KESEHATAN SPIRITUAL DAN KESIAPAN LANSIA DALAM

Download Kesiapan lansia saat menjelang kematian dipengaruhi oleh ... beragama Islam biasanya ikut dalam kegiatan ... ke atas dan dapat berkomunikas...

0 downloads 383 Views 6MB Size
ABSTRAK Kematian merupakan suatu peristiwa yang dialami semua makhluk yang bernyawa, baik itu manusia, tumbuhan, maupun hewan. Meskipun kematian adalah keniscayaan tapi sepertinya manusia seakan-akan tidak peduli dengan peristiwa tersebut. Apalagi pada zaman seperti sekarang ini rata-rata manusia mementingkan kehidupan dunianya yang berdampak menghalalkan berbagai cara untuk memuaskan kepentingannya seakan tidak memikirkan dampak dari perbuatannya setelah mati. Mencermati perilaku manusia memaknai kematian, ada yang menganggap kematian merupakan malapetaka yang dapat merampas kemewahan dunia, maka orang seperti itu akan menghalalkan berbagai cara untuk memuaskan kepentingannya. Selain itu ada pula yang menganggap bahwa kematian merupakan peristiwa perpindahan alam dari alam dunia ke alam akhirat yang lebih abadi, yang mana disana mereka akan merasakan kenikmatan dan kesusahan sesuai amal yang dilakukannya. Maka orang seperti itu akan menjadikan kehidupan dunianya sebagai tempat beramal salih. Dipikirkan atau tidak kematian merupakan kepastian sekaligus peristiwa dahsyat yang dapat mempengaruhi kehidupan seseorang, untuk itu kematian perlu untuk diteliti meskipun merupakan peristiwa gaib yang tidak dapat dijelaskan oleh akal, tapi al-Qur’an telah menjelaskan hal tersebut. Kematian dalam al-Qur’an menggunakan kata al-Maut, al-Ajal, dan Wafah, ketiganya mempunyai konteks makna yang berbeda. Penelitian ini tidak meneliti seluruh kata tersebut, akan tetapi fokus terhadap kata al-Maut sebagai objek penelitian. Kata al-Maut dipilih karena lebih umum yang dikenal oleh seseorang sekaligus mempunyai konteks makna yang beragam bila dibandingkan kata al-Ajal, dan Wafah. Penelitian ini adalah penelitian kitab tafsir bersifat kepustakaan (library research) yang akan mencari pendapatnya KH.Misbah Musthafa tentang makna al-Maut dan konteks keragaman maknanya dalam Tafsi>r al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> alTanzi>l. Adapun analisa dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis, yaitu memaparkan apa adanya yang ada dalam kitab tafsir kemudian menganalisa pesan atau maksud dari penafsiran tersebut. Adapun hasil dari penelitian ini adalah al-Maut dalam tafsir al-Ikli>l tidak selamanya dimaknai dengan mati (lepasnya ruh dari jasad) akan tetapi dimaknai dengan mati akal, bangkai, dan tandus. Ketiganya berada pada objek yang berbeda-beda yaitu manusia, hewan, dan bumi. Ketiga objek tersebut mempunyai konteks makna (substansi makna) yang beragam, yaitu: Pertama, makna al-Maut berhubungan dengan manusia mempunyai enam makna yaitu, 1) Al-Maut bermakna akhir kehidupan di dunia, 2) Al-Maut bermakna mati akal (tidak mau berfikir), 3) Al-Maut bermakna keterpisahan, 4) Al-Maut bermakna pembatas, 5) Al-Maut bermakna nikmat, 6) Al-Maut bermakna siksa. Kedua, al-Maut berhubungan dengan hewan dimaknai dengan bangkai yaitu hewan yang disembelih dengan tidak menggunakan aturan agama. Ketiga, al-Maut berhubungan dengan bumi dimakani dengan tandus atau gersang, maksudnya bumi kehilangan kekuatan untuk menumbuhkan tumbuh-tumbuhan.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada zaman modern seperti sekarang ini yang ditandai dengan pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi, persoalan manusia seakan terasa lebih kompleks yang terus menimbulkan berbagai kepentingan yang berbenturan diantara manusia guna memenuhi kepentingan hidupnya. Salah satu dampak yang muncul adalah sifat hedonisme, yaitu manusia hanya mencari kepuasan pribadi dengan menghalalkan berbagai cara, sehingga menyebabkan manusia lupa akan hakikat hidupnya, yaitu beribadah kepada Allah Swt. Apa yang sebenarnya terjadi dengan bangsa ini? Bangsa yang mayoritas penduduknya beragama Islam, yang berpedoman pada al-Qur’an dan hadis belakangan sering terdengar berita-berita di televisi tentang pencurian, pemerkosaan, penipuan, dan kekerasan. Tidak hanya berita itu saja, sering terdengar juga berita korupsi yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan. Mulai penggelapan uang pajak, manipulasi maupun penyuapan. Seakan-akan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang koruptif, manipulatif dan mengabaikan nilai-nilai moral agama. Munculnya perilaku-perilaku menyimpang tersebut tidak terlepas dari kondisi masyarakat yang belum bisa memaknai modernisasi itu sendiri.1

1

Muzaini, “Perkembangan Teknologi dan Perilaku Menyimpang dalam Masyarakat Modern”, dalam Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi, Vol. II, no. 1, 2014, h. 53.

1

2

Para pelaku kemunkaran dan kemaksiatan tersebut seakan-akan hidup selamanya. Mereka tidak menyadari bahwa mereka akan mati dan akan mempertanggungjawabkan amal perbuatannya. Meskipun ada sebagian manusia yang menganggap kematian merupakan hal yang biasa dan tidak usah terlalu dipikirkan, sebagai orang Islam yang beriman kepada Allah Swt. dan hari akhir, harus memikirkannya. Karena perhatian al-Qur’an terhadap fenomena kematian sangat besar. Sebagaimana tercatat, bahwa al-Qur’an berbicara tentang kematian kurang lebih sebanyak 300 ayat, dan ditambah dengan hadis-hadis Nabi.2 Ini menunjukkan bahwa kematian merupakan hal yang penting untuk dipersiapkan. Mencermati perilaku manusia dalam memandang kematian, tidak dapat dipungkiri bahwa mereka menyadari kematian merupakan peristiwa yang sangat dahsyat yang dapat mempengaruhi kehidupan seseorang, akan tetapi seseorang jarang atau enggan untuk membicarakan secara terang-terangan. Ada segolongan orang yang memandang kematian sebagai malapetaka yang merampas kenikmatan hidup sehingga mereka memilih jalan hidup hedonistis sebelum kematian tiba.3 Namun ada pula yang berpandangan sebaliknya, yakin bahwa hidup di dunia hanya sesaat dan kehidupan akhirat lebih mulia, lebih utama dan lebih abadi, maka mereka memilih jalan spiritual dan menjauhi tawaran kenikmatan duniawi, demi mengejar kebahagiaan yang lebih tinggi di balik kematian. Ada

2

M. Quraish Shihab, Kehidupan Setelah Kematian Surga yang Dijanjikan Al-Qur’an, cet. 2, (Tangerang: Lentera Hati, 2008), h. 15. 3 Komarudin Hidayat, Psikologi Kematian (Mengubah Ketakutan Menjadi Optimisme), cet. VII, (Jakarta: Hikmah, 2006), h. XV-XVi.

3

lagi segolongan orang yang tidak mau berpikir soal kematian karena dianggap tidak begitu berguna.4 Dipikirkan maupun tidak, kematian adalah ketentuan setiap mahluk, baik manusia, hewan, maupun tumbuhan. Telah dijelaskan dalam al-Qur’an surat al‘Ankabu>t: 57 yang artinya “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati, kemudian hanyalah kepada Kami kamu dikembalikan.” Adapun mengenai waktu terjadinya kematian hanyalah Allah yang mengetahui, manusia harus selalu waspada untuk mempersiapkan diri menunggu datangnya kematian. Bagi sebagian orang, kematian merupakan sesuatu yang menakutkan dan mengkhawatirkan, karena anggapan bahwa mereka akan terpisah dengan kesenangan hidup di dunia. Tapi hakikatnya tidaklah demikian, kematian yang sering diartikan dengan terpisahnya ruh dari jasad, sebenarnya merupakan salah satu tahapan menuju kehidupan yang abadi. Dari pemaparan diatas, banyak pertanyaan tentang kematian, diantaranya mengapa Allah Swt. menciptakan kematian? Padahal manusia menginginkan hidup abadi di dunia dan tidak ingin terlepas dari kemewahannya. Selain itu bagaimana proses terjadinya kematian? Apakah manusia merasakannya atau tidak? Setelah ruh terlepas dari jasad apa yang terjadi setelah kematian tersebut? Mengapa manusia takut pada kematian? Dan apa sebenarnya kematian itu? Kematian (maut) merupakan kejadian gaib yang tidak bisa dijawab oleh akal. Akal hanya bisa menjawab berdasarkan pengalaman dan spekulasi. Syukurlah agama mengungkap sedikit tentang misteri itu, walau harus diakui 4

XVi.

Komarudin Hidayat, Psikologi Kematian (Mengubah Ketakutan Menjadi Optimisme), h.

4

banyak yang diinformasikan agama atau atas nama agama itu tidak mudah dicerna akal. Kendati demikian, mempercayai hal-hal yang diinformasikan agama dalam bidang metafisika, walau tidak dipahami oleh akal tidak berarti merendahkan peranan akal atau nalar,5 malah sebaliknya, ini menunjukkan kebesaran Sang Maha Pencipta Allah Swt. dan menunjukkan bahwa ilmu manusia hanyalah sedikit. Al-Qur’an sebagai pedoman umat Islam telah membahas tentang kematian. Al-Qur’an menggambarkan kematian menggunakan kata al-Ajal, al-

Maut, dan al-Wafa>h. Kata al-Ajal yang bermakna kematian dalam Mu’jam Mufahras li Ma’ani al-Qur’an tercatat ada tujuh kata,6 al-Maut dalam Mu’jam Mufahras li al-Fa>z al-Qur’an al-Kari>m tercatat ada 163 kata dengan berbagai bentuk baik isim maupun fi’il7, dan al-Wafah yang bermakna kematian ada 23.8 Menurut Muhammad al-Ra>gib al-As}faha>ni, kata al-Ajal mempunyai arti masa berakhirnya sesuatu dan bisa dimaknai dengan masa berakhirnya kehidupan manusia.9 Ini menunjukkan bahwa setiap yang hidup mempunyai batas usia dan akan diakhiri dengan kematian. Sedangkan makna al-Maut sering dipahami dengan terpisahnya roh dari jasad. Walaupun kebanyakan maknanya terpisahnya roh dari jasad, tapi ada

5

11.

6

M. Quraish Shihab, Kehidupan Setelah Kematian Surga yang Dijanjikan Al-Qur’an, h.

Muhammad Basa>m Rusydi>, ‚Mu’jam Mufahras Li Ma’ani al-Qur’an, (Beirut: Dar alFikr, 1995), h. 1153. 7 Muhammad Fu’ad Abd Baqi>, “Mu’jam Mufahras Li al-Fa>z} al-Qur’an al-Kari>m,‛ (Mesir: Dar al-Hadis, 1943) h. 678-680. 8 Muhammad Basa>m Rusydi>, ‚Mu’jam Mufahras Li Ma’ani al-Qur’an, h. 1315-1316. 9 Abi> al-Qasim Ibn Muhammad al-Ra>gib al-As}faha>ni>, ‚Mufrada>t Fi> Gari>b al-Qur’a>n‛ , Juz 2, (T.tp: Maktabah Nazar al-Musthafa al-Bazi, T.th), h. 13.

5

makna lain selain makna tersebut. Menurut Ahmad Ibn Fa>ris al-Maut adalah hilangnya kekuatan, dan juga bisa dimaknai dengan kebalikan dari hidup.10 Kata al-Maut setelah dikorelasikan dengan kata sebelum dan sesudahnya ternyata tidak hanya diartikan terpisahnya ruh dari jasad, melainkan memiliki artiarti lain secara majazi. Di dalam kitab Mufrada>t Gari>b al-Qur’a>n setidaknya terdapat lima makna, yaitu: 1) Mati adalah hilangnya kekuatan na>miyah yang ada pada manusia, hewan dan tumbuhan. 2) Mati adalah hilangnya kekuatan al-Hasah (pengetahuan dan perasaan). 3) Mati karena hilangnya kekuatan akal. 4) Mati dalam arti kehawatiran atau ketakutan. 5) Mati dalam arti tidur.11 Selain itu dalam Mu’jam Mufahras li Ma’ani al-Qur’an kata al-Maut mempunyai topik ayat yang lebih bervariatif bila dibandingkan dengan kata ajal dan wafah. Setidaknya kata al-Maut ada 32 topik yang tercatat dalam Mu’jam

Mufahras li Ma’ani al-Qur’an.12 Maka dari itu kematian (al-Maut) ini menarik untuk diteliti. Hubungan antara kata (lafaz}) dan makna tidak bisa dipisahkan. Lafaz} adalah apa yang diucapkan, baik terdengar maupun tertulis. Sedangkan, makna adalah kandungan lafaz} dan tujuan yang hendak dicapai dengan pengucapan atau penulisannya.13 Jadi seorang penafsir harus mengusai dengan baik kaidah-kaidah

10

Abi> al-Husain Ahmad Ibn Fa>ris Ibn Zakariya>, ‚Mu’jam Maqa>yi>s al-Lugah‛, juz 5, (T.tp: Dar al-Fikr, T.th), h. 283. 11 Abi> al-Qasim Ibn Muhammad al-Ra>gib al-As}faha>ni>, ‚Mufrada>t Fi> Gari>b al-Qur’a>n‛ , h. 616. 12 Muhammad Basa>m Rusydi>, ‚Mu’jam Mufahras Li Ma’ani al-Qur’an, h. 1153-1159. 13 M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-ayat al-Qur’an (Tangerang: Lentera Hati, 2013), h. 75-76.

6

bahasa Arab.14 Tanpa penguasaan bahasa Arab dengan baik, maka sulit seorang penafsir dapat menafsirkan al-Qur’an dengan benar, sebab al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab. Untuk itu diperlukan kitab tafsir dalam memahami makna dan pesan yang terkandung dalam al-Qur’an supaya mendapat pemahaman yang jelas dan tidak tergelincir pada pemahaman yang salah. Maka dari itu skripsi ini akan membahas tentang “Makna Al-Maut Menurut KH.Misbah Musthafa dalam Tafsi>r al-Ikli>l

fi> Ma’a>ni> Al-Tanzi>l”. Tafsir Al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> Al-Tanzi>l dipilih penulis karena kekaguman terhadap Kiai Misbah Musthafa yaitu seorang Kiai pesantren dan dibesarkan di lingkungan pesantren yang tidak bisa lepas dari kajian kitab kuning dan gramatika bahasa Arab yaitu ilmu nahwu, sharaf dan balagah dapat menulis kitab tafsi>r lengkap 30 juz. Latar belakang intelektual Kiai Misbah dalam bidang agama dimulai dari belajar di Pondok Pesantren Kasingan Rembang dibawah asuhan KH.Khalil bin Harun pada tahun 1928. Orientasi pendidikan Misbah terfokus untuk mempelajari ilmu gramatika dengan menggunakan kitab al-Juru>miyah, al-‘Imrit}i> dan alfiyah. Pada usianya yang masih muda Misbah berhasil mengkhatamkan alfiyah sebanyak 17 kali. Setelah merasa paham dan matang dalam ilmu bahasa Arab, Misbah kemudian mendalami berbagai disiplin ilmu-ilmu keagamaan, seperti

fiqh, ilmu kalam, h}adis\, tafsi>r, dan lain-lain. Selain menimba ilmu pada

14

336.

Nasruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h.

7

KH.Khalil, ia juga berguru kepada KH.Hasyim Asy’ari di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang.15 Misbah Musthafa terbilang Kiai yang produktif, disela-sela kesibukannya mengajar dan berdakwah, ia menulis dan menerjemahkan kitab-kitab kedalam bahasa jawa. Salah satu kitab terbesarnya adalah Tafsi>r al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> al-

Tanzi>l. Tafsi>r al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l adalah kitab tafsi>r yang ditulis dengan huruf pegon yaitu menggunakan aksara Arab berbahasa Jawa. Kitab ini ditulis lengkap 30 juz sesuai urutan mushaf al-Qur’an yang dibagi menjadi 30 jilid dan satu jilid terdiri dari satu juz.

Tafsi>r al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l memliki ciri husus, selain dimaknai gandul (arti perkata dibawah ayat al-Qur’an), Kiai Misbah juga membagi penjelasan terhadap ayat menjadi dua bagian, secara global ditandai dengan satu garis mendatar, dan secara rinci ditandai dengan dua garis mendatar. Kiai Misbah juga menggunakan istilah-istilah tertentu yang menunjukkan adanya sesuatu yang penting dari ayat tersebut. Istilah-istilah tersebut diantaranya “keterangan”, “masalah”, “tanbih”, “faedah”, dan “kisah”. Atas latar belakang tersebut, penulis memilih tafsir al-Iklil karya Misbah Musthafa sebagai analisis. Untuk memfokuskan penelitian supaya pembahasan tidak kabur dan banyaknya ayat yang membahas kematian maka peneliti

15

Ahmad Baidowi, “Aspek Lokalitas Tafsir al-Ikli>k Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l Karya KH. Misbah Musthafa, dalam NUN (Studi al-Qur’an dan Tafsir di Nusantara), Vol. 1, no. 1, 2015, h. 36-37.

8

membatasi hanya membahas kata al-Maut dalam bentuk masdar yang berupa isim

ma’rifat dan nakirah dalam tafsir Al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> Al-Tanzi>l. Peneliti memilih membahas kata al-Maut dalam bentuk masdar yang berupa isim ma’rifat dan nakirah, tidak lain karena masdar adalah induknya kalimat, sedangkan isim ma’rifat dan isim nakirah mempunyai keunikan tersendiri, yaitu dalam kaidah tafsir dijelaskan: “Jika isim nakirah diulang, maka yang kedua bukan yang pertama, dan jika isim ma’rifat terulang maka yang kedua adalah yang pertama”. Contohnya dalam Qs. al-Insyirah: 5-6.

          “Karena Sesungguhnya sesudah kesulitan Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.”

itu

ada

kemudahan,

Berdasarkan kaidah tafsir diatas, maka yang dimaksud dengan kesulitan pada ayat 5 dan 6 mempunyai berat yang sama, akan tetapi kemudahan yang didapat dalam ayat 5 berbeda dengan kemudahan pada ayat 6. Dalam penelitian ini tidak membahas semua ayat al-Maut yang telah dibatasi dalam bentuk ism masdar, akan tetapi akan membahas beberapa ayat yang mewakili topik ayat yang berhubungan dengan pembahasan. Berdasarkan latar belakang diatas, yaitu kematian merupakan peristiwa yang dahsyat yang dapat mempengaruhi kehidupan seseorang, dan kematian dalam al-Qur’an tidak hanya bermakna terlepasnya roh dari jasad akan tetapi kematian mempunyai makna konotasi yang berbeda, selain itu Allah menciptakan kematian pasti mempunyai maksud dan tujuan tertentu, maka dari itu peneliti

9

ingin meneliti “Makna Al-Maut Menurut KH.Misbah Musthafa dalam Tafsi>r

Al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> Al-Tanzi>l”. Tafsi>r al-Ikli>l dipilih karena kekaguman kepada Kiai Misbah Musthafa seorang lulusan podok pesantren dan juga pendakwah dapat menulis tafsir lengkap 30 juz. Selain kekaguman terhadap beliau, dalam tafsi>r al-Ikli>l terdapat tiga penjelasan yaitu ditafsirkan perkata, penjelasan secara umum yang ditandai dengan satu garis, dan penjelasan secara terperinci yang ditandai dengan dua garis mendatar. Kadang Misbah Musthafa juga menggunakan kata tanbihun yang digunakan untuk menambahkan keterangan jika diperlukan. B. Rumusan Masalah Berdasarkan pemaparan dan uraian latar belakang diatas, maka pokok permasalahan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Apa makna al-Maut menurut KH.Misbah Musthafa dalam Tafsi>r al-Ikli>l fi>

Ma’a>ni> al-Tanzi>l? 2. Apa konteks keragaman makna al-Maut menurut KH.Misbah Musthafa dalam Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l? C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengetahui makna al-Maut menurut Misbah Musthafa dalam Tafsi>r al-Ikli>l fi>

Ma’a>ni> al-Tanzi>l. 2. Mengetahui konteks keragaman makna al-Maut menurut Misbah Musthafa dalam Tafsi>r al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l.

10

D. Manfaat dan Kegunaan Penelitian Manfaat dan kegunaan dalam penelitian ini secara garis besar dapat dibagi menjadi dua, yaitu secara akademis dan sosial. 1. Manfaat secara akademis, diharapkan dapat memberikan sumbangan (kontribusi) pemikiran dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan dan wacana keislaman dengan melengkapi data-data yang sudah ada sebelumnya. 2. Manfaat secara sosial, diharapkan penelitian ini dapat memberikan pemahaman hususnya kepada penulis, dan umumnya kepada kaum muslimin bahwa makna kematian (al-Maut) tidak selamanya berarti terpisahnya roh dari jasad, akan tetapi mempunyai makna lain dan juga banyak fenomena tentang kematian. Menambah ketaqwaan kepada Allah Swt. sehingga bisa menyeimbangkan antara kehidupan dunia dan ahirat. E. Tinjauan Pustaka Kajian mengenai kematian (al-Maut), KH.Misbah Musthafa dan Tafsi>r al-

Ikli>l fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l bukanlah merupakan hal yang baru dalam penelitian. Sejauh penelusuran yang dilakukan oleh penulis, banyak karya-karya yang telah dihasilkan dari pembahasan tentang kamatian, KH.Misbah Musthafa dan Tafsi>r

al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l baik dalam bentuk buku, skripsi, maupun jurnal. Maka literatur-literatur yang dijadikan tinjauan pustaka dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga, yaitu yang berhubungan dengan al-Maut, KH.Misbah Musthafa, dan Tafsir al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l. Dari sejauh penelusuran yang penulis lakukan terdapat karya-karya terdahulu yang relevan dengan penelitian ini diantarnya adalah:

11

Skripsi yang ditulis oleh Supriyanto dengan judul “Makna Hidayah Menurut Misbah Musthafa (Studi Atas Tafsir al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l), ia menjelaskan makna hidayah menurut Misbah Musthafa. Menurutnya, Misbah Musthafa dalam tafsir al-Ikli>l setidaknya mengartikan hidayah menjadi tiga makna, yaitu petunjuk, penerang dan pertolongan. Perbedaan penafsiran dengan ulama lain yaitu Misbah lebih mengarahkan kepada aplikasi makna hidayah dengan diarahkan kepada amal lahiriah yang berkembang di masyarakat.16 Skripsi yang ditulis oleh Siti Zakiyatul Humairoh berjudul “Penafsiran Kyai Misbah Bin Zainal Musthafa Terhadap Ayat-Ayat Mutasya>biha>t dalam

Tafsi>r al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l Ma>wi> Tarjamah Baha>sa> Ja>wi>‛, ia memfokuskan meneliti penafsiran Misbah Musthafa terhadap ayat-ayat mustasya>biha>t. Menurutnya, Misbah Musthafa dalam menafsirkan ayat-ayat mustasya>biha>t mengikuti ulama khalaf yaitu dengan mentakwilkannya, dan tidak jarang juga mengikuti pendapat ulama salaf yaitu lebih membiarkannya.17 Skripsi yang ditulis oleh Muhammad Sholeh berjudul “Studi Analisis Hadis-Hadis Tafsi>r al-Ikli>l Karya K.H Misbah Zain Bin Musthafa (Surat Al-D{uha> Sampai Surat Al-Na>s)”, ia meneliti kualitas hadis-hadis yang terdapat pada Tafsi>r

al-Ikli>l yang dimulai dari surat al-D}uha> sampai al-Na>s. Muhammad Sholeh membagi hadis dalam tafsir al-Ikli>l menjadi tiga kategori, yaitu: hadis yang tidak ada sanad dan matan, yaitu menggunakan bahasa penafsir sendiri, hadis yang

16

Supriyanto, “Makna Hidayah Menurut Kyai Misbah Musthafa (Studi Atas Kitab Tafsir Al-Iklil Fi Ma’ani Al-Tanzil)”, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin IAIN Surakarta, 2010). 17 Zakiyatul Humairoh, “Penafsiran Kyai Misbah Bin Zainal Musthafa Terhadap AyatAyat Mutasya>biha>t dalam Tafsir al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l Ma>wi> Tarjamah Baha>sa> Ja>wi‛>. (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Surakarta, 2016).

12

hanya menggunakan potongan matannya saja tidak ada sanadnya, dan terakhir hadis yang terdapat sanad dan matannya. Muhammad Sholeh memfokuskan meneliti hadis kategaori kedua, yaitu hadis yang hanya menggunakan potongan matannya saja, dan didapat kesimpulan hadis yang digunakan dalam tafsir al-Ikli>l hususnya mulai surat al-D}uha> sampai

al-Na>s mempunyai kualitas yang berbeda. Ada yang menggunakan hadis dhaif, dan juga ada yang menggunakan hadis sahih. Selain membahas kualitas hadis di dalamnya juga terdapat biografi, karya KH.Misbah Musthafa, latar belakang penulisan, sistematika, dan corak penulisan kitab Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-

Tanzi>l.18 Artikel yang ditulis oleh Ahmad Baidlowi yang berjudul “Aspek Lokalitas Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, ia menjelaskan unsur lokalitas Tafsi>r

al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, diantaranya: 1) Lokalitas dalam penampilan, yaitu menggunakan aksara pegon, dan makna gandul. 2) Lokalitas komunikasi yaitu menggunakan bahasa Jawa. 3) Lokalitas penafsiran, diantaranya Misbah Musthafa mengkritik tradisi Jawa, mengkritik terjemahan lokal yaitu makna al-Baqarah, mengkritik Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ), dan juga mengkritik soal pengkultusan guru.19 Skripsi UIN Syarif Hidayatullah yang ditulis oleh Abdul Basit yang berjudul “Kematian dalam al-Qur’an: Perspektif Ibn Kas\i>r”, ia mendeskripsikan tentang kematian menurut Ibn Kathi>r yang terfokus pada empat tema, yaitu 18

Muhammad Sholeh, “Studi Analisis Hadis-Hadis Tafsir al-Iklil Karya K.H Misbah Zain Bin Musthafa (Surat Ad-Dhuha sampai Al-Nash), (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin UIN Wali Songo, Semarang, 2015). 19 Ahmad Baidowi, “Aspek Lokalitas Tafsir al-Ikli>k fi> Ma’a>ni> al-tanzi>l Karya KH. Misbah Musthafa, dalam NUN (Studi al-Qur’an dan Tafsir di Nusantara), Vol. 1, No. 1, 2015.

13

kematian adalah ketentuan yang pasti, tiap-tiap umat mempunyai ajal, sesaat menjelang kematian dan cobaan-cobaan. Ayat-ayat yang ditafsirkan menurut Ibn Katsi>r diantaranya adalah Qs. al-Nisa>’: 78, Qs. A
  • n: 185, dan 156-158, serta Qs. al-Jum’ah: 5-8. Abdul Basit mendeskripsikan penafsiran Ibn Kas\i>r tentang ayat-ayat kematian yang terfokus pada ayat-ayat di atas, dan mendapat kesimpulan bahwa kematian merupakan kepastian dan untuk mempersiapkannya sebaiknya tidak mengikuti perbuatan-perbuatan orang kafir.20 Artikel yang ditulis oleh Umar Latif yang berjudul “Konsep Mati dan Hidup (Pemahaman Berdasarkan Konsep Eskatologis)” yang dimuat dalam jurnal Al-Bayan Vol. 22, No. 34 tahun 2016, ia menggambarkan bahwa mati dan hidup merupakan keniscayaan yang harus dilalui manusia. Umar Latif menyimpulkan bahwa mati dan hidup berdasarkan konsep Islam merupakan rantai kehidupan yang saling berhubungan. Artinya kematian adalah satu dimensi kehidupan berikutnya dan akan berlangsung setelah proses kehidupan yang pertama.21 Artikel yang ditulis oleh Murtiningsih dalam Jurnal Intizar, Vol. 19, No. 2, tahun 2013 dengan judul “Hakikat Kematian Menurut Tinjauan Tasawuf”, ia menguraikan kematian menurut kaum sufi, islam dan medis. Murtiningsi menyimpulkan kematian menurut kaum sufi adalah orang yang hatinya mati, yaitu tidak dapat menerima kebenaran. Al-Qur’an menyebut kematian dengan kata

    maut, ajal, dan wafat.22

    20

    Abdul Basit, “Kematian dalam Al-Qur’an: Perspektif Ibn Kas\i>r”, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2014). 21 Umar Latif, “Konsep Mati dan Hidup dalam Islam (Pemahaman Berdasarkan Konsep Eskatologis), dalam Al-Bayan, Vol. 22, No. 34, Juli-Desember, 2016. 22 Murtiningsih, “Hakikat Kematian Menurut Tinjauan Tasawuf”, dalam Intizar, Vol. 19, No. 2, 2013.

    14

    Dari tinjauan pustaka yang dipaparkan diatas, memang ada yang membahas tentang Tafsi>r al-Ikli>l karya Misbah Musthafa dan kematian, tapi yang membahas secara spesifik yang terfokus pada kata al-Maut menurut Misbah Musthafa dalam Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l belum ada. F. Kerangka Teori Penelitian ini menggunakan kerangka teori tafsir sastra terhadap al-Qur’an yang digagas oleh Ami>n al-Khulli>. Pandangan Ami>n al-Khulli> mengenai tafsir alQur’an (yakni, penafsiran teks itu sendiri dengan menggunakan studi-studi yang terdahulu) sama pentingnya. Pertama, ia ingin dalam menulis tafsir al-Qur’an agar memperhatikan subjek dan tidak membatasi pada penafsiran satu bagian saja dengan mengabaikan pernyataan-pernyataan lain al-Qur’an terhadap topik yang sama. Kedua, perlu menekankan studi cermat atas setiap kata al-Qur’an, tidak saja dengan bantuan kamus-kamus klasik melainkan juga pada tahap pertama dengan bantuan adanya paralel al-Qur’an dan lafaz}

    ataupun mashadir yang sama.

    Terakhir, mufassir seharusnya menganalisis al-Qur’an menggabungkan lafaz}-lafaz} kedalam kalimat dan hendaknya berusaha menjelaskan efek psikologis bahasa alQur’an terhadap para pendengarnya.23 Dari uraian diatas, Amin al-Khulli membagi kajian teks al-Qur’an menjadi dua tahap, yaitu: 1. Kajian sekitar al-Qur’an (dira>sah ma> h}aul al-Qur’a>n). 2. Kajian terhadap al-Qur’an itu sendiri (dira>sah ma> fi> al-Qur’a>n nafsih).

    23

    J.J G. Jansen, Diskursus Tafsir al-Qur’an Modern, Pengantar Mohamad Nur Kholis, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1997), h. 108-109.

    15

    Pada kajian yang pertama (dira>sah ma> h}aul al-Qur’a>n) diarahkan pada investigasi aspek sosio-historis, geografis-kultural, dan antropologis wahyu. Sedangkan kajian yang kedua (dira>sah ma> fi> al-Qur’a>n nafsih) dimaksudkan pada kata-kata individual semenjak diturunkan, pemakaiannya dalam al-Qur’an serta sirkulasinya dalam bahasa Arab. Pelacakan evolusi kata individual ini diikuti kajian terhadap struktur kalimat dan frasa-frasa tertentu dengan perangkat ilmu bahasa Arab, akan tetapi tidak boleh melewati batas-batas keperluan, yakni hanya untuk menangkap keindahan struktur teks. Kemudian disusul pemberian makna yang hati-hati agar diperoleh pengertian semestinya yang dikehendaki teks.24 Karena penelitian ini penelitian tafsir maka langkah pertama berkaitan dengan kajian sekitar kitab tafsir, yaitu dengan mencari aspek sosio-historis kitab tafsir, geografis-kultural, dan antropologis kitab tafsir dan berusaha mencari latar belakang dan kehidupan sosial penafsir. Kemudian langkah kedua berkaitan dengan kajian kitab tafsir itu sendiri, yaitu dengan diarahkan pada mencari metodologi, corak, gaya bahasa dan penafsiran terhadap kata dan ayat al-Qur’an tersebut dengan cara: 1. Mengumpulkan setiap ayat yang membicarakan objek kajian yang dipilih yaitu al-Maut sehingga tidak berpusat pada satu ayat saja. 2. Memaknai apa adanya sesuai yang ada dalam kitab tafsir. 3. Menganalisis bagaimana Misbah Musthafa menafsirkan suatu ayat dengan metodologi yang dipakai.

    24

    Ibid., h. XV

    16

    Dengan langkah-langkah tersebut secara teoritik penelitian ini diharapkan dapat menjawab rumusan masalah yang diajukan peneliti sehingga dapat memberikan sumbangan keilmuan keislaman, dan dapat mencapai tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti. G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Metode penelitian merupakan aspek yang tidak bisa dipisahkan dari sebuah penelitian. Bahkan keberadaan metode tersebut akan membentuk karakter keilmiahan dari sebuah penelitian. Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (Library Research),25 yaitu penelitian yang berusaha mendapatkan data dengan cara membaca dan meneliti literatur atau bahanbahan yang tertulis. 2. Sumber Data Dalam melakukan penelitian ini, penulis akan melakukan penelitian dengan menggunakan bahan kepustakaan (library research), maka tehnik yang digunakan adalah pengumpulan data secara literatur, yaitu penggalian bahan pustaka yang sesuai dan berhubungan dengan objek pembahasan. Oleh karena itu sumber data dalam penelitian ini dibagi menjadi dua bagian. a. Data primer, yaitu data-data yang diperoleh langsung dari hasil pengumpulan dari obyek penelitian, yaitu Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-

    Tanzi>l.

    25

    Mardalis, Metode Penelitian; Suatu Pendekatan Proposal, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 1999), h. 28.

    17

    b. Data sekunder, yaitu bahan-bahan pustaka yang berkaitan dengan sumber primer serta pembahasan dalam penelitian, baik berupa literatur kitab-kitab tafsir para mufassir yang lain, Mu’jam Mufahras Li al-Fa>d}

    al-Qur’a>n al-Kari>m buku sosial, skripsi, majalah, jurnal dan sumber lain yang dijadikan rujukan yang dapat mendukung dalam penelitian ini. 3. Teknik Pengumpulan Data Karena penelitian ini termasuk kajian tafsir yang terfokus pada sebuah tema, maka langkah-langkahnya yaitu: a. Mengumpulkan ayat-ayat yang menggunakan lafaz} al-Maut dalam alQur’an dengan menggunakan Mu’jam Mufahras Li al-Fa>d} al-Qur’a>n al-

    Kari>m. b. Mengidentifikasi ayat yang berhubungan dengan tema. c. Mendeskripsikan penafsiran Misbah Musthafa mengenai ayat al-Maut. d. Menganalisis penafsiran Misbah Musthafa baik dari segi metodologi maupun pokok pemikirannya 4. Analisis Data Penelitian ini berusaha mengkaji kitab tafsir dengan mengambil tema tertentu (tematik) dengan menggunakan metode deskriptif-analitis, yaitu menjelaskan fakta atau pemikiran tokoh apa adanya dalam kitab tafsir agar dapat diterima secara rasional. Pada prakteknya, yaitu menggambarkan tentang apa yang akan diteliti, bagaimana pola pikirnya, ciri-ciri mendasar dan melakukan perbandingan. Dalam hal ini penulis menggambarkan biografi Misbah

    18

    Musthafa dan ruang sosial yang melingkupinya, selanjutnya mendeskripsikan

    Tafsi>r al-Ikli>l, kemudian mengungkapkan ayat-ayat yang menggunakan lafaz} al-Maut dan mendiskripsikan apa adanya. Setelah tergambar semuanya, kemudian mengambil kesimpulan dari penafsiran Misbah Musthafa baik dari segi metodologi maupun pokok pemikirannya. H. Sistematika Pembahasan Agar dapat difahami secara mudah dan sistematis, maka bahasan-bahasan dalam skripsi akan dibagi menjadi lima bab. Adapun gambaran dari masingmasing bab dan bahasan tersebut sebagai berikut: Bab

    pertama

    merupakan

    pendahuluan,

    tujuannya

    adalah

    untuk

    memberikan gambaran umum mengenai persoalan yang akan diteliti. Gambaran umum ini meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori, metode penelitian, dan sistematika pembahasan. Bab ini merupakan awal dari pembahasan yang akan dikaji. Bab kedua berisi penjelasan mengenai biografi Misbah Musthafa, dan seputar kitab Tafsi>r al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l. Selanjutnya dalam bab ini akan dipaparkan tentang hal-hal yang berkaitan dengan latar belakang kehidupan dan sosial

    politik,

    perjalanan

    intelektual,

    karya-karyanya.

    Kemudian

    akan

    dideskripsikan pula mengenai Tafsi>r al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l dari segi latar belakang penulisannya, sistematika kitab, serta metode

    penafsiran yang

    digunakan. Bab ketiga berisi pembahasan tentang tema penelitian. Bab ini berisi tentang kategorisasi dan variasai kata al-Maut, yang didalamnya meliputi

    19

    pengertian, kategorisai ayat-ayat yang menggunakan kata al-Maut, redaksi ayat beserta penafsiranya KH.Misbah Musthafa dalam Tafsi>r al-Ikli>l fi> Ma’a>ni al-

    Tanzil. Bab keempat merupakan inti berisi tentang penafsiran Misbah Musthafa terhadap ayat-ayat al-Maut, dan kontekstualisasi maknanya. Kemudian akan dilanjutkan dengan analisis penafsiran Misbah Musthafa terhadap ayat-ayat al-

    Maut dalam Tafsi>r al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l. Bab kelima merupakan penutup, yang berisi tentang kesimpulan dan saran-saran yang direkomendasikan penulis untuk penelitian berikutnya.

    BAB II KH.MISBAH MUSTHAFA DAN TAFSI
    Muhammad Sholeh, “Studi Analisis Hadis-Hadis Tafsir al-Iklil Karya K.H Misbah Zain Bin Musthafa (Surat Ad-Dhuha sampai Al-Nash), (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin UIN Wali Songo, Semarang, 2015), h. 35. 2 Ibid., h. 36.

    20

    21

    Juru>miyah, al-‘Imrit}i> dan Alfiyah. Pada usianya yang masih muda Misbah berhasil mengkhatamkan Alfiyah sebanyak 17 kali. Setelah merasa paham dan matang dalam ilmu bahasa Arab, Misbah kemudian mendalami berbagai disiplin ilmu-ilmu keagamaan, seperti fiqh, kalam, h}adi>s}, tafsi>r, dan lain-lain.3 Setelah mendalami ilmu agama di Kasingan, Misbah kecil meneruskan menimba ilmu di Tebuireng Jombang, asuhan KH.Hasyim Asy’ari, disinilah ia dikenal kecakapannya dalam ilmu alat, sehingga sangat disegani baik oleh senior dan junior. Hal itu bisa dimaklumi, karena semasa di Kasingan Misbah Musthafa sudah popular “ngelotok” atau mumpuni dalam memahami kitab Alfiyah Ibnu Malik, sehingga ketika di Tebuireng ia sering diminta temannya untuk mendemonstrasikan metode pengajaran

    Alfiyah Ibnu Malik yang diterapkan di Kasingan, yang terkenal dengan sebutan “Alfiyah Kasingan”.4 Setelah menyelesaikan di Tebuireng ia memperdalam pendidikan agamanya di Makah. Setelah mempelajari aneka ragam disiplin ilmu-ilmu keagamaan melalui sumber-sumber yang terdapat dalam kitab kuning, Misbah pun kemudian mempelajari ilmu-ilmu agama melalui penelaahan langsung terhadap sumber primer, yaitu al-Qur’an. Dengan memahami langsung ayat-ayat al-Qur’an Misbah semakin yakin terhadap pengetahuan

    Ahmad Baidowi, “Aspek Lokalitas Tafsir al-Ikli>k fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l Karya KH. Misbah Musthafa, dalam NUN (Studi al-Qur‟an dan Tafsir di Nusantara), Vol. 1, No. 1, 2015, h. 36-37. 4 Muhammad Sholeh, “Studi Analisis Hadis-Hadis Tafsir al-Iklil Karya K.H Misbah Zain Bin Musthafa (Surat Ad-Dhuha sampai Al-Nash), h. 35. 3

    22

    yang dimiliknya. Misbah kemudian sering berdakwah dari satu kampung kekampung yang lain untuk menyebar luaskan ajaran Islam. Misbah Musthafa adalah seorang pendakwah yang cukup populer saat itu, selain juga seorang qari’ yang pandai dalam melagukan bacaan al-Qur’an. Sebelum tampil untuk berdakwah sering kali Misbah tampil juga sebagai qari’ dalam sebuah pengajian.5 Pada tahun 1940, KH.Misbah dijodohkan oleh KH.Achmad Bin Syu’ab (Sarang Rembang) dengan putri KH.Ridwan dari desa Bangilan Tuban. Dari perkawinannya dikaruniai lima anak, dua orang putri dan tiga orang putra yaitu: Syamsiyah, Hamnah, Abdullah Badik,dan Ahmad Rafiq.6 Setelah KH.Ridwan meninggal dunia, semua kegiatan pondok diserahkan kepada Misbah Musthafa. Dan mulai saat itulah ia mulai mengasuh pondok pesantren al-Balagh, yang terletak di dusun Karangtengah, kecamatan Bangilan, kabupaten Tuban. Semasa hidupnya Misbah dikenal sangat produktif menulis, kurang lebih 200 judul kitab telah diterjemahkan, baik kedalam bahasa Indonesia maupun kedalam bahasa Jawa yang ditulis dengan huruf Arab Pegon, seperti Safinah al-Najah, al-Muhadzab, Sulam al-

    Nahwu, Ibnu Aqil, Jum’aul Jawami’, al-Hikam, Ihya’ Ulum al-Din, dan Tafsir Jalalain. Dari beragam karya yang diterbitkan dan beredar di masyarakat, menunjukkan bahwa pengetahuannya tidak hanya satu spesifikasi, melainkan hampir seluruh bidang ilmu agama dikuasainya, seperti Ahmad Baidowi, “Aspek Lokalitas Tafsir al-Ikli>k fi> Ma’a>ni> al-tanzi>l Karya KH. Misbah Musthafa, dalam NUN (Studi al-Qur‟an dan Tafsir di Nusantara), h. 37 6 Muhammad Sholeh, “Studi Analisis Hadis-Hadis Tafsir al-Iklil Karya K.H Misbah Zain Bin Musthafa (Surat Ad-Dhuha sampai Al-Nash), h. 36. 5

    23

    tata bahasa, Fiqh, Hadi>s}, Tafsi>r, Bala>gah, Tasawuf, Kala>m, dan lain-lain. Hanya satu bidang yang tidak ia sentuh, yaitu mantiq atau logika. Sehari-hari ia menulis dan menerjemahkan kitab, tidak kurang 100 lembar tulisan tangan, yang kemudian diserahkan kepada para penulis indah (Khatthath) untuk disalin. Kesibukannya ini tidak pernah meninggalkan kewajibannya mengajar santri.7 Selain penulis dan pengajar, KH.Misbah juga sempat menjabat sebagai PJS camat Bangilan. Di masyarakat dia dikenal sebagai pribadi yang tegas tanpa kompromi dalam memutuskan suatu masalah atau hukum. Sering kali Misbah berbeda pendapat dengan pemerintahan Orde Baru, bahkan pernah suatu kali mengharamkan program Keluarga Berencana dan

    Musa>baqah Tila>wah al-Qur’an (MTQ), yang menjadi program andalan Orde Baru.8 Disisi lain KH.Misbah Musthafa juga aktif dalam kegiatan politik, dengan motivasi berdakwah melalui parti-partai atau ormas. Pertama Misbah aktif di partai NU, namun karena ada perselisihan tentang masalah keabsahan BPR (Bank Perkeriditan Rakyat), ia keluar. Misbah Musthafa beranggapan bahwa BPR mempraktikan riba, oleh karena itu haram. Semantara itu partai NU menganggap bunga Bank tidak riba, sehingga tidak masalah. Perbedaan pandangan ini merupakan salah satu pemicu keluarnya Misbah dari partai NU. Setelah keluar dari partai NU, ia kemudian masuk ke partai Masyumi, meskipun tidak lama. Misbah kemudian keluar dan masuk partai PPI (Partai 7 8

    Ibid., h. 36. Ibid.

    24

    Persatuan Indonesia. Keikutsertaannya dalam partai PII juga tidak berlangsung lama, karena Misbah Musthafa kemudian masuk partai Golkar. Dalam partisipasinya dipartai Golkarpun tidak berlangsung lama. Kemudian ia keluar dan berhenti sama sekali dari kegiatan politik. Menurut Gus Nafis bahwa masuknya Misbah Muthafa dalam partai politik yaitu bertujuan untuk berdakwah. Oleh karena itu, Misbah sering berdiskusi dengan teman-teman dalam partainya terutama masalah yang sedang trend di masyrakat. Selain itu alasan Misbah Musthafa sering keluar masuk dalam suatu partai karena beliau merasa bahwa pendapatnya tidak sesuai dengan pendapat yang dianut oleh teman-temanya di partai.9 Setelah berhenti dalam kegiatan berpolitik, Misbah Musthafa kemudian

    banyak

    menghabiskan

    waktunya

    untuk

    mengarang

    dan

    menerjemahkan kitab-kitab ulama salaf. Karena menurut Misbah bahwa berdakwah yang paling efektif dan bersih dari pamrih dan kepentingan apapun adalah menulis, mengarang, dan menterjemahkan kitab. Pada usia 78 tahun, tepatnya pada hari senin 07 Dzul Qa’dah 1414 H, atau bertepatan dengan 18 april 1994 M, ia wafat, dengan meninggalkan dua istri, lima putra beserta karyanya yang belum selesai antara lain: enam buah kitab berbahasa Arab yang belum sempat diberi judul dan tafsir Taj al-Muslimi>n yang sampai wafatnya baru selesai empat juz.10

    9

    Ibid., h. 37. Ibid., h. 38.

    10

    25

    2. Karya-karya Misbah Musthafa. Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa Misbah Musthafa mengusai berbagai bidang agama, hal itu terbukti dengan banyaknya karyanya dalam bidang fiqh, tata bahasa Arab, tafsir, tasawuf, dan lain-lain. Diantara karyanya adalah11: a. Dalam Bidang fiqh 1. Karya Asli a. Karya asli dalam bahasa Jawa. 1. Manasik Haji dalam bahasa Jawa dengan penerbit Majlis Ta’lif Wa al-Khatath, Bangilan, Tuban. 2. Masa>il al-Jana>iz dalam bahasa Jawa dengan penerbit Majlis Ta’lif Wa al-Khatath, Bangilan, Tuban. 3. Masa>il al-Nisa’ dalam bahasa Jawa dengan penerbit Balai Buku Surabaya. 4. Masa>il al-Jana>iz dalam bahasa Jawa dengan penerbit Kiblat Surabaya. 5. Fasholatan dalam bahasa Jawa dengan penerbit Sumber Surabaya. b. Karya asli dalam bahasa Indonesia. 1. Manasik Haji dalam bahasa Indonesia dengan penerbit Majlis Ta’lif Wa al-Khatath, Bangilan, Tuban. 11

    Siti Zakiyatul Humairoh, “Penafsiran KH.Misbah Musthafa terhadap Ayat-ayat Mustasyabihat dalam Tafsir al-Iklil fi Ma’ani al-Tanzil”, (Skripsi S1 Jurusan Tafsir Hadis IAIN Surakarta, 2015), h. 24-29.

    26

    2. Pegangan Modin dalam bahasa Indonesia dengan penerbit Kiblat Surabaya. 3. Fasholatan dalam bahasa Indonesia dengan penerbit Progresif Surabaya. 2. Karya Terjemahan a. Terjemahan dalam bahasa Jawa 1. Minha>j al-Abidi>n terjemahan dalam bahasa Jawa dengan penerbit Balai Buku Surabaya. 2. Matan Tah}ri>r terjemahan dalam bahasa Jawa dengan penerbit al-Ihsan Surabaya. 3. Masa>il al-Fara>id terjemahan dalam bahasa Jawa dengan penerbit Balai Buku Surabaya. 4. Minnah al-S}aniyyah terjemahan dalam bahasa Jawa dengan penerbit Balai Buku Surabaya. 5. Ubdat al-Fara>id terjemahan dalam bahasa Jawa dengan penerbit Balai Buku Surabaya. 6. Nu>r al-Mubi>n fi> Ada>b al-Mushalli>n terjemahan dalam bahasa Jawa dengan penerbit Majlis Ta’lif Wa al-Khatath, Bangilan, Tuban. 7. Jawa>hir al-Lammaah terjemahan bahasa Jawa penerbit Majlis Ta’lif Wa al-Khatath, Bangilan, Tuban. 8. Kifa>yat al-Akhya>r terjemahan dalam bahasa Jawa Juz 1 dengan penerbit Majlis Ta’lif Wa al-Khatath, Bangilan, Tuban.

    27

    9. Minhaj al-Abidin terjemahan dalam bahasa Jawa dengan penerbit Balai Buku Surabaya. 10. Safi>nah al-Najah terjemahan dalam bahasa Jawa dengan penerbit Balai Buku Surabaya. 11. Bahjal al-Masa>il terjemahan dalam bahasa Jawa dengan alIhsan Surabaya. 12. Minha>j al-Qawi>m terjemahan dalam bahasa Jawa dengan penerbit al-Ihsan Surabaya. 13. Sulam al-Taufiq terjemahan dalam bahasa Jawa dengan penerbit Balai Buku Surabaya. 14. Al-Bajuri> terjemahan dalam bahasa Jawa dengan penerbit Kiblat Surabaya. 15. Matan Taqri>b terjemahan dalam bahasa Jawa dengan penerbit Asco Surabaya. 16. Fath} al-Mu’i>n terjemahan dalam bahasa Jawa dengan penerbit Asco Surabaya. 17. Bida>yah al-Hida>yah terjemahan dalam bahasa Jawa penerbit Us\man Surabaya. b. Terjemahan dalam bahasa Indonesia 1. Al-Muhazab terjemahan dalam bahasa Indonesia dengan penerbit Karunia, Surabaya. 2. Abi> Jamrah terjemahan dalam bahasa Indonesia dengan penerbit Balai Buku Surabaya.

    28

    b. Dalam bidang Kaidah Bahasa Arab (Nahwu, Sharaf, dan Balaghah) 1. Karya terjemahan dalam bahasa Indonesia a. Jauhar al-Maknun terjemahan dalam bahasa Indonesia dengan penerbit Menara Kudus. 2. Karya terjemahan dalam bahasa Jawa a. Alfiyah Kubra terjemahan dalam bahasa Jawa dengan penerbit Balai Buku Surabaya. b. Naz}am maqsud terjemahan dalam bahasa Jawa dengan penerbit Balai Buku Surabaya. c. Naz}am Imriti> terjemahan dalam bahasa Jawa dengan penerbit Balai Buku Surabaya. d. Juru>miyyah terjemahan dalam bahasa Jawa dengan penerbit Majlis Ta’lif al-Khatath. e. Sulam al-Nahwu terjemahan dalam bahasa Jawa dengan penerbit Asegaf Surabaya. f. Jauhar al-Maknun terjemahan dalam bahasa Jawa dengan penerbit Karuni Surabaya. g. Alfiyah Sugra terjemahan dalam bahasa Jawa penerbit al-Ihsan Surabaya. c. Dalam Bidang Tafsir 1. Karya Asli a. Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’ani> al-Tanzi>l dalam bahasa Jawa dengan penerbit al-Ihsan Surabaya.

    29

    b. Taj al-Muslimi>n, Juz I, II, III, IV penerbit Majlis Ta’lif Wa alKhatath, Bangilan, Tuban. 2. Karya Terjemahan a. Terjemahan bahasa Indonesia

    Tafsi>r Jalalain terjemahan dalam bahasa Indonesia dengan penerbit Assegaf Surabaya. b. Terjemah bahasa Jawa 1. Tafsi>r Jalalain terjemahan dalam bahasa Jawa dengan penerbit Assegaf Surabaya. 2. Tafsi>r Su>rah Ya>si>n terjemahan dalam bahasa Jawa yang ditulis dengan bahasa Jawa. d. Dalam Bidang Hadis 1. Karya Asli a. Tiga Ratus Hadis dalam bahasa Jawa dengan penerbit Bina Ilmu Surabaya. b. 633 Hadis Nabi dalam bahasa Jawa dengan penerbit al-Ihsan Surabaya. 2. Karya Terjemahan a. Terjemahan dalam bahasa Indonesia 1. Al-Jami>’ al-S}agi>r terjemahan dalam bahasa Indonesia dengan penerbit Karunia Surabaya. 2. Riya>d} al-S}a>lih}i>n dalam bahasa Indonesia dengan penerbit Karunia Surabaya.

    30

    3. Bukhari> terjemahan dalam bahasa Indonesia dengan penerbit Assegaf Surabaya. b. Terjemahan dalam bahasa Jawa 1. Al-Jami>’ al-S}ahi>r terjemahan dalam bahasa Jawa dengan penerbit Assegaf Surabaya. 2. Hasita Mimiyyah dalam bahasa Jawa dengan penerbit Assegaf Surabaya. 3. Riya>d} al-S}a>lih}i>n terjemahan dalam bahasa Jawa dengan penerbit Assegaf Surabaya. 4. Durrah al-Na>s}ih}i>n terjemahan dalam bahasa Jawa dengan penerbit Asco Pekalongan. 5. Bukhari> terjemahan dalam bahasa Jawa dengan penerbit Asco Surabaya. 6. Bulug al-Mara>m terjemahan dalam bahasa Jawa dengan penerbit al-Ihsan Surabaya. 7. Al-Az\kar al-Nawawi> terjemahan dalam bahasa Jawa dengan penerbit al-Ma’arif Bandung. 8. Al-Jami>’ al-S}aghi>r terjemahan dalam bahasa Jawa dengan penerbit al-Ihsan Surabaya. e. Dalam Bidang Akhlak dan Tasawuf 1. Terjemahan dalam bahasa Indonesia a. Az\kiya’ terjemahan dalam bahasa Indonesia dengan penerbit Assegaf Surabaya.

    31

    b. Dala>il terjemahan dalam bahasa Indonesia dengan penerbit Assegaf Surabaya. c. Al-Syifa terjemahan dalam bahasa Indonesia dengan penerbit Karunia Surabaya. 2. Terjemahan dalam bahasa Jawa a. Al-H{ikam terjemahan dalam bahasa Jawa dengan penerbit Assegaf Surabaya. b. Az\kiya’ terjemahan dalam bahasa Jawa dengan penerbit Assegaf Surabaya. c. Sihr al-Khutaba dalam bahasa Jawa dengan penerbit Assegaf Surabaya. d. Syams al-Ma>’arif terjemahan dalam bahasa Jawa dengan penerbit Assegaf Surabaya. e. Id}at al-Nasi’in terjemahan dalam bahasa Jawa dengan penerbit Karunia dan Raja Murah Pekaongan. f. Asma> al-Husna> terjemahan dalam bahasa Jawa dengan penerbit al-Ihsan Surabaya. g. Ihya>’ Ulumuddi>n terjemahan dalam bahasa Jawa dengan penerbit Raja Murah Pekalongan. h. Luklua terjemahan dalam bahasa Jawa dengan penerbit Kiblat Surabaya. i. Ta’lim terjemahan dalam bahasa Jawa dengan penerbit Imam Surabaya.

    32

    j. Was}aya> terjemahan dalam bahasa Jawa dengan penerbit Ustman Surabaya. f. Dalam bidang Kalam (Teologi). Terjemahan dalam bahasa Jawa 1. Tija>n Dura>ri> terjemah dalam bahasa Jawa dengan penerbit Balai Buku Surabaya. 2. Syu’b al-Im dalam bahasa Jawa dengan penerbit al-Ihsan Surabaya. g. Dalam bidang yang lain. 1. Karya asli a. Minhad al-Rahma>n dalam bahasa Jawa dengan penerbit menara Kudus. b. Khutbah Jum‟ah dalam bahasa Jawa dengan penerbit Karya Abadu Surabaya. c. Syi‟ir Qiyamat dalam bahasa Jawa dengan penerbit Assegaf Surabaya. d. Manakib Wali Sanga dengan penerbit Majlis Ta’lif Wa alKhatah, Bangilan , Tuban. e. Aurad al-Baligah (Wirid Jawa) dengan penerbit Majlis Ta’lif Wa al-Khatah, Bangilan, Tuban. f. Wirid Ampuh dengan penerbit Majlis Ta’lif Wa al-Khatah, Bangilan , Tuban.

    33

    g. Khutbah Jum‟ah dalam bahasa Jawa dengan penerbit al-Ihsan Surabaya. h. 300 Do‟a dalam bahasa Indonesia dengan penerbit Sansiyah Solo. 2. Karya terjemahan a. Terjemahan dalam bahasa Indonesia 1. Nu>r al-Yaqi>n terjemah dalam bahasa Indonesia dengan penerbit Karunia Surabaya. 2. Al-Rahbanuyyah terjemah dalam bahasa Indonesia dengan penerbit Balai Buku Surabaya. 3. Attaz\kirat al-Haniyyah (Khutbah) dengan penerbit Majlis Ta’lif Wa al-Khatah, Bangilan , Tuban. b. Terjemahan dalam bahasa Jawa 1. Diba>’ makna dalam bahasa Jawa dengan penerbit Balai Buku Surabaya. 2. Qurrat al-‘Uyun terjemah dalam bahasa Jawa dengan penerbit Majlis Ta’lif Wa al-Khatath, Bangilan, Tuban. 3. Dala>il terjemah dalan bahasa Jawa dengan Penerbit Majlis Ta’lif Wa al-Khatah, Bangilan, Tuban. 4. Misbah al-Dauji (Barjanji) terjemah dalam bahasa Jawa dengan penerbit Majlis Ta’lif Wa al-Khatah, Bangilan, Tuban.

    34

    5. Hizib Nas}r terjemah dalam bahasa Jawa dengan penerbit Majlis Ta’lif Wa al-Khatah, Bangilan , Tuban. 6. Nadhan Burdah terjemahan dalam bahasa Jawa dengan penerbit Assegaf Surabaya. 7. Beberrapa Hizb dalam bahasa Jawa dengan penerbit Assegaf Surabaya. B. Kitab Tafsi>r Al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> Al-Tanzi>l 1. Latar Belakang Penulisan Pada umumnya setiap mufassir mempunyai tujuan ataupun alasan dalam menulis kitab tafsir. Ada banyak hal yang mempengaruhi seseorang dalam menulis kitab tafsir. Begitu juga dengan Misbah Musthafa, ada dua hal utama yang melatar belakangi penulisan kitab Tafsi>r al-Ikli>l fi> Ma’a>ni>

    al-Tanzi>l. Pertama bertujuan sebagai sarana dakwah agama Islam. Karena pada waktu itu Misbah banyak menyaksikan ketidak seimbangan antara kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat yang berkembang dalam kehidupan masyarakat yang ada disekelilingnya. Banyak dari masyarakat yang hanya mementingkan kehidupan dunianya saja, dan menyampingkan urusan akhiratnya. Oleh karana itu timbul keinginan Misbah untuk menulis sekaligus menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an kedalam bahasa Jawa, agar alQur’an mudah dipahami oleh orang-orang awam. Dalam misinya, Misbah juga mengajak kepada orang-orang Islam agar sungguh-sungguh dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an, karena al-Qur’an menyimpan makna-makna

    35

    yang harus dipahami. Apabila umat Islam dapat megetahui makna ayat-ayat yang terkandung dalam al-Qur’an, diharapkan umat Islam mampu melaksanakan apa yang ada dalam al-Qur’an dan mempunyai kepribadian yang kokoh. Ajakan Kiai Misbah ini tercantum dalam kitab tafsirnya yaitu: “Al-quran sewijine kitab suci saking Allah kang wajib digunakake kanggo tuntunan urip dening kabih kawulane Allah kang podo melu manggon ana ing bumine Allah. Saben-saben wong Islam wajib ngagungake yen al-Quran iku dadi tuntunan uripe, yaiku artine ucapan ‚wa al-Qur’a>n ima>mi>‛. Wong Islam ora kena urip ing bumine Allah nganggo tuntunan sak liyane al-Qur‟an. Ora kena urip cara wong kafir, utawa wong Hindu utawa wong Budha utawa cara apa bahe.”12 Terjemah: “Al-Qur’an merupakan salah satu kitab suci dari Allah yang harus digunakan sebagai tuntunan hidup oleh semua hamba Allah yang menempati bumi-Nya. Setiap orang Islam wajib mengakui bahwa al-Qur’an menjadi tuntunan hidupnya, inilah artinya ‚wal al-Qur’a>n ima>mi>‛. Setiap muslim tidak boleh hidup dibuminya Allah dengan menggunakan tuntunan selain al-Qur’an, tidak boleh hidup dengan cara orang kafir, orang Hindu, orang Budha atau yang lainnya.” Secara bahasa kata al-Ikli>l berarti mahkota. Bagi Misbah, mahkota merupakan hal yang berharga yang dimiliki setiap orang. Dalam konteks makna itulah, ia berharap karya tafsir ini menjadi sesuatu yang berharga bagi setiap orang dan dapat digunakan sebagai petunjuk dalam menjalankan kehidupan,13 supaya kaum muslimin dapat bersikap seimbang terhadap kehidupan dunia dan akhirat dengan cara melindungkan diri dibawah naungan al-Qur’an disertai ilmu dan amal sehingga bisa bersama-sama mendapatkan ketentraman dan kesenangan batin di dunia maupun akhirat.

    12

    Misbah Ibn Zain al-Musthafa, al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, Juz 1, (Surabaya: al-Ihsan,

    13

    Islah Gusmian, Memahami Kalam Tuhan, (T.Tp: Tpt, 2013), h. 36.

    Tt), h. 1.

    36

    Penulisan kitab Tafsi>r al-Ikli>l dimulai pada tahun 1977 dan selesai ditulis pada tahun 1985. Dalam penafsirannya, Misbah banyak menjelaskan tentang hal-hal yang berkaitan dengan masalah yang sedang berkembang dalam masyarakat pada waktu itu.14 2. Sistematika Kitab Kitab Tafsi>r al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l adalah salah satu kitab tafsir yang ditulis oleh Misbah Musthafa yang ditulis lengkap 30 juz, mulai juz 1 sampai dengan juz 30 dan dicetak sebanyak 30 jilid. Dari 30 jilid tersebut mempunyai warna sampul yang beragam, ada yang berwarna merah muda, biru, ungu dan lain-lain.15 Setiap jilid berisi penafsiran terhadap setiap juz dari al-Qur’an. Jilid 1 merupakan penafsiran terhadap al-Qur’an juz 1, jilid 2 untuk juz 2 dan seterusnya hingga jilid 30 yang berisi penafsiran KH. Misbah Musthafa atas juz 30 dari kitab suci al-Qur’an. Akan tetapi jilid 30 ini dikasih nama juz ‘amma. Kitab tafsir yang diteliti ini merupakan cetakan Maktabah al-Ihsan Surabaya yang tidak dicantumkan tahun terbitnya. Jilid 1 terdiri dari 137 halaman, jilid 2 (142 halaman), juz 3 (184 halaman), juz 4 (245 halaman), jilid 5 (143 halaman), juz 6 (157 halaman), jilid 7 (145 halaman), jilid 8 (190 halaman), jilid 9 (210 halaman), juz 10 (294 halaman) jilid 11 (249 halaman), jilid 12 (180 halaman), jilid 13 (178 halaman), jilid 14 (185 halaman), jilid 15 (236 halaman), jilid 16 (108 halaman), jilid 17 (123 halaman), jilid 18 (140 halaman), jilid 19 (114

    14

    Muhammad Sholeh, “Studi Analisis Hadis-Hadis Tafsir al-Iklil Karya K.H Misbah Zain Bin Musthafa (Surat Ad-Dhuha sampai Al-Nash), h. 45. 15 Lihat lampiran

    37

    halaman), jilid 20 (136 halaman), jilid 21 (141 halaman), jilid 22 ( 129 halaman), jilid 23 (127 halaman), jilid 24 (97 halaman), jilid 25 (117 halaman), jilid 26 (88 halaman), jilid 27 (80 halaman), jilid 28 (94 halaman), jilid 29 (117 halaman), jilid 30 (192 halaman). 3. Metode Penafsiran Metode merupakan jalan atau cara yang digunakan mufassir dalam menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan pandangan, kecenderungan, dan keinginan mufasirnya.16 Oleh karena itu, setiap kitab tafsir mempunyai metode yang berbeda dengan kitab tafsir lainnya. Kitab Tafsi>r al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l yang ditulis KH.Misbah Musthafa mempunyai metode dan corak tertentu sesuai dengan keahlian dan tujuan yang ingin dicapai mufassir. Metode atau cara yang digunakan Misbah Musthafa dalam menafsirkan ayat al-Qur’an dalam kitab Tafsi>r al-

    Ikli>l fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l terbagi menjadi empat bagian yaitu pertama ia menyebutkan nama surat dan jumlah ayat, kemudian memaknai perkata, setelah itu memberi penjelasan secara global, jika penjelasan secara global dirasa kurang, maka ia menjelaskan secara terperinci. Penjelasan selengkapnya sebagai berikut: a. Nama Surat dan Jumlah Ayat KH.Misbah Musthafa sebelum menafsirkan ayat al-Qur’an, terlebih dahulu menyebutkan nama surat dan jumlah ayatnya. Kemudian menjelaskan surat tersebut diturunkan sebelum hijrah 16

    M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir (Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-ayat al-Qur‟an), (Tangerang: Lentera Hati, 2013), h. 378.

    38

    (makiyyah) atau diturunkan sesudah hijrah (Madaniyyah). Contohnya



    ” kemudian diterjemahkan kedalam

    bahasa jawa “surah fatihah iki surah kang temurun marang kanjeng Nabi Muhammad Saw. nalika kanjeng Nabi ana ing Mekah.”17 Akan tetapi tidak semua surat dalam al-Qur’an di jelaskan jumlah dan tempat turunnya, misalnya pada surat al-Baqarah ia langsung menafsirkan ayat pertama tidak menyebutkan surat dan jumlah ayatnya terlebih dahulu. Misbah Musthafa menyebutkan suatu surat yang sebagian ayatnya merupakan ayat makiyyah, sementara ayat yang lainnya termasuk ayat madaniyyah, contohnya pada surat al-An’a>m. Misbah menyebutkan “Surah An‟am iki ayate ana satus sewidak lima, kabeh temurun marang kanjeng Nabi ana ing Makah kejaba ayat 91, 92, 93, 151, 152, 153.”18 Artinya “Surat al-An’a>m ini ayatnya ada seratus enam puluh lima, semua turun kepada Nabi Muhammad ketika di Makah kecuali ayat 91, 92, 93, 151, 152, 153. Pada ayat-ayat tertentu KH.Misbah Musthafa menyebutkan sebab turunnya ayat (asba>b al-Nuzu>l). Contohnya pada surat alAnkabu>t: 57, ia menjelaskan sebagai berikut: “He para kawulo Ingsun kang podo iman! Ngertiyo! Bumi Ingsun iku jembar. Sangka iku sira kabeh supoyo podo nyembah husus marang Ingsun, ojo nyembah liyane Ingsun. Wong-wong Mekah iki ora bisa ngibadah terang-terangan ana ing Makah. Ing wektu iku hijrah neng Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, Juz I, (Surabaya: Maktabah al-Ihsan, T.Tt), h. 2. 18 Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, Juz VII, h. 1025. 17

    39

    Madinah fardu ain. Nanging wong kang apes podo kuatir yen mati kelaparan yen melu hijrah. Nuli ayat iki tumurun.”19 Terjemah: “Wahai hambaku yang beriman! Ketahuilah!, bumi-Ku sangat luas, untuk itu kalian semua supaya beribadah husus kepada-Ku, jangan beribadah kepada selain Aku. Orang-orang Makah tidak bisa beribadah terang-terangan di Makah. Ketika itu hijrah ke Madinah Fardu ain. Tapi orang yang kurang beruntung khawatir akan mati kelaparan jika ikut hijrah. Kemudian ayat ini turun.” Sebab turunnya ayat tersebut berkaitan dengan orang Islam yang kurang beruntung berada di Makah setelah ditinggal nabi Muhammad hijrah ke Madinah. Orang-orang Makah tidak bisa beribadah dengan terang-terangan di Makah dan harus sembunyi-sembunyi. Ketika itu hijrah ke Madinah hukumnya fardu ‘ain, akan tetapi orang yang kurang beruntung tadi khawatir akan mati kelaparan apabila ikut hijrah kemudian ayat ini turun dan Allah memerintahkahkan, “Kalian semua jangan bertempat didaerahnya orang-orang musyrik apabila tidak aman melakukan ibadah, hijrahah! Jangan takut mati kelaparan, karena setiap yang bernyawa pasti mati. Apabila mereka yakin akan mati, tentu semua yang dianggap menyusahkan akan hilang.” b. Terjemah Setiap Kata (Makna Gandul)

    Tafsi>r al-Ikli>l merupakan kitab tafsir yang ditulis oleh ulama’ pesantren, maka tidak heran jika penulisnya memberikan terjemah setiap kata yang ditulis dibawahnya yang dalam tradisi pesantren disebut dengan makna gandul, yaitu arti perkata dengan menggunakan 19

    Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 21, h. 3491-3493.

    40

    bahasa Jawa yang ditulis miring yang diletakkan dibawah kalimat dengan menggunakan huruf Arab. Dengan adanya makna gandul di setiap kalimat, maka memudahkan pembaca yang kebanyakan adalah para santri untuk mengetahui kedudukan kalimat, apakah menjadi mubtada>’ atau khabar,

    fi’il atau fa’il dan seterusnya, yang dalam tradisi pesantren disebut dengan tarki>b al-Kali>mah. c. Penjelasan Global Setelah

    memberikan

    makna

    gandul,

    KH.Misbah

    menerjemahkan ayat demi ayat dengan terjemahan bebas tanpa terikat pada susunan dan pola kalimat. Terjemahan secara bebas semacam ini lebih dikatakan sebagai langkah untuk menemukan intisari yang dimaksud oleh ayat, sehingga penjelasan ini lebih tepat dikatakan sebagai penjelasan global. Posisi intisari ini diletakkan persis dibawah ayat yang diberi makna gandul dengan pemisah berupa garis tunggal. KH.Misbah ketika memberikan penjelasan global menyebutkan

    ayah “ ” kemudian nomor surat yang diletakkan didalam kurung, akan

    tetapi kadang langsung menyebutkan nomor ayat tanpa menyebutkan

    ayah “ ” terlebih dahulu. Dalam memberikan penjelasan global

    Misbah tidak selalu menjelaskan per ayat, akan tetapi kadang menggabungkan dua atau tiga ayat yang dijelaskan dalam satu bahasan.

    41

    Contohnya dalam surat al-Fa>tihah, KH. Misbah menggabungkan penjelasan dua ayat sekaligus. Contoh:

           Penafsirannya:

    “(3/4) Allah yang selalu dipuji-puji adalah dzat yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang untuk semua makhluk sampai kapanpun. Dan dzat yang merajai hari pembalasan amal yaitu di hari qiyamat.” Penulis menemukan bahwasannya KH.Misbah Musthafa tidak menerjemahkan secara global semua ayat, contohnya pada QS. alAh}za>b: 19, Misbah tidak menjelaskan secara global, tapi ia tetap menerjemahkan perkata. d. Penjelasan Terperinci Setelah Misbah Musthafa menjelaskan per kata dan secara global, setelah itu menjelaskan secara terperinci. Penjelasan terperinci ini ditandai dengan dua garis mendatar dibawah penjelasan global yang dikasih tanda keterangan yang disingkat ket. )

    (. Misbah tidak

    menjelaskan secara terperinci semua ayat, akan tetapi hanya ayat-ayat yang dianggap perlu untuk dijelaskan. 20

    Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 1, h. 4

    42

    Misalnya pada ayat 4 dari surat al-Fa>tihah KH. Misbah memberikan penjelasan secara terperinci. Penjelasannya sebagai berikut: “(Ket. 4) Mulane ditertemtuake ana ing yaumiddin, kerono ono ing dunyo iki akeh kawulo kang podo ngerebut kadudukane Allah dadi pangerane kabeh mahluk, kaya raja Fir‟aun, raja Namrud, lan liyaliyane. Sak weneh ulama‟ ahli qira‟ah iki ana kang maca maliki ora nganggo alif”21 Terjemah: “(Ket. 4) Mengapa ditentukan di yaum al-Di>n, sebab di dunia banyak orang yang merebutkan posisi Allah Swt. sebagai Tuhannya makhluk, seperti raja Firaun, Namrud dan lain sebagainya. Sebagian ulama’ ahli qira’ah ada yang membaca maliki dengan membaca pendek” Dalam penjelasan diatas, KH.Misbah juga menyinggung masalah qira’ah, ini menunjukkan bahwa dia juga menguasai masalah

    qira’ah. Hal lain yang menarik dari tafsi>r al-Ikli>l adalah ditemukan nuansa ilmiahnya. Di beberapa tempat terlihat beberapa ayat yang ditafsirkan secara rasional. Misalnya penafsiran soal bentuk bumi yang bulat yang selalu berputar pada porosnya, sehingga terjadi pergantian siang dan malam. Disini KH.Misbah tidak hanya memberikan penjelasan secara rasional, akan tetapi ia memberikan ilustrasi berupa gambar lingkaran yang disorot dengan baterai, maka nampak daerah yang terkena sinar akan terang (siang) dan yang tidak tersorot lampu

    21

    Ibid.

    43

    akan gelap (malam). Seperti itulah proses terjadinya siang dan malam. Penafsiran lengkapnya seperti dibawah ini: “Yen kepengen weruh ubenge rina lan bengi, anjupuko bal utowo barang kang buder liyane. Coba ing wektu bengi disenter karo sentolop (baterai). Bal diubengake alun, endi kang ngadepi sorote sentolop iku rino, kang ora ngadepi iku bengi. Bal iku contone bumi, sorote sentolop iku sorote srengenge. Kahanan kang mengkono iku ora berubah, lan terus mlaku kanti rapi. Wis pirang ewu tahun? Opo kang mengkono iku lumaku tanpa ono kang netepake? Ora tinemu ono ing akal.”22 Terjemah: “Apabila ingin melihat berputarnya siang dan malam, ambillah bola atau benda bulat lainnya. Coba waktu malam di sorot dengan baterai. Bola diputar pelan-pelan, bagian yang terkena cahaya adalah siang, dan yang tidak terkena cahanya adalah malam. Bola diumpamakan bumi, cahaya baterai adalah cahayanya matahari. Keadaan seperti itu tidak berubah, dan terus berjalan dengan tertib. Sudah beribu tahun? Apakah yang demikian berjalan tanpa ada yang mengatur? Tidak bisa dipikir secara akal. Selain nuansa ilmiah, Misbah Musthafa mengkritik terjemahan lokal yaitu terkait kata baqarah dalam al-Qur’an yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia menjadi sapi betina. Menurut KH.Misbah terjemahan sapi betina dari kata baqarah tidaklah tepat. Selama ini orang-orang menerjemahkan sapi betina karena ada anggapan bahwa huruf ta‟ dalam kata baqarah menunjukan perempuan. Ia memberi penjelasan dengan panjang lebar dan memberi referensi dengan kasus lain. KH.Misbah berpendapat bahwa ta‟ yang ada pada kata baqarah tersebut bukan ta’ ta’nis akan tetapi ta’ mufarriqah yaitu ta’ yang 22

    Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 23, h. 3761.

    44

    membedakan antara mufrad dan jama’. KH.Misbah mengkritik pendapat tersebut dengan mengatakan “Amit-amit itu salah. Ta‟ kang ana ing lafadz baqarah iku dudu ta‟ ta‟nist ta‟ fariqah bayn al-mufrad wa al-jam‟i”. Kemudia ia menjelaskan lebih lanjut bahwa yang dimaksud dengan jenis jam’i adalah isim yang memiliki makna banyak dan dibedakan dengan bentuk

    mufrad-nya dengan huruf ta‟

    dibelakangnya. Kalau baqar bermakna sapi banyak, sedangkan baqarah bermakna sapi satu. KH.Misbah juga memberikan contoh terkait kasus tersebut dengan kata syajar dan syajarah. Syajar berarti pohon banyak dan

    syajarah berarti pohon satu, tamar berarti kurma banyak dan tamrah berarti kurma satu. Dengan begitu baqarah tidak bisa diterjemahkan menjadi sapi betina tapi satu sapi. Berikut penjelasan lengkap Misbah Musthafa ketika menafsirkan QS. al-Taubah ayat 3. “Penulis ditekani pemuda nuli takon: opo hikmahe sapi kang disembelih dening wong Bani Israil kok sapi wadon kok ora sapi lanang? Penulis: Sopo kang dawuh yen sapi iku sapi wadon kerono dipungkasi ta‟ ta‟nis. Penulis: Amit-amit iku salah. Ta‟ kang ana ing lafadz baqarah iku dudu ta‟ ta‟nis nanging ta‟ fariqah bayn al-Mufrad wa al-Jam‟i, tegese ambedaake antara makna siji lan makna akih. Kerono lafaz baqar iku tanpa ta‟ iku isim jinis jam‟i. Kang aran jinis jam‟i iku isim kang anduweni makna akih lan dibedaake saking mufrode nganggo ta‟ ing akhire. Yen baqar iku gerombolan sapi akih, yen baqarah iku sapi siji. Yen tamar iku kurma akih, yen tamrah iku kurma siji. Yen syajar iku wit-witan akih, yen syajarah iku wit-witan siji. Yan hirrun iku kucing akih, yen hirrah iku kucing siji. Yen tsamar iku gerombolan whoh-whohan, yen tsamroh iku whoh-wohan siji. Kejobo songko iku tembung surat baqarah iku wus dadi „alam. Dadi ora kena dimaknai sapi wadon. Yen ono wong aran Mansur nuli ana tembung Ja‟a Mansur opo sira maknani wus teko sopo wong kang ditulungi? Temtu ora. Nanging teko sopo pak Mansur. Hiyo opo ora? Pemuda: hiyo-hiyo. Maturnuwun. Iseh akih kesalahan terjemah kang

    45

    lumaku ono ing zaman saiki kang gandheng karo ilmu nahwu, koyo kurang pengertian ambedakne antarane wawu isti‟naf lan wawu „athaf. Dadi saben ono wawu diwoco fathah mesti dimaknai lan utowo dan, semono uga perbedaan antarane fa‟ athaf lan fa fashihah lan liyaliyane.”23 Terjemah: “Penulis didatangi pemuda kemudian bertanya: “Apa hikmahnya sapi yang disembelih oleh bani Israil, kenapa sapi betina bukan sapi jantan? Penulis: Siapa yang berkata, kalau itu sapi betina karena diakhiri ta’ ta’nis? Penulis: Maaf, itu salah. Ta‟ yang ada di kata al-Baqarah itu bukan ta’ ta’nis, tapi ta’ fariqah bayn al-Mufrad wa alJam’i, yang berfungsi membedakan arti satu dan banyak. Karena kata baqar itu tanpa ta’ maka dinamakan isim jinis jam’i. Yang dinamakan isim jinis jam’i yaitu ism yang mempunyai arti banyak yang dibedakan dengan adanya ta’ diakhrinya. Apabila baqar itu sapi banyak, maka baqarah itu sapi satu. Tamr itu kurma banyak sedangkan tamrah kurma satu. Syajar itu pohon banyak sedangkan syajarah itu pohon satu. Hirrun itu kucing banyak sedangkan hirrah itu kucing satu. S}amar itu buah-buahan sedangkan s}amarah itu buah satu. Kecuali kata surat baqarah itu sudah menjadi alam. Jadi tidak bisa diartikan dengan sapi betina. Apabila ada orang namanya Mansur kemudian ada kalimat ja>a mansu>r, apakah kalian artikan dengan orang yang telah ditolong sudah datang? Pasti tidak demikian, tapi pak Mansur sudah datang, iya atau tidak? Pemuda: iya-iya, terima kasih banyak. Masih banyak kesalahan terjemah yang ada sekarang yang berhubungan dengan ilmu nahwu, seperti tidak tau membedakan wawu isti’naf dengan wawu ‘athaf. Jadi setiap ada wawu dibaca fathah pasti diartikan dan. Begitu juga perbedaan antara fa’ ‘athaf dengan fa’ fashilah dan lain-lain. Melihat sistematika penafsiran dalam kitab Tafsi>r al-Ikli>l maka dapat diambil kesimpulan metode penafsiran yang dipakai KH.Misbah adalah metode tahli>li>, dimana penafsirannya menjelaskan perkata, penjelasan secara global, penjelasan terperinci, mencantumkan hadis nabi, riwayat sahabat, dan mencantumkan asbab al-nuzul.

    23

    Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 10, h. 1605-1606.

    BAB III KATEGORISASI DAN VARIASI KATA AL-MAUT A. Tinjauan Umum Makna Al-Maut Kehidupan yang dijalani manusia merupakan sesuatu yang gaib. Seseorang tidak bisa mengetahui tentang kejadian yang akan datang, mereka hanya bisa merencanakan, dan Allah lah yang menentukan. Proses kehidupan saja banyak yang tidak mengetahuinya apalagi tentang maut (kematian). Ketika manusia melihat kondisi orang yang mati, memandang jenazah tidak lagi mampu menggerakkan badannya, lalu membusuk bahkan punah, maka dia sadar bahwa ada sesuatu yang hilang dari orang mati. Disanalah manusia mencari apa yang terjadi dan mengapa bisa terjadi?1 Syukurlah, agama melalui kitab sucinya yaitu al-Qur‟an telah mengungkap misteri tersebut, meskipun manusia hanya bisa memahami sedikit yang diungkapkan al-Qur‟an. Kamus-kamus bahasa Arab mendefinisikan maut dengan kematian atau lawan dari hidup. Hidup ditandai dengan rasa, pergerakan, dan pertumbuhan, maka ketika maut sudah menjemput tidak ada lagi rasa, pergerakan dan pertumbuhan. Itu merupakan ciri kematian secara fisik yang dapat ditangkap oleh panca indra.

    1

    M. Quraish Shihab, Kehidupan Setelah Kematian (Surga yang dijanjikan al-Qur’an), (Tangerang: Lentera Hati: 2008), h. 10.

    46

    47

    47

    Menurut bahasa kata al-Maut berasal dari kata ma>ta-yamu>tu-mautan yang mempunyai arti kematian.2 Ahmad Ibn Fa>ris memaknai kematian dengan hilangnya kekuatan dari sesuatu, dan hilang itu berarti mati, lawan katanya adalah hidup. Ia mendasari pendapatnya pada hadis Nabi yaitu, “Barang siapa yang memakan buah dari kayu yang tidak baik ini, jangan dekati masjid kami. Jika dipaksa

    juga

    mamakannya,

    maka

    kekuatannya

    hendaknya

    dimatikan

    (dihilangkan).3 Kematian tidak selamanya menunjukkan kematian yang selama ini dipahami orang, yaitu terlepasnya ruh dari jasad, akan tetapi bisa bermakna

    majazi. Seperti al-Asfahani> memaknai kematian menjadi lima bagian yaitu:4 1. Mati karena hilangnya kekuatan untuk tumbuh pada manusia, hewan, dan tumbuhan. Contohnya yaitu: a. QS. al-Ru>m [30]: 19

                    “Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan menghidupkan bumi sesudah matinya. dan seperti itulah kamu akan dikeluarkan (dari kubur).”

    2

    Ahmad Warson Munawir, Al-Munawir Kamus Arab Indonesia, (Surabaya: Pustaka Grogresif, 1997), h. 1465. 3 Abi> al-Husain Ahmad Ibn Fa>ris Ibn Zakariya>, ‚Mu’jam Maqa>yi>s al-Lugah‛, juz 5, (T.tp: Dar al-Fikr, T.th), h. 283. 4 Abi> al-Qasim Ibn Muhammad al-Ra>gib al-As}faha>ni>, ‚Mufrada>t Fi> Gari>b al-Qur’a>n‛ , Juz 2, (T.tp: Maktabah Nazar al-Musthafa al-Bazi, T.th), h. 616.

    48

    b. QS. Qa>f [50]: 11

               “Untuk menjadi rezki bagi hamba-hamba (Kami), dan Kami hidupkan dengan air itu tanah yang mati (kering). seperti Itulah terjadinya kebangkitan.” 2. Hilangnya kekuatan al-Hassah seperti ucapan Maryam ketika akan melahirkan Nabi Isa, yaitu: a. QS. Marya>m [19]: 23:

                  “Maka rasa sakit akan melahirkan anak memaksa ia (bersandar) pada pangkal pohon kurma, Dia berkata: "Aduhai, Alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi barang yang tidak berarti, lagi dilupakan". b. QS. Marya>m [19]: 66

             “Dan berkata manusia: "Betulkah apabila aku telah mati, bahwa aku sungguh-sungguh akan dibangkitkan menjadi hidup kembali?"

    49

    3. Hilangnya kekuatan akal (tidak mengetahui) a. QS. al-An’a>m [6]: 122

                              “Dan Apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu Dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan. b. QS. al-Naml [27]: 80

                “Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati mendengar dan (tidak pula) menjadikan orang-orang yang tuli mendengar panggilan, apabila mereka telah berpaling membelakang.” 4. Munculnya ketakutan yang menggerogoti hidup seperti bahaya kematian, akan tetapi belum datang juga, QS. Ibrahi>m [14]: 17

                      “Diminumnnya air nanah itu dan hampir Dia tidak bisa menelannya dan datanglah (bahaya) maut kepadanya dari segenap penjuru, tetapi Dia tidak juga mati, dan dihadapannya masih ada azab yang berat.”

    50

    5. Tidur QS. al-Zumar [39]: 42

                                 “Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; Maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditetapkan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir.” Kematian dalam al-Qur‟an ketika menggunakan kata al-Maut, kebanyakan menggambarkan tentang terlepasnya ruh dari jasad, yaitu manusia meninggalkan alam dunia menuju alam akhirat. Sehingga menunjukkan bahwa kematian merupakan jalan menuju kehidupan abadi (akhirat). Semua manusia pasti akan merasakan mati karena Allah Swt. telah berfirman: “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” (QS. al-Anbiya>’: 35). Kematian merupakan kepulangan hamba kepada Rab-nya yang telah lama pergi meninggalkan desanya (alam akhirat). Alam dunia diibaratkan sebagai tempat perantauan yang tidak selamanya disinggahi. Sebagai tempat perantauan, maka alam dunia merupakan tempat mencari bekal untuk pulang kekampung halaman yang abadi yaitu akhirat, karena akhirat itu lebih utama, seperti firman Allah Swt. dalam QS. al-D{uh}a>: 4, yaitu wa lala>khiratu khairun laka min al-U

    51

    (“pasti kehidupan akhirat itu lebih utama bagimu dari pada kehidupan pertama (dunia)”). Barang siapa yang mempersiapkannya maka ia adalah orang yang beruntung. Untuk kembali atau pulang kepada Allah Swt. diperlukan hati yang tenang yang diperoleh dengan ketaatan di dunia. Maka orang seperti ini akan pulang dengan senang hati karena diridhoi oleh Tuhannya dan akan dimasukkan ke surganya Allah Swt. beserta orang-orang salih (QS. al-Fajr: 27-30). Jika maut merupakan proses kepulangan, maka maut bagi seorang mukmin adalah nikmat, karena merupakan pintu masuk menuju kehidupan yang abadi dan bertemu dengan dzat yang telah dirindukan. Kenikmatan tersebut tidak sembarang didapatkan seseorang, hanya orang mukmin yang meninggal di jalan Allah-lah yang diberi kenikmatan. Mereka tidak mati, akan tetapi ia hidup dan diberi rizki oleh Allah Swt. (QS. Ali Imra>n: 169), selain itu dimasukkan ke surga dengan wajah yang berseri-seri ketika bertemu dengan tuhannya (QS. al-Insa>n: 22). Tidak hanya berarti nikmat, maut (kematian) juga bisa menjadi musibah (QS. al-Mulk: 2), tetapi tidaklah selalu bermakna demikian. Disini, anggapan bahwa kematian sebagai musibah tidak lain disebabkan karena perbuatan dari manusia ketika di dunia yang tidak menghiasi dengan amal salih, bukan substansi dari kematian tersebut. Selain itu juga ada yang berpendapat bahwa kematian adalah sama dengan kelahiran baru. Sebelum kelahiran pertama manusia, perut ibunya sama dengan diatas bumi. Disana janin berhubungan dengan ibu melalui tali pusar. Ketika

    52

    kalahirannya tali pusar diputus agar ia bebas menjalani hidupnya. Dalam kehidupannya di bumi, ada juga tali yang menghubungkannya dengan bumi yang lain di alam sana. Tali itulah yang putus ketika meninggal, sehingga manusia lepas dengan hunian lamanya, yang kali ini dengan bumi, untuk berada dihunian baru.5 Hal ini seperti halnya janin yang lepas dari hunian lamanya, yakni perut ibu, untuk tinggal sementara dipentas bumi ini. Bahkan sebagian ulama memahami, saat tiba di hunian baru itu ada malaikat-malaikat yang menyambut sebagaimana penyambutan yang dilakukan perawat atau dukun beranak terhadap bayi yang baru lahir. Kalau para penyambut bayi membersihkan dan mengenakan pakaian untuknya, maka di alam sana juga demikian. Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyah ada malaikat yang turun dari langit membawa kain kafan dari surga buat orang mukmin dan dari neraka bagi orang kafir. Kafan itu serupa dengan pakaian bayi yang dikenakan untuknya setelah seorang bayi lahir ke dunia.6

    Maut juga dikatakan sama dengan tidur, seperti doa yang biasa dibaca oleh seorang ketika bangun tidur adalah, “Segala puji bagi Allah yang menghidupkan kami setelah mematikan kami, dan hanya kepada-Nya kebangkitan”. Yang dimaksud dengan menghidupkan adalah membangunkan dari tidur, sedangkan mematikan adalah menidurkan. Sedang doa Nabi sebelum tidur adalah, “Ya Allah, atas nama-Mu aku hidup dan mati.” Ini menunjukkan bahwa tidur merupakan kematian sementara yang diibaratkan layangan terbang jauh keangkasa tapi

    5

    M. Quraish Shihab, Kehidupan Setelah Kematian (Surga yang dijanjikan al-Qur’an), (Tangerang: Lentera Hati: 2008), h. 47. 6 Ibid. h. 48.

    53

    talinya dipegang oleh pemain, sedangkan yang mati adalah layangan yang telah putus talinya, sehingga ia terbang tidak kembali lagi.7 Al-Qur‟an menunjukkan bahwa setiap makhluk akan mengalami kerusakan atau mati (QS. al-Rahman: 26), begitu juga alam dunia akan diakhiri dengan kerusakan (kiamat). Ini menunjukkan bahwa kematian merupakan kepastian dan tidak seorangpun yang dapat lari darinya, sekalipun berlindung dibawah benteng yang kokoh, pasti maut akan menghampirinya.

    Maut menjadi titik perantara yang menghubungkan masa, keadaan dan kehidupan dunia menuju kepada masa, keadaan dan kehidupan akhirat yang abadi. Ini memberikan implikasi bahwa sekiranya kematian tidak berlaku sudah tentu persoalan-persoalan yang berkaitan dengan alam akhirat tidak akan berlaku. Dengan berlakunya kematian, keadilan di alam akhirat yang abadi mulai dilaksanakan dan kiamat bagi setiap manusia pun telah dimulai. Dengan demikian, maka maut dianggap sebagai perpindahan kehidupan dari alam dunia menuju alam akhirat.8 B. Kategorisasi dan Variasi Kata Al-Maut 1. Kategorisasi kata Al-Maut Kematian dalam al-Qur‟an salah satunya menggunakan kata al-Maut, ada yang berbentuk fi’il maupun ism. Dalam Mu’jam Mufahras Li al-Fa>z al-

    Qur’an al-Kari>m tercatat kata al-Maut ada 163 kata baik berbentuk isim

    7

    Murtiningsih, “Hakikat Kematian Menurut Tinjauan Tasawuf”, dalam Intizar Vol. 19, no. 22, 2013, h. 333. 8 Umar Lathif, “Konsep Mati dan Hidup dalam Islam (Pemahaman Berdasarkan Konsep Eskatologis), dlam Al-Bayan, Vol. 22, no. 34, 2016, h. 33.

    54

    maupun fi’il.9 Seperti yang dijelaskan di latar belakang bahwa penelitian ini tidak membahas semua kata tersebut akan tetapi hanya membahas yang berbentuk ism masdar. Berikut dibawah ini daftar kata al-Maut yang berbentuk ism masdar, beserta wazannya: KATEGORISASI AYAT BERDASARKAN BENTUKNYA No.

    Kata al-Maut

    Mengikuti Wazan

    Al-Qur’an Surat

    1.

    QS. al-Baqarah [2]: 19, 24, 133, 180, dan 243, QS. A
  • n [3]: 143, 168, dan 185, QS. alNisa>’[3]: 15, 18, 78, dan 100, QS. al-Ma>idah: 106, QS. al-An’am: 61, dan 93, QS. al-Anfa>l: 6, Hud: 7, QS. Ibra>hi>m: 17, QS. alAnbiya>’: 35, QS. al-Mukminu>n: 99, QS. al-Ankabu>t: 57, QS. alSajadah: 11, QS. al-Ah}za>b: 16 dan 19, QS. Saba>’: 14, QS. al-Zumar: 42, QS. al-Dukha>n: 56, QS. Muh}ammad: 20, QS. Qa>f: 19, QS. al-Wa>qi’ah: 60, QS. al-Jum’ah: 6, dan 8, QS. al-Muna>fiqu>n: 10, QS. al-Mulk: 2

    2.

    QS. al-Baqarah: 56

    3.

    QS. al-Nisa>’: 159, QS. Saba>’: 14

    4.

    QS. al-Baqarah: 164, dan 159, QS. al-Nahl: 65, QS. al-Ankabu>t: 63, QS. al-Ru>m: 19, 23, 50, QS. Fa>thir: 9, QS. al-Zumar: 42, QS. al-Ja>siyah: 45, QS. al-H{adi>d: 17

    Muhammad Fu’ad Abd Baqi>, ‚Mu’jam Mufahras Li al-Fa>z} al-Qur’an al-Kari>m,‛ (Mesir: Dar al-Hadis, 1943) h. 678-680. 9

    55

    5.

    QS. al-Furqa>n: 3

    6.

    QS. al-An’a>m: 132, QS. al-Furqa>n: 49, QS. al-Zukhru>f: 11, QS. alH{ujurat: 12, dan QS. Qaf: 11.

    7.

    QS. A<
  • n: 27, QS. al-An’a>m: 95, QS. al-A’ra>f: 57, QS. Yunus: 31, QS. Ibra>hi>m: 17, QS. al-Ru>m: 17, QS. Fathir: 9, QS. al-Zumar: 30.

    yang mudha’af

    8.

    QS. al-Isra>’: 75

    9.

    QS. al-An’a>m: 6

    10

    QS. al-Jas}iyah: 21

    11.

    QS. al-Baqarah: 73, dan 260, QS. A
  • n: 49, QS. al-Ma>idah: 110, QS. al-An’a>m: 36, dan 111, QS. al-A’ra>f: 57, QS. al-Ra’du: 31, QS. al-H{aj: 6, QS. al-Naml: 80, QS. alRu>m: 50, dan 52, QS. Ya>si>n: 12, QS. Fushilat: 39, QS. al-Syu>ra>: 9, QS. al-Ah}qa>f: 33

    12.

    / 13.

    QS. al-Dukha>n: 56, QS. alBaqarah: 173, QS. al-Ma>idah: 3, QS. al-An’a>m: 139, dan 145, QS. al-Nah}l: 115, QS. Ya>si>n: 33 QS. al-Shafat: 59, QS. al-Dukha>n: 35.

    56

    2. Variasi kata Al-Maut dan Penafsirannya dalam Tafsi>r Al-Ikli>l a.

    yang mengikuti wazan

    dima’rifatkan dengan alif lam

    atau

    susunan iz}afah. 1. QS. Al-Baqarah [2]: 19

                         “Atau sifatnya orang munafiq itu seperti sifat orang yang ditimpa hujan lebat dalam keadaan gelap gulita. Banyak guntur dan petir menyambar. Orang-orang yang kehujanan tadi menutup kuping dengan jarinya supaya tidak mendengar suara petir yang keras, karena mereka (orang munafik) takut mati. Begitulah sifat orang munafiq ketika ada ayat al-Qur‟an (yang diumpamakan hujan) turun kepada nabi Muhammad Saw. yang menerangkan kufur (yang diumpamakan guntur) dan hujjah atau bukti-bukti yang jelas (yang diumpamakan petir), orang-orang munafiq tadi menyumbat kupingnya jangan sampai mendengar ayat-ayat alQur‟an. Sebab kalau mendengar, nanti akan beriman kepada nabi Muhammad dan meninggalkan agamanya, kemudian masuk agama Islam. Cara orang munafiq tersebut seperti orang mati. Orangorang kafir yang seperti orang-orang munafiq akan lari kemana, mereka tidak bisa lepas dari kekuasaan dan penglihatannya Allah.10 KH.Misbah Musthafa menafsirkan sifat orang munafik itu seperti orang takut mati. Yaitu ketika mendengar ayat-ayatnya Allah Swt. yang merupakan h}ujjah mereka menutup kuping mereka supaya tidak mendengar karena ditakutkan akan beriman kepada Allah Swt. dan nabi Muhammad Saw. Sifat tersebut seperti orang yang takut mati ketika mendengar petir dan guntur ketika hujan Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz. 1, (Surabaya: AlIhsan, T.th.), h. 19. 10

    57

    lebat. Petir diumpamakan ayat-ayatnya Allah Swt. dan guntur diibaratkan dengan h}ujjah-nya Allah Swt. 2. QS. al-Baqarah [2]:133

                                “Hai orang-orang Yahudi, apakah kalian hadir ketika nabi Ya'qub mati, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: "Apa yang kamu sembah sepeninggalku?" mereka menjawab: "Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan yang Maha Esa dan Kami hanya tunduk patuh kepada-Nya".11 Ayat diatas mengingatkan tentang wasiat orang tua ketika kedatangan tanda-tandanya mati kepada orang yang ditinggal, yaitu tidak hanya berupa harta, akan tetapi apa yang mereka sembah setelah ia meninggal. Seperti yang dilakukan nabi Ya‟qub ketika maut mendatangainya, ia mengatakan, Apa yang kalian sembah sepeninggalanku?” mereka menjawab, "Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan yang Maha Esa dan Kami hanya tunduk patuh kepada-Nya". Ayat ini menganjurkan orang tua untuk memperkuat keimanan anak-anak dan keluarganya dengan mendidik agama,

    11

    Ibid., h. 124.

    58

    supaya setelah ditinggal mati orang tuanya, imannya tetap kuat dan tidak goyah. 3. QS. al-Baqarah [2]: 180

                      “Hai orang-orang Islam! Apabila salah satu dari kalian ada yang kedatangan penyebab kematian, seperti sakit, apabila meninggalkan harta maka diwajibkan wasiat memberi uang kepada kedua orang tua dan keluarga dengan cara yang baik.”12 Ayat

    diatas

    mengingatkan

    apabila

    seseorang

    yang

    mempunyai harta kedatangan tanda-tandanya kematian seperti sakit maka diwajibkan untuk segera berwasiat dengan cara yang baik. 4. QS. al-Baqarah [2]: 243

                                   “Apakah kamu tidak tahu sejarahnya sebagian dari orang bani Israil? Orang bani Israil yang banyaknya kurang lebih ada tujuh puluh ribu itu pada keluar kampungnya karena takut mati, karena dikampungnya ada penyakit tho‟un, yaitu salah satu penyakit yang apabila terserang penyakit tersebut sebentar saja sudah meninggal. Kemudian Allah bersabda: “Wahai bani Israil, matilah kalian! Seketika itu juga meninggal. Kemudian Allah menghidupkan orang itu sesudah mati delapan hari.13

    12 13

    Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz. 2, h. 184 Ibid., h. 268.

    59

    Ayat diatas menjelaskan tentang orang yang takut mati disebabkan karena penyakit tho‟un. Mereka lari tapi kematian tidak dapat dihindari. 5. QS. A
  • n [3]: 143

                 “Sesungguhnya kalian semua mengharapkan mati (syahid) sebelum mendapati jalannya mati yaitu perang uhud. Sekarang kalian semua melihat sendiri dengan mata kalian sendiri kenapa kok pada melarikan diri?”14 Mati dalam ayat diatas diartikan dengan mati syahid, yaitu orang yang ingin mati syahid dengan ikut perang. Akan tetapi mereka pada melarikan diri. Konteks ayat ini turun ketika akan perang uhud. 6. QS. A

  •                   “Orang-orang munafik yang telah diterangkan didepan yaitu orang-orang yang berkata kepada teman-temannya yang dudukduduk tidak mau ikut perang: Seumpamanya sahabat-sahabatnya Muhammad itu mengikuti kita, tentu saja tidak di bunuh oleh musuh. Wahai Muhammad!, katakanlah: “Wahai orang-orang munafiq, tolaklah kematian itu darimu, jika kamu orang-orang yang benar”.15

    14 15

    Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 4, h. 509. Ibid., h. 533.

    60

    Ayat diatas menjelaskan bahwa al-Maut (kematian) tidak dapat dihindari, meskipun mereka tidak ikut perang. 7.

    QS. A
  • n [3]: 185

                               “Tiap-tiap yang berjiwa akan mencicipi mati. dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, Maka sungguh ia telah beruntung. kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.”16 Mati merupakan kepastian yang pasti dirasakan oleh setiap yang bernyawa. Dan akan mendapat balasan amalnya di hari kiamat. 8. QS. al-Nisa>’ [4]: 15

                            “Perempuan-perempuan yang melakukan zina dari golongan kalian wahai kaum muslimin, hendaknya kalian mendapatkan empat orang laki-laki sebagai saksi dari kalian (orang Islam) yang menyaksikan bahwa wanita itu melakukan zina. Apabila empat orang tadi menyaksikan wanitu itu melakukan zina, hendaknya ia ditahan didalam rumah tidak campur dengan

    16

    Ibid., h. 554.

    61

    masyarakat sampai mati atau apabila Allah Swt. menetapkan jalannya perempuan tadi keluar dari rumah.”17

    Al-Maut dalam ayat diatas menjelaskan hukuman orang yang berzina yaitu dikurung di dalam rumah sampai mati. 9. QS. al-Nisa>’ [4]: 18

                              “Orang-orang yang sudah melakukan dosa dan tidak mau taubat hingga datangnya kematian, dan ruh sudah sampai di tenggorokan kemudian mengucapkan sekarang saya taubat, seperti itu tidak tidak terima taubatnya oleh Allah Swt., jadi taubatnya tidak ada gunanya. Begitu juga orang-orang yang mati sedang mereka masih dalam keadaan kafir. Orang-orang yang seperti itu sudah saya sediakan siksa yang sangat pedih”18 Ayat diatas menjelaskan bahwa al-Maut merupakan batas akhir taubat. Jika ruh sudah sampai di tenggorokan dan orang yang berdosa minta ampunan maka taubatnya tidak diterima Allah Swt. 10. QS. al-Nisa>’ [4]: 78

    …..          “Dimana saja kamu berada, kematian pasti akan mendapatkan kamu. Tidak ada orang yang hidup selamanya, kendatipun kamu di dalam benteng yang kokoh, jadi tidak ada gunanya kamu takut perang takut mati.”19

    17

    Ibid., h. 673. Ibid., h. 678. 19 Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 5, h. 751. 18

    62

    Al-Maut (kematian) merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari meskipun berlindung didalam benteng yang kokoh. Jadi tidak ada gunanya lari dari kematian dengan tidak ikut perang. 11. QS. al-Nisa>‟ [4]: 100

                          “Barang siapa yang pindah (hijrah) karena mengagungkan agamanya Allah, pasti akan mendapatkan tempat yang banyak manfaatnya untuk dirinya dan rizki yang luas. Dan barang siapa yang keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasulnya yang didorong oleh rasa taat kepada Allah dan rasulnya, kemudian kematian menimpanya, maka pahala orang tersebut tetap disisi Allah. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”20 KH.Misbah menafsirkan orang yang mati dalam keadaan hijrah atau berjuang di jalan Allah maka akan mendapat pahala disisi Allah Swt. Ini menunjukka al-Maut adalah nikmat bagi orang yang beriman. 12. QS. al-Ma>idah [5]: 106

                         …       “Hai orang-orang beriman, apabila salah sorang kamu melihat tanda-tanda kematian, kemudian dia akan wasiat, maka 20

    Ibid., h. 784.

    63

    hendaklah mendatangkan dua saksi yang adil dari golonganmu dari orang Islam dan selain golonganmu yaitu orang kafir. Yang demikian itu apabila kamu dalam keadaan bepergian dengan orang kafir, kemudian menghadapi bahaya yang dapat menyebabkan mati.”21… KH.Misbah menafsirkan bahwa orang yang kedatangan tanda-tandanya

    kematian

    hendaknya

    berwasiat

    dengan

    mendatangkan saksi. 13. QS. al-An’a>m [6]: 61

                       “Dan Allah menugaskan malaikat hafadzah kepada kalian semua, yaitu malaikat yang mencatat semua pekerjaan kalian, seperti ucapan, dan pekerjaan secara lahir maupun batin (hati) yang menjadi keinginan kuat. Sehingga apabila kematian akan mendatangi kalian, diambil oleh utusan-utusan-Ku dengan keadaan sempurna, mereka tidak ada yang ceroboh.22

    Al-Maut adalah kepastian yang akan mendatangi seseorang yang tidak akan salah orang, karena malaikat maut tidak ada yang ceroboh. 14. QS. al-An’a>m [6]: 93

                                

    21 22

    Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 7, h. 1009. Ibid., h. 1074.

    64

    “Wahai Muhammad, apabila kamu melihat orang-orang yang mendzalimi dirinya sendiri berada dalam tekanan sakaratul maut, malaikat maut membetangkan tangannya lalu berkata: “Ayo! Keluarkanlah sendiri ruhmu”. Sekarang kamu akan dibalas dengan siksa yang sangat menghinakan, karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayatNya.”23 KH.Misbah Musthafa menafsirkan apabila orang zalim sakaratul maut maka mereka akan tersiksa. 15. QS. al-Anfa>l [7]: 6

                 “Para Muslimin membantahmu Muhammad! Tentang kebenaran yang engkau perintahkan sesudah nyata yang harus dilaksanakan yaitu perang. Orang-orang Islam ketika itu seperti orang yang dituntun kepada kematian, dan mereka melihat kalau mereka semua akan mati.”24

    Al-Maut merupakan kepastian yang tidak dapat dihindari. 16. QS. Hu>d [11]: 7

                                     “Allah Swt. adalah dzat yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan „Arsy-Nya diatas air, Allah menciptakan langit dan bumi agar Dia menguji kalian siapa diantara kalian yang 23 24

    Ibid., h. 1102. Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 9, h. 1470.

    65

    lebih bagus amalnya. Dan demi keagungan-Ku! Seumpama kalian berkata: “Hai orang-orang kafir, kalian akan dibangkitkan sesudah mati (yang demikian adalah firman Allah dalam al-Qur‟an).” Pasti mereka berkata: “Al-Qur‟an itu adalah salah satu sihir yang dahsyat (mandi).”25 Ayat diatas menjelaskan bahwa seseorang setelah mati akan dibangkitkan kembali. Ini menunjukkan bahwa mati merupakan jalan menuju kehidupan baru. 17. QS. Ibra>hi>m [14]: 17

                      “Orang-orang kafir yang sombong itu akan menelan air shodid (nanah), tapi air shodid itu hampir-hampir tidak bisa ditelan karena rasanya tidak enak dan menyakitkan. Orang-orang kafir yang sombong itu kedatangan sebab-sebab yang dapat menyebabkan kematian dari berbagai penjuru, akan tetapi tidak bisa meninggal, dan dibelakangnya ada siksa yang sangat berat.”26

    Al-Maut bagi orang kafir merupakan siksa, mereka akan menelan air nanah (sodid) yang dapat menyebabkan mati, tapi mereka tidak dapat mati. 18. QS. al-Anbiya>’ [21]: 35

                 “Tiap-tiap yang berjiwa pasti akan mencicipi mati, dan Kami menguji kalian dengan bencana yaitu perkara yang tidak menyenangkan, dan menguji dengan perkara yang menyenangkan. 25 26

    Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 12, h. 2070-2071. Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 13, h. 2399.

    66

    Demikan itu untuk menguji kalian. Dan kalian semua pasti akan kembali kepada-Ku yaitu dihadapkan di pengadilan-Ku.”27 KH.Misbah Musthafa menafsirkan bahwa setiap jiwa akan mencicipi mati, setelah itu akan dikembalikan kepada Allah Swt. untuk diadili. 19. QS. al-Mukminu>n [23]: 99

             “Demikianlah keadaan orang kafir Makah ketika kematian mendatanginya dan melihat neraka yang akan menjadi tempatnya, mereka mengatakan: “Ya Tuhanku kembalikanlah aku kedunia.”28 KH.Misbah

    menafsirkan

    bahwa

    al-Maut

    (kematian)

    merupakan siksa karena ketika sakaratul maut mereka melihat neraka yang akan ditempatinya, dan mereka menyesal sambil berkata, “Ya Tuhanku kembalikanlah aku kedunia.” Akan tetapi penyesalan tersebut tidak ada gunanya. 20. QS. al-Ankabu>t: 57          “Tiap-tiap yang berjiwa akan mencicipi mati. kemudian hanyalah kepada Kami kamu dikembalikan (dihadapkan kepada-Ku (Allah).”29

    Al-Maut (kematian) adalah kepastian yang akan dirasakan oleh semua yang bernyawa. Setelah itu akan dikembalikan kepada Allah swt. untuk diadili.

    Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 17, h. 2983-2984. Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 18, h. 3126. 29 Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 21, h. 3492. 27 28

    67

    21. QS. al-Sajadah [32]: 11

                 “Katakanlah: "Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawamu) akan mematikanmu, kemudian hanya kepada Tuhanmulah kamu akan dikembalikan." Ayat diatas menjelaskan bahwa yang diserahi mencabut nyawa adalah malaikat maut. Setelah manusia mati maka akan dikembalikan kepada Tuhannya. 22. QS. al-Ah}za>b [33]: 16

                    “Hai Muhammad, katakanlah! “Hai orang-orang munafiq, lari itu tidaklah berguna bagi kalian, jika kalian melarikan diri dari kematian atau dibunuh musuh. Jika kalian lari kemudian tidak mati, dan kalian merasa senang, kesenangan itu hanyalah sebentar.”30 KH.Misbah menafsirkan bahwa mati tidak dapat dihindari, jika ada yang mencoba untuk menghindarinya dan selamat, maka kesenangan itu tidak akan berlangsung lama, kematian pasti menjemputnya.

    30

    Ibid., h. 3614.

    68

    23. QS. al-Ah}za>b [33]: 19

                                            “Mereka bakhil terhadapmu, apabila datang ketakutan (bahaya), kamu Lihat mereka itu memandang kepadamu dengan mata yang terbalik- balik seperti orang yang pingsan karena akan mati, dan apabila ketakutan telah hilang, mereka mencaci kamu dengan lidah yang tajam, sedang mereka bakhil untuk berbuat kebaikan. mereka itu tidak beriman, Maka Allah menghapuskan (pahala) amalnya. dan yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”31 Ayat diatas menjelaskan tentang kondisi orang bakhil ketika sakaratul maut, yaitu kondisinya seperti orang yang pingsan yang takut mati dan matanya terbalik-balik. 24. QS. Saba>’ [34]: 14

                                 “Maka tatkala Kami telah menetapkan kematian Sulaiman, jin dan manusia tidak ada yang melihat meninggalnya dan tidak ada yang menunjukkan atas kematiannya kecuali rayap yang memakan tongkatnya. Tatkala tongkatnya dimakan rayap, Sulaiman tersungkur, kemudian orang-orang tahu bahwa jin itu tidak melihat kejadian gaib tersebut. Seumpama jin melihat kejadian gaib, tentu mereka akan 31

    Ibid., h. 3616.

    69

    berhenti bekerja yang sama dengan menyiksa yang dapat membuat dirinya hina.32 Ayat diatas menunjukkan bahwa semua manusia akan mati termasuk para nabi. 25. QS. al-Zuma>r [39]: 42

                                 “Allah mengambil jiwa orang ketika matinya, dan mengambil jiwa orang ketika tidurnya. Kemudian Allah menahan jiwa orang yang telah ditetapkan kematiannya dan melepaskan (mengembalikan) jiwa dalam tubuh yang tidur hingga batas waktu yang ditentukan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda- tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir.”33 KH.Misbah Musthafa menafsirkan al-Maut merupakan kondisi yang dialami seseorang yang mana jiwanya (ruh) diambil Allah Swt. dan tidak dikembalikan lagi. Sehingga ruh dan tubuh itu mengalami keterpisahan. 26. QS. al-Dukha>n [44]: 56

               

    32 33

    Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 22, h. 3681. Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 24, h. 3889.

    70

    “Didalam surga, orang-orang bertakwa tidak merasakan mati, kecuali yang yang pertama di dunia, dan Allah memelihara mereka dari azab neraka.”34 Ayat diatas menjelaskan tentang kenikmatan orang di surga, yaitu mereka tidak mati akan tetapi hidup. Kenikmatan tersebut dirasakan oleh orang-orang yang bertakwa. 27. QS. Muh}ammad [47]: 20

                                   “Orang-orang beriman berkata: “Mengapa tiada diturunkan suatu surat yang berkaitan dengan perintah perang?” Maka apabila diturunkan surat yang menyebut perintah perang, orang yang mempunyai penyakit didalam hatinya melihat kalian seperti melihat orang yang pingsan, karena menghadapi mati. Sebentar lagi akan merasakan apa yang dibenci.”35 Ayat diatas menggambarkan bahwa kondisi orang yang sakaratul maut itu seperti orang yang pingsan, yang tidak punya kekuatan unutk melawannya. 28. QS. Qaf [50]: 19

              

    34 35

    Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 25, h. 4082-4083. Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 26., h. 4129

    71

    “Sakitnya kematian karena dicabutnya ruh pasti datang dengan keadaan yang sebebar-benarnya yaitu keadaan akhirat. Kematian adalah suatu perkara yang ingin kamu hindari, tapi tidak bisa.”36 Ayat diatas menjelaskan kondisi ketika ruh dicabut dari badan (sakaratul maut), yaitu merasakan sakit dan juga melihat sesuatu yang nyata tentang kondisi akhirat. 29. QS. al-Wa>qi’ah [56]: 60

            “Kami telah menentukan kematian diantara kalian, dan Kami dalam menentukan kematian tersebut tidak akan didahului orang lain.”37

    Al-Maut merupakan ketentuan Allah Swt., tidak ada manusia yang dapat merubahnya. 30. QS. al-Jum’ah [62]: 6

                      “Hai orang-orang yang menganut agama Yahudi! Jika kamu mengira kalau kamu adalah kekasihnya Allah, maka harapkanlah mati jika kalian adalah orang-orang yang benar.”38 Ayat diatas menjelaskan tentang tantang Allah Swt. kepada orang Yahudi, apabila mereka memang orang yang benar maka hendaknya meminta untuk dimatikan.

    36

    Ibid., h. 4175. Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 27, h. 4249. 38 Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 28, h. 4323-4324. 37

    72

    31. QS. al-Jum’ah [52]: 8

                        “Katakanlah wahai Muhammad!, “Ketahuilah! Kematian yang kamu takuti pasti akan menemui kamu, kemudian kamu pasti akan dikembalikan yaitu dihadapkan kepada Allah Swt. yang Maha Mengetahui sesuatu yang samar dan nyata”. Kemudian Allah menceritakan kepada kalian apa saja yang telah kalian perbuat.”39 Ayat diatas menjelaskan bahwa maut adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari. 32. QS. al-Muna>fiqu>n [63]: 10

                          “Kalian semua hendaknya membelanjakan apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian, lalu ia berkata: “Wahai Tuhanku, mengapa Engkau tidak mengundurkan kematianku sampai waktu yang dekat, saya akan bersedekah dan saya bisa menjadi orang-orang yang saleh.”40

    Al-Maut merupakan batas untuk melakukan amal perbuatan. Jika maut sudah menjemput maka tiada lagi waktu untuk beramal, yang ada hanyalah pembalasan yang dikerjakan didunia.

    39 40

    Ibid., h. 4325-4326. Ibid., h. 4333-4334.

    73

    33. QS. al-Mulk [67]: 2

                 “Allah yang menjadikan mati dan hidup untuk menguji kalian (manusia), siapa yang paling bagus amalnya. Allah Maha Perkasa jika menghendaki menyiksa siapa saja, dan tidak ada yang bisa menghalangi. Allah Swt. Maha Pengampun terhadap orang-orang yang ingin bertaubat.”41 Ayat

    diatas

    menjelaskan

    tentang

    tujuan

    Allah

    Swt.

    menciptakan kematian, tidak lain yaitu untuk menguji manusia mana yang paling baik amalnya. b.

    mengikuti wazan

    dimud}afkan dengan d}ami>r muttas}il.

    1. QS. al-Baqarah [2]: 56

            “Kemudian setelah kalian mati, kalian semua Saya hidupkan kembali, supaya kalian bersyukur atas nikmat-Ku dengan taat dan beribadah kepada-Ku.”42 Ayat diatas menjelaskan kondisi seseorang setelah mati, yaitu akan dibangkitkan dan akan mendapat balasan.

    41 42

    Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 29, h. 4365. Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 1, h. 54.

    74

    c.

    mengikuti wazan

    dima’rifatkan dengan d}ami>r muttas}il.

    1. QS. al-Nisa>’ [4]: 159

                    “Setiap ahli kitab yaitu orang Kristen dan Yahudi pasti beriman kepada Nabi Isa sebelum kematiannya. Beriman bahwa nabi Isa adalah nabi dan utusan Allah bukan anaknya Allah. Besok dihari kiamat nabi Isa pasti akan menjadi saksi yang membahayakan bag orang Nasrani dan Yahudi.”43 Konteks ayat diatas membicarakan tentang kondisi ahli kitab dari golongan Kristen dan Yahudi bahwasannya mereka sebelum beriman adalah orang yang beriman kepada nabi Isa. 2. QS. Saba> [34]: 14

                                 “Maka tatkala Kami telah menetapkan kematian Sulaiman, jin dan manusia tidak ada yang melihat meninggalnya dan tidak ada yang menunjukkan atas kematiannya kecuali rayap yang memakan tongkatnya. Tatkala tongkatnya dimakan rayap, Sulaiman tersungkur, kemudian orang-orang tahu bahwa jin itu tidak melihat kejadian gaib tersebut. Seumpama jin melihat kejadian gaib, tentu mereka akan berhenti bekerja yang sama dengan menyiksa yang dapat membuat dirinya hina.”44

    43 44

    Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 5, h. 828. Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 22, h. 3681.

    75

    dima’rifatkan dengan d}ami>r muttas}il yang mengikuti wazan

    d.

    .

    1. QS. al-Baqarah [2]: 164

                  …      “Dan Allah turunkan air dari langit, dengan air itu Allah menghidupkan bumi setelah matinya, dan dengan air itu juga Allah menyebar berbagai macam hewan.”45 Konteks ayat diatas menjelaskan bahwa bumi mengalami kematian dan Allah Swt. menghidupkannya dengan air hujan. 2.

    QS. al-Nah}l [16]: 65

                      “Allah telah menurunkan air dari langit, kemudian dengan air tersebut Allah menghidupkan bumi setelah matinya. Yang demikian itu terdapat tanda-tanda yang bermanfaat bagi orang-orang yang mendengarkan.”46

    Al-Maut pada ayat diatas membicarakan tentang bumi yang mati kemudian dihidupkan Allah Swt. dengan air hujan. 3.

    QS. al-Ankabu>t [29]: 63

                            

    45 46

    Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 2, h. 161. Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 14, h. 2546.

    76

    “Demi keagungan-Ku, jika kamu menanyakan kepada orangorang kafir Makah, “Siapakah yang menurunkan air dari langit kemudian menghidupkan dengan air tersebut setelah matinya?” tentu mereka akan menjawab: “Allah”, Wahai Muhammad katakanlah! “Alhamdulillah”. Apa yang menyebabkan mereka tidak beriman? Sebab sebagian orang-orang kafir Makah tidak memahaminya.”47 Ayat diatas membicarakan tentang kekuasaan Allah Swt. yang menghidupkan bumi yang mati dengan air hujan. Pada peristiwa tersebut terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah Swt. 4. QS. al-Ru>m [30]: 19

                    “Allah mengeluarkan mahluk hidup dari mahluk mati, seperti ayam yang keluar dari telur. Dan mengeluarkan mahluk mati maksudnya tidak bergerak dari mahluk hidup (seperti telur yang keluar dari ayam), dan menghidupkan bumi dengan menumbuhkan tumbuh-tumbuhan sesudah matinya (gersang). Seperti itulah kalian semua akan dibangkitkan dari kubur (alam barzah) menuju ke padang mahsyar”.48 Konteks al-Maut pada ayat diatas membicarakan tentang bumi yang mati. Bumi yang mati tersebut Allah hidupkan dengan menumbuhkan tumbuh-tumbuhan.

    47 48

    Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 21, h. 3495. Ibid., h.3515-3516.

    77

    5. QS. al-Ru>m [30]: 24

                           “Diantara tanda-tanda kekuasaan Allah yaitu diperlihatkannya kilat kepada kalian semua untuk menimbulkan ketakutan dan mengharap rahmatnya Allah yaitu hujan. Dan Allah menurunkan air dari langit lalu menghidupkan setelah matinya. Yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaannya Allah yang bermanfaat bagi orang yang berfikir.”49

    Al-Maut pada ayat diatas konteksnya membicarakan bumi yang mati kemudian dihidupkan Allah dengan air hujan. 6. QS. al-Ru>m [30]: 50

                          “Maka perhatikanlah bekas-bekas rahmat Tuhanmu, bagaimana Allah menghidupkan bumi yang sudah mati. Sesungguhnya (Tuhan yang berkuasa seperti) demikian benar-benar (berkuasa) menghidupkan orang-orang yang telah mati. Apakah belum percaya? Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”50 Seperti ayat sebelumnya, pada ayat diatas juga membicarakan tentang bumi yang mati dan dihidupkan Allah Swt. dengan rahmatnya.

    49 50

    Ibid., h. 3524. Ibid., h. 3528-3529.

    78

    7. QS. Fat}i>r [35]: 9

                       “Allah Swt. adalah Tuhan yang mengirimkan angin, lalu angin itu menggerakkan awan, lalu kami gerakkan dan siramkan ke tanahtanah yang mati, kemudian dengan air itu Kami hidupkan bumi setelah matinya. Seperti itulah Allah akan menghidupkan orang-orang yang telah mati”51

    Al-Maut pada ayat diatas juga mebecirakan tentang bumi yang mati dan dihidupkan Allah Swt. dengan air hujan. 8. QS. al-Zumar [39]: 42

                                 “Allah mengambil jiwa orang ketika matinya, dan mengambil jiwa orang ketika tidurnya. Kemudian Allah menahan jiwa orang yang telah ditetapkan kematiannya dan melepaskan (mengembalikan) jiwa dalam tubuh yang tidur hingga batas waktu yang ditentukan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda- tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir.”52

    Al-Maut pada ayat diatas membicarakan tentang terjadinya kematian yaitu Allah mengambil ruh seseorang dan ditahan tidak dikembalikan.

    51 52

    Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 22, h. 3712. Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 24, h. 3889.

    79

    9. QS. al-Jasiyah [45]: 5

                         “Dan pada pergantian malam dan siang, dan rizki yang diturunkan Allah dari langit lalu dihidupkannya bumi itu setelah matinya, dan menggerakkan angin, yang demikian tersebut terdapat tanda-tanda kekuasaannya Allah Swt. yang bermanfaat bagi orang yang mau berfikir.”53 Pada ayat

    diatas mebicarakan kekuasaan

    Allah

    yaitu

    menghidupkan bumi yang mati. 10. QS. al-H{adi>d [57]: 17

                   “Ketahuilah olehmu bahwa Sesungguhnya Allah menghidupkan bumi sesudah matinya. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan kepadamu tanda-tanda kebesaran (Kami) yang tertulis maupun tidak tertulis, supaya kamu memikirkannya.”54 Seperti pada ayat sebelumnya, bahwa bumi juga mengalami kematian kemudian dihidupkan Allah Swt. Kesimpulan pada beberapa ayat diatas tentang kata al-Maut berupa ism ma’rifat yang muz}af dengan d}amir muttas}il (‫ )ها‬pada umumnya menjelaskan tentang bumi yang mati. Bumi dikatakan mati karena tidak bisa menumbuhkan tumbuh-tumbuhan, kemudian Allah Swt. dengan rahmatnya menurunkan hujan dan hiduplah bumi tersebut 53 54

    Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 25, h. 4086. Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 27, h. 4263.

    80

    menjadi subur sehingga bisam menumbuhkan berbagai macam tumbuhan. Dan dengan hidupnya bumi tersebut Allah menyebar hewan-hewan dibumi. berupa ism nakirah yang mengikuti wazan

    e.

    1. QS. al-Furqa>n [25]: 3

                           “Orang-orang kafir menciptakan sesuatu yang disembah selain Allah yaitu berhala yang tidak bisa menciptakan apapun, berhala yang dibuat sendiri, berhala yang tidak bisa menolak kemudharatan dan tidak pula untuk mengambil suatu kemanfaatan apalagi membuat beruntung terhadap penyembahnya, dan (juga) tidak Kuasa mematikan, menghidupkan dan tidak (pula) membangkitkan.”55 Konteks ayat al-Maut diatas membicarakan tentang berhala yang tidak mempunyai kekuatan untuk mematikan sesuatu. 2. QS. al-An’a>m [6]: 122

                              “Dan Apakah orang yang sudah mati hatinya sebab kufur, kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan petunjuk kepadanya berupa cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat (orang mukmin), apakah serupa dengan 55

    Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 18, h. 3219.

    81

    orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari kegelapan seperti orang kafir? Tentu tidak sama. Demikianlah orang mukmin itu senang petunjuk yang benar, sedangkan orang kafir senang dalam kesesatan. Yang demikian sunnahnya Allah Swt. Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan yaitu kufur.”56 KH.Misbah menfasirkan al-Maut pada ayat diatas adalah mati hati karena disebabkan oleh kekufuran. 3. QS. al-Furqa>n [25]: 49

               “Aku telah menurunkan air, yang dengan air itu agar Kami menghidupkan negri (bumi) yang mati, dan agar Kami memberi minum dengan air itu sebagian besar dari mahluk Kami, binatangbinatang ternak dan manusia yang banyak.”57 Kontek al-Maut pada ayat diatas membicarakan tentang bumi yang mati dan dihidupkan Allah Swt. dengan air hujan. 4. QS. al-Zukhruf [43]: 11

                  “Allah menurunkan air dari langit menurut kadar yang ditentukan, kemudian dengan air itu Kami (Allah) hidupkan tanahtanah yang mati, seperti itulah kamu akan dikeluarkan dari dalam kubur.”58

    56

    Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 8, h. 1140. Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 17, h. 3243. 58 Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 25, h. 4032. 57

    82

    Seperti pada ayat sebelumnya, ayat diatas juga menjelaskan tentang kekuasaan Allah Swt. untuk menghidupkan bumi yang telah mati. 5. QS. al-Hujura>t [49]: 12

                                        “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan buruksangka (kecurigaan), karena sebagian dari buruksangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.”59

    Al-Maut pada ayat diatas membicarakan tentang perumpamaan orang-orang yang mencari kesalahan orang lain diibaratkan seperti orang yang memakan dagingnya saudaranya sendiri yang telah mati. 6. QS. Qaf [50]: 11

               “Itu semua menjadi rizkinya hamba-hamba Allah, dan dengan air Aku hidupkan negri yang mati. Seperti itulah keluarnya manuisa dari kuburnya (dihidupkan setelah matinya).60

    59 60

    Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 26, h. 4165. Ibid., h. 4172.

    83

    Pada ayat diatas Allah mengumpamakan membangkitkan manusia yang telah mati seperti menghidupkan bumi yang telah mati yang disirami dengan air hujan. yang mud}a'af mengikuti wazan

    f.

    dima’rifatkan dengan alif lam

    1. QS. A
  • n [3]: 27

                   “Mahluk hidup seperti manusia dan ayam, Engkau keluarkan dari mahluk yang mati yang tidak ada ruhnya, seperti manusia dan ayam yang Engkau keluarkan dari air sperma dan telur. Mahluk mati seperti sperma dan telur, Engkau keluarkan dari mahluk hidup yaitu manusia dan ayam, dan semua mahluk yang Engkau kehendaki Engkau beri rizki tanpa batas.”61

    Al-Maut

    yang

    berwazan

    mud}a’af memberi gambaran

    bahwasannya mahluk hidup itu berasal dari mahluk mati, yang docontohkan KH.Misbah dengan dengan sperma dan telur. Dengan sperma dan telur tersebut Allah menjadikan mahluk hidup, dan juga sebaliknya. 2. QS. al-An’a>m [6]: 95

                          “Yang pasti Engkau sembah adalah dzat yang membelah biji dan isi kurma dari tumbuh-tumbuhan sehingga menjadi tumbuhan 61

    Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 3, h. 375.

    84

    yang ada daunnya. Dzat yang mengeluarkan benda hidup dari benda mati, seperti manusia dari sperma, dan ayam yang keluar dari telur dan Dzat yang mengeluarkan benda mati dari benda hidup. Dzat yang Maha Kuasa itu adalah Allah yang wajib disembah. Mengapa kalian durhaka tidak beriman kepada Allah Swt. dan tetap menyembah berhala yang tidak bisa apa-apa?”62 Seperti ayat sebelumya al-Maut pada ayat diatas konteknya adalah Allah menjadikan kehidupan dari mahluk mati, dan juga sebaliknya mengeluarkan mahluk yang mati dari mahluk hidup, seprti seperti sperma dan telur yang dapat menjadikan kehidupan. 3. QS. Yunu>s [10]: 31

                                  “Wahai Muhammad, katakanlah! “Hai orang-orang musyrik, siapa yang memberi rizki kepada kalian semua dari langi dan bumi. Siapa yang kuasa (menciptakan pendengaran dan penglihatanmu? Siapa yang mengelurkan hewan hidup dari sesuatu yang mati, dan mengeluarkan benda mati dari hewan yang hidup, siapa yang mengatur perkara langit, bumi dan isinya. Orang-orang musyrik pasti akan menjawab, Allah menciptakan semua itu, apabila telah mengetahui, maka katakanlah Muhammad! Mengapa kalian tidak takut siksanya Allah Swt.?63 4. QS. al-Ru>m [30]: 19

                   

    62 63

    Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 7, h.1106. Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 11, h. 1975.

    85

    “Allah mengeluarkan mahluk hidup dari mahluk mati, seperti ayam yang keluar dari telur. Dan mengeluarkan mahluk mati maksudnya tidak bergerak dari mahluk hidup (seperti telu yang keluar dari ayam), dan menghidupkan bumi dengan menumbuhkan tumbuhtumbuhan sesudah matinya (gersang). Seperti itulah kalian semua akan dibangkitkan dari kubur (alam barzah) menuju ke padang mahsyar”.64 Kesimpulan dari beberapa ayat diatas yang berhubungan dengan al-Maut yang mud}a'af berupa ism ma’rifat menggambarkan tentang kekuasaan Allah Swt. yang mengeluarkan mahluk hidup dari mahluk mati, yamg diumpamakan seperti sperma dan dan juga telur. Dari sperma dan telur tersebut Allah Swt. mengeluarkan atau menjadikan manusia dan juga ayam. Dan juga sebaliknya, Allah Swt. juga mengeluarkan mahluk mati yaitu sperma dan telur dari mahluk hidup. g.

    yang mudha'af mengikuti wazan

    berbentuk ism nakirah.

    1. QS. al-A’ra>f [7]: 57

                                    “Allah Swt. dzat yang harus kamu sembah dan kamu taati perintahnya, yaitu Tuhan yang menciptakan angin yang membawa kabar gembira sebelum rahmatnya datang (hujan). Angin membawa awan yang mengandung air yang telah dikumpulkannya, kemudian Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami 64

    Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 21, h.3515-3516.

    86

    turunkan hujan di daerah itu, maka Kami keluarkan dengan sebab hujan itu pelbagai macam buah-buahan. Seperti Itulah Kami membangkitkan orang-orang yang telah mati, Mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran.”65 KH.Misbah Musthafa menafsirkan al-Maut yang mud}a’af berbentuk ism nakirah yaitu mayyitun dengan arti tandus. Al-Maut pada ayat diatas berhubungan dengan bumi atau tanah yang gersang tidak dapat menumbuhkan tumbuh-tumbuhan. 2. QS. Ibrahi>m [14]: 17

                      “Orang-orang kafir yang sombong itu akan menelan air shodid (nanah), tapi air shodid itu hampir-hampir tidak bisa ditelan karena rasanya tidak enak dan menyakitkan. Orang-orang kafir yang sombong itu kedatangan sebab-sebab yang dapat menyebabkan kematian dari berbagai penjuru, akan tetapi tidak bisa meninggal, dan dibelakangnya ada siksa yang sangat berat.”66

    Al-Maut yang berbentuk mayyitun pada ayat diatas menjelaskan tentang siksa di neraka yaitu disiksa dengan berbagai macam hal yang menyebabkan kematian akan tetapi mereka tidak bisa mati.

    65 66

    Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 8, h. 1282. Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 13, h. 2399.

    87

    3. QS. Fat}ir [35]: 9

                       “Allah Swt. adalah Tuhan yang mengirimkan angin, lalu angin itu menggerakkan awan, lalu kami gerakkan dan siramkan ke tanahtanah yang mati, kemudian dengan air itu Kami hidupkan bumi setelah matinya. Seperti itulah Allah akan menghidupkan orang-orang yang telah mati”67 Seperti ayat sebelumnya, pada ayat diatas KH.Misbah Musthafa menafsirkan al-Maut yang mud}a’af berbentuk ism nakirah yaitu mayyitun dengan arti mati. Al-Maut pada ayat diatas berhubungan dengan tanah yang gersang tidak dapat menumbuhkan tumbuh-tumbuhan. 4. QS. al-Zumar [39]: 30

         “Wahai Muhammad, engkau pasti akan mati dan orang-orang kafir itu juga pasti akan mati.”68 Pada ayat diatas kematian merupakan kepastian yang berlaku untuk semua orang, baik itu orang yang taat maupun kafir.

    67 68

    Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 22, h. 3712. Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 23, h. 3882.

    88

    dima’rifatkan dengan alif lam

    h.

    ( ) yang mengikuti wazan

    1. QS. al-Isra>’ [17]: 75

                 “Kalau terjadi demikian, benar-benarlah Kami akan rasakan kepadamu (siksaan) berlipat ganda di dunia ini dan begitu (pula siksaan) berlipat ganda sesudah mati, dan kamu tidak akan mendapat seorang penolongpun terhadap kami.”69 Konteks al-Maut diatas membicarakan tentang siksa yang berat yang dilakukan setelah mati. yang dima’rifatkan dengan ism d}amir yang mengikuti wazan

    i.

    1. QS. al-An’a>m [6]: 162

              “Wahai Muhammad, katakanlah! “Hai orang-orang musyrik, ketahuilah! Salat ku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.”70 Kontek ayat diatas adalah segala yang dimiliki oleh orang beriman adalah milik Allah Swt., termasuk mati merupakan kekuasaan Allah Swt.

    69 70

    Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 25, h. 2729. Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 8, h. 1198.

    89

    yang dima’rifatkan dengan ism d}amir yang mengikuti wazan

    j.

    1. QS. al-Jasiyah [45]: 21

                       “Orang-orang yang melakukan keburukan yaitu kufur dan maksiat, mereka mengira bahwa saya akan menjadikan mereka seperti orang yang beriman dan melakukan amal salih dimasa hidup dan matinya. Amat buruk hukum-hukum yang dihukumi orang-orang kafir itu tidak akan sama.”71 Konteks al-Maut diatas membicarakan tentang balasan yang diberikan kepada orang kafir tidak sama tidak sama dengan orang kafir. dima’rifatkan dengan alif lam

    k.

    yang mengikuti wazan

    1. QS. al-Baqarah [2]: 73

                 “Lalu Kami berfirman: “Pukullah mayat itu dengan sebagian anggota sapi emas”, setelah disembelih, mayat tadi dipukul dengan lidahnya sapi lalu hidup, kemudian ditanya dan menjawab, “Yang membunuhku fulan lan fulan maksudnya saudaranya sendiri. Setelah menjawab kemudian mati lagi. Akhirnya tidak mendapat warisan dari orang yang dibunuh dan dua orang tadi dibunuh.”72

    71 72

    Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 25, h. 4094 Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 1, h. 68.

    90

    Kontek al-Maut diatas membicarakan tentang sapi yang telah mati kemudian dihidupkan dengan sebagian anggota tubuh sapi betina. 2. QS. al-Baqarah [2]: 260

                                                “Terangkanlah Muhammad sejarahnya nabi Ibarahim ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati." Allah berfirman: "Belum yakinkah kamu?" Ibrahim menjawab: "Aku telah meyakinkannya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku) Allah berfirman: "(Kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah semuanya olehmu. (Allah berfirman): "Lalu letakkan diatas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera." dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”73 Ayat diatas membicarakan tentang nabi Ibrahim yang meminta Allah Swt. untuk memperlihatkan bagaimana Allah menghidupkan orang-orang mati. Seakan nabi Ibrahim tidak percaya kepada kekuasaan Allah Swt. 3.

    QS. A
  • n [3]: 49

        

    73

    Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 3, h. 305.

    91

    “Aku bisa membuat burung dari tanah liat, dan apabila saya tiup maka burung tersebut bisa terbang atas izin Allah.”74 Kontek ayat diatas adalah Nabi Isa bisa menghidupkan burung dari tanah liat atas izin Allah Swt. 4. QS. al-Ma>idah [5]: 110

         “Dan (ingatlah) di waktu kamu mengeluarkan orang mati dari kubur (menjadi hidup) dengan seizin-Ku,”75 Konteks

    ayat

    diatas

    membicarakan

    tentang

    nabi

    Isa

    menghidupkan orang mati dengan izin Allah Swt. 5. QS. al-An’a>m [6]: 36

                 “Orang yang mau mematuhi seruanmu untuk beriman adalah hanya orang-orang yang mendengarkan saja, yaitu orang yang berfikir dan memahami apa yang didengar. Apabila mereka adalah orang yang mati yaitu orang hidup seperti orang mati (orang kafir), tidak akan mematuhi ajakanmu. Mereka akan dibangkitkan setelah matinya kemudian disidang dipengadilannya Allah Swt.”76 Konteks ayat diatas membicarakan tentang orang hidup tapi seperti orang mati, yaitu orang kafir yang tidak bisa menggunakan akalnya.

    74

    Ibid., h. 396. Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, h. juz 7, h. 1016 76 Ibid., h. 1053. 75

    92

    6. QS. al-An’a>m [6]: 111

                             “Kalau sekiranya Kami turunkan malaikat kepada orang kafir Makah, lalu mereka melihat satu-satunya dan mendengar kesaksiannya Malaikat bahwasannya nabi Muhammad adalah utusannya Allah, dan orang-orang yang telah mati berbicara dengan mereka sebab saya hidupkan sebagai bukti kebenarannya Muhammad, dan seumpama Kami (Allah) kumpulkan semua mahluk untuk mendatangi orang-orang kafir Makah dengan jelas, mereka tetap tidak beriman kecuali Allah menghendaki beriman. Yang demikian termasuk sunnahnya Allah Swt. akan tetapi sebagian mereka tidak mengerti sunnahnya Allah bagi hambanya.”77 7. QS. al-A’ra>f [7]: 57

                                    “Allah Swt. dzat yang harus kamu sembah dan kamu taati perintahnya, yaitu Tuhan yang menciptakan angin yang membawa kabar gembira sebelum rahmatnya datang (hujan). Angin membawa awan yang mengandung air yang telah dikumpulkannya, kemudian Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di daerah itu, Maka Kami keluarkan dengan sebab hujan itu pelbagai macam buah-buahan. seperti Itulah Kami membangkitkan orangorang yang telah mati, Mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran.”78

    77 78

    Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 8, h. 1123. Ibid., h. 1282.

    93

    Al-Maut yang mengikuti wazan fa’la> pada ayat diatas adalah perumpamaan membangkitkan orang mati seperti menghidupkan bumi yang telah mati. 8. QS. al-Ra’du [13]: 31

                        “Seumpama al-Qur‟an ini dibuat menjalankan (menggoncangkan) gunung-gunung, atau dibuat membelah bumi atau membuat orang mati bisa berbicara, orang-orang kafir tetap tidak akan beriman. Akan tetapi segala urusannya mahluk adalah kepunyaannya Allah, dan Dialah yang menentukan.”79 Konteks al-Maut pada ayat diatas membicarakan tentang orang mati, yaitu seandainya Allah membangkitnya dan diperllihatkan kepada orang kafir, maka orang kafir tersebut tetap saja tidak beriman. 9. QS. al-H{aj [22]: 6

                  “Yang demikian (yaitu permulaan dijadikannya manusia dan hidupnya bumi setelah turunnya hujan) karena sesungguhnya Allah Swt. adalah Tuhan yang hak, yang kekal dan Maha Sempurna. Dan Allah sudah menetapkan bahwasannya Ia akan menghidupkan manusia setelah matinya supaya manusia mengerti bahwa Allah Swt. kuasa menciptakan sesuatu yang dikehendaki.”80

    79 80

    Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 13, h. 2357. Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 17, h. 3044.

    94

    Ayat diatas membicarakan tentang kekuasaan Allah Swt. dalalm menghidupkan orang yang mati. Kebangkitan itu benar-benar ada. 10. QS. al-Naml [27]: 80

                “Ketahuilah Muhammad, sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati mendengar dan (tidak pula) menjadikan orang-orang yang tuli mendengar panggilanmu, apabila hati mereka telah berpaling baik lahir maupun batin.”81 Konteks Al-Maut pada ayat diatas adalah orang yang tidak mau mendengar. 11. QS. al-Ru>m [30]: 50

                          “Maka perhatikanlah bekas-bekas rahmat Tuhanmu, bagaimana Allah menghidupkan bumi yang sudah mati. Sesungguhnya (Tuhan yang berkuasa seperti) demikian benar-benar (berkuasa) menghidupkan orang-orang yang telah mati. Apakah belum percaya? Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”82

    Al-Mauta> pada ayat diatas menjelaskan tentang kekuasaan Allah Swt. dalam menghidupkan orang setelah mati. Yaitu seperti menghidupkan bumi setelah matinya.

    81 82

    Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 20, h. 3356. Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 21, h. 3528-3529.

    95

    12. QS. al-Ru>m [30]: 52

                “Ketahuilah Muhammad, sesungguhnya kamu tidak akan sanggup menjadikan orang-orang yang mati itu dapat mendengar, dan menjadikan orang-orang yang tuli dapat mendengar seruan, apabila mereka itu berpaling membelakang.”83 Konteks

    makna

    al-Mauta>

    pada

    ayat

    diatas

    adalah

    membicarakan orang-orang yang tidak mau mendengarkan ayatayatkannya Allah Swt.. 13. QS. Ya>si>n [36]: 12

                    “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang yang telah mati, dan Kami mencatat apa yang mereka kerjakan (amal baik maupun buruk) yang di tinggalkan dan dijalankan untuk generasi setelahnya. Semua perkara yang terjadi di dunia telah kami tulis di lauh al-Mauhfuz.84 Ayat diatas menjelaskan tentang hari kebangkitan itu memang nyata, yaitu Allah Swt. akan menghidupkan orang-orang yang sudah mati dan akan memberi balasan.

    83 84

    Ibid., h. 3539 Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 22, h. 3745.

    96

    14. QS. Fushilat [41] : 39

                             “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan Allah (ialah) bahwa kau Lihat bumi kering dan gersang, Maka apabila Kami turunkan air di atasnya, niscaya ia bergerak dan subur. Ketahuilah, Sesungguhnya Tuhan yang menghidupkannya, pastilah dapat menghidupkan orang yang mati. Sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.”85 Seperti pada ayat sebelumnya, ayat diatas memberitahukan tentang kekuasaan Allah Swt. yaitu dapat menghidupkan orang-orang yang telah mati. 15. QS. al-Syu>ra> [42]: 9

                      “Apakah patut tindakannya orang-orang musyrik yang menyembah selain Allah, akan tetapi Allahlah yang patut disembah. Dan Allah akan menghidupkan orang yang mati, dan Dia kuasa menciptakan sesuatu yang dikehendaki.”86 Ayat diatas memberitahu tentang adanya hari kebangkitan.

    85 86

    Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 24, h. 3979. Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 25, h. 3998.

    97

    16. QS. al-Ah}qaf [46]: 33

                            “Dan Apakah orang-orang kafir tidak percaya hari kebangkitan? mereka tidak memperhatikan bahwa Sesungguhnya Allah yang menciptakan langit dan bumi dan Dia tidak merasa payah karena menciptakannya, Kuasa menghidupkan orang-orang mati? Ya (bahkan) Sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.”87 Seperti pada ayat-ayat sebelumnya, al-Maut pada ayat diatas menjelaskan tentang adanya hari kebngkitan, yaitu manusia akan dihidupkan kembali setelah matinya. dima’rifatkan dengan alif lam

    l.

    yang mengikuti wazan

    dan

    berupa ism nakirah

    .

    1. QS. al-Baqarah [2]: 173

                                “Yang diharamkan Allah (tidak boleh dimakan) yaitu darah, daging babi, hewan yang disembelih untuk mengagungkan selain Allah Swt.”88

    Al-Maut pada ayat diatas bermakna bangkai.

    87 88

    Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 26, h. 4117. Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 3, h. 174.

    98

    2. QS. al-Ma>idah [5]: 3

               “Hai orang-orang beriman, kalian diharaman makan bangkai, darah, daging babi, dan semua hewan yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah, seperti menyebut danyang atau lainnya.”89 Sama sepperti ayat sebelumnya, yang dimaksud al-Maut pada ayat diatas adalah bangkai, yaitu hewan yang disembelih atas nama selain Allah Swt. 3. QS. al-An’a>m [6]: 139

                              “Orang-orang musyrik berkata, “Apakah ada didalam perut hewan ternak yaitu anaknya onta saibah husus untuk laki-laki golongan kita? Perempuan tidak boleh makan dagingnya, Apabila anak onta saibah mati , laki-laki dan perempuan boleh makan. Yang demikian itu merupakan peraturannya Allah Swt. Dia berfirman, “Allah akan membalas perbuatannya orang-orang musyrik yang telah berbuat seperti itu. Dia-lah Tuhan yang Maha Bijak Sana dan Maha Mengetahui.”90 4. QS. Al-An’a>m [6]: 145

                           

    89 90

    Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 6, h. 852. Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 8, h. 1168.

    99

                     “Hai Muhammad, katakanlah kepada orang-orang Makah, Aku tidak menemukan apa yag diwahyukan kepada-Ku, makanan yang diharamkan kepada orang yang akan memakannya kecuali yang akan dimakan itu adalah bangkai, darang yang mengalir dan daging babi. Karena daging babi najis atau hewan yang disembelih selain atasa nama Allah seperti berhala dan sejenisnya. Siapa saja yang terdesak tidak bisa mencari selain itu dan tidak ragu-ragu dan maksiat, maka diperbolehkan memakan salah satunya. Ketahuilah Allah Maha Pengampn lagi Maha Penyayang.91

    Al-Maut pada ayat diatas bermakan bangkai. 5. QS. Ya>si>n [36]: 33

               “Bukti bahwasannya orang yang sudah mati akan dihidupkan kembali oleh Allah Swt. adalah tanah yang mati Aku (Allah) hidupkan dengan air hujan, lalu tumbuh tanaman yang hijau, dan Aku keluarkan biji dari dalam bumi, kemudian orang-orang Makah makan biji-bijian tersebut seperti beras, gandum dan lain sebagainya.92 Ayat diatas menjelaskan bahwasannya manusia setalah mati akan dibangkitkan kembali, seperti Allah menumbuhkan tumbuhtumbuhan dari tanah dengan air hujan.

    91 92

    Ibid., h. 1176. Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 23, h. 3758.

    100

    6. QS. Al-Dukha>n [44]: 56

                “Didalam surga orang-orang bertakwa tidak merasakan mati, kecuali mati yang pertama kali di dunia, dan Allah menjaganya dari siksa neraka.”93 Konteks ayat diatas adalah al-Maut merupakan nikmat bagi orang yang bertakwa karena di surge mereka tidak mati. Mati hanya pertama kali di dunia. dima’rifatkan dengan ism d}amir yang mengikuti wazan

    m.

    1. QS. al-Shafa>t [37]: 59

           “Melainkan hanya kematian kita yang pertama saja yaitu di dunia, dan jelas kita tidak akan disiksa”94 Kontek ayat diatas menjelaskan tentang perkataan orang kafir yang tidak percaya dengan kehidupan setelah mati. 2.

    QS. al-Dukha>n [44]: 35

             “Kematian itu hanya satu kali, kita tidak akan dihidupkan kembali berkumpul di padang mahsyar.”95

    Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 25, h. 4082-4083. Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 23, h. 3795. 95 Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 25, h. 4078. 93 94

    101

    Seperti ayat sebelumnya, kontek ayat diatas menjelaskan tentang perkataan orang kafir yang tidak percaya dengan kehidupan setelah mati. Setelah peneliti membaca panafsiran KH.Misbah Musthafa berkaitan dengan kata al-Maut dalam susunan ayat yang lengkap, ternyata

    al-Maut secara konteks ayatnya membicarakan berbagai macam fenomena tentang kematian, baik sebelum mati, proses kematian (sakaratul maut), maupun setelah kematian. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat ditabel. Selain fenomena kematian, peneliti juga menemukan bahwa kata

    al-Maut selain digunakan untuk manusia ternyata juga digunakan untuk hewan dan bumi yang mempunyai makna berbeda-beda. Kata al-Maut yang berbentuk masdar meliputi ism ma’rifat dan

    nakirah dalam tafsi>r al-Ikli>l fi> ma’a>ni> al-Tanzi>l hampir semua diartikan dengan mati, hanya ada tiga yang diartikan bukan mati yaitu tidak mau mendengarkan ayat-ayatnya Allah Swt., bangkai (batang) dan tandus (garing). Meskipun KH.Misbah tidak menerjemahkan secara langsung kata

    al-Maut dengan arti tidak mau mendengarkan ayat-ayatnya Allah dan tandus, tapi dalam penjelasan secara global dan terperinci KH.Misbah menafsirkan kata al-Maut dengan arti tidak mau mendengarkan ayatayatnya Allah Swt., penafsirannya bisa ditemui pada QS. al-Baqarah: 19, QS. al-An’a>m: 36 dan 122, QS. al-Naml: 80, QS. al-Ru>m: 52. Sedangkan

    102

    bangkai yaitu pada QS. al-Baqarah: 173 dan QS. al-Ma>idah: 3, dan tandus pada QS. al-Ru>m: 19. Tabel Makna Al-Maut dalam Tafsir Tafsi>r Al-Ikli>l fi Ma’a>ni> Al-Tanzi>l No.

    Makna Al-Maut

    Surat QS. al-Baqarah: 19

    1.

    Tidak mau mengggunakan panca indra

    QS. al-An’a>m: 36 dan 122 QS. al-Naml: 80 QS. al-Ru>m: 52 QS. al-Baqarah: 133, 180, dan 243 QS. A

  • 2.

    Mati (tidak dapat dihindari)

    QS. al-Nisa>’: 78 QS. al-Ah}za>b: 16 QS. al-Jum’ah: 8

    3.

    Mati syahid

    QS. A
  • n: 143 QS. A
  • n: 185

    4.

    Mencicipi Mati

    QS. al-Anbiya>’: 35 QS. al-Ankabu>t: 57

    5.

    Bila kedatangan tandatandanya kematian, maka segera berwasiat.

    6.

    Hukuman orang yang berzina (dikurung sampai mati)

    QS. al-Nisa>’: 15

    Al-Maut merupakan batas

    QS. al-Nisa>’: 18

    7.

    taubat

    QS. al-Nisa>’: 15 QS. al-Ma>idah: 106

    QS. al-Mukminu>n: 99

    103

    QS. al-Muna>fiqu>n: 10

    8.

    Al-Maut adalah nikmat

    QS. al-Nisa>‟: 100

    bagi orang yg berjuang dijalan Allah

    QS. al-Dukha>n: 56 QS. al-An’a>m: 61 QS. al-Anfa>l: 6 QS. Saba>’: 14

    Al-Maut merupakan 9.

    kepastian atau ketentuannya Allah Swt.

    QS. al-Wa>qi’ah: 60 QS. al-Jum’ah: 6 QS. al-Furqa>n: 3 QS. al-Zumar: 30 QS. al-An’a>m: 162 QS. Al-Dukha>n: 56 QS. al-An’a>m: 93 QS. Ibra>hi>m: 17 QS. al-Mukminu>n: 99 QS. al-Ah}za>b: 19

    Al-Maut adalah kepayahan 10. (Sakaratul maut)

    QS. Muh}ammad: 20 QS. Qaf: 19 QS. Ibrahi>m: 17 QS. al-Isra>’: 75 QS. al-Jasiyah: 21

    11.

    Memakan daging saudaranya yang telah mati

    QS. al-Hujura>t: 12

    12.

    Dibangkitkan setelah mati.

    QS. Hu>d: 7

    104

    QS. al-Baqarah: 260 QS. al-A’ra>f: 57 QS. al-Ra’du: 31 QS. al-H{aj: 6. QS. al-Ru>m: 50 QS. Ya>si>n: 12 QS. Fushilat (al-Sajadah): 39 QS. al-Syu>ra>: 9 QS. al-Ah}qaf: 33 QS. Ya>si>n: 33 13.

    Malaikat maut

    QS. al-Sajadah: 11

    14.

    Keterputusan

    QS. al-Zuma>r: 42

    15.

    Kondisi ahli kitab sebelum mati

    QS. al-Nisa>’: 159

    16.

    Nabi Isa menghidupkan orang mati

    QS. al-Ma>idah: 110 QS. A
  • n: 49 QS. A
  • n: 27

    17.

    Menjadikan mahluk hidup dari mahluk mati.

    QS. al-An’a>m: 95 QS. Yunu>s: 31 QS. al-Ru>m: 19

    18.

    Sapi mati dihidupkan lagi

    QS. al-Baqarah: 73 QS. al-Baqarah: 173

    19.

    Bangkai

    20.

    Bumi yang mati

    QS. al-Ma>idah: 3 QS. al-Baqarah: 164

    105

    QS. al-Nah}l: 65 QS. al-Ankabu>t: 63 QS. al-Ru>m: 19, 24, 50 QS. al-Zumar: 42 QS. al-Jasiyah: 5 QS. al-Furqa>n: 49 QS. al-Zukhruf: 11 QS. Qaf: 11 QS. al-A’ra>f: 57 QS. Fat}ir: 9

    BAB 1V MAKNA AL-MAUT DAN KONTEKSTUALISASI MAKNANYA DALAM TAFSIr Al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> Al-Tanzi>l Seperti yang telah dijelaskan dalam latar belakang, hubungan antara kata (lafaz}) dan makna tidak bisa dipisahkan. Lafaz} adalah apa yang diucapkan, baik terdengar maupun tertulis. Sedangkan, makna adalah kandungan lafaz} dan tujuan yang hendak dicapai dengan pengucapan atau penulisannya. 1 Jadi untuk mengetahui makna al-Maut harus mengetahui makna asli dan perubahan maknanya. Selain itu juga memerhatikan korelasi kata sebelum dan sesudahnya, karena pesan dalam suatu ayat tentunya saling terkait dengan kata sebelum dan sesudahnya. Dalam penjelasan kali ini tidak membahas semua ayat yang berkaitan dengan al-Maut, akan tetapi cukup membahas beberapa ayat yang mewakili yang lainnya.

    Tafsi>r al-Ikli>l merupakan tafsir ulama Jawa yang penjelasannya menggunakan bahasa Jawa. KH.Misbah Musthafa berusaha menerjemahkan dan menjelaskan kandungan al-Qur‟an agar mudah dipahami, tentunya mencari makna paling dekat berkaitan dengan ayat yang ditafsirkan. Setelah peneliti membaca panafsiran KH.Misbah Musthafa berkaitan dengan kata al-Maut dalam susunan ayat yang lengkap, kata al-Maut yang berbentuk masdar meliputi ism ma’rifat dan nakirah dalam tafsi>r al-Ikli>l fi> Ma’a>ni>

    al-Tanzi>l karya KH.Misbah Musthafa hampir semua diartikan dengan mati, hanya 1

    M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-ayat al-Qur’an, h. 75-76.

    106

    107

    ada tiga makna yang tidak diartikan bukan mati, tapi tidak mau mendengarkan ayat-ayatnya Allah Swt. (mati akal), bangkai (batang) dan tandus (garing). Meskipun KH.Misbah tidak menerjemahkan secara langsung kata al-Maut pada makna gandul dengan arti tidak mau mendengarkan ayat-ayatnya Allah Swt. dan tandus, tapi dalam penjelasan secara global dan terperinci KH.Misbah menafsirkan kata al-Maut dengan arti tidak mau mendengarkan ayat-ayatnya Allah Swt., penafsirannya bisa ditemui pada QS. al-Baqarah: 19, QS. al-An’a>m: 36 dan 122, QS. al-Naml: 80, QS. al-Ru>m: 52. Sedangkan bangkai yaitu pada QS. al-Baqarah: 173 dan QS. al-Ma>idah: 3, dan tandus pada QS. al-Ru>m: 19. Terlepas dari tiga makna al-Maut diatas, secara umum KH.Misbah Musthafa menjelaskan pandangan tentang al-Maut dalam Tafsi>r al-Ikli>l fi> Ma’a>ni>

    al-Tanzi>l, menurutnya al-Maut adalah kematian yang tidak seorangpun selamat darinya. Dia menyebutkan, “Tiap-tiap yang berjiwa pasti akan mencicipi mati.” (QS. A
  • n: 185). Jika ada seseorang yang mencoba lari dari kematian dan selamat, maka sesungguhnya ia tidak akan merasakan kenikmatan itu kecuali hanya sesaat, maksudnya orang tersebut pasti akan mati (QS. al-Ah}za>b: 16). KH.Misbah mengatakan: “He wong-wong munafiq! Melayu nira kabeh iku ora migunanai sira kabeh yen sira kabeh melayu saking pati utawo dipateni musuh. Yen sira kabeh podo melayu, nuli ora mati, iku upomo sira kabeh seneng-seneng, iku naming sediluk.”2 Terjemah: “Wahai orang munafik! Kalian lari agar terhindar dari kematian atau dibunuh musuh itu tidak ada gunanya. Apabila kalian lari, kemudian masih hidup dan kalian merasa senanghati, ketahauilah! Kesenangan itu hanya sebentar.” 2

    Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 21.h. 3614.

    108

    Pandangan KH.Misbah Musthafa, kematian merupakan sesuatu yang dapat dirasakan dan juga mengerikan. Penafsirannya dapat dilihat dalam kitab tafsirnya ketika menafsirkan QS. A
  • n: 185. Dia menjelaskan jika seseorang mengalami kematian yaitu pada saat ruhnya dicabut dari badan seseorang akan mengalami tiga hal. Pertama, Orang tersebut merasakan sakitnya sakarat al-

    Maut, yang diumpamakan seperti ranting yang berduri dimasukkan ke dalam tubuh kemudian ranting tersebut di cabut dengan paksa. Tentunya rasa sakit yang sangat akan dialami seseorang yang sedang sakarat al-Maut. Kedua, orang yang

    sakarat al-Maut akan melihat penampakan asli malaikat pencabut nyawa yang wajahnya menyeramkan. Ini dialami oleh orang yang durhaka kepada Allah Swt. dan belum bertaubat. Ketiga, orang yang sakarat al-Maut akan melihat tempat yang akan ditempati apakah bertempat ditempat yang penuh dengan kenikmatan ataukah penuh siksaan.3 Enak tidaknya sakarat al-Maut ditentukan oleh amal yang diwariskan untuk orang-orang setelahnya, jika ia meninggalkan kebaikan yang dapat dilanjutkan generasi setelahnya maka akan medapat kenikmatan, dan juga sebaliknya, jika meninggalkan kemaksiatan maka akan menempati tempat yang penuh siksaan. Dalam QS. al-An’a>m: 93 dijelaskan oleh KH.Misbah bahwa ketika ada orang zalim sedang sakarat al-Maut, maka malaikat maut akan membentangkan tangannya dan mengucapkan, “Ayo! Keluarkanlah sendiri ruhmu”. Sekarang kamu akan dibalas dengan siksa yang sangat menghinakan, karena kamu selalu 3

    Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 4, h. 554-556.

    109

    mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayat-Nya.”4 Penjelasan diatas menunjukkan bahwa orang ketika sakarat al-Maut mengalami ketakutan karena melihat malaikat maut yang membentangkan tangan menyuruh dengan paksa ruh untuk keluar dari jasadnya. Nikmat tidaknya ditentukan oleh amalnya didunia. B. Kontekstualisasi Makna Al-Maut dalam Tafsi>r Al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> Al-Tanzi>l Kematian merupakan suatu peristiwa yang menakutkan bagi manusia, karena ada anggapan maut merupakan peristiwa yang memisahkan antara kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat, yaitu orang yang mati akan meninggalkan kemewahan dunia. Selain itu orang takut mati karena menganggap ada peristiwa yang dahsyat dibalik kematian tersebut, yaitu sakitnya sakara>t al-

    Maut dan juga ada pengadilan di hadapan Sang Maha Adil berkaitan dengan amal perbuatan yang dilakukan semasa hidupnya. Meskipun makna al-Maut intinya membicarakan tentang terlepasnya roh dari jasad, akan tetapi pada bab ini mencoba untuk melihat makna al-Maut dari segi konteks ayatnya. Maksudnya memperhatikan kontek ayat tersebut dengan memperhatikan korelasi kata sebelum dan sesudahnya sehingga didapat suatu makna yang terdekat dari ayat tersebut. Berdasarkan penelusuran makna al-Maut, berkaitan dengan kontekstualisasi maknanya dalam tafsi>r al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> al-

    Tanzi>l dengan menggunakan kata kunci al-Maut, maka didapat kata al-Maut dalam al-Qur‟an digunakan untuk membicarakan tiga objek yaitu manusia, hewan Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 7, (Surabaya, alIhsan, T.th.), h. 1102. 4

    110

    dan bumi. Ketiganya mempunyai makna yang beragam yang akan dibahas dibawah ini berdasarkan pendapat dari KH.Misbah Musthafa dalam Tafsi>r al-Ikli>l

    fi> Ma’a>ni al-Tanzil. Dalam pembahasan ini tidak membahas semua ayat, akan tetapi hanya membahas beberapa ayat yang mewakili topik pembahasan. 1. Al-Maut berhubungan dengan Manusia a. Al-Maut bermakna Akhir Kehidupan di Dunia

    Al-Maut yang berarti kematian, adalah suatu proses yang pasti akan dirasakan oleh manusia. Kematian merupakan tahap akhir kehidupan manusia di dunia, dan sekaligus juga merupakan tahapan awal menuju kehidupan baru yaitu akhirat. Dimana di dunia barunya manusia akan memperoleh balasan berkaitan dengan amal perbuatannya di dunia. Allah Swt. berfirman: 1. QS. A
  • n: 185

                               “Tiap-tiap yang berjiwa pasti akan mencicipi mati. Kalian semua akan dicukupi pahala atas amal kalian pada hari kiamat. Barang siapa yang dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia adalah orang yang beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.”5 Pada ayat diatas KH.Misbah Musthafa menjelaskan bahwa semua yang berjiwa pasti mencicipi mati, tidak ada manusia yang 5

    Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 4, h. 554.

    111

    tidak mati. Ini dijelaskan KH.Misbah dalam penjelasan terperinci dengan mengatakan “ora ono manungso kang ora mati”6. Ini menunjukkan bahwa kehidupan manusia di dunia diakhiri dengan kematian. Setelah manusia mati, maka tidak ada lagi kehidupan seperti di dunia dan kesempatan untuk beramal, yang hanya adalah pembalasan sesuai amal yang di kerjakan di dunia, apabila ia orang yang taat maka Allah Swt. akan menyempurnakan pahalanya yaitu dimasukkan kedalam surganya Allah Swt. Penafsiran KH.Misbah lengkapnya bisa dilihat dibawah ini. “Saben-saben awak-awakan iku mesti ngicipi pati. Siro kabeh bakal dicukupi ganjaran amal niro besok ing dino qiyamat. Besok ing dino qiyamat, sopo-sopo wong kang disingkrihake saking neraka lan dilebokake suwargo, terang yen wong iku wong kang bekjo. Kasenengan ing dunyo iki namun kasenengan kang ngandung bujukan.”7 Terjemah: “Tiap-tiap yang berjiwa pasti akan mencicipi mati. Kalian semua akan dicukupi pahala atas amal kalian pada hari kiamat. Barang siapa yang dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia adalah orang yang beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” Pada ayat tersebut kata al-Maut di-mud}af-kan dengan

    z}aiqah,yang diterjemahkan KH.Misbah dengan mencicipi. Seseorang yang mencicipi suatu masakan pasti merasakan rasanya, entah itu manis, asin, atau pahit. Sehingga KH.Misbah berpendapat ayat diatas mengingatkan kepada manusia bahwa kematian itu mempunyai rasa.

    6 7

    Ibid. Ibid.

    112

    Mati merupakan dicabutnya ruh dari jasad. Setiap orang mati pasti mengalami tiga hal, yaitu: pertama, manusia merasakan kesakitan ketika

    ruh

    dicabut.

    KH.Misbah

    mengutip

    hadis

    yang

    diterjemahkannya, “Di ceritakan bahwa sayyidina Umar bertanya kepada Ka’ab al-Ah}bar, “Wahai Ka‟ab, ceritakan kepadaku tentang kamatian,” Ka‟ab menjawab, “Baiklah, pemimpinya orang-orang mukmin. Mati rasanya seperti ranting pohon yang banyak durinya, lalu dimasukkan ketubuh manusia dan setiap duri tadi nyangkut disetiap otot, kemudian ranting tersebut dicabut oleh orang yang sangat perkasa. Kedua, manusia akan melihat bentuknya malaikat pencabut nyawa yang sangat buruk rupanya dan menakutkan. Kejadian seperti ini hanya dialami oleh orang yang suka maksiat dan belum bertaubat, apabila orang tersebut taat kepada Allah Swt. maka akan

    melihat

    malaikat

    maut

    dengan

    wajah

    yang

    sangat

    menyenangkan. Ketiga, akan melihat tempat yang akan ditempati setelah mati. Apakah berada ditempat yang penuh kenikmatan ataukah siksaan. Nabi Muhammad Saw. bersabda yang artinya: “Kalian tidak akan meninggalkan alam dunia apabila belum melihat kejadian setelah mati dan tempat yang akan ditempati.”8 Kesimpulan dari ayat diatas adalah kematian merupakan sesuatu yang dapat dirasakan dan semua manusia pasti mengalaminya, dan merupakan batas akhir hidup didunia dan merupakan jalan

    8

    Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 4, h. 554-556

    113

    menuju kehidupan yang baru yaitu akhirat dimana manusia akan mendapat balasan sesuai amalnya di dunia. Barang siapa yang terperdaya dengan kehidupan di dunia maka ia termasuk orang yang merugi. 2. QS. al-Anbiya>’: 35

                 “Tiap-tiap yang berjiwa pasti akan mencicipi mati, dan Kami menguji kalian dengan bencana yaitu perkara yang tidak menyenangkan, dan menguji dengan perkara yang menyenangkan. Demikan itu untuk menguji kalian. Dan kalian semua pasti akan kembali kepada-Ku yaitu dihadapkan di pengadilan-Ku.”9 Seperti pada ayat sebelumnya, pada ayat diatas KH.Misbah Musthafa juga menegaskan kembali bahwasannya manusia tidak akan hidup selamanya pasti akan mati. Pada penjelasan terperinci juga dutegaskan kemabli bahwa manusia akan merasakan sakitnya mati yaitu ketika ruh berpisah dengan jasadnya. Dalam ayat ini, KH.Misbah tidak menjelaskan rasa sakit ketika ruh dicabut dari badannya, menurut peneliti alasan KH.Misbah tidak menjelaskan rasanya mati karena dalam ayat sebelumya yaitu QS. Ali Imran: 185 sudah dijelaskan panjang lebar tentang kondisi yang dialami oleh orang yang sedang sakarat al-Maut.

    9

    Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 17, h. 2983-2984.

    114

    Kesimpulan dari ayat diatas adalah kematian akan dialami semua orang, dan perlu mempersiapkan diri karena orang yang mati ketika ruh dicabut dari jasadnya akan merasakan kepedihan yang sangat luar biasa. Mati merupakan akhir dari perjalanan hamba didunia. 3. QS. al-‘Ankabu>t: 57

             “Tiap-tiap yang berjiwa akan mencicipi mati. kemudian hanyalah kepada Kami kamu dikembalikan (dihadapkan kepada-Ku).” Semua yang ada di alam ini adalah milik Allah Swt. maka suatu saat akan kembali kepada pemiliknya. Begitu juga manusia, suatu saat akan kembali kepada Allah Swt. sang pemilik kehidupan. Manusia kembali kepada Allah Swt. harus melewati pintu terlebih dahulu, yaitu kematian. Setelah orang mati maka akan menempati kehidupan yang baru yang tidak sama di dunia yaitu berada di alam akhirat untuk mempertanggung jawabkan amalnya dihadapan Allah Swt. Seperti yang dijelaskan KH.Misbah, yaitu “Kabeh awak-awakan iku mesti ngicipi pati, mesti sira kabeh bakal dibalikake, tegese diadepke marang ingsung.”10 (Tiap-tiap yang berjiwa akan mencicipi mati.

    kemudian

    hanyalah

    kepada

    Kami

    kamu

    dikembalikan

    (dihadapkan kepada-Ku).” Setelah itu manusia bertempat diakhirat dan tidak ada lagi kehidupan di dunia.

    10

    Ibid.

    115

    Menurut Misbah Musthafa sebab turunnya ayat ini berkaitan dengan orang Islam yang kurang beruntung berada di Makah setelah ditinggal nabi Muhammad hijrah ke Madinah. Orang-orang Makah tidak bisa beribadah dengan terang-terangan di Makah dan harus sembunyi-sembunyi. Ketika itu hijrah ke Madinah hukumnya fardu

    ‘ain, akan tetapi orang yang kurang beruntung tadi khawatir akan mati kelaparan apabila ikut hijrah kemudian ayat ini turun dan Allah memerintahkahkan, “Kalian semua jangan bertempat didaerahnya orang-orangnya musyrik apabila tidak aman melakukan ibadah, hijrahlah! Jangan takut mati kelaparan, karena setiap yang bernyawa pasti mati. Apabila mereka yakin akan mati, tentu semua yang dianggap menyusahkan akan hilang.11 Misbah Musthafa mengingatkan bahwasannya manusia jangan takut mati kelaparan karena berjuang dijalan Allah Swt. (beribadah), karena semua manusia akan mati, baik yang ikut nabi hijrah maupun tidak, yang taat maupun tidak. Semua akan mendapat balasan sesuai yang dilakukannya semasa hidupnya. Berikut penafsiran KH.Misbah selengkapnya: “Sira kabeh ojo podo manggon ono ing daerahe wong musyrik yen ora aman nglakoni ngibadah. Sira menungso ojo wedi mati kaliren, kerono saben-saben awak-awakan iku mesti mati. Yen wong iku yakin bakal mati, sekabehane kang dianggep nyusahake temtu bakal ampreh.12

    11 12

    Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 21, h. 3491-3493. Ibid.

    116

    Terjemah: “Kalian semua jangan bertempat didaerahnya orang musyrik apabila kaian tidak aman melakukan ibadah. Kalian semua jangan takut mati karena kelaparan, karena setiap jiwa pasti mati. Apabila kalian yakin mati, semua yang dianggap menyusahkan pasti akan dianggap enak. b. Al-Maut bermakna Mati Hati atau Akal Orang hidup juga bisa dikatakan mati kalau mereka tidak bisa menggunakan panca indranya, yaitu mata, telinga, akal dan hati. Mata digunakan melihat kekuasaan Allah Swt., telinga digunakan mendengar ayat-ayat-Nya, akal digunakan untuk berfikir apa yang dilihat dan didengar sedangkan hati digunakan untuk merenung dan memahami apa yang dilihat, didengar dan yang dipikirkan. Jika panca indra tersebut tidak bisa menggunakannya maka orang tersebut dikatakan mati. Mati disini bersifat

    majazi yang tidak berarti terlepasnya ruh dari jasad, tapi tidak menggunakan panca indranya. Meskipun KH.Misbah Musthafa tidak menerjemahkan secara langsung al-Maut adalah mati hati, tapi dalam penafsirannya secara global dan terperinci menjelaskan tentang al-Maut (orang yang hidup tapi mati) yaitu orang yang tidak mau berpikir tentang ayat-ayatnya Allah Swt.

    Al-Maut bermakna orang yang mati hatinya dijelaskan Misbah Musthafa dalam QS. al-An’a>m: 36, QS. al-An’a>m: 122, dan QS. al-Naml: 80. Penjelasannya sebagai berikut:

    117

    1. QS. al-An’a>m: 36

                 “Orang yang mau mematuhi seruanmu untuk beriman adalah hanya orang-orang yang mendengarkan saja, yaitu orang yang berfikir dan memahami apa yang didengar. Apabila mereka adalah orang yang mati yaitu orang hidup seperti orang mati (orang kafir), maka mereka tidak akan mematuhi ajakanmu. Mereka akan dibangkitkan setelah matinya kemudian disidang dipengadilannya Allah Swt.”13 Dalam penjelasan terperinci, Misbah Musthafa menjelaskan: “Yang dimaksud dengan allaz\i>na yasma’u>na adalah orang yang mau berfikir tentang ayat-ayatnya Allah Swt. Jika orang tersebut (orang kafir) mau berfikir tentang firman Allah Swt. dan dampak yang dilakukan untuk hari esok, tentu mau mengikuti ajakan nabi Muhammad. Begitu juga dalam perkara iman kepada nabi Muhammad Saw. Sedangkan untuk orang Islam dikatakan mati apabila tidak mau melaksanakan petunjuknya Allah dalam hal ibadah. Yang dimaksud dengan al-Mauta adalah orang kafir dan Islam yang tidak menggunakan akalnya untuk berfikir tentang ayat-ayatnya Allah Swt. Jadi ayat ini menyinggung orang Islam dan juga orang kafir. Meskipun orang kafir apabila menggunakan akalnya untuk berfikir tentang ayat-ayat al-Qur‟an, akan dibuka hatinya berubah menjadi beriman. Orang Islam sesudah mendengar firmannya Allah Swt. kemudian mati akalnya yaitu tidak mau memikirkan ayat-ayatnya Allah Swt. sama sekali yang telah didengarnya, dan tetap tidak mau melakukan perintah-perintahnya, maka ia adalah orang yang mati.”14 Ayat diatas dapat dipahami bahwa penyebutan al-Maut atau orang yang mati ditujukan kepada orang kafir dan orang Islam. Mengapa orang kafir dikatakan mati, padahal mereka masih bisa melihat

    apa

    yang

    mereka

    lihat,

    mendengarkan

    apa

    yang

    Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 7, h. 1052. Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 7, h. 1052-1053. Lihat lampiran 2. 13 14

    118

    didengarkanya, berfikir tentang suatu peristiwa, dan berjalan untuk pindah dari satu tempat ke tempat yang lain? Seperti

    yang

    dijelaskan

    KH.Misbah

    Musthafa

    ketika

    menafsirkan ayat diatas, orang kafir dianggap mati karena mereka tidak mau mendengarkan, berfikir dan memahami ayat-ayatnya Allah Swt. yang menunjukkan keberadaan dan kebesaran-Nya, sehingga ia tidak beriman kepada-Nya. Penafsiran tersebut dijelaskan KH.Misbah dalam bahasa Jawa yaitu, “Kang dikarepake al-Mauta> yaiku wong kafir utowo wong Islam kang pikirane ora obah babar pisan kanggo angen-angen dawuh-dawuhe al-Qur’an.”15 (Yang dimaksud dengan

    Al-Mauta> adalah orang kafir atau Islam yang akalnya tidak mau berfikir sama sekali tentang firmannya Allah Swt. dalam al-Qur‟an). KH.Misbah

    menjelaskan,

    meskipun

    orang

    kafir,

    tapi

    mendengarkan, berfikir dan memahami tentang ayat-ayatnya Allah Swt. tentu Allah Swt. akan membuka hati mereka untuk berubah beriman kepada-Nya, karena orang yang mematuhi seruan Nabi Muhammad hanyalah orang beriman yaitu orang yang dapat berfikir dan memahami apa yang didengarnya. Orang Islam juga bisa dikatakan mati meskipun ia tumbuh dan bergerak. Orang Islam dikatakan mati apabila setelah mendengar ayatayatnya Allah Swt. dibacakan mereka tidak mau berfikir dan

    15

    Ibid., h. 1052.

    119

    memahaminya, ia tetap tidak mau beribadah kepada Allah Swt. Penjelasan KH.Misbah dalam bahasa Jawa yaitu: “Wong Islam kang sakwuse ngerungu dawuh-dawuhe Allah nuli mati pikirane tegese ora obah babar pisan kanggo mikirake dawuhe Allah kang dirungu iku, tetep ora gelem nembadani dawuhdawuhe Allah ta’ala”.16 Terjemah: Orang Islam sesudah mendengar firmannya Allah Swt. kemudian mati akalnya yaitu tidak mau berfikir sama sekali tentang firmannya Allah Swt yang didengar, tetap tidak melaksanakan perintahnya Allah Swt.” Kesimpulan dari penafsiran diatas adalah orang kafir dikatakan mati apabila tidak mau mendengarkan ayat-ayatnya Allah Swt., sedang orang Islam dikatakan mati apabila setelah mendengar ayatayatnya Allah Swt. tidak mau berfikir dan menjalankan perintah-Nya. Menurut penulis, alasan KH.Misbah Musthafa mengartikan al-Maut dalam ayat diatas karena memperhatikan syiyaq al-Kalam-nya yaitu korelasi hubungan kata al-Maut dengan kata sebelim dan sesudahnya. 2. QS. al-An’a>m: 122

                              “Dan Apakah orang yang sudah mati hatinya sebab kufur, kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan petunjuk kepadanya berupa cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan 16

    Ibid.

    120

    di tengah-tengah masyarakat (orang mukmin), apakah serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari kegelapan seperti orang kafir? Tentu tidak sama. Demikianlah orang mukmin itu senang petunjuk yang benar, sedangkan orang kafir senang dalam kesesatan. Yang demikian sunnahnya Allah Swt. Demikianlah Kami jadikan orang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan yaitu kufur.”17 KH.Msbah Musthafa menjelaskan kekufuran menyebabkan hati seseorang menjadi mati sehingga tidak memperoleh cahaya dari Allah Swt. yang menyebabkan selalu memandang baik yang mereka kerjakan, padahal perbuatan tersebut merupakan kekufuran. Orang mukmin dikatan hidup karena hatinya hidup selalu mendapat cahaya dari Allah Swt. sehingga ia senang menerima petunjuk yang benar. 3. QS. al-Naml: 80

                “Ketahuilah Muhammad, sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang tuli mendengar panggilanmu, apabila hati mereka telah berpaling baik lahir maupun batin.”18 Allah

    Swt.

    mengingatkan

    kepada

    Nabi

    Muhammad

    bahwasannya orang kafir tidak dapat beriman karena pikiran dan hatinya telah tertutup baik lahir maupun batin, sehingga mereka tidak dapat mendengar ajakan nabi Muhammad Saw. sekalipun Nabi Muhammad

    memaksanya

    untuk

    mendengarkan

    seruannya.

    Sesungguhnya yang memberikan hidayah adalah Allah swt. tugas manusia hanyalah mengajak. 17

    Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 8, h. 1140. Lihat lampiran 3. 18 Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 20, h. 3356.

    121

    KH.Misbah memberi penjelasan tambahan bahwa ayat diatas menginformasikan kalau dakwah seharusnya menunggu hati orang yang diajak siap untuk diajak, atau menuntun orang tersebut supaya hatinya siap untuk diajak.19 Ayat diatas memberi kesimpulan bahwasannya orang kafir dikatakan mati karena mereka menutup hatinya dan berpaling dari mendengarkan ajakan nabi Muhammad Saw. sehingga mereka tetep dalam kekufurannya. c. Al-Maut bermakna Keterpisahan Seperti yang telah disinggung sebelumnya, al-Maut (kematian) merupakan terpisahnya ruh dari jasad. Terpisahnya ruh dari jasad ini juga dialami oleh orang yang tidur, yaitu ruh manusia berpisah untuk sementara dengan jasad. Ruh manusia ketika tidur dipegang oleh Allah Swt. dan dikembalikan sampai batas yang ditentukan, yaitu ketika bangun. Sedangkan mati yang sesungguhnya ruh manusia diambil Allah Swt. untuk ditahan dan tidak dikembalikan lagi. Ayat yang menunjukkan bahwa al-

    Maut menunjukkan terpisahnya ruh dengan jasad adalah QS. al-Zumar: 42, yaitu:

                                 19

    Ibid.

    122

    “Allah mengambil jiwa orang ketika matinya, dan mengambil jiwa orang ketika tidurnya. Kemudian Allah menahan jiwa orang yang telah ditetapkan kematiannya dan melepaskan (mengembalikan) jiwa dalam tubuh yang tidur hingga batas waktu yang ditentukan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah Swt. bagi kaum yang berfikir.”20 KH.Misbah Musthafa menafsirkan ayat diatas, bahwasannya orang mati disebabkan karena Allah Swt. mengambil jiwa (ruh) dari jasadnya sehingga antara jiwa dan jasad berpisah berada ditempat yang berbeda yang menyebabkan jasad tersebut tidak dapat bergerak. Jasad dan ruh mengalami keterpisahan tidak hanya ketika mati, akan tetapi ketika tidurpun keduanya berpisah. Mengapa dapat berpisah? Karena Allah Swt. mengambil jiwa orang ketika tidurnya kemudian mengembalikan kepada jasadnya sampai batas yang ditentukannya yaitu ketika bangun. Jika Allah Swt. menahannya dan tidak mengembalikannya maka orang tesebut akan mengalami kematian yang sebenarnya. Keterpisahan antara keduanya seakan berada di alam dua dimensi yang berbeda yang tidak dapat jangkau satu dengan yang lainya. Seperti air dan minyak, keduanya akan berpisah tidak dapat bertemu meskipun ia berdekatan. Berikut penjelasan lengkap KH.Misbah Musthafa: “Allah ta’ala iku mundut awak-awakan menungso naliko mati. Lan ugo mundut awak-awakan nalika turu. Nuli Allah ngeker awak-awakan kang diputusake mati, lan ngeculake (ambalikake) ana ing raga sare hinggo bates wektu kang di temtukake. Kang menkono iku ngandung ayat kang manfaat marang wong-wong kang angen-angen”21

    20 21

    Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 24, h. 3889. Ibid.

    123

    Terjemah: “Allah mengambil jiwa orang ketika matinya, dan mengambil jiwa orang ketika tidurnya. Kemudian Allah menahan jiwa orang yang telah ditetapkan kematiannya dan melepaskan (mengembalikan) jiwa dalam tubuh yang tidur hingga batas waktu yang ditentukan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah Swt. bagi kaum yang berfikir.” d. Al-Maut bermakna Pembatas KH.Misbah Musthafa tidak menyebut secara langsung al-Maut dengan pembatas,

    akan tetapi

    secara konteksnya, ayat

    tersebut

    menjelaskan bahwa al-Maut merupakan batas seseorang untuk melakukan amal salih dan taubat. Ini bisa dilihat penafsiran KH.Misbah dalam QS. alNisa>’: 18.

                              “Orang-orang yang sudah melakukan dosa dan tidak mau taubat hingga datangnya kematian, dan ruh sudah sampai di tenggorokan kemudian mengucapkan sekarang saya taubat, seperti itu tidak diterima taubatnya oleh Allah Swt., jadi taubatnya tidak ada gunanya. Begitu juga orang-orang yang mati sedang mereka masih dalam keadaan kafir. Orangorang yang seperti itu sudah saya sediakan siksa yang sangat pedih”22 Konteks ayat diatas adalah peringatan kepada orang-orang yang durhaka kepada Allah Swt. untuk segera melakukan taubat atau minta ampun atas dosa-dosanya, karena setelah maut menjemput yaitu ketika sedang sakarat al-Maut dan diperlihatkan kehidupan akhirat yang nyata, 22

    Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, h. 678.

    124

    yang selalu didustakan kemudian ia minta ampun kepada Allah Swt. (taubat), maka taubatnya orang seperti ini tidak ada gunanya karena batas waktu untuk bertaubat telah habis dan Allah Swt. tidak menerimanya. Berikut penafsiran KH.Misbah Musthafa: “Wong-wong kang podo ngelakoni dosa ora gelem taubat hinggo naliko katekanan pati, lan ruh wes teko ono ing gorokan lagi ngucap saiki aku taubat, iku ora anduweni hak diterimo Taubate dining Allah. Dadi Taubate ora ono gunane. Semono ugo wong-wong kang podo mati sedeng deweke iseh kufur. Wong-wong kang mengkunu iku wus ingsun cawisi sikso kang banget larane.”23 Bagi orang kafir dan orang yang bermaksiat setelah maut menjemputnya maka yang ada hanyalah penyesalan. Mereka ingin dikembalikan kedunia untuk bertaubat dan beramal salih, tapi permintaannya sia-sia saja. Allah Swt. berfirman dalam QS. alMukminu>n: 99

             “Demikianlah keadaan orang kafir Makah ketika kematian mendatanginya dan melihat neraka yang akan menjadi tempatnya, mereka mengatakan: “Ya Tuhanku kembalikanlah aku kedunia.”24 Dari ayat diatas dapat dipahami bahwa al-Maut (kematian) merupakan batas akhir seseorang untuk melakukan amal perbuatan, jika seseorang sedang dalam sakarat al-Maut dan orang tersebut minta ampun kepada Allah Swt. (taubat) maka yang dilakukannya tidak ada gunanya karena Allah Swt. telah memberi batas waktu selama hidupnya untuk memperbanyak amal salih. Jika orang kafir tersebut minta dikembalikan 23 24

    Ibid. Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 18, h. 3126.

    125

    lagi kedunia, maka permintaannya sia-sia saja. Ini diungkapkan KH.Misbah dengan tegas “Ora bakal dibalikake, ngertiyo!, Iku guneman kang diucapake wong-wong kafir naliko arep mati, nanging ora ono gunane.”25 Berikut penjelasan lengkap KH.Misbah Musthafa: “Nuli mengkono yen wong-wong kafir Mekah iku wus katekanan pati lan weroh neroko kang dadi panggonane, podo ngucap: “Duh pengeran kulo mugi kersoho mangsulake kulo wonten ing dunyo, bok menawi kulo saged amal ingkang salih minongko dados gantosipun amalamal ingkang kulo tilarake.” Allah ta’ala dawuh: “Ora bakal dibalikake dibalikake, ngertiyo!” Iku guneman kang diucapake wong-wong kafir naliko arep mati, nanging ora ono gunane.”26 Terjemah: “Demikianlah keadaan orang kafir Makah ketika kematian mendatanginya dan melihat neraka yang akan menjadi tempatnya, mereka mengatakan: “Ya Tuhanku kembalikanlah aku kedunia, mungkin saya bisa melakukan amal salih sebagai gantinya amal yang saya tinggalkan.” Allah Swt. berkata: “Ketahauilah! Tidak akan dikemabalikan.” e. Al-Maut adalah Nikmat Jika al-Maut merupakan proses kepulangan, maka kematian merupakan nikmat. Selain jalan untuk bertemu dengan tuhannya kematian merupakan langkah bagi orang mukmin untuk mendapatkan pahala yang sempurna yang telah dikerjakannya, yaitu dimasukkan ke surga. Hanya orang-orang tertentu yang dapat merasakan kenikmatan tersebut yaitu orang yang mempunyai bekal lebih dalam perjalanannya, sehingga hatinya tenang dan tidak merasa khawatir. Orang yang merasakan nikmatnya kematian adalah orang yang berjuang dijalannya Allah Swt. Al-Qur‟an

    25 26

    Ibid. Ibid.

    126

    telah menggambarkannya dalam QS. A
  • n: 169 dan QS. al-Nisa>’: 100. 1. QS. A
  • n: 169

                   “Wahai Muhammad, Janganlah kamu mengira bahwa orangorang yang gugur di jalan Allah karena mengagungkan agamanya itu mati; bahkan mereka itu hidup dengan mendapat rezki, makan dan minum disisi Tuhannya.”27 Orang yang mati karena gugur dalam peperangan atau memperjuangkan agamanya Allah Swt. maka ia akan memperoleh kenikmatan yang besar, mereka tidak mati, mereka tatap hidup dan mendapat nikmat dari Tuhannya. KH.Misbah Musthafa menggambarkan kenikmatan yang diberikan Allah Swt. yaitu meletakkan ruhnya orang tersebut di telehnya burung hijau yang ada di surga, yang mana burung tersebut minum dan makan makanan surga, dan hinggap di lampu-lampunya surga yang menggantung di bawah „arsy. Ketika mereka merasakan enaknya makan makanan, minum minuman surga, dan juga bertempat ditempat peristirahatan kemudian berkata, “Siapa yang dapat memberitahu saudara-saudaraku yang masih di dunia, bahwa kita sedang hidup di surga. Jangan benci (bermalas-malasan melakukan sesuatu yang dapat memasukkan ke surga, dan bermalas-malasan 27

    Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 4, h. 534

    127

    melakukan jihad fi sabilillah?” Kemudian Allah Swt. berfiman, “Saya yang akan mengabarkan keadaanmu disini kepada saudara-saudaramu muslim.” Kemudian turunlah ayat ini.28 Ini menunjukkan kematian bisa menjadi nikmat apabila kita mati dalam keadaan syahid yaitu taat dan beramal sesuatu yang dapat memasukkan ke surga. 2.

    QS. Ali Imran: 185

                               “Tiap-tiap yang berjiwa pasti akan mencicipi mati. Kalian semua akan dicukupi pahala atas amal kalian pada hari kiamat. Barang siapa yang dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia adalah orang yang beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.”29 Pada ayat diatas KH.Misbah Musthafa menjelaskan bahwa setelah manusia mati, dan pada hari kiamat Allah Swt. akan menyempurnakan pahala atas amal hambanya pada hari kiamat. Apabila ia orang yang taat maka Allah Swt. akan memasukkannya kedalam surga dan ia termasuk orang yang beruntung. Penafsiran KH.Misbah lengkapnya bisa dilihat dibawah ini: “Saben-saben awak-awakan iku mesti ngicipi pati. Siro kabeh bakal dicukupi ganjaran amal niro besok ing dino qiyamat. Besok 28 29

    Ibid. Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 4, h. 554.

    128

    inge dino qiyamat, sopo-sopo wong kang disingkrihake saking neraka lan dileboake suwargo, terang yen wong iku wong kang bekjo. Kasenengan ing dunyo iki namun kasenengan kang ngandung bujukan.”30 3. QS. al-Nisa>’: 100

                          “Barang siapa yang pindah (hijrah) karena mengagungkan agamanya Allah, pasti akan mendapatkan tempat yang banyak manfaatnya untuk dirinya dan rizki yang luas. Dan barang siapa yang keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasulnya yang didorong oleh rasa taat kepada Allah dan rasulnya, kemudian kematian menimpanya, maka pahala orang tersebut tetap disisi Allah. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”31 Dalam ayat ini juga menunjukkan orang mati yang dapat nikmat adalah orang yang berjuang dijalan Allah Swt. Mereka selalu mendapat rizki yang luas berupa pahala yang telah dilakukan dengan ikhlas ketika di dunia. f. Al-Maut adalah Kepayahan (Siksa) Jika kematian merupakan nikmat bagi orang mukmin karena berjumpa dengan tuhannya, maka bagi orang kafir kematian merupakan siksa baginya. Mengapa demikian, karena al-Maut merupakan awal dari pembalasan amal yang dilakukan oleh manusia semasa hidupnya. Dimulai dari sakaratul maut orang-orang yang menzalimi dirinya sendiri sudah merasakan ketakutan. Bisa dibayangkan seperti 30 31

    Ibid. Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 5, 784.

    129

    dijelaskan KH.Misbah malaikat maut tersebut membentangkang tangannya seraya mengucap, “Ayo! Keluarkanlah sendiri ruhmu. Sekarang kamu akan dibalas dengan siksa yang sangat menghinakan, karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayatayatNya.” Maka orang-orang zalim ketika itu merasa ketakutan karena melihat malaikat maut yang sangat kejam sekaligus melihat tempat yang

    akan

    ditempati.

    Berikut

    penjelasa

    KH.Misbah

    ketika

    menafsirkan QS. al-An‟am: 93: “He Muhammad lamun siro iku pirso wong-wong kang podo nganingoyo awake naliko ono ing wektu sakaratil maut, siro temtu giris. Wong-wong zalim iku yen wus sakaratil maut, malaikat juru pati ambeber tangane nuli ngucap: “Ayo! Tokake dewe ruh niro. Saiki siro bakal diwales kanthi sekso kang andadikake inane awak niro. Sebab siro podo ngcapake katerangan kang ora bener kanggo Allah, lan siro kabeh podo anggumedeni ayat-ayate Allah ta’ala.”32 Terjemah: “Wahai Muhammad, apabila kamu melihat orang-orang yang mendzalimi dirinya sendiri berada dalam tekanan sakaratul maut, kamu pasti takut. Orang-orang zalim ketika sakaratul maut, malaikat maut membetangkan tangannya lalu berkata: “Ayo! Keluarkanlah sendiri ruhmu”. Sekarang kamu akan dibalas dengan siksa yang sangat menghinakan, karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayatNya.” Orang-orang zalim ketika sakaratul maut saja sudah kepayahan, apalagi ketika sudah mati. Memang ketika di dunia siksa Allah Swt. tidak terlihat, tapi ketika di akhirat yang dimulai dari kematian kebenaran yang sesungghunya akan terlihat. 32

    Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz. 7, h. 1102.

    130

    Orang-orang kafir setelah mati akan mendapat balasan sesuai yang diperbuatnya. KH.Misbah menjelaskan ketika menafsirkan QS. Ibrahi>m: 17, yaitu orang-orang kafir itu minum air nanah yang mendidih, akan tetapi air tersebut tidak bisa ditelan, karena saking tidak enaknya dan juga sangat sakit. Orang-orang kafir tersebut kedatangan penyebab kematian dari berbagai penjuru, akan tetapi mereka tidak bisa mati. Berikut penafsiran KH.Misbah Musthafa: “Wong-wong kafir kang gumede iku bakal podo ngelek banyu sodid iku, nanging meh-meh bahe banyu sodid iku ora biso melebu, saking ora enake lan larane. Wong-wong kafir kang gumede iku katekanan opo kang bisa andadeake matine saking pirang-pirang jurusan nganing ora bisa mati, lan ing burine ana siksa kang banget larane.”33 Terjemah: “Orang-orang kafir yang sombong it akan minum air sodid, namun air tersebut tidak bisa ditelan karena tidak enak dan terasa sakit ketika ditelan. Orang-orang yang sambong tersebut kedatangan penyebab kematian dari berbagai penjuru tapi tidak bisa mati, dan dibelakngnya ada siksa yang sangat pedih. 4. Al-Maut berhubungan dengan Hewan Tidak hanya manusia, hewan juga mengalami kematian. Dalam konteks ini, al-Qur‟an menyebut kematian hewan dengan kata

    . Jika

    merujuk pada QS. al-Baqarah: 173 dan QS. al-Ma>idah: 3 yang dimaksud dengan

    33

    adalah bangkai yaitu hewan mati yang tidak disembelih atas

    Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 13, h. 2399.

    131

    nama Allah Swt. Lebih jelasnya perhatikan QS. al-Baqarah: 173 dan QS. al-Ma>idah: 3 dibawah ini. 1. QS. al-Baqarah: 173

                                “Yang diharamkan Allah (tidak boleh dimakan) yaitu darah, daging babi, hewan yang disembelih untuk mengagungkan selain Allah Swt. Barang siapa dalam keadaan terpaksa maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Swt. Maha Luas Ampunannya dan kasih saying-Nya”34

    Al-Maitatu dalam terjemahan perkata diartikan KH.Misbah Musthafa dengan batang (bangkai). Kemudian dalam penjelasan terperinci dijelaskan yang dimaksud dengan al-Maitatu (bangkai) adalah hewan mati karena tidak disembelih sesuai aturan agama. Misalnya ayam yang mati karena dialiri tegangan listrik. Maka ayam yang mati demikan haram dimakan karena tidak disembelih dengan aturan agama. 2. QS. al-Ma>idah: 3

               “Hai orang-orang beriman, kalian diharamkan makan bangkai, darah, daging babi, dan semua hewan yang disembelih dengan

    34

    lampiran 4.

    Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 3, h. 174. Lihat

    132

    menyebut nama selain Allah, seperti menyebut danyang atau lainnya.”35 Pada QS. al-Ma>idah: 3 KH.Misbah Musthafa mengartikan al-

    Maitatu dengan bangkai sama dengan pada ayat sebelumnya. Bangkai yaitu hewan yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah Swt. yaitu dengan menyebut danyang atau lainnya. Kesimpulannya, al-Maut digunakan dalam konteksnya hewan yaitu untuk membicarakan hewan yang mati karena disembelih dengan cara bertentangan dengan aturan agama, yaitu disembelih dengan alat yang dilarang oleh agama dan juga disembelih atas nama selain Allah Swt. misalnya ketika menyembelih menyebut danyang atau mahluk lain selain Allah Swt. 5. Al-Maut berhubungan dengan Bumi (Tidak dapat Menumbuhkan) Ternyata tidak hanya mahluk hidup yang mengalami kematian, bumi dikatakan al-Qur‟an juga mengalami kematian. Akan tetapi kematian yang dialami bumi berbeda dengan yang dialami manusia dan hewan. Bumi atau tanah dikatakan mati jika tidak bisa menumbuhkan tanaman atau tandus. Jadi, konteks bumi dikatakan mati apabila bumi itu gersang tidak dapat menumbuhkan tanaman. KH.Misbah Musthafa telah menjelaskannya ketika menafsirkan QS. al-Ru>m: 19, yaitu:

                   

    35

    Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 6, h. 852.

    133

    “Allah mengeluarkan makhluk hidup dari makhluk mati, seperti ayam yang keluar dari telur. Dan mengeluarkan makhluk mati maksudnya tidak bergerak dari mahluk hidup (seperti telur yang keluar dari ayam), dan menghidupkan bumi dengan menumbuhkan tumbuh-tumbuhan sesudah matinya (tandus). Seperti itulah kalian semua akan dibangkitkan dari kubur (alam barzah) menuju ke padang mahsyar.”36 Menurut KH.Misbah Musthafa bumi dikatakan mati apabila tidak bisa menumbuhkan tumbuh-tumbuhan yang disebut KH.Misbah dengan gareng atau tandus. Ini bisa dilihat dalam penafsirannya yuhyi> al-Ard}a

    ba’da mautiha> yaitu “Lan Allah nguripake bumi kanti tetukulan sakwuse matine

    tegese

    garing,”37

    (Allah

    menghidupkan

    bumi

    dengan

    menumbuhkan tumbuh-tumbuhan sesudah matinya (tandus). Allah Swt. menghidupkan bumi yang mati yaitu dengan menurunkan hujan dari langit. Atas rahmat-Nya dengan air tersebut Allah Swt. mengeluarkan tumbuh tumbuhan dan biji-bijian dari dalam bumi, sehingga bumi tersebut menjadi subur (hidup). Allah Swt. telah berfirman dalam QS. al-Ru>m: 24:

                           “Diantara tanda-tanda kekuasaan Allah yaitu diperlihatkannya kilat kepada kalian semua untuk menimbulkan ketakutan dan mengharap rahmatnya Allah yaitu hujan. Dan Allah menurunkan air dari langit lalu menghidupkan bumi setelah matinya. Yang demikian itu terdapat tandatanda kekuasaannya Allah yang bermanfaat bagi orang yang berfikir.”38

    Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 21, h.3515-3516. Ibid. Lihat lampiran 5. 38 Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 21, h. 3524. 36

    37

    134

    Allah menghidupkan bumi yang telah mati merupakan tanda-tanda kebesarannya, jika manusia menggunakan akalnya untuk memikirkan hal tersebut maka akan memperoleh manfaat yang luar biasa. Penjelasan tersebut ditegaskan ketika menafsirkan QS. al-H{adi>d: 17. KH.Misbah menegaskan bahwa Allah Swt. yang telah menghidupkan bumi setelah matinya, jika manusia mempunyai hati yang khusyuk, berdzikir, memikirkan kebesaran dan ayat-ayatnya Allah Swt. maka hati manusia akan hidup dengan ilmu hikmah.39 Dapat disimpulkan bahwa bumi aslinya mati kemudian Allah menghidupkannya dengan menurunkan air hujan. Dengan air hujan tersebut Allah menumbuhkan tumbuh-tumbuhan. Sehingga al-Maut dalam konteks bumi yaitu gersang atau tandus yang tidak bisa menumbuhkan tanam-tanaman. Menurut analisis peneliti al-Maut yang berhubungan dengan bumi diartikan dengan garing (gersang) karena memperhatikan sifat bumi tersebut, yaitu bumi tidak mempunyai ruh maka bumi yang mati tidak bisa dimaknai dengan terlepasnya ruh dari jasad, akan tetapi lebih pas diartikan dengan garing (gersang) karena sifat bumi adalah menumbuhkan tumbuhtumbuhan. Sehingga jika bumi dikatakan mati maka bumi tersebut tidak bisa menumbuhkan tumbuh-tumbuhan. Seperti itulah kata al-Maut dimaknai KH.Misbah Musthafa dalam kitab

    Tafsir al-Iklil fi Ma’ani al-Tanzil dengan tiga objek yang mempunyai variasia

    39

    Misbah Ibn Zain al-Musthafa, Tafsi>r al-Ikli>l Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l, juz 27, h. 4263.

    135

    makna yang berbeda-beda. Selain itu juga setiap ayat yang dibahas dari berbagai objek tadi mempunyai konteks makna atau subtansi makna yang ingin disampaikan berbeda juga. Untuk pembahasan pada bab empat diatas lebih sederhananya bisa dilihat pada tabel dibawah: MAKNA AL-MAUT DAN KONTEKSTUALISASI MAKNANYA No.

    Objek

    Konteks Makna Al-Maut

    Ayat QS. A
  • n: 169 dan

    Akhir kehidupan di dunia

    185 QS. al-Anbiya>’: 35 QS. al-Ankabut: 57

    Mati akal (Tidak mau menggunakan panca indra) Keterputusan (Terputusnya 1.

    Manusia

    ruh dengan jasad) Pembatas (Batas manusia melakukan amal salih) Nikmat (bagi orang beriman setelah mati akan mendapat balas yaitu surga) Siksa (bagi orang kafir setelah mati akan mendapat balasan yaitu siksa) Bangkai (hewan yang mati

    2.

    Hewan

    disembelih tidak menggunakan aturan agama)

    3.

    Bumi

    Tandus/gersang (bumi tidak subur)

    QS. al-An’a>m: 36 QS. al-An’a>m: 122 QS. al-Naml: 80 QS. al-Zumar: 42 QS. al-Nisa>’: 18 QS. al-Mukminun: 99 QS. A
  • n: 169 QS. al-Nisa>’: 100 QS. al-An‟am: 93 QS. Ibrahim: 17

    QS. al-Baqarah: 173 QS. al-Maidah: 3 QS. al-Ru>m: 19 dan 24

    BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan rumusan masalah yang peneliti ajukan, pertama apa makna

    al-Maut menurut KH.Misbah Musthafa dalam Tafsi>r Al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> Al-Tanzi>l maka peneliti mendapatkan tiga makna al-Maut yang berbeda yaitu tidak mau mendengarkan ayat-ayatnya Allah Swt. (mati akal), bangkai dan tandus. Sedangkan rumusan masalah yang kedua yaitu apa konteks keragaman makna al-Maut menurut KH.Misbah Musthafa dalam Tafsi>r Al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> Al-

    Tanzi>l maka didapat kata al-Maut dalam al-Qur’an digunakan untuk membicarakan tiga objek yaitu manusia, hewan dan bumi. Ketiganya mempunyai konteks makna (subtansi makna) yang berbeda, yaitu: Pertama, makna al-Maut berhubungan dengan manusia mempunyai enam makna yaitu, 1) Al-Maut bermakna akhir kehidupan di dunia, 2) Al-Maut bermakna mati akal (tidak mau berfikir), 3) Al-Maut bermakna keterpisahan, 4) Al-Maut bermakna pembatas, 5)

    Al-Maut bermakna nikmat, 6) Al-Maut bermakna siksa. Kedua, al-Maut berhubungan dengan hewan dimaknai dengan bangkai yaitu hewan yang disembelih dengan tidak menggunakan aturan agama. Ketiga, al-Maut berhubungan dengan bumi dimakani dengan tandus atau gersang, maksudnya bumi kehilangan kekuatan untuk menumbuhkan tumbuh-tumbuhan.

    136

    137

    B. Saran-saran Setelah mengambil kesimpulan dalam skripsi ini, maka penyusun memberi beberapa saran yang berhubungan dengan akademis dan kehidupan sehari. 1. Saran akademis Semoga penelitian ini tidak sampai disini saja, saya yakin masih banyak kemungkinan yang akan diteliti dikemudian hari oleh peneliti lainya sebagai proses pengembangan ilmu pengetahuan. 2. Saran Praktis Diantara saran penyusun adalah perlunya setiap manusia mengingat mati karena dengan mengingatnya manusia tidak akan melanggar apa yang dilarang Allah Swt. dalam menjalani kehidupan ini. Kemudian dengan mengingat kematian juga menjadikan nasihat agar kita tidak mudah terpeleset dalam bersikap dan bertingkah laku yang tidak sesuai dengan aturan agama. Kita sering kali begitu mudah melupakan kematian, padahal kematian tak pernah melupakan kita. Kematian ibarat jalan yang akan dilalui oleh setiap manusia. Hanya saja, kapan peristiwa itu terjadi tidak ada yang tahu kecuali Allah Swt. dan manusia hanya bisa menunggu dan mempersiapkannya. Selain berhubungan dengan manusia, al-Maut kaitannya dengan hewan, hendaknya ketika menyembelih hewan dengan cara yang ditentukan oleh agama agar hewan tersebut halal untuk dimakan. Selanjutnya berkaitan dengan bumi, hendaknya menjaga kesuburan bumi (tanah) agar tanah tidak mati dan tetap subur menumbuhkan berbagai macam tanaman.

    138

    Semoga skripsi yang sederhana dan jauh dari kesempurnaan ini dapat menjadi sumbangan bagi dunia ilmu pengetahuan dan semoga bermanfaat bagi penyusun, dan pembaca.

    DAFTAR PUSTAKA Abd Baqi>, Muhammad Fu’ad. Mu’jam Mufahras li al-Fa>z al-Qur’an al-Kari>m. Mesir: Dar al-Hadis, 1943. Al-As}faha>ni>, Abi> al-Qasim Ibn Muhammad al-Ra>gib. Mufrada>t fi> Gari>b alQur’a>n, Juz 2. t.tp: Maktabah Nazar al-Musthafa al-Bazi, t.th. Al-Musthafa, Misbah Ibn Zain. Tafsi>r al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l. juz. 1. Surabaya: Al-Ihsan, t.th. ----------------------------------------. Tafsi>r al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l. juz. 2. Surabaya: Al-Ihsan, t.th. ----------------------------------------. Tafsi>r al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l. juz 3. Surabaya: Al-Ihsan, t.th. ----------------------------------------. Tafsi>r al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l. juz 4. Surabaya: Al-Ihsan, t.th. ----------------------------------------. Tafsi>r al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l. juz 5. Surabaya: Al-Ihsan, t.th. ----------------------------------------. Tafsi>r al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l. juz 6. Surabaya: Al-Ihsan, t.th. ----------------------------------------. Tafsi>r al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l. juz 7. Surabaya: Al-Ihsan, t.th. ----------------------------------------. Tafsi>r al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l. juz 8. Surabaya: Al-Ihsan, t.th. ----------------------------------------. Tafsi>r al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l. juz 9. Surabaya: Al-Ihsan, t.th. ----------------------------------------. Tafsi>r al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l. juz 11. Surabaya: Al-Ihsan, t.th. ----------------------------------------. Tafsi>r al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l. juz 12. Surabaya: Al-Ihsan, t.th. ----------------------------------------. Tafsi>r al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l. juz 13. Surabaya: Al-Ihsan, t.th. ----------------------------------------. Tafsi>r al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l. juz 14. Surabaya: Al-Ihsan, t.th.

    139

    140

    ----------------------------------------. Tafsi>r al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l. juz 17. Surabaya: Al-Ihsan, t.th. ----------------------------------------. Tafsi>r al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l. juz 18. Surabaya: Al-Ihsan, t.th. ----------------------------------------. Tafsi>r al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l. juz 20. Surabaya: Al-Ihsan, t.th. ----------------------------------------. Tafsi>r al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l. juz 21. Surabaya: Al-Ihsan, t.th. ----------------------------------------. Tafsi>r al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l. juz 22. Surabaya: Al-Ihsan, t.th. ----------------------------------------. Tafsi>r al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l. juz 23. Surabaya: Al-Ihsan, t.th. ----------------------------------------. Tafsi>r al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l. juz 24. Surabaya: Al-Ihsan, t.th. ----------------------------------------. Tafsi>r al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l. juz 25. Surabaya: Al-Ihsan, t.th. ----------------------------------------. Tafsi>r al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l. juz 26. Surabaya: Al-Ihsan, t.th. ----------------------------------------. Tafsi>r al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l. juz 27. Surabaya: Al-Ihsan, t.th. ----------------------------------------. Tafsi>r al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l. juz 28. Surabaya: Al-Ihsan, t.th. ----------------------------------------. Tafsi>r al-Ikli>l fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l. juz 29. Surabaya: Al-Ihsan, t.th. Baidan, Nasruddin Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. Baidowi, Ahmad. “Aspek Lokalitas Tafsir al-Ikli>k Fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l Karya KH. Misbah Musthafa, dalam NUN (Studi al-Qur’an dan Tafsir di Nusantara). Vol. 1, No. 1, 2015. Gusmian, Islah. Memahami Kalam Tuhan. t.tp: t.np, 2013. Hidayat, Komarudin. Psikologi Kematian (Mengubah Ketakutan Menjadi Optimisme). cet. VII. Jakarta: Hikmah, 2006.

    141

    Humairoh, Siti Zakiyatul. “Penafsiran KH.Misbah Musthafa terhadap Ayat-ayat Mustasyabihat dalam Tafsir al-Iklil fi Ma’ani al-Tanzil”. (Skripsi S1 Jurusan Tafsir Hadis IAIN Surakarta, 2015). Ibn Zakariya>, Abi> al-Husain Ahmad Ibn Fa>ris. Mu’jam Maqa>yi>s al-Lugah. juz 5. t.tp: Dar al-Fikr, t.th. J.J G. Jansen. Diskursus Tafsir al-Qur’an Modern, Pengantar Mohamad Nur Kholis. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, t.th. Kementerian Agama. Al-Qur’an dan Tafsirnya. jilid 2, cetakan V. Jakarta: Kementerian Agama RI, 2010. Lathif, Umar. “Konsep Mati dan Hidup dalam Islam (Pemahaman Berdasarkan Konsep Eskatologis), dalam Al-Bayan. Vol. 22, no. 34, 2016. Mardalis. Metode Penelitian; Suatu Pendekatan Proposal. Jakarta: PT. Bumi Aksara, 1999. Munawir, Ahmad Warson. Al-Munawir Kamus Arab Indonesia. Surabaya: Pustaka Progresif, 1997. Murtiningsih. “Hakikat Kematian Menurut Tinjauan Tasawuf”, dalam Intizar. Vol. 19, no. 22, 2013. Muzaini. Perkembangan Teknologi dan Perilaku Menyimpang Dalam Masyarakat Modern”, dalam Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi. Vol. II, no. 1, 2014. Rusydi>, Muhammad Basa>m. Mu’jam Mufahras Li Ma’ani al-Qur’an. Beirut: Dar al-Fikr, 1995. Shihab, M. Quraish Kaidah Tafsir (Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-ayat al-Qur’an). Tangerang: Lentera Hati, 2013. ------------------------. Kehidupan Setelah Kematian Surga yang Dijanjikan AlQur’an, cet. II. Tangerang: Lentera Hati, 2008. Sholeh, Muhammad. “Studi Analisis Hadis-Hadis Tafsir al-Iklil Karya K.H Misbah Zain Bin Musthafa (Surat Ad-Dhuha sampai Al-Nash), (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin UIN Wali Songo, Semarang, 2015).

    DAFTAR RIWAYAT HIDUP Nama

    : Arif Rohman

    Tempat, tanggal lahir : Jepara, 17 Febuari 1992 NIM

    : 13.11.11.002

    Alamat

    : Karanggondang, Mlonggo, Jepara.

    Jurusan

    : IAT (Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir)

    Fakultas

    : Ushuluddun dan Dakwah IAIN Surakarta

    Ayah

    : Ali Achwan

    Ibu

    : Nikmatun

    E-mail

    : [email protected]

    Pendidikan

    : 1. TK Raudlatul Athfal Kanggondang, Mlonggo, Jepara. 2. MI Darul Huda Kanggondang, Mlonggo, Jepara. 3. M.Ts. Darul Huda Kanggondang, Mlonggo, Jepara. 4. MA. Mathalibul Huda Mlonggo, Jepara. 5. Institut Agama Islam Negri (IAIN) Surakarta 6. Pondok Pesantren Al-Madinah, Ungaran Barat 7. Pondok Pesantren Ummul Qurok Klego, Boyolali

    149

    Lampiran 1.

    142

    143

    Lampiran 2. Penafsiran QS. al-An’am: 36

    144

    Lampiran 3. Penafsira Qs. al-An’am: 122

    145

    Lampiran 4. Penafsiran QS. al-Rum: 19

    146

    147

    Lampiran 5, penafsiran QS. al-Baqarah: 173

    148