KEPEMIMPINAN KEPALA DAERAH (STUDI KASUS

Download Kepemimpinan Kepala Daerah (Studi Kasus Walikota Surabaya, Tri. Rismaharini dalam Perspektif Emotional Intelligence). PURWATI AYU RAHMI. Ma...

0 downloads 441 Views 455KB Size
Kebijakan dan Manajemen Publik

ISSN 2303 - 341X

Volume 3, Nomor 2, Mei-Agustus 2015

Kepemimpinan Kepala Daerah (Studi Kasus Walikota Surabaya, Tri Rismaharini dalam Perspektif Emotional Intelligence) PURWATI AYU RAHMI Mahasiswa Program Studi Ilmu Administrasi Negara,FISIP, Universitas Airlangga

ABSTRACT Tri Rismaharini, Mayor of Surabaya period 2010-2015 is the first female mayor democratically elected postreformation. She appeared as the transformational leadership that brings a remarkable achievement for Surabaya. Leadership style is often in the spotlight many parties and is always awaited by the public. Surabaya leader who mentioned as emotional leader, has not hesitate to upset if things go wrong and sometimes cry just like an ordinary woman. But she has a tremendous empathy and concern for its citizens This research will discuss about emotional intelligence which is owned by the Mayor of Surabaya, Tri Rismaharini measured from eighteen indicators were constructed by Daniel Goleman. This study used a qualitative descriptive wiht narrative research strategy. Research techniques informants were selected purposively, random and incidental. Data were obtained from interviews, observation, secondary data such as video recording, mass media and supporting literature books. Then validity data was measured using triangulation technique.This study showed emotional intelligence Tri Risma strong leadership in this aspect of self-emotional intelligence, confidence, achievement, initiative, optimism, service, developing others and a catalyst for change. However, Tri Risma is very weak in terms of self-control. Competence are not maximal accuracy of self-assessment, transparency, adaptability, empathy, awareness in organization, inspiring, influencing, conflict management, teamwork and collaboration. Keywords: emotional intelligence, Tri Rismaharini, leadership, Surabaya

Latar Belakang Masalah Pemimpin publik hari ini mengemban nilai-nilai perubahan untuk membawa organisasi publik untuk menjadi lebih profesional, akuntabel, transparan dan partisipatif. Pemimpin harus siap dengan segala dinamika dalam tubuh organisasi yang dipimpinnya. Dinamika ini identik dengan dinamika organisasi yang menggambarkan gejolak perubahan perilaku organisasi yang terjadi karena adanya interaksi antara individu dan individu, individu dan kelompok, serta kelompok dan kelompok. Dinamika organisasi dapat terjadi akibat pengaruh internal yang berupa konflik yang terjadi antar pelaku organisasi atau kohesifitas yang berlebihan dari kelompok organisasi yang merusak kerjasama dalam organisasi dan pengaruh eksternal berupa pengaruh faktor lingkungan seperti pasar, kondisi ekonomi, tekanan politik perubahan teknologi serta kondisi fisik lingkungan (Hutapea dkk, 2008:105). Hal ini berarti pemimpin memiliki peran ganda yakni yang pertama, bertanggung jawab membawa organisasi dalam menghadapi lingkungan diluar organisasi yang senantiasa berubah dan pada gilirannya memaksa oraganisasi untuk menyesuaikan diri. Tantangan yang dihadapi organisasi publik saat ini adalah bagaimana melayani masyarakat yang semakin maju dengan mobilitas yang tinggi secara efisien dan efektif melalui perwujudan e-government dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi dan informasi.Organisasi publik di Indonesia memerlukan sistem e-govenment guna: 1) mendukung praktik

demokrasi, 2) mewujudkan kesetaraan kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerrah, 3) memfasilitasi hubungan pemerintah pusat dan daerah, 4) prinsip keterbukaan, 5) transformasi era masyarakat informasi (Haryono dkk, 2015). Melalui penggunaan E-government, diharapkan pemerintah Indonesia mampu menyemimbangi kemajuan dunia global dan mewujudkan pembangunan melalui peningkatan pelayanan. Kondisi ini memerlukan kehadiran pemimpin yang memiliki jiwa kepemimpinan transformasional untuk mengawal para bawahannya dalam menjalankan perubahan seperti cita-cita reformasi birokrasi publik untuk mewujudkan good governance. Studi yang dilakukan oleh Hyson di London menunjukkan bahwa organisasi sektor publik identik dengan keputusasaan dan minimnya performa kinerja dari para karyawan. Mereka mengerjakan tugas mereka masing-masing secara sederhana dan kemudian kembali kerumah. Mereka menyepakati dan memenuhi kontrak kerja namun tidak memiliki ekspektasi untuk bekerja lebih maksimal. Disisi lain, kebanyakan pemimpin organisasi publik menempati posisi dimana mengharuskan mereka untuk bekerjasama dengan tim yang mewarisi nilai-nilai yang dibawa pemimpin terdahulu. Kondisi pemimpin baru harus memahami karakter staff yang beragam dengan kebiasaan, nilai bahkan permasalahan diantara mereka. Bisa juga staff yang memiliki prestasi di depan pemimpin terdahulu sebenarnya telah mengincar posisi pemimpin organisasi tersebut (Hyson, Peter, 2013:109-120).

112

Kebijakan dan Manajemen Publik

ISSN 2303 - 341X

Volume 3, Nomor 2, Mei-Agustus 2015 Bukan hal mudah bagi pemimpin untuk menciptakan budaya dan gaya kerja yang berbeda dari pemimpin terdahulu. Indonesia, dalam lima tahun terakhir ini telah mucul nama-nama kepala daerah reformasional. Nama yang paling menonjol adalah walikota Surabaya, Tri Rismaharini. Pada Senin, 2 Februari 2015, Tri Risma Harini dinobatkan menjadi walikota terbaik ketiga versi World Mayor Prize (WMP) 2014 (Jawa Pos, 2015:25&35). Bukan hanya itu, eberapa prestasi yang disabetnya untuk Surabaya antara lain Tabel 1.1. Capaian Prestasi Surabaya Tahun 2010-2014 N o 1 2 3

Level Pengharganan Lokal Nasional Internasional

2010 2011 4 3 3 15 1

Tahun 2012 2013 2014 14 3 1 30 28 4 2 3 -

Sebagai seorang kepala daerah Surabaya, Risma dikenal tegas dan perduli kepada masyarakat namun tidak jarang beliau menjadi pemimpin yang emosional. Beberapa media merekam emosi Tri Rismaharini, misalnya ketika dihadapkan pada pemberitaan dan kritik dari media massa mengenai pemerintahan yang ada di Surabaya. Mengutip dari suara republik news pada 17 oktober 2013, artikel dengan judul “Emosi, Risma Walikota Surabaya Labrak Wartawan Jawa Pos” (Suara Republik, 2103). Selanjutnya insiden kemarahan Ibu Risma ketika terjadi kerusakan Taman Bungkul pada Minggu, 11 Mei 2014 (Jawa Pos, 2015). Ketiga, ketika Ibu Risma menghadapi pegawai negeri sipil yang tidak disiplin, mengutip dari media Tempo Nasional. Ibu Risma setrap dua PNS baru pada acara pengangkatan PNS baru di Graha Sawunggaling pada 2014. Forum tersebut, Risma menanamkan sikap disiplin dan kerja keras melayani masyarakat dan beliau mengakui bahwa dalam mendisiplinkan pegawai, beliau kerap meluapkan emosinya dengan marah (Tempo, 2014). Emosi Ibu Risma juga muncul ketika dihadapkan pada hasil investigasi tim Ombudsman pada tahun 2013 terkait pungli di jajaran pemerintahan Surabaya (Merdeka, 2014). Terlepas dari ketegasannya dengan birokrat dan juga emosinya dikala kritikan muncul dari wartawan, Risma juga dikenal sangat perduli terhadap warga masyarakat Surabaya. Keperduliannya ditunjukkan ketika diketahui bahwa 77 penumpang pesawat Air Asia QZ8501 yang jatuh pada 28 Desember 2014 tersebut adalah warga Surabaya (Jawa Pos, 2014). Segala bentuk apresiasi, prestasi, pujian atau cercaan dan tuntuan pemimpin publik yang beragam membuat Risma sempat mengeluarkan pernyataan akan mengundurkan diri sebagai walikota Surabaya, namun seiring waktu pernyataan tersebut berganti dengan prestasi Surabaya. Sering kita amati di media massa bagaimana Risma meluapkan perasaannya,

misalnya tangisan, kemarahan, rasa simpati dan empati yang ditujukan bukan hanya kepada warga tapi juga PNS yang ada di Surabaya bahkan dihadapan media massa. Hal tersebut merupakan ungkapan emosi yang ditunjukkan oleh Risma selaku pemimpin publik. Emosi Ibu Tri Risma sebagai pemimpin dan manajer publik menjadi sebuah keunikan tersendiri untuk dibahas lebih lanjut. Beliau mampu memainkan emosinya dalam sebuah ketegasan sehingga mampu merubah budaya organisasi publik yang kaku dan lamban. Seorang pemimpin mutlak dibutuhkan kecerdasan emosional untuk mengenali nilai yang menuntun dirinya yang berimbas pada bagaimana pemimpin mengekspresikan emosinya untuk merubah budaya organisasi publik hari. Kecerdasan emosi juga diperlukan dikala pemimpin harus segera beradaptasi dan memaintain dinamika yang ada di luar organisasi publik daerahnya. Studi di The University of San Francisco pada 2007 berjudul “Emotional Intelligence and Leadership Practices among Human Service Program Managers” yang menggunakan pendekatan pertanyaan EI dari Golemen ditujukan kepada lima manajer wanita bidang program pelayanan publik. Hasil penelitian menunjukkan pentingnya kompetensi kecerdasan emosi untuk keberhasilan program yang telah mereka susun. Studi tersebut mengindikasikan peran emotional intelligence sebagai kompetensi dan syarat tambahan untuk pengembangan tim kerja agar sejalan dengan tujuan organisasi (Sims-Vanzant, Chnthia, 2007:75). Penelitian ini berfokus pada kecerdasan emosi yang dimiliki oleh Tri Risma Harini sebagai kepala daerah Surabaya. Penilaian kecerdasan emosi didasarkan pada konstruksi informasi yang didapat dari para informan mengenai kepemimpinan berdasarkan kecerdasan emosi menurut batasan David Goleman. Rumusan Masalah Rumusan masalah penelitian ini mengenai bagaimana Walikota Surabaya, Tri Rismaharini mengelola Emotional Intelligence leadership dalam memimpin Kota Surabaya? Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Menilai kemampuan personal Walikota Surabaya Tri Rismaharini dalam mengelola emosi diri sebagai pemimpin publik 2. Menilai social competence Walikota Surabaya dalam mengelola hubungan sosial dengan pihak lain sebagai pemimpin publik Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini secara teoritis diharapkan mampu memberikan kontribusi teoritis Studi Administrasi Negara mengenai kepemimpinan

113

Kebijakan dan Manajemen Publik

ISSN 2303 - 341X

Volume 3, Nomor 2, Mei-Agustus 2015 kepala daerah dari perspektif emotional intelligence. Selain itu diharapkan mempu menjadi bahan kajian dalam rangka penelitian selanjutnya mengenai kepemimpinan sektor publik. Secara praktis penelitian tentang ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada walikota Tri Rismaharini, calon kepala daerah dan kepala daerah baru di wilayah lain mengenai bagaimana seorang pemimpin daerah yang sukses mengelola kecerdasan emosinya dalam memenajemen daerah yang dipimpinnya

Tinjauan Teori Kepemimpinan (Leadership) Daniel C. Feldman dan Hugh J. Arnold mengatakan bahwa kepemimpinan pada dasarnya melibatkan seseorang pemimpin secara sadar mencoba mendapatkan orang lain (pengikut) untuk mengerjakan sesuatu yang pemimpin inginkan untuk dikerjakan oleh pengikutnya (Sutarto, 1989:22). Jika kepemimpinan dilihat sebagai proses mengarahkan dan mempengaruhi aktivitas yang berkaitan dengan kegiatan organisasi, maka terdapat tiga implikasi yang diterapkan yakni. Pertama, kepemimpinan harus melibatkan orang lain. Kesediaan menerima pengarahan daari pemimpin, anggota kelompok membantu menegaskan status pemimpin dan memungkinkan proses kepemimpinan. Kedua, Kepemimpinan mencakup distribusi kekuasaan yang tidak sama di antara pemimpin dan anggota kelompok. Semakin besar sumber kekuasaan, semakin besar potensinya untuk menjadi pemimpin yang efektif. Ketiga, kepemimpinan sebagai kemampuan untuk menggunakan berbagai bentuk kekuasaan untuk mempengaruhi perilaku pengikut melalui sejumlah cara. Untuk alasan ini diharapkan pemimpin memiliki kewajiban khusus untuk mempertimbangkan etika dari keputusan mereka (Sartono, 2004:78-79) Pemimpin Istilah pemimpin didefinisikan oleh Rivai sebagai seorang anggota dari suatu kumpulan yang diberi kedudukan tertentu dan diharapkan dapat bertindak sesuai kedudukan. Jadi pemimpin adalah juga seseorang dalam suatu perkumpulan yang diharapkan dapat menggunakan pengaruhnya untuk mewujudkan dan mencapai tujuan kelompok (Pasolong, 2008:2-3). Pada tahun 2006, Sudriamunawar mendefinisikan pemimpin adalah seseorang yang memiliki kecakapan tertentu yang dapat mempengaruhi para pengikutnya untuk melakukan kerjasama ke arah pencapaian tujuan yang telah ditentukan sebelumnya (Pasolong, 2008:3) Pemimpin dengan Kecerdasan Emosional (Emotional Intelligence) Sebagai seorang pemimpin publik, pemimpin harus sadar tentang dinamika tantangan organisasi. Maka dari itu, dibutuhkna kecerdasan emosi guna

mengelola kondisi diri dan lingkungan sekitar untuk mencapai visi-misi yang telah ditentukan sebelumnya. Pemimpin diharapkaan mengetahui nilai-nilai apa yang membimbing dirinya, mengenali siapa dirinya dan bagaimana ia memaksimalkan kekuatan untuk mampu tampil maksimal sebagai manajer dan pemimpin publik. Kompetensi pertama pemimpin dengan Kecerdasan Emosi adalah kesadaran diri yang dijabarkan dibawah ini: 1. Kesadaran emosi diri, pemimpin menyadari signal emosi dalam diri, mengenali bagaimana perasaan memberikan dampak pada kinerja. Mereka mendengarkan dan menyelaraskan diri dengan nilainilai yang membawa mereka pada kesuksesan dan melihat gambaran solusi dari permasalahan yang kompleks. 2. Akurasi penilaian diri, kesadaran akan kekurangan dan kekuatan dalam diri serta mampu menampilkan hal tersebut secara dalam humor tentang diri mereka. 3. Kepercayaan diri, pemahaman kemampuan diri yang baik menjadikan pemimpin mampu untuk mengelola kekuatan mereka. Pemimpin ini percaya mampu hadir untuk menyelesaikan tugas yang sulit sehingga mampu bertahan dalam memimpin. Kompetensi kedua adalah pengelolaan diri secara efektif guna menjaga individu pemimpin tetap dalam rambu-rambu nilai yang dianut sehingga pemimpin dapat merangsang signal dan tindakan positif dalam dirinya untuk menggerakkan organisasi publik. Kompetensi ini terdiri dari: 1. Kontrol diri, kemampuan untuk mengelola emosi yang bersifat desruktif. Kemampuan tersebut membantu mereka tetap berada pada jalur yang benar karena mampu menghadapi kondisi tersebut dengan tenang dan kepala dingin meskipun dibawah tekanan dan krisis atau seorang pemimpin tidak tergoyahkan bahkan ketika dihadapkan pada situasi yang menguji ketahanannya. 2. Transparansi, pemimpin memegang nilai-nilai transparansi dalam hidup, dan menyalurkan perasaan, kepercayaan dan tindakan secara terbuka. Transparansi -suatu keterbukaan yang otentik kepada orang lain tentang perasaan, keyakinan dantindakan- cenderung memiliki integritas. 3. Kemampuan beradaptasi, kemapuan mengelola diri menghadapi kebutuhan organisasi yang beragam tanpa kehilangan fokus dan energi, serta mampu memahami situasi-situasi mendua yang tidak terhindarkan dalam kehidupan organisasi. Pemimpin mampu menghadapi tantangan baru secara fleksibel, cepat membenahi ketidakstabilan perubahan dan berfikiran terbuka menghadapi realitas baru. 4. Prestasi, hal ini menuntun pemimpin agar selalu mencapai performa kinerja terbaik mereka, baik secara individu, organisasi dan daerah yang mereka pimpin. Mereka cenderung berfikir secara pragmatis, menciptakan target menantang namun

114

Kebijakan dan Manajemen Publik

ISSN 2303 - 341X

Volume 3, Nomor 2, Mei-Agustus 2015 terukur sera mempu memperhitungkan resiko agar tujuan dapat dicapai semaksimal mungkin. 5. Inisiatif, pemimpin memiliki kepekaan pada keberhasilan -memiliki apa yang diperlukan untuk mengendalikan nasib mereka sendiri- dan memiliki inisiatif yang sangat baik. Mereka menangkap atau membuat kesempatan untuk mereka sendiri daripada menunggunya. Pemimpin seperti ini tidak ragu memotong pita merah ketika dirasa penting untuk menciptakan masa depan yang lebih baik. 6. Optimisme, pemimpin oprimistik dapat menghadapi hambatan, melihat kesempatan bukan ancaman di dalam kesulitan. Pemimpin melihat segala sesuatu secara positif dan berrharap yang terbaik dari apa yang mereka lihat. Kompetensi selanjutnya yakni kesadaran untuk menjalin hubungan dengan orang lain atau kesadaran sosial. Kesadaran ini menitik beratkan pada seni pemimpin untuk memahami kondisi anggota organisasi, masyarakat selaku konsumen dan stakeholder yang mampu membantu pencapaian organisasi. Kompetensi ini dibagi menjadi tiga yakni: 1. Empati, kepekaan terhadap berbagai signal emosi, merasakan emosi yang tidak tersampaikan dari orang lain. Pemimpin ini mndengarkan dengan bijak dan dapat melihat perspektif pihak lain. Empati membentuk pemimpin mampu bersading dengan orang-orang yang memiliki latar belakang yang beragam. 2. Kesadaran terlibat dalam organisasi seorang pemimpin yang memiliki kesadaran sosial yang tinggi bisa berlaku politik secara cerdik, mempu menciptakan jaringan sosial yang krusial dan mengetahui kunci kekuatan dari hubungan sosial. Pemimpin seperti ini paham akan daya politik dalam organisasi dan sebaik mungkin mengarahkan nilainilai organisasi diantara karyawan. 3. Melayani (service), pemimpin yang memiliki kompetensi pelayanan yang tinggi menumbuhkan iklim emosi yang membuat stafnya berkontak lain dengan konsumen, dalam konteks ini adalah masyarakat yang menikmati pelayanan publik dengan baik. Pemimpin ini memonitor kepuasan costumer secara hati-hati untuk memastikan mereka memperoleh apa yang mereka butuhkan, menciptakan suasana dimana konsumen juga merasa dibutuhkan, terbuka dan menyediakan diri ketika diperlukan. Kompetensi terakhir adalah pengelolaan relasi untuk menjaring keterlibatan pihak-pihak lain dalam konteks kepemimpinan kepala daerah, pemimpin mampu untuk menjaring keterlibatan berbagai kalangan dalam membangun daerah yang dipimpinnya serta mempertahankannya. Kompetensi ini dijabarkan menjadi: 1. Inspirasi, pemimpin menggerakkan karyawan dengan menggambarkan visi dan misi organisasi yang dipahami bersama. Pemimpin ini mewujudkan

2.

3.

4.

5.

6.

apa yang orang lain harapkan dan mampu mengartikulaikan misi besar bersama agar dapat menginspirasi karyawan. Pengaruh, indikator kekuasaan seorang pemimpin yang berasal dari jalinan hubungan dengan karyawan untuk menemukan cara mempengaruhi dan mendorong orang-orang penting dan jaringan pendukung untuk memperoleh persetujuan terhadap inisiatif pemimpin. Para pemimpin mahir dalam memainkan pengaruh mampu secara persuasif menangani kelompok Mengembangkan pihak lain. Pemimpin yang mahir mengola kemampuan karyawan dengan cara menunjukkan minat yang tulus pada mereka yang membutuhkan bantuan, memahami tujuan, kekuatan, dan kelemahan karyawan. Para pemimpin tersebut dapatmemberikan umpan konstruktif sekaligus menjadi mentor alamiah. Katalistor perubahan. pemimpin yang dapat mengenali perubahan mampu mengenali kapan waktu yang tepat dan bagaimana melakukan perubahan, menantang status quo, dan menanamkan aturan baru. Manajemen konflik, Pemimpin yang mengelola konflik dengan baik mampu mengumpulkan semua pihak, memahami perspektif yang berbeda dan kemudian menemukan cita-cita bersama yang disepakati oleh setiap orang. Mereka memunculan konflik, memahami perasaan dan pandangan dari semua pihak, dan kemudian mengarahkan energi karyawan tujuan bersama. Kolaborasi dan kerjasama, Pemimpin perduli, penolong, bersedia bekerjasama dan kooperatif. Mereka menciptkan lingkungan anggota yang berkomitmen aktif, antusias untuk bekerja sama dan membangun semangat serta identitas tim serta mampu mempererat relasi dengan karyawan di luar relasi kerja (Goleman, Daniel, 2002:303-307).

Kepemimpimpinan Kepala Daerah Kepala daerah sebagai pemimpin organisasi administrasi pemerintah daerah dituntut untuk bersikap proaktif dengan mengandalkan kepemimpinan yang berkualitas untuk membangkitkan semangat kerja para bawahannya. Seperti halnya di organisasi lain, kepala daerah dihadapkan dengan berbagai tantangan dalam memimpin organisasi administrasi daerah. Keadaan yang dihadapi antara lain bagaimana mewujudkan otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab sebagai suatu paradigma bara yang di dukung oleh kualitas sumber daya yang memadahi dan mampu meningkatkan kehidupan masayarakat melalui program dan strategi pelayanan dan pemberdayaan (Kaloh, J.,2009:6). Kepala daerah merupakan peran strategis yang mengharuskan penerapan pola kegiatan yang dinamis, aktif, komunikatif, menerapkan pola kekuasaan yang tepat maupun pola perilaku kepemimpinan yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan

115

Kebijakan dan Manajemen Publik

ISSN 2303 - 341X

Volume 3, Nomor 2, Mei-Agustus 2015 masyarakat yang telah berubah pasca reformasi. Reformasi telah melahirkan demokratisasi dan transparansi yang menumbuhkan masyarakat untuk terlibat dalam pembangunan daerah melalui tuntutan dan harapan harus direspon cepat. Kepemimpinan kepala daerah yang efektif dan efisien diharapkan dapat menerapkan dan menyesuakan dengan paradigma baru otonomi daerah demi pembangunan dan pemberdayaan masyarakat daerah. Kemudian Kaloh mengetengahkan peran strategis kepala daerah dengan menggunakan pendekatan pelayanan. Bahwasannya demi mewujudkan pelayanan yang berkualitas baik pelayanan internal dalam organisasi maupun eksternal kepada masyarakat, kepala daerah menerapkan pola dan strategi mendengarkan, merasakan, menanggapi dan mewujudkan keinginan, aspirasi, tuntutan dan kepentingan masyarakat serta tuntutan organisasi. Halhal tersebut merupakan kekuatan dalam upaya mewujudkan tuntutan organisasi dan peningkatan kehidupan serta kesejateraan masyarakat (Kaloh, J., 2009:4-5)

Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif tipe deskriptif. Penelitian ini mendeskripsikan dan menggambarkan fenomena dan kejadian-kejadian yang ada di lapangan mengenai kecerdasan emosi kepala daerah kota Surabaya dalam memimpin kota Surabaya dari sudut pandang partisipan penelitian. Pengumpulan data dalam penelitian ini meliputi: 1. Obserasi, 2. Wawancara kualitatif kepada : Kepala Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga dan Pematusan, Erna Purnawati; Kepala Bagian Hubungan Masyarakat (Humas) Surabaya, Muhammad Vikser; Ketua Kader Pemberdayaan Masyarakat Surabaya (KPM), Sunarwan; Dosen Ilmu Politik Universitas Airlangga, Haryadi Anwari; Dosen Biologi Universitas Airlangga, Trisnadi Widyaleksono; Direktur Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton), Prigi Arisandi; Ketua lembaga Seni Budaya NU Surabaya, Nonot Sukrasmono; Ibu Eva selaku Sekertaris Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga dan Pematusan; Ibu Erna, selaku Sekertaris bagian Umum dan Protokol; Salah satu Ajudan walikota, Bapak Fahmi; Staf Bagian Humas, Bapak Oki; Supir Walikotar, Bapak Nanang; FR, KK, DK, ER, MM selaku Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Surabaya. 3. Dokumentasi penelitian berupa data yang diperoleh dari lapangan, dokumentasi bersumber media cetak dan elektronik. 4. Materi audio dan visual berupa foto, objek, video, audio yang di dapat ketika di lapangan maupun data

sekuder yang berasal dari rekaman video yang mengundang Tri Risma sebagai pembicara. rekaman video tersebbut meliputi: Mata Najwa, Metro Tv tayang pada 12 Februari 2014 dan 15 Oktober 2014; Satu Jam Lebih Dekat, TV One tayang pada 18 Oktober 2014; Satu Jam Bersama, RTV tayang pada 11 Mei 2015. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data Penelitian ini, peneliti menggunakan metode triangulasi data, yakni memeriksa sumber-sumber yang berbeda dengan memriksa bukti-bukti yang beragam, dan menggunakannya untuk membangun justifikasi tema-tema secara koheren. Tema-tema yang dibangun berdasarkan sejumlah sumber data atau perspektif dari para partisipan yang menambah validitas penlitian (Creswell, J.W., 2015:286-287). Hasil dan Pembahasan Kesadaran emosi diri merupakan kemampuan pemimpin untuk memahami emosi yang sedang dirasakannya, mengenali bagaimana perasaan memberikan dampak pada kinerja. Mereka mendengarkan dan menyelaraskan diri dengan nilainilai yang membawa mereka pada kesuksesan dan melihat gambaran solusi dari permasalahan yang kompleks (Goleman, 2007:303) Bu Risma sebagai pemimpin yang menganut agama islam, ia menyadari tanggung jawab yang besar kepada Tuhan untuk mengayomi masyarakat Surabaya. Sehingga ia bersifat tegas kepada bawahannya, karena tanpa ketegasan, budaya dan etos kerja karyawan akan mempersulit tugasnya sebagai pemimpin sehingga akan mempersulit jalannya menuju kebahagiaan hakiki. Bu Risma juga dinilai idealis, keras, visioner dan sederhana. Kontras diungkapkan oleh anggota legislatif yang menganggap emosi yang dimiliki Ibu Risma adalah politik pencitraan dan ambisi pribadi. Kompetensi selanjutnya akurasi penilaian diri pemimpin dalam melaksanakan tanggung jawabnya sebagai walikota, kompetensi ini mengindikasikan kesadaran pemimpin akan kekurangan dan kekuatan dalam dirinya (Goleman, 2007:303). Bu Risma menonjol pada aspek pemahaman akan kekuatan dan kekurangan yang ia miliki. Kekuatan tersebut Nampak pada kemampuannya memaksimalkan hobby dan kecintaannya kepada taman kota. Bu Risma juga orang yang paham akan kelemahannya dan tidak segan untuk meminta bantuan kepada orang yang lebih ahli Kepercayaan diri, merupakan pemahaman kemampuan diri yang baik menjadikan pemimpin mampu untuk mengelola kekuatan mereka. Pemimpin ini percaya mampu hadir untuk menyelesaikan tugas yang sulit sehingga mampu bertahan dalam memimpin kelompok (Goleman, 2007:304)Apresiasi prestasi Walikota Surabaya dari berbagai pihak adalah bekal besar Tri Risma untuk percaya dengan kemampuannya memimpin Surabaya. Namun pada tahun 2014 lalu,

116

Kebijakan dan Manajemen Publik

ISSN 2303 - 341X

Volume 3, Nomor 2, Mei-Agustus 2015 kepercayaan diri Bu Risma pernah tergoyahkan dengan konflik dirinya dengan partai pengusung dan juga dewan perwakilan rakyat Surabaya. Namun seiring waktu konflik itu tertutupi dengan capaian prestasi Ibu Risma dan Surabaya. Kompetensi selanjutnya ialah kontrol diri, kemampuan untuk mengelola emosi yang bersifat desruktif yang membantu pemimpin tetap berada pada jalur yang benar. (Goleman, 2007:304) Hasil penelitian disimpulkan Walikota Surabaya kurang mampu mengontrol emosinya. Hal itu Bu Risma akui sendiri secara terbuka di beberapa interview di media massa. Ia tidak bisa mengelola emosi yang terkadang bersifat desktruktif dan berdampak negatif bagi orang lain. Sifatnya yang keras, tegas, ekspresif dan emosional kerap disorot oleh media massa. Sifat-sifat ini dikaitkan informan dengan sifat-sifat yang melekat pada wanita. Sikap transparansi, suatu keterbukaan yang otentik kepada orang lain tentang perasaan, keyakinan dan tindakan- cenderung memiliki integritas. Pemimpin mengakui kesalahan tanpa menutup-nutupi kekurangan sikapnya (Goleman, 2007:304). Bagi anggota legislatif, transparansi Ibu Risma dinilai rendah namun bagi eksekutif dan masyarakat Ibu Risma adalah sosok yang terbuka dan berintegritas. Hasil jawaban informan terdapat kebersinggungan antara transparansi dengan hal kontrol diri. Kemampuan menyesuaikan diri pemimpin untuk menghadapi tantangan baru secara fleksibel, cepat membenahi ketidakstabilan perubahan dan berfikiran terbuka dalam menghadapi realitas baru. (Goleman, 2007:304) Tri Risma merupakan pemimpin yang tanggap terhadap perubahan lingkungan eksternal organisasi, dan ia sangat cekatan dalam menghadapi perubahan tersebut baik dalam tindakan dan juga kebijakan yang ia ambil seperti persiapannya dalam menghadapi era Masyarakat Ekonomi Asean yang akan berlangsung dia akhir tahun ini dan penerapan teknologi informasi sebagai tuntutan e-government. Bu Risma juga berfikir gesit dalam lingkup internal organisasi dengan memanfaatkan sumber daya yang terbatas untuk dimaksimalkan seefektif mungkinn. Dalam menjalankan kebijakan yang adaptif tersebut ia tidak pernah melangkahi tupoksi dan payung hukum yang berlaku. Dirinya juga mampu masuk dalam lingkungan manapun, terkecuali partai politik dan legislative. Meskipun akhir-akhir ini Bu Risma telihat mulai membuka diri dengan relasi perpolitikan. Kompetensi prestasi, pencapaian prestasi pemimpin adalah terus belajar, berbagi ilmu dan selalu mengembangkan ilmu lebih baik(Goleman, 2007:305). Hasrat terhadap presatasi dapat dilihat dari banyaknya apresiasi nasional dan internasional kepada kota Surabaya dan Tri Risma sebagai walikota sebelumnya. Bu Risma merupakan orang yang selalu mau belajar dan tidak sungkan bertanya terhadap pihak lain untuk mencapai prestasi terbaik untuk Surabaya. Dalam hal

ini, ia bersedia menekan egonya agar Surabaya bisa mendapatkan prestasi dan membanggakan masyarakat. ekspektasinya jauh bukan hanya untuk waktu dekat namun panjang dan terukur. Kemampuan melakukan perancanaan ini didukung dengan background studi yang dimilikinya sebagai Master Pembangunan Kota dan mendapatkan gelar sebagai Doktor Honoris Causa. Inisiatif dan optimisme merupakan kepekaan pemimpin pada keberhasilan. Mereka menangkap atau membuat kesempatan untuk mereka sendiri daripada menunggunya. Pemimpin seperti ini tidak ragu memotong pita merah atau melanggar aturan ketika dirasa penting untuk menciptakan masa depan yang lebih baik. Sehingga dalam realitasnya, pemimpin dapat menghadapi hambatan, melihat kesempatan bukan ancaman di dalam kesulitan. Pemimpin melihat segala sesuatu secara positif (Goleman, 2007:305). Inisitatif Tri Risma adalah pemikirannya yang jauh kedepan. Bu Risma memiliki pemahaman yang baik terhadap kondisi Surabaya. Mimpinya tinggi dan jauh kedepan, dalam mencapainya Bu Risma tegas dan keras supaya dapat terwujud. Agenda itu dilakukan karena rancangan visi yang tertuang dalam setiap kebijakannya bukan hanya untuk masa pemerintahan dirinya tapi juga untuk anak cucu hingga seratus tahun kedepan. Ibu Risma telah berhasilan mengaplikasikan e-government di Surabaya sehingga menjadi rujukan kota-kota lain meskipun pada awalnya banyak kecaman. Selain itu, kasus penutupan lokalisasi. Tanpa optimisme dan insiatif yang tinggi akan sulit baginya untuk mengoalkan eksekusi penutupan lokalisasi tersebut. Pada momen itu sadar akan kesulitan yang dihadapinya, Ia yakin akan keberhasilan keputusannya dengan dukungan dari stakeholder besar dan kuat. Empati merupakan kepekaan terhadap berbagai signal emosi, merasakan emosi yang tidak tersampaikan dari orang lain. Pemimpin ini mendengarkan dengan bijak dan dapat melihat perspektif pihak lain (Goleman, 2007:305). Beliau memiliki kepekaan yang sangat tinggi apabila sudah dihadapkan dengan kondisi masyarakat bahkan cenderung memanjakan mereka. Di lingkup kedinasan. Ia menjadi pribadi yang tegas dan keras. Sikap ini pada awalnya menuai kritik dari para staffnya. Namun lama kelamaan staff-staffnya sudah mulai terbiasa dengan sifat Bu Risma. Dalam lingkup legislatif, Bu Risma menaruh rasa antipasti terhadap para anggota dewan dan cenderung menjaga jarak dengan mereka. Kesadaran berorganisasi adalah sikap seorang pemimpin yang memiliki kesadaran sosial yang tinggi bisa berlaku politik secara cerdik, mempu menciptakan jaringan sosial yang krusial dan mengetahui kunci kekuatan dari hubungan sosial (Goleman, 2007:305). Tri Rismaharini memiliki cara sendiri dalam menjaring relasi penting yang menguatkan posisinya. Dukungan media yang paling utama telah menciptakan trust masyarakat. Masyarakat yang membutuhkan patron dan masyarakat selalu ingin dekat dengan kepala

117

Kebijakan dan Manajemen Publik

ISSN 2303 - 341X

Volume 3, Nomor 2, Mei-Agustus 2015 daerah mampu dibaca oleh bu Risma. Beliau juga memiliki jaringan relasi yang lebih kuat kepada pemerintah pusat dan dewan pengurus pusat PDIP ketimbang dewan pengurus daerah atau cabang. Melayani, pemimpin yang memiliki kompetensi pelayanan yang baik mampu menumbuhkan iklim emosi yang membuat staffnya berkontak lain dengan masyarakat pengguna pelayanan publik dengan baik. Pemimpin memonitor kepuasan costumer secara hati-hati untuk memastikan mereka memperoleh apa yang mereka butuhkan, menciptakan suasana dimana konsumen juga merasa dibutuhkan dan bersikap terbuka dan menyediakan diri ketika diperlukan (Goleman, 2007:306). Juga dalam studi pelayanan oleh Benjamin Scheider, profesor di Maryland University, menemukan bahwa pemimpin memiliki andil dalam mempengaruhi iklim pelayanan dengan memberi landasan bagi karyawan untuk memuaskan pelanggan. Pada umumnya, semakin tinggi tuntutan emosi suatu pekerjaan, pemimpin semakin perlu bersikap empatik dan suportif. (Goleman, 2007:16,18-20) Cara melayani dengan gaya blusukan adalah kekhasan yang dimiliki oleh Tri Rismaharini. Ia tipe pemimpin yang tidak segan turun ke jalan menyelesaikan masalah walaupun terkadang malah membawa masalah. Ia kontinyu dalam melakukan aktivitas tersebut karena ia menilai hal tersebut efektif memperoleh banyak aduan dari masyarakat sehingga dirinya tahu apa yang harus dikerjakan selanjutnya dalam mebuat kebijakan. Dari sudut pandang legislatif dan dan beberapa perwakilan masyarakat, hal tersebut dinilai sebuah kecacatan organisasi karena tidak mendelegasikan wewenangnya. Disisi lain, gaya blusukan ini menimbulkan kebanggaan tersendiri kepada masyarakat karena pemimpin mereka mau turun bertemu masyarakat. Kompetensi inspirasi dan pengaruh, Pemimpin menggerakkan karyawan dengan menggambarkan visi dan misi organisasi yang dipahami bersama. Pemimpin ini mewujudkan apa yang orang lain harapkan dan mampu mengartikulaikan misi besar bersama agar dapat menginspirasi karyawan Pemimpin menggerakkan karyawan dengan menggambarkan visi dan misi organisasi yang dipahami bersama. Pemimpin ini mewujudkan apa yang orang lain harapkan dan mampu mengartikulaikan misi besar bersama agar dapat menginspirasi karyawan. Tri Risma menyampaikan visinya secara detail tidak dalam intensitas tinggi kemudian mendelegasikan itu kepada staff-staffnnya. Dalam eksekusi tugas, gayanya yang cekatan sebagai teguran sekaligus contoh yang harus diikuti oleh bawahannya. Ia tipe orang yang sangat serius dan tegas sehingga lingkungan kerja kental dengan budaya profesionalitas dan kedisiplinan tinggi, beliau juga tidak segan untuk memberikan reward and punishment kepada staffnya. Remunerasi pegawai negeri Surabaya meningkat ketika Risma menjabat sebagi walikota.

Punishment yang diberikan biasanya berupa sekspresi sifat kerasnya dia yang langsung tujukan. Kepada masyarakat, Bu Risma mampu menempatkan diri bagaimana cara memotivasi, mendukung dan mengembangkan masyarakat dengan pidato dan ucapannya agar masyarakat dapat terus berdaya. Hubungan dengan legislatif, sulit bagi Tri Risma untuk menyebarkan inspirasi dan pengaruhnya. Untuk membujuk legislatif dalam memperlancar kegiatan pemerintahan di Surabaya, Risma lebih memilih mendelegasikan wewenang ke jajaran dinasnya Mengembangkan pihak lain, pemimpin yang mahir mengola kemampuan karyawan dengan cara menunjukkan minat yang tulus pada mereka yang membutuhkan bantuan, memahami tujuan, kekuatan, dan kelemahan karyawan. Para pemimpin tersebut dapat memberikan umpan konstruktif sekaligus menjadi mentor (Goleman, 2007:307). Sama halnya dengan kompetensi empati, cara Ibu Tri Rismaharini mengembangkan orang menunjukkan perbedaan treatment antara masyarakat dengan aparatur Negara Surabaya. Dalam jajaran birokrat, Ibu Risma adalah pemimpin yang bertipe director dan staffnya dituntut untuk mencontoh agar apa yang Ibu lakukan agar mencapai target kerja. Goleman memberi catatan ada suatu waktu gaya kepemimpinan memerintah diperlukan. Gaya kepemimpinan yang tegas dan otoriter ini dilakukan ketika budaya organiasi dinilai buruk. Sifat pemimpin bukan untuk merubah karyawan namun untuk merubah budaya yang lama berkembang dan sudah tidak relevan untuk digunakan. Gaya mememrintah digunakan dengan sangat hati-hati dengan pengendalian emosi diri yang baik, namun jika pemimpin besifat kaku makan organisasi akan berantakan (Goleman, 2007:93-94). Menyikapi hal ini, gaya kepemimpinan bu Risma yang tegas dan keras memang dibutuhkan untuk merubah iklim organisasi pblik yang lamban. Gaya kepemimpinan memerintah juga dibutuhkan ketika melihan antropoligi masyarakat perkotaan yang keras dan sulit dirubah. Jika Bu Risma menggunakan gaya kepemimpinan demokratis, akan semakin sulit merubah pola kerja PNS Surabaya. Hasilnya dapat dilihat bagaimana disiplin dan kinerja pegawai yang meningkat. Katalisator perubahan, pemimpin yang dapat mengenali perubahan mampu mengenali kapan waktu yang tepat dan bagaimana melakukan perubahan, menantang status quo, dan menanamkan aturan baru. (307). Dalam hal ini, Tri Risma adalah seorang katalisator perubahan yang baik. Dirinya membawa perubahan yang besar baik Surabaya mamun tahu kapan ia harus keluar dari aturan dan kapan ia harus berada dalam track yang telah ditentukan. Pasca pergantian pemimpin Surabaya di tahun 2010, dibawah kepemimpinan Tri Rismaharini banyak yang telah berubah. Tri Risma sebagai perempuan yang menggugurkan anggapan bahwa wanita tidak akan sukses menjadi pemimpin malah mematahkan

118

Kebijakan dan Manajemen Publik

ISSN 2303 - 341X

Volume 3, Nomor 2, Mei-Agustus 2015 skeptisme masyarakat terhadap kepemimpinan perempuan. Tri Risma muncul sebagai pribadi yang tegas dan visioner dalam mengambil kepurusan. Terbukti, sistem e-government dapat diaplikasikan di Surabaya dan ketengguhannya menutup enam titik lokalisasi. Keberhasilan lain juga telah beliau capai, ada yang baru dan ada yang merujuk pada program terdahulu yang ia maksimalkan. Dinamikanya yang sangat tinggi membuat ia disoroti oleh DPRD karena kerap melangkahi kewenangan legislatif. Pengelolaan konflik, pemimpin yang mengelola konflik dengan baik mampu mengumpulkan semua pihak, memahami perspektif yang berbeda dan kemudian menemukan cita-cita bersama yang disepakati oleh setiap orang. Beberapa masalah muncul dalam proses kepemimpinan Tri Risma, seperti penutupan lokalisasi dan konflik yang muncul anatara dirinya dengan DPRD. Dalam mengatasi konflik pra penutupan lokalisasi, Bu Risma menyediakan diri untuk mendengarkan aspirasi masyarakat dan beberapa golongan. Namun dalam mengatasi konflik politik di partai pengusung beliau cenderung diam membiarkan. Dalam menghadapi masalah kerap kali Tri Risma marah dan menangis. Seperti kemunculannya dimedia dan menyebarkan isu pengunduran diri adalah salah satu wujud penyelesaian masalah yang ia pilih dan guna menegaskan bargaining power kepada partai pendukungnya ketika pemilu. Kometensi kolaborasi dan kerjasama, pemimpin perduli, penolong, bersedia bekerjasama dan kooperatif. Mereka menciptkan lingkungan anggota yang berkomitmen aktif, antusias untuk bekerja sama dan membangun semangat serta identitas tim. Pemimpin meluangkan waktu menumbuhkan dan mempererat relasi dengan karyawan di luar relasi mengenai kewajiban kerja (Goleman, 2007:307). Tri Risma selalu menanamkan pola team work yang kuat dari setiap SKPD untuk menangani suatu masalah. Hal ini bertujuan untuk menyelesaikan permasalahan dengan lebih efisien dan efektif. Budaya ini pada awalnya sulit untuk dilakukan karena ego sektoral dari masing-masing dinas. Namun lama kelamaan budaya kerja ini semakin berjalan dengan baik. Bu Risma adalah pemimpin yang bersedia hadir untuk bekerja sama dengan eksekutifnya. Untuk mengefektifkan koordinasi dan kerjasama, pemerintah kota Surabaya memaksimalkan penggunaan HT dan Line karena kedua teknelogi tersebut terhitung murah dan mudah untuk digunakan. Diluar hubunngan publik, cara memperkuat relasi adalah dilakukan dengan mengajak para staffnya untuk makan bersama pasca melakukaan kerja bakti untuk mempererat hubungan personal walikota dengan staffnya. Kesimpulan Kompetensi kecerdasan emosi Tri Rismaharini memiliki perspektif yang beragam tegantung pada sudut pandang informan yang dipengaruhi oleh kedekatan emosi, intensitas

pertemuan dan hubungan personal maupun fungsional antara Tri Rismaharini dengan informan. Hasil perspektif tersebut ditarik secara umum dapat dijabarkan sebagai berikut: Beliau sangat unggul dalam hal kecerdasan emosi diri, kepercayaan diri, prestasi, inisiatif, optimisme, pelayanan (service), mengembangkan orang lain dan katalisator perubahan. Namun, Tri Risma sangat lemah dalam hal pengendalian diri karena ketidakmampuannya untuk mengelola emosi yang destruktif ketika berada dalam tekanan. Hal ini diidentikkan dengan differensiasi gender dimana wanita dianggap lebih emosional dalam menghadapi permasalahan. Aspek lain yang belum maksimal yakni akurasi penilaian diri karena Tri Rismaharini menutup diri terhadap umpan balik dan kritik yang diberikan kepadanya; transparansi sebagai dampak dari lemahnya kemampuan akurasi penilaian diri, Tri Risma jarang untuk meminta maaf atas kesalahannya di depan orang yang telah ditegurnya. Meskipun Tri Risma kerap meminta permintaan maaf dimedia, namun hal tersebut dinilai sebagai pencitraan; kemampuan menyesuaikan diri khususnya dengan kondisi perpolitikan yang ada,; empati, rasa empati yang diberikan kepada masyarakat besar, berbanding terbalik dengan empati yang diberikan kepada stafffstafffnya,;Pengendalian diri yang sangat lemah juga kerap mengakibatkan kemarahan yang memuncak pada oknum birokrat yang melenceng dari tugasnya, ketegasan dan kemarahannya bisa muncul kepada oknum birokrat tanpa melihat situasi dan kondisi; Kesadaran berorganisasi, lemah dengan partai politik dan legislatif. Untuk menutupi kekurangannya terebut, kepala daerah Surabaya 2010-2015 ini menjalin relasi yang baik dengan media, pemerintah pusat, ketua umum PDIP, dan berhubungan intens dengan masyarakat Surabaya; Inspirasi dan Pengaruh kuat nampak ketika Tri Risma dihadapkan kepada masyarakat, di depan staff-staffnya beliau tidak ahli menginspirasi namun pemimpin yang medireksi bawahan secara tegas. Untuk berhadapan dengan legilatif dalam menjalankan pemerintahan, Tri Risma memilih untuk meminimalisir forum dengan mereka dan mendelegasikan Sekda dan bagian Humas Surabaya; manajemen konflik yang dimiliki Bu Risma, beliau bukan pendengar politik yang baik dan kerap menangis atau marah jika dihadapkan dalam situasi sulit. Disisi laib Bu Risma sangat cekatan dalam mengatasi permasalahan yang ada di dalam masyrakat; yang terakhir menjadi catatan adalah bagaimana kerja tim dan kolaborasi yang dibentuk oleh Bu Risma dengan unsur-unsur perpolitikan yang ada di Surabaya untuk mengefektifkan kebijakannya dan mengurangi konflik diantara pihak-pihak terkait. Terlepas dari semua kekurangan yang dimiliki oleh Tri Rismaharini, Beliau adalah pemimpin revormatif. Hal tersebut dapat dilihat dari jumlah capaian target Surabaya yang tak pernah minim prestasi, inovasi sistem pelayanan publik yang berbasis IT, kecintaan masyarakat terhadap

119

Kebijakan dan Manajemen Publik

ISSN 2303 - 341X

Volume 3, Nomor 2, Mei-Agustus 2015 walikota Surabaya dan budaya organisasi publik yang perlahan berubah lebih profesional. Hal ini dapat disimpulkan bahwa teori kecerdasan emosi yang dikonstruksikan oleh Goleman belum mampu memotret kepemimpinan Tri Rismaharini sebagai pemimpin dan manajer publik Surabaya. Faktor yang mempengaruhi antara lain kondisi perpolitikan yang ada di level pemerintahan daerah, kondisi antropologi dan masyarakat kota Surabaya yang berbeda dengan studi di Amerika Serikat serta budaya organisasi publik yang masih belum professional. Selain itu, biasnya pemahaman kompetensi antara optimisme dan inisiatif; serta inspirasi dan pengaruh menjadikan dua kompetensi ini digabung menjadi satu karena partisipan cenderung menjawab dua pasang kompetensi ini dengan jawaban yang sama. Saran Berdasarkan hasil kesimpulan diatas, Ibu Tri Rismaharini memiliki ketidak mampuan dalam beberapa kompetensi kepemimpinan yang berlandaskan kecerasan emosi, maka dapat diajukan saran-saran yang dapat diajukan adalah sebagai berikut: 1. Dalam hal pengendalian diri, diharapkan Ibu Tri Rismaharini lebih menjaga emosi yang destruktif dan sifat kerasnya agar tidak merugikan orang lain, disuatu waktu ketegasan yang diwujudkan dalam kemarah memang diperlukan tapi tidak untuk semua permasalahan. Pemimpin diharapkan mampu menjalin hubungan intertpersonal dengan bawahannya agar mampu memberikan persuasi tanpa harus ada intimidasi. Salah satu cara untuk menkonfrontasi kemarahan kepada bawahannya misalnya dengan tidak memarahi pihak lain di depan umum. 2. Akurasi penilaian diri dapat dipenuhi dengan keterbukaan diri Ibu Risma terhadap umpan balik dan kritik yang berasal dari masyarakat, media, staff dan legislatif. Sebagai seorang pemangku jabatan politik sangat mudah untuknya menjadi lupa akan nilai-nilai yang dibawanya sejak awal sehingga kritik dan saran sangat diperlukan. Hal ini juga sebagai perwujudan sikap transparansi dimana pemimpin mestinya secara terbuka mengakui kesalahan kepada pihak-pihak yang pernah berada dalam satu masalah dengannya. 3. Menjalin relasi yang lebih terbuka baik secara fungsional maupun diluar hubungan kedinasan dengan para staff dan anggota legislatif juga pihakpihak yang mau membangun Surabaya sesuai dengan bidang keahliannya untuk mempererat terjalinya kepercayaan (trust), keintiman dan subtilitas agar pemerintahan Kota Surabaya membangun lebih efektif. Salah satu cara misalnya Ibu Walikota mengakrabkan diri dengan para bawahannya dalam acara coffee time yang diadakan 1-2 kali dalam satu bulan.

4. Ibu Risma juga diharapkan mampu untuk mendelegasikan kewenangannya kepada para bawahannya untuk ikut turun langsung ke masyarakat. Sehingga para aparatur birokrat mengetahui bagaimana membaca permasalahan dilapangan dan menentukan solusinya. Karena pemimpin yang baik harus meregenerasi dan menularkan ilmunya kepada pihak lain. Misalnya dengan mencontoh koordinasi antar dinas dalam menjaga kebersihan taman. Para SKPD diharapkan tidak hanya menjaga keberihan dan ketertiban taman kota namun juga turun langsung ke masyarakat untuk memonitor efektivitas program yang telah mereka jalankan. Penelitian ini mengambil lokus di Kota Surabaya, diharapkan penelitian sebelumnya dapat mengkaji kecerdasan emosi di kabupaten atau kota lain untuk memperoleh keberagaman hasil penelitian. Karena kecerdasan emosi setiap orang dipengaruhi oleh karakteristik sosial dan budaya dimana ia dilahirkan dan tinggal Daftar Pustaka Bass, B. M. Dan Riggio R. E. 2006. Transformational Leadership Second Edition. London: Lawrence Erlbaum Associates. Creswell, J.W. 2013. Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan Mixed. Diterjemahkan oleh Fawaid, Achmad. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Goleman, Daniel, Boyatzis, Richard, McKee, Annie. 2007. Primal Leadership Kepemimpinan Berdasarkan Kecerdasan Emosi Diterjemahkan Oleh Purwoko, Susi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Haryono, Tisyo dan Widwardono, Y. Kristanto. Current Status and Issues of E-Government in Indonesia. Association of Southeast Asian Nations Organization.http://www.asean.org/communities /asean-economic-community/item/current-status -and-issues-of-e-government-in-indonesia# diakses pada 11 Februari 2015. Hutapea, Parulian dan Thoha, Nuriana. 2008. Kompetensi Plus Teori, Desain, Kasus dan Penerapan untuk HR Serta Organisasi yang Dinamis. Jakarta: Gramedia. Pasolong, Harbani. 2008. Kepemimpinan Birokrasi. Bandung: Alfabeta. Sartono. 2004. Kepemimpinan dalam MSDM Birokrasi yang Good Governance; Sulistyani (ed). Memahami Good Governance dalam Perspektif Sumber Daya maanusia. Yogyakarta: Gava Media Sedarmayanti. 2009. Reformasi Administrasi Publik, Reformasi Birokrasi, dan Kepemimpinan Masa Depan (Mewujudkan Pelayanan Prima dan Kepemerintahan yang Baik). Bandung: Refika Aditama.

120

Kebijakan dan Manajemen Publik

ISSN 2303 - 341X

Volume 3, Nomor 2, Mei-Agustus 2015 Sims-Vanzant, Chnthia. 2007. Emotional Intelligence an Leadership Practices among Human Service Program Managers (Dissertation). The University of San Fransisco. Sutarto. 1989. Dasar-Dasar Kepemimpinan Administrasi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Thoha, Miftah. 2010. Kepemimpinan dalam Manajemen. Jakarta : Raja Grafindo Persada.

121