USAID LESTARI: CERITA DARI LAPANGAN
MENANGKAL API DENGAN DANA DESA Oleh: Maria Serenade Sinurat
“Kami berharap dengan adanya Perbup, kami bisa mulai mengalokasikan anggaran untuk mengoptimalkan pencegahan kebakaran. Kami ingin mendorong masyarakat agar mereka lebih terlibat dalam upaya pencegahan, baik dengan terlibat di MPA atau kegiatankegiatan lain,” kata Yanto.
Yanto Adam, Kepala Desa Gohong, Kecamatan Kahayan Hilir, Kabupaten Pulang Pisau masih mengingat jelas kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang melanda kampungnya pada tahun 2015. Tahun itu, gelombang panas El Nino menyebabkan cuaca lebih panas dan kekeringan menyebar. Yanto tak paham siapa membakar lahan dan bagaimana api bermula, yang jelas api menjalar hingga hutan desa dan menghancurkan kebun karet, sawit dan sengon milik masyarakat. Ini bukan kebakaran pertama di Gohong. Studi LESTARI menemukan bahwa sejak 1997 hingga 2016, tujuh kebakaran melanda desa itu. Sejarah kebakaran yang terus berulang menyadarkan Yanto bahwa sudah saatnya upaya pencegahan kebakaran menjadi prioritas pembangunan desanya. Apa yang terjadi di Desa Gohong terjadi juga di desa-desa di Lanskap Katingan-Kahayan yang menjadi salah satu wilayah kerja USAID LESTARI. Di kawasan yang didominasi ekosistem rawa gambut ini, praktik pembakaran untuk membuka lahan untuk pertanian dan perkebunan masih terjadi. Metode ini dianggap murah karena warga hanya bermodalkan bahan bakar dan korek api untuk melakukannya. Namun konsekuensinya begitu menghancurkan. Lahan gambut yang kering rentan terbakar dengan api sekecil apapun, terleUSAID LESTARI: CERITA DARI LAPANGAN
1
bih di musim kemarau. Agar karhutla tak terulang, tak ada pilihan lain selain mendorong pencegahan di tingkat desa, mulai dari upaya penyadartahuan warga agar tidak membakar, penghijauan, juga perbaikan ekosistem gambut melalui pembuatan sekat kanal.
Karhutla dan semangat otonomi desa Upaya pencegahan karhutla tingkat desa sejalan dengan semangat otonomi desa yang diamanatkan Undang-Undang nomor 6 tahun 2014 tentang Desa. Lahirnya undang-undang ini diharapkan mendorong pertumbuhan desa sesuai dengan kapasitas dan kondisinya. Salah satu aspek penting dari otonomi adalah pemberian kewenangan kepada desa untuk mengelola keuangannya. Sumber keuangan desa bermacam-macam, salah satunya berasal dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota dalam APBD setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus. Dengan peraturan ini, diperkirakan uang akan mengalir ke desa hingga Rp 1 miliar per tahun. Kendati desa memiliki kewenangan mengatur keuangannya, tidak serta-merta pemerintah desa mengalokasikan dana pencegahan karhutla. Kepala desa khawatir melampaui wewenang ataupun melanggar aturan apabila menganggarkan dana untuk kegiatan pencegahan karhutla. Di Desa Gohong, contohnya, Yanto menjelaskan dana desa terus naik sejak tahun 2015. Pada tahun 2015, desa ini mendapatkan anggaran Rp 300 juta, lalu naik menjadi Rp 600 juta pada tahun 2016 dan diperkirakan menjadi Rp 800 juta pada 2017. Namun, dari anggaran tersebut belum ada yang dialokasikan
untuk pencegahan karhutla. “Secara legalitas kami butuh petunjuk bahwa dana desa bisa digunakan untuk kegiatan pencegahan kebakaran. Karena jujur saja tanpa ada aturan tertulis, kami khawatir dianggap menyalahgunakan wewenang,” ujar Yanto. Kekhawatiran Yanto dapat dimaklumi. Sejak terbitnya UU Desa tahun 2014 yang diikuti aliran dana ke desa tahun 2015, risiko korupsi di desa meningkat. Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan 62 kasus korupsi di desa pada tahun 2016 yang merugikan negara hingga Rp 18 miliar. Desentralisasi ke tingkat desa di satu sisi mendorong pembangunan dan pemberdayaan desa, namun di sisi lain dikhawatirkan menjadi ladang basah korupsi. Sorotan akan penggunaan dana desa ini juga yang membuat pemerintah desa merasa perlu berhati-hati dalam mengalokasikan anggaran.
Peraturan bupati sebagai pintu masuk kebijakan Salah satu solusi yang dapat dilakukan agar desa dapat menggunakan dana secara konstitusional adalah dengan mendorong terbitnya Peraturan Bupati (Perbup). Saat ini tim LESTARI di Lanskap Katingan-Kahayan bekerja sama dengan pemerintah Desa Gohong, Mantaren 1, Buntoi, Saka Kajang dan Garung untuk menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes). Kelima desa ini termasuk dalam desa yang dipilih dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan terpadu. Sejak dalam proses penyusunan RPJMDes inilah, pemerintah desa harus merumuskan upaya pencegahan karhutla secara strategis.
Foto: Yanto Adam, Kepala Desa Gohong, Kecamatan Kahayan Hilir, Kabupaten Pulang Pisau
2
USAID LESTARI: CERITA DARI LAPANGAN
Foto: Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi tahun 2015 menghancurkan hutan desa dan kebun karet masyarakat Lilik Sugiarti, Landscape Governance Specialist LESTARI, mengatakan bahwa wacana untuk mendorong Peraturan Bupati tentang alokasi dana de-sa muncul saat pemerintah desa menyusun RPJMDes. “Wacana tentang Perbup lahir dari pemerintah desa. Mereka menyadari perlunya pelimpahan kewenangan ke tingkat desa agar mereka mampu mengalokasikan anggaran kegiatan untuk isu-isu yang penting di daerah mereka,” ucapnya. Perlu diingat bahwa UU Desa lahir dengan harapan bahwa demokrasi dan pemberdayaan desa berjalan dengan melibatkan perencanaan matang dan partisipasi warga. Karena itulah LESTARI memfasilitasi agar penyusunan RPJMDes merangkul berbagai pemangku kepentingan. RPJMDes lalu akan diturunkan menjadi Rencana Kerja Pembangunan Desa (RKPDes), dan kedua dokumen ini menjadi landasan untuk menyusun Anggaran Pendapatan Belanja Desa (APBDes). Dengan perencanaan yang matang, pembangunan desa diharapkan tepat sasaran dan penyalahgunaan wewenang bisa dihindari. Terkait dengan isu karhutla, Fatur Fatkhurohman sebagai Policy and Technical Support Coordinator LESTARI merekomendasikan agar pemerintah desa mulai mengidentifikasi aset-aset desa yang harus didanai dan dipelihara, serta kewenangankewenangan yang akan dilimpahkan ke desa. Proses ini dapat berjalan paralel dengan perumusan RPJMDes. “Hasil identifikasi ini yang akan diserahkan desa ke kabupaten. Dokumen ini menjadi dasar penyusunan Perbup yang lalu akan diturunkan menjadi Perda. Dengan adanya peraturan ini artinya wewenang sudah dilimpahkan kepada pemerintah desa sehingga desa kini berwenang untuk mengalokasikan anggaran untuk kegiatan yang telah direncanakannya,” tutur Fatur.
bagi pencegahan karhutla. Dengan wewenang yang jelas, pemerintah desa bisa lebih percaya diri mengalokasikan anggaran untuk kegiatan pencegahan kebakaran. Beberapa kegiatan yang akan direncanakan di Desa Gohong di antaranya adalah edukasi warga tentang pengolahan lahan tanpa membakar, biaya operasional Masyarakat Peduli Api (MPA) yang beranggotakan anggota masyarakat yang bekerja secara sukarela, pembelian alat pemadaman, penanaman kembali lahan kritis juga penabatan untuk membasahi gambut. “Kami berharap dengan adanya Perbup, kami bisa mulai mengalokasikan anggaran untuk mengoptimalkan pencegahan kebakaran. Kami ingin mendorong masyarakat agar mereka lebih terlibat dalam upaya pencegahan, baik dengan terlibat di MPA atau kegiatan-kegiatan lain,” kata Yanto yang juga tergabung dalam Tim 9 yang bertugas memastikan partisipasi warga dalam proses penabatan di Kabupaten Pulang Pisau. Upaya pencegahan karhutla ibarat jalan panjang yang berliku. Langkah kecil yang menentukan bisa dimulai di tingkat desa. Tentu masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan bersamaan dengan proses penyusunan RPJMDes dan Perbup Salah satunya adalah mendorong transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan desa. Warga harus aktif mengawal pengelolaan dana desa untuk memastikan pembangunan berujung pada kesejahteraan warga dan kemandirian desa.
Penerbitan Perbup diharapkan berdampak positif
USAID LESTARI: CERITA DARI LAPANGAN
3