MAJALAH ILMIAH PENGKAJIAN INDUSTRI

Download Journal. Bearing. X X. X. X. X. Kerusakan atau keauasan gigi. X. X. Mechanical looseness. X. Noise. X. Cracking. X. Tabel 3. Standar Charlo...

0 downloads 775 Views 5MB Size
IS ISSN 1410-3680 Terakreditasi No. 1563/D/2006

Majalah Ilmiah Pengkajian Industri Volume I Nomor 1 April 2007 Majalah Ilmiah Pengkajian Industri adalah wadah informasi bidang Pengkajian Industri berupa hasil penelitian, studi kepustakaan maupun tulisan ilmiah terkait dalam bidang industri. Terbit pertama kali pada tahun 1996 frekuensi terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember

Penanggung Jawab : Pusat Teknologi Industri Proses Pusat Teknologi Industri Mesin dan Alat Pusat Teknologi Industri dan Sistem Transportasi Pusat Teknologi Industri Pertahanan dan Keamanan Unit Pelaksana Teknis Balai Pengkajian Dan Penelitian Hidrodinamika Unit Pelaksana Teknis Laboratorium Aero Gas Dan Getaran Balai Mesin Perkakas, Teknik Produksi Dan Otomasi Balai Thermodinamika, Motor Dan Propulsi Balai Besar Teknologi Kekuatan Struktur Balai Pengkajian Dinamika Pantai

Ketua Dewan Redaksi : Dr.Ir.Abdul Ghofar, M.Eng Anggota : Prof.Ir.Djoko Wahyu Karmiadji, MSME, Ph.D., APU Dr.Ir.H.Haryanto, M.Eng., Dr.Ir.Sudirman Habibie, M.Sc, Dr.Ir. Buana Ma’ruf, M.Sc., MM., Dr.Machfud Alhuda, M.Eng. Dr. Ir.Amin Suhadi, M.Eng. Dr. Rahman Hidayat, M.Eng, Ir. Rizqon Fajar, M.Sc.Ir.Wibawa Purabaya, Redaksi Pelaksana : Anggota Ir.Achmad Mulyana, MT (Ketua) Ir.Iwan Setyadi, MT, Drs. Mahendra Anggravidya, MSi Drs. Mohammad Dahsyat, MM, Ir.Soegeng Hardjono, MSc Drs.Syafril Karana, BE, Ir.Akhmad Rifai, Ir.Bambang Hartono, Ir.Martini Rahayu, Ir.Murni Asti

Alamat Redaksi/Penerbit : Deputi Bidang Teknologi Industri Rancang Bangun dan Rekayasa Gedung II BPPT Lantai 9, Jl.M.H.Thamrin 8, Jakarta 10340 Telepon : (021)316.9320, 9305, Fax.(021)316.9309

M.P.I. Vol.1 No.1. 30 April 2007

______________________________________________________________________________ Kata Pengantar Pembahasan tentang industri, terutama industri proses, rekayasa dan manufaktur memang merupakan hal yang menarik, karena banyak hal yang perlu dikaji dan diteliti terkait dengan teknologi proses, perekayasaan dan manufaktur untuk menghasilkan sebuah produk/peralatan yang berkualitas sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Untuk memproduksi produk/peralatan yang berkualitas diperlukan tahapan proses, rekayasa dan manufaktur yang terencana, terstruktur dan terukur. Pembuatan desain dan pemodelan produk sebelum produk diproduksi memberikan hasil akhir yang baik, karena semua aspek, mulai dari bentuk & ukuran, parameter operasional sudah diperhitungkan dengan matang. Hal ini dapat dilihat pada pembahasan pemodelan suatu pembangkit listrik tenaga nuklir dan pembahasan kekuatan konstruksi zincalum profile terhadap beban angin. Sementara itu agar suatu peralatan yang ada di industri dapat bekerja optimal diperlukan proses pemeliharaan yang tepat, sehingga dapat mengoptimal waktu dan biaya pemeliharaannya. Salah satu contohnya adalah pembahasan identifikasi penyebab getaran tinggi pada peralatan pembangkit listrik. Tantangan untuk membuat energi yang lebih efisien juga merupakan topik yang menarik terutama terkait bagaimana menemukan teknologi proses yang tepat, seperti pembahasan teknologi pencairan batubara. Di dalam proses manafaktur, banyak sekali parameter-parameter proses yang perlu diperhatikan dan dilaksanakan secara terukur. Banyak produk-produk yang tidak memenuhi standar kualitas karena mengabaikannya, seperti kasus temperatur pemanasan pada pengolahan ferro-nikel. Semoga pembahasan-pembahasan yang merupakan hasil kajian dan penelitian ini dapat bermanfaat bagi perkembangan industri, khususnya industri proses, rekayasa & manufaktur atau setidaknya menjadi informasi untuk pengembangan penelitian lebih lanjut.Persaingan perdagangan glob Redaksi Majalah Pengkajian Industri berencana menerbitkan Vol.1 No.2, bulan Agustus 2007 dengan Topik “Industri Transportasi” Redaksi sangat menghargai kritik dan saran yang membangun.

Redaksi

ISSN 1410-3680

i

M.P.I. Vol.1 No.1. 30 April 2007

______________________________________________________________________________ Daftar Isi Kata Pengantar

i

Daftar Isi

ii



Identifikasi Penyebab Getaran Tinggi Pada Salah Satu Peralatan Pembangkit Listrik, Iwan Setyadi

1



Bantalan Aksial Segmen Pada Mesin Turbin Pembangkit Listrik, H.Agus Suhartono

8



Identifikasi Dan Pengendalian Potensi Bahaya Kebisingan Pada Proses Drawing Industri Kabel Listrik, Muhammad Gunara

15



Pemodelan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Dalam Model Markal, M. Muchlis

23



Infrastruktur Ketenaga Listrikan Di Indonesia, Indyah Nurdyastuti

30



Prospek PLTN Dalam Sistem Kelistrikan Jawa-Bali, La Ode Muhammad Abdul Wahid

38



Teknologi Pencairan Batubara, Hari Suharyono

51



Kekuatan Konstruksi Zincalume Profile Roof Terhadap Beban Angin, Dwi Purwanto

58



Pemanasan Berlebih Terhadap Bottom Plate Dapur Pengolahan Ferro-Nikel PT.Aneka Tambang, Kirman M.

66



Seakeeping Dan Mooring Sarana Pembongkar Anjungan Lepas Pantai Paska Operasi Dengan Uji Numerik, Srijanto Resowikoro

72



Sertifikasi Prototipe Kereta Rel Listrik, Juliarso Gondoprajogo

82



Modifikasi Mesin Slang Untuk Meningkatkan Efisiensi Pada Produksi Pipa Karet (Rubber Hose), Mochammad Ismail & Mahendra Anggaravidya

91



Pengembangan Industri Manufaktur Pipa Apung (Rubber Floating Hose) Di Indonesia : Peluang Dan Hambatannya Muslim Efendi Harahap

99



Aturan Penulisan Majalah Pengkajian Industri

ii

107

ISSN 1410-3680

Identifikasi Penyebab Getaran Tinggi Pada Salah Satu Peralatan Pembangkit Listrik (Iwan Setiyadi)

______________________________________________________________________________

IDENTIFIKASI PENYEBAB GETARAN TINGGI PADA SALAH SATU PERALATAN PEMBANGKIT LISTRIK Iwan Setyadi Peneliti Pada Pusat Teknologi Industri Proses, Deputi Teknologi Industri Rancang Bangun dan Rekayasa BPPT Abstract Vibration is one of the better indicators to detect mechanical problem for rotating equipments, like as misalignment, unbalance, looseness, electrical problem, gear defect, bearing defect. One of case study on pulverize has been detected the significant addition of vibration. The root cause analysis of the higher vibration are gear misalignment and looseness problem on pulverize gear box 2. It is found peak 4375 RPM + it harmonics on all of measurement point, especially on bearing 7 & 8. The highest overall vibration has been happened on position 7VVEL as 19, 6 mm/s. This value has been over low danger alarm (A1) as 201, 5% or high danger alarm (A2) as 102%. Kata kunci : pulverizer, pemantauan dan analisa vibrasi (vibration monitoring & analizing), putaran pulverizer (RPM) dan gear problem.

PENDAHULUAN Optimalisasi aktivitas suatu industri akan dapat tercapai apabila kehandalan mesin & peralatan pendukungnya dapat terjaga. Apalagi industri yang dimaksud merupakan industri vital seperti industri pembangkit tenaga listrik. Gangguan pada salah satu peralatannya bisa menyebabkan pasokan listrik ke konsumen akan terganggu, yang tentunya akan menyebabkan kerugian pada kedua belah pihak, baik dari segi materi maupun non materi. Pada industri pembangkit tenaga listrik tenaga uap banyak sekali mesin-mesin pendukung yang merupakan jenis mesin rotasi, mulai dari jenis pompa (BFP, CWP, dll), jenis fan (PAF, IDF, dll), pulverizer (sejenis mesin pemecah batu bara) sampai kepada turbin generator. Kesemua peralatan tersebut kehandalannya harus dijaga dengan melakukan perawatan mesin yang dapat dilakukan secara berkala, bahkan sampai kepada sistem perawatan prediktif. Saat ini salah satu metode konsep pemeliharaan prediktif (predictive maintenance) pada mesin rotasi yang banyak bermanfaat adalah metode pemantauan kondisi yang menjadikan vibrasi mesin sebagai parameter. Metode ini terasa sekali manfaatnya hampir di seluruh sektor industri terutama pada industri pembangkit listrik (power gen. plant). ISSN 1410-3680

Permasalahan mekanis pada suatu mesin rotasi seperti yang disebabkan oleh misalignment, unbalance, looseness, electrical problem, gear defect, bearing defect akan selalu memberikan efek peningkatan vibrasi pada mesin tersebut. Untuk mengetahui secara akurat apa yang menjadi akar permasalahan timbulnya getaran, maka metode pemantauan dan analisis vibrasi terhadap mesin rotasi merupakan salah satu metode yang paling baik, sehingga memudahkan/ membantu pihak maintenance mengarahkan dan melakukan perbaikan. Dalam tulisan ini yang diteliti adalah penyebab utama meningkatnya vibrasi yang ditemukan pada sebuah pulverizer yang ada di PT SS menggunakan metode pemantauan dan analisis vibrasi.

TEORI Konsep Predictive Maintenance (PM) Konsep PM juga lebih dikenal dengan konsep Condition Monitoring (pemantauan kondisi) yang diaplikasikan dengan melakukan proses pemantauan mesin pada saat beroperasi. Jika ada keganjilan pada mesin, peralatan pemantau kondisi dapat memberikan informasi yang sangat handal dalam menemukan permasalahannya, dan bahkan mengidentifikasi penyebabnya. 1

M.P.I. Vol.1 No.1. April 2007, 1 - 7

______________________________________________________________________________ Pemantauan kondisi tidak hanya membantu personil pabrik mengurangi kemungkinan kegagalan mesin yang mendadak, tetapi juga memungkinkan pihak manajemen di industri khususnya divisi perawatan untuk dapat memesan komponen pengganti lebih dahulu, penjadwalan tenaga kerja perbaikan, mengurangi persediaan perbekalan, merencanakan kapan waktu perbaikan dan jenis perbaikan lain yang perlu dilakukan secara parallel. Parameter Vibrasi Bagaimana mesin atau komponen menunjukkan perubahan kondisinya merupakan faktor terpenting dalam menentukan parameter operasi yang perlu diukur atau dipantau. Salah satu parameter terbaik untuk mengetahui kondisi mekanis mesin rotasi adalah vibrasi. Pertimbangan kenapa vibrasi lebih handal untuk memantau kondisi mesin rotasi dapat dilihat pada Tabel 1 berikut.

karena itu untuk mengidentifikasi permasalahan, maka sensor penditeksi vibrasi selalu ditempatkan pada bantalan. Vibrasi yang diukur dan dianalisis dalam suatu kurun waktu dapat memberikan indikasi yang handal untuk mengetahui kerusakan bantalan. Standar Vibrasi Pengukuran vibrasi pada mesin rotasi secara keseluruhan (overall) dilakukan mulai dari bantalan (bearing) komponen penggerak (seperti motor) sampai kepada bantalan komponen yang digerakan. Tabel 2. ISO 2372 Batasan Tingkat Vibrasi Mesin Rotasi

Tabel 1. Perbandingan Konsep Pemantauan Kondisi Vibrasi Dengan Indikator Lainnya Jenis AliAnalisa T P Gangguan ran Oli Tidak balance Misalignme X nt Bent Shaft Kerusakan Elemen X X Rolling Bearing Kerusakan X X X X Journal Bearing Kerusakan atau X keauasan gigi Mechanical looseness Noise Cracking Keterangan : T = temperatur, P = tekanan.

Vibrasi X X

X

X

X

X X X

Bantalan merupakan tempat semua beban mesin bertumpu. Sehingga setiap adanya perubahan atau gangguan mekanis yang terjadi pada mesin, maka bantalan yang paling dulu menerima efeknya. Efek yang paling dominan akan terasa adalah munculnya getaran (vibrasi). Vibrasi yang terus menerus dapat menimbulkan fatiq pada komponen bantalan, sehingga lama kelamaan dapat menimbulkan kerusakan permanen pada bantalan dan bahkan merembes pada komponen lainnya. Oleh 2

Tabel 3. Standar Charlote Yang Menggambarkan Beberapa Bentuk Spektrum Vibrasi

Kemudian hasil pengukuran dibandingkan dengan kondisi normal vibrasi mesin atau dengan suatu vibrasi standar ISSN 1410-3680

Identifikasi Penyebab Getaran Tinggi Pada Salah Satu Peralatan Pembangkit Listrik (Iwan Setiyadi)

______________________________________________________________________________ (seperti ISO 2372 , Charlote, dan satandar lainnya). Dari hasil perbandingan ini akan diketahui tingkat kesehatan mesin tersebut. Tabel 2 dan 3 berikut masing-masing adalah standar vibrasi internasional yang menunjukkan tingkat kelayakan vibrasi suatu mesin rotasi dan standar bentuk spektrum vibrasi yang menggambarkan gejala kerusakannya.

Gambar sketsa pulverizer beserta posisi bantalan tempat sensor vibrasi diletakkan dapat dilihat pada Gambar 2.

10V, H, A

MILL METODE PENELITIAN Tahapan Penelitian PULVERIZER

8V, H, A

GEAR BOX 2 9V, H, A

Mengumpulkan data histories perawatan PULVERIZER

6V, H, A

4V, H, A GEAR BOX 1

5V, H, A

Pengambilan Data Vibrasi Pada Pulverizer meliputi : o o

7V, H, A

Severity (besar nilai vibrasi overall) Spektrum Vibrasi

3V, H, A

2V, H, A

MOTOR

- Analisis Data 1V, H, A Hasil & Rekomendasi

Gambar 1. Skema Tahapan Penelitian Jenis dan Data Mesin Rotasi Jenis mesin rotasi yang dipantau dan diteliti adalah pulverizer (ball mill) yang berfungsi untuk penghancur batu bara. Adapun data yang berkaitan dengan pulverizer adalah : ¾ Kecepatan motor : 740 rpm. ¾ Dari motor ke mill dihubungkan dengan 2 set gear box, dengan data sebagai berikut : o Gear box 1 : (N1=32 teeth, N2=154 teeth) dg kecepatan putar menjadi V5= 155 rpm o Gear box 2 : (N3=28 teeth, N4=222 teeth) dg kecepatan putar menjadi V9= 19,37 rpm ¾ Posisi : Horizontal shaft. ¾ Jenis bearing : posisi 1 = NJ224, 2 = N.228 & 6228, 3 & 4 =N.330, 5 & 6 = 22240 KW.33, 7 & 8 = 22340CCW33 dan posisi 9 & 10 = K.9331.02.00

ISSN 1410-3680

Gambar 2. Sketsa Pulverizer Beserta Bantalannya Proses Pemantauan Vibrasi ¾

¾

¾

¾

¾

Alat yang digunakan untuk melakukan pengambilan data vibrasi adalah sejenis alat portable dengan jenis Microlog CMVA 60 dan dilengkapi dengan software PRISM4. Sensor vibrasi harus diletakkan pada daerah load zone dalam hal ini pada housing bearing. Pengukuran dimulai dari komponen yang menggerakkan (dalam hal ini motor) sampai kepada komponen yang digerakkan (dalam hal ini mill). Dalam Gambar 2 terlihat bahwa pengukuran dimulai dari bearing nomor 1 sampai nomor 10. Pengukuran harus dilakukan dalam 3 posisi pengukuran, yaitu vertikal (V), horizontal (H) dan aksial (A). Parameter vibrasi yang digunakan adalah : o Velocity dengan satuan mm/s o Acceleration dengan satuan Gs o Enveloping (besaran yang dikeluarkan SKF untuk bearing) dengan satuan gE 3

M.P.I. Vol.1 No.1. April 2007, 1 - 7

______________________________________________________________________________

¾

¾

o Frekuensi awal 60 rpm o Frekuensi Akhir 30 X putaran tempat bearing diukur. Dari standar Charlote, pengaturan batas alarm yang digunakan adalah : o Low Danger Alarm (A1) = 6,5 mm/dt (Vel.), 2 Gs (Acc.) dan 2 Gs Env (Env.) o High Danger Alarm (A2) = 9,7 mm/dt (Vel.), 3,5 Gs (Acc.) dan 5 Gs Env (Env) Pengukuran dilaksanakan dalam keadaan mesin steady state.

Gambar 3. Spektrum Vibrasi Enveloping Pada Bearing 1-8 Yang Ditampilkan Secara Palogram

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Nilai Vibrasi Overall Data hasil pengukuran vibrasi yang ditampilkan adalah data yang nilai overall vibrasinya telah melebihi batas alarmnya. Nilai vibrasi yang belum melewati batas alarm dianggap kondisinya masih normal. Adapun nilai overall vibrasi hasil pengukuran tersebut dapat dilihat pada Tabel 4 berikut.

Gambar 4. Spektrum Vibrasi Pada 7HENV.

Tabel 4. Nilai Overall Vibrasi

Gambar 5. Spektrum Vibrasi Pada 7HACC.

Gambar 6. Spektrum Vibrasi Pada 7VVEL

Spektrum Vibrasi 4

ISSN 1410-3680

Identifikasi Penyebab Getaran Tinggi Pada Salah Satu Peralatan Pembangkit Listrik (Iwan Setiyadi)

______________________________________________________________________________

Gambar 7. Spektrum Vibrasi Pada 8VVEL

Gambar 8. Spektrum Vibrasi Pada 8HACC

Gambar 9. Spektrum Vibrasi Pada 3VVEL

Gambar 10. Spektrum Vibrasi Pada 4AVEL

Gambar 11. Spektrum Vibrasi Pada 5VVEL

Gambar 12. Spektrum Vibrasi Pada 5HACC

Gambar 13. Spektrum Vibrasi Pada 6VVEL

Gambar 14. Spektrum Vibrasi Pada 6AVEL

PEMBAHASAN ISSN 1410-3680

5

M.P.I. Vol.1 No.1. April 2007, 1 - 7

______________________________________________________________________________

Dari data vibrasi (Tabel 4) diketahui bahwa besar nilai overall vibrasi pada semua titik pengukuran mulai dari posisi bearing (bantalan) 1 sampai 8 telah melampaui batas low danger vibration alarm (A1) dan bahkan high danger vibration alarm (A2). Nilai vibrasi tertinggi terjadi pada posisi bearing 8 (gear box 2, lihat Gambar 2), yaitu 8VVEL sebesar 19,6 mm/dt. Nilai vibrasi ini telah melewati A1 sebesar 201,5% atau bahkan A2 sebesar 102%. Indikasi ini menunjukkan bahwa nilai vibrasi pulverizer sudah sangat tinggi, seharusnya mesin sudah dihentikan operasionalnya, karena akan dapat menimbulkan kerusakan yang lebih jauh dan akan membahayakan keselamatan. Untuk mengetahui akar permasalahan penyebab tingginya getaran, maka dari data spektrum vibrasi yang diambil dapat dilakukan analisis. Pada spektrum vibrasi yang diambil secara palogram (Gambar 3), juga dapat dilihat dan disimpulkan getaran yang signifikan terjadi ada pada posisi bearing 7 & 8 atau pada daerah gear box 2. Lebih detail lagi dapat dilihat pada semua titik pengukuran. Dari spektrum ditemukan peak yang dominan pada 4375 RPM + harmoniknya. Peak ini hampir ditemukan pada semua posisi pengukuran (Gambar 4). Berdasarkan pada standar ISO 2372 dan Charlote, maka peak yang muncul adalah berkaitan dengan GMF (gear mesh frequency) pinion gear pada gear box 2 yang jumlahnya 28 teeth. (28 X 156RPM = ± 4375RPM). Oleh karena peak yang muncul pada frekuensi 4375RPM + harmoniknya, maka dapat disimpulkan bahwa tingginya vibrasi disebabkan karena terjadi gear misalignment pada gigi pinion yang ada pada gear box 2. Analisis ini diperkuat lagi dari data spektrum vibrasi pada posisi bearing 7 & 8 (Gambar 4-8). Terlihat sumber vibrasi yang dominan berasal dari posisi pengukuran bearing 7 dan 8 dibandingkan posisi bearing pengukuran yang lainnya. (lihat Gambar sketsa mesin). Besar nilai vibrasi pada peak 4375 RPM + harmoniknya sebesar : 7VVEL : 15.5 mm/s (gb. 6) 7HACC : 0.14, 2.2, 0.31, 0.32, 0.21 Gs (gb. 5). 8VVEL :16.7 mm/s (gb. 7) 8HACC : 0.36, 0.1, 0.21, 0.17, 0.43 Gs (gb. 8). Getaran semakin tinggi, karena juga ditemukannya gejala looseness yang 6

disebabkan oleh over clearence antara sudut kontak gigi gerigi tersebut. Namun perlu juga dilakukan pengecekan terhadap bearing pendukungnya. Indikasi ini dapat dilihat pada spektrum enveloping posisi bearing 7 (Gambar 4) dan spektrum enveloping bearing 1 sampai 8 (Gambar 1). Terlihat munculnya peak pada 4375 RPM + harmoniknya, sebesar : 7HENV : 3.067, 2.99, 2.8, 1.0, 1.7 gE. Oleh karena mesin merupakan satu kesatuan (terkopel), sehingga efek vibrasi dari sumber ini mengimbas ke seluruh posisi pengukuran yang lainnya, terutama pada bearing 3-6. Dari spektrum vibrasinya (Gambar 9), terlihat juga dominan adanya peak pada 4375 RPM + harmoniknya, yang merupakan sumber getaranyang berasal dari gear box 2. Atas dasar data dan hasil analisa tersebut, maka direkomendasikan agar dilakukan pemeriksaan pada gear box 2, terutama melakukan inspeksi terhadap komponen gear pinion dan bearing pendukungnya. Perbaikan atau penggantian gear dan bearing yang tepat pada gear box 2, maka tingkat vibrasi pulverizer (mill) dapat diturunkan pada tingkat yang layak.

KESIMPULAN •





Pengukuran vibrasi harus dilakukan pada posisi load zone dalam hal ini pada posisi bantalan yang dimulai dari komponen penggerak sampai kepada komponen yang digerakkan. Hasil pengukuran dan analisis vibrasi yang dilakukan pada pulverizer di PT SS menunjukkan tingkat vibrasinya telah jauh melampaui high danger vibration alarm (A2) dan yang menjadi akar permasalahan besarnya vibrasi yang timbul adalah karena adanya gear misalignment & looseness pada gear box 2. Perlu dilakukan inspeksi & perbaikan pada gear box 2 untuk mengembalikan kondisi vibrasi pulverizer pada kondisi yang layak, sehingga dapat dioperasikan kembali.

DAFTAR PUSTAKA 1. Mitchell,J.S., Introduction to Machinery Analysis and Monitoring, Second Edition, PennWell Books, Oklahoma, 1993. 2. Barclay,J., & Wei,J., General Enveloped Acceleration Alarm/Severity Guidelines, ISSN 1410-3680

Identifikasi Penyebab Getaran Tinggi Pada Salah Satu Peralatan Pembangkit Listrik (Iwan Setiyadi)

______________________________________________________________________________ Research and Development, SKF Condition Monitoring. 3. …… , How To Understand And Buy Condition Monitoring Equipment, SKF, USA, 1993. 4. ……., Technical Associates of Charlote, Inc., ISO 2372

RIWAYAT PENULIS Iwan Setyadi, lahir di Bukittinggi pada 28 Oktober 1969. Menamatkan pendidikan S1 di ITS Surabaya dalam bidang Teknik

ISSN 1410-3680

Mesin, dan S2 di Universitas Indonesia dalam bidang Teknik Metalurgi, kekhususan Metalurgi Manufaktur. Saat ini bekerja sebagai staf Dit.P3TIP, Deputi Teknologi Industri Proses Rancang Bangun dan Rekayasa. Penulis selama lebih kurang 3 tahun (1998-2001) menjadi supervisor SKF condition (vibration) monitoring di beberapa Industri Pembangkit Listrik, Pulp & Paper serta Semen dalam melaksanakan program perawatan prediktif melalui metode analisa vibrasi.

7

M.P.I. Vol.1 No.1. April 2007, 8 - 14

______________________________________________________________________________ BANTALAN AKSIAL SEGMEN PADA MESIN TURBIN PEMBANGKIT LISTRIK H. Agus Suhartono B2TKS, BPPT Abstract Research was conducted on the segment axial bearings, which consist of original bearings and substitutive bearings in order to assess the quality of the products. Detail investigations and specifics examinations had been carried out to characterize the lining layer and the metal backing of the bearing. The experimental results showed that the substitutive bearings couldn’t meet the technical requirement due to the lack of quality of mechanical properties. The inferior quality of substitutive bearings is as a result of the relative poor mechanical properties of the lining layer and of the metal backing of the segment axial bearing pads. The liner of the substitutive bearing pads were manufactured by sintering instead of casting process that lead to the low hardness number i.e. low wear resistance. The brass metal that was used as metal backing of the substitutive axial bearing was most likely using insufficient alloying element (Zn) that produce low-grade mechanical property. Kata Kunci : Pembangkit listrik, turbin, bantalan aksial, komponen

PENDAHULUAN Penelitian ini dilakukan untuk pemilihan bantalan yang digunakan pada turbin gas untuk pembangkit listrik yang mengalami beban dan putaran yang tinggi. Pada mesin pembangkit tidak diijinkan untuk menghentikan operasi dalam waktu yang singkat karena pada saat penghentian dan penyalaan atau sebaliknya (start-stop dan stop-start) dapat menimbulkan regangan yang tinggi akibat gardien suhu yang besar, sehingga dapat memperpendek umur komponen-komponen turbin[1]. Oleh karena itu dalam penggantian harus dipilih komponen yang memiliki desain maupun material yang handal yang dapat bekerja tanpa terjadi kerusakan hingga waktu yang telah ditentukan. Demikian juga dalam pemilihan bantalan yang merupakan komponen vital sebagai penahan gaya harus dilakukan dengan seksama dengan memperhatikan pertimbangan teknis dan material sehingga kerusakan dini tidak terjadi.

TEORI Sistem bantalan (bearing) berfungsi sebagai penahan atau penerus gaya dari komponen-komponen yang bergerak relatif satu sama lain, terutama adalah sumbu dan 8

roda, pada mesin-mesin (baik tegak lurus, parallel atau miring terhadap sumbu putar) dan meneruskannya pada pondasi, chasing atau komponen lain [2]. Beban yang bekerja umumnya adalah beban dinamis, statis atau berputar dan sering juga berupa hentakan-hentakan, dengan besar, dan arah, yang bervariasi sehingga kadang harus ditopang oleh beberapa bantalan dengan fungsi yang berbeda-beda. Bantalan aksial adalah bantalan untuk menahan gaya aksial dan menstransfer gaya dalam arah aksial. Bantalan ini umumnya digunakan pada sumbu roda turbin yang tegak lurus atau roda-roda kapal untuk menahan baut geser yang umum digunakan pada mesin yang berat. Bantalan yang diteliti merupakan bantalan aksial[2] yang digunakan untuk menahan beban berat dan putaran tinggi. Bantalan geser segmen ini merupakan bantalan aksial yang paling kuat menahan beban. Lokasi penggunaan bantalan aksial pada turbin gas ditunjukkan pada Gambar 1, sedangkan pada Gambar 2 ditunjukkan detail konstruksi dari bantalan segmen yang diteliti. Permukaan bantalan yang berbentuk cincin dibagi menjadi segmen-segmen tunggal yang dapat berjungit. Mekanisme ini dimungkinkan dengan sisi yang dapat berjungkit, yang ditunjang dengan pasak atau bola-bola dengan arah pergerakan di ISSN 1410-3680

Bantalan Aksial Segmen Pada Mesin Turbin Pembangkit Listrik (H.Agus Suhartono)

______________________________________________________________________________ tengah-tengah dari bagian belakang bantalan, sehingga saat roda berputar bantalan tersebut miring dan di antara bantalan-bantalan tersebut terbentuk celah yang akan terisi oleh minyak pelumas. Untuk setiap bantalan pada tiap putaran dengan sendirinya membentuk celah pelumasan untuk dirinya sendiri. Dalam keadaan tidak bekerja segmen tersebut sekaligus merupakan permukaan bebas. Gambar 3 menunjukkan mekanisme kerja bantalan aksial tersebut. Jenis bantalan aksial ini terutama dipakai pada mesin-mesin besar.

Gambar 1. Letak Bantalan Aksial Pada Komponen Turbin Gas [3]

Gambar 2. Gambaran Detail Dari Sistem Bantalan Aksial Segmen

Bahan bantalan umumnya dibuat dengan paduan nonferous, dengan sifat fisik dan mekanik yang bervariasi, pada beberapa kejadian digunakan besi tuang kelabu dan bahan non logam, yang mempengaruhi penentuan bahan yang digunakan untuk logam induknya (backing metal). Pengujian kekerasan dan uji tarik dapat memastikan kemampuan komponen dalam mempertahankan bentuk pada saat dibebani

[2]

Berdasarkan metode pembuatan bantalan dibagi menjadi 2 macam yaitu bentuk rigit dan bentuk pelekatan 2 logam atau lebih. Bantalan rigit merupakan bentuk yang paling mudah dalam pembuatannya. Bantalan ini dibuat dari material berkekuatan tinggi, umumnya dibuat dari paduan tuang Cu-Sn dan Cu-Zn atau besi tuang kelabu, dengan teknik penuangan gravitasi atau pengecoran sentrifugal. Bantalan ini dapat juga dibuat dari material pipa hasil ekstrusi. Bentuk bantalan lekatan. Pada bantalan tersebut lapisan logam (lining) dituang di atas logam induk dari kuningan, baja, baja tuang atau besi tuang kelabu. Ikatan yang terjadi adalah akibat dari ikatan antar logam atau akibat efek penguncian mekanis.

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

[4]

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah komponen-komponen bantalan yang telah terpasang dan dipakai beroperasi pada mesin turbin gas (original), dan beberapa komponen bantalan substitusi. Dari kelompok komponen tersebut kemudian secara acak diambil contoh untuk diteliti. Penelitian ini dilakukan untuk penentuan dan verifikasi bantalan substitusi yang akan digunakan pada turbin gas yang mengalami beban dan putaran tinggi. Komponen tersebut diperlihatkan pada Gambar 4. Penelitian dilakukan di Balai Besar Teknologi Kekuatan Struktur BPPT, dan laboratorium lain yang kompeten. Pengujian yang dilakukan meliputi: karakterisasi bahan baku dan analisa komposisi kimia, pengujian kekerasan serta metalografi.

Gambar 3. Melkanisme Kerja Bantalan Aksial [2] ISSN 1410-3680

9

M.P.I. Vol.1 No.1. April 2007, 8 - 14

______________________________________________________________________________ kualitatif. Pengamatan metalografi dari komponen memungkinkan evaluasi cara pembuatan komponen tersebut. Pemeriksaan komposisi kimia dimaksudkan untuk mengetahui unsur-unsur yang terkandung dalam material dan komponen. Pemeriksaaan komposisi kimia dilakukan dengan metode spektrum analisis. Permukaan obyek diberi arus listrik hingga terbakar dan mengeluarkan sinar. Spektrum sinar-sinar tersebut ditangkap dan berdasarkan ferkuensi dan panjang gelombang dianalisis untuk mengetahui kandungan unsur-unsur dalam material yang diuji. Pemeriksaaan dilakukan hanya pada lapisan logam induk (backing steel). Logam lining pada komponen original dan substitusi tidak dilakukan pemeriksaan komposisi kimia karena komponen tersebut masih digunakan pada mesin, sedangkan pemeriksaan komposisi menyebabkan cacat permukaan pada lining bantalan yang diperkirakan dapat mengganggu kinerja sistem.

20 cm (a) Tampak Muka

20 cm

HASIL DAN PEMBAHASAN

(b) Tampak Belakang Gambar 4. Komponen Bantalan Original (kiri) Dan Substitusi (kanan) Pengujian kekerasan dilakukan, dengan menggunakan alat uji kekerasan mikro (micro hardness tester) dengan beban 1 kg dan indentor Vickers. Pada benda uji dilakukan 3 kali penjejakan pada 3 lokasi yang berbeda yaitu pada logam induk (metal backing) dan logam babbit bantalan (lining). Nilai kekerasan dihitung dengan rumus perhitungan Vickers:

HVN =

1,854 ⋅ P d2

(kg / mm ) 2

P = beban yang diberikan (kg) d = diagonal rata-rata jejak (mm) Pengamatan metalografi difokuskan pada daerah pada lapisan logam induk (metal backing) dan logam babbit bantalan (lining) Pada penelitian dan karakterisasi ini dilakukan pemeriksaan metalografi kualitatif. Proses metalografi dilakukan dengan metode replika agar komponen yang diperiksa masih dapat dipakai. Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui fase, ukuran butir, bentuk butir dan distribusinya secara 10

Perbedaan kualitas masing-masing komponen diketahui dengan perbandingan hasil pengujian tersebut di atas. Uji kekerasan dilakukan pada bagian bantalan dengan lokasi uji kekerasan ditunjukkan pada Gambar 5. Hasil pengujian ditunjukkan pada Tabel 1. Pengamatan metalografi difokuskan pada permukaan lining dan logam induk (metal backing). Hasil pengujian diperlihatkan pada Gambar 6 hingga 9 untuk lapisan lining dan Gambar 10 dan 11 untuk logam induk (metal backing). Sedangkan hasil pengujian komposisi kimia ditunjukkan pada Tabel 2 dan Tabel 3. Pengujian kekerasan dan metalografi memberikan indikasi bahwa lapisan lining bantalan dari kedua komponen dibuat dengan cara yang berbeda, karena nilai kekerasan dan foto mikrostruktur yang didapat memberikan hasil yang jauh berlainan. Lapisan lining bantalan substitusi memiliki nilai kekerasan yang lebih rendah dibanding lapisan lining bantalan original (lihat sketsa posisi uji Gambar 5a dan Tabel 1). Secara kuantitas nilai kekerasan lapisan lining komponen substitusi sebesar 64% dari nilai kekerasan komponen original. Lapisan lining pada bantalan original memiliki struktur dendritik yang menunjukkan bahwa lining tersebut dihasilkan dari proses penuangan logam. Sedangkan struktur mikro

ISSN 1410-3680

Bantalan Aksial Segmen Pada Mesin Turbin Pembangkit Listrik (H.Agus Suhartono)

______________________________________________________________________________ lapisan lining pada bantalan substitusi menyerupai struktur logam yang dihasilkan dari proses pemanggangan (sintering) campuran beberapa jenis serbuk logam. Lining bantalan substitusi diduga kuat dibuat dengan proses powder metalurgi. Proses ini kurang menjamin terjadinya pelarutan yang sempurna antar unsur dalam paduan tersebut, seperti tampak pada Gambar 8 dan 9, yang memperlihatkan fasa dominan

berwarna putih tidak sepenuhnya saling melarutkan dengan fasa disekitarnya. Hal tersebut dapat mengakibatkan kekerasan dari lapisan lining lebih rendah dibandingkan dengan komponen original yang dibuat dengan proses penuangan yang memiliki paduan yang saling melarutkan diantara unsur-unsurnya, lihat Gambar 6 dan 7.

A

B Gambar 5. Sketsa Lokasi Titik-Titik Pengujian Kekerasan Pada Permukaan Lining Dan Metal Backing Dari Bantalan Tabel 1. Hasil Uji Kekerasan Pada Bagian-Bagian Bantalan Lapisan lining

Logam induk (metal backing) Posisi A

Logam induk (metal backing) Posisi B

No

Komponen Original (HVN)

Komponen Substitusi (HVN)

Komponen Original (HVN)

Komponen Substitusi (HVN)

Komponen Original (HVN)

Komponen Substitusi (HVN)

1

72

42

106

49

106

40

2

67

48

102

50

109

40

3

68

42

106

48

107

40

Rata-rata

69

44

104,7

49

107,3

40

Gambar 6. Mikrostruktur Dari Lapisan Lining Bantalan Original, Perbesaran 70 x

ISSN 1410-3680

Gambar 7. Mikrostruktur Dari Lapisan Lining Bantalan Original, Perbesaran 140 x

11

M.P.I. Vol.1 No.1. April 2007, 8 - 14

______________________________________________________________________________ Tabel 2. Hasil Uji Komposisi Kimia Metal Backing Bantalan Original

Gambar 8. Mikrostruktur Dari Lapisan Lining Bantalan Substitusi, Perbesaran 70 x

Gambar 9. Mikrostruktur Lapisan Lining Bantalan Substitusi, Perbesaran 140 x

Gambar 10. Mikrostruktur Dari Logam Induk (Metal Backing) Bantalan Original, 66x

Gambar 11. Mikrostruktur Dari Logam Induk (Metal Backing) Bantalan Substitusi, 70x

12

Element

% Weight

Cu

rest

Zn

>5.25

Sn

0.021

Pb

0,015

Mn

0.026

Al

0.077

Fe

0.046

Si

0.037

Ni

<0.00

P

<0,00

Logam sinter, umumnya dibuat dari serbuk Cu, Sn, Zn dan Pb dengan atau tanpa tambahan grafit, mula-mula dilakukan pengepresan dan kemudian dipanaskan hingga suhu 750 oC –1000 oC, atau dipres pada suhu tinggi. Pori-pori halus di sekeliling butiran dapat terisi hingga 35 % volume oleh minyak pelumas. Saat digunakan oli dalam pori-pori tersebut mengalir keluar akibat pengaruh panas dan efek hisapan dari permukaan geser. Saat pendinginan minyak yang keluar tersebut diserap kedalam bantalan kembali. Batalan ini disebut sebagai bantalan yang dapat melumasi sendiri tetapi memiliki kekuatan yang lebih kecil dibanding bantalan dari hasil penuangan logam dan peka terhadap benturan, serta terhadap sudut-sudut tajam. Tabel 3. Hasil Uji Komposisi Kimia Metal Backing Bantalan Substitusi Element Cu Zn Sn Pb Mn Al Fe Si

% Weight rest >5.25 0.02 0,34 0.03 0.083 0.035 0.049

Ni P

<0.00 <0,00

Jenis bantalan ini cocok digunakan untuk komponen yang memiliki kecepatan putar rendah (u< 1 m/s) dan alat-alat dengan ISSN 1410-3680

Bantalan Aksial Segmen Pada Mesin Turbin Pembangkit Listrik (H.Agus Suhartono)

______________________________________________________________________________ beban serta getaran yang rendah. Misal bantalan pada alat angkat, dan alat pertanian. [2] Foto struktur mikro pada lining original menunjukkan bahwa lapisan tersebut dibuat dengan proses pengecoran. Paduan tuang CuSn(Zn, Pb) memiliki sifat mekanis dan kemampuan pelumasan yang baik dan ketahanan akan keausan yang tinggi. Paduan ini cocok digunakan untuk pembebanan tinggi dan kasar. Bantalan ini tidak diijinkan untuk mendapat tekanan dari tepian yang tajam karena kekerasan yang relatif tinggi oleh karena itu poros harus dikeraskan dan lubang pada bantalan dikerjakan secara halus. Nilai kekerasan logam induk (metal backing) pada posisi tengah komponen substitusi (lihat titik A pada sketsa posisi uji gambar 5b) sebesar 38 % dari komponen original. Kekerasan logam induk dari komponen substitusi pada bagian tepi (lihat Gambar 5 b) sebesar 46 % dari komponen original. Kekerasan yang lebih rendah pada bantalan kuningan logam induk dari bantalan substitusi kemungkinan besar disebabkan oleh perbedaan kandungan Zn dalam logam induk Cu. Zn dapat larut dalam bentuk larutan padat pada logam induk Cu. Kelarutan logam seng dalam tembaga relatif besar walaupun struktur kristal keduanya berbeda. Seng memiliki struktur kristal close packed hexagonal (CPH) sedangkan tembaga memiliki struktur kristal Face Center Cubic (FCC). Kelarutan yang tinggi tersebut disebabkan akibat perbedaan ukuran atom yang sangat kecil yaitu 4%.

75 70 65 60 55 50 45 40 35 30 0

10

20

30

40

50

Ka da r Zn (% )

Gambar 12. Pengaruh Unsur Seng (Zn) Terhadap Kekerasan Paduan Kuningan (Cu-Zn) [6] Larutan padat seng dalam tembaga akan mempengaruhi sifat mekanis paduan Cu-Zn sesuai kandungan Zn dalam paduan. Hubungan antara kandungan Zn dalam ISSN 1410-3680

kuningan dan kekerasan dapat dilihat pada Gambar 12. Nilai kekerasan meningkat seiring dengan peningkatan kadar Zn dalam kuningan. Kekerasan yang lebih rendah pada bantalan tembaga logam induk lokal selain akibat perbedaan kandungan Zn dalam logam kuningan tersebut juga disebabkan oleh butiran yang lebih kasar dibanding bantalan original. Logam dengan butir yang halus diketahui memiliki kekuatan yang lebih tinggi dibandingkan logam yang lebih kasar [5] .

Gambar 13. Hubungan Hardness Dan Keausan Untuk Material Tanpa Paduan [7] Kekerasan merupakan sifat ketahanan bahan terhadap deformasi plastis (indentasi). Deformasi merupakan pergerakan dislokasi. Pergerakan dislokasi terjadi dalam butir dengan lebih mudah dan pada saat mencapai batas butir dislokasi tersebut akan terhambat pergerakannya. Hambatan terhadap dislokasi menyebabkan penumpukan dislokasi pada batas butir. Tumpukan tersebut menyebabkan gaya tolak yang bekerja untuk melawan gerakan dislokasi berikutnya. Sehingga deformasi selanjutnya akan lebih sulit. Butiran dengan ukuran lebih kecil berarti penghalang pergerakan dislokasi semakin banyak dan jarak antar penghalang tersebut semakin dekat sehingga semakin menyulitkan terjadinya deformasi yang mengakibatkan peningkatan kekerasan dan sifat mekanis lainnya. Material lapisan lining, dan logam induk (metal backing) dari bantalan original dan lokal memiliki perbedaan kekerasan yang cukup tinggi. Kekerasan memiliki korelasi yang linier terhadap ketahanan aus, lihat Gambar 13[6], sehingga pada pemakaian komponen subatitusi akan lebih cepat aus dibanding komponen original. Ketahanan/rigiditas dalam mempertahankan bentuk komponen pada saat dibebani dapat diprediksi dari besar kekuatan luluh (batas kekuatan pada 0,2% regangan), 13

M.P.I. Vol.1 No.1. April 2007, 8 - 14

______________________________________________________________________________ modulus elastisitas (E) atau nilai kekerasan . Bahan yang lunak memiliki ketahanan terhadap deformasi dan keausan yang lebih rendah. Pemasangan suatu komponen bantalan yang lunak pada mesin yang menahan gaya yang tinggi dapat mengakibatkan bantalan tersebut berubah bentuk dan memiliki umur pakai (life time) yang pendek saat turbin beroperasi. [2]

KESIMPULAN Penelitian terhadap bantalan segmen memberikan fakta dan kesimpulan sebagai berikut : • Bantalan substitusi memiliki sifat mekanik yang lebih rendah dibanding bantalan asli yang terpasang pada mesin, baik pada lapisan lining maupun logam induk (metal backing). • Pada komponen original pembuatan lapisan lining dilakukan dengan pengecoran sedangkan pada bantalan substitusi dilakukan dengan preses metalurgi serbuk (sintering). • Paduan kuningan dari logam induk komponen original kemungkinan besar memiliki kandungan Zn yang lebih tinggi dibanding komponen substitusi yang mengakibatkan kekerasannya lebih dari 2 kali komponen substitusi. • Komponen-komponen bantalan substitusi tersebut sebaiknya tidak dipasangkan pada mesin karena dapat menurunkan kehandalan turbin dalam beroperasi, karena umur pakainya dipastikan jauh lebih pendek dibandingkan komponen original.

14

DAFTAR PUSTAKA 1. Dieter E.G., Metalurgi Mekanik, terj. Sriati Japri, Jakarta , 1990 2. Dietzel, Fritz, Turbin, Pompa dan Kompresor, Alih bahasa Dakso Sriyono, Penerbit Erlangga, Jakarta, 1993. 3. Glaeser, W.A., Friction and Wear of Carbon and Alloy Steels, ASM Handbook Vol.18, Friction, Lubrication and Wear Technology, ASM International, USA, 1998 4. Matek, W, Muhs D., Wittel, H., Becker M., Maschinenelemente, Viewegs, Braunswchweig, 1994. 5. Robinson, P., Properties of Wrought Coppers and Copper Alloys, ASM Handbook Vol. 2, Properties and Selection: Non ferrous Alloys and Special-Purpose Materials, ASM International, USA, 1998 6. Shlyakin, P., Steam Turbines, Theory and Design, Foreign Languages Publishing House, Moscow, USSR. 7. Viswanathan, R., Damage Mechanisms and Life Assessment of HighTemperature Components, ASM International Metals Park, Carnes Publication Services, Inc., Ohio, USA 1989.

RIWAYAT PENULIS H. Agus Suhartono, lahir di Klaten, 03 September 1967. Tamat program S-3, Betriebsfestigkeit, Fakultaet Maschinenbau Technische Universitaet Clausthal pada tahun 2000. Saat ini bekerja sebagai Kepala Laboratorium Uji Mekanik, di Balai Besar Teknologi Kekuatan Struktur BPPT.

ISSN 1410-3680

Identifikasi Dan Pengendalian Potensi Bahaya Kebisingan Pada Proses Drawing Industri Kabel Listrik (Muhammad Gunara)

_______________________________________________________________________________

IDENTIFIKASI DAN PENGENDALIAN POTENSI BAHAYA KEBISINGAN PADA PROSES DRAWING INDUSTRI KABEL LISTRIK Muhammad Gunara Peneliti BPP Teknologi P3TIP

Abstract Safety And Health Work to represent very important matter to be paid attention and executed to remember this Working Safety and Health interconnected sliver with element of systems in it like material, machine, method work and which do not less important element of human being where mentioned as asset which is good for taking care of the continuity of a company. Related element above in an activity produce to have opportunity to evoke the danger potency, where potency of the danger can expand again become form of loss such as those which met Process Drawing for making of strand of metal of electrics of aluminums or copper. Loss experienced of decrease function of hearing and trouble of exhalation worker resulted influence of noise of arising out from machine of drawing and dirt of aluminums and copper. Have of course the loss require being evaluated form of handling and systems of operation in order not to continue to larger ones loss. Kata Kunci : Keselamatan dan kesehatan Kerja, Kebisingan, Proses Drawing

PENDAHULUAN Pelaksanaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja adalah salah satu bentuk upaya untuk menciptakan tempat kerja yang aman, sehat, bebas dari pencemaran lingkungan, sehingga dapat mengurangi dan atau bebas dari kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang pada akhirnya dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas kerja. Salah satu obyek penelitian ini adalah kegiatan proses drawing (penarikan kawat) pada sebuah perusahaan X yang bergerak dalam bidang pembuatan kabel listrik di wilayah Jabotabek. Keadaan lingkungan kerja yang dirasakan oleh para pekerja di perusahaan ini masih dirasakan kurang, karena adanya keluhan operator pada mesin drawing akibat pengaruh kebisingan yang timbul saat proses drawing berjalan. Kebisingan ini timbul akibat kontak input material (aluminium atau tembaga) dengan roll guide-nya serta kebisingan yang timbul dari mesin drawing itu sendiri, sehingga dengan adanya kebisingan tersebut pendengarannya terganggu yaitu telinga sering mendengung setelah selesai melakukan pekerjaannya dan bahkan ada beberapa orang yang mengeluh sulit untuk ISSN 1410-3680

mendengar orang yang berbicara pelan. Selain itu, mereka mengeluh terganggu pernafasannya yaitu sering merasa agak sesak/kurang lega untuk bernafas serta ternyata mereka mengaku bahwa dirinya seperti mudah sekali terserang penyakit meskipun sakit ringan. Kebisingan di perusahaan dapat juga ditimbulkan dari mesin-mesin untuk proses produksi dan alat-alat lain yang dipakai untuk melakukan pekerjaan, misalnya mesin potong, gergaji, generator, mesin-mesin produksi, dll. Sumber-sumber suara tersebut harus selalu diidentifikasi dan dinilai kehadirannya agar dapat dipantau sedini mungkin dalam upaya mencegah dan mengendalikan pengaruh pemaparan kebisingan terhadap pekerja. Daya dengar seseorang di dalam menangkap suara dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain faktor internal maupun eksternal. Faktor internal seperti umur, kondisi kesehatan dan riwayat penyakit yang pernah diderita. Sedangkan faktor eksternal meliputi tingkat intensitas suara di sekitarnya, lamanya pemajanan dengan kebisingan, karakteristik kebisingan serta frekwensi suara yang ditimbulkan. Dan yang paling menonjol diantara kedua faktor ini 15

M.P.I. Vol.1 No.1. April 2007, 15 - 22

______________________________________________________________________________ adalah faktor umur dan lamanya pemajanan terhadap kebisingan. Secara umum kebisingan dapat memberikan dampak negatif terhadap pekerja yang dikelompokkan menjadi 2 bagian yaitu dampak auditorial (Auditory Effects), yaitu dampak yang berhubungan langsung dengan fungsi (perangkat keras) pendengaran, seperti hilangnya / berkurangnya fungsi pendengaran, suara dering/berfrekwensi tinggi dalam telinga. Dan dampak non-auditory (Non-auditory Effects, dampak yang bersifat psikologis, seperti gangguan cara berkomunikasi, kebisingan, stress, dan berkurangnya kepekaan terhadap masalah keamanan kerja. Penyakit akibat kerja dan kecelakaan kerja untuk kalangan pekerja di Indonesia belum terdata dengan baik. Sebagai faktor penyebab, sering terjadi karena kurangnya kesadaran pekerja dan kualitas serta ketrampilan pekerja yang kurang memadai. Banyak pekerja yang meremehkan resiko kerja, sehingga tidak menggunakan alat-alat pengaman walaupun sudah tersedia. Temuan mengenai keadaan lingkungan kerja seperti diatas sangat penting untuk diperhatikan karena menyangkut manusia sebagai elemen vital yang mendukung proses produksi dapat tercipta. Tanpa adanya perhatian mengenai hal tersebut tentunya akan menimbulkan losses atau kerugian, baik dari sisi operator itu sendiri maupun terhadap perusahaan. Untuk itu perlu dilakukan identifikasi bahaya yang dapat timbul dan dapat memberikan bentuk penanganan serta

pengendaliannya dengan berdasar pada konsep Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang sesuai.

METODE PENELITIAN Tempat kerja yang bising dan penuh getaran bisa mengganggu pendengaran dan keseimbangan para pekerja. Gangguan yang tidak dicegah maupun diatasi dapat menimbulkan kecelakaan, baik pada pekerja maupun orang disekitarnya. Masalah ini perlu lebih diperhatikan untuk menghindarkan kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Kebisingan sampai pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pada fungsi pendengaran manusia. Resiko terbesar adalah hilangnya pendengaran (hearing loss) secara permanen. Dan jika resiko ini terjadi (biasanya secara medis sudah tidak dapat diatasi), sudah tentu akan mengurangi efisiensi pekerjaan si penderita secara siginifikan. Bising dan getaran dapat merusak koklea di telinga bagian dalam sehingga mengganggu pendengaran. Sedang kerusakan yang ditimbulkan pada syaraf vestibular di telinga dalam menyebabkan gangguan keseimbangan. Lingkungan dengan kondisi kerja yang mengakibatkan seorang pekerja harus menghadapi tingkat kebisingan yang lebih besar dari 85 dB selama lebih dari 8 jam memiliki kategori tergolong sebagai high level of noise related risks.

Tabel 1. Peluang / Kemungkinan Peluang

Akibat

A = Hampir pasti akan terjadi / Almost certain

1 = Tidak ada cedera, kerugian materi sangat kecil

B = Cenderung untuk terjadi / Likely

2 = Cedera ringan, kerugian materi sedang

C = Mungkin dapat terjadi / Moderate

3 = Hilang hari kerja, kerugian cukup besar

D = Kecil kemungkinan dapat terjadi / Unlikely

4 = Cedera yang menimbulkan cacat / hilang fungsi tubuh secara total, kerugian materi besar

E = Jarang terjadi / Rare

5 = Menyebabkan kematian, kerugian materi sangat besar

Untuk mengidentifikasi resiko ini dapat dilakukan dengan 3 cara yaitu: secara kualitatif, semikuantitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif yaitu menganalisis dan 16

menilai suatu resiko dengan cara membandingkan terhadap suatu deskripsi/uraian dari parameter (peluang dan akibat) yang digunakan. Untuk analisis ISSN 1410-3680

Identifikasi Dan Pengendalian Potensi Bahaya Kebisingan Pada Proses Drawing Industri Kabel Listrik (Muhammad Gunara)

_______________________________________________________________________________ kombinasi dari kemungkinan dan peluang. Bila suatu resiko tidak dapat diterima, maka harus dilakukan upaya pengendalian agar tidak terjadi kerugian yaitu dengan cara Eliminasi, Substitusi, Rekayasa Teknik, Administratif dan Alat Pelindung Diri (APD). Penilaian tingkat resiko dalam penelitian ini, dianalisis dengan menggunakan metode Matriks Penilaian Resiko dari Australian Standard dan New Zealand Standard 4360:1999 (lihat Tabel 1 & Tabel 2).

ini menggunakan metode matriks. Analisis semikuantitatif, pada prinsipnya sama dengan analisis kualitatif, perbedaannya pada metode ini uraian/deskripsi dari parameter yang ada dinyatakan dengan nilai/score tertentu. Sedangkan analisis kuantitatif, yaitu dengan menentukan nilai dari masing-masing parameter yang didapat dari hasil analisis data yang representatif. Pengertian resiko yang dimaksudkan disini adalah kesempatan untuk terjadinya cedera/kerugian dari suatu bahaya, atau

Tabel 2. Matriks Penilaian Resiko Akibat Peluang

1

2

3

4

5

A

H

H

E

E

E

B

M

H

H

E

E

C

L

M

H

E

E

D

L

L

M

H

E

E

L

L

M

H

H

E = Extrim Risk, memerlukan penanganan/ tindakan segera H = High Risk, memerlukan perhatian pihak senior manajemen M = Moderat Risk, harus ditentukan tanggung jawab manajemen terkait L = Low Risk, kendalikan dengan prosedur rutin

Eliminasi

Substitusi

Rekayasa Teknik

Administratif

ALAT PELINDUNG DIRI (APD)

Gambar 1. Hierarki Pengendalian Resiko (OHSAS 18001)

ISSN 1410-3680

17

M.P.I. Vol.1 No.1. April 2007, 15 - 22

______________________________________________________________________________

Eliminasi (yaitu menghilangkan suatu bahan/tahapan proses berbahaya) Substitusi, misalnya : ¾ Mengganti bahan bentuk serbuk dengan bentuk pasta ¾ Proses menyapu diganti dengan proses vakum ¾ Bahan solvent diganti dengan bahan deterjen ¾ Proses pengecatan spray diganti dengan pencelupan. Rekayasa Teknik, misalnya: ¾ Pemasangan alat pelindung mesin (machine guarding) ¾ Pemasangan general dan local ventilation ¾ Pemasangan alat sensor otomatis. ¾ Pemberian feeder untuk bahan. Setelah rencana tindakan pengendalian resiko dilakukan, maka selanjutnya perlu dipantau dan ditinjau ulang apakah tindakan tersebut sudah efektif atau belum. Bentuk pemantauan antara lain: ¾ Inspeksi ¾ Pemantauan lingkungan ¾ Audit.

HASIL PENELITIAN Pengumpulan data dan fakta-fakta yang dilakukan adalah dengan cara inspeksi kelapangan, wawancara serta pencarian data yang sudah didokumentasikan oleh departemen terkait. a) Data Usia dan Lamanya Kerja Dari hasil wawancara yang dilakukan pada operator mesin drawing dengan lama waktu kerja sekitar 7 jam efektif tersebut, bahwa memang hampir kesemua operator yang berjumlah 18 orang itu, hampir 50 % nya atau sekitar 9 orang mengalami kendala-kendala seperti yang telah disebutkan diatas dan yang menarik dari 9 orang ini usianya bermacam-macam dari umur 27 sampai dengan 35 tahun dan masa kerjanya rata-rata dari 5 sampai dengan 10 tahun bahkan ada yang hingga 15 tahun bekerja di area kerja mesin drawing ini. b) Data Nilai Kebisingan Perusahaan ini memang secara rutin melakukan kegiatan pengukuran kebisingan dengan menggunakan jasa dari pihak independent yang kompeten dalam hal tersebut. Dari data pengukuran 18

tingkat kebisingan yang telah dilakukan adalah masih dibawah Nilai Ambang Batas (NAB) 85 dB, rata-rata untuk tiap periode tertentu hasil pengukuran berada pada nilai 70 dB. Nilai tersebut masih memenuhi persyaratan yang ditentukan sehingga keadaan tersebut belum menjadikan prioritas utama bagi pihak manajemen untuk dilakukan pengendalian.

Tabel 3. Batas Waktu Pemaparan, Kebisingan Perhari Kerja, Berdasarkan Intensitas, Kebisingan, Yang Diterima Pekerja Batas Waktu Pemaparan /Hari Kerja 8

Jam

Intensitas Kebisingan (dB) 85

4

88

2

91

1

94

30

Menit

97

15

100

7.5

103

3.75

106

1.88

109

0.94

112

28.12

Detik

115

14.06

118

7.03

121

3.52

124

1.76

127

0.88

130

0.44

133

0.22

135

0.11

139

Berdasarkan NAB yang dizinkan (KepMen Tenaga Kerja No.:Kep.51/MEN/1999), besarnya ratarata adalah 85 dB untuk waktu kerja terus menerus tidak lebih dari 8 jam/hari atau 40 jam seminggu. Selanjutnya apabila pekerja menerima pemaparan kebisingan lebih dari ketetapan tersebut, ISSN 1410-3680

Identifikasi Dan Pengendalian Potensi Bahaya Kebisingan Pada Proses Drawing Industri Kabel Listrik (Muhammad Gunara)

_______________________________________________________________________________ maka harus dilakukan pengurangan waktu pemaparan seperti pada Tabel 3 dibawah ini. c) Data Kondisi Mesin. Usia mesin drawing rata-rata sudah berusia lebih dari 5 tahun. Melihat dari usia proses mesin tersebut yang berjumlah 8 buah itu, meski dilakukan tindakan preventif atau pemeliharaan rutin secara berkala, namun kegiatan tersebut lebih terarah kepada perbaikan bagian-bagian yang rusak atau penggantian beberapa bahan pendukung mesin dan bagian yang sudah aus tapi belum menjangkau kegiatan perbaikan mengenai sumber kebisingan yang timbul. d) Alat Pelindung Diri (APD) Alat pelindung diri sudah disediakan oleh perusahaan secara cuma-cuma, seperti sarung tangan (kain), ear-plug/muff, masker (kain) dan topi. Namun demikian, setelah dilakukan pengamatan ternayata kualitas dari masing-masing APD tersebut masih belum mengacu pada standar, misalnya pada sarung tangan yaitu mengenai ketebalan, kerapatan/mesh, sehingga kadangkadang operator harus merangkap sarung tangannya tersebut, begitu pula masker kain, mesh atau daya saringnya masih belum secara sempurna menangkal debu debu logam yang berterbangan sehingga meskipun telah memakainya, operator masih bisa menghirupnya hingga kadang-kadang sampai batuk. Begitu pula yang terjadi pada ear-plug/muff belum mampu mereduksi kebisingan pada tingkat kebisingan tertentu hingga operator masih perlu untuk menyelipkan kain kecil untuk disumbatkan pada telinganya. Tapi yang terbuat dari kain memang sudah melindungi kepala dari dari debu-debu logam namun belum mampu untuk melindungi dari kemungkinan kejatuhan benda logam yang lebih berat atau lebih besar. e) Input Material Dilihat dari sistim input material coil aluminium/tembaga adalah dengan sistim elevasi yaitu coil ditempatkan dengan jarak tertentu dari mesin drawing, kemudian disalurkan keatas dengan ketinggian tertentu dan dilewatkan pada sebuah rol guide untuk mengarahkan ke arah mesin. Kontak antara coil aluminium atau tembaga dengan roll yang terbuat dari besi itulah yang menimbulkan sumber bunyi hingga ke tingkat bising ISSN 1410-3680

dan lebih terasa lagi bila kecepatan (line speed) mesin ditambah. f) Material Material utama yang digunakan adalah tembaga (Cu) dan aluminium (Al) berbentuk coil (gulungan menumpuk keatas) dimana masing-masing coil Cu atau Al itu mempunyai sifat material yang berbeda-beda. Jika kebetulan memakai bahan Al yang keras, maka akan terasa sekali perbedaannya, tingkat kebisingannya akan meningkat. g) Operator Ditemukan juga saat proses berlangsung, meskipun Alat Pelindung Diri (APD) sudah disediakan, masih juga tidak dipakai, terutama ear-plug/muff dan masker dengan alasan kurang aman. h) Peran Atasan (Foreman / Supervisor / Manager) Peran foreman, Supervisor maupun Manager masih kurang terasa, dalam artian tidak secara tegas untuk menganjurkan pemakaian APD tersebut. Hal ini terlihat pada saat operator tidak menggunakan APD tidak melakukan teguran secara langsung baik secara lisan maupun tulisan dengan membiarkan operator terus tidak memakai APD selama proses drawing berlangsung. i) Lingkungan Kerja Tempat kerja di area pekerjaan drawing tersebut terbatas pada lebar dan panjang tertentu karena berhubungan dengan mesin atau fasilitas lainnya serta sirkulasi udara tidak sempurna dimana pintu yang terhubung dengan udara bebas cukup jauh dan meskipun ada yang terhubung dengan udara luar, posisinya kurang tepat sehingga bukan membantu membawa debu kearah luar area kerja, tetapi justru ada kesempatan debu untuk berbalik kearah operator bekerja atau sekedar beristirahat dengan duduk dengan pada tempat kerjanya.

PEMBAHASAN Pengaruh dari pemajanan kebisingan pada intensitas yang melebihi Nilai Ambang Batas (NAB) sudah jelas, yaitu berupa kehilangan daya dengar baik sementara maupun permanen. Semakin tinggi intensitas dan semakin lama terpajan kebisingan, maka akan semakin tinggi pula ambang dengarnya (Granjean, 1993). Tenaga kerja yang sering terpajan kebisingan, meskipun masih dibawah NAB (< 85 dB) pengaruhnya 19

M.P.I. Vol.1 No.1. April 2007, 15 - 22

______________________________________________________________________________ ditindak lanjuti yaitu dengan Metode Matriks Penilaian Resiko. Melalui analisis ini, dengan menilai peluang dan akibat, maka akan diketahui tingkat resiko yang terjadi untuk kemudian dapat diambil suatu keputusan apakah resiko tersebut dapat diterima atau tidak. Jika tidak dapat diterima, maka perlu dilakukan langkah-langkah pengendaliannya agar tidak menimbulkan kerugian yang lebih besar lagi. Dari identifikasi bahaya tersebut maka dilakukan analisis lebih lanjut untuk mengetahui nilai resikonya dapat dilihat pada Tabel 4.

terhadap daya dengar masih belum jelas. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan disimpulkan bahwa pada tingkat intensitas kebisingan < 75 dB, meskipun terpajan dalam waktu yang lama tidak dapat menyebabkan kehilangan pendengaran yang bersifat permanen. Kemungkinan faktor yang berpengaruh dalam penurunan daya dengar pekerja disebabkan karena faktor usia dan masa kerja. Berdasarkan data-data dan fakta diatas dapat kita analisis lebih lanjut untuk mengetahui sejauh mana resiko akibat kerja tersebut perlu untuk dikendalikan dan

Tabel 4. Matriks Identifikasi Bahaya Dan Akibat Akibat

Proses Drawing

Bahaya

Akibat

Pengendalian yang telah ada

Debu logam Cu & Al

Terhirup operator mesin drawing dan operator lain yang area kerjanya berdekatan.

Pemakaian APD (Masker kain)

Suara bising mesin & roll guide

Telinga terasa berdengung hingga fungsi pendengaran berkurang

Penyediaan APD (ear-plug/muff)

Tabel 5. Matriks Penilaian Resiko Bahaya

Penilaian

Resiko

Akibat

Peluang

Tingkat Resiko

Debu logam Cu & Al

3

B

H

Suara bising mesin & roll guide

3

B

H

Dari hasil penelitian tersebut diatas, maka bahaya debu dari Cu atau Al dan kebisingan yang diakibatkan oleh mesin dan roll guide mempunyai tingkat resiko H (High Risk/Resiko Tinggi), yang artinya bahwa keadaan diatas memang perlu pengendalian dengan urgensi yang cukup tinggi karena bisa berakibat fatal bagi pelaksana atau operator maupun terhadap perusahaan secara tidak langsung.

20

SOLUSI Bila resiko tersebut tidak dapat diterima, maka harus dilakukan upaya pengendalian agar tidak menimbulkan kerugian. Bentuk tindakan pengendalian yang memungkinkan bisa dilaksanakan adalah dengan cara Rekayasa Engineering, Pengendalian Administratif dan Peningkatan Penyediaan APD. j) Rekayasa Engineering ¾ Yaitu berusaha untuk meminimalisir terutama sumber kebisingan dari roll ISSN 1410-3680

Identifikasi Dan Pengendalian Potensi Bahaya Kebisingan Pada Proses Drawing Industri Kabel Listrik (Muhammad Gunara)

_______________________________________________________________________________ ¾

guide input material, yaitu bisa merubah desain roll guide dengan bahan peredam bunyi yaitu melapisi roll dengan karet khusus yang tahan terhadap gesekan dan jika pelapis tersebut tidak dapat terhindar dari aus karena pemakaian yang cukup lama, maka dilakukan juga penggantian karet secara berkala. ¾ Adapun kebisingan yang timbul dari mesin itu sendiri bisa diminimalisir dengan penggantian oli transmisi secara berkala dan dengan spesifikasi yang benar serta merubah parameter proses drawing, yaitu dengan melakukan penyusunan ulang rangkaian die sebagai pembentuk cetakan pada ¾ proses drawing yang berfungsi sebagai pembentuk diameter kawat sehingga dapat mengurangi kebisingan. ¾ Dapat juga dilakukan modifikasi mesin, seperti pemberian dudukan mesin dengan material yang memiliki koefisien redaman getaran lebih tinggi. ¾ Lingkungan kerja diusahakan mendapat jendela-jendela dari arah tembok ataupun menambah exhaust untuk membuang debu-debu logam keluar (lay-out). k) Pengendalian Administratif Yaitu dengan membuat suatu aturan yang mewajibkan pelaksana mesin drawing untuk menggunakan APD dalam setiap proses drawing dalam kaitannya menghadapi bahaya, baik debu Cu dan Al serta kebisingan, juga mewajibkan bagi siapa saja yang berada dekat area mesin drawing tersebut. Jika perlu dibuatkan aturan berupa sanksi bagi siapa saja yang tidak melaksanakannya. Selain itu, bisa dibuatkan dan dipasang pada posisi-posisi tertentu yang mudah dilihat rambu-rambu mengenai penggunaaan APD. l) Alat Pelindung Diri (APD) Pengendalian yang sudah ada dengan penyediaan APD perlu ditingkatkan lagi, yaitu dengan mengacu pada standar atau pedoman teknis lainnya, sehingga APD yang ada dapat sepenuhnya melindungi operator dari resiko bahaya tersebut. Selain ketiga hal tersebut diatas, peran serta atasan sangat penting untuk memonitor pelaksanaan pengendalian ini. Mereka harus selalu senantiasa ikut berperan aktif mengingatkan arti ISSN 1410-3680

pentingnya menjaga kondisi kesehatan maupun keselamatan kerja baik dalam lingkup unitnya maupun di luar unitnya sehingga pengendalian dapat terpadu dari semua aspek penting dan bukan dari beberapa aspek saja yang ditekankan. Begitu pula dari sisi operator drawing itu sendiri harus dapat menumbuhkan sikap Awareness atau peduli terhadap kesehatan dan keselamatan kerjanya untuk kebaikan dirinya sendiri, orang lain maupun perusahaan. Setelah dilakukan pelaksanaan pengendalian diatas hendaknya dilakukan pula kegiatan monitoring untuk mengetahui keefektifannya serta tidak lupa melakukan evaluasi atau review untuk kemudian dilakukan perbaikan kembali bila diperlukan.

KESIMPULAN & SARAN Berdasarkan analisis dan pembahasan diatas, maka dapat diberikan kesimpulan dan saran-saran sebagai berikut : • Walaupun Nilai Ambang Batas di lingkungan kerja perusahaan ini masih relatif rendah (< 85 dB), namun para pekerja mesin drawing tetap merasakan fungsi pendengarannya berkurang. Untuk mengatasi hal ini, dapat dilakukan dengan pemberlakuan aturan secara ketat penggunaan alat pelindung diri, bukan hanya terhadap operator mesin drawing secara langsung, tetapi semua operator yang berada di area mesin drawing. • Kebisingan yang ditimbulkan oleh mesin drawing sendiri, dapat dikurangi dengan men-desain kembali roll-guidenya dengan menggunakan bahan peredam suara (damping capacity) yang baik atau dengan merubah parameter proses drawing • Untuk mengatasi debu-debu logam hasil proses drawing, maka area kerja harus dilengkapi dengan alat penghisap debu (dust exhaust) yang mampu menghisap debu-debu logam dan dilengkapi dengan suatu desain sistim ventilasi udara yang baik. • Diharapkan kepada para supervisor/manager lebih ketat dalam pengawasan dan kontrol langsung terhadap para pekerja guna meningkatkan keselamatan dan kesehatan kerja. Keteladanan pemimpin menjadi faktor terpenting dalam penerapan program safety. 21

M.P.I. Vol.1 No.1. April 2007, 15 - 22

______________________________________________________________________________ DAFTAR PUSTAKA

RIWAYAT PENULIS

1. Grandjiean, E.,: Fitting the Task to the Man, 4th ed. Taylor & Francis Inc., London, 1983. 2. Sanders, M.S and Mc Mormick, E.J., Human Factors in Engineering and Design, Sixth ed.McGraw-Hill Book Company, 1987 3. Suma’mur, P.K.Dr, MSc., Keselamatan & Pencegahan Kecelakaan, PT Gunung Agung, Jakarta, 1981. 4. ..........., Modul Training OHSAS 18001, , Sucofindo. 5. ..........., Nilai Ambang Batas Faktor Fisika di Tempat Kerja, Keputusan Menteri Tenaga Kerja, No.51: 1999. Jakarta.

Muhammad Gunara, lahir di Sid-Rap, Sulawesi Selatan, lulus Sarjana Teknik Metalurgi tahun 1986, Universitas Indonesia. Pada tahun 1993 Lulus program Master of Science (S2) di University of Strathclyde, Glasgow, Scotland, United Kingdom. Bekerja pada Pusat TIP Peneliti BPP Teknologi dan Dosen pada Fakultas Teknik Industri di Universitas Trisakti

22

ISSN 1410-3680

Pemodelan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Dalam Model Markal (M. Muchlis) _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ __ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _

PEMODELAN PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA NUKLIR DALAM MODEL MARKAL M. Muchlis Peneliti Muda Bidang Perencanaan Energi PTPSE-BPPT

Abstract MARKAL Model is one of the representative tools that can be used to analyses the prospect of nuclear power plant to support energy diversification. Modeling nuclear plant plant into the MARKAL model need knowledge about use of uranium fuel and also need technical and economics data. Basic data for the investment of nuclear power plant is 2260 million US$ using the discount rate 12%. Kata kunci : enrichment, uranium, bahan bakar reaktor

PENDAHULUAN Salah satu pendekatan yang dilakukan dalam menganalisis prospek Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) untuk mendukung diversifikasi energi adalah dengan menggunakan model MARKAL (Market Allocation). Model MARKAL adalah suatu model optimasi suplai yang berbasis teknologi dan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan energi jangka panjang suatu wilayah. Dengan input kebutuhan energi yang dihitung diluar (exogenous), akan dipilih aliran suplai energi yang memberikan total biaya sistem energi yang paling kecil (least cost optimization) dengan suatu fungsi obyektif (objective function) yang ditentukan. Model MARKAL digunakan untuk mendapatkan strategi penyediaan energi yang optimal dengan memperhatikan pertumbuhan ekonomi dan kebutuhan energi di semua sektor, serta mempertimbangkan kendala-kendala tekno-ekonomi terhadap pilihan sumber energi (source), teknologi proses atau konversi energi, dan teknologi pemanfaatan akhir (end-use demand technology). Model MARKAL dapat digunakan untuk menganalisis PLTN dibandingkan dengan teknologi penyedia sumber energi lainnya baik secara teknis maupun ekonominya guna memenuhi kebutuhan energi jangka panjang. PLTN dalam model MARKAL masuk dalam kategori teknologi konversi energi. Dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut tentang pemodelan Teknologi PLTN dalam ISSN 1410-3680

Model MARKAL. Ada empat kategori dalam dalam model MARKAL, yaitu: ¾ resource technology, seperti penambangan, impor dan ekspor. ¾ proses, yang mengubah satu bentuk energy carrier ke bentuk energy carrier lainnya. ¾ teknologi konversi, yang menghasilkan listrik atau panas. ¾ end-use technology, yang mengubah satu bentuk final energy menjadi useful energy dengan menggunakan demand device (DMD) seperti kompor untuk memasak, lampu penerangan, dan ketel uap. Input data untuk masukan model MARKAL secara umum dapat disebutkan sebagai berikut : ¾ • Proyeksi kebutuhan final atau useful energy untuk setiap sektor. ¾ • Data teknis dan ekonomis setiap teknologi energi seperti : bahan bakar, efisiensi, biaya investasi, operasi dan perawatan, serta umur dan waktu operasi setiap tahun. ¾ • Data teknis dan ekonomis dari sumber energi. ¾ • Parameter umum lainnya seperti : discount factor dan periode studi.

23

M.P.I. Vol.1 No.1. April 2007, 23 - 29

________________________________________________________________________ TEKNOLOGI PLTN

Jenis PLTN

PLTN sebagai salah satu opsi pembangkit tenaga listrik dalam Model Markal memerlukan data input dan parameter seperti halnya pembangkit tenaga listrik lainnya yaitu data mengenai avaibility, biaya investasi, biaya tetap, biaya variabel, besar kapasitas sebagai pembangkit beban dasar dan beban puncak, life time, periode awal dan bahan bakar.

Jenis PLTN yang dipertimbangkan pada Model adalah PLTN jenis PWR dan BWR yang secara teknis kedua PLTN tersebut tidak terdapat perbedaan yang berarti demikian pula dengan besar biaya.

Tabel 1. Kode Pada Markal Untuk PLTN

Markal Spesification

Nuclear PP 1

Nuclear PP 2

Kode

ENA

END

INVCOST (US$/KW)

2703

2260

FIXOM (US$/KW/a)

33.96

62.44

VAROM (US$/GJ)

0.1556

-

0.7

0.75

9

4.762

2.260

2.341

AF Own Use (%) IMPLWJ

Input bahan bakar yang dipergunakan untuk jenis PWR dan BWR ini adalah Low Enriched Uranium. Kode pada Markal adalah IMPLWJ untuk impor bahan bakar bagi PLTN Jenis PP1 dan PLTN jenis PP2 seperti ditunjukkan pada Tabel 1. Alur Pikir Penggunaan Uranium Pada PLTN Biji uranium dapat diperoleh dari suatu penambangan uranium dalam bentuk pelet setelah diproses terlebih dahulu dengan suatu sirkuit. U308 ini kemudian dikonversi menjadi UF6 dan diperkaya prosentase kandungannya. Sebuah proses fabrikasi U235 diperlukan guna mengolah U235 menjadi bahan bakar yang dapat dipergunakan pada suatu reaktor PLTN. Hal yang penting pada reaktor ini adalah jumlah

24

pemuatan bahan bakar atau elemen bakar yang harus diisikan pada kelongsong yang terdapat di containtment. Selanjutnya pada PLTN ini akan dihasilkan sejumlah besar kalor panas, jumlah produksi energi listrik dan limbah radio aktif. Terdapat dua jenis limbah yaitu radio aktif berumur pendek dan radio aktif berumur panjang. Limbah dari radio aktif ini harus dibuang dan dikubur pada struktur geologi tertentu. Alur pikir dari penggunaan bahan bakar uranium ini dapat dilihat pada Gambar 1. Input bahan bakar yang dipergunakan untuk jenis PWR dan BWR ini adalah Low Enriched Uranium. Kode pada Markal adalah IMPLWJ untuk impor bahan bakar bagi PLTN Jenis PP1 dan PLTN jenis PP2 seperti ditunjukkan pada Tabel 1.

ISSN 1410-3680

Pemodelan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Dalam Model Markal (M. Muchlis) _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ __ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _

Gambar 1. Alur Pikir Dari Penggunaan Uranium

PARAMETER TEKNOLOGI PLTN Data Basis MARKAL terdiri atas Data Base Case yang merupakan kumpulan Data Dasar dan Data Kasus yaitu sejumlah data yang disusun menurut skenario tertentu yang cocok untuk digunakan seperti adanya skenario pemilihan teknologi, faktor kapasitas, harga bahan bakar serta besar investasi yang sesuai dengan kondisi setempat. Hal ini penting guna mempertajam analisa terhadap topik bahasan yang dipilih serta dapat membantu dalam menganalisis efek dari skenario yang dipilih dengan studi yang sedang dilakukan. Data Dasar untuk Investasi PLTN pada Model MARKAL adalah sebesar 2260 juta US$. Asumsi ini diperoleh dari Data Basis PLN yang menggunakan tahun mula tahun 2016. Jangka waktu studi dimulai tahun 2005 dan berakhir tahun 2025. Dalam tulisan ini diambil rata-rata 5 tahun yang diwakili oleh

ISSN 1410-3680

tahun 2005, 2010, 2015, 2020, dan 2025. tahun. Analisa discount rate menggunakan sensitifitas sebesar 12% guna mengetahui . dampak terhadap besar investasi yang diperlukan dalam kebutuhan pembangunan PLTN dan fasilitas energi lainnya. Penentuan besar discount rate ini akan berkorelasi langsung dengan perhitungan INVCOST terhadap suatu teknologi yang mungkin diperlukan dalam penambahan kapasitas pembangkit tenaga listrik di kemudian hari. Karakteristik dari teknologi PLTN terdiri atas karakteristik pada pembelian uranium, biaya pada proses pengkayaan, fabrikasi dan pembuangan limbah. Karakteristik ini dapat dilihat pada Tabel 2 dan merupakan data basis dari teknologi nuklir yang harus diperhitungkan dalam menentukan besar biaya impor pada pembangunan dan pengoperasian PLTN.

25

M.P.I. Vol.1 No.1. April 2007, 23 - 29

________________________________________________________________________ Tabel 2. Data Basis Bahan Bakar Uranium Pada Model MARKAL

Rincian

Unit

Kuantitas

1. Bahan bakar uranium (Biaya pengolahan) - Harga Yellow cake

$/lb

25

- Biaya SWU

$/SWU

130

$/kg FE

250

$/kg FE

1600

- 3.2 %

SWU/kg FE

4.746

- 3.0 %

SWU/kg FE

4.306

- 2.4 %

SWU/kg FE

3.018

- 1.8 %

SWU/kg FE

1.797

- Yellow cake

Satuan nuklir-a

2

- Pengkayaan

Satuan nuklir-a

1.5

- Fabrikasi

Satuan nuklir-a

1.0

- Biaya hingga tersedia ditempat

Satuan nuklir-a

0.5

4. Lag Time

Satuan nuklir-a

7

- Biaya Fabrikasi & pengangkutan - Biaya Reprocessing dan disposal - Uranium dan Pu-Credit (10%disposal) 2. Pengkayaan Uranium

3. Lead Times

Elemen Bakar Uranium Elemen bakar uranium bagi pembangkit tenaga listrik diperoleh dari Uranium alam dengan susunan kimia 99.29 % U238. Uranium ini berasal dari wilayah tambang dan diproses menjadi bentuk yellow cake U235 dengan kandungan konsentrasi uranium sebesar 0.711 %. Untuk dapat dipergunakan sebagai bahan bakar pada PLTN, U235 ini harus diperkaya kandungannya menjadi sebesar 3.2 %. Separation Work Unit Dengan menggunakan alat berupa Separation Work Unit seperti ditunjukkan pada Gambar`2, Uranium alam ini diproses menjadi U235 dalam bentuk yellow cake.

26

Kesetaraan antara Uranium alam dan U235 adalah sebagai berikut: 3.2– 0.2x 1.1793 = 6.9235 kg U308 0.711 – 0.2kg FE Pengisian Awal Bahan Bakar Reaktor PLTN memerlukan sejumlah bahan bakar berupa uranium dengan kandungan yang diperkaya hingga 3.2 %. Besar kebutuhan bahan bakar ini akan sangat bergantung dari kapasitas PLTN. Untuk kapasitas 1300 MW diperlukan uranium sebanyak 103.6 ton, sedang untuk 1000 MW diperlukan sebanyak 79.28 ton. Jumlah berat bahan bakar pada pengisian awal adalah sebesar 26.29 ton dan dilakukan secara berulang.

ISSN 1410-3680

Pemodelan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Dalam Model Markal (M. Muchlis) _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ __ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _

Gambar 2. Separation Work Unit Pengisian dan Pemuatan Ulang Bahan Bakar Pengisian bahan bakar kedalam reaktor nuklir dilakukan dengan mekanisme batch berselang seperti ditunjukkan pada Gambar 3 .Setiap batch, bahan bakar ini harus diperkaya dengan volume 1/3 terhadap total berat bahan bakar. Untuk kapasitas PLTN 1300 MW, berat per-batch adalah 34.18 ton dan untuk kapasitas PLTN 1000 MW adalah 26.29 ton. Pada Gambar 3 ditunjukkan urutan garis tahun dari pengadaan bahan bakar uranium, pemuatan ulang secara berturut-turut sebesar 1.8, 2.4 dan 3 % sampai tercapainya kesetimbangan reaksi pada elemen inti dimana output dari reaksi pada elemen inti ini adalah berupa kalor panas yang ditimbulkan dan kemudian disirkulasikan ke turbin penggerak generator. Urutan garis tahun adalah garis tahun dari pembuangan limbah radio aktif. Dalam

setiap batch pemuatan adalah 1/3 berat dan akan dibangkitkan tenaga listrik untuk seluruh tahun sebesar :. 1000 x 365 d/a x 25 a x 0.7 = 6.387.500 MWd Bahan bakar diperlukan guna memproduksi tenaga listrik tersebut adalah sebesar: 6.387.500 MWd 0.33 x 33.0 x MWd/kgFe x 1000 kg/t = 586.55 ton Jumlah pemuatan bahan bakar dari kondisi kesetimbangan reaksi adalah sebanyak : 586.55 t/26.29 t = 22.31 Interval waktu yang diperlukan adalah : = 25 a/22.31 = 1.12

Gambar 3. Pengisian Bahan Bakar Uranium Dengan Urutan Garis Tahun ISSN 1410-3680

27

M.P.I. Vol.1 No.1. April 2007, 23 - 29

________________________________________________________________________ = 579 $/kg FE

Lead-Lag Times Pengisian Dan Pemuatan Bahan Bakar Uranium b. Lead times adalah proses awal dari uranium pada proses pengkayaan sebelum dilakukan pemuatan bahan bakar kedalam kelongsong reaktor. Dalam proses ini, uranium harus siap tersedia sewakt-waktu dalam bentuk bahan bakar untuk dilakukan pada batch selanjutnya. Sedang Lag times adalah proses pembuangan bahan bakar setelah bahan bakar tersebut dipergunakan dalam reaktor inti. Lead dan Lag times dalam perhitungan MARKAL menggunakan interest rate sebesar 12 % dan ditampilkan dalam bentuk diagram garis dengan urutan garis tahun dimulai dari pengadaan bahan bakar uranium sampai dengan urutan garis tahun pembuangan limbah seperti ditunjukkan pada Gambar 4. Perhitungan bahan bakar uranium ini dirinci atas : a. 3.68 tahun dalam pengadaan uranium sebesar = 6.9235 kg U308/kg FE * 25 $/lb U308 * 2.2046 lb/kg * 1.123.68

3.18 tahun dalam konversi dan pengkayaan 4.746 SWU/kg FE * 130 $/SWU * 1.123.18 = 884.68 $/kg FE

c. 2.68 tahun dalam fabrikasi = 250 $/kg FE * 1.122.68 = 338.72 $/kg FE d. 8.68 Reprocessing dan pengolahan limbah = (1600 $/kg FE -160 $/kg FE) * 1.12-8.68 = 538.46 $/kg FE Total Biaya = 579.05 + 884.68 + 338.72 + 538.48 = 2340.9 $/kg FE Total biaya dengan menggunakan rate 10 % adalah sebesar 2329.7, rate 8 % adalah sebesar 2340.2, rate 6 % adalah sebesar 2375.1, rate 4 % adalah sebesar 2442.

discount discount discount discount Mio $/t.

Gambar 4. Lead-Lag Times Pengisian dan Pemuatan Bahan Bakar Nuklir

KESIMPULAN DAN SARAN Model MARKAL merupakan salah satu alat yang dapat digunakan untuk menganalisis prospek Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) untuk mendukung diversifikasi energi. Untuk memasukkan data PLTN ke dalam model MARKAL diperlukan 28

pengetahuan tentang penggunaan bahan bakar uranium serta parameter teknis dan ekonomi. Pembuatan model PLTN ke dalam model MARKAL perlu disempurnakan datanya, diantaranya adalah: • Investasi PLTN pada Model Markal cukup tinggi dan memerlukan perbaikan data masukan ISSN 1410-3680

Pemodelan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Dalam Model Markal (M. Muchlis) _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ __ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _



Karakteristik data yang lebih rinci dari garis tahun pengisian dan pemuatan ulang bahan bakar uranium akan menentukan besar impor Light Enrich Uranium.

DAFTAR PUSTAKA 1. Kasim, M.S., Priyanto dan Kuncoro, A.H., Partisipasi Nasional Pembangunan PLTN Jenis ALWR, Hasil-hasil lokakarya Energy 1997, KNI-WEC 1997. 2. Mulyanto dan Nur, R.M., Strategi Pengembangan Industri Bahan Bakar Nuklir Indonesia Masa Depan, Hasil-hasil lokakarya Energy 1997, KNI-WEC 1997. 3. Suhaemi, T., Peluang Partisipasi Industri Nasional Melalui Pembangunan PLTN, Hasil-hasil lokakarya Energy 1997, KNIWEC 1997. 4. Wardojo, A., Energi Nuklir Merupakan Penyedia Energi Listrik Masa Depan Yang Berwawasan Lingkungan, Pusat Pengkajian Energi Nuklir, BATAN, 2000.

ISSN 1410-3680

5. Subki, I.R., Peran Energi Nuklir dalam Era Transisi dan Pasca Minyak, Hasilhasil lokakarya Energy 1999, KNI-WEC 1999. 6. ........., BPPT, Pengelolaan Dan Pemanfaatan Energi Dalam Mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan, Direktorat Teknologi Konversi Dan Konservasi Energi, BPPT, Jakarta. 7. ........., BPPT-KFA Energy Strategies, Energy R&D Strategies, Technology Assessment for Indonesia: Electricity, Joint Indonesian – German Research, 1998.

RIWAYAT PENULIS Muchammad Muchlis, lahir di Solo, 21 Januari 1955. Pendidikan terakhir Fakultas Teknik Elektro Universitas Indonesia, tahun 1982. Penulis adalah Ajun Peneliti Madya pada Deputi Teknologi Energi Informasi dan Material BPPT dari tahun 1982 sampai sekarang.

29

M.P.I. Vol.1 No.1. April 2007, 30 - 37

________________________________________________________________________

INFRASTRUKTUR KETENAGA LISTRIKAN DI INDONESIA Indyah Nurdyastuti Peneliti Utama Bidang Perencanaan Energi PTPSE-BPPT

Abstract The electricity demand for Indonesia has been increasing rapidly since the early 90’s and will continue to increase in the future. Consequently, electricity infrastructures, such as power generation, transmission, and distribution will need to be expanded to meet the increasing demand of electricity. Based on a previous study(2), average growing demand for electricity in Indonesia is about 8.7% per year over the period 2005 to 2025. To meet this high demand, total capacities will increase 3.6 times that of existing capacities in 2005. In general one of the major issues faced by the power sector is the limited investment for developing or expanding of new plants. This mainly due to the overlapping policy for the electricity sector. Kata kunci :Infrastruktur, analisis, energi, ketenaga listrikan PENDAHULUAN Listrik mempunyai peran yang sangat penting dalam pembangunan nasional, mengingat keberhasilan pembangunan negara akan meningkatkan penggunaan listrik. Namun penggunaan listrik harus didukung tersedianya listrik yang andal dan terjangkau oleh seluruh pengguna listrik agar tidak menghambat keberhasilan pembangunan tersebut. Selain itu, ketersediaan listrik yang andal dan terjangkau hingga ke pelosok wilayah Indonesia merupakan pra-syarat utama untuk meningkatkan standar hidup masyarakat, sehingga semua wilayah Indonesia dapat berkembang sesuai yang direncanakan, walaupun saat ini hampir separuh dari keseluruhan rumah tangga di Indonesia belum terlistriki. Hal tersebut disebabkan saat ini ketersediaan infrastruktur ketenagalistrikan masih terbatas dan yang telah ada pemanfaatannya belum optimal, sehingga rata-rata ratio elektrifikasi di Indonesia saat ini masih rendah. Pada umumnya, rumah tangga yang belum terlistriki tersebut, berlokasi di wilayah kabupaten yang terletak jauh dari pusat beban listrik, sehingga agar semua rumah tangga yang belum terlistriki tersebut dapat menikmati listrik, maka diperlukan adanya upaya untuk membangun infrastruktur ketenagalistrikan yang terintegrasi dan 30

memanfaatkan potensi energi setempat. Sayangnya saat ini pengembangan infrastruktur ketenagalistrikan di Indonesia kurang berkembang karena adanya tumpang tindih dalam kebijakan yang menyebabkan investor enggan untuk menginvestasikan uangnya dalam pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan di Indonesia. Selama kurun waktu 20 tahun mendatang (2005-2025), seiring dengan adanya perbaikan perekonomian nasional diperkirakan kebutuhan listrik nasional selama kurun waktu tersebut akan meningkat dengan laju pertumbuhan sebesar 8,7% per tahun. Kebutuhan listrik nasional tersebut dapat dipenuhi apabila ditunjang adanya Infrastruktur ketenagalistrikan yang meliputi produksi, pengolahan, dan distribusi listrik dari mulai listrik di produksi hingga ke konsumen akhir yang memadai dan terintegrasi. Hal tersebut disebabkan secara umum infrastruktur ketenagalistrikan sangat terkait dengan besarnya permintaan listrik, sehingga dengan bertambahnya permintaan listrik seyogyanya harus diikuti dengan pengembangan infrastruktur ketenagalistrikan yang telah tersedia.

METODE ANALISIS Semua aspek yang berkaitan dengan infrastruktur ketenagalistrikan di Indonesia ISSN 1410-3680

Infrastruktur Ketenaga Listrikan Di Indonesia (Indyah Nurdyastuti)

______________________________________________________________________________ dianalisis dengan menggunakan metode SWOT yang meliputi analisis kekuatan, kelemahan, peluang, serta hambatan dan tantangan dalam pengembangan infrastruktur produksi, pengolahan, dan distribusi listrik.

¾

Tahapan analisis infrastruktur ketenagalistrikan di Indonesia meliputi: ¾ Pengumpulan data/informasi ketenagalistrikan di Indonesia;

Diagram alir analisis infrastruktur ketenagalistrikan di Indonesia ditunjukkan pada Gambar 1.

Pengumpulan Data Ketenagalistrikan di Indonesia

Analisis Pemenuhan Kebutuhan Listrik: • Proyeksi Kebutuhan Listrik; • Prakiraan Kapasitas Pembangkit Listrik; • Prakiraan Produksi Listrik

¾ ¾

Analisis pemenuhan kebutuhan listrik nasional; Analisis infrakstruktur ketenagalistrikan (pembangkit listrik, transmisi, dan distribusi listrik); dan Kesimpulan dari hasil analisis

Metode SWOT

Analisis infrakstruktur ketenagalistrikan: • Pembangkit Listrik; • Transmisi; dan • Distribusi

Keluaran: • Kekuatan • Kelemahan • Peluang • Hambatan dan Tantangan

HASIL ANALISIS

Gambar 1. Diagram Alir Analisis Infrastruktur Ketenagalistrikan di Indonesia

ANALISIS PEMENUHAN LISTRIK NASIONAL

KEBUTUHAN

Untuk memenuhi kebutuhan listrik tersebut dibutuhkan pasokan listrik dari pembangkit listrik PLN/swasta dan pembangkit captive. Pembangkit captive masih diperlukan, karena selain produksi listrik PLN belum mencukupi, juga beberapa industri yang ada di Indonesia memerlukan kesinambungan suplai listrik dengan tegangan yang relatif stabil, mengingat saat ini availability (ketersediaan) dan reliability (keandalan) dari listrik yang disediakan PLN masih relative rendah. Namun dimasa datang, dengan terwujudnya industri ketenagalistrikan yang efektif, efisien dan mandiri, memungkinkan target PLN untuk menjaga kesinambungan dan keandalan pasokan listrik dengan tegangan yang relatif stabil sesuai dengan tingkat yang diharapkan oleh semua konsumen dapat telaksana. ISSN 1410-3680

Proyeksi Kebutuhan Listrik Nasional Selama kurun waktu 2005 s.d. 2025, kebutuhan listrik di Indonesia termasuk captive power sesuai Pustaka 1, diperkirakan meningkat sebesar 8,7% per tahun, sehingga pada tahun 2025, total kebutuhan listrik di Indonesia mencapai sekitar 629,4 TWH. Sekitar 73% dari kebutuhan listrik nasional pada tahun 2005 dibutuhkan di Jamali, karena Jawa merupakan pusat perekonomian di Indonesia. Pada tahun 2025, dengan semakin meningkatnya kebutuhan listrik di semua sektor pengguna energi sebagai konsekuensi dari peningkatan pertumbuhan ekonomi dan ratio elektrifikasi, mengakibatkan kebutuhan listrik di seluruh wilayah Indonesia meningkat, terutama Jawa mengalami peningkatan kebutuhan listrik yang sangat pesat. Sebagian dari kebutuhan listrik di Jawa, diasumsikan akan dipasok dari listrik yang diproduksi di Sumatera Selatan 31

M.P.I. Vol.1 No.1. April 2007, 30 - 37

________________________________________________________________________

P r o y e k s i K e b u tu h a n L is tr ik (T W h)

melalui PLTU Mulut Tambang. Proyeksi kebutuhan listrik per wilayah selama kurun

waktu 2005-2025, ditunjukan pada Grafik 1.

630 504 378 252 126 0 2005

2007

2009

2011

2013

Jaw a

2015

Sumatera

2017

2019

Kalimantan

2021

2023

2025

P. Lain

Grafik 1. Proyeksi Kebutuhan Listrik per Wilayah Tahun 2005- Tahun 2025 pendek, seperti pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) dan pembangkit listrik tenaga gas turbin (PLTG) biasanya digunakan pada beban puncak. Berdasarkan Pustaka 2 dengan mengambil kasus dasar dan kasus optimasi, guna memenuhi kebutuhan listrik nasional dibutuhkan pengembangan kapasitas pembangkit listrik masing-masing sebesar 6,9% dan 7% per tahun.

Prakiraan Kapasitas Pembangkit ListriK Secara umum, pemilihan jenis pembangkit listrik sangat dipengaruhi oleh peruntukannya seperti pada saat beban dasar maupun pada saat beban puncak. Pada beban dasar, biasanya pembangkit listrik yang dipilih adalah pembangkit listrik yang membutuhkan waktu start yang panjang, seperti PLTU Batubara, sedangkan pembangkit listrik yang waktu start nya

Proyeksi Kapasitas Pembangkit Listrik (GW)

170 136 102 68 34 0 Base Optimal Base Optimal Base Optimal Base Optimal Base Optimal 2005 PLTU-Sampah Miihydro PLTG-M

2005 PLTU-B PLTN PLTGU

2010

2010

2015

PLTD PLTU-Minyak PV

2015 PLTG-G PLTP PLTB

2020

2020

2025

Cogen PLTU-Gas

2025 IGCC PLTA

Grafik 2. Proyeksi Kapasitas Pembangkit Listrik di Indonesia per Jenis Pembangkit pada Kasus Dasar dan Kasus OptimasiTahun 2005-Tahun 2025 32

ISSN 1410-3680

Infrastruktur Ketenaga Listrikan Di Indonesia (Indyah Nurdyastuti)

______________________________________________________________________________

Peningkatan kapasitas terbesar terjadi pada PLTU-Batubara yang diikuti oleh PLTGU pada basecase, sebaliknya pada kasus optimasi peningkatan kapasitas terbesar terjadi pada PLTGU yang diikuti oleh PLTUBatubara disebabkan selain harganya murah juga ke-dua jenis pembangkit listrik tersebut dapat dikatagorikan sebagai pembangkit listrik beban dasar. Selain itu mengingat kebutuhan listrik di wilayah Jamali meningkat dengan pesat, sedangkan pengembangan kapasitas pelabuhan penerima batubara di Jawa semakin terbatas mengakibatkan pada kasus optimasi, 2 GW PLTN dapat dibangun di Jawa pada tahun 2017. Besarnya proyeksi pengembangan kapasitas pembangkit listrik di Indonesia ditunjukkan pada Grafik 2.

meningkat dengan laju pertumbuhan dari masing-masing kasus tersebut sebesar 7,3% dan 7,5% per tahun untuk kasus optimasi, sehingga menyebabkan pada tahun 2025 produksi listrik meningkat menjadi 683,47 TWh untuk basecase dan 703,86 TWh untuk kasus optimasi. Pada kasus optimasi fuel cell dan PLT Bayu juga dimanfaatkan namun kapasitasnya sangat kecil, sehingga listrik yang diproduksipun juga relatif kecil. Pada dasarnya PLTA, PLTP, PLTS (PV) dan PLT Bayu dikembangkan di Luar Jawa, sedangkan di Jawa untuk mengurangi masalah sampah dapat memanfaatkan produksi listrik dari PLTU Sampah, walaupun biaya pembangkitannya saat ini masih relatif mahal. Besarnya proyeksi produksi listrik dari pembangkit listrik yang ada di Indonesia ditunjukkan pada Grafik 3.

Prakiraan Produksi Listrik Produksi listrik selama kurun waktu 20 tahun sesuai Pustaka 2, diasumsikan

Proyeksi Produksi Listrik Indonesia (TWh)

705 564 423 282 141 0 Base Optimal Base Optimal Base Optimal Base Optimal Base Optimal 2005 Fuel Cell IGCC PLTA

2005

2010

PLTU-Sampah Miihydro PLTG-M

2010 PLTU-B PLTN GCC

2015

2015

2020

PLTD PLTU-Minyak PV

2020 PLTG-G PLTP PLTB

2025

2025 Cogen PLTU-Gas

Grafik 3. Proyeksi Produksi Listrik di Indonesia per Jenis Pembangkit pada Kasus Dasar dan kasus Optimasi Tahun 2005-Tahun 2025 ANALISIS INFRASTRUKTUR KETENAGALISTRIKAN Infrastruktur ketenagalistrikan terdiri dari pembangkit listrik, sarana transmisi dan sarana distribusi listrik, dimana untuk mengatasi permasalahan dalam mensuplai listrik, maka ke tiga jenis infrastruktur tersebut pembangunannya harus terintegrasi. Menurut data Statistik PLN3), pada tahun 2005 total produksi listrik PLN pada tahun 2005 mencapai 102 TWh dengan total kapasitas pembangkit listrik sebesar 22,5 GW.

ISSN 1410-3680

Pada tahun yang sama PLN telah mempunyai sarana distribusi yang terdiri dari sistem jaringan distribusi JTM (Medium Voltage) sepanjang 239.384 kms, sistem jaringan distribusi JTR (Low Voltage) sepanjang 324.454 kms, dan 53.976 MVA gardu induk. Sedangkan sarana transmisi PLN yang telah tersedia pada tahun 2005 tersebut terdiri dari sistem jaringan Transmisi Tegangan Ekstra Tinggi (TET) 500 kV TL (EHVTL) dan sistem jaringan Transmisi Tegangan Tinggi (TT) 70 s.d. 150 kV TL (HVTL) serta gardu induk dengan total panjang jaringan transmisi mencapai 30.945 kms, atau meningkat 0,5% dibandingkan 33

M.P.I. Vol.1 No.1. April 2007, 30 - 37

________________________________________________________________________ tahun sebelumnya. Total panjang jaringan transmisi terdiri dari jaringan 500 kV sepanjang 3.578 kms, jaringan 150 kV sepanjang 22.381 kms, jaringan 70 kV sepanjang 4.726 kms, dan jaringan 25 & 30 kV sepanjang 260 kms, sayangnya jaringan

transmisi PLN yang terinterkoneksi hanya ada di Jamali, oleh karena itu diperlukan adanya pengembangan transmisi yang terinterkoneksi di Luar Jawa. Secara umum infrastruktur ketenagalistrikan di Indonesia dapat ditunjukan pada Gambar 2. INDUSTRI

BISNIS

PLTA

RUMAH

PLTD PLTP TRAFO STEP DOWN

PLTG PLTU

SOSIAL/ PUBLIK

PLTGU

GARDU STEP DOWN

GARDU STEP-UP

SISTEM PEMBANGKIT

MW

SISTEM TRANSMISI

SISTEM DISTRIBUSI

KONSUMEN

MW

Daya Mampu Pembangkit

Total termasuk Rumah Tangga Rp/kW h

Hydro (7%) HSD (17%)

5-18 1650-2475

88.7

100 8

1.5

1.8

LOSS TEKNIS

LOSS ADMINIS TRASI

LISTRIK ILLEGAL

Total tanpa Rumah Tangga

MFO (7%) COAL (42%)

GAS (19%) 00

06

12

18

22

Peak

POLA PRODUKSI

24

GEO (5%) ROR (2%)

115-161

Rumah Tangga Industry

150-300

Bisnis Social + Public

400-450 5-18

Hour

0

2

4

6

8

10

12

14 16 18 20 22 Peak

24

Hour

POLA KONSUMSI

Sumber: Pustaka 2 Gambar 2. Infrastruktur Ketenagalistrikan

Pembangkit Listrik Sebagian besar di beberapa propinsi di Luar Jawa memanfaatkan PLTD pada saat peak load dan base load, karena kesulitan dalam mendapatkan pasokan bahan bakar lainnya dan belum tersedianya infrastruktur pengangkutan sumber energi yang memadai. Di Pulau Sumatera lokasi pembangkit listrik tersebar di delapan (8) wilayah pemasaran listrik PLN dan dua (2) lokasi kitlur. Jenis pembangkit listrik yang terpasang di delapan (8) wilayah pemasaran listrik PLN, adalah PLTA dan PLTD yang terdapat di Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat, dan Sumatera Selatan+Jambi+Bengkulu, sedangkan di wilayah lainnya seperti Sumatera Utara, Riau, Bangka Belitung, Lampung, dan Batam saat ini hanya terdapat PLTD. Di Jamali lokasi pembangkit listrik tersebar di empat (4) wilayah, yaitu Bali (PLTD), Jawa Timur (PLTA dan PLTD), Jawa Tengah-Jogya (PLTA), Jawa Barat-Banten (PLTA dan PLTD), dan satu (1) wilayah yang berfungsi untuk mendistribusikan listrik yang dibeli PLN, yaitu distribusi Jawa BaratTangerang. Selain itu, di wilayah Jawa Barat, Jawa Timur, dan Bali masih terpasang pembangkit listrik yang dikelola oleh anak perusahaan PLN, yaitu PT Indonesia Power, dan PJB, dan listrik swasta (IPP). Jenis pembangkit yang dioperasikan oleh ketiga 34

perusahaan tersebut umumnya merupakan pembangkit listrik beban dasar dan/atau beban menengah. Di Pulau Kalimantan lokasi pembangkit listrik dibagi menjadi tiga wilayah, yaitu Kalimantan Barat (PLTG dan PLTD), Kalimantan Timur (PLTA, PLTGU, dan PLTD), serta Kalimantan Selatan-Tengah (PLTA, PLTU, PLTG dan PLTD). Sedangkan lokasi pembangkit listrik di wilayah Pulau Lain terbagi ke dalam 6 wilayah, yaitu Pulau Sulawesi dua wilayah, yaitu Sulawesi Selatan-Tenggara (PLTA, PLTU, PLTG dan PLTD) dan Sulawesi Utara-TengahGorontalo (PLTA, PLTP, dan PLTD), Pulau Maluku satu wilayah (PLTD), Pulau Papua satu wilayah (PLTA dan PLTD), Nusa Tenggara dua wilayah, yaitu Nusa Tenggara Barat (PLTD) dan Nusa Tenggara Timur (PLTA dan PLTD). Dari semua pembangkit listrik yang tersedia, pembangkit listrik swasta yang sangat pesat perkembangannya, karena untuk membangun pembangkit listrik diperlukan biaya investasi yang sangat besar dan biaya tersebut yang tidak dimiliki PLN. Walaupun perkembangan peningkatan kapasitas pembangkit listrik PLN tidak sepesat pembangkit listrik swasta, namun pada umumnya dari tahun ke tahun semua jenis pembangkit listrik PLN juga mengalami peningkatan kapasitas. ISSN 1410-3680

Infrastruktur Ketenaga Listrikan Di Indonesia (Indyah Nurdyastuti)

______________________________________________________________________________ Transmisi

Distribusi

Jaringan transmisi PLN di Indonesia hanya ada di Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Di Jawa, jaringan transmisi PLN telah terinterkoneksi dari Jawa Barat sampai ke Bali melalui Jawa Tengah dan Jawa Timur, sehingga produksi listrik di setiap wilayah di Jawa dapat disalurkan ke wilayah lain yang sudah terinterkoneksi. di Jawa walaupun jaringan transmisinya sudah terinterkoneksi ke seluruh propinsi dari mulai Jawa Barat sampai dengan Bali, namun masih ada beberapa pembangkit listrik milik PT Indonesia Power dan pembangkit listrik milik PT PJB yang tidak dimasukan kedalam daerah pemasaran PLN di wilayah Jawa, tetapi langsung disalurkan ke jaringan transmisi P3B (Pusat Pengaturan dan Penyaluran Beban) Jawa-Bali. Di Sumatera, jaringan transmisi PLN belum terinterkoneksi ke seluruh wilayah Sumatera, sehingga untuk wilayah yang belum terinterkoneksi kebutuhan listriknya dipenuhi dari wilayahnya sendiri. Di Sumatera, ada dua pembangkit dan penyalur listrik, yaitu Kitlur Sumbagut dan Kitlur Sumbagsel yang menyalurkan produksi listriknya ke wilayah Sumatera Bagian Utara dan Sumatera Bagian Selatan. Selain itu, sistem transmisi yang terdapat di Sumatera, yaitu Transmisi Sumatera Bagian Utara dan Transmisi Sumatera Bagian Selatan, keduanya belum terhubungkan dan direncanakan pada tahun 2008 kedua sistem ini akan dapat terhubung. Bagi propinsi yang daerahnya telah terinterkoneksi dengan propinsi lain, kekurangan produksi listrik dari pembangkit listrik di propinsinya dapat dipasok dari propinsi lainnya yang produksinya berlebih. Di Kalimantan sampai dengan tahun 2005, jaringan transmisi yang telah ada belum terinterkoneksi ke seluruh wilayah, sehingga kebutuhan listriknya masih dipenuhi oleh wilayahnya sendiri atau oleh jaringan transmisi yang terbatas. Pada saat ini dibeberapa wilayah di Kalimantan telah dibangun jaringan transmisi baru di wilayah Kalimantan Barat dan interkoneksi jaringan transmisi di wilayah Kalimantan Selatan Kalimantan Tengah - Kalimantan Timur, sedangkan di wilayah Sulawesi, jaringan transmisi baru terdapat di wilayah Sulawesi Utara dan wilayah Sulawesi Selatan. Wilayah lainnya belum terinterkoneksi dengan jaringan transmisi tersebut.

Jaringan distribusi tenaga listrik berfungsi menghubungkan jaringan transmisi tegangan tinggi dengan konsumen melalui sebuah substation. Transformasi dari jaringan tegangan tinggi ke jaringan tegangan rendah memerlukan beberapa komponen yang terdiri dari Pemutus Tenaga, Pemisah, Saklar Daya, Sekring, Rel, Isolator, Transformator, Trafo Pengukur, Reaktor Pembatas Arus, dan Arrester. Di Jawa, melalui jaringan distribusi Jatim, Jateng-Yogja, Jabar-Banten, DKI-Tangerang, dan Bali konsumen listrik dari masing-masing wilayah tersebut dapat memenuhi kebutuhan listriknya. Listrik yang disalurkan melalui jaringan distribusi tersebut dipasok dari listrik yang diproduksi PLN, dibeli dari luar PLN, dan diterima dari unit lain melalui interkoneksi jaringan transmisi Jawa-Bali. Di Sumatera, melalui jaringan distribusi NAD, Sumut, Sumbar, Riau, PLN Batam, S2JB, Babel dan Lampung, konsumen listrik dari masing-masing wilayah tersebut dapat memenuhi kebutuhan listriknya. Listrik yang disalurkan melalui jaringan distribusi tersebut dipasok dari listrik yang diproduksi PLN, dibeli dari luar PLN dan diterima dari unit lain. NAD, Sumut, dan Sumbar selain memproduksi listrik sendiri juga dipasok dari Kitlur Sumbagut, sedangkan S2JB dan Lampung memproduksi listrik sendiri juga dipasok dari Kitlur Sumbagsel, sedangkan wilayah Riau dibagi menjadi Riau daratan yang kebutuhan listriknya selain dipasok dari hasil produksi sendiri juga berasal dari Kitlur Sumbagut dan Kitlur Sumbagsel, serta Riau kepulauan yang masih terisolasi yang kebutuhan listriknya dipasok dari produksinya sendiri. Berlainan dengan PLN Batam yang selain mempunyai jaringan distribusi juga telah terinterkoneksi dengan jaringan transmisi, Kitlur Sumbagut dan Kitlur Sumbagsel hanya berfungsi sebagai pembangkit dan penyalur, sehingga tidak diperlukan jaringan distribusi. Kebutuhan listrik di Wilayah Kalimantan dipenuhi dari listrik yang dipasok melalui jaringan distribusi Kalbar, Kalselteng, dan Kaltim, dimana masing-masing wilayah menyalurkan produksi listriknya ke wilayahnya, sedangkan listrik yang disalurkan melalui jaringan distribusi tersebut dipasok dari listrik yang diproduksi PLN, kecuali Kalselteng yang selain dipasok dari hasil produksi listrik PLN juga dipasok dari Luar PLN (sewa genset). Di wilayah Sulawesi, kebutuhan listriknya dipenuhi dari wilayahnya sendiri melalui jaringan distribusi Suluttenggo dan Sulselra,

ISSN 1410-3680

35

M.P.I. Vol.1 No.1. April 2007, 30 - 37

________________________________________________________________________ dimana listrik yang disalurkan melalui jaringan distribusi Suluttenggo dipasok dari listrik yang diproduksi PLN, sedangkan listrik yang disalurkan melalui jaringan distribusi Sulselra selain dipasok dari hasil produksi listrik PLN juga dipasok dari Luar PLN. Maluku termasuk Maluku Utara, Papua, dan Nusa Tenggara yang terdiri dari NTB dan NTT terletak pada pulau yang terpisah dan belum terinterkoneksi dengan jaringan transmisi, sehingga kebutuhan listrik pada masing-masing wilayah dipenuhi dari wilayahnya sendiri melalui jaringan distribusi Maluku, Papua, NTB dan NTT. Pada umumnya, sebagian besar listrik yang

dikonsumsi di wilayah Maluku, Papua, NTB dan NTT dipergunakan untuk penerangan, dan peralatan lain (TV, radio, kulkas, kipas angin dan lain-lain). SWOT Analisis Dengan membaiknya perekonomian di Indonesia secara bertahap di masa datang menyebabkan terjadinya peningkatan kebutuhan listrik di semua sektor pengguna, oleh karena itu pengembangan infrastruktur ketenagalistrikan secara terintegrasi harus segera dilaksanakan.

Tabel 1. Analisis SWOT (Kekuatan, Kelemahan, Peluang, dan Tantangan) Pengembangan Infrastuktur Energi SWOT Kekuatan

• • • • • •

36

Pengembangan Infrastruktur Ketenagalistrikan Tersedianya sumber energi fosil dan non fosil yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia dan belum dimanfaatkan secara optimal; Belum tersedianya interkoneksi jaringan transmisi di Luar Jamali; Tersedianya pasokan listrik PLN /Swasta dan captive power; Ketidaksesuaian antara persebaran sumber energi dan konsumen pengguna listrik; Kekurangan kapasitas pembangkit pada saat beban puncak; dan Keterbatasan jaringan transmisi/distribusi yang ada di Luar Jawa

Kelemahan

• Tidak adanya kepastian demand listrik di seluruh wilayah Indonesia; • Kurangnya disiplin dalam pengelolaannya, sehingga dapat menyulitkan dalam rencana investasi pengembangan infrastruktur listrik ; • Tidak adanya komitmen kontrak pembelian listrik jangka panjang sehingga dapat menyulitkan pasokan listrik di masa depan; Tidak tersedianya database yang lengkap yang dapat menunjang dalam pengembangan infrastruktur ketenagalistrikan.

Peluang

• Penyiapan data base yang menunjang pengembangan infrastruktur yang terkait dengan teknologi, pertanahan, bidang-bidang yang terbuka untuk investasi dan tingkat investasinya; • Penyiapan Regulasi dari Pemerintah, Pemerintah Daerah yang mendukung pengembangan infrastruktur ketenagalistrikan nasional; dan • Penetuan kebijakan kandungan lokal dalam pengembangan infrastruktur ketenagalistrikan nasional. • Iklim investasi belum kondusif; • Adanya disparitas perkembangan ekonomi antar wilayah; • Adanya tumpang tindih kebijakan yang berdampak pada ekonomi tinggi dalam pengembangan infrastruktur ketenagalistrikan; • Industri ketenagalistrikan pada umumnya belum kompetitif. • Belum adanya insentif ekonomi baik fiskal maupun non-fiskal bagi pengembangan industri ketenagalistrikan dalam negeri; dan • Ketidakstabilan pasar dan harga energi fosil: a. harga listrik diberlakukan tarif uniform pada sistem isolated, dan b. harga jual batubara dan gas bumi untuk kebutuhan domestik lebih rendah dari harga ekspor batubara.

ISSN 1410-3680

Infrastruktur Ketenaga Listrikan Di Indonesia (Indyah Nurdyastuti)

______________________________________________________________________________ Namun pengembangan infrastruktur ketenagalistrikan harus didukung oleh beberapa faktor, seperti kepastian demand, iklim usaha yang menunjang, jaminan keamanan dalam menanamkan modalnya, pola pembiayaan yang saling menguntungkan, dan tidak adanya tumpang tindih dalam kebijakan. Faktor-faktor tersebut sangat bermanfaat guna menarik investor dalam dan luar negeri agar mau menanamkan modalnya untuk pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan. Untuk memperoleh gambaran dalam pengembangan infrastruktur ketenagalistrikan di Indonesia, dibutuhkan adanya SWOT analisis yang menyangkut analisis mengenai kekuatan, kelemahan, peluang, serta hambatan dan tantangan dalam pengembangan infrastruktur ketenagalistrikan seperti ditunjukan pada Tabel 1.

KESIMPULAN •





Infrastruktur ketenagalistrikan pada umumnya berada dibawah wewenang daerah pemasarn PLN, kecuali di Jawa dan Sumatera dimana terdapat anak perusahaan PLN yang membawahi sejumlah pembangkit listrik, sarana transmisi dan distribusi. Infrastruktur ketenagalistrikan sangat diperlukan agar dapat memenuhi permintaan konsumen listrik, sehingga dengan bertambahnya permintaan harus diikuti dengan pengembangan infrastruktur ketenagalistrikan secara terintegrasi, namun perlu diingat pengembangan infrastruktur ketenagalistrikan harus spesifik sesuai peruntukan dan wilayahnya. Berdasarkan analisis dari ketersediaan infrastruktur sektor ketenagalistrikan

ISSN 1410-3680

(pembangkit listrik, transmisi dan distribusi listrik), terlihat bahwa hampir semua infrastruktur tersebut ketersediaannya masih terbatas, namun mengingat adanya masalah dalam investasi dan masih adanya tumpang tindih kebijakan yang berdampak pada ekonomi tinggi menyebabkan perkembangan infrastruktur tersebut sangat lamban walaupun permintaan listrik setiap tahunnya meningkat.

DAFTAR PUSTAKA 1. Aritonang, S.A., Peningkatan Efisiensi

Energi di PT PLN (Persero). 2005

2. ….., Energy Demand Forecast for the Period 2005 up to 2025 Using MAED Model. Jakarta, BPPT, Jakarta 2005. 3. ….., Karakteristik Kebutuhan Energi (Per Satuan Pengguna/ Per Wilayah). Laporan tidak dipublikasi. Pusdatin. Jakarta 2006 4. ….., Statistik PLN 2005, PT PLN (Persero), Juli 2006. 5. ….., Rencana Penyediaan Tenaga Listrik Luar Jawa-Madura-Bali 2003-2010. PLN, Jakarta, September 2003. 6. ….., Rencana Penyediaan Tenaga Listrik Luar Jawa-Madura-Bali 2003-2010. PLN. Jakarta, September 2003.

RIWAYAT PENULIS Indyah Nurdyastuti, lahir 18 Januari tahun 1947 lulus sarjana teknik kimia, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya. Sejak 1978 hingga saat ini bekerja di BPPT sebagai Peneliti Bidang Perencanaan Energi.

37

M.P.I. Vol.1 No.1. April 2007, 38 - 50

________________________________________________________________________

PROSPEK PLTN DALAM SISTEM KELISTRIKAN JAWA-BALI La Ode Muhammad Abdul Wahid Peneliti Madya Bidang Perencanaan Energi PTPSE-BPPT Abstract The plan to construct Muria Nuclear power plant in Java reappears in conjunction with a high growth rate estimation of electricity demand in JavaBali. Therefore, the Government of Indonesia releases Perpres no 5, 2006 about national energy policy that enforces the construction of the first national Nuclear power plant in Indonesia. It is estimated that cost of Nuclear power plant is slightly higher than Coal power plant. Therefore, Nuclear will be more attractive, if the coal price is higher. In order to construct and operate Nuclear power plant without increasing public obligation, it is necessary to have policy instrument that can push the utilization of Nuclear more attractive, such as regulation or incentive that can reduce investment of Nuclear power plant. It is also important to have public support. Therefore, socialization is necessary to make a correct public understanding. By increasing this socialization activity, a public rejection on Nuclear power plant construction plan can be minimized. Kata kunci : Nuklir, batubara, kelistrikan

PENDAHULUAN Rencana pemanfaatan PLTN sebagai salah satu pembangkit pemikul beban dasar pada sistem kelistrikan di Jawa-Bali kembali mengemuka setelah dalam beberapa tahun terakhir kurang terdengar gaungnya. Sesuai dengan rencana, penetapan lokasi PLTN akan diputuskan pada tahun 2007 yang dilanjutkan dengan proses tender yang dimulai tahun 2008, dan tahap pembangunan pada tahun 2010, sehingga PLTN diharapkan mulai beroperasi pada tahun 2016. Sejauh ini, masih terjadi pro dan kontra atas pembangunan PLTN tersebut meskipun pembangunannya telah disetujui oleh DPR. Pihak yang pro mengatakan bahwa PLTN aman, bersih lingkungan, ekonomis, paling realistis. Sementara itu, pihak yang kontra berpendapat bahwa PLTN merupakan jenis pembangkit yang berisiko tinggi, memerlukan investasi tinggi, dan merupakan pilihan terakhir karena masih tersedianya sumber energi non nuklir. Rencana pembangunan PLTN mencuat kembali seiring dengan pertumbuhan kebutuhan listrik yang terus meningkat sehingga diperlukan tambahan kapasitas 38

pembangkit listrik sekitar 3-4 GW per tahun, dimana kurang lebih 65% dari tambahan kapasitas tersebut dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan listrik di Jawa. Tambahan kapasitas tersebut jika menggunakan PLTU maka memerlukan batubara minimal 9 juta per tahun, sehingga dalam jangka panjang dikhawatirkan pasokan batubara akan terhambat ataupun akan mengakibatkan polusi lingkungan yang berat. Seiring dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 Tentang Kebijakan Energi Nasional, maka pembangunan PLTN lebih didorong mengingat sasaran penyediaan energi primer untuk EBT lainnya termasuk nuklir diharapkan dapat mencapai minimal 5% terhadap total suplai energi primer pada tahun 2025. Mengingat rencana pembangunan PLTN terus berjalan, maka ada baiknya dilakukan analisis biaya pembangkitan PLTN guna memperoleh gambaran yang utuh tentang peluang pembangunan PLTN pertama di Indonesia (Jawa). Analisis juga diperlukan terhadap instrumen kebijakan yang diperlukan seandainya PLTN tersebut secara ekonomis ISSN 1410-3680

Prospek PLTN Dalam Sistem Kelistrikan Jawa Bali (La Ode Muhammad Abdul Wahid)

_____________________________________________________________________________ kurang bersaing dengan PLTU Batubara, namun karena pertimbangan ideologi, politik, sosial, budaya, dan pertahanan-keamanan tetap dibangun demi memenuhi peningkatan kebutuhan listrik Jawa-Bali di kemudian hari. METODE PENELITIAN Dalam melakukan analisis Masa Depan PLTN dalam Sistem Kelistrikan Jawa-Bali, pertama-tama dilakukan analisis kebutuhan

listrik guna memperkirakan tingkat permintaan kebutuhan listrik di Jawa-Bali selama kurun waktu analisis (2005-2025). Hasil analisis perkiraan kebutuhan listrik Jawa-Bali jangka panjang tersebut dijadikan sebagai masukan dalam Model Optimasi MARKAL. Bersama dengan data kebutuhan listrik tersebut, juga diperlukan masukan tentang data Kemampuan Pasokan Energi Nasional, Data Tekno Ekonomi Pembangkit Listrik, serta fungsi obyektif ”biaya minimum”.

DATA KEMAMPUAN PASOKAN ENERGI

ANALISIS KEBUTUHAN LISTRIK

DATA TEKNO EKONOMI PEMBANGKIT

FUNGSI

MODEL OPTIMASI MARKAL

KASUS

OBYEKTIF

ANALISIS KAPASITAS PEMBANGKIT

ANALISIS INSTRUMEN KEBIJAKAN

Gambar 1. Metode Penelitian

Selanjutnya, berdasarkan data tersebut dan kondisi bussiness as usual (BAU), Model MARKAL di run untuk memperoleh hasil optimasi jenis dan kapasitas pembangkit listrik yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan listrik masa depan. Jika hasil optimasi sesuai kondisi BAU menunjukkan bahwa PLTN bukan merupakan pilihan optimal sesuai dengan fungsi obyektif biaya minimum dan berbagai parameter input lainya, maka dibuat suatu kasus yang akan memberikan gambaran tentang ’kondisi yang diperlukan’ agar PLTN dapat menjadi salah satu opsi jenis pembangkit listrik di JawaBali. Beberapa kondisi yang akan dianalisis diantaranya keterbatasan pasokan batubara, variasi subsidi suku bunga, subsidi biaya investasi, dan subsidi harga jual listrik PLTN. Kemudian, agar ’kondisi yang diperlukan’ oleh PLTN dapat diimplementasikan, maka dilakukan analisis instrumen kebijakan yang diperlukan dalam pengembangan PLTN ISSN 1410-3680

pertama di Indonesia tersebut. Diharapkan dengan analisis instrumen kebijakan ini dapat mendorong pembangunan PLTN di Semenanjung Muria, Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah sesuai dengan rencana pengembangan PLTN yang telah ditetapkan dalam RUKN maupun dalam Blueprint Pengembangan Energi Nasional. Adapun metodologi analisis ditunjukkan pada Gambar 1. KEBUTUHAN LISTRIK JAWA-BALI Kebutuhan listrik Jawa-Bali diperkirakan akan tumbuh rata-rata 8% per tahun dari 84,59 TWh pada tahun 2005 menjadi 394,65 TWh pada tahun 2025. Kebutuhan listrik tersebut termasuk kebutuhan listrik yang dibangkitkan sendiri oleh sektor industri melalui captive power. Selama kurun waktu tersebut, sektor rumah tangga diperkirakan 39

M.P.I. Vol.1 No.1. April 2007, 38 - 50

________________________________________________________________________ akan menjadi sektor pengguna listrik yang mengalami peningkatan kebutuhan listrik tertinggi dibanding dengan sektor lainnya. Hal ini terjadi karena konsumsi listrik di sektor rumah tangga saat ini masih relatif rendah (< 600 kWh/kapita) dan adanya target peningkatan rasio elektrifikasi menjadi sekitar 99% pada tahun 2025. Pada tahun 2005, rasio elektrifikasi Jawa-Bali baru mencapai sekitar 57,6%. Pangsa pasokan listrik dari captive power terhadap total kebutuhan listrik Jawa-Bali

pada tahun 2005 relatif kecil mencapai sekitar 1,5%. Rendahnya penggunaan produksi listrik captive power untuk sektor listrik disebabkan karena infrastruktur dan keandalan kelistrikan di Jawa-Bali relatif lebih baik, sehingga pangsa tersebut akan semakin besar pada wilayah yang infrastruktur dan keandalan kelistrikannya terbatas.

Kebutuhan Listrik Jamali (TWh)

450 400 350 300 250 200 150 100 50 0 2005

2007

2009

Komersial

2011

2013

Industri

2015

2017

2019

Rumah Tangga

2021

2023

2025

Transportasi

Grafik 1. Proyeksi Kebutuhan Tenaga Listrik Wilayah Jawa-Bali (TWh)

Dari Grafik 1 yang merupakan grafik proyeksi kebutuhan tenaga listrik di wilayah Jawa-Bali terlihat bahwa sektor rumah tangga dan industri merupakan sektor konsumen listrik terbesar dibanding dengan sektor komersial apalagi sektor transportasi. Pada tahun 2005, pangsa kebutuhan tenaga listrik terbesar per sektor berturut-turut adalah sektor rumah tangga (37,06%), disusul oleh sektor industri (35,36%), sektor komersial (27,58%), dan terakhir sektor transportasi (0,01%). Selanjutnya, pada tahun 2025 urutan terbesar dari sektor konsumen tenaga listrik tersebut adalah tetap, namun dengan pangsa yang berbeda, yaitu 48,02% (sektor rumah tangga), 34,68% (sektor industri), 17,27% (sektor komersial), dan 0,03% (sektor transportasi). Dengan struktur kebutuhan listrik tersebut, pola kurva beban puncak sistem kelistrikan Jawa-Bali tahun 2025 diperkirakan masih seperti saat ini dimana beban puncak berlangsung antara pukul 18:00 s.d. 22:00 ketika peralatan listrik pada sektor rumah tangga banyak digunakan (lampu, TV, dan lainnya). 40

ANALISIS HASIL PENGEMBANGAN PEMBANGKITAN LISTRIK Kasus BAU Kapasitas Pembangkit Jawa-Bali Untuk memenuhi kebutuhan tenaga listrik di wilayah Jawa-Bali tersebut diperlukan kapasitas pembangkit listrik sebagaimana ditunjukkan pada Grafik 2. Dari Grafik 2 nampak bahwa PLTU merupakan jenis pembangkit listrik yang paling dominan dalam pemenuhan kapasitas pembangkit listrik di Jawa-Bali. Mayoritas dari PLTU tersebut berupa PLTU-Batubara, dan sebagian kecil berupa PLTU-Minyak, dan PLTU-Sampah. Peranan PLTU diharapkan dapat meningkat dari sekitar 8 GW pada tahun 2005 menjadi sekitar 68,8 GW pada tahun 2025. Tingginya peranan PLTU tersebut disebabkan karena PLTU merupakan jenis pembangkit yang ekonomis dioperasikan untuk mengisi beban dasar.

ISSN 1410-3680

Prospek PLTN Dalam Sistem Kelistrikan Jawa Bali (La Ode Muhammad Abdul Wahid)

_____________________________________________________________________________

100 Kapasitas Pembangkit (GW))

90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 2005

2007

PLTU-B/M/L

2009

PLTD

2011

2013

PLTG-G/M

2015

PLTA/MH

2017

2019

KOGEN

2021

PLTP

2023

2025

PLTGU-G/M

Grafik 2. Proyeksi Kebutuhan Kapasitas Pembangkit Listrik Wilayah Jawa-Bali

Selain PLTU, PLTGU diperkirakan akan tetap diperlukan untuk mengisi beban menengah. Kapasitas PLTGU diharapkan dapat meningkat dari sekitar 6 GW pada tahun 2005 menjadi sekitar 12 GW pada tahun 2025. Peningkatan kapasitas PLTGU yang relatif terbatas selain disebabkan oleh peruntukan pengoperasiaan PLTGU sebagai beban menengah juga diakibatkan oleh keterbatasan cadangan gas bumi yang ada di Jawa sehingga sangat tegantung atas pasokan gas bumi dari Sumatera, Kalimantan, dan wilayah lainnya. Dari Grafik 2 juga terlihat bahwa kapasitas PLTG, PLTA, PLTP, dan kogenerasi diperkirakan dapat terus meningkat, sebaliknya peranan PLTD (termasuk) yang dimiliki oleh pihak industri justru menurun. Peningkatan PLTG dan PLTA dalam rangka mengisi beban puncak, sedangkan peningkatan PLTP dalam rangka mengisi beban menengah. Di sisi lain, peranan PLTD sebagai jenis pembangkit beban puncak di kemudian hari diperkirakan akan semakin berkurang seiring dengan meningkatnya peran PLTG. Selanjutnya, peranan PLTD sebagai captive power di sektor industri juga diperkirakan akan berkurang seiring dengan ekonomisnya pengoperasian kogenerasi serta semakin andal dan luasnya jaringan listrik PLN. Dari Grafik 2 nampak bahwa sesuai Kasus Dasar (bussiness as usual) dan sesuai dengan fungsi obyektif biaya minimum dengan interest rate sebesar 10%, PLTN yang merupakan jenis pembangkit yang dioperasikan sebagai beban dasar bukan menjadi pilihan yang optimal karena kalah bersaing dengan PLTU-Batubara.

ISSN 1410-3680

Biaya Pembangkitan Biaya pembangkitan listrik dipengaruhi oleh 3 (tiga) komponen utama, yaitu biaya investasi, biaya operasi tetap dan variabel, dan biaya bahan bakar. Ketiga komponen biaya tersebut menghasilkan biaya produksi PLTU masih lebih rendah daripada biaya produksi PLTN seperti ditunjukkan pada Grafik 3. Besarnya biaya produksi listrik PLTU-batubara dihitung dengan biaya investasi (termasuk FGD dan IDC) sebesar 1.218 USD/kW dengan AF sebesar 80,4%, lifetime selama 30 tahun, harga batubara sebesar 32 USD/Ton, efisiensi sejumlah 37%, dan biaya operasi dan perawatan sebanyak 24,001 USD/kWy. Adapun biaya produksi listrik menggunakan PLTN dihitung dengan biaya investasi sebanyak 1.689 USD/kW (PWR, termasuk decommissioning), AF sebanyak 95%, lifetime selama 40 tahun, harga bahan bakar sebesar 0,0036 USD/kWh, efisiensi sebesar 37,2% dengan biaya operasi dan perawatan sebesar 38,11 USD/kWy. Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa biaya pembangkitan PLTN relatif lebih besar dibanding dengan biaya pembangkitan PLTU-Batubara, meskipun faktor kapasitas dan umur teknis PLTN jauh lebih baik dibanding dengan PLTU-Batubara. Tingginya biaya pembangkitan disebabkan oleh mahalnya biaya investasi PLTN yang mencapai 59% terhadap total biaya pembangkitan, bandingkan dengan PLTUBatubara yang mencapai 53% terhadap total biaya pembangkitan.

41

M.P.I. Vol.1 No.1. April 2007, 38 - 50

________________________________________________________________________

Biaya Pembangkitan (mills/kWh)

35.20 35.10 35.00 34.90 34.80 34.70 34.60 PLTU

PLTN

Grafik 3. Biaya Pembangkitan Marginal Tahun 2020

Meskipun demikian, biaya bahan bakar PLTN relatif lebih murah dibanding dengan biaya batubara, masing-masing dengan pangsa sekitar 28% dan 37% terdadap total biaya pembangkitan. Namun demikian, biaya operasi dan perawatan tetap dan variabel suatu PLTU-Batubara relatif lebih rendah dibanding dengan PLTN. Dengan kondisi ini, keekonomisan suatu PLTN di kemudian hari sangat ditentukan oleh seberapa mahal harga batubara. Seperti diketahui bahwa harga batubara cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya harga minyak bumi dunia dan meningkatnya tekanan terhadap lingkungan sehingga sebagian negara maju menerapkan pajak terhadap penggunaan batubara.

Kebutuhan Bahan Bakar Dalam pengoperasian pembangkit listrik sesuai dengan kapasitas tersebut diperlukan fuel mix sebagaimana ditunjukkan pada Grafik 4. Dari Grafik 4 nampak bahwa peranan batubara sebagai bahan bakar pembangkit listrik di Jawa-Bali sangat dominan mengungguli bahan bakar lainnya. Pada tahap awal, kebutuhan BBM relatif tinggi sehubungan dengan terhambatnya pasokan gas bumi untuk pengoperasian PLTGU, sehingga PLTGU menggunakan bahan bakar BBM, namun penggunaan BBM untuk PLTGU Muara Tawar akan beralih ke gas bumi seiring adanya pasokan gas bumi dari lapangan gas Pertamina di Sumatera Selatan dan lapangan gas Conoco Philips juga di Sumatera Selatan.

100% Pangsa Bahan Bakar (%)

90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% 2005

2007 Air

2009

2011

Batubara

2013 BBM

2015

2017 Gas

2019

2021

Panasbimi

2023

2025

Sampah

Grafik 4. Pangsa Bahan Bakar untuk Pembangkit Listrik di Jawa-Bali

42

ISSN 1410-3680

Prospek PLTN Dalam Sistem Kelistrikan Jawa Bali (La Ode Muhammad Abdul Wahid)

_____________________________________________________________________________

Kasus Pengembangan PLTN Suplai Batubara Terbatas

Pasokan Batubara (Juta Ton))

Sebagaimana diuraikan bahwa dalam kasus BAU, yaitu penambahan kapasitas pembangkit listrik apa adanya sesuai kondisi saat ini, nampak bahwa kebutuhan batubara untuk PLTU di Jawa-Bali meningkat terus dari lebih dari 20 juta ton pada tahun 2005 kemudian meningkat menjadi sekitar 72 juta ton pada tahun 2016 untuk selanjutnya menjadi sekitar 159 juta ton pada tahun 2025. Dengan pasokan batubara ke PLTU 180

4.5

160

4

140

3.5

120

3

100

2.5

80

2

60

1.5

40

1

20

0.5

0

Kapasitas PLTN (GW))

sebanyak itu menyebabkan PLTN belum menjadi pilihan optimal dalam sistem kelistrikan di Jawa-Bali. Sebaliknya, PLTN dapat menjadi pilihan optimal dalam sistem kelistrikan di Jawa-Bali apabila pasokan batubara dari Sumatera dan Kalimantan atau impor ke Jawa-Bali mengalami hambatan akibat cuaca yang buruk, kemampuan pelabuhan penerima batubara yang terbatas, kemampuan alat angkut vessel atau barge yang terbatas, kemampuan produksi batubara yang terbatas, dan lainnya. Dari hasil kajian yang mempertimbangkan kemampuan pasokan bahan bakar seluruh sistem kelistrikan di Jawa-Bali dan semua sistem keenergiaan nasional menunjukkan bahwa PLTN akan menjadi pilihan yang optimal dalam sistem kelistrikan di Jawa-Bali apabila kemampuan pasokan batubara untuk PLTU ke Jawa-Bali pada tahun 2016 di bawah 53 juta ton dan menurun menjadi di bawah 140 juta ton pada tahun 2025. Dengan demikian, semakin terbatas kemampuan pasokan batubara ke Jawa-Bali, semakin besar peluang pemanfaatan PLTN. Adapun kapasitas PLTN sebesar 1,05 GW mencapai 1 unit pada tahun 2016, lalu meningkat menjadi 2 unit pada tahun 2019, 3 unit pada tahun 2023, kemudian 4 unit pada tahun 2025 sebagaimana ditunjukkan pada Grafik 5.

Selanjutnya, pangsa penggunaan gas bumi sebagai bahan bakar pembangkit listrik (PLTGU dan PLTG) diperkirakan akan terus menurun seiring dengan keterbatasan pasokan gas bumi nasional dan peruntukan gas bumi yang lebih diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan sektor industri sebagai substitutor BBM yang sejauh ini banyak digunakan oleh sektor industri. Peranan tenaga air sebagai sumber bahan bakar PLTA/PLTMH secara bertahap diperkirakan akan terus menurun seiring dengan terbatasnya lahan untuk pembangunan waduk dan meningkatnya kebutuhan air pada sektor pertanian. Adapun pangsa penggunaan panas bumi juga diperkirakan akan menurun meskipun kapasitas PLTP di Jawa-Bali pada tahun 2025 dapat mencapai 2,97 GW.

0 2005

2007

2009

2011

2013

PLTN (Kasus Pasokan)

2015

2017

Kasus BAU

2019

2021

2023

2025

Kasus Pasokan Batubara

Grafik 5. Kemampuan Pasokan Batubara Versus Kapasitas PLTN di Jawa-Bali

Kondisi ini memungkinkan mengingat penurunan pasokan batubara memerlukan pasokan bahan bakar selain batubara untuk mengoperasikan pembangkit non PLTUbatubara. Sementara itu, kemampuan ISSN 1410-3680

pasokan energi fosil selain batubara dan energi terbarukan lainnya terbatas akibat kemampuan ketersediaannya dan/atau keekonomiannya. Dalam hal ini, kemampuan pasokan listrik dari luar Jawa-Bali ke sistem 43

M.P.I. Vol.1 No.1. April 2007, 38 - 50

________________________________________________________________________ kelistrikan Jawa-Bali melalui transmisi produksi listrik PLTU batubara mulut tambang di Tanjung Enim sudah dipertimbangkan dengan kapasitas maksimum sebesar 3 GW (5 unit kapasitas 600 MW). Namun demikian, adanya rencana pemerintah untuk mengubah pajak dari hasil produksi batubara dari dalam bentuk uang menjadi bentuk produk (batubara) diperkirakan akan meningkatkan kemampuan pasokan batubara ke Jawa-Bali, sehingga secara ekonomis dapat menjadi kontra produktif dengan rencana program pembangunan PLTN. Langkah ini ditempuh pemerintah mengingat sebagian besar rencana produksi batubara nasional telah terikat kontrak jangka panjang dengan pembeli atau konsumen luar negeri. Harga Batubara Tinggi Selain kemampuan pasokan batubara yang terbatas yang membuat PLTN secara ekonomis dapat menjadi pilihan optimal dalam sistem kelistrikan di Jawa-Bali, faktor harga batubara juga dapat menjadi penyebab

diperlukannya PLTN dalam sistem kelistrikan di Jawa-Bali. Dalam kasus dasar (BAU), harga batubara pada tahun 2005 diasumsikan sebesar 35 USD/ton dan berfluktuasi sesuai dengan asumsi perubahan harga minyak bumi. Dengan harga dasar 35 USD/ton tersebut PLTN tidak menjadi pilihan optimal dalam sistem kelistrikan di JAWA-BALI. Namun, apabila harga batubara diasumsikan sebesar 50 USD/ton pada tahun 2005 atau sekitar 36 USD/ton pada tahun 2016 menjadikan PLTN kompetitif dengan PLTUBatubara. Adapun kapasitas PLTN mencapai 1 unit 1,05 GW pada tahun 2019 dan meningkat menjadi 2 unit (2,1 GW) pada tahun 2023. Fenomena ini menunjukkan bahwa pemanfaatan PLTN terkait dengan harga batubara, sehingga semakin tinggi harga batubara semakin besar peluang pemanfaatan PLTN pada sistem kelistrikan di Jawa-Bali. Grafik hubungan antara harga batubara dengan kapasitas PLTN ditunjukkan pada Grafik 6.

2.5

50

2

40 1.5 30 1 20 0.5

10 0

Kapasitas PLTN (GW))

Harga Batubara (USD/ton))

60

0 2005 2007 2009 2011 2013 2015 2017 2019 2021 2023 2025

PLTN (Kasus Harga)

Kasus BAU

Kasus Harga

Grafik 6. Harga Batubara versus Kapasitas PLTN di Jawa-Bali Biaya Investasi Rendah Salah satu faktor yang menyebabkan PLTN belum menjadi plihan optimal dalam sistem kelistrikan di Jawa-Bali adalah mahalnya biaya investasi yang diperlukan untuk membang suatu PLTN. Biaya investasi PLTN kapasitas 1,05 GW adalah 1.689 USD/KW dimana biaya ini sudah termasuk interest during construction (IDC) dan biaya penanganan limbah nuklir. 44

Bandingkan dengan biaya investasi PLTUBatubara kapasitas 600 MW hanya sekitar 1.218 USD/KW, termasuk biaya teknologi denitrifikasi NOx dan IDC. Meskipun demikian, seiring dengan pengembangan PLTN yang lebih efisien, diperkirakan biaya investasi PLTN masih dapat ditekan. Sebagai informasi bahwa pada dasawarsa tahun 1980-an, biaya investasi PLTN mencapai lebih dari 2.000 ISSN 1410-3680

Prospek PLTN Dalam Sistem Kelistrikan Jawa Bali (La Ode Muhammad Abdul Wahid)

_____________________________________________________________________________ menjadi 4 unit PLTN pada tahun 2025 (lihat Grafik 6). Dengan demikian, agar pemanfaatan PLTN dapat optimal diperlukan subsidi biaya investasi yang harus ditanggung oleh pemerintah melalui pengurangan pajak bea masuk, pengurangan biaya pengadaan lahan, dan berbagai insentif lainnya yang dapat menekan biaya investasi pembangunan PLTN.

1800

4.5

1600

4

1400

3.5

1200

3

1000

2.5

800

2

600

1.5

400

1

200

0.5

0

Kapasitas PLTN (GW)

Biaya Investasi (USD/kw)

USD/KW, sedangkan biaya investasi PLTN saat ini mencapai 1.689 USD/KW. Sesuai dengan hasil kajian menunjukkan bahwa PLTN kompetitif dengan PLTU-batubara apabila biaya investasi PLTN dapat ditekan hingga 1.249 USD/KW. Dengan investasi tersebut pengoperasian PLTN diharapkan dapat dimulai pada tahun 2017 dengan 1 unit kapasitas 1,05 GW hingga terus meningkat

0 2005

2007

2009

2011 2013

PLTN (Kasus Investasi)

2015

2017 2019

Kasus BAU

2021

2023

2025

Kasus Investasi

Grafik 7. Biaya Investasi PLTN versus Kapasitas PLTN di Jawa-Bali

Suku Bunga Rendah Dalam Kasus Dasar (BAU), discount rate yang digunakan adalah 10% per tahun dan menyebabkan PLTN tidak kompetitif dengan PLTU-Batubara. Seperti diketahui bahwa PLTN termasuk teknologi dengan risiko tinggi, sehingga umumnya discount rate yang digunakan dalam perhitungan investasi PLTN di atas 10%. Dalam hal ini, discount rate adalah tingkat suku bunga yang digunakan dalam menghitung capital recovery factor (CFR) untuk menentukan biaya tahunan dari investasi (discounted cost ke tahun dasar). Mengingat investasi PLTN yang lebih tinggi dibanding dengan PLTU menyebabkan dengan discount rate sebesar 10% saja PLTN belum bersaing dengan PLTU apalagi dengan discount rate di atas 10%. Dengan demikian, agar PLTN dapat kompetitif dengan PLTU-Batubara memerlukan tingkat suku bunga yang lebih rendah dari 10%. Adapun besarnya tingkat suku bunga dan

ISSN 1410-3680

kapasitas PLTN ditunjukkan pada Grafik 8. Dari Grafik 8 terlihat bahwa dengan discount rate sebesar 7%, PLTN dapat mulai berproduksi pada tahun 2016 (1,05 GW), sedangkan dengan discount rate sebanyak 9%, maka PLTN baru dapat masuk ke sistem kelistrikan Jawa-Bali pada tahun 2023, itupun hanya 1 unit sebesar 1,05 GW. Berbagai kondisi tersebut dapat diupayakan oleh pemerintah apabila keberadaan PLTN dianggap memiliki keuntungan politis, sosial, budaya, dan hankam. Seperti diketahui bahwa pengoperasian PLTN oleh suatu negara secara politis dapat meningkatkan daya tawar dan nilai strategis dari negara tersebut. Demikian pula dari sudut pandang sosial dan budaya karena hanya negara yang mempunyai nilai sosial dan budaya yang tinggi yang mampu mengoperasikan suatu PLTN.

45

M.P.I. Vol.1 No.1. April 2007, 38 - 50

________________________________________________________________________ Tabel 1. Beberapa Usulan Penetapan Instrumen Kebijakan Dalam Pengelolaan PLTN Muria Dalam Tahun Instrumen

Bentuk

Kebijakan

Kebijakan

Regulasi

Tahun 07

Perpres tentang PLTN



Kep Ka Bapeten tentang Izin Tapak



08

09

10

11

12

13

14

15

17



Kep Ka Bapeten tentang Izin Konstruksi



Kep Ka Bapeten tentang Izin Komisioning



Kep Ka Bapeten tentang Izin Operasi Kep Ka Bapeten tentang Izin Dekomisioning Kep. Men Keu tentang Pembebasan/Pengurangan Bea Masuk Kep. Mendagri tentang Penyediaan Lahan Gratis Kep. Men Keu tentang Jaminan Kredit Ekspor Kep. Men Keu tentang Potongan Pembayaran/Diskon Keppres tentang Subsidi Biaya Produksi Listrik Kep Men Keu tentang Pembebasan/Pengurangan PBB Kep Men Keu tentang Subsidi Suku Bunga

Insentif

16



























√ √

















Keppres tentang Jaminan Pemerintah Kemitraan

Kerjasama dengan Stakeholders























Edukasi/Sosialisasi

Edukasi/Sosialisasi kepada Masyarakat























4.5 Kapasitas PLTN (GW)

4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0 2016

2017

2018

2019

DR-7%

2020

2021

2022

2023

DR-8%

2024

2025

DR-9%

Grafik 8. Discount Rate versus Kapasitas PLTN di Jawa-Bali Oleh karena itu, apabila pemerintah melalui pertimbangan politis, sosial, budaya, dan hankam bahwa PLTN pertama yang terletak di Semenanjung Muria, Jepara, Jawa Tengah dapat dioperasikan mulai tahun 2016, maka seyogyanya pemerintah menetapkan beberapa instrumen kebijakan 46

yang pada gilirannya akan mendorong PLTN secara ekonomis dapat bersaing dengan PLTU-batubara. Beberapa instrumen kebijakan tersebut dapat dilakukan dari sudut regulasi, insentif, kemitraan, serta edukasi dan sosialisasi. Beberapa bentuk instrumen kebijakan yang dapat dilakukan untuk ISSN 1410-3680

Prospek PLTN Dalam Sistem Kelistrikan Jawa Bali (La Ode Muhammad Abdul Wahid)

_____________________________________________________________________________ mendukung pengelolaan PLTN ditunjukkan pada Tabel 1.(terlampir).

izin operasi, dan izin dekomisioning yang ditetapkan oleh Kepala Bapeten (Badan Pengawas Teknologi Nuklir).

INSTRUMEN KEBIJAKAN

Untuk memperoleh izin tersebut diperlukan waktu yang cukup signifikan. Biasanya waktu yang diperlukan mulai dari identifikasi lokasi PLTN sampai dengan beroperasinya PLTN diperlukan waktu minimal 11 tahun sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 1. Oleh karena itu, mengingat pengoperasian PLTN pertama di Indonesia dijadwalkan mulai beroperasi pada tahun 2016, seyogyanya izin tapak PLTN sudah diajukan oleh Badan Pelaksana kepada Bapeten untuk diproses. Namun, mengingat pembangunan PLTN masih menuai kontroversi, maka untuk memperoleh kepastian hukum dan politis yang tetap, sebaiknya pemerintah melalui Presiden menetapkan Penpres tentang PLTN. ¾ Seperti dijelaskan bahwa pengoperasian PLTN secara ekonomi masih relatif lebih mahal dibanding dengan PLTU Batubara. Untuk itu, agar PLTN lebih kompetitif dan tidak membebani masyarakat seyogyanya pemerintah memberikan berbagai insentif selama pembangunan dan pengoperasian PLTN.

Di atas sudah diuraikan bahwa PLTN secara ekonomis belum kompetitif dengan PLTU-Batubara. Selanjutnya, agar PLTN secara ekonomis dapat bersaing dengan PLTU-Batubara diperlukan kondisi kemampuan pasokan batubara yang terbatas, harga batubara yang tinggi, biaya investasi PLTN yang rendah, dan discount rate yang rendah. Regulasi Dalam pembangunan suatu Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) diperlukan berbagai regulasi tentang Perizinan Reaktor Nuklir sebagaimana amanat dari UndangUndang Nomor 10 Tahun 1999 Tentang Ketenaganukliran. Bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 17 Ayat (3) UU No 10/1999, pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2006 tentang Perizinan Reaktor Nuklir yang mengatur berbagai perizinan reaktor nuklir mulai dari izin tapak, izin konstruksi, izin komisioning,

Sumber: Nengah Sudja, Pasokan dan Kebutuhan Energi Listrik antara Crash Program dan RUPTL 2006-2015? Jakarta, 24 Januari 2007

Gambar 1. Keterlibatan Berbagai Pihak dan Jadwal Waktu Pembangunan PLTN Beberapa insentif yang dapat ditetapkan oleh pemerintah untuk mendukung ISSN 1410-3680

pembangunan dan pengoperasian PLTN adalah sebagai berikut: 47

M.P.I. Vol.1 No.1. April 2007, 38 - 50

________________________________________________________________________ ¾

Pembebasan dan/atau pengurangan bea masuk impor peralatan PLTN, ¾ Pembebasan dan/atau pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan, ¾ Penyediaan lahan yang gratis, ¾ Subsidi suku bunga selama pembangunan PLTN, ¾ Jaminan Pemerintah dalam pembangunan PLTN, ¾ Pengurangan biaya pengurusan perizinan reaktor nuklir, ¾ Potongan pembayaran/diskon, ¾ Insentif lainnya yang dapat menekan biaya investasi, dan/atau Subsidi atas biaya produksi listrik PLTN. Insentif

sebagian tergantung atas seberapa besar/banyak insentif yang ditetapkan tersebut dapat membuat pembangunan dan pengoperasian PLTN kompetitif dengan PLTU batubara. Dengan demikian, pengoperasian PLTN tidak akan menyebabkan peningkatan harga jual listrik ke konsumen. Kemitraan Indonesia merupakan salah satu negara yang telah menandatangani berbagai Peraturan Internasional di Bidang Nuklir (Konvensi/Protokol/Traktat) yang di bawah koordinasi IAEA (International Atomic Energy Agency) dan yang terkait dengan IAEA sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 2.

Insentif tersebut dapat ditetapkan/diberlakukan seluruhnya atau Tabel 2. Daftar Konvensi/Protokol/Traktat Internasional di Bidang Nuklir yang telah Ditandatangani dan/atau Diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia Tanggal Ditandatangani

Tanggal Diratifikasi

Statuta IAEA

-

22 Juli 1957

Convention on the Privileges and Immunities of the United Nations.

-

24 Juni 1969

Amandment Article VI.a.1 Statute IAEA.

-

12 Jan. 1973

Treaty on Non-Proliferation of Nuclear Weapons

2 Maret 1970

25 Nop. 1978

Safeguards Agreement with IAEA

14 Juli 1980

-

Early Notification on Nuclear Accidents Convention

26 Sept. 1986

1 Sept 1993

Convention on Assistance in the case of Nuclear Accident or Radiological Emergency

26 Sept. 1986

Konvensi/Protokol/Traktat

3 Juli 1986

5 Nov. 1986

Convention on Nuclear Safety

20 Sept. 1994

4 Okt. 2001

Southeast Asia Nuclear Weapon-Free Zone Treaty (Treaty of Bangkok)

15 Des. 1995

Comprehensive Nuclear-Test-Ban Treaty

24 Sept. 1996

Convention on Physical Protection of Nuclear Material

Joint Convention on the Safety of Spent Fuel Management and the Safety of Radiocative Waste Management Vienna Convention on Civil Liability for Nuclear Damage

-

6 Oct. 1997 -

The Protocol to Amend the 1963 Vienna Convention on Civil Liability For Nuclear Damage

6 Oct. 1997

Convention On Supplementary Conpensation For Nuclear Damage

6 Oct. 1997

Additional Protocol to Safeguards

48

1 Sept 1

29 Sept. 1999

-

ISSN 1410-3680

Prospek PLTN Dalam Sistem Kelistrikan Jawa Bali (La Ode Muhammad Abdul Wahid)

_____________________________________________________________________________ Dengan penandatangan dan/atau ratifikasi tersebut membuka peluang kemitraan antara Indonesia dengan IAEA dan lembaga terkait dalam rangka mendukung pembangunan, komisioning, pengoperasian, dan decomisioning PLTN. Kemitraan juga perlu dilakukan antara pemasok teknologi dengan operator PLTN agar program pemanfatan PLTN di Indonesia dapat berjalan maksimal. Edukasi dan Sosialisasi Isu yang paling krusial dalam pembangunan dan pengoperasian suatu PLTN adalah dukungan masyarakat. Pemahaman masyarakat atas kontribusi Iptek Nuklir bagi kemanusiaan terbukti sebagai faktor yang sangat penting bagi PLTN. Namun masih banyak kekurangpahaman masyarakat tentang radiasi dan iptek nuklir. Hal ini tidaklah mengherankan, karena iptek nuklir merupakan subyek yang kompleks. Meskipun demikian, kompleksitas tersebut hendaknya tidak berakibat adanya salah persepsi yang berkelanjutan. Pemahaman masyarakat yang benar merupakan kunci dan kunci terhadap proses ini adalah budaya baru tentang keterbukaan, transparasi dan obyektivitas. Untuk itu, hendaknya iptek nuklir dapat dikomunikasikan dan disosialisasikan sesuai paradigma tersebut termasuk di dalamnya aspek-aspek peraturan internasional yang mengaturnya. Dengan peningkatan aktivitas sosialisasi tersebut diharapkan penolakan masyarakat atas rencana pembangunan PLTN dapat diminimalkan. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan •



Berdasarkan data tekno-ekonomi PLTN saat ini diketahui bahwa dengan harga batubara di bawah 33 USD/Ton menyebabkan biaya pembangkitan PLTN masih lebih tinggi dibanding dengan biaya pembangkitan PLTU-batubara, yaitu 35,112 cent/kWh (PLTN) berbanding 34,782 cent/kWh (PLTUBatubara). PLTN dapat bersaing dengan PLTUBatubara apabila kemampuan pasokan batubara ke Jawa-Bali terbatas, harga batubara yang tinggi, adanya subsidi/insentif sewaktu pembangunan

ISSN 1410-3680

maupun pengoperasian PLTN, seperti pembebasan dan/atau pengurangan bea masuk impor peralatan PLTN, pembebasan dan/atau pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan, penyediaan lahan yang gratis, subsidi suku bunga selama pembangunan PLTN, jaminan Pemerintah dalam pembangunan PLTN, pengurangan biaya pengurusan perizinan reaktor nuklir, potongan pembayaran/diskon, insentif lainnya yang dapat menekan biaya investasi, dan/atau subsidi atas biaya produksi listrik PLTN. Saran Oleh karena pertimbangan non ekonomi ditetapkan bahwa PLTN harus sudah berproduksi pada tahun 2016, maka seyogyanya Pemerintah menempuh beberapa kebijakan yang bertujuan untuk memperkecil biaya produksi PLTN dan meningkatkan kemampuan SDM, misalnya dengan menerbitkan beberapa regulasi dan insentif, serta melakukan berbagai kerjasama dengan stakeholders, dan tidak kalah pentingnya adalah sosialisasi manfaat PLTN terhadap sistem kelistrikan Jawa-bali di kemudian hari. DAFTAR PUSTAKA: 1. Nengah Sudja. Pasokan dan Kebutuhan Energi Listrik antara Crash Program dan RUPTL 2006-2015. Jakarta 24 Januari 2007 2. ........., BPPT. Hasil Run Model MARKAL. April 2006 3. ........., BATAN. Data Tekno-Ekonomi PLTN. 2006 4. ........., BATAN. Kerjasama Nuklir dengan berbagai pemangku kebijakan. Website 2006. 5. ........., PLN. Data Tekno-Ekonomi PLTUBatubara. 2005 RIWAYAT PENULIS La Ode Muhammad Abdul Wahid, lulusan Fakultas Teknik Sipil Universitas Hasanuddin Tahun 1985. Sejak 1987 sampai sekarang aktif melakukan penelitian bidang perencanaan energi.

49

Tabel 1. Beberapa Usulan Penetapan Instrumen Kebijakan Dalam Pengelolaan PLTN Muria Dalam Tahun Instrumen Kebijakan Regulasi

Insentif

Kemitraan Edukasi/Sosialisasi

Bentuk Kebijakan Perpres tentang PLTN Kep Ka Bapeten tentang Izin Tapak Kep Ka Bapeten tentang Izin Konstruksi Kep Ka Bapeten tentang Izin Komisioning Kep Ka Bapeten tentang Izin Operasi Kep Ka Bapeten tentang Izin Dekomisioning Kep. Men Keu tentang Pembebasan/Pengurangan Bea Masuk Kep. Mendagri tentang Penyediaan Lahan Gratis Kep. Men Keu tentang Jaminan Kredit Ekspor Kep. Men Keu tentang Potongan Pembayaran/Diskon Keppres tentang Subsidi Biaya Produksi Listrik Kep Men Keu tentang Pembebasan/Pengurangan PBB Kep Men Keu tentang Subsidi Suku Bunga Keppres tentang Jaminan Pemerintah Kerjasama dengan Stakeholders Edukasi/Sosialisasi kepada Masyarakat

07 √

08

09

10

11

12

13

14

Tahun 15 16 17

18

19

20

21

22

23

24

25

√ √ √ √



























√ √





























































































√ √















































M.P.I. Vol.1 No.1. April 2007, 58 - 65

_________________________________________________________________

KEKUATAN KONSTRUKSI ZINCALUME PROFILE ROOF TERHADAP BEBAN ANGIN Dwi Purwanto Balai Besar Teknologi Kekuatan Struktur – BPP Teknologi Abstract Zincalume profile roof is a kind of roof profile is composed of 55% aluminum and 45% zinc. Owning performance the nattiness and anti leaking because using locking system with boltless system, so that can given contribution to building esthetics and protection which do well by leakage. For know the strength of roof construction to wind load to be done simulation test of wind load with give flat load to surface of zincalume profile roof. From the test result can be conclusion that the yield stress of zincalume profile roof material is 694, 35 N/mm2, locking strength of bolt 9, 41 kN. The strength of zincalume profile roof construction to hold on negative compression load for gording distance of 1700 mm is 354, 39 kg/mm2. Whereas the biggest negative compression load of wind is 57, 8 kg/m2. So, the construction of zincalume profile roof secure from the using of various kind of gording surface for using at mainland or beach zone. Kata kunci : Zincalume, konstruksi, protection, gording

PENDAHULUAN.

METODE PENGUJIAN.

Fungsi atap adalah untuk melindungi bangunan beserta isinya dari pengaruh panas sinar matahari dan hujan. Bentuk dan bahan atap harus serasi dengan rangka bangunan (gording) agar dapat menambah indah dan anggun serta menambah nilai dari harga bangunannya. Makalah ini membahas simulasi pengujian konstruksi zincalume profile roof tehadap beban angin yang bekerja dan evaluasi kekuatan konstruksi dari zincalume profile roof serta kekuatan sistim penguncian baut (boltless and locking system). Zincalume profile roof merupakan salah satu jenis atap yang terbuat dari bahan yang terdiri dari 50% berat aluminium dan 45% berat seng. Memiliki performance yang rapi dan anti bocor karena menggunakan sistem penguncian (locking system) dengan baut tersembunyi (boltless system) sehingga dapat memberikan konstribusi terhadap estetika bangunan dan perlindungan yang baik terhadap kebocoran. Zincalume profile roof memiliki bentuk gelombang yang kokoh dan mampu menahan beban yang besar serta dapat dipasang pada bentang rangka atap (gording) yang lebar, kemungkinan terjadinya kebocoran sangat kecil, memiliki kapasitas penampungan yang besar, mampu dipasang pada kemiringan yang landai serta dapat diproduksi dan dipasang tanpa sambungan.(1) 58

Pengujian zincalume profile roof dilakukan untuk mendapatkan parameterparameter sebagai berikut: ¾ Kuat tarik dan tegangan luluh dari material zincalume profile roof. ¾ Kekuatan tarik komponen sambungan atap ¾ (roof connector) terhadap rangka atap (gording). ¾ Kekuatan konstruksi zincalume profile roof terhadap beban tekan positip dan beban tekan negatip (isap). Uji Tarik Material. Pengujian tarik material dilakukan terhadap benda uji tarik standar dari zincalume profile roof . Pada daerah uji (gage length) dari benda uji dipasang extensiometer guna mengukur besarnya regangan luluh (yield strain) dari material. (2)

Uji Tarik Komponen Sambungan. Pengujian komponen sambungan atap (roof connector) terhadap rangka atap (gording) dilakukan dengan menarik komponen sambungan terpasang pada rangka atap. (2) ISSN 1410-3680

Kekuatan Konstruksi Zincalume Profile Roof Terhadap Beban Angin (Dwi Purwanto)

_________________________________________________________________

Gambar 4. Komponen roof connector.

Gambar 1. Zincalume profile roof

Gambar 5. Pengujian Tarik Roof Connector Vs Gording. Gambar 2. Boltless And Locking System Zincalume Profile Roof

Uji Tekan Positif & Negatif Konstruksi Atap. Pengujian tekan positif dan negatif dilakukan dengan memberikan beban merata terhadap permukaan dari zincalume profile roof.(2) Pengujian dilakukan dengan prosedur sebagai berikut: ¾ ¾

¾ Gambar 3. Pengujian Tarik Material Zincalume Profile Roof. ¾ ¾

ISSN 1410-3680

Menempel strain gage pada daerah yang diperkirakan mengalami regangan paling besar. Mengisi lembah dari zincalume profile roof dengan kayu lapis sedemikian rupa sehingga distribusi beban yang diberikan tersebar dengan merata diseluruh permukaan konstruksi zincalume profile roof. Set Up benda uji pada mesin uji PL 63 kN dengan jarak bentang antar tumpuan sesuai dengan ketentuan untuk masingmasing tipe jarak antar gording. Memasang displacement transducer untuk mengukur defleksi dari benda uji selama pengujian berlangsung. Membangkitkan dan mendistribusikan beban uji ke permukaan benda uji zincalume profile roof.

59

M.P.I. Vol.1 No.1. April 2007, 58 - 65

_________________________________________________________________

Gambar 6. Posisi Strain Gage

` Gambar 7. Set Up Uji Tekan Positif Zincalume Profile Roof

Gambar 8. Set Up Uji Tekan Negatif Zincalume Profile Roof

HASIL PENGUJIAN. Hasil uji tarik material disajikan dalam Tabel 1. Dari hasil pengujian tarik material dapat diketahui bahwa tegangan yield ratarata dari tiga buah benda uji standar adalah Sedangkan tegangan 694,35 N/mm2. maksimum rata-rata sebesar 716,54 N/mm2, 60

Dari ketiga benda uji tarik semuanya putus pada daerah uji (gage length) sehingga dapat merepresentasikan kekuatan material zincalume profile roof terhadap beban tarik statis aksial murni. Hasil uji tarik komponen sambungan atap (roof connector) terhadap rangka atap (gording) disajikan pada Tabel 2. Dari hasil pengujian dapat diketahui bahwa kekuatan rata-rata komponen roof connector terhadap gording menggunakan bolt water head adalah 9,41 kN dengan kondisi baut tecabut dari gording. Hasil uji tekan positif beban merata terhadap konstruksi dari zincalume profile roof untuk jarak bentang antar gording 1500 mm disajikan pada Tabel 3. Sedangkan untuk pengukuran regangan di sajikan pada Tabel 4. Dari hasil pengujian dapat diketahui bahwa kekuatan rata-rata konstruksi zincalume profile roof untuk jarak antar gording 1500 mm mampu menahan beban merata sebesar 592,00 kg/m2. Regangan yield (0.2%) diperoleh pada beban 7,27 kN atau setara dengan beban 363,27 kg/m2. Sedangkan regangan beban maksimum sebesar 3073 µε. Hasil uji tekan positif beban merata terhadap konstruksi zincalume profile roof untuk jarak bentang antar gording 1700 mm disajikan pada Tabel 5. Sedangkan untuk pengukuran regangan di sajikan pada Tabel 6. Dari hasil pengujian dapat diketahui bahwa kekuatan rata-rata konstruksi zincalume profile roof untuk jarak antara gording 1700 mm mampu menahan beban merata sebesar 436,21 kg/m2. Regangan yield (0.2 %) diperoleh pada beban 6,14 kN atau setara dengan beban 270,94 kg/m2. Sedangkan regangan beban maksimum sebesar 2792 µε. Hasil uji tekan negatif beban merata terhadap konstruksi zincalume profile roof untuk jarak bentang antar gording 1500 mm disajikan pada Tabel 7. Sedangkan untuk pengukuran regangan di sajikan pada Tabel 8. Dari hasil pengujian dapat diketahui bahwa kekuatan rata-rata konstruksi zincalume profile roof untuk jarak antara gording 1500 mm mampu menahan beban merata sebesar 416,80 kg/m2. Regangan yield (0.2 %) diperoleh pada beban 7,72 kN atau setara dengan beban 378,43 kg/m2. Sedangkan regangan beban maksimum sebesar 2621 µε. Hasil uji tekan negatif beban merata terhadap konstruksi zincalume profile roof untuk jarak bentang antar gording 1700 mm disajikan pada Tabel 9. Sedangkan untuk pengukuran regangan di sajikan pada Tabel ISSN 1410-3680

Kekuatan Konstruksi Zincalume Profile Roof Terhadap Beban Angin (Dwi Purwanto)

_________________________________________________________________ 10. Dari hasil pengujian dapat diketahui bahwa kekuatan rata-rata konstruksi zincalume profile roof untuk jarak antara gording 1700 mm mampu menahan beban merata sebesar 354,39 kg/m2. Regangan yield (0.2 %) diperoleh pada beban 6,16 kN atau setara dengan beban 266,66 kg/m2.

Sedangkan regangan beban maksimum sebesar 2582 µε. Data-data hasil pengujian selanjutnya dipakai sebagai bahan analisis untuk menentukan kekuatan konstruksi zincalume profile roof dalam aplikasinya menerima beban angin

Tabel 1. Hasil Uji Tarik Material Zincalume Profile Roof. Benda Penampang Beban [kN] Uji [mm2] Yield Max 1 10,50 7,30 7,50 2 10,53 7,30 7,60 3 10,51 7,30 7,50 Tegangan yield rata-rata Tegangan maksimum rata-rata

Keterangan Tegangan[N/mm2] Yield Max 695,23 714,28 Putus pada daerah ukur 693,25 721,74 Putus pada daerah ukur 694,57 713,60 Putus pada daerah ukur 694,35 [N/mm2] 716,54 [N/mm2]

Tabel 2. Hasil Uji Tarik Komponen Roof Connector Vs Gording Benda Uji 1 2 3

Beban [kN] 9,08 9,65 9,50

Defleksi [mm] 40,00 43,00 42,00

Keterangan Komponen sambungan terlepas dari rangkanya Komponen sambungan terlepas dari rangkanya Komponen sambungan terlepas dari rangkanya

Tabel 3. Hasil Uji Tekan Positif Konstruksi Zincalume Profile Roof L 1500 Benda Uji 1 2 3

Luas [m2]

Beban [kN]

Beban Keterangan Merata [kg/ m2] 10,80 589,49 Profil atap meliut 30,40 589,46 Profil atap meliut 14,00 597,05 Profil atap meliut Beban merata rata-rata = 592,00 kg/m2

Defleksi [mm] LVDT 1 LVDT 2

2,04 12,02 20,40 2,04 12,02 12,00 2,04 12,02 24,80 Beban rata-rata = 12,02 kN

Tabel 4. Hasil Pengukuran Regangan Zincalume Profile Roof L 1500 Beban [kN]

Strain Gage 1 [µε]

+ 1,74 + 2,78 + 3,77 + 4,80 + 5,67 + 6,80 + 7,27 + 8,22 + 9,51 + 10,63 + 11,28 + 10,84

+ 773 + 980 + 1193 + 1435 + 1659 + 1897 + 2029 + 2290 + 2612 + 2873 + 3073 + 3185

ISSN 1410-3680

Strain Gage 2 [µε] +2 + 33 + 64 + 99 + 131 + 168 + 192 + 241 + 310 + 381 + 428 + 405

LVDT 1 [mm]

LVDT 2 [mm]

+ 16,93 + 16,08 + 15,31 + 14,56 + 13,92 + 12,67 + 12,08 + 10,88 + 9,19 + 7,11 + 5,01 + 4,97

+ 16,43 + 15,11 + 13,92 + 12,65 + 11,55 + 9,58 + 8,74 + 6,99 + 4,55 + 1,81 - 1,21 - 4,98

61

M.P.I. Vol.1 No.1. April 2007, 58 - 65

_________________________________________________________________ Tabel 5. Hasil Uji Tekan Positif Beban Merata Zincalume Profile Roof L 1700. Benda Uji

Luas [m2]

Beban [kN]

1

2,31

2 3

Defleksi [mm]

Beban Merata [kg/m2]

Keterangan

LVDT 1

LVDT 2

9,97

17,20

14,00

431,60

Profil atap meliut

2,31

10,13

26,60

13,60

438,52

Profil atap meliut

2,31

10,13

26,60

17,60

438,52

Profil atap meliut

Beban merata rata-rata = 436,21 kg/m2

Beban rata-rata = 10,07 kN

Tabel 6. Hasil Pengukuran Regangan Zincalume Profile Roof L 1700. Beban [kN]

Strain Gage 1 [µε]

+ 1,04

+ 545

+ 2,68

Strain Gage 2 [µε]

LVDT 1 [mm]

LVDT 2 [mm]

+ 33

+ 17,73

+ 15,60

+ 979

+ 76

+ 15,28

+ 13,34

+ 3,51

+ 1215

+ 101

+ 14,21

+ 12,23

+ 4,39

+ 1456

+ 130

+ 12,87

+ 11,08

+ 5,10

+ 1663

+ 154

+ 11,79

+ 10,09

+ 6,14

+ 1971

+ 215

+ 9,73

+ 8,20

+ 6,76

+ 2182

+ 241

+ 8,52

+ 7,26

+ 7,77

+ 2525

+ 303

+ 6,06

+ 5,03

+ 8,37

+ 2678

+ 343

+ 5,24

+ 4,33

+ 8,81

+ 2727

+ 378

+ 3,64

+ 2,96

+ 9,38

+ 2792

+ 417

+ 1,51

+ 0,29

+ 9,36

+ 2789

+ 405

+ 0,97

+ 0,11

Tabel 7. Hasil Uji Tekan Negatif Beban Merata Zincalume Profile Roof L 1500. Beban Merat [kg/ m2]

Keterangan

12,00

396,00

Profil atap terlepas dari sambungan

24,40

24,00

380,88

Profil atap terlepas dari sambungan

17,60

12,80

473,52

Profil atap terlepas dari sambungan

Benda Uji

Luas [m2]

Beban [kN]

1

2,04

8,08

11,60

2

2,04

7,77

3

2,04

9,66

Defleksi [mm] LVDT 1 LVDT 2

Beban rata-rata = 8,50 kN

62

Beban merata rata-rata = 416,80 kg/m2

ISSN 1410-3680

Kekuatan Konstruksi Zincalume Profile Roof Terhadap Beban Angin (Dwi Purwanto)

_________________________________________________________________ Tabel 8. Hasil Pengukuran Regangan Zincalume Profile Roof L 1500. Beban [kN]

Strain Gage 1 [µε]

+ 1,97

+ 573

+ 2,94

+ 1145

+ 3,86

Strain Gage 2 [µε]

LVDT 1 [mm]

LVDT 2 [mm]

+ 452

+ 15,26

+ 16,00

+ 633

+ 14,09

+ 14,85

+ 2177

+ 816

+ 12,93

+ 13,60

+ 4,18

+ 2707

+ 887

+ 12,50

+ 13,16

+ 5,46

+ 5780

+ 1179

+ 10,62

+ 11,25

+ 6,73

+ 8727

+ 1594

+ 7,81

+ 8,49

+ 7,41

+ 9916

+ 1865

+ 5,99

+ 6,60

+ 7,72

+ 9922

+ 1985

+ 5,17

+ 5,79

+ 7,84

+ 9958

+ 2038

+ 4,81

+ 5,40

+ 8,62

+ 10015

+ 2363

+ 2,54

+ 2,58

+ 8,79

+ 10067

+ 2441

+ 2,00

+ 1,69

+ 9,11

+ 10233

+ 2621

+ 0,52

- 0,07

Tabel 9. Hasil Uji Tekan Negatif Beban Merata Zincalume Profile Roof L 1700. Benda Uji

Luas [m2]

Beban [kN]

1 2 3

2,31 2,31 2,31

8,08 8,40 8,08

Beban Merat [kg/ m2] 349,78 363,63 349,78

Defleksi [mm] LVDT 1 LVDT 2 12,40 29,60 27,02

Beban rata-rata = 8,18 kN

13,20 26,00 30,80

Keterangan Profil atap terlepas dari sambungan Profil atap terlepas dari sambungan Profil atap terlepas dari sambungan

Beban merata rata-rata = 354,39 kg/m2

Tabel 10. Hasil Pengukuran Regangan Zincalume Profile Roof L 1700. Beban [kN] + 1,58 + 1,87 + 2,33 + 2,68 + 3,46 + 3,68 + 4,28 + 4,58 + 5,22 + 5,59 + 6,16 + 7,32 + 7,66

ISSN 1410-3680

Strain Gage 1 [µε] + 780 + 1026 + 1453 + 1819 + 2829 + 3136 + 4150 + 4759 + 5894 + 6024 + 6547 + 8072 + 8543

Strain Gage 2 [µε]

LVDT 1 [mm]

LVDT 2 [mm]

+ 504 + 566 + 664 + 737 + 917 + 967 + 1107 + 1179 + 1353 + 1521 + 1776 + 2356 + 2582

+ 13,53 + 13,02 + 12,17 + 10,85 + 9,57 + 8,79 + 6,82 + 6,77 + 5,78 + 4,52 + 1,44 + 1,24 + 0,06

+ 14,32 + 13,62 + 12,54 + 11,70 + 9,52 + 8,94 + 7,16 + 6,20 + 3,91 + 1,48 - 2,31 -11,24 -14,96

63

M.P.I. Vol.1 No.1. April 2007, 58 - 65

_________________________________________________________________

(6)

PEMBAHASAN. Dari hasil uji tarik dapat diketahui bahwa material zincalume profile roof mempunyai tegangan yield 694,35 N/mm2, hal ini sesuai dengan spesifikasi material Zincalume High Tensile G 550.

(7) Gambar 9. Bagan Bidang Rangka Atap (1)

(2)

(3)

(4)

Dari hasil uji tarik komponen sambungan atap (roof connector) terhadap rangka atap (gording) diperoleh kekuatan rata-rata baut pengunci sebesar 9,41kN, sedangkan dari uji tekan negatif konstruksi zincalume profile roof dapat diketahui bahwa zincalume profile roof terlepas dari clip connector pada beban 7,66 kN dan 9,11 kN. Dengan demikian konstruksi zincalume profile roof tidak akan terlepas dari rangka (gording) sebelum zincalume profile roof terlepas dari clip connector. Kekuatan konstruksi zincalume profile roof terhadap beban angin ditentukan dengan menganggap adanya tekanan positip dan tekanan negatip , yang bekerja tegak lurus pada bidang atap. Besar tekanan positip dan negatip dari beban angin dinyatakan dalam kg/m2. Harga tersebut diperoleh dari hasil perkalian antara tekanan tiup dengan koefisien angin.(3) Tekanan tiup diambil minimum 25 kg/m2 dan 40 kg/m2 untuk daerah tepi laut sampai sejauh 5 km dari pantai. Untuk daerah tertentu dimana terdapat kecepatan angin yang mungkin menghasilkan tekanan tiup yang lebih besar, maka tekanan tiup harus dihitung menggunakan rumus :

V2 (kg/m2), 16 dimana : p = tekanan tiup (kg/m2) V = kecepatan angin (m/det). p=

(5)

64

Harga koefisien angin tergantung dari jenis gedung dan bentuk rangka atap seperti contoh-contoh berikut ini.(4) Dari jenis-jenis bidang rangka yang umum seperti contoh bagan diatas, harga koefisien angin terbesar adalah bagan atap pelana biasa tanpa dinding (bagan 6). Maka jika tekanan tiup angin kita ambil 40 kg/m2, konstruksi zincalume profile roof akan menerima beban tekan angin sebesar 57,8 kg/m2. Dari hasil uji tekan beban merata ISSN 1410-3680

Kekuatan Konstruksi Zincalume Profile Roof Terhadap Beban Angin (Dwi Purwanto)

_________________________________________________________________ diperoleh harga kekuatan konstruksi zincalume profile roof menahan beban tekan negatif sebesar 378,43 kg/m2 untuk jarak antar gording 1500 mm dan 266,66 kg/m2 untuk antar gording 1700 mm. Maka dapat dipastikan bahwa konstruksi zincalume profile roof sangat aman untuk pemakaian dengan berbagai jenis bidang rangka atap baik untuk pemakaian didarat maupun didaerah pantai. Dari rumus :

V2 (kg/m2), p= 16

dapat dihitung bahwa konstruksi zincalume profile roof baru bermasalah apabila kecepatan angin diatas 65 m/det atau 234 km/jam.

KESIMPULAN. Dari hasil pengujian dapat disimpulkan bahwa : • Material zincalume profile roof mempunyai tegangan yield sebesar 694,35 N/mm2. • Kekuatan penguncian baut terhadap rangka atap sebesar 9,41 kN. • Kekuatan konstruksi zincalume profile roof : Jarak antar gording 1500 mm: Beban tekan positif sebesar 592,00 Regangan yield (0.2%) pada kg/m2, beban 7,27 kN setara dengan 363,27 kg/m2 Jarak antar gording 1700 mm: Beban tekan positif sebesar 436,21 kg/m2, Regangan yield (0.2%) pada beban 6,14 kN setara dengan 270,94 kg/m2. • Kekuatan konstruksi zincalume profile roof : Jarak antar gording 1500 mm:

ISSN 1410-3680



Beban tekan negatif sebesar 416,80 kg/m2, Regangan yield (0.2%) pada beban beban 7,72 kN setara dengan 378,43 kg/m2. Jarak antar gording 1700 mm: Beban tekan negatif sebesar 354,39 kg/m2, Regangan yield (0.2%) pada beban 6,16 kN setara dengan 266,66 kg/m2. Konstruksi zincalume profile roof dapat dipakai untuk berbagai jenis bidang rangka atap untuk pemakaian didarat maupun didaerah pantai.

DAFTAR PUSTAKA. 1. Sunggono, V., Buku Teknik Sipil, Nova, Bandung, 1984. 2. …….., Boltless and Locking System Zincalume Profile Roof, PT. ADEHA METALINDO Roofing & Cladding Manufacturer, 2005. 3. …….., Pengujian Material, Komponen Dan Konstruksi Atap, Balai Besar Teknologi Kekuatan Struktur, 2006. 4. ……., Pedoman Perencanaan Pembebanan Untuk Rumah Dan Gedung, Departemen Pekerjaan Umum, 1987.

RIWAYAT PENULIS Dwi Purwanto, lahir di Purbalingga 08 Desember 1957. Menamatkan pendidikan Sarjana Teknik Fisika th 2005 di Sekolah Tinggi Teknologi Mutu Muhammadiyah. Bekerja di BPP Teknologi sejak tahun 1983. Saat ini bekerja sebagai Staf Bidang Kajian Struktur di Balai Besar Teknologi Kekuatan Struktur – BPP Teknologi dan Peneliti Bidang Material Teknik, Komponen dan Konstruksi.

65

M.P.I. Vol.1 No.1. April 2007, 66 - 71

_________________________________________________________________

PEMANASAN BERLEBIH TERHADAP BOTTOM PLATE DAPUR PENGOLAHAN FERRO-NIKEL PT. ANEKA TAMBANG Kirman M. B2TKS BPPT, Kawasan Puspiptek Serpong Tangerang

Abstract An electric furnace of Ferro-Nickel has been broken-down is caused by liquid metal went down between refractory brick to come close to a bottom plate. In consequence of that it is predicted that overheating of bottom plate have occurred and then decrease the quality of material. Visual inspection indicated that on the bottom plate surface have occurred failure or color changing. To assess the effect of the overheating to the bottom plate material then metallurgical investigation was conducted for analyzing of microstructures and hardness distribution. The investigation is also performed in new material and ex-bottom plate material with same specification to the failed material as a comparison. The results show that the microstructure is normal ferrite-pearlite and the hardness level complies with carbon steel specification SS400. These results prove that there is not effect overheating to the quality of material because overheating time is not enough for occurring a phase transformation. Kata kunci : electrical furnace, overheating, microstructure, Ferro-Nickel carbon steel

PENDAHULUAN Dapur peleburan ferro-nikel (electric furnace FeNi) milik PT. Aneka Tambang Tbk. Pomalaa (lihat Gambar 1) telah dilakukan shut down pada tahun 2004 dalam rangka pengantian sistem pendinginan dinding shell dapur. Pada saat penggantian sistem pendingin tersebut telah terjadi deformasi pada bottom plate sehingga pada shut down itu juga dilakukan penggantian bottom plate sekitar 60%. Dengan demikian, bottom plate dapur peleburan di atas saat ini terdiri dari dua jenis material berbeda, yang pada makalah ini digunakan istilah “material lama” dan “material baru”. Menurut data disain dan pemilihan material, kedua jenis material bottom plate tersebut memiliki spesifikasi baja karbon SS400. Pada proses penggantian bottom plate di atas telah dilakukan dengan cara pemanasan (preheating) untuk mencapai tingkat kerataan bottom plate yang dipersyaratkan. Preheating tersebut berakibat terjadinya pengelupasan lapisan galvanis dan perubahan warna menjadi coklat yang tampak seperti terbakar pada beberapa bagian seperti yang dapat dilihat 66

pada Gambar 2. Untuk mengetahui pengaruh pengelupasan lapisan galvanis dan perubahan warna tersebut terhadap kondisi kualitas material maka perlu dilakukan penelitian sifat-sifat material berupa struktur mikro dan kekerasan. Setelah electric furnace FeNi kembali beroperasi ±6 bulan maka tahun 2005 kembali kembali dilakukan shut down karena salah satu termokopel menunjukkan pembacaan suhu tinggi ± 900°C yang mana pada saat itu beban operasi dapur cukup tinggi di atas beban normal rata-rata yaitu 20 MWatt. Sensor termokopel tersebut mendeteksi suhu pada posisi bagian tengah susunan brick yaitu berjarak ± 500mm di atas bottom plate pada sisi metal hole. Setelah dilakukan shut down dan pembongkaran diketahui bahwa telah terjadi penyusupan logam cair mendekati ujung termokopel. Bahkan pada beberapa bagian lapisan spherical brick telah terlepas dari posisinya dan mengapung dalam logam cair. Penyusupan logam cair tersebut tidak diizinkan menurut disain. Salah satu hal yang dicurigai yang menjadi dampak dari penyusupan logam cair di atas adalah terjadinya overheating pada bottom plate dan ISSN 1410-3680

Pemanasan Berlebih Terhadap Bottom Plate Dapur Pengolahan Ferro-Nikel PT. Aneka Tambang (Kirman M)

_________________________________________________________________ selanjutnya dapat menurunkan nilai karakteristik material. Untuk mengetahui kondisi bottom plate sesungguhnya maka perlu dilakukan penelitian struktur mikro dengan teknik replika dan sifat kekerasan. Menurut keterangan operator bahwa ketika terjadi beban operasi diatas beban normal yaitu sekitar 20 MWatt telah terjadi deformasi berupa terangkatnya bagian pinggir bottom plate menjauhi H-Beam setinggi ±20mm. Kesaksian operator tersebut

tindakan awal pencegahan kerusakan yang lebih fatal.

METODE INVESTIGASI Inspeksi Visual Inspeksi visual adalah metoda pemeriksaan awal yang paling mudah dilakukan. Hasil pemeriksaan ini akan menentukan langkah pemeriksaan selanjutnya. Metoda inspeksi visual biasanya dimulai dengan yang paling sederhana dengan menggunakan mata telanjang dan kemudian dipertegas dengan menggunakan alat bantu seperti kaca pembesar dan dye penetrant. Inspeksi Sifat Kekerasan

bottom plate

15000

Gambar 1. Posisi Bottom Plate Pada Electric Furnace

galvanis terkelupas

warna berubah

Gambar 2. Permukaan Bawah Bottom Plate Baja Yang Telah Mengalami Perubahan Warna Dan Pengelupasan. di atas banyak disangsikan oleh berbagai pihak di PT. Aneka Tambang sebagai hal yang benar. Oleh karena itu, peristiwa tersebut perlu pembuktian berdasarkan kajian secara ilmiah. Semua data hasil investigasi kemudian dianalisis agar dapat mengetahui apakah material dasar dari dapur telah mengalami penurunan kondisi. Sehingga dapat ambil ISSN 1410-3680

Pemeriksaan sifat kekerasan dilakukan secara in-situ pada peralatan yang masih terpasang di lapangan pada beberapa posisi yang diperkirakan telah mengalami kerusakan atau perubahan penampilan dan juga pada posisi yang tidak mengalami perubahan yang berguna sebagai data pembanding. Pada penelitian ini menggunakan alat uji kekerasan yang portable “Equotip type LD”. Sifat kekerasan suatu material atau komponen perlu dilakukan untuk mengetahui distribusi kekerasan material pasca pemanasan berlebih sebab nilai kekerasan material akan berubah jika material mengalami pemanasan berlebih selama waktu tertentu. Penurunan kekerasan material sehingga lebih rendah dari kekerasan minimum yang dipersyaratkan oleh kondisi operasi peralatan dapat menjadi penyebab utama atau turut membantu proses terjadinya kerusakan. In-situ Metallography Replica

dengan

Teknik

In-situ metallography dengan teknik replica perlu dilakukan untuk mengetahui mikrostruktur material pada daerah yang dekat dan jauh dari kerusakan tanpa merusak komponen. Struktur mikro menjadi sangat penting diketahui sebab kerusakan akibat pemanasan berlebih yang secara visual telah terjadi kerusakan harus dibuktikan dengan analisa struktur mikro. Material yang mengalami penurunan kondisi akibat pemanasan berlebih dapat dilihat dengan analisa struktur mikro. Pemanasan berlebih dapat merubah struktur ferit-pearlit baja menjadi struktur yang terspherodisasi, 67

M.P.I. Vol.1 No.1. April 2007, 66 - 71

_________________________________________________________________ terjadi pertumbuhan butir, terjadi void atau cavity, karburisasi, dekarburisasi dsb. Perubahan struktur mikro baja karbon tersebut sangat terkait dengan temperatur pemanasan, lama waktu pemanasan, pembebanan dan kondisi lingkungan operasi. In-situ metallography dengan teknik replica persiapan permukaannya dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: grinding, polishing, dan etching. Selanjutnya dengan menggunakan cairan acetyl cellulose, tape khusus dan gelas tipis maka struktur mikro material dapat dikopi dan dibawa ke laboratorium untuk dianalisa dengan menggunakan mikroskop optik dan selanjutnya difoto sesuai dengan pembesaran yang diinginkan.

Gambar 3. Lokasi Investigasi Metalurgi Bottom Plate

HASIL DAN PEMBAHASAN Lokasi penelitian in-situ metallography dan kekerasan material bottom plate yang terpasang pada electric furnace FeNi ditunjukkan pada Gambar 3 sedangkan hasil pemeriksaan dapat dilihat pada Tabel 1. Struktur mikro pada setiap lokasi ditampilkan pada Gambar 4 s/d 11. Hasil investigasi diketahui bahwa kondisi material lama yang masih terpasang pada dapur saat ini memiliki struktur mikro berupa ferit dan pearlit butir kasar dalam kondisi normal seperti yang ditunjukkan oleh gambar 6, 7, 8, dan 10. Struktur mikro material tersebut sama dengan material bottom plate bekas seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4. Nilai kekerasan material lama yang masih terpasang pada dapur maupun material bekas yang telah diganti pada tahun 2004 memiliki nilai kekerasan yang berkisar antara 68

ferit

pearlit Gambar 4. Struktur Mikro Material Bekas Bottom Plate berupa ferit dan pearlit butir kasar’ pembesaran 500X, etsa nital 5%

Gambar 5. Struktur Mikro Material Baru Yang Belum Pernah Terpakai Berupa Ferit Dan Pearlit Butir Halus, Pembesaran 500X, Etsa Nital 5% 131 – 152 HB. Nilai kekerasan ini identik dengan kuat tarik 440 – 510 N/mm2 dan memenuhi spesifikasi material SS400 yang dipersyaratkan standar yaitu 400 – 510 N/mm2. Hasil ini menunjukkan bahwa material lama maupun material bekas yang telah diganti tidak mengalami degradasi kondisi karena spesifikasi material masih sama dengan spesifikasi material ketika awal pemasangan atau kondisi baru dimana pada saat itu didisain dan dipilih jenis material pelat dengan spesifikasi baja karbon SS400. Hasil investigasi material bottom plate, material baru yang dipasang pada tahun 2004 memiliki struktur mikro yang juga tidak mengalami perubahan atau masih tetap normal seperti diperlihatkan pada Gambar 9 dan 11. Kondisi ini sama dengan struktur mikro material baru yang belum pernah terpakai (Gambar 5) yaitu berupa ferit dan pearlit butir halus. Nilai kekerasan material baru yang belum pernah terpasang/terpakai dan material yang dipasang pada tahun 2004 ISSN 1410-3680

Pemanasan Berlebih Terhadap Bottom Plate Dapur Pengolahan Ferro-Nikel PT. Aneka Tambang (Kirman M)

_________________________________________________________________ memiliki nilai berkisar 141 – 155 HB. Nilai kekerasan ini identik dengan kuat tarik 472 – 529 N/mm2 dan memenuhi spesifikasi material SS400. Peristiwa defomasi terangkatnya bagian luar bottom plate seperti yang diillutrasikan pada Gambar 12 sangat mungkin terjadi jika suhu bottom plate dan suhu diding shell memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Suhu dinding shell diperkirakan sekitar 200°C dan pada saat terjadi beban operasi dapur sekitar 20 Mega-Watt di atas beban normal dimana termokopel yang berada dekat

bottom plate pada sisi metal hole menunjukkan pembacaan suhu ±900°C sehingga diperkirakan suhu bottom plate pada saat itu bisa mencapai 600 - 700°C. Perbedaan suhu bottom plate dan dinding shell tersebut mungkin terjadi sebab sistem pendinginan yang dimiliki oleh bottom plate dan dinding shell adalah berbeda dan pada saat itu logam cair telah mendekati bottom plate yang menyusup melewati celah antara batu tahan api (refractory brick).

Tabel 1. Tabel Hasil Pemeriksaan Struktur Mikro Dan Distribusi Kekerasan Lokasi Material bekas Material baru No.1

No.2

No.3

No.4

No.5

No.6

Kondisi Struktur mikro Struktur mikro berupa ferit dan pearlit butir kasar, kondisi normal Struktur mikro berupa ferit dan pearlit butir halus, kondisi normal Struktur mikro berupa ferit dan pearlit butir kasar, kondisi normal Struktur mikro berupa ferit dan pearlit butir kasar, kondisi normal Struktur mikro berupa ferit dan pearlit butir kasar, kondisi normal Struktur mikro berupa ferit dan pearlit butir halus, kondisi normal Struktur mikro berupa ferit dan pearlit butir kasar, kondisi normal Struktur mikro berupa ferit dan pearlit butir halus, kondisi normal

Sebagai akibat adanya perbedaan suhu tersebut di atas maka terjadi pemuaian panjang pada lingkaran luar bottom plate lebih besar dibanding pemuaian panjang pada keliling lingkaran shell. Perbedaan panjang lingkaran tersebut adalah memenuhi persamaan berikut:

Nilai Kekerasan HB

Kekerasan rata-rata

130, 133, 135, 129, 132

132

154, 157, 154, 154, 155

155

134, 135, 132, 138, 130

134

132, 133, 131, 132, 130

131

137, 137, 132, 130,137

134

143, 142, 139, 140, 141

141

155, 149, 153, 153, 152

152

149, 149, 146, 145, 150

147

α = Koefisien muai panjang baja = 12 x 10-6 C-1 Lo. = panjang keliling shell pada suhu 200oC ∆T = perbedaan suhu antara bottom plate dan dinding shell (T2-T1) T1 = suhu shell ±200oC T2 = suhu bottom plate ±600oC

∆L = α.Lo.∆T dimana: ∆L = beda panjang keliling antara bottom plate dan shell ISSN 1410-3680

69

M.P.I. Vol.1 No.1. April 2007, 66 - 71

_________________________________________________________________

Gambar 6. Struktur mikro material lama (lokasi1), berupa ferit (putih) dan pearlit (hitam) butir kasar, pembesaran 500X, etsa nital 5%

Gambar 7. Struktur mikro matrial lama pada lokasi-2 dekat posisi termo kopel yang menunjukkan suhu tinggi ( ± 900°C), berupa ferit dan pearlit butir kasar, pembesaran 500X, etsa nital 5%

Gambar 8. Struktur mikro material lama pada lokasi-3 berupa ferit dan pearlit butir kasar, pembesaran 500X, etsa nital 5%

Adanya perbedaan panjang keliling tersebut di atas maka bottom plate akan berusaha berdeformasi pada bagian tengah bottom plate atau pada bagian pinggir. Karena pada bagian atas bottom plate terdapat beban besar berupa susunan refractory brick, logam cair dan slag yang menekan bottom plate ke susunan H-beam yang menjadi landasannya sehingga deformasi penggelembungan bagian tengah bottom plate tidak mungkin terjadi. Alternatif satu-satunya yang paling mungkin menjadi posisi terjadinya deformasi adalah bagian

70

Gambar 9. Struktur mikro material baru lokasi-4 berupa ferit (putih) dan pearlit (hitam) butir halus, pembesaran 500X, etsa nital 5%

Gambar 10. Struktur mikro pada material lama pada lokasi 5 berupa ferit dan pearlit butir kasar, pembesaran 500X, etsa nital 5%

Gambar 11. Struktur mikro material baru pada lokasi-6 berupa ferit dan pearlit butir halus, pembesaran 500X, etsa nital 5%

pinggir bottom plate yaitu mendesak dinding shell naik ke atas menjauhi H-Beam.yang dipasang dintara brick kurang sempuna yang ditandai dengan masih ditemukannya bekasbekas expansion paper (Gambar 13) diantara brick yang hanya terbakar dan tidak hilang atau keluar seperti yang diharapkan. Menurut disain expantion paper tersebut dipasang untuk mengantisipasi adanya pemuaian refractory brick yang harus terbakar dan kemudian keluar/hilang dalam kurung waktu tertentu.

ISSN 1410-3680

Pemanasan Berlebih Terhadap Bottom Plate Dapur Pengolahan Ferro-Nikel PT. Aneka Tambang (Kirman M)

_________________________________________________________________



Gambar 12. Ilustrasi Deformasi Bagian Pinggir Bottom Plate Menjauhi H-Beam

expansion

Gambar 13. Expantion Paper Yang Tidak Menghilang Dan Hanya Terbakar Menjadi Warna Hitam

mempengaruhi struktur mikro dan nilai kekerasan material. Struktur mikro bottom plate adalah ferit dan pearlit yang sama dengan kondisi baru atau belum terpakai dan nilai kekerasan masih sesuai dengan spesifikasi material baja karbon SS400.

DAFTAR PUSTAKA 1. Colangelo, V.J., and Heiser, F.A., Analysis of Metallurgical Failures, John Wiley & Sons, New York, 1974 2. Dieter, G.E., Mechanical Metallurgy, 3rd Edition, McGraw-Hill International Editions, Materials Science and Engineering Series. 3. .........., Heat Treating, ASM Metal Hand Book Vol.4, ASM International Materials Park, USA, 1991 4. .........., Metallography and Microstructures, ASM Metal Hand Book Vol.8, ASM International Materials Park, USA, 1991 5. .........., Rolled Steels for General Structure, JIS G 3101, JIS Hand Book Ferrous Materials & Metallurgy I, Japan, 2001.

RIWAYAT PENULIS Penyusupan logam cair melewati susunan refractory brick terjadi akibat disain pemasangan atau mutu expantion paper

KESIMPULAN Berdasarkan analisis data hasil investigasi maka disimpulkan : • preheating dan penyusupan logam cair mendekati bottom plate berakibat terjadinya pemanasan berlebih tetapi waktu pemanasan belum cukup untuk

ISSN 1410-3680

Kirman M. menamatkan pendidikan S1 di Universitas Hasanuddin dalam bidang Teknik Mesin tahun 1990, dan pendidikan S2 di program kerjasama master antara Queensland University of Technology (QUT) dan Universitas Indonesia dalam bidang Metalurgi Material tahun 2001. Saat ini bekerja sebagai staf peneliti material konstruksi pada Bidang Kajian Material B2TKS BPPT, Puspiptek-Serpong

71

M.P.I. Vol.1 No.1. April 2007, 72 - 81

______________________________________________________________________________

SEAKEEPING DAN MOORING SARANA PEMBONGKAR ANJUNGAN LEPAS PANTAI PASKA OPERASI DENGAN UJI NUMERIK Srijanto Resowikoro Peneliti Pada Pusat Teknologi Industri dan Sistim Transportasi Abstarct. Special pontoon structures, which is used to have a job of removing used oil rig has been already designed. However, in order to know the characteristic of such pontoon regarding its stability and mooring performance, there is a need to carry out an experiment model test with regard to sea-keeping and mooring condition. There are some testing methods commonly applied so far such as an empirical, numerical, and model test as well as the test for the pontoon itself in actual scale. In the early stage, numerical test may be used in order to economize the cost. The experiment result stated that the variety of sea stage condition in term of wind, drift, and sea wave has a strongly influence to the performance of seakeeping and mooring condition. Kata kunci : seakeeping, mooring, anjungan lepas pantai, uji numerik

PENDAHULUAN. Efektifitas pengoperasian suatu struktur apung di laut baik kapal maupun anjungan minyak lepas pantai pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh kehandalan dari sistem tersebut terhadap kondisi lingkungan perairan dimana struktur tersebut dioperasikan. Dalam hal ini kehandalan olah gerak atau seakeeping serta sistem penambatan (mooring line system) dari sarana pembongkar anjungan lepas pantai paska operasi sangat penting dilakukan pengujian untuk mengetahui karakteristik kemampuan olah gerak pontoon pada saat digunakan untuk membongkar anjungan lepas pantai yang sudah tidak beroperasi lagi di perairan Indonesia khususnya di laut Jawa. Ada beberapa metode yang biasa digunakan selama ini untuk menentukan respon gerak kapal atau alat apung seperti metode empiris, uji model, uji model fisik atau pengukuran pada kapalnya sendiri (full scale measurement). Dua tahapan terakhir ini memerlukan biaya yang cukup besar dan waktu yang cukup panjang, namun untuk tahapan desain awal, metode uji model dalam bentuk numerik dapat digunakan untuk mengetahui karakteristik respon gerak dan beban tarik pada mooring lines system sarana pembongkar anjungan lepas pantai paska operasi (SPALPPO). 72

Pada pengujian seakeeping akan diketahui kelayakan saat struktur ini berlayar di laut yang berkaitan dengan kenyamanan bagi operator di dalamnya, sedangkan pada pengujian sistem penambatan atau mooring line system ini sangat berperan untuk usaha memperkecil gerakan dan menjaga keseimbangan struktur agar tetap pada posisinya dalam melakukan aktivitas pengoperasiannya. Untuk itu diperlukan perencanaan yang sistematis dan perhitungan yang akurat dalam mendesain struktur apung serta perhitungan sistem penambatan dalam mengatasi beban yang diakibatkan oleh angin, gelombang dan arus air laut. Pada umumnya penambatan struktur apung dilakukan dengan sistem konfigurasi penambatan catenary mooring yaitu pada masing-masing sudut struktur diikatkan oleh dua sampai lima mooring line pada setiap sudut hingga ke dasar laut. Untuk perhitungan pengujian seakeeping dan menentukan pembebanan maksimum pada mooring terhadap sarana pembongkar anjungan lepas pantai paska operasi ini menggunakan program SHIPMO.

METODE PENELITIAN Metode pengujian yang digunakan pada struktur sarana pembongkar anjungan lepas ISSN 1410-3680

Seakeeping Dan Mooring Sarana Pembongkar Anjungan Lepas Pantai Paska Operasi Dengan Uji Numerik (Srijanto Resowikoro)

______________________________________________________________________________ pantai paska operasi ini dengan metode numerik menggunakan Program Seakeeping SHIPMO 99-2, sedangkan untuk perhitungan beban komponen mooring menggunakan program ORCAFLEX. Keduanya untuk memprediksi unjuk kerja struktur pada saat berlayar di laut dalam menghadapi gelombang supaya dapat mempertahankan fungsi alat apung yang dapat juga dianggap sebagai transportasi laut maupun pada saat digunakan untuk membongkar anjungan lepas pantai yang sudah tidak beroperasi dengan beberapa simulasi tinggi gelombang dari beberapa sudut kearah badan SPALPPO.

kenyamanan bagi operator serta mengetahui gerakan dan menjaga keseimbangan struktur agar tetap pada posisinya.

PEMBAHASAN. Ukuran Utama Model Uji Struktur Bangunan Atas : Panjang keseluruhan ; 50,00 m Lebar keseluruhan : 50,00 m Tinggi keseluruhan :28,90 m (sampai struktur atas) Tongkang (single)

PERMASALAHAN. Diperairan Indonesia terdapat ratusan anjungan lepas pantai dengan berbagai ukuran, beberapa puluh diantaranya sudah tidak beroperasi lagi, hal ini didalam peraturan pemerintah diharuskan untuk dibongkar. Selama ini dalam membongkar anjungan lepas pantai yang sudah tidak beroperasi dilakukan dengan menggunakan keran apung, tongkang serta tug boat yang semuanya itu memerlukan biaya yang sangat mahal. Untuk itu perlu dicari alternatif teknologi yang bisa lebih murah dan efisien dan sebagai alternatif sarana untuk membongkar anjungan lepas pantai paska operasi telah dibuat desain teknologi yang dianggap lebih murah dan efisien untuk membongkar anjungan lepas pantai yang sudah tidak beroperasi lagi dengan nama teknologi sarana pembongkar anjungan lepas pantai paska operasi (ditulis dalam makalah tersendiri). Untuk mengetahui karakteristik respon gerak seakeeping dan mooring sistem dari sarana pembongkar anjungan lepas pantai paska operasi ini perlu dilakukan pengujian awal berkaitan dengan

Displacement Panjang keseluruhan Panjang Garis Air Lebar Tinggi Sarat air Coefisien Blok (Cb)

: 958 ton/unit : 55,00 m : 55,00 m : 10,00 m : 4,00 m : 2,00 m : 0,85

Untuk mengetahui kondisi gaya-gaya hidrostatik secara phisik pada model saat berada diatas air dan pengaruhnya pada saat dilakukan simulasi pengangkatan anjungan, model diapungkan di suatu kolam.

DESKRIPSI MODEL UJI Gambar Rencana Garis Model Pontoon Untuk memberikan gambaran proyeksi orthografi bentuk lambung ponton. gambar rencana garis (lines plan) dibuat dengan 3 series proyeksi orthografi yang berkaitan satu dengan lainnya, yaitu sheer plan, water plan dan body plan.

Gambar.1. Lines Plan Ponton ISSN 1410-3680

73

M.P.I. Vol.1 No.1. April 2007, 72 - 81

______________________________________________________________________________

Water plan adalah garis lengkung yang dihasilkan dari perpotongan lambung ponton dengan garis air secara parallel. Sheer plan adalah garis lengkung perpotongan secara parallel lambung ponton dengan bidang longitudinal sedangkan body plan adalah garis lengkung perpotongan secara parallel lambung ponton dengan bidang transversal.

Rencana Umum Model Pontoon. Model Ponton serta model kaki anjungan dibuat dengan skala 1 : 100 terhadap ukuran yang sebenarnya yaitu panjang model pontoon 0,55 m, Lebar 0,10 m dan Tinggi 0,04 m. sedangkan model kaki anjungan dengan tinggi 0,5 m.

Gambar 2. Rencana Umum Sarana Pembongkar Anjungan Lepas Pantai Paska Operasi

UJI NUMERIK SEAKEEPING Respon Gerak Roll Didalam uji numerik seakeeping akan dihasilkan data respon gerak (6 derajat kebebasan) yakni surge, sway, heave, roll, pitch dan yaw, Data diperoleh untuk masingmasing kondisi kecepatan, arah gelombang dan spektrum gelombang dari keenam derajat kebebasan tersebut. Untuk ini yang disajikan dalam uji numerik hanyalah respon gerak roll dan respon gerak pitch karena derajat kebebasan yang lainnya tidak signifikan untuk alat pembongkar anjungan lepas pantai paska operasi. Seluruh data dari out put hasil uji numerik diolah secara statistik dan disajikan dalam amplitude ganda signifikan (2A1/3), amplitude ganda signifikan merupakan salah satu ukuran besaran stasistik yang menunjukkan tinggi rata-rata dari 1/3 jumlah osilasi gerak atau percepatan gerak yang diukur dari puncak ke lembah dari masing-masing osilasi. Untuk lebih menyederhanakan hasil uji numerik ini serta memudahkan analisa, maka data respon gerak roll dan pitch disajikan dalam bentuk Tabel. 74

Rolling merupakan gerakan kapal yang paling penting karena hal ini dapat menyebabkan sudut dinamika oleng yang besar. Gejala terbaliknya kapal sangat berkaitan erat dengan gerakan roll ini. Gaya gelombang dapat lebih memperbesar gerak roll jika terjadi resonansi frekuensi. Selain itu jika gaya damping (redaman) kapal sangat kecil maka kapal akan mengalami gerakan roll yang lebih besar. Kecepatan kapal dan kondisi Sea State cukup berpengaruh terhadap respon gerak roll yang ditimbulkan. Dari hasil simulasi menunjukkan bahwa perbedaan kecepatan (kecepatan rendah) tidak memberi pengaruh signifikan terhadap gerak roll, namun disisi lain dengan semakin besar kondisi Sea State gelombang, maka semakin besar pula respon gerak roll yang dihasilkan. Pada Tabel 1., nilai gerak roll pada struktur sarana pembongkar anjungan lepas pantai paska operasi pada kondisi arah gelombang dari belakang 00 (following seas) dan dari depan 1800 (head seas) dianggap nol. Namun pada arah gelombang lainnya ISSN 1410-3680

Seakeeping Dan Mooring Sarana Pembongkar Anjungan Lepas Pantai Paska Operasi Dengan Uji Numerik (Srijanto Resowikoro)

______________________________________________________________________________ yaitu 450 , 900 dan 1350 respon gerak roll merupakan faktor yang penting dalam menilai unjuk kerja kapal. Pada Tabel 1. dapat dilihat bahwa pada semua kondisi kecepatan dan arah gelombang pada sea state, kapal memiliki respon gerak roll yang kecil (amplitude ganda tidak melewati batas kriteria kenyamanan dimana awak kapal dapat kehilangan keseimbangan pada saat melakukan aktivitas).

Hal ini dapat dimaklumi mengingat jarak antara pontoon cukup besar. Sudut roll yang besar hanya terjadi pada kondisi sea state 3 dengan arah gelombang beam seas 900 dan arah gelombang stern quartering seas 1350 yaitu 2,90 . Nilai ini masih jauh dan aman dari nilai respon gerak roll (amplitude ganda) yang disyaratkan yaitu 160.

Tabel 1. Respon Gerak Roll SPALPPO Sudut Gelombang 0 ( )

Vs = 2 knots

Vs = 4 knots

Vs = 6 knots

Sea State 1

Sea State 2

Sea State 3

Sea State 1

Sea State 2

Sea State 3

Sea State 1

Sea State 2

Sea State 3

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

45

0,079

0,488

1,123

0,094

0,438

1,001

0,110

0,393

0,891

90

0,287

1,473

2,908

0,287

1,473

2,907

0,287

1,472

2,906

135

0,064

0,544

1,297

0,055

0,542

1,349

0,045

0,511

1,346

180

0

0

0

0

0

0

0

0

0

Respon Gerak Pitch Gerakan anggukan kapal atau pitch yang dominant merupakan gerakan yang dapat menyebabkan naik turunnya bagian-bagian ujung kapal dan dapat menghambat kegiatan crew diatas kapal. Jika terjadi gerak pitch yang berlebihan, maka selain akan berakibat buruk dan serius terhadap struktur kapal juga pada percepatan vertical tertentu juga akan

dapat menyebabkan mabuk laut pada awak kapal. Pada Tabel 2, gerakan pitch yang terjadi pada arah sudut gelombang 450 , 900 dan 1350 sangat kecil, gerakan pitch yang besar terjadi pada kondisi gelombang dari arah belakang atau 00 dan 1800 yaitu pada sea state 3 yang berkisar antara 2 derajat, masih sangat jauh dari yang gerak pitch (amplitude ganda) yang disyaratkan yaitu 60.

Tabel 2. Respon Gerak Pitch SPALPPO Sudut Gelomban g 0 ( )

Vs = 2 knots

Vs = 4 knots

Vs = 6 knots

Sea State 1

Sea State 2

Sea State 3

Sea State 1

Sea State 2

Sea State 3

Sea State 1

Sea State 2

Sea State 3

0

0,242

0,771

1,521

0,295

0,701

1,330

0,305

0,617

1,140

45

0,191

0,483

0,745

0,202

0,443

0,674

0,178

0,377

0,587

90

0,015

0,040

0,053

0,030

0,079

0,106

0,045

0,119

0,159

135

0,141

0,461

0,794

0,107

0,396

0,760

0,075

0,329

0,730

180

0,159

0,950

1,982

0,140

1,032

2,221

0,113

1,021

2,337

Uji Numerik Sistem Mooring Efektivitas pengoperasian suatu struktur apung di laut, baik kapal ataupun anjungan ISSN 1410-3680

minyak lepas pantai pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh kahandalan dari sistem tersebut terhadap kondisi lingkungan perairan dimana struktur dioperasikan. 75

M.P.I. Vol.1 No.1. April 2007, 72 - 81

______________________________________________________________________________ Dalam hal ini sistem penambatan (mooring line sistem) pada struktur apung sangat berperan untuk memperkecil gerakan dan menjaga keseimbangan struktur untuk tetap pada posisinya dalam melakukan aktifitas pengoperasiannya. Untuk itu diperlukan perencanaan yang sistematis dan perhitungan yang akurat dalam mendesain struktur apung dan mooring line sistem dalam mengatasi beban-beban yang diakibatkan oleh angin, gelombang dan arus. Pada umumnya penambatan struktur apung dilakukan dengan sistem konfigurasi penambatan catenary mooring yaitu pada masing-masing sudut struktur diikatkan oleh 2 sampai 5 mooring line pada setiap sudut struktur hingga ke dasar laut. BEBAN LINGKUNGAN Dalam perencanaan sistem penambatan suatu struktur apung dalam hal ini SPALPPO, faktor lingkungan sangat penting untuk diketahui selain jenis dari mooring line . Faktor lingkungan ini adalah arus, angin, besar gelombang, pasang surut permukaan air laut dan lainnya. Dalam kajian uji numerik sistem mooring ini hanya ditinjau beberapa faktor saja yang dianggap paling dominan dalam perhitungan beban lingkungan yaitu : Arus Beban arus pada struktur apung tergantung tingginya sarat air, kecepatan dan arah arus. Dalam hal ini kecepatan arus yang disimulasikan Vc = 1 m/s atau 1,9 knots. Gaya arus dihitung berdasarkan: a) Gaya arus transversal (CT) CT = 0,5 x PW VC2 CTC (α) ALS (Newton) Dimana : PW = massa jenis air laut VC2 = kecepatan arus CTC = koefisien yang tergantung pada arah arus (α) = sudut datang arus ALS = luas sisi struktur di bawah permukaan laut b) Gaya arus longitudinal (CL) Gaya arus yang bekerja pada struktur secara longitudinal ditambahkan gaya gesekan dirumuskan sebagai berikut :

76

CL =

⎞ ⎛ 0,075 2 ⎟ ⎜ ⎜ (log Rn − 2)2 ⎟ x 0,5 PW S VC ⎠ ⎝

Cos α/Cos α dimana :

⎞ ⎛ 0,075 ⎟ ⎜ ⎜ (log Rn − 2)2 ⎟ = gaya gesek ⎠ ⎝

Rn = Reynold number = Vc2 Cos α / L v V = viskositas kinetik air laut S = luas bidang basah

Angin Gaya angin yang bekerja pada struktur merupakan fungsi dari kecepatan angin, orientasi struktur serta parameter lainnya. Kecepatan angin yang digunakan dalam simulasi ini adalah 7,5 m/s atau 14,5 knots, sesuai dengan kecepatan angin rata-rata di perairan laut Jawa. Untuk menghitung besarnya gaya angin pada struktur tersebut dapat dihitung dengan formulasi sebagai berikut : a) Untuk gaya yang searah dengan arah angin FD = 0,5. ρ. Cd. VZ2 . A (2.2.2.1) b) Untuk gaya yang tegak lurus dengan arah angin FL = 0,5. ρ. Cl . VZ2 . A (2.2.2.2) Dimana : Cd = koefisien drug Cl = koefisien gaya angkat Ρ = rapat massa udara A = frontal area VZ = kecepatan angin pada ketinggian Z Gelombang Bentuk fisik gelombang air merupakan aliran tiga dimensi yang merambat secara random dan kontinyu serta mempunyai gaya atau energi yang dapat menimbulkan beban pada struktur (offshore platform), yang selanjutnya beban tersebut dapat mengakibatkan terjadinya 6 derajat kebebasan gerakan struktur yaitu gerakan translasi (heave, surge dan sway) dan gerakan rotasi (pitch, roll dan yaw). Untuk tujuan operasional rancangan struktur SPALPPO, kondisi lingkungan laut yang digunakan adalah kondisi perairan Indonesia yang relative moderate sebagai berikut : ISSN 1410-3680

Seakeeping Dan Mooring Sarana Pembongkar Anjungan Lepas Pantai Paska Operasi Dengan Uji Numerik (Srijanto Resowikoro)

______________________________________________________________________________ Kedalaman perairan (Wd) : 60 m Tinggi gelombang (HS) : 1,3 m Periode gelombang (T) : 5,3 m Tipe spektrum : Jonswap dengan formulasi tS( f ) =

[aH

2 mo

]

f p4 f −5 e

5⎛ f ⎞ ⎟ − ⎜⎜ 4 ⎝ f F ⎟⎠

−4

γ

⎡⎛ f ⎞⎤ ⎢⎜ −1 ⎟ ⎥ ⎢ ⎜⎝ f p ⎟⎠ ⎥ exp ⎢ 2 ⎥ ⎥ ⎢ 2σ ⎥ ⎢ ⎥⎦ ⎢⎣

Dimana : = 3,3 γ σ = 0.07; f ≤ fp 0.09; f > fp Dari input data tersebut diatas, diperoleh hasil spektrum gelombang sebagai berikut : OrcaFlex 8.4a7: bpptmooring180-45-3deg.dat (modif ied 11:03 AM on 9/10/2006 by OrcaFl

Struktur Apung Yang Ditambat. Tipe Struktur Apung. SPALPPO adalah suatu struktur apung yang bentuknya seperti pontoon sebagai alat apungnya dan mempunyai dua lambung (twin hull) dan merupakan struktur apung yang ditambat untuk jangka waktu tertentu atau dalam waktu yang singkat. Struktur ini digunakan untuk mengangkat atau membongkar anjungan lepas pantai yang sudah tidak beroperasi lagi diperairan laut dangkal. Posisinya dapat di pindahpindahkan sesuai kebutuhan. Pada saat kondisi gelombang sangat besar sistem tambat harus dilepas karena sistem mooring line struktur ini tidak direncanakan untuk menghadapi badai Gambar di bawah ini memperlihatkan bentuk dan geometri dari SPALPPO.

1.2

Spectral Density (m^2 / Hz)

1

0.8

0.6

0.4

0.2

0 0

0.1

0.2 0.3 Frequency (Hz)

0.4

0.5

Gambar 3. Spectrum Gelombang

Gambar 4. Sistem Koordinat dan Gerakan SPALPPO Struktur SPALPPO digambarkan dalam sistem koordinat x, y, z yang mengalami enam gerakan dan arah gaya mooring.

Adapun arah gelombang laut yang disimulasikan dalam perhitungan ini adalah arah 1800 (head seas), 1350 (bow quartering seas) dan 900 (beam seas).

Gambar 5. Sistem Koordinat Gerakan SPALPPO.

ISSN 1410-3680

77

M.P.I. Vol.1 No.1. April 2007, 72 - 81

______________________________________________________________________________ Konfigurasi Mooring Konfigurasi mooring sistem yang disimulasikan adalah Spread Mooring Sistem dengan bentuk Cartenary. Spread Mooring Sistem adalah sistem penambatan yang bentuk talinya menyebar mempunyai masingmasing 2 – 5 lines setiap sudutnya pada

daerah haluan dan buritan. Dalam perhitungan ini hanya ditinjau masing-masing satu line untuk setiap sudut pada haluan dan buritan pontoon sehingga total lines yang ditinjau adalah 4 lines dengan sudut 45 derajat seperti terlihat pada Gambar 6. berikut.

Gambar 6. Konfigurasi Mooring Struktur Mooring Line Gerak naik dan turunnya tegangan yang diikuti dengan getaran-getaran pada mooring perlu diperhatikan dalam perencanaan struktur mooring, sebab keduanya mengakibatkan pembebanan yang bersifat periodik pada line . Bila kekuatan struktur mooring line tidak mampu mengatasi tegangan yang terjadi maka mooring line akan mengalami kerusakan atau putus. Untuk menentukan pembebanan maksimum pada mooring, maka respon SPALPPO terhadap pergerakan gelombang harus dihitung dengan seksama dalam hal ini menggunakan program SHIPMO. Istilah catenary Mooring menjelaskan sebuah tali yang ditambat pada kedua ujungnya, satu pada dasar laut dan ujung lainnya pada struktur SPALPPO, penyebab bentuk mooring line yang landai adalah berat tali itu sendiri sehingga bentuk bentangan mooring line dari struktur hingga ke jangkar (seabed) tidak tegang tetapi renggang. Panjang line yang disimulasikan pada perhitungan ini adalah 180 m. Konfigurasi mooring line pada SPALPPO dibagi dalam 2 mode alternative yaitu :

78

Sudut mooring line terhadap barge ; 450 – bentangan line pada sumbu x dan y adalah masing-masing 120 m. ¾ Sudut mooring line terhadap barge ; 450 – bentangan line pada sumbu x dan y adalah masing-masing 140 m. Beban atau tension komponen mooring terhadap gerakan SPALPPO yang diakibatkan oleh eksitasi gelombang dapat dihitung dengan menggunakan program ORCAFLEX. ¾

Hasil Simulasi Beban Mooring Line Gerakan SPALPPO dihitung dengan menggunakan program SHIPMO yaitu RAO (Response Amplitudo Operator) untuk gerakan surge, sway, yaw, roll, pitch dan heave. Data tersebut merupakan data input pada program ORCAFLEX untuk menghitung beban komponen mooring line akibat eksitasi gaya gelombang, arus dan angin. Hasil perhitungan beban mooring line untuk kedua konfigurasi mooring line pada SPALPPO dapat dilihat pada Tabel dibawah. Pada umumnya respon gerakan horizontal akan berpengaruh secara signifikan pada gaya atau beban mooring line. Pada arah gelombang 1800 (head seas), beban pada line 1 dan 2 relatif besar, sebaliknya untuk arah gelombang 900 (beam ISSN 1410-3680

Seakeeping Dan Mooring Sarana Pembongkar Anjungan Lepas Pantai Paska Operasi Dengan Uji Numerik (Srijanto Resowikoro)

______________________________________________________________________________ seas) mengakibatkan beban line 1 dan 3 cukup besar. Fenomena yang sama terjadi pada arah gelombang 1350 (quartering seas) dimana beban pada line 1 dan 3 relatif besar.

Pada konfigurasi - 1 ini total force yang terjadi pada mooring line jauh lebih kecil dibanding total beban mooring line pada konfigurasi - 2.

Tabel 1. Beban Mooring Line Pada Konfigurasi - 1

WAVE DIRECTION (deg) 180

135

90

MOORING LINE

Line - 1

TOTAL FORCE (k.N) End A VESSEL 26.88651

End B VESSEL 41.22559

Line - 2

26.88651

41.22559

Line - 3

44.69551

48.65806

Line - 4

44.69551

48.65806

Line - 1

41.6410

89.4951

Line - 2

8.2181

61.7619

Line - 3

98.2540

15.8021

Line - 4

69.8946

26.1242

Line - 1

43.6200

50.5264

Line - 2

14.6203

16.6230

Line - 3

43.7200

50.5264

Line - 4

14.7008

16.6230

Tabel 2. Beban Mooring Line Pada Kofigurasi – 2

WAVE DIRECTION (deg) 180

135

90

ISSN 1410-3680

MOORING LINE

TOTAL FORCE (k.N) End A VESSEL

End B VESSEL

Line - 1

185.3918

203.0360

Line - 2

185.3918

203.0360

Line - 3

191.1985

200.7589

Line - 4

191.1985

200.7589

Line - 1

190.0020

204.4963

Line - 2

183.5435

195.9052

Line - 3

190.5461

204.9582

Line - 4

189.5717

194.2704

Line - 1 Line - 2 Line - 3 Line - 4

181.7904 177.4361 181.7904 177.4361

222.2048 167.0866 222.2048 167.0866

79

M.P.I. Vol.1 No.1. April 2007, 72 - 81

______________________________________________________________________________ Fenomena ini terjadi karena pada konfigurasi - 1, pretension mooring line lebih kecil dimana bentangan mooring line pada absis x dan y hanya 120 m, sedangkan pada konfigursi - 2 bentangan mooring line pada absis x dan y sebesar 140 m dengan panjang total mooring line 180 m sehingga mengakibatkan pre-tension mooring line bertambah besar dan dengan sendirinya akan menghasilkan beban atau tension pada mooring cukup besar akibat eksitasi gelombang. Dalam hal ini perlu diketahui bahwa semakin besar pre-tension mooring line maka semakin kecil gerakan excursion (perpindahan) yang dihasilkan.

KESIMPULAN. Hasil dari uji numerik seakeeping dan mooring lines sistem sarana pembongkar anjungan lepas pantai paska operasi (SPALPPO) dengan menggunakan program SHIPMO dan ORCAFLEX didapatkan bahwa untuk dapat mengurangi kesulitan atau kendala dalam menjalankan misi pada saat berlayar, maka diperlukan pemahaman dari operator atau awak kapal tentang perilaku unjuk kerja SPALPPO diatas gelombang sehingga operasional dapat dimaksimalkan. Dari hasil analisis dan pembahasan yang dilakukan terhadap unjuk kerja SPALPPO, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : • Faktor kecepatan tidak terlalu berpengaruh terhadap respon gerak struktur SPALPPO mengingat kisaran kecepatan simulasi ada pada kecepatan rendah, namun kondisi sea state cukup berpengaruh terhadap unjuk kerja SPALPPO di atas gelombang. • Pengoperasian struktur SPALPPO dalam berbagai kondisi arah gelombang dan kecepatan masih dapat dianggap sangat aman dan nyaman mengingat respon gerak yang ditimbulkan sangat kecil. Hasil uji simulasi numerik sistem tambat (mooring line sistem) pada struktur SPALPPO dapat disimpulkan sebagai berikut : • Perhitungan simulasi terhadap sistem tambat pada struktur SPALPPO sangat diperlukan untuk menjamin keamanan proses pada saat pemotongan dan pengangkatan konstruksi anjungan lepas pantai. Dari hasil uji numerik dapat diketahui bahwa gaya-gaya eksternal yang bekerja pada sebuah sistem bangunan apung sangat mooring dipengaruhi oleh gelombang, angin dan 80

arus serta bentuk konfigurasi tali tambat (mooring line ). Gaya eksternal ini sangat mempengaruhi terjadinya gerakangerakan struktur SPALPPO. Surge, Sway dan heave merupakan gerak yang paling berbahaya pada sistem tambat ini. Gerakan-gerakan ini akan memaksa struktur tersebut keluar dari posisi setimbangnya, jika gerakan yang terjadi sangat berlebihan maka akan menyebabkan tali putus dan mengancam keselamatan dan kelangsungan proses pemotongan dan pengangkatan anjungan. • Dari Tabel simulasi numerik. kombinasi antara besar dan arah gelombang, angin dan arus serta kondisi pemuatan dalam hal ini pada saat pemotongan dan pembongkaran atau penarikan anjungan keatas sangat mempengaruhi besar gerakan SPALPPO yang akan mempengaruhi besar gaya-gaya yang terjadi pada sistem tambat. • Dapat dilihat dari Tabel bahwa dengan semakin panjang tali maka semakin kecil pula beban tension pada tambat. Namun dari sisi pergerakan (ekskursi) struktur lebih fleksibel. Kondisi gerakan-gerakan struktur yang berlebihan akan menyebabkan proses pengangkatan struktur anjungan sedikit mengalami hambatan, sebaliknya apabila konfigurasi - 1 yang digunakan gerakan struktur SPALPPO kecil namun tegangan yang ditimbulkan pada tali tambat akan menjadi besar. Dari beberapa kesimpulan yang didapatkan dari uji numerik seakeeping dan mooring line sistem maka untuk pelayanan atau pelaksanaan oprasional yang maksimal perlu dibuat rekomendasi sebagai beriukut : • Struktur SPALPPO dari uji seakeeping secara teknis kelayakan berlayar di laut dengan kondisi gelombang sampai sea state 3 dapat dikatakan sangat aman, namun dari sisi kekuatan struktur jarak antara kedua pontoon cukup besar dan sangat rentan pada bagian struktur penghubungnya khususnya pada saat melakukan pengangkatan anjungan. • Mengingat desain struktur awal masih sangat aman dari sisi seakeeping, maka perlu dilakukan kajian tambahan terhadap struktur dengan jarak pontoon yang lebih kecil sehingga kekuatan struktur penghubung menjadi lebih baik. • Sedangkan pada pengujian mooring line sistem konfigurasi – 1 dapat dipilih untuk mendapatkan gerakan ekskursi struktur SPALPPO yang sangat sempit. Namun untuk mengurangi besar gaya-gaya pada ISSN 1410-3680

Seakeeping Dan Mooring Sarana Pembongkar Anjungan Lepas Pantai Paska Operasi Dengan Uji Numerik (Srijanto Resowikoro)

______________________________________________________________________________ tali tambat, maka pemilihan material tali tambat dengan breaking strength yang lebih tinggi perlu menjadi perhatian.

DAFTAR PUSTAKA. 1. Faltinsen, O.M., Sea Loads on Ships and Offshore Structures, Cambridge University Press 2. Grue, J. and Palm, E, Mean Forces on Floating Bodies in Waves and Current, Proceedings 5th International Workshop on Water Waves and Floating Bodies, Manchester, UK 1990 3. Lewis,E.V., Principle of Naval Architecture, Vol III, SNAME, 1989 4. Lloyd A.R.J.M, and Andrew, RN, Criteria for Ship Speed in rough Weather, 18th American Towing Tank Conference.

ISSN 1410-3680

5. Rys Bambang S, General Arrangement ALPPO, Laporan Teknis Intern, 2006 6. ………., , Seakeeping Performance of Ship, NORDFORSK, The Nordic Cooperative Project Assessment of Ship Performance in Seaway, 1987 RIWAYAT PENULIS Srijanto Resowikoro, lahir di Solo 11 April tahun 1950, lulus Sarjana Teknik Perkapalan dari Institut Teknologi 10 Nopember Surabaya tahun 1980. Bekerja di BPPT mulai tahun 1981. Desember 1994 – April 1995 sebagai Asisten Supervisi Pembangunan Kapal Baruna Jaya IV di Perancis, anggota tim teknis proyek pembangunan kapal interdep. Terhitung tahun 1998 sampai sekarang sebagai Peneliti pada Pusat Teknologi Industri dan Sistim Transportasi Deputi Bidang TIRBR.

81

M.P.I. Vol.1 No.1. April 2007, 82 - 90 __________________________________________________________________________________________________

SERTIFIKASI PROTOTIPE KERETA REL LISTRIK Juliarso Gondoprajogo Peneliti Pada Pusat Teknologi Industri dan Sistem Transportasi

Abstract Manufacturing processes need some inspections and testing’s to make sure that the quality of products is in accordance with their standard of quality. For a specific product namely electric rail cars (ERC) needs to apply several testing, that are static test (functional testing) for ERC's components such like propulsion system, braking system, compressors, lightings, instrumentations etc. which are necessary to be checked, to know that all of the components are functioning well. Next step is dynamic test which was done in manufacturer (P.T. INKA) test track in Madiun. Due to the shortness length of the test track which is only about 800 meters, the ERC running test could not be performed to reach its maximum speed and applying emergency brake test. Parking brake test also could not be done because the test track has no gradient. The dynamic test in that limited test track can be mentioned as pre-commissioning test, to make sure that the ERC are ready to be commissioning (general checked and performance tested) which will be executed in Jabotabek rail road network, before the ERC to be delivered to the customer that is P.T. KAI - Jabotabek Railway Transportation Division. This general check and performance test also witness by a technical team who got assignment from Minister of Communication c.q. Director General of Land Transport to check and to test the mentioned ERC for certification purpose. Certification means an acknowledgement that the Prototype ERC has a proper condition to be operated commercially. This paper describes about the general check and performance test of the Prototype ERC with a good end result. Kata kunci : sertifikasi prototipe KRL, sertifikasi, pengujian

PENDAHULUAN Didalam proses manufakturing selalu dilakukan pemeriksaan atau pengujian, agar dapat dicapai kwalitas produksi sesuai dengan standar mutu yang telah ditetapkan, pengendalian mutu produksi ini biasa disebut dengan quality control. Setiap jenis produk industri memerlukan metode dan tahap pemeriksaan serta pengujian yang berlainan. Demikian pula halnya dengan industri sarana kereta api, mempunyai prosedur pemeriksaan dan pengujian yang spesifik. Pada proses manufakturing prototipe Kereta Rel Listrik Indonesia (KRL-I) yang merupakan desain baru, diperlukan serangkaian pemeriksaan dan pengujian mulai dari pemeriksaan mutu pengerjaan, pemeriksaan dimensi dan uji terhadap kekuatan struktur badan kereta, kemudian pengujian terhadap setiap komponen untuk memastikan bahwa semua komponen dan peralatan dari KRL tersebut berfungsi 82

dengan baik. Dan yang terakhir sebelum KRL tersebut diserahkan kepada pihak pemesan, dilakukan uji performansi KRL untuk membuktikan bahwa unjuk kerja dari keseluruhan sistem KRL tersebut yang meliputi akselerasi, deselerasi, kecepatan maksimum, jarak pengereman, kenyamanan dan lain sebagainya sesuai dengan persyaratan teknis yang telah ditetapkan, disamping itu semua instrumen bekerja dengan baik. Uji performansi dengan kecepatan penuh dilakukan di jalur rel Jabotabek, yaitu lintas Manggarai – Bogor – Manggarai – Stasiun Kota – Manggarai. Perlu diketahui bahwa KRL boleh dioperasikan setelah melalui proses pemeriksaan dan pengujian oleh instansi yang berwenang didalam hal ini ialah Departemen Perhubungan yang selanjutnya akan menerbitkan sertifikat laik operasi. Sertifikat laik operasi tersebut harus diperbaharui secara berkala setiap tahun setelah menjalani pemeriksaan dan ISSN 1410-3680

Sertifikasi Prototipe Kereta Rel Listrik (Juliarso Gondoprajogo) __________________________________________________________________________________________________

pengujian. Gambar 1 memperlihatkan skema tahap pengujian KRL mulai dari proses manufakturing hingga sertifikasi. Tujuan sertifikasi ini ialah memberikan jaminan bagi operator KRL dan pengguna jasa transportasi KRL bahwa desain KRL tersebut memenuhi persyaratan teknis yang mencakup aspek kekuatan konstruksi kereta, performansi, kenyamanan dan keselamatan penumpang (safety).

Interme diate Test

Proses Manufak tur KRL

Pre – Comm.

Dan untuk keperluan sertifikasi tersebut, Direktur Jenderal Perhubungan Darat melalui Sk. No 658/HK601/DRJD/2002 tanggal 12 Agustus 2002 telah membentuk Tim Pemeriksa Dan Penguji Pertama 2 Rangkaian KRL-I Produksi P.T. INKA Madiun.

Static Test

Commis sioning

Dynamic Test

Uji Sertifikasi Oleh Dep.Hub.

Operasi Komersial

Dilakukan di Jalan Rel Jabotabek Gambar 1. Skema Tahap Pengujian KRL

Setelah prototipe KRL-I tersebut memperoleh sertifikasi kelaikan operasi, barulah dapat dioperasikan secara komersial. Dan oleh karena prototipe KRL-I yang diproduksi P.T. INKA ini merupakan KRL desain baru yang mengintegrasikan berbagai macam komponen dari berbagai pabrikan, maka setelah mengalami uji pertama dan mendapat sertifikat laik operasi, maka sebelum KRL diproduksi dalam jumlah banyak, diperlukan uji kehandalan terhadap KRL tersebut untuk mengetahui apakah prototipe KRL-I tersebut memang terbukti handal (reliable) atau tidak mengalami gangguan yang berarti selama dioperasikan didalam kurun waktu tertentu. Uji operasional untuk menilai kehandalan prototipe KRL-I tersebut dilaksanakan secara langsung sejak awal dioperasikannya prototipe KRL tersebut secara komersial selama 6 bulan dan diamati secara terus menerus. Pembahasan mengenai pelaksanaan uji operasional untuk menilai kehandalan (reliability) dari prototipe KRL-I tersebut ditulis dalam artikel lain.

ISSN 1410-3680

METODE PENELITIAN 1) Prosedur yang meliputi cara-cara dan tahap pemeriksaan/pengujian terhadap prototipe KRL-I ini diadopsi dari prosedur pemeriksaan / pengujian serta standar mutu yang telah diterapkan di pabrikpabrik kereta api di beberapa negara maju seperti Nippon Sharyo dan Hitachi Jepang, BN Belgia dan HOLEC Belanda, dimana P.T. INKA sudah pernah menjalin kerjasama alih teknologi dibidang desain dan manufakturing KRL dengan beberapa industri asing tersebut. 2) Pelaksanaan dari Pemeriksaan dan Uji Pertama terhadap prototipe KRL-I dalam rangka sertifikasi, mempergunakan referensi Petunjuk Teknis Pemeriksaan Dan Pengujian Sarana Kereta Api sesuai dengan SK Direktur Jenderal Perhubungan Darat No. SK.1076/KA.305/DRJ/2000. 3) Kabin masinis KRL dilengkapi dengan Train Monitoring System (TMS) dimana semua data yang menyangkut performansi KRL dan masalah yang timbul selama KRL dioperasikan dapat diamati dari TMS tersebut.

83

M.P.I. Vol.1 No.1. April 2007, 82 - 90 __________________________________________________________________________________________________

PETUNJUK TEKNIS PEMERIKSAAN DAN PENGUJIAN Pemeriksaan dan Pengujian KRL untuk mendapatkan sertifikat laik operasi, dilakukan oleh Tim Pemeriksa dan Penguji Pertama yang diberi tugas oleh Direktur Jenderal Perhubungan Darat. Dan sebagai pedoman dalam pelaksanaan tugas tersebut ialah mengacu pada Petunjuk Teknis Pemeriksaan Dan Pengujian Sarana Kereta Api yang ditetapkan melalui surat keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Darat nomor SK.1076/KA.305/DRJD/2000, yaitu sebagai berikut : Pengujian meliputi :

statis/stasioner

untuk

KRL,

a. Uji pertama (prototipe) untuk KRL baru, yang terdiri dari : ¾ uji kesesuaian dengan desain ; ¾ uji fungsi ; ¾ uji kinerja/performansi ; b. uji series untuk kereta rel listrik baru, yang terdiri dari : ¾ uji kesesuaian dengan desain ; ¾ uji fungsi ; ¾ uji kinerja/performansi ; c.

uji berkala/periodik untuk kereta rel listrik yang telah beroperasi : ¾ uji kesesuaian dengan desain ; ¾ uji fungsi ; ¾ uji kinerja/performansi ;

1.

Pengujian dinamis (uji untuk KRL baru, meliputi :

operasional)

a) satu rangkaian (train set), yang terdiri dari : ¾ uji sistem pengereman (elektrik dinamik / elektrik pneumatik, rem parkir);

¾ ¾ ¾

uji sistem kelistrikan ; peralatan dan perlengkapan ; kinerja pada satu rangkaian yang meliputi: - kemampuan percepatan perlambatan ; - temperatur periuk gandar ; - interior (kebisingan, temperatur, kualitas pengendaraan, fasilitas penumpang). b) Dua atau tiga rangkaian (multiple unit) yang terdiri dari : ¾ uji sistem pengereman (elektrikdinamik / elektrik-pneumatik, rem parkir ; ¾ uji sistem kelistrikan ; ¾ peralatan dan perlengkapan ; ¾ kinerja pada satu rangkaian yang meliputi : a).kemampuan percepatan / perlambatan b). temperatur periuk gandar ;

TAHAPAN PENGUJIAN DALAM PROSES MANUFAKTURING KRL Uji Pembebanan Statis Prosedur untuk melakukan uji pembebanan statik ini menggunakan referensi prosedur pengujian menurut standar industri Jepang JIS (Japanese Industrial Standard) dan prosedur pengujian menurut standar perkereta apian Eropa UIC (Union Internationale des Chemins de Fer), kemudian hasil pengujian ini dibandingkan dengan hasil pengujian statik badan kereta yang sudah pernah dilakukan sebelumnya. Badan kereta yang diuji ditumpu pada dummy bogie di tempat kedudukan air spring. Dummy bogie menggunakan sistem rolling yang memungkinkan kereta bergerak dalam arah longitudinal.

Gambar 2. Skema pembebanan Vertikal dan Horizontal

84

ISSN 1410-3680

Sertifikasi Prototipe Kereta Rel Listrik (Juliarso Gondoprajogo) __________________________________________________________________________________________________

Di beberapa titik kritis yang ditentukan dengan bantuan komputer dipasang sensor regangan (strain gauge), selanjutnya badan kereta diberi beban vertikal dan beban dalam arah longitudinal (kompresi), kemudian dilakukan pencatatan terhadap besarnya tegangan di setiap titik dimana dipasang strain gauge, serta dilakukan pengukuran terhadap adanya defleksi akibat pembebanan tersebut, Gambar 2 memperlihatkan skema pembebanan vertikaldan horizontal. Dengan terukurnya regangan pada beberapa titik akibat pembebanan statik dan dengan diketahui modulus elastik dari bahan, maka dapat diketahui besarnya tegangan pada beberapa titik dimaksud. Kriteria penerimaan hasil uji (acceptance criteria) ialah apabila tegangan yang terjadi pada titik kritis akibat beban uji masih dibawah 0,75 batas tegangan elastik maksimum yang diijinkan (yield strength) dari material yang dipergunakan pada konstruksi badan kereta tersebut. Sedangkan batas defleksi maksimum yang dapat diterima adalah 16 mm. Semua berat kereta berpenumpang penuh dan beban horizontal (kompresi) dilakukan secara bertahap 20 ton, 40 ton, 60 ton, 80 ton dan 100 ton dimana pada setiap tahap dilakukan pemeriksaan apakah kondisi kereta cukup aman dan dilakukan pencatatan besarnya tegangan pada beberapa titik. Melalui pengujian ini dapat dibuktikan bahwa tegangan terbesar untuk beban vertikal normal dan kompresi yang terjadi di strain gauge no. 47 dan tegangan terbesar pada pengujian torsi yang terjadi di strain gauge no. 30 masih dibawah 0,75 dari batas maksimum tegangan elastik yang diijinkan, maka hal ini berarti bahwa hasil pengujian dapat diterima. Defleksi terbesar yang terjadi di titik kritis C3 akibat beban vertikal maksimum, masih dibawah batas defleksi maksimum yang diperbolehkan. Dari pengujian ini dapat dilihat pula terjadinya deformasi elastik pada konstruksi badan kereta, hal ini adalah sesuai dengan teori bahwa suatu konstruksi baja akan mengalami deformasi elastik bilamana diberikan beban tarik yang besarnya tidak melebihi batas tegangan elastik (yield stress) yang diijinkan. Uraian lebih lengkap dapat dibaca pada karya tulis kami yang khusus membahas mengenai Uji Pembebanan Statik Prototipe KRL.

¾ ¾ ¾

Wiring check Uji isolasi Perbaikan segala sesuatu yang masih kurang atau salah ¾ Menyiapkan peralatan yang akan dipergunakan dalam static test Static Test ¾ ¾ ¾ ¾ ¾

Dynamic Test ¾ ¾ ¾

ISSN 1410-3680

Pengujian peralatan yang terpasang pada KRL dalam kondisi berjalan (mulai dari rangka dasar hingga atap) Pengujian propulsi (percepatan atau perlambatan, konsumsi arus listrik) Pengujian rem (keadaan normal dan keadaan darurat)

Pengujian dinamis ini dilakukan di test track P.T. INKA Madiun yang panjangnya hanya sekitar 800 meter, oleh sebab itu pengujian kecepatan KRL hanya terbatas 70 km/jam saja, karena dengan keterbatasan panjang test track tersebut tidak dapat dicapai kecepatan maksimum 110 km/jam. Sebagai catatan ; beberapa pengujian komponen dari KRL seperti bogie tidak perlu diuji lagi karena menggunakan desain bogie yang telah diuji oleh Laboratorium Uji Konstruksi Badan Pengkajian Dan Penerapan Teknologi yang berada di Serpong. Sedangkan untuk komponenkomponen yang dibuat oleh vendor, pengujiannya telah dilakukan di laboratorium pabrik pembuatnya, seperti motor traksi dan sistem kontrol buatan Hitachi Jepang, demikian juga dengan komponen elektronik yang dibuat di Jerman.

KOMISIONING DAN UJI SERTIFIKASI Sebagai persiapan atau percobaan untuk menghadapi komisioning dan uji sertifikasi yang resmi, terlebih dahulu dilakukan prakomisioning (pre commissioning test) sebagai berikut : ¾

Intermediate Test

Menghidupkan battery, pantograph, down chopper dan static inverter. Memfungsikan dan menguji peralatan kereta (lampu, semboyan, AC, kompresor). Pengujian rem. Pengujian pre dynamic. Train Monitoring System (TMS)

Uji jalan secara operasional di lintas Manggarai – Bogor – Jakarta Kota – Manggarai 85

M.P.I. Vol.1 No.1. April 2007, 82 - 90 __________________________________________________________________________________________________

¾ ¾

Uji starting dan braking pada gradient track Uji Elektro Magnit Interferensi

komisioning yaitu dalam rangka serah terima antara pihak pabrikan didalam hal ini P.T. INKA dengan pihak pemberi kerja P.T. Pakarya Industri (dahulu Badan Pengelola Industri Strategis). Dalam masa komisioning tersebut dilakukan pemeriksaan dan pengujian secara menyeluruh yang meliputi uji statik dan uji jalan (performance test) dengan mengambil rute St. Manggarai – St. Kota – St. Manggarai – Bogor – St. Manggarai. Oleh karena lingkup pemeriksaan dan pengujian untuk mendapatkan sertifikasi laik operasi pada dasarnya adalah sama dengan pengujian komisioning, maka pengujian tersebut sekaligus merupakan pengujian untuk sertifikasi laik operasi, dimana pelaksanaan pengujian tersebut dibawah pengawasan Tim Pemeriksa Dan Penguji Pertama dan disaksikan pula oleh P.T. KAI. Tim Pemeriksa selanjutnya menyampaikan laporan hasil pengujian kepada Direktur Jenderal Perhubungan Darat yang akan menerbitkan sertifikasi laik operasi. Uji performansi KRL-I ini dilakukan untuk masing-masing rangkaian (trainset) KRL-I yang terdiri dari 4 kereta (TC1 + MC1 + MC2 + TC2), dan kemudian dua rangkaian KRL-I digandeng menjadi satu. Adapun hasil pemeriksaan dan uji pertama terhadap KRL-I tersebut adalah sebagai berikut :

Istilah komisioning diartikan sebagai suatu acara pemeriksaan terhadap suatu proyek atau suatu barang pesanan yang dilakukan oleh dua belah pihak yaitu pihak pemesan (pemilik proyek) dan pihak pelaksana (kontraktor) untuk menyaksikan secara bersama-sama bahwa proyek atau barang pesanan tersebut telah selesai dibuat sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang diminta oleh pihak pemesan. Kemudian hasil pemeriksaan dan pengujian selama komisioning tersebut dijadikan sebagai lampiran dari dokumen serah terima proyek atau barang, yang lazim disebut sebagai dokumen Berita Acara serah terima Proyek/Barang, sebagai bukti bahwa proyek dimaksud sudah selesai dikerjakan sesuai pesanan dan sudah diserah terimakan kepada pihak pemesan. Selanjutnya dokumen Berita Acara serah terima tersebut dipergunakan oleh pihak pelaksana/kontraktor untuk menagih biaya produksi KRL-I. Adapun serangkaian pengujian dalam rangka komisioning KRL tersebut meliputi : ¾ ¾ ¾ ¾ ¾ ¾ ¾ ¾

Uji Lampu Penerangan Uji Kebisingan Uji Penyegar Udara Uji Kenyamanan (Ride Index) Uji Pengereman Uji Sistem Propulsi Uji TMS Uji Power Supply

Uji Penerangan Pada uji penerangan dilakukan pengukuran kuat cahaya terhadap lampulampu interior. Lampu-lampu penerangan interior yang dipergunakan adalah lampu pendar 220 V 50 Hz satu phasa dengan kuat terang minimum 300 Lux dihitung 850 mm dari atas lantai.

Pelaksanaan pemeriksaan dan pengujian pertama untuk mendapat kan sertifikasi laik operasi dilakukan bersamaan dengan masa

MC 1

TC 1

TC 2

Gambar 3. Rangkaian KRL 1

2

3

4

5

6

7

8

9

10 11

12 13 14 ‰ A

‰

‰

‰

‰

‰

‰

‰

‰

‰

‰

‰

‰

‰

‰

‰

‰

‰

‰

‰

‰

‰

‰

‰

‰

‰

B

‰

‰

‰

‰

‰

‰

‰

‰

‰

‰

‰

‰

‰

C

Gambar 4. Lokasi Pengukuran Pada Masing-Masing Kereta 86

ISSN 1410-3680

Sertifikasi Prototipe Kereta Rel Listrik (Juliarso Gondoprajogo) __________________________________________________________________________________________________

Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa air conditioning berfungsi dengan baik.

Lampu sinyal & indikator merupakan lampu pijar 110 V DC. Lampu sorot (head light) menggunakan lampu halogen daya 75/150 Watt 24 V DC. Hasil pengukuran kuat cahaya memenuhi spesifikasi teknis yang ditetapkan yaitu tidak kurang dari 300 Lux.

Uji Kebisingan Pengukuran kebisingan dilakukan pada setiap kereta dibeberapa titik 1 sampai dengan 14 pada lajur A, B dan C Gambar 3 dan Gambar 4. Hasil pengukuran kebisingan motor car (MC2) rata-rata 69 dBA dan trailer car (TC2) rata-rata sebesar 70 dBA pada salah satu kereta TC pada kecepatan 100 km/jam, dibawah batas angka kebisingan maksimum yang diijinkan. Sebagai salah satu contoh pengukuran kebisingan pada kereta MC2 dan TC2 tersebut dapat dilihat pada Tabel 1. Angka kebisingan tersebut masih dibawah batas tingkat kebisingan (noise level) maksimum yang diperbolehkan, yaitu 80 dBA pada kecepatan maksimum 100 km/jam dan kereta dalam keadaan kosong

Uji Penyegar Udara (Airconditioning) Pada kondisi muatan terisi separo penumpang, pengujian dilakukan tanpa thermostat, suhu luar 36 ο C, temperatur di dalam kereta dapat mencapai suhu 13 ο C dan kemudian suhu konstan di 20 ο C dalam waktu 55 menit. Pada kondisi muatan penumpang terisi penuh, pengujian tanpa thermostat suhu luar 36 ο C, temperatur di dalam kereta dapat mencapai suhu 20 ο C , dan kemudian suhu konstan di 20 ο C dalam waktu 45 menit. Pengujian dengan thermostat : suhu luar 36 ο C, suhu dapat dijaga konstan sesuai setting thermostat antara 25 ο C – 26 ο C.

Tabel 1. Hasil Pengukuran Kebisingan Pada Kecepatan 100 Km/jam Tingkat Kebisingan (dBA) Nomor Titik Ukur

M2

TC2

.A

B

C

Average

Max

Min

A

B

C

Average

Max

Min

1

65.7

66.6

66.6

66.3

66.6

66.7

70.0

70.5

69.7

70.1

70.5

69.7

2

67.4

67.4

67.9

67.6

67.9

67.4

70.8

70.6

69.6

70.3

70.8

69.6

3

68.4

68.6

68.6

68.5

68.6

68.4

70.4

71.3

70.3

70.1

71.3

70.3

4

68.9

69.5

68.9

69.1

69.5

68.9

69.4

71.4

70.0

70.3

71.4

69.4

5

68.4

68.9

68.0

68.4

68.9

68.0

69.4

69.6

68.8

69.3

69.6

68.8

6

67.8

68.9

67.9

68.2

68.9

67.8

68.7

69.2

68.5

68.8

69.2

68.5

7

67,9

67,7

68.2

67.9

68.2

67.7

70.6

69.3

68.4

69.4

70.6

68.4

8

67.1

67.5

67.1

67.2

67.5

67.1

68.2

69.1

68.3

68.5

69.1

68.2

9

68.7

68.7

68.0

68.5

68.7

68.0

68.5

69.5

68.1

68.7

69.5

68.1

10

67.7

68.5

68.3

68.2

68.5

67.7

69,7

70.3

69.1

69.7

70.3

69.1

11

68.1

69.1

68.4

68.5

69.1

68.1

70.1

71.7

70.0

70.6

71.7

70.0

12

69.0

70.0

69.6

69.5

70,0

69.0

72.3

70.9

68.8

70.7

72.3

68.8

13

68.7

69.0

69.0

68.9

69.0

68.7

68.6

69.7

68.7

69.0

69.7

68.6

14

68.0

67.6

70.0

68.5

70.0

67.6

66.5

67.9

68.0

67.5

68.0

66.5

Uji Sistem Propulsi Pengujian dilakukan pada pembebanan kosong dan pembebanan penuh dengan kecepatan operasi antara 80 km/jam sampai 115 km/jam, untuk melihat kesesuaian performansi KRL terhadap spesifikasi teknis ISSN 1410-3680

yang ditetapkan serta memeriksa fungsi dan bekerjanya tiap peralatan, dengan hasil sebagai berikut : a) Akselerasi sesuai dengan spesifikasi teknis, yaitu 0,8 m/dt2. b) Deselerasi dengan dynamic brake sesuai dengan spesifikasi teknis, 0,8 m/dt2. 87

M.P.I. Vol.1 No.1. April 2007, 82 - 90 __________________________________________________________________________________________________

c) Regenerative brake dapat berfungsi dengan sempurna. d) Rheostatic brake dapat berfungsi dengan sempurna. e) Slip / slide control untuk menserempakkan putaran motor traksi berfungsi dengan sempurna. f) Satu motor traksi cut off (mati), KRL masih mampu berjalan meskipun beban penuh dan berjalan di tanjakan yang tinggi.

(g)

1

g) Electro magnetic interference (EMI), dapat dihilangkan dengan merubah parameter setting. h) Over voltage protection dapat berjalan normal (dicoba dengan tegangan 1900 volt DC selama 10 detik (OVD1) dan 2000 Volt DC sesa'at (OVD2). i) Over speed protection bekerja setelah kecepatan melampaui 110 km/jam, motor cut off.

Dangerous Operable

0,1 Good Almost very good

0,01 Very good

0,001

0,0001 0,1

1 10 Acceleration (g), Frequency (Hz)

100 (Hz)

Gambar 5. Grafik Getaran Arah Lateral Pada TC Kecepatan 100 Km/jam (g).

1 Dangerous Operable

0, 1 Good Almost very good

0,01 Very good

0,001

0,0001 0,1

1 10 Acceleration (g), Frequency (Hz)

100 (Hz)

Gambar 6. Grafik Getaran Arah Vertikal Pada TC Kecepatan 100 Km/jam

Uji Train Monitoring System (TMS) TMS terdiri dari master unit dan colour display yang memantau secara total hal-hal yang mempengaruhi pengoperasian KRL guna memudahkan perawatan dan 88

pengoperasian. Pengujian dilakukan pada semua sistem komunikasi yang ada. Semua informasi mengenai data ; besaran kecepatan, akselerasi, deselerasi, arus listrik, tegangan listrik, sistem kontrol dan informasi yang memberikan indikasi tentang tidak ISSN 1410-3680

Sertifikasi Prototipe Kereta Rel Listrik (Juliarso Gondoprajogo) __________________________________________________________________________________________________

berfungsinya beberapa peralatan tertentu seperti air conditioning, mekanisme pintu, braking system dan lain sebagainya, semuanya dapat ditampilkan pada layar monitor yang ada di dalam kabin masinis. Uji Ride Index Pengujian ride index ini ialah untuk mengukur tingkat kenyamanan bagi pengendara, didalam hal ini yang diukur adalah getaran dalam arah vertikal dan lateral yang terjadi didalam kereta dengan menempatkan alat pengukur getaran akselorometer di atas lantai kereta, dimana pengukuran getaran dilakukan pada beberapa tingkat kecepatan. Hasil pengukuran getaran direkam dalam bentuk grafik sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 5 dan Gambar 6. Dari hasil pengujian terhadap getaran (ride index), yang diukur pada beberapa tingkat kecepatan, yaitu 80 km/jam, 100 km/jam dan 110 km/jam, dalam kondisi beban maksimum, getaran yang terjadi dalam arah lateral dan vertikal adalah relatif kecil yaitu berada di dalam daerah very good. Uji Pengereman Sebelum dilakukan pengujian pengereman secara resmi oleh Tim Pemeriksa Dan Penguji Pertama KRL-I, terlebih dahulu telah dilakukan pengujian di pabrik P.T. INKA Madiun dan beberapa kali uji coba dilintas jalan rel Jabotabek. Pengujian di pabrik meliputi tes bekerjanya kompresor, pemeriksaan instrumen elektronik dan tes kebocoran instalasi rem pneumatik (air brake system). Uji pengereman dilakukan dijalur.rel dari Setasiun Kota ke Stasiun Bogor pulangpergi. Pembahasan mengenai uji pengereman KRL-I ini dapat dibaca pada karya tulis ilmiah dengan judul Sistem Pengereman KRL dan Uji Pengereman Prototipe KRL-I yang diterbitkan di majalah Warta Penelitian Departemen Perhubungan No. 08/THN.XV/ 2003. Berdasarkan resume hasil uji pengereman, dapat dinyatakan bahwa fungsi pengereman dapat berkerja sesuai dengan spesifikasi teknis, dimana : a) Saat dynamic brake off, pengereman dengan full pneumatic brake dapat berfungsi dengan baik. b) Saat dynamic brake on blending (kombinasi kerjasama rem elektrik dan mekanik), terjadi dengan sempurna ISSN 1410-3680

antara sistem kontrol VVVF (Variable Voltage Variable Frequency) dengan brake control. c) Saat parking brake di tanjakan tertinggi, KRL tidak menggelinding mundur. d) Saat berhenti di tanjakan tertinggi, holding brake bekerja dengan baik dan KRL berhenti tanpa harus mengoperasikan parking brake. e) Semua fungsi emergency brake dapat dioperasikan dengan sempurna, jarak pengereman pada kecepatan 100 km/jam adalah < 500 m dengan deselerasi 1 m/dt2. f) Anti skid dapat bekerja sempurna.

KESIMPULAN •



Dari hasil pemeriksaan dan pengujian mulai dari proses manufakturing, hingga uji performansi skala penuh, dapat dinyatakan bahwa prototipe KRL-I telah teruji dengan hasil baik. Oleh karenanya, maka terhadap prototipe KRL-I tersebut dapat diberikan sertifikat kelaikan operasi. Dengan telah terujinya prototipe KRL-I tersebut dengan hasil baik, maka terbukti bahwa industri sarana kereta api dalam negeri yaitu PT. INKA, P.T. LEN dan industri pendukungnya telah mencapai pada tahapan penguasaan teknologi desain dan manufakturing KRL dengan standar mutu yang sama dengan industri sarana kereta api negara-negara maju, sehingga tidak perlu diragukan lagi apabila dikemudian hari P.T. KAI selaku operator akan memesan KRL kepada P.T. INKA dalam jumlah banyak dengan spesifikasi teknis yang sama seperti prototipe KRL-I tersebut.

DAFTAR PUSTAKA 1. Hartono AS, Tingkat Keandalan Sistem Kontrol VVVF Pada Kereta Rel Listrik Jabotabek, Perusahaan Umum Kereta Api 1999. 2. .........., Studi Standarisasi Kereta Rel Listrik Jabotabek, Departemen Perhubungan 1986 3. ..........., Tentang Standar Spesifikasi Teknis Kereta Rel Listrik Jabotabek, Keputusan Menteri Perhubungan No. KM 41/PL 304/PHB-86 Tanggal 24 Maret 1986, Departemen Perhubungan. 4. .........., Tentang Penyempurnaan Lampiran, Keputusan Menteri 89

M.P.I. Vol.1 No.1. April 2007, 82 - 90 __________________________________________________________________________________________________

5.

6.

7. 8.

9.

10.

90

Perhubungan No. KM 175/PL 304/PHB87 Tanggal 6 Agustus 1987 .........., Keputusan Menteri Perhubungan No. KM 41/ PL 304 /PHB/86, Departemen Perhubungan 1987. .........., Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Darat No : SK.1067/KA.305/DRJD/2000 Tentang Petunjuk Teknis Pemeriksaan Dan Pengujian Sarana Kereta Api Tanggal 14 September 2000. .........., Surat Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Darat No : SK 658/HK.601/DRJD/2002 Tentang Pembentukan Tim Pemeriksa Dan Penguji Pertama 2 Rangkaian (8 Unit) Kereta Rel Listrik Indonesia (KRL-I) Produksi P.T. Industri Kereta Api Madiun. Tanggal 12 Agustus 2002. .........., Laporan Pemantauan Uji Operasi KRL-I, Industri Kereta Api, Mei 2003 .........., Jabotabek VVVF E.C (1ST Drawing Approval), Hyundai Precision & Ind.Co., Ltd, 24 July 1991. .........., Inspection And Test Procedure For Jabotabek EC, Hyundai Precision & Ind.Co., Ltd, October 1991 ..........., Warta Penelitian Departemen Perhubungan No. 08/THN.XV/2003.

RIWAYAT PENULIS Juliarso Gondoprajogo, lahir di Malang tahun 1948, lulus Fakultas Teknik Mesin Institut Teknologi 10 Nopember Surabaya (ITS) tahun 1976. Th. 1976-1977 bekerja sebagai Surveyor Biro Klasifikasi Indonesia. Th. 1977-1981 bekerja di P.T. Boma Stork sebagai PPC Manager. Th. 1982 hingga sekarang bekerja di BPPT, th. 1992-1998 Kasubdit Pengkajian Industri Transportasi, sejak tahun 1998 sebagai Peneliti pada Kedeputian Bidang Teknologi Industri Rancang Bangun dan Rekayasa BPPT. Anggota Tim Teknis Pembuatan Prototipe KRL, anggota Tim Studi Standarisasi Kereta Rel Listrik, anggota Tim Pengkajian Perkembangan Teknologi Kereta Rel Listrik Departemen Perhubungan, anggota Tim Pemeriksa Dan Penguji Pertama KRL-I Produksi P.T. INKA Madiun S.K. Direktur Jenderal Perhubungan Darat No : SK 658/HK.601/DRJD/2002 tanggal 12 Agustus 2002.

ISSN 1410-3680

MODIFIKASI MESIN SLANG UNTUK MENINGKATKAN EFISIENSI PADA PRODUKSI PIPA KARET (RUBBER HOSE) (Mochammad Ismail & Mahendra Anggaravidya)

______________________________________________________________________________

MODIFIKASI MESIN SLANG UNTUK MENINGKATKAN EFISIENSI PADA PRODUKSI PIPA KARET (RUBBER HOSE) (Studi kasus di PT. Agronesia, Departemen Barang Teknik Karet Inkaba - Bandung) Mochammad Ismail Mahendra Anggaravidya Pusat Teknologi Industri Proses

Abstract Rubber hose is pipe made from some component, such as rubber, canvas, strand of metal steel, concrete iron, and with floatation media addition for the making floating pipe At process of rubber hose, machine hose of vital importance, because all to process component veneering of above done by using the machine At this research, is conducted by modification of hose machine addedly carriage able to assist veneering process rubber sheet and canvas representing biggest component, so that the efficiency process veneering can be improved Kata kunci : Modifikasi, mesin pelilit, pipa apung, karet

PENDAHULUAN Kebutuhan pipa apung (floating hose) untuk sektor industri perminyakan 100% masih dipasok dari luar negeri. Pipa apung yang banyak digunakan di industri perminyakan di Indonesia merupakan produk impor dari Bridgestone, Yokohama, Shibata, Dunlop, Pirelli, dll. Dari sumber pertamina menyebutkan bahwa kebutuhan floating hose di Indonesia pertahun bisa mencapai US $ 12.320.000,- atau setara dengan kebutuhan floating hose sebanyak 320 unit Ditinjau dari peluang pasar untuk produk jenis ini ditunjukkan dengan peningkatan perdagangan luar negeri untuk pengadaan struktur mengapung pada sektor perminyakan dari US $ 69.3 juta pada tahun 1994 meningkat menjadi US $ 94.7 juta pada tahun 1995, dan berdasarkan survey lapangan pada tahun 2000 perkiraan kebutuhan pipa apung untuk perusahaan minyak yang beroperasi di Indonesia 300 buah, dengan harga per buah Rp. 400.000.000 sehingga total biaya yang dibutuhkan untuk mengadakan pipa apung import tersebut kurang lebih Rp. 120 Milyar/tahun ISSN 1410-3680

Melihat data diatas, Indonesia memerlukan industri hilir karet yang mampu menghasilkan pipa apung dengan standar internasional, salah satu industri yang mencoba memproduksi pipa apung adalah PT. Agronesia Divisi Barang Teknik Karet INKABA bekerja sama dengan Pusat Teknologi Industri Proses -TIRBR-BPPT. Hal tersebut diharapkan dapat mengurangi ketergantungan akan produk impor juga terjadinya penguasaan teknologi produkproduk karet teknik khususnya pipa apung spesifikasi perminyakan. Untuk membantu proses membuatan pipa apung, BPPT telah mencoba untuk mendesain mesin-mesin yang dibutuhkan untuk proses produksi pipa apung, dimana di pasaran dunia tidak diperjual belikan, seperti mesin pelilit. Atau memodifikasi mesin-mesin yang sudah ada agar efisiensi pada proses produksi pipa apung dapat ditingkatkan, salah satunya adalah memodifikasi mesin slang yang digunakan untuk melilitkan karet, kanvas dan material penguat, yang sampai dengan saat ini proses pelilitan tersebut masih menggunakan cara manual.

91

M.P.I. Vol.1 No.1, April 2007, 91 - 98 __________________________________________________________________________________________________

PROSES PEMBUATAN PIPA KARET Dalam proses pembuatan pipa karet ada beberapa tahapan proses seperti persiapan bahan, pelilitan bahan dengan bantuan mesin slang dan proses pembentukan vulkanisat (barang jadi/pipa karet): Proses Persiapan Bahan Proses persiapan bahan terdiri atas beberapa proses yaitu : proses pengecilan dan penimbangan bahan, mastikasi, homogenisasi, dan proses pendinginan. Proses pengecilan ukuran dilakukan dengan menggunakan mesin pemotong bandela, dimana sebelum karet mentah dicampur dengan bahan kimia, bandela karet terlebih dahulu dipotong-potong dengan alat pemotong bandela hidrolik atau mekanik menjadi bagian-bagian karet yang besarnya cukup untuk proses selanjutnya. Selanjutnya potonganpotongan karet dan bahan pembantu yang diperlukan ditimbang sesuai rancangan formula kompon yang dibuat hal tersebut sangat penting dilakukan karena setiap jenis bahan akan mempengaruhi sifat vulkanisat dan mutu produk jadi penimbangan setiap bahan penyusun kompon harus dilakukan dengan teliti, khususnya untuk bahan-bahan yang jumlah part hundred rubber (phr)-nya rendah seperti sulfur, bahan pencepat, antioksidan dan lain-lain. Setiap formula kompon dinyatakan dalam jumlah phr atau berat per seratus karet. Karet yang telah dipotong-potong, selanjutnya diproses mastikasi yang dapat dilakukan dengan alat kneader atau open mill. Proses mastikasi merupakan proses pemutusan rantai-rantai karet untuk dicampur dengan bahan kimia lainnya. Tujuan utama dari proses mastikasi adalah membuat karet menjadi homogen dan konstan sehingga terbentuk sifat plastis dan uncured compound untuk mempermudah pencampuran antara karet dengan bahan kimia, bahan pengisi dan bahan-bahan lain yang akan ditambahkan. Pada proses mastikasi, karet mentah yang semula kaku kenyal menjadi lunak plastis, untuk memudahkan mastikasi pada karet dapat ditambahkan bahan peptisasi. Tahapan proses selanjutnya adalah proses homogenisasi dengan menggunakan mesin open mill. Tujuan utama dari proses homogenisasi adalah untuk membuat campuran bahan karet yang telah mengalami proses mastikasi dan dicampur 92

dengan bahan-bahan kimia menjadi lebih homogen. Tahapan proses homogenisasi adalah sebagi berikut, pertama-tama potongan karet yang telah dimastikasi dilewatkan melalui celah mesin giling dua rol. Kedua rol tersebut sebelumnya dipanaskan dengan menggunakan uap panas sampai mencapai temperatur ± 70OC. Potongan karet tersebut kemudian disatukan dan dilewatkan melalui rol (digiling) sampai karetnya menjadi panas dan agak lunak. Setelah itu celah kedua rol dipersempit, kemudian karet lunak dilekatkan pada rol mula dan penggilingan dilanjutkan sambil sesekali lembaran karet dipotong dan permukaannya dibalik selama 5 – 10 menit. Bahan pembantu karet dapat dicampurkan setelah karetnya cukup lunak. Urutan penambahan bahan pembantu tidak selalu sama. Salah satunya adalah memasukkan terlebih dahulu bahan penggiat, bahan pencepat dan anti-oksidan, kemudian sebagian bahan pengisi, bahan pelunak lalu sisa bahan pengisi dan belerang ditambah terakhir. Lebar celah kedua rol senantiasa disesuaikan dengan jumlah bahan yang digiling. Bila menggunakan bahan pewarna dan bahan peniup maka bahan tersebut ditambahkan sebelum penambahan belerang, selama penggilingan suhu kedua rol mesin giling diusahakan tetap sekitar 70 OC, dan suhu ini tetap dipertahankan pada waktu penambahan belerang. Suhu dapat diatur dengan mengalirkan uap atau air pendingin ke dalam kedua rol tersebut. Untuk mendapatkan pencampuran yang baik maka pada bagian atas celah kedua rol harus ada gumpalan kompon yang berputar dan kompon karet yang melekat pada rol muka harus beberapa kali dipotong dan dibalik permukaannya. Setelah homogen lembaran karet tersebut ditipiskan dengan ukuran 1 s/d 3 mm sesuai kebutuhan. Proses penipisan tersebut dilakukan untuk mempermudah proses pembentukan produk jadi. Proses pendinginan dapat dilakukan dengan menggunakan pendinginan udara dan/atau air, yaitu dengan melewatkan produk dari hasil proses sebelumnya (homogenisasi) ke ruang pendingin yang menggunakan fan dan/atau air sebelum disimpan ke gudang penyimpan. Tujuan proses pendinginan ini adalah menjaga agar karet yang telah dicampur dengan bahan kimia tidak menjadi matang pada saat penyimpanan Proses Pembentukan Pipa Karet Karet yang telah dicampur dengan bahan kimia yang akan digunakan sebagai bahan pipa karet harus berupa lembaran-lembaran karet tipis, maka karet hasil homogenisasi ISSN 1410-3680

MODIFIKASI MESIN SLANG UNTUK MENINGKATKAN EFISIENSI PADA PRODUKSI PIPA KARET (RUBBER HOSE) (Mochammad Ismail & Mahendra Anggaravidya)

______________________________________________________________________________ harus terlebih dahulu dibentuk menjadi lembaran-lembaran tipis (2 – 5 mm), proses penipisan dilakukan dengan menggunakan mesin callander. Proses penipisan ini juga berguna untuk mengurangi udara yang terjebak dilembaran-lembaran karet hasil homogenisasi. Selain bahan karet pada pembuatan pipa karet juga dibutuhkan material kanvas yang berfungsi sebagai penguat pipa karet. Kanvas yang akan digunakan dalam pembuatan pipa karet, kedua bagian/sisinya harus dilapisi dengan karet agar dapat menempel dengan bagian karet lainnya, proses pelapisan kanvas dilakukan dengan menggunakan mesin callander. Tahapan selanjutnya adalah melakukan proses pelilitan bahan karet, kanvas dan material lain yang diperlukan pada mesin slang, dimana urutan proses pelilitan material disesuaikan dengan desain konstruksi yang dikehendaki. Proses Pembentukan Vulkanisat Proses akhir dari pembuatan pipa karet adalah proses pembentukan vulkanisat, untuk produk pipa karet proses pembentukan vulkanisat dilakukan dengan bantuan mesin autoclave, dimana produk pipa karet hasil mesin slang diberi uap panas + 110oC selama + 3 jam. Waktu pemanasan disesuaikan dengan tebal pipa karet yang dibuat, dimana semakin tebal pipa karet yang dibuat maka akan memerlukan waktu pemanasan yang lebih lama. Pembentukan vulkanisat untuk memenuhi sifat-sifat yang diinginkan ditentukan oleh sistem vulkanisasi yang digunakan(1). Pemilihan sistem vulkanisasi didasarkan atas : ½ Penyesuaian jenis karet ½ Sasaran sifat-sifat vulkanisat (spesifikasi teknik) ½ Karakteristik vulkanisasi (jenis pencepat , pertimbangan ketebalan) ½ Pengaruh suhu terhadap waktu dan nilai komersial vulkanisat yang akan dihasilkan (temperatur proses vulkanisasi kompon tergantung dari jenis karet yang digunakan seperti untuk karet alam 110 s/d 140°C sedang untuk jenis karet sintetik seperti BR, NBR, EPDM dan CSM antara 150 - 165°C), proses pengolahan kompon menjadi produk jadi, serta ½ Pemahaman pengaruh sifat vulkanisat terhadap rapat ikatan silang.

ISSN 1410-3680

• Sistem vulkanisasi yang digunakan pada proses ini adalah sistem konvensional dengan belerang (1,5 - 3,5 phr sulfur) yang menghasilkan sifat vulkanisat tahan sobek, elastis tetapi tidak tahan panas, sistem semi efisien (0,3 - 1,0 phr sulfur) yang menghasilkan sifat vulkanisat tahan panas dan tahan usang dan sistem vulkanisasi dengan oksida logam (ZnO atau PbO) Pembentukan Pipa Apung Proses diatas adalah proses dasar untuk membuat pipa karet, apabila pipa karet tersebut diharapkan dapat mengapung dipermukaan air (pipa apung) maka diperlukan proses tambahan berupa pembuatan media pengapung. Pembuatan media pengapung seperti pada proses 2.1 s/d 2.3, dan selanjutnya karet hasil homogenisasi dibentuk menjadi vulkanisat media pengapung dengan menggunakan mesin moulding press. Akibat pembentukan media pengapung dengan menggunakan moulding press, maka pada bagian-bagian permukaan media pengapung yang kontak langsung dengan cetakan logam akan membentuk kulit permukaan yang lebih keras dan padat serta mempunyai berat jenis yang lebih besar dibanding bagian dalamnya, oleh karena itu bagian kulit tersebut harus dihilangkan/disayat dengan menggunakan mesin penyayat

Persiapan Bahan : ½ proses pengecilan ukuran ½ proses penimbangan bahan ½ proses mastikasi ½ proses homogenisasi ½ proses pendinginan

Media Pengapung

Pembentukan Pipa Karet ½ proses penipisan ½ proses pelapisan kanvas-karet ½ proses pelilitan

Proses Pembentukan Vulkanisat

Produk Pipa Karet

Produk Pipa Apung

Gambar 1. Alur Proses Pembentukan Pipa Karet Dan Pipa Apung

93

M.P.I. Vol.1 No.1, April 2007, 91 - 98 __________________________________________________________________________________________________

PERMASALAHAN Dalam proses pembuatan rubber hose (pipa karet), tahapan terpenting adalah melakukan pelapisan kanvas dan lembaran karet dengan menggunakan mesin slang. Pada dasarnya mesin slang berfungsi untuk meletakkan pipa sebagai benda kerja secara horizontal. Karena poros mesin slang (matres) ini dapat berputar, maka di poros mesin slang tersebut dapat digunakan sebagai alat bantu untuk mempermudah proses pelapisan. Pada saat ini mesin slang dipergunakan untuk melakukan beberapa proses pekerjaan seperti pelilitan lembaran karet, kanvas, dan material lainnyan sesuai desain konstruksi yang telah dibuat serta menghilangkan udara yang terperangkap. Menghilangkan udara yang terperangkap pada proses pelapisan karet dengan cara menggunakan pita karet yang dililitkan pada seluruh permukaan pipa, berawal dari tengah pipa kemudian berjalan sampai di akhir tepi di dua sisi pipa, dengan demikian udara yang terperangkap dapat dibuang keluar. Demikian juga dengan pelilitan kanvas, udara yang terperangkap digiring keluar, akan tetapi penggunaan pita karet diganti dengan menggunakan tali tambang, agar udara yang terperangkap dapat digiring keluar, mengingat sifat kanvas yang berlainan dengan lembaran karet. Semua proses pekerjaan tersebut diatas dilakukan di mesin slang yang dilakukan dengan cara manual, selain itu antara proses pengerjaan pelapisan lembaran karet/kanvas dengan proses membuang udara yang terperangkap dilakukan secara terpisah, sehingga waktu yang dibutuhkan semakin panjang disamping itu kualitas yang dihasilkan kurang baik karena tekanan bahan pelapis ke pipa tidak bisa merata. Sebagai contoh pada kasus pembuatan pipa apung yang dikerjakan oleh 4 orang dengan diameter dalam adalah 28 inchi dan panjang 10 meter, ratarata waktu yang dibutuhkan untuk melakukan proses pelapisan karet (tebal 3 mm) adalah 8.400 menit, proses pelapisan kanvas 4.200 menit, proses membuang udara yang terperangkap dari pelapisan karet 6.360 menit dan membuang udara yang terperangkap dari pelapisan kanvas 4.200 menit, sehingga total pekerjaan proses pelapisan karet dan kanvas 20.640 menit Dari pengamatan dan pengalaman yang cukup lama pada penelitian untuk proses pelapisan pipa dengan kanvas dan 94

karet lembaran, maka mesin slang harus dimodifikasi agar kualitas hasil pelapisan bisa lebih baik dan lebih efisien. Dengan memodifikasi mesin slang proses pelapisan dan pembuangan udara yang selama ini dilakukan secara manual dapat digantikan dengan mesin, dan semua pekerjaan tersebut diatas, seperti pekerjaan pelapisan karet dengan membuang udara yang terperangkap dilakukan dengan waktu yang bersamaan di mesin slang tersebut, sehingga lebih efisien. Disamping itu chuck di mesin slang yang berfungsi sebagai pemegang poros slang sering rusak, hal ini dikarenakan peletakan dudukan poros slang kurang tepat, sehingga perlu dihitung posisi dudukan poros slang, agar umur chuck dapat diperpanjang.

BAHAN DAN METODE PENELITIAN Dari permasalahan yang ada seperti tersebut diatas dimana total waktu yang dibutuhkan untuk melakukan proses pelapisan karet dan kanvas adalah 20.640 menit. Hal ini dirasa cukup memakan waktu, maka dilakukan perhitungan kasar bila dalam proses pelapisan ini dilakukan dengan menggunakan mesin untuk perbandingan, sebagai ilustrasi jika putaran sudut out put mesin adalah 3 rpm, dengan panjang pipa (diameter 28 inchi) 10 meter, maka waktu yang dibutuhkan untuk mengerjakan pelapisan adalah t = 10.000/(3x356) = 9.4 menit. Akan tetapi ini masih harus juga memperhitungkan waktu yang diperlukan untuk menggulung lembaran karet atau kanvas di bobin, yang diperkirakan (berdasarkan simulasi) membutuhkan waktu sekitar 30 menit, maka total waktu yang diperlukan untuk proses pelapisan (karet, kanvas dan menghilangkan udara yang terperangkap) adalah sekitar 70 menit, yang cukup dikerjakan oleh 2 orang operator. Dari hasil simulasi tersebut maka dianggap cukup untuk melakukan modifikasi mesin slang agar dapat digunakan sebagai alat bantu proses pelapisan. Pada penelitian ini bahan yang digunakan adalah mesin slang seperti umumnya mesin yang digunakan di industri pipa karet. Metoda yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan menambah alat (carriage) yang dapat bergerak disamping dan sejajar dengan poros slang, juga dapat bergerak membentuk sudut untuk sudut pengumpan. Carriage tersebut juga dapat bergerak tegak lurus dengan sumbu poros slang untuk menyesuaikan diameter pipa yang akan dililit oleh karet maupun kanvas.. Carriage tersebut sebagai tempat (bobin) bahan pelapis (kanvas atau karet lembaran) ISSN 1410-3680

MODIFIKASI MESIN SLANG UNTUK MENINGKATKAN EFISIENSI PADA PRODUKSI PIPA KARET (RUBBER HOSE) (Mochammad Ismail & Mahendra Anggaravidya)

______________________________________________________________________________ yang diletakkan dengan sudut tertentu, disesuaikan dengan desain yang sudah ditentukan, yang dilengkapi dengan lengan sebagai penekan, sehingga hasil pelapisan lebih baik. Lengan tersebut dapat bergeser dengan menggunakan pegas sehingga dapat menyesuaikan dengan diameter pipa yang akan dilapisi. Langkah-langkah yang diambil dalam penelitian ini adalah menghitung dimensi elemen-elemen mesin slang seperti dimensi poros (matres), dimensi lengan dan, dudukan poros slang, kebutuhan motor penggerak spindle dan carriage, pegas penekan dan lan-lain.

PEMBAHASAN

914.4 mm, Material matres St 37 (modulus elastisitas E = 21.000 kgmm2 = 2.100.000 kg/cm2, tegangan tarik maksimum = 3.700 kg/cm2). Berat matres dan pipa karet (maximum) = 14.000 kg, Panjang antar dudukan = 13.000 mm, Jarak dudukan ke chuck = 150 mm, Daya motor (yang ada sekarang) = 22 kw (29.5 PK), putaran motor max = 1500 rpm. Diameter lilitan rata-rata = 54 inch = 1.372 mm, putaran akhir = 5 rpm 2.Carriage Perkiraan berat lembaran karet dan bobin = 600 kg, berat motor dan reducer = 700 kg, berat table = 700 kg lain-lain = 500 kg. Total berat carriage = 2.500 kg Defleksi yang terjadi (dari posisi dudukan sekarang yang ada)

Proses pelapisan kanvas atau lembaran karet pada pipa yang saat ini dilakukan dipandang kurang efisien, karena memerlukan waktu yang lama dengan hasil yang kurang baik karena kanvas atau lembaran karet yang dilapiskan ke pipa tegangannya tidak merata, hal ini disebabkan karena dilakukan oleh tenaga operator. Dari permasalahan tersebut diatas maka dipandang perlu untuk memodifikasi mesin slang, untuk itu perlu dilakukan perhitungan dimensi dan kekuatan peralatan yang dibuat. Mesin slang yang akan dimodifikasi tersebut harus mampu mengerjakan pipa dengan berbagai macam diameter, mulai diameter 8” hingga pipa yang berdiameter 34”, sehingga dalam perhitungan desain alat diambil ukuran benda kerja yang paling besar, yaitu pipa dengan diameter dalam ukuran 34”.

Momen torsi yang terjadi Mt = 71.620x(29.5/1500) = 1.408 kgcm. Momen Bending yang terjadi Mb=14.000x13.000/4x(0,5– 2x150/13.000) = 2.170.000 kgcm. Momen equivalent Me={2.170.0002+(1.408/2)2}0.5 kgcm.

=

2.170.000

Momen Inersia I = 0.049x(104-9.44) = 107 cm4. Sehingga defleksi yang terjadi pada poros Y=14.000/13.000x{(13.000/2)3}/(3x2.100.000x1 07)= 4.37 cm.

Defleksi yang terjadi jika posisi dudukan digeser

Perhitungan dimensi poros Poros mesin slang (matres) dengan posisi dudukan yang ada sekarang seperti gambar 2

(Maksimum Menggeser dudukan seperti gambar 3, hal ini berdasarkan beberapa pertimbangan seperti adanya posisi flange dan pertimbangan keperluan pelilitan kawat sling)

150

A

13000

500

B

Gambar 2. Poros Mesin Slang (Matres) Data : 1.Pipa matres Diameter luar matres = 10 cm, diameter dalam 9,4 cm) digunakan untuk melilit pipa karet berdiameter diameter 36” = ISSN 1410-3680

12000

Gambar 3. Posisi Dudukan Yang Direncanakan

di

Karena diameter pipa maximum yang akan kerjakan di mesin ini adalah pipa

95

M.P.I. Vol.1 No.1, April 2007, 91 - 98 __________________________________________________________________________________________________

berdiameter 36 in, maka diameter luar pipa matres adalah = 36 in = 91.44 cm. Momen torsi yang terjadi Mt = 71.620x(29.5/1500) = 1.408 kgcm. Momen bending yang terjadi Mb=14.000x12.000/4x(0.5 – 2x500/12.000) = 1.925.000 kgcm. Momen equivalent Me={1.925.0002+(1.408/2)2}0.5 = 1.925.000 kgcm. Material St34.28, Tegangan tarik maksimum= 3.700 kg/cm2, Tegangan tarik ijin σbzul =3.700/3 = 1233.3 kg/cm2, sehingga tegangan geser ijin Τzul= 0.8x 1233.3 = 986.67 kg/cm2. Section modulus Z = 1.925.000/986.67) = 1.951 cm3. Sehingga diameter dalam pipa di={(0.098x91.444– 1.951x91.44)/0.098}0.25 = 90.84 cm, Tebal plat pipa = 91.44-90.84= 0.6 cm. Momen inersia I= 0.049x(91.444-90.844) = 89.200 cm4. Defleksi yang terjadi dengan menggeser posisi dudukan matres

Momen maximum = 1/12 Fl = 1/12x400x700 = 23.333 kgmm. sf1 = 6 dan sf2 = 1.3 σbzul = 48/(6x1.3) = 6.154 kg/mm2. Faktor koreksi (km) = 1.5 (untuk beban tumbukan ringan), maka diameter poros bobin minimum (d) = [(5.1/6.154)x1.5x23,333]1/3 = 31 mm Perhitungan penggerak

kebutuhan

daya

motor

Kebutuhan daya motor carriage Berat beban yang ada di carriage sekitar = 2.500 kg. Kecepatan translasi = 5x1.372/(2x1000) = 3 m/menit. Faktor koreksi = 2. Efisiensi motor = 80%, efisiensi reduser = 60% dan efisiensi pulley 60%. Maka Daya nominal motor penggerak carriage Pc = (2.500x1.2x3)/(102x60x0.8x0.8x0.6) = 4.4 kw, Daya motor rencana carriage = 5 kw. Kebutuhan motor spindle Berat matres dan pipa karet = 14.000 kg. Dengan cara yang sama deperoleh Daya nominal motor spindle = 14.7 kw, dan. Daya rencana motor spindle Ps = 15 kw. Perhitungan pegas Perhitungan pegas penekan karet

δ =14.000/12.000x{(12.000/2)3}/(3x2.100.0 00x89.200) = 0.004 cm. Perhitungan dimensi poros bobin pembawa canvas atau karet lembaran. Berat bobin + gulungan lembaran karet sekitar 400 kg (panjang poros bobbin = 700 mm). Bahan poros S30C Æ σt = 48 kg/mm2, στ zul = 48/6 = 8 kg/mm2 sehingga tegangan geser ijin = 0.8 x 8 = 6.4 kg/mm2

Beban merata dikenakan pada sepanjang rol (panjang 300 mm) adalah = 5 kg/cm2, pegas penekan diletakkan di dalam pipa pada dua sisi. Diameter lilitan pegas rata-rata (D) = 4 cm, Berat rol = 10 kg, sehingga berat beban yang dikenakan pada masing-masing pegas Wl = 4x5-(10/2) = 15 kg. Panjang pegas bebas Hf = 150 mm, Panjang pegas terpasang Hs = 140 mm, disini terlihat bahwa Hf/D = 150/40 = 3.8 < 4 Æ OK.

700

Gambar 4. Poros Bobin

Lendutan (δ) diambil antara 20 – 27. Bahan pegas yang digunakan adalah baja pegas dengan modulus geser (G) = 8.000 kg/mm2. Indeks pegas (c) diambil = 12.4, sehingga diameter kawat pegas

96

ISSN 1410-3680

MODIFIKASI MESIN SLANG UNTUK MENINGKATKAN EFISIENSI PADA PRODUKSI PIPA KARET (RUBBER HOSE) (Mochammad Ismail & Mahendra Anggaravidya)

______________________________________________________________________________ d = 40/12.4 = 3.2 mm.

Hf= 150 mm,

Factor tegangan Wahl K=((4x12.4-1)/(4x12.4-)+(0.615/12.4))=1.1

panjang pegas terpasang Hs = 140 mm,

Tegangan geser yang terjadi τ=(1.1x8x40x15)/(3.14x3.23)=50.8 kg/mm2.

Disini terlihat bahwa Hf/D = 150/40 = 3.8 < 4 Æ OK.

SUP4Æτa = 65 kg/mm2,

Lendutan (δ) diambil antara 20 – 27. Bahan pegas yang digunakan adalah baja pegas dengan modulus geser (G) = 8.000 kg/mm2. Indeks pegas (c) diambil = 12.4,

tegangan ijin τz = 0.8x65 = 52 kg/mm2. (τ) < (τz) Æ OK Jumlah lilitan aktif n = (27x3.24x8000)/(8x403x15) = 3. Check lendutan = 27x3/3=27 Æ OK. Konstanta pegas k = 15/27 = 0.56 kg/mm. Beban awal terpasang Wo = (150-140)x0.56 = 5.6 kg. Lendutan yang terjadi δ = 26.6-(150-140) = 16.6 mm. Tinggi pegas pada lendutan maksimum Hl = 140-16.6 = 123.40 mm. Jumlah lilitan mati untuk masing-masing ujung diambil 1, Maka panjang pegas yang dimampatkan Hc = 3.2x(3+1.5) = 14.52 mm. Kelonggaran kawat pada keadaan awal terpasang Cs = (140-14.52)/(3+1.5) = 27.9 mm. Kelonggaran kawat pada keadaan lendutan maksimum Cl = (140-14.52)/(3+1.5) = 27.9 mm. Hf/D = 3.8 << 5 Æ tidak terjadi tekukan. Sehingga pegas baja yang diambil adalah : d = 3.2 mm, SUP4, n = 3, δ = 16.6 mm, Hc = 14.52, Wo = 5.64 kg. Perhitungan pegas penekan kanvas Beban merata dikenakan pada sepanjang rol (panjang 300 mm) adalah = 10 kg/cm2, pegas penekan diletakkan di dalam pipa pada dua sisi. Diameter lilitan pegas ratarata (D) = 5 cm, Berat rol = 10 kg, sehingga berat beban yang dikenakan pada masing-masing pegas Wl = 4x5-(10/2) = 15 kg.

sehingga diameter kawat pegas d = 40/12.4 = 3.2 mm. Factor tegangan Wahl (K) 1)/(4x12.4-4)+(0.615/12.4))=1.1

=

((4x12.4-

Tegangan geser yang terjadi τ=(1.1x8x40x15)/(3.14x3.23)=50.8 kg/mm2. SUP4Æτa = 65 kg/mm2, tegangan ijin τz = 0.8x65 = 52 kg/mm2. (τ) < (τz) Æ OK. Jumlah lilitan aktif n = (27x3.24x8000)/(8x403x15) = 3. Check lendutan = 27x3/3=27 Æ OK. Konstanta pegas k = 15/27 = 0.56 kg/mm. Beban awal terpasang Wo = (150-140)x0.56 = 5.6 kg. lendutan (δ) yang terjadi = 26.6-(150-140) = 16.6 mm. Tinggi pegas pada lendutan maksimum Hl = 140-16.6 = 123.40 mm. Jumlah lilitan mati untuk masing-masing ujung diambil 1, maka panjang pegas yang dimampatkan Hc = 3.2x(3+1.5) = 14.52 mm. kelonggaran kawat pada keadaan terpasang Cs = (140-14.52)/(3+1.5) = 27.9 mm.

awal

Kelonggaran kawat pada keadaan lendutan maksimum Cl = (140-14.52)/(3+1.5) = 27.9 mm. Hf/D = 3.8 << 5 Æ tidak terjadi tekukan.

Panjang pegas bebas ISSN 1410-3680

97

M.P.I. Vol.1 No.1, April 2007, 91 - 98 __________________________________________________________________________________________________

Sehingga pegas baja yang diambil adalah : d = 3.2 mm, SUP4, n = 3, δ = 16.6 mm, Hc = 14.52, Wo = 5.64 kg. KESIMPULAN • Dari hasil perhitungan terlihat bahwa dengan memodifikasi mesin slang (menambah carriage), waktu proses pelilitan dan membuang udara yang terperangkap dapat diperpendek, dimana pada proses pelilitan dengan cara manual dibutuhkan kurang lebih 20.640 menit atau 344 jam. Akan tetapi dengan mesin yang dimodifikasi, proses tersebut dapat diselesaikan hanya dalam waktu 70 menit atau 1 jam 10 menit • Sebelum mesin sebelum dimodifikasi, Chuck pemegang pipa slang sering rusak, hal ini disebabkan karena posisi dudukan ditempatkan di tempat yang menimbulkan defleksi (lendutan) yang besar (4.37 cm), sehingga beban yang di pikul oleh chuck sangat berat, sedang jika posisi dudukan dirubah, secara perhitungan defleksi yang terjadi lebih kecil (0.004 cm), dengan demikian umur chuck dapat diperpanjang.

DAFTAR PUSTAKA

2. Gustav Niemann, Machine Elements, Design and Calculation in Mechanical Engineering volume 1, Allied Publishers Private Limited. New Delhi., 1982 3. Anthony E. Armenakas, Classical Structural Analysis, A Modern Approach, Mc Graw Hill, International Editions 1988 4. Sularso dan Kiyokatsu Suga, Dasar Perencanaan dan Pemilihan Elemen Mesin, cetakan kesepuluh, PT Pradnya Paramita, Jakarta, 2002

RIWAYAT PENULIS Mochammad Ismail, lahir di Sampit (KalTeng). Lulus sarjana teknik mesin, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya. Pasca sarjana bidang Materials Science, Universitas Indonesia. Sejak 1987 hingga sekarang bekerja sebagai peneliti di Pusat Teknologi Industri Proses (PTIP) Deputi Bidang Teknologi Industri Rancang Bangun dan Rekayasa (TIRBR), - BPP Teknologi. Mahendra Anggaravidya, lahir di Bandung, Lulus sarjana MIPA Fisika UNPAD Bandung, Pasca sarjana bidang Fisika Polimer - ITB, Sejak 1997, hingga sekarang bekerja sebagai peneliti di Pusat Teknologi Industri Proses (PTIP) Deputi Bidang Teknologi Industri Rancang Bangun dan Rekayasa (TIRBR), BPP Teknologi.

1. Bhowick, Science and Technology Rubber, Maxcel Dekker Inc. New York, 1994

98

ISSN 1410-3680

Pengembangan Industri Manufaktur Pipa Apung (Rubber Floating Hose) Di Indonesia (Muslim Efendi Harahap)

______________________________________________________________________________

PENGEMBANGAN INDUSTRI MANUFAKTUR PIPA APUNG (RUBBER FLOATING HOSE) DI INDONESIA : PELUANG DAN HAMBATANNYA Muslim Efendi Harahap Pusat Teknologi Industri Proses Abstract The demand of rubber floating hoses in Indonesia is until now still fulfilled by importing the products from abroad, such as Japan, Italy and other countries. Three main users of the products are dredging, mining and oil companies. The demand for mining and oil companies is predicted around 327 units per year. While the demand for dredging companies is predicted high enough, but this study can not provide the data quantitatively. Hence, the development of rubber floating hose products / industry in Indonesia is quite promising. But there will be some barriers that have to be solved if these products will be developed and marketed by local producers. Some of the barriers are difficulties to conduct field test to prove the performance of the prototypes, difficulties in getting the OCIMF certificate, unavailability of the sponge product from local producers, bad image by current user companies regarding local products / producers, product guarantees and delivery reliability. It is suggested that government such as BPMIGAS, BSN and Ministry of Industry support development of these products in Indonesia. Kata kunci : pipa apung, industri pengerukan, industri pertambangan timah, industri perminyakan, peluang dan hambatan, sertifikat OCIMF

PENDAHULUAN Pipa apung (rubber floating hose) adalah salah satu produk karet berteknologi tinggi yang terbuat dari material karet, kanvas, kawat baja, kawat slinge dan flange. Untuk memenuhi kebutuhan industri-industri di dalam negeri, terutama industri perminyakan, pengadaan pipa-pipa apung ini masih harus di impor dari berbagai negara. Produsenprodusen utama pipa apung antara lain Bridgestone, Yokohama, Manuli, Dunlop dan lain lain. Sampai saat ini belum ada satu pun perusahaan di dalam negeri yang mampu memproduksi pipa apung ini. Pengguna utama produk pipa apung di dalam negeri adalah industri pengerukan, pertambangan timah dan perminyakan. Yang membedakan antara pipa apung untuk pengerukan / pertambangan dan perminyakan adalah masalah spesifikasi pipa tersebut. Pipa apung untuk industri perminyakan menuntut sepesifikasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pipa apung untuk pengerukan dan pertambangan. Mengingat 100 persen kebutuhan pipa apung ini masih di impor, maka perlu dikaji ISSN 1410-3680

apakah pengembangan industri ini di dalam negeri adalah mempunyai prospek sangat baik. Hal ini dikarenakan Indonesia memiliki bahan baku karet alam yang melimpah. Namun yang menjadi permasalahan adalah penguasaan teknologi untuk pembuatan produk ini di dalam negeri. Tujuan studi / tulisan ini adalah untuk melihat seberapa besar prospek / peluang pengembangan pipa apung ini di dalam negeri. Selain itu juga akan dibahas mengenai hambatan-hambatan atau kendala-kendala dalam pengembangan produk ini di Indonesia.

METODE PENELITIAN Penelitian ini lebih bersifat deskriptif. Riset deskriptif bertujuan untuk mempelajari apa yang sering disebut dengan aspek 5W1H (what, who, when, where, why, dan how) atau aspek apa, siapa, kapan, dimana, mengapa dan bagaimana suatu topik permasalahan (Umar, 2005, hal 104). Dalam penelitian ini penulis menggunakan data primer dan data 99

M.P.I. Vol.1 No.1. April 2007, 99 - 106

______________________________________________________________________________ sekunder. Dari data yang terkumpul penulis melakukan analisis untuk menjawab seberapa besar peluang pengembangan industri pipa apung ini di Indonesia dan faktor-faktor apa saja yang menjadi kendala pengembangan produk ini di dalam negeri. Untuk pengumpulan data primer penulis melakukan survei ke lapangan dengan mengunjungi beberapa perusahaan perminyakan (PT Pertamina yaitu UP IV Cilacap, UP V Balikpapan dan UP VI Balongan, Unocal / Chevron – Balikpapan), satu perusahaan pertambangan (PT Tambang Timah – Pangkal Pinang, Bangka) dan satu perusahaan pengerukan (PT Pengerukan Indonesia - Jakarta). Pada setiap kunjungan tersebut penulis melakukan diskusi mengenai berbagai aspek terkait dengan pipa apung baik teknis maupun non teknis, termasuk kemungkinan pengembangan pabrik pipa apung di dalam negeri dan kesulitan-kesulitan operasionalnya di lapangan. Selain data primer penulis juga memanfaatkan data sekunder yang terkait

dengan pipa apung untuk studin ini. Data sekunder ini penulis dapatkan dari berbagai media baik media cetak (laporan, makalah, dll) maupun media elektronik (internet). Berdasarkan data yang dikumpulkan tersebut penulis mencoba merangkum, menganalisis, mengintrepreatsikan dan menyimpulkan mengenai peluang dan hambatan-hamabatan pengembangan industri manufaktur pipa apung di Indonesia serta saran-saran yang perlu dilaksanakan.

PELUANG PENGEMBANGAN INDUSTRI MANUFAKTUR PIPA APUNG Pembahasan mengenai peluang permintaan pipa apung ini dibatasi hanya pada tiga industri / perusahaan pengguna utama yaitu Industri Perminyakan, Industri Pertambangan Timah, dan Industri Pengerukan. Industri Perminyakan

Tabel 1. Daftar Single Buoy Mooring (SBM) Di Indonesia Single Buoy Mooring

Lokasi

Perusahaan Pemilik PT Pertamina PT Pertamina PT Pertamina PT Pertamina PT Pertamina PT Pertamina PT Pertamina

Pangkalan Susu Sumut Balongan Jawa Barat Balongan Jawa Barat Balongan Jawa Barat Balongan Jawa Barat Balongan Jawa Barat Balongan Jawa Barat Salawati Jawa Barat Semarang Ja - Teng Lawe-lawe Kal Tim PT Pertamina Lhoksumawe N.A.D Cengkareng DKI Jakarta Cengkareng DKI Jakarta Cilacap Ja - Teng PT Pertamina Belawan Sumut Tuban Tuban Jawa Timur Tuban Jawa Timur Tg. Santan Kal Tim Unocal/Chevron Cinta Senipah Widuri Widuri Kakap Anoa Camar-Bawean Belida Pagerungan Arjuna Sumber: Divisi Engineering dan Penelitian, PT Pertamina (2004) 100

Keterangan 1970 1972 1972 1995 2005 2005 2006 1977 1980 1983 1983 1984 1992 1994 1998 2000 2006 2006 1971 1971 1974 1983 1983 1984 1986 1991 1992 1993 2000

ISSN 1410-3680

Pengembangan Industri Manufaktur Pipa Apung (Rubber Floating Hose) Di Indonesia (Muslim Efendi Harahap)

______________________________________________________________________________

Pada industri perminyakan, fungsi pipa apung adalah untuk mengalirkan berbagai jenis minyak mentah (crude oil) dari suatu Single Buoy Mooring (SBM) ke kapal-kapal Tanker. Menurut Divisi Penelitian dan Engineering PT Pertamina (2004) saat ini di seluruh Indonesia terdapat 29 SBM. Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak terkait di PT Pertamina (UP IV dan UP V) dan Unocal / Chevron, menurut pengalaman mereka bahwa umur teknis pipa

(a)

apung yang mereka pakai adalah sekitar 5 tahun. Hal ini sesuai dengan spesifikasi yang dibuat oleh produsen-produsen yang telah disebutkan diatas. Baik PT Pertamina maupun Unocal / Chevron masih menggunakan 100% produk impor untuk memenuhi kebutuhan pipa apungnya, antara lain dari Jepang dan Itali. Daftar SBM yang ada di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1.

(b)

Gambar 1. Model Pipa Apung Yang Dibuat PTIP-BPPT Untuk Spek Perminyakan (a) Dan Prototipe Untuk Spek Pengerukan / Pertambangan (b) Berdasarkan hasil survei yang dilakukan penulis bahwa setiap SBM memiliki 2 sampai 3 line (string) pipa apung dari SBM ke Kapal Tanker, dengan masing-masing line (string) terdiri dari rangkaian sekitar 20 – 25 unit pipa apung. Jika diasumsikan bahwa setiap SBM memiliki 2 line saja dengan masing-masing line terdiri dari 22 unit pipa apung, maka total kebutuhan pipa apung untuk industri perminyakan di Indonesia adalah sekitar 29 x 2 x 22 unit = 1276 unit. Menurut survei yang telah disebutkan diatas, di lapangan rata-rata penggantian pipa apung tersebut adalah 5 tahun sekali. Maka rata-rata kebutuhan pipa apung per tahunnya adalah = 1276 unit / 5 tahun = 255 unit per tahun. Dari wawancara dengan pihak terkait didapatkan bahwa rata-rata harga pipa apung per unit-nya adalah sekitar US$ 35.000,-. Sampai US$ 40.000,- Jadi untuk pengadaan sebanyak 255 unit pipa apung dibutuhkan devisa sekitar = 255 x US$35.000,- atau US$40.000,- = US$ 8.925.000,- sampai US$ 10.200.000, per tahun.

ISSN 1410-3680

Industri Pertambangan Timah Hasil temuan di lapangan pada industri pertambangan, terutama industri pertambangan timah, baru sebagian kecil dari operasinya yang telah menggunakan pipa apung dari karet (rubber floating hose). Saat ini sebagian besar mereka masih menggunakan pipa-pipa besi yang diberi pengapung (dikenal dengan istilah ponton). Kelemahan dari penggunaan pipa-pipa besi ini adalah mudah berkarat (korosi) dan umur teknisnya pendek. Pada saat ini ada kecendrungan pada industri penambangan timah untuk menggunakan pipa apung karet, karena pipa apung karet akan memberikan keuntungan berupa fleksibilitas dalam pengoperasiannya, sehingga lebih mudah jika akan dilakukan pemindahan ke lokasi lain. Selain itu pipa apung karet ini mempunyai umur teknis yang lebih lama yaitu sekitar 5 tahun dibandingkan pipa-pipa besi yang hanya berumur teknis sekitar 6 - 9 bulan (hasil wawancara dengan pihak terkait di PT Tambang Timah).

101

M.P.I. Vol.1 No.1. April 2007, 99 - 106

______________________________________________________________________________

Tabel 2. Tipe / Jenis Produk Pipa Apung Yang Digunakan Di PT Tambang Timah Tipe / Jenis

Merek

Dimensi

Umur

Floating Hose (Pipa Apung)

Dunlop

Inside hose : 650 mm

> 5 th

Panjang 10 m

Penggunaan Kapal isap di laut

Fitting Built In

Outside hose: Max 740 mm Sumber: Hasil Survei di PT Tambang Timah (2005)

Berdasarkan hasil survei yang dilakukan ke lapangan didapatkan jenis pipa apung dan spesifikasi pipa apung yang digunakan oleh PT Tambang Timah lihat Tabel2. Spesifikasi pipa apung yang digunakan saat ini adalah sebagai berikut: Working Pressure :10 - 40 BAR (Max the critical burst) Flanges : ANSI 150 Tahun Pembelian : Tahun 2000 Jumlah Kebutuhan : 25 Unit Harga : 22.500 $Sin/ unit Spesific Gravity (SG) : 1.7 ton / m3 Kondisi aplikasi : Offshore Hasil wawancara dengan PT Tambang Timah – Pangkal Pinang, Bangka pada bulan Agustus 2005 lalu didapat data sebagai berikut: ½ PT Tambang Timah memiliki 16 kapal keruk dan 4 kapal hisap. Untuk operasionalnya kapal keruk saat ini masih menggunakan pipa besi, sedangkan untuk kapal hisap telah menggunakan pipa apung. Pengadaan pipa apung masih dari impor terutama dari Eropa, antara lain dengan merk Dunlop. ½ Penggunaan pipa apung untuk kapal hisap ini adalah: - 2 buah kapal hisap membutuhkan pipa apung masing-masing sepanjang 1500 meter (jadi totalnya 3000 meter). - 2 buah kapal hisap lagi membutuhkan apung apung masingmasing sepanjang 300 meter (jadi total 600 meter). Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa total kebutuhan pipa apung PT Tambang Timah adalah 3600 meter. Panjang 1 unit pipa apung adalah 10 meter (termasuk flange). Umur teknis pipa apung diasumsikan

102

5 tahun. Jadi total kebutuhan pipa apung di PT Tambang Timah per tahun adalah = [3600 / (5 x 10)] = 72 unit per tahun. Industri Pengerukan (Dredging) Perusahaan pengerukan (dredging) yang terbesar di Indonesia adalah PT Pengerukan Indonesia (Persero). Bidang usaha perusahaan ini antara lain pengerukan, reklamasi dan jasa survei. Menurut Tri Budiono (2004) PT Pengerukan Indonesia telah menggunakan pipa apung lebih dari 25 tahun untuk operasional terutama pada pekerjaan yang bersifat reklamasi. Merk-merk yang sering dipakai diantaranya Dunlop, Eddelbuttel & Schneider dan Scandia. Kendala dari impor produk-produk ini adalah membutuhkan waktu cukup lama untuk pengadaannya dan harganya yang mahal. Proyek-proyek yang sedang dan akan dikerjakan oleh PT pengerukan Indonesia dapat dilihat pada Tabel 3 berikut: Namun saat ini operasi perusahaan pengerukan PT Pengerukan Indonesia (Persero) terhenti karena adanya kesulitan likuiditas, maka data perkiraan permintaan pipa apung untuk keperluan pengerukan di Indonesia dapat dikatakan turun drastis. Memang masih ada perusahaanperusahaan-perusahaan pengerukan swasta nasional lainnya yang beroperasi namun skala usahanya realtif kecil dan umumnya mereka tidak menggunakan pipa apung baru. Perusahaan-perusahaan pengerukan swasta ini umumnya membeli pipa apung bekas (sudah tidak terpakai) dari perusahaanperusahaan perminyakan.

ISSN 1410-3680

Pengembangan Industri Manufaktur Pipa Apung (Rubber Floating Hose) Di Indonesia (Muslim Efendi Harahap)

______________________________________________________________________________

Tabel 3: Prospek Penggunaan Pipa Apung Di PT Pengerukan Indonesia Proyek

Panjang line pipa**

1. Proyek Banjarmasin

2 x 600 meter

2. Proyek Sibolga

1 x 1000 meter

3. Proyek Bojonegara

1 x 1000 meter

4. Proyek LNG Banten

1 x 1000 meter

5. Proyek Kapuk

1 x 500 meter

6. Proyek Ancol

1 x 500 meter

7. Proyek Jakarta New Port

2 x 1000 meter

8. Proyek Container Gresik

1 X 1000 meter

Sumber: Tri Budiono (2004) ** panjang 1 unit pipa apung adalah 10 meter

Namun sejak beberapa tahun terakhir, anak perusahaan PT Timah Tbk yaitu PT Tambang Timah mulai mengembangkan bidang usahanya ke pekerjaan-pekerjaan pengerukan. Sudah ada 2 proyek yang mereka kerjakan dalam 2 tahun terakhir yaitu di Kuala Rompin, Pahang (2006) dan yang sedang berjalan di Kota Bahru, Kelantan (di mulai akhir 2006 dan sekarang masih berjalan). Kedua proyek ini berada di Malaysia. PT Tambang Timah ini merupakan salah satu pelanggan yang potensial untuk produk pipa apung untuk kegiatan pengerukan, di luar kebutuhan mereka untuk kebutuhan penambangan timah. Selain swasta nasional, ada juga beberapa perusahaan pengerukan asing yang bergerak di Indonesia seperti dari Malaysia. Namun data tentang beroperasinya perusahaan asing ini sangat sulit di dapat.

akan cukup besar di Indonesia. Namun penelitian ini belum dapat mengungkap secara kuantitatif berapa kebutuhan pipa apung untuk kegiatan pengerukan dan reklamasi di Indonesia di luar kebutuhan / permintaan PT Pengerukan Indonesia. Berdasarkan data dan uraian diatas dan mengingat belum ada satu pun perusahaan nasional yang mampu memproduksi kebutuhan pipa apung untuk ketiga jenis industri diatas, serta dalam rangka penghematan devisa dan perluasan kesempatan kerja, maka penulis menyimpulkan pengembangan produk pipa apung ini di dalam negeri memiliki prospek yang baik.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa untuk industri perminyakan dan tambang timah industri kebutuhan pipa apung mereka sekitar 327 unit per tahun. Untuk industri pengerukan (dredging), dengan berhenti beroperasinya PT Pengerukan Indonesia, dapat disimpulkan data kebutuhan / permintaan PT Pengerukan Indonesia seperti Tabel 3 diatas sementara ini tidak berjalan. Namun jika melihat kebutuhan pengerukan dan reklamasi yang cukup tinggi, seperti pengerukan pendangkalan muara sungai atau pembangunan pelabuhan-pelabuhan baru, baik di Indonesia maupun di negara-negara tetangga seperti Malaysia (seperti yang dilakukan oleh PT Tambang Timah) maka permintaan pipa apung untuk pengerukan

Dari uraian diatas dapat dikatakan peluang Indonesia untuk mengembangkan pipa apung di dalam negeri cukup baik. Namun masih banyak kendala / hambatan dalam pengembangannya. Dibawah ini akan diuraikan beberapa kendala / hambatan yang akan berpotensi untuk dialami jika pipa apung tersebut di produksi di Indonesia. Fakta mengenai hambatan-hambatan / kendala-kendala ini didapat dari hasil diskusi dengan perusahaan-perusahaan yang telah disebutkan diatas. Pembahasan akan dibagi dalam 2 kelompok. Kelompok yang pertama adalah hambatan-hambatan yang bersifat teknis. Sedangkan kelompok yang kedua merupakan hambatan yang bersifat non teknis.

ISSN 1410-3680

HAMBATAN/KENDALA DALAM PENGEMBANGAN PIPA APUNG DAN SOLUSINYA

103

M.P.I. Vol.1 No.1. April 2007, 99 - 106

______________________________________________________________________________

Hambatan/kendala Teknis a) Tidak tersedianya mesin pelilitan (mesin slang) otomatis di pasaran. Mesin pelilitan berfungsi untuk melilitkan kawat pada bagian dalam pipa apung, yang tujuannya adalah untuk menguatkan pipa apung terhadap tekanan kerja. Mesin pelilitan ini tidak tersedia di pasaran. Jadi solusinya mesin ini harus didisain dan dikembangkan sendiri di Indonesia. Pengembangan mesin ini mulai dari disain sampai konstruksi membutuhkan waktu yang cukup lama, terutama sampai mesin tersebut mampu memberikan unjuk kerja sesuai dengan keinginan. b) Uji Coba Lapangan untuk industri perminyakan. Mengingat resiko yang besar jika terjadi kegagalan (bocor, pecah dan lain-lain), pada uji coba di lapangan untuk industri perminyakan. Maka sulit mencari mitra yang bersedia menjadi tempat uji coba lapangan, sehingga pipa apung yang dibuat akan sulit untuk mendapatkan pembuktian kemampuannya secara nyata di lapangan. Solusinya adalah dengan melakukan uji coba skala laboratorium terlebih dahulu, namun harus disimulasikan seperti keadaan sebenarnya di lapangan. Untuk keperluan uji seperti ini dapat dilakukan di Laboratorium Hidrodinamika – BPPT di Surabaya. Jika harus dilakukan uji di lapangan, maka solusinya adalah disekitar pipa apung yang akan diuji dilengkapi dengan fasilitas oil boom. Tujuannya adalah agar jika terjadi kegagalan pipa, tumpahan minyaknya dapat tertampung disini sehingga tidak mencemari laut. c) Standard dan Sertifikasi OCIMF. OCIMF adalah singkatan dari Oil Companies International Marine Forum, yaitu suatu asosiasi volunter dari perusahaan-perusahaan minyak yang memiliki ketertarikan pada shipment and terminalling minyak mentah (crude oil) dan produk-produk perminyakan (oil products). Anggota dari OCIMF terdiri dari 60 perusahaan-perusahaan minyak dari berbagai negara di dunia. Markas besar OCIMF berada di Bermuda, dengan kantor cabang di London (www.ocimf.com/pages.cfm?action=intro duction; akses tanggal 2 Maret 2007). Perusahan-perusahaan minyak di dunia, termasuk di Indonesia mensyaratkan 104

bahwa produk-produk pipa apung yang akan digunakan di industri perminyakan harus memenuhi standard OCIMF. Hal ini cukup sulit mendapatkannya bagi perusahaan Indonesia dan tentunya membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mendapatkannya. Uji-uji yang dipersyaratkan adalah Nipple Adhesion Tests, Carcass and Cover Adhesion Tests, Buoyancy Material Adhesion Tests, Weight Test, Minimum Bend Radius Test, Hydrostatic Test, Stiffness Test, Kerosene Test, Vacuum Test, Collar Test, Burst Test, Double Carcass Burst Test, dan Leak Detection System (OCIMF, 1991, hal 22 – 23). Solusinya jika produk ini nantinya jadi diproduksi di Indonesia, perusahaan yang akan memproduksi harus melaksanakannya secara bertahap. Tahap pertama yaitu sebaiknya produksi pipa apung terlebih dahulu ditargetkan untuk keperluan industri pertambangan dan pengerukan, karena industri ini membutuhkan spek yang relatif lebih rendah dibandingkan untuk perminyakan. Sambil berjalan kemampuan untuk memenuhi standard OCIMF terus diupayakan. d) Tidak tersedianya Sponge (pengapung) dalam negeri Telah dilakukan survei, sampai saat ini belum ada perusahaan lokal yang mampu membuat sponge (pengapung) untuk kebutuhan pipa apung ini. Sponge ini masih diimpor dari Taiwan atau Amerika Serikat. Biaya pembelian sponge ini cukup signifikan terhadap harga pokok produksi (HPP). Jika biaya pengadaan sponge ini dapat ditekan, maka harga pipa apung yang dibuat akan jauh lebih kompetitif. Solusinya yaitu dengan memberi dukungan terhadap perusahaanperusahaan sponge yang telah ada di Indonesia untuk mampu membuat sponge untuk keperluan pembuatan pipa apung. Dukungan yang perlu diberikan adalah berupa penelitian terhadap pengembangan produk ini. Hambatan/kendala Non-Teknis a) Kepercayaan yang rendah terhadap kualitas produk dalam negeri Dari hasil wawancara dengan pihakpihak terkait pada perusahaanperusahaan yang telah disebut diatas, penulis mendapatkan indikasi bahwa mereka memiliki kepercayaan yang rendah jika produk ini dibuat di dalam negeri. Yang menjadi keraguan mereka ISSN 1410-3680

Pengembangan Industri Manufaktur Pipa Apung (Rubber Floating Hose) Di Indonesia (Muslim Efendi Harahap)

______________________________________________________________________________ adalah masalah kualitas. Apakah produk dalam negeri ini mampu memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah ditetapkan?. Untuk menghapus image buruk tersebut , perusahaan yang nantinya akan mengembangkan produk ini di Indonesia harus benar-benar memperhatikan spesifikasi dan standard-standard yang menjadi persyaratan, terutama untuk industri perminyakan. Seperti telah diuraikan diatas jika mentargetkan pelanggan pada industri perminyakan sertifikat OCIMF harus diusahakan didapatkan. Selain seritifikat perusahaan dalam negeri juga harus mampu memberikan harga produk yang relatif lebih murah dibandingkan dengan harga produk-produk impor namun standard yang dipersyaratkan harus tetap dapat dipenuhi. Harga yang relatif lebih rendah ini penting, karena sebagai suatu strategi agar para calon pengguna tersebut berani mencoba produk baru ini. b) Jaminan (garansi) Selain kualitas, pada saat survei para calon pengguna juga mempertanyakan masalah garansi (jaminan) jika terjadi kegagalan pada pemakaian produk ini di lapangan. Jika perusahaan Indonesia nantinya ada yang akan mengembangkan produk ini, maka para calon pengguna di industri perminyakan menuntut garansi yang sama seperti yang mereka dapatkan saat ini, yaitu 1 tahun pertama jika terjadi kegagalan maka mereka mendapat penggantian produk tanpa harus membayar. Selain itu ada jaminan bahwa pipa apung tersebut akan mencapai umur 5 tahun. Solusi untuk tuntutan ini mau tidak mau harus dipenuhi oleh produsen lokal nantinya, karena para pengguna ini hanya menuntut hal yang sama seperti yang mereka dapatkan sekarang. Jadi mereka tidak menuntut hal yang berlebihan. c) Penyerahan (delivery) produk Para calon pengguna juga mempertanyakan kehandalan (ketepatan waktu) dalam penyerahan produk jika mereka memesan nantinya. Ketepatan waktu ini sangat penting bagi mereka karena jika penyerahan tidak tepat waktu maka semuanya akan mengganggu jadwal operasi mereka, yang beresiko mengalami kerugian keuangan yang cukup besar karena tidak dapat berjalannya operasi. Solusinya adalah perusahaan dalam negeri yang nantinya akan ISSN 1410-3680

mengembangkan produk ini harus benarbenar memperhatikan kemampun kapasitas produksinya agar jadwal penyerahan yang diminta calon pengguna dapat dipenuhi dengan tepat waktu. Untuk itu perlu dilakukan perhitungan yang matang (optimum), agar bagi produsen lokal nantinya tidak menagalami kelebihan atau kekurangan kapasitas. Kelebihan dan kekurangan kapasitas mempunyai konsekuensi terhadap biaya. Jika kelebihan kapasitas, maka biaya overhead dan depresiasi akan tinggi sehingga berdampak pada harga jual produk yang akan menjadi mahal (tidak kompetitif). Jika kekurangan kapasitas, dapat terjadi kemungkinan terlambat dalam penyerahan produk sehingga dapat berakibat adanya sanksi biaya penalti atas keterlambatan penyerahan tersebut dan dampak yang lebih buruk lagi adalah image bahwa produsen lokal memang benar-benar tidak mampu sehingga lain kali mereka (pengguna) tidak mau lagi memesan produk pipa apung dari produsen lokal.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan •









Sampai saat ini pipa apung (rubber floating hose) untuk keperluan industri pengerukan, pertambangan timah, apalagi perminyakan masih harus di impor dan belum satu perusahaan lokal yang mampu memproduksin produk ini. Permintaan terhadap pipa apung untuk industri pertambangan timah dan perminyakan diperkirakan mencapai 327 unit per tahun. Permintaan pipa apung untuk industri pengerukan (dredging) belum dapat diperhitungkan secara kuantitatif pada penelitian ini, namun diindikasikan permintaannya cukup tinggi untuk kebutuhan pengerukan muara-muara sungai dan reklamasi pantai untuk pembangunan pelabuhan-pelabuhan Mengingat belum adanya perusahaan lokal yang dapat memproduksi pipa apung ini dan besarnya permintaan pasar, maka pengembangan produk pipa apung ini di dalam negeri akan mempunyai prospek ke depan yang baik. Kendala-kendala atau hambatanhambatan yang akan menjadi penghalang untuk berkembangnya industri pipa apung ini di Indonesia antara sulitnya mencari mitra yang akan 105

M.P.I. Vol.1 No.1. April 2007, 99 - 106

______________________________________________________________________________



diajak kerja sama untuk melakukan uji lapangan dan sulitnya mendapatkan sertifikat OCIMF (untuk industri perminyakan), belum mampunya perusahaan lokal memproduksi sponge sesuai dengan kualitas yang dibutuhkan, ada rasa kurang percaya dari calon pengguna terhadap produksi dalam negeri termasuk juga keraguan masalah garansi dan ketepatan waktu penyerahan (delivery). Pengembangan produk pipa apung di dalam negeri juga akan berdampak pada penghematan devisa negara, pengusaan teknologi proses manufaktur produk ini di dalam negeri, berkembangnya industriindustri penunjang sperti sponge dan lain-lain serta juga pembukaan lapangan kerja baru yang sangat dibutuhkan masyarakat.

Saran •



Calon produsen lokal nantinya harus mampu mengatasi beberapa kendala / hambatan seperti yang telah diuraikan dari hasil survei diatas. Untuk itu diharapkan adanya dukungan dari pemerintah terutama badan-badan pemerintah yang terkait seperti BPMIGAS untuk dapat membuat kebijakan yang dapat membantu mendorong berkembangnya industri pipa apung ini di dalam negeri. Mengingat sulitnya untuk mendapatkan sertifikat OCIMF, sebagai sasaran antara sebelum mendapatkan sertifikat OCIMF maka calon produsen lokal disarankan nantinya dapat bersama pemerintah (dalam hal ini Departemen Perindustrian, Badan Standardisasi Nasional dan BPMIGAS) mengembangkan Standard Nasional Indonesia (SNI) untuk produk pipa apung ini.

2.

3.

4.

5.

Pengerukan, PT Pengerukan Indonesia, 2004 Husein,U., Riset Pemasaran dan Prilaku Konsumen, Jakarta: Gramedia Pustaka, 2005 ….., Guide to Purchasing, Manufacturing and Testing of Loading and Discharge Hoses for Offshore Moorings, OCIMF 4th edition, London: Witherby & Co, Ltd, 1991 ........., Prospek dan Permasalahan Pengguna Pipa Apung di Industri Perminyakan (Indonesia), Divisi Engineering dan Penelitian PT Pertamina, 2004. www.ocimf.com/pages.cfm?action=introd uction; akses tanggal 2 Maret 2007

RIWAYAT PENULIS Muslim Efendi Harahap, lahir di Talang Padang (Lampung) pada 18 Oktober 1960, pendidikan sarjana (S1) pada Jurusan Teknologi Industri Pertanian, IPB, Bogor pada tahun 1985, pendidikan S2 pada School of Industrial Engineering and Management, Oklahoma State University, USA pada tahun 1992. Tahun 1996 penulis menamatkan pendidikan Master of Business Administration (MBA) di Stathclyde Graduate Busniess School, Stathclyde University, UK. Sejak Januari 1986 penulis telah bekerja di BPPT. Saat ini penulis adalah peneliti pada Pusat Pengkajian Industri Proses (PTIP). Sejak tahun 2004 sampai sekarang, penulis terlibat dalam Proyek penelitian dan pengembangan produk pipa apung di Indonesia. Selain di BPPT penulis juga sebagai pengajar paruh waktu pada Program Studi Magister Manajemen Universitas Indonesia (1998 – sekarang) dan Program Studi Magister Manajemen Universitas Tarumanagara (1997 – sekarang).

DAFTAR PUSTAKA 1. Budomo, Tri, Prospek dan Permasalahan Penggunaan Pipa Apung di Industri

106

ISSN 1410-3680

Aturan Penulisan Makalah MPI

______________________________________________________________________________

JUDUL MAKALAH UNTUK MAJALAH PENGKAJIAN INDUSTRI (CENTER, HURUF Arial-14) Sub Judul Ditulis Disini (Dari sini kebawah gunakan Arial12) Nama Penulis (center, dari sini ke bawah Arial 10) Tempat Bekerja Abstract Disini anda diminta untuk menjelaskan hal yang telah dilakukan, hasil utama dan kesimpulan makalah saudara secara jelas dan singkat dalam bahasa Inggris. Jumlah kata tidak lebih dari 250. (Jarak tulisan kesisi kiri 5 cm dan kesisi kanan 4,5cm, ditulis 1 spasi, italic). Kata kunci : Zeolit, Sedementasi. Dekantasi, Kalsinasi PENDAHULUAN Format utama terdiri atas 2 kolom. Buka page set-up dan diset : Top 1,1”, bottom 0,8”, inside 1,2”, outside 1”, gutter 0”, header 0,5” dan footer 0,7”. Serta jarak kolom 1 cm. Tulisan dalam Microsoft Word, 1 spasi. Tuliskanlah latar belakang, penjelasan mengenai penelitian terkait, yang telah lebih dahulu dipublikasikan. Selain itu jelaskan hal-hal yang spesifik dan khusus dalam penelitian anda. Kutipan dari references atau daftar pustaka dibuat dengan tanda(1), dengan 1 menunjukan nomor dalam daftar pustaka. Istilah dalam bahasa asing dan simbol matematika ditulis dengan huruf miring.

ax2 +bx +c = 0 (1) Catatan : Tabel dan Gambar dapat juga dibuat memenuhi seluruh lebar halaman.

HASIL DAN PEMBAHASAN Judul Bab 3 ini dapat dipisahkan menjadi dua judul pasal Hasil Penelitian Percobaan di laboratorium KESIMPULAN Isi pasal ini dapat digabungkan dengan pembahasan.

BAHAN DAN METODE Tabel, gambar dan rumus dibuat seperti contoh dibawah ini. Tabel 1. Data Analisis XRD Sampel Zeolit 2θ d space (Ǻ) Intensity 846.667 4.10 21.68 1293.330 4.04 22.00 11053.330 5.03 23.02 Sumber Data : Hasil Olahan Data Penelitian

DAFTAR PUSTAKA 1. 2.

Hens, S., Rosjidi, M., Proses Pemurnian Zeolit Alam, Majalah Pengkajian Industri, , No. 21, 2003, p23. Grobert P.S, W.S. Mortier, E.F. Vamsart and G. Schulz-Ekloff, Studies in Surface Science and Catalysis, Innovation in zeolite materials science, vol.37, Elsevier, Netherland, 1988.

LAMPIRAN (kalau ada) RIWAYAT PENULIS

Gambar 4. Foto SEM Zeolit ISSN 1410-3680

Nama Penulis, lahir di Kota X pada tg-bl-th. Menamatkan pendidikan di Universitas Y dan bidang Z. Saat ini bekerja sebagai Apa di Direktorat Tempat Bekerja, Jakarta. Penulis juga menjadi staf pengajar pada Universitas Abbcc. Penulis juga menjadi anggota pada organisasi profesi ilmiah Apa saja. 107