LAPORAN PRAKTIKUM LAPANG BIOLOGI LAUT Identifikasi Biota

tumbuhan tingkat rendah, yaitu jenis flora yang belum dapat dibedakan struktur akar, batang dan daunnya atau sering disebut dengan alga, hingga tumbuh...

72 downloads 844 Views 968KB Size
LAPORAN PRAKTIKUM LAPANG BIOLOGI LAUT Identifikasi Biota Mangrove

Disusun oleh Kelompok 2 BP-A :

 Ahmad Farid Ary Wardhana (141211131025) , dkk

PROGRAM S-1 BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN KELAUTAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 2014

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ........................................................................................... ii DAFTAR Gambar ................................................................................... iii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ......................................................................... 1 1.2 Tujuan ...................................................................................... 2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sungai Muara ........................................................................... 3 2.2 Mangrove dan Keanekaragamannya ........................................ 4 2.3 Struktur, adaptasi dan Penyebaran Bakau ................................ 5 2.4 Kondisi Fisik Bakau dan Zonasi .............................................. 6 2.5 Bakau sebagai sebuah ekosistem dan peranannya dalam dunia perikanan ................................................................................ 8 2.6 Macrobenthos dan Keragamannya ......................................... 11 2.7 Biologi Hewan Makrobenthos ................................................ 12 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Materi Praktikum Benthos ....................................................... 23 3.2 Materi Praktikum Mangrove .................................................... 23 BAB IV HASIL dan PEMBAHASAN 4.1 Hasil Data Mangrove ............................................................... 25 4.2 Hasil Data Benthos ................................................................... 25 4.3 Pembahasan Data Mangrove .................................................... 26 4.4 Pembahasan Data Benthos ....................................................... 32 BAB V Kesimpulan dan saran 5.1 Kesimpulan .............................................................................. 36 5.2 Saran......................................................................................... 36 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 37 ii

DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Morfologi Polyvhaeta ............................................................ 17 Gambar 2. Parapodia Polychaeta ............................................................ 18 Gambar 3. Bentuk chaeta yang simpel .................................................... 19 Gambar 4. Bentuk chaeta yang compound ............................................. 20

iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Tumbuh-tumbuhan yang hidup di laut itu beraneka macam, mulai dari tumbuhan tingkat rendah, yaitu jenis flora yang belum dapat dibedakan struktur akar, batang dan daunnya atau sering disebut dengan alga, hingga tumbuhan tingkat tinggi seperti lamun dan mangrove. Tumbuh-tumbuhan tersebut mampu beradaptasi di lingkungannya masing-,masing sehingga mereka dapat bertahan hidup di lingkungan laut dengan berbagai macam factor yang mempengaruhinya. Salah satu tumbuhan tingkat tinggi yang mampu beradaptasi dengan lingkungan laut adalah Mangrove. Dengan berbagai kelebihannya sehingga tumbuhan ini berfungsi sangat penting bagi ekosistem laut dan ekosistem darat. Akar mangrove yang kuat bisa menahan arus, sehingga dapat mencegah erosi sedimen laut atau bisa disebut juga “benteng laut”. Hutan mangrove merupakan komunitas tumbuhan yang khas berada di daerah tropis sepanjang pantai yang terlindung atau berada di muara sungai, sering disebut sebagai hutan bakau, hutan payau, atau hutan pasang surut dan merupakan suatu ekosistem antara darat dan laut. Beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut sesuai dengan toleransinya terhadap salinitas, lama tergenang, tipe substrat dan morfologi pantai (Bengen 2001). Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem penting di wilayah pesisir karena mempunyai nilai ekologis. Nilai ekologi yang penting diantaranya sebagai penahan abrasi bagi wilayah daratan yang berada dalam ekosistem ini, meyediakan nutrient, sebagai tempat pemijahan (spawning ground), tempat pengasuhan (nursery ground), dan tempat mencari makan (feeding ground) bagi biota laut tertentu. Mangrove mampu mempertahankan garis pantai dengan cara meneruskan aksi gelombang dan menerima runoff dari daratan. Mangrove dapat menstabilisasi substrat dan meningkatkan akresi, sehingga sedimen pada daerah mangrove akan memiliki karakteristik yang berbeda. Distribusi dan kelimpahan mangrove dipengaruhi oleh interaksi perubahan air pada saat pasang surut, salinitas tanah, dan air sehingga produktivitas ekosistem mangrove tergantung paa hubungan factor di 1

atas dan tingkat konsentrasi nutrien yang tinggi yang tergantung di dalam air laut. Mangrove menunjukan karakteristik zonasi yang jelas dengan adanya jenis-jenis genus tertentu pada tiap zona, dan zonasi tersebut tergantung pada periode penggenangan, salinitas, dan karakteristik sedimen ( Ananthakhrisnan, 1982). Daerah studi terletak di perairan Pantai Gunung Anyar Surabaya, Provinsi jawa timur. dengan alasan bahwa daerah tersebut merupakan daerah pantai yang memiliki hutan mangrove yang cukup luas dan belum banyak penelitian yang dilakukan didaerah tersebut.

TUJUAN Dalam praktikum biologi laut ini bertujuan agar mahasiswa dapat mengidentifikasi dan mengklasifikasikan beberapa jenis mangrove yang hidup di daerah Gununganyar, Surabaya berdasarkan ciri-ciri morfologi yang ada.

2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sungai Muara Estuaria adalah perairan yang semi tertutup yang berhubungan bebas dengan laut, sehingga air laut dengan salinitas tinggi dapat bercampur dengan air tawar (Pickard, 1967 dalam Bengen, 2004). Kombinasi pengaruh air laut dan air tawar tersebut akan menghasilkan suatu komunitas yang khas, dengan kondisi lingkungan yang bervariasi, antara lain :

1. tempat bertemunya arus sungai dengan arus pasang surut, yang berlawanan menyebabkan suatu pengaruh yang kuat pada sedimentasi, pencampuran air, dan ciri-ciri fisika lainnya, serta membawa pengaruh besar pada biotanya. 2. pencampuran kedua macam air tersebut menghasilkan suatu sifat fisika lingkungan khusus yang tidak sama dengan sifat air sungai maupun sifat air laut. 3. perubahan yang terjadi akibat adanya pasang surut mengharuskan komunitas mengadakan penyesuaian secara fisiologis dengan lingkungan sekelilingnya. 4. tingkat kadar garam di daerah estuaria tergantung pada pasangsurut air laut, banyaknya aliran air tawar dan arus-arus lain, serta topografi daerah estuaria tersebut. Secara umum estuaria mempunyai peran ekologis penting antara lain :

Sebagai sumber zat hara dan bahan organik yang diangkut lewat sirkulasi pasang surut (tidal circulation), penyedia habitat bagi sejumlah spesies hewan yang bergantung pada estuaria sebagai tempat berlindung dan tempat mencari makanan (feeding ground) dan sebagai tempat untuk bereproduksi dan/atau tempat tumbuh besar (nursery ground) terutama bagi sejumlah spesies ikan dan udang. Perairan estuaria secara umum dimanfaatkan manusia untuk tempat pemukiman, tempat penangkapan dan budidaya sumberdaya ikan, jalur transportasi, pelabuhan dan kawasan industri (Bengen, 2004). Aktifitas yang ada dalam rangka memanfaatkan potensi yang terkandung di wilayah pesisir, seringkali saling tumpang tindih, sehingga tidak jarang pemanfaatan sumberdaya tersebut justru menurunkan atau merusak potensi yang

3

ada. Hal ini karena aktifitas-aktifitas tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung, mempengaruhi kehidupan organisme di wilayah pesisir, melalui perubahan lingkungan di wilayah tersebut. Sebagai contoh, adanya limbah buangan baik dari pemukiman maupun aktifitas industri, walaupun limbah ini mungkin tidak mempengaruhi tumbuhan atau hewan utama penyusun ekosistem pesisir di atas, namun kemungkinan akan mempengaruhi biota penyusun lainnya. Logam berat, misalnya mungkin tidak berpengaruh terhadap kehidupan tumbuhan bakau (mangrove), akan tetapi sangat berbahaya bagi kehidupan ikan dan udangudangnya (krustasea) yang hidup di hutan tersebut (Bryan, 1976 dalam Bengen, 2004).

2.2. Mangrove dan Keanekaragamannya Mangrove adalah sebutan umum untuk menggambarkan suatu komunitas pantai tropis yang didominasi oleh beberapa species pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Mangrove merupakan tumbuhan daratan berbunga yang mengisi kembali pinggiran laut. Sebutan bakau ditujukan untuk semua individu tumbuhan, sedangkan mangal ditujukan untuk seluruh komunitas atau asosiasi yang didominasi oleh tumbuhan ini. Walsh (1974) melaporkan bahwa sekitar 60-70% garis pantai di daerah tropis telah ditumbuhi oleh bakau, jadi peranannya sudah jelas (Geisen et al, 2006). Hutan bakau di Indonesia menyebar sepanjang pantai, mulai dari pantai pulau Sumatera sampai pantai pulau Irian Barat dan meliputi luas ratusan ribu hektar. Hutan bakau ini tumbuh menurut keadaan alami di sepanjang pantai laut yang kadang-kadang tergenang air laut. Menurut Rakoen (1955) lebarnya hutan bakau ini umumnya tidak sama, ada yang lebarnya hanya beberapa meter saja, tetapi ada pula yang lebarnya sampai ratusan meter. Hal ini tergantung pada adanya pengendapan lumpur dan jarak yang dapat dicapai oleh air pasang laut ke arah darat. Sebagai contoh, lebar hutan bakau yang berada di sebelah barat teluk Pampang Besuki berkisar antara 500 – 1000 meter. Jenis-jenis yang umumnya dan banyak diketemukan di Indonesia adalah jenis Rhizophora, Bruguiera, Aviceneia, dan Expecaria (Geisen et al, 2006). Manfaat kayu bakau antara lain sebagai bahan industri kertas, industri papan (di Malaysia terkenal chipboard), kulit Rhizophora mucronata dan

4

Ceriops dapat dipakai sebagai zat pewarna kulit (tannin), sebagai kayu bakar, arang (Geisen et al, 2006). 2.2.1. Struktur, Adaptasi dan Penyebaran Bakau Sebagaimana disinggung di depan, di Indonesia ditemukan 28 jenis dalam 14 famili bakau, yaitu : Tabel 1. Jenis tumbuhan hutan bakau No.

Famili

1. Rhizophoraceae

Jenis Rhizophora conjugate L, R. mucronata, R. stylosa, Bruguiera lymnorrhiza L B. erioptela W et Al, B. carryophylloides Bl, B. parfivlora, Ceriops candolleana Arm, C. rexburghiana Arm

2. Sonneratiaceae

Sonneratia acida L.f S. ovata Backer, S. alba Smith

3. Verbenaceae

Avicennia marina Vierh A. offinalis L.

4. Combretaceae

Lumnitzera littorea Voigh. L. racemmosa

5. Meliaceae

Xyparpus grenatum Koen. X. molluccensis Roem.

6. Mysinaceae

Aegiceros cornoculatum Blance.

7. Rubiaceae

Seyphiphora hydrophylaceae Gaertn.

8. Rutaceae

Limonia litteralis Backer.

9. Euphorbiaceae

Expecaria agallocha L.

10. Sterculiaceae

Heritiera littoralis Bryand.

11. Leguminosae

Pithecolobium umbellatum Bth. Cnymetra ramiflora L.

12. Bignoniaceae

Delichandone sppataceae Schum.

13. Bombacaceae

Cumingia philippinensis Vidal

14. Apocynaceae

Cerbera manghas L. Sumber : Becking, et al, 1922.

5

2.2.2. Kondisi Fisik Bakau dan Zonasi Pada tahun 1931, De Haan telah membagi hutan bakau atas 5 tipe atau zone vegetasi yang sesuai dengan tempat tumbuhnya, yaitu : 1. Tipe Api-api (Avicennia spp) Jenis ini merupakan jenis pionir hutan payau yang terdiri dari Avicennia marina dan A. offinalis, yang tumbuh dekat laut. Sedang pionir yang tumbuh pada tempat-tempat agak tawar airnya terdiri dari Sonneratia alba, seperti terdapat pada sepanjang pematang sungai. Menurut Richards (1952) pohon api-api di Malaysia, umumnya tumbuh pada lumpur-lumpur yang dalam, yang kaya akan bahan organik, dan kadang-kadang pada tepi pantai berpasir dan dangkal (Geisen et al, 2006). 2. Tipe bakau-bakau (Rhizophora spp) Jenis yang tumbuh paling dekat ke laut adalah bakau gandhul (Rhizophora mucronata) sedang pada bagian dalamnya sebagian besar ditumbuhi oleh bakau-bakau putih (R. conjugata). Di daerah bakaubakau kadang-kadang tumbuh Ceriops candolleana dan Bruguiera parfivlora. Tumbuhan lainnya yang paling sering dijumpai adalah jeruju (Achanthus ilicifolius). Tanah yang bisa ditumbuhi jenis ini adalah lumpur berwarna hitam yang kaya akan humus. Menurut Richards (1952) pada umumnya jenis Rhizophora lebih menyukai tanah-tanah yang kaya humus, berwarna hitam, dan bercampur sedikit pasir halus (Geisen et al, 2006). 3. Tipe Kandela (Bruguiera spp) Kandela (Bruguiera gymnnorhiza Lmk) adalah jenis yang paling panjang umurnya dibanding jenis-jenis lainn di dalam lingkungan Rhizophoraceae, dan dapat tumbuh lebih ke darat dari bakau lain. Pohon ini dapat tumbuh di naungan, buahnya pendek mudah menyebar. Pada daerah yang tinggi sering bercampur dengan kelompok besar dari Nyirih (Xylocarpus granatum), Dungun (Heritiera littoralis) ataupun kelompok kecil

dari buta-buta

(Expecaria agalocha) (Geisen et al, 2006).

6

4. Tipe Nipah (Nipa frutucana Wurmb) Tumbuh pada tanah-tanah lunak, dan berlumpur sampai tanah-tanah keras.

Nipah

merupakan

tipe

peralihan

dan

dapat

tumbuh

menyesuaikan diri pada tempat yang airnya agak asin, tergenang hingga air tawar yang kurang terpengaruh air pasang. Pada tempat yang agak tinggi, biasanya nipah bercampur dengan nyirih, dungun, buta-buta, pedada (Sonneratia acida) dan jaran (Dolichandrone spathaceae) (Geisen et al, 2006).

5. Tipe Hutan Bakau Air Tawar Tempat ini hany dipebgaruhi oleh air musim. Pada musim barat tergenang air dan pada musim timur kerting. Pengaruh pasang surut terhadap daerah ini kurang sekali. Tegakan utamanya sangat banyak jenisnya. Jenis-jenis yang hidup di daerah ini antara lain bungur (Langerstoemia spp), nyamplung (Calophyllum inophyllum), ketapang (Terminalia cattapa), waru (Hibiscus tiliaceus) (Geisen et al, 2006). De Haan (1931) menyatakan bahwa salinitas bervariasi dari hari ke hari dan dari musim ke musim. Pada siang hari salinitas lebih (paling) tinggi, terutama pada saat surut dan akan turun kembali bila pasang tiba, demikian juga pada musim kemarau salinitas lebih tinggi dibanding musim hujan. Selanjutnya dikatan bahwa berbagai jenis bakau memiliki kemampuan toleransi terhadap salinitas yang tidak sama (Geisen et al, 2006), seperti dijelaskan pada tabel di bawah : Tabel 2. Hubungan antara salinitas (NaCl) dan jenis bakau (de Haan, 1931)

Jenis tanaman

Rhizophora mucronata L

Kandungan kadar garam (%) ± 12 – 30

Rhizophora conjugata L

± 12 – 30

Bruguiera gymnyrriphyza

± 10 – 30

Lamk

7

Bruguiera parfivlora W et A

± 10 – 30

Bruguiera erioptela W et A

± 1 – 30

Xylocarpus granatum Koen

± 1 – 30

Nipa fruticana Wurmb

± 1 – 30

Keterangan: Kadar garam diukur pada saat pasang tertinggi pada waktu musim hujan Preferensi terhadap periode pasang surut air laut jelas nampak apabila tanaman hutan bakau diputuskan dari air laut, maka pertumbuhannya menjadi mundur. Ini jelas pada Rhizophora spp dan Avicennia spp, semakin jauh dari pantai maka semakin tipis pertumbuhan dari kedua jenis ini (Geisen et al, 2006). Watson (1928) yang telah mempelajari masalah pasang surut ini di Malaysia membagi hutan bakau menjadi 5 tipe hutan atas dasar sifat-sifat dari pasang surut, sebagai berikut : 1. Digenangi oleh semua pasang tinggi Tak ada yang hidup kecuali Rhizophora mucronata. 2. Digenangi pasang setengah tinggi Di daerah ini terdapat Avicennia dan Sonneratia spp. Di pinggir sungai umumnya didominasi oleh Rhizophora mucronata. 3. Digenangi pasang biasa Dii sini hampir sebagian jenis mangrove dapat hidup tetapi Rhizophora umumnya dominan. 4. Digenangi pasang lewat (spring tide) Di sini umumnya hidup Bruguiera spp. 5. Digenangi pasang tak tentu Di sini biasanya terdapat Bruguiera gymnorriphiza.

2.2.3. Bakau sebagai sebuah ekosistem dan peranannya dalam dunia perikanan Komunitas mangal (hutan bakau) bersifat unik, disebabkan secara vertikal organisme daratan menempati bagian atas pohon tersebut, sedangkan hewanhewan laut menempati bagian bawah. Hutan-hutan bakau membentuk

8

percampuran-percampuran yang sangat spesifik, antara organisme darat dan lautan, dan menggambarkan suatu rangkaian dari darat ke laut dan sebaliknya. Mollusca diwakili oleh sekelompok siput, yang hidup pada akar dan batang pohon bakau (Littorinidae) dan sebagian lainnya hidup di dasar akar sebagai pemakan detritus (Ellobiidae dan Potamididae). Sumbangannya terhadap hutan bakau, siput-siput ini jarang diketahui. Kelompok kedua dari mollusca adalah bivalve. Yang dominan dari bivalve adalah tiram. Mereka melekat pada akar-akar bakau, di sana mereka berbentuk biomasa (Geisen et al, 2006). Hutan bakau juga disenangi oleh berbagai jenis kepiting dan berbagai jenis udang tertentu. Hewan ini membuat lubang di dalam substrat yang lunak dan termasuk golongan umum seperti Uca, kepiting laga (fiddler crab), Cardisoma, kepiting darat tropis, dan beberapa kepiting hantu (Dotilla, Cleistostoma). Kepiting-kepiting ini biasanya khusus memakan dentritus yang diketemukan dalam lumpur. Umumnya mereka memisahkan dentritus dari partikel organik dengan menyaring substrat melalui sekumpulan rambut disekeliling mulutnya (Geisen et al, 2006). Seperti dijelaskan di depan, hutan bakau hidup di daerah peralihan antara daratan dan lautan, demikian juga kepiting-kepiting yang ada di dalamnya adalah memiliki kemampuan untuk beradaptasi. Mereka dilengkapi dengan vaskularisasi dinding ruang insang sehingga berfungsi semacam paru-paru (Geisen et al, 2006). Lubang-lubang yang dibuat oleh kepiting-kepiting ini juga dibuat oleh udang-udang Upogebia dan Thalassina, mempunyai beberapa fungsi. Pertama, sebagai tempat berlindung dari predator. Kedua, sebagai tempat berkembang biak dan ketiga, sebagai bantuan dalam mencari makan. Disamping itu lubanglubang ini berguna juga bagi hutan bakau, yaitu dengan melewatkan oksigen yang masuk ke dalam substrat yang lebih dalam, jadi memperbaiki kondisi anoksik (Geisen et al, 2006). Secara garis besar sumbangan yang diberikan oleh hutan bakau bagi perikanan adalah sebagai berikut : 1. Tempat berteduh/berlindung Berdasarkan pengamatan MacNae (1974) semua jenis udang ekonomis penting dalam daur hidupnya amat bergantung pada hutan bakau kecuali Penaeus japonicus, P. semisulcatus, dan P. latisulcatus. Daerah ini merupakan daerah pembesaran (nursery ground) bagi udang penaeid. Dengan banyaknya akar-akar bakau yang dapat

9

digunakan berlindung dan menempel serta tersedianya detritus yang cukup banyak disamping jasad renik pemakan dentritus yang merupakan makanan bagi udang-udang tersebut. Di samping udang, beberapa jenis ikan seperti belanak juga memanfaatkan hutan bakau ini sebagai tempat pembesaran sebelum mereka cukup kuat untuk kembali ke laut, disamping ikan gelodok (Periopthalmus) yang memang habitatnya di hutan bakau (Geisen et al, 2006).

2. Tempat mencari makan Rantai makanan dalam proses kehidupan dalam air dimulai dari fitoplankton yang dengan bantuan sinar matahari membentuk senyawa organik dalam tubuhnya. Fitoplankton ini akan dimakan oleh hewan yang lebih tinggi dan berakhir pada manusia. Untuk daerah di sekitar hutan bakau (canal dan lagoon) termasuk estuarin, jenis dan jumlah fitoplaknton relatif lebih sedikit dibanding dengan perairan laut (Barnes, 1974). Salah satu kemungkinannya adalah karena keruhnya air sehingga proses fotosintesis tidak dapat berjalan lancar sejalan dengan terhambatnya sinar matahari masuk ke dalam perairan tersebut. Dalam keadaan demikian, peranan fitoplakton ternyata disubstitusi oleh hutan bakau tersebut, yakni daun-daun bakau. Daundaun bakau yang runtuh dan jatuh ke dalam air di samping akan menjadi tempat berkumpul bakteri dan fungi yang merupakan makanan protozoa dalam waktu tertentu akn mengalami pembusukan, dan dentritus-dentritus yang dihasilkan akan menjadi makanan binatang-binatang (dentritus feeder) seperti Amphipoda, Mycidacea, dll. Selanjutnya binatang-binatang tersebut disamping dentritusnya akan menjadi makanan bagi larva-larva udang, udang muda maupun larva ikan. Heald & Odum (1972) mengamati proses perpindahan energi mulai dari daun bakau sampai dengan hewan-hewan yang hidup di hutan bakau, menemukan bahwa 80 - 90% makanan ikan dan udang di daerah itu terdiri dari dentritus. Dari sini jelas bahwa hutan bakau memberikan kontribusi penting dalam penyediaan makanan dalam proses kehidupan (Geisen et al, 2006).

3. Merupakan habitat bagi beberapa jenis ikan maupun hewan lainnya. Sebagaimana disinggung di depan, ikan gelodok hidup di daerah bakau. Ikan ini biasanya membuat lubang sebagai tempat persem-

10

bunyiannya dari bahaya. Mereka dapat meloncat-loncat seperti katak. Berbeda dengan jenis ikan lain, ikan gelodok mempunyai modifikasi mata yang terletak tinggi di kepala dan tersusun sedemikian rupa sehingga membentuk fokus yang baik di udara tetapi tidak di air. Beberapa jenis burung, ular, dan serangga yang berasal dari darat juga banyak menghuni daerah hutan ini, di samping hewan-hewan laut yang telah disinggung di depan seperti kepiting, bivalve, siput, dan sebagainya(Geisen et al, 2006).

2.3. Macrobenthos dan Keanekaragamannya Hewan makrobenthos adalah organisme yang hidup atau berada pada dasar perairan, baik dasar perairan yang dangkal maupun pada perairan yang dalam (Welch, 1952 dalam Setyobudiandi 1999). Sedangkan menurut Cole (1979) menyatakan bahwa hewan makrobenthos adalah hewan yang hidup di dasar, yang ditangkap dengan alat penyaring atau pengayak dengan diameter sama atau lebih besar dari ukuran 0,14 mm (Setyobudiandi, 1999). Menurut Eltringham (1977 dalam Setyobudiandi 1999) fauna yang hidup di perairan, baik yang berhabitat lumpur maupun pasir dibagi dalam : 1. Epifauna (Episammic spp) Organisme yang di dalam hidupnya menghabiskan waktu jangka panjangnya bergerak pada permukaan dasar tetapi mungkin sewaktu-waktu mereka membenamkan dirinya. Misalnya : Polychaeta, Mollusca, dan Crustaceae 2. Infauna Organisme yang menghabiskan seluruh atau kebanyakan waktu hidupnya di bawah dasar perairan. a. Makrofauna (Endopsammic spp) Organisme yang hidupnya bergerak atau menetap dengan berpindah tempat dan kembali ke tempat semula. Misalnya : Polychaeta, Mollusca, dan Crustaceae b. Miofauna (Mesosammic spp) Organisme yang hidupnya menetap atau tinggal pada daerah interstitial. Misalnya : Nematoda, Copepoda,dll.

Berdasarkan ukurannya, hewan makrobenthos dibagi : 1. Meiofauna

11

Organisme yang tidak lolos dengan saringan ukuran 0,062 mm. 2. Makrofauna Organisme yang tidak lolos dengan ukuran saringan 0,5 mm.

2.3.1 Biologi Hewan Macrobenthos a. Morfologi Hewan Makrobenthos Pada umumnya hewan makrobenthos yang mendominir pada suatu perairan adalah kelompok organisme polychaeta, mollusca, dan crustaceae. 

Kelompok Polychaeta Menurut Day (1967 a & b) secara garis besar, bentuk morfologi polychaeta dibagi menjadi 2 kelompok yaitu Errantia dan Sedentaria. Kelompok Errantia, pada umumnya tiap segmennya mempunyai sepasang kaki jalan yang disebut parapodia. Parapodia dilengkapi dengan sejumlah chaeta atau rambut yang didukung oleh acicula, rambut dari cacing errantia ini mempunyai 27 bentuk, baik dari bentuk sederhana maupun yang bersambungan, (arti polychaeta; poly = banyak, chaeta = rambut, jadi organisme/cacing laut yang mempunyai rambut banyak pada tiap-tiap kaki jalannya). Pada bagian kepala terdiri dari prostomium yang dilengkapi dengan sepasang atau empat pasang mata, satu atau lima tentakel, sepasang palp atau sama sekali tidak ada palp pada prostomiumnya dan tentakular cirri sepasang sampai delapan pasang. Di bawah dari prostomium disebut peristomium kemudian anchetous segment pada segmen berikutnya kemudian baru segmensegmen yang dilengkapi dengan chaeta. Bagian thorax dan abdomen pada umumnya dilengkapi oleh insang atau sisik yang transparan. Sedangkan pada bagian ekor pada umumnya disebut sebagai pygidium yang dilengkapi dengan sepasang anal cirri (Setyobudiandi, 1999). Kelompok Sedentaria, cacing laut sedentaria ini termasuk kelompok orgaisme yang menetap pada tabungnya. Tabung-tabung dari organisme terbuat dari bahan-bahan pasir dengan lendir atau terdiri dari zat tanduk atau juga material lumpur dengan lendir. Cacing sedentaria, bentuk morfologinya mengalami reduksi baik pada bagian kepala, parapodia dan bagian ekornya. Pada bagian kepala pada umumnya tidak terdapat mata, tentakular cirri dan palp tetapi terdapat tentakel berbentuk seperti mahkota atau berbentuk seperti bunga lili, fungsi dari tentakel ini adalah menangkap mangsanya. Tidak terdapat parapodia dan pada umumnya chaeta [rambut] dari kelompok organisme sedentaria ini berbentuk 12

sederhana tidak pernah terdapat bentuk chaeta yang bersambungan. Ekor tidak terdapat pada organisme sedentaria ini (Setyobudiandi, 1999)..

Reproduksi Polychaeta Polychaeta

reproduksinya

secara

hermaphrodite,

fragmentasi

/regenerasi dan sexual (perkawinan jantan dan betina). Reproduksi secara fragmentasi, dimana karena tuntutan biologis, maka cacing tersebut mencari lokasi pada batu-batuan atau karang yang telah retak. Dari sela-sela keretakan ini cacing tersebut memutuskan tubuhnya dengan menjepitkan badannya, pemutusan ini terjadi pada segmen ke 12 dan ke 13 dengan ditandai bentuk dari segmen ke 12 dan ke 13 berwarna merah dengan lingkaran-lingkaran putih pada segmennya dan pada segmen ke 14 nantinya menjadi bakal kepala baru (Buchsbaum, 1976 dalam Setyobudiandi, 1999). Selanjutnya dikatakan bahwa reproduksi secara fragmentasi hanya terjadi pada cacing kelompok errantia. Menurut Dales (1967) reproduksi secara sexual pada cacing betina diawali dengan gerakan berenang mendekati pantai/merayap ke pantai dengan posisi melingkarkan badannya dengan mengeluarkan cahaya berwarna hijau secara berkala karena adanya phosporesensis dan cacing betina mengeluarkan bau-bau tertentu dengan tujuan menarik perhatian cacing jantan yang siap untuk melakukan pemijahan. Setelah terjadi perkawinan pada umumnya induk cacing mati karena bagian perut terkoyak-koyak dalam perkawinan. Perkawinan dilakukan pada waktu bulan purnama yaitu beberapa jam setelah bulan tersebut mulai terbenam ke ufuknya. Telur-telur yang telah dibuahi kemudian menetas beberapa minggu kemudian menjadi larva yang bercilia mencari tempat yang layak kemudian menjadi cacing muda (Setyobudiandi, 1999). 

Kelompok Mollusca Menurut Morton (1958), menyatakan bahwa untuk mengenal mollusca tidak sulit, pertama-tama dapat dilihat adalah pada bagian cangkangya atau shell yang keras, badannya lunak dan kulitnya yang licin. Mollusca pada umumnya tidak bertulang dan tidak bersegmen. Mollusca dibagi menjadi 6 klas yaitu : Monoplacophora, Amphineura, Gastropoda, Scaphopoda, Bivalve, dan Cephalopoda. Pada umumnya 13

yang terdapat dalam jumlah banyak adalah kelompok Gastropoda dan Bivalve. Selanjutnya dikatakan oleh Morton (1958) bahwa bentuk umum dari Gastropoda adalah sebagai berikut; badan yang lunak mempunyai bentuk beraneka (bermacam-macam), tidak simetris disebabkan adanya ‘torsion’ bagian dalam (organ dalam tubuh yang melingkar), kaki berbentuk flat dan sangat lebar atau luas ini merupakan ciri dari gastropoda. Cangkang terdiri dari satu (univalve), bentuk cangkang kerucut (lingkaran-lingkaran kerucut) terdiri dari calcarious atau horny (Setyobudiandi, 1999). Bentuk bivalve menurut Morton (1958) biasanya bilateral symetris atau compressed, kakinya bila dijulurkan keluar berbentuk seperti kapak atau bentuk lidah. Cangkangnya simetris terdiri dari dua buah dihubungkan dengan ligamen elastis pada bagian atasnya. Kepala dari bivalve rudimenter dan tidak dilengkapi mata dan tentakel. Organisme bivalve ini dilengkapi dengan siphon yang fungsinya untuk menyaring makanan yang tidak sesuai dengan diameter siphonnya (Setyobudiandi, 1999).

Reproduksi Mollusca Menurut Buchsman (1976), bahwa mollusca reproduksinya secara sexual dan asexual. Asexual yaitu secara hermaphrodite, dimana organisme awal hidupnya bertindak sebagai betina kemudian jantan dan pada waktu mau memijah organisme tersebut bertindak seperti awal dari kehidupannya yaitu betina, bertelur kemudian menetas menjadi larva berciala menetap pada subtrat di mana menjadi habitatnya kemudian menjadi mollusca muda, dewasa, kembali memijah (Setyobudiandi, 1999). Reproduksi secara sexual, yaitu perkawinan jantan yang telah masak untuk memijah demikian pula organisme betinanya telah masak telur. Pembuahan dapat terjadi di luar atau di dalam tubuh organisme, setelah terjadi pembuahan maka telur menetas kemudian menjadi larva berciala dan mencari habitat yang sesuai untuk berkembang dan menjadi mollusca dewasa (Setyobudiandi, 1999). 

Kelompok Crustacea Menurut Naylor (1972) dan Sars (1890) bentuk morfologi tubuh crustacea dibagi menjadi 3 bagian yaitu cephalothorax, abdomen dan 14

telson. Pada umumnya jenis crustacea banyak dijumpai pada daerah muara sungai, mangrove, dan pantai adalah jenis-jenis Peneus dan Isopoda atau Amphipoda. Crustacea termasuk organisme yang beruasruas atau bersegmen, badan dilapisi dengan kulit terdiri dari chiten, tiaptiap segmen saling berhubungan maka disebut juga organisme metameristic (Setyobudiandi, 1999). Untuk kelompok Penaeus spp, pada bagian cephalo atau kepala terdiri dari 5 atau 6 segmen yaitu antena 1 & 2, mandible, maxillae 1 dan maxillae 2, sedang pada bagian thorax terdiri 8 segmen yaitu 3 pasang maxillipeds, 1 chelae dan 4 pasang kaki jalan atau periopoda, pada bagian abdomendan telson terdiri dari 6 segmen yaitu 5 pasang pasang kaki renang atau pleopod dan 1 uropoda pada bagian telson (Alie Purnomo, 1969 dalam Setyobudiandi, 1999). Untuk kelompok Isopoda, menurut Naylor (1972) bagian badannya dibagi dalam bagian kepala atau cephalon, thorax atau pereon, abdomen atau pleon dan telson atau ekor. Bagian cephalon terdiri dari 1 segmen, pereon terdiri 7 segmen, abdomen terdiri 4 segmen, serta 1 segmen untuk bagian telson. Bentuk morfologi dari isopoda ini adalah depressed dorsalis, mata selalu melekat atau sessile dan mempunyai antena pada bagian kepala dengan panjang anatar 3 – 5 mm, antenanya berbentuk uniramous artinya tidak bercabang pada ujungnya (Setyobudiandi, 1999).

Reproduksi Crustacea Pada umumnya alat kelamin kelompok crustacea terpisah (unisexual) (Naylor, 1972 dan Alie Purnomo, 1969). Apabila udang jantan maupun betina siap memijah maka terjadi perkawinan antara keduanya yang sangat cepat, setelah induk betinanya moulting baru terjadi pembuahan maka telur menetas menjadi tingkat nauplius selanjutnya disini mengalami 6 kali ganti kulit, kemudian menjadi phase zoea ganti kulit, kemudian menjadi phase mysis kemudian post larva dan juvenil mengadakan ruaya ke pantai menjadi dewasa, kembali memijah, dan seterusnya (Setyobudiandi, 1999).

Kebiasaan Makan (Feeding Habits)

15

Berdasarkan pada kebiasan makannya maka hewan makrobenthos dibagi menjadi 2 bagian yaitu suspension feeders dan deposit feeders (Buchsbaum, 1967 dalam Setyobudiandi, 1999). Selanjutnya dikatakan oleh Hutabarat dan Evans (1985), bahwa kelompok suspension feeders adalah kelompok hewan makrobenthos yang menyaring partikel-partikel yang masih melayang-layang di perairan, sedangkan deposit feeders adalah organisme yang mempunyai sifat mengumpulkan makanan (dentritus) yang telah menetap di dalam dasar perairan (Setyobudiandi, 1999). Menurut Nybakken (1982), menyatakan bahwa pemakan deposit cenderung melimpah pada sedimen lumpur dan atau sedimen lunak yang merupakan daerah yang mengandung bahan organik yang tinggi. Di beberapa daerah yang biasanya terdapat penggali pemakan deposit terdapat organisme pemakan suspensi. Selanjutnya dikatakan hal ini disebabkan organisme penggali pemakan deposit menggali beberapa centimeter teratas dari dasar dan menyebabkan lapisan berpartikel halus menjadi renggang dan tidak stabil. Lapisan ini mudah tersuspensi kembali oleh adanya gerakan air (Setyobudiandi, 1999). Sedimen

yang

tersuspensinya

kembali

ini,

mengakibatkan

tersumbatnya struktur penyaring pemakan suspensi yang halus sehingga fungsinya terhambat. Sedangkan pemakan suspensi terdapat lebih melimpah pada substrat berpasir, bahan organik lebih sedikit, dan substrat dimana pemakan deposit akan mendapatkan lebih sedikit adanya makanan yang tersedia serta lebih sukar untuk menggali. Karena substrat biasanya lebih labil, pemakan suspensi dapat membentuk dirinya (Setyobudiandi, 1999). 

Phyllum Annelida, Class Polychaeata Class Polychaeata dibagai dalam 2 grup yaitu : -

Errantia (merangkak)

-

Sedentaria (menetap)

Ciri – ciri Errantia : -

Prostomium dengan sensory appendages berkembang baik

-

Tentakular, dorsal, dan ventral cirri berkembang baik

-

Pharynx biasanya dapat dikeluarkan dan dilengkapi dengan

bermacam-macam elemen jaw dan tangan

16

-

Parapodia biasanya terdiri dari compound chaeta (rambut yang

bersambungan bentuknya). Ciri – ciri Sedentaria -

Prostomium tidak berkembang baik, sering terjadi satu dengan

peristomium dan biasanya jarang/sedikit sekali dilengkapi dengan sensory appendages -

Mempunyai special feeding structure, misalnya seperti

tentakel, branchial yang berbentuk mahkota dan lainnya pada ujung dari anterior segmen -

Pharynx walaupun dapat dikeluarkan tetapi tidak mempunyai

tangan -

Parapodia tidak berkembang baik dan sedikit sekali terdiri dari

compound chaeta, pada umumnya chaetanya adalah berbentuk simpel

Morfologi Polychaeta Bentuk morfologi dari polychaeta bermacam-macam, pada umumnya bentuk dasar polychaeta sebagai berikut (lihat gambar) :

Gambar 1. Morfologi Polychaeta

Polychaeta pada umumnya berbentuk memanjang, silindris, dan tersusun dari bagian anterior yang terdiri dari prostomium dan peristomium yang mempunyai atau tidak mempunyai parapodia (achaetous segmen), sejumlah segmen pada bagian badan dan pydigium terletak pada ujung anterior. Setiap segmen mempunyai sepasang parapodia

yang

terdiri

dari

dorsal

(notopodial)

dan

ventral

(neuropodial), kedua cirri ini mempunyai chaeta yang disupport oleh internal acicula, (lihat gambar) :

17

A. Biromous

B. Unimorous

Gambar 2. Parapodia Polychaeta Bentuk – bentuk Chaeta Pada dasarnya chaeta dari polychaeta dibagi dalam 2 grup, yaitu simpel dan compound (lihat gambar)

Chaeta yang simple:

1. Capillaris 2. Winged 3. Geniculate 4. Serrated 5. Acicular 6. Hook 7. Bidentate 8. Lyrate 9. Plumose 10. Penicillate 11. Comb 12. Palea 13. Hooks 14. Hooded Hooks 15. Furked 16. Uncini

18

1

2

3

9

10

11

4

5

12

6

13

7

14

15

8

16

Gambar 3. Bentuk chaeta yang simple

Chaeta yang compound :

1. Heterogomph falcigar 2. Homogomph falcigar 3. Heterogomph falcigar dengan bagian atas (daun) panjang 4. Heterogomph Sppiniger 5. Homogomph sppiniger 6. Canaliculate falciger 7. Compound hooks 8. Compoud hooded hooks 9. Paddle chaeta

19

1

2

3

6

7

4

8

5

9

Gambar 4. Bentuk chaeta yang compound

Distribusi Distribusi atau penyebaran dapat dianggap sebagai suatu bidang dalam kelimpahan. Distribusi dan kelimpahan mempunyai hubungan timbal balik, seakan-akan seperti bidang yang bersebelahan dari suatu mata uang (Krab, 1978 dalam Setyobudiandi, 1999). Brafield (1978) menyatakan bahwa distribusi hewan-hewan yang hidup di pantai dapat dibedakan menjadi 3 dasar, yaitu : -

distribusi yang arahnya sepanjang pantai

-

distribusi yang arahnya masuk ke perairan pantai

-

distribusi yang arahnya ke dalam dari pantai atau disebut

distribusi vertikal

Menurut Kreb (1978), distribusi biota ditentukan oleh beberapa faktor yaitu : -

Dispersal

Suatu species bisa tidak terdapat di suatu area, karena populasi yang paling dekat tidak mampu menyebar hingga mencapai area tersebut

20

Distribusi dapat terjadi secara lokal maupun global. Distribusi lokal atau internal jarang dipengaruhi oleh faktor dispersal. Pada skala lokal faktor dispersal kecil pengaruhnya terhadap penyebaran atau distribusi. Sedangkan pada distribusi skala global, dispersal merupakan faktor kritis. -

Behaviour

Behaviour atau tingkah laku organisme yang berpengaruh pada distribusinya di alam adalah kesenangan memilih habitat (habitat preference) yang menjamin kelangsungan hidup pada setiap stadium. Mekanisme tingkah laku ditentukan oleh adanya sistem syaraf dan sensori. -

Hubungan antar species

Distribusi lokal beberapa hewan dibatasi oleh kehadiran organisme lainnya. Organisme lain dapat berupa makanan nabati, predator, penyakit, dan kompetitor. Hubungan antar species menyebabkan organisme tidak dapat melangsungkan hidupnya dengan komplit, walaupun diketahui bahwa area berada dalam jankauan dispersal dan cocok dengan preferensi habitat organisme.

-

Sifat-sifat fisika kima lingkungan

Beberapa sifat fisika kimia lingkungan yang perlu dikemukan antara lain : cahaya, temperatur, substrat (tekstur), arus, oksigen, salinitas, dan unsur hara. Sedangkan pola penyebaran individu-individu hewan di alam menurut Odum (1971) dapat dibagi menjadi 3 pola dasar, yaitu random (irregular, tidak teratur), uniform (regular, lebih teratur dari random), dan clumped (non-random atau mengelompok). Selanjutnya dikatakan penyebaran yang bersifat random jarang sekali terjadi di alam, dan dapat terjadi bilamana keadaan lingkungan amat uniform dan tidak ada kecenderungan untuk beregresi atau bersama-sama. Sedangkan pada pola penyebaran uniform terjadi bilamana ada persaingan yang hebat antara individu-individu pada populasi. Penyebaran paling umum di alam adalah pola penyebaran individu yang mengelompok (clumped) (Setyobudiandi, 1999). Distribusi atau penyebaran benthos dan sesil di pantai (estuarin) dapat dibatasi oleh sifat-sifat dari individu itu sendiri (faktor intrinsik) yaitu genetika dan tingkah laku pada kesenangan memilih

21

habitat, maupun pengaruh dari luar (faktor ekstrinsik) yaitu interaksinya dengan lingkungan (Setyobudiandi, 1999).

22

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Materi Pratikum Benthos 1. Lapangan Pengambilan sampel tanah dan benthos dilakukan di pantai, muara dan mangrove 2. Laboratorium Identifikasi hewan makrobenthos yang diperoleh selama pengambilan sampel di pantai Pengambilan sampel tanah untuk analisis struktur tanah (komposisi liat, lempung dan pasirnya)

Tabel . Bahan dan peralatan pada ekosistem mangrove No.

Bahan / Alat

Kegunaan

1.

Meteran dan tali rafia

Mengukur p/l areal yang akan diduga

2.

Cetok

Mengambil sampel tanah/substrat

3.

Kantong plastik

Tempat sampel

4.

Bahan pengawet a. formalin 10%

Mengawetkan organisme

b. 5.

Saringan lumpur

Menyaring lumpur

6.

Seser/serok

Menangkap fauna darat/laut

Data yang dibutuhkan meliputi : 1. Jenis dan distribusi vertical bakau yang hidup di daerah pantai 2. Zonasi bakau daerah pantai 3. Kepadatan tegakan dan tinggi rata-rata tumbuhan bakau 4. Jenis fauna darat yang ada di daerah hutan bakau/mangrove 5. Jenis fauna laut yang ada di daerah mangrove 6. Diamter dan tinggi yang berada dalam transek 10 x 10 meter beserta jenisnya.

3.2 Metoda Pratikum Mangrove Untuk mendapatkan data tersebut, langkah-langkah yang harus dikerjakan adalah : 1. Identifikasi Mangrove

23

Pengamatan yang dapat dilakukan adalah dengan melihat perakaran, bentuk daun , dan bentuk bunga serta karakteristik lainnya. 2. Ukur/buat/tentukan luas area 2 x 2 m² pada setiap jarak 10 meter dimulai dari titik dimana masih terkena air pasang/gelombang ke arah laut sampai tidak terdapat tumbuhan bakau. 3. Dalam lokasi 2 x 2 meter tersebut, hitung dan catat : a. Jenis bakau yang ditemukan, bila belum diketahui jenisnya, ambil contohnya (daun, batang, buah, dan perakarannya) untuk bahan identifikasi di laboratorium. b. Hitung jumlah tegakan tumbuhan bakau dan diameter serta tinggi rataratanya. Ukur luas penutupannya dengan mengukur luas/lebar bentangan dedaunan. Lakukan juga pengukuran intensitas cahaya dengan lux meter di bawah tajuk dan di luar tajuk pohon untuk mengetahui perbedaan intensitas cahayanya c. Catat jenis fauna darat yang terdapat di tumbuhan bakau. Perhatikan keberadaan fauna tersebut di tempat itu untuk mencari makan, istirahat, atau tempat tinggal. d. Perhatikan dan catat jenis fauna laut yang terdapat pada daerah mangrove baik yang terdapat pada/menempel di perakaran, batang air, maupun di substrat dasar. Untuk keperluan ini, gunakan seser/serok untuk menangkap fauna (ikan, udang, kepiting) yang bergerak cepat. Dan lakukan pula metoda sampling benthos (catat jenis substrat dasarnya). Sampel substrat dapat disimpan dalam plastik dan dilakukan pengujian di laboratorium. e. Bagi fauna (darat/laut) yang belum diketahui jenisnya, awetkan dengan formalin 10% untuk diidentifikasi di laboratorium. f. Pengukuran salinitas dilakukan pada air tanah di sekitar mangrove dilakukan dengan memasukkan sampel tanah ke dalam suntikan dan mengukur salinitas air yang keluar dari suntikan tersebut. g. Pengukuran pH dilakukan pada kedalaman tanah mangrove 20 cm dan 40 cm, begitu pula pengukuran suhunya 4. Ulangi langkah-langkah tersebut (1 – 3g) pada daerah lain, sehingga data yang didapatkan dapat mewakili seluruh hutan bakau di kawasan tersebut.

24

BAB IV HASIL dan PEMBAHASAN

4.1. Hasil 4.1.1. Data Mangrove a. Transek 1 x 1 m Nama spesies : Kandelia candel Jumlah

:1

b. Transek 2 x 2 m  Nama spesies : Bakau Kurap ( Rhizopora mucronata ) Jumlah

:1

 Nama spesies : Bakau Minyak ( Rhizopora apiculata ) Jumlah

:1

c. Transek 5 x 5 m  Nama spesies : Rhizophora apiculata Jumlah

:1

 Nama spesies : Avicenia alba Jumlah

:2

 Nama spesies : Acanthus ebracteatus Jumlah

:1

 Nama spesies : Bakau Kurap ( Rhizopora mucronata ) Jumlah

:1

d. Transek 10 x 10 m  Nama spesies : Avicenia alba Jumlah

:2

 Nama spesies : Bakau Kurap ( Rhizopora mucronata ) Jumlah

:2

 Nama spesies : Rhizophora apiculata Jumlah

:2

4.1.2. Data Benthos a. Stasiun 9 (1.1) Medokan Nama spesies : Littorina angulifera Jumlah

:1

b. Stasiun 9 (1.2) Medokan Nama spesies : Uca forcipata

25

Jumlah

:1

c. Stasiun 9 (1.3) Medokan Nama spesies : Macrophthalmus japonicus Jumlah

:2

d. Stasiun 9 (2.1) Medokan Nama spesies : Macrophthalmus japonicus Jumlah

:1

e. Stasiun 9 (2.2) Medokan Nama spesies : Episesarma sp Jumlah

:1

f. Stasiun 9 (2.3) Medokan Nama spesies : Macrophthalmus japonicus Jumlah

:2

g. Stasiun 9 (3.1) Medokan Nama spesies : Macrophthalmus japonicus Jumlah

:2

h. Stasiun 9 (3.2) Medokan  Nama spesies Jumlah  Nama spesies Jumlah  Nama spesies Jumlah

: Macrophthalmus japonicus :2 : Metaplax sp. :1 : Episesarma sp :1

i. Stasiun 9 (3.3) Medokan  Nama spesies Jumlah  Nama spesies Jumlah

: Episesarma sp :1 : Scylla serrata :1

4.2. Pembahasan 4.2.1. Data Mangrove a) Acanthus ebracteatus Nama Inggris

: Holly-leaved

mangrove, sea holly

26

Nama Indonesia

: Jeruju, daruju, jeruju

Nama Lokal

: Daruju (jawa), Jeruju (Sumatra) Klasifikasi

Kingdom

Plantae (Tumbuhan)

Subkingdom

Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)

Devisi

Spermatophyta (Menghasilkan biji)

Super Devisi

Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)

Kelas

Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)

Ub Kelas

Asteridae

Ordo

Scrophulariales

Family

Acanthaceae

Genus

Acanthus

Spesies

Acanthus Ebracteatus Vahl.

Acanthus Ebracteatus atau Jeruju merupakan sejenis tumbuhan semak yang banyak terdapat di persekitaran tebing atau muara sungai yang mengalami air pasang dan surut dan ketinggiannya hingga mencapai 1.5 m. Daunnya berbentuk daun tunggal dengan bahagian hadapannya bersilang dan mempunyai duri dibahagian tepi daun. Jeruju biasanya dikembangbiakkan melalui keratan batang dan biji benih. Penyebarannya dari India sampai Australia Tropis, Filipina, dan Kepulauan Pasifik Barat. Terdapat di seluruh Indonesia (Geisen et al, 2006).

Deskripsi/Keterangan Daun 7-20 x 4-10 cm.



Pinggiran daun umumya rata dan kadang bergerigi seperti Achantus. ilicifolius.

Bunga 2-2,5 cm



Unit & Letaknya Sederhana, dan berlawanan.



Bentuk lanset, dan ujung meruncing.



Mahkota bunga berwarna biru muda hingga ungu lembayung cerah, kadang agak putih di bagian ujungnya.



Panjang tandan bunga lebih pendek dari A. ilicifolius.



Bunga hanya mempunyai satu pinak daun utama,

27

karena yang sekunder biasanya cepat rontok. Letak: di ujung. Formasi: bulir. Buah



Panjang 2,5- 3 cm,biji 5-7 mm.

Warna buah saat masih muda hijau cerah dan permukaannya licin mengkilat



Bentuk buah bulat lonjong seperti buah melinjo.

b) Kandelia candel Klasifikasi

:



Kingdom

: Plantae



Phylum

: Magnoliophyta



Class

: Magnoliopsida



Ordo

: Malpighiales



Family

: Rhizophoraceae



Genus

: Kandelia



Spesies

: Kandelia candel

Kandelia

candel

adalah

pohon

bakau

nasional

dari

keluarga

Rhizophorceae. Hidup di sisi darat hutan mangrove atau di sepanjang sungai pasang surut, biasanya pada substrat sandier, menempati ceruk sempit. Daunnya sempit lonjong dengan ujung bulat. Pohon itu memiliki basis batang menebal tanpa penopang yang tepat atau pneumatophores. Berwarna keabuabuan dengan kulit coklat kemerahan dengan lentisel untuk pertukaran udara. Bunganya berwarna putih, berkelompok, dichtomously bercabang (Geisen et al, 2006).

c) Avicenia alba Klasifikasi

:



Kingdom

: Plantae



Divisi

: Magnoliophyta



Class

: Magnoliopsida



Ordo

: Scrophulariales



Family

: Acanthaceae



Genus

: Avicennia

28



Spesies

: Avicennia alba

Avicennia

alba adalah spesies tropis bakau dari

famili

Acanthaceae . Dalam bahasa Melayu dikenal sebagai Api Api Putih , "api" yang berarti "api", mengacu pada fakta bahwa bakau ini menarik kunangkunang , dan "putih" yang berarti "putih", merujuk ke bagian bawah pucat berwarna daun. Mangroveini ditemukan tumbuh di lokasi pantai dan muara di India, Asia Tenggara, Australia dan Oceania (Geisen et al, 2006). Avicennia alba membentuk pohon rendah, mahkota lebat padat sering bercabang dekat pangkal batang. Semak tidak tumbuh lebih dari 20 meter (66 kaki) tinggi. Akar yang dangkal dan mengirim hingga sejumlah besar berbentuk pensil pneumatophores . Ini akar udara membantu pertukaran gas dan juga memainkan peranan penting dalam pengecualian dari garam dari tanaman sistem vaskular . Batang memiliki halus, kulit hitam kehijauan yang halus pecah-pecah dan tidak mengelupas. Daun hijau tua, 15 cm (6 in) panjang dan 5 cm (2 in) lebar, memiliki bawah abu-abu keperakan dan tumbuh di pasang berlawanan. The kecil, bunga kuning oranye, ditanggung dalam perbungaan racemose, memiliki 4 kelopak dan diameter sekitar 4 mm (0,16 in) ketika diperluas. Buah kapsul keabu-abuan-hijau dan berbentuk kerucut dengan paruhnya memanjang hingga 4 cm (1,6 in) panjang. Masingmasing berisi satu biji. Sistem akar secara luas pneumatophores membantu untuk menstabilkan deposito batu sedimen. Avicennia alba adalah spesies cepat

tumbuh

dan

kadang-kadang

ditanam,

bersama

dengan Sonneratia dan Rhizophora , untuk membantu mencegah erosi pantai (Geisen et al, 2006).

d) Bakau Kurap ( Rhizopora mucronata ) Klasifikasi

:



Kingdom

: Plantae



Divisi

: Magnoliophyta



Class

: Magnoliopsida



Ordo

: Rhizophorales



Family

: Rhizophoraceae



Genus

: Rhizopora



Spesies

: Rhizopora

mucronata

29

Deskripsi

: Pohon dengan ketinggian mencapai 27 m, jarang melebihi 30 m. Batang memiliki diameter hingga 70 cm dengan kulit kayu berwarna gelap hingga hitam dan terdapat celah horizontal. Akar tunjang dan akar udara yang tumbuh dari percabangan bagian bawah (Geisen et al, 2006).

Daun

: Daun berkulit. Gagang daun berwarna hijau, panjang 2,5-5,5 cm. Pinak daun terletak pada pangkal gagang daun berukuran 5,5-8,5 cm. Unit & Letak: sederhana & berlawanan. Bentuk: elips melebar hingga bulat memanjang. Ujung: meruncing. Ukuran: 11-23 x 5-13 cm (Geisen et al, 2006).

Bunga

: Gagang kepala bunga seperti cagak, bersifat biseksual, masingmasing menempel pada gagang individu yang panjangnya 2,5-5 cm. Letak: di ketiak daun. Formasi: Kelompok (4-8 bunga per kelompok). Daun mahkota: 4;putih, ada rambut. 9 mm. Kelopak bunga: 4; kuning pucat, panjangnya 13-19 mm. Benang sari: 8; tak bertangkai (Geisen et al, 2006).

Buah

: Buah lonjong/panjang hingga berbentuk telur berukuran 5-7 cm, berwarna hijaukecoklatan, seringkali kasar di bagian pangkal, berbiji tunggal. Hipokotil silindris, kasar dan berbintil. Leher kotilodon kuning ketika matang. Ukuran: Hipokotil: panjang 36-70 cm dan diameter 2-3 cm (Geisen et al, 2006).

Ekologi

: Di areal yang sama dengan R.apiculata tetapi lebih toleran terhadap substrat yang lebih keras dan pasir. Pada umumnya tumbuh dalam kelompok, dekat atau pada pematang sungai pasang surut dan di muara sungai, jarang sekali tumbuh pada daerah yang jauh dari air pasang surut. Pertumbuhan optimal terjadi pada areal yang tergenang dalam, serta pada tanah yang kaya akan humus. Merupakan salah satu jenis tumbuhan mangrove yang paling penting dan paling tersebar luas. Perbungaan terjadi sepanjang tahun. Anakan seringkali dimakan oleh kepiting, sehingga menghambat pertumbuhan mereka. Anakan yang telah dikeringkan

30

dibawah naungan untuk beberapa hari akan lebih tahan terhadap gangguan kepiting. Hal tersebut mungkin dikarenakan adanya akumulasi tanin dalam jaringan yang kemudian melindungi mereka (Geisen et al, 2006). Penyebaran : Afrika Timur, Madagaskar, Mauritania, Asia tenggara, seluruh Malaysia dan Indonesia, Melanesia dan Mikronesia. Dibawa dan ditanam di Hawaii (Geisen et al, 2006).

e) Rhizophora apiculata Klasifikasi

:



Kingdom

: Plantae



Divisi

: Magnoliophyta



Class

: Magnoliopsida



Ordo

: Rhizophorales



Family

: Rhizophoraceae



Genus

: Rhizopora



Spesies

: Rhizopora apiculata

Pohon dengan ketinggian mencapai 30 m dengan diameter batang mencapai 50 cm. Memiliki perakaran yang khas hingga mencapai ketinggian 5 meter, dan kadang-kadang memiliki akar udara yang keluar dari cabang. Kulit kayu berwarna abu-abu tua dan berubah-ubah. Daunnya

berkulit,

warna hijau tua dengan hijau muda pada bagian tengah dan kemerahan di bagian bawah. Gagang daun panjangnya 17-35 mm dan warnanya kemerahan. Unit & Letak: sederhana & berlawanan. Bentuk: elips menyempit. Ujung: meruncing. Ukuran: 7-19 x 3,5-8 cm. Bunganya Biseksual, kepala bunga kekuningan yang terletak pada gagang berukuran <14 mm. Letak: Di ketiak daun. Formasi: kelompok (2 bunga per kelompok). Daun mahkota: 4; kuning-putih, tidak ada rambut, panjangnya 9-11 mm. Kelopak bunga: 4; kuning kecoklatan, melengkung. Benang sari: 11-12; tak bertangkai. Buah kasar berbentuk bulat memanjang hingga seperti buah pir, warna coklat, panjang 2-3,5 cm, berisi satu biji fertil. Hipokotil silindris,

31

berbintil, berwarna hijau jingga. Leher kotilodon berwarna merah jika sudah matang. Ukuran: Hipokotil panjang 18-38 cm dan diameter 1-2 cm (Geisen et al, 2006). Tumbuh pada tanah berlumpur, halus, dalam dan tergenang pada saat pasang normal. Tidak menyukai substrat yang lebih keras yang bercampur dengan pasir. Tingkat dominasi dapat mencapai 90% dari vegetasi yang tumbuh di suatu lokasi. Menyukai perairan pasang surut yang memiliki pengaruh masukan air tawar yang kuat secara permanen. Percabangan akarnya dapat tumbuh secara abnormal karena gangguan kumbang yang menyerang ujung akar. Kepiting dapat juga menghambat pertumbuhan mereka karena mengganggu kulit akar anakan. Tumbuh lambat, tetapi perbungaan terdapat sepanjang tahun. Tersebar di Sri Lanka, seluruh Malaysia dan Indonesia hingga Australia Tropis dan Kepulauan Pasifik (Geisen et al, 2006).

4.2.2. Data Benthos a) Littorina angulifera Klasifikasi

:



Kingdom

: Animalia



Phylum

: Mollusca



Class

: Gastropoda



Ordo

: Neataenioglossa



Family

: Littorinidae



Genus

: Littorina



Spesies

: Littorina angulifera

Littoraria angulifera adalah spesies siput laut, moluska gastropoda laut dalam keluarga Littorinidae. Siput ini memili panjang maksimum 41 mm. Cngkangnya memiliki 6 uliran, besar pertama menempati setengah panjang siput. Warna bervariasi dari abu kebiru-biruan, melalui cokelat kemerahan sampai oranye, kuning kusam dan off white. Memiliki bintik-bintik putih di 32

dekat tepi mereka dan juga beberapa garis-garis gelap bersama di lingkaran terbesar. Spesies ini hidup terutama di atas permukaan laut di cabang-cabang dan akar prop dari bakau merah (Rhizophora mangle). Littorina anguliffera merupakan hewan herbivora. Littorina angulifera digunakan sebagai produk zootherapeutical untuk pengobatan batuk chesty dan sesak napas dalam pengobatan tradisional Brasil di timur laut Brazil (Setyobudiandi, 1999).

b) Metaplax sp. Klasifikasi

:



Kingdom

: Animalia



Phylum

: Mollusca



Class

: Crustacea



Ordo

:Decapoda



Family

: Grapsidae



Genus

: Metaplax



Spesies

: Metaplax sp.

Metaplax sp. hidup di antara akar-akar Rhizopora dan substrat mmangrove yang halus pada tepian saluran air mangrove. Metaplax sp. menggunakan dua capit besarnya untuk menangkap makanan. Makanannya adalah cacing bentik yang berukuran kecil. Ukuran tubuh jantan lebih besar daripada betina. Dia memiliki sepasang capit oranye yang besar, karena itulah disebut dengan kepiting oranye. Kepiting oranye jantan memiliki entuk abdomen yang lancip, sedangkan yang etina abdomennya membundar (Setyobudiandi, 1999).

c) Episesarma sp Klasifikasi

:



Kingdom

: Animalia



Phylum

: Arthropod



Class

: Crustacea



Ordo

:Decapoda



Family

: Grapsidae



Genus

: Episesarma



Spesies

: Episesarma sp.

33

Besarnya sekepalan tangan orang dewasa kepiting ini memiliki pasangan anggota tubuh bernama Maksiliped yang digunakan untuk makan. Diameter lubangnya bisa mencapai 6 cm. Kepiting ini hidup secara berkelompok. Untuk membedakan satu spesies dengan spesies lainnya kita bisa melihat dari warna capitnya. Kepiting jantan , memiliki bentuk abdomen perut yang lancip (Setyobudiandi, 1999).

d) Scylla serrata Klasifikasi

:



Kingdom

: Animalia



Phylum

: Crustacea



Class

: Malacostrata



Ordo

: Decapoda



Family

: Portunidae



Genus

: Scylla



Spesies

: S. serrata

Kepiting ini dikenal karena rasa yang lezat dan harganya yang mahal. Memiliki tubuh yang lebar dan melintang. Umumnya Scylla serrata memiliki bagian yang tidak berbeda dengan udang, tapi pada Scylla serrata bagian abdomennya tidak terlihat karena melipat ke dadanya. Kaki renangnya sudah tidak berfungsi sebagai alat renang lagi. Telson dan uropod tidak ada. Karapaks menyatu dengan epistome, kaki jalan yang pertama menjadi capit yang kuat, kaki ketiga tidak pernah bercapit, sedangkan bentuk abdomen betina melebar dan setengah lonjong. Scylla serrata jantan dan betina dapat dibedakan dengan melihat bentuk abdomennya. Bentuk abdomen jantan lebih sempit dan meruncing kedepan, sedangkan bentuk abdomen betina melebar dan setengah lonjong. Scylla serrata biasanya hidup dalam lubang-lubang atau

terdapat

di

pantai

bakau

(Setyobudiandi,

1999).

e) Uca forcipata Klasifikasi

:



Kingdom

: Animalia



Phylum

: Arthropoda



Class

: Malacostrata

34



Ordo

: Decapoda



Family

: Ocypodidae



Genus

: Uca



Spesies

: Uca forcipata

f) Macrophthalmus japonicus Klasifikasi

:



Kingdom

: Animalia



Phylum

: Arthropoda



Class

: Malacostrata



Ordo

: Decapoda



Family

: Macrophtalmidae



Genus

: Macrophthalmus



Spesies

: Macrophthalmus

japonicus Carapace tertutup oleh butiran besar, daerah pusat kecil sama sekali tidak memiliki butiran, depan deflexed, tercekat antara dasar dari peduncles okular, dengan margin halus, jelas bilobed distal, median alur dalam, margin lateral yang posterior sedikit konvergen, 2 baik didefinisikan dan 1 samar antero-lateral gigi . Peduncles mata panjang dan sempit, kornea memanjang sampai dasar eksternal orbital sudut.

Central region dari epistome . digali Merus ketiga maxilliped nyata

lebih kecil dari iskium . Palm laki-laki cheliped memanjang, wajah luar dengan deretan tuberkel besar di margin atas, jika tidak halus granular, wajah batin sangat granular; bergerak jari deflexed, cutting edge proksimal dengan besar, berbentuk baji, crenulated gigi, setengah distal dengan beberapa butiran kecil besar dan banyak, pemotongan tepidactylus proksimal dengan persegi empat besar, gigi crenulated, distal dengan deretan butiran TBC. Meri dari kaki rawat jalan dengan beberapa rambut; wajah anterior dari tulang

pergelangan

tangan dan propodusketiga pereiopod telanjang

(Setyobudiandi, 1999).

35

BAB V KESIMPULAN

5.1.

Kesimpulan

Dari hasil praktiukum dapat kami simpulkan bahwa, tiap-tiap ekosistem memiki karakteristik yang berbeda-beda, dengan persebaran biota-biota di dalamnya yang bervariasi dengan bentuk adaptasi masing-masing untuk bertahan hidup pada habitatnya. Namun parameter-parameter adaptasi perairan ini tak lepas dari berbagai jenis aktivitas manusia sehingga lingkungan yang semula alami menjadi tak seperti biasanya. Sehingga biota yang hidup di area tersebut harus mampu menyesuaikan diri atau mati. Hal inilah yang menyebabkan kelimpahan biota di dalmnya rendah (tak produktif).

5.2.

Saran

Diharap untuk metode praktikum di tahun-tahun medatang diperhitungkan dahulu koordinasi perlatan, waktu dan kinerja praktikum, sehingga praktiukum selanjutnya tidak terjadi missing data yang menyebabkan mahasiswa bingung.

SEKILAS TENTANG DESKRIPSI TANAMAN PENYEBARAN

36

Daftar Pustaka 

Bengen, D.G. 2001. Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove ( Pedoman Teknik). Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut-Institusi Pertanian Bogor. Bogor.(PKSPL,IPB).



Bengen, D.G. 2002. Ekosistem dan Sumber Daya Alam Pesisir dan Laut serta Prinsip Pengelolaannya (sinopsis). Pusat Kajian Sumerdaya Pesisir dan Lautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institusi Pertanian Bogor. Bogor.



Bengen, D.G. 2004. Sinopsis Ekosistem dan Sumber daya Alam Pesisir dan Laut serta Prinsip Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumerdaya Pesisir dan Lautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institusi Pertanian Bogor.



Chong, KY, HTW Tan & RT Corlett, 2009 A Checklist of Total Vascular Tanaman Flora Singapura: asli, Spesies Naturalised dan Budidaya . Raffles Museum

of

Biodiversity

Research,

National

University

of

Singapore. Singapura. 273 hlm 

Giesen, W., S. Wulffraat, M. Zieren & L. Scholten. 2006.Mangrove buku panduan untuk Asia Tenggara. RAP Publication 2006/07 . Kantor Regional FAO untuk Asia dan Pasifik & Wetlands International. Bangkok. 769 hlm



Ng, PKL & N. Sivasothi. 1999. Sebuah panduan untuk bakau Singapura 1: ekosistem

&

keanekaragaman

tumbuhan .Singapore

Science

Centre. Singapura. 168 hlm 

Setyobudiandi, I. 1999. Makrozoobenthos: Sampling, Manajemen Sampel dan Data. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor.



Sheue, C.-R., H.-Y. Liu & JWH Yong. . 2003a Kandelia obovata . (Rhizophoraceae), spesies mangrove baru dari Asia TimurTakson 52: 287294.

37