LAPORAN AKHIR ANALISIS DINAMIKA KONSUMSI PANGAN

Download Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan pemenuhannya merupakan bagian dari .... konsumsi tidak hanya ditentukan oleh...

0 downloads 466 Views 1MB Size
LAPORAN AKHIR ANALISIS DINAMIKA KONSUMSI PANGAN MASYARAKAT INDONESIA

PUSAT KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM NEGERI BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN KEMENTERIAN PERDAGANGAN 2013

RINGKASAN EKSEKUTIF

Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan pemenuhannya merupakan bagian dari hak azasi manusia yang dijamin di dalam Undang-Undang Dasar Negara Indonesia tahun 1945. Pemenuhan kebutuhan pangan juga terkait dengan upaya peningkatan kualitas kesehatan masyarakat, sehingga nantinya akan diperoleh kualitas sumber daya Indonesia manusia (SDM) yang mempunyai daya saing tangguh dan unggul sebagai bangsa. Sumber daya manusia berkualitas digambarkan sebagai manusia sehat yang cerdas, produktif dan mandiri (Menteri Kesehatan, 2005). Pemenuhan kecukupan pangan bagi setiap warga negara Indonesia merupakan kewajiban bersama pemerintah dan masyarakat, baik secara moral, sosial, maupun hukum, karena pangan merupakan salah satu hak asasi manusia yang sangat esensial. Pemenuhan kecukupan pangan perseorangan merupakan esensi dari ketahanan pangan, dan dicerminkan oleh tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau harganya serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Pada saat ini secara global, beberapa negara sedang mengalami berbagai macam kemungkinan terjadinya krisis. Salah satu potensi krisis yang memiliki dampak serius adalah ancaman terjadinya krisis pangan global. Isu kelangkaan pangan dunia (world food crisis) saling berkaitan erat dengan isu perubahan iklim global (global climate changes) dan dinamika ekonomi global, yang dicirikan oleh krisis ekonomi di negara-negara maju dan volatilitas harga pangan serta energi (Menteri Pertanian, 2012). Permasalahan global ini pasti mempunyai pengaruh pada kondisi ketahanan pangan domestik, karena saat ini tidak ada satu negarapun yang dapat mengisolasi diri dari komunitas dunia. Pada skala dunia, diperkirakan lebih dari 900 juta penduduk dunia masih terancam kelaparan dan rawan pangan (FAO, 2010). Di Indonesia, proporsi rumahtangga yang mengalami rawan pangan pada tahun 1999 sebesar 14,2% dan pada tahun 2008 turun menjadi sebesar 8,7%. Bila dikaitkan dengan dinamika perekonomian selama kurun waktu tersebut, masih tingginya proporsi rumahtangga rawan pangan tidak terlepas dari pengaruh krisis ekonomi tahun 1997/1998 dan kenaikan harga bahan bakar minyak pada tahun 2005. Krisis ekonomi menyebabkan penurunan konsumsi pangan secara kuantitas dan kualitas (Ariani, dkk; 2000). Selain pengaruh faktor ekonomi, pangan juga sangat tergantung pada perubahan iklim. Perubahan iklim yang terjadi saat ini mengakibatkan perubahan pola tanam, perubahan pola hujan sehingga waktu kapan akan terjadi musim kering atau musim hujan sulit diprediksi, munculnya hama/penyakit tanaman yang tidak terprediksi dan lainnya. Perubahan beberapa faktor ini, berdampak pada sulitnya pencapaian produksi pangan sesuai yang telah dicanangkan. Menyikapi berbagai kendala tersebut, maka mengharuskan melakukan pemanfaatkan sumberdaya pertanian dan pangan secara efisien dan optimal dengan memperhatikan potensi lahan, tingkat kesuburan lahan dan pola permintaan pangan. Pertimbangan ini dilakukan dengan harapan pangan yang dibutuhkan semaksimal mungkin diperoleh dari produksi sendiri atau produksi dalam negeri. Di satu sisi, pola konsumsi pangan masyarakat berbeda dan berubah dari waktu ke waktu, dari tempat yang satu ke tempat yang lain. Pola konsumsi pangan antara daerah satu dengan daerah lainnya dapat berbeda tergantung dari lingkungannya termasuk sumberdaya dan budaya setempat, Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

i

selera dan pendapatan masyarakat. Demikian pula pola konsumsi pangan juga akan berubah dari waktu ke waktu yang dipengaruhi oleh perubahan pendapatan, perubahan kesadaran masyarakat akan pangan dan gizi serta perubahan gaya hidup. Dengan demikian, perubahan-perubahan tersebut, baik antar daerah maupun antar waktu akan menentukan perubahan berapa pangan yang harus disediakan dan bagaimana distribusinya agar harga pangan tersebut dapat dijangkau masyarakat dengan harga yang wajar. Oleh karena itu, pemanfaatan atau konsumsi pangan merupakan salah satu entry point dan sub system untuk memantapkan ketahanan pangan. Dengan mengetahui pola konsumsi pangan masyarakat akan dapat disusun kebijakan terkait dengan penyediaan pangan, baik yang berasal dari produksi dalam negeri maupun impor . Kebijakan produksi pangan mencakup berapa volume dan jenis pangan yang mampu diproduksi dengan memperhatikan sumberdaya lahan, air, teknologi dan sarana pendukung lainnya. Dengan memperhatikan potensi produksi dan permintaan pangan akan dapat ditetapkan berapa banyak dan jenis pangan yang harus diproduksi di dalam negeri atau diimpor. Selain itu dengan mengetahui perubahan konsumsi pangan masyarakat, juga dapat disusun kebijakan harga dan distribusi pangan agar masyarakat dapat menjangkau pangan yang tersedia. Analisis ini bertujuan (a) menganalisis dinamika struktur pengeluaran pangan masyarakat untuk mengetahui bagaimana perubahan tingkat kesejahteraan masyarakat, (b) menganalisis dinamika konsumsi energi, protein dan kualitas konsumsi pangan untuk mengetahui bagimana perubahan pola konsumsi pangan masyarakat, serta (c) melakukan proyeksi permintaan beberapa jenis pangan untuk mengetahui perkiraan jumlah pangan yang dibutuhkan masyarakat Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia yang diukur dengan pangsa pengeluaran pangan, baik di perkotaan maupun di perdesaan semakin membaik. Terdapat perubahan pola pengeluaran masyarakat dari dominan pada kelompok padi-padian ke kelompok makanan/minuman jadi. Sementara pola pengeluaran untuk kelompok pangan yang lain relatif sama dari tahun ke tahun. Perubahan ini menuntut pengembangan usaha di sektor makanan/minuman jadi sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masyarakat. Usaha makanan/minuman jadi juga harus memperhatikan faktor keamanan pangan, sehingga perlunya pembinaan terutama bagi usaha rumah tangga dan kecil. Hasil analisis lainnya juga menunjukkan bahwa pola konsumsi masyarakat sudah mengarah kepada pola konsumsi anjuran, baik dari segi kebutuhan energi, protein, namun untuk keragaman konsumsi masih perlu ditingkatkan. Pangan dominan masih dari beras sebagai sumber energi dan protein, sementara pangan lokal seperti umbi-umbian, sagu menurun tingkat konsumsinya. Sebaliknya konsumsi terigu dan turunannya meningkat. Diantara pangan sumber protein hewani, konsumsi daging sapi mengalami penurunan selama 15 tahun terakhir. Demikian pula konsumsi gula pasir juga menurun, sebaliknya konsumsi minyak goreng terus meningkat. Peningkatan pendapatan berdampak pada perubahan pola konsumsi pangan yaitu mengurangi pangan sumber karbohidrat dan meningkatkan pangan sumber protein, vitamin dan mineral. Namun perubahan pola konsumsi tidak hanya ditentukan oleh faktor pendapatan tetapi juga pengetahuan masyarakat akan pangan dan gizi. Hasil proyeksi menunjukkan bahwa permintaan pangan pada tahun 2020 pada umumnya masih tinggi terutama pada kelompok menengah, yang jumlahnya masih relatif Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

ii

besar dalam struktur penduduk. Secara agregat, permintaan beras pada tahun 2020 diperkirakan sekitar 16,1 juta ton, sedangkan untuk terigu, kedelai dan gula pasir masingmasing sekitar 2,1 juta ton; 1,9 juta ton dan 2,6 juta ton. Untuk minyak goreng sekitar 3,0 juta ton dan daging sapi diperkirakan sekitar 90,2 ribu ton. Perlu diingatkan lagi bahwa permintaan pangan ini adalah permintaan pangan untuk rumah tangga biasa, dengan kata lain tidak termasuk permintaan hotel, restaurant, catering dan industri. Implikasi kebijakan yang dapat disampaikan adalah mengingat pola konsumsi masyarakat akan berubah seiring dengan perubahan pendapatan, maka pengetahuan masyarakat akan pangan dan gizi harus terus ditingkatkan, sehingga masyarakat hanya akan mengkonsumsi makanan yang berkualitas, yang menyehatkan dan mencerdaskan. Upaya penyadaran ini tidak dapat hanya bersandarkan pada kebijakan pemerintah, namun juga semua elemen, seperti swasta dan masyarakat. Selain itu, perlu adanya edukasi konsumen, khususnya dalam hal mempromosikan produk makanan secara benar dan tidak menyesatkan konsumen. Dalam upaya diversifikasi konsumsi pangan pokok berbasis sumber daya lokal, peran pemerintah harus secara signifikan dapat mewujudkan hal tersebut, seperti peran pemerintah dalam mengalihkan pola makan masyarakat dari beras dan produk terigu ke makanan lokal (umbi-umbian, jagung, sagu). Pemerintah juga harus berperan dalam pengembangan industri pengolahan pangan berbasis sumberdaya lokal dan penyadaran masyarakat. Langkah awal yang dapat dilakukan, salah satu diantaranya adalah pemberian produk olahan berbasis pangan lokal secara gratis oleh pemerintah melalui raskin, pangan darurat dan lainnya. Di samping itu, perlu penyadaran baik kepada media (elektronik/surat kabar) ataupun semua elemen bahwa mengkonsumsi pangan produk lokal bukan karena kelaparan atau miskin.

Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

iii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunia-Nya sehingga Tim Peneliti dapat menyelesaikan laporan Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia tepat pada waktunya. Untuk itu, Tim Peneliti menyampaikan terima kasih kepada semua pihak khususnya para nara sumber dan Pimpinan BP2KP yang telah membantu memberikan arahan, pemikiran, dan berbagai informasi, termasuk memfasilitasi kelancaranan kegiatan kajian ini. Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan pemenuhannya merupakan bagian dari hak azasi manusia yang dijamin di dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pemenuhan kebutuhan pangan juga terkait dengan upaya peningkatan kualitas kesehatan masyarakat sehingga diperoleh kualitas sumberdaya Indonesia yang mempunyai daya saing yang tangguh dan unggul sebagai bangsa. Oleh karena itu, pangan dan gizi berperan sebagai penentu daya saing bangsa, mempunyai peran penting dalam pencapaian Indek Pembangunan Manusia (IPM). Laporan United Nation Development Program tahun 2010 menempatkan Indonesia dalam kelompok medium human development dan menduduki peringkat 108 dari 182 negara. Dengan memahami dan mengetahui bahwa dinamika atau perkembangan konsumsi pangan rumah tangga merupakan salah satu informasi dasar dalam kebijakan pangan, baik dari sisi ekonomi seperti pangsa pengeluaran untuk pangan maupun dinamika komposisi/diversifikasi asupan pangan , maka pemerintah diharapkan akan mampu merumuskan kebijakan pangan yang efektif, baik dari sisi penawaran, permintaan, termasuk kebijakan distribusinya. Sejalan dengan hal ini, Tim Peneliti melakukan suatu kajian untuk menganilisis dinamika konsumsi pangan RT dengan menggunakan data SUSENAS tahun 19892011. Dinamika yang dianalisis antara lain mencakup dinamika pangsa pengeluaran untuk kelompok dan jenis pangan secara spesifik yang dinilai strategis, dinamika komposi dari sisi kontribusi terhadap energi, protein, dan vitamin, dan mineral berdasarkan kolompok masyarakat yang digariskan dalam data SUSENAS. Di samping itu, kajian ini mencoba memberikan proyeksi dinamika konsumsi pangan, baik dari sisi pangsa pengeluaran maupun kandungan nutrisinya. Hasil studi menunjukan bahwa sebagai akibat peningkatan kesejahteraan, ada indikasi perubahan pola konsumsi pangan yaitu mengurangi pangan sumber karbohidrat dan meningkatkan pangan sumber protein, vitamin dan mineral. Hal ini terutama terjadi untuk kelompok masyarakat yang tingkat kesejahteraannya lebih tinggi. Namun perubahan pola konsumsi tidak hanya ditentukan oleh faktor pendapatan tetapi juga pengetahuan masyarakat akan pangan dan gizi. Di samping itu, telah terjadi perubahan pola pengeluaran masyarakat dari dominan pada kelompok padi-padian ke kelompok makanan/minuman jadi. Catatan penting lainnya adalah pola konsumsi masyarakat sudah mengarah kepada pola konsumsi anjuran, baik dari segi kebutuhan energi, protein, namun diversifikasi konsumsi masih perlu ditingkatkan. Ada indikasi konsumsi beras per Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

iv

kapita menurun, namun konsumsi terigu dan turunannya meningkat. Diantara pangan sumber protein hewani, konsumsi daging sapi mengalami penurunan selama 15 tahun terakhir. Tim peneliti berharap hasil kajian ini dapat menjadi salah satu acuan atau masukan dalam perumusan kebijakan pangan baik untuk aspek penawaran, permintaan, dan distribusi Kami juga berharap, hasil kajian ini dapat menjadi referensi untuk kajian-kajian selanjutnya yang berkaitan dengan kebiajkan pangan. Kami menyadari bahwa kajian ini memiliki keterbatasan-keterbatasan, seperti dalam hal ruang lingkup, metode analisis, maupun kualitas data. Oleh sebab itu, masukan-masukan dan kritik konstruktif untuk penyempurnaan kajian ini, sangat kami harapkan.

Jakarta, Juni 2013

Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri

Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

v

DAFTAR ISI

RINGKASAN EKSEKUTIF..............................................................................

i

KATA PENGANTAR .................................................................................... iv DAFTAR ISI ................................................................................................. vi DAFTAR TABEL .......................................................................................... viii DAFTAR GAMBAR ......................................................................................

x

DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xi BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ..........................................................................................

1

1.2. Tujuan Penelitian ......................................................................................

4

1.3. Keluaran Penelitian ..................................................................................

4

1.4. Manfaat Penelitian ....................................................................................

4

1.5. Ruang Lingkup ..........................................................................................

4

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Pangan .........................................................................................

6

2.2. Konsep Ketahanan Pangan ......................................................................

6

2.3. Struktur Pengeluaran Masyarakat.............................................................

9

2.4. Pola Konsumsi Pangan Masyarakat ......................................................... 11 2.5. Pola Pangan Harapan (PPH) .................................................................... 12 2.6. Konsumsi Pangan dari Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS): Kekuatan dan Kelemahan .................................................... 16

BAB III. METODE PENELITIAN 3.1. Sumber dan Jenis Data ............................................................................. 18 3.2. Analisis Data ............................................................................................. 21

BAB IV. KESEJAHTERAAN MASYARAKAT: MEMBAIK ATAU MENURUN 4.1. Pengeluaran Pangan Agregat ................................................................... 23 4.2. Pengeluaran Pangan Menurut Kelompok Pangan ................................... 26

Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

vi

BAB V. KUANTITAS KONSUMSI PANGAN MASYARAKAT : ENERGI DAN PROTEIN 5.1. Konsumsi Masyarakat dari Sisi Kecukupan Konsumsi Energi dan Protein........................................................................................................ 31 5.2. Konsumsi Energi dan Protein Menurut kelompok Pangan dan Pengeluaran .............................................................................................. 35

BAB VI. KUALITAS POLA KONSUMSI PANGAN: HARAPAN DAN KENYATAAN 6.1. Program Diversifikasi Konsumsi Pangan .................................................. 37 6.2. Pencapaian Kualitas Konsumsi Pangan menurut PPH ............................ 39 6.3. Kendala Pencapaian Diversifikasi Pangan Secara Signifikan.................. 41

BAB VII. TINGKAT KONSUMSI DAN PERMINTAAN PANGAN 7.1. Tingkat Konsumsi Pangan ........................................................................ 44 7.2. Proyeksi Kebutuhan Pangan untuk Konsumsi tahun 2020 ...................... 50 7.3. Perspektif Pola Konsumsi Pangan ke Depan ........................................... 55

BAB VIII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN 8.1. Kesimpulan ................................................................................................ 58 8.2. Implikasi Kebijakan .................................................................................... 58

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 60 LAMPIRAN .................................................................................................... 64

Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

vii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1.

Perbedaan Swasembada Pangan dengan Ketahanan Pangan .............

Tabel 2.2.

Perbandingan PPH FAO-RAPA, Meneg.Pangan 1994, dan Deptan

8

2001............................................................................................................

13

Tabel 2.3.

Susunan Pola Pangan Harapan Nasional*) ............................................

14

Tabel 3.1.

Jenis Pangan Menurut Kelompok Pangan ..............................................

19

Tabel 3.2.

Jumlah dan Besaran Kelompok Pengeluaran SUSENAS tahun 1996,1999, 2002, 2005,2008 dan 2011 .........................................

20

Tabel 3.3.

Pengelompokkan Beberapa Jenis Pangan .............................................

21

Tabel 4.1.

Pangsa Pengeluaran Pangan Menurut Kelompok Pengeluaran (%) .....

26

Tabel 4.2.

Pangsa Pengeluaran Beberapa Jenis Pangan Menurut Wilayah (%) ....

29

Tabel 4.3.

Pangsa Pengeluaran Beberapa Kelompok Pangan Menurut Kelompok Pengeluaran (%), 2011 ..............................................................................

30

Tabel 5.1.

Ketersediaan Energi dan Protein, 2006-2011 .........................................

34

Tabel 5.2.

Pangsa Energi dan Protein Beberapa Kelompok Pangan Menurut Wilayah (%)..................................................................................

Tabel 5.3.

Pangsa Energi Kelompok Pangan Menurut Kelompok Pengeluaran, 2011 (%) .....................................................................................................

Tabel 6.1.

Tabel 6.2.

35

36

Perkembangan Kebijakan/Program/Kegiatan Diversifikasi Konsumsi Pangan .......................................................................................................

37

Pola Konsumsi Pangan : Harapan dan Kenyataan .................................

40

Tabel 7.1. Tingkat Konsumsi Pangan : Beras, Umbi-umbian dan Terigu Menurut Wilayah, (kg/kap/th) .....................................................................

45

Tabel 7.2. Tingkat Konsumsi Pangan : Daging, Telur, Susu, dan Kedelai Menurut Wilayah, (kg/kap/th) .....................................................................

47

Tabel 7.3. Tingkat Konsumsi Pangan : Sayuran, Buah-buahan, Gula Pasir dan Minyak Goreng Menurut Wilayah, (kg/kap/th) ..........................................

48

Tabel 7.4. Tingkat Konsumsi Pangan : Beras, Ubi kayu, Ubi jalar, Sagu, Umbi Lainnya dan Terigu Menurut Kelompok Pengeluaran, 2011 (kg/kap/th) ..

49

Tabel 7.5. Tingkat Konsumsi Pangan : Daging, Telur, Susu, dan Kedelai Menurut Kelompok Pengeluaran, 2011 (kg/kap/th)...................................

49

Tabel 7.6. Tingkat Beberapa Komoditas Pangan dan Laju Perubahannya Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

viii

Menurut Kelompok Pengeluaran ...............................................................

51

Tabel 7.7. Proyeksi Jumlah Penduduk (Orang).........................................................

51

Tabel 7.8. Proporsi Penduduk Menurut Kelompok Pengeluaran (Orang) ................

52

Tabel 7.9. Proyeksi Permintaan Beberapa Jenis Pangan untuk Konsumsi Masyarakat (kg/kap/th) ..............................................................

53

Tabel 7.10. Proyeksi Permintaan Beberapa Pangan untuk Konsumsi Masyarakat (ribu ton) .....................................................................................................

53

Tabel 7.11. Proyeksi Permintaan Pangan Menurut Kelompok Pangan, 2020 (kg/kap/th) ..................................................................................................

53

Tabel 7.12. Proyeksi Permintaan: Beras, Terigu, Kedelai dan Gula Pasir Menurut Kelompok Pengeluaran, 2020 (ton) ............................................

54

Tabel 7.13. Proyeksi Permintaan: Minyak Goreng, Daging Sapi, Daging Ayam dan Telur Menurut Kelompok Pengeluaran, 2020 (ton) ............................

54

Tabel 7.14. Capaian Indeks Swasembada Komoditas Pangan Utama 2011-2012...

55

Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

ix

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Pembobotan pada Kelompok Pangan ....................................................

15

Gambar 4.1. Pangsa Pengeluaran Pangan Menurut Wilayah (%) ..............................

24

Gambar 4.2. Pangsa Pengeluaran Beberapa Kelompok Pangan di Perkotaan dan Pedesaan (%)............................................................................................

27

Gambar 4.3. Pangsa Pengeluaran Beberapa Kelompok Pangan di Perkotaan (%) ..

28

Gambar 4.4. Pangsa Pengeluaran Beberapa Kelompok Pangan di Pedesaan (%) ..

28

Gambar 5.1. Konsumsi Energi Menurut Wilayah ........................................................

31

Gambar 5.2. Konsumsi Protein Menurut Wilayah .......................................................

32

Gambar 5.3. Pangsa Konsumsi Protein Hewani Menurut Wilayah .............................

34

Gambar 6.1. Kualitas Konsumsi Pangan Menurut PPH ..............................................

40

Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

x

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Pangsa Pengeluaran Pangan Menurut Wilayah (%) ..............................

65

Lampiran 2. Tingkat Konsumsi Energi dan Protein Menurut Wilayah (%) .................

65

Lampiran 3. Pola Konsumsi Pangan Menurut PPH ...................................................

65

Lampiran 4. Perkembangan Tingkat Konsumsi Beras, Terigu, Kedelai, Gula pasir dan Minyak Goreng Menurut Kelompok Pengeluaran Tahun 2006-2011 ......................................................................................

66

Lampiran 5. Perkembangan Tingkat Konsumsi Daging Sapi, Daging Ayam dan Telur ...................................................................................................

67

Lampiran 6. Perkembangan Tingkat Konsumsi Daging Sapi, Daging Ayam dan Telur ...................................................................................................

68

Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

xi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan pemenuhannya merupakan bagian dari hak azasi manusia yang dijamin di dalam Undang-Undang Dasar Negara Indonesia tahun 1945. Pemenuhan kebutuhan pangan juga terkait dengan upaya peningkatan kualitas kesehatan masyarakat sehingga diperoleh kualitas sumberdaya Indonesia yang mempunyai daya saing tangguh dan unggul sebagai bangsa. Sumber daya manusia (SDM) berkualitas digambarkan sebagai manusia sehat yang cerdas, produktif dan mandiri (Menkes, 2005). Untuk menjadi sehat, syarat utama yang diperlukan adalah SDM dapat mengkonsumsi pangan sesuai kebutuhan proses basal metabolisme tubuh. Dalam hal ini pangan berfungsi sebagai sumber energi dan zat gizi lain yang dibutuhkan tubuh untuk pekerjaan dan prosesproses dalam tubuh (Suhardjo, dkk; 2006). Pangan dan gizi berperan sebagai penentu daya saing bangsa, mempunyai peran penting dalam pencapaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Laporan United Nation Development Program (UNDP, 2010) dalam Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi (RANPG) 2011-2015 menunjukkan bahwa IPM Indonesia dikategorikan dalam medium human development dan menduduki peringkat 108 dari 182 negara, lebih rendah dibandingkan beberapa negara ASEAN, seperti Malaysia, Thailand atau Filipina (BAPPENAS, 2011). Pada saat ini secara global di berbagai negara sedang mengalami krisis. Salah satu potensi krisis yang memiliki dampak serius adalah ancaman terjadinya krisis pangan global. Isu kelangkaan pangan dunia (world food crisis) saling berkaitan erat dengan isu perubahan iklim global (global climate changes) dan dinamika ekonomi global, yang dicirikan oleh krisis ekonomi di negara-negara maju dan volatilitas harga pangan serta energi (Menteri Pertanian, 2012). Permasalahan global ini pasti mempunyai pengaruh pada kondisi ketahanan pangan domestik, karena saat ini tidak ada satu negarapun yang dapat mengisolasi diri dari komunitas dunia. Menurut Firmansyah (2012), perekonomian Indonesia pada tahun 2012 telah menerima dampak atas pelemahan ekonomi global. Secara akumulatif Januari-November 2012, defisit Neraca Perdagangan Indonesia (NPI) mencapai 1,33 miliar dollar AS dengan nilai impor mencapai 176,09 miliar dollar AS dan ekspor sebesar 174,76 miliar dollar AS. Potensi ancaman krisis dunia tahun 2013 masih tetap tinggi yang bersumber pada pemulihan krisis di zona Eropa dan pelemahan ekonomi Amerika Serikat akibat program pengetatan belanja publik dan kenaikan pajak. Selain itu, akibat adanya perubahan iklim dan cuaca ikut meningkatkan volatilitas harga pangan dunia. Pada beberapa waktu yang lalu, ekonomi Indonesia mendapatkan ujian dari meningkatnya harga sejumlah komoditas pangan dunia seperti kedelai akibat tidak tercapainya target produksi negara penghasil utama. Salah satu faktor yang menyebabkan hal ini yaitu kekeringan yang terjadi di Amerika Serikat ditambah dengan aksi borong negara importir untuk mengamankan pasokan dalam negerinya. Resiko akan hal ini masih akan tetap tinggi mengingat unpredictability perubahan iklim dan cuaca pada 2013.

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

1

Padahal sampai saat ini masalah kerawanan pangan masih merupakan isu penting yang harus segera ditangani. Pada skala dunia, diperkirakan lebih dari 900 juta penduduk dunia masih terancam kelaparan dan rawan pangan (FAO, 2010). Di Indonesia, selama tahun 1996-2008 proporsi rumah tangga yang mengalami rawan pangan pada tahun 1999 sebesar 14,2% dan pada tahun 2008 masih sebesar 8,7%. Bila dikaitkan dengan dinamika perekonomian selama kurun waktu tersebut, masih tingginya proporsi rumah tangga rawan pangan tidak terlepas dari pengaruh krisis ekonomi tahun 1997/1998 dan kenaikan harga bahan bakar minyak pada tahun 2005. Krisis ekonomi menyebabkan penurunan konsumsi pangan secara kuantitas dan kualitas (Ariani, dkk; 2000). Hasil penelitian yang dilakukan Hardono (2012) menggunakan data mikro pada rumah tangga petani di beberapa provinsi menunjukkan bahwa jumlah rumah tangga petani yang rawan pangan mengalami peningkatan dari 28,1%(2007) menjadi 60,3% (2010). Pemenuhan kecukupan pangan bagi setiap warga negara Indonesia merupakan kewajiban bersama pemerintah dan masyarakat, baik secara moral, sosial, maupun hukum, karena pangan merupakan salah satu hak asasi manusia yang sangat esensial. Pemenuhan kecukupan pangan perseorangan merupakan esensi dari ketahanan pangan, dan dicerminkan oleh tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau dengan harga yang wajar, serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Pembangunan ketahanan pangan sangat penting bagi Indonesia yang mempunyai penduduk dalam jumlah besar, Kebutuhan pangan nasional akan terus bertambah dari tahun ke tahun sebagai akibat jumlah penduduk yang terus meningkat. Jumlah penduduk tahun 2010 sebesar 237,5 juta jiwa, dimana 53,45% berada di Pulau Jawa dengan laju pertumbuhan sebesar 1,49% (BPS, 2011). Diperkirakan pada tahun 2020, penduduk Indonesia berjumlah 250 juta. Di Indonesia, sektor pertanian memiliki peran strategis sebagai lokomotif pembangunan nasional karena berkontribusi secara nyata dalam penyediaan pangan bagi lebih dari 245 juta penduduk Indonesia dan secara empiris telah terbukti mampu meredam dari krisis pangan. Pada triwulan II tahun ini (2012), sektor pertanian menyediakan 87% bahan baku industri kecil dan menegah, penyumbang produk domestik bruto (PDB) sebesar 14,72%, menghasilkan devisa negara (US$ 43,37 M), menyerap 33,32% total tenaga kerja, dan 70% penduduk menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian (Pidato Pengarahan Kementerian Pertanian, 2012). Kebijakan pembangunan pertanian nasional yang dituangkan dalam Rencana Strategis Kementerian Pertanian Tahun 2010–2014, diarahkan untuk mencapai empat target sukses, yaitu: (1) Pencapaian swasembada untuk komoditas kedelai, daging, gula dan swasembada berkelanjutan untuk komoditas beras dan jagung; (2) Peningkatan diversifikasi pangan; (3) Peningkatan nilai tambah, daya saing, dan ekspor, (4) Peningkatan kesejahteraan petani. Telah disadari bahwa untuk mencapai program tersebut, tidaklah mudah karena masih terdapat beberapa permasalahan mendasar untuk pembangunan pertanian dan peningkatan ketahanan pangan. Permasalahan mendasar seperti telah disebutkan terdahulu, adalah: (1) Meningkatnya kerusakan lingkungan dan perubahan iklim global, (2) terbatasnya ketersediaan infrastruktur, sarana prasarana, lahan, dan air, (3) status dan luas kepemilikan lahan (9,55 Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

2

juta KK < 0.5 Ha), (4) lemahnya sistem perbenihan dan perbibitan nasional, (5) keterbatasan aksesibilitas petani terhadap permodalan, (6) lemahnya kapasitas dan kelembagaan petani dan penyuluh, (7) belum berjalannya diversifikasi pangan dengan baik, dan (8) belum terpadunya kebijakan antarsektor dalam pembangunan pertanian (Rencana Strategis Kementerian Pertanian, 2009). Hasil analisis yang dilakukan oleh Sumaryanto (2009), kendala utama yang dihadapi dalam peningkatan ketersediaan produksi pangan per kapita adalah: (1) pertumbuhan luas panen sangat terbatas karena (a) laju perluasan lahan pertanian baru sangat rendah dan (bi) konversi lahan pertanian ke non pertanian sulit dikendalikan, (c) degradasi sumberdaya air dan kinerja irigasi serta turunnya tingkat kesuburan fisik dan kimia lahan pertanian; dan (2) adanya gejala kemandegan dalam pertumbuhan produktivitas. Perubahan iklim yang terjadi saat ini yang mengakibatkan perubahan pola tanam, perubahan pola hujan sehingga waktu kapan akan terjadi musim kering atau musim hujan sulit diprediksi, munculnya hama/penyakit tanaman yang tidak terprediksi dan lainnya. Perubahan beberapa faktor ini, berdampak pada sulitnya pencapaian produksi pangan sesuai yang telah dicanangkan. Sehingga Kementerian Pertanian terpaksa melakukan revisi target produksi tahun 2012 seperti target produksi padi diturunkan dari 71 juta ton menjadi 67,8 juta ton dan pada tahun 2013, yang target awalnya 73,3 juta ton diturunkan menjadi 72,0 juta ton. Penurunan target juga terjadi pada komoditas jagung, kedelai dan gula. Penurunan target produksi tersebut juga disebabkan belum adanya tambahan lahan seperti dijanjikan Badan Pertanahan Nasional yang menjanjikan akan menyediakan lahan sekitar dua juta hektar untuk dapat ditanami produk pertanian. Menyikapi berbagai kendala tersebut, maka mengharuskan melakukan pemanfaatkan sumberdaya pertanian dan pangan secara efisien dan optimal dengan memperhatikan potensi lahan, tingkat kesuburan lahan dan pola permintaan pangan. Pertimbangan ini dilakukan dengan harapan pangan yang dibutuhkan semaksimal mungkin diperoleh dari produksi sendiri atau produksi dalam negeri. Pola konsumsi pangan masyarakat akan berbeda dan berubah dari waktu ke waktu. Pola konsumsi pangan antara daerah satu dengan daerah lainnya dapat berbeda tergantung dari lingkungannya termasuk sumber daya dan budaya setempat, selera dan pendapatan masyarakat. Demikian pula pola konsumsi pangan juga akan berubah dari waktu ke waktu yang dipengaruhi oleh perubahan pendapatan, perubahan kesadaran masyarakat akan pangan dan gizi, serta perubahan gaya hidup. Dengan demikian, perubahan-perubahan tersebut, baik antar daerah maupun antar waktu akan menentukan perubahan jumlah pangan yang harus disediakan dan upaya pendistribusiannya agar harga pangan tersebut dapat dijangkau masyarakat dengan harga yang wajar. Oleh karena itu, pemanfaatan atau konsumsi pangan merupakan salah satu entry point dan sub sistem untuk memantapkan ketahanan pangan. Dengan mengetahui pola konsumsi pangan masyarakat, maka akan dapat disusun kebijakan penyediaan pangan, baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri (impor). Kebijakan produksi pangan mencakup besaran volume dan jenis pangan yang mampu diproduksi dengan memperhatikan sumberdaya lahan, air, teknologi dan sarana pendukung lainnya. Dengan memperhatikan potensi produksi dan permintaan pangan akan dapat ditetapkan jumlah dan jenis pangan yang harus disediakan . Selain itu dengan mengetahui perubahan konsumsi pangan masyarakat juga dapat disusun kebijakan harga dan distribusi pangan agar Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

3

masyarakat dapat menjangkau pangan yang tersedia dengan harga yang wajar. Dengan demikian, kebijakan-kebijakan yang disusun dengan mempertimbangkan aspek sumberdaya dan pola permintaan pangan masyarakat tersebut merupakan upaya untuk mencapai kemandirian pangan, seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang (UU) No. 18 tahun 2012 tentang Pangan. Dalam UU ini disebutkan kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri dapat menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup sampai di tingkat perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat. 1.2. Tujuan Penelitian Secara umum tujuan penelitian ini adalah menganalisis dinamika atau perkembangan pola konsumsi pangan masyarakat. Secara khusus, tujuan penelitian ini adalah : a. Menganalisis dinamika struktur pengeluaran pangan masyarakat untuk mengetahui bagaimana perubahan tingkat kesejahteraan masyarakat. b. Menganalisis dinamika konsumsi energi, protein dan kualitas konsumsi pangan untuk mengetahui bagaimana perubahan pola konsumsi pangan masyarakat. c. Melakukan proyeksi permintaan beberapa pangan untuk konsumsi untuk mengetahui perkiraan jumlah pangan yang dibutuhkan masyarakat. 1.3. Keluaran Penelitian Penelitian ini diharapkan menghasilkan keluaran sebagai berikut: a. Struktur pengeluaran masyarakat dengan pola konsumsi masyarakat. b. Informasi mengenai perubahan pola konsumsi masyarakat. c. Rumusan usulan kebijakan dalam rangka mendukung upaya perubahan pola konsumsi pangan. 1.4. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini di harapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: a. Memberikan gambaran terhadap perubahan pola konsumsi masyarakat berdasarkan struktur pengeluaran. b. Sebagai bahan masukan bagi para perumus kebijakan dalam upaya mendukung perubahan pola konsumsi masyarakat. 1.5. Ruang Lingkup Bahasan dinamika atau perkembangan analisis konsumsi pangan masyarakat mencakup kurun waktu tahun 1996 sampai tahun 2011 atau perkembangan 15 tahun terakhir. Ruang lingkup konsumsi pangan masyarakat yang dianalisis adalah: a. Pengeluaran pangan yang dibedakan antara pengeluaran pangan secara total, pengeluaran menurut kelompok pangan dan beberapa komoditas tertentu; Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

4

b. Tingkat konsumsi energi dan protein serta pangsa protein hewani; c. Kualitas konsumsi pangan dengan pendekatan Pola Pangan Harapan (PPH); dan d. Tingkat konsumsi beberapa jenis pangan. Analisis konsumsi rumah tangga dibedakan menurut agregat nasional (kota+Desa), wilayah (kota/desa) dan kelompok pengeluaran sebagai proksi pendapatan masyarakat. Selain itu, juga dilakukan proyeksi permintaan untuk beberapa pangan sampai tahun 2020 menurut agregat nasional dan kelompok pendapatan.

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Pangan Dalam Undang Undang (UU) No. 7 tahun 1996 tentang Pangan bahwa pangan didefinisikan sebagai “segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman”. Namun dalam UU Pangan yang baru yaitu UU No. 18 tahun 2012 tentang Pangan, pengertian pangan lebih diperluas terutama dalam hal ruang lingkup jenis pangannya. Dalam UU Pangan tersebut, pangan didefinisikan sebagai “segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyimpanan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan dan minuman”. Perubahan konsep pangan yang secara eksplisit menyebutkan cakupan pangan dalam arti luas dapat diartikan dalam perumusan kebijakan pangan harus proposional antara komoditas pangan yang satu dengan komoditas pangan yang lainnya. Kebijakan pangan yang disusun tidak mengakibatkan matinya kinerja pangan lainnya. Sebagai contoh, kebijakan pemerintah yang bias pada komoditas padi, sehingga sebagian besar dana pemerintah hanya untuk melaksanakan kebijakan tersebut. Sementara, kebijakan pangan lainnya seperti umbi-umbian (sagu) seolah-olah dibiarkan dan terlupakan. 2.2. Konsep Ketahanan Pangan Konsep ketahanan pangan (food security) dikenal luas sekitar tahun 1980-an untuk menggantikan konsep food policy yang diperkenalkan pada awal tahun 1970-an ketika terjadi krisis pangan melanda dunia. Dalam perkembangannya, konsep ketahanan pangan mengalami perubahan dan bervariasi. Hasil studi pustaka yang dilakukan oleh IFPRI (1999) dalam Hanani (2009) diperkirakan terdapat 200 definisi dan 450 indikator tentang ketahanan pangan. Beberapa definisi ketahanan pangan yang sering digunakan sebagai berikut: a. USAID (1992): kondisi ketika semua orang pada setiap saat mempunyai akses secara fisik dan ekonomi untuk memperoleh kebutuhan konsumsinya untuk hidup sehat dan produktif. b. FAO (1997): situasi dimana semua rumah tangga mempunyai akses baik fisik maupun ekonomi untuk memperoleh pangan bagi seluruh anggota keluarganya, dimana rumah tangga tidak beresiko mengalami kehilangan kedua akses tersebut. c. FIVIMS (2005): kondisi ketika semua orang pada segala waktu secara fisik, sosial dan ekonomi memiliki akses pada pangan yang cukup, aman dan bergizi untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi dan sesuai dengan seleranya (food preferences) demi kehidupan yang aktif dan sehat.

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

6

d. Mercy Corps (2007): keadaan ketika semua orang pada setiap saat mempunyai akses fisik, sosial, dan ekonomi terhadap kecukupan pangan, aman dan bergizi untuk kebutuhan gizi sesuai dengan seleranya untuk hidup produktif dan sehat. Di Indonesia sesuai dengan UU No. 7 Tahun 1996, pengertian ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan secara cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Dengan pengertian tersebut, dalam mewujudkan ketahanan pangan diharapkan dapat terpenuhinya pangan sebagai berikut: (a) kondisi ketersediaan yang cukup, diartikan ketersediaan pangan dalam arti luas, mencakup pangan yang berasal dari tanaman,ternak, dan ikan untuk memenuhi kebutuhan atas karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral serta turunannya, yang bermanfaat bagi pertumbuhan kesehatan manusia; (b) kondisi yang aman, diartikan bebas dari cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia, serta aman dari kaidah agama; (c) kondisi yang merata, diartikan pangan yang harus tersedia setiap saat dan merata di seluruh tanah air dan (d) kondisi terjangkau, diartikan pangan mudah diperoleh rumah tangga dengan harga yang terjangkau (Hanani, tanpa tahun) Dalam UU Pangan yang baru yaitu No. 18 tahun 2012, definisi ketahanan pangan adalah sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Dengan definisi ketahanan pangan yang baru ini, maka cakupan ketahanan pangan lebih luas, selain unsur-unsur yang telah diuraikan dalam UU No. 7 tahun 1996, juga secara eksplisit dapat terpenuhinya: (a) pangan tidak hanya secara agregat wilayah tetapi terpenuhinya pangan juga sampai tingkat individu, (b) pangan yang beragam dan bergizi, tidak hanya mencakup ragam pangan pokok tetapi juga pangan secara keseluruhan. Diversifikasi atau penganekaragaman pangan juga menjadi hal yang harus dipenuhi dalam konsep ini dalam upaya untuk mencapai status gizi masyarakat yang baik, (c) pangan yang disajikan tidak hanya pangan yang tidak diperbolehkan atau yang bertentangan dengan agama tetapi juga yang berentangan dengan keyakinan dan budaya setempat, serta (d) pangan harus tersedia secara berkelanjutan atau terus menerus sepanjang waktu. Ketahanan pangan nasional tidak mensyaratkan untuk melakukan swasembada produksi pangan karena tergantung pada sumberdaya yang dimiliki. Suatu negara bisa menghasilkan dan mengekspor komoditas pertanian yang bernilai ekonomi tinggi dan barang-barang industri, kemudian membeli komoditas pangan di pasar internasional. Namun demikian, dalam UU Pangan yang baru sangat ditekankan dalam mencapai ketahanan pangan harus berbasis kemandirian pangan dan kedaulatan pangan. Seperti tertuang dalam Pasal 3, disebutkan bahwa penyelenggaraan pangan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang memberikan manfaat secara adil, merata, dan berkelanjutan berdasarkan Kedaulatan Pangan, Kemandirian Pangan, dan Ketahanan Pangan. Definisi kedaulatan pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan pangan yang menjamin hak atas pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal. Sementara itu, kemandirian pangan adalah kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

7

yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup sampai di tingkat perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat. Sampai saat ini di Indonesia, banyak kalangan praktis dan birokrat kurang memahami pengertian swasembada pangan dengan ketahanan pangan. Akibat dari keadaan tersebut konsep ketahanan pangan seringkali diidentikkan dengan peningkatan produksi ataupun penyediaan pangan yang cukup. Swasembada pangan umumnya merupakan capaian peningkatan ketersediaan pangan dengan wilayah nasional, sedangkan ketahanan pangan lebih mengutamakan akses setiap individu untuk memperoleh pangan yang bergizi untuk sehat dan produktif. Hanani (2009) membuat perbedaan antara swasembada pangan dengan ketahanan pangan mulai dari ruang lingkup, sasaran, strategi, output dan outcome. Perbedaan kedua hal tersebut disajikan pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1. Perbedaan Swasembada Pangan dengan Ketahanan Pangan Indikator Lingkup Sasaran Strategi

Swasembada Pangan Nasional Komoditas pangan Subsitusi impor

Output

Peningkatan produksi pangan Kecukupan pangan oleh produk domestik

Outcome

Ketahanan Pangan Rumah tangga dan individu Manusia Peningkatan ketersediaan pangan, akses pangan, dan penyerapan pangan Status gizi (penurunan : kelaparan, gizi kurang dan gizi buruk) Manusia sehat dan produktif (angka harapan hidup tinggi)

Sumber : Hanani (2009)

Ketahanan pangan mencakup tiga dimensi yaitu: (a) ketersediaan pangan (food availability), (b) akses/distribusi pangan (access to sufficient food), dan (c) pemanfaatan/konsumsi pangan (utilization of food, which is related to cultural practices). Namun ketiga dimensi tersebut dilakukan dalam upaya menjaga stabilitas pangan (stability of food stock). Oleh karena itu, ketiga dimensi tersebut sering digunakan untuk mengukur pencapaian ketahanan pangan. Ketersediaan pangan diartikan bahwa pangan tersedia cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduk, baik jumlah maupun mutunya, serta aman, sedangkan distribusi pangan diartikan pasokan pangan dapat menjangkau seluruh wilayah sehingga harga stabil dan terjangkau oleh rumah tangga. Konsumsi, yaitu setiap rumah tangga dapat mengakses pangan yang cukup dan mampu mengelola konsumsi kaidah gizi dan kesehatan, serta preferensinya. Terwujudnya ketahanan pangan merupakan sinergi dan interaksi dari ketiga dimensi tersebut.. Ketersediaan pangan mencakup aspek produksi, cadangan serta keseimbangan antara ekspor dan impor pangan. Ketersediaan pangan harus dikelola sedemikian rupa, sehingga walaupun produksi pangan bersifat musiman, terbatas dan tersebar antar wilayah, volume pangan yang tersedia bagi masyarakat harus cukup jumlah dan jenisnya, serta stabil penyediaannya dari waktu ke waktu. Ketersediaan pangan di suatu daerah atau negara ditentukan oleh beberapa faktor seperti keragaan produksi pangan, tingkat kerusakan, dan kehilangan pangan karena penanganan yang kurang tepat, serta tingkat ekspor dan impor Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

8

pangan. Ketersediaan pangan harus dipertahankan sama atau lebih besar daripada kebutuhan penduduk terhadap pangan. Ketersediaan pangan yang cukup di suatu wilayah (pasar) tidak dapat menjamin tersedianya pangan di tingkat rumah tangga, karena tergantung pada kemampuan rumah tangga dalam mengakses pangan, dalam arti fisik (daya jangkau) maupun ekonomi (daya beli). Oleh karena itu, dalam konsep ketahanan pangan mengamanakan tersedianya pangan yang dapat dijangkau sampai tingkat perseorangan. Penyediaan pangan yang cukup, beragam, bergizi dan berimbang, baik secara kuantitas maupun kualitas, merupakan fondasi yang sangat penting dalam pembangunan sumber daya manusia suatu bangsa. Kekurangan pangan berpotensi memicu keresahan dan berdampak pada masalah sosial, keamanan, dan ekonomi. Distribusi pangan mencakup aspek aksesibilitas atas pangan secara merata, baik secara fisik maupun ekonomi. Hal ini berarti bahwa sistem distribusi bukan semata-mata mencakup aspek fisik dalam arti pangan tersedia di semua lokasi yang membutuhkan, tetapi juga menyangkut keterjangkauan ekonomi yang dicerminkan oleh harga dan daya beli masyarakat. Meskipun ketersediaan pangan secara mikro/nasional maupun per kapita mencukupi, namun belum tentu setiap rumah tangga memiliki akses yang nyata secara sama. Dengan demikian surplus pangan di tingkat wilayah belum menjamin kecukupan pangan bagi individu. Selain aspek ekonomi, fisik dan sosial, kelancaran distribusi pangan juga dipengaruhi oleh sarana dan prasarana seperti keadaan jalan, transportasi, kondisi pasar dan kelembagaan pasar dan lainnya. Konsumsi pangan menyangkut upaya peningkatan pengetahuan dan kemampuan masyarakat agar mempunyai kemampuan atas pangan, gizi, dan kesehatan yang baik, sehingga dapat mengelola konsumsinya secara optimal. Konsumsi pangan hendaknya memperhatikan konsumsi pangan dan gizi yang cukup dan seimbang sesuai dengan kebutuhan bagi pembentukan manusia yang sehat, kuat, cerdas, dan produktif. Konsumsi pangan dengan gizi cukup dan seimbang merupakan salah satu faktor penting yang menentukan tingkat kesehatan dan intelegensia manusia. Volume dan kualitas konsumsi pangan dan gizi dalam rumah tangga dipengaruhi oleh kondisi ekonomi, pengetahuan, dan budaya masyarakat. Keragaman sumberdaya alam dan keanekaragaman hayati yang dimiliki Indonesia merupakan potensi yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung peningkatan konsumsi masyarakat menuju pangan yang beragam dan bergizi seimbang. Berbagai sumber pangan lokal dan makanan tradisional yang dimiliki oleh seluruh wilayah, masih dapat dikembangkan untuk memenuhi keanekaragaman pangan masyarakat pada wilayah yang bersangkutan. 2.3. Struktur Pengeluaran Masyarakat Aspek yang terkait dengan tingkat pendapatan adalah tingat pengeluaran masyarakat, secara umum diketahui bahwa tingkat pendapatan mempengaruhi pola dan tingkat pengeluaran (Nurmanaf, dkk; 2000). Penelitian Sudaryanto, dkk (1999) membuktikan bahwa tingkat pendapatan mempunyai hubungan negatif dengan porsi pengeluaran pangan. Semakin tinggi tingkat pendapatan rumah tangga semakin rendah porsi pengeluaran pangan. Menurut Pakpahan, dkk (1993) disebutkan bahwa ada hubungan antara porsi atau pangsa pengeluaran pangan dengan ketahanan pangan rumah tangga. Pangsa pengeluaran pangan berhubungan terbalik dengan ketahanan pangan, semakin besar

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

9

pangsa pengeluaran pangan maka semakin rendah ketahanan rumah tangga yang bersangkutan. Secara garis besar, kebutuhan rumah tangga dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori besar, yaitu kebutuhan pangan dan bukan pangan. Dengan demikian pada tingkat pendapatan tertentu, rumah tangga akan mengalokasikan pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Secara alamiah, kebutuhan pangan akan mencapai titik jenuh sementara kebutuhan non-pangan termasuk kualitas pangan tidak demikian halnya. Menurut Badan Pusat Statistik-BPS (2008) data konsumsi dan pengeluaran dapat digunakan untuk penelitian penerapan hukum ekonomi. Seperti yang diungkapkan oleh Ernest Engel, dalam Salvatore (2006), yang dikenal sebagai Hukum Engel bahwa bila selera tidak berbeda maka persentase pengeluaran untuk pangan akan menurun dengan meningkatnya pendapatan. Oleh karena itu, komposisi pengeluaran rumahtangga dapat dijadikan ukuran guna menilai tingkat kesejahteraan ekonomi penduduk, makin rendah persentase pengeluaran untuk pangan terhadap total pengeluaran makin membaik tingkat perekonomian penduduk. Sebaliknya, semakin besar pangsa pengeluaran pangan semakin kurang sejahtera rumahtangga yang bersangkutan. Dalam kondisi pendapatan terbatas maka pemenuhan kebutuhan makanan akan didahulukan, sehingga pada kelompok masyarakat yang berpendapatan rendah akan terlihat sebagian besar pendapatan mereka digunakan untuk membeli pangan. Proporsi antara pengeluaran pangan dan bukan pangan juga digunakan sebagai indikator untuk menentukan tingkat kesejahteraan atau ketahanan pangan rumah tangga atau masyarakat. Semakin tinggi pangsa pengeluaran pangan suatu rumah tangga, rumah tangga tersebut semakin rawan pangan (Melgar-Quinonez et al, 2006). Secara lebih detail, menurut Soekirman (2000), rumah tangga dengan proporsi pengeluaran pangan ≥60% dapat dikategorikan rawan pangan dan sebaliknya, rumah tangga dengan proporsi pengeluaran pangan <60% dikategorikan tahan pangan. Menurut hukum Working (dalam Pakpahan, 2012) menyatakan bahwa proporsi pengeluaran rumah tangga untuk bermacam jenis pengeluaran tidak bervariasi sesuai dengan tingkat pendapatan, ukuran keluarga dan tabungan. Selanjutnya dikatakan oleh Pakpahan (2012) bahwa proporsi total pengeluaran rumahtangga untuk pangan cenderung menurun secara aritmetik sejalan dengan peningkatan pendapatan yang bergerak secara geometrik. Dalam arti semakin kaya suatu rumah tangga makin kecil proporsi pengeluaran rumah tangga untuk pangan. Sebagai ilustrasi, proporsi pengeluaran rumah tangga di Amerika Serikat pada tahun 1996 adalah 9,73%, sedangkan proporsi pengeluaran rumah tangga di Indonesia pada tahun 1993 sebesar 63,4% menjadi 70,2% pada tahun 1999. Hardono (2012), pengeluaran pangan menjadi titik masuk (entry point) untuk melihat aspek pemanfaatan pangan dalam rumah tangga. Melalui proses transformasi, informasi mengenai pengeluaran pangan akan diubah menjadi informasi konsumsi energi. Oleh karena itu kecukupan energi akan berkorelasi dengan tingkat pengeluaran pangan. Badan Pusat Statistik mengelompokkan pengeluaran menjadi dua kelompok yaitu pengeluaran untuk pangan dan pengeluaran untuk barang-barang bukan pangan. Pada umumnya pengetahuan tentang pengeluaran ini digunakan sebagai indikator untuk menggambarkan tingkat pendapatan rumah tangga, dikarenakan pengukuran dan pengumpulan data pendapatan lebih sulit. Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

10

Pemerintah terus berusaha untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui berbagai program yang dilaksanakan setiap tahunnya. Usaha ini membawa hasil yang ditunjukkan dengan semakin rendahnya pangsa pengeluaran pangan. Secara agregat, pangsa pengeluaran, sudah dibawah 60%. Namun pembangunan perekonomian, tampaknya masih belum merata, bias pada masyarakat perkotaan, sehingga kesejahteraan mereka lebih baik dibandingkan masyarakat pedesaan. Oleh karena itu, pembangunan perekonomian ke depan lebih memprioritaskan pada masyarakat pedesaan, yang sebenarnya adalah masyarakat petani. 2.4. Pola Konsumsi Pangan Masyarakat Suatu makanan memenuhi selera atau tidak bukan hanya ditentukan oleh fisik pangan, akan tetapi karena pengaruh sosial budaya. Faktor penting dalam pemilihan pangan adalah flavor yang meliputi bau, tekstur, dan suhu. Penampilan yang meliputi warna dan bentuk juga akan mempengaruhi sikap terhadap pangan. Selain pengaruh reaksi indera terhadap pemilihan pangan (warna atau bentuk), kesukaan pribadi semakin terpengaruh oleh pendekatan melalui media radio, televisi, pamflet, iklan dan bentuk media masa lain (Suhardjo 1989). Menurut Elizabeth dan Sanjur (1981) yang diacu dalam Suhardjo (1989), ada tiga faktor utama yang mempengaruhi konsumsi pangan yaitu karakteristik individu, karakteristik pangan, dan karakteristik lingkungan. Karakteristik individu seperti umur, jenis kelamin, pendidikan, pendapatan, pengetahuan gizi, keterampilan memasak dan kesehatan. Sementara itu karakteristik pangan seperti rasa, rupa, tekstur, harga, tipe makanan, bentuk, bumbu dan kombinasi makanan. Karakteristik lingkungan yang mempengaruhi preferensi konsumsi panga adalah musim, pekerjaan, mobilitas, perpindahan penduduk dan tingkat sosial pada masyarakat. Menurut Suryana (tanpa tahun), penganekaragaman konsumsi pangan dan gizi dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain: (a) faktor yang bersifat internal (individual), seperti pendapatan, preferensi, keyakinan (budaya dan religi), serta pengetahuan gizi, maupun (b) faktor eksternal seperti faktor agro-ekologi, produksi, ketersediaan dan distribusi, anekaragam pangan, serta promosi/iklan. Konsumsi pangan adalah informasi mengenai jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang (keluarga atau rumah tangga) pada waktu tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa telaahan terhadap konsumsi pangan dapat ditinjau dari aspek jenis pangan yang dikonsumsi dan jumlah pangan yang dikonsumsi. Susunan jenis pangan yang dapat dikonsumsi berdasarkan kriteria tertentu disebut pola konsumsi pangan (Martianto 1992). Pola konsumsi pangan adalah jenis dan frekuensi beragam pangan yang biasa dikonsumsi, biasanya berkembang dari pangan setempat atau dari pangan yang telah ditanam di tempat tersebut untuk jangka waktu yang panjang (Suhardjo 1996). Sanjur (1982) menyatakan jumlah pangan yang tersedia di suatu wilayah akan berpengaruh terhadap pola konsumsi pangan. Pola konsumsi masyarakat dapat menggambarkan alokasi dan komposisi atau bentuk konsumsi yang berlaku secara umum pada anggota masyarakat. Konsumsi dapat diartikan sebagai kegiatan untuk pemenuhan kebutuhan atau keinginan saat ini guna meningkatkan kesejahteraannya. Dengan demikian, alokasi konsumsi sangat tergantung pada definisi dan persepsi masyarakat mengenai kebutuhan dan kendala yang mereka hadapi.

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

11

Menurut Hattas (2011), faktor-faktor yang mempengaruhi pola konsumsi, diantaranya: (a) tingkat pendapatan masyarakat, tingkat pendapatan dapat digunakan untuk dua tujuan yaitu konsumsi dan tabungan. Besar kecilnya pendapatan yang diterima seseorang akan mempengaruhi pola konsumsi. Semakin besar tingkat pendapatan seseorang, biasanya akan diikuti dengan tingkat konsumsi yang tinggi, sebaliknya tingkat pendapatan yang rendah akan diikuti dengan tingkat konsumsi yang rendah pula; (b) selera konsumen, Setiap orang memiliki keinginan yang berbeda dan ini akan mempengaruhi pola konsumsi. Konsumen akan memilih satu jenis barang untuk dikonsumsi dibandingkan jenis barang lainnya; (c) harga barang, Jika harga suatu barang mengalami kenaikan, maka konsumsi barang tersebut akan mengalami penurunan. Sebaliknya jika harga suatu barang mengalami penurunan, maka konsumsi barang tersebut akan mengalami kenaikan; (d) tingkat pendidikan masyarakat, Tinggi rendahnya pendidikan masyarakat akan mempengaruhi terhadap perilaku, sikap dan kebutuhan konsumsinya; (e) jumlah keluarga, Besar kecilnya jumlah keluarga akan mempengaruhi pola konsumsinya dan (f) lingkungan, keadaan sekeliling dan kebiasaan lingkungan akan mempengaruhi perilaku konsumsi pangan masyarakat setempat. 2.5. Pola Pangan Harapan (PPH) FAO-RAPA (1989) mendefinisikan Pola Pangan Harapan (PPH) sebagai “komposisi kelompok pangan utama yang bila dikonsumsi dapat memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi lainnya”. PPH merupakan susunan beragam pangan yang didasarkan atas proporsi keseimbangan energi dari berbagai kelompok pangan untuk memenuhi kebutuhan gizi, baik dalam jumlah maupun mutu dengan mempertimbangkan segi daya terima, ketersediaan pangan, ekonomi, budaya dan agama. Mutu konsumsi pangan penduduk dapat dinilai dari skor pangan (dietary score)/skor PPH. Semakin tinggi skor PPH, konsumsi pangan semakin beragam dan bergizi seimbang (maksimal 100). PPH merupakan instrumen sederhana untuk menilai situasi konsumsi pangan penduduk, baik jumlah maupun komposisi pangan menurut jenis pangan yang dinyatakan dalam skor PPH. Skor PPH merupakan indikator mutu gizi dan keragaman konsumsi pangan sehingga dapat digunakan untuk merencanakan kebutuhan konsumsi pangan pada tahun-tahun mendatang. PPH dapat digunakan sebagai pedoman dalam evaluasi dan perencanaan penyediaan, produksi dan konsumsi pangan penduduk, baik secara kuantitas, kualitas, maupun keragamannya dengan mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi, budaya, agama dan cita rasa. Dengan demikian, dapat diklasifikasikan kegunaan analisis PPH sebagai berikut: (a) menilai jumlah dan komposisi konsumsi atau ketersediaan pangan; (b) indikator mutu gizi dan keragaman konsumsi atau ketersediaan pangan; (c) baseline data untuk mengestimasi kebutuhan pangan ideal di suatu wilayah; (d) baseline data untuk menghitung proyeksi penyediaan pangan ideal untuk suatu wilayah dan (e) perencanaan konsumsi, kebutuhan dan peyediaan pangan wilayah. Dalam upaya mengoperasionalkan konsep diversifikasi konsumsi pangan, FAO RAPA pada tahun 1998 mengadakan pertemuan para ahli pangan dan gizi di Bangkok dengan merumuskan komposisi pangan yang ideal yang terdiri dari 56 - 68% dari karbohidrat, 10 – 13% dari protein dan 20 – 30% dari lemak. Rumusan ini kemudian diimplementasikan dalam bentuk energi dalam sembilan kelompok pangan yang dikenal dengan istilah Pola Pangan Harapan (PPH). Sejak diperkenalkan di Indonesia, konsep PPH ini mendapat Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

12

perhatian dari kalangan ilmuwan dan peneliti di bidang pangan dan gizi untuk dapat diterapkan dengan kondisi Indonesia. Pada tahun 1994, konsep PPH pertama kali yang diterapkan di Indonesia berdasarkan hasil kesepakatan para ahli di bidang pangan dan gizi diakomodasi oleh Menteri Negara Pangan pada tahun 1994. Secara detail, persentase energi dari masing-masing kelompok pangan, pembobotan (bobot) yang digunakan dan skor dari masing-masing kelompok dapat dilihat pada Tabel 2.2. Pada saat itu, total skor hanya 93, dengan alasan, pola konsumsi pangan Indonesia untuk mencapai skor 100 masih membutuhkan waktu lama baik terkait ketersediaan pangan maupun pola konsumsi pangannya. Kritik terhadap PPH muncul sehubungan dengan adanya perbedaan rekomendasi pola energi (terutama dari pangan hewani dan lemak) antara PPH dengan Pedoman Gizi Seimbang (PUGS). Pada tahun 2000, Badan Urusan Ketahanan Pangan telah melakukan diskusi pakar dan lintas sub sektor dan sektor terkait pangan dan gizi tentang harmonisasi PPH dengan PUGS. Pertemuan ini menjadi dasar untuk penyempurnaan PPH yang disebut Pola Pangan Harapan 2020 (PPH 2020), kemudian diadopsi oleh Kementerian Pertanian dan menjadi acuan nasional. Hasil keputusan tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.2 pada kolom Deptan 2001. Sampai saat ini, acuan tersebut masih digunakan dalam menganalisis terkait PPH. Dalam dasar penghitungan skor PPH menggunakan angka kecukupan energi 2000 Kalori per kapita per hari pada tingkat konsumsi, dan 2200 Kalor per kapita per hari pada tingkat ketersediaan sebagai Angka Kecukupan Energi (AKE) tingkat Nasional berdasarkan hasil Widyakarya Pangan dan Gizi (WNPG) VIII tahun 2004 dan IX tahun 2008. Untuk keperluan perencanaan, AKE tersebut perlu diterjemahkan dalam satuan yang dikenal oleh perencana kebijakan pengadaan pangan menjadi bahan pangan atau kelompok pangan. PPH merupakan manifestasi konsep gizi seimbang yang didasarkan pada konsep Triguna Makanan. Keseimbangan jumlah antar kelompok pangan merupakan syarat terwujudnya keseimbangan gizi (Triguna Makanan yang Beragam, dan Bergizi Seimbang).

Tabel 2.2. Perbandingan PPH FAO-RAPA, Meneg. Pangan 1994, dan Deptan 2001 FAO-RAPA No

1

Kelompok Pangan 2

Meneg Pangan (1994)

Energi Min-Max (%) 3

4

Deptan (2001)

Energi (%)

Bobot

Skor

Energi (%)

Bobot

Skor

5

6

7

8

9

10

1

Padipadian

40

40-60

50

0,5

25

50

0,5

25

2

Umbiumbian

5

0-8

5

0,5

2.5

6

0,5

2,5

3

Pangan Hewani

20

5-20

15,3

2

30,6

12

2,0

24

4

Minyak dan Lemak

10

5-15

10

1

10

10

0,5

5

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

13

5

Buah/Biji Berminyak

3

0-3

3

0,5

1,

3

0,5

1

6

Kacangkacangan

6

2-10

5

2

10

5

2,0

10

7

Gula

8

2-15

6,7

0,5

3,4

5

0,5

2,5

8

Sayur dan Buah

5

3-8

5

2

10

6

5,0

30

9

Lain-lain

3

0-5

0

0

0

3

0

0

93

100

Total

100

100

100

Sumber : Hardinsyah, N.Sinulingga, D. Martianto (2000)

PPH merupakan susunan pangan yang benar-benar menjadi harapan baik di tingkat konsumsi maupun ketersediaan, serta dapat digunakan sebagai pedoman perencanaan dan evaluasi ketersediaan dan konsumsi pangan penduduk. Dalam PPH, pangan dikelompokkan menjadi sembilan kelompok pangan, yaitu kelompok: (a) padi-padian, (b) umbi-umbian, (c) pangan hewani, (d) minyak dan lemak, (e) buah dan biji berminyak, (f) kacang-kacangan, (g) gula, (h) sayuran dan buah-buahan, (i) lain-lain. Setiap kelompok pangan diberi bobot, kriteria dan besarnya bobot dapat dilihat seperti Tabel 2.3 .

Tabel 2.3. Susunan Pola Pangan Harapan Nasional*) Pola Pangan Harapan Nasional

No

Kelompok Pangan

% AKG (FAO RAPA)

Gram

(1)

(2)

(3)

(4)

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

Padi - padian Umbi-umbian Pangan Hewani Minyak dan Lemak Buah/Biji Berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan Buah Lain – lain Jumlah

40.0 – 60.0 0.0 – 8.0 5.0 – 20.0 5.0 – 15.0 0.0 – 3.0 2.0 – 10.0 2.0 – 15.0 3.0 – 8.0 0.0 – 5.0

275 100 150 20 10 35 30 250 -

Energi (kkal) (5) 1.000 120 240 200 60 100 100 120 60

% AKG (6)

Bobot (7)

Skor PPH (8)

50.0 6.0 12.0 10.0 3.0 5.0 5.0 6.0 3.0

0.5 0.5 2.0 0.5 0.5 2.0 0.5 5.0 0.0

25.0 2.5 24.0 5.0 1.0 10.0 2.5 30.0 0.0

2.000 100.0

-

100.0

Sumber : Harmonisasi PPH Nasional PPKP – BKP dan GMSK – IPB (2002)

Penetapan besaran pembobot/rating seperti pada kolom 7 pada Tabel 2.3. sebagai berikut: (a) setiap kelompok pangan utama dari tiga kelompok pangan utama berdasarkan triguna makanan, diberikan skor maksimum yang relatif sama, yaitu 33,3 bagi setiap kelompok pangan utama (berasal dari 100 dibagi 3); (b) untuk kelompok pangan sumber Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

14

karbohidrat dan energi (padi-padian, umbi-umbian, minyak dan lemak, buah/biji berminyak, dan gula), total kontribusi energi (% AKE) adalah 74%. Bobot untuk kelompok pangan ini adalah 0,5 (berasal dari nilai 33,3 dibagi 74); (c) untuk kelompok pangan sumber protein/lauk-pauk (kacang-kacangan dan pangan hewani) dengan kontribusi energi 17%, diperoleh rating 2,0 (berasal dari nilai 33,3 dibagi 17) dan (d) untuk kelompok pangan sumber vitamin dan mineral (sayur dan buah) dengan kontribusi energi 6%, diperoleh rating 5,0 (berasal dari nilai 33,3 dibagi 6). Secara lebih detail dapat dilihat pada Gambar 2.1. Dalam konsep PPH, setiap kelompok pangan dalam bentuk energi mempunyai pembobot yang berbeda tergantung dari peranan pangan dari masing-masing kelompok terhadap pertumbuhan dan perkembangan manusia. Sebagai contoh pembobot pada kelompok padi-padian, umbi-umbian dan gula hanya sebesar 0,5 karena pangan tersebut hanya sebagai sumber energi untuk pertumbuhan manusia. Sebaliknya pembobot 2 (dua) untuk pangan hewani dan kacang-kacangan, yang merupakan sumber protein, berfungsi sebagai pertumbuhan dan perkembangan manusia. Untuk sayur dan buah-buahan sebagai sumber mineral dan vitamin, serat dan lain-lain yang diperlukan untuk pertumbuhan, perkembangan dan kesehatan manusia diberi pembobot 5 (lima). Dengan mengkalikan proporsi energi dengan masing-masing pembobotnya, maka dalam konsep PPH akan diperoleh skor sebesar 100. Dalam arti diversifikasi konsumsi pangan sesuai dengan PPH yang sempurna harus mempunyai skor PPH sebesar 100.

Gambar 2.1. Pembobotan pada Kelompok Pangan 1. Serealia

Tiga Guna Makanan

Sumber Zat Tenaga (KH, lemak)

50 % 2. Umbi-umbian/ 6% makanan berpati 3. Minyak & lemak 10 % 4. Biji dan buah 3% Berminyak 5. Gula 5% 33,3 : 74 = 0,5

33,3

Sumber Zat Pembangun (Protein)

1. Pangan hewani 12 % 2. Kacang-kacangan 5 % 33,3 : 17 = 2

33,3

Sayur dan Buah

33,3

Sumber Zat Pengatur (Vit & Mineral)

6% 33,3 : 6 = 5

Lain-lain 3 %

Sumber : Badan Ketahanan Pangan (2012)

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

15

2.6. Konsumsi Pangan dari Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS): Kekuatan dan Kelemahan Salah satu survei yang dilaksanakan oleh BPS dan sangat dibutuhkan pemerintah sebagai alat monitoring program pembangunan khususnya di bidang sosial adalah Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS). Hampir setiap analisis situasi konsumsi pangan, pada umumnya menggunakan data hasil SUSENAS tersebut. Data ini tersedia setiap tahun yang berasal dari SUSENAS Panel. Modul Konsumsi mencakup sebanyak 68.000 rumah tangga sampel yang tersebar di seluruh wilayah geografis Indonesia. Kekuatan estimasi dari hasil SUSENAS Panel dapat disajikan baik tingkat nasional maupun pada tingkat provinsi dibedakan menurut daerah tempat tinggal (perkotaan dan perdesaan). Namun sebelum tahun 2011, data konsumsi provinsi dalam data SUSENAS modul hanya dapat disajikan setiap tiga tahun sekali dengan total sampel sekitar 68.000 rumah tangga. Namun sejak tahun 2011, data SUSENAS disajikan dalam data triwulanan dengan total sampel survei mencakup 300.000 rumah tangga. Pada data triwulanan SUSENAS BPS dapat diestimasi hingga level kabupaten/kota (BPS, 2012). Pengumpulan data dari rumahtangga terpilih dilakukan melalui wawancara tatap muka antara pencacah dengan responden. Responden adalah kepala rumahtangga, suami/isteri kepala rumahtangga atau anggota rumah tangga lain yang mengetahui tentang karakteristik yang ditanyakan. Referensi waktu survei yang digunakan adalah seminggu yang lalu untuk konsumsi makanan dan sebulan atau tiga bulan yang lalu untuk konsumsi bukan makanan. Sejak tahun 2007, proses pengolahan data SUSENAS sampai menghasilkan data mentah sepenuhnya menjadi tanggung jawab BPS daerah. Hal ini untuk lebih memaksimalkan kualitas data melalui proses pengecekan data yang lebih dekat ke sumber utamanya. Proses pengolahan dimulai dengan editing (cek kelengkapan isian, kewajaran, konsistensi), dilanjutkan dengan proses data entri untuk menghasilkan data mentah. Setelah terbentuk data mentah, proses pengolahan selanjutnya dilakukan di BPS Pusat. Setelah data mentah terbentuk, dilakukan pengecekan terhadap data-data pencilan (outlier) antara lain konsumsi energi dengan membuang rumahtangga yang mempunyai konsumsi energi per kapita per hari dibawah 1.000 kalori dan di atas 4.500 kalori. Definisi rumah tangga yang digunakan dalam SUSENAS adalah seorang atau sekelompok orang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik (pada waktu sensus) dan umumnya makan bersama dari satu dapur. Makan dari satu dapur adalah mengurus kebutuhan sehari-hari bersama menjadi satu. Anggota rumah tangga adalah semua orang yang umumnya bertempat tinggal di suatu rumah tangga, baik yang berada di rumah pada saat pencacahan maupun sementara tidak ada. Anggota rumah tangga yang telah bepergian enam bulan atau lebih dan anggota rumah tangga yang bepergian kurang dari enam bulan tetapi bertujuan akan pindah/meninggalkan rumah, tidak dianggap sebagai anggota rumah tangga. Data konsumsi hasil SUSENAS yang dilaksanakan oleh BPS memiliki kekuatan dan kelemahan. Beberapa kekuatan SUSENAS adalah sebagai salah satu data konsumsi yang dapat digunakan untuk penghitungan perencanaan pangan nasional. Hasil SUSENAS tersedia setiap tahun dapat diakses dan diestimasi untuk wilayah provinsi hingga kabupaten dan kota. Pencatatan konsumsi pangan dalam SUSENAS mencakup 215 jenis pangan yang umum dikonsumsi oleh rumahtangga meliputi pangan segar, olahan dan makanan jadi yang Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

16

merupakan hasil dari industri pangan, yang tersedia menurut spasial wilayah perdesaan, perkotaan dan nasional. Di sisi lain, data konsumsi hasil SUSENAS memiliki beberapa kelemahan. Hasil SUSENAS merupakan data konsumsi menurut pengeluaran yang diambil dengan cara wawancara (recall) atau metode mengingat kembali untuk setiap jenis pangan dalam bentuk kuantitas dan harga pangan baik yang berasal dari pembelian maupun berasal dari produksi sendiri, dan pemberian kepada rumah tangga sampel. Dengan menggabungkan kuantitas dan harga pangan dianggap sebagai pengeluaran belanja untuk konsumsi pangan. Kelemahan metode ini adalah: (a) mengandalkan pada ingatan responden. Jumlah jenis pangan dan bukan pangan sangat banyak dan referensi yang ditanyakan juga relatif panjang yaitu satu minggu yang lalu; (b) data konsumsi hasil wawancara tersebut tidak dikoreksi dengan kuantifikasi berat pangan yang dikonsumsi namun dengan pendekatan pengeluaran untuk konsumsi pangan, sehingga secara tidak langsung recall data konsumsi pangan hasil SUSENAS dapat dikatakan bukan merupakan ”intake konsumsi”; (c) data konsumsi dalam SUSENAS sering dikatakan ”underestimate” yaitu bahwa beberapa jenis pangan yang sudah banyak dikonsumsi masyarakat namun tidak tercatat dalam SUSENAS dan adanya konsumsi makanan jadi serta makanan di luar rumah tangga yang belum tergambar dalam data SUSENAS. Sehingga dibutuhkan suatu koreksi terhadap data konsumsi pangan untuk mengetahui kebutuhan konsumsi nasional. Sesuai dengan tujuan SUSENAS yaitu untuk mengetahui gambaran sosial ekonomi dan tingkat kesejahteraan penduduk, maka dalam pengambilan sampel SUSENAS belum sepenuhnya sesuai dengan tujuan survei konsumsi pangan dengan tujuan pemenuhan gizi karena sampel rumah tangga yang disurvei berdasarkan blok sensus belum tentu dapat menggambarkan konsumsi menurut kelompok umur sesuai dengan pengelompokkan kecukupan gizi.

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

17

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Sumber dan Jenis Data Data utama yang digunakan untuk penelitian ini adalah SUSENAS berbagai tahun, mulai dari tahun 1996,1999, 2002, 2005, 2008 dan 2011 yang dipublikasikan oleh BPS, bukan diolah dari data mentah. Data ini digunakan untuk mengetahui perkembangan pengeluaran pangan, konsumsi energi dan protein, kualitas konsumsi pangan menurut PPH dan tingkat konsumsi beberapa pangan (beras, terigu, ubi kayu, ubi jalar, sagu, umbi lainnya, sayuran, buah-buahan, daging sapi, daging ayam, telur, susu, kedelai, gula pasir dan minyak goreng). Untuk tujuan proyeksi konsumsi pangan berdasarkan kelompok pengeluaran, data dasar yang digunakan adalah SUSENAS tahun 2006, 2007, 2008, 2009, 2010 dan 2011. Data tahun tersebut digunakan karena jumlah kelompok pangan pada beberapa tahun SUSENAS tersebut sama yaitu ada delapan kelompok pengeluaran. Kategori dan pengelompokan pengeluaran pangan dan bukan pangan mengikuti kategori/pengelompokan yang dilakukan oleh BPS. Terdapat 215 komoditas pangan yang termasuk dalam pengeluaran yang selanjutnya dikelompokkan menjadi 14 kelompok, sedangkan pada bukan pangan terdapat 109 item yang dikelompokkan menjadi 6 kelompok. Pada kelompok pangan terdiri dari kelompok padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, bahan minuman, bumbu-bumbuan, konsumsi lainnya, makanan dan minuman jadi, minuman yang mengandung alkohol, serta tembakau dan sirih. Secara lengkap, jenis pangan dari setiap kelompok pangan disajikan pada Tabel 3.1. Sementara itu, kelompok bukan pangan mencakup perumahan dan fasilitas rumah tangga; barang dan jasa; pakaian, alas kaki dan tutup kepala; barang-barang tahan lama; pajak dan asuransi; serta keperluan pesta dan upacara. Jumlah pengelompokan untuk tahun SUSENAS yang dianalisis tidak sama yaitu untuk SUSENAS tahun 1999 terdapat 10 kelompok pengeluaran, sedangkan SUSENAS tahun 1999 dan 2002 terdapat sembilan kelompok pengeluaran. Sejak tahun 2005, data SUSENAS dikelompokkan menjadi delapan kelompok pengeluaran. Gambaran perkembangan perubahan jumlah dan besaran dari masing-masing kelompok pangan disajikan pada Tabel 3.2.

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

18

Tabel 3.1. Jenis Pangan Menurut Kelompok Pangan No. 1

Kelompok Pangan Padi padian

2

Umbi – umbian

3

Ikan

Ikan segar

Udang dan hewan air lainnya yg segar Ikan di awetkan Udang dan hewan air lainnya yg diawetkan 4

Jenis Pangan Beras, beras ketan, jagung basah dengan kulit, jagung pipilan, tepung jagung, tepung terigu, lainnya. Ketela pohon, ketela rambat, sagu, talas, kentang gaplek, tepung gaplek, tepung ketela pohon, laiinya Ekor kuning, tongkol tuna, tenggiri, selar, kembung, bandeng, gabus, mujair, mas, lele, kakap, baronang, lainnya. Udang, cumi, ketam, kerang, lainnya Kembung, Tenggiri, tongkol, teri, selar, sepat, bandeng, gabus, ikan dalam kaleng, lainnya Udang, cumi, lainnya

Daging

Daging segar

5

Daging diawetkan Lainnya Telur dan susu

6

Sayuran

7

Kacang - kacangan

8

Buah buahan

9

Minyak dan lemak

10

Bahan minuman

Daging sapi, daging kerbau, daging kambing, daging babi, daging ayam ras, daging ayam kampong, daging unggas lainnya, daging lainnya Dendeng, abon, daging dalam kaleng, lainnya. Hati, jeroan, tetelan, tulang, lainnya Telur ayam ras, telur ayam kampong, telur itik, telur puyuh, telur lainnya, telur asin, susu murni, susu cair pabrik, susu kental manis, susu bubuk, susu bubuk bayi, hasil lain dari susu. Bayam, kangkung, kol, sawi putih, sawi hijau, buncis, kacang panjang, tomat sayur, wortel, mentimun, daun ketela pohon, terong, touge, labu, jagung muda kecil , sayur sup, sayur asam, nangka muda, papaya muda, jamur, petai, jengkol, bawang merah, bawang putih, cabe merah, cabe hijau, cabe rawit, sayur dalam kaleng, lainnya. Kacang tanah tanpa kulit, kacang tanah dengan kulit, kacang kedele, kacang hijau, kacang mede, kacang lainnya, tahu, tempe, tauco, oncom, lainnya. Jeruk, mangga, apel, alpokat, rambutan, duku, durian, salak, nanas, pisang ambon, pisang lainnya, papaya, jambu, sawo, belimbing, kedondong, semangka, melon, nangka, tomat buah, buah dalam kaleng, lainnya. Minyak kelapa, minyak jagung, minyak goreng lainnya, kelapa, margarine, lainnya. Gula pasir, gula merah, the, kopi bubuk biji, coklat instan, coklat buuk, sirup, lainnya.

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

19

11

Bumbu-bumbuan

12

Konsumsi lainnya

13

Makanan dan minuman jadi

Minuman non alkohol

14

Minuman yang mengandung alkohol Tembakau dan sirih

Garam, kemiri, ketumbar, merica, asam, biji pala, cengkeh, terasi, kecap, penyedap rasa, sambal jadi, bumbum masak jadi, bumbu dapur lainnya Mie instan, mie basah, bihun, macaroni, kerupuk emping bahan agar- agar, bubur bayi kemasan, lainnya Roti tawar, roti manis, kue kering, kue basah, makanan gorengan, bubur kacang hijau, gado – gado, nasi campur, nasi goreng, nasi putih, lontong, soto/gule/sop/rawon/cincang, mie(bakso/rebus/goreng), mie instan, makanan ringan anak – anak, ikan (goreng, bakar, dan sebagainya) ayam/dagig (goreng, bakar, dan sebgainya), makanan jadi lainnya , air kemasan, air kemasan gallon, air teh kemasan, sari buah kemasan, minuman ringan mengandung CO2(soda), minuman kesehatan/ minuman berenergi, minuman lainnya, es krim, es lainnya. Bir, anggur, minuman keras lainnya

Rokok kretek filter, rokok kretek tanpa filter, rokok putih, tembakau, sirih, lainnya

Pengeluaran rata-rata per kapita didefinisikan sebagai biaya yang dikeluarkan untuk konsumsi semua anggota rumah tangga selama sebulan dibagi dengan banyaknya anggota rumah tangga. Sementara itu, konsumsi pangan rumah tangga hanya benar-benar berupa pengeluaran untuk memenuhi konsumsi rumah tangga saja, tidak termasuk konsumsi/pengeluaran untuk keperluan usaha atau yang diberikan kepada pihak lain. Angka konsumsi/pengeluaran rata-rata per kapita diperoleh dari hasil bagi jumlah konsumsi seluruh rumah tangga baik yang mengkonsumsi makanan maupun yang tidak terhadap jumlah penduduk. Tabel 3.2. Jumlah dan Besaran Kelompok Pengeluaran SUSENAS Tahun 1996,1999, 2002, 2005, 2008 dan 2011 No.

Kelompok Pengeluaran pada SUSENAS 1996 (Rp/kap/bulan)

1 2 3 4 5 6 7 8

<15,000 15,000 – 19,999 20,000 – 29,999 30,000 – 39,999 40,000 – 59,999 60,000 – 79,999 80,000 – 99,999 100,000 – 149,999

Kelompok Pengeluaran pada SUSENAS 1999, 2002 (Rp/kap/bulan) < 40,000 40,000 – 59,999 60,000 – 79,999 80,000 – 99,999 100,000 – 149,999 150,000 – 199,999 200,000 – 299,999 300,000 – 499,999

Kelompok Pengeluaran pada SUSENAS 2005, 2008, 2011 (Rp/kap/bulan) <100,000 100,000 – 1499,999 150,000 – 199,999 200,000 – 299,999 300,000 – 499,999 500,000 – 749,999 750,000 – 999,999 >/ 1000,000

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

20

9 10 11

150,000 – 199,999 200,000 – 299,999 >/ 300,000

>/ 500,000

Sumber : BPS (berbagai tahun)

Dalam perhitungan tingkat konsumsi beberapa pangan, telah dilakukan pengelompokkan dari jenis pangan yang bahan bakunya sama seperti pada Tabel 3.3. Hal ini dilakukan agar data tingkat konsumsi pangan yang dianalisis secara komprehensif mencerminkan data konsumsi pangan, terutama bila dikaitkan dengan perencanaan kebutuhan pangan. Sebagai gambaran, untuk menghitung tingkat konsumsi beras, beras yang dianalisis mencakup beras, beras ketan, tepung beras dan bihun yang bahan bakunya dari beras. Perhitungan bihun ke dalam bentuk beras sudah memasukkan konversi bihun ke beras. Demikian pula untuk komoditas lainnya, juga memperhitungkan faktor konversi dari bahan setengah jadi/jadi ke bahan bakunya. Namun demikian, dari data SUSENAS ini masih banyak item yang tidak dapat dilakukan penghitungan terutama makanan yang termasuk dalam kelompok makanan/minuman jadi. Hal ini dikarenakan adanya kesulitan dalam menghitung konversi dari bentuk makanan jadi ke dalam bentuk jenis pangan tertentu. Sebagai contoh, dalam makanan/minuman jadi terdapat pengeluaran pangan berupa nasi rames. Untuk mendapatkan beras yang dikonsumsi dari nasi rames tersebut harus diketahui berapa jumlah nasi yang dikonsumsi dan berapa konversi dari nasi rames ke beras.

Tabel 3.3. Pengelompokan Beberapa Jenis Pangan Jenis Pangan Beras Terigu Ubi kayu Ubi jalar Sagu Umbi lainnya Daging sapi Daging ayam Telur Susu Sayuran Buah-buahan Kedelai Gula pasir Minyak goreng

Jenis Pangan dalam SUSENAS Beras, beras ketan, tepung beras, bihun Tepung terigu, mi instan, macaroni, mi basah Ubikayu, gaplek, tepung gaplek, tapioka ubijalar Sagu Talas, kentang, lainnya Daging sapi Daging ayam ras, daging ayam kampung Telur ayam ras, telur ayam kampong, telur itik, telur asin Susu murni, susu cair pabrik, susu kental manis, susu bubuk, susu bubuk bayi Semua jenis sayur (27 jenis) kecuali sayur sop, sayur asam/lodeh Semua jenis buah-buahan (23 jenis) Kedelai, tahu, tempe Gula pasir Minyak kelapa, minyak jagung, minyak goreng lainnya

Sumber : SUSENAS (berbagai tahun)

3.2. Analisis Data Data dianalisis dalam bentuk agregat nasional (kota+desa), wilayah (kota/desa) dan kelompok pengeluaran pangan. Untuk menghitung besaran konsumsi zat gizi (energi dan Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

21

protein), data konsumsi pangan dikonversi ke dalam zat gizi. Angka konversi zat gizi yang digunakan oleh BPS mengacu pada daftar komposisi bahan makanan, daftar komposisi zat gizi pangan Indonesia dan daftar kandungan gizi bahan makanan. Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif dengan menggunakan tabel-tabel dan grafik. Untuk menghitung kualitas konsumsi pangan dilakukan berdasarkan konsep PPH . Proyeksi permintaan konsumsi pangan tahun 2020 dilakukan untuk beberapa jenis pangan terutama dikaitkan dengan komoditas strategis pemerintah, yaitu beras, terigu dan turunannya, kedelai, gula pasir, minyak goreng, daging sapi, daging ayam dan telur. Proyeksi permintaan pangan disajikan secara agregat nasional dan menurut kelompok pengeluaran pangan. Dalam menentukan proporsi penduduk tahun 2020 selain memperhatikan laju pertumbuhan penduduk juga laju pertumbuhan ekonomi. Analisis proyeksi permintaan pangan dilakukan secara sederhana yaitu mengikuti analisis tren.

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

22

BAB IV KESEJAHTERAAN MASYARAKAT: MEMBAIK ATAU MENURUN 4.1. Pengeluaran Pangan Agregat Pemerintah melalui program-programnya terus berupaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui tingkat kesejahteraan masyarakat dengan melihat nilai pangsa pengeluaran pangan terhadap total pengeluaran. Semakin rendah pangsa pengeluaran pangan, masyarakat akan semakin sejahtera. Krisis ekonomi tahun 1998 mengakibatkan terjadinya penurunan kesejahteraan masyarakat (Gambar 1). Namun, perkembangan kesejahteraan masyarakat terus membaik selama periode 1999-2011, walaupun dalam periode tersebut terjadi krisis keuangan dan moneter di Amerika dan Eropa dan kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM). Proporsi pengeluaran pangan pada tahun 2011 sebesar 48,5% lebih rendah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa pondasi ekonomi Indonesia relatif kuat dan stabil, tidak terkena dampak signifikan adanya krisis tersebut. Hasil analisis Bank Indonesia (2012), perekonomian Indonesia tahun 2011 menunjukkan daya tahan yang kuat di tengah meningkatnya ketidakpastian ekonomi global. Pertumbuhan ekonomi mencapai 6,5%, angka tertinggi dalam 10 tahun terakhir disertai dengan inflasi yang rendah (3,79%). Kecenderungan adalah beda saat terjadi krisis ekonomi pada tahun 1997/1998. Pada waktu tersebut terutama pada tahun 1997, terjadi kemarau panjang, serangan wereng dan belalang, harga pupuk dan pestisida naik, krisis moneter dan ekonomi, stabilitas politk terganggu (instabilitas politik). Kemudian pada tahun berikutnya (1998) terjadi krisis pangan yang mengakibatkan harga pangan meningkat tajam, pemutusan hubungan kerja sehingga jumlah pengangguran juga meningkat. Pada kondisi ini, pemerintah melaksanakan program jangka pendek untuk meningkatkan ketahanan pangan rumah tangga, salah satunya melalui program beras untuk rakyat miskin (raskin). Filosofi kebijakan raskin seperti disampaikan oleh Setiana (2012), Deputi Menko Kesra Bidang Koordinasi Perlindungan Sosial dan Perumahan Rakyat sebagai berikut : (a) Raskin sebagai food security program, (b) Sebagai bagian dari social security, (c) Terpenuhi kebutuhan beras (pangan), dapat mencegah terjadinya krisis dalam pemenuhan kebutuhan pangan pokok, dan (d) Sebagai bentuk in kind transfer yg efektif, langsung dapat memecahkan masalah pangan pada rumahtangga miskin (RTM). Tujuan program raskin adalah untuk meningkatkan akses RTM dalam pemenuhan kebutuhan pangan pokok (salah satu hak dasar) dan mengurangi sebagian beban pengeluaran RTM serta membantu pemenuhan kebutuhan pangan RTM (39,7%). Peranan dan efek dari program raskin diharapkan sebagai berikut : (a) Memperkuat ketahanan pangan, (b) Pasar bagi petani padi, (c) Mendukung berjalannya usaha tani dan sektor lainnya, (d) Menggerakkan perekonomian daerah, (e) Stabilisasi harga yang cukup efektif, (f) Meningkatkan daya beli RTM dalam rangka meningkatkan Ketahanan Pangan dan kesejahteraan keluarga, serta (g) RTM yang memperoleh program raskin dapat menghemat pendapatan yang terbatas. Proses pemulihan kesejahteraan masyarakat, berdasarkan data Gambar 4.1 terjadi pada tahun 2002. Namun untuk mencapai kesejahteraan seperti kondisi sebelum terjadinya krisis ekonomi memerlukan waktu yang lama. dengan memperhatikan kondisi sebelum krisis Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

23

(1996). Tingkat kesejahteraan masyarakat mulai membaik terjadi pada tahun 2005. Pemulihan kondisi krisis ekonomi memerlukan waktu sekitar lima tahunnya, seperti ditunjukkan dengan perubahan pangsa pengeluaran pangan dari 55,3% tahun 1996 dan 53,9% pada tahun 2005.

Sumber : SUSENAS (berbagai tahun)

Tingkat kesejahteraan masyarakat kota adalah berbeda dengan masyarakat pedesaan. Kesejahteraan masyarakat kota lebih baik daripada masyarakat desa. Ini menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi secara luas yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat masih bias pada masyarakat perkotaan. Kondisi ini dapat dilihat sebagai kasus di provinsi DKI.Jakarta. Provinsi ini sebagai pusat pemerintahan bangsa Indonesia dan sekaligus sebagai pusat bisnis. Dampaknya adalah bangunan berbagai infrastruktur sangat memadai, lapangan kerja sangat terbuka dan mendorong terjadinya urbanisasi. Pada tahun 2011, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) DKI Jakarta mencapai 6,6%, lebih tinggi dibandingkan PDB nasional, yang hanya mencapai 6,5%. Dengan demikian, DKI Jakarta sebagai penyumbang PDRB yaitu 16,5%, kemudian diikuti oleh provinsi Jawa Timur dan Jawa Barat, masing-masing 14,7% dan 14,3%. Pangsa pengeluaran pangan untuk DKI Jakarta juga paling kecil yaitu 36,69% pada tahun 2011. Tidak dipungkiri, dengan semakin baiknya sarana dan prasarana antar wilayah, semakin sulit membedakan wilayah kota dan desa. Oleh karena itu, pemerintah harus melakukan reorientasi program dengan memprioritaskan pada masyarakat pedesaan, yang pada umumnya adalah masyarakat petani. Reorientasi program mencakup peningkatan sarana dan prasarana dan pengembangan pusat bisnis di pedesaan. Dengan demikian diharapkan akan mampu mengerem laju urbanisasi dan mengurangi penduduk miskin, sekaligus upaya untuk meningkatkan pemeratan pendapatan. Data pada Statistik Indonesia (2012) menunjukkan Indeks Kedalaman Kemiskinan (IKdK) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (IKpK) di desa masih lebih tinggi daripada di perkotaan, walaupun dari tahun ke tahun menunjukkan penurunan. IKdK merupakan ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks, semakin jauh rataAnalisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

24

rata pengeluaran penduduk dari garis kemiskinan. IKdK memberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin. Semakin tinggi nilai indeks, semakin tinggi ketimpangan pengeluaran diantara penduduk miskin. Dalam statistik tersebut, IKdK pada bulan Maret tahun 2012 sebesar 2,36 lebih kecil dibandingkan bulan September 2011 (2,61) dan bulan Maret 2011 (2,80). Pada waktu yang sama indeks kedalaman kemiskinan untuk perkotaan sebagai berikut: 1,40 pada bulan Maret 2012; 1,48 pada bulan September dan 1,52 pada bulan Maret 2011. Sementara itu, IKpK di desa pada bulan Maret 2012 sebesar 0,59 sedangkan untuk di perkotaan sebesar 0,36. Karakteristik rumah tangga miskin dicirikan oleh jumlah anggota rumah tangga lebih banyak, tingkat pendidikan kepala rumahtangga relatif rendah, tidak tamat SD atau sampai SD serta sebagian besar bekerja di sektor pertanian (Statistik Indonesia, 2012). Menurut Sharp et al. (2000), penyebab kemiskinan bersumber dari rendahnya kualitas angkatan kerja. Salah satu penyebab terjadinya kemiskinan adalah karena rendahnya kualitas angkatan kerja. Kualitas angkatan kerja ini bisa dilihat dari angka buta huruf. Sebagai contoh Amerika Serikat hanya mempunyai angka buta huruf sebesar 1%, dibandingkan dengan Ethiopia yang mempunyai angka diatas 50%; Akses yang sulit terhadap kepemilikan modal. Kepemilikan modal yang sedikit serta rasio antara modal dan tenaga kerja (capital-to-labor ratio) menghasilkan produktivitas yang rendah yang pada akhirnya menjadi faktor penyebab kemiskinan; Rendahnya tingkat penguasaan teknologi. Negara-negara dengan penguasaan teknologi yang rendah mempunyai tingkat produktivitas yang rendah pula. Tingkat produktivitas yang rendah menyebabkan terjadinya pengangguran. Hal ini disebabkan oleh kegagalan dalam mengadaptasi teknik produksi yang lebih modern. Ukuran tingkat penguasaan teknologi yang rendah salah satunya bisa dilihat dari penggunaaan alat-alat produksi yang masih bersifat tradisional; penggunaan sumber daya yang tidak efisien. Negara miskin sumber daya yang tersedia tidak dipergunakan secara penuh dan efisien. Pada tingkat rumah tangga penggunaan sumber daya biasanya masih bersifat tradisional yang menyebabkan terjadinya inefisiensi; pertumbuhan penduduk yang tinggi. Menurut teori Malthus jumlah penduduk berkembang sesuai deret ukur sedangkan produksi bahan pangan berkembang sesuai deret hitung. Hal ini mengakibatkan kelebihan penduduk dan kekurangan bahan pangan. Kekurangan bahan pangan merupakan salah satu indikasi terjadinya kemiskinan. Sementara itu, berdasarkan kelompok pengeluaran terdapat pola semakin tinggi kelompok pengeluaran (sebagai proksi tingkat pendapatan masyarakat), proporsi pengeluaran pangan semakin rendah (Tabel 4.1.). Hal ini juga berarti semakin tinggi pendapatan, seseorang akan merubah pola konsumsi pangan, yang semula berusaha untuk memenuhi kebutuhan pangan (kebutuhan dasar). Kemudian setelah kebutuhan pangan terpenuhi, seseorang akan berusaha untuk dapat memenuhi kebutuhan bukan pangan seperti pakaian, kesehatan, pendidikan dan lainnya. Seperti dalam teori Maslow yang sudah dikenal oleh banyak orang bahwa manusia termotivasi untuk memenuhi kebutuhankebutuhan hidupnya. Kebutuhan-kebutuhan tersebut memiliki tingkatan atau hirarki, mulai dari yang paling rendah (bersifat dasar/fisiologis) sampai yang paling tinggi (aktualisasi diri). Hierarchy of needs (hirarki kebutuhan) dari Maslow menyatakan bahwa manusia memiliki lima macam kebutuhan yaitu physiological needs (kebutuhan fisiologis) seperti makan, safety and security needs (kebutuhan akan rasa aman), love and belonging needs

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

25

(kebutuhan akan rasa kasih sayang dan rasa memiliki), esteem needs (kebutuhan akan harga diri), dan self-actualization (kebutuhan akan aktualisasi diri). Tabel 4.1. Pangsa Pengeluaran Pangan Menurut Kelompok Pengeluaran (%) Kelompok Pengeluaran I II III IV V VI VII VIII IX X

1996

1999

2002

2005

2008

2011

75,0 73,6 71,0 69,1 66,1 61,4 57,1 51,3 45,0 37,6

76,9 76,3 74,5 72,7 69,4 64,4 57,2 48,3 33,1 -

78,8 72,0 73,1 71,8 69,5 66,3 61,2 53,3 36,4 -

73,8 70,9 69,4 67,1 64,0 59,6 51,8 35,6 -

69,9 68,1 68,5 63,7 55,2 46,6 40,3 27,0 -

76,3 67,2 64,3 65,4 59,1 53,6 48,8 33,8 -

Laju perub. 2005-2011 (%) 1,7 (2,7) (3,8) (1,3) (4,1) (5,6) (3,2) (2,8) -

Keterangan : I = Kel. Pengeluaran terendah, X = Kel. Pengeluaran tertinggi ( ) = penurunan/negatif

Kaitan pendapatan dengan pangsa konsumsi pangan juga dapat dijelaskan dengan hukum Engel. Menurut hukum Engel, pada saat terjadinya peningkatan pendapatan, konsumen akan membelanjakan pendapatannya untuk pangan dengan porsi yang semakin mengecil. Sebaliknya bila pendapatan menurun, porsi yang dibelanjakan untuk pangan semakin meningkat (Soekirman, 2000).

4.2. Pengeluaran Pangan Menurut Kelompok Pangan Selain dalam bentuk agregat, pengeluaran pangan juga disajikan menurut kelompok pengeluaran seperti yang ada dalam SUSENAS. Pangsa pengeluaran untuk makanan dan minuman jadi baik di kota maupun di desa adalah yang terbesar pada tahun-tahun terakhir (Gambar 4.2, 4.3 dan 4.4). Pada tahun 1999, pengeluaran untuk kelompok padipadian (beras, jagung terigu) paling besar, namun sejak tahun 2002, menunjukkan kebalikannya. Pangsa pengeluaran untuk makanan/minuman jadi justru lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok padi-padian. Sementara itu, pengeluaran untuk pangan sumber protein dan vitamin/mineral masih sangat rendah dibandingkan dengan pengeluaran untuk makanan/minuman jadi. Sebagai gambaran, pada tahun 2011, pengeluaran untuk buah-buahan hanya 4,3% dan untuk sayuran sebesar 7,7%. Sementara itu, untuk makanan/minuman jadi dan kelompok padi-padian masing-masing mencapai 24,4% dan 17,3%. Perubahan ini terutama signifikan terjadi pada masyarakat perkotaan, tidak pada masyarakat pedesaan. Kecenderungan ini dimungkinkan dengan adanya perubahan gaya hidup yang berdampak pada perubahan gaya makan. Hal ini tentu terkait dengan partisipasi perempuan dalam lapangan kerja dan maraknya usaha UKM yang menyediakan berbagai jenis makanan/minuman dengan harga yang bervariasi. BPS (2007) menyebutkan bahwa peningkatan partisipasi angkatan kerja perempuan selama Februari 2006-Februari 2007 mencapai 2,12 juta orang, yang dominan bekerja di Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

26

sektor pertanian dan perdagangan. Pada waktu yang sama, peningkatan partisipasi untuk laki-laki hanya 287.000. Tuntutan untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga mendorong ibu rumah tangga untuk ikut bekerja membantu suami. Dampaknya, akan mengakibatkan berkurangnya waktu yang tersedia untuk menyiapkan kebutuhan keluarga. Banyaknya wanita yang bekerja, mengakibatkan pemenuhan kebutuhan pangan rumah tangga seharihari diperoleh melalui pembelian dari restoran atau warung makan. Wanita sebagai ibu rumah tangga dan juga berprofesi sebagai pekerja di luar rumah akan mencari pramuwisma untuk membantu menyiapkan makanan bagi keluarganya. Namun dengan sulitnya mencari pramuwisma menyebabkan makanan siap saji menjadi menu utama sehari-hari di rumah. Selain itu, juga tingginya aktivitas masyarakat (laki-laki dan perempuan) yang didorong oleh semakin tingginya kebutuhan masyarakat ini menyebabkan pola konsumsi pangan masyarakat berubah. Perubahan pola atau gaya hidup, juga menjadi faktor pemicu terjadinya perubahan pola konsumsi. Misalnya, orang zaman sekarang semakin sibuk dengan jam kerja lebih panjang, mendorong mereka untuk memilih makanan yang penyajiannya lebih praktis tapi tetap beragam. Banyak masyarakat mengkonsumsi makanan siap saji terutama pada saat mereka bekerja di luar rumah. Sehingga semakin banyak pula restoran, warteg yang menjual aneka makanan cepat saji dalam berbagai bentuk, ukuran dan tingkatan harga. Menurut Kementerian Koperasi dan UKM (2012), jumlah Usaha Kecil Menengah (UKM) di bidang pangan di Indonesia terus bertambah dari tahun ke tahun. Pada tahun 2012, jumlah UKM bidang pangan berjumlah sekitar 12 juta unit. Pertanyaan menarik adalah siapa saja yang mengkonsumsi makanan/minuman jadi? dan jenis makanan/minuman jadi apa saja yang banyak dikonsumsi? Pertanyaan ini sangat relevan dikaitkan dengan antisipasi perubahan pola makan ke depan dengan karakteristik penduduk seperti pendapatan, gaya hidup, pendidikan dan juga dikaitkan dengan aspek kesehatan. Namun dalam kajian ini data yang dianalisis berupa data yang sudah dipublikasi oleh BPS, sehingga analisis disesuaikan dengan data yang tersaji dalam publikasi tersebut. Kalaupun analisis berdasarkan data mentah SUSENAS, karakteristik demografi yang dapat dikaitkan dengan siapa yang mengkonsumsi makanan/minuman jadi terbatas pada pendidikan kepala keluarga dan istri; pekerjaan utama kepala keluarga, apakah di sektor pertanian, perdagangan, industri, jasa atau jenis pekerjaan lainnya; dan jumlah anggota rumah tangga.

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

27

Sumber : SUSENAS (berbagai tahun)

Fenomena tingginya pangsa pengeluaran makanan/minuman jadi tentu dapat berdampak positif atau negatif pada pola konsumsi makanan dan kesehatan rumahtangga tergantung pada pengetahuan pangan dan gizi terutama para istri sebagai ibu rumah tangga. Dengan mengkonsumsi makanan siap saji akan berdampak positif bagi kesehatan anggota rumahtangga, asal dalam pemilihan jenis makanan tetap memperhatikan pola makanan sehat dan tidak secara keseluruhan dan terus menerus menyajikan makanan yang berasal dari makanan siap saji. Penyediaan makanan rumah tangga melalui makanan siap saji jelas akan menghemat waktu, praktis, mudah dalam persiapan dan mudah diperolehnya. Namun dari sisi negatif, terutama dikaitkan dengan adanya bahan makanan tambahan yang berbahaya, faktor kebersihan makanan dan penggunaan bahan lainnya yang kurang higienis, seperti menggoreng makanan dengan menggunakan minyak goreng yang sudah kotor (coklat tua). Kesemuanya ini berdampak pada kemungkinan terjadinya keracunan makanan. WHO dan FAO menyatakan ancaman potensial dari residu bahan makanan terhadap kesehatan manusia dibagi dalam tiga kategori yaitu: (a) aspek toksikologis, residu bahan makanan yang dapat bersifat racun terhadap organ-organ tubuh, (b) aspek mikrobiologis, mikroba dalam bahan makanan yang dapat mengganggu keseimbangan mikroba dalam saluran pencernaan, (c) aspek imunopatologis, keberadaan residu yang dapat menurunkan kekebalan tubuh. Dampak negatif zat aditif terhadap kesehatan dapat secara langsung maupun tidak langsung, dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Dari kelompok padi-padian, pengeluaran yang utama adalah untuk pembelian beras (Tabel 4.2), walaupun dari tahun ke tahun, pengeluaran untuk beras semakin turun dan berubah ke pangan lain seperti makanan/minuman jadi. Hal ini juga menunjukkan beras mempumuai peran yang kuat sebagai makanan pokok masyarakat. Telah terjadi perubahan pola pangan pokok, dari pangan lokal ke pangan nasional seperti beras dan ke pangan internasional seperti terigu. Sehingga masyarakat yang semula mengkonsumsi beranekaragam pangan lokal seperti di provinsi Papua yang mempunyai pola pangan pokok Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

28

berupa ubi jalar, sagu, pisang dan lainnya, sudah mengarah ke beras. Inilah yang mengakibatkan pengeluaran beras masih dominan dibandingkan pangan pokok lainnya termasuk dalam kelompok umbi-umbian. Pada kelompok pangan sumber protein hewani, yang dominan adalah pengeluaran daging ayam dan telur. Pengeluaran daging sapi paling kecil dibandingkan jenis pangan hewani lainnya. Ini menunjukkan bahwa masyarakat melakukan subsitusi dalam pola konsumsi pangan hewani, bahkan juga dengan protein nabati. Dengan demikian, kasus peningkatan harga daging sapi beberapa bulan ini, sebetulnya diduga tidak akan berdampak signifikan pada penurunan konsumsi pangan sumber protein hewani.

Tabel 4.2. Pangsa Pengeluaran Beberapa Jenis Pangan Menurut Wilayah (%) Padipadian Tahun/Wilayah

Pangan Hewani

Beras

Daging sapi

Daging ayam

Telur

Susu

17,4 20,9 16,0 12,1 12,3 13,8 (10,0)

2,3 1,4 1,6 1,3 0,8 1,2 3,9

4,0 2,6 3,6 3,4 2,7 3,2 (3,4)

3,3 3,3 3,4 3,0 4,1 2,6 (1,3)

3,5 2,7 3,5 4,3 3,5 4,4 6,0

26,6 30,7 26,0 20,5 19,8 20,9 7,9

0,7 0,6 0,6 0,5 0,3 0,6 (7,8)

2,7 1,5 2,2 2,5 2,1 2,6 2,0

3,0 2,7 3,1 3,1 3,0 2,61 1,1

1,3 0,9 1,3 1,8 1,7 2,1 13,0

22,5 26,2 20,7 16,0 15,6 16,9 (9,4)

1,4 0,9 1,1 0,9 0,6 0,9 (10,6)

3,3 2,0 2,9 3,0 2,4 2,9 (0,7)

3,1 2,9 3,2 3,0 3,6 2,6 (0,6)

2,3 1,8 2,5 3,1 3,9 3,4 12,5

Kota 1996 1999 2002 2005 2008 2011 Laju perub. (%) Desa 1996 1999 2002 2005 2008 2011 Laju perub. (%) Kota+desa 1996 1999 2002 2005 2008 2011 Laju perub.(%)

Sumber : SUSENAS Berbagai Tahun (diolah) Keterangan : ( ) = penurunan/negatif

Sementara itu, bila dilihat menurut kelompok pendapatan menunjukkan bahwa semakin tinggi kelompok pengeluaran, maka pengeluaran untuk kelompok padi-padian dan Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

29

umbi-umbian semakin turun (Tabel 4.3). Sebaliknya konsumsi pangan asal ternak (daging/telur/susu), ikan dan makanan/minuman jadi semakin tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa dengan peningkatan pendapatan masyarakat, akan terjadi perubahan pola konsumsi pangan dari makanan sumber karbohidrat ke pangan yang mempunyai kualitas lebih tinggi seperti protein hewani, vitamin dan mineral. Perubahan pola pengeluaran tersebut dapat dijelaskan oleh Bennet, yang dikenal dengan hukum Bennet yang menganalisis hubungan pendapatan dengan kualitas konsumsi pangan. Bennet menemukan bahwa peningkatan pendapatan akan mengakibatkan individu cenderung meningkatkan kualitas konsumsi pangannya dengan harga yang lebih mahal per unit gizinya. Pada tingkat pendapatan rendah, permintaan terhadap pangan diutamakan pada pangan yang padat energi yang berasal dari karbohidrat. Apabila pendapatan meningkat, pola konsumsi pangan akan makin beragam dan umumnya akan terjadi peningkatan konsumsi pangan yang lebih bernilai gizi tinggi (Soekirman, 2000).

Tabel 4.3. Pangsa Pengeluaran Beberapa Kelompok Pangan Menurut Kelompok Pengeluaran (%), 2011 Kelompok pangan I II III IV V VI Padi-padian 42,7 39,8 35,4 27,4 21,4 16,6 Umbi-umbian 4,6 4,4 2,5 1,5 1,1 0,9 Pangan asal ternak 2,5 2,8 4,6 6,0 8,2 10,5 Kelompok ikan 6,3 6,8 7,0 8,2 8,9 9,1 Sayuran 8,7 10,4 9,8 9,5 8,8 7,9 Buah-buahan 2,2 1,9 2,2 2,8 3,4 4,2 Makanan/ 10,9 8,1 11,3 15,5 19,3 22,8 minuman jadi Sumber : SUSENAS Tahun 2011 (diolah) Keterangan : I = Kel. Pengeluaran terendah, X = Kel.Pengeluaran tertinggi

VII 12,9 0,8 12,4 9,0 7,1 4,9

VIII 9,0 0,6 14,5 7,8 5,5 5,9

26,9

35,7

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

30

BAB V KUANTITAS KONSUMSI PANGAN MASYARAKAT:ENERGI DAN PROTEIN 5.1. Konsumsi Masyarakat dari Sisi Kecukupan Konsumsi Energi dan Protein Pada dasarnya konsumsi makanan masyarakat sehari-hari memadai jika memenuhi dua kecukupan yaitu kecukupan energi dan protein. Kebutuhan energi umumnya diperoleh dari konsumsi makanan pokok sebagai sumber karbohidrat, sedangkan sebagian besar kebutuhan protein diperoleh dari konsumsi makanan yang berasal dari hewani seperti daging, ikan, telur dan susu. Oleh karena itu, data tentang kuantitas konsumsi penduduk dapat digunakan untuk memantau apakah kesejahteraan penduduk diukur dengan konsumsi pangan meningkat atau tidak (BPS, 2010). Di Indonesia setiap lima tahun diadakan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WKNPG) yang salah satu rekomendasinya adalah menetapkan Angka Kecukupan Energi (AKE) dan Angka Kecukupan Protein (AKP) untuk rata-rata Indonesia dan kelompok umur. Rekomendasi WNPG ke VIII yang dilaksanakan tahun 2004 adalah AKE dan AKP untuk rata-rata penduduk Indonesia, masing-masing 2000 Kalori/kapita/hari dan 52 gram/kapita/hari. Sementara itu, pada bulan November 2012, dilaksanakan WNPG ke X yang menetapkan AKE sebesar 2200 Kalori/kapita/hari dan protein sebesar 57 Gram/kapita/hari. Mengacu pada patokan hasil WNPG tahun 2004, tingkat konsumsi ratarata masyarakat untuk energi tahun 2010 sebesar 96,3% dari kecukupannya, sebaliknya untuk konsumsi protein melebihi dari yang dianjurkan. Namun apabila mengacu pada hasil WNPG ke X, maka tingkat konsumsi energi masyarakat Indonesia masih kurang, sebaliknya untuk konsumsi protein sudah melebihi dari angka yang dianjurkan (Gambar 5.1 dan 5.2). Tingkat konsumsi energi dan protein berasal dari makanan yang disiapkan di rumah dan makanan/minuman jadi. Sebagai contoh, konsumsi energi pada tahun 2011 sebesar 1.852,8 Kalori/kapita/hari, yang berasal dari makanan yang dimasak di rumah (1.586,8 Kalori) dan makanan/minuman jadi (266 Kalori).

AKE AKP

Sumber: SUSENAS (diolah)

Tingkat konsumsi energi yang lebih dari 95% ini masih dapat dianggap cukup dan memenuhi kebutuhan tubuh manusia sesuai dengan klasifikasi tingkat kecukupan yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan (1996) dalam Badan Ketahanan Pangan (2006). Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

31

Dalam klasifikasi tersebut, jika tingkat kecukupan energi antara 90-119% termasuk kategori normal. Mengacu pada Ilmu Gizi, walaupun konsumsi protein sudah tinggi namun karena konsumsi energinya masih rendah, protein tersebut akan dibakar dalam tubuh menjadi energi untuk menutupi kekurangan konsumsi energi sampai mencukupi. Dengan demikian dapat dimungkinkan secara riil protein yang dikonsumsi masih lebih rendah dari angka kecukupan yang dianjurkan.

Sumber: SUSENAS (diolah)

Hasil analisis konsumsi energi dan protein tersebut, timbul pertanyaan apakah memang benar situasi riil masyarakat Indonesia seperti demikian. Pada umumnya, pemenuhan kebutuhan konsumsi yang paling mudah adalah pemenuhan kebutuhan akan energi karena harga per unit energi ini relatif murah dan mudah, sehingga hampir semua orang akan mampu memenuhinya. Selain itu, seperti dalam hukum Maslow, kebutuhan paling mendasar seseorang adalah kebutuhan makan, dan pada tahap awal makan asal kenyang. Pangan yang cepat membuat kenyang adalah pangan sumber karbohidrat dan sekaligus sebagai penghasil energi. Jika energi sudah dipenuhi, baru memikirkan kepada kualitas konsumsi pangan yang salah satunya ditentukan oleh tingkat pendapatan seperti dalam hukum Bennet. Namun, kenyataannya dengan menggunakan data SUSENAS tidaklah demikian. Seperti telah diungkap terdahulu, telah terjadi perubahan pangsa pengeluaran pangan, dari dominan pada kelompok pengeluaran padi-padian ke kelompok makanan/minuman jadi. Jumlah jenis makanan jadi yang didata dalam SUSENAS sebanyak sekitar 30 jenis makanan/minuman jadi. Sekitar 14 jenis makanan berupa makanan seperti roti tawar, roti manis, kue basah, gado-gado, nasi putih, nasi rames, bubur kacang hijau, yang kesemua jenis makanan tersebut sebagai sumber karbohidrat. Sementara itu, untuk makanan sumber protein hanya ada tiga jenis yaitu soto/gule, sate/tongseng dan ikan (bakar/goreng/pindang/lainnya).

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

32

Walaupun BPS telah menghitung energi dan protein dari makanan/minuman jadi yang ditambahkan dalam total energi, namun diduga adanya tambahan energi dari makanan/minuman jadi masih under estimate. Kesulitannya adalah satuan yang digunakan dalam daftar pertanyaan bukan dalam bentuk kuantitatif seperti gram atau kilogram, akan tetapi bungkus kecil, potong dan porsi. Setiap responden akan dengan mudah menyebut satuan dalam bentuk porsi atau potong, namun volume satu porsi atau satu potong tentu berbeda antar seseorang dan atar wilayah. Kesulitan lainnya adalah melakukan konversi dari jenis makanan ke dalam bentuk energi secara valid. Walaupun dalam daftar komposisi bahan makanan terdapat konversi misalnya nasi campur, namun ramuan dan volume nasi rames antar daerah juga berbeda, padahal faktor konversinya hanya ada satu yang tercantum dalam daftar tersebut. Faktor inilah diduga yang mengakibatkan konsumsi energi masih rendah, sebaliknya untuk protein sudah melebihi dari yang dianjurkan. Protein yang dikonsumsi masyarakat berasal berupa protein nabati dan protein hewani. Protein nabati diperoleh dari bahan pangan asal tumbuhan yaitu dari padi-padian, biji-bijian dan kacang-kacangan seperti tahu dan tempe. Protein hewani diperoleh dari bahan pangan hewani seperti daging, telur, susu dan ikan. Protein hewani memiliki semua asam amino esensial sehingga disebut protein lengkap. Pemanfaatan protein oleh tubuh ditentukan oleh kelengkapan asam amino esensial yang terkandung dalam protein yang dikonsumsi. Semakin lengkap asam amino esensial, semakin tinggi nilai pemanfaatan protein tersebut bagi tubuh. Selain itu, nilai cerna protein hewani lebih tinggi dari protein nabati. Sementara dari segi pemanfaatannya protein hewani juga jauh lebih baik dari protein nabati. Oleh karena itu, salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas sumberdaya manusia terutama kecerdasan seseorang ditentukan oleh tingkat konsumsi protein hewani. Dalam Direktori Pengembangan Konsumsi Pangan yang diterbitkan oleh Badan Ketahanan Pangan (2012) disebutkan bahwa kecukupan protein sebesar 52 gram/kapita/hari dan dicukupi minimal 20% dari protein hewani dan 80% protein nabati. Mengacu pada anjuran tersebut, komposisi konsumsi protein di Indonesia sudah baik yang ditunjukkan dengan pangsa protein hewani yang berasal dari daging, telur, susu dan ikan mencapai lebih dari 20% (Gambar 5.3). Bahkan untuk di perkotaan, pangsa konsumsi protein hewani hampir mencapai 30%. Protein nabati berasal dari beranekaragaman makanan yang tergolong nabati seperti dari padi-padian, umbi-umbian, sayur dan buah, kacang-kacangan dan lainnya. Namun karena pola konsumsi masyarakat dominan pada beras dan menjadi pola pangan pokok utama menyebabkan sumber utama protein nabati juga berasal dari beras. Pangsa protein dari beras lebih dari 50%, yang berarti dalam hal ini beras tidak hanya sebagai sumber energi tetapi juga sumber protein dalam pola konsumsi masyarakat.

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

33

Sumber: SUSENAS (diolah)

Data Neraca Bahan Makanan (NBM) menyajikan data ketersediaan energi dan protein, yang datanya disajikan pada Tabel 5.1. Dari aspek ketersediaan, Indonesia sudah mampu menyediakan energi dan protein melebihi dari yang dianjurkan, bahkan hampir dua kali lipat kelebihannya. Berdasarkan WNPG XIII, ketersediaan energi dan protein yang dianjurkan masing-masing sebesar 2200 kalori/kapita/tahun dan 57 gram/kapita/tahun. Ini berarti jika ada masalah kekurangan pangan (dalam bentuk energi dan protein) pada masyarakat, bukan disebabkan kurang tersedianya pangan namun lebih disebabkan karena keterbatasan akses rumah tangga terhadap pangan termasuk distribusi pangan. Akses rumah tangga terhadap pangan dipengaruhi oleh daya belinya, dalam hal ini resultan dari tingkat pendapatan dan harga pangan. Meskipun ketersediaan pangan secara nasional maupun per kapita mencukupi, namun belum tentu setiap rumah tangga memiliki akses yang nyata secara sama. Dengan demikian surplus pangan di tingkat wilayah belum menjamin kecukupan pangan bagi individu. Selain aspek ekonomi, fisik dan sosial, kelancaran distribusi pangan juga dipengaruhi oleh sarana dan prasarana seperti keadaan jalan, transportasi, kondisi pasar dan kelembagaan pasar dan lainnya. Oleh karena itu, pengembangan infrastruktur sarana distribusi adalah penting untuk memperlancar mobilitas pangan agar pangan tersedia secara merata dengan harga yang dapat dijangkau oleh masyarakat luas terutama masyarakat berpendapatan rendah. Tabel 5.1. Ketersediaan Energi dan Protein, 2006 – 2011 Tahun 2006 2007 2008 2009 2010 2011

Ketersediaan Energi (Kkal/kap/hari) Protein (Gram/kap/hari) 3.166 3.358 3.453 3.214 3.310 3.944

76,5 80,1 84,1 88,9 94,6 89,7

Sumber: Badan Ketahanan Pangan, Kementan (2012) Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

34

5.2. Konsumsi Energi dan Protein Menurut Kelompok Pangan dan Pengeluaran Pola konsumsi pangan masyarakat memang dominan pada pangan pokok yaitu beras. Beras telah menjadi pangan pokok utama dan pertama, bahkan masyarakat yang semula mempunyai pola pangan pokok bukan beras beralih ke beras. Seperti hasil analisis yang dilakukan oleh Badan Ketahanan Pangan (2009) yang menggunakan data SUSENAS 2006, pola konsumsi pangan pokok di perkotaan pada semua kelompok pengeluaran adalah beras dan terigu (termasuk turunannya). Sementara itu, untuk di pedesaan, pola pangan pokok pertama pada semua kelompok pengeluaran adalah beras, kemudian diikuti dengan jagung, ubikayu, terigu pada kelompok berpendapatan rendah. Sementara itu, untuk hal yang sama, setelah beras diikuti hanya terigu pada kelompok menengah dan kaya. Kecenderungan yang demikian, juga terlihat dari pangsa energi yang berasal dari padi-padian mencapai hampir 50% (Tabel 5.2). Sebaliknya pangsa energi dari umbi-umbian cenderung turun, yang berarti pangan pokok jagung, umbi-umbian dan sagu semakin ditinggalkan oleh masyarakat. Tingkat konsumsi pangan termasuk konsumsi energi dan protein dipengaruhi oleh berbagai faktor sosial budaya, agama dan ekonomi, namun unsurunsur prestise kadang-kadang menjadi sangat menonjol terutama untuk masyarakat di perkotaan, Masyarakat kadang-kadang bertindak tidak hanya atas dasar pertimbangan ekonomi, tetapi juga didorong oleh berbagai penalaran dan perasaan seperti kebutuhan, kepentingan, dan kepuasan baik bersifat pribadi maupun sosial. Oleh karena itu perbaikan pola konsumsi pangan dilakukan tidak hanya dengan meningkatkan daya beli masyarakat, akan tetapi juga meningkatkan kesadaran masyarakat akan pangan yang bergizi dan kesehatan. Tabel 5.2. Pangsa Energi dan Protein Beberapa Kelompok Pangan Menurut Wilayah (%) Kelompok Pangan Energi Protein Padi-padian Umbi-umbian Asal ternak Ikan Kota 1996 51,8 1,5 12,6 12,8 1999 52,3 1,9 8,4 12,0 2002 46,6 1,7 11,9 13,0 2005 44,6 1,5 12,0 13,9 2008 42,9 1,6 12,3 12,9 2011 44,0 1,0 13,3 14,4 Laju perubahan (%) (15,1) (6,7) 3,7 2,6 Desa 1996 60,0 3,6 6,0 13,3 1999 61,0 9,5 3,9 12,8 2002 56,8 3,6 5,5 13,4 2005 54,5 3,8 6,6 14,4 2008 51,6 3,5 6,8 14,4 2011 52,3 2,8 8,5 14,3 Laju perubahan (%) (3,5) (13,9) 10,2 2,2 Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

35

Kota+Desa 1996 1999 2002 2005 2008 2011 Laju perubahan (%)

57,1 57,7 52,3 50,3 47,5 48,2 (4,2)

2,9 3,3 2,8 2,8 2,6 1,9 (7,5)

8,4 5,7 8,4 9,4 9,5 11,0 8,3

13,1 12,5 13,2 14,2 13,8 14,4 2,4

Sumber : SUSENAS (diolah) Keterangan : ( ) = Penurunan/negative

Pada Tabel 5.2, pada umumnya dengan kenaikan pendapatan (yang didekati dengan pengeluaran pangan), konsumsi pangan sumber karbohidrat/energi akan menurun. Sebaliknya kenaikan pendapatan rumahtangga akan meningkatkan konsumsi pangan sumber protein dan vitamin/mineral. Perubahan dalam jumlah besar dan konsisten pada makanan/minuman jadi, sementara untuk jenis pangan lain tidak demikian. Lagi-lagi ini membuktikan bahwa dengan perubahan pendapatan akan merubah gaya hidup dan gaya makan seperti hukum Bennet yang telah disampaikan sebelumnya. Dengan pendapatan yang cukup, keluarga akan sering makan di luar rumah dan atau membeli makanan/minuman jadi untuk dimakan di rumah. Makanan siap dimasak di rumah (home made) lama-kelamaan akan berkurang dan ditinggalkan oleh anggota rumahtangga terutama yang bekerja di luar rumah.

Tabel 5.3. Pangsa Energi Kelompok Pangan Menurut Kelompok Pengeluaran, 2011 (%) Kelompok Pengeluaran I II III IV V VI VII VIII

Padipadian 58,0 62,8 60,9 56,7 51,4 45,7 41,0 34,9

Umbiumbian 14,0 8,5 4,6 3,0 1,8 1,5 1,2 0,9

Asal ternak 0,8 1,0 1,7 2,6 4,0 5,9 7,5 9,8

Ikan

Sayuran

1,5 1,8 0,4 2,1 2,4 2,7 2,8 2,7

2,1 2,4 2,2 2,2 2,1 2,0 1,9 1,8

Buahbuahan 1,8 1,3 1,4 1,4 12,5 1,9 2,2 2,6

Makanan Jadi 7,5 5,3 7,8 10,2 12,7 15,2 17,6 22,1

Sumber : SUSENAS (diolah) Keterangan : I = Kel. pengeluaran terendah, X = Kel. pengeluaran tertinggi

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

36

BAB VI KUALITAS POLA KONSUMSI PANGAN: HARAPAN DAN KENYATAAN 6.1. Program Diversifikasi Konsumsi Pangan Program diversifikasi pangan sebetulnya sudah dirintis sejak awal dasawarsa 60-an, dimana pemerintah telah menyadari pentingnya dilakukan diversifikasi tersebut, Ariani (2012) melakukan kompilasi program-program terkait langsung dan tidak langsung dengan usaha penganekaragaman/diversifikasi pangan terutama untuk diversifikasi konsumsi pangan (Tabel 6.1). Pemerintah mulai menganjurkan konsumsi bahan-bahan pangan pokok selain beras seperti anjuran untuk mengkombinasikan beras dengan jagung, sehingga pernah populer istilah”beras-jagung”. Ada dua arti dari istilah itu, yaitu: (a) campuran beras dengan jagung, dan (b) penggantian konsumsi beras pada waktu-waktu tertentu dengan jagung. Kebijakan ini ditempuh sebagai reaksi terhadap krisis pangan yang terjadi saat itu (Rahardjo, 1993). Pada tahun 1974, secara eksplisit pemerintah mencanangkan kebijaksanaan diversifikasi pangan melalui Instruksi Presiden (INPRES) No, 14 tahun 1974 tentang Perbaikan Menu Makanan Rakyat (UPMMR). Maksud dari instruksi tersebut adalah untuk lebih menganekaragamkan jenis pangan dan meningkatkan mutu gizi makanan rakyat baik secara kualitas maupun kuantitas sebagai usaha untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia. Kemudian program tersebut mengalami kevakuman, baru tahun 1991 muncul program diversifikai konsumsi pangan. Program ini dilaksanakan oleh Kementerian Pertanian dengan nama Program Diversifikasi Pangan dan Gizi (DPG), yang dalam pelaksanaannya dalam bentuk program pemanfaatan lahan pekarangan. Program DPG bertujuan untuk: (a) mendorong meningkatnya ketahanan pangan di tingkat rumah tangga, dan (b) mendorong meningkatnya kesadaran masyarakat terutama di pedesaan untuk mengkonsumsi pangan yang beranekaragam dan bermutu gizi seimbang. Pada tahun 2009, keluar Peraturan Presiden (Perpres) No. 22 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal. Tujuan kebijakan ini adalah menfasilitasi dan mendorong terwujudnya pola konsumsi pangan yang beragam, bergizi seimbang dan aman yang diindikasikan oleh skor PPH 95 pada tahun 2015.

Tabel 6.1. Perkembangan Kebijakan/Program/Kegiatan Diversifikasi Konsumsi Pangan No. 1 2

Tahun 1950-an 1960-an

Kebijakan 4 Sehat 5 Sempurna Anjuran konsumsi selain beras

3

1974

Inpres No, 14, 1974; 1979 : UPMMR,

4

1991/

Program diversifikasi

Tujuan/Kegiatan Pola makan yang sehat Populer ”beras-jagung” (pengertian campuran beras dengan jagung, dan penggantian konsumsi beras pada waktu-waktu tertentu dengan jagung). Tujuan: lebih menganekaragamkan jenis pangan dan meningkatkan mutu gizi makanan rakyat baik secara kualitas maupun kuantitas sebagai usaha untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia. Tujuan:(a ) ketahanan pangan rumah tangga,

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

37

1992

pangan (DPG)

dan

gizi

5

1998/ 1999

Revitalisasi program DPG

6

1995/ 1996

Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS)

7

2010

8

2010

Percepatan Penganekaragaman konsumsi Pangan (P2KP) One day no rice

9

2010

10

2011

M-KRPL (Model Kawasan Rumah Pangan Lestari) Gerakan Nasional Sadar Gizi

dan (b) kesadaran masyarakat terutama di pedesaan untuk mengkonsumsi pangan yang beranekaragam dan bermutu gizi seimbang. Fokus program DPG diarahkan pada upaya pemberdayaan kelompok rawan pangan di wilayah miskin dengan memanfaatkan pekarangan Perubahan orientasi dari hanya pemanfaatan pekarangan ke pekarangan/kebun sekitar rumah guna pengembangan pangan lokal alternatif. Pembinaan: aspek budi daya, pengolahan dan penanganan pasca panen agar pangan lokal alternatif ini dapat memenuhi selera masyarakat. Terdapat 13 Pesan Dasar Gizi Seimbang (menggantikan 4 sehat 5 sempurna). Pesan No,1 : makanlah aneka ragam makanan Ada 4 kegiatan, antara lain : Sosialisasi dan promosi penganekaragaman konsumsi pangan

Himbauan untuk tidak mengkonsumsi beras satu hari per bulan/minggu Peningkatan kualitas konsumsi pangan rumahtangga melalui optimalisasi pemanfaatan pekarangan secara lestari Gerakan perilaku pola konsumsi makanan

Strategi yang ditempuh dalam Perpres tersebut ada dua yaitu: (a) Internalisasi penganekaragaman konsumsi pangan melalui: advokasi, kampanye, promosi dan sosialisasi tentang konsumsi pangan yang beragam, bergizi seimbang dan aman pada berbagai tingkatan aparat, masyarakat, pendidikan formal dan non formal dan (b) Pengembangan bisnis dan industri pangan lokal melalui fasilitasi kepada UMKM untuk pengembangan bisnis pangan segar, industri bahan baku, industri pangan olahan dan pangan siap saji yang aman berbasis sumber daya lokal serta advokasi, sosialisasi dan penerapan standar mutu dan keamanan pangan baki pelaku usaha pangan terutama usaha rumah tangga dan UMKM. Untuk operasionalisasi PERPRES tersebut, Menteri Pertanian mengeluarkan peraturan No.43/Permentan/OT.140/2009) tentang Gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal. Untuk menindaklanjuti Perpres. Kementerian Pertanian melaksanakan kegiatan terkait diversifikasi konsumsi pangan yang dikenal gerakan Percepatan Diversifikasi Konsumsi Pangan (P2KP) yang dimulai sejak tahun 2010. Tujuan umum program P2KP adalah menfasilitasi dan mendorong terwujudnya pola konsumsi pangan beragam, bergizi seimbang dan aman yang diindikasikan dengan skor PPH dengan indikator outcome adalah meningkatnya skor PPH dari tahun ke tahun dan menurunnya konsumsi beras 1,55% per tahun (BKP, 2012).

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

38

Pelaksanaan gerakan percepatan penganekaragaman konsumsi sumberdaya lokal diselenggarakan melalui kegiatan sebagai berikut:

pangan

berbasis

a. Internalisasi Penganekaragaman Konsumsi Pangan Kegiatan internalisasi untuk mempercepat penganekaragaman konsumsi pangan berbasis pangan lokal difokuskan pada kegiatan antara lain: (1) Advokasi memberikan solusi, (2) Kampanye kepada penyadaran aparat dan masyarakat, (3) Promosi dan sosialisasi dalam rangka membujuk, menghimbau dan mengajak aparat dan masyarakat, (4) Pendidikan melalui jalur pendidikan non formal untuk seluruh lapisan masyarakat khususnya kelompok wanita dan Tim Penggeral PKK, (5) Penyuluh kepada ibu rumah tangga dan remaja, (6) Pemanfaatan pekarangan dan potensi pangan di sekitar lingkungan, (7) Pembinaan kepada industry rumahtangga. Selain itu juga dilakukan pengembangan dan diseminasi seta aplikasi paket teknologi terapan tehaap pengolahan aneka pangan. b. Pengembangan bisnis dan Industri Pangan Lokal Kegiatan pengembangan bisnis dan industri pangan difokuskan pada: (1) Fasilitasi kepada kelompoktan/gapoktan untuk pengembangan bisnis pangan segar, industri bahan baku, industri pangan lahan dan pangan siap saji, (2) Penerapan standar mutu dan keamanan pangan. Pengembangan bisnis juga dilakukan dengan menggerakkan peran serta aktif swasta dan dunia usaha dalam pengembangan industri dan bisnis pangan lokal. 6.2. Pencapaian Kualitas Konsumsi Pangan menurut PPH Keanekaragaman/diversifikasi konsumsi pangan dapat diukur dengan menggunakan konsep PPH. FAO RAPA pada tahun 1989 dalam Ariani dan Asari (2003) mengadakan pertemuan para pangan dan gizi di Bangkok dengan merumuskan komposisi pangan yang ideal yang terdiri dari 57-68% dari karbohidrat, 10-13% dari protein dan 20-30 persen dari lemak. Dengan rumusan ini kemudian diimplementasikan dalam bentuk energi dari sembilan kelompok pangan yang dikenal dengan istilah PPH. Sejak diperkenalkan di Indonesia, konsep PPH ini mendapat perhatian dari kalangan ilmuwan di bidang pangan dan gizi untuk dapat diterapkan di Indonesia disesuaikan dengan kondisi Indonesia. Dalam konsep PPH, setiap kelompok pangan dalam bentuk energi mempunyai pembobot yang berbeda tergantung dari peranan pangan dari masing-masing kelompok terhadap pertumbuhan dan perkembangan manusia. Sebagai contoh, pembobot pada kelompok padi-padian, umbi-umbian dan gula hanya 0,5 karena pangan tersebut hanya sebagai sumber energi untuk pertumbuhan manusia, sebaliknya pangan hewani dan kacang-kacangan sebagai sumber protein yang berfungsi sebagai pertumbuhan dan perkembangan manusia mempunyai pembobot 2 dan sayur+buah sebagai sumber vitamin dan mineral, serat, dan lain-lain mempunyai pembobot 5. Dengan mengkalikan proporsi energi dengan masing-masing pembobotnya, maka dalam konsep PPH akan diperoleh skor sebesar 100. Dalam arti diversifikasi konsumsi pangan sesuai konsep PPH harus mempunyai skor 100. Pada Gambar 6.1 disajikan perkembangan pencapaian diversifikasi konsumsi pangan yang diukur dengan PPH.

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

39

Sumber : BKP (2012)

Skor PPH sebetulnya meningkat dari tahun ke tahun, bahkan pada tahun 2007 dan 2008 mencapai 80-an, namun untuk tahun-tahun berikutnya, skor PPH mengalami penurunan. Bila mengacu pada tabel-tabel sebelumnya, pertanyaannya mengapa skor PPH justru menurun dengan peningkatan kesejahteraan. Seperti telah diungkap terdahulu, bahwa terkait dengan konsumsi pangan tidak hanya dipengaruhi oleh pendapatan namun juga pengetahuan seseorang terkait pangan dan gizi serta kesadaran akan makanan yang berkualitas untuk kesehatan dan kualitas sumberdaya manusia. Dari Tabel 6.2, pola konsumsi pangan masyarakat masih belum mengacu pada pedoman PPH. Konsumsi dari padi-padian sangat tinggi, melebihi dari ketentuan, sebaliknya untuk pangan hewani, sayur dan buah yang termasuk pangan berkualitas tinggi yang mampu meningkatkan skor PPH secara signifikan masih belum banyak dikonsumsi sesuai dengan ketentuan. Pada kondisi terakhir (tahun 2011), skor PPH menurun sedkit dibandingkan tahun sebelumnya yaitu skor PPH pada tahun 2011 sebesar 77,3, sedangkan pada tahun 2010 sebesar 77,5. Penurunan ini lebih diakibatkan oleh penurunan konsumsi sayuran dan buah-buahan.

Tabel 6.2. Pola Konsumsi Pangan: Harapan dan Kenyataan Kelompok Pangan Padi-padian Umbi-umbian Pangan hewani Minyak +lemak Kacangkacangan Gula Sayur+Buah

Bobot

Harapan

Selisih

0,5 0,5 2,0 0,5 2,0

Realitas (Kal/kap/hari) 310,0 38,8 92,2 22,6 22,1

275 100 150 20 35

39,4 - (61,2) -(57,8) 2,6 -(12,9)

0,5 5,0

23,1 211,4

30 250

-(6,9) -(38,6)

Sumber : BKP (2012)

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

40

6.3. Kendala Pencapaian Diversifikasi Pangan Secara Signifikan Program diversifikasi konsumsi pangan dirintis sejak lama yaitu tahun 60-an. Namun sampai sekarang pencapaian diversifikasi belum berjalan secara signifikan. Masyarakat masih tertumpu pada konsumsi pangan pokok beras dan makanan lokal lainnya terutama sumber karbohidrat cenderung ditinggalkan. Permasalahannya mengapa mereka sulit kembali ke pangan pokok bukan beras?. Mengapa pula diversifikasi konsumsi pangan Indonesia masih belum seimbang sesuai harapan?. Hasil analisis menunjukkan banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut. Banyak program pemerintah dalam upaya menurunkan konsumsi beras dan program ke arah diversifikasi konsumsi pangan, namun pelaksanaan program sering tidak konsisten, tidak jelas tugas siapa, dan sporadis. Secara terinci, hambatan pencapaian diversifikasi konsumsi pangan sebagai berikut: a. Tidak ada institusi tingkat pusat yang menangani diversifikasi konsumsi pangan. Kalaupun ada, bersifat partial, tidak kontinyu dan dapat tumpang tindih. Kasus sejak tahun 2010, Kementerian Pertanian mempunyai program P2KP yang dalam operasionalnya memanfaatkan kelembagaan Badan Ketahanan Pangan Daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota. Sementara itu, Kementerian Kesehatan membangun Gerakan sadar Pangan dan Gizi, yang operasionalnya memanfaatkan kelembagaan Dinas Kesehatan Provinsi/Kabupaten/Kota. b. Konsep makan, pola pangan pokok dan lambang kemakmuran adalah beras. Seseorang merasa belum makan walaupun sudah makan roti, mi instan tetapi belum makan nasi. Nasi adalah primadona bagi sebagian masyarakat Indonesia, dampaknya tingkat partisipasi konsumsi beras mencapai hampir 100% dan beras dijadikan pangan pokok utama dan tunggal. Beras sebagai konstruksi sosial dengan penyamaan swasembada beras dengan ketahanan pangan. Dominasi beras atas sumber daya pangan lainnya di Indonesia dapat ditemukan dalam istilah-istilah lokal seperti “palawija” (Sansekerta, phaladwija) yang harfiahnya berarti sesuatu yang bukan beras (sekunder) atau pangan kelas dua, sesuatu yang terkonstruksikan secara budaya (culturally constructed). Lambang padi digunakan sebagai simbol kemakmuran Negara termasuk di daerah-daerah produsen jagung dan umbi jalar seperti Timor dan Papua, padi tetap disimbolkan sebagai lambang pemerintahan daerah. c. Kebijakan diversifikasi konsumsi pangan yang tidak konsisten pelaksanaannya, sehingga kebijakan pemerintahpun juga tumpang tindih. Di satu sisi pro dan di sisi lain kontra dengan kebijakan diversifikasi konsumsi pangan seperti adanya kebijakan beras miskin (raskin) untuk seluruh Indonesia dalam waktu yang lama. Selain itu juga apabila terjadi kelangkaan beras, pemerintah selalu melakukan kebijakan OPK beras, d. Kebijakan konsumsi pangan vs kebijakan produksi pangan. Pemerintah telah menetapkan berbagai kebijakan yang bertujuan agar pangan yang dikonsumsi masyarakat beragam dan penurunan tingkat konsumsi beras. Di sisi lain, program peningkatan pangan sejak tahun 2008 diutamakan untuk peningkatan produksi beras melalui Program Peningkatan Produksi Beras (P2BN). Bahkan sejak tahun 2010, pemerintah menetapkan target surplus beras 10 juta ton tahun 2014, sehingga anggaran untuk program ini bertambah dan relatif tinggi karena kegiatannya yang juga bertambah. Sebaliknya anggaran untuk pengembangan komoditas lain seperti umbi-umbian, sayuran, buah-buahan dan jenis komoditas lain relatif kecil yang tidak merupakan target sukses Kementerian Pertanian. Pemerintah memberikan bantuan alat penepung dan Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

41

bantuan peralatan lain untuk pengembangan olahan pangan lokal seperti ubikayu, ganyong, talas ke masyarakat melalui kelompok wanita tani namun tidak diimbangi kebijakan pengembangan produksi pangan lokal. Akhirnya usaha rumah tangga atau UKM kesulitan untuk memperoleh bahan baku pangan lokal, ketidakseimbangan perbandingan antara biaya pengembangan dan harga produk alternatif dengan beras. e. Variasi kelembagaan ketahanan pangan di daerah. Dampak dari otonomi daerah, pandangan pemerintah daerah dalam hal ini Gubernur/Bupati/Walikota terhadap pentingnya ketahanan pangan termasuk diversifikasi pangan sangat berbeda. Hal ini ditunjukkan dengan penempatan kelembagaan yang menangani ketahanan pangan (variasi setingkat eselon 2, 3, 4 atau tidak berupa eselon). Belum lagi dilihat dari aspek kuantitas dan kualitas sumberdaya yang menangani ketahanan pangan, penempatan orang sering tidak sesuai dengan kompetensinya. f.

Institusi yang menangani kebijakan diversifikasi konsumsi pangan terbatas. Seolah-olah kegiatan ini hanya tugas Kementerian Pertanian dan kementerian Kesehatan karena tampaknya belum ada kebijakan langsung atau tidak langsung yang dikeluarkan oleh instansi lainnya. Kebijakan diversifikasi konsumsi pada tahun 1960-1970an dilakukan oleh berbagai instansi/kelembagaan yang dikoordinir oleh Menko Kesra, namun tampaknya setelah tahun tersebut, kebijakan ini hanya melibatkan sedikit lembaga, bersifat sporadis dan tidak massif.

g. Promosi mi instan yang gencar dan jenis produknya yang cukup banyak dan bervariasi. Adanya kebijakan impor gandum untuk diproses menjadi tepung di dalam negeri yang berlangsung lama dan subsidi harga terigu oleh pemerintah, maka harga terigu menjadi murah. Selain itu, kampanye yang intensif melalui berbagai jenis media seperti media elektronik, product development yang diperluas dengan harga yang bervariasi dan mudah diperoleh, turut mendorong peningkatan partisipasi konsumsi produk gandum terutama berupa mi dan roti. Sehingga nilai impor gandum terus meningkat dan pada tahun 2010, nilai impor gandum mencapai 7,2 juta ton, dengan nilai Rp 15 trilyun. h. Pengembangan teknologi pengolahan non beras dan non terigu terbatas. Beras dan terigu termasuk tepungnya dapat dijumpai di pasaran dengan mudah, sebaliknya untuk tepung dari jagung, ganyong, talas, ubikayu dan ubijalar tersedia dalam jumlah terbatas dan tidak kontinyu. Selain itu, teknologi pengolahan termasuk peralatannya untuk pangan lokal belum berkembang optimal dibandingkan dengan beras dan terigu, sebagai contoh dikenal rice cooker tetapi tidak ada corn cooker atau cassava cooker. Kalaupun ada, perkembangan, penyebaran, penyerapan teknologi pengolahan pangan lokal untuk meningkatkan kepraktisan dalam pengolahan, nilai gizi, nilai ekonomi, nilai sosial, citra dan daya terima relatif lambat. i.

Kebijakan yang sentralistik dan penyeragaman, mengabaikan aspek budaya dan potensi pangan lokal. Ketiadaan alat ukur keberhasilan program, program bersifat partial tidak berkelanjutan dan tidak memiliki target kuantitatif yang disepakati bersama.

j.

Riset diversifikasi konsumsi pangan masih lemah, bias pada beras, terpusat di JawaBali. Fokus pada on-farm, dana hanya dari pemerintah pusat, Selain itu juga kurangnya kemitraan dengan swasta/industri dan LSM.

k.

Menyempitkan arti diversifikasi konsumsi pangan, seolah-olah diversifikasi hanya untuk makanan pokok. Padahal, diversifikasi konsumsi pangan seperti juga pada konsep

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

42

PPH, mencakup semua komoditas pangan, dalam arti makanan pokok dan makanan pendamping. l.

Masih kurangnya sinergi untuk mendorong dan memberikan insentif bagi dunia usaha dan masyarakat dalam mengembangkan aneka produk olahan pangan lokal. Demikian pula masih kurangnya fasilitasi pemberdayaan ekonomi dan pengetahuan untuk meningkatkan aksesibilitas pada pangan beragam, bergizi, seimbang dan aman.

m. Jumlah penduduk miskin dan pengangguran masih relatif besar walaupun dari tahun ke tahun menurun. Mereka mempunyai kemampuan akses pangan yang rendah, padahal pendapatan mempunyai korelasi positip dengan pola dan tingkat konsumsi pangan termasuk kualitasnya. n.

Pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap diversifikasi pangan dan gizi masih rendah. Dalam pola makan, kadang-kadang bertindak irasional, faktor gengsi kadang lebih dominan daripada aspek kesehatan. Dalam hal ini termasuk kesadaran masayarakat terhadap keamanan pangan.

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

43

BAB VII TINGKAT KONSUMSI DAN PERMINTAAN PANGAN 7.1. Tingkat Konsumsi Pangan Data tingkat konsumsi pangan penting untuk diketahui terutama dikaitkan dengan perkiraan kebutuhan pangan masyarakat, yang berimplikasi pada perkiraan kebutuhan pangan yang dapat dipenuhi dari produksi sendiri maupun dari impor. Data yang digunakan adalah data yang dibeli untuk konsumsi rumah tangga, tidak termasuk data konsumsi yang berasal dari makanan/minuman jadi. Selama lima belas tahun terakhir, semua komoditas sumber karbohidrat yang dianalisis mengalami penurunan seperti pada Tabel 7.1. Penurunan konsumsi beras secara agregat sebesar 4,4% dan penurunan di kota lebih besar dibandingkan dengan di desa. Namun demikian, tingkat konsumsi beras masih 87,6 kg/kapita/tahun dan lebih besar dibandingkan rata-rata dunia (60 kg/kap/tahun). Hal ini yang mengakibatkan tingkat konsumsi beras masyarakat Indonesia relatif masih tinggi. Makmur (2010) mengatakan bahwa konsumsi beras total untuk Indonesia tahun 2009 sebesar 139 kg/kapita/tahun lebih besar dibandingkan dengan negara tetangga seperti Thailand, Malaysia dan Jepang, misalnya sudah dibawah angka 100 kg, yaitu masing-masing sebesar 90 kg, 80 kg dan 60 kg. Dengan semakin besar pengeluaran rumahtangga untuk pembelian makanan/minuman jadi mengindikasikan adanya beras yang dibeli oleh rumahtangga dalam bentuk nasi campur/nasi rames, nasi goreng, dan lontong/ketupat sayur. Tingkat konsumsi pangan ini akan menambah tingkat konsumsi beras. Penurunan sangat tajam pada pangan lokal seperti umbi-umbian akan mencabut kedaulatan pangan mengingat indonesia memiliki keragaman pola konsumsi pangan pokok. Seperti di provinsi NTT yang terkenal dengan pola pangan pokok sagu dan masyarakat pulau Papua dan Maluku terkenal dengan sagunya. Adanya raskin yang didistribusikan kepada seluruh wilayah tanpa memperhatikan pola pangan pokok setempat turut memicu beralihnya masyarakat dari pangan lokal ke beras. Hasil penelitian Setiawan (2011) kasus di Desa Enoneontes dan Naukae, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), NTT juga mengindikasikan bahwa di kalangan orang-orang muda cenderung beralih ke beras. Mengkonsumsi pangan non beras dianggap tidak bergengsi dibandingkan dengan beras. Hal ini juga menunjukkan bahwa pangan non beras yang semula menjadi pangan pokok masyarakat di KTI seperti jagung di NTT, sagu di Papua/Maluku, namun telah mengalami pergeseran ke arah beras. Kalaupun mereka mengkonsumsi pangan non beras, namun status pangan tersebut sebagai pangan komplementer atau pangan alternatif yang dikonsumsi dengan jumlah yang relatif kecil, pada waktu-waktu tertentu dan pada kondisi tertentu.

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

44

Tabel 7.1. Tingkat Konsumsi Pangan: Beras, Umbi-umbian dan Terigu Menurut Wilayah, (kg/kap/th) Kelompok Pangan Kota 1996 1999 2002 2005 2008 2011 Laju Perub. (%) Desa 1996 1999 2002 2005 2008 2011 Laju Perub. (%) Kota+Desa 1996 1999 2002 2005 2008 2011 Laju Perub. (%)

Beras

Ubi kayu

Ubi jalar

Sagu

Umbi lainnya

Terigu dan turunannya

102,3 93,5 89,8 86,3 83,3 79,1 (4,8)

4,7 6,2 5,6 4,8 5,6 3,0 (6,4)

2,0 2,1 2,2 2,2 1,6 1,1 (7,5)

0,2 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 (12,2)

2,9 1,6 2,6 2,6 2,5 2,0 (2,2)

2,4 2,1 2,9 3,4 4,0 3,4 10,5

116,8 111,2 109,7 106,8 103,7 96,0 (3,4)

16,2 17,7 16,3 13,5 13,7 8,8 (10,3)

3,5 3,3 3,1 3,1 3,6 3,9 2,4

0,8 0,2 0,4 0,9 0,9 0,7 9,2

2,3 6,1 8,1 1,1 1,8 1,2 (21,1)

1,4 1,2 1,9 2,8 3,4 3,0 19,4

111,6 103,8 100,8 97,9 93,9 87,6 (4,4)

13,3 12,7 11,7 9,9 9,9 6,1 (12,5)

3,0 2,8 2,7 3,1 2,7 2,5 (2,4)

0,6 0,1 0,3 0,6 0,5 0,4 (8,6)

2,5 1,3 1,9 2,2 1,7 1,6 (4,6)

2,0 1,6 2,3 3,1 2,3 3,2 10,5

Sumber : SUSENAS (diolah) Keterangan : ( )= penurunan/negatif

Sagu dan umbi-umbian lainnya dikonsumsi dalam berbagai bentuk dan olahan. Di Papua dan Maluku, sagu dikonsumsi sebagai papeda (baik papeda basah maupun kering), sagu lempeng, kapurung, dan buburnee. Sebagai camilan yang lebih bersifat suplementer, sagu dikonsumsi dalam bentuk bagea dan aneka kue sagu. Jagung di NTT dikonsumsi dalam bentuk jagung bose, yaitu jagung putih kering dikelupas kulitnya, direbus dengan campuran kacang-kacangan kering (seperti kacang jogo, kacang merah, atau kacang hijau). Ariani dan Pasandaran (2005) mengatakan jagung di NTT dimasak menjadi jagung pipil “ketemek”, jagung olahan tumbuk atau jagung bose dan jagung giling atau jagung mol. Bahan tersebut kemudian dicampur dengan beras dan kacang-kacangan dan dimasak bersama-sama. Proses pemasakan untuk jagung ketemek memerlukan waktu 2,5 jam, sedangkan untuk jagung bose dan jagung mol masing-masing 2 jam dan 1 jam. Di Papua, umumnya ubi jalar dikonsumsi dengan cara direbus, kukus, dibakar dengan istilah adat bakar batu untuk acara/pesta adat. Dalam upacara adat suku Dani, seperti perkawinan, Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

45

kematian, pelantikan kepala suku, penyambutan tamu, pesta panen, dan festival budaya, ubi jalar merupakan bahan pangan utama yang dimasak bersama beberapa ekor babi dengan cara ”bakar batu” (Peter,2001) dalam Limbongan dan Soplanit (2007). Oleh karenanya dalam Undang-Undang Pangan No. 18 tahun 2012 mengamanatkan akan pentingnya kedaulatan pangan dan kemandirian pangan untuk mencapai ketahanan pangan. Disisi lain, diantara pangan sumber karbohidrat hanya terigu yang selalu meningkat tingkat konsumsinya baik di perkotaan maupun di pedesaan. Menelisik pola konsumsi pangan sumber karbohidrat maka pemerintah harus melakukan reorientasi program yang berbasis kemandirian pangan untuk meningkatkan ketahanan pangan terutama pangan yang menjadi pangan pokok masyarakat. Argumen ini beralasan karena pada awalnya masyarakat banyak mengkonsumsi pangan pokok yang beranekaragam (makanan lokal), kemudian beralih ke beras sebagai penciri makanan nasional, kemudian ke arah pangan berbasis terigu (pangan internasional). Disisi lain, Indonesia merupakan negara yang berpenduduk besar dan salah satu dari 17 negara megadiversity. Indonesia memiliki sumber-sumber bahan pangan yang sangat banyak, antara lain: sekitar 100 jenis tanaman sumber karbohidrat, 75 jenis tanaman sumber minyak/lemak, 26 jenis tanaman kacang-kacangan, 389 jenis tanaman buah-buahan, 228 jenis tanaman sayur-sayuran (Sukarya; 2012; Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan, 2012). Perubahan konsumsi pangan lokal ke pangan internasional seperti roti, kue dan mi instan membutuhkan perjuangan yang panjang dan peran pemerintah Orde Baru pada waktu itu sangat dominan. Sawit (2003), terigu diperkenalkan secara intensif sejak awal pemerintahan Orde Baru dalam rangka kebijakan stabilsasi harga pangan dan stabilisasi ekonomi. Indonesia telah mengimpor terigu untuk mencapai tujuan tersebut karena harga gandum relatif stabil dan volume yang diperdagangkan cukup banyak serta beras dan terigu erat subsitusinya. Amerika Serikat mendorong kebijakan ini dengan memberikan cumacuma dan hutang lunak untuk impor terigu. Kegiatan ini dilakukan setiap tahun dan pada awal tahun 1970-an dibangun tiga pabrik pengolah biji gandum. Sejak ini impor gandum berkembang dengan pesat. Dalam waktu yang sama, Amerika Serikat mengirim bebeapa pakar pangannya ke Indonesia untuk mempengaruhi para pengambil kebijakan di lembaga pemerintah dan mereka berhasil mempengaruhinya. Walau awalnya masyarakat sulit sekali menerima makanan yang berasal dari terigu, kampanye yang diperluas dan diintensifkan dengan salah satunya menjual terigu dengan haga murah (50% lebih rendah dari harga internasional, sisanya disubsidi oleh pemerintah). Bulog diberi hak monopoli impor gandum oleh pemerintah dan menggilingnya ke Bogasari secara bagi hasil. Hasil giling berupa terigu dijual oleh Bulog melalui agen-agennya. Inilah cikal bakal mengapa terigu masuk ke Indonesia dan dengan semakin gencarnya promosi berbagai jenis dan kemasan mi instan dengan harga yang terjangkau, serta banyaknya industri yang menghasilkan berbagai jenis roti, kue basah berbahan baku terigu dan sejenisnya berdampak positif pada peningkatan konsumsi terigu dan turunannya. Pada Tabel 4.9, konsumsi terigu dari tahun ke tahun terus meningkat. Bahkan konsumsi mi instan di Indonesia No. 2 terbesar setelah Korea Selatan yaitu rata-rata 63 kemasan mi instan per tahun per orang. Korea selatan Selatan mengonsumsi 69 mi instan per orang, Jepang 39,9 kemasan mi instan per orang per tahunnya dan Cina walaupun jumlah konsumsi mi instan terbanyak (42,5 miliar paket mi instan tahun lalu), namun konsumsi per kapitanya 32 Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

46

kemasan mi instan (http://id.berita.yahoo.com/cina-pengonsumsi-mi-instan-terbanyak-didunia.html, diunduh tanggal 26 Mei 2012). Volume dan nilai impor gandum terus meningkat baik dari segi nilai maupun volume. Pada tahun 2011, nilai impor gandum mencapai USD 2.470 dengan volume 6,236 ton juta. Impor ini cukup besar dan Indonesia semakin tergantung kepada produsen negara lain yang dapat memberatkan neraca perdagangan Indonesia. Peningkatan impor gandum tentu tidak terlepas dari perubahan selera konsumen akibat peningkatan pendapatan sebagian besar penduduk Indonesia. Sementara gandum bukan tanaman asli Indonesia, meskipun sejarah penanaman gandum telah dimulai awal abad 20 di Pengalengan, Dieng dan Tengger. Bagi pemerintah, impor gandum yang semakin meningkat dari segi volume dan nilai menjadi masalah tersendiri. Oleh sebab itu pemerintah Indonesia melakukan berbagai upaya untuk mengatasi peningkatan impor gandum ini yang menjadi bagian program ketahanan pangan. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah mengembangkan tanaman gandum di beberapa wilayah di Indonesia. Selain itu pemerintah juga mengupayakan perubahan pola makanan dengan lebih banyak memproduksi produk lokal selain beras. Perkembangan konsumsi pangan sumber protein hewani, vitamin/mineral, minyak goreng dan gula pasir dapat dilihat pada Tabel 7.2 dan Tabel 7.3. Perkembangan konsumsi pangan ini sebagai pijakan untuk menghitung permintaannya ke depan. Hal ini sekaligus sebagai pijakan pemerintah untuk menentukan besaran kebutuhan pangan untuk tahuntahun berikutnya. Pola konsumsi ini mengindikasikan bahwa telah terjadi perubahan pola konsumsi pangan masyarakat ke arah pangan yang berkualitas yang ditunjukkan dengan penurunan konsumsi pangan sumber karbohidrat dan peningkatan konsumsi protein, vitamin dan mineral. Apalagi konsumsi gula pasir juga menunjukkan penurunan. Kesemuanya hal tersebut, harapannya akan terjadi peningkatan kualitas sumberdaya manusia.

Tabel 7.2. Tingkat Konsumsi Pangan: Daging, Telur, Susu, dan Kedelai Menurut Wilayah, (kg/kap/th) Kelompok Pangan Kota 1996 1999 2002 2005 2008 2011 Laju Perub.(%) Desa 1996 1999 2002 2005 2008 2011

Daging sapi

Daging ayam

Telur

Susu

Kedelai

1,2 0,7 0,9 0,8 0,6 0,8 (8,2)

5,3 2,6 4,9 5,6 5,0 5,5 5,3

6,6 4,5 6,9 7,2 7,4 7,5 5,8

1,3 0,8 0,6 1,4 1,4 1,3 6,6

5,8 6,8 8,0 4,8 7,1 6,7 1,0

0,3 0,3 0,3 0,2 0,2 0,3

2,6 1,1 2,0 2,7 2,7 3,1

4,1 2,7 4,2 4,9 5,2 6,1

0,4 0,2 0,4 0,6 0,7 0,6

4,9 4,7 6,1 6,2 3,5 5,2

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

47

Laju Perub. (%) Kota+Desa 1996 1999 2002 2005 2008 2011 Laju Perub. (%)

(4,3)

9,7

11,5

16,0

(1,1)

0,6 0,5 0,5 0,5 0,36 0,5 (4,6)

3,5 1,7 3,3 4,0 3,8 4,3 9,2

5,0 3,4 5,4 5,9 6,2 6,8 9,4

0,7 0,5 0,7 0,9 1,1 1,0 12,2

5,5 5,6 6,9 7,0 6,2 5,9 1,8

Sumber : SUSENAS (diolah) Keterangan : ( )= penurunan/negatif

Tabel 7.3. Tingkat Konsumsi Pangan: Sayuran, Buah-buahan, Gula Pasir dan Minyak Goreng Menurut Wilayah, (kg/kap/th) Kelompok Pangan Kota 1996 1999 2002 2005 2008 2011 Laju Perub. (%) Desa 1996 1999 2002 2005 2008 2011 Laju Perub.(%) Kota+Desa 1996 1999 2002 2005 2008 2011 Laju Perub.(%)

Sayuran

Buahbuahan

Gula Pasir

Minyak Goreng

33,8 32,0 38,5 39,5 39,4 34,3 2,0

26,4 19,8 30,8 27,4 32,8 24,9 3,0

9,4 8,6 9,5 8,5 8,0 6,5 (5,9)

8,1 7,7 8,7 8,5 7,5 8,4 0,2

39,2 36,7 41,3 46,6 52,7 42,8 4,7

23,5 17,8 25,9 23,4 30,9 21,7 3,3

8,5 8,0 9,0 8,4 8,8 7,5 (1,1)

6,6 6,5 7,7 9,8 10,0 8,1 7,1

37,4 33,9 39,9 42,5 43,8 39,0 2,9

24,5 18,6 28,0 25,2 31,9 23,1 3,4

8,8 8,2 9,2 8,4 8,4 7,0 (3,2)

7,2 7,0 8,2 8,1 8,2 8,2 3,1

Keterangan : ( )= penurunan/negatif

Pola konsumsi pangan juga dipengaruhi oleh pendapatan seseorang. Dengan peningkatan pendapatan, masyarakat akan leluasa untuk menentukan jenis pangan yang diinginkan, kapan saja mampu mengkonsumsi. Selain itu dengan pendapatan yang leluasa, Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

48

seseorang juga akan dengan mendapatkan makanan, dapat membeli di restoran, warteg dan lainnya. Penurunan konsumsi pangan sumber karbohidrat juga sebagai akibat peningkatan pendapatannya. Seperti pada Tabel 7.4, semua komoditas pangan pokok menurun seiring peningkatan pendapatan kecuali untuk terigu dan turunannya yang meningkat secara signifikan.

Tabel 7.4. Tingkat Konsumsi Pangan: Beras, Ubi kayu, Ubi jalar, Sagu, Umbi Lainnya dan Terigu Menurut Kelompok Pengeluaran, 2011 (kg/kap/th) Kelompok Pengeluaran I II III IV V VI VII VIII

Beras 66,7 77,1 83,2 89,5 91,5 90,3 85,1 75,1

Ubi kayu 16,6 19,0 9,4 8,2 5,8 4,7 3,6 2,7

Ubi jalar 5,5 10,1 6,6 3,5 1,9 1,9 1,6 1,3

Sagu 9,7 1,7 0,9 0,5 0,4 0,3 0,4 0,2

Umbi lainnya 1,0 1,8 1,1 1,2 1,7 2,3 2,8 3,6

Terigu dan turunanya 0,4 0,9 1,4 2,1 4,2 5,1 5,6 7,3

Pada kelompok pengeluaran terendah, konsumsi terigu hanya 0,4 kg/kapita/tahun menjadi 7,3 kg/kapita/tahun pada kelompok pengeluaran tertinggi. Demikian pula, untuk pangan sumber protein hewani, sayuran/buah, gula pasir dan minyak goreng (Tabel 7.5). Peningkatan konsumsi pangan tersebut sebagai akibat peningkatan pendapatan masyarakat. Dengan peningkatan perekonomian Indonesia yang diprogramkan oleh pemerintah dengan penetapan laju pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat maka diharapkan pendapatan masyarakat juga meningkat. Peningkatan pendapatan akan berdampak pada perubahan pola konsumsi pangannya. Mengacu kasus pada pola pangan selama ini, peningkatan pendapatan akan menurunkan pangan sumber karbohidrat, sebaliknya meningkatkan pangan sumber protein dan vitamin/mineral. Tabel 7.5. Tingkat Konsumsi Pangan: Daging, Telur, Susu, dan Kedelai Menurut Kelompok Pengeluaran, 2011(kg/kap/th) Kelompok Pengeluaran

Daging sapi

Daging ayam

Telur

Susu

Kedelai

Sayuran

Buah buahan

Gula Pasir

Minyak Goreng

I II III IV V VI VII VIII

0,0 0,0 0,0 0,1 0,2 0,6 0,9 2,0

0,0 0,2 0,9 1,5 3,1 5,6 7,3 9,8

1,7 2,1 3,0 4,6 6,4 8,1 9,3 9,9

0,1 0,1 0,2 0,3 0,8 1,3 1,9 2,9

0,8 2,8 3,9 5,3 6,1 6,5 6,6 6,7

23,7 30,7 31,9 35,3 38,3 42,4 43,0 45,7

8,7 7,5 9,7 13,2 18,7 27,1 34,0 45,3

3,0 3,7 4,5 5,8 7,0 8,0 8,3 8,2

4,2 5,0 6,4 8,2 10,0 10,2 12,6 12,7

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

49

7.2. Proyeksi Kebutuhan Pangan untuk Konsumsi tahun 2020 Proyeksi permintaan konsumsi pangan hanya dilakukan untuk beberapa jenis pangan terutama dikaitkan dengan komoditas strategis pemerintah yaitu beras, terigu dan turunannya, kedelai, gula pasir, minyak goreng, daging sapi, daging ayam dan telur. Data yang digunakan adalah data SUSENAS tahun 1996-2011 untuk menghitung proyeksi konsumsi secara agregat nasional, sedangkan SUSENAS tahun 2006-2011 untuk proyeksi konsumsi menurut kelompok pengeluaran (disesuaikan dengan kesamaan dalam hal jumlah dan nilai rupiah dari masing-masing kelompok). Proyeksi konsumsi pangan secara agregat dilakukan untuk mengetahui berapa perkiraan pangan yang dibutuhkan untuk konsumsi masyarakat. Selanjutnya hasil ini digunakan sebagai pijakan dalam menentukan ketersediaan pangan, berapa kemampuan dari produksi sendiri dan berapa dari impor. Sementara itu, proyeksi konsumsi pangan menurut kelompok pangan dilakukan untuk mengetahui besaran kebutuhan konsumsi pangan per kelompok dengan memperhatikan perubahan komposisi penduduk menurut kelompok pangan. Data dasar yang digunakan untuk menghitung proyeksi pangan adalah data konsumsi pangan tahun 2011 dan laju perubahan permintaan pangan seperti pada Tabel 7.6. Kedua tabel tersebut digunaan untuk menghitung proyeksi konsumsi pangan secara agregat. Data penduduk yang digunakan untuk proyeksi adalah penduduk tahun 2010 sebagai tahun dasar (237.641.326 juta orang) dengan laju pertumbuhan mengikuti laju pertumbuhan penduduk tahun 2000-2010 yaitu 1,49 persen per tahun (BPS, 2012). Proyeksi penduduk secara agregat untuk setiap tahun pada kurun waktu 2013 sampai 2020 seperti pada Tabel 7.7.

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

50

Tabel 7.6. Tingkat Beberapa Komoditas Pangan dan Laju Perubahannya Menurut Kelompok Pengeluaran Komoditas I II Beras 2011 66,7 77,1 Laju Perub. (%) 0,17 0,71 Terigu 2011 0,4 0,9 Laju Perub. (%) 1,47 (20,0) Kedelai 2011 0,8 2,8 Laju Perub. (%) (12,70) (2,57) Gula Pasir 2011 3,0 3,7 Laju Perub. (%) (2,52) (3,38) Minyak goreng 2011 3,3 4,0 Laju Perub. (%) 6,53 1,27 Daging sapi 2011 0,001 0,001 Laju Perub. (%) 0 0 Daging ayam 2011 0,01 0,2 Laju Perub. (%) (20,11) (7,35) Telur 2011 1,69 2,1 Laju Perub. (%) 31,40 7,85 Keterangan : ( )= penurunan/negatif

III

IV

V

VI

VII

VIII

83,2 1,15

89,5 (1,18)

91,5 (1,6)

90,3 (1,5)

85,1 (1,5)

75,1 (1,7)

1,4 (2,78)

2,1 (0,97)

2,9 (1,24)

3,8 (0,42)

4,3 (1,64)

4,7 (3,10)

3,9 (1,86)

5,3 (1,72)

6,1 (3,14)

6,5 (3,85)

6,6 (5,18)

6,7 (5,64)

4,5 (2,65)

5,8 (2,85)

7,0 (2,61)

8,0 (2,39)

8,3 (3,79)

8,2 (4,78)

5,2 2,71

6,7 3,41

8,0 2,83

9,3 2,58

10,1 2,29

10,2 1,68

0,001 (33,27)

0,10 (2,98)

0,2 (2,45)

0,6 (14,09)

0,9 (0,52)

2,0 (1,58)

0,9 6,17

1,5 0,80

3,1 2,15

5,6 3,15

7,3 1,29

9,8 3,57

3,0 5,96

4,6 3,97

6,4 2,63

8,1 (1,65)

9,3 (1,65)

9,9 0,82

Sementara itu, proporsi penduduk menurut kelompok pengeluaran pada tahun 2020 dihitung dengan mempertimbangkan laju proporsi penduduk selama kurun waktu tahun 2007 sampai 2011, pertumbuhan ekonomi dan inflasi pada kurun waktu tersebut. Pertumbuhan ekonomi selama ahun 2007 sampai 2011 bila dijumlahkan menjadi 31,18%, sedangkan untuk inflasi menjadi 29,65, sehingga pertumbuhan ekonomi riil sebesar 1,53%. Selain itu, asumsi pertumbuhan ekonomi selama kurun waktu 2013-2010 adalah 6,5% per tahun dan Inflasi sebesar 5% per tahun. Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, proporsi dan jumlah penduduk menurut kelompok pengeluaran pada tahun 2020 sepeti pada Tabel 7.8. Tabel 7.7. Proyeksi Jumlah Penduduk (Orang) Tahun 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020

Jumlah Penduduk (orang) 248.422.956 252.124.458 255.881.112 259.693.741 263.563.177 267.490.269 271.475.874 275.520.864

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

51

Hasil proyeksi permintaan beberapa jenis pangan untuk konsumsi masyarakat berdasarkan data SUSENAS disajikan pada Tabel 7.9 sampai Tabel 7.13. Kebutuhan beras untuk konsumsi masyarakat pada tahun 2020 diperkirakan sekitar 16,1 juta ton. Walaupun mengalami penurunan dibandingkan keadaan sekarang (diperlukan sekitar 20-an juta ton), namun pemerintah tetap harus waspada dikarenakan lahan untuk menanam padi semakin terbatas. Konversi lahan petanian ke non pertanian terus berlangsung, walaupun pemerintah telah menetapkan Undang-Undang LP2B (Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan), yang mengamanatkan untuk mencegah alih fungsi lahan pertanian dan menetapkan lahan pertanian abadi. Operasionalisasi hal tersebut masih belum berjalan di lapangan.

Tabel 7.8. Proporsi Penduduk Menurut Kelompok Pengeluaran (Orang) Kelompok Pengeluaran I II III IV V VI VII VIII

Proporsi Penduduk 2011 0,05 1,4 5,8 20,8 30,9 19,6 9,2 12,2

Proporsi Penduduk 2020 0,005 0,235 1,644 11,191 25,316 22,973 13,734 24,905

Jumlah Penduduk 2020 13.776 647.474 4.529.563 30.833.540 69.750.862 63.295.408 37.840.035 68.610.206

Pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu ke II, menetapkan lima komoditas strategis utama yaitu beras, jagung, kedelai, minyak goreng dan gula pasir, yang diupayakan untuk mencapai swasembada (dihitung dari produksi pangan dibagi dengan kebutuhannya). Pencapaian pada tahun 2012 menunjukkan bahwa untuk beras dan jagung telah tercapai swasembada (Suryana, 2012), namun untuk komoditas lainnya masih perlu diupayakan peningkatan produksinya seperti pada Tabel 7.14. Ke depan persaingan sumberdaya lahan juga semakin ketat dikarenakan jumlah penduduk juga terus meningkat, sehingga akan terjadi persaingan lahan untuk pemukiman, produksi pangan dan industri. Selain itu, penanaman padi juga memerlukan air yang cukup untuk mendapatkan produktivitas yang tinggi. Padahal dengan adanya perubahan iklim berdampak pada perubahan pola hujan yang tidak menentu, yang tentu saja akan menyulitkan petani. Konsumsi pangan masih tetap didominasi oleh beras sebagai sumber karbohidrat atau pangan pokok, akan memberatkan bagi upaya pemantapan ketahanan pangan yang berkelanjutan. Oleh karena itu, upaya pengembangan pangan lokal seperti umbi-umbian, sagu harus mendapat porsi yang layak. Penanaman pangan ini relatif mudah dibandingkan dengan beras seperti tidak memerlukan air dalam jumlah yang banyak dan kebutuhan input produksi juga rendah. Pengembangan pangan ini tidak hanya terkait budidaya tanaman (yang memang selama ini cenderung dibiarkan oleh pemerintah) tetapi juga dalam hal pengolahannya, sehingga produk olahan pangan yang dihasilkan akan menarik bagi Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

52

konsumen/masyarakat. Disisi lain, penyadaran masyarakat akan konsumsi makanan yang beranekaragam terus harus dilakukan oleh pemerintah, swasta dan masyarakat.

Tabel 7.9. Proyeksi Permintaan Beberapa Jenis Pangan untuk Konsumsi Masyarakat (kg/kap/th) Komoditas Beras Terigu Daging sapi Daging ayam Telur Kedelai Gula pasir Minyak goreng

2013 80,1 3,9 0,5 5,1 8,1 6,1 7,5 8,7

2014 76,5 4,3 0,4 5,6 8,9 6,2 7,7 9,0

2015 73,2 4,8 0,4 6,1 9,7 6,3 7,9 9,3

2016 70,0 5,3 0,4 6,7 10,7 6,5 8,2 9,6

2017 66,9 5,8 0,4 7,3 11,7 6,6 8,5 9,8

2018 63,9 6,4 0,4 8,0 12,8 6,7 8,7 10,2

2019 61,1 7,1 0,3 8,7 14,0 6,8 9,0 10,5

2020 58,4 7,9 0,3 9,5 15,3 6,9 9,3 10,8

Tabel 7.10. Proyeksi Permintaan Beberapa Pangan untuk Konsumsi Masyarakat (ribu ton) Jenis Pangan

2013

2014

2015

2016

2017

2018

2019

2020

Beras

19.888,9

19.297,1

18.722,9

18.165,8

17.625,3

17.100,8

16.592,0

16.098,3

Terigu

970,7

1.088,6

1.220,8

1.369,1

1.535,4

1.721,8

1.931,0

2.165,5

Daging sapi

113,0

109,5

106,0

102,6

99,3

96,2

93,1

90,2

Daging ayam

1.273,8

1.411,7

1.564,6

1.734,0

1.921,7

2.129,8

2.360,4

2.615,9

Telur

2.021,8

2.244,8

2.492,4

2.767,3

3.072,5

3.411,4

3.787,7

4.205,5

Kedelai

1.518,9

1.569,3

1.621,4

1.675,1

1.730,7

1.788,1

1.847,4

1.908,7

Gula pasir Minyak goreng

1.852,0

1.939,8

2.031,7

2.127,9

2.228,7

2.334,3

2.444,9

2.560,8

2.165,3

2.265,7

2.370,8

2.480,7

2.595,7

2.716,0

2.841,9

2.973,7

Tabel 7.11. Proyeksi Permintaan Pangan Menurut Kelompok Pangan, 2020 (kg/kap/tahun) Komoditas Beras Terigu Daging sapi Daging ayam Telur Kedelai Gula pasir Minyak goreng

I 67,7 0,5 0,0 0,0 19,7 0,2 2,4 7,4

II 82,2 0,1 0,0 0,1 4,1 2,2 2,7 5,6

III 92,2 1,1 0,0 0,5 5,1 3,3 3,5 8,1

IV 80,4 1,9 0,1 1,6 6,5 4,5 4,5 11,1

V 79,1 3,8 0,2 3,8 8,1 4,6 5,5 12,9

VI 78,8 4,9 0,2 7,4 7,0 4,6 6,5 12,8

VII 74,3 4,8 0,9 8,2 8,0 4,1 5,9 15,4

VIII 64,4 5,5 1,7 13,4 10,7 4,0 5,3 14,8

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

53

Tabel 7.12. Proyeksi Permintaan: Beras, Terigu, Kedelai dan Gula Pasir Menurut Kelompok Pengeluaran, 2020 (ton) Kelompok Pengeluaran I II III IV V VI VII VIII

Beras 933,0 53.202,3 417.707,8 2.479.990,8 5.519.840,9 4.988.684,4 2.810.652,6 4.415.809,4

Terigu 6,3 78,2 4.920,2 59.312,2 261.835,5 310.807,5 182.602,2 377.246,8

Kedelai 3,2 1434,2 14.918,9 139.793,0 319.286,0 288.954,3 154.737,3 272.618,2

Gula pasir 32,8 1.758,0 16.006,4 137.859,5 384.837,1 409.178,4 221.825,5 362.039,7

Tabel 7.13. Proyeksi Permintaan: Minyak Goreng, Daging Sapi, Daging Ayam dan Telur Menurut Kelompok Pengeluaran, 2020 (ton) Kelompok Pengeluaran I II III IV V VI VII VIII

Minyak goreng 102,2 3.626,8 36.876,6 341.900,8 896.660,6 811.963,7 584.548,7 1.012.307,1

Daging sapi 0 0 0 2.348,4 11.159,0 9.681,0 32.495 118.896,5

Daging ayam 0 65,1 2.298,1 49.688,9 261.852,4 468.579,5 310.008,4 921.978,1

Telur 271,9 2.684,3 22.880,0 201.351,0 563.895,4 441.394,1 302.972,9 731.045,1

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

54

Tabel 7.14. Capaian Indeks Swasembada Komoditas Pangan Utama 2011-2012 No 1

2

3

4

5

Komoditas (ribu ton) Beras Produksi Kebutuhan Indeks swasembada Jagung Produksi Kebutuhan Indeks swasembada Kedelai Produksi Kebutuhan Indeks swasembada Daging sapi Produksi Kebutuhan Indeks swasembada Tebu/gula Produksi Kebutuhan Indeks swasembada

2011*) 36.969 33.045 111,87 17.643 15.272 115,52 851 2.122 40,10 292.45 449.31 65,09 2.230 2.790 79,93

2012**) 38.767 33.035 117,35 18.961 16.097 117,79 783 2.246 34,84 399.32 484.07 82,49 2.660 2.850 93,33

Keterangan: *) ATAP 2011 **) ARAM II 2012 (BPS) untuk padi, jagung dan kedelai, dan prognosa untuk daging sapi dan gula; Indeks Swasembada: produksi/ kebutuhan

7.3. Perspektif Pola Konsumsi Pangan Ke Depan Banyak faktor yang mempengaruhi pola konsumsi pangan masyarakat namun dua aspek utama yang mempengaruhi hal tersebut adalah tingkat pendapatan dan pengetahuan pangan dan gizi masyarakat. Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat terus meningkat yang juga dapat diartikan terjadi peningkatan pendapatan masyarakat. Perubahan pendapatan akan berdampak pada perubahan pola konsumsinya dan dampak tersebut dapat positif dan dapat pula negatif. Dalam arti, perubahan pendapatan akan mengubah pola konsumsi pangan yang berdampak positif pada kesehatan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia dan untuk kebalikannya. Selama 15 tahun terakhir telah terjadi perubahan konsumsi pangan yang dicirikan dengan: (a) Perubahan dominasi pangsa pengeluaran dari padi-padian menjadi pada kelompok makanan/minuman jadi, (b) Peningkatan konsumsi energi dan protein, namun untuk konsumsi energi masih belum sesuai anjuran, (c) Penurunan kualitas konsumsi pangan(mengacu pada PPH), (d) Penurunan konsumsi pangan sumber karbohidrat seperti beras, umbi-umbian, jagung, kecuali untuk terigu terus meningkat, (e) Peningkatan konsumsi pangan sumber protein kecuali daging sapi, (f) Peningkatan konsumsi kedelai dan minyak goreng, (g) Peningkatan konsumsi sayur dan buah, namun tingkat konsumsinya tahun 2011 lebih rendah daripada tahun 2010, dan (h) Penurunan konsumsi gula pasir. Selain itu, semakin tinggi pendapatan, pangan sumber karbohidrat akan turun kecuali untuk terigu. Sebaliknya terjadi peningkatan konsumsi pangan sumber protein, gula pasir dan minyak goreng. Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan menganggap konsumsi garam, gula dan lemak di Indonesia berlebihan sehingga rentan menimbulkan berbagai penyakit seperti Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

55

hipertensi, diabetes, jantung koroner, kanker dan stroke. Konsumsi garam yang dianjurkan per orang per hari adalah 5 gram (setara 1 sendok teh), gula sebanyak 50 gram (4 sendok makan) dan konsumsi lemak sebanak 78 gram (1,5-3 sendok makan). Untuk mencegah hal ini, pemerintah akan mengatur dan menerbitkan buku saku tentang pembatasan konsumsi garam, gula dan lemak sebagai pedoman konsumsi. Situasi kesehatan dari hasil Riset Penelitian Kesehatan (Riskesdas) tahun 2010 antara lain menunjukkan: (a) Prevalensi (proporsi) anak balita gemuk (overweight dan obese) mengalami kenaikan, yaitu dari 12,2% pada tahun 2007 menjadi 14,0% pada tahun 2010, (b) Masalah anak balita pendek merupakan masalah tertinggi yang dihadapi balita di Indonesia, (c) Prevalensi anak gemuk meningkat, dari 5,2% pada tahun 2007 menjadi 5,9% pada tahun 2010, (d) Prevalensi orang gemuk meningkat, dari 21,3% tahun 2007 menjadi 22,8% tahun 2010. Selain itu prevalensi orang dewasa yang obesitas dan hipertensi juga meningkat. Hasil analisis penyebab kematian di Indonesia dari tahun 1995 (Survey Kesehatan Rumah Tangga) sampai dengan 2007 (Riskesdas) menunjukkan bahwa terjadi kecenderungan kematian yang disebabkan oleh penyakit tidak menular (PTM) meningkat dan penyakit menular (PM) mulai berkurang. Urutan penyebab utama kematian adalah stroke, hipertensi, diabetes, tumor ganas, dan penyakit jantung iskemik. Kejadian obesitas diperberat dengan rendahnya aktivitas fisik, perubahan pola hidup, rendahnya konsumsi sayur dan buah, pola makan tidak sehat, dan banyak faktor lain seperti merokok dan lain-lain. Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan jumlah penderita diabetes melitus (DM) tipe 2 di Indonesia meningkat tiga kali lipat dalam 10 tahun dan pada 2010 mencapai 21,3 juta orang. Penambahan penderita terutama terjadi di kawasan urban karena gaya hidup yang tidak sehat (Widjoyo, 2011). Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, maka pola konsumsi pangan yang seimbang dengan konsep diversifikasi pangan merupakan hal yang mutlak untuk mencapai kesehatan yang prima dan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia. Upaya yang dilakukan untuk mencapai hal tersebut dengan memperhatikan hasil analisis sebagai berikut : a. Perubahan cara berpikir atau cara pandang terhadap pola konsumsi makan. Makan asal kenyang diubah menjadi makan untuk sehat sehingga pangan yang dikonsumsi harus memperhatikan kaidah-kaidah gizi dan kesehatan. Pangan yang dikonsumsi setiap hari harus beragam, bergizi, seimbang dan aman. Untuk hal tersebut, pangan tidak harus mahal, karena telah tersedia aneka jenis pangan dengan harga yang bervariasi disesuaikan dengan daya belinya. Selain itu juga tersedia jenis pangan yang dapat disubsitusi dengan pangan lain. Sebagai contoh, beras dapat disubsitusi dengan jagung, umbi-umbian, sagu; ikan tongkol dapat disubsitusi dengan ikan teri, gurame dan lainnya. b. Peningkatan pendapatan harus berdampak positip terhadap kualitas konsumsi pangan dan kesehatan. Oleh karena itu, upaya penyadaran kepada seluruh lapisan masyarakat menjadi penting. Hasil evaluasi lambatnya pencapaian diversifikasi pangan menjadi acuan untuk menyusun kebijakan dan mengimplementasinya ke depan. c. Proyeksi permintaan beberapa pangan tahun 2020 mengalami peningkatan. Pemenuhan kebutuhan pangan diupayakan dari dalam negeri dengan memperhatikan potensi sumber daya lokal sesuai amanat Undang-Undang No. 18 tahun 2012 tentang Pangan terkait dengan kemandirian dan kedaulatan pangan dalam mencapai ketahanan Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

56

pangan. Dengan semakin terbatasnya lahan pertanian akibat konversi lahan dan perubahan iklim serta faktor lainnya, diperkirakan upaya peningkatan penyediaan pangan semakin berat. Upaya lain yang dapat dilakukan dengan mengurangi atau menghilangkan pemborosan dan kehilangan pangan. Pemborosan pangan (food waste) terjadi mulai dari pasar retail dan sampai di rumah seperti masih banyak makanan yang tersisa sewaktu makan, apalagi di tempat hajatan, disimpan terlalu lama dikulkas, terlalu lama di pasar karena tidak ada yang membeli sehingga menjadi kadaluwarsa, dan lainnya. Pemborosan tingkat pengecer dan konsumsi pada beras pada tahun 2011 dengan produksi sebesar 41,07 juta ton mencapai 9,5% atau sekitar 3.901,5 ribu ton. Sementara itu, kehilangan pangan (food loss), pada padi/beras juga masih sekitar 13,0% (terjadi pada proses produksi dan rantai pangan, mulai tahap produksi, pasca panen, sampai tahap pengolahan). d. Penguatan kelembagaan yang menangani masalah pangan terutama terkait dengan perubahan konsumsi pangan. Selama ini sepertinya tidak ada yang mengatur atau mempengaruhi masyarakat untuk mengkonsumsi makanan yang sehat. Berbagai media seperti media massa, elektronik lebih mengedepankan aspek iklan pangan yang belum tentu benar. Sebagai contoh, apabila terjadi peralihan konsumsi pangan dari beras ke gaplek, para awak media menyampaikan berita tejadi rawan pangan atau pemiskinan, bukan sebaliknya sebagai upaya diversifikasi yang menyehatkan.

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

57

BAB VIII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN 8.1. Kesimpulan a. Tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia yang diukur dengan pangsa pengeluaran pangan baik di perkotaan maupun di pedesaan semakin membaik. Upaya peningkatan kesejahteraan terutama masyarakat pedesaan harus mendapat prioritas, sehingga kesenjangan kesejahteraan di kedua wilayah secara bertahap dapat diperkecil. b. Terdapat perubahan pola pengeluaran masyarakat dari dominan pada kelompok padi-padian ke kelompok makanan/minuman jadi. Sementara pola pengeluaran untuk kelompok pangan yang lain relatif sama dari tahun ke tahun. Perubahan ini menuntut pengembangan usaha di sektor makanan/minuman disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan masyarakat. Usaha makanan juga harus memperhatikan faktor keamanan pangan, sehingga perlunya pembinaan terutama bagi usaha rumahtangga dan kecil. c. Pola konsumsi masyarakat sudah mengarah kepada pola konsumsi anjuran baik dari segi kebutuhan energi, protein, namun untuk keragaman konsumsi masih perlu ditingkatkan. Pangan dominan masih dari beras sebagai sumber energi dan protein, sementara pangan lokal seperti umbi-umbian, sagu menurun tingkat konsumsinya. Sebaliknya konsumsi terigu dan turunannya meningkat. Diantara pangan sumber protein hewani, konsumsi daging sapi mengalami penurunan selama 15 tahun terakhir. Demikian pula konsumsi gula pasir juga menurun, sebaliknya konsumsi minyak goreng terus meningkat. d. Peningkatan pendapatan berdampak pada perubahan pola konsumsi pangan yaitu mengurangi pangan sumber karbohidrat dan meningkatkan pangan sumber protein, vitamin dan mineral. Namun perubahan pola konsumsi tidak hanya ditentukan oleh faktor pendapatan tetapi juga pengetahuan masyarakat akan pangan dan gizi. e. Permintaan pangan pada tahun 2020 pada umumnya masih tinggi terutama pada kelompok menengah, yang jumlahnya masih relatif besar dalam struktur penduduk. Secara agregat, permintaan beras pada tahun 2020 diperkirakan sekitar 16,1 juta ton, sedangkan untuk terigu, kedelai dan gula pasir masing-masing sekitar 2,1 juta ton; 1,9 juta ton dan 2,6 juta ton. Untuk minyak goreng sekitar 3,0 juta ton dan daging sapi diperkirakan sekitar 90,2 ribu ton.

8.2. Rekomendasi Kebijakan a. Pola konsumsi masyarakat akan berubah seiring dengan perubahan pendapatan. Namun untuk mendapatkan kualitas sumberdaya yang berkualitas (sehat dan cerdas) maka pengetahuan masyarakat akan pangan dan gizi harus terus ditingkatkan, sehingga masyarakat hanya akan mengkonsumsi makanan yang berkualitas, yang menyehatkan dan mencerdaskan. Upaya penyadaran ini tidak dapat hanya bersandarkan pada kebijakan dari pemerintah, namun juga semua Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

58

elemen seperti swasta dan masyarakat. Promosi produk makanan dilakukan secara benar dan tidak menyesatkan konsumen. b. Upaya diversifikasi konsumsi pangan pokok berbasis sumberdaya lokal tidak dapat lagi dilakukan dengan himbauan-himbauan. Pemerintah harus secara signifikan berperan untuk mewujudkan hal tersebut, seperti peran pemerintah mengalihkan pola makan masyarakat dari makanan lokal (umbi-umbian, jagung, sagu) ke beras dan produk terigu. Pemerintah harus berperan dalam pengembangan industri pengolahan pangan berbasis sumberdaya lokal dan penyadaran masyarakat. Pada tahap awal, produk olahan ini diberikan secara gratis oleh pemerintah dapat melalui raskin, pangan darurat dan lainnya. Penyadaran juga dilakukan kepada media (elektronik/surat kabar) dan semua elemen bahwa mengkonsumsi pangan produk lokal bukan karena kelaparan atau miskin seperti sinyalemen pada saat ini.

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

59

DAFTAR PUSTAKA

Ariani, M; H.P Saliem; S.H. Suhartini; Wahida dan M,H, Sawit; 2000. Dampak Krisis Ekonomi Terhadap Konsumsi Pangan Rumahtangga. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Bogor. Anonimous. 2012. Pidato Pengarahan Menteri Pertanian pada Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi X. Jakarta, 22 November, Jakarta, Ariani, M. 2012. Rekonstruksi Pola Pangan Masyarakat dalam Upaya Percepatan Diversifikasi angan Mendukung Program MP3EI. Dalam Buku : Kemandirian Pangan Indonesia dalam Perspektif Kebijakan MP3EI. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian, Ariani, M dan Ashari. 2003. Arah, Kendala dan Pentignya Diversifikasi Konsumsi Pangan di Indonesia. Forum Agro Ekonomi, Vol, 21, No, 2, Desember, Bogor. Ariani, M dan E. Pasandaran. 2005. Pola Konsumsi dan Permintaan Jagung untuk Pangan. Buku Ekonomi Jagung Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. Anonimous. 2009. Peraturan Presiden Republik Indonesia No, 22 Tahun 2009 Tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan berbasis Sumberdaya Lokal, Jakarta. Badan Pusat Statistik. Beberapa tahun. Pengeluaran Penduduk Indonesia, BPS, Jakarta Badan Pusat Statistik. Beberapa tahun. Konsumsi Kalori dan Protein Penduduk Indonesia dan Propinsi. BPS, Jakarta Badan Pusat Statistik. 2011. Konsumsi Perkapita Menurut Golongan Pengeluaran Penduduk Indonesia dan Provinsi. Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2012. Statistik Indonesia. BPS, Jakarta BAPPENAS. 2006. Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2006-2010. Jakarta, Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian. 2009. Direktori Pengembangan Konsumsi Pangan. Jakarta Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian. 2012. Direktori Pengembangan Konsumsi Pangan. Jakarta Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian. 2012. Pedoman Umum Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan. Jakarta Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian. 2012. Roadmap Diversifikasi Pangan Tahun 2011-2015. Jakarta Bank Indonesia. 2011. Ketahanan Perekonomian Indonesia di Tengah Ketidakpastian Ekonmi Global. Laporan Perekonomian Indonesia. Jakarta Departemen Pertanian RI. 2007. Pedoman Penyusunan Pola Pangan Harapan. BKP, Kementan : Jakarta. Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

60

Forum Kerja Penganekaragaman Pangan. 2003. Penganekaragaman Konsumsi Pangan Prakarsa Swasta dan Pemerintah Daerah. Jakarta, FAO. 1996. Rome Declaration and World Food Summit Plan of Action, Rome, Available at: www,fao,org/docrep/003/X8346E/x8346e02,htm#P1_10, Firmansyah. 2013. Ekonomi Global dan Resiko 2013. Sekretariat Kabinet RI, Minggu, 06 Januari 2013. Sumber : Hanani (tanpa tahun)http://nuhfil.lecture.ub.ac.id/files/ 2009/03/ 2-pengertianketahanan-pangan-2.pdf Hattas, Z. 2011. Pola Konsumsi Masyarakat. http://ekonkop,blogspot,com/ 2011/11/polakonsumsi-masyarakat,html Hardono, G,S. 2012. Analisis Ketahanan Pangan Rumahtangga Petani di Beberapa Provinsi. Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Kantor Menko Kesra. 1989. Pola Umum Perbaikan Menu Makanan Rakyat. Jakarta Krisnamurthi,B. 2003. Penganekaragaman Pangan: Pengalaman 40 tahun dan Tantangan ke Depan. Jurnal Ekonomi Rakyat, Th, II, No, 7, Oktober. Kementerian Pertanian. 2009. Rencana Strategis Kementerian Pertanian 2009-2014. Jakarta. Kementerian Kesehatan. 2005. Peraturan Menteri Kesehatan No. 1593/Menkes/SK/XI/2005, Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan Bagi Bangsa Indonesia. Departemen Kesehatan, Jakarta. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS. Pencapaian Tujuan pembangunan Milenium di Indonesia. Jakarta

2010.

Laporan

Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. 2011. Master Plan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025. Jakarta

Percepatan dan

Kementerian Pertanian RI. 2012. Road Map Diversifikasi Pangan 2010-2015. BKPKementan : Jakarta. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS. Pencapaian Tujuan pembangunan Milenium di Indonesia. Jakarta

2010.

Laporan

Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. 2011. Master Plan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025. Jakarta

Percepatan dan

Kemenkes. 2011. Seribu Hari Untuk negeri. Dfat Panduan Gerakan Nasional Sadar Gizi Menuju Indonesia Prima. (www,depkes,go,id, diunduh tanggal 10 April 2012) Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop UKM). 2012. “UKM Bidang Pangan”, (Online),http://www,depkop,go,id/index,php?option=comcontent&view=article&id=466 :kemenkop-7941-persen-ukm-pangan. 28 Oktober 2012. Limbongan, J dan A. Soplanit. 2007. Ketersediaan Teknologi dan Potensi Pengembangan Ubijalar (Ipomoea batatas L.) di Papua. Jurnal Jurnal Litbang Pertanian, 26(4).

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

61

Makmur, Mulyono. 2010. Kebijakan Umum Penganekaragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan. Bahan disampaikan pada Workshop Dewan Ketahanan Pangan, 20-22 September. Jakarta. Martianto, D. 2005. Pengembangan Diversifikasi Konsumsi Pengembangan Diversifikasi Pangan Bappenas, 21 Oktober.

Pangan

Seminar

Melgar-Quinonez, HR, AC Zubieta, B MkNelly, A Nteziyaremye, MFD Gerardo & C Dunford, 2006, “Household Food Insecurity and Food Expenditure in Bolivia, Burkina Faso, and the Philippines”, J Nutr 2006;136:1431S-1437S. Mahatama, E dan Afrianto. 2012. Tinjauan Pasar Tepung Terigu. Majalah Kementerian Perdagangan. Edisi 02/TRG/TKSPP. Nurmanaf, A,R, dan SH Susilowati. 2000. Struktur Kesempatan Kerja dan Kaitannya dengan Pendapatan dan Pengeluaran Rumahtangga Pedesaan (Editor: IW, Rusastra dkk). Prosiding Perspektif Pembangunan Pertanian dan Pedesaan dalam Era Otonomi Daerah, hal 88-93. Pusat Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Pakpahan, A, P; Saliem dan S.H. Suhartini. 1993. Penelitian Tentang Ketahanan Pangan Masyarakat Berpendapatan Rendah. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Petanian. Bogor. Pakpahan. 2012. Pembangunan Sebagai Pemerdekaan, Pemikiran untuk Membalik Arus Sejarah Pembangunan Nasional. Penerbit GAPPERINDO. Jakarta. Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan. 2012. Potensi Sumberdaya Pangan Indonesia. Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian. Jakarta. Rahardjo, M, D. 1993. Politik Pangan dan Industri Pangan di Indonesia. Prisma No, 5, Th XXII, Hlm, 13-24. LP3ES, Jakarta. Rachman, HPS dan M. Ariani. 2008. Penganekaragaman Konsumsi Pangan di Indonesia: Permasalahan dan Implikasinya untuk Kebijakan dan Program. Analisis Kebijakan Pertanian, Vol, 6, No, 2. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Soemardjan, S. 1986. Unsur-unsur Budaya dalam Program Pangan. Makalah pada Kongres Pergizi Pangan dan Simposium Nasional Pangan dan Gizi. Semarang, 26-28 Agustus. Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. PAU Pangan dan Gizi. IPB, Bogor Suhardjo, L,P, Harper, B,J Deaton and J,A,Driskel. 2006. Pangan, Gizi dan Pertanian. UIPress, Jakarta, Simatupang, P dan M, Ariani. 1997. Hubungan Antara pendapatan Rumahtangga dan Pergeseran Preferensi Terhadap Pangan. Majalah Pangan No,33, Vol, IX, Jakarta. Sudaryanto, T; IW, Rusastra and P. Simatupang. 1999. The Impact of Economic Crisis and Policy Adjusment on Food Crop Development Toward Economic Globalization. Paper presented on “Round Table Discussion on Food and Nutrition Task Force I: Food and Agriculture” Pra-WKNPG VII, 8 November 1999. Center For Agro-Socio Economic Research, Bogor.

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

62

Soekirman. 2000. “Ilmu Gizi dan Aplikasinya untuk Keluarga dan Masyarakat”. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta. Sumaryanto. 2009. Diversifikasi Sebagai Salah Satu Pilar Ketahanan Pangan. Makalah disajikan dalam Seminar Memperingati Hari Pangan Sedunia. Jakarta, 1 Oktober. Suryana, A. tanpa tahun. Penganekaragaman Konsumsi Pangan dan Gizi: Faktor Pendukung Peningkatan Kualitas Sumberdaya Manusia. http://www,bulog,co,id/old_website/data/doc/WIB-Penganekaragaman _Konsumsi%20_Pangan_Dan_ Giz,pdf. Setiawan, Bayu. 2011. Laporan Akhir Penelitian Insentif 2011: Kemandirian Pangan Berbasis Potensi lokal (Studi di Provinsi NTT). Puslit Kependudukan LIPI. Jakarta Sukara, E. 2012. Dapatkan Indonesia Menyediakan Kebutuhan Pangan Penduduknya dan Menyumbang Pangan bagi Penduduk Dunia dengan Menggali dan Melestarikan Kekayaan Keanekaragaman Hayatinya? Makalah disampaikan pada FGD Sub Tema: Ketersediaan dan Aksesibilitas Pangan. Hotel Kaisar, Jakarta, 5 Juni. TIM IPB. 2009. Agenda Riset Bidang Pangan 2009-2012. Bogor. Widjojo, Budiman. 2011. Indonesia Urutan Keempat Terbanyak Penderita Diabetes. Makalah disampaikan pada Simposium Diabetes Mellitus. Hotel Mercure, 12-13 November, Jakarta Mahmud, Mien; Hermana; Zulfianto; Rozanna, Rossi; Ngadiarti; Hartati, Budi; Bernadus; Tinexcelly. 2009. Tabel Komposisi Pangan Indonesia. Gramedia. Jakarta. Martianto, Drajat. 2003. Jurnal Ketahanan Pangan dan Gizi. http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/51642/drajat%20martianto%2 0-%20001.pdf?sequence=2. Bogor. Suhardjo. 1998. Konsep dan Kebijakan Diversifikasi Konsumsi Pangan dalam Rangka Ketahanan Pangan. Prosiding WNPG VI. LIPI, Jakarta. Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya untuk Keluarga dan Masyarakat. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas. Sharp et al. (Sharp, A.M., Register, C.A., Grimes , P.W. 2000. Economics of Social Issues 14th edition, New York: Irwin/McGraw-Hill. Sumaryanto. 2009. Diversifikasi Sebagai Salah Satu Pilar Ketahanan Pangan. Makalah disajikan dalam Seminar Memperingati Hari Pangan Sedunia, Jakarta, 1 Oktober TIM IPB. 2009. Agenda Riset Bidang Pangan 2009-2012. Bogor. Widjojo, Budiman. 2011. Indonesia Urutan Keempat Terbanyak Penderita Diabetes. Makalah disampaikan pada Simposium Diabetes Mellitus. Hotel Mercure, 12-13 November. Jakarta

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

63

LAMPIRAN

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

64

Tabel Lampiran. Pangsa Pengeluaran Pangan Menurut Wilayah (%) Tahun 1996 1999 2002 2005 2008 2011

Kota 48,0 56,2 52,8 48,2 45,0 43,9

Desa 63,1 70,2 66,6 62,5 58,7 55,8

Kota+desa 55,3 62,9 58,5 53,9 50,2 48,5

Tabel Lampiran. Tingkat Konsumsi Energi dan Protein Menurut Wilayah Tahun 1996 1999 Energi (Kal/kap/hari) Kota 1984 1802 Desa 2040 1880 Kota+Desa 2020 1849 Protein (gram/kap/hari) Kota 55,9 49,3 Desa 53,7 48,2 Kota+Desa 54,5 48,7 Pangsa Protein Hewani (%) Kota 25,4 18,0 Desa 18,6 16,7 Kota+Desa 21,6 18,1

2002

2005

2008

2011

1954 2013 1987

1923 2060 1996

1621 2096 2038

1822 1884 1853

56,0 53,2 54,5

58,3 55,2 56,6

58,2 56,9 57,5

54,4 51,9 53,1

23,0 18,9 21,7

28,9 22,1 25,2

25,2 21,5 23,3

26,7 23,2 25,4

Keterangan, Anjuann energi : 2000 Kalori; Protein : 52 gram

Tabel Lampiran. Pola Konsumsi Pangan Menurut PPH Tahun 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

Skor PPH 72,30 75,00 74,00 77,60 72,60 80,68 80,50 73,30 77,50 77,30

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

65

Tabel Lampiran. Perkembangan Tingkat Konsumsi Beras, Terigu, Kedelai, Gula Pasir dan Minyak Goreng Menurut Kelompok Pengeluaran Tahun 2006-2011 Komoditas/Tahun I Beras 2006 68,1 2007 66,0 2008 72,6 2009 68,8 2010 71,0 2011 66,7 Laju Perub. (%) 0,17 Terigu 2006 0,3 2007 0,8 2008 0,7 2009 0,5 2010 0,8 2011 0,4 Laju Perub. (%) 1,47 Kedelai 2006 1,4 2007 3,2 2008 2,1 2009 1,6 2010 1,7 2011 0,8 Laju Perub. (%) (12,70) Gula Pasir 2006 2,6 2007 4,1 2008 3,9 2009 3,5 2010 2,6 2011 3,0 Laju Perub. (%) (2,52) Minyak goreng 2006 2,3 2007 3,7 2008 3,2 2009 4,1 2010 4,4 2011 3,3 Laju Perub. (%) 6,53

II

III

IV

V

VI

VII

VII

69,4 86,3 89,0 83,9 81,9 77,1 0,71

74,3 91,2 97,8 92,7 89,9 83,2 1,15

94,8 97,5 100,6 97,8 94,1 89,5 (1,18)

101,4 94,5 96,4 95,2 94,0 91,5 (1,6)

102,4 86,6 86,4 86,9 90,3 90,3 (1,5)

96,1 80,4 79,3 79,4 83,7 85,1 (1,5)

83,4 75,9 71,7 72,4 74,8 75,1 (1,7)

2,3 1,8 1,4 1,0 1,0 0,9 (20,0)

1,0 2,7 2,1 1,7 1,6 1,4 (2,78)

1,4 3,9 3,2 2,7 2,6 2,1 (0,97)

2,0 5,4 4,5 3,8 3,6 2,9 (1,24)

2,9 6,4 5,5 5,4 4,7 3,8 (0,42)

3,9 7,2 5,9 5,6 5,6 4,3 (1,64)

5,2 6,6 5,6 5,7 5,4 4,7 (3,10)

2,2 4,9 3,7 3,4 3,0 2,8 (2,57)

3,5 6,0 5,1 4,6 4,5 3,9 (1,86)

4,9 6,5 7,3 8,0 6,1 6,9 5,7 6,6 5,6 6,3 5,3 6,1 (1,72) (3,14)

7,4 7,9 7,2 7,0 6,3 6,5 (3,85)

8,1 8,5 8,1 8,5 7,2 6,9 7,2 6,8 6,7 6,7 6,6 6,7 (5,18) (5,64)

3,7 5,7 5,4 4,8 4,1 3,7 (3,38)

4,5 7,0 6,8 6,0 5,5 4,5 (2,65)

5,8 8,7 8,4 7,3 6,7 5,8 (2,85)

7,1 10,2 9,5 8,6 8,1 7,0 (2,61)

8,5 10,7 9,7 9,3 9,1 8,0 (2,39)

9,8 10,9 9,8 9,4 9,3 8,3 (3,79)

10,5 10,2 9,5 8,9 9,0 8,2 (4,78)

3,8 5,5 4,9 5,8 5,6 4,0 1,27

4,5 6,7 6,4 7,3 7,2 5,2 2,71

5,6 8,0 7,7 8,9 8,8 6,7 3,41

7,0 9,6 9,3 10,7 10,5 8,0 2,83

8,5 10,7 10,1 11,9 11,9 9,3 2,58

9,5 11,2 10,3 12,2 12,5 10,1 2,29

10,0 11,5 10,5 12,2 12,8 10,2 1,68

Keterangan : ( )= penurunan/negatif

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

66

Tabel Lampiran. Perkembangan Tingkat Konsumsi Daging Sapi, Daging Ayam dan Telur Daging sapi 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Laju Perub. (%) Daging ayam 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Laju Perub. (%) Telur 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Laju Perub. (%)

I

II

III

IV

V

VI

VII

VII

0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0

0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0

0,05 0,05 0,05 0,05 0,00 0,00 (33,27)

0,05 0,16 0,05 0,05 0,05 0,10 (2,98)

0,1 0,4 0,3 0,2 0,2 0,2 (2,45)

1,0 1,0 0,8 0,6 0,5 0,6 (14,09)

0,5 1,6 1,5 1,1 1,0 0,9 (0,52)

1,5 3,0 2,5 2,1 1,9 2,0 (1,58)

0,2 0,2 0,1 0,1 0,2 0,0 (20,11)

0,1 0,7 0,5 0,3 0,3 0,2 (7,35)

0,10 1,4 1,1 0,7 0,8 0,9 (6,17)

0,6 2,9 2,3 1,6 1,8 1,5 0,80

1,4 5,2 4,6 3,6 3,6 3,1 2,15

2,7 8,4 7,22 6,6 6,0 5,6 3,15

5,2 10,6 9,1 8,6 8,5 7,3 1,29

7,7 0,2 10,7 12,7 10,3 9,8 3,57

0,42 0,28 0,77 0,75 1,43 1,69 31,88

0,7 2,6 2,2 2,1 2,1 2,1 7,85

1,4 4,0 3,5 3,2 3,6 3,0 5,96

2,9 5,9 5,2 4,9 5,4 4,6 3,97

4,2 8,7 7,5 7,0 7,3 6,4 2,63

6,0 13,3 12,04 8,9 9,0 8,1 (1,65)

7,7 14,4 12,3 10,1 10,4 9,3 (1,65)

9,7 12,5 11,0 10,2 11,4 9,9 0,82

Keterangan : ( )= penurunan/negatif

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

67