MK. BIOMETRIKA HUTAN HARI, TANGGAL : 16 DESEMBER 2013 KELAS

Download Biometrika Hutan. Hari, tanggal : 16 Desember 2013. Kelas : Kamis (07.00-10.00 ). Kelompok : 11. MODEL PENGEMBANGAN HUTAN RAKYAT NYAMPLUNG ...

0 downloads 371 Views 320KB Size
MK. Biometrika Hutan

Hari, tanggal : 16 Desember 2013

Kelas : Kamis (07.00-10.00)

Kelompok

: 11

MODEL PENGEMBANGAN HUTAN RAKYAT NYAMPLUNG DENGAN SISTEM AGROFORESTRI SEBAGAI SUMBER BAHAN BAKU BIOFUEL

Disusun Oleh : Fitha Anggraeni

E14100012

Nora Wikhen A

E14100034

Dita Muwartami

E14100041

Restu Dwi Atmoko E14100042 Chika Anisa Y

E14100048

Lerfi Marisiana S

E14100099

Dito Septiadi M

E14100115

M. Romadhon

E14100130

Bayu Reksa K

E14100139

Dosen : Dr. Ir. Budi Kuncahyo, MS

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014

PENDAHULUAN Latar Belakang Konsumsi bahan bakar minyak (BBM) cenderung semakin meningkat dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Pada tahun 2010 menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), konsumsi BBM mencapai 61.730 ribu kilo liter. Sementara itu, cadangan minyak bumi semakin menurun dan di tahun 2010 tinggal 7,76 milyar barel. Oleh karena itu, pencarian dan pengembangan energi baru dan energi terbarukan menjadi agenda utama bidang energi di Indonesia untuk mencapai kedaulatan energi. Pengembangan dan pemanfaatan biofuel menjadi salah satu upaya yang dilakukan. Kebijakan Energi Nasional ditetapkan pemerintah dengan salah satu sasarannya adalah menetapkan penggunaan biofuel menjadi lebih dari 5% terhadap konsumsi energi nasional pada tahun 2025. Sektor kehutanan dengan potensi lahan yang cukup luas dan belum banyak dimanfaatkan secara optimal menjadi salah satu target untuk mengembangkan berbagai jenis tanaman yang dapat dijadikan sebagai sumber bahan biofuel. Tanaman Nyamplung merupakan tanaman yang dapat tumbuh pada kondisi lahan kurang subur dan tidak menimbulkan persaingan hara yang besar bagi tanaman di sekitarnya. Tanaman Nyamplung mampu menghasilkan buah sepanjang tahun, dengan potensi produksi yang semakin meningkat seiring dengan penambahan umur tanaman Nyamplung. Biodiesel yang dihasilkan dari Nyamplung memiliki sejumlah keunggulan. Rendemen minyak Nyamplung lebih tinggi, 40-73% dibandingkan jarak pagar (40-60%) dan sawit (46-54 %). Selain itu, daya bakar minyak Nyamplung dua kali lebih lama dibandingkan minyak tanah. Dalam tes yang sudah dilakukan Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman, untuk mendidihkan air, dibutuhkan 0,9 ml minyak tanah, sedangkan minyak biji Nyamplung hanya butuh 0,4 ml (Suara Merdeka 2012). Sehingga Nyamplung merupakan peluang besar sektor kehutanan untuk dapat mengembangkan dengan pola pengembangan berbasis masyarakat melalui kegiatan budidaya hutan rakyat sistem agroforestri nyampung dengan tanaman sela lain seperti sengon, kelapa, dan pisang yang dapat mengashilkan hasil tambahan ekonomi bagi masyarakat. Tujuan Pemodelan Pembuatan model ini bertujuan untuk mengetahui dinamika budidaya tanaman Nyamplung di hutan rakyat dengan berbagai pola agroforestri dan mengetahui kelayakan finansial pengembangan budidaya tanaman Nyamplung dalam rangka penyediaan bahan baku biofuel sebagai energi alternatif terbaharukan di Indonesia. METODOLOGI Waktu dan Tempat Praktikum Bometrika Hutan dengan sub bahasan pembangunan simulasi pemodelan di bidang Kehutanan dilakukan pada hari Senin 16 Desember 2013 pukul 07.00 – 10.00 WIB yang bertempat di Ruang Kuliah Node X 302 Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Alat dan Bahan Alat yang digunakan pada praktikum ini adalah komputer (laptop) dengan software Stella 9.02, program Microsoft Word dan Excel, dan alat tulis yang digunakan dalam perancangan model. Sedangkan bahan yang digunakan adalah data sekunder hasil penelitian Badan Penelitian dan Pengambangan Kehutanan terkait pengembangan tanaman Nyamplung sebagai bahan baku biofuel yang telah dilakukan oleh Kuswantoro et al pada tahun 2010 di Provinsi Jawa Barat. Metode Praktikum Pembuatan model ini dilakukan dengan beberapa tahapan diantaranya adalah sebagai berikut : 1. Penentuan topik, isu, tujuan, dan batasan dari pemodelan yang akan dibuat, yaitu potensi pengembangan tanaman Nyamplung sebagai bahan baku biofuel. 2. Pengumpulan data sekunder terkait potensi tanaman Nyamplung dari sifat biologis tanaman, potensi produksi, dan biaya ekonomi dalam pengembangan tanaman Nyamplung di hutan rakyat. 3. Melakukan identifikasi variabel yang berperan dalam kegiatan budidaya tanaman Nyamplung yang akan berpengaruh terhadap model yang akan dibuat. 4. Melakukan pengolahan data mentah data sekunder yang berhubungan dengan pemodelan yang dibuat. 5. Membuat model dinamika budidaya tanaman Nyamplung secara monokulutur. 6. Membuat model pendapatan yang diperoleh dari budidaya tanaman Nyamplung secara monokultur. 7. Membuat skenario pengembangan tanaman Nyamplung dengan pola agroforestri dengan tanaman sela sengon, kelapa, dan pisang. 8. Melakukan analisis kelayakan finanial pengembangan hutan rakyat Nyamplung dari nilai Net Present Value (NPV) dan Benefit Cost Ratio (BCR). 9. Melakukan evaluasi terhadap model yang dibuat. FORMULASI MODEL Batasan Sistem Model ini dibangun menggunakan data sekunder, yaitu hasil penelitian dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan tahun 2010 yang dilakukan oleh Kuswantoro et al di daerah Jawa Barat. Pembuatan model ini dilakukan secara spesifik untuk mengetahui dinamika tanaman Nyamplung yang dikembangkan dengan pola agroforestri pada lahan hutan rakyat di Kabupaten Ciamis dan Tasikmalaya. Setelah dilakukan pemodelan terhadap dinamika tegakan tanaman Nyamplung, kemudian dapat dilakukan analisis kelayakan secara ekonomi (kelayakan finansial) pengambangan tanaman Nyamplung sebagai salah satu bahan baku biofuel. Adapun batasan yang digunakan dalam pemodelan ini adalah sebagai berikut : 1.

Lahan yang digunakan adalah lahan milik masyarakat maupun lahan sewa, sehingga tidak ada pembelian lahan dan yang ada adalah pajak tanah. Daur yang dipakai untuk Nyamplung adalah 50 tahun dalam luasan 1 hektar.

2.

3.

4.

5.

1. 2. 3. 4. 5. 6.

Pola tanam Nyamplung dengan jarak tanam 5m x 5m atau sebanyak 400 pohon per hektar secara monokultur. Harga bibit tanaman Nyamplung adalah Rp 1.000,- per tanaman dengan persen tumbuh sebesar 75%. Nyamplung mulai berbuah mulai umur 7 tahun dengan produksi buah diasumsikan sebanyak 25 kg/pohon/tahun mulai umur 7-10 tahun, 50 kg/pohon/tahun mulai umur 11-45 tahun, dan 75 kg/pohon/tahun mulai umur 46-50 tahun. Oleh karena itu akan diperoleh jumlah produksi per tahun 7,5 ton/tahun mulai umur 7-10 tahun, 15 ton/tahun mulai umur 11-45 tahun, 22,5 ton/tahun mulai umur 45-50 tahun. Pemungutan buah yang sudah masak/tua dilakukan oleh petani dan dijual dalam bentuk masih bertempurung. Harga biji Nyamplung adalah Rp. 700,00,-/kg di tingkat petani sampai tahun ke-10 dan kemudian baru meningkat Rp. 1.100,-/kg setelah tahun ke-11. Ongkos angkut Rp. 100,-/kg. Tingkat suku bunga yang dipakai adalah 15% sesuai dengan suku bunga kredit investasi di Jawa Barat sesuai laporan Bank Indonesia Jawa Barat Tahun 2010. Komponen Model Stok : jumlah pohon per hektar (pohon/hektar), dan pendapatan (rupiah) Inflow : penanaman pohon (pohon/hektar), dan pemasukan (rupiah) Outflow : pemanenan pohon (m3/hektar, pemanenan buah (kg/hektar), dan besar pengeluaran (rupiah). Auxiliary variabel : jumlah pohon hidup (pohon), jumlah panen (kg/hektar), biaya investasi (rupiah), dan biaya pengelolaan (rupiah). Driving variabel : persen tumbuh pohon (persen), dan daur tanaman (tahun). Konstanta : luas lahan (hektar), dan jarak tanam (m2).

Hubungan Antar Komponen Dalam model ini terdapat berbagai macam hubungan yang akan dianalisis, karena pengembangan tanaman Nyamplung mecakup berbagai aspek yang saling berkaitan satu sama lain. Hubugan yang sangat erat dalam pemodelan ini adalah hubungan antara dinamika tegakan Nyamplung yang berpengaruh terhadap ketersediaan bahan baku biofuel dan berpengaruh nyata terhadap penghasilan secara ekonomi yang akan di dapatkan oleh pelaku budidaya tanaman Nyamplung Model Konseptual

Gambar 1. Model Konseptual

a. Kegiatan penanaman pada lahan hutan rakyat akan menambah hasil produksi atau panen yang akan di dapatkan setiap akhir daur. b. Besarnya volume panen yang didapatkan akan berpengaruh terhadap besarnya pendapatan selama kegiatan budidaya dilakukan. c. Semakin besar volume yang dipanen maka akan berpengaruh terhadap besarnya pendapatan di akhir daur kegitan budidaya tanaman Nyamplung, sehingga dapat dilakukan analisis kelayakan finansial dari kegiatan budidaya tanaman Nyamplung. HASIL DAN PEMBAHASAN Spesifikasi Model Model pengelolaan hutan rakyat Nyamplung dengan sistem agroforestri ini dapat diuraikan ke dalam beberapa sub model yang saling berkaitan, adapun sub model tersebut dapat diuraikan secara lebih rinci sebagai berikut ini : 1. Model Dinamika Tegakan Nyamplung Sub model dinamika tegakan Nyamplung menggambarkan aliran materi berupa jumlah pohon yang ditanam pada lahan yang diguankan untuk budidaya hutan rayat. Daur tanaman Nyamplung sendiri diasumsikan selama 50 tahun. Lahan yang digunakan dalam pemodelan ini adalah 1 Ha. Materi yang keluar dari sistem disebabkan karena adanya kemampuan tumbuh bibit sebesar 75% sehingga akan mempengaruhi jumlah pohon di dalam luasan 1 hektar. Jarak tanam yang digunakan adala 5x5 meter, sehingga akan terdapat 400 pohon dalam luasan 1 hektar, dengan adanya kemampuan tumbuh sebesar 75% maka jumlah pohon hanya akan menjadi 300 pohon/hektar. Penebangan pohon tidak dilakukan, hanya dilakukan pemanenan buah Nyamplung mulai umur 7 tahun sampai umur 50 tahun. Materi yang masuk berasal dari penanaman Nyamplung, yang dipengaruhi oleh luas lahan, jarak tanam dan presentase tumbuh bibit Nyamplung. Semakin luas lahan suatu areal maka semakin banyak penanaman yang dilakukan. Semakin besar jarak tanam, maka jumlah pohon dalam suatu areal akan semakin sedikit.

Gambar 2. Model Dinamika Tegakan Nyamplung

Dari gambar 2 di atas dapat dilihat bahwa potensi produksi pohon Nyamplung dibedakan ke dalam 3 kelas, yaitu umur 7-10 tahun dengan produksi 25 kg/buah, umur 11- 45 tahun dengan produksi 50 kg/pohon, dan umur 45-50 dengan produksi 75 kg/pohon. Harga buah Nyamplung saat periode pertama adalah Rp 700/kg, kemudian meningkat menjadi Rp 1100/kg setelah umur ke-11. Pendapatan yang diperoleh dari hasil budidaya monokultur Nyamplung ini dapat dilihat pada aliran kas berikut ini. Tabel 1. Rekapitulasi Biaya dan Pendapatan Budidaya Nyamplung Monokultur No Perihal Nilai (Rp) 1 Biaya Investasi - Penyiapan lahan 2.000.000 - Pengadaan bibit Nyamplung 440.000 - Pengadaan bronjong 2.000.000 - Penanaman 600.000 - Pengadaan pupuk 2.848.000 - Pengadaan peralatan 1.500.000 2 Biaya Pengelolaan - Pajak 12.250.000 - Biaya pupuk dan pemeliharaan 1.200.000 - Biaya pengunduhan 50.062.000 - Biaya pengangkutan buah 66.750.000 3 Pendapatan - Penjualan buah Nyamplung 772.250.000 4 Rata-rata keuntungan/tahun 11.651.990

Gambar 3. Sub model Pendapatan Budidaya Nyamplung Monokultur Setelah diperoleh data besar pendapatan dari kegiatan budidaya tanaman Nyamplung secara monokultur maka dapat dilakukan analisis kelayakan finansial

dilihat dari besarnya biaya yang dikeluarkan dengan pendapatan yang diperoleh seperti yang disajikan pada tabel 2 di bawah ini. Tabel 2. Analisis Kelayakan Finansial Nyamplung Monokultur No Perihal NPV (Rp) BCR 1 Tanpa perubahan 17.633.536 2,103 2 Biaya naik 20% dari 14.436.214 1,753 semula 3 Pendapatan turun 10.909.507 1,682 20% dari semula

Keterangan Layak Layak Layak

2. Model Pendapatan Total dengan Sistem Agroforestri Model ini dibuat untuk membandingakan pendapatan yang diperoleh apabila kegiatan budidaya tanaman Nyamplung dilakukan dengan pola agroforestri dengan memanfaatkan ruang atau sela dia antara pohon Nyamplung yang ditanam. Adapun tanman sela yang digunakan adalah sengon, dengan jarak tanam 5 m x 10 m sehingga jumlah pohon sengon total adalah 200 pohon per hektar, tanaman kelapa dengan jarak tanam 10 m x 10 m dan buah pisang sebanyak 700 pohon per hektar. Sifat Nyamplung yang tidak bersaing hara dengan tanaman lain memungkinkan tanaman sela dapat berkembang dengan baik. Sengon akan dipanen menggunakan daur 5 tahun dengan harga kayu per meter kubik berkisar antara 200.000/m3, sedangkan kelapa akan diunduh mulai umur 8 tahun dengan potensi buah kelapa sebesar 40 buah/pohon dan harga jual kelapa adalah Rp 500 per buah. Rekapitulasi perhitungan pendapatan dan pengeluaran kegiatan agroforestri ini dapat dilihat pada tabel 3 di bawah ini. Tabel 3. Rekapitulasi Biaya Dengan Pola Agroforestri No Perihal 1 Biaya Investasi - Penyiapan lahan untuk Nyamplung, Sengon, Kelapa, dan Pisang - Pengadaan bibit Nyamplung - Pengadaan ajir - Penanaman - Pengadaan pupuk - Pengadaan peralatan 2 Biaya Pengelolaan - Pajak - Biaya pupuk dan pemeliharaan - Biaya pengunduhan - Biaya pengangkutan buah 3 Biaya budidaya Sengon 4 Biaya budidaya Kelapa 5 Biaya budidaya Pisang 6 Pendapatan - Penjualan buah Nyamplung - Penjualan Sengon - Penjualan Kelapa

Nilai (Rp)

4.600.000 330.000 150.000 600.000 2.848.000 1.500.000 12.250.000 1.200.000 37.125.000 50.062.500 3.480.000 6.852.000 2.465.000 541.687.000 12.000.000 86.000.000

No 7

Perihal - Penjualan Pisang Rata-rata keuntungan/tahun

Nilai (Rp) 89.000.000 11.656.500

Tabel 4. Analisis Finansial Pola Agroforestri No Perihal NPV (Rp) BCR Keterangan 1 Tanpa perubahan 40.242.571 2,231 Layak 2 Biaya naik 20% dari 33.609.986 1,845 Layak semula 3 Pendapatan turun 25.561.472 1,771 Layak 20% dari semula Berdasarkan tabel rekapitulasi di atas dapat dilihat bahwa dengan adanya pola agroforestri maka terjadi penambahan pendapatan selain dari tanaman Nyamplung. Pendapatan per tahun yang diterima adalah sebesar Rp 11. 656.500, lebih besar jika dibandingkan dengan pendapatan yang diperoleh dari budidaya monokulutur sebesar Rp 11.651.990. Pola agroforestri juga akan menambah biaya yang harus dikeluarkan untuk setiap jenis tanaman yang ditanam, hal ini dikarenakan setiap jenis tanaman membutuhkan pemeliharaan dan perawatan yang berbeda. Apabila dilihat dari analisis finansialnya, maka baik budidaya monukultur maupun pola agroforestri memiliki nilai NPV positif yang artinya kegiatan budidaya yang dilakukan mendapatkan keuntungan. Dilihat dari nilai BCR kedua pola juga memiliki nilai >1 yang menandakan bahwa usaha tersebut layak untuk dijalankan. Sub model pola agroforestri dan besarnya pendapatan dapat dilihat pada model yang dibangun di bawah ini.

Gambar 4. Dinamika Sengon

Gambar 5. Dinamika Pohon Kelapa

Gambar 6. Grafik Jumlah Pohon Setiap Jenis Pola Agroforestri

Sedangkan sub model pendapatan total yang diperoleh dari kegiatan agroforestri dan produksi tanaman Nyamplung dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 7. Sub Model Pendapatan Total Evaluasi Model Berdasarkan sub model diatas kemudian dapat dilihat hubungan antara penambahan jenis tanaman melalui kegiatan agroforestri dengan besar pendapatan yang diterima oleh pelaku seperti yang disajikan pada grafik di bawah ini.

Gambar 8. Grafik Pendapatan Total Evaluasi model digunakan untuk mengetahui seberapa besar model yang dibangun mampu menggambarkan kondisi yang sebenarnya di lapangan. Evaluasi model hutan rakyat ini sudah dilakukan dengan membuat skenario ketika biaya operasional naik 20% dari harga semula apakah usaha tersebut masih layak atau tidak, kemudian skenario yang kedua adalah ketika pendapatan turun sebesar 20% karena adanya faktor lain yang tidak terduga. Dari skenario ini didapatkan bahwa dengan adanya pningkatan biaya operasional dan penurunan pendapatan sekitar 20% usaha bididaya hutan rakyat Nyamplung tetap layak untuk digunakan.

Seperti yang terlihat pada gambar 8 diatas, grafik terseut menunjukan adanya peningkatan pendapatan dari awal tahun sampai akhir tahun masa daur tanaman Nyamplung. Sedangkan pengeluaran diasumsikan sama untuk setiap tahun atau dikeluarkan hanya satu kali selama masa daur digunakan. Penggunaan Model Pemodelan ini dapat digunakan untuk membuktikan bahwa usaha bididaya tanaman Nyamplung merupakan salah satu usaha yang menjanjikan jika dilihat dari sisi ekonomi. Dari pemodelan ini juga dapat digunakan untuk menetapkan skenario lain pola agroforestri yang dapat menambah besarnya penghasilan pendapatan atau keuntungan. Karena apabila bahan bakar fosil semakin menipis, maka tanaman Nyamplung akan menjadi bahan baku biofuel yang dicari oleh banyak orang sehingga harga pasar buah Nyamplung dapat semakin tinggi dan semakin layak untuk diusahakan. Akan tetapi perlu kerjasama dari berbagai pihak untuk memperkenalkan prospek usaha ini, permasalahan harga dan ketersediaan pasar menjadi permasalahan pokok dalam pengembangan usaha tanaman ini. Sehingga diperlukan upaya yang keras untuk melakukan introduksi tanaman Nyamplung agar dapat diterima oleh masyarakat dan mau untuk mengembangkan tanaman ini meskipun belum dalam skala usaha yang besar. KESIMPULAN Berdasarkan kegiatan pemodelan menggunakan pendekatan sistem, maka usaha budidaya tanaman Nyamplung dapat dianalisis berdasarkan beberapa skenario yang dibangun. Penanaman Nyamplung dengan pola agroforestri dengan tanaman sela berupa sengon, kelapa, dan pisang mampu memberikan keuntungan rata-rata yang lebih besar yaitu Rp 11. 656.500 per tahun, dengan nilai NPV selama pengusahaan sebesar Rp 40.242.571 dan BCR sebesar 2,231. Hal ini menunjukan bahwa usaha budidaya tanaman Nyamplung dapat menjadi salah satu sektor penyokong ekonomi keluarga masyarakat di pedesaan yang masih memiliki potensi lahan yang cukup besar. Dari evaluasi model yang dibuat, dengan asumsi terjadi penurunan pendapatan sebesar 20% dan terjadi kenaikan harga biaya operasional usaha budidaya tanaman Nyamplung ini masih layak untuk diusahkan.

DAFTAR PUSTAKA Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). 2010. Statistik Minyak Bumi. Website [http] :prokum.esdm.go.id/Publikasi/Statistik/Statistik Minyak Bumi. (3 Januari 2014) Kuswantoro D.P et al. 2010. Pengembangan Hutan rakyat Agroforestri Nyamplung Sebagai Sumber Bahan Baku Biofuel. Badan Penelitian dan Pengenmbangan Kehutanan. Jakarta (ID): Kemetrian Kehutanan Suara Merdeka. 2012. Biodiesel Nyamplung Lebih Unggul Dari Solar. Website [http]:www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2012/03/12/17998 3/Biodiesel-Nyamplung-Lebih-Unggul-dari-Solar.