dalam plasma <0,70 pmolfl disebut KVA (5). Status infeksi bayi ditetapkan berdasar kadar CRP dalam darah. Bayi dikategorikan menderita infeksi bila kadar CRP r10 pglml. Uji khai kuadrat dengan derajat kemaknaan sebesar 5% digunakan untuk mendeskripsikan faktor yang berhubungan dengan status vitamin A bayi usia 2-10 bulan. Odds ratio (OR) dengan selang kepercayaan 95% dipakai untuk mengukur kuatnya hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen yang memiliki dua kategori. Sementara uji regresi logistik ganda digunakan untuk melihat faktor yang paling berpengaruh atau bemubungan dengan status vitamin A anak. Variabel independen yang disertakan sebagai variabel kandidat dalam analisis regresi logistik ganda adalah yang mempunyai niiai p<0,25 dari analisis bivariat atau yang secara substansial penting (14).

Status Vitamin A Bay1 Dan 183 subjek bayi usia 2-10 bulan yang memenuhi syarat penelitian, nilai rata-rata konsentrasi vitamin A serumnya adalah 0,68 p

Muherdiyantiningsih; dkk

0,216 pmolll, sedikit di bawah nilai normal, yakni 0,70 pmolll. Bila dikategwikan menurut kriteria WHO atas dua kategori, yakni KVA (vitamin A serum <0,70 pmolll) dan normal (vitamin A serum r 0,70 pmolll), maka proporsi KVA adalah 54,1%, Faktor-faktor yang Bemubungan dengan KVA pada Bayi Hasil Analisis Bivariat Pada Tabel 1 disajikan hasil uji khaikuadrat dan nilai c ~ d odds e ratio (OR) berbagai faktor yang diteliti. Hasilnya dapat disimpulkan bahwa berdasarkan analisis bivariat, faktor yang berhubungan secara bermakna dengan kekurangan vitamin A pada bayi adalah ibu yang KVA dan bayi yang mengalami infeksi. Umur bayi >4 bulan dan bayi yang KEP menunjukkan risiko yang cukup tinggi. Namun, kedua faktor tersebut tidak bermakna. Anak yang mendapatkan AS1 610 kali sehari mempunyai risiko 0,56 kali dibandingkan dengan anak yang mendapat AS1 >I0 kali. Setelah distratifikasi menurut kelompok umur, besamya risiko tetap. Tidak ada perbedaan lamanya pemberian AS1 antara kelompok yang mendapat AS1 610 kali sehari dengan yang mendapatASI>lO kali sehari (X = 1,096 ; p = 0,29). Anak yang tidak mendapat MP-AS1 mempunyai risiko menderita KVA 1,29 kali dibandingkan dengan anak yang mendapat MPAS1 (95% CI: 0,63-2,64).

Kekurangan vitamin A pada kelompok bayi

PGM 2003,26(2): 20-26

Muherdiyantiningsih; dkk

label 1 Faktor yang Berhubungandengan KV/ ada Bayi Berdasarkan Analisis Bivaria

I Faktor

I Status Vitamin A Bayi Normal

P (2-sisi)

Crude OR

95%CI

Ibu KVA Ibu Normal Umur Bayi ! 4 bulan Umur bayi 6 4 bulan

64

Bayi KEP Bayi Normal Bay1infeksi Bayi Sehat Pemberian AS1 S 10 kali Pemberian AS1 ! 10 kali

48

Tidak diberi MP-AS1 23 Diberi MP-AS1 76 Keteranaan: Hubungan bermakna pada P<0,05

16 68

Hasil Analisb Multivariat Untuk mengetahui faktor yang paling berhubungan dengan status vitamin A anak, diiakukan analisis munivariat regresi logistik ganda. Variabel independen yang disertakan sebagai variabel kandidat dalam analisis multivariat adalah variabel yang mempunyai P kurang dari 0,25, berdasarkan analisis bivariat, atau bila secara substansial variabel tersebut penting (14). Berdasarkan ini, semua faktor diseltakan dalam analisis regresi logistik ganda. Hasilnya dapat

dilihat pada Tabel 2. Nampak bahwa di antara faktor-faktor lain yang berhubungan signifikan (ibu KVA dan pemberian AS1 510 kali), bayi yang mengalami infeksi adalah faktor yang paling bemubungan dengan KVA pada bayi (p = 0,007) dengan nilai OR tertinggi. Bayi yang mengalami infeksi mempunyai risiko 5 kali lebih dibandingkan dengan bayi sehat (OR = 5,17; 95% Cl = 1,5& 17,13). Diikuti oleh ibu yang menderita kekurangan vitamin A, sebagai faktor yang paling bemubungan dengan KVA pada bayi.

Kekurangan vitamin A pada kelompok bayi

PGM 2003,26(2): 22'-26

Muherdiyantiningsih;dkk

Tabel 2 Faktor yang Paling Bemubungan dengan KVA pada Bayi

I

FaMor Ibu KVA Bayi lnfeksi AS1 S10 kali Bayi ! 4 bulan Bayi KEP Tidak diberi MP-AS1

1

P

I

OR

I

95% CI OR

]

0,009 0,007 0,040 0,238 0,266 0,339

Keteranaan: ' Hubungan bermakna pada P<0,05 Bayi yang ibunya mengalami KVA mempunyai risiko 3 kali lebih dibandingkan dengan bayi yang ibunya normal (OR = 3,12; 95%CI = 1,32-7,36). Sementara itu, bayi yang mendapat AS1 510 kali mempunyai risiko 0,51 kali dibandingkan dengan yang mendapat AS1 >10 kali (OR = 051; 95% CI = 0,27-4,97). Faktor umur bayi ! 4 bulan, KEP dan tidak diberi MP-AS1 bukan merupakan faktor-faktor yang berhubungan secara bermakna terhadap terjadinya KVA pada bayi.

PEMBAHASAN Gambaran Status Vitamin A Bayi 2-10 Bulan Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rata-rata kadar retinol darah bayi 0,679 i 0,216 pmolil. Muhilal di Bandung (1985) mendapatkan angka rata-rata sebesar 0,644 i 0,336 pmolll pada bayi usia 7-11 bulan (15). Saidin S (1987) di 60 desa di Kabupaten Bqor mendapalkan angka rata-rata vitamin A serum sebesar 0,655 f 0,137 pmolil pada bayi usia 2 bulan dan 0,620 i 0,203 pmolll pada bayi 7 bulan (16). Bila diperhatikan angka rata-rata vitamin A serum pada bayi berdasarkan beberapa penelitian terserak tersebut tidak menunjukkan perbedaan yang mencolok. Hal ini memberi gambaran bahwa status vitamin A pada bayi dalam keadaan marginal. Selanjutnya diperoleh hasil bahwa ada 54,1% bayi yang rnempunyai kadar vitamin A serum <0,70 pmolil. SlolMus di Jawa Tengah (1993) mendapatkan proporsi bayi usia 6 bulan yang KVA (retinol serum <0,52 pmolll) sebesar

36% (8). Sementara A d i ~ a(1997) mendapatkan sebesar 76,556 bayi yang diteliti di Jawa Tengah mempunyai kadar vitamin A serum <0,70 pmolll (9). Perbedaan proporsi KVA pada penelitian ini dengan penelitian Stoltzfus terletak pada perbedaan nilai titik potong yang digunakan. Ada kernungkinan bahwa bila digunakan titik potong yang sama akan dipemleh hasil yang sama. Dengan menggunakan batasan masalah KVA di suatu wilayah yang ditetapkan WHO (1996), maka proporsi KVA sebesar 54,1% pada bayi mengindikasikan masih perlu diwaspadainya masalah KVA di daerah penelitian. Faktor-faktor yang Bemubungan dengan KVA pada Bayi Status lnfeksi Pada peneliian ini, keadaan infeksi pada bayi merupakan faktor yang paling berhubungan dengan KVA. Hasil anaiisis multivariat menunjukkan bahwa bayi yang menderita infeksi berdasarkan kadar CRP mempunyai risiko mengalami KVA sebesar 5 kali lebih dibandingkan dengan bayi yang sehat (OR = 517; 95% CI: 1.56-17,13) (Tabel2). Seperti diungkapkan oleh berbagai penelitian, antara lain penelitian Sulaiman (1989) di Purwakarta, Jawa Barat, terdapat hubungan yang bermakna antara riwayat diare dengan kadar vitamin A dalam serum. Anak yang mempunyai riwayat diare, kadar vitamin A serumnya lebih rendah dibandingkan dengan anak yang tidak mernpunyai riwayat diare (17). Penyakit infeksi

PGM 2003,26(2): 20--26

Kekurangan vitamin A pada kelompok bayi

jyla memberikan risiko yang lebih besar dibandingkan dengan anak yang sehat untuk mengalami xemftalmia. Hal ini diungkapkan oleh Sommer dkk (1987) di perdesaan di Pulau Jawa. Temuannya adalah bahwa anak balita yang menderita penyakit infeksi saluran pemapasan dan atau riwayat diare, mempunyai risiko xemftalmia 2,5 kali dibandingkan dengan anak yang sehat setelah 18 bulan pengamatan. Pada bayi risiko tersebut 5,5 kali (18). Dan gambaran penelitian-penelitianyang telah dilakukan dan hasil penelitian ini menunjukkan adanya konsistensi bahwa terdapat asosiasi yang kuat antara status infeksi dengan status vitamin A dan sebaliknya, meskipun cara pengukuran status infeksi tersebut berbeda. Status Vitamin A Ibu Faktor lain yang paling berhubungan dengan masalah KVA pada bayi adalah keadaan kekurangan vitamin A yang tejadi pada ibu menyusui. Besamya risiko bayi untuk mengalami KVA adalah 3 kali bila ibu mengalami KVA dibandingkan dengan jika ibu yang tidak KVA (OR = 3,12; 95% CI: 1,33--7,36) (Tabel 2). Telah diketahui bahwa salah satu faMw yang menentukan status gizi bayi menyusu adalah status gizi ibu. Demikian pula dengan status vitamin A bayi. Meialui ASI, kualitas makanan yang dikonsumsi oleh ibu terefleksikan ke dalam kandungan zat gizi yang ada dalam ASI, yang selanjutnya dikonsumsi bayi. Sebelum mencapai jaringan atau sel target, vitamin A berada dalam darah dalam bentuk retinol (19). Oleh sebab itu kandungan retinol dalam darah ibu secara tak langsung dapat menentukan status vitamin A bayi menyusu. Beberapa penelitian mengungkapkan kuatnya hubungan status vitamin A ibu dengan status vitamin A bayi. Saidin S (16) di Kabupaten Bogor mendapatkan bahwa pemberian kapsul vitamin A 400.000 IU kepada ibu masa nifas tidak saja meningkatkan vitamin A dalam AS1 ibu, melainkan juga status vitamin A serum bayi secara bermakna hingga 4 bulan dibandingkan dengan kelompok kontrol. Keterbatasan penelitian ini adalah tidak adanya data kandungan vitamin A dalam AS1 yang dapat menjelaskan hubungan antara status vitamin A ibu dan status vitamin A

Muherdiyantiningsih; dkk

bayi melalui ASI. Data yang dapat diolah hanya data lrekuensi pemberian AS1 dalam sehari yang memberi petunjuk bahwa frekuensi AS1 daiam sehari sangat lemah bila dipakai sebagai ukuran jumlahlvolume ASI, apalagi kandungan vitamin Anya. Pemberian AS1 Angka odds ratio yang menggambarkan risiko pemberian AS1 terhadap status vitamin A bayi menunjukkan bahwa pemberian AS1 610 kali sehari memberi efek perlindungan terhadap kejadian KVA pada bayi sebesar 49% (OR = 0,51; 95% CI: 0,27--0,97) dibandingkan dengan bayi yang mendapat AS1 >I0 kali sehari (Tabel 2). Setelah dikontml dengan umur, tidak terdapat perbedaan angka OR. Berbeda dengan hasil penelitian ini, di lndia diungkapkan bahwa efek perlindungan sebesar 68% terhadap terjadinya xeroftalmia dipemleh kelompok anak yang mendapat AS1 >10 kali sehari dibandingkan dengan anak yang tidak mendapat ASI. Agak sulit membandingkan kedua penelitian tersebut karena nampaknya kurang komparabel, baik umur sampel, tingkatan KVA-nya, maupun pembandingnya. Namun, pembandingan ini dilakukan mengingat penulis tidak mendapatkan penelitian lain yang serupa. Penelitian ini mengamati hubungan pemberian AS1 kurang dari 10 kali dibandingkan dengan >10 kali sehari terhadap KVA tingkat marginal pada bayi. Sementara penelitian di lndia mengamal hubungan pemberian AS1 >10 kali sehari dibandingkan dengan tidak diberi AS1 terhadap kejadian xemftalmia pada anak balita sehingga halha1 tersebut yang mungkin menyebabkan kedua penelitian tersebut memberikan hasil yang berbeda. Adanya efek perlicdungan terhadap KVA pada kelompok bayi yang mendapat AS1 610 kali sehari dapat tejadi karena adanya kemungkinan bahwa kelompok ini lebih banyak yang mendapat MP-AS1 daripada kelompok bayi yang mendapatkan AS1 >10 kali. Hasil analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa kelompok bayi di atas 4 bulan dan diberi AS1 610 kali, yang mendapatkan MP-ASl sejumlah 89% dibandingkan dengan 75% pada kelompok st0 kali.

PGM 2003,26(2): 20-26

Kekurangan vitamin A pada kelompok bayi

Alasan lain adalah adanya kemungkinan bahwa frekuensi pemberian AS1 tidak menggambarkan volume AS1 yang dikonsumsi bayi. Artinya, bayi yang mendapat AS1 810 kali sehari belum tentu volume AS1 yang diminum lebih rendah dari mereka yang mendapat AS1 >10 kali sehari.

1.

2.

Dengan besarnya proporsi bayi KVA 541% di daerah penelitian, kekurangan vitamin A pada kelompok bayi masih me~pakanmasalah kesehatan masyarakat tingkat berat. Faktor yang paling berhubungan dengan kekurangan vitamin A pada kelompok bayi secara bermakna adalah bayi yang mengalami infeksi, ibu yang KVA dan frekuensi minum AS1 810 kali sehari.

RUJUKAN 1.

Muhilal, dkk. Changing Prevalence of Xerophthalmia in Indonesia, 1977-1992. Eur J Clin Nuir 1994: 48: 708-14. 2. WHO. Control of Vitamin A Deficiency and Xeroffalmia. Geneva: WHO, 1982. TRS 672. 3. Muhilal, dkk. Masalah Kekurangan Vitamin A dan Xeroftalmia di Empat Provinsi Wilayah lndonesia Bagian Timur. GM lndon 1991, XVI (1-2): 1 4 . 4. Tarwotjo lg. et al. Evaluasi Masalah Xeroflalmia Skala Nasional untuk Dasar Penyusunan Program PJPT II. Jakarta: Departemen Kesehatan RI, 1993. 5. WHO. indicators for Assessing Vitamin A Deficiency and their Application in Monitoring and Evaluating Intervention Pmgrammes. Geneva: WHO, 1996. 6. Soekirman 8 Latham MC. Sustainable Improvements in Nutrition in lndonesia. Gizi lndon 1993,18: 23-44. 7. Muhilal, et al. Vitamin A Fortified Monosodium Glutamat and Health, Growth, and Survival of Children: a Controlled Field Trial. Am J Clin Nutr1988,48: 1271-76.

Muherdiyantiningsih; dkk

Stoltzfus RJ, et al. High Dose Vitamin A Supplementation of Breast Feeding Indonesian Mothers: Effect on the Vitamin A Status of Mother and Infant. J. Nufr 1993,123 (4): 666-75. 9. Adina, R. Surveilens Epidemidogi Kurang Vitamin A di Jawa Tengah tahun 1995 hingga 1996. Skripsi. Depok: FKMUI, 1997. 10. Suhamo D, et al. Cross-sectional Study m the Iron and Vitamin A Status of Pregnant Women in West Java, Indonesia. Am J Clin Nutr 1992,56: 998-93. 11. De Pee S. et al. Lack of Improvement in Vitamin A Status with Increased Consumplion of Dark-green Leafy Vegetables. Lancet 1995, 346: 75-41, 12. Tanumiharjo SA, et al. Vitamin A Status of Indonesian Children Infected with Ascaris Lumbrimides affer Dosing with Vdamin A Supplement and Albendazole. J Nufr 1996,126: 451-57. 13. Lemeshow S, et al. Adequacy of Sample Size in Health Studies. Terjemahan. Ycgyakarta: Gadjah Mada University Press. 1997; 6-11. 14. Hosmer, DW & Lemeshow, S. Applied Logtic Reuression. Canada: John Wiley 8 Sons, 1989; 82-126. 15. Muhilal, et al. Dampak Pemberian Vitamin A Dosis Tinaai ~ a d aIbu Menvusui terhada~ Status ~ i t i h i nA Anak. penelif Gizi ~ a k a n 1985,8: 5--19. 16. Saidin S, et al. P e n g a ~ hPemberian Vitamin A Dosis Tinggi kepada lbu Menyusui terhadap Kadar Vitamin A Bayl. Penelit Gizi Makan 1987,lO: 55-65. 17. Sulaiman Z. Perubahan Ukuran Antmpometri Kaitannya dengan Status S e ~ mVitamin A Pada Anak Prasekolah. Tesis. Bogor: Fakultas Pascasajana IPB, 1989. 18. Sommer A. et al. increased Risk of Xerophthalmia Following Diarrhea and Respiratory Disease. Am J Clin Nuir 1987,45: 977-40. 19. Linder, M.C. Nutrition and Metabolism of Vitamin. Dalam: Nutritional Biochemistry and Metabolism with Clinical Applications. Second edition. USA: Prentice Hall, 1991. 8.