MAKALAH : SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM A. PENDAHULUAN LAHIRNYA

Download daerah Aceh, dengan batasan masalah, pengertian pendidikan Islam, masuk .... Kerajaan Islam Perlak juga memiliki pusat pendidikan Islam Day...

0 downloads 436 Views 494KB Size
Makalah : Sejarah Pendidikan Islam

A. PENDAHULUAN Lahirnya agama Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW, pada abad ke-7 M, menimbulkan suatu tenaga penggerak yang luar biasa, yang pernah dialami oleh umat manusia. Islam merupakan gerakan raksasa yang telah berjalan sepanjang zaman dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Masuk dan berkembangnya Islam ke Indonesia dipandang dari segi historis dan sosiologis sangat kompleks dan terdapat banyak masalah, terutama tentang sejarah perkembangan awal Islam. Ada perbedaan antara pendapat lama dan pendapat baru. Pendapat lama sepakat bahwa Islam masuk ke Indonesia abad ke-13 M dan pendapat baru menyatakan bahwa Islam masuk pertama kali ke Indonesia pada abad ke-7 M. (A.Mustofa,Abdullah,1999: 23). Namun yang pasti, hampir semua ahli sejarah menyatakan bahwa daerah Indonesia yang mula-mula dimasuki Islam adalah daerah Aceh.(Taufik Abdullah:1983) Datangnya Islam ke Indonesia dilakukan secara damai, dapat dilihat melalui jalur perdagangan, dakwah, perkawinan, ajaran tasawuf dan tarekat, serta jalur kesenian dan pendidikan, yang semuanya mendukung proses cepatnya Islam masuk dan berkembang di Indonesia. Kegiatan pendidikan Islam di Aceh lahir, tumbuh dan berkembang bersamaan dengan berkembangnya Islam di Aceh. Konversi massal masyarakat kepada Islam pada masa perdagangan disebabkan oleh Islam merupakan agama yang siap pakai, asosiasi Islam dengan kejayaan, kejayaan militer Islam, mengajarkan tulisan dan hapalan, kepandaian dalam penyembuhan dan pengajaran tentang moral.(Musrifah,2005: 20). Konversi massal masyarakat kepada Islam pada masa kerajaan Islam di Aceh tidak lepas dari pengaruh penguasa kerajaan serta peran ulama dan pujangga. Aceh menjadi pusat pengkajian Islam sejak zaman Sultan Malik Az-Zahir berkuasa, dengan adanya sistem pendidikan informal berupa halaqoh. Yang pada kelanjutannya menjadi sistem pendidikan formal. Dalam konteks inilah, pemakalah akan membahas tentang pusat pengkajian Islam pada masa Kerajaan Islam dengan membatasi wilayah bahasan di daerah Aceh, dengan batasan masalah, pengertian pendidikan Islam, masuk dan berkembangnya Islam di Aceh, dan pusat pengkajian Islam pada masa tiga kerajaan besar Islam di Aceh.

B. Pengertian Pendidikan Islam Pendidikan Islam Secara etimologis pendidikan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab “Tarbiyah” dengan kata kerjanya “Robba” yang berarti mengasuh, mendidik, memelihara.(Zakiyah Drajat, 1996: 25) Menurut pendapat ahli, Ki Hajar Dewantara pendidikan adalah tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, maksudnya pendidikan adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anakanak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. (Hasbullah,2001: 4) Pendidikan adalah segala usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan. (Ngalim Purwanto, 1995:11). HM. Arifin menyatakan, pendidikan secara teoritis mengandung pengertian “memberi makan” kepada jiwa anak didik sehingga mendapatkan kepuasan rohaniah, juga sering diartikan dengan menumbuhkan kemampuan dasar manusia.(HM.Arifin, 2003: 22)

Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Bab 1 pasal 1 ayat 1, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. (UU Sisdiknas No. 20, 2003) Pendidikan memang sangat berguna bagi setiap individu. Jadi, pendidikan merupakan suatu proses belajar mengajar yang membiasakan warga masyarakat sedini mungkin menggali, memahami, dan mengamalkan semua nilai yang disepa kati sebagai nilai terpuji dan dikehendaki, serta berguna bagi kehidupan dan perkembangan pribadi, masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan Islam menurut Zakiah Drajat merupakan pendidikan yang lebih banyak ditujukan kepada perbaikan sikap mental yang akan terwujud dalam amal perbuatan, baik bagi keperluan diri sendiri maupun orang lain yang bersifat teoritis dan praktis. (Zakiah Drajat,1996: 25) Dengan demikian, pendidikan Islam berarti proses bimbingan dari pendidik terhadap perkembangan jasmani, rohani, dan akal peserta didik ke arah terbentuknya pribadi muslim yang baik (Insan Kamil).

Kajian Islam Pada Masa Kerajaan Islam di Aceh a. Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh Hampir semua ahli sejarah menyatakan bahwa dearah Indonesia yang mula-mula di masuki Islam ialah daerah Aceh.(Taufik Abdullah, 1983: 4). Berdasarkan kesimpulan seminar tentang masuknya Islam ke Indonesia yang berlangsung di Medan pada tanggal 17 – 20 Maret 1963, yaitu: - Islam untuk pertama kalinya telah masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M, dan langsung dari Arab. - Daerah yang pertama kali didatangi oleh Islam adalah pesisir Sumatera, adapun kerajaan Islam yang pertama adalah di Pasai. - Dalam proses pengislaman selanjutnya, orang-orang Islam Indonesia ikut aktif mengambil peranan dan proses penyiaran Islam dilakukan secara damai. - Keterangan Islam di Indonesia, ikut mencerdaskan rakyat dan membawa peradaban yang tinggi dalam membentuk kepribadian bangsa Indonesia.(Taufik Abdullah, 1983: 5) Masuknya Islam ke Indonesia ada yang mengatakan dari India, dari Persia, atau dari Arab. (Musrifah, 2005: 10-11). Dan jalur yang digunakan adalah: a. Perdagangan, yang mempergunakan sarana pelayaran b. Dakwah, yang dilakukan oleh mubaligh yang berdatangan bersama para pedagang, para mubaligh itu bisa dikatakan sebagai sufi pengembara. c. Perkawinan, yaitu perkawinan antara pedagang muslim, mubaligh dengan anak bangsawan Indonesia, yang menyebabkan terbentuknya inti sosial yaitu keluarga muslim dan masyarakat muslim. d. Pendidikan. Pusat-pusat perekonomian itu berkembang menjadi pusat pendidikan dan penyebaran Islam. e. Kesenian. Jalur yang banyak sekali dipakai untuk penyebaran Islam terutama di Jawa adalah seni. Bentuk agama Islam itu sendiri mempercepat penyebaran Islam, apalagi sebelum masuk ke Indonesia telah tersebar terlebih dahulu ke daerah-daerah Persia dan India, dimana kedua daerah ini banyak memberi pengaruh kepada perkembangan kebudayaan Indonesia. Dalam perkembangan agama Islam di daerah Aceh, peranan mubaligh sangat besar, karena mubaligh tersebut tidak hanya berasal dari Arab, tetapi juga Persia, India, juga dari Negeri sendiri. Ada dua faktor penting yang menyebabkan masyarakat Islam mudah berkembang di Aceh, yaitu: 1. Letaknya sangat strategis dalam hubungannya dengan jalur Timur Tengah dan Tiongkok.

2. Pengaruh Hindu – Budha dari Kerajaan Sriwijaya di Palembang tidak begitu berakar kuat dikalangan rakyat Aceh, karena jarak antara Palembang dan Aceh cukup jauh.(A.Mustofa, Abdullah, 1999: 53) Sedangkan Hasbullah mengutip pendapat Prof. Mahmud Yunus, memperinci faktor-faktor yang menyebabkan Islam dapat cepat tersebar di seluruh Indonesia (Hasbullah, 2001: 19-20), antara lain: a. Agama Islam tidak sempit dan berat melakukan aturan-aturannya, bahkan mudah ditiru oleh segala golongan umat manusia, bahkan untuk masuk agama Islam saja cukup dengan mengucap dua kalimah syahadat saja. b. Sedikit tugas dan kewajiban Islam c. Penyiaran Islam itu dilakukan dengan cara berangsur-angsur sedikit demi sedikit. d. Penyiaran Islam dilakukan dengan cara bijaksana. e. Penyiaran Islam dilakukan dengan perkataan yang mudah dipahami umum, dapat dimengerti oleh golongan bawah dan golongan atas. Konversi massal masyarakat Nusantara kepada Islam pada masa perdagangan terjadi karena beberapa sebab (Musrifah, 2005: 20-21), yaitu: 1. Portilitas (siap pakai) sistem keimanan Islam. 2. Asosiasi Islam dengan kekayaan. Ketika penduduk pribumi Nusantara bertemu dan berinteraksi dengan orang muslim pendatang di pelabuhan, mereka adalah pedagang yang kaya raya. Karena kekayaan dan kekuatan ekonomi, mereka bisa memainkan peranan penting dalam bidang politik dan diplomatik. 3. Kejayaan militer. Orang muslim dipandang perkasa dan tangguh dalam peperangan. 4. Memperkenalkan tulisan. Agama Islam memperkenalkan tulisan ke berbagai wilayah Asia Tenggara yang sebagian besar belum mengenal tulisan. 5. Mengajarkan penghapalan Al-Qur’an. Hapalan menjadi sangat penting bagi penganut baru, khususnya untuk kepentingan ibadah, seperti sholat. 6. Kepandaian dalam penyembuhan. Tradisi tentang konversi kepada Islam berhubungan dengan kepercayaan bahwa tokoh-tokoh Islam pandai menyembuhkan. Sebagai contoh, Raja Patani menjadi muslim setelah disembuhkan dari penyakitnya oleh seorang Syaikh dari Pasai. 7. Pengajaran tentang moral. Islam menawarkan keselamatan dari berbagai kekuatan jahat dan kebahagiaan di akhirat kelak. Melalui faktor-faktor dan sebab-sebab tersebut, Islam cepat tersebar di seluruh Nusantara sehingga pada gilirannya nanti, menjadi agama utama dan mayoritas negeri ini.

Perkembangan Kebudayan Islam Pada Tiga Kerajaan Islam di Aceh. 1. Zaman Kerajaan Samudra Pasai Kerajaan Islam pertama di Indonesia adalah kerajaan Samudra Pasai, yang didirikan pada abad ke10 M dengan raja pertamanya Malik Ibrahim bin Mahdum. Yang kedua bernama Al-Malik Al-Shaleh dan yang terakhir bernama Al-Malik Sabar Syah (tahun 1444 M/ abad ke-15 H). (Mustofa Abdullah, 1999: 54) Pada tahun 1345, Ibnu Batutah dari Maroko sempat singgah di Kerajaan Pasai pada zaman pemerintahan Malik Az-Zahir, raja yang terkenal alim dalam ilmu agama dan bermazhab Syafi’i, mengadakan pengajian sampai waktu sholat Ashar dan fasih berbahasa Arab serta mempraktekkan pola hidup yang sederhana. (Zuhairini,et.al, 2000: 135) Keterangan Ibnu Batutah tersebut dapat ditarik kesimpulan pendidikan yang berlaku di zaman kerajaan Pasai sebagai berikut: a. Materi pendidikan dan pengajaran agama bidang syari’at adalah Fiqh mazhab Syafi’i

b. Sistem pendidikannya secara informal berupa majlis ta’lim dan halaqoh c. Tokoh pemerintahan merangkap tokoh agama d. Biaya pendidikan bersumber dari negara.(Zuhairini, et.al., 2000: 136) Pada zaman kerajaan Samudra Pasai mencapai kejayaannya pada abad ke-14 M, maka pendidikan juga tentu mendapat tempat tersendiri. Mengutip keterangan Tome Pires, yang menyatakan bahwa “di Samudra Pasai banyak terdapat kota, dimana antar warga kota tersebut terdapat orang-orang berpendidikan”.(M.Ibrahim, et.al, 1991: 61) Menurut Ibnu Batutah juga, Pasai pada abad ke-14 M, sudah merupakan pusat studi Islam di Asia Tenggara, dan banyak berkumpul ulama-ulama dari negara-negara Islam. Ibnu Batutah menyatakan bahwa Sultan Malikul Zahir adalah orang yang cinta kepada para ulama dan ilmu pengetahuan. Bila hari jum’at tiba, Sultan sembahyang di Masjid menggunakan pakaian ulama, setelah sembahyang mengadakan diskusi dengan para alim pengetahuan agama, antara lain: Amir Abdullah dari Delhi, dan Tajudin dari Ispahan. Bentuk pendidikan dengan cara diskusi disebut Majlis Ta’lim atau halaqoh. Sistem halaqoh yaitu para murid mengambil posisi melingkari guru. Guru duduk di tengah-tengah lingkaran murid dengan posisi seluruh wajah murid menghadap guru. 2. Kerajaan Perlak Kerajaan Islam kedua di Indonesia adalah Perlak di Aceh. Rajanya yang pertama Sultan Alaudin (tahun 1161-1186 H/abad 12 M). Antara Pasai dan Perlak terjalin kerja sama yang baik sehingga seorang Raja Pasai menikah dengan Putri Raja Perlak. Perlak merupakan daerah yang terletak sangat strategis di Pantai Selat Malaka, dan bebas dari pengaruh Hindu.(Hasbullah, 2001: 29) Kerajaan Islam Perlak juga memiliki pusat pendidikan Islam Dayah Cot Kala. Dayah disamakan dengan Perguruan Tinggi, materi yang diajarkan yaitu bahasa Arab, tauhid, tasawuf, akhlak, ilmu bumi, ilmu bahasa dan sastra Arab, sejarah dan tata negara, mantiq, ilmu falaq dan filsafat. Daerahnya kira-kira dekat Aceh Timur sekarang. Pendirinya adalah ulama Pangeran Teungku Chik M.Amin, pada akhir abad ke-3 H, abad 10 M. Inilah pusat pendidikan pertama. Rajanya yang ke enam bernama Sultan Mahdum Alaudin Muhammad Amin yang memerintah antara tahun 1243-1267 M, terkenal sebagai seorang Sultan yang arif bijaksana lagi alim. Beliau adalah seorang ulama yang mendirikan Perguruan Tinggi Islam yaitu suatu Majlis Taklim tinggi dihadiri khusus oleh para murid yang sudah alim. Lembaga tersebut juga mengajarkan dan membacakan kitab-kitab agama yang berbobot pengetahuan tinggi, misalnya kitab Al-Umm karangan Imam Syafi’i.(A.Mustofa, Abdullah, 1999: 54) Dengan demikian pada kerajaan Perlak ini proses pendidikan Islam telah berjalan cukup baik. 3. Kerajaan Aceh Darussalam Proklamasi kerajaan Aceh Darussalam adalah hasil peleburan kerajaan Islam Aceh di belahan Barat dan Kerajaan Islam Samudra Pasai di belahan Timur. Putra Sultan Abidin Syamsu Syah diangkat menjadi Raja dengan Sultan Alaudin Ali Mughayat Syah (1507-1522 M). Bentuk teritorial yang terkecil dari susunan pemerintahan Kerajaan Aceh adalah Gampong (Kampung), yang dikepalai oleh seorang Keucik dan Waki (wakil). Gampong-gampong yang letaknya berdekatan dan yang penduduknya melakukan ibadah bersama pada hari jum’at di sebuah masjid merupakan suatu kekuasaan wilayah yang disebut mukim, yang memegang peranan pimpinan mukim disebut Imeum mukim.(M. Ibrahim, et.al., 1991: 75) Jenjang pendidikan yang ada di Kerajaan Aceh Darussalam diawali pendidikan terendah Meunasah (Madrasah). Yang berarti tempat belajar atau sekolah, terdapat di setiap gampong dan mempunyai multi fungsi antara lain: - Sebagai tempat belajar Al-Qur’an - Sebagai Sekolah Dasar, dengan materi yang diajarkan yaitu menulis dan membaca huruf Arab, Ilmu agama, bahasa Melayu, akhlak dan sejarah Islam. Fungsi lainnya adalah sebagai berikut: - Sebagai tempat ibadah sholat 5 waktu untuk kampung itu. - Sebagai tempat sholat tarawih dan tempat membaca Al-Qur’an di bulan puasa.

- Tempat kenduri Maulud pada bulan Mauludan. - Tempat menyerahkan zakat fitrah pada hari menjelang Idhul Fitri atau bulan puasa - Tempat mengadakan perdamaian bila terjadi sengketa antara anggota kampung. - Tempat bermusyawarah dalam segala urusan - Letak meunasah harus berbeda dengan letak rumah, supaya orang segera dapat mengetahui mana yang rumah atau meunasah dan mengetahui arah kiblat sholat. (M. Ibrahim, 1991: 76) Selanjutnya sistem pendidikan di Dayah (Pesantren) seperti di Meunasah tetapi materi yang diajarkan adalah kitab Nahu, yang diartikan kitab yang dalam Bahasa Arab, meskipun arti Nahu sendiri adalah tata bahasa (Arab). Dayah biasanya dekat masjid, meskipun ada juga di dekat Teungku yang memiliki dayah itu sendiri, terutama dayah yang tingkat pelajarannya sudah tinggi. Oleh karena itu orang yang ingin belajar nahu itu tidak dapat belajar sambilan, untuk itu mereka harus memilih dayah yang agak jauh sedikit dari kampungnya dan tinggal di dayah tersebut yang disebut Meudagang. Di dayah telah disediakan pondok-pondok kecil mamuat dua orang tiap rumah. Dalam buku karangan Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, istilah Rangkang merupakan madrasah seringkat Tsanawiyah, materi yang diajarkan yaitu bahasa Arab, ilmu bumi, sejarah, berhitung, dan akhlak. Rangkang juga diselenggarakan disetiap mukim. (Hasbullah, 2001: 32) Bidang pendidikan di kerajaan Aceh Darussalam benar-benar menjadi perhatian. Pada saat itu terdapat lembaga-lembaga negara yang bertugas dalam bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan yaitu: 1. Balai Seutia Hukama, merupakan lembaga ilmu pengetahuan, tempat berkumpulnya para ulama, ahli pikir dan cendikiawan untuk membahas dan mengembangkan ilmu pengetahuan. 2. Balai Seutia Ulama, merupakan jawatan pendidikan yang bertugas mengurus masalah-masalah pendidikan dan pengajaran. 3. Balai Jama’ah Himpunan Ulama, merupakan kelompok studi tempat para ulama dan sarjana berkumpul untuk bertukar fikiran membahas persoalan pendidikan dan ilmu pendidikannya. Aceh pada saat itu merupakan sumber ilmu pengetahuan dengan sarjana-sarjanaya yang terkenal di dalam dan luar negeri. Sehingga banyak orang luar datang ke Aceh untuk menuntut ilmu, bahkan ibukota Aceh Darussalam berkembang menjadi kota Internasional dan menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan. Kerajaan Aceh telah menjalin suatu hubungan persahabatan dengan kerajaan Islam terkemuka di Timur Tengah yaitu kerajaan Turki. Pada masa itu banyak pula ulama dan pujangga-pujangga dari berbagai negeri Islam yang datang ke Aceh. Para ulama dan pujangga ini mengajarkan ilmu agama Islam (Theologi Islam) dan berbagai ilmu pengetahuan serta menulis bermacam-macam kitab berisi ajaran agama. Karenanya pengajaran agama Islam di Aceh menjadi penting dan Aceh menjadi kerajaan Islam yang kuat di nusantara. Diantara para ulama dan pijangga yang pernah datang ke kerajaan Aceh antara lain Muhammad Azhari yang mengajar ilmu Metafisika, Syekh Abdul Khair Ibn Syekh Hajar ahli dalam bidang pogmatic dan mistik, Muhammad Yamani ahli dalam bidang ilmu usul fiqh dan Syekh Muhammad Jailani Ibn Hasan yang mengajar logika. (M.Ibrahim,et.al., 1991: 88) Tokoh pendidikan agama Islam lainnya yang berada di kerajaan Aceh adalah Hamzah Fansuri. Ia merupakan seorang pujangga dan guru agama yang terkenal dengan ajaran tasawuf yang beraliran wujudiyah. Diantara karya-karya Hamzah Fansuri adalah Asrar Al-Aufin, Syarab Al-Asyikin, dan Zuiat Al-Nuwahidin. Sebagai seorang pujangga ia menghasilkan karya-karya, Syair si burung pungguk, syair perahu. Ulama penting lainnnya adalah Syamsuddin As-Samathrani atau lebih dikenal dengan Syamsuddin Pasai. Ia adalah murid dari Hamzah Fansuri yang mengembangkan paham wujudiyah di Aceh. Kitab yang ditulis, Mir’atul al-Qulub, Miratul Mukmin dan lainnya. Ulama dan pujangga lain yang pernah datang ke kerajaan Aceh ialah Syekh Nuruddin Ar-Raniri. Ia menentang paham wujudiyah dan menulis banyak kitab mengenai agama Islam dalam bahasa Arab maupun Melayu klasik. Kitab yang terbesar dan tertinggi mutu dalam kesustraan Melayu klasik dan berisi tentang sejarah kerajaan Aceh adalah kitab Bustanul Salatin. Pada masa kejayaan kerajaan Aceh, masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636) oleh Sultannya banyak didirikan masjid sebagai tempat beribadah umat Islam, salah satu masjid yang terkenal

Masjid Baitul Rahman, yang juga dijadikan sebagai Perguruan Tinggi dan mempunyai 17 daars (fakultas). Dengan melihat banyak para ulama dan pujangga yang datang ke Aceh, serta adanya Perguruan Tinggi, maka dapat dipastikan bahwa kerajaan Aceh menjadi pusat studi Islam. Karena faktor agama Islam merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat Aceh pada periode berikutnya. Menurut B.J. Boland, bahwa seorang Aceh adalah seorang Islam.(M.Ibrahim,et.al., 1991: 89)

Friday, June 13, 2008 KEADAAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA Telah kita ketahui bahwa usha pendidikan Islam sama tujuannya dengan Islam itu sendiri, dan pendidikan Islam tidak terlepas dari sejarah Islam pada umumnya. Karena itulah, periodesasi sejarah pendidikan Islam berada dalam periode-periode sejarah Islam itu sendiri. Pendidikan Islam tersebut pada dasarnya dilaksanakan dalam upaya menyahuti kehendak umat Islam pada masa itu dan pada masa yang akan datang yang dianggap sebagai kebutuhan hidup (need of life). Usaha yang dimiliki, apabila kita teliti atau perhatikan lebih mendalam, merupakan upaya untuk melaksanakan isi kandungan Al-Qur'an terutama yang tertuang pada surat Al-Alaq: 1-5. Sebagimana hanya Islam yang mula-mula diterima Nabi Muhammad SAW. Melalui Malaikat jibril di gua Hira. Ini merupakan salah satu contoh dari opersionalisasi penyampaian dari pendidikan tersebut. Prof. Dr. Harun Nasution, secara garis besar membagi sejarah Islam ke dalam tiga periode, yaitu perode klasik, pertengahan, dan modern. Selanjutnya, pembahasan tentang lintasan atau periode sejarah pendidikan Islam mengikuti penahapan perkembangan sebagai berikut: 1. Periode pembinaan pendidikan Islam, berlangsung pada masa nab Muhammad SAW. Selama lebih kurang dari 23 tahun, yaitu sejak beliau menerima wahyu pertama sebagai tanda kerasulannya sampai wafat. 2. Periode pertumbuhan pendidikan, berlangsung sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW. Sampai dengan akhir kekuasaan Bani Umaiyah, yang diwarnai oleh penyebaran Islam ke dalam lingkungan budaya bangsa di luar bangsa Arab dan perkembangannya ilmu-ilmu naqli 3. Periode kejayaan pendidikan Islam, berlangsung sejak permulaan Daulah bani Abbasiyah sampai dengan jatuhnya kota Bagdad yang diwarnai oleh perkembangan secara pesat ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam serta mencapai puncak kejayaannya. 4. Tahap kemuduran pendidikan berlangsung sejak jatuhnya kota Bagdad sampai dengan jatuhnya Mesir oleh Napoleon sekirat abad ke-18 M. yang ditandai oleh lemahnya kebudayaan Islam berpindahnya pusatpusat pengembangan kebudayaan dan peradaban manusia ke dunia Barat. 5. Tahap pembaharuan pendidikan Islam, berlangsungnya sejak pendudukan Mesir Oleh Napoleon pada akhir abad ke-18 M. sampai sekarang, yang di tandai oleh masuknya unsur-unsur budaya dan pendidikan modern dari dunia Barat ke dunia Islam. Sementara itu, kegiatan pendidikan Islam di Indonesia lahir dan tumbuh serta berkembang bersamaan dengan masuk dan berkembangnya islam di Indonesia. Sesungguhnya kegiatan pendidikan Islam tersebut merupakan pengalaman dan pengetahuan yang penting bagi kelangsungan perkembangan Islam dan umat Islam, baik secara kuantitas maupun kualitas. Pendidikan Islam itu bahkan menjadi tolak ukur, bagaimana Islam dan umatnya telah memainkan perananya dalam berbagai aspek sosial, politik, budaya. Oleh karena itu, untuk melacak sejarah pendidikan Islam di Indonesia dengan periodisasinya, baik dalam pemikiran, isi, maupun pertumbuhan oraganisasi dan kelembagaannya tidak mungkin dilepaskan dari fase-fase yang dilaluinya. Fase-fase tersebut secara periodisasi dapat dibagi menjadi; 1. Periode masuknya Islam ke Indonesia 2. Periode pengembangan dengan melalui proses adaptasi

3. Periode kekuasaan kerajaan-kerajaan Islam (proses politik) 4. Periode penjajahan Belanda (1619 – 1942) 5. Periode penjajahan Jepang (1942 – 1945) 6. Periode kemerdekaan I Orde lama (1945 – 1965) 7. Periode kemerdekaan II Orde Baru/Pembangunan (1966- sekarang) MENCANDRA TREND PENDIDIKAN ISLAM INDONESIA MASA KINI Oleh: Dr. Ainurrofiq Dawam, M.A Pengantar Tulisan berikut ini merupakan suntingan dari Doktor muda dalam bidang pendidikan Islam dari UIN Yogyakarta. Pria berkacamata tebal ini mencoba melihat pendidikan Islam dewasa ini dengan mengaitkan pada persoalan moralitas bangsa. Dr. Ainurrofiq, merupakan alumnus S.3 UIN Jakarta yang cukup produktif menulis buku, memberikan kata pengantar buku-buku tentang pendidikan dan lain sebagainya. Tulisan ini juga menyoroti perjalanan pendidikan Islam di Indonesia, yang sampai saat ini masih menduduki ranngking kurang begitu bagus dibanding negara-negara lainnya. Penulis mensenyalir hal ini salah satunya diakibatkan oleh kurangnya perhatian pemerintah pusat dan menitikberatkan pembangunan pada sector ekonomi. Fenoemena ini pada gilirannya telah menyebabkan pembangunan jiwa dan mental bangsa menjadi termarjinalkan. Pendidikan ekonomi tanpa didukung dengan pendidikan moral yang kuat hanya akan memunculkan pemimpin-pemimpin yang berpenyakit kronis. Harapanpun telah tiba, dengan dinaikannnya anggaran pendidikan (20 persen), sudah siapkah mental para pengelola pendidikan? Dalam tulisan ini penulis juga sempat menggulirkan gagasan lama yang coba diusung kembali, yakni mensinergikan pendidikan menjadi satu atap, sehingga tidak terjadi dikotomi dalam pengelolaan pendidikan. Apa dan bagaimana sejarahnya selanjutnya baca tulisannya dalam dua edisi. (re-readings by Adib Gja) Indonesia adalah sebuah negara besar yang memiliki penduduk ratusan juta jiwa. Indonesia juga adalah negara yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam. Menurut sebuah perhitungan manusia Muslim Indonesia adalah jumlah pemeluk agam Islam terbesar di dunia. Jika dibanding dengan negara-negara Muslim lainnya, maka penduduk Muslim Indonesia dari segi jumlah tidak ada yang menandingi. Jumlah yang besar tersebut sebenarnya merupakan sumber daya manusia dan kekuatan yang sangat besar, bila mampu dioptimalkan peran dan kualitasnya. Jumah yang sangat besar tersebut juga mampu menjadi kekuatan sumber ekonomi yang luar biasa. Jumlah yang besar di atas juga akan menjadi kekuatan politik yang cukup signifikan dalam percaturan nasional. Namun realitas membuktikan lain. Jumlah manusia Muslim yang besar tersebut ternyata tidak mamiliki kekuatan sebagaimana seharusnya yang dimiliki. Jumlah yang sangat besar di atas belum didukung oleh kualitas dan kekompakan serta loyalitas manusia Muslim terhadap sesama, agama, dan para fakir miskin yang sebagian besar (untuk tidak mengatakan semuanya) adalah kaum Muslimin juga. Kualitas manusia Muslim belum teroptimalkan secara individual apalagi secara massal. Kualitas manusia Muslim Indonesia masih berada di tingkat menengah ke bawah. Memang ada satu atau dua orang yang menonjol, hanya saja kemenonjolan tersebut tidak mampu menjadi lokomotif bagi rangkaian gerbong manusia Muslim lainnya. Apalagi bila berbicara tentang kekompakan dan loyalitas terhadap agama, sesama, dan kaum fakir miskin papa. Sebagian besar dari manusia Muslim yang ada masih berkutat untuk memperkaya diri, kelompok, dan pengurus partainya sendiri. Masih sangat sedikit manusia Muslim Indonesia yang berani secara praktis— bukan hanya orasi belaka—memberikan bantuan dan pemberdayaan secara tulus ikhlas kepada sesama umat Islam, khususnya para kaum fakir miskin papa. Paradoksal fenomena di atas, yakni jumlah manusia Muslim Indonesia yang sangat besar akan tetapi tidak memiliki kekuatan ideologi, kekuatan politik, kekuatan ekonomi, kekuatan budaya, dan kekuatan gerakan adalah secara tidak langsung merupakan dari hasil pola pendidikan Islam selama ini. Pola dan model pendidikan Islam yang dikembangkan selama ini masih berkutat pada pemberian materi yang tidak aplikatif dan praktis. Bahkan sebagian besar model dan proses pendidikannya terkesan “asal-asalan” atau tidak professional. Selain itu, pendidikan Islam di

Indonesia negara tercinta mulai tereduksi oleh nilai-nilai negatif gerakan dan proyek modernisasi yang kadang-kadang atau secara nyata bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri. Tulisan ini mencoba untuk memberikan gambaran secara global tentang pendidikan Islam Indonesia saat ini sebagai landasan awal untuk meneropong moralitas bangsa di masa depan. Moralitas masa depan bangsa menjadi sangat penting untuk diteropong, karena didasarkan pada asumsi awal sebagian pakar yang berpendapat bahwa salah satu factor penyebab atau “biang keladi” terjadi dan berlangsungnya krisis multidimensional negara Indonesia adalah masalah moralitas bangsa yang sangat "amburadul" dan tidak "karu-karuan". Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional: Kilasan Sejarah Singkat Pendidikan Islam yang dalam hal ini dapat diwakili oleh pendidikan meunasah atau dayah, surau, dan pesantren diyakini sebagai pendidikan tertua di Indonesia. Pendidikan Pendidikan ketiga institusi di atas memiliki nama yang berbeda, akan tetapi memiliki pemahaman yang sama baik secara fungsional, substansial, operasional, dan mekanikal. Secara fungsional trilogi sistem pendidikan tersebut dijadikan sebagai wadah untuk menggembleng mental dan moral di samping wawasan kepada para pemuda dan anak-anak untuk dipersiapkan menjadi manusia yang berguna bagi agama, masyarakat, dan negara. Secara substansial dapat dikatakan bahwa trilogi sistem pendidikan tersebut merupakan panggilan jiwa spiritual dan religius dari para tengku, buya, dan kyai yang tidak didasari oleh motif materiil, akan tetapi murni sebagai pengabdian kepada Allah. Secara operasional trilogi sistem penidikan tersebut muncul dan berkembang dari masyarakat, bukan sebagai kebijakan, proyek apalagi perintah dari para sultan, raja, atau penguasa. Secara mekanikal bisa dipahami dari hasil pelacakan historis bahwa trilogi sistem pendidikan di atas tumbuh secara alamiah dan memiliki anak-anak cabang yang dari satu induk mengembang ke berbagai lokasi akan tetapi masih ada ikatan yang kuat secara emosional, intelektual, dan kultural dari induknya. Sebelum masuknya penjajah Belanda triilogi sistem pendidikan pribumi tersebut berkembang dengan pesat sesuai dengan perkembangan agama Islam yang berlangsung secara damai, ramah, dan santun. Perkembangan tersebut pada dasarnya merupakan bukti bagi kesadaran masyarakat Indonesia akan sesuainya model pendidikan Islam dengan nurani masyarakat dan bangsa Indonesia saat itu. Kehidupan masyarakat terasa harmonis, selaras, dan tidak saling mendominasi. Hanya saja sejak masuknya bangsa penjajah baik Spanyol, Portugis, dan Belanda dengan sifat kerakusan akan kekayaan dan materi yang luar biasa menjadikan masyarakat Indonesia tercerai berai. Terdapat sebagian masyarakat pribumi yang masih teguh dengan pendirian dan ajaran yang diperoleh di dayah, surau, dan pesantren ada juga yang sudah mulai terbuai dengan bujuk rayu para penjajah jahat tersebut. Sebagian manusia pribumi yang menerima bujukan dan rayuan penjajah di atas adalah manusia pribumi yang telah lupa dan memang secara sadar melupakan ajaran yang mereka peroleh di tempat pendidikannya. Mereka juga terbius dengan iming-iming kekayaan dari para penjajah yang sangat licik. Kelicikan dan kejahatan para penjajah memang tidak pernah diungkap oleh para sejarawan. Kelicikan dan kejahatan penjajah sudah tidak bias diterima manusia normal. Bujukan dan rayuan yang manis dari para penjajah diarahkan kepada manusia pribumi yang kelihatan secara moral, kepribadian, praktik keagamaan masih lemah dan rendah. Moralitas yang rendah, kepribadian yang lemah dan tingkat ketaatan keagamaan minim merupakan sasaran empuk bagi para penjajah. Trilogi sistem pendidikan Islam di atas mulai tergerus bahkan memang sengaja dibatasi serta dimatikan oleh penjajah. Para penjajah memandang bahwa trilogi sistem pendidikan Islam tersebut pada dasarnya bukanlah lembaga pendidikan akan tetapi hanyalah lembaga agitasi dan provokasi untuk melawana penjajahan. Dengan asumsi yang demikian, maka menjadi sangat wajar ketika penjajah berusaha untuk mengkerdilkan atau bahkan mematikannya. Di saat yang bersamaan penjajah mendirikan sistem pendidikan alam negara penjajah. Di sini telah terjadi polarisasi lembaga pendidikan yang pada awalnya hanya mengenal pendidikan tradisional, maka pada masa penajajahan ini mulai muncul sistem pendidikan modern. Di sinilah cikal-bakal mulai munculnya istilah pendidikan tradisional dan pendidikan modern. Adanya fragmentasi ini kemudian juga merembet ke dikotomisasi ilmu pengetahuan yaikni ada ilmu agama dan ilmu umum. Ilmu agama

dipahami sebagai ilmu-ilmu yang diberikan secara tradisional oleh trilogi sistem pendidikan Islan sedangkan ilmu umum digunakan untuk menyebut ilmu-ilmu yang diberikan oleh lembaga pendidikan modern, dalam hal ini sekolah-sekolah yang didirikan para penjajah. Adanya persaingan yang tidak seimbang antara kaum penjajah dan penduduk asli, maka sebagian besar manusia Indonesia mulai mengalami perubahan dalam kehidupannya. Mulai saat ini pulalah manusia Indonesia mengalami perubahan yang sangat signifikan baik dalam aspek ideologi, ekonomi, politik, maupun moralitas. Dalam aspek ideologi manusia pribumi mulai ada yang bergeser dari ideologi spiritualisme-religius ke ideologi materialisme-kapitalisme. Ideologi materialisme-kapitalisme adalah ideologi yang lebih mementingkan kekayaan materi dan kekayaan tersebut digunakan untuk dirinya sendiri. Kekayaan yang diperoleh dengan cara memeras dan menyiksa para fakir miskin adalah sebuah perilaku para pengkiut ideilogi ini. Dalam aspek ekonomi juga mulai bergeser dari hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarganya mengarah ke orientasi untuk menguasi seluruh kekayaan yang ada, sehingga kekayaan tesrebut hanya untuk dirinya sendiri. Hal ini memang merupoakan konskuensi logis dari pergeseran ideologi di atas. Karena secara teoritis dan praktis antara ideologi dan perilaku ekonomi akan memiliki kesejajaran dan kesinambungan. Dalam aspek politik kehidupan masyarakat bergeser dari sekedar menjadikannya sebagai sarana untuk menmgembangkan ajaran dan moralitas masyarakat bergeser menjadi sebagai sarana untuk menguasai masyarakat baik secara cultural maupun truktural. Inilah yang belakangan menyebabkan munculnya kekayaan structural dan kemiskinan structural. Yaitu kondisi dan keberlangsungan kehidupan masyarakat dimana yang kaya semakin kayak arena menguasai seluruh akses kekayaan, sedangkan yang miskin semakin miskin karena memang telah direbut seluruh aksesnya oleh orang yang kaya. Dalam aspek moralitas pergeseran terjadi pada pandangan masyarakat tentang konsep moralitas itu sendiri. Moralitas di sini dipahami sebagai konsep tentang moral atau kebaikan atau baiknya sesuatu yang telah dikonstruksi oleh masyarakat. Ketika penjajah yang berkuasa di Indonesia, maka konsepsi tentang moral harus mengikuti konstruksi masyarakat penajajah. Sedangkan sebagaimana dijelaskan di depan bahwa ideologi para penjajah adalah materialisme-kapitalis, maka sesuatu atau seseorang dianggap baik dan bermoral ketika sesuatu itu bermanfaat dan berguna secara materiil. Seseorang dikatakan kurang moralitas dan nilainya di hadapan masyarakat ketika seseorang itu tidak mampu memberikan manfaat dan kegunaan secara materiil. Orang yang dianggap berhasil dan bermoral adalah seseorang yang telah memiliki jabatan, kekayaan, dan harta l;ebih dari orang tuanya. Demikianlah pergesaran yang terjadi sebagai akibat terjadinya penjajahan di Indonesia. Pada masa penjajahan Jepang --yang merupakan Saudara Tua (karena sama-sama di benu Asia dengan Indonesia)—pendidikan tradisional mulai mendapatkan angin kemajuan. Namun, semua itu tidak ada artinya karena memang penjajahan Belanda sebagai salah satu bangsa Barat atau lebih dikenal dengan bangsa Barat telah menancapkan ideologi, politk, ekonomi, budaya, dan moralitas kepada masyarakat pribumi, maka angina segar tersebut tidak mampu dimanfaatkan secara maksimal. Dengan demikian pendidikan tradisional menjadi sangat sulit untuk kemabli lagi ke posisi semual, yakni sebelum adanya penjajahan bangsa Barat. Memasuki masa kemerdekaan pendidikan Islam masih terus berkutat dengan sistem pendidikan modern (peninggalan Belanda). Sistem pendidikan ini dipelopori oleh para tokoh pendidikan yang telah mengenyam sistem pendidikan Belanda atau Barat. Oleh karena itu, menjadi sangat masuk akal ketika sistem pendidikan nasional Indonesia berkiblat kepada sistem pendidikan Barat. Sistem pendidikan yang berkiblat pada sistem pendidikan Barat secara praktis dan teoritis berbeda dengan sistem pendidikan Islam tradisional. Dari sinilah kemudian terjadi pemisahan antara pendidikan tradisional yang dalam hal ini bias direpresentasikan oleh pendidikan Islam dan pendidikan modern yang dalam hal ini bias direpresentasikan oleh pendidikan nasional. Kedua sistem pendidikan ini merupakan sebuah hasil kompromi para funding father negeri ini. Kompromi yang diambil para funding father negeri ini adalah bahwa pengabaian sistem pendidikan Islam tradisional akan sangat menyakitkan umat Islam. Mengingat jasa dan pengorbanan para ulama dan santri dari trilogi sistem pendidikan Islam tersebut di atas. Pertimbangan lainnya adalah agar umat Islam memiliki lembaga pendidkkan khusus, sehingga mayoritas penduduk Indonesia tidak mengalami kekecewaan yang luar biasa kepada pemerintah. Oleh karena itu, pada masa

kemerdekaan tepatnya pada 3 Januari 1946 didirikanlah Departemen Agama yang mengurusi keperluan umat Islam. Meskipun pada dasarnya Departemen Agama ini mengurusi keperluan seluruh umat beragama di Indonesia, namun melihat latar belakang pendiriannya jelas untuk mengakomodasi kepentingan dan aspirasi umat Islam sebagai mayoritas penduduk negeri ini. Dalam masalah pendidikan, kepentingan dan keinginan umat Islam juga ditampung di Departemen ini. Namun sangat disayangkan perhatian para pemimpin negeri ini kurang begitu besar terhadap pendidikan Islam di bawah naungan Depag ini. Hal ini terbukti dengan anggaran yang sangat berbeda dengan saudar mudanya yaitu pendidikan nasional. Perbedaan perhatian dengan wujud kesenjangan anggaran ini kemudian menyebabkan munculnya perbedaan kualitas pendidikan yang berbeda. Di satu sisi lembaga-lembaga pendidikan yang di bawah departemen pendidikan nasional mengalami perkembangan cukup pesat sementara pendidikan Islam yang berada di bawah payung Departemen Agama “terseok-seok” dalam mengikuti perkembangan zaman. Sampai pada pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru pemisahan sistem dan pengelolaan pendidikan nasional dan pendidikan Islam masih dipertahankan. Artinya adalah bahwa pengelolaan pendidikan Islam masih mengalami nasib yang tidak bagus dibanding dengan saudara mudanya, pendidikan nasional. Walaupun secara substansial kedua sistem pendidikan tersebut oleh pemerintah Indonesia sendiri juga mengalami nasib yang sama buruknya, yaitu rendahnya anggaran pendidikan bila dibanding dengan negara-negara berkembang lain apalagi dibanding dengan negara-negara maju. Demikianlah nasib perjalanan pendidikan di Indonesia yang sampai saat ini masih menduduki ranngking kurang begitu bagus dibanding negara-negara lainnya. Kurangnya perhatian pemerintah pusat dan menitikberatkan pembangunan pada sector ekonomi menyebabkan pembangunan jiwa dan mental bangsa menjadi termarjinalkan. Padahal pembangunan mental, jiwa, dan moral bangsa adalah sebuah keharusan dan keniscayaan sejarah yang tidak bisa ditawar-tawar, khususnya bagi bangsa Indonesia. Pendidikan ekonomi tanpa didukung dengan pendidikan moral yang kuat hanya akan memunculkan pemimpin-pemimpin yang berpenyakit kronis. (tobe continued next edition, by the title: “The Materialization in Education, How come”?) PERMASALAHAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA Merdekanya bangsa Indonesia diharapkan bisa menggali segala potensi yang ada, sehingga dapat digunakan dan dikembangkan untuk tercapainya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Harapan ini walaupun sudah lama dicanangkan, namun belum juga terwujud sampai sekarang. Keadaan lebih parah lagi dengan timbulnya gejala-gejala salah urus (mis management) Akibatnya pada bidang pendidikan fasilitasnya tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan. Lagi pula politik dan usaha-usaha pendidikan tidak berhasil menjadikan sektor pendidikan sebagai faktor penunjang bagi suatu pendidikan. Perkembangan selanjutnya pendidikan hanya mengakibatkan benih-benih pengangguran. Lahirnya Orde Baru (ORBA) memungkinkan pendobrakan salah urus itu dalam segala bidang juga dalam pendidikan Perkembangan masyarakat dunia pada umumnya dan masyarakat pada khususnya sudah memasuki masyarakat informasi yang merupakan kelanjutan dari masyarakat moderen dengan ciri-cirinya yang bersifat rasional,berorientasi kemasa depan, terbuka, menghargai waktu, kreatif, mandiri dan inovatif. Sedangkan masyarakat informasi di tinjau oleh penguasaan terhadap teknologi informasi, mampu bersaing, serba ingin tahu, imajinatif, mampu mengubah tantangan manjadi peluang dan menguasai berbagai metode dalam memecahkan masalah. Pada masyarakat informasi peranan media elektronika sangat memegang peranan penting dan bahkan menentukan corak kehidupan. Penggunaan teknologi elekronika seperti computer, faximile, internet, dan lain-lain telah mengubah lingkungan informasi dari lingkungan yang bercorak local dan nasional kepada lingkungan yang bersifat internasional, mendunia dan global. Pada era informasi lewat komunikasi satelit dan computer orang tidak hanya memasuki lingkunagan informasi dunia, tetapi juga sanggup megelolahnya dan mengemukakannya secara lisan, tulisan dan visual. Peranan media elektronika yang demikian besar akan menggeser agen-agen sosialisasi manusia yang berlangsung secara tradisional seperti yang dilakukan oleh orang tua, guru, pemerintah,dan sebagainya. komputer dapat dijadikan

teman bermain, orang tua yang akrab, guru yang memberi nasehat juga sewaktu-waktu dapat memberikan jawaban sesegara mungkin atas petanyaan eksistensisal yang mendasar. Kemajuan dalam bidang informasi tersebut pada akhirnya akan berpengaruh pada kejiwaan dan keperibadian masyarakat. Pada era informasi yang sanggup bertahan hanyalah mereka yang berorintasi ke masa depan, yang mampu mengubah pengetahuan menjadi kebijakan dan mereka yang memiliki ciriciri sebagaimana yang dimiliki masyarakat modern tersebut diatas. Dari keadaan ini, keberadaan masyarakat suatu bangsa dengan bangsa lain menjadi satu baik dalam bidang sosial, budaya, ekonomi dan lain sebagainya. Itulah gambaran masa depan yang akan terjadi, dan umat manuisia pasti menghadapinya. Masa depan itu selanjutnya akan mpengaruhi dunia pendidikan baik dalam dunia kelembagaan materi pendidikan guru metode sarana prasarana dan lain sebagainya. hal ini pada gunanya menjadi tantangan yang harus dijawab oleh dunia pendidikan. Memasuki abad 21 atau melenium ketiga ini. dunia pendidikan dihadapkan kepada berbagai masalah yang sangat urgen yang apabila tidak diatasi secara tepat, tidak mutahil dunia pendidikan akan ditinggal oleh zaman. Kesadaran akan tampilnya dunia pendidikan dalam memecahkan dan merespon berbagai tantangan baru yang timbul pada setiap zaman adalah suatu hal yang logis bahkan suatu keharusan. Hal demikian dapat dimengerti mengingat dunia pendidikan merupakan salah satu pranata yang terlibat langsung dalam mempersiapkan masa depan umat manuisia. Kegagalan dunia pendidikan dalam menyipakan masa depan umat manusia adalah merupakan kegagalan bagi kelangsungan kehidupan bangsa. A. PENDIDIKAN PADA MASA ORDE BARU Pemerintahan memandang bahwa agama mempunyai kedudukan dan peranan sangat penting dan strategis. Peran utama agama sebagai landasan spiritual, moral dan etika dalam pembangunan nasional, agama juga berpengaruh untuk membersihkan jiwa manusia dan kemakmuran rakyat, Agama sebagai sistem nilai seharusnya dipahami dan diamalkan oleh setiap individu, warga dan masyarakat hingga akhirnya dapat menjiwai kehidupan bangsa dan negara. Kalau dirunut kebelakang, memang sejak tahun 1966 terjadi perubahan besar pada bangsa Indonesia, baik itu menyangkut kehidupan sosial agama maupun politik. Pada Orde Baru tekad yang diemban, yaitu kembali pada UUD 1945 dan melaksanakannya secara murni dan konskuen, sehingga pendidikan agama memperoleh tempat yang kuat dalam struktur pemerintahan. Walaupun pendidikan agama mendapat porsi yang bagus sejak proklamasi kemerdekaan sampai Orde Baru berakar, namun itu semua hanya bahasa kiasan belaka. Menurut Abdurrahman Mas’ud , PhD. undang-undang pendidikan dari zaman dahulu sampai sekarang masih terdapat dikotomi pendidikan. Kalau dicermati bahwa undang-undang pendidikan nasional masih membeda-bedakan antara pendidikan umum dan agama, padahal perkawinan, ilmu agama dan umum justru akan menciptakan kebersamaan dan mampu menciptakan kehidupan yang harmonis serasi dan seimbang. Prof. Ludjito menyebutkan permasalahan yang terjadi dalam Pendidikan Agama Islam walaupun dari sistem pendidikan nasional cukup kuat, namun dalam pelaksanaannya masih jauh dari yang diharapkan. Hal ini karena dipengaruhi beberapa faktor, yaitu : 1. Kurangnya jumlah pelajaran agama di sekolah 2. Metodologi pendidikan agama kurang tepat. Lebih menitikberatkan pada aspek kognitif daripada aspek afektif 3. Adanya dikotomi pendidikan, meterogenitas pengetahuan dan penghayatan peserta didik 4. Perhatian dan kepedulian pemimpin sekolah dan guru terhadap pendidikan agama kurang 5. Kemampuan guru agama untuk menghubungkan dengan kehidupan kurang 6. Kurangnya penanaman nilai-nilai, tata krama dalam Pendidikan Agama Islam Seandainya dari enam aspek tersebut bisa ditangani, maka pendidikan agama akan lebih diperhatikan masyarakat. 1. Pendidikan Agama dan Sistem Pendidikan Nasional Melalui perjalanan panjang proses penyusunan sejak tahun 1945-1989 UU nomor 2 tahun 1989, sebagai usaha untuk mengintegrasikan pendidikan Islam dan umum. Untuk mengembangkan pendidikan Islam

haruslah mempunyai lembaga-lembaga pendidikan, sehingga menjadi “lahan subur” tempat persemaian generasi baru. Artinya pendidikan Islam harus mampu : Membedakan akar peserta didik dari semua kekangan dan belenggu Membangkitkan indra dan perasaan anak didik sebagai sarana berfikir Membekali ilmu pengetahuan Di samping hal itu peluang untuk berkembangnya pendidikan Islam secara integrasi dalam Sistem Pendidikan Nasional bisa dilihat dalam beberapa pasal antara lain; a. Pasal 1 ayat 2, pendidikan nasional adalah pendidikan yang terakhir pada kebudayaan bangsa Indonesia dan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. b. Pasal 4, tentang tujuan pendidikan nasional, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang bertakwa dan ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani, pribadi yang mantap dan mandiri. c. pasal 10, pendidikan keluarga merupakan bagian dari jalur pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan dalam keluarga dan yang memberikan keyakinan agama, nilai budaya, moral dan ketrampilan. d. Pasal 11 ayat 1, jenis pendidikan yang termasuk jalur pendidikan sekolah terdiri atas pendidikan umum, pendidikan kejuruan, keagamaan, kedinasan, akademik dan profesional. e. Pasal 39 ayat 2, isi kurikulum setiap jenis dan jalur, serta jenjang pendidikan wajib memuat pendidikan Pancasila, agama dan kewarganegaraan. f. Pasal 47, ciri khas suatu pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat tetap diindahkan. 2. Pengintegrasian Pelajaran Agama dan Pelajaran Umum Integrasi merupakan pembauran sesuatu sehingga menjadi kesatuan, sedangkan integrasi pendidikan adalah proses penyesuaian antara unsur-unsur yang berbeda sehingga mencapai suatu keserasian fungsi dalam pendidikan dan integritas pendidikan memerlukan integritas kurikulum atau secara khusus memerlukan integritas pelajaran. Karena sasaran akhir dari pendidikan (agama) adalah untuk meciptakan manusia yang bisa mengintegrasikan diri, mampu menggunakan imannya dalam menjawab tantangan hidup dan mampu memanusiakan sesamanya dengan berbagai kehidupan yang sejahtera yang dikaruniakan Allah pada manusia. Dengan kata lain, pendidikan dimaksudkan untuk memajukan manusia dalam mengambil bagian secara aktif, kreatif dan kritis. Untuk melaksanakan suatu yang lebih baik dari masa lalu, pelajaran agama dan mata pelajaran umum ditentukan guru yang memilki integritas keilmuan yang memadai dalam pendidikan. Sehingga bisa menemukan cara untuk dapat menghubungkan bagian-bagian dari suatu bidang dari suatu bidang studi, satu pelajaran dengan mata pelajaran yang lain. B. PENDIDIKAN ISLAM MASA DEPAN 1. Preoritas Kegiatan Pendidikan Islam untuk Persiapan Masa Depan Seorang kader pemimpin Islam yang berwawasan luas selain memiliki cita-cita dan komitmen untuk mewujudkan cita-cita ajaran islam sebagaimana secara terpadu dan serempak juga memiliki pandangan faham keagamaan pluralis inklusif. Fahamnya yaitu suatu faham keagamaan yang meyakini kebenaran agama yang dianutnya dan mengamalkannya secara sungguh-sungguh namun pada saat yang bersamaan ia juga mengakui eksistensinya keberadaan agama lain, disertai dengan sikap tidak merasa bahwa agamanya lah yang paling benar, sedangkan agama lain tersesat. Sikap keberagamaan yang demikian itu amat dibutuhkan dalam memasuki aba 21 atau melenium ke 3 yang ditandai dengan empat karakteristik, yaitu : a. saling kebregantungan sosial ekonomi b. kompetisi antara bangsa yang semakin besar c. makin besarnya usaha Negara berkembang untuk mencapai posisi Negara maju d. munculnya masyarakat hiperindustrial yang tidak akan pernah mengubah budaya bangsa Sejalan dengan pemikiran diatas akan preoritas kegiatan pendidikan Islam hrus diarahkan pada empat hal, sebagai berikut : Pertama, pendidikan Islam bukahlah hanya untuk mewariskan faham atau pola keagamaan hasil internalisasi generasi terhdap anak didik. Kedua, pendidikan hendaknya menghindari kebiasaan menggunakan andai-andaian model yang di idealisir yang sering kali membuat kali kita terjebak dalam

romantisme yang berlebihan. Ketiga, bahan-bahan pengajaran agama hendaknya selalu dapat mengintegrasikan problematic empiric disekitarnya. Keempat, perlunya dikembangkan wawasan emansipatoris dalam proses mengajar mengajar agama sehingga anak didik cukup memperoleh kesempatan berpartisipas dalam rangka memiliki kemampuan metodologis untuk mempelajari materi atau subsatansi agama. Itulah prioritas pendidikan Islam, yakni bagaimana agar agama Islam dapat meletakkan kerangka dasar bagi manusia sehingga mampu menunaikan tugas pokoknya sebagai khalifah dimuka bumi. Pendidikan Islam sesungguhnya adalah bagian yang sangat penting dari proses penyerapan tugas sejarah itu pada stiap anak didik. Tentulah dalam pola pedagogis yang berubah-ubah sesuai dengan perubahan waktu dan lingkungan tempat generasi itu menemukan tantangan sejarahnya masing-masing. Selanjutnya sikap berpegang teguh pada nilai-nilai spiritual yang bersumberkan pada agama semakin di butuhkan masyarakat masa depan. Hal demikian diperlukan untuk mengatasi berbagai kegongcangan jiwa atau stress yang diakibatkan kekalahan atau keterbatasan dalam bersaing dengan orang lain, atau sebagai akibat kehidupan sekuler materialistic yang semakin meraja lela. Untuk menjadikan manusia yang sanggup menghadapi tantangan, peluang dan kendala memasuki kehidupan masa depan itu, pendidikan Islam memiliki peluang yang amat luas, hal ini mudah dimengarti karena pendidikan Islam sebagaimana telah disebutkan diatas adalah pendidikan yang seimbang dalam mempersiapkan anak didik, yaitu anak didik yang tidak hanya mampu mengambangkan kreatifitas intelektial dan imajinasi secara mandiri, tetap juga memiliki ketahanan mental spiritual serta mampu beradaptasi dan merespon problematika yang dihadapinya sesuai kerangka dasar ajaran islam. C. PENTINGNYA PENANAMAN NILAI KEAGAMAAN PADA MASYARAKAT Melihat alaur sejarah pendidikan Islam di Indonesia sebagaimana tersebut diatas maka penulis mengambil satu analisis bahwa pendidikan Islam pada masa orde baru merupakan tahap awal munculnya kesadaran bangsa Indonesia akan pentingnya penanaman nilai-nilai keagamaan pada masyarakat Indonesia sehingga bangsa Indonesia dapat menyongsong masa akan datang bukan hanya dengan IPTEK melainkan juga di imbang oleh IMTAQ Pada masa orde baru pendidikan Islam dikembangkan masih dalam batas pemahaman dan pengembangan pengetahuan saja, baru setelah masuk pada abad 21 maka pendidikan Islam lebih difokuskan pada penerapan atau aktualisasi dari Ilmu pengetahuan dan selalu didasari oleh keimanan dan ketakwaan. Hal ini sesuai dengan beberapa strategi yang diterapkan disekolah-sekolah guna peningkatan kualitas peserta didiknya baik dari aspek kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Sebagai landasan menuju pembaharuan masyarakat Islam yang maju. 1. Strategi Peningkatan kualitas dan cara mengukurnya Agar sekolah-sekolah unggulan yang bernuansa islam tetap bertahan dan mampu merespon kebutuhan masyarakat pada setiap zaman maka ia hrus memiliki strategi peningkatan kulitas dan cara pengukurannya yang efektif. Untuk mengukur berhasil atau tidk strategi tersebut dapat dilihat melalui indicator yaitu sebagai berikut : a. Secara academic lulusan pendidikan tersebut dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi b. Secara moral lulusan pendidikan dapat menunjukkan tanggung jawab dan kepeduliannya kepada masyarakat sekitarnya c. Secara Individual lulusan pendidikan semakin meningkat ketaqwaanya, yaitu manusia yang melaksanakan segala perintah Allah SWT dan laranganya. d. Secara sosial lulusan tersebut dapat berinteraksi dan bersosialisasi dengan masyarakat sekitarnya e. Secara cultural, ia mampu menginterpretasikan ajaran agamanya sesuai dengan lingkungan sosialnya. Dengan kata lain dimensi kognitif itelektualnya, afektif emisionalnya dan psikomotorik praktis kultur dapat terbina secara seimbang, inilah ukuran yang dapat di bangun untuk melihat kedepan strategi pendidikan yang diterapkan.

KESIMPULAN Dari pemaparan makalah ini tentang pendidikan masa orde baru hingga menuju pada masa abad 21 maka dapat disimpulkan bahwa, pendidikan Islam pada masa Orde Beru, masa itu banyak jalan yang ditempuh untuk menyetarakan antara pendidikan agama dan pendidikan umum. Hal ini bisa dilihat dari SKB 2 Menteri tentang sekolah umum dan agama. Dengan adanya SKB tersebut, maka anak-anak yang sekolah agama bisa melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi. Kemudian untuk mengikis dualisme pendidikan bisa dilakukan dengan cara pengintegrasian antara pelajaran umum dan agama, walaupun dualisme itu masalah klasik yang tidak mudah untuk dihapus. Namun dengan adanya UU tentang pendidikan nomor 2 bisa diharapkan mempertipis dikotomi pendidikan. Pendidikan yang islami adalah pendidikan yang mendasarkan konsepsinya pada ajaran tauhid. Dengan dasar ini maka orientasi pendidikan islam di arahkan pada upaya mensucikan diri dan memberikan penerangan jiwa, sehingga setiap diri manusia mampu meningkatkan dirinya dari tingkatan iman ke tingkat ihsan yang melandasi seluruh bentuk kerja kemanusiannya ( amal saleh). Dengan demikian pendidikan yang islami tidak lain adalah upaya mengefektifkan aplikasi nilai-nilai agama yang dapat menimbulkan transformasi nilai dan pengetahuan secara utuh kepada manusia, masyarakat dan dunia pada umumnya. Dengan cara demikian maka seluruh aspek kehidupan manusia akan mendapatkan sentuhan nilai-nilai ilahiyah yang transcendental. Pendidikan yang islami sebagaimana di uraikan diatas akan tetap di perlukan untuk mengatasi berbagai masalah kemanusian yang di hadapi pada masyarakat moderen saat ini dan dimasa mendatang. Era globalisasi diabad 21 yang tahapannya sudah di mulai pada masa sekarang ini, ternyata telah memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap dunia pendidikan. Dunia pendidikan dimasa sekarang benar-benar dihadapkan pada tantangan yang cukup berat yang penangananya memerlukan keterlibatan berbagai pihak yang terkait. Berkenaan dengan hal tersebut diatas, perlu dilakukan upaya-upaya strategis, antara lain: pertama, tujuan pendidikan dimana sekarang tidak cukup dengan hanya memberikan bekal pengetahuan, keterampilan, dan ketakwaan saja tetapi juga harus diupayakan melahirkan manusia yang kreatif, inovatif, mandiri dan produktif mengingat dunia yang akan datang adalah dunia yang kompetitif. Kedua, guru dimasa yang akan mendatang adalah guru yang disamping memiliki informasi berakhlak baik dan mampu menyampaikan secara metadologis juga harus mampu mendayagunakan berbagai sumber informasi yang tersebar ditengah masyarakat ke dalam kegiatan belajar mengajar. Ketiga, bahan pelajaran umum dan agama perlu di integrasikan dan di berikan kepada siswa sebagai bekal yang memungkinkan ia dapat memiliki kepribadian yang utuh, yaitu pribadi yang pada gilirannya dapat menimbulkan masyarakat belajar. DAFTAR PUSTAKA  Abudin Nata, Manajemen Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2003)  Aliwi Sihab, Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama, (Bandung: Mizan, 1998)  DJumhur, Sejarah Pendidikan, Ilmu, Bandung, 1959  Fadhil al-Djamali, Menerobos Krisis Pendidikan Islam, (Jakarta: Golden Press, 1992)  H.A. Malik Fadjar, Visi Pembaharuan Pendidikan Islam, Alfa Grafikatama, Jakarta, 1998  Majalah Rindang, Pesantren Masuk Undang-Undang, Majalah Bulanan Rindang, Semarang, Edisi XXVII, 2002  Moeslim Abdurrahma, Islam Transformatif, (Jakarta: Putaka Firdaus, 19997)  Prof. DR. H. Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, Mutiara Sumber Widya, Jakarta, 1995  Th. Sumartana, dkk., Pluralisme Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001 Tantangan Pendidikan Islam di Indonesia 17-January-2007 Membentuk ulama yang berpengetahuan dalam dan berpendirian luas serta mempunyai semangat dinamis. Hanya ulama yang seperti itulah yang bisa menjadi pendidik yang sebenarnya dalam masyarakat.” (Kutipan Pidato Hatta berjudul “Sifat Sekolah Tinggi Islam” saat pembukaan STI di Yogyakarta 10 April 1946)

Pendidikan Islam di Indonesia selalu dihadapkan pada tantangan-tantangan serius yang membutuhkan perhatian ekstra dari pemerintah dan kalangan yang berkecimpung di dunia pendidikan. Dewasa ini, pendidikan Islam setidaknya menghadapi empat tantangan pokok. Pertama, konformisme kurikulum dan sumber daya manusia; kedua, implikasi perubahan sosial politik; ketiga, perubahan orientasi; dan keempat, globalisasi. Semua tantangan pendidikan Islam tersebut terkait satu sama lain. Musuh Kreativitas Konformisme, atau cepat merasa puas dengan keadaan yang ada, merupakan tantangan pendidikan di manapun. Konformisme adalah musuh utama kreatifitas. Padahal, kreatifitas sangat dibutuhkan untuk terus memperbarui keadaan pendidikan. Jepang yang dikenal dengan sistem pendidikan yang ketat justru sejak 1980-an meninjau ulang pendidikan mereka yang dianggap terjebak konformitas. Kreatifitas yang merupakan “roh” pendidikan dinilai sudah lama tercerabut sehingga hal itu sangat mengkhawatirkan pemerintah Jepang. Pendidikan Islam yang sudah “tertinggal” (dibandingkan pendidikan yang berorientasi sekuler) malah juga terjebak pada konformisme. Ini tentu suatu kondisi yang lebih paradoks. Konformisme biasanya terjadi pada suatu kondisi yang sudah mapan (established), akan tetapi hal ini justru terjadi pada konteks pendidikan Islam yang bergerak lamban. Bisa dibayangkan, implikasi lebih lanjut dari konformisme pendidikan Islam. Kurikulum yang kini dijalankan di lembaga pendidikan Islam, khususnya pada pendidikan dasar dan menengah, masih banyak menggunakan model lama. Pendidikan dasar agama masih menjadi andalan, sebagai bekal mengajarkan pendidikan agama lebih lanjut kepada masyarakat, akan tetapi hal ini saja tidak cukup. Harus diikuti dengan bekal pengetahuan lainnya yang kontekstual dengan perkembangan sosial. Sekalipun di lembaga tertentu ada pembaruan kurikulum, namun sifatnya masih parsial. Secara keseluruhan kurikulum pendidikan Islam masih konservatif. Implikasinya sangat serius ketika para lulusannya (SDM) menghadapi perubahan di luar dunia pendidikan mereka. Dunia ini jauh lebih kompleks daripada yang mereka pelajari dan bayangkan selama berada di tempat belajar-mengajar tadi. Pluralitas sosial dan kemanusiaan di tengah masyarakat membuat mereka gagap. Indonesia yang mereka diami rupanya sebuah entitas yang berwarna. Kebangsaan ini rupanya tak bisa dilihat secara monolitik, misal dari sudut pandang umat Islam saja. Di sisi lain, kelompok sosial yang merupakan produk pendidikan sekuler, dan mereka umumnya non-muslim, justru lebih adaptif, responsif, serta menguasai tren iptek. Perubahan sosial politik ikut memberi ‘warna’ pendidikan Islam. Label sebagai institusi pendidikan Islam ikut mempengaruhi persepsi publik terhadap posisi lembaga pendidikan Islam dalam konteks perubabahn sosial politik. Ironisnya, lembaga pendidikan Islam kerap dijadikan “kendaraan” oleh para petualang politik mencari dukungan. Setelah dukungan suara didapatkan, kenyataannya lembaga pendidikan Islam tadi tetap tidak banyak berubah. Realitas seperti ini dikhawatirkan memandulkan gerak pendidikan agama. Visi pendidikan Islam akhirnya sulit berubah dari lembaga yang hanya mendidik para calon ulama, dalam konotasinya yang ortodoks. Paradoks lainnya berkaitan dengan stigma baru yang mendera lembaga-lembaga pendidikan agama. Dewasa ini lembaga pendidikan Islam mendapat citra baru, yakni mengajarkan radikalisme. Padahal kalau diperiksa tidak semua pesantren mengajarkan pendidikan dengan orientasi yang mengarahkan peserta didik berbuat radikal. Islam agama damai dan menyejukkan (hanif) mesti tetap menjadi pesan pokok pengajaran mulai dari tingkat ibtidaiyah sampai perguruan tinggi. Radikalisme dalam pengajaran biasanya memunculkan radikalisme dalam tindakan. Perubahan Orientasi Perubahan orientasi pendidikan Islam sudah menjadi keniscayaan dan tuntutan zaman, terlebih di era globalisasi dewasa ini. Orientasi dari sekedar mendidik mereka untuk memahami ilmu (pengetahuan) agama an sich haruslah diubah menjadi paham terhadap ilmu agama sekaligus ilmu sosial, ilmu humaniora dan ilmu alam. Ilmu agama dan “ilmu duniawi” harus konvergen. Sayangnya lembaga pendidikan Islam terlalu lambat menyadari ketertinggalan ini. Tokoh pendidikan kita terlalu berpikir konservatif dan masih terjebak pada dikotomi antara pendidikan agama-pendidikan umum. Padahal dikotomi itu justru mematikan kreatifitas. Untunglah, dalam batas tertentu sebagian kecil yang berlatar pendidikan “sekuler” relatif lebih cepat menyadari kejumudan. Tidak heran, dewasa ini di

perguruan tinggi umum diajarkan pula ekonomi Islam, sosiologi agama (Islam), psikologi Islam, antropologi agama (Islam) dan lainnya. Pada tahun 1980-an, cendekiawan Soedjatmoko sudah mewanti-wanti bangsa Indonesia memasuki abad 21. Dikatakan, pendidikan menjadi “tumpuan” harapan bangsa Indonesia untuk bersaing di kompetisi global. Ketika negara maju terus melakukan pembaruan terhadap sistem pendidikan mereka, maka ironis sekali melihat dunia pendidikan Indonesia tidak banyak melakukan terobosan, sekalipun kecil. Kualitas SDM yang dibutuhkan sejatinya adalah SDM yang punya kualifikasi dan visi global. Secara personal, mantan Rektor Universitas PBB itu mengatakan, SDM masa depan, adalah SDM yang tidak hanya menguasai satu dua disiplin dan keahlian tertentu, melainkan beberapa bidang ilmu dan keahlian sekaligus. Sekalipun ditujukan ke dunia pendidikan nasional, tetapi peringatan Koko (panggilan Soedjatmoko) di atas terasa sangat kontekstual dengan kondisi pendidikan Islam. Terhadap pendidikan nasional (sekuler) saja, sudah muncul keprihatinan yang mendalam, karena tidak ada terobosan yang begitu dahsyat setelah lebih 60 tahun merdeka. Apalagi terhadap pendidikan Islam. Padahal, ribuan bahkan jutaan SDM Indonesia kini dididik di lembaga pendidikan Islam dari tingkat sekolah dasar sampai pascasarjana. Seperti dikutipkan di awal tulisan ini, tokoh nasionalis Bung Hatta juga punya pandangan menarik soal pendidikan Islam yang patut kita renungkan lagi. Ia mengutarakan nasehatnya malah sejak awal Republik, tetapi tidak pernah diaplikasikan secara serius. Sang proklamator mengatakan, agama hidup di masyarakat, sedangkan masyarakat itu sendiri senantiasa mempunyai dinamika dan perubahan. Oleh sebab itu, para pendidik agama pun harus bisa menangkap dan tanggap terhadap “roh” perubahan, agar Islam senantiasa compatible dengan perkembangan masyarakat. Masalahnya, sebagian lembaga pendidikan Islam masih “alergi” dengan filsafat, bahkan ilmu sosial lainnya yang dituding sebagai bentuk hegemoni Barat di bidang ilmu pengetahuan. Sayangnya, kalangan Islam sendiri tidak bisa melakukan dekonstruksi atas ilmu sosial Barat. Walau tidak seluruhnya, akan tetapi secara umum kondisi ini menunjukkan bahwa pendidikan Islam Indonesia mengalami kejumudan serius. (CMM) 24 July 2007 Simposium Internasional Masa Depan Pendidikan Islam di Indonesia Lebih dari 150 sarjana ahli, pejabat pemerintah, guru-guru dan donor internasional akan bekerja bersamasama dalam waktu dua hari mendatang di Jakarta untuk mengembangkan strategi guna “menjembatani kesenjangan” antara pendidikan Islam dan pendidikan umum di Indonesia. Simposium Internasional Pendidikan Islam hari ini dibuka oleh Sekretaris Jendral Departemen Agama, Professor Bahrul Hayat, dan Duta Besar Australia untuk Indonesia, Bill Farmer, di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Professor Hayat mengatakan, beliau berharap simposium ini akan menghasilkan beberapa cara praktis untuk “membantu menjembatani kesenjangan antara sekolah-sekolah Islam dan sekolah-sekolah umum di Indonesia”. Beliau mengatakan forum ini hendaklah menggalang sejumlah sarjana yang mumpuni dari Indonesia maupun internasional untuk menyumbangkan pengalaman-pengalaman dan gagasan mereka untuk memajukan pendidikan Islam. Persoalan-persoalan yang akan dibahas termasuk teknik pengembangan kualitas pengajaran dan pembelajaran di dalam sekolah-sekolah Islam dan peranan pengajaran Islam di dalam rencana pendidikan nasional pemerintah Indonesia. Masalah fokus lainnya adalah bagaimana mengimplementasikan Desain Utama Untuk Pendidikan Pendidikan Dasar Sembilan Tahun di Indonesia, strategi yang telah disiapkan bersama oleh Departemen Pendididikan dan Departemen Agama awal tahun ini, serta kemajuan yang potensial yang hendak dicapai melalui strategi ini pada tahun 2025 Mr Farmer mengatakan, beliau berharap simposium ini akan membantu merangsang perdebatan yang nyata di antara para pejabat yang berwenang, praktisi, cendekia dan para donor tentang bagaimana mewujudkan sistem pendidikan Islam yang lebih baik dan lebih kuat. “Persoalan-persoalan ini sangatlah kritis bagi masa depan Indonesia, mengingat pentingnya peranan yang dimainkan oleh Pendidikan Islam di Indonesia,” demikian dikatakan Mr Farmer.

Desain Utama mencatat bahwa lembaga pendidikan Islam menyediakan pendidikan dasar kepada lebih dari 20 persen anak-anak Indonesia di mana lebih dari 25 persennya adalah perempuan. Jaringan pendidikan Islam yang sebagian besar otonomus adalah sistem pendidikan di Indonesia yang tertua yang pernah ada. Simposium tanggal 24-25 Juli ini diprakarsai bersama oleh Departemen Agama dan pemerintah Australia, melalui badan pengembangunan internasional, AusAID. Kegiatan ini – Simposium Pendidikan Dasar Sekolah Islam di Indonesia: Menjembatani Kesenjangan – Visi 2025 - didanai dari A$30 juta (IDR 225 milyard) di bawah program lima tahun Pemerintah Australia (LAPIS), yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas dasar pendidikan Islam di Indonesia. Informasi lebih lanjut: Rohmat Mulyana – Departemen Agama RI, hp 0813 9515 0099 Robert Kingham – Team Leader, Learning Assistance Program in Islamic Schools (LAPIS), hp 0816 793 576 Tantangan Pendidikan Islam di Era Globalisasi Posted on September 6, 2005. Filed under: Artikel Opini, Islam | Catatan: Tulisan ini dimuat di Jurnal VISI, PPI-India dan Sidogiri.com Tantangan Pendidikan Islam di Era Globalisasi Oleh: A. Fatih Syuhud Teknologi modern telah memungkinkan terciptanya komunikasi bebas lintas benua, lintas negara, menerobos berbagai pelosok perkampungan di pedesaan dan menyelusup di gang-gang sempit di perkotaan, melalui media audio (radio) dan audio visual (televisi, internet, dan lain-lain). Fenomena modern yang terjadi di awal milenium ketiga ini popular dengan sebutan globalisasi. Sebagai akibatnya, media ini, khususnya televisi, dapat dijadikan alat yang sangat ampuh di tangan sekelompok orang atau golongan untuk menanamkan atau, sebaliknya, merusak nilai-nilai moral, untuk mempengaruhi atau mengontrol pola fikir seseorang oleh mereka yang mempunyai kekuasaan terhadap media tersebut. Persoalan sebenarnya terletak pada mereka yang menguasai komunikasi global tersebut memiliki perbedaan perspektif yang ekstrim dengan Islam dalam memberikan criteria nilai-nilai moral; antara nilai baik dan buruk, antara kebenaran sejati dan yang artifisial.Di sisi lain era kontemporer identik dengan era sains dan teknologi, yang pengembangannya tidak terlepas dari studi kritis dan riset yang tidak kenal henti. Dengan semangat yang tak pernah padam ini para saintis telah memberikan kontribusi yang besar kepada keseejahteraan umat manusia di samping kepada sains itu sendiri. Hal ini sesuai dengan identifikasi para saintis sebagai pecinta kebenaran dan pencarian untuk kebaikan seluruh umat manusia. Akan tetapi, sekali lagi, dengan perbedaan perspektif terhadap nilai-nilai etika dan moralitas agama, jargon saintis sebagai pencari kebenaran tampaknya perlu dipertanyakan. Apalagi bila dilihat datadata beriktu: Di pusat riset Porton Down di Inggris para saintis memakai binatang-binatang yang masih hidup untuk menguji coba baju anti peluru. Hewan-hewan tersebut dimasukkan ke dalam troli yang kemudian diledakkan. Pada awalnya, monyet yang dipakai dalam berbagai eksperimen tetapi para saintis kemudian menggantinya dengan babi. Binatang-binatang tersebut ditembak persis di atas mata untuk meneliti efek daripada misil berkecepatan tinggi pada jaringan otak. Di Amerika Serikat, di akhir tahun 40-an, anak-anak remaja diberi sarapan yang dicampuri radioaktif, ibuibu setengah baya disuntik dengan plutonium radioaktif dan biji kemaluan para tahanan disuntik radiasi – semua atas nama sains, kemajuan dan keamanan. Eksperimen-eksperimen ini diadakan sejak tahun 1940an sampai 1970-an (Brown, 1994). Selama tahun 1950-an, 60-an dan 70-an, menurut New York Times, wajib bagi seluruh mahasiswa baru, laki-laki dan perempuan, di Harvard, Yale dan universitas-universitas elit lain di Amerika, difoto telanjang untuk sebuah proyek besar yang didisain dalam rangka untuk menunjukkan bahwa ‘tubuh seseorang’ yang diukur dan dianalisa, dapat bercerita banyak tentang intelegensia, watak, nilai moral dan kemungkinan pencapaiannya di masa depan. Ide ini berasal dari pendiri Darwinisime Sosial, Francis Galton, yang mengajukan foto-foto arsip tersebut untuk dewan kependudukan Inggris. Sejak awal tujuan dari pemotretan-pemotretan ini adalah egenetika. Data-data yang terakumulasi akan dipakai sebagai proposal untuk ‘mengontrol dan membatasi produksi organisme dari orang-orang yang inferior dan tidak

berguna’. Beberapa organisme tipe terakhir ini akan dikenakan sangsi bila melakukan reproduksi … atau akan disteril (Rosenbaum, 1995). Sementara itu media televisi, sebagai hasil pencapaian teknologi modern yang paling luas jangkauannya memiliki dampak sosio-psikologis sangat kuat pada pemirsanya. Beberapa hasil studi berhasil menguak hubungan antara menonton televisi dengan sikap agresif (Huismon & Eron, 1986; Wiegman, Kuttschreuter & Baarda, 1992), dengan sikap anti social (Hagell & Newburn, 1996), dengan sikap aktifitas santai (Selnon & Reynolds, 1984), dengan kecenderungan gaya hidup (Henry & Patrick, 1977), dengan sikap rasial (Zeckerman, Singer &Singer, 1980), kecenderungan atas preferensi seksual (Silverman – Watkins & Sprafkin, 1983), kesadaran akan daya tarik seksual (Tan, 1979), stereotype peran seksual (Durkin, 1985), dengan bunuh diri (Gould & Shaffer, 1986), identifikasi diri dengan karakter-karakter di televisi (Shaheen, 1983). Hasil-hasil studi yang lain tentang dampak-dampak televisi menunjukkan indikasi yang cenderung ‘agak menggembirakan’. Seperti adanya kesadaran akan segala peristiwa yang terjadi di seluruh dunia (Cairn, 1990), kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai warga negara (Conway, Steven & Smith, 1975), bertambhanya pengetahuan akan geografi (Earl & Pasternack, 1991), meningkatnya pengetahuan tentang masalah politik (Furnham & Gunter, 1983), bersikap pro social (Gunter, 1984). Tetapi perlu dicatat bahwa sejak munculnyaera televisi dibarengi dengan timbulnya berpuluh-puluh channel dengan menawarkan berbagai acara-acara yang menarik dan bervariasi, umat Islam hanya berperan sebagai konsumen, orang Barat-lah (baca, non-Muslim) yang memegang kendali semua teknologi modern tak terkecuali televisi. Dari sini beberapa permasalahan, khususnya yang berkaitan dengan pendidikan Islam, mencuat ke permukaan. Pertama, apa langkah yang harus ditempuh oleh setiap Muslim, orang tua dan para pendidik, dalam upaya mengantisipasi dan merespon sejak dini gejala-gejala distorsi moral yang adiakibatkan oleh media televisi, internet dan media-media audio visual lainnya? Kedua, bahwa Barat merupakan satu-satunya pemegang peran kunci dari seluruh media berita baik media cetak, maupun media elektronik. Seperti dimaklumi pemberitaan-pemberitaan tersebut banyak mengandung bias, khususnya bila ada kaitan langsung atau tidak langsung dengan dunia Islam. Ketiga, sains dan teknologi menjadi dominasi khusus dunia Barat (Young, 1077), dengan demikian setiap Muslim yang berminat mendalami bidang-bidang ini harus mengikuti term-term yang ditentukan oleh Barat, yang tidak jarang bertentangan dengan nilai-nilai Islami. Sehingga dalam beberapa kasus sering terjadi para saintis Muslim, secara sadar atau tidak, tercerabut dari akar-akar keislaman, dan menjadi pembela fanatik Barat. Dalam tulisan berikut konsep pendidikan Islam yang ditawarkan meliputi dua tahap, jangka pendek dan jangka panjang. Yang pertama melibatkan pertisipasi setiap individu Muslim, sedang yang kedua mencakup keterlibatan institusi, lembaga dan bahkan negara. Diversifikasi Konsep Pendidikan Islam Ahmed (1990) mendefinisikan pendidikan sebagai “suatu usaha yang dilakukan individu-individu dan masyarakat untuk mentransmisikan nilai-nilai, kebiasaan-kebiasaan dan bentuk-bentuk ideal kehidupan mereka kepada generasi muda untuk membantu mereka dalam meneruskan aktifitas kehidupan secara efektif dan berhasil.” Khan (1986) mendefinisikan maksud dan tujuan pendidikan Islam sebagai berikut: a. Memberikan pengajaran Al-Qur’an sebagai langkah pertama pendidikan. b. Menanamkan pengertian-pengertian berdasarkan pada ajaran-ajaran fundamental Islam yang terwujud dalam Al-Qur’an dan Sunnah dan bahwa ajaran-ajaran ini bersifat abadi. c. Memberikan pengertian-pengertian dalam bentuk pengetahuan dan skill dengan pemahaman yang jelas bahwa hal-hal tersebut dapat berubah sesuai dengan perubahan-perubahan dalam masyarakat. d. Menanamkan pemahaman bahwa ilmu pengetahuan tanpa basis Iman dan Islam adalah pendidikan yang tidak utuh dan pincang. e. Menciptakan generasi muda yang memiliki kekuatan baik dalam keimanan maupun dalam ilmu pengetahuan. f. Mengembangkan manusia Islami yang berkualitas tinggi yang diakui secara universal. Pendekatan pendidikan Islam yang diajukan oleh kedua pakar pendidikan di atas tersimpul dalam First World Conference on Muslim Education yang diadakan di Makkah pada tahun 1977:

“Tujuan daripada pendidikan (Islam) adalah menciptakan ‘manusia yang baik dan bertakwa ‘yang menyembah Allah dalam arti yang sebenarnya, yang membangun struktur pribadinya sesuai dengan syariah Islam serta melaksanakan segenap aktifitas kesehariannya sebagai wujud ketundukannya pada Tuhan.” Oleh karena itu jelaslah bahwa yang dimaksud dengan pendidikan Islam di sini bukanlah dalam arti pendidikan ilmu-ilmu agama Islam yang pada gilirannya mengarah pada lembaga-lembaga pendidikan Islam semacam madrasah, pesantren atau UIN (dulu IAIN).1 Akan tetapi yang dimaksud dengan pendidikan Islam di sini adalah menanamkan nilai-nilai fundamental Islam kepada setiap Muslim terlepas dari disiplin ilmu apapun yang akan dikaji. Sehingga diharapkan akan bermunculan “anak-anak muda enerjik yang berotak Jerman dan berhati Makkah” seperti yang sering dikatakan oleh mantan Presiden B.J. Habibie. Kata-kata senada dan lebih komprehensif diungkapkan oleh Al-Faruqi (1987) pendiri International Institute of Islamic Thought, Amerika Serikat, dalam upayanya mengislamkan ilmu pengetahuan. Sengaja saya kutip menurut teks aslinya untuk tidak mengurangi semangan universalitas Islam yang terkandung di dalamnya: “Islamization does not mean subordination of any body of knowledge to dogmatic principles or arbitrary objectives, but liberation f rom such shackles. Islam regards all knowledge as critical; i.e., as universal, necessary and rational. It wants to see every claims pass through the tests of internal coherence correspondence with reality, and enhancement of human life and morality. Consequently, the Islamized discipline which we hope to reach in the future will turn a new page in the history of the human spirit, and bring it clear to the truth.” Di sini perlu ditekankan bahwa konsep pendidikan dalam Islam adalah ‘long life education’ atau dalam bahasa Hadits Nabi “sejak dari pangkuan ibu sampai ke liang lahat” (from the cradle to the grave). Itu berarti pada tahap-tahap awal, khususnya sebelum memasuki bangku sekolah, perang orang tua terutama ibu amatlah krusial dan menentukan mengingat pada usia balita inilah pendidik, dalam hal ini orang tua, memegang peran penting di dalam menanamkan nilai-nilai keislaman kepada anak. Sayangnya orang tua bukanlah satu-satunya pendidik di rumah, ada pendidik lain yang kadang-kadang peranannya justru lebih dominan dari orang tua yang di Barat disebut dengan idiot box atau televisi. Dampak lebih jauh televisi terhadap perkembangan anak balita seperti yang dikatakan Hiesberger (1981) bisa mengarah pada “a dominant voice in our lives dan a major agent of socialization in the lives of our children” (menjadi suara dominan dalam kehidupan kita dan agen utama proses sosialisasi dalam kehidupan anakanak kita). Tentu saja peran orang tua tidak berhenti sampai di sini, keterlibatan orang tua juga diperlukan pada fasefase berikutnya ketika anak mulai memasuki usia sekolah, baik SD, SMP, maupun SMU. Menjelang mas pubertas yakni pada usia antara dua belas sampai delapan belas tahun anak menjalani episode yang sangat kritis di mana sukses atau gagalnya karir masa depan anak sangat tergantung pada periode ini. Robert Havinghurst, pakar psikolog Amerika, menyebutkan periode ini sebagai “developmental task” atau proses perkembangn anak menuju usia dewasa. Apabila kita kaitkan periode developmental task ini pada aspek budaya kehidupan anak-anak Muslim, khususnya mereka yang tinggal di negara-negara non-Muslim atau di negara Islam tapi di kota-kota besar, dapat dibayangkan situasi yang mereka hadapi. Mereka tidak pernah atau jarang melihat sikap positif terhadap Islam, baik dalam keluarga, di sekolah maupun di masyarakat. Dalam situasi seperti ini tentu merupakan tanggung jawab orang tua untuk menanamkan nilai0nilai moral, barbagi pengalaman kehidupan Islami yang pada gilirannya nanti akan mengarah pada internalisasi misi Al-Qur’an dan Sunnah. Peran orang tua seperti ini akan sangat membantu anak dalam memasuki kehidupan yang fungsional sebagai Muslim yang dewasa dan sebagai anggota yang aktif dalam komunitas Islam. Apabila anak menampakkan tanda-tanda sikap yang negatif terhadap Islam yang disebabkan oleh pengaruh dari sekolah atau masyarakat atau karena kecerobohan dan kelengahan orang tua, maka hal ini akan mengakibatkan penolakan anak terhadap hidup Islami dan akan gagal berintegrasi dengan komunitas Islam. Oleh karena itu adalah tugas orang tua, khususnya dan utamnya, untuk mengatur strategi yangtepat dalam rangka membantu proses pembentukan pribadi anak khususnya dalam periode developmental task tersebut.. Dalam hal ini orang tua haruslah memiliki wawasan pengetahuan yang luas serta dasar pengetahuan agama yang mencukupi untuk menghindari kesalahan strategi dalam mendidik anak. Kedua,

mengalokasikan waktu yang cukup untuk memberikan kesempatan bagi anak berinteraksi serta meresapi sikap-sikap Islami yang ditunjukkan oleh orang tua dalam perilaku kesehariannya. Persoalannya adalah secara factual tidak semua orang dapat memenuhi criteria-kriteria di atas yang disebabkan oleh hal-hal sebagai beriktu: (a) Orang tua, terutama ibu, tidak memiliki wawasan pengetahuan yang mempuni, khususnya di bidang pegagodi anak dan nilai-nilai dasar Islami. Dalam situasi semacam ini orang tua perlu mengambil langkah-langkah beriktu sebagai upaya mengantra anak menuju pintu gerbang masa depan yang cerah, sehat dan agamis. Pertama, mendatangkan guru privat agama pada waktu usia anak di abwah dua belas tahun untuk mengajarkan nilai-nilai dasa Islam, termasuk cara membaca Al-Qur’an dan Hadits. Pada usia tiga belas tahun sampai dengan delapan belas tahun kandungan makna Al-Qur’an dan Hadits mulai diajarkan dengan metode yang praktis, sistematis dan komprehensif, mengingat pada periode ini anak sudah mulai disibukkan dengan pelajaran-pelajaran di sekolah. Dengan demikian diharapkan ketika memasuki bangku kuliah anak sudah memiliki gambaran yang utuh dan komprehensif tentang Islam, beserta nilai-nilai abadi yang terkandung di dalamnya. Sehingga ia tidak akan mudah menyerah terhadap tekanan-tekanan dan pengaruh-pengaruh luar yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam, minimal ia akan tahu ke mana jalan untuk kembali ketika, oleh pengaruh eksternal yang terlalu kuat, ia melakukan penyimpanganpenyimpangan dari nilai-nilai Islam. Kedua, menyekolahkan anak sejak dari SMP sampai SMU di lembaga-lembaga Islam semacam pesantren modern yang saat ini sudah banyak memiliki sekolah-sekolah umum yang berkualitas. Ketiga, memasukkan anak sejak TK sampai SMU di lembaga-lembaga pendidikan yang memakai lebel Islam, seperti yayasan Muhammadiyah, yayasan NU, yayasan al-Azahar dan lain-lain. Akan tetapi alternatif ketiga ini dalam pengamatan penulis tidak begitu efektif. Salah satu sebabnya adalah karena kurang komprehensifnya kurikulum keislaman di dalamnya. Kendatipun begitu, ini jauh lebih baik disbanding, misalnya, memasukkan anak ke sekolah-sekolah non-Muslim. Memang menyekolahkan anak ke sekolahsekolah non-Muslim tidak berarti anak tersebut akan terkonversi ke agama lain, tetapi dampak minimal yang tak terhindarkan adalah timbulnya sikap skeptis dan apatis anak terhadap Islam. Alhasil, semakin kuat nilai-nilai agama tertanam akan semakin kokoh resistansi anak terhadap pengaruhpengaruh negatef dari luar. Studi kasus yang diadakan oleh Francis (1997) terhadap 20.968 anak remaja dari seratus sekolah yang tersebar diInggris dan Wales, menguatkan pendapat ini. Reformasi Paradigma Pendidikan Secara faktual hampir seluruh negara-negara Islam2 baru terlepas dari belenggu penjajahan Barat di akhir abad dua puluh tepatnya sekitar 1950-an. Pada umumnya terjadinya pemindahan kekuasaan dari penjajah ke tangan pribumi menimbulkan terjadinya perubahan politik di negara-negara tersebut yang sebagai akibatnya tertundanya reformasi pendidikan yang dicita-citakan sebelumnya. Rezim kekuasaan yang baru pasca kolonialisme tidak mampu memfokuskan diri pada tugas ini. Fokus utama mereka adalah bagaimana mempertahankan kekuasaan di tengah-tengah terjadinya kekacauan politik. Oleh karena itu pegnembangan dan reformasi pendidikan menjadi terabaikan untuk beberapa waktu. Pendidikan hanya menjadi bagian dari retorika politik dan rencana-rencana pengembangan pendidikan terartikulasi tanpa adanya pencapaian yang berarti. Dewasa inipun anggaran negara yang dicangkan untuk program pendidikan di negara-negara Islam relatif sangat rendah sehingga infrastruktur pendidikan yang mutlak diperlukan tidak atau jarang tersedia. Sebagai contoh Malaysia, negara Islam yang relatif maju program pendidikannya ini, menurut UNESCO (1996) hanya mengalokasikan dana U$D 82 perkapita, sementara Indonesia sendiri cuma mengalokasikan U$D 6 perkapita. Hal ini menimbulkan dampak-dampak yang tidak efektif, seperti pelajar yang hendak memperdalam ilmunya terpaksa harus pergi ke luar negeri yang biayanya relatif lebih mahal apalagi kalau tujuan belajarnya di negara-negara maju. Sementara kecenderungan belajar ke luar negeri ini menimbulkan persoalan tersendiri khususnya bagi mereka yang secara ekonomis kurang mampu. Dari ribuan mahasiswa yang belajar di luar negeri – kecuali yang belajar di negara-negara maju seperti Amerika, Eropa dan Australia yang umumnya berlatar belakang ekonomi menengah ke atas – yang tersebar di Asia Selatan (India, Pakistan, Bangladesh) dan Timur Tengah (Mesir, Jordan, Syria, Sudan, dan lain-lain) mayoritas adalah berlatar belakang ekonomi lemah (kaum santri pedesaan) yang untuk biaya studi dan menunjang kehidupan sehari-hari harus banting tulang bekerja part-time yang beraneka ragam mulai dari bekerja sebagai staf local di kedutaan-kedutaan Indonesia setempat,3 mengajar privat,

berwiraswasta (seperti yang dilakukan sebagian mahasiswa Mesir dengan membuka warnet atau agen perjalanan), menjaga warnet, sampai bekerja sebagai guide jamaah haji, baik travel ONH Plus maupun jamaah haji biasa yang dikenal dengan istilah pekerja TEMUS (tenaga musim atau seasonal worker).4 Apa yang dihasilkan mereka selama kerja part-time, termasuk guide haji, umumnya sangat pas-pasan dan tidak seimbang dengan terbuangnya waktu dan tenaga yang mereka keluarkan. Di samping itu, sudah bukan rahasia lagi bahwa di era Orde Baru pelajar mengalami banyak hambatan, khususnya untuk kuliah agama, untuk dapat belajar ke luar negeri apalagi untuk mendapatkan beasiswa. Bandingkan misalnya dengan Malaysia atau India. Para pelajarnya bukan hanya didorong untuk belajar ke luar negeri tetapi juga mendapat tawaran-tawaran beasiswa atau pinjaman-pinjaman jangka panjang yang menarik.5 Di era pasca Orba saat ini praktik-praktik mempersulit pelajar yang akan studi ke luar negeri masih saja terjadi yang dilakukan oleh berbagai pihak birokrasi yang terkait, mulai dari pengurusan paspor, permintaan rekomendasi, dan lain-lain hampir tak dapat dilakukan tanpa adanya uang pelicin di bawah meja. Adanya amandemen konstitusi yang mengalokasikan 20% anggaran untuk pendidikan itu sudah bagus tapi langkah ini tentu saja belum cukup, masih dibutuhkan sejumlah langkah reformasi lain di bidang pendidikan termasuk di antaranya menghilangkan praktik diskriminasi pengalokasian dana antara institusi pendidikan di bawah Depdiknas dan Depag, perlunya peningkatan apresiasi kalangan birokrat terhadap pelajar dan mahasiswa dengan cara memberikan kemudahan – bukan malah mempersulit – segala proses yang berkaitan dengan prosedur urusan pendidikan. Lembaga-lembaga Islam semacam pesantren perlu mendapatkan dukungan sepenuhnya dari pemerintah, baik moril maupun finansial, karena lembagalembagasemacam inilah yang berperan besar membantu program pemerintahdi dalam melestarikan nilainilai dan spirit Islam di satu sisi serta pemberantasan buta huruf di sisi lain, khususnya di daerah-daerah pedesaan yang notabene menjadi tempat mayoritas rakyat Indonesia. Di lain pihak lembaga-lembaga Islam tradisional semacam pesantren, khususnya pesantren salaf perlu melepaskan diri dari blue-print lamanya dan memodernisasi system dan metede pendidikannya agar tidak tertinggal dengan perkembangan keilmuan modern yang melajubegitu pesat. Secara histories sejak awal berdirina pada sekitar abad enam belas melewati masa penjajahan, Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi saa ini, pesatren salaf dikenal dengan sikapnya yang selalu menjaga jarak dengan kekuasaan (Federspiel, 1995) dan pemerintahpun enggan mendekati pesantren kecuali saat-saat menjelang PEMILU. Di “Orde Reformasi” ini sangat urgen adanya sikap kebersamaan antara lembaga-lembaga agama, khususnya lembaga Islam dengan pemerintah melalui pendekatan yang bersifat mutual respect (saling menghargai), mutual understanding (saling memahami) dan mutual need (saling membutuhkan) dengan tujuan yang pasti yaitu untuk semakin mendorong laju pertumbuhan pendidikan demi terciptanya jutaan pakar-pakar Iptek yang ber-imtak. Dalam hal ini sikap arogansi kekuasaan di satu pihak dan rasa inferioritas di pihak lain, mutlak harus dihapuskan. Sementara itu sesuai dengan latar belakang dan kecenderungan yang berbeda, para ilmuwan terbagi dalam dua kategori yaitu, (a) ilmuwan agama, yakni ilmuwan yang mengadakan pengkajian khusus berbagai disiplin ilmu agama dan (b) ilmuwan umum, yakni para pakar yang mengambil spesifikasi berbagai disiplin ilmu duniawi kontemporer. Para ilmuwan umum tentunya akan ‘menggarap’ lading yang sesuai dengan bidang-bidang yang menjadi keahlian mereka masing-masing sementara fungsi para ilmuwan agama di sini adalah (a) sebagai meditor antara aspirasi umat dengan para pakar iptek, (b) mengadakan hubungan yang proporsional dengan para pakar komunikasi massa dalam rangka memanfaatkan media massa, khususnya televisi dan internet, sebagai upayaunifikasi dan pengembangan umat dan (c) menyatukan paradigma para pakar iptek Muslim bahwa apa yang akan, sedang dan telah diperbuat selalu mengandung dua dimensi yaitu pengabdian kepada Allah (ibadah) dan untuk kebaikan serta rahmat seluruh umat manusia (Nawwab, 1979). Yang pada gilirannya nanti akan mengarah pada Islamisasi iptek sebagaimana yang dicita-citakan oleh Al-Faruqi di atas. Penutup Gambaran solusi Islami terhadap tantangan-tantangan pendidikan di era globalisasi di atas, bagaimanapun, merupakan disain besar, yang oleh sebagian kalangn mungkin dianggap terlalu romantis. Kendatipun bukan berarti mustahil dilakukan dengan melihat beberapa fenomena paling mutakhir di berbagai dunia Islam, khususnya Indonesia meliputi (a) semakin menipisnya dikotomi antara – meminjam istilah Clifford Geertz – Islam Santri dan Islam Abangan, (b) semakin banyaknya pakar iptek yang berlatar

belakang santri, (c) semakin tipisnya friksi yang trjadi antara berbagai organisasi Islam yang disebabkan oleh semakin tajamnya visi Islam mereka dalam awal milenium ini dan (d) terjadinya perubahan dahsyat dalam konstalasi politik di Indonesia dari ‘demokrasi artifisial, menuju demokrasi yang relatif dapat diharapkan. Untuk itu yang paling diperlukan guna mengimplementasikan blue-print di atas adalah visi yang jauh ke depan dan political will semua pihak yang terkait yaitu: individu-individu Muslim (termasuk orang tua), para pakar iptek dan agama, institusi-institusi pendidikan, lembaga-lembaga Islam serta pemerintah. Tanpa adanya unifikasi political will berbagai elemen di atas, umat Islam Indonesia akan tetap terbelakang. Dan bila demikian Indonesia tidak akan pernah menjadi negara maju, sebagaimana yang dikatakan oleh Sayidiman Suryohadiprojo, mantan gubernur Lemhanan (Republika, 23/09/1994). Kandidat Doktor Islamic Studies, di Jamia Millia University, New Delhi, India dan alumni Sidogiri 1 Institusi-institusi semacam ini disebut lembaga pendidikan Islam dalam arti bahwa ia merupakantempat kajian ilmu-ilmu agama Islam. Asfar (1996) membagi ilmu pada dua kategori. Pertama, ilmu agama yaitu ilmu-ilmu yang berkaitan dengan agama secara langsung seperti ilmu Fiqh, ilmu Tauhid, ilmu Hadits, ilmu Tafsir dan sebagainya. Kedua, ilmu duniawi yang berarti segala disiplin ilmu umum meliputi sains, teknologi dan lainlain. Selanjutnya lembaga pendidikan Islam semacam pesantren dan lain-lain akan disebut lembaga Islam. 2 Yang dimaksud negara Islam di sini adalah negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Jadi tidak hanya berkonotasi pada negara-negara yang secara konstitusi berideologikan Islam. Istilah ini dipakai hampir oleh seluruh penulis Muslim ataupun no-Muslim (orientalis) yang membahas tentang Islam. Lihat, misalnya Khusro (1981). 3 Kedutaan yang mempekerjakan mahasiswa Indonesia umumnya KBRI di Timur Tengah (Mesir, Syria, Tunisia, dll), sedangkan untuk KBRI India tampak lebih menyukai staf local yang langsung diambil dari Indonesia yang relatif kurang pengalaman, padahal banyak mahasiswa India yang berminat. Belum jelas apa sebab di balik penolakan KBRI India ini. 4 Dulu mahasiswa Asia Selatan dan Timur Tengah cukup mengandalkan biaya hidup dan kuliah mereka dari bekerja jadi guide haji setiap tahun, umumnya jadi guide di ONH Plus. Sekarang dengan turunnya peraturan pemerintah Saudi yang hanya membolehkan haji setiap lima tahun sekali, maka rejeki dari sector ini jadi tidak bisa diharapkan lagi, dan cuma mengharapkan bekerja sebagai guide haji biasa atau TEMUS yang tidak bisa dilakukan setiap tahun karena adanya keterbatasan quota dari Departemen Agama untuk setiap negara sehingga mahasiswa harus rela bergiliran. 5 Di Malaysia dan India prosedur untuk mendapatkan beasiswa dilakukan dan diumumkan dengan sangat transparan yang memungkinkan siapa saja yang berkualitas akan mendapatkannya tanpa kekuatiran akan di’kudeta’ oleh pihak-pihak tertentu. Bibliografi Ahmed, Manzoor (1990), Islamic Education, New Delhi: Qazi Publishers, hlm. 1 Asfar, Muhamad (1996), “Ulama dan Politik: Perspektif Masa Depan”, Ulumul Quran, 5(VI), hlm. 418.Brown, Chip, “The Science Club Serves its Country” dalam Esquire, December 1994. Cairns, E. (1990), “Impact of Television News Exposure on Children’s Perceptions of Violence in Northern Ireland” Journal of Social Psychology, hlm. 130, 447-452. Conway, M.M., Stevens, A.J. & Smith, R.G. (1975), “The Relation between Media Use and Children’s Civic Awareness”, Journalism Quarterly, hlm. 52, 531-538. Durkin, K. (1985), Television, Sex-roles and Children, Milton Keynes, Open University Press. Earl, R.A. & Pastermack, S. (1991), “Television Weather Casts and their Role in Geographic Education”, Journal of Geography, hlm. 90, 113-117. Faruqi, Isma’il al- (1987), “Foreward” dalam Akbar S. Ahmed Toward Islamic Anhtropology: Definition, Dogma and Directions, Lahore, hlm.7. Francis, Leslie J. (1997), “The Socio-psychological Profile of the Teenage Television Addict” dalam The Muslim Education Quarterly, 1 (15), hlm 5-19. Federspiel, Howard M. (1995), “Pesantren” dalam Esposito, J.L. The Oxford Encyclopedia of Modern Islamic World, London: Oxford University Press, Vol.3, hlm.325-326.

Gould, M.S. & Shaffer, D. (1986), “The Impact of Suicide in Television Movies”, New England Journal of Medicine, 315, 690-694 Furnham, A. & Gunter, B. (1983), “Political Knowledge and Awareness in Adolescent”, Journal of Adolescence, 6, 373-385. Gunter, B. (1984), “Television as Facilitator of Good Behaviour among Children”, Journal of Moral Education, 13, 152-159. Huesman, L.R. & Eron, L.D. (Eds.) (1986), Television and the Aggressive Child: A cross-national comparison, Hillsdale, New Jersey, Erlbaum. Hegell, A & Newburn, T. (1996), “Comparison of the Viewing Habits and Preferences of Young Offenders and Representative Shool Children”, Pastoral Care, 14, 1, hlm. 31-42. Hiesberger, J.M. (1981), “The Ultimate Challenge to Religious Education” dalam Religious Education, 76 (4), hlm.355-359. Hendry, L.B. & Thornton, D.J.E. (1976), “Games Theory, Television and Leisure: an Adolescent Study, dalam British Journal of Social and Clinical Psychology, 15, hlm.369-376. Khan, Sharif (1986), Islamic Education, New Delhi: Ashish Publishing House, hlm.37-38. Khan, Sharif (1997), Some Aspects of Islamic Education, Ambala Cantt. (India): Associated Publishers, hlm.61-64. Khusro, Syed Ali Muhammad (1981), “Education in Islamic Society” dalam Khan, Muhammad Wasiullah, Education and Society in the Muslim World, Jeddah: Hodder & Stoughton – King Abdulaziz University, hlm.82-84. Rosenbaum, Ron (1995), “Even the Wife of the President of the United States had to Stand Naked”, The Independent, 21 January, cetak ulang dari kisah dalam The New York Times. Selnow, G.A. & Reynolds, H. (1984), “some Opportunity Costs of Television Viewing”, Journal of Broadcasting, 28, hlm. 315-322. Silverman-Watkins, L.T. & Sprafkin, J.N. (1983), “Adolescent’ Comprehension of televised Sexual Innuendos”, dalam Journal of Applied Developmental Psychology, 4, hlm.359-369. Sheehan, P.W. (1983),”Age Trends and Correlats of Children’s Television Viewing”, dalam Australian Journal of Psychology, 35, hlm. 417-431. Tidhar, C.E. & Peri, S. (1990), “Deceitful behaviour in Situation Comedy: Effects on Children’s Perceptions of Social Reality”, dalam Journal of Educational television, 16, hlm. 61-67. Tan, A.S. (1979), “Television Beauty Ads and Role Expectations of Adolescent Female Viewers”, dalam Journalism Quarterly, 56, hlm. 283-288. Telfer, R.J. & Kann, R.S. (1984), “Reading Achievement, Free reading, Watching TV, and Listening to Music”, Journal of Reading, 27, hlm.536-539. UNESCO (1996), dalam Jawed, Muhammad, (Ed.) Year Book of the Muslim World: A Handy Encyclopaedia, New Delhi: Medialine, hlm. 53-54. Wiegman, O., Kuttschreuter, M. & Baarda, B. (1992), “A Longitudinal Study of the Effects of Television Viewing on Aggressive and Prosocial Behaviors”, dalam A British Journal of Socail Psychology, 31, hlm. 147-164. Young, Robert (1997), “Science is Social Relations”, dalam Radical Science Journal, 5, hlm. 65-131. Zuckerman, D.M., Singer, D.G. & Singer J.L. (1980), “Children’s Television Viewing, Racial and Sex-role Attitude”, dalam Journal of applied Social Psychology”, 10, hlm.281-294.