LIMBAH PADAT PENGOLAHAN MINYAK SAWIT SEBAGAI SUMBER NUTRISI TERNAK RUMINANSIA Bambang Ngaji Utomo dan Ermin Widjaja Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Tengah, Jalan G. Obos km.5, Palangkaraya 73111
ABSTRAK Perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Tengah mempunyai potensi daya dukung untuk pengembangan peternakan, yaitu sebagai sumber pakan baik pakan hijauan maupun pakan dari limbah pengolahan minyak kelapa sawit. Salah satu limbah yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak adalah solid. Produksi limbah tersebut di Kabupaten Kotawaringin Barat mencapai 18−21 t/hari/pabrik. Bila limbah tersebut dimanfaatkan sebagai pakan, jumlah tersebut dapat menampung + 155.000 ekor sapi/hari. Solid mengandung bahan kering 81,56%, protein kasar 12,63%, serat kasar 9,98%, lemak kasar 7,12%, kalsium 0,03%, fosfor 0,003%, dan energi 154 kal/100 g. Pemberian solid dalam bentuk segar secara ad libitum kepada sapi PO jantan memberikan pertambahan bobot badan harian (PBBH) 770 g/ekor/hari. Pada domba, pemberian solid 1% dari bobot badan, baik dalam bentuk segar, complete feed block (CFB) tanpa fermentasi maupun CFB fermentasi masing-masing memberikan PBBH 45, 64, dan 83 g/ekor/hari. Permasalahan utama pemanfaatan solid adalah tidak tahan lama disimpan. Masalah tersebut dapat diatasi dengan menyimpannya dalam kantong plastik dengan kandungan oksigen terbatas atau dibuat pakan blok. Pemanfaatan solid oleh petani dipengaruhi oleh sistem produksi ternak. Pemeliharaan ternak (sapi) sebagai usaha sambilan kurang menguntungkan apabila memanfaatkan solid sebagai pakan karena akan menambah biaya produksi, berupa biaya angkut dari pabrik ke lokasi peternak. Kondisi ini dapat menghambat adopsi teknologi pemanfaatan solid. Solid akan dimanfaatkan secara luas oleh peternak apabila pemeliharaan ternak bersifat komersial misalnya penggemukan. Strategi yang dapat ditempuh untuk memaksimumkan pemanfaatan solid sebagai pakan adalah melalui kemitraan antara petani dan pemerintah daerah ataupun pihak swasta. Kata kunci: Elaeis guineensis, limbah pengolahan minyak, pakan, ruminansia
ABSTRACT Oil palm solid waste as source of nutrition for ruminant Oil palm estate in Central Kalimantan has a great potential to support livestock development by green fodder availability and oil palm by-products. One of the oil palm by-products that can be used as feed supplement for livestock is solid waste. Temporary production of solid waste in one of factories in West Kotawaringin Regency (Central Kalimantan) is around 18−21 tons per day. Solid has nutrient content of dry matter 81.56%, crude protein 12.63%, crude fiber 9.98%, crude fat 7.12%, calcium 0.03%, phosphorus 0.003%, and energy 154 cal/100 g. Bull cattle of PO fed ad libitum of solid produced average daily gain of 770 g/head/day. Sheep fed with 1% of fresh solid, 1% of solid in complete feed block (CFB) form without fermentation, and 1% of CFB with fermentation produced average daily gain of 45, 64, and 83 g/head/day, respectively. The main problem related to solid waste utilization is that it cannot be stored in long time. The problem can be solved by using black plastic bag or other container with minimum oxygen, or the by-product made in feed block form. Meanwhile, the main problem for farmers is affected by production system, where they raised livestock (cattle) as subsistence effort for living, saving or producing offspring not to maximize production. Therefore, if the farmers utilize solid waste directly taken by themselves from factory, it will add production cost in terms of transportation. The condition has a big impact toward adopting technology of solid as feed supplement of livestock. Farmers will use solid waste at large quantity if they raised livestock in commercially, for instance for fattening objective. The strategies which can be applied to maximize solid waste utilization is through partnership between farmers and factories or local government. Keywords: Elaeis guineensis, oil mill byproducts, feeds, ruminants
P
emerintah daerah Kalimantan Tengah telah mencanangkan untuk berswasembada daging pada tahun 2005 (Dinas Kehewanan Kalimantan Tengah 22
2001). Saat ini untuk mencukupi kebutuhan daging regional, pemerintah daerah harus mendatangkan ternak dari luar propinsi sekitar 10.000 ekor/tahun.
Upaya untuk berswasembada daging tersebut sangat mungkin terwujud, mengingat Kalimantan Tengah dengan luas wilayah 154.000 km2 berpotensi untuk Jurnal Litbang Pertanian, 23(1), 2004
pengembangan peternakan baik dalam skala menengah maupun besar. Apalagi saat ini perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Tengah berkembang cukup pesat dengan target area 1.557.752 ha yang tersebar di Kabupaten Kotawaringin Barat 644.845 ha, Kotawaringin Timur 700.000 ha, dan sisanya 212.857 ha tersebar di Kabupaten Barito Utara, Barito Selatan, Kapuas, dan Palangkaraya. Perkebunan kelapa sawit mempunyai potensi daya dukung untuk pengembangan peternakan sebagai sumber pakan ternak, baik yang berupa hijauan yang tumbuh di kawasan perkebunan maupun limbah pabrik pengolahan minyak kelapa sawit (crude palm oil = CPO). Melalui keterpaduan dengan tanaman perkebunan, upaya pengembangan ternak ternyata menunjukkan hasil yang positif (Horne et al. 1994). Kendala utama pengembangan ternak di area perkebunan kelapa sawit adalah rendahnya kandungan gizi rumput alam. Hasil pemeriksaan laboratorium terhadap berbagai jenis rumput yang tumbuh di perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Kotawaringin Barat menunjukkan kandungan bahan kering 83,15%, protein kasar 7,27%, karbohidrat 14,32%, lemak kasar 1,84%, kalsium 0,08%, fosfor 0,004%, dan energi 102,02 kal/100 g (Utomo et al. 1999). Jumlahnya pun masih jauh dari mencukupi, terlebih pada musim kemarau. Berdasarkan hasil monitoring, kapasitas tampung ternak hanya mencapai 0,70 ekor/ha/tahun, jauh lebih rendah dibandingkan bila mengintroduksikan rumput unggul (rumput raja) di kawasan perkebunan dengan kapasitas tampung mampu mencapai 6,06 ekor/ha/tahun. Selain itu, kandungan nutrisinya juga lebih tinggi (Utomo 2001). Keberhasilan pengembangan peternakan sangat ditentukan oleh penyediaan pakan ternak (Djaenudin et al. 1996). Upaya peningkatan produksi ternak tidak cukup hanya dengan memberikan rumput alam saja, tetapi perlu adanya pakan tambahan. Pakan tambahan yang potensial untuk dimanfaatkan adalah limbah kelapa sawit yang berupa “solid” (Utomo et al. 1999; Widjaja 1999; 2000a; 2000b; Utomo 2001). Tulisan ini bertujuan untuk memberikan informasi tentang peluang pemanfaatan salah satu limbah pengolahan minyak kelapa sawit yang berupa solid sebagai pakan ternak ruminansia di Jurnal Litbang Pertanian, 23(1), 2004
Kalimantan Tengah. Informasi yang disajikan mencakup potensi dan ketersediaannya, aplikasinya pada ternak ruminansia, serta permasalahan dan strategi pemanfaatannya ke depan.
MENGENAL LIMBAH SOLID Industri kelapa sawit menghasilkan limbah yang berpotensi sebagai pakan ternak, seperti bungkil inti sawit, serat perasan buah, tandan buah kosong, dan solid (Aritonang 1986; Pasaribu et al. 1998; Utomo et al. 1999). Bungkil inti sawit mempunyai nilai nutrisi yang lebih tinggi dibanding limbah lainnya dengan kandungan protein kasar 15% dan energi kasar 4.230 kkal/kg (Ketaren 1986) sehingga dapat berperan sebagai pakan penguat (konsentrat). Namun, bungkil inti sawit di Kalimantan Tengah merupakan komoditas ekspor yang harganya relatif mahal sehingga bukan merupakan limbah, dan akan menjadi bahan pakan yang mahal bila diberikan pada ternak. Serat perasan buah dan tandan buah kosong bersama-sama dengan cangkang biasanya dibakar dijadikan abu untuk dimanfaatkan sebagai pupuk sumber kalium. Solid merupakan salah satu limbah padat dari hasil pengolahan minyak sawit kasar. Di Sumatera, limbah ini dikenal sebagai lumpur sawit, namun solid biasanya sudah dipisahkan dengan cairannya sehingga merupakan limbah padat. Ada dua macam limbah yang dihasilkan pada produksi CPO, yaitu limbah padat dan limbah cair. Persentase
limbah padat dan cair yang dihasilkan berdasarkan jumlah tandan buah segar (TBS) yang diolah disajikan pada Tabel 1. Saat sekarang ini produksi limbah solid di dua pabrik pengolahan CPO di Kabupaten Kotawaringin Barat sekitar 36−42 t/hari (rata-rata 20 t/pabrik/hari). Jumlah limbah solid yang dihasilkan bergantung pada TBS yang diolah. Produksi TBS akan makin bertambah pada masa mendatang seiring dengan makin luasnya area perkebunan kelapa sawit yang berproduksi. Diharapkan dalam setiap 10.000 ha berdiri satu pabrik pengolahan CPO.
POTENSI LIMBAH SOLID SEBAGAI PAKAN TERNAK Perluasan kebun kelapa sawit di Kalimantan Tengah ditargetkan mencapai area 1.557.752 ha. Apabila tanaman kelapa sawit sudah berproduksi semua, dan setiap 10.000 ha terdapat satu pabrik, maka dalam kebun seluas itu akan terdapat 155 pabrik pengolahan kelapa sawit. Apabila tiap pabrik rata-rata menghasilkan solid 20 t/hari maka setiap hari akan diperoleh 3.100 ton solid. Apabila seekor sapi dapat mengkonsumsi solid + 20 kg/hari (jumlah yang biasa diberikan peternak pada sapi dengan rata-rata bobot badan 250 kg), maka produksi limbah tersebut akan dapat mencukupi kebutuhan pakan bagi + 155.000 ekor sapi/ hari. Dengan demikian, keberadaan perkebunan kelapa sawit sangat men-
Tabel 1. Komposisi limbah yang dihasilkan pada pengolahan minyak sawit (CPO) di salah satu pabrik di Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. Kisaran produksi
Diskripsi Tandan buah segar Crude palm oil Limbah cair Limbah padat Tandan buah kosong Serat perasan buah Bungkil inti sawit Cangkang Solid Limbah lain
(%)
(t/hari)
100 23 8,50
600 − 700 138 − 161 5 1 − 59,50
16 26 4 6 3 13,50
96 156 24 36 18 81
− 112 − 182 − 28 − 42 − 21 − 94,40
Sumber: Utomo (2001).
23
dukung pengembangan peternakan di masa mendatang. Hingga kini solid dapat diambil secara cuma-cuma di pabrik pengolahan kelapa sawit. Alangkah sayangnya apabila potensi yang sangat besar ini terabaikan begitu saja. Sejauh ini solid masih belum dimanfaatkan oleh pihak pabrik, tetapi hanya dibuang begitu saja sehingga dapat mencemari lingkungan. Pihak pabrik memerlukan dana yang relatif besar untuk membuang limbah tersebut, yaitu dengan membuatkan lubang besar. Tentunya akan sangat menguntungkan bagi pihak pabrik apabila solid dapat dimanfaatkan secara luas, antara lain sebagai pakan ternak. Kelemahan solid untuk pakan adalah tidak tahan lama disimpan. Hal ini karena solid masih mengandung 1,50% CPO sehingga akan mudah menjadi tengik bila dibiarkan di tempat terbuka serta mudah ditumbuhi kapang yang berwarna keputihan. Namun dari hasil pemeriksaan di laboratorium, kapang tersebut tidak bersifat patogen. Solid dapat tahan lama apabila disimpan dalam tempat tertutup, misalnya dalam kantong plastik hitam dengan meminimumkan jumlah oksigen yang masuk. Teknologi sederhana ini terinspirasi oleh teknologi “silo”. Kantong plastik hitam akan menggantikan fungsi bangunan silo. Jumlah oksigen dalam kantong plastik diminimumkan dengan cara mengisap udara memakai pompa sepeda. Kantong plastik dibuat rangkap tiga. Kantong plastik pertama diisi dengan solid kemudian udaranya diisap dan ujungnya diikat. Selanjutnya bungkusan plastik dimasukkan ke dalam kantong plastik kedua dan sebelum diikat, udara yang ada di dalamnya diisap terlebih dahulu. Setelah diikat, bungkusan dimasukkan ke dalam kantong plastik ketiga, dikeluarkan udaranya kemudian diikat. Daya simpan solid sangat bergantung pada tempat penyimpanan (kualitas kantong plastik). Dengan cara ini solid tahan disimpan lebih dari 1 bulan dengan warna relatif tidak berubah, yaitu cokelat muda. Solid yang disimpan di tempat terbuka menjadi tengik (busuk) dan warnanya menjadi kehitaman (Utomo et al. 2002). Walaupun permukaan solid sudah berubah warna (busuk), bagian dalamnya memiliki konsistensi dan warna yang tidak berubah. Cara lain mengawetkan solid adalah dengan dibuat pakan blok (dikeringkan). 24
Dengan cara ini, selain daya simpan solid lebih lama, juga kandungan nutrisinya lebih lengkap karena adanya beberapa bahan pakan lain yang ditambahkan. Pakan solid dalam bentuk blok bisa diberikan baik untuk ternak ruminansia besar maupun kecil. Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan bahwa solid berpotensi sebagai sumber nutrisi baru untuk ternak dengan kandungan bahan kering 81,56%, protein kasar 12,63%, serat kasar 9,98%, lemak kasar 7,12%, kalsium 0,03%, fosfor 0,003%, dan energi 154 kal/100 g (Utomo et al. 1999). Pada uji preferensi terhadap 25 ekor sapi Madura, solid pada akhirnya sangat disukai, namun perlu waktu adaptasi 4−5 hari. Pemanfaatan solid sebagai pakan ternak diharapkan dapat membantu mengatasi masalah ketersediaan pakan terutama pada musim kemarau, serta meningkatkan produktivitas ternak. Ratarata pertambahan bobot badan harian (PBBH) sapi milik petani di Kabupaten Kotawaringin Barat yang tidak diberi pakan solid jauh di bawah PBBH ternak yang diberi solid, yaitu hanya 250 g/ekor/ hari (Zulbardi et al. 1995). Hal ini disebabkan kualitas dan kuantitas pakan yang diberikan, dalam hal ini rumput alam, relatif rendah. Sapi hanya dilepas di padang penggembalaan yang umumnya hanya ditumbuhi alang-alang tanpa diberi pakan tambahan (konsentrat). Solid sangat berpotensi sebagai sumber pakan lokal mengingat kandungan nutrisinya cukup memadai, jumlahnya melimpah,
kontinuitas terjamin, terpusat pada satu tempat, murah karena dapat diminta secara cuma-cuma, dan tidak bersaing dengan kebutuhan manusia. Berdasarkan pertimbangan tersebut, solid memungkinkan untuk menjadi titik tolak agroindustri pakan di Kalimantan Tengah.
PERTAMBAHAN BOBOT BADAN TERNAK YANG DIBERI PAKAN TAMBAHAN SOLID Pemberian solid pada sapi dapat dalam bentuk segar (Gambar 1) atau dicampur dengan air. Pemberian solid mampu meningkatkan pertambahan bobot badan ternak secara nyata dibandingkan yang tidak diberi solid. Pemberian solid segar secara terbatas pada sapi Madura jantan selama 3 bulan pemeliharaan rata-rata memberikan PBBH ternak 450 g/ekor/hari (Widjaja et al. 2000b). Sapi PO jantan yang diberi solid 1,50% bahan kering dari bobot badan dan yang diberi secukupnya (ad libitum) selama 3 bulan, masingmasing memberikan rata-rata PBBH 440 dan 770 g/ekor/hari (Tabel 2). Rata-rata PBBH sapi yang tidak diberi solid hanya mencapai 200 g/ekor/hari (Utomo 2001). Umumnya peternak memberikan solid secara ad libitum, sekitar 10−15 kg sekali pemberian karena ternak sangat menyukainya. Pemberian solid dapat meningkatkan jumlah konsumsi air ka-
Gambar 1. Pemberian solid dalam bentuk segar secara ad libitum pada sapi. Jurnal Litbang Pertanian, 23(1), 2004
Tabel 2. Kenaikan bobot badan ternak yang diberi pakan tambahan solid selama 3 bulan pemeliharaan di Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. Sapi Madura jantan Komposisi pakan
Bobot badan (kg/ekor) Awal
Akhir
Sapi PO jantan
PBBH (kg/ekor/
Bobot badan (kg/ekor) Awal
Akhir
hari) Rumput alam (pola petani)
220
225,40
0,06
Solid segar 1,50% BB + rumput alam
220
261,20
0,46
Domba jantan PBBH
Bobot badan (kg/ekor)
(kg/ekor/
Awal
Akhir
hari) 315,60
334,60
0,22
Solid segar 1,50% BK dari BB ternak + rumput alam
234,40
267,70
0,44
Solid segar ad libitum + rumput alam
211,40
274,40
0,77
PBBH (kg/ekor/ hari)
10,80
13,95
0,04
13,30
17,35
0,05
Solid dalam bentuk CFB 1% tanpa fermentasi + rumput alam
19
24,76
0,06
Solid dalam bentuk CFB fermentasi 1% + rumput alam
19,76
27,23
0,08
Solid segar 1% + rumput alam
BK = bahan kering; BB = bobot badan; CFB = complete feed block. Sumber: Utomo et al. (1999); Utomo (2001); Widjaja et al. (2000a; 2000b).
rena ternak yang memakan solid mudah menjadi haus, sehingga air harus selalu tersedia. Pemberian solid pada domba juga memberikan hasil yang baik. Solid dapat diberikan dalam bentuk segar atau complete feed block (CFB) (Gambar 2), baik yang difermentasi dengan efective microorganism (EM4) maupun tanpa di fermentasi. Pemberian solid meningkatkan PBBH secara nyata dibandingkan tanpa pemberian solid. Rata-rata PBBH domba yang diberi 1% solid dalam bentuk segar, 1% solid dalam bentuk CFB tanpa fermentasi, dan 1% CFB fermentasi selama 3 bulan masing-masing adalah 45, 64, dan 83 g/ekor/hari, sedangkan PBBH domba yang tidak diberi solid hanya mencapai 25 g/ekor/hari (Tabel 2) (Widjaja et al. 2000a). CFB dengan kandungan solid 60% sangat disukai domba dan dapat meningkatkan pertambahan bobot badan lebih tinggi dibanding bila diberikan dalam bentuk segar. Selain itu, CFB tahan disimpan selama 30 hari bahkan lebih (Widjaja et al. 2000a). Pemanfaatan solid untuk pakan ternak ruminansia di Indonesia belum Jurnal Litbang Pertanian, 23(1), 2004
banyak dilaporkan. Kamaruddin (1997) melaporkan penggunaan solid dalam bentuk lumpur (palm oil sludge) untuk pakan kambing yang pemberiannya dikombinasikan dengan bungkil inti sawit dan serat perasan buah. Pada pakan
Gambar 2.
tersebut, lumpur sawit dapat digunakan hingga 8%. Lumpur sawit tengah dikembangkan oleh Balai Penelitian Ternak sebagai pakan unggas. Untuk ternak itik pada fase awal pertumbuhan (1−2 minggu), penggunaan
Complete feed block (CFB) dengan bahan dasar solid. 25
lumpur sawit serta produk fermentasinya disarankan tidak melebihi 10%, namun pada umur lebih tua (5−6 minggu) dapat diberikan hingga 15%. Pada ayam potong, lumpur sawit yang belum difermentasi dan yang sudah difermentasi dapat digunakan masing-masing 5% dan 10% dalam ransum (Sinurat et al. 1998a; 1998b).
ANALISIS EKONOMI PEMBERIAN SOLID PADA TERNAK Pemberian solid selama 3 bulan pada sapi Madura jantan meningkatkan keuntungan per September 1999 dari Rp537.000/ekor/bulan (tanpa solid) menjadi Rp696.000/ekor/bulan (Tabel 3) (Widjaja et al. 2000b). Bagi pihak pabrik, dengan mendistribusikan solid yang diproduksinya seminggu sekali ke petani sekitarnya, seperti di Desa Kumpai Batu Bawah dengan jarak sekitar 60 km dari pabrik, biaya yang diperlukan lebih murah (hanya Rp2,16 juta) dibandingkan bila membuang limbah tersebut seperti yang biasa dilakukan dengan biaya lebih dari Rp6,76 juta (Utomo 2001). Biaya distribusi dapat lebih ditekan lagi bila solid didistribusikan ke desa yang berdekatan dengan lokasi pabrik dan merupakan daerah gudang ternak, misalnya Desa Pangkalan Lada yang jaraknya sekitar 25 km dari pabrik.
EVALUASI DAN STRATEGI PEMANFAATAN SOLID SEBAGAI PAKAN Menurut Utomo (2001), alasan utama peternak memanfaatkan solid adalah mampu meningkatkan pertambahan bobot badan ternak dan secara ekonomis menguntungkan untuk penggemukan. Namun yang menjadi masalah utama adalah peternak harus mengambil solid ke pabrik yang jaraknya relatif jauh dari tempat tinggal mereka. Hal ini juga menjadi kendala bagi petugas maupun penyuluh ketika mengintroduksikan solid ke petani (Tabel 4). Di Kalimantan Tengah, solid telah dimanfaatkan oleh peternak di Kabupaten Kotawaringin Barat karena biaya transportasi solid ke lokasi peternak ditanggung oleh pemerintah daerah dan 26
Tabel 3. Analisis finansial pemeliharaan sapi Madura jantan per ekor selama 3 bulan dengan pemberian solid, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, September 1999. Pakan solid (Rp)
Tanpa solid (Rp)
Biaya Sapi bakalan Rumput alam Solid segar Bioplus Obat-obatan Tenaga kerja Perbaikan kandang Total biaya
2.000.000 148.500 29.700 20.000 5.000 90.000 10.000 2.303.200
2.000.000 198.000 0 0 5.000 90.000 10.000 2.303.000
Penerimaan Penjualan sapi Penjualan pupuk Pengolahan tanah Total penerimaan
3.918.000 108.000 360.000 4.386.000
3.381.000 172.800 360.000 3.913.800
Pendapatan Pendapatan per bulan R/C ratio
2.082.800 694.000 1,90
1.610.800 537.000 1,69
Uraian
Sumber: Widjaja et al. (2000b).
Tabel 4. Masalah introduksi solid serta alasan petani memanfaatkan atau tidak memanfaatkan solid sebagai pakan ternak di Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. Masalah
Skor
Introduksi solid ke petani Sulit memperoleh solid karena lokasi pabrik jauh Sapi perlu adaptasi untuk makan solid (harus dilatih terlebih dahulu) Menambah biaya pemeliharaan (transportasi) Kurangnya motivasi petani Latar belakang pendidikan petani rendah Kurangnya informasi mengenai kegunaan solid
38 30 28 15 12 10
Alasan petani tidak memanfaatkan solid Harus mengambil solid ke pabrik Bau solid mengganggu lingkungan Lokasi pabrik penghasil solid jauh Ragu-ragu bahwa solid bisa dimanfaatkan sebagai pakan ternak Tidak tertarik memanfaatkan solid
41 40 35 23 16
Alasan petani mau memanfaatkan solid Meningkatkan bobot badan ternak Secara ekonomis menguntungkan untuk penggemukan Penampilan ternak lebih baik (berdasarkan pengamatan petani) Konsumsi rumput jadi berkurang
31 25 20 14
Sumber: Utomo (2001).
pengelola pabrik meskipun dalam jangka waktu tertentu. Pemerintah daerah setempat juga memanfaatkan solid se-
bagai pakan suplemen sapi pada kegiatan Proyek Kawasan Sentra Pengembangan Ternak Potong yang orientasi pemeliharaJurnal Litbang Pertanian, 23(1), 2004
annya untuk peningkatan produksi daging (penggemukan). Pemanfaatan solid sebagai pakan suplemen ternak hanya menguntungkan pada usaha penggemukan atau berorientasi komersial (Utomo 2001). Pada sistem pemeliharaan yang ada di tingkat petani, yang tujuan utamanya hanya sebagai tabungan atau menghasilkan anak (bukan berorientasi komersial), adopsi pemanfaatan solid untuk pakan cukup lambat, karena peternak akan menekan biaya pemeliharaan dengan mengabaikan peningkatan produksi. Penggunaan solid akan menambah biaya pemeliharaan karena peternak harus menanggung biaya pengangkutan. Melihat kenyataan tersebut, upaya pemanfaatan solid untuk meningkatkan produktivitas ternak akan lebih mudah tercapai melalui kemitraan dengan pihak swasta (perkebunan kelapa sawit) maupun pemerintah. Dengan kemitraan tersebut, pengelola perkebunan terbantu dalam
menangani permasalahan limbah serta ikut berperan dalam memberdayakan masyarakat sekitar perkebunan. Strategi yang dapat dijadikan bahan pemikiran untuk merealisasikan upaya tersebut dan merupakan hasil diskusi dengan stakeholders di Kabupaten Kotawaringin Barat dapat dilihat pada Tabel 5. Usaha pemeliharaan ternak untuk tujuan penggemukan lebih disukai peternak karena mampu memberikan keuntungan secara cepat (Utomo 2001). Kegiatan yang ditawarkan bisa dalam bentuk plasma-inti yang memungkinkan perusahaan sebagai inti (bapak angkat) dan petani ternak sebagai plasma untuk bekerja sama secara saling menguntungkan. Bentuk kegiatan lain yang memungkinkan adalah bantuan sapi bergulir untuk penggemukan, penyediaan kredit untuk produksi ternak, dan bantuan solid secara gratis (Tabel 5). Meningkatnya produksi ternak melalui pemanfaatan solid diharapkan
Tabel 5. Peringkat dampak strategi pemanfaatan solid berdasarkan diskusi dengan stakeholders di Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. Strategi Diskripsi
Level petani Pendapatan Peluang pekerjaan Pemberdayaan petani Solusi permasalahan pakan musiman Level pabrik Pendapatan Pengurangan biaya penanganan limbah Pembinaan petani Solusi masalah lingkungan Level daerah Pendapatan asli daerah Pertumbuhan ekonomi Investor di bidang pertanian Peningkatan standar hidup
PIR penggemukan
Bantuan bergulir sapi untuk penggemukan
Bantuan solid untuk penggemukan sapi
Kredit produksi
+++ +++ +++ 0
+++ +++ +++ 0
0 0 + ++
+++ +++ +++ 0
+++ +++
++ +++
0 +++
0 0
+++ ++
+++ ++
+++ ++
+++ ++
++ ++ +
++ ++ +
+ + +
+ + +
+
+
+
+
KESIMPULAN DAN SARAN
0 = tidak ada dampak; + = sedikit dampak; ++ = berdampak; +++ = sangat berdampak. Sumber: Utomo (2001).
Jurnal Litbang Pertanian, 23(1), 2004
dapat memperbaiki pendapatan dan kesejahteraan keluarga petani. Pihak pabrik juga akan memperoleh keuntungan terutama pengurangan biaya pembuangan solid dan mengatasi atau mengurangi permasalah lingkungan. Bagi pemerintah daerah, adanya kegiatan produksi ternak akan membantu meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) serta memacu pertumbuhan ekonomi dengan adanya para investor yang tertarik pada bidang peternakan. Peningkatan produksi ternak melalui pemanfaatan solid merupakan salah satu usaha untuk mengoptimumkan pemanfaatan sumber daya lokal melalui penerapan teknologi yang sesuai. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah upaya memberdayakan petani yang mandiri, maju, dan berkeadilan (Solahuddin 1999) untuk mencapai taraf kehidupan yang layak. Pemberdayaan petani mempunyai potensi yang sangat besar sehingga petani dapat memegang peranan utama dalam ekonomi pedesaan. Untuk mewujudkan hal itu, petani harus mempunyai akses ke sumber daya ekonomi yaitu kapital, sumber daya alam, dan teknologi. Dengan memiliki akses tersebut, petani dapat melakukan kegiatan ekonomi produktif dalam upaya meningkatkan pendapatan mereka.
Limbah kelapa sawit berupa solid berpotensi sebagai sumber nutrisi untuk ternak karena mengandung protein kasar 12,63% dan energi 154 kal/100 g, ketersediaannya melimpah, berkelanjutan, dan tidak bersaing dengan kebutuhan manusia. Pemanfaatan solid sebagai pakan tambahan dipengaruhi oleh sistem produksi, dan menguntungkan pada pemeliharaan dengan orientasi komersial (penggemukan). Ketersediaan solid di Kalimantan Tengah dapat memenuhi kebutuhan bagi 150.000 ekor sapi/hari apabila perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Tengah sudah berproduksi semua. Peran aktif pemerintah daerah dan atau industri pengolah minyak kelapa sawit sangat diperlukan untuk memasyarakatkan pemanfaatan solid secara lebih luas.
27
DAFTAR PUSTAKA Aritonang, D. 1986. Perkebunan kelapa sawit sebagai sumber pakan ternak di Indonesia. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian V(4): 93−99. Dinas Kehewanan Kalimantan Tengah. 2001. Kebijakan dan strategi pembangunan peternakan di Kalimantan Tengah tahun 2001−2005. Makalah disampaikan pada Temu Aplikasi Paket Teknologi dan Temu Informasi Pertanian Subsektor Peternakan 13−14 November 2001 di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Tengah, Palangkaraya. Djaenudin, D., H. Subagio, dan S. Karama. 1996. Kesesuaian lahan untuk pengembangan peternakan di beberapa propinsi di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner, Cisarua 7−8 November 1995. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. hlm. 165−174. Horne, P.M., Ismail, and C.D. Thai. 1994. Agroforestry plantation system: sustainable forage and animal production in rubber and oil palm plantation. In J.W. Coplan, A. Djajanegara, and Sabrani (Eds.). Proceedings of an International Symposium held in Association with 7th AAAP Animal Science Congress, Bali, Indonesia, 11−16 July 1994. Kamaruddin, A. 1997. The effects of feeding palm oil by-products on the growth performance and nutrients utilization by growing lambs. Prosiding Seminar Nasional II Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak, 15−16 Juli 1997. Kerja Sama Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor dengan Asosiasi Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Indonesia (AINI), Bogor. hlm. 71−72. Ketaren, P.P. 1986. Bungkil inti sawit dan ampas minyak sawit sebagai pakan ternak. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian 8(4−6): 10−11.
28
Pasaribu, T., A.P. Sinurat, J. Rosida, T. Purwadaria, dan T. Haryati. 1998. Pengkayaan gizi bahan pakan inkonvensional melalui fermentasi untuk ternak unggas. 2. Peningkatan nilai gizi lumpur sawit melalui fermentasi. Edisi Khusus Kumpulan Hasil-hasil Penelitian Peternakan Tahun Anggaran 1996/1997. Buku III: Penelitian Ternak Unggas. Balai Penelitian Ternak, Bogor. Sinurat, A.P., K. Supriyati, T. Purwadaria, T. Haryati, H. Hamid, J. Rosida, I. Sutikno, dan I.P. Kompiang. 1998a. Pengkayaan gizi bahan pakan inkonvensional melalui fermentasi untuk ternak unggas. 3. Pemanfaatan limbah sawit (bungkil inti sawit dan lumpur sawit) dalam ransum itik. Edisi Khusus Kumpulan Hasil-hasil Penelitian Peternakan Tahun Anggaran 1996/1997. Buku III: Penelitian Ternak Unggas. Balai Penelitian Ternak, Bogor. hlm. 227−239. Sinurat, A.P., P.P. Ketaren, T. Purwadaria, A. Habibie, T. Haryati, I.A.K. Bintang, T. Pasaribu, H. Hamid, J. Rosida, I. Sutikno, I.P. Kompiang, Y.C. Rahardjo, P. Setiadi, dan Supriyati. 1998b. Pengkayaan gizi bahan pakan inkonvensional melalui fermentasi untuk ternak unggas. 4. Bungkil inti sawit, lumpur sawit dan produk fermentasinya sebagai pakan ayam pedaging. Edisi Khusus Kumpulan Hasil-hasil Penelitian Peternakan Tahun Anggaran 1996/1997. Buku III: Penelitian Ternak Unggas. Balai Penelitian Ternak, Bogor. hlm. 240−248. Solahuddin, S. 1999. Pengembangan Pertanian di Era Reformasi. Departemen Pertanian, Jakarta. Utomo, B.N., E. Widjaja, S. Mokhtar, S.E. Prabowo, dan H. Winarno. 1999. Laporan Akhir Pengkajian Pengembangan Ternak Potong pada Sistem Usaha Tani Kelapa
Sawit. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Palangkaraya, Palangkaraya. Utomo, N.U. 2001. Potential of Oil Palm Solid Wastes as Local Feed Resource for Cattle in Central Kalimantan, Indonesia. MSc. Thesis, Wageningen University, The Netherlands. Utomo, B.N., E. Widjaja, dan A. Hewu. 2002. Laporan Akhir Kegiatan Pengkajian Komponen Teknologi Sistem Usaha Tani Ternak pada Area Perkebunan Kelapa Sawit. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Tengah, Palangkaraya. Widjaja, E., B.N. Utomo, S.E. Prabowo, dan D. Hartono. 1999. Laporan Akhir Pengkajian Sistem Usaha Pertanian Domba Berwawasan Agribisnis (tahun pertama). Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Palangkaraya, Palangkaraya. Widjaja, E., B.N. Utomo, R. Rachmadi, S.E. Prabowo, dan D. Hartono. 2000a. Laporan Akhir Pengkajian Sistem Usaha Pertanian Domba Berwawasan Agribisnis (tahun kedua). Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Palangkaraya, Palangkaraya. Widjaja, E., B.N. Utomo, dan R. Ramli. 2000b. Potensi limbah kelapa sawit “solid” sebagai pakan suplemen ternak sapi. Prosiding Hasilhasil Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian, Palangkaraya 10 Oktober 2000. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Palangkaraya, Palangkaraya. hlm. 145−154. Zulbardi, M., M. Sitorus, Maryono, dan L. Affandy. 1995. Potensi dan pemanfaatan pakan ternak di daerah sulit pakan. Edisi Khusus Kumpulan Hasil-hasil Penelitian Tahun Anggaran. 1994/1995. Ternak Ruminansia Besar. Balai Penelitian Ternak, Bogor.
Jurnal Litbang Pertanian, 23(1), 2004