LAPORAN AKHIR

Download kesehatan daerah untuk memperluas cakupan pelayanan kesehatan, terutama bagi penduduk yang berada sedikit ... manusia, khususnya di bidang ...

0 downloads 574 Views 84KB Size
RELEVANSI PAKET PELAYANAN KESEHATAN DASAR DALAM PENCAPAIAN TARGET NASIONAL DAN KOMITMEN GLOBAL 1

Abstrak Kajian ini dilakukan untuk mengkaji kaitan antara paket pelayanan kesehatan dasar dengan perubahan pola penyakit, besaran biaya yang diperlukan serta perubahan peran pemerintah pusat dan daerah. Kajian dilakukan di 6 propinsi, yaitu Kalimantan Timur, Maluku Utara, Jambi, Bali, Sumatera Utara, dan DI Yogyakarta. Pemilihan propinsi didasarkan pada pendapatan asli daerah, yaitu kategori tinggi, sedang dan rendah. Metode yang digunakan adalah cross sectional study. Data dan informasi primer dan sekunder dikumpulkan dari Bupati/Walikota/Kepala Bappeda, Kepala Dinas Kesehatan, Kepala Puskesmas dan LSM serta berbagai literatur dan data terbitan. Hasil kajian menunjukkan bahwa cakupan pelayanan kesehatan dasar sebagian besar masih dibawah Standar Pelayanan Miniman (SPM). Pola penyakit utama didominasi penyakit infeksi, akan tetapi penyakit non-infeksi mulai meningkat seiring dengan perubahan struktur penduduk. Kemampuan fiskal suatu daerah tidak menjamin alokasi biaya kesehatan terutama untuk public goods. Terdapat indikasi bahwa pemerintah daerah, DPRD, dan LSM kurang mendapatkan informasi yang akurat tentang masalah kesehatan dan prioritas pembangunan kesehatan nasional. Masih dirasakan adanya ketidakjelasan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam pembangunan kesehatan sebagai akibat ditetapkannya UU No 22 dan No 25 tahun 1999. Rekomendasi dari kajian ini adalah: (1) Perlu dipertimbangkan adanya perubahan jenis paket pelayanan kesehatan dasar mengacu pada perubahan pola 10 penyakit utama dan mempertimbangkan penyakit degeneratif seperti hipertensi dan diabetes. (2) Biaya pelayanan kesehatan dasar dikeluarkan oleh masyarakat (Rp 10.000 per kunjungan) masih bisa mencukupi kebutuhan psukesmas (Rp 3.000 per kunjungan); dan (3) Sesuai dengan peran pemerintah daerah pada era otonomi, pemerintah daerah dapat menggunakan anggaran kesehatan daerah untuk memperluas cakupan pelayanan kesehatan, terutama bagi penduduk yang berada sedikit di atas garis kemiskinan yang ditetapkan (transient poverty) untuk melengkapi pelayanan kesehatan gratis yang diberikan pemerintah dalam skema Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).

1

Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat, Deputi Bidang Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan, Bappenas. email: [email protected]

1

1.

Latar Belakang

Dengan konsep pelayanan kesehatan dasar, akses masyarakat terhadap fasilitas kesehatan mengalami peningkatan cepat. Pada awal 1990-an sekitar sepertiga pasien yang mencari perawatan menggunakan sarana pemerintah. Namun kecenderungan ini tidak berlangsung lama. Tahun 1998, peranan Puskesmas dan Puskesmas Pembantu (Pustu) turun menjadi hanya 20%; sementara peranan fasilitas swasta cenderung stabil; utilitas rumah sakit pemerintah hanya naik 1% sementara rumah sakit swasta naik 5% (World Bank, 2000). Golongan miskin yang memanfaatkan fasilitas kesehatan pemerintah di bawah rata-rata, misalnya 20% golongan berpenghasilan tertinggi memanfaatkan fasilitas kesehatan pemerintah tiga kali lebih banyak dibanding 20% golongan berpendapatan terendah. Kuantitas sarana kesehatan tidak didukung dengan biaya operasional dan pemeliharaan yang memadai sehingga kurang memiliki daya ungkit. Dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, Indonesia masih jauh tertinggal dalam pencapaian berbagai indikator kesehatan dasar. Angka kematian bayi dan balita, angka kematian ibu, kekurangan energi kronik, anemia dan kurang gizi balita masih yang tertinggi. Indonesia telah berkomitmen untuk mencapai indikator-indikator sumber daya manusia, khususnya di bidang kesehatan, yang telah disepakati secara global seperti Alma Ata Declaration, A World Fit for Children (WFC), dan Millenium Development Goals (MDGs). Dalam deklarasi Alma-Ata, telah disepakati untuk mencapai pelayanan kesehatan dasar untuk semua pada tahun 1990-an. Deklarasi WFC merupakan komitmen dunia untuk mencapai lingkungan yang kondusif bagi perkembangan anak, meliputi promosi hidup sehat dan memerangi HIV/AIDS. Sedangkan pada MDGs, Indonesia berkomitmen untuk menurunkan angka kematian bayi, angka kematian ibu, memberantas HIV/AIDS dan penyakit menular lainya yaitu tuberkulosis dan malaria (Bappenas, 2004). Pelayanan kesehatan dasar untuk semua (Alma Ata Declaration) masih belum tercapai, misalnya ditunjukkan oleh 23,1% penduduk yang tidak mempunyai akses terhadap fasilitas kesehatan (Bappenas – UNDP, 2004). Upaya untuk menghentikan penyebaran HIV/AIDS, dan menurunkan 2/3 kematian bayi dan kematian ibu pada tahun 2015 (komiten MDGs), juga menghadapi tantangan yang cukup sulit. Kebutuhan pelayanan kesehatan di masa mendatang juga mengalami perubahan seiring terjadinya transisi demografi dan transisi epidemiologi. Secara demografi, jumlah penduduk Indonesia akan meningkat menjadi 234 juta jiwa pada tahun 2010 (RPJM 2004-2009) dengan struktur penduduk yang cenderung makin menua. Secara epidemiologi, terjadi perubahan pola penyakit dari penyakit menular ke penyakit-penyakit degeneratif. Pembiayaan kesehatan Indonesia, tahun 2000 sebesar 2,5% dari Product Domestic Bruto (PDB) atau US$ 12,4 per kapita per tahun. Dari jumlah tersebut yang bersumber dari pemerintah hanya US$ 4 (30% dari total biaya kesehatan), sedangkan lebihnya (US$ 8,4 atau 70%) dibiayai sendiri oleh masyarakat. Anggaran ini masih lebih kecil dari rekomendasi WHO sebesar 5% dari PDB (WHO, 2001) dan lebih kecil dari negara ASEAN seperti Thailand (US$ 73), Filipina (US$ 14) dan Malysia sebesar US$ 67 (Bappenas, 2004). Dari pembiayaan pemerintah tersebut, pemerintah masih sangat bergantung pada pinjaman luar negeri (PLN). Pada tahun 2000 komponen pinjaman luar negeri bidang kesehatan mencapai 52,5% dari total anggaran kesehatan. Sejalan dengan kebijakan hutang luar negeri Pemerintah RI, jumlah pinjaman luar negeri bidang kesehatan terus dikurangi, 2

hingga menjadi 26,33% pada tahun 2003 dan proporsi ini diperkirakan akan terus menurun. Pengurangan pinjaman luar negeri ini patut dihargai, walaupun akan mempunyai dampak yang besar dalam pembiayaan kesehatan. Hasill kajian LOI-IMF terhadap program Jaring Pengaman Sosial (JPS) menunjukkan bahwa program ini sangat bermanfaat bagi masyarakat miskin, terlepas dari berbagai kekurangannya (Bappenas, 2003). Oleh karena itu perlu dikaji kembali besaran biaya dan cost-effectiveness sehingga paket-paket pelayanan kesehatan dasar tetap terus terlaksana dengan pendanaan yang terbatas. 2. Tujuan Mengkaji kaitan antara paket pelayanan kesehatan dasar dengan perubahan pola penyakit, besaran biaya yang diperlukan serta perubahan peran pemerintah pusat dan daerah. Tujuan khusus kajian ini adalah: 1. Mengetahui capaian pelayanan kesehatan dasar di daerah kajian sebagaimana tercantum dalam Standar Pelayanan Minimum (SPM). 2. Mengetahui perubahan struktur demografi dan pola penyakit utama yang terjadi akibat adanya transisi demografis dan transisi epidemiologis di daerah kajian.. 3. Mengkaji relevansi paket-paket pelayanan dasar yang selama ini dilaksanakan dengan transisi demografi dan epidemiologi (pola penyakit). 4. Mempelajari kesesuaian besaran biaya yang diperlukan bagi paket pelayanan kesehatan dasar. 5. Mengkaji peran pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serta sektor swasta dalam melaksanakan paket pelayanan kesehatan dasar. 6. Memilah kewenangan pemerintah pusat dan daerah dalam rangka sinkronisasi program yang diwujudkan dalam bentuk paket pelayanan kesehatan dasar. 2.1.

Output yang diharapkan Tersusunnya rekomendasi mengenai jenis dan besaran biaya paket pelayanan kesehatan dasar yang telah disesuaikan dengan perubahan peran pemerintah, munculnya peran swasta dan dasar pemilihan paket yang cost effective dan antisipasi perubahan sistem pembiayaan kesehatan di Indonesia sehubungan dengan dikembangkannya SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional). 2.2. Rencana Pemanfaatan Sebagai masukan bagi institusi perencanaan dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan dasar yang strategis dimasa mendatang sebagai bagian dari upaya Menuju Indonesia Sehat 2010. Hasil kajian diharapkan juga mampu mendukung penyusunan strategi untuk mencapai berbagai komitmen nasional maupun global (MDG’s). 2.3. Ruang Lingkup 1. Kajian tentang paket-paket yang digolongkan pada kesehatan dasar serta komponen pelayanannya 2. Kajian tentang besaran biaya yang diperlukan untuk melaksanakan paket pelayanan kesehatan dasar dikaitkan dengan perubahan pola penyakit 3. Kewenangan pemerintah pusat dan daerah dalam penyelenggaraan paket pelayanan 3

kesehatan dasar 4. Pembagian peran antara pemerintah dan swasta dalam penyelenggaraan dan pembiayaan pelayanan kesehatan dasar. 5. Paket pelayanan dasar yang dimaksud sesuai dengan konsep pelayanan kesehatan dasar dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN) 2004. Upaya Kesehatan Masyarakat strata pertama meliputi 6 program pelayanan kesehatan tingkat dasar yaitu promosi kesehatan, kesehatan ibu dan anak dan keluarga berencana, perbaikan gizi, kesehatan lingkungan, pemberantasan penyakit menular dan pengobatan dasar. Upaya kesehatan perorangan (UKP) strata pertama meliputi pelayanan kesehatan perorangan yang diberikan oleh tenaga profesional di bidang kesehatan

3.

METODOLOGI

3.1. Kerangka Analisis Sesuai dengan pelaksanaan otonomi daerah, pemerintah daerah mempunyai kewenangan wajib untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan dasar di bidang kesehatan sebagaimana tercantum pada Standar Pelayanan Minimum (SPM) bidang Kesehatan. Dengan perubahan struktur dan perilaku penduduk, terjadi pergeseran pola penyakit yang diderita masyarakat. Secara ideal, jenis pelayanan dan besaran biaya yang ditetapkan harus dikaji ulang untuk menyesuaikan dengan perubahan ini. Jenis pelayanan seharusnya mengikuti trend perubahan penyakit dengan prevalensi terbesar . Hal secara langsung akan mempengaruhi besaran biaya yang diperlukan untuk pelayanan kesehatan dasar. Kebutuhan biaya ini bisa menjadi menjadi acuan bagi pemerintah pusat dan daerah untuk mencari alternatif sumber pembiayaan sesuai dengan kewenangannya masing-masing. Studi ini merupakan studi deskriptif eksploratif dengan pendekatan retrospektif dan prospektif. Hasil capaian pelaksanaan paket pelayanan dasar di bandingkan dengan standar pelayanan minimum yang telah ditetapkan. 3.2. Metode Pelaksanaan Kajian Penelitian dilakukan di 6 propinsi, yaitu 2 propinsi dengan pendapatan asli daerah (PAD) tinggi (Kalimantan Timur, Maluku Utara), 2 propinsi dengan PAD sedang (Jambi, Bali), dan 2 dengan PAD rendah (Sumatera Utara dan DI Yogyakarta). Pemilihan ini juga mempertimbangkan letak geografis yang menyebar dari daerah Indonesia bagian barat, tengah, dan timur. Dari masing-masing propinsi dipilih 1 kabupaten dan 1 kota yang berbeda kategori fiskalnya (tinggi, sedang atau rendah) yaitu Kota Medan, Kab. Deli Serdang, Kota Yogyakarta, Kab. Sleman, Kota Denpasar, Kab. Gianyar, Kota Jambi, Kab. Muara Bulian, Kota Ternate dan Kab. Halmahera Tengah. Dari masing-masing kabupaten/ kota dipilih 2 puskesmas yang mewakili puskesmas kota dan desa. Untuk mengetahui harapan masyarakat tentang upaya kesehatan masyarakat (UKM) dan UKP di kabupaten/kota terpilih, dilakukan wawancara mendalam dengan beberapa pasien yang datang di puskesmas, tokoh masyarakat, dan LSM. Wawancara mendalam (in depth interview) dengan para pejabat eksekutif setempat (Bupati/Walikota/ Kepala Bappeda), Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, 2 kepala puskesmas terpilih dari masing-masing kabupaten/kota dan 2-3 orang perwakilan LSM. 4

3.3. Data Untuk mengetahui transisi demografis dan transisi epidemologi, dikumpulkan data tentang struktur penduduk, data 10 penyakit utama, dan data cakupan pelayanan kesehatan dasar tahun 1994, 1999, dan 2003. Selain itu dikumpulkan alokasi biaya paket pelayanan kesehatan dasar dalam satu tahun terakhir. Data tentang gambaran penyakit utama dan cakupan pelayanan kesehatan dasar dikumpulkan menggunakan kuesioner terstruktur oleh petugas lapangan terlatih dengan pendidikan minimal S1. Data tersebut divalidasi dengan data yang ada dipropinsi. Kuesioner yang digunakan terdiri dari formulir cakupan pelayanan kesehatan, formulir realisasi biaya pelayanan kesehatan, formulir biaya pelayanan kesehatan yang diharapkan, dan formulir biaya pemeliharaan dan biaya umum. Pengolahan data dilakukan dengan analisis statistik deskriptif, yaitu dengan cara menganalisis baik data primer maupun data sekunder dengan melibatkan masukan dari berbagai nara sumber dengan berbagai metode seperti roundtable meeting dan diskusi terbatas. Pengumpulan dan pengolahan data dilaksanakan selama 4 bulan (Mei - Agustus 2004).

4.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1.

Cakupan pelayanan kesehatan dasar di daerah Keputusan Menteri Kesehatan RI No 1457 tahun 2003 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) menetapkan berbagai pelayanan kesehatan yang menjadi kewenangan daerah untuk dilaksanakan disertai dengan standar minimal yang harus dipenuhi untuk setiap pelayanan tersebut. Kajian ini mengumpulkan data tentang capaian 6 jenis pelayanan kesehatan dasar yang menjadi kewenangan wajib daerah di propinsi lokasi kajian. Dari Tabel 1 dapat terlihat bahwa pencapaian indikator kewenangan wajib cukup bervariasi antar jenis pelayanan. Ada beberapa indikator yang cenderung telah mencapai standar pelayanan minimal, ada juga yang masih belum mencapainya. Tidak terlihat pola yang menunjukkan daerah kapasitas fiskal tinggi mempunyai capaian yang lebih baik dibandingkan dengan daerah dengan kapasitas fiskal sedang atau rendah. Artinya pelayanan kesehatan dasar di daerah yang relatif mampu belum tentu lebih baik dibandingakan daerah kurang mampu. Capaian indikator yang rendah kemungkinan disebabkan oleh kurangnya alokasi anggaran untuk pelayanan kesehatan dasar atau tidak efektifnya penggunaan anggaran yang disediakan. Beberapa kajian sebelumnya menunjukkan bahwa daerah dengan kemampuan fiskal tinggi belum tentu mengalokasikan persentasi anggaran yang lebih besar secara nominal ataupun anggaran kesehatan per kapita per tahun.

5

Tabel 1. Capaian indikator pelayanan kesehatan dasar di daerah tahun 2003 Jenis dan indikator pelayanan kesehatan dasar

Cakupan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) 1 Cakupan kunjungan ibu hamil K4 2 Cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan 3 Cakupan ibu hami resiko tinggi yang dirujuk

Standar Pelayanan Minimum

Capaian di propinsi (%) Fiskal Rendah

Fiskal Sedang

Fiskal Tinggi

95% 90% 100%

96,7 89,7 99,0

90,3 83,6 90,3

81,7 74,3 36,3

Cakupan program gizi 1 Cakupan balita yang menerima kapsul vit A dua kali setahun 2 Cakupan ibu hamil yang mendapat tablet Fe 3 Presentase balita dengan berat dibawah garis merah (BGM)

90% 90%

91,3 90,5

96,1 94,5

82,9 95,0

<15%

3,5

1,3

3,7

Cakupan program pemberantasan penyakit menular (P2M) 1 Presentase penderita DBD yang dilacak 2 Penderita pneunomia yang dirujuk 3 Persentase kesembuhan penderita TBC BTA positif

80% 100% 85%

100,0 89,0 90,0

90,0 71,3 90,0

65,0 71,3 70,4

-

99,1 81,9 87,8

99,0 87,8 89,3

86,4 82,0 71,5

Cakupan program kesehatan lingkungan 1 Proporsi tempat umum yang memenuhi syarat kesehatan

70%

68,6

74,5

64,5

Cakupan program promosi kesehatan 1 Bayi yang mendapat ASI ekslusif 2 Posyandu purnama

80% 40%

-

-

-

Cakupan program imunisasi*) 1 Cakupan imunisasi campak 2 Cakupan imunisasi hepatitis B3 3 Cakupan vaksinasi TT2 pada ibu hamil

Sumber: Dinas Kesehatan Propinsi dan Kabupaten/Kota Ket: *) Data pengganti, karena indikator yang ditetapkan SPM (presentase desa/kelurahan dengan Universal Coverage Immunization (UCI) 100%) tidak tersedia di lapangan.

Untuk program promosi kesehatan data kuantitatif tentang cakupan program promosi kesehatan sulit didapatkan. Akan tetapi secara kualitatif ditemukan bahwa cakupan kegiatan promosi kesehatan di masing-masing daerah masih rendah, bahkan di beberapa daerah program promosi kesehatan paling kurang mendapatkan perhatian. Beberapa faktor yang paling sering diungkapkan oleh petugas setempat ialah bahwa komitmen para pengambil keputusan di daerah kepada kegiatan promosi kesehatan yang masih rendah, yang dapat dilihat dari relatif kecilnya anggaran belanja. Jika digabungkan dengan anggaran belanja untuk upaya pencegahan penyakit maka anggaran belanjanya tidak lebih dari 10% dari total anggaran belanja bidang kesehatan. Tidak satupun kota atau kabupaten yang mempunyai anggaran belanja untuk promosi dan pencegahan penyakit lebih dari 10%. 4.2.

Perubahan struktur demografi dan pola penyakit utama Untuk mengetahui adanya perubahan struktur demografi antar waktu maka dilakukan perbandingan struktur penduduk tahun 1993 dengan struktur penduduk tahun 2003. Sebagai 6

contoh perubahan struktur penduduk kabupaten Deliserdang, Sumatera Utara. Pada tahun 1994, proporsi penduduk umur 0-4 tahun untuk laki-laki adalah 6,39%, sedangkan 10 tahun kemudian (tahun 2003) turun menjadi 5,74%, sementara untuk penduduk perempuan turun dari 6,25% (tahun 1994) turun menjadi 5,41% (tahun 2003). Sebaliknya proporsi penduduk usia 15-44 tahun, 45 – 64 tahun dan > 65 tahun, cenderung mengalami peningkatan. Perubahan struktur demografi seperti ini, yaitu berkurangnya proporsi penduduk usia muda dan meningkatnya proporsi penduduk usia produktif dan lanjut usia, juga terjadi di daerah lokasi penelitian yang lain. Di tingkat nasional, perubahan struktur serupa dengan naiknya proporsi penduduk usia produktif dan lanjut usia, diperkirakan terus akan terus terjadi (RPJM 2004-2009). Tabel 2. Perubahan Struktur Demografi di Kabupaten Deliserdang Golongan Umur

0 - 4 thn 5 - 14 thn 15 - 44 thn 45 - 64 thn > 65 thn

1994 Laki – Laki Perempuan (%) (%) 6.39 6.25 13.44 12.2 25.11 26.19 3.58 3.57 1.61 1.67

2003 Laki – Laki Perempuan (% (%) 5.74 5.41 11.64 11.03 25.58 26.05 5.78 5.46 1.54 1.76

Sumber: Pemda Kab. Deli Serdang

Perubahan struktur demografi suatu kabupaten/kota biasanya diikuti dengan perubahan pola penyakit utama masyarakat di setiap kabupaten/kota tersebut. Tabel 3 dan 4 di bawah ini menunjukkan urutan jenis penyakit utama yang paling sering diderita oleh masyarakat. Tabel 3. Sepuluh Penyakit Utama di kota lokasi kajian menurut kapasitas fiskal tahun 2003 Fiskal rendah Urutan 1 2

Kota Medan Ispa Peny. Kulit

Kota Yogyakarta Ispa Peny. Sistim otot Peny. Lainnya pd sal pernfasan atas Penyakit kulit alergi Peny. Kulit infeksi

3

Rongga mulut

4 5

Penyakit sal nafas lainnya Diare

6

Tonsilitis

Penyakit darah tinggi

7

Hipertensi

8

Bronchitis

Pulpa & jar periapikal Diare

9

Tuberkulosis

10

Rheumatoid

Ginggivitas & peny. Periodental Asma

Fiskal sedang Kota Denpasar Ispa Pulpa & jar periapikal Cepalgia

Penyakit kulit alergi Ginggivitas & peny. Periodental Tukak lambung

Diare Gangguan gigi & jar penyangga lain Peny. Sistim otot Penyakit lainnya

Kota Jambi

Fiskal tinggi Kota Samarinda Ispa Gastritis

Kota Ternate Ispa Malaria

Myalgia/ rheumatoid

Penyakit sistim otot

Hipertensi

Hipertensi

Tuberculosis

Rematik

Dermatisi infeksi

Diare

Ginggivitas & peny. Periodental Peny. Kulit infeksi Gangguan gigi & jar penyangga lain Kecelakaan

Peny. Infeksi

Penyakit kulit infeksi

Dermatitis alergika Pharingitis

Hipertensi

Ispa Pulpa & jar periapikal Penyakit kulit alergi

Diare

Penyakit kulit alergi

Pulpa & jar periapikal

Pulpa & jar periapikal

Gusi & jar periodental

Peny. Mata lainnya.

Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota

7

Tabel 4. Sepuluh Penyakit Utama di Kabupaten lokasi kajian menurut kapasitas fiskal tahun 2003 Urutan

1 2 3

4

Fiskal rendah Kab Deliserdang Ispa Peny. Sal nafas lainnya Gastroenteritis

Peny. Sist. Jar. Pengikat

5 6

Tubercolosis Diare

7

Hipertensi

8

Penyakit kulit

9

Penyakit gigi & mulut

10

Bronchitis

Fiskal sedang Kab Sleman Ispa Peny. Sistim otot Peny. Lainnya pd sal prnfs atas Peny kulit alergi Peny. Kulit infeksi Hipertensi Pulpa & jar periapikal Diare Ginggivitis & peny. Periodental Asma

Kab Gianyar Ispa Penyakit rongga mulut Penyakit kulit & jar.subkutan Penyakit usus Kecelakaan & keracunan Hipertensi Penyakit mata lainya Penyakit pada telinga & mastoid Penyakit infeksi

Penyakit kelainan & kebidanan langsung

Fiskal tinggi Kab Muara Bulian Ispa Peny. Kulit infeksi Malaria klinis

Peny gigi & mulut Peny. Sist. Jar. Pengikat Peny. Usus

Kab Kutai Ispa Gastritis

Kab Halmahera Tengah Ispa Malaria

Penyakit kulit

Rematik

Penyakit tulang Hipertensi

Infeksi usus Diare

Penyakit gigi & mulut asma

Peny. Kulit

Kecelakaan

Hipertensi

Kecelakaan

Penyakit telinga

Conjunctivitis

Gastritis

Diare

Peny. Telinga & mastoid

Asma bronchial Hipertensi

Bronchitis

Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota

Pola penyakit utama di kabupaten/kota baik di daerah fiskal rendah, sedang maupun tinggi masih didominasi oleh penyakit-penyakit infeksi. Penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) menempati urutan pertama di semua kabupaten/kota. Berikutnya adalah penyakit infeksi lain seperti malaria dan penyakit kulit. Pola penyakit seperti ini umum terjadi secara nasional. Namun akhir-akhir ini terlihat perubahan pola penyakit, yaitu meningkatnya penyakit degeneratif yang tidak menular (double burden). Jika diperhatikan pada urutan 4 sampai 6, sudah banyak ditempati oleh penyakit non-infeksi khususnya penyakit hipertensi. dan rematik. Penyakit hipertensi ini mengalami kenaikan dari urutan 8 hingga 10 pada tahun 1990-an menjadi urutan 4 sampai 6 pada tahun-tahun terakhir. Hal ini terjadi seiring dengan perubahan struktur penduduk Indonesia yang ditandai dengan meningkatnya proporsi penduduk usia produktif dan lanjut usia serta menurunnya proporsi penduduk balita. Disamping itu perubahan pola makan dan gaya hidup penduduk Indonesia mungkin juga mempunyai peranan yang penting. Perubahan struktur penduduk dan pola penyakit ini mempunyai arti penting bagi pembuat kebijakan bidang kesehatan dalam merumuskan paket pelayanan kesehatan dasar di masa yang akan datang.

4.3. Relevansi paket pelayanan kesehatan dasar dengan perubahan struktur penduduk dan perubahan pola penyakit Data pola penyakit utama di semua daerah masih didominasi oleh penyakit infeksi seperti ISPA, penyakit kulit, malaria dan diare (Tabel 3-4). Namun demikian di beberapa 8

daerah seperti Deliserdang, Kota Medan, Kota Denpasar, dan Kota Samarinda beberapa penyakit degeneratif seperti hipertensi dan diabetes sudah mulai merangkak meningkat menempati urutan 4 sampai 6 besar pada tahun 2003 yang sebelumnya pada tahun 1999 pada umumnya masih menempati urutan 8 sampai 10 besar. Sayangnya, puskesmas belum dilengkapi dengan sumberdaya manusia dan fasilitas peralatan yang memadai untuk pemeriksaan dan penanganan diperlukan untuk penata-laksanaan pasien dengan penyakit degeneratif. Sebagai contoh, sumber daya manusia dan peralatan laboratorium untuk penyakit diabetes, penyakit kardiovaskuler dan lain sebagainya belum tersedia di hampir semua puskesmas. Hal ini mungkin menjadi salah satu sebab pelayanan kesehatan di kota Medan telah bebas biaya, namun cakupan pelayanan kesehatan tidak mengalami peningkatan yang signifikan, kecuali hanya pada bulan-bulan pertama dibebaskan. Antusiasme masyarakat untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan di puskesmas tetap tidak mengalami kenaikan. Kemungkinan masyarakat menyadari apa yang diberikan (meskipun gratis) oleh puskesmas tidak memenuhi harapan dan tidak mengatasi masalah kesehatan mereka. Oleh karena itu, paket pelayanan kesehatan dasar yang ditawarkan oleh puskesmas di beberapa daerah khususnya di daerah perkotaan sudah saatnya untuk dirumuskan kembali dan disesuaikan dengan pola penyakit yang berkembang dan tuntutan masyarakat setempat. Berkaitan dengan perubahan skema pembiayaan kesehatan khususnya pembiayaan praupaya sesuai amanat undang-undang Sistem Jaminan Sosial Nasiional, paket pelayanan kesehatan dasar perorangan yang perlu diberikan adalah yang sesuai dengan kebutuhan dasar medis. Sedangkan paket strategis pada pelayanan kesehatan masyarakat disesuaikan dengan perubahan transisi epidemiologis yang mengarah pada penyakit-penyakit degeneratif. Hal ini bukan berarti pola paket-paket pelayanan kesehatan seperti yang ditemukan di lapangan yang lebih menekankan pada penyakit-penyakit infeksi dan menular diabaikan. Akan tetapi pola kejadian dan kecenderungan penyakit yang berubah harus dipikirkan sebagai prioritas pula. Indonesia memiliki beban penyakit ganda, yaitu penyakit kekurangan gizi dan infeksi di satu sisi dan pada saat yang sama pola penyakit kelebihan gizi dan degeneratif sudah menduduki sepuluh besar penyakit penyebab kematian. Upaya-upaya paket kesehatan strategis seperti promosi perilaku hidup sehat, higiene perorangan, kebersihan, kesehatan lingkungan, perbaikan gizi, pencegahan penyakit menular sampai pada pencegahan penyakit degenarif seperti kegiatan anti merokok, jalan sehat dan senam jantung perlu mendapatkan prioritas. Penyakit-penyakit degeneratif yang sudah mulai muncul telah diantisipasi oleh UU SJSN dimana telah ditegaskan bahwa penyakit jantung (bedah jantung) dan hemodialisis akan dicakup dalam sistem jaminan, meskipun biayanya sangat mahal. 4.4. Besaran biaya yang diperlukan Pola pembiayaan daerah secara garis besar dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu sisi penerimaan dan pengeluaran. Pada sisi penerimaan terdiri dari sumber-sumber penerimaan umum, dana alokasi khusus, pinjaman daerah dan sumber penerimaan lain yang sah. Pada sisi pengeluaran terdiri dari pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Perhitungan ini penting dengan perhitungan tersebut dapat diketahui kebutuhan biaya normatif Dinkes Kabupaten/Kota dalam memberikan pelayanan kesehatan pada masyarakat sesuai standar 9

pelayanan minimal (SPM) yang terdiri dari 26 jenis pelayanan dan 54 indikator kinerja. Dalam penelitian ini tidak semua jenis pelayanan dicakup. Di bawah ini akan diuraikan temuan di lapangan tentang perkiraan biaya program pelayanan kesehatan tingkat dasar yang terdiri dari promosi kesehatan, kesehatan ibu dan anak dan keluarga berencana, perbaikan gizi, kesehatan lingkungan, dan pemberantasan penyakit menular Tabel 5. Realisasi anggaran untuk pelayanan kesehatan dasar tahun 2003 Program

Jumlah anggaran (juta rupiah) Maluku Utara

Kaltim

Bali

Jambi

Sumut

DIY

70,1 5,1

20,4 19,3

12,0 8,3

40,1 -

166,0 33,7

15,2 3,2

4,2 0,0 0,8

38,2 0,6 20,4

5,8 0,0 24,1

-

0,0 9,8

27,1 10,6 27,1

Program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) Program gizi Program pemberantasan penyakit menular (P2M) Program kesehatan lingkungan Program promosi kesehatan Sumber: Pemda propinsi dan Kabupaten/Kota

Dari tabel di atas terlihat bahwa besarnya biaya anggaran yang direalisasikan untuk pelayanan kesehatan dasar tidak terkait dengan tingkat kemampuan fiskal daerah yang diteliti. Hal ini misalnya terlihat dari realisasi untuk biaya promosi di Maluku Utara (kemampuan fiskal tinggi) sebesar Rp 70,1 juta, namun untuk Sumatera Utara dengan kemampuan fiskal rendah mengalokasikan Rp 166 juta. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa hal misalnya komitmen pemerintah daerah terhadap pembangunan kesehatan yang bervariasi. Kemungkinan lain adalah tingkat kesehatan di wiayah tersebut. Di wilayah dengan tingkat kesehatan yang makin buruk, mengharuskan alokasi anggaran yang semakin besar. Biaya untuk pengobatan dasar per unit pelayanan rawat jalan di Puskesmas di wilayah dengan kategori fiskal tinggi (Maluku Utara dan Kalimantan Timur) tahun 2003 menunjukkan besaran yang juga paling tinggi yaitu sebesar Rp 90.000 sampai Rp 168.000 dengan rata-rata sebesar Rp 129.000. Besarnya diikuti oleh daerah dengan fiskal sedang dengan rata-rata biaya rawat jalan sebesar Rp 27.000 dan diikuti biaya rawat jalan terendah pada daerah dengan fiskal rendah yaitu dengan nilai rata-rata Rp 14.000. Pola pembiayaan untuk pengobatan dasar atau upaya kesehatan perorangan (private health) menunjukkan kecenderungan meningkat dengan peningkatan status kemampuan fiskal suatu daerah. Semakin tinggi kemampuan fiskal semakin tinggi pula rata-rata biaya per-orang untuk pengobatan rawat jalan di tingkat pelayanan kesehatan pertama (primer). Tabel 6. Kisaran perkiraan biaya riil pengobatan dasar per kunjungan rawat jalan Kategori Fiskal Tinggi Sedang Rendah

Biaya riil terendah (rupiah) 90.400,89 27.386,19 9.151,56

Biaya riil tertinggi (rupiah) 167.774,31 27.386,19 18.993,51

Rata-rata (rupiah) 129.087,60 27.386,19 14.072,53

Sumber: Data Puskesmas lokasi kajian

10

Biaya ini adalah biaya satuan yang sesungguhnya. Biaya satuan riil terdiri dari 3 (tiga) komponen dasar yaitu biaya investasi, biaya operasional dan biaya pemeliharaan. Biaya investasi adalah biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan produk jasa pelayanan kesehatan dan digunakan dalam jangka waktu lama seperti gedung, peralatan medis dan non-medis, serta biaya operasional dan pemeliharaan. Biaya operasional meliputi biaya gaji pegawai, insentif jasa medis, obat, barang habis pakai medis dan non-medis, biaya umum dan biaya lain-lain. Biaya pemeliharaan merupakan biaya untuk memelihara agar sarana prasarana dapat terus berfungsi secara optimal dalam menghasilkan produk pelayanan kesehatan. Tabel 7. Kisaran Perkiraan biaya real pengobatan dasar per kunjungan rawat jalan tanpa memperhitungkan biaya investasi Kategori Fiskal Tinggi Sedang Rendah

Biaya riil terendah (rupiah) 69.985,72 27.386,19 8.559,19

Biaya riil tertinggi (rupiah) 135.223,24 27.386,19 10.188,00

Rata-rata (rupiah) 102.604,48 27.386,19 9.373,59

Sumber: Data Puskesmas lokasi kajian

Jika biaya pelayanan pengobatan dasar di atas tidak memperhitungkan biaya investasi, oleh karena investasi sudah dilakukan oleh pemerintah maka biaya satuannya (unit cost) ratarata menjadi Rp 103.000 untuk daerah dengan fiskal tinggi, Rp 27.000 untuk daerah dengan fiskal sedang dan Rp 9.000 untuk daerah dengan fiskal rendah. Sedangkan jika gaji pegawai tidak dimasukkan oleh karena gaji pegawai sudah dibayar oleh pemerintah maka biaya satuan menjadi turun tajam sampai di bawah Rp 3.000. Rata-rata biaya yang dibayarkan oleh pasien yang datang berkunjung ke Puskesmas termasuk biaya tindakan adalah Rp 10.000. Ini berarti bahwa rata-rata pasien ke puskesmas setiap kali berkunjung sudah dapat menutupi biaya riil jika biaya investasi ditanggung oleh pemerintah. Kebijakan tentang hal ini berbeda-beda di setiap daerah. Di Medan, penduduk tidak ditarik biaya akan tetapi jika tidak dapat menunjukkan kartu tanda penduduk Medan maka tarif puskesmas adalah sebesar Rp 3.000. 4.5.

Peran pemerintah, DPRD, serta sektor swasta

Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa perhatian utama dari hampir semua pemerintah daerah lebih ditujukan pada upaya pembangunan infrastruktur, sarana-prasarana dan pengembangan wilayah, atau yang lebih mudah disebut pembangunan fisik. Namun demikian terdapat variasi tingkatan perhatian Bupati/Walikota antar daerah. Di beberapa daerah seperti di Kota Ternate dan Kota Medan, walikota mempunyai perhatian yang cukup memadai terhadap pelayanan kesehatan dasar. Perhatian tersebut diwujudkan dengan tanggapan terhadap setiap usulan Dinas Kesehatan tentang upaya pelayanan kesehatan masyarakat terutama masalah kesehatan yang sifatnya penting dan mendesak (seperti kejadian luar biasa). Namun demikian, di beberapa daerah lain, terutama di daerah-daerah pemekaran (daerah baru) perhatian Bupati/Walikota terhadap upaya pelayanan kesehatan dirasakan kurang memadai. Di antara banyak program pembangunan kesehatan, pembangunan yang bersifat fisik seperti pembangunan rumah sakit, puskesmas, dan pengadaan peralatan 11

kesehatan juga lebih mendapat perhatian dibandingkan pembangunan yang bersifat non fisik seperti program-program kesehatan yang bersifat preventif dan promotif. DPRD secara periodik (setiap 3-4 bulan sekali) mengadakan penjaringan aspirasi masyarakat atau yang di beberapa daerah disebut Jaring Asmara. Aspirasi masyarakat ini secara moral menjadi landasan para anggota DPRD untuk membuat ketetapan-ketetapan program pembangunan daerah. Walaupun begitu, tidak sedikit anggota DPRD yang belum bisa menganalisis informasi yang didapat dari masyarakat dan membedakan secara jelas antara daftar keinginan dan daftar kebutuhan masyarakat. Sebagai contoh di daerah endemis malaria, dinas kesehatan mungkin akan memilih melakukan penyemprotan setelah terjadi kenaikan penderita malaria dari pada upaya pencegahan yang bisa dilakukan oleh masyarakat sendiri dengan biaya yang lebih murah. Apabila hal ini tidak dipahami sepenuhnya oleh para anggota DPRD maka para wakil rakyat ini akan cenderung meneruskan dan memperjuangkan keinginan masyarakat ini diwujudkan dalam program pembangunan tanpa melakukan koreksi ataupun justifikasi yang lebih rasional dan realistis. Ironisnya, advokasi atau sosialisasi program pelayanan kesehatan kepada para wakil rakyat pada umumnya sangat kurang. Peranan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam pelayanan kesehatan masyarakat secara umum masih dikatakan kurang. Di beberapa daerah seperti di Kota Tidore, bahkan dilaporkan belum ada LSM baik LSM lokal maupun LSM asing yang terlibat dalam upaya pembangunan kesehatan. Akan tetapi, di daerah lain seperti Yogyakarta dan Denpasar, peran LSM cukup memadai. Keberadaan LSM lokal di daerah tertentu dipersepsikan sebagai lembaga yang justru merugikan oleh karena kegiatannya lebih mengutamakan protes dalam wujud demonstrasi Di daerah-daerah lain terutama di daerah konfik, LSM asing sering dipersepsikan bersifat diskriminatif. LSM asing, dalam hal ini sering dengan caranya sendiri memilih daerah untuk bantuan pelayanan kesehatan dilaksanakan di daerah/komunitas tertentu meskipun sesungguhnya bukan merupakan daerah prioritas. Dengan demikian, bantuan kesehatan yang diberikan justru sering menimbulkan masalah baru dan menjadi sumber konflik baru yang dapat merugikan pemerintah maupun masyarakat itu sendiri. 4.6. Kewenangan pemerintah pusat dan daerah Undang-undang no 22 dan no 25 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah telah menimbulkan semangat baru bagi para pejabat daerah untuk menjalankan roda pemerintahan daerah. Semangat otonomi daerah ini dalam beberapa hal sering menimbulkan masalah baru terutama dalam hal koordinasi dan sinkronisasi program pembangunan termasuk pembangunan kesehatan. Dengan semangat otonomi, koordinasi antar kabupaten/kota dan antara kabupaten/kota dan propinsi menjadi menurun. Padahal sesungguhnya banyak sekali masalah kesehatan yang manajemennya tidak mengenal batas teritorial, memerlukan penanganan lintas batas. Sebagai contoh, masalah malaria yang terjadi di beberapa daerah. Penyebaran malaria melalui nyamuk anopheles yang mempunyai jangkauan cukup jauh sehingga mempunyai kemampuan melintasi batas-batas daerah. Apabila masalah malaria di suatu kabupaten/kota ditangani dengan baik sedangkan dikabupaten/kota tetangganya tidak mendapat perhatian, maka penanggulangan malaria tidak akan berhasil. Banyak diakui bahwa kurangnya koordinasi propinsi-kabupaten/kota juga sering menimbulkan adanya program yang tumpang tindih antara yang disusun oleh pusat, propinsi dan program yang disusun oleh kabupaten/kota. Di sisi lain tidak jarang suatu program 12

kesehatan di kabupaten/kota tidak masuk dalam rencana program kesehatan kabupaten/kota dikarenakan keterbatasan dana di tingkat kabupaten/kota dan sesungguhnya dapat direncanakan dan dilaksanakan dengan menggunakan dana propinsi. Oleh karena itu, koordinasi antar kabupaten/kota perlu dilakukan dengan fasilitasi dinas kesehatan propinsi dan pusat agar supaya dapat meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan dasar. SPM sudah dikenal, hanya pelaksanaan masih belum optimal karena sosialisasi dan kewenangannya belum dipahami dengan baik oleh daerah. SPM tidak akan terlaksana dengan baik apabila tidak diikuti dengan pengawasan dan evaluasi implementasi SPM yang cukup memadai. Pelayanan kesehatan dasar yang lebih bersifat, public good seperti imunisasi, pemberian makanan tambahan bagi anak kurang gizi, pelayanan gizi dasar dan lain sebagainya sangat dirasakan manfaatnya oleh daerah dan diharapkan dapat dilanjutkan oleh pusat terutama dalam hal pembiayaannya. 5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1. Kesimpulan 1. Capaian indikator pelayanan kesehatan dasar dalam Standar Pelayanan Minimum bervariasi antar daerah kajian dan tidak menunjukkan hubungan yang serat dengan kemampuan fiskal daerah yang bersangkutan. 2. Perubahan struktur penduduk Indonesia yang ditandai dengan menurunnya proporsi balita dan meningkatnya proporsi usia produktif dan lanjut usia. Pola penyakit utama masih didominasi penyakit-penyakit infeksi, akan tetapi penyakit non-infeksi mulai meningkat seiring dengan perubahan struktur penduduk. 3. Kemampuan fiskal suatu daerah tidak menjamin alokasi biaya kesehatan terutama untuk public goods, sedangkan private goods berkorelasi positif dengan kemampuan fiskal. Hal kemungkinan dipengaruhi oleh komitmen pemerintah daerah dan DPRD dalam pembangunan kesehatan serta tingkat kesehatan masyarakat. Alokasi biaya kesehatan di daerah lebih banyak untuk pembangunan fisik dan kuratif, sedangkan untuk upaya-upaya kesehatan preventif dan promotif masih sangat kurang. 4. Besaran biaya satuan untuk pengobatan dasar bervariasi sesuai dengan fiskal daerah. Pada daerah dengan kemampuan fiskal tinggi, biaya yang diperlukan semakin tinggi. Secara rata-rata, karena biaya investasi dan gaji telah dibayar pemerintah, besaran biaya yang diperlukan untuk pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas adalah Rp 3.000 per kunjungan. Besaran ini masih tercukupi oleh biaya yang dikeluarkan masyarakat yaitu sebesar Rp 10.000 per kunjungan. 5. Ada indikasi bahwa pemerintah daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dan LSM kurang mendapatkan informasi yang akurat tentang masalah kesehatan dan prioritas pembangunan kesehatan sehingga peran mereka dalam pembangunan kesehatan kurang optimal. Kemampuan advokasi dari jajaran kesehatan di daerah dalam mempengaruhi stakeholder lain masih kurang. 6. Sangat dirasakan adanya ketidak-jelasan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam pembangunan kesehatan sebagai akibat lahirnya UU no 22 dan no 25 tahun 1999. Namun demikian secara keseluruhan pembiayaan pembangunan kesehatan yang bersifat public goods masih diharapkan menjadi wewenang pusat. 13

5.2.

Rekomendasi

1. Dengan adanya perubahan struktur demografi dan pola penyakit di Indonesia perlu dipertimbangkan adanya perubahan jenis paket pelayanan kesehatan dasar. Penentuan jenis pelayanan bisa mengacu pada pergeseran 10 penyakit terbesar yang diderita masyarakat. Dalam hal ini penyakit-penyakit degeneratif seperti hipertensi dan diabetes, yang sebelumnya tidak dimasukkan ke dalam paket, bisa dipertimbangkan masuk ke dalam paket pelayanan kesehatan dasar apabila prevalensinya terus naik yang ditunjukkan dengan naiknya posisi pada rangking 10 penyakit terbesar. 2. Dengan asumsi bahwa biaya investasi dan gaji pegawai dibayar oleh pemerintah, maka satuan biaya pelayanan kesehatan dasar yang diperlukan oleh Puskesmas rata-rata per kunjungan adalah Rp 3.000, sedangkan biaya yang dibayarkan oleh pasien per kunjungan adalah Rp 10.000. Dengan demikian besaran biaya yang selama ini diterapkan pada pasien sudah mencukupi untuk pembiayaan pelayanan kesehatan dasar. 3. Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang dikembangkan oleh pemerintah salah satunya adalah untuk memberikan pelayanan kesehatan gratis masyarakat miskin untuk berobat ke Puskesmas. Sesuai dengan peran pemerintah daerah pada era otonomi, pemerintah daerah dapat menggunakan anggaran kesehatan daerah untuk memperluas cakupan pelayanan kesehatan, terutama bagi penduduk yang berada sedikit di atas garis kemiskinan yang ditetapkan (transient poverty). Sehinga kebijakan nasional dan daerah dapat saling melengkapi. --- o O o ----

14

DAFTAR PUSTAKA

Bappenas-UNDP 2004. Indonesia Human Development Report 2004: The Economic of Democracy, Financing Human Development in Indonesia Bappenas 2004. Indonesia Progress Report on the Millenium Development Goals. Bappenas 2004. Laporan Kajian Pembiayaan Pembangunan Kesehatan di Kabupaten/Kota dalam Era Desentralisasi Bappenas 2003. Evaluasi Butir-Butir Rencana Tindak LOI-IMF Bidang Jaring Pengaman Sosial. Bappenas 2003, Studi Kebijakan Perencanaan dan Pembiayaan Pelayanan Kesehatan Bagi Penduduk Miskin, 2003 Peraturan Presiden No. 7 tahun 2005 tentang Rencana pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2004-2009 The World Bank 2000. Health Strategy in a Post-Crisis, Decentralizing Indonesia WHO 2001. Report of Commission on Macroeconomics and Health: Investing in Health for Economic Development

15