KONTRIBUSI PSIKOLOGI DALAM PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA

Asosiasi Psikologi Forensik telah sempat beberapa kali mengadakan seminar dan publikasi penelitian tentang psikologi hukum. Peran psikologi dalam huku...

2 downloads 483 Views 75KB Size
KONTRIBUSI PSIKOLOGI DALAM PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA1 Ivan Muhammad Agung2 “...Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepata taqwa...” (QS. Al-maa’idah: 8) Pengantar Indonesia

merupakan negara

yang

berdasarkan atas

hukum,

tidak

berdasarkan atas kekuasaan belaka. Pernyataan tersebut tercantum dalam penjelasan UUD 1945 (Hardjono, 2004). Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa hukum memiliki peran penting dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Hukum memiliki peran sebagai kontrol sosial sehingga dapat mewujudkan masyarakat adil, tertib dan damai. Namun kenyataannya hukum belum mampu berperan

maksimal

sehingga

masih

menimbulkan

rasa

ketidakadilan

di

masyarakat. Menurut Barimbing (dalam Sunarmi, 2004) bahwa masalah utama hukum adalah pada pembuatan hukum dan penegakan hukum. Semenjak era reformasi tahun 1998, permasalahan yang menjadi sorotan yaitu permasalahan hukum Indonesia terutama dalam hal penegakan hukum. Hasil survei 'World Justice Project 2011 Rule of Law’ terhadap penegakan supremasi hukum di 65 negara di dunia menempatkan Indoensia berada pada rangking bawah, yaitu berada di posisi kedua dari terakhir untuk wilayah regional dan di posisi 47 secara global (dari total 65 negara (http://news.detik.com). Hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang mengukur pendapat 2.050 responden dari 33 provinsi tahun 2012 di Indonesia mengenai penegakan hukum diperoleh hasil minus, artinya banyak dari responden yang menilai negatif (buruk) terhadap penegakan hukum Indonesia. Hasil tersebut konsisten dengan hasil survel LSI tahun 2011 juga menunjukkan bahwa praktek mafia hukum banyak terdapat di kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Indikatornya banyak kasus-kasus korupsi yang melibatkan pejabat publik tidak diselesaikan secara adil. Mereka dihukum ringan dan bahkan ada yang dibebaskan. Menurut Rahardjo (2006) masalah peradilan bukan masalah hukum saja, melainkan masalah perilaku manusia terutama aparat penegak hukum (polisi, jaksa dan hakim). Perilku penegak hukum (polisi, jaksa dan hakim) merupakan 1

Dipublikasikan dalam Milla (2012): Bunga Rampai Psikologi:Kontribusi Psikologi untuk Bangsa Keislaman dan Keindonesiaan, hal 67-90. 2 Dosen Fakultas Psikologi UIN Suska Riau

1

faktor penting dalam penegakan hukum secara optimal dan bermartabat (Ridwan, 2008) Misalkan, dalam persidangan yang melibatkan banyak orang, yaitu jaksa, pembela, saksi, terdakwa, dan peserta sidang memunculkan banyak hubungan sosial sehingga menimbulkan muatan psikologis, yang berpotensi terjadinya bias dalam putusan hukuman (Probowati, 1995). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa

putusan hukuman cenderung dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar

hukum, antara lain faktor sosial-psikologis. Probowati (1996; 2001) mengatakan ada lima faktor yang mempengaruhi putusan hukuman, yaitu (1) hakim, misalnya kepribadian, suasana hati, inteligensi, (2) opini publik yang tertulis dalam media massa ketika sidang tengah berlangsung, (3) pengacara, misalnya kinerja, jenis kelamin, dan gaya bicara yang meyakinkan, (4) tuntutan jaksa, dan (5) terdakwa, misalnya, jenis kelamin, ras, status sosial ekonomi, dan kemampuan bicara. Penegakan hukum di Indonesia belum mencerminkan keadilan yang sesungguhnya. Banyak kasus-kasus yang melibat rakyat kecil diproses lebih cepat dan mendapatkan hukuman lebih berat dibandingkan dengan kasus-kasus yang melibatkan pejabat atau orang yang memiliki kekuasaan dan materi. Misalkan, kita masih ingat bagaimana kasus yang menimpa seorang nenek yang dituduh mencuri hasil kebun atau seorang remaja dituduh mencuri sendal jepit. Kejadian tersebut menjadikan penegakan hukum di Indoensia dipandang negatif oleh masyarakat. Tulisan ini mencoba memahami hubungan psikologi dan hukum, dan sejauhmana kontribusi psikologi dalam proses penegakan hukum di Indonesia. Integrasi Psikologi dan Hukum Dalam perkembangan ilmu pengetahuan, hubungan antara satu ilmu bisa saling berkaiatan satu sama lain. Bahkan setiap hubunganya tidak hanya sebatas sebagai pelengkap tetapi juga bisa menjadi suatu yang bersifat inheren. Hal ini disebabkan

perkembangan

ilmu

pengatahuan,

informasi

dan

teknologi

menimbulkan permasalahan yang begitu kompleks pada kehidupan manusia. Dalam memahami sesuatu, tidak hanya cukup dengan menggunakan satu pendekatan saja, melainkan dibutuhkan suatu pendekatan yang bersifat holistik, artinya dalam memahami realitas khususnya berkaitan dengan perilaku manusia perlu suatu pendekatan interdisipliner ilmu. Pendekatan ini sangat relevan bila mengkaji suatu masalaah yang begitu kompleks seperti permasalahan hukum. Menurut Rahardjo (2006) kompleksnya permasalahan hukum tidak hanya semata peramasahan hukum saja melainkan masalah perilaku manusia. Hukum dibuat manusia untuk mengatur perilaku manusia agat tertib dan teratur. Namun 2

realitas menunjukkan seringkali hukum menjadi “mainan” manusia untuk mewujudkan

kepentingan.

Hukum

dijadikan

alat

untuk

mecapai

tujuan.

Seseorang politikus, akan menggunakan hukum untuk kepentingan politiknya, seorang pengusaha akan menggunakan hukum untuk kepentingan bisnisnya dan sebagainya. Pemaknaan

hukum berdasarkan tujuan dan kepentingan masing-

masing menjadi suatu dilema

tersendiri dalam dunia peradilan. Asas-asas

keadilan cenderung diabaikan, digeser oleh asa-asas kepentingan bersifat personal atau kelompok Manusia Masalahnya

menjadi

sekarang

aktor ini

utama

banyak

dalam

proses

perilaku-perilaku

penegakan oknum

hukum.

cenderung

menggunakan “kelemahan “ hukum untuk mengambil suatu kesempatan dalam menggapai tujuan. Logikanya hukum menjadi suatu alat untuk memutar balikan fakta bahkan menjadi suatu alat untuk menyerang orang lain. Fenomena telah banyak kita lihat sekarang ini. Berkaitan dengan perilaku manusia salah satu ilmu yang relevan dengan tersebut adalah psikologi. Psikologi adalah ilmu yang mempelajari perilaku dan proses mental manusia. Dalam perjalanannya psikologi banyak berinteraksi dengan ilmu-ilmu lainnya termasuk hukum. Interaksi psikologi dan hukum telah lama terjadi, semenjak tahun 1900–an. Perkembangan signifikan terjadi pada tahun 1920, psikologi dan hukum berusahan mencari bentuk dan definisi peran yang dimainkan dalam disiplin ilmu masing masing. Integrasi psikologi dan hukum berawal dari suatu keyakinan filosofi yang mengatakan bahwa dalam memandang ilmu tidak seharusnya dilihat sebagai suatu entitas terpisah dan berbeda, namun lebih dari merupan saling berhubungan satu sama lainya. Munsterberg (1908), mengatakan bahwa psikologi harus berhubungan dengan ilmu-ilmu lainnya. Psikologi harus berbicara dalam tataran praktis, tidak hanya sekedar konseptual. Oleh karena psikologi

harus

menyentuh

aspek

dasar

manusia

dengan

itu aplikasi menggunakan

pendekatan berbeda. Salah satu bentuk pendekatannya adalah berorentasi pada problem kehidupan manusia (Pfeifer, 1997). Falsafah tersebut mendorong ilmu psikologi untuk lebih banyak berinteraksi dengan ilmu lain termasuk ilmu hukum, terutama dalam memahami dan menyelesaikan permasalahan perilaku manusia. Kaspardis

(dalam

Kohnken,

dkk.,

2003)

membagi

tiga

bentuk

pengintegrasian psikologi dalam hukum, yaitu psychology in law, psychology and law, dan psychology of law. Psychology in law adalah aplikasi psikologi yang spesifik dalam bidang hukum, seperti psikologi polisi, psikologi dalam kesaksian saksi mata (Blackburn, 1996). Psychology and law

lebih cenderung kepada 3

psycholegal research yang berkaiatan dengan pelaku kriminal, juri (pengambilan keputusan ) dan hakim. Psychology of law mencakup area penelitian seperti, mengapa orang mematuhi atau tidak mematuhi hukum, efek hukum atau aplikasi hukum dalam perilaku manusia. Proses integrasi psikologi dan hukum bukannya tanpa masalah. Beberapa masalah mendasar dalam proses tersebut masih sering ditemukan, terutama dalam

framework

dasar

dalam

meletakkan

perbedaab dalam hal tujuan, metode

kaedah-kaedah

keilmuan

dan

dan gaya penyelidikan (Costanzo, 2006).

Kegigihan dalam memegang prinsip dasar tersebut terkadang membuat integrasi psikologi dan hukum cenderung kaku dan terlalu konseptual. Artinya, setiap bidang ilmu berusaha menganggap ilmunya lebih mampu menjelaskan suatu perilaku secara ilmiah. Selain itu, sumber daya manusia cenderung terbatas terutama dalam penguasaan ilmu psikologi dan hukum. Selama ini, kebanyakan para ahli hanya menguasai satu bidang, sedangkan bidang lain tidak dikuasai secara baik sehingga kurang komprehensif dan aplikatif. Misalkan seseorang menguasai ilmu psikologi namun tidak menguasai ilmu hukum secara baik Permasahaan ini muncul karena tidak mudah bagi seseorang untuk belajar secara intens ilmu lain. Untuk menjadi ahli (expert) dalam dua bidang (psikologi dan hukum) membutuhkan tenaga baik pikiran, fisik maupun materi, sehingga banyak orang hanya mengambil jalan pintas dengan mengikuti kuliah singkat mengenai hukum atau psikologi (Costanzo, 2006). Namun kondisi ini sedikit sudah berubah terutama di Barat. Banyak ahliahli telah mampu mengusai dengan baik ilmu psikologi dan hukum, sehingga melahirkan penelitian-peneltian yang berkualitas yang dipublikasikan melalui jurnal-jurnal penelitian, seperti

Law and Human Behavior, Applied Social

Psychology, Law and Social Inquiry, Behavioral science, & law, Law And Psychologucal Review, dan Public Policy, Psychology and Law. Di Indonesia perkembangan psikologi hukum masih lambat dan kurang berkembang. Salah satu permasahananya dalah sumber daya manusia yang masih terbatas. Minat mahasiswa dalam mengkaji permasalah hukum dan psikologi dalam satu perspektif masih sedikit, sehingga hasil-hasil penelitian masih terbatas. Beberapa penelitian yang pernah dilakukan tentang psikologi hukum, di antaranya: Probowati (1996), tentang peranan etnik dan daya tarik wajah terdakwa terhadap putusan hukuman Probowati (2001) tentang rekuisitor jaksa penuntut umum dan kepribadian otoritarian hakim dalam proses pemindanaan Indonesia, Agung (2008) tentang pengaruh publikasi pra sidang dan status sosial ekonomi 4

terdakwa terhadap putusan hukuman. Nuqul (2011) tentang hukuman setimpal untuk kejahatan pemerkosaan perspektif orang awam dan masih banyak penelitian-penelitian yang telah dilakukan, namun belum dipublikasikan dalam artikel ini. Perbedaan sistem hukum antara di Barat (Amerika) dan Indonesia merupakan satu kendala terutama dalam mengadopsi penelitian-penelitian yang berasal dari Barat. Di Amerika menggunakan sistem juri, sedangkan di Indonesia sistem Hakim. Hakim di Amerika berfungsi sebagai pengawas, pembantu dan pengatur jalanya persidangan, sedangkan hakim di Indonesia lebih mirip fungsi juri di Amerika, yaitu sebagai pemutus perkara. Walaupun fungsi hakim di Indonesia lebih kompleks, karena tugas juri dan hakim di Amerika diperankan oleh seorang/majelis hakim di Indonesia. Dikarenakan sistem hukum berbeda, peluang psikologi lebih besar dalam melihat dinamika pengambilan putusan juri, karena juri berasal dari masyarakat biasa yang dipilih. Pengaruh unsur-unsur di luar hukum lebih besar mempengaruhi juri dalam pengambilan putusan. Ini dapat disebabkan oleh kurangnya pemahaman tentang hukum itu sendiri. Di Indonesia, seorang hakim adalah orang memiliki kemampuan yang telah terstandarisasi dalam bidang hukum, sehingga faktor-faktor di luar hukum akan mudah

tereliminasi

dalam

pengambilan

putusan.

Walaupun

kenyataan

menunjukkan bahwa banyak putusan hakim yang cenderung “kontroversial”; jauh dari nilai-nilai keadilan. Tapi

Hal dapat menjadi alasan: mengapa penelitian-

penelitian psikologi masih terbatas di bidang hukum. Walaupun demikian kajian-kajian dalam psikologi hukum sangat menarik untuk dibahas khusunya dalam konteks hukum Indonesia. Pada tahun 2007, para ilmuwan psikologi yang tertarik dalam bidang psikologi hukum membentuk suatu wadah/organisasi yang diberi nama “Asosiaso Psikologi Forensik”. Istilah psikologi forensik diambil karena berbagai pertimbangan salah satunya pendekatan dan cakupannya yang lebih luas.

Asosiasi tersebut merupakan bagian dari HIMPSI

(Himpunan Psikologi Indonesia). Asosiasi Psikologi Forensik telah sempat beberapa kali mengadakan seminar dan publikasi penelitian tentang psikologi hukum.

Peran psikologi dalam hukum Secara umum peran psikologi dibagi dua area, yaitu kelimuwan dan aplikatif. Pada tataran keilmuwan, piskologi berperan dalam proses pengembangan hukum berdasarkan riset-riset psikologi. Sementara pada tataran aplikatif, psikologi berperan dalam intervensi psikologis yang dapat membantu proses 5

hukum. Friedman (dalam Lumbuun, 2008) mengatakan bahwa terdapat tiga aspek dalam sistem hukum. Pertama, struktur, yang berkaitan lembaga yang membuat dan menegakan hukum, termasuk DPR, kepolisian, kejaksaan, hakim dan para advokat. Kedua, subtansi, yang menyangkut dari materi hukum baik yang tertulis atau yang tidak tertulis dan ketiga budaya hukum, yaitu sikap orang terhadap hukum dan sistem hukum yang meliputi kepercayaan, nilai, pikiran dan harapan. Beberapa cabang psikologi yang berperan dalam sistem dan proses hukum adalah psikologi kognitif, perkembangan, sosial dan klinis. Di Barat peran ilmu psikologi dalam proses hukum telah banyak diaplikasikan, mulai dari tahap pemeriksaan, persidangan, putusan sampai ke tahap pemenjaraan. Misalkan dalam

tahap

pemeriksaan,

bagaimana

hasil

penelitian

psikologi

megenai

kemampuan meningkatkan daya ingat diterapkan dalam proses pemeriksaan saksi atau korban. Selain itu. Psikologi juga banyak digunakan untuk menjelaskan perilaku terdakwa atau korban, yang nantinya berguna dalam proses persidangan (lihat gambar 1).

Keilmuwan (Riset)

Cabang Psikologi    

Hukum

Kognitif Perkembangan Klinis Sosial

1. Struktur 2. Subtansi 3. Budaya Aplikatif (intervensi)

Gambar 1. Framework interaksi dan peran psikologi dalam hukum

Menurut Costanzo (2006)

peran psikologi dalam hukum sanga luas dan

beragam. Ia memberikan tiga peran. Pertama, psikolog sebagai penasehat. Para psikolog sering kali digunakan sebagai penasehat hakim atau pengacara dalam proses persidangan. Psikolog diminta memberikan masukan apakah seorang terdakwa atau saksi layak dimintai keterangan dalam proses persidangan. Kedua, psikolog sebagai evaluator. Sebagai seorang ilmuwan, psikolog dituntut mampu melakukan evaluasi terhadap suatu program. Apakah program itu sukses atau sesuai dengan tujuan yang ditetapkan?. Program-program yang berkaitan internvensi

psikologis

dalam

rangka

mengurangi

perilaku

kriminal/ 6

penyimpangan, misalkan program untuk mencegah remaja untuk menggunakan NAPZA. Apakah program tersebut mampu mengurangi tingkat penggunaan NAPZA di kalangan remaja?. Untuk mengetahui hal tersebut, perlu dilakukan evaluasi program. Ketiga, Psikolog sebagai pembaharu. Psikolog diharapkan lebih memiliki peran penting dalam sistem hukum. Psikolog diharapkan menjadi pembaharu atau reformis dalam sistem hukum. Psikolog diharapkan mampu mengaplikasi ilmu pengetahuannya ke dalam tataran aplikatif, sehingga sistem hukum, mulai dari proses penangkapan, persidangan, pembinaan, dan penghukuman berlandaskan kajian-kajian ilmiah (psikologis), Di Indonesia peran psikologi dalam hukum sudah mulai terlihat semenjak hadirnya Asosiasi Himpunan Psikologi Forensik pada tahun 2007. Peran psikologi forensik dibutuhkan untuk membantu mengungkapkan kasus-kasus kriminal yang menimpa masyarakat. Psikolog forensik dapat membantu aparat penegak hukum memberi gambaran utuh kepribadian si pelaku dan korban (Irmawati, 2009). Menurut Probowati (2010) peran psikologi forensik meliputi tahap peneylidikan, penyidikan, persidangan dan pemenjaraan (lihat tabel 1). Tabel 1 Peran psikologi forensik dalam proses hukum Area Polisi

Peran Membantu polisi dalam melakukan penyelidikan pada saki, korban dan pelaku

Kejaksaan

Membantu jaksa dalam memahami kondisi psikologis pelaku dan korban, dan memberilkan pelatihan tentang gaya bertanya kepada saksi. Pengadilan Sebagai saksi ahli dalam persidangan Lembaga Asesmen dan intervensi psikologis pada permasyarakatan narapidana (dirangkum dari Probowati, 2010)

Selama ini peran ilmu psikologi terhadap hukum lebih kepada yang bersifat prosedural terutama pada penyeleksian para penegak hukum dan menjadi saksi ahli dalam persidangan. Kurangnya peran serta dari para ilmuwan psikologi dalam aspek hukum disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu kurang minat ilmuwan psikologi untuk terlibat secara langsung dalam hukum. Menurut Rahardjo (2006) para ilmuwan psikologi belum mengambil peran utama dalam proses hukum. Selama ini ilmuwan psikologi banyak digunakan sebagai saksi ahli dan untuk pemekrisaan kondisi kejiwaan tersangka/terdakwa. Meilela (2011). peran psikologi 7

forensik belum secara masif dan sistematis. Beberapa indikatornya adalah belum ada jurnal psikologi forensik yang diterbitkan berkala, belum banyak ahli psikologi forensik, dan belum terlihatnya sumbangsih psikologi forensik dalam penegakan hukum di Indoensia. Memang harus diakui bahwa pertimbangan untuk menentukan bersalah atau tidak bersalahnya seorang terdakwa adalah berdasarkan dua (2) alat bukti yang sah, sesuai dengan KUHP yang berlaku. Sementara aspek psikologis lebih berperan dalam menentukan berapa lama hukuman yang diterima terdakwa. Pada kasus khusus, aspek psikologis sangat menentukan, misalkan seorang terdakwa yang mengalami gangguan jiwa, maka hukuman tidak dapat diberikan, alias bebas. Hasil penelitian Probowati (1996) menunjukkan bahwa perilaku terdakwa selama proses persidangan akan memberi andil lamanya seseorang dihukum, artinya semakin baik perilakunya, maka hukumannya cenderung lebih ringan dibandingkan dengan berperilaku negatif selama persidangan.

Penegakan Hukum Perspektif Psikologi Hukum merupakan seperangkat aturan yang dibuat bertujuan untuk mengatur perilaku munusia. Agar hukum dapat ditegakkan, maka perlu kerjasama dan keterlibatan semua pihak. Secara formal penegakan hukum melibatkan polisi, jaksa, hakim, dan advocat. Namun selama ini penegakan hukum di Indonesia terkesan hanya bersandar pada hakim, padahal tidak hanya dibeban pada hakim, tetapi termasuk bagian tugas polisi sebagai penyidik dan jaksa sebagai penuntut umum yang sering disebut dengan istilah ‘criminal justice system” (Ridwan, 2008). Secara luas, penegakan hukum tidak hanya bersandar pada

aparat

penegak

hukum,

tetapi

seluruh

elemen

masyarakat

harus

berkontribusi dalam penegakan hukum. Penegakan hukum

merupakan kegiatan menyelaraskan hubungan nilai

yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah yang mantab dan mengejawantah, dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaianan pergaulan hidup (Soekanto dalam Ridwan, 2008). Penegakan hukum (pidana) meliputi dua hal, yaitu penegakan hukum bersifat abstrak dan penegakan hukum bersifat konkrit. Penegakan hukum bersifat abstrak yaitu upaya penanggulangan kejahatan melalui aturanaturan yang dibuat. Penegakan hukum yang bersifat konkrit yaitu tindakan

8

konkrit aparat penegak hukum dalam melaksanakan aturan yang telah ditentukan (Ali, 2008) Masalah penegakan hukum merupakan salah satu masalah utama

di

Indonesia. Indonesia telah memiliki undang-undang/peraturan yang mengatur kehidupan masyarakat. Namun dalam aplikasinya terjadi perbedaan antara harapan dan realitas. Banyak penegakan hukum yang melanggar prinsip-prinsip keadilan, dan

kesetaran.

Menurut

Raharjo dan Angkasa (2011), masalah

penegakan hukum sangat kompleks, karena melibatkan dimensi manusia. Misalkan hasil penelitian Raharjo dan Angkasa (2011) tentang perilaku polisi dalam proses penegakan hukum. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa polisi masih sering menggunakan kekerasan dalam proses penyidikan. Kekerasan dapat berupa fisik, psikis dan hukum. Lembaga peradilan

juga menjadi sorotan dalam penegakan hukum.

Menurut Sunarmi, (2004) ada tiga masalah utama di peradilan. Pertama, adalah lemahnya moral dan profesionalisme. Kedua, adalah lemahnya budaya hukum masyarakat yang menyangkut persepsi masyarakat terhadap pola penegakkan hukum dan Ketiga, adalah lemahnya kemandirian dan kebebasan hakim (lemahnya sistem peradilan). Selama ini kecenderungan peradilan kita lebih mementinghkan

kepastian

hukum,

sehingga

mengabaikan

rasa

keadilan

masyarakat. Keadilan yang muncul adalah keadilan yang prosedural tidak keadilan subtantif. Indikatornya adalah banyak kasus-kasus hukum yang mencedarai rasa keadilan masyarakat. Beberapa faktor yang mempengaruhi penegakan hukum (Soekanto dalam Ridwan, 2008) 1. Faktor hukum 2. Faktor petugas yang mengakkan hukum 3. Faktor warga yang terkena ruang lingkungan peraturan hukum 4. Faktor kebudayaan 5. Faktor sarana yang diharapkan dapat mendukung pelaksanaan hukum Tantangan dan hambatan penegakan hukum di Indonesia sangat besar. Tantangan dan hambatan dapat berasal dari faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi hukum dan budaya, integritas dan kepribadian aparat penegak hukum. Sementara faktor eksternal meliputi politik, ekonomi dan sosiologis. Interaksi faktor personal dan lingkungan menentukan sukses dan gagalnya suatu penegakan hukum. kita menyaksikan bahwa faktor ekonomi, 9

politik dan perilaku aparat penegak hukum menjadi hambatan terbesar dalam penegakan hukum di Indonesia. Indikatornya adalah banyak kasus-kasus hukum yang melibatkan pejabat atau orang penting terindikasi menggunkan uang dan kekuasaannya untuk mempengaruhi proses penegakan hukum. Lalu dimana dan bagaimana kaitan dan peran psikologi dengan penegakan hukum di Indonesia. Seperti telah diuraikan bahwa psikologi secara langsung dan tidak langsung berkaitan proses penegakan hukum. Sebagai suatu ilmu yang mempelajari perilaku dan proses mental manusia, psikologi memiliki peran penting dalam penegakan hukum di Indonesia. Peran psikologi terutama pada aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim, petugas lapas) dan pihak-pihak yang terlibat (saksi, pelaku dan korban). Selain itu, psikologi juga berperan pada sistem hukum dan warga yang terkena cakupan hukum. Ada beberapa peran psikologi dalam penegakan hukum di Indonesia, yaitu, pertama,. psikologi berperan dalam memperkuat aparat penegak hukum dalam menegakkan hukum. misalkan bagaimana peranan intervensi psikologis dalam meningkatkan

perfomance

polisi.

Hasil

penelitian

Arnetz

dkk.,

(2009)

menunjukkan bahwa hasil pelatihan resiliensi dapat meningkatkan performance polisi. Selain aparat penegak hukum, yang tidak kalah penting adalah keluarga aparat penegak hukum. Kedua, psikologi berperan dalam menjelaskan kondisi psikologis pelaku, korban dan saksi sehingga aparat penegak hukum dapat mengambil

keputusan

dengan

tepat.

Ketiga,

psikologi

berperan

dalam

meningkatkan kesadaran masyarakat dalam mematuhi hukum yang berlaku. Misalkan, psikologi dapat membantu polisi dalam membentuk masyarakat sadar dan taat aturan melalui kegiatan seminar dan aktifitas yang berbasiskan masyarakat. Jika dilihat dari proses tahapan penegakan hukum, psikologi berperan dalam empat tahap, 1) pencegahan (deterrent) ,2) penanganan (pengungkapan dan penyidikan), 3) pemindanaan, dan 4) pemenjaraan. Pada tahap pencegahan, psikologi dapat membantu aparak penegak hukum memberikan sosialisasi dan pengatahuan ilmiah kepada masyarakat bagaimana cara mencegah tindakan kriminal. Misalkan, psikologi memberikan informasi mengenali pola perilaku kriminal, dengan pemahaman tersebut diharapkan msyarakat mampu mencegah perilaku kriminal. Pada tahap penanganan, yaitu ketika tindak kriminal telah terjadi, psikologi dapat membantu polisi dalam mengidentifikasi pelaku dan motif pelaku sehingga polisi dapat mengungkap pelaku kejahatan. Misalkan dengan teknik criminal 10

profiling dan geographical profiling. Criminal profiling merupakan salah cara atau teknik investigasi untuk mengambarkan profil pelaku kriminal, dari segi demografi (umur, tinggi, suku), psikologis (motif, kepribadian), modus operandi, dan seting tempat kejadian (scene). geographical profiling., yaitu suatu teknik investigasi yang menekan pengenalan terhadap karakteristik daerah, pola tempat, seting kejadian tindakan kriminal, yang bertujuan untuk memprediksi tempat tindakan krminal dan tempat tinggal pelaku kriminal sehingga pelaku mudah ditemukan (kemp & Van, 2007) Pada tahap pemindanaan, psikologi memberikan penjelasan mengenai kondisi psikologis pelaku kejahatan sehingga hakim memberikan hukuman (pemindanaan) sesuai dengan alat bukti dan mempertimbangkan motif/kondisi psikologis pelaku kejahatan. Menurut Muladi dalam (Rizanizarli, 2004) tujuan pemindanaan

adalah

memperbaiki

kerusakan

individual

dan

sosial

yang

diakibatkan tindak pidana. Ada beberapa teori yang terkait dengan tujuan pemindanaan. Pertama, teori retributif (balas dendam), teori ini mengatakan bahwa setiap orang harus bertanggung jawab atas perilakunya, akibatnya di harus menerima hukuman yang setimpal. kedua teori relatif (tujuan), teori ini bertujuan untuk mencegah orang melakukan perbuatan jahat. Teori ini sering disebut dengan teori deterrence (pencegahan). Ada dua jenis teori relatif, yaitu teori pencegahan dan teori penghambat. Teori pencegahan dibagi dua, yaitu pencegahan umum, efek pencegahan sebelum tindak pidana dilakukan, misalnya melalui ancaman dan keteladanan, dan pencegahan spesial, efek pencegahan setelah tindak

pidana

dilakukan.

Sementara

teori

penghambatan,

yaitu

bahwa

pemindanaan bertujuan untuk mengintimidasi mental pelaku agar pada masa datang tidak melakukannya lagi. Ketiga, behavioristik, teori ini berfokus pda perilaku. Teori ini dibagi dua, yaitu incapacitation theory, pemindanaan harus dilakukan agar pelaku tidak dapat berbuat pidana lagi dan Rehabilitation theory, yaitu pemindanaan dilakukan untuk

memudahkan melakukan rehabilitasi

(Rizanizarli, 2004)

Tahap terakhir adalah pemenjaraan. Pada tahap ini pelaku ditempatkan dalam lembaga permasyarakatan (LP). Tujuannya adalah agar pelaku kejahatan mengalami perubahan perilaku menjadi orang baik. Namun kenyataannya berbeda, banyak pelaku kriminal setelah keluar dari LP bukannya menjadi lebih baik tapi tetap melakukan tindakan kejahatan kembali bahkan secara kuantitas dan kualitas tindakan kejahatannya lebih berat daripada sebelumnya. Hal ini 11

terjadi karena terjadi proses pembelajaran sosial ketika di LP. Dalam konsep psikologi, LP haruslah menjadi tempat rehabilitasi para pelaku kejahatan. Idealnya terjadi perubahan perilaku dan psikologis narapidana sehingga setelah keluar dapat menjadi orang

yang berperilaku baik dan berguna bagi masyarakat. Ada

beberapa konsep psikoloogi yang dapat ditawarkan dalam perubahan perilaku narapidana di LP. Pertama, berorentasi personal, yaitu dengan cara terapi individual/kelompok, misalkan

terapi kogniif. Kedua, berorentasi lingkungan,

dengan menciptakan lingkungan fisik LP yang mendukung perubahan perilaku narapidana, misalkan jumlah narapidana sesuai dengan besarnya ruangan sel sehingga tidak terjadi kepadatan dan kesesakan yang berpotensi menimbulkan perilaku agresif narapidana.

Penutup Masalah penegakan hukum merupakan salah satu masalahh utama di Indonesia. Penegakan hukum merupakan tidak hanya kewajiban aparat penegak hukum, melainkan kewajiban seluruh elemen masyarakat. Setiap warga harus memiliki kontribusi dalam penegakan hukum sehingga tercipta kondisi adil, tertib dan damai. Psikologi sebagai suatu disiplin ilmu tentang perilaku manusia berusaha

untuk

berkontribusi

dalam

penegakan

hukum

dalam

bentuk

memberikan pengetahuan dan intervensi psikologis yang berguna dalam proses penegakan hukum. peran psikologi dapat dimulai dari pencegahan, penanganan, pemindanaan dan pemenjaraan. Indikator penegakan hukum yang baik dalam perspektif psikologi adalah adanya perubahan perilaku pelaku pidana ke arah yang lebih baik, artinya pelaku pidana tidak melakukan perbuatan melanggar hukum. Apabila pelaku pidana tidak mengalami perubahan setelah dilakukan proses rehabilitasi di LP, maka penegakan hukum belum dikatakan optimal.

Daftar Pustaka

Agung, I.M. (2008). Pengaruh Publikasi Pra Persidangan dan Status sosial ekonomi Terdakwa terhadap Putusan Hukuman. Tesis. Fak. Psikologi UGM:Ygyakarta. Ali., M (2008), Penegakan Hukum Pidana Yang Optimal (Perspektif Analisis Ekonomi Atas Hukum). Jurnal Hukum, 2, (15), 223 – 238.

12

Arnetz, B.B, Dana C. Nevedal, D.C, Lumley, M.A , Lena Backman, L & Lublin, A (2009). Trauma Resilience Training for Police: Psychophysiological and Performance Effects .Journal Police Criminal Psychology , 24:1–9 Costanzo, M. (2006). Aplikasi Psikologi Dalam Sistem Hukum. Penerjemah Helly Prajitno Soetjipto dan Sri Mulyantini Soetjipto. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Hardjono (2004). Penerapan asas peradilan yang sederhana, cepat, jujur, adil, dan manusiawi dalam sistim peradilan pidana Indonesia. Wacana Humaniora, 2, 280-286. Irmawati. (2009). Orasi Ilmiah: peranan psikologi dalam Menjawab fenomena Psikologis masyarakat Indonesia. Universitas Sumatra Utara pada Upacara Peringatan Dies Natalis ke- 57 Universitas sumatra Utara. Kemp, J.J & Van, P.J (2007). Fine-Tuning Geographical Profiling Koppen In Criminal Profiling: International Theory, Research, and Practice Humana Press Inc., Totowa, NJ. Lumbuun, R. (2008). Peranan etika di dalam penegakan hukum di Indonesia. Varia peradilan. Majalah hukum, XXII, 273, 27-34. LSI. (2011), Persepsi Publik atas Praktek Mafia Hukum di Lembaga Penegak Hukum. kajian Bulanan,edisi 26. Diakses tanggal 19 Maret 2012 dari www. Lsi.co.id Meilela, A. (2011). Perkembangan Psikologi Forensik di Indonesia. Makalah dipresenstasikan dalam Seminar, Kongres dan Workshop Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia, 16-17 November di Semarang. Nuqul (2011). Hukuman setimpal untuk kejahatan pemerkosaan perspektif orang awam. Abstrak dipresenstasikan dalam Seminar, Kongres dan Workshop Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia, 16-17 November di Semarang. Probowati, Y.(1996). Peranan etnik dan daya tarik wajah terdakwa terhadap putusan hukuman. Jurnal Pascasarjana UGM (2A) 298-311. Probowati, Y (2001). Rekuisitor jaksa penuntut umum dan kepribadian otoritarian hakim dalam proses pemindanaan Indonesia. Disertasi. Tidak diterbitkan. Program Doktor Psikologi Univesitas Gadjah Mada. Probowati, Y.(2010). Psikologi dalam bidang Forensik di Indoensia. Ed. Supraktinya dan Tjipto Susana, hal 374-399. 50 thn himpsi: redefinisi psikologi Indonesia dalam keberagaman. Pfeifer, J E (1997). Social psychologi in the coutroom. in Sadava, S.W dan McCreary (Eds). Applied social psychology. New Jersey:Prentice-Hall. Rizanizarli. (2008). Teori-teori Pemindanaan dan Perkembangan. Kanun, 33,177196. 13

Rahardjo, S. (2006). Sisi-sisi lain dari hukum di Indonesia. Jakarta: Kompas. Ridwan, J. (2008). Perilaku hukum di pengadilan dalam mewujudkan penegakan hukum yang bermatabat. Varia psikologi. Majalah hukum XXII, 272 h 3236. Sunarmi (2004). Membangun Sistem Peradilan Di Indonesia Makalah. Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Diakse tanggal 20 Maret 2012 dari http://repository.usu.ac.id/bitstream/perdata-sunarmi3.pdf Detik.com. (2012). Survei Penegakan Hukum: Indonesia Ranking Bawah untuk Korupsi dan Keadilan diakses tanggal dari http://news.detik.com/read/survei-penegakan-hukum-indonesia-rankingbawah-untuk-korupsi-dan-keadilan

14