KONSTRUKSI SOSIAL PETANI DALAM PEMBENTUKAN

Download Penelitian ini bertujuan mengetahui konstruksi sosial petani dalam .... bagaimana interaksi sosial dalam dunia intersubyektif petani yang d...

0 downloads 477 Views 349KB Size
KONSTRUKSI SOSIAL PETANI DALAM PEMBENTUKAN KELOMPOK TANI DI KABUPATEN MANOKWARI SOCIAL CONSTRUCTION OF FARMER IN THE FARMERS GROUP FORMATION IN MANOKWARI

Triman Tapi1, H.M. Tahir Kasnawi2 , H.M. Darwis DPS2 1 2

Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian Manokwari,Papua Barat Pasca Sarjana Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin, Makassar

Alamat Korespondensi : Triman Tapi STPP Manokwari Jl. SPMA Reremi Manokwari,98312 Papua Barat HP : +6282399455562 Email : [email protected]

ABSTRAK Penelitian ini bertujuan mengetahui konstruksi sosial petani dalam pembentukan kelompok tani, mengetahui kinerja kelompok tani dan faktor-faktor penyebab petani tidak optimal terlibat dalam kelompok tani. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konstruksi sosial petani dalam pembentukan kelompok tani, sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya dan tradisi masyarakat setempat. Konsep “igya ser hanjop” sebagai produk dunia sosiokultur masyarakat Arfak mengalami proses eksternalisasi dalam sendi-sendi kehidupan sosial masyarakat secara turun temurun, kemudian diinternalisasi melalui tindakan dan perilaku sosial yang lebih mengutamakan kepentingan kolektif kekerabatan. Dampaknya tiap individu dalam komunitas masyarakat Arfak memandang bahwa keikutsertaan dalam kelompok tani hanya dimungkinkan bila sesama anggota saling memiliki hubungan kekeluargaan (proses objektivasi). Keterbatasan pengetahuan dan pemahaman dari pengurus dan anggota akan manfaat kelompok tani serta tidak adanya pendampingan oleh pelaksana program menyebabkan kinerja kelompok tani sangat rendah. Selain itu kelompok tani dianggap merupakan kebutuhan pemerintah (stake holder) dan bukan kebutuhan mereka. Untuk itu perlu diperhatikan kesesuaian nilai dan sifat-sifat inovasi dengan nilai-nilai adat setempat. Kata kunci : konstruksi sosial, kelompok tani ABSTRACT The aims of the study are to determine the social construction of farmers in the formation of farmer groups, determine the performance of farmer groups and the factors that cause unoptimum farmers involvement in farmer groups. The results indicated that the social construction of farmers in the formation of farmer groups, is strongly influenced by cultural values and traditions of the local community. The concept of " igya ser hanjop" as a product of the world sosiocultural of Arfak people undergoes a process of externalization in the field of the social life of the community from generation to generation, then internalized through social action and behavior that prioritizes the interests of collective kinship. Consequently each individual in Arfak community feel that participation in farmer groups is possible only if they have family ties. Limited knowledge and understanding of managers and members of farmer groups and the absence of a companion make it the performance of farmer groups is very low. Additionally, farmer groups is regarded as government interests (stakeholder) and they do not require the farmer groups. It is advised to consider the appropriateness of the value and nature of innovation with the values of the local customs. Keywords: social construction, farmers groups

PENDAHULUAN Pembentukan kelompok tani yang diatur oleh Surat Edaran Menteri pertanian, membuatnya cenderung merupakan kelompok formal. Hal ini berdampak, kelompok tani yang semula bersifat kelompok sosial (social groups) terpaksa berkembang menjadi kelompok tugas (task groups), karena terlampau banyaknya intervensi luar terhadap kelompok tani tersebut. Selain itu pembentukan kelompok tani lebih diarahkan untuk memudahkan pelaksanaan tugas pemerintah menyalurkan sarana produksi kepada petani, yang memang lebih mudah dikoordinasikan dalam satuan kelompok dibanding perseorangan petani. Hasil penelitian berkenaan dengan pengorganisasian petani, ditemukan bahwa tindakan kolektif melalui organisasi formal seharusnya hanya dipandang sebagai sebuah opsi belaka, sehingga tak dipandang sebagai suatu keharusan (Syahyuti, 2010). Selain itu penting untuk memperhatikan keberadaan institusi sosial lokal dan modal sosial lokal karena telah berdampak positif pada upaya peningkatan dan pemberdayaan masyarakat miskin perdesaan (Oman, 2005). Kabupaten Manokwari merupakan salah satu daerah penyangga kebutuhan hasil-hasil pertanian untuk daerah-daerah lain di Papua Barat. Untuk mewujudkan kebijakan pembangunan pertanian di wilayah Kabupaten Manokwari, telah dihabiskan anggaran dan tenaga lapang yang cukup besar. Melalui data yang diperoleh dari Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Kabupaten Manokwari, jumlah dana bantuan Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan

(PUAP) yang telah disalurkan pada tahun 2008

mencapai

Rp.3.000.000.000,- dan sebanyak 30 Gabungan kelompok tani (Gapoktan) telah menerima kucuran dana masing-masing Rp. 100.000.000,-. Keberhasilan dari indikator output yang dicapai adalah 100 persen dana tersalurkan ke Gapoktan, sementara itu dana tersalurkan ke kelompok tani dan petani sebesar 86.53 persen. Ketepatan sasaran penerima bantuan tercapai 100 persen bantuan jatuh ke petani “miskin”, namun belum tampak adanya peningkatan kemampuan sumber daya manusia dari adanya bantuan PUAP. Keberhasilan dari indikator outcome yang dicapai adalah baru 5.45 persen dari petani miskin yang mendapatkan bantuan PUAP (Situmorang dkk.,2012). Permasalahannya adalah kelompok-kelompok tani penerima dana bantuan program PUAP tersebut sulit berkembang sesuai harapan, sehingga tidak mampu mendukung pencapaian tujuan program. Salah satunya terjadi pada Kelompok tani ‘Arfak” yang menerima dana program PUAP di Kampung Hanghouw Distrik Tanah Rubu. Bagi masyarakat suku Arfak tindakan kolektif hanya terjadi dalam aktifitas yang berkaitan dengan urusan menyangkut kekerabatan keluarga besar (klan/marga). Kuatnya pengaruh adat dalam

aktifitas masyarakat turut mempengaruhi pengambilan keputusan individu dalam menjalin suatu relasi (Makabori,2005). Ini jelas terlihat dengan adanya konsep Igya ser hanjob atau hanjop (dalam bahasa Hattam/Moule ) atau Mastogow hanjob (dalam bahasa Sougbb). Igya dalam bahasa Hattam berarti berdiri, ser artinya menjaga dan hanjob berarti batas. Secara harfiah Igya ser hanjob mengandung makna berdiri menjaga batas namun batas disini bukan hanya bermakna sebagai suatu kawasan, namun secara luas bermakna mencakup segala aspek kehidupan masyarakat (Hastanti dkk., 2009). Dalam konsep ini terkandung nilai-nilai adat yang membatasi ruang gerak individu dalam menjalin relasi dan interaksi dengan sesamanya maupun lingkungannya. Realitas sosial masyarakat khususnya petani yang tergambar diatas menurut Berger dan Luckmann dalam Bungin (2006), merupakan pengetahuan yang bersifat keseharian yang hidup dan berkembang dimasyarakat, seperti konsep, kesadaran umum, wacana publik, sebagai hasil dari konstruksi sosial. Dengan kemampuan dialektis, di mana terdapat tesa, anti tesa dan sintesa, Berger memandang di dalam masyarakat petani terjadi dialektika antara diri (the self) dengan dunia sosio-kultural. Dialektika itu berlangsung dalam suatu proses dengan tiga “momen” simultan, yakni ekternalisasi, objektivasi dan internalisasi. Tiga momen dialektika ini memunculkan suatu proses konstruksi sosial (Poloma,2010). Konstruksi sosial sebenarnya memiliki arti yang sangat luas dalam ilmu sosial. Hal ini biasanya dihubungkan dengan pengaruh sosial dalam pengalaman hidup setiap individu (Ngangi, 2011). Dari penjelasan-penjelasan tersebut diatas, peneliti ingin mengetahui bagaimana konstruksi sosial petani dalam pembentukan kelompok tani sebagai prasyarat petani menerima bantuan dana program PUAP. Melalui kajian terhadap proses eksternalisasi yaitu proses penyesuaian diri petani dengan dunia sosio kulturalnya, berupa pemberian konkretisasi (pemberian makna) terhadap keyakinan yang dihayati secara internal (konsep Igya ser hanjob) dalam memandang pembentukan kelompok tani. Tahap obyektivikasi adalah bagaimana interaksi sosial dalam dunia intersubyektif petani yang dilembagakan atau mengalami proses institusionalisasi tersebut. Tahap internalisasi adalah bagaimana petani mengidentifikasi diri dengan nilai-nilai budaya yang dimiliki dengan kelompok tani tempat petani menjadi anggotanya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konstruksi sosial petani dalam pembentukan kelompok tani di Kabupaten Manokwari. Diharapkan melalui hasil penelitian ini dapat dirumuskan rekomendasi yang kiranya menjadi pertimbangan stakeholder dalam memberdayakan petani lokal.

BAHAN DAN METODE Lokasi dan Rancangan Penelitian Lokasi penelitian berada dalam wilayah administrasi Kabupaten Manokwari dengan pengambilan data difokuskan di Kampung Hanghouw Distrik Tanah Rubu. Lokasi penelitian ini dipilih karena pertimbangan: Pertama, Kampung Hanghouw merupakan salah satu kampung yang menerima bantuan program PUAP untuk Tahun Anggaran 2009/2010. Kedua, kelompok tani yang ada di Kampung Hanghouw adalah kelompok tani yang terbentuk karena adanya program PUAP. Ketiga, keanggotaan dan pengurus kelompok tani merupakan masyarakat asli/lokal setempat dan bermatapencaharian sebagai petani tradisional. Pelaksanaan penelitian mulai dilakukan secara intensif pada bulan Mei hingga Juni 2014, dengan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini digolongkan ke dalam paradigma kualitatif yang bersifat deskriptif dengan menggunakan metode studi kasus. Menurut Yin dalam Moleong (2011), studi kasus merupakan strategi yang tepat digunakan jika bentuk pertanyaan penelitian adalah “mengapa” (deskriptif) dan “bagaimana” (eksplanasi). Informan Informan penelitian ini ditentukan berdasarkan beberapa indikator, yaitu semua informan adalah petani yang menjadi anggota kelompok tani penerima dana bantuan PUAP tahun 2009/2010 di Kampung Hanghouw, informan pernah menjadi anggota kelompok tani selain program PUAP, informan berusia 18-55 tahun dan merupakan penduduk asli asal suku Hattam yang bermukim di Kampung Hanghouw. Metode pengumpulan data Pengumpulan data primer dalam penelitian ini dilakukan dengan pengamatan berperanserta (participant-observation) dan wawancara mendalam (in-depth inteview). Sedangkan pengumpulan data sekunder diperoleh dari berbagai sumber serta studi pustaka dari penelitian terdahulu dan dokumen yang terkait penelitian. Penggambaran konstruksi sosial petani dalam pembentukan kelompok tani dilakukan dengan meneliti proses eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi masyarakat adat Arfak serta dinamika kelompok tani yang ada di Kampung Hanghouw. Analisis Data Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode analisis kualitatif,

yang

bermaksud

menggambarkan,

menjelaskan,

mengeksplorasi,

dan

menginterpretasi pengetahuan petani sasaran penelitian, berkaitan dengan konstruksi sosial petani dalam pembentukan kelompok tani. Langkah-langkah analisis data kualitatif meliputi reduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan dan verifikasi data.

HASIL Hasil wawancara mendalam dengan informan menunjukkan bahwa tatanan aturan igya rfvbser hanjob yang merupakan nilai budaya yang dipegang secara turun temurun, sangat dijaga dan dipahami dengan baik, terutama berhubungan dengan aturan adat tentang etika kehidupan sosial. Aturan-aturan tersebut telah diketahui dan dipahami dengan baik oleh anggota masyarakat, termasuk simbol-simbol larangan dan sanksi adat atau denda adat yang telah ada turun temurun. Dalam budaya adat Arfak, sistem nilainya diturunkan secara verbal, yang kemudian diterjemahkan dalam bentuk norma adat sesuai konteks situasi dan kondisi. Artinya bahwa norma-norma adat disesuaikan pada situasi kondisi berkembang dengan berpegang pada sistem nilai, dalam norma adat tidak ada standar nilai sanksi atas pelangggaran norma. Besar kerugian atas pelanggaran suatu norma tertentu, tergantung pada klaim korban yang disampaikan dalam pertemuan untuk penyelesaian masalah (sengketa) yang biasanya dipimpin oleh pemimpin informal. Bagi masyarakat Arfak khususnya Suku Hattam yang mendiami Kampung Hanghouw, konsep igya ser hanjob dipandang sebagai bagian dari tata kehidupan sosial masyarakat adat terutama dalam membangun relasi antar sesama individu dalam kelompok maupun keterkaitannya dengan alam sekitarnya. Hasil wawancara dilapangan menunjukkan bahwa relasi sosial dibangun berdasarkan konsep ikatan kekerabatan. Ini dilakukan demi menjaga ’hanjop’ atau batas kepemilikan hak keluarga/marga/klen dan utamanya meminimkan munculnya konflik sosial dalam masyarakat yang berujung pada adanya sanksi/denda adat. Untuk itu sebagai suatu pandangan hidup masyarakat, nilai-nilai adat tersebut terus disosialisasikan melalui interaksi dalam keluarga maupun diluar keluarga. Hasil penelitian dilapangan menunjukkan pula bahwa sosialisasi nilai-nilai adat yang diberikan dalam keluarga, dilakukan juga melalui berbagai aktivitas-aktivitas adat, diantaranya melalui upacara perkawinan, kematian, maupun syukuran keluarga. Dengan harapan, (a) timbulnya rasa keterikatan yang semakin kuat secara psikologis pada nilai-nilai adatnya (b) meningkatnya pemahaman terhadap nilai-nilai adat, (c) pengikat dalam mempertahankan kebersamaan dan kesetikawanan sosial. Berkaitan dengan kelompok tani sebagai organisasi petani dan wadah bekerja sama antar petani sebagi anggota kelompok, berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan informan dilapangan didapati hampir sebagian besar petani anggota kelompoktani tidak mengetahui apa sebenarnya kelompok tani itu dan manfaatnya bagi mereka. Kondisi ini dapat dimaklumi mengingat tujuan awal pembentukan yang tidak prosedural dan juga diikuti kurangnya atau bahkan tidak pernah ada kegiatan penyuluhan dan sosialisasi dari setiap pelaksana program

kegiatan (stake holder) maupun penyuluh lapangan mengenai apa itu kelompok tani. Sebagaimana ketika ditanyakan kepada beberapa informan petani tentang apa yang dipahami/diketahui tentang kelompok tani : “saya cuman tahu kelompoktani kalo ada dinas dong mo bikin kegiatan suruh kitong bikin kelompok, katanya supaya bisa dapat bantuan..” (wawancara dengan petani informan DN, 37 tahun, 10 Mei 2014). “yang kami tahu kelompoktani tuh seperti ini..ada orang dinas datang ke kampung ini, ketemu kepala kampung.. suruh kepala kampung data masyarakat, kasih masuk nama untuk jadi anggota kelompok..terus dong kasih bantuan seperti uang atau bibit ..nanti kepala kampung kasih bantuan itu sesuai nama-nama yang masuk dalam kelompok tadi..” (wawancara dengan petani informan PM, 40 tahun, 10 Mei 2014).

PEMBAHASAN Gambaran kondisi sosial budaya masyarakat Suku Hattam di Kampung Hanghouw diatas secara tidak langsung menciptakan secara terus-menerus suatu kenyataan yang dimiliki bersama yang dialami secara faktual objektif dan penuh arti secara subjektif. Meskipun masyarakat dan institusi sosial terlihat nyata secara obyektif, namun pada kenyataan semuanya dibangun dalam definisi subjektif melalui proses interaksi. Penelitian ini menunjukkan bahwa sebagai sebuah pandangan hidup masyarakat Arfak, konsep ”igya ser hanjob” ataupun biasa disingkat ”hanjop” sebagai suatu produk kesepakatan bersama yang diciptakan dalam ikatan kekerabatan dan merupakan warisan secara turun temurun dalam dunia sosiokultural masyarakat suku Hattam, memberikan pengaruh pada aktivitas pengambilan keputusan masyarakat dalam membentuk kelompok tani. Proses eksternalisasi sebagai salah satu elemen pembentuk konstruksi sosial petani dalam membentuk kelompok tani, meliputi unsur tekanan dan sanksi, menjelaskan petani Arfak yang kesehariannya di pengaruhi oleh norma-norma adat memiliki kecenderungan berupaya sedapat mungkin menghindari munculnya konflik antar mereka yang bisa berakibat dikenakannya denda adat. Untuk itu dalam mengambil keputusan terlibat atau menjadi anggota kelompok tani, lebih memilih bergabung dengan anggota keluarga sendiri dalam ikatan kekerabatan yang saling mengenal satu sama lain. Kedua, unsur persepsi terhadap realitas, menjelaskan bahwa dengan mata pencaharian utamanya sebagai petani peladang berpindah atau biasa disebut kegiatan berkebun, usaha pertanian yang dikelola sangat bergantung pada kemurahan alam (kesuburan tanah). Ketergantungan pada hasil kebun sebagai satu-satunya sumber penghasilan baik untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari maupun untuk dijual, dimungkinkan karena kegiatan berkebun merupakan tradisi dan warisan turun temurun untuk mempertahankan hidup, selain itu mereka tidak memiliki sumber

pendapatan lain diluar kegiatan berkebun (Mulyadi,2012). Kondisi yang ada ini menyebabkan mereka tidak memiliki keterampilan lain selain berkebun, maka tidak mengherankan bila ada program-program kegiatan yang ditujukan kepada mereka, diluar keterampilan berkebun seringkali menjadi gagal. Persepsi terhadap realitas yang dirasakan dan dialami sepanjang pelaksanaan beberapa kegiatan program tersebut diatas, menjadikan masyarakat di Kampung Hanghouw bersikap hanya mau menerima bantuan lalu menghabiskan bantuan sesegera mungkin. Ketiga,unsur kepercayaan diri, menjelaskan bahwa ketergantungan pada seorang figur/tokoh seperti kepala suku atau kepala kampung, menjadikan masyarakat dalam pengambilan keputusan tidak bisa bersikap memutuskan sendiri. Keputusan akhir seorang kepala suku atau kepala kampung lebih didengar, ini terlihat pada contoh kasus pembentukan kelompok tani dimana kepala kampung sebagai figur/tokoh yang disegani memiiliki kewenangan memutuskan siapa-siapa yang menjadi anggota kelompok tani, dan hal ini bagi mereka merupakan sesuatu yang wajar karena keterwakilan pengambilan keputusan sudah diserahkan penuh pada kepala kampung. Konsekuensinya sering terjadi penyimpangan dari setiap bantuan yang diberikan melalui kelompok . Nilai-nilai adat yang ada dalam kehidupan masyarakat ini merupakan sesuatu yang real berada di luar individu, namun mempengaruhi ruang gerak individu, inilah yang disebut objektivasi (Manuaba,2010). Objektivasi yang diterima individu petani tidak serta merta meyakinkan individu tersebut bahwa keikutsertaan dalam kelompok tani akan berkontribusi dalam peningkatan usahatani mereka, kelompok tani hanya dilihat sebagai organisasi luar yang diinternalisasi kepada mereka demi kepentingan pihak luar (stake holder) semata, tanpa mempertimbangkan kebutuhan esensi yang diinginkan masyarakat. Bagi masyarakat Arfak pembentukan kelompok tani lebih pada kebutuhan dan kepentingan pemerintah bukan berdasar kebutuhan masyarakat. Selain itu peran daripada tokoh masyarakat setidaknya berpengaruh pada keberlanjutan kelompok itu sendiri. Sebagaimana yang peneliti jumpai dilapangan bahwa yang menentukan

perubahan nama kelompok, struktur kelompok,

keanggotaan dan aktivitas yang akan dilakukan kelompok berdasarkan bantuan yang didapat, sepenuhnya berada pada diri seorang kepala kampung dan kepala suku. Dari beberapa teori kemandirian kelompoktani, diperjelas bahwa kemandirian kelompoktani harus timbul dari keinginan kolompoktani itu sendiri (Syahyuti,2007). Menurut Departemen Pertanian (2007), kelompok tani yang mandiri adalah kelompok tani yang mampu mengambil keputusan sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan para petani dan anggotanya. Kemampuan mengambil keputusan dalam setiap aspek kegiatan harus didukung oleh kemampuan para anggota kelompok tani dalam pengelolaan komponen organisasi yang ada. Kondisi inilah yang tidak

dimiliki oleh kelompok tani ”Arfak”. Kesimpulannya, dalam menghadapi tuntutan perubahan yang menghendaki petani lokal mengubah perilakunya dalam berusaha tani, bila tidak dibarengi dengan upaya peningkatan kualitas SDM mereka, melalui pelatihan, penyuluhan dan pendampingan yang terencana dan berkesinambungan, maka dipastikan petani lokal ini tidak akan pernah mengalami perubahan dalam perilaku bertaninya (Sesbany,2009). Dalam konteks penguasaan peran, melalui program pengembangan usaha agribisnis perdesaan, petani diharapkan menguasai peran dan fungsinya sebagai seorang petani sekaligus pengusaha dalam bidang pertanian, berorientasi pasar dan berwawasan agribisnis, tidak hanya menjadikan petani sebagai petani sub sisten yang hanya berusaha untuk memenuhi kebutuhannnya sendiri (Munthe,2007). Namun kondisi yang terjadi dalam contoh kasus pembentukan kelompok tani di Kampung Hanghouw, terlihat bagaimana anggota kelompok tani tidak mengetahui peranannya sebagai anggota sebuah kelompok. Sikap apatis ditunjukkan dengan tidak antusiasnya petani mengembangkan kelompok taninya, dan lebih menyerahkan tanggung jawab kelompok kepada kepala kampung, karena kepala kampung dipandang lebih tahu/paham

dan

sebagai

orang

pertama

yang

berhubungan

langsung

dengan

penanggungjawab dan pelaksana program (dinas terkait). Tindakan patuh tiap individu dalam masyarakat Arfak pada keputusan seorang kepala kampung didasari pada struktur sosial masyarakat Arfak yang masih mengedepankan sistem kepemimpinan tradisional. Max Weber dalam Ritzer dan Goodman (2005), menyebutkan tindakan individu diatas sebagai tindakan sosial. Selanjutnya Weber mengkategorikan tindakan sosial tersebut merupakan tindakan tradisional atau tindakan karena kebiasaan, dimana seseorang memperlihatkan perilaku tertentu karena kebiasaan yang diperoleh dari nenek moyang tanpa refleksi yang sadar atau perencanaan. Timbulnya tindakan demikian karena masyarakat masih menganut sistem otoritas tradisional. Pada aspek pembentukan kelompok tani, berdasarkan pengalaman dan pengetahuan petani dalam menginternalisasi tradisi yang telah turun temurun dilakukan, memperlihatkan individu petani lebih merasa nyaman bila dia berada dalam kelompok yang notabene anggotanya merupakan keluarganya sendiri atau memilki hubungan kekerabatan dengan anggota yang lain. Dalam hal ini Internalisasi merupakan proses yang mana individu mengidentifikasikan dirinya dengan lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial tempat individu menjadi anggotanya (Bungin,2006). Pembentukan kelompok tani berangkat bukan dari inisiatif petani untuk membentuk kelompok melainkan karena permintaan pelaksana program tingkat kabupaten yang menghendaki adanya kelompok tani di Kampung Hanghouw

sebagai prasyarat mendapatkan bantuan Program PUAP. Umumnya keikut sertaan individu petani untuk mau menjadi anggota kelompok didasari karena adanya kesamaan kepentingan yang diwujudkan dalam suatu tujuan berkelompok, namun dalam kasus yang ditemui di Kampung Hanghouw kesadaran tersebut tidak ada. Keterlibatan menjadi anggota hanya karena dorongan untuk bisa mendapat bantuan semata dan dipengaruhi oleh pihak lain. KESIMPULAN DAN SARAN Konstruksi sosial petani khususnya petani Arfak dalam pembentukan kelompok tani dipengaruhi oleh norma budaya dan tradisi yang berlaku dalam kehidupan sosial masyarakat. Konsep Igya ser hanjop atau biasa disingkat hanjop (berdiri menjaga batas) merupakan suatu pandangan hidup masyarakat Arfak yang masih dipegang dalam menjaga hubungannya dengan alam sekitar dan sesama. Konsep ini di eksternalisasi dan mengalami internalisasi dalam tata kehidupan sosial masyarakat Arfak sehari-hari, sehingga terobjektivasi dalam menyingkapi perubahan dalam kehidupan mereka. Hal ini tergambar dalam pembentukan kelompok tani yang lebih mengedepankan ikatan kekerabatan keluarga/klen/marga saat menentukan keanggotaan kelompok tani, sehingga pola relasi yang terbangun dalam kelompok tani adalah pola relasi kolektif kekerabatan. Kinerja kelompok tani di Kampung Hanghouw tergolong masing sangat rendah, selain itu faktor rendahnya pendidikan serta keterbatasan

pengetahuan dan pengalaman pengurus dan anggota kelompok tani

menyebabkan mereka memiliki sikap apatis terhadap kelompok tani, tercermin dari tidak adanya motivasi atau antusiasme dalam mengembangkan kelompok tani yang telah terbentuk. Kelompok tani bagi masyarakat Arfak dianggap merupakan kebutuhan pemerintah (dinas terkait) dan bukan kebutuhan mereka, sehingga ketika bantuan di salurkan kepada mereka tidak digunakan sesuai anjuran/petunjuk penggunaan bantuan sebagaimana diharapkan. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam melaksanakan intervensi pembangunan pada masyarakat lokal/asli adalah memperhatikan kesesuaian nilai (compatibility) dan sifat-sifat inovasi lainnya dengan nilai-nilai adat yang setempat, disamping adanya penempatan tenaga pendamping lapangan yang secara kontinu mendampingi petani dan setidaknya memahami karakteristik budaya masyarakat setempat.

DAFTAR PUSTAKA Departemen Pertanian. (2007). Pedoman Umum Peraturan Menteri Pertanian Tentang Program Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan. Bungin,Burhan. (2006). Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat.Jakarta:Kencana. Hastanti B.&Yeni I. (2009). Strategi Pengelolaan Cagar Alam Pegunungan Arfak Menurut Kearifan Lokal Masyarakat Arfak di Manokwari Papua Barat.Jurnal Penelitian Sosial & Ekonomi Kehutanan,Vol.9,No.1:19-36. Makabori, (2005). Pergeseran Pola Perilaku Kepatuhan Masyarakat Pada Norma Adatnya, Kasus Pergeseran Nilai Igya Ser Hanjop pada Masyarakat Lokal di Kawasan Cagar Alam Pegunungan Arfak Kabupaten Manokwari. Bogor: IPB. Manuaba,I,B Putera. (2010). Memahami Teori Konstruksi Sosial. Jurnal Masyarakat Kebudayaan dan Politik. Vol.21,No.3: 221-230. Surabaya: Fakutas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga Mulyadi. (2012). Budaya Pertanian Papua, Perubahan Sosial dan Strategi Pemberdayaan Masyarakat Arfak.Yogyakarta:KartaMedia Moleong. (2011). Metodologi Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi).Bandung:Remaja Rosdakarya Munthe, Hadriana Marhaeni. (2007). Modernisasi dan Perubahan Sosial Masyarakat dalam Pembangunan Pertanian: Suatu Tinjauan Sosiologis.Jurnal Harmoni Sosial,Vol.2.No. 1: 1-7. Ngangi,Charles. (2011). Konstruksi Sosial Dalam Realitas Sosial. Journal ASE,Vol.7.No.2:14 Oman,Sukmana. (2005). Strategi Pemberdayaan Masyarakat Miskin Pedesaan Melalui Pengembangan Institusi dan Modal Sosial Lokal.Jurnal Humanity, Vol.1,No.1:69-75. Poloma, Margaret M. (2010). Sosiologi Kontemporer, Jakarta: Raja Grafindo Persada Ritzer,George dan Goodman,Dougles. (2005). Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Pranada Media Sesbany. (2009). Penguatan Kelembagaan Petani untuk Meningkatkan Posisi Tawar Petani. Jurnal Agrica Ekstensia,Vol.3.No.1:1-8. Situmorang E.,Asfi M. & Kaluge D. (2012). Modal Sosial dan Keberhasilan Pelaksanaan Pengembangan Agribisnis Pedesaan Di Kabupaten Manokwari.Journal Sepa, Vol.8.No.2:114-115 Syahyuti. (2007). Kebijakan Pengembangan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Sebagai Kelembagaan Ekonomi Di Pedesaan. Journal Litbang Pertanian,Vol.5.No.1:15-35. Syahyuti. (2010). Lembaga dan Organisasi Petani dalam Pengaruh Negara dan Pasar. Forum Penelitian Argo Ekonomi,Vol.28.No.1:35-53.