Mewujudkan Tata Pemerintahan Lokal yang Baik (Local Good Governance) dalam Era Otonomi Daerah1 oleh: Max H. Pohan Kepala Biro Peningkatan Kapasitas Daerah Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)
I.
PENDAHULUAN Krisis multidimensi yang melanda Indonesia sejak tahun 1997 yang lalu memiliki dampak yang sangat besar terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Pemerintah menyadari bahwa terpuruknya Indonesia dalam krisis ini disebabkan oleh berbagai faktor, yang salah satunya adalah penyelenggaraan negara yang buruk (poor governance ) –populer dengan sebutan KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Akses pada sumberdaya ekonomi yang tersedia hanya terbatas pada segelintir komponen masyarakat, sehingga pertumbuhan ekonomi yang tinggi (sebelum krisis) pada kenyataannya hanya dinikmati sebagian kecil penduduk. Mekanisme kontrol dan partisipasi publik untuk “menjaga” pembangunan agar selalu berpihak kepada kepentingan rakyat banyak lagi-lagi mengalami distorsi. Pertama, lemahnya posisi lembaga legislatif terhadap eksekutif, baik “by design” seperti posisi DPRD yang menjadi subordinasi dari kepala daerah, maupun dalam implementasinya yang diwarnai dengan berbagai bentuk intervensi kekuasaan eksekutif. Kedua, kesempatan masyarakat untuk mengorganisasikan dirinya di luar “pakem” yang telah ditetapkan pemerintah membuat apa yang dinamakan civil society tidak pernah sepenuhnya terbentuk. Ketiga, proses pembangunan yang sentralistis dan top-down mengakibatkan partisipasi masyarakat –dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan– tidak dapat berjalan. Seluruh kondisi ini diperparah dengan lemahnya penegakan hukum ( law enforcement) yang mengakibatkan berbagai upaya pemantauan dan pengawasan yang dilakukan tidak berguna, sehingga sedikit banyak berkontribusi pada ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Semua ini menyadarkan kita akan pentingnya reorientasi terhadap tata kehidupan bernegara (governance ) untuk mewujudkan kehidupan yang demokratis, yaitu yang menjamin berlakunya mekanisme check and balance, distribusi kekuasaan secara sehat dan fair, adanya akuntabilitas pemerintahan, tegaknya supremasi hukum dan hak asasi manusia (HAM), serta struktur ekonomi yang adil dan berorientasi kepada masyarakat luas. Pemilihan umum pada bulan Juni tahun yang lalu dapat dikatakan sebagai pesta demokrasi rakyat pertama dan teradil dalam jangka waktu empat dekade belakangan ini. Melalui proses Sidang Umum MPR yang kemudian diikuti dengan pemilihan
1
Disampaikan pada Musyawarah Besar Pembangunan Musi Banyuasin ketiga, Sekayu, 29 September – 1 Oktober 2000
presiden yang demokratis dan transparan pada bulan Oktober 1999 diharapkan telah dihasilkan pemerintahan yang mempunyai legitimasi publik. Sejalan dengan proses demokratisasi yang tengah berlangsung, proses transisi menuju otonomi daerah juga telah dimulai dengan pengesahan dua undang-undang (UU) baru, yaitu UU nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah pada bulan Mei 1999. Hal ini dilakukan untuk mengatasi kelemahan pendekatan pembangunan di masa lalu yang sentralistis dan top-down, sehingga menciptakan “keseragaman” institusional di seluruh Indonesia, tanpa memandang karakteristik dan kemampuan masing-masing daerah. Di luar beberapa kelemahan yang dimilikinya, kedua UU yang menurut rencana akan diimplementasikan pada tahun anggaran 2001 mendatang2 merupakan sebuah upaya besar untuk merubah pendekatan pembangunan tersebut sehingga kewenangan dan sumberdaya terdistribusi secara berimbang di tiap wilayah (pusat, propinsi, dan kabupaten/kota), setiap daerah dapat mengembangkan diri sesuai dengan kondisi spesifiknya masing-masing, dan demokratisasi pembangunan di tingkat lokal dapat terjadi.
II.
PERGESERAN PARADIGMA PEMBANGUNAN Kehidupan bernegara pasca perang dunia kedua banyak diwarnai dengan orientasi pembangunan pada pertumbuhan ekonomi yang diharapkan dapat dengan sendirinya menghasilkan kesejahteraan yang tersebar secara merata kepada mayoritas rakyat. Namun, pengalaman di berbagai negara –termasuk Indonesia– menunjukkan berbagai kelemahan paradigma ini. Sebut misalnya, eksploitasi besar-besaran sumberdaya alam untuk menunjang pertumbuhan, tertinggalnya pengembangan berbagai sektor sosial dibandingkan dengan ekonomi, dan proses trickle-down effect dan pemerataan yang terjadi sangat jauh dari yang diharapkan. Sejak era 80-an, berbagai kritik ini meluas dan perhatian yang lebih diberikan kepada berbagai hal seperti isu kemiskinan, lingkungan hidup, hak asasi manusia, perempuan, dan sebagainya. Konsep ‘pembangunan partisipatif’ (participatory development) seiring dengan ‘pembangunan yang berkelanjutan’ (sustainable development) berkembang untuk menjawab berbagai permasalahan tersebut di atas. Konsep ini ternyata juga belum berhasil memastikan bahwa masyarakat dapat berkembang secara demokratis, sehingga muncullah konsep pembangunan berbasis komunitas (communitybased development) yang memposisikan masyarakat sebagai pelaku utama dalam pembangunan. Di luar ini semua, makin membesarnya peranan swasta (pasar) telah memaksa pemerintah untuk mengurangi perannya dalam pembangunan. Selain itu, terbangun paradigma bahwa efisiensi perekonomian hanya dapat tercipta melalui kompetisi pasar (market competition) dan pemerintah hanya berfungsi sebagai fasilitator dan regulator
2
Dimulai tahun 2000 ini, dilakukan perubahan periode tahun anggaran. Tahun anggaran 2000 merupakan masa transisi menuju perubahan periode dari 1 April – 31 Maret menjadi sesuai dengan tahun kalender (1 Januari – 31 Desember), sehingga hanya berlangsung selama sembilan bulan.
2
saja3 . Pada pelaksanaannya, konsep ini sangat “terganggu” oleh berbagai inefisiensi yang diakibatkan oleh distorsi ekonomi (baca: KKN), sehingga berbagai aspek institusional mendapatkan perhatian lebih belakangan ini. Bank Dunia memperkenalkan konsep tata pemerintahan yang baik ( good governance) pada awal dekade 90-an4 , awalnya untuk mengatasi masalah kemiskinan di Afrika. Sejalan dengan hal ini, para developmentalist menekankan pentingnya pertumbuhan yang berpihak kepada masyarakat miskin (pro-poor growth). Kebijakan reduksi kemiskinan haruslah menjadi bagian dari kebijakan makroekonomi dan terintegrasi dengan pengembangan pelayanan pendidikan dan kesehatan, serta bertumpu pada pemberdayaan masyarakat dalam arti luas. Terakhir, Amartya Zen –peraih Nobel dalam bidang ekonomi tahun 1998– memperkenalkan konsep kebebasan sebagai tujuan pembangunan5 . Pertumbuhan ekonomi ataupun peningkatan pendapatan seseorang hanyalah alat untuk memperluas kebebasan yang dinikmati masyarakat. Ia menekankan pentingnya lima instrumen untuk meningkatkan kemampuan (kebebasan) seseorang, yaitu kebebasan politik, fasilitas ekonomi, kesempatan sosial, jaminan atas transparansi, dan keamanan yang melindungi (protective security).
III.
GOOD GOVERNANCE Berbagai penelitian menunjukkan bahwa baik buruknya tata pemerintahan dijalankan mempunyai hubungan kausualitas yang erat dengan hasil-hasil pembangunan. Misalnya, penelitian Kaufmann, Kraay, dan Zoido-Lobaton (1999) menunjukkan bahwa kenaikan satu standar deviasi salah satu indikator pemerintahan6 menyebabkan kenaikan antara 2,5 sampai 4 kali pendapatan per kapita ( range yang sama juga berlaku untuk penurunan angka kematian bayi), dan kenaikan tingkat melek huruf huruf antara 15 sampai 25 persen. Beberapa penelitian lainnya juga menunjukkan hubungan kausalitas positif antara efisiensi birokrasi dan menurunnya tingkat korupsi dengan pertumbuhan ekonomi dan investasi asing7 . Bagi Indonesia, relevansi konsep ini menjadi sangat tinggi setelah banyak pihak menyalahkan ‘bad/poor governance ’ sebagai faktor penyebab utama negara ini menjadi yang kondisi sosial ekonominya paling buruk di antara sekian banyak negara Asia yang terkena krisis moneter 1997. Definisi umum governance adalah tradisi dan institusi yang menjalankan kekuasaan di dalam suatu negara, termasuk (1) proses pemerintah dipilih, dipantau, dan digantikan,
3
4 5
Lihat misalnya Osborne dan Gaebler, Reinventing Government: How the Entrepreneurial Spirit is Transforming the Public Sector, New York: Plume (1993) World Bank, Governance and Development, Washington D.C. (1992). Amartya Zen, Development as Freedom, New York:Alfred A. Knopf, Inc. (1999).
6
Mereka meneliti hubungan antara enam indikator pemerintahan agregat sebagai berikut (1) proses politik, kebebasan dan hak-hak politik masyarakat (voice and accountability); (2) tingkat ketidakstabilan pemerintah (political instability and violence); (3) efektivitas pemerintah, yang juga mencakup kebebasan birokrasi dari tekanan politik (government effectiveness) (4) kebijakan perdagangan dan bis nis yang eksesif dan “market unfriendly” “regulatory burden); (5) bagaimana hukum ditegakkan (rule of law); dan (6) derajat korupsi (graft).
7
Misalnya pada Asian Development Bank (ADB), Good Governance and Anticorruption: The Road Forward for Indoneisa, makalah yang disajikan pada pertemuan CGI VIII di Paris, Juli 1999.
3
(2) kapasitas pemerintah untuk memformulasikan dan melaksanakan kebijakan secara efektif, dan (3) pengakuan masyarakat dan negara terhadap berbagai institusi yang mengatur interaksi antara mereka. Unsur yang terakhir dapat dilakukan melalui tiga struktur komunikasi, yaitu kewenangan, legitimasi, dan representasi8 . Kewenangan adalah hak pemerintah untuk membuat keputusan dalam bidang tertentu. Walaupun ini merupakan hak dari suatu pemerintah modern, namun yang terpenting adalah bagaimana melibatkan persepsi rakyat tentang tindakan yang perlu dilakukan pemerintah. Legitimasi diperoleh karena masyarakat mengakui bahwa pemerintah telah menjalankan peranannya dengan baik, atau kinerja dalam menjalankan kewenangan itu tinggi. Representasi diartikan sebagai hak untuk mewakili pengambilan keputusan bagi kepentingan golongan lain dalam kaitannya dengan alokasi sumber daya. Dari sini terlihat bahwa good governance tidaklah terbatas pada bagaimana pemerintah menjalankan wewenangya dengan baik semata, tetapi –lebih penting lagi– adalah bagaimana masyarakat dapat berpartisipasi dan mengontrol pemerintah untuk menjalankan wewenang tersebut dengan baik ( accountable). Karenanya, seringkali tata pemerintahan yang baik dipandang sebagai “sebuah bangunan dengan 3 tiang”. Ketiga tiang penyangga itu adalah transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi.
A. Transparansi Transparansi berarti terbukanya akses bagi semua pihak yang berkepentingan terhadap setiap informasi terkait --seperti berbagai peraturan dan perundang-undangan, serta kebijakan pemerintah– dengan biaya yang minimal. Informasi sosial, ekonomi, dan politik yang andal ( reliable) dan berkala haruslah tersedia dan dapat diakses oleh publik (biasanya melalui filter media massa yang bertanggung jawab). Artinya, transparansi dibangun atas pijakan kebebasan arus informasi yang memadai disediakan untuk dipahami dan (untuk kemudian) dapat dipantau. Transparansi jelas mengurangi tingkat ketidakpastian dalam proses pengambilan keputusan dan implementasi kebijakan publik. Sebab, penyebarluasan berbagai informasi yang selama ini aksesnya hanya dimiliki pemerintah dapat memberikan kesempatan kepada berbagai komponen masyarakat untuk turut mengambil keputusan. Oleh karenanya, perlu dicatat bahwa informasi ini bukan sekedar tersedia, tapi juga relevan dan bisa dipahami publik. Selain itu, transparansi ini dapat membantu untuk mempersempit peluang korupsi di kalangan para pejabat publik dengan “terlihatnya” segala proses pengambilan keputusan oleh masyarakat luas.
B. Akuntabilitas Akuntabilitas atau accountability adalah kapasitas suatu instansi pemerintahan untuk bertanggung gugat atas keberhasilan maupun kegagalannya dalam melaksanakan misinya dalam mencapai tujuan dan sasaran yang ditetapkan secara periodik. Artinya, setiap instansi pemerintah mempunyai kewajiban untuk mempertanggungjawabkan pencapaian organisasinya dalam pengelolaan sumberdaya yang dipercayakan
8
Rochman, Meuthia Ganie, Good Governance dan Tiga Struktur Komunikasi Rakyat dan Pemerintah, makalah yang disajikan pada Seminar “Good Governance dan Reformasi Hukum” di Jakarta, Agustus 1998.
4
kepadanya, mulai dari tahap perencanaan, implementasi, sampai pada pemantauan dan evaluasi. Akuntabilitas merupakan kunci untuk memastikan bahwa kekuasaan itu dijalankan dengan baik dan sesuai dengan kepentingan publik. Untuk itu, akuntabilitas mensyaratkan kejelasan tentang siapa yang bertanggunggugat, kepada siapa, dan apa yang dipertanggunggugatkan. Karenanya, akuntabilitas bisa berarti pula penetapan sejumlah kriteria dan indikator untuk mengukur kinerja instansi pemerintah, serta mekanisme yang dapat mengontrol dan memastikan tercapainya berbagai standar tersebut. Berbeda dengan akuntabilitas dalam sektor swasta yang bersifat dual-accountability structure (kepada pemegang saham dan konsumen), akuntabilitas pada sektor publik bersifat multiple-accountability structure. Ia dimintai pertanggungjawaban oleh lebih banyak pihak yang mewakili pluralisme masyarakat. Rincinya, kinerja suatu instansi pemerintah harus dapat dipertanggungjawabkan terhadap atasan, anggota DPRD, organisasi nonpemerintah, lembaga donor, dan komponen masyarakat lainnya. Semua itu berarti pula, akuntabilitas internal (administratif) dan eksternal ini menjadi sama pentingnya. Akhirnya, akuntabilitas menuntut adanya kepastian hukum yang merupakan resultan dari hukum dan perundangan-undangan yang jelas, tegas, diketahui publik di satu pihak, serta upaya penegakan hukum yang efektif , konsisten, dan tanpa pandang bulu di pihak lain. Kepastian hukum juga merupakan indikator penting dalam menimbang tingkat kewibawaan suatu pemerintahan, legitimasinya di hadapan rakyatnya, dan dunia internasional.
C. Partisipasi Partisipasi merupakan perwujudan dari berubahnya paradigma mengenai peran masyarakat dalam pembangunan. Masyarakat bukanlah sekedar penerima manfaat (beneficiaries) atau objek belaka, melainkan agen pembangunan (subjek) yang mempunyai porsi yang penting. Dengan prinsip “dari dan untuk rakyat”, mereka harus memiliki akses pada pelbagai institusi yang mempromosikan pembangunan. Karenanya, kualitas hubungan antara pemerintah dengan warga yang dilayani dan dilindunginya menjadi penting di sini. Hubungan yang pertama mewujud lewat proses suatu pemerintahan dipilih. Pemilihan anggota legislatif dan pimpinan eksekutif yang bebas dan jujur merupakan kondisi inisial yang dibutuhkan untuk memastikan bahwa hubungan antara pemerintah –-yang diberi mandat untuk menjadi “dirigen” tata pemerintahan ini—dengan masyarakat (yang diwakili legislatif) dapat berlangsung dengan baik. Pola hubungan yang kedua adalah keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Kehadiran tiga domain pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil dalam proses ini amat penting untuk memastikan bahwa proses “pembangunan” tersebut dapat memberikan manfaat yang terbesar atau “kebebasan” (mengutip Amartya Zen) bagi masyarakatnya. Pemerintah menciptakan lingkungan politik, ekonomi, dan hukum yang kondusif. Sektor s wasta menciptakan kesempatan kerja yang implikasinya meningkatkan peluang 5
untuk meningkatkan pendapatan masyarakat. Akan halnya masyarakat sipil (lembaga swadaya masyarakat, organisasi masyarakat, organisasi keagamaan, koperasi, serikat pekerja, dan sebagainya) memfasilitasi interaksi sosial-politik untuk berpartisipasi dalam berbagai aktivitas ekonomi, sosial, dan politik. Sementara itu, di tingkat praktis, partisipasi dibutuhkan untuk mendapatkan informasi yang andal dari sumber pertama, serta untuk mengimplementasikan pemantauan atas atas implementasi kebijakan pemerintah, yang akan meningkatkan “rasa memiliki” dan kualitas implementasi kebijakan tersebut. Di tingkatan yang berbeda, efektivitas suatu kebijakan dalam pembangunan mensyaratkan adanya dukungan yang luas dan kerja sama dari semua pelaku (stakeholders) yang terlibat dan memiliki kepentingan. Hubungan antar Komponen Good Governance Secara konseptual, hubungan antara ketiga komponen tata pemerintahan yang baik itu mutualistik dan saling mendukung. Efektivitas dan efisiensi sumber daya dalam mencapai tujuannya mensejahterakan bangsa menuntut tingkat akuntabilitas penyelenggara negara (pemerintah) yang relatif tinggi. Tanpa adanya partisipasi publik untuk mengamankan (safeguard) proses penyelenggaraan negara, sulit diharapkan akuntabilitas dan penegakan hukum dapat berjalan dengan baik. Di lain pihak, partisipasi publik tidak mungkin dapat berjalan dengan efektif tanpa adanya hak publik untuk mengakses informasi yang dimilik oleh pemerintah. Sebaliknya, transparansi sendiri tidak mungkin tercipta jika pemerintah tidak bertanggung gugat dan tidak ada jaminan hukum atas hak publik untuk mengakses berbagai informasi tersebut. Jadi, ketiganya saling mengkait dan sulit untuk dapat berjalan sendiri tanpa adanya dukungan dari komponen lainnya. Satu hal penting lainnya –untuk negara yang secara geografis luas dengan jumlah penduduk yang besar seperti Indonesia– dibutuhkan adanya otonomi yang demokratis di tingkat pemerintah daerah yang memastikan bahwa interaksi antara pemerintah dan masyarakat ini dapat terjadi secara langsung dan intensif di lingkup yang kecil.
IV.
PERWUJUDAN ‘TATA PEMERINTAHAN LOKAL YANG BAIK’ Selain bukan menjadi monopoli pemerintah, konsep good governance tentunya tidak hanya perlu diaplikasikan di tingkat nasional, tetapi –bahkan lebih penting lagi– adalah di tingkat lokal. Undang-undang (UU) nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah merupakan perwujudan salah satu prasyarat yang dibutuhkan ( necessary), tetapi bukan berarti bahwa regulasi ini sudah mencukupi (sufficient) bagi terwujudnya tata pemerintahan yang baik. Banyak pihak mengkhawatirkan bahwa desentralisasi kewenangan kepada pemerintah daerah akan menciptakan raja-raja kecil dan memindahkan praktek KKN ke daerah, jika tidak ditempatkan dalam kerangka demokratisasi9 . Dengan kata lain, otonomi
9
Lihat misalnya "Otonomi Daerah Ciptakan Raja Kecil", KOMPAS, 19 Februari 2000.
6
daerah belum tentu menjanjikan keadilan dan kesejahteraan yang lebih baik bagi masyarakat, apabila agenda demokratisasi diabaikan di dalamnya. Untuk mengaplikasikan pemberdayaan masyarakat yang sesungguhnya, dibutuhkan pengembangan kelembagaan secara menyeluruh yang mencakup beberapa aspek berikut: (a) proses pembangunan, yang meliputi formulasi kebijakan (policy formulation), perencanaan (planning), penganggaran (budgeting), dan penetapan peraturan ( legislation); (b) peranan dan tanggung jawab lembaga negara, pemerintah, dan masyarakat; (c) sistem organisasi, yang meliputi lembaga pemerintah di berbagai sektor dan daerah, lembaga negara, dan lembaga masyarakat; (d) insentif dalam pembangunan, yang mampu meningkatkan inovasi masyarakat dalam pembangunan; (e) kerangka legal, yang lebih memperhatikan kondisi masyarakat yang beranekaragam.
Kelembagaan di Tingkat Desa Di tingkat desa, UU nomor 22 tahun 1999 dapat dianggap sebagai instrumen yang mendukung proses demokratisasi ini. Desa merupakan satuan administratif dengan otonomi yang sangat luas. Kepala desa (sampai saat ini) merupakan satu-satunya jabatan eksekutif yang dipilih langsung oleh rakyat. Dan, sebagai salah satu upaya untuk membatasi kekuasaan kepala desa, masa jabatannya dibatasi hanya untuk 2 periode saja (maksimum 10 tahun). Upaya instalasi nilai-nilai demokratis di tingkat desa ini juga dilakukan melalui pembentukan Badan Perwakilan Desa (atau nama yang lain yang dipilih masyarakat setempat) yang merupakan lembaga yang dipisahkan dari eksekutif (pemerintah desa) dan merupakan perwakilan masyarakat yang dipilih langsung oleh masyarakat desa. Hubungan yang hierarkis antara desa dan kabupaten juga dihilangkan; desa merupakan wilayah yang berlokasi di daerah kabupaten. Aspek penting lain dari jiwa regulasi yang baru ini adalah hilangnya penyeragaman yang menjiwai UU nomor 5 tahun 1974 dan nomor 5 tahun 1979. Ruang bagi implementasi budaya lokal dalam pemerintahan desa kembali dibuka, dengan bebasnya masyarakat desa untuk menentukan sendiri wewenang, perangkat pemerintahan desa, dan penggunaan istilah. Implikasi lain dari UU nomor 22/1999 dan UU nomor 25/1999– adalah lebih dekatnya masyarakat desa dengan salah satu alat produksi terpenting, dana. Alokasi dana yang lebih besar di tingkat kabupaten/kota akan meningkatkan kecepatan penyaluran dan ketepatan penggunaan dana sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. Selama ini, proses perencanaan dari bawah ( bottom-up) tidak dapat berjalan dengan baik antara lain diakibatkan oleh besarnya sumberdana yang masih dikelola oleh pusat. Hasil-hasil perencanaan yang dirumuskan melalui Musyawarah Pembangunan Desa (Musbangdes) implementasinya baru diterima masyarakat paling tidak satu tahun sejak ia direncanakan. Belum lagi, proyek yang dilaksanakan di suatu desa seringkali sangat jauh dari yang direncanakan Musbangdes akibat aplikasi pendekatan sektoral selama ini.
Kelembagaan di Tingkat Kabupaten/Kota Jiwa dari UU 22/1999 ini adalah perubahan titik pandang dari central-governmentcentered looking menjadi local-government-centered looking. Setiap wilayah bebas
7
untuk menentukan kewenangannya sendiri, di luar beberapa hal yang menjadi kewenangan pemerintah pusat dan beberapa bidang lain yang wajib diurusi oleh suatu wilayah. Wilayah yang lebih luas (misalnya propinsi) mengambil “sisa” kewenangan yang tidak diambil oleh wilayah yang tercakup di dalamnya (misalnya kabupaten/kota). Untuk mencegah pemindahan budaya otoriter dan top-down dari pusat ke daerah, UU 22/1999 ini juga dilengkapi dengan upaya demokratisasi lokal. Pertama, lembaga legislatif lokal (DPRD Kabupaten/Kota dan Badan Perwakilan Desa) merupakan lembaga kontrol dengan posisi sejajar dengan eksekutif. Kedua, kewenangan DPRD Kabupaten/Kota untuk memilih kepala daerah tanpa persetujuan pusat, mengkaji pertanggungjawaban kepala daerah, dan memberhentikan kepala daerah merupakan beberapa bentuk upaya pembentukan loyalitas yang lebih pada rakyat daripada kepada pemerintah pusat. Ketiga, di kawasan perkotaan diharapkan pemerintah daerah dapat memfasilitasi pembentukan “forum perkotaan” sebagai wadah bagi pemda, masyarakat, dan pihak swasta untuk berinteraksi dan bersinergi untuk kepentingan kotanya. Khusus mengenai yang terakhir, pengalaman di banyak negara menunjukkan bahwa parlemen lokal belum mencukupi untuk menjamin teridentifikasinya kebutuhan masyarakat luas dan terwujudnya mekanisme kontrol terhadap pemerintah, sehingga dibutuhkan adanya partisipasi langsung masyarakat luas ( voice mechanism) –seringkali “dihubungkan” oleh masyarakat sipil (civil society)– terutama di tingkat lokal.
Pemerintah Daerah yang Transparan, Bertanggunggugat, dan Responsif Berbagai hal yang diuraikan di atas pada intinya adalah otonomi daerah yang sesungguhnya, yaitu wewenang berada pada rakyat yang tinggal di daerah tersebut, bukan otonomi pemerintah daerah, dan juga bukan otonomi bagi "daerah" dalam pengertian suatu wilayah/teritori tertentu di tingkat lokal. Karenanya, pemerintah daerah harus dapat membuka ruang bagi seluruh komponen masyarakat untuk dapat terlibat dalam seluruh proses pembangunan. Pelibatan tersebut membutuhkan beberapa prasyarat awal yang harus diimplementasikan oleh pemerintah daerah sendiri, khususnya dalam hal transparansi dan akuntabilitas. Implementasi Transparansi Seringkali kita terjebak dalam “paradigma produksi” dalam hal penyebarluasan informasi ini; seakan-akan transparansi sudah dilaksanakan dengan mencetak leaflet suatu program dan menyebarluaskannya ke setiap kantor kepala desa, atau memasang iklan di surat kabar yang tidak dibaca oleh sebagian besar komponen masyarakat. Pola pikir ini perlu berubah menjadi “paradigma pemasaran”, yaitu bagaimana masyarakat menerima informasi dan memahaminya. Untuk mewujudkannya dalam pelaksanaan administrasi publik sehari-hari, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan di sini. Pertama, kondisi masyarakat yang apatis terhadap program-program pembangunan selama ini membutuhkan adanya upayaupaya khusus untuk mendorong keingintahuan mereka terhadap data/informasi ini. Untuk itu, dibutuhkan adanya penyebarluasan (diseminasi) informasi secara aktif kepada seluruh komponen masyarakat, tidak bisa hanya dengan membuka akses masyarakat terhadap informasi belaka.
8
Kedua, pemilihan media yang digunakan untuk menyebarluaskan informasi dan substansi/materi informasi yang disebarluaskan sangat bergantung pada segmen sasaran yang dituju. Informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat awam sangat berbeda dengan yang dibutuhkan oleh organisasi nonpemerintah, akademisi, dan anggota DPRD, misalnya. Selain itu, seringkali cara-cara dan media yang sesuai dengan budaya lokal jauh lebih efektif dalam mencapai sasaran daripada “media modern” seperti televisi dan surat kabar. Ketiga, seringkali berbagai unsur nonpemerintah –misalnya pers, lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat (LSM)– lebih efektif untuk menyebarluaskan informasi daripada dilakukan pemerintah sendiri. Untuk itu, penginformasian kepada berbagai komponen strategis ini menjadi sangat penting. Implementasi Akuntabilitas Pertama, perlunya penetapan target kuantitatif atas pencapaian suatu program. Selama ini, disadari maupun tidak, kita seringkali berorientasi pada indikator input seperti alokasi anggaran dan penyerapannya, dan melupakan pencapaian (output) program tersebut. Untuk menjaga efektivitas suatu pengeluaran, diperlukan pemantauan yang berdasarkan pada pencapaian target berbagai indikator kinerja (performance indicators) yang ditetapkan sebelumnya dan menunjukkan tingkat keberhasilan suatu program secara menyeluruh. Kedua, dibutuhkan adanya mekanisme pertanggungjawaban publik secara reguler. Dalam pelaksanaan program-program pemerintah selama ini, praktis pertanggungjawaban keuangan di akhir tahun anggaran merupakan satu-satunya mekanisme yang berjalan. Untuk dapat memberikan masukan (feed-back) di tengah perjalanan suatu program, diperlukan adanya mekanisme pelaporan reguler (misalnya bulanan) yang disebarluaskan kepada masyarakat luas. Selain itu, dibutuhkan adanya mekanisme verifikasi oleh pihak yang independen atas laporan tersebut. Hanya dengan adanya mekanisme pelaporan, pertanggungjawaban publik, dan verifikasi inilah tingkat keandalan laporan pengelola program dapat ditingkatkan dan tingkat pencapaian suatu program dapat terukur dengan mudah, sehingga diharapkan dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensinya. Ketiga, adalah diterapkannya mekanisme penanganan pengaduan dan keluhan. Walaupun berbagai upaya tersebut di atas telah dilaksanakan, tentunya masih ada kemungkinan terjadinya suatu masalah dan penyelewengan yang timbul dalam pelaksanaan program ataupun pelayanan publik. Untuk menanganinya, diperlukan suatu bagian khusus dalam pengelola program atau instansi pelayanan masyarakat (misalnya air minum, listrik, puskesmas, dan sebagainya) yang bertugas untuk menangani pengaduan masyarakat yang masuk, baik secara langsung ataupun melalui pemberitaan di media massa. Tentunya, juga dibutuhkan kerjasama dengan berbagai lembaga pemeriksa dan penyidik yang sudah ada (inspektorat, kepolisian, kejaksaan, dan sebagainya), sehingga setiap pengaduan yang berindikasi penyelewengan dan tindak pidana dapat segera ditindaklanjuti. Karakteristik yang terpenting dalam mekanisme ini adalah perlunya kepastian bagi masyarakat bahwa pengaduan mereka akan ditangani dalam jangka waktu tertentu dan si pengadu berhak menerima laporan atas tindak lanjut pengaduannya itu. 9
Implementasi Partisipasi Publik Keterlibatan masyarakat diperlukan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan suatu program. Mekanisme kontrol dapat langsung dilakukan tanpa perlu menunggu suatu kesalahan atau penyelewengan terjadi. Selain itu, rasa memiliki masyarakat akan meningkat karena mereka terlibat dalam setiap proses pengelolaan program; suatu perubahan peran masyarakat dari “konsumen” (objek terakhir) semata menjadi bagian dari “produsen” (salah satu pelaku utama). Satu hal yang penting untuk diperhatikan di sini adalah sifat keterlibatan itu. Pelibatan masyarakat yang bersifat mobilisasi (tidak partisipatif) dan tidak diikuti dengan pemberian wewenang tidak akan bermanfaat dalam peningkatan kinerja suatu program. Pembangunan daerah harus dilakukan bersama dengan masyarakat, bukan untuk masyarakat. Dalam pengelolaan program-program JPS, mulai tahun anggaran 1999/2000 diperkenalkan Forum Lintas Pelaku (FLP) atau stakeholders’ forum yang merupakan ruang publik tempat masyarakat dan pemerintah dapat berinteraksi, berdiskusi, dan mencari pemecahan berbagai masalah yang dihadapi dalam pelaksanaan berbagai program JPS di masing-masing kabupaten/kota. Dalam implementasinya, masih cukup banyak masalah yang dihadapi. Di beberapa wilayah, dominasi pemerintah daerah masih sangat tinggi dan FLP hanyalah menjadi alat legitimasi (bahwa berbagai komponen masyarakat telah dilibatkan). Situasi sebaliknya juga terjadi di banyak daerah; organisasi non-pemerintah mendominasi FLP dan mengalienasi pemerintah daerah, sehingga FLP menjadi forum pemantauan semata. Walaupun demikian, diharapkan bahwa masing-masing FLP dapat merumuskan fungsi, wewenang, dan mekanisme kerjanya, sesuai dengan karakteristik masing-masing daerah. Di masa mendatang, FLP diharapkan dapat berkelanjutan (sustainable) dan mampu bertransformasi menjadi sebuah ruang publik ( public sphere) yang bukan hanya tertentu pada program-program JPS, melainkan tempat seluruh unsur masyarakat dan pemerintah daerah dapat berdialog, merumuskan visi, mengidentifikasi kebutuhan dan prioritas, serta memecahkan berbagai masalah setempat (sebagai misal Forum Perkotaan atau sejenisnya).
V.
PENUTUP Untuk suatu negara yang secara geografis besar seperti Indonesia, otonomi daerah merupakan suatu hal yang tidak dapat ditolak lagi untuk mewujudkan kesejahteraan (atau kebebasan) masyarakat secara efektif. Namun demikian, diperlukan adanya berbagai upaya agar desentralisasi ini tidaklah berimplikasi pemindahan kekuasaan yang otoriter (disertai korupsi, kolusi, nepotisme – KKN) dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Untuk mencegah agar kekuasaan politik, ekonomi, sosial dan budaya tidak dipegang oleh sekelompok elit daerah saja, maka dibutuhkan peranan media massa, lembaga swadaya masyarakat, organisasi masyarakat, dan masyarakat pada umumnya untuk memantau proses pengambilan keputusan, mempedulikan pekerjaan serta kinerja DPRD, menuntut adanya transparansi, dan meminta aparat pemerintah daerah untuk dapat mempertanggungjawabkan amanat yang diembannya. Kami memandang bahwa hanya partisipasi masyarakat-lah yang dapat “menjaga” agar otonomi daerah ini dapat memberikan manfaat (benefits) yang besar bagi masyarakat itu sendiri. Sebaliknya, 10
tanpa adanya pemerintah lokal yang transparan, akuntabel (bertanggunggugat), dan responsif terhadap keluhan/masukan masyarakatnya, sulit diharapkan sistem ini dapat berjalan. Sebaliknya, tanpa adanya partisipasi dan kontrol publik, pemerintah juga sulit diharapkan dapat menjadi accountable dengan sendirinya. Dalam pengelolaan program-program Jaring Pengaman Sosial (JPS), sejak tahun anggaran 1999/2000 berbagai mekanisme transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik ini (“pemantauan dalam arti luas” atau safeguarding) diterapkan oleh pengelola program maupun Tim Koordinasi Pengelolaan Program-Program (TKPP) JPS yang di daerah dikoordinasikan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda). Tentunya, dalam implementasi awal ini ditemui cukup banyak kendala dan masalah. Namun demikian, berbagai hal ini dapat menjadi embrio bagi pelaksanaan tata pemerintahan yang baik ini dalam mekanisme pelaksanaan program pemerintah dan pelayanan masyarakat lainnya. Undang-undang nomor 22 tahun 1999 telah membuka ruang bagi partisipasi masyarakat dalam pengelolaan daerah. Untuk mengisi ruang yang masih kosong ini, diperlukan upaya bersama –pemerintah, masyarakat sipil, dan komunitas sendiri– untuk memberdayakan masyarakat dalam arti yang luas. Dari meningkatkan tingkat pengetahuan dan kepedulian komunitas (sebagai bagian dari masyarakat) atas seluruh tahapan pembangunan; meningkatkan kapasitas organisasi komunitas dan masyarakat; melibatkan komunitas dan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan; sehingga alokasi sumber daya yang adil dan tingkat pelayanan publik yang baik dapat tercipta. Dalam kaitan ini, otonomi daerah bukan merupakan tujuan, melainkan cara demokratis untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi semua unsur bangsa tanpa kecuali.
Sekayu, 29 September 2000 Max Pohan
11