KONSOLIDASI DEMOKRASI, POLITIK DAN NEGARA HUKUM OLEH

Download KONSOLIDASI DEMOKRASI, POLITIK DAN NEGARA HUKUM. Oleh: Pandji Santosa1. Abstract,. Process of democracy consolidation is more complex and ...

1 downloads 546 Views 242KB Size
KONSOLIDASI DEMOKRASI, POLITIK DAN NEGARA HUKUM Oleh: Pandji Santosa1 Abstract, Process of democracy consolidation is more complex and longer after transition; study on democracy consolidation is varying compared to transition study. Democracy consolidation should be able to do reinforcement to 3 types of political institutions, they are: 1). State administration apparatus (bureaucracy), 2). Representative Institution and Stakeholder of Democracy System (political parties, parliament and general election system), and 3). The Structure guarantees horizontal accountability, constitutionalism and governance based law (judicial system, check and balances institution). In the context of local democracy, it is explained that the bigger autonomy of local governance, whether it’s on the meaning of authority in decision-making or financial authority, the bigger is the degree of local politics. In relation to that proposition, it can be concluded that; firstly, the bigger local autonomy is, the bigger is democratization process and local politic, which is characterized the region uniquely. Secondly, the more intensive of elite role is, the more developing is social politic dynamic and more dynamic also the development of regional politic. Third, more dynamic of democratization process is, more dynamic is regional politic development. In state constitution system, the ideal of state law is unseparatable part of the development of the idea of Indonesian state since its Independence Day, although in the articles of Undangundang Dasar 1945 (Indonesian Constitution) before amended, the idea of state law is no longer firmly explicitly, but in explanation of Constitution, it is firmed that Indonesia follows the idea of “rechstaat” not “machstaat”.

Keywords: Democracy, Local Authority, and State Law.

1

Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Langlangbuana Bandung

PENDAHULUAN Demokrasi merupakan kata yang tak asing didengar dalam kehidupan kita.Seperti diketahui bahwa pengertian demokrasi secara umum adalah kekuasaan dan rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Akan tetap dalam tataran implementasi demokrasi diberbagai negara sangat beragam dilakukan. Makna terkandung dalam demokrasi telah mengajarkan bahwa kekuasaan politik dalam pemerintahan hams diorganisir melalui arena masyarakat politik, yakni “kompetisi” secara terbuka di antara aktor politik dan “partisipasi politik” masyarakat sebagai basisnya. Pemerintahan partai yang dibangun dan kompetisi dalam arena masyarakat politik, secara teoritis akan membuat lingkaran antara masyarakat dengan sistem politik, memperkuat akuntabilitas penguasa kepada konstituen yang telah memberikan mandatnya, membuat partai politik lebih berakar (berbasis) pada masyarakat, membuka akses yang lebih luas bagi pemain-pemain ham, dan seterusnya. Selain itu, kekuasaanjuga tidak hanya didasarkan pada kemampuan tetapi juga factor lain yang memiliki kaitan dengan keberadaan masyarakat atau daerah yang bersangkutan. Oleh karena itu ada dua faktor yang mempengaruhi kehidupan politik lokal masyarakat Indonesia yaitu sistem kultural dan sistem kepercayaan (Sjamsudin, 1989)2. Namun perlu diperhatikan juga bagaimana mempertemukan keinginan pusat dan aspirasi lokal melalui peran birokrasi di daerah atau pada aras lokal. Jadi dinamika kehidupan pemerintahan local yang akan datang dikondisikan oleh perubahan ekonomi dan sosial. Konflik ideologi dan politik lokal akan tetap terj adj di sekitar pemerintahan lokal (John and Gerry, 1989)3. Dalam sistem pemerintahan negeri ini tentunya tidak terlepas dan pelaksanaan system sistem di berbagai sektor lainnya yang mendukung roda pemerintahan, termasuk pula system hukum dan arab politik hukum dalam mencapai rencana dan tujuan bernegara. Dengan demikian tujuan pembangunan hukum memainkan peranan penting dalam menjamin dan melindungi kehidupan rakyat yang adil, makmur dan sejahtera. Tulisan mencoba relasi antara konsolidasi demokrasi, politik lokal dan negara hukum dalam pandangan demokrasi di Indonesia. Selain itu, bahwa eskalasi konflik kekerasan mengindikasikan kerapuhan yang sangat mendasar dan proses nation-building di republik ini. Agenda demokratisasi yang lebih terfokus kepada aspek penataan perangkat-perangkat kekuasaan (state building), daripada peningkatan kesadaran identitas kolektif suatu bangsa bukanlah prakondisi yang ideal bagi perjuangan menuju fase kemapanan demokrasi (established democracy).

2 3

Nazarudin Sjamsudin 1989, Integrasi Politik di Indonesia, Jakarta: Gramedia Steward John & Gerry Stoker, 1989. The Future of Local Government, London: Macmillan

KONSOLIDASI DEMOKRASI Dari berbagai khazanah studi-studi tentang demokratisasi yang dilakukan berbagai pakar dan praktisi demokrasi, cukup tersebar dalam berbagai literatur yang bernapaskan tentang demokrasi. Salah satunya apa yang ditulis, Samuel Huntington dalam studinya tentang “gelombang demokratisasi ketiga”4. Dia memapaparkan bahwa demokratisasi pada tingkatan yang paling sederhana mensyaratkan tiga hal, (1) berakhimya rezim otoriter; (2) dibangunnya sebuah rezim demokratis; (3) pengkonsolidasian rezim demokratis itu. Alfred Stepan menyebutkan bahwa transisi demokrasi dan rezim otoriter ada tiga model5, yaitu: (1) penjajahan dan luar dan peperangan internal; (2) tranformasi internal dan elit rezim otoriter menuju rezim demokratis; (3) kekuatan internal kelompok oposisi yang menumbangkan kekuasaan otoriter yang berkuasa. Sementara Samuel Huntington menyebutkan juga ada tiga kemungkinan model demokratisasi, yaitu (1) transformasi (reforma), yaitu demokratisasi terjadi ketika elit yang berkuasa mempelopori proses perwujudan demokrasi. (2) Replacement (ruptura), yaitu demokratisasi terjadi ketika kelompok oposisi mempelopori proses perwujudan demokrasi, dan rezim otoriter tumbang atau digulingkan. (3) Transplacement (ruptforma), yaitu demokratisasi terjadi sebagai sebuah hasil tindakan bersama antara kelompok pemerintah dan kelompok oposisi. Konsolidasi demokrasi juga bisa dipahami sebagai salah satu proses panjang yang membentengi kemungkinan pembalikan demokratisasi, menghindari erosi demokrasi, menghindari keruntuhan demokrasi, yang diteruskan dengan melengkapi kekurangan demokrasi, pendalaman demokrasi dan mengorganisir demokrasi secara berkelanjutan6. Dalam konsolidasi demokrasi diawali dengan negosiasi (transaksi) politik yang hendak mempromosikan sistem atau aturan main barn ketimbang merusak sistem lama. Struktur dan prosedur politik yang berlangsung selama 3roses transisi akan dimantapkan, diinternalisasikan dan bahkan diabsahkan dalam proses konsolidasi. Akhirnya proses konsolidasi akan menghasilkan penetapan sistem demokrasi secara operasional dan dia akan memperoleh kredibilitas di hadapan masyarakat. Karena itu, konsolidasi demokrasi tidak hanya merupakan proses politik yang terjadi pada level prosedural dan lembaga-lembaga politik, tetapi juga pada level masyarakat. Demokrasi yang terkonsolidasi bila aktor-aktor politik, partai, kelompok kepentingan, dan lainnya menganggap bahwa tindakan demokratis sebagai alternatif utama untuk meraih

4 5

6

Samuel P. Huntington, 1995, Gelombang Demokratisasi Ketiga, (Jakarta: Grafiti), Alfred Stepan, 1993, “Berbagai Jalur Menuju Demokratisasi : Sejumlah Pertimbangan Teoritis dan Komparatif“, Dalam Guillermo O’Donnell. Phillipe C. Schmitter and Laurance Whitehead (eds.), 1993, Transisi Menuju Demokrasi : Tinjauan Berbagai Perspektif, (Jakarta: LP3ES), hlm. 104-143. Giuseppe di Palma, 1997, Kiat Membangun Demokrasi : Sebuah Esai Tentang Transisi Demokrasi, (Jakarta : Yayasan Sumber Agung)

kekuasaan (democracy as the only game in town), dan tidak ada aktor atau kelompok yang mempunyai klaim terhadap tindakan yang sudah dipilih secara demokratis. Proses konsolidasi demokrasi jauh lebih kompleks dan panjang setelah transisi. Karena itu, studi-studi tentang konsolidasi demokrasi sangat bervariasi ketimbang studi transisi. Menurut Goran Hyden7, konsolidasi demokrasi memiliki empat ciri pendekatan. Pertama, pendekatan agen-elite yang memfokuskan studinya pada interaksi elite politik, baik pemimpin, penyelenggara negara maupun politisi.Para elite harus mempunyai sikap, pilihan, tindakan dan keyakinan yang kuat pada demokrasi dan membangun consensus bersama untuk konsolidasi demokrasi. Kedua, pendekatan teori budaya politik.Adanya menekankan bahwa budaya politik demokratis (toleran, egalitarian, kompromis, akomodatif, kompeten) sebagai prasyarat bagi tumbuhnya demokrasi dengan ciri dua fokus, yaitu relasi horisontal antar-warga masyarakat dan relasi vertikal antara eut-massa atau pemerintah-rakyat.Secara horisontal, demokrasi mengajarkan tentang pluralisme, yaitu semangat saling menghargai perbedaan dan melewati batas-batas etnis, agama, daerah, bahasa dan unsur-unsur primordial lainnya. Secara vertikal, demokrasi mengajarkan bahwa pemerintah dan rakyat atau antara elite dengan massa bukan berdasar kepada klientelisme, paternalisme atau patrimonialisme, namun berdasar kepada prinsip kewarganegaraan. Ketiga, pembangunan ekonomi dan demokrasi.Ada dua pandangan berbeda. Pada satu sisi, terdapat korelasi positif antara pertumbuhan ekonomi dan demokrasi, (1) pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan berperan sebagai penopang tumbuhnya demokrasi. (2), terdapat korelasi positif antara pertumbuhan ekonomi dengan munculnya rezim otoriter birokratis, yaitu pertumbuhan ekonomi justru ditopang oleh keberadaan rezim otoriter bikroratis. Keempat, struktur-massa, yaitu lebih fokus kepada gerakan-gerakan sosial dalam masyarakat dalam proses demokrasi yang mengkaji peranan civil society dalam proses demokratisasi. Apa yang dilansir Goran Hyden, juga senada dengan Larry Diamond bahwa terdapat empat pendekatan dalam studi-studi konsolidasi demokrasi, yaitu (1) pendekatan aktor elite; (2) pendekatan institusional; (3) pendekatan budaya politik; dan (4) pendekatan yang barhaluan kepada masyarakat (civil society). Pendekatan institusional, menurut Larry Diamond8, yaitu pentingnya institusionalisasi politik dalam proses konsolidasi demokrasi. Pendekatan ini merupakan bagian dan tiga tugas dalam konsolidasi demokrasi : pendalaman demokrasi, institusionalisasi politik dan mengontrol kinerja rezim. Pendalaman

7

8

Goran Hayden,2002, “Development and Democracy : An Overview”, dalam Ole Elgstrom and Goran Hayden (eds.). Development and Democracy : What Have We Learn and How?, (London : Routledge), hlm. 2 Larry Diamond, 2003, Developing Democracy Toward Consolidation, (Yogyakarta : IRE).

demokrasi membuat struktur-struktur formal demokrasi menjadi lebih liberal, akuntabel, representative dan aksesibel. Konsolidasi demokrasi harus mampu melakukan penguatan tiga tipe institusi politik, yaitu aparat administrasi negara (birokrasi); institusi representasi dan penyelenggaraan demokrasi (partai politik, parlemen dan sistem pemilihan umum); dan struktur-strukturyang menjamin akuntabilitas horisontal, konstitusionalisme, dan pernerintahan berdasar hukum (sistem peradilan dan lembaga pengawasan). Sementara institusionalisasi politik ini adalah upaya memperkuat struktur demokrasi representatifdan pemerintahan formal, sehingga menjadi lebih koheren, kompleks, otonom, mudah beradaptasi, dan karenanya lebih kapabel, efektif, berharga, dan mengikat. Proses konvergensi elite dalam konsolidasi demokrasi tidak sekedar untuk mencapai kesepakatan atau untuk mengakhiri konflik di antara mereka, tetapi juga menjadi bagian dan proses institusionalisasi politik, yang di dalamnya mencakup agenda rekonstitusi maupun prosedur kelembagaan baru yang kondusif bagi demokrasi. Menurut Adam Przeworski9; ada tiga sasaran institusionalisasi politik, (1) institusi eksekutifnegara (lembaga kepresidenan, sistem pemerintahan, birokrasi dan militer); (2) institusi perwakilan (parlemen, partai politik dan pemilihan umum); dan (3) lembaga peradilan dan sistem hukum. Dalam konteks ini, para pemimpin politik melakukan crafting yang didukung oleh partisipasi dan konsultasi publik, untuk membuat sistem baru yang dituangkan dalam konstitusi atau perundang-undangan.

POLITIK LOKAL Dalam proses pembentukan identitas politik lokal sebagaimana diungkapkan Ramlan Surbakti (2002)10 yaitu: (a) Usaha yang di tempuh warga negara untuk membicarakan dan kebaikan bersama; (b) Segala hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara dan pemerintahan;(c) Segala kegiatan yang diarahkan untuk menean dan mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat; (d) Kegiatan yang berkaiatan dengan perumusan dan pelaksanaan

kebijakan

umum; (e) Sebagai konflik

dalam

rangka mencari atau

mempertahankan sumber yang dianggap penting. Heinelt dan Wollmann (2003)11 mendefinisikan politik lokal sebagai suatu sense dalam pembangunan dan penghargaan secara sosial yang berupa keputusan-keputusan dalam

9

10

11

Adam Przeworski et.al. (eds.), 1999, Democracy, Accountability and Representation, (Cambridge: Cambridge University Press). Surbakti, Ramlan, 2002, “Perubahan UUD 1945 Dalam Perspektik Politik”, dalam Riza Sihbudi dan Moch. Nurhasim (eds.), 2002, Amandemen Konstitusi dan Strategi Penyelesaian Krisis Politik Indonesia, (Jakarta : AIPI), hlm, 485-493. Heinelt, Hubert and Wollmann, 2003, Local Politics Research In Germany : Development and Characteristics in Comparative Perspective, London : Sage Publications.

sistem interaksi berdasarkan fisik dan ruang sosial. Berbicara tentang politik lokal akan terkait dengan kekuasaan yang digunakan untuk memimpin suatu masyarakat tertentu. Dalam konteks demokrasi lokal bahwa makin besar otonomi suatu pemerintah daerah, baik dalam arti kewenangan membuat keputusan maupun kewenangan keuangan, akan makin besar pula deraj at proses politik yang khas lokal (local politics)12. Terkait dengan proposisi tersebut, maka bisa diambil kesimpulan. Pertama, makin besar otonomi lokal, makin besar proses dernokratisasi dan politik lokal yang khas daerah. Kedua, makin Intensif peran masyarakat, makin berkembang dinamika sosial politik di daerah yang bersangkutan. Ketiga, makin dinamis proses demokratisasi maka makin dinarnis pula perkembangan politik lokal di daerah. Seiring dengan diberlakukannya Undang-Undang No.32/2004 tentang pemerintah daerah berupa Pilkada Langsung merupakan peluang yang luas untuk melakukan proses demokrasi politik di tingkat lokal. Selain itu, pembuatan dan penegakan berbagai peraturan untuk mencapai perubahan sosia! dalam masyarakatkan melibatkan berbagai pihak seperti legislatif, eksekutif dan birokrasi, eut po!itik dan ekonomi, kelompok-kelompok kepentingan dan masyarakat. baik melalui perumusan dan pelaksanaan berbagai kebijakan untuk mengatur wilayah otonominya. Seiring dengan konstalasi dan dinamika politik local dan pusat, beberapa waktu lalu anggota DPR, DPD, dan DPRD resmi mengesahkan UU No.12/2003, tentang Pemilu melalui voting oleh 320 anggota DPR dan tota! 489 yang hadir dalam rapat paripurna memilih pilihan opsi A. Sisanya, sebanyak 167 anggota memilihopsi B dan 2 anggota Fraksi PDS menyatakan abstain. Ada tiga hal yang perlu di!ihat dalam status pemerintahan lokal yaitu: fungsi, struktur, dan keuangan13. Hal ini menunjukkan bahwa kehidupan tradisional sudah mulai disinergiskan dengan aktifitas yang berbau nasional bahkan global. Program pembangunan yang akan diintegrasikan kemudian membawa stabilitasinternal, tentunya memerlukan peran dan pemerintah pusat, dan pada saat sama peran pemerintah daerah (propinsi ataupun kabupaten dan kota) juga sangat diperlukan. Karena kurangnya sumber yang tersedia ditingkat !okal, maka pemerintah lokal pada saat ini mendapat peran penting dan akses dan struktur pemerintah pusat. Hal ini ditandai oleh kebijakan pemerintah pusat akan desentralisasi pada pemerintah lokal dan merupakan otoritas daerah untuk mempertemukan berbagai tujuan dan kemampuan dalampembangunan daerah melalui program pembangunan. Pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah diharapkan dapat meningkatkan kesadaran pemerintah

12

13

Morfit, M. Strengthening The Capacities of Local Government : Policies and Constraints, In Mac Andrew (eds.) 1986. Central Government and Development in Indonesia, Singapore : Oxford University Press. Andreas Schedler, 1998, “What Is Democratic Consolidation?”, Journal Of Democracy, No.2

lokal akan alokasisumber-sumber yang dimiliki dengan tidak tergantung secara vis-à-vis dengan pemerintah pusat. Penguatan politik loka! atau identitas loka! harus dipahami sebagai salah satu kekuatan perekat integrasi nasional dan kekuatan yang memperlancar pembangunan. Revitalisasi identitas lokal dilakukan dalam tataran institusi, status, dan peran seperti Krama adat, lembaga adat yang ditopang prosedur (aturan-aturan) adat secara arif dapat dihidupkan, dirancang dan didesain kembali. Munculnya agenda pemekaran wilayah atas dasar asumsi-asumsi etnisitas yang lebih spesifik salah satu indikasi penguatan identitas terhadap wacana demokrasi lokal. Masyarakat Indonesia yang kaya akan identitas kelompok etnis, membutuhkan pemahaman yang serius dalam membangun kerangka interaksi politik yang toleran, yang dalam potensinya bias memperkuat pluralisme (Abdilah, 2002)14. Sementara Giddens (2000)15 menjelaskan bahwa heterogenitas itu sendiri bukan merupakan suatu halangan. Ia merupakan bagian terpenting yang tak dapat dipisahkan dan makna “bangsa kosmopolitan” yang sesungguhnya. Perlu dipahami bahwa dengan meningkatnya konfliks kekerasan atas nama agama dan kelompok etnis merupakan potret buram Indonesia pasea rezim otoriter orde baru. Dalam konteks akademis, tidak sedikit proyek penelitian yang telah dilakukan dan dana yang dikucurkan sebagai upaya untuk memahami fenomena tersebut. Secara umum, konflik kekerasan dipicu oleh kecenderungan menguatnya identitas-identitas primordial dan kelompok. Kehadiran masyarakat dalam wilayah publik yang terbuka merupakan bagian dan perluasan arena gerakan rakyat dengan cara ikut berpartisipasi di dalam pembentukan kebijakan daerah sebagai upaya penguatan basis lokal. Penguatan basis lokal tersebut diharapkan bisa mengubah taraf kehidupan yang lebih baik dan lebih bermartabat. Oleh sebab itu, bagaimana menggunakan pintu pemberian otonomi daerah ini menjadi titik masuk bagi demokratisasi dan partisipasi rakyat. Dalam

konteks

masyarakat

Indonesia,

desentralisasi

dan

otonomi

daerah

mengisyaratkan adanya pengakuan terhadap pluralisme masyarakat di daerah, dengan memberikan kesempatan kepada masyarakat di daerah untuk mengatur din sendiri melalui local self government, dan melaksanakan model pembangunan yang sesuai dengan kekhasan masing masing daerah. Sedangkan dan segi politik ekonomi mengharuskan adanya pemencaran kekuasaan (dispersed of power) yang sesuai dengan tuntutan global dewasa midan semakin memberikan ruang (space), tempat penting kepada masyarakat 14 15

Ubed Abdillah S, 2002. Politik Identitas Etnis : Pergulatan Tanda Tanpa Identitas, Magelang: Indonesiatera Anthony Gidden, 2000. Jalan Ketiga, Pembaruan Demokrasi Sosial, terj. Ketut Arya Mahardika, Jakarta: Gramedia Pustaka.

sambil merumuskan kembali peran negara, sehingga negara berperan sebagai agen regulator dan agen administratif. Dan implementasi UU yang ada tersebut dibuktikan dengan berlangsungnya Pemilihan Kepala Daerah secara langsung di 224 daerah, dimana ada 11 propinsi yang akan memilih gubemur dan wakilnya, 178 kabupaten yang akan memilih bupati dan wakilnya, 35 kota memilih walikota dan wakilnya. Dalam pemilihan Kepala Daerah secara langsung ini aspirasi rakyat tentunya tersalurkan secara langsung. Meski dibeberapa daerah terjadi banyak kekurangan dan munculnya konflik-konflik yang mungkin muncul dan aspek positif dan proses pemilihan. Mendalami masalah konflik etnis-agama menyimpulkan bahwa sentimen identitas suatu kelompok dapat mengalami pasang surut, sesuai dengan derajat kepentingan anggota suatu kelompok (Gun, 1993)16. Identitas kolektif akan menguat secara drastis manakala kelompok tersebut mengalami diskriminasi dan ketidakadilan. Sebaliknya, identitas kolektif suatu kelompok akan melemah ketika terjadi proses asimilasi atau keanggotaan yang tumpang tindih dan anggota suatu kelompok dengan kelompok-kelompok lain di masyarakat. Namun demikian, pada kasus negara-negara demokrasi baru, kerapkali para pemimpin kelompoklah yang memanipulasi pasang surut identitas kelompoknya. Para pemimpin tersebut mengeksploitasi faktor sejarah clan simbol-simbol kultural untuk memobilisasi dukungan politik. Samuel Huntington, menyatakan bahwa krisis identitas ini bukan saja monopoli negara-negara demokrasi baru, melainkan telah menjadi fenomena global dan melanda negara-negara demokrasi mapan17. Merosotnya otoritas negara sebagai penj amin keamanan rakyatnya telah memberikan insentif bagi rakyat untuk menolak mengidentifikasikan din dengan negara dan mempromosikan identitas kelompok yang bersifat sub nasional maupun trans nasional. Di berbagai belahan dunia tumbuh gerakan-gerakan yang kuat yang berusaha untuk melakukan proses redefinisi identitas negara dalam terminologi keagamaan sebagai upaya adaptasi dengan perubahan pada tataran global dan membangun rasa aman dan nyaman. Pada abad ke 19 dan 20 para elit politik dan intelektual memobilisasi kebangkitan identitas nasional dan memelopori gerakan-gerakan nasionalisme, saat ini justru menyaksikan manuver para elit yang tengah melakukan proses denasionalisasi di banyak negara. Konflik kekerasan bukanlah hal yang barn dalam episode sejarah Indonesia. Sejak masa keemasan kerajaan Majapahit, hingga era kolonialisme dan perjuangan kemerdekaan,

16

17

Gurr, Ted (1993) Minorities, Nationalist, and Ethnipolotical Conflict Higley, John and Richard Gunther (ed) (1992) Elite and Democratic Consolidation in Latin America abd Southern Europe, Cambridge: Cambridge University Press. Huntington, Samuel (2005) “Who Are We? America’s Great Debate” Free Press, London.

dinamika konflik kekerasan selalu lekat mengiringi. Karenanya, Indonesianis sekaliber Ben Anderson tidak segan-segan untuk berpendapat bahwa kultur kekerasan bukanlah monopoli penguasa orde baru saja, tetapi sudah sejak lama diidap oïeh sernua lapisan di dalam masyarakat (Anderson, 2001)18. Namun demikian, dahsyatnya tingkat konflik dan kekerasan atas nama agama, kepentingan etnis dan kelompok di berbagai pelosok negeri, menuntut penjelasan yang lebih luas ketimbang sekedar faktor kultural ataupun dampak dan euphoria politik dan proses demokratisasi. Jika pada masa orde barn, ancaman terbesar bagi integrasi nasional cenderung dating dan akumulasi kekecewaan daerah terhadap pusat, atau konflik yang bersifat vertikal, maka dewasa ini, kekerasan dan konflik horizontal menjelma menjadi ancaman serius bagi integrasi nasional. Kuatnya tradisi dominasi kekuatan politik otoriter selama 32 tahun sebagai pemaksa utama integrasi nasional menimbulkan kekhawatiran besar atas kemampuan bangsa ini untuk secara demokratis mengelola perbedaan dan mengatasi konflik internal. Tak kurang dan seorang Bill Liddle yang pada era 80-an, dalam salah satu artikelnya menyatakan dugaannya bahwa mayoritas elit di Indonesia memiliki keyakinan bahwa tanpa pola kepemimpinan yang paternalistik, Indonesia akan terjerumus kedalam kekacauan karena begitu parahnya tingkat keterbelakangan mayoritas rakyat Indonesia serta dalamnya pengkotakan kultural dalam masyarakat (Liddle, 1985)19. NEGARA HUKUM Sebagai negara hukum negeri ini tentunya terkait dengan konsep “rechtsstaat” dan “the rule of law “, juga berkaitan dengan konsep “nomocracy“, dapat dibayangkan sebagai faktor penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan adalah norma atau hukum. Sebab itu adanya istilah nomokrasi akan berkaitan dengan ide kedaulatan hukum negara atau prinsip hukum sebagai kekuasaan paling tertinggi. Profesor Utrecht membedakan antara negara hukum formil atau negara hukum kiasik, dan negara hukum materiel atau negara hukum modern20. Hukum formil menyangkut pengertian hukum yang bersifat formil dan sempit, yaitu dalam arti peraturan perundang undangan tertulis. Sedangkan yang kedua, yaitu negara hukum Materil yang lebih mutakhir mencakup pula pengertian keadilan di dalamnya. Karena itu, Wolfgang Friedman21, dalam bukunya “Law in a Changing Society” membedakan antara „rule of law‟ dalam arti formil 18

19

Anderson, Benedict, ed (2001), Violence and The State in Suharto’s Indonesia, Ithaca: South East Asia Program, Cornell University. Liddle, R Williams (1985), “Soeharto’s Indonesia: Personal Rule and Political Institution” dalam Pacific Affairs. 58 (1) Spring: 68-90.

yaitu dalam arti „organized public power‟, dan „rule of law‟ dalam arti materil yaitu „the rule of just law‟. Dalam kehidupan bernegara prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat menjamin peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan kenegaraan, sehingga setiap peraturan perundang-undangan yang ditetapkan dan ditegakkan mencerminkan perasaan keadilan yang hidup di tengah masyarakat. Hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tidak boleh ditetapkan dan diterapkan secara sepihak oleh dan atau hanya untuk kepentingan penguasa secara bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Karena hukum memang tidak dimaksudkan untuk hanya menjamin kepentingan segelintir orang yang berkuasa, melainkan menjamin kepentingan akan rasa adil bagi semua orang tanpa kecuali. Dengan demikian, negara hukum (rechtsstaat) yang dikembangkan bukanlah “absolute rechtsstaat”, melainkan “democratische rechtsstaat” atau negara hukum yang demokratis. Dengan perkataan lain, dalam setiap negara hukum yang bersifat nomokratis harus dijamin adanya demokrasi, sebagaimana di dalam setiap negara demokrasi harus dijamin penyelenggaraannya berdasar atas hukum. Lebih jauh lagi hukum sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang diidealkan bersama. Cita-cita hukum itu sendiri, baik yang dilembagakan melalui gagasan negara demokrasi (democracy) maupun yang diwujudkan melalaui gagasan negara hukum (nomocracy) dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan umum. Bahkan sebagaimana cita-cita nasional Indonesia yang dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945, tujuan bangsa Indonesia bemegara adalah dalam rangka melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Negara hukum berfungsi sebagai sarana untuk mewujudkan dan mencapai keempat tujuan negara Indonesia tersebut. Dengan demikian, pembangunan Negara Indonesia tidak akan terjebak menjadi sekedar “rule-driven“, melainkan tetap “mission driven“, tetapi “mission driven” yang tetap didasarkan atas aturan. Dalam sistem konstitusi negara, cita-cita negara hukum itu menjadi bagian yang tak terpisahkan dan perkembangan gagasan kenegaraan Indonesia sejak kemerdekaan. Meskipun dalam pasal-pasal UUD 1945 sebelum perubahan, ide negara hukum itu tidak dirumuskan secara eksplisit, tetapi dalam penjelasan ditegaskan bahwa Indonesia menganut ide “rechtsstaat“, bukan “machtsstaat“. Dalam konstitusi RIS Tahun 1949, ide negara hukum itu bahkan tegas dicantumkan. Demikian pula dalam UUDS Tahun 1950, kembali rumusan bahwa Indonesia adalah Negara hukum dicantumkan dengan tegas. Oleh karena itu, dalam Perubahan Ketiga tahun 2001 terhadap UUD negara Republik Indonesia Tahun 1945, ketentuan mengenai ini kembali

dicantumkan tegas dalam Pasa! 1 ayat (3) yang berbunyi: “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Kiranya, cita-cita negara hukum yang mengandung 12 ciri seperti uraian di atas itulah ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 itu sebaiknya dipahami bersama. PENUTUP Dalam konteks demokrasi di Indonesia dalam perspektif sistem demokrasi, rakyat adalah pemegang kekuasaan tertinggi negara. Pemerintah hanya bertugas mengontrol dan mengamankan hak-hak warganya. Itulah dalam konsep bernegara. Keterlibatan rakyat dalam pengambilan kebijakan publik merupakan suatu keniscayaan dalam sebuah negara demokrasi. Pada kenyataannya, di negara ini rakyat seakan menjadi objek negara. Demokrasi yang didengung-dengungkan sejak sepuluh tahun silam belum juga tercapai. Para elite di parlemen pun cenderung mementingkan kepentingan pribadinya ketimbang kepentingan rakyat (publik). Sehingga aspirasi rakyat pun tidak tersalurkan secara utuh. Prinsip-prinsip hukum dan ketatanegaraan yang berlaku serta tetap tanggap terhadap kebutuhan yang diperlukan. Arah politik hukum yang dicanangkan oleh Pemerintah Indonesia terfokus pada upaya pemberantasan korupsi dan percepatan pelaksanaan reformasi birokrasi. Mengingat praktik korupsi sangat merugikan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat dan bernegara, upaya pemberantasan korupsi harus dilakukan secara sistematis sehingga tidak memberikan peluang sekecil apa pun bagi pelaku korupsi untuk mencuri hak rakyat.

DAFTAR PUSTAKA 1.

Steward John & Gerry Stoker, 1989. The Future of Local Government, London: Macmillan.

2.

Nazarudin Sjamsudin 1989. Integrasi Politik di Indonesia, Jakarta: Gramedia.

3.

Samuel P. Huntington, 1995, Gelombang Demokratisasi Ketiga, (Jakarta: Grafiti).

4.

Alfred Stepan, 1993, “Berbagai Jalur Menuju Demokratisasi: Sejumlah Pertimbangan Teoritis dan Komparatif”, dalam Guillermo O’Donnell, Philippe C. Schmitter and Laurence Whitehead (eds.), 1993, Transisi Menuju Demokrasi: Tinjauan Berbagai Perspektif (Jakarta : LP3ES), hlm. 104-143.

5.

Giuseppe di Palma, 1997, Kiat Membangun Demokrasi Sebuah Esai tentang Transisi Demokrasi, (Jakarta : Yayasan Sumber Agung).

6.

Goran Hyden, 2002, “Development and Democracy : An Overview”, dalam Ole Elgstrom and Goran Hyden (eds.), Development and Democracy: What Have We Learn and How?, (London : Routledge), hlm. 2

7.

Larry Diamond, 2003, Developing Democracy Toward Consolidation, (Yogyakarta: IRE).

8.

Adam Przeworski et.al. (eds.), 1999, Democracy, Accountability and Representation, (Cambridge: Cambridge University Press).

9.

Surbakti, . Ramlan 2002, “Perubahan UUD 1945 Dalam Perspektif Politik”, dalam Riza Sihbudi dan Moch. Nurhasim (eds.), 2002, Amandemen Konstitüsi dan Strategi Penyelesaian Krisis Politik Indonesia, (Jakarta : AIPI), him. 485-493.

10. Heinelt, Hubert and Wollmann, 2003. Local Politics Research In Germany: Developments and Characteristics In Comparative Perspective. London: Sage Publications. 11. Morfit, M., Strengthening the Capacities of Local Government : Policies and Constraints, in Mac Andrew (ed) 1986. Central Government and Development in Indonesia, Singapore: Oxford University Press. 12. Andreas Schedler, 1998,”What is Democratic Consolidation?”, Journal of Democracy, No.2. 13. Ubed Abdilah 5., 2002. Politik Identitas Etnis: Pergulatan Tanda Tanpa Identitas, Magelang: Indonesiatera: 14. Anthony Gidden, 2000. Jalan Ketiga, Pembaruan Democrasi Sosial, terj. Ketut Arya Mahardika, Jakarta: Gramedia Pustaka 15. Gun, Ted (1993) Minorities, Nationalist, and Ethnipolitical Conflict Higley, John dan Richard Gunther (ed) (1992) Elite and Democratic Consolidation in Latin America abd Southern Europe, Cambridge: Cambridge University Press. 16. Huntington, Samuel (2005) “Who Are We? America’s Great Debate” Free Press, London

17. Anderson, Benedict, cd (2001), Violence and the State in Suharto’s Indonesia, Ithaca: Southeast Asia Program, Cornell University. 18. Liddle, R William (1985), “Soeharto’s Indonesia: Personal Rule and Political Institution” dalam Pacific Affairs. 58 (1) Spring: 68-90. 19. Utrecht, Pengantar hukum Administrasi negara Indonesia, Ichtiar, Jakarta, 1962, hal. 9. 20. Lihat Plato: The Laws, Penguin Classics, edisi tahun 1986. Diterjemahkan dan diberi kata pengantar oleh Trevor J. Saunders.