MODEL BUKU CERITA BERGAMBAR UNTUK PEMBELAJARAN BIPA BAGI

MODEL BUKU CERITA BERGAMBAR UNTUK PEMBELAJARAN BIPA BAGI ... kumpulan makalah “Bahasa Indonesia Menjelang Tahun 2000” ... Inggris 1967 Jepang 1908...

17 downloads 923 Views 1MB Size
MODEL BUKU CERITA BERGAMBAR UNTUK PEMBELAJARAN BIPA BAGI ANAK PRASEKOLAH Ari Ambarwati PBSI-FKIP Universitas Islam Malang Mahasiswa Program Doktoral Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Negeri Malang [email protected] Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA) merupakan istilah yang digunakan untuk menyebutkan program pembelajaran bahasa Indonesia yang diajarkan untuk orang asing baik di dalam maupun di luar negeri. Makalah ini mengelaborasi ide dan teori yang bisa digunakan untuk membuat model buku cerita bergambar sebagai bahan bacaan untuk pembelajaran BIPA yang ditujukan bagi anak prasekolah nonpenutur bahasa Indonesia. Buku cerita bergambar yang dibuat khusus untuk pembelajaran BIPA bagi anak prasekolah belum pernah dibuat. Melalui pembuatan model buku cerita bergambar untuk pembelajaran BIPA khususnya bagi anak prasekolah diharapkan dapat menumbuhkan minat belajar bahasa Indonesia sejak dini dan mempromosikan bahasa sekaligus budaya Indonesia melalui cerita bergambar ke kancah internasional. Kata kunci: buku cerita bergambar, pembelajaran BIPA, anak-anak prasekolah, nonpenutur bahasa indonesia

PENDAHULUAN Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA) adalah istilah yang digunakan untuk menyebut Bahasa Indonesia yang diajarkan pada orang asing, atau mereka yang belajar bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua. Di Indonesia program BIPA sudah berlangsung hampir tiga dasawarsa, sejak tahun 2000, dan dirintis mulai 1990 an. Data ini menunjukkan bahwa BIPA memiliki peran strategis dalam mengembangkan Bahasa Indonesia. Seiring dengan perkembangan kerjasama antarnegara, maka BIPA dapat menjadi jembatan strategis dalam upaya mempertajam diplomasi budaya Indonesia di kancah internasional. Pembelajaran BIPA saat ini lebih berfokus pada pelajar remaja, mahasiswa dan orang dewasa. Pembelajaran BIPA untuk anak-anak prasekolah nonpenutur bahasa Indonesia melalui buku cerita bergambar yang dibuat khusus belum banyak dilakukan, padahal mobilitas penduduk dunia makin dinamis. Ekspatriat yang bekerja di Indonesia pada 2014 adalah sebanyak 68. 762 (http://economy.okezone.com/read/2015/08/24/320/1201647/). Dari jumlah itu tentu ada yang membawa anak-anak mereka usia prasekolah, baik untuk sekedar berlibur maupun menetap mengikuti orang tua yang bekerja di Indonesia.Jika ada 1 % saja anak-anak prasekolah yang diberi pembelajaran BIPA maka berarti ada 6.876 calon orang dewasa yang mengenal bahasa Indonesia. Ini tentu investasi jangka panjang yang strategis dan patut untuk dikembangkan.

Konsekuensi dari mobilitas yang tinggi antarpenduduk dunia salah satunya adalah mempelajari bahasa asing. Bahasa adalah alat komunikasi yang memungkinkan interaksi antarmanusia terjadi. Mempelajari bahasa berarti mempelajari budaya. Bahasa adalah produk kreativitas yang terikat pada budaya. Memajankan bahasa asing (baca: bahasa kedua) pada intinya juga memperkenalkan karakter dan budaya bahasa tersebut. Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang berkembang pesat di abad 20 ini. Ini terbukti dari data yang disampaikan Dirjen Informasi dan Diplomasi Publik Kementerian Luar Negeri Andri Hadi, saat ini ada 45 negara yang mengajarkan bahasa Indonesia (Bambang Kaswanti Purwo, Kompas 27 Juli 2015). Lebih lanjut Purwo menyatakan bahwa di Vietnam, sejak akhir 2007, pemerintah daerah Ho Chi Minh City telah mengumumkan secara resmi bahasa Indonesia menjadi bahasa kedua. Vietnam adalah anggota ASEAN pertama yang menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi kedua di negaranya.Fakta ini tentu menggembirakan, artinya bahwa negara lain mengakui keberadaan bahasa Indonesia. Keputusan tersebut lepas sebagai keputusan politik, harus dimaknai bahwa bahasa Indonesia memiliki keunggulan untuk menjadi bahasa yang dituturkan oleh orang asing secara lebih luas. Di sisi pengajaran BIPA sendiri, Dardjowidjojo dalam Rivai menyatakan bahwa di kebanyakan negara, tempat bahasa Indonesia diajarkan, bahasa Indonesia umumnya diajarkan sebagai keterampilan dan ilmu (2010:4). Sebagai sebuah ilmu, bahasa Indonesia telah diajarkan sebagai sebuah ilmu di negara manca sejak 1880an. Tabel yang dikutip dari kumpulan makalah “Bahasa Indonesia Menjelang Tahun 2000” (Rivai, 2010:5) dapat dicermati sebagai berikut.

Tabel Negara-negara Penyelenggara BIPA Negara

Tahun

Amerika Serikat

1880an

Australia

1959: Universitas; 1964: SMU

Belanda

Pertengahan Abad 19

Inggris

1967

Jepang

1908

Jerman

1931

Korea Selatan

1964

Perancis

1861

RRC

1950

Tabel tersebut menunjukkan fakta bahwa bahasa Indonesia sudah dipelajari sejak pertengahan abad 19. Meski sudah diajarkan sekira 165 tahun, tetapi BIPA belum membuat buku bacaan yang memadai, khususnya untuk pembelajaran BIPA untuk anak-anak usia prasekolah. Fakta ini yang menjadi alasan kuat bagi penulis untuk menawarkan model buku cerita bergambar untuk pembelajaran BIPA anak usia prasekolah.

PEMEROLEHAN BAHASA KEDUA DAN KARAKTERISTIK KEMAMPUAN BERBAHASA ANAK USIA PRASEKOLAH Kognisi manusia berkembang pesat selama 16 tahun pertama dan tidak secepat itu lagi setelahnya (Brown, 2008:70). Pernyataan ini menjadi alasan mendasar mengapa kosa kata anak-anak di usia tersebut berkembang demikian cepat. Di samping itu, usia belia yang melekat pada anak-anak memberi sumbangan signifikan pada keberhasilan pemerolehan bahasa kedua pada anak-anak, yakni anak-anak tak ‘menyadari’ mereka sedang dipajankan bahasa kedua. ‘Ketidaksadaran’ tersebut berasal dari karakteristik anak-anak usia prasekolah (dirangkum dari Heather and Lacey dalam Purwo, 2000:831) yang egosentris, daya konsentrasi yang bertambah meski durasi umumnya tidak lebih dari tujuh menit, mulai tertarik dengan hal-hal di luar rumah, bereksplorasi dengan pengalaman dan tantangan baru, mulai mengembangkan imajinasi menyangkut cerita, mulai masuk ke keterampilan tertentu dan kesukaan membaca, mengembangkan kosa kata dan keterampilan yang berkaitan dengan bahasa, dan menemukan kesenangan pada bunyi-bunyi bahasa dan pada permainan kata (mencoba-coba membuat kata). Cullinan (1989:16) menambahkan bahwa anak-anak prasekolah yang berusia antara lima sampai tujuh tahun sudah mampu mengekspresikan ketakutan mereka secara wajar, mengembangkan identitas diri, memiliki kehidupan imajinatif yang kaya, mulai mengembangkan ketertarikan pada cerita, memiliki moralitas yang lebih tampak, bisa memastikan ulang tema cerita, dapat berurusan dengan kepentingan diri sendiri, menampilkan fantasi yang dapat dipercayainya, suka dengan rangkaian alur cerita yang jelas, dapat memprediksi alur cerita, dan memberi perhatian pada detil yang ada dalam cerita. Pada tahapan ini mereka sudah bisa diajak membaca cerita bergambar secara aktif, artinya mereka dapat dilibatkan dalam cerita. Karakteristik kognitif anak-anak tersebut dapat menjadi panduan untuk menulis cerita bergambar untuk anak-anak usia prasekolah. Ketertarikan mereka terhadap dunia di luar

rumah dan daya eksplorasi terhadap pengalaman dan tantangan baru mendekatkan mereka pada keberhasilan menguasai bahasa kedua. Anak-anak prasekolah yang dibacakan cerita umumnya langsung menimpali hal-hal dan pengalaman baru yang belum mereka temui sebelumnya. Ketertarikan pada bunyi-bunyian, juga membuat mereka lebih akrab pada tokohtokoh cerita binatang (fabel). Kesenangan pada bunyi-bunyian yang berkembang di usia ini membuat anak-anak prasekolah tidak segan menciptakan kosa kata baru yang lahir sebagai respon atas bunyi-bunyian yang dipajankan pada mereka. Ego anak bersifat dinamis, tumbuh, dan luwes sampai usia akil balik (Brown, 2008:74). Pada tahap ini, anak-anak prasekolah tidak merasa terancam kalau mereka mengucapkan kata yang salah, karena mereka belum paham dengan bentuk kata yang diucapkannya. Anak-anak tidak memiliki ketakutan untuk mengucapkan kata yang baru didengar atau dikenalnya. Keuntungan ini bisa dimanfaatkan untuk memajankan bahasa kedua pada anak-anak usia prasekolah. Dalam konteks pemerolehan bahasa anak-anak prasekolah, pendapat Noam Chomsky yang menyatakan bahwa sebenarnya manusia tak dapat mengajarkan bahasa, layak digaris bawahi. Chomsky menegaskan bahwa manusia hanya dapat menciptakan lingkungan linguistik yang kaya bagi proses pemecahan masalah secara intuitif yang merupakan kepemilikan otomatis manusia normal (1978:108). Chomsky mengingatkan kembali bahwa manusia (termasuk juga anak-anak prasekolah) adalah penghasil bahasa yang aktif, bukan sekedar manusia yang menirukan bunyi dan lambang bahasa. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa penguasaan bahasa sejatinya merupakan kegiatan kreatif, maka daya kreasi dari pembelajar harus menjadi perhatian utama. Termasuk juga anak-anak prasekolah yang dipajankan bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua. Kreativitas berbahasa anak-anak prasekolah dapat disemai melalui buku cerita bergambar yang memiliki standar dan karakteristik tertentu, yang akan diuraikan lebih lanjut di bagian model buku cerita bergambar untuk pembelajaran BIPA anak usia prasekolah.

CERITA BERGAMBAR UNTUK ANAK-ANAK PRASEKOLAH Bentuk bahasa yang indah dan paling bagus dikembangkan adalah dalam sastra (Cullinan, 1989:97). Lebih jauh Cullinan menyatakan bahwa sastra adalah bahasa, dan bahasa anak-anak tumbuh melalui pengalaman dengan sastra. Bahasa yang dipajankan, baik yang didengarkan maupun yang dibacakan untuk mereka, adalah bahasa yang mereka pelajari dari lingkungan sekitar. Lebih banyak mereka diberi pajanan bahasa dari buku bacaan yang bagus (baca: buku sastra anak) maka semakin berkembanglah bahasa mereka. Tak dapat dipungkiri

bahwa buku menyediakan kesempatan yang sangat banyak bagi anak-anak untuk berbicara tentang kehidupan. Buku adalah sahabat anak-anak yang memungkinkan mereka menjelajahi pengalaman, tantangan, dan dunia baru sebelum mereka benar-benar menghadapi realitas di dunia nyata. Buku menyediakan panduan, pengetahuan, ilmu, tips, trik, siasat, serta seperangkat piranti yang berwujud bahasa dan dapat digunakan oleh anak-anak untuk menghadapi dunia yang sesungguhnya. Buku cerita bergambar adalah buku yang bercerita melalui perpaduan antara teks dan ilustrasi atau gambar (Cullinan, 1989:151). Buku cerita bergambar tergolong unik dalam khazanah sastra anak, mengingat format lebih menentukan definisinya jika dibandingkan dengan isinya. Meski sebenarnya ada buku cerita bergambar, yang gambarnya bercita rasa seni tinggi , dan bisa dikonsumsi oleh anak-anak yang lebih dewasa, tetap saja orang menganggap jika buku cerita bergambar adalah buku yang lebih layak dikonsumsi oleh anakanak. Anggapan ini menjadi salah kaprah mengingat seolah-olah yang membutuhkan ilustrasi atau gambar dalam cerita hanyalah anak-anak. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah seberapa penting ilustrasi berperan dalam buku cerita bergambar? Belajar adalah pencapaian dan integrasi yang terus menerus baik melalui pengalaman secara langsung maupun pengalaman yang tidak langsung, maka memilih buku yang merefleksikan, memperpanjang, serta memperkaya dunia anak-anak menjadi penting. Terkait dengan itu maka ilustrasi buku cerita bergambar menjadi kepentingan utama. Kriteria ilustrasi buku cerita bergambar yang baik menurut Cullinan adalah yang ilustrasinya mampu menangkap dan menahan ketertarikan pembaca serta memiliki seni yang unik yang dapat bekerja dengan teks untuk memperkuat cerita (1989:153). Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa ilustrasi bukan sekadar pelengkap dalam buku cerita bergambar, sebab ilustrasi bertugas memerangkap perhatian dan ketertarikan pembaca untuk lanjut membaca dan menikmati cerita. Ilustrasi adalah piranti penting untuk membantu pembaca menerjemahkan cerita. Hal kedua yang harus diperhatikan adalah karakter yang dikembangkan dengan baik dalam cerita dan ilustrasi. Karakter yang dikembangkan dengan baik dalam cerita akan dikenali anak-anak dengan mudah. Ilustrasi karakter yang baik dan memadai selanjutnya memungkinkan anak-anak mengidentifikasi karakter tersebut dengan cepat. Karakter yang disukai anak-anak tersebut juga secara aktif membuat sesuatu (baca: peristiwa dalam cerita) terjadi. Daya konsentrasi anak-anak prasekolah memang sudah mulai berkembang, tetapi durasinya tidak panjang, maka mereka menyukai karakter yang aktif bertindak.

Hal ketiga yang perlu diperhatikan dalam cerita bergambar untuk anak-anak prasekolah adalah alur cerita jelas yang terlihat baik dalam teks maupun karakter.Alur yang kompleks tentu menyulitkan anak-anak prasekolah karena mereka masih pada tahapan berpikir sederhana dan konkrit. Klimaks cerita harus dapat dikenali dan penyelesaian cerita menyenangkan bagi anak-anak. Klimaks cerita yang abstrak dan penyelesaian cerita yang mengaduk-aduk emosi tentu tidak tepat untuk anak-anak prasekolah, mengingat mereka suka dengan akhir cerita yang pasti dan dapat dikenali secara nyata. Hal keempat yang juga tidak kalah penting untuk dicermati adalah tema cerita dan suasana hati. Pesan pokok (gagasan utama yang ingin disampaikan pengarang). Tema bisa jadi diinterpretasikan berbeda oleh pembaca yang berbeda pula, tetapi tema yang bagus adalah tema yang bisa dikenali secara terang-terangan dan halus (subtil) sekaligus. Tema itu harus tidak dapat dihindari oleh pembaca. Maka buku cerita bergambar yang bagus untuk anak-anak prasekolah sebaiknya tema ceritanya segera dapat diidentifikasi, yang temanya dikembangkan dari alur cerita dan karakter, berikutnya ilustrasi cerita yang mampu memperpanjang tema sekaligus membangun suasana hati. Empat hal penting yang harus dapat dielaborasi dalam cerita bergambar untuk anakanak prasekolah tampak membebani, tetapi bukan berarti buku cerita bergambar yang bagus untuk anak-anak prasekolah tidak dapat dibuat, termasuk juga buku cerita bergambar untuk pembelajaran BIPA bagi anak-anak prasekolah.

Model Buku Cerita Bergambar untuk Pembelajaran BIPA bagi Anak-anak Usia Prasekolah (5-7 Tahun) Pembelajaran BIPA untuk anak-anak prasekolah bisa dilakukan melalui membaca cerita bergambar. Cerita bergambar yang dimaksud adalah cerita sederhana yang diberi ilustrasi yang dibuat khusus untuk anak-anak prasekolah nonpenutur bahasa Indonesia yang sedang belajar bahasa Indonesia. Model buku cerita yang dibuat penulis adalah buku cerita fabel yang karakternya diwakili oleh binatang. Binatang dipilih penulis menjadi karakter dalam cerita bergambar mengingat binatang merupakan mahluk hidup yang mampu bergerak dan bersuara layaknya manusia. Melalui gerakan dan bunyi yang dihasilkan binatang, anakanak prasekolah yang sudah mengembangkan ketertarikannya pada bunyi-bunyian akan lebih mudah mengidentifikasi karakter bahasa Indonesia berikut pelafalannya melalui suara binatang. Buku cerita yang dibuat oleh penulis dapat dicermati sebagai berikut.

Bagan 1: AYAM JANTAN

Bagan 2: KUCING

Bagan 3: TOKEK

Bagan 4: BURUNG

Bagan 5: KATAK

Bagan 6: ANJING

Bagan 7: JANGKRIK

Tujuh ilustrasi cerita bergambar di atas adalah model awal yang bisa digunakan untuk membuat cerita bergambar untuk pembelajaran BIPA bagi anak-anak usia prasekolah. Ilustrasi dibuat dengan latar tempat di daerah pedesaan di Indonesia dengan berbagai detil yang menggambarkan budaya Indonesia seperti bentuk rumah, bentuk dangau (pondok kecil di sawah), topi petani, hingga baju bercorak batik. Pengenalan budaya tersebut sengaja dilakukan untuk memberi penguatan pada karakter cerita yaitu binatang yang bersuara. Buku cerita bergambar ini bisa digunakan untuk mengawali kegiatan pembelajaran BIPA untuk anak-anak prasekolah. Suara binatang yang tertulis dalam teks yang sederhana kemudian bisa ditirukan anak-anak saat guru membacakan cerita tersebut di depan mereka. Anak-anak tentu akan membandingkan suara binatang yang dihasilkan binatang dalam bahasa pertama mereka dengan suara binatang yang kemudian dituliskan dan dilafalkan berbeda dalam bahasa Indonesia. Guru juga menyebutkan nama binatang yang dimaksud. Kesempatan ini sebaiknya digunakan guru untuk mengulang-ulang suara binatang yang dimaksud dan melafalkannya secara berulang nama binatang tersebut hingga anak-anak mampu menirukan dan mengucapkan dengan benar.

Selanjutnya, guru dapat merekam suara anak-anak yang menirukan suara binatang dalam bahasa Indonesia dan kemudian memperdengarkannya kepada mereka. Saat memperdengarkan rekaman suara mereka, guru memperlihatkan gambar berikut teks yang menuliskan suara binatang yang dimaksud. Aktivitas tersebut dapat dibuat beberapa variasi, seperti mencocokkan gambar binatang dengan suaranya. Guru menunjukkan gambar binatang, kemudian guru meminta anak-anak menirukan suara binatang yang dimaksud. Variasi berikutnya adalah guru meminta sekelompok anak-anak menirukan suara binatang yang ada dalam buku cerita bergambar, kemudian sekelompok anak-anak yang lain menebak suara binatang tersebut dengan memilih gambar binatang yang dimaksud, sekaligus menyebutkan nama binatang tersebut. Variasi lain tentu dapat diberikan guru kepada anakanak sesuai dengan kebutuhan. Model buku cerita bergambar tersebut tentu masih harus disempurnakan mengingat buku tersebut belum pernah diujicobakan di kelas pembelajaran BIPA untuk anak-anak usia prasekolah. Poin-poin yang harus diselaraskan dalam buku cerita bergambar tersebut adalah pewarnaan, berapa banyak kata yang idealnya muncul dalam setiap halaman, dan penggambaran detil seperti apa yang mampu mewakili dan menampilkan budaya Indonesia secara sederhana dalam buku cerita bergambar. Ikon dan produk budaya Indonesia apa saja yang dapat diidentifikasi dengan mudah oleh anak-anak prasekolah yang diberi pembelajaran BIPA. Poin-poin yang perlu diselaraskan tersebut muncul sebagai pertimbangan, mengingat belum ada rujukan buku cerita bergambar yang dibuat secara khusus untuk pembelajaran BIPA bagi anak-anak usia prasekolah. Ide awal ini memerlukan kajian lebih mendalam termasuk mengujicobakan buku cerita bergambar tersebut untuk anak-anak usia prasekolah yang diberi pelajaran BIPA.

.

Simpulan Program Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA) sudah berlangsung hampir tiga dasawarsa, sejak dirintis pada tahun 1990 an. BIPA merupakan sebuah program yang dirancang untuk penutur asing yang sedang belajar bahasa Indonesia, baik di dalam maupun di luar negeri. Meski sudah dipelajari di 45 negara di dunia, bahan bacaan untuk pembelajaran BIPA, khususnya bagi anak-anak prasekolah masih belum banyak dibuat. Pembuatan buku cerita bergambar untuk pembelajaran BIPA bagi anak-anak usia prasekolah yang dirancang oleh penulis merupakan upaya untuk merumuskan dan memformulasikan buku yang bisa digunakan untuk mengawali pembelajaran BIPA. Model buku cerita bergambar tersebut berupaya mengelaborasi seperangkat hal yang menjadi dasar pemikiran dalam menulis cerita bergambar untuk anak-anak usia prasekolah. Tahapan berpikir kognitif dan ranah afektif pada anak-anak usia prasekolah menjadi pijakan utama dalam membuat cerita bergambar. Pembelajaran BIPA untuk anak-anak prasekolah melalui penulisan cerita bergambar juga memperhatikan unsur-unsur budaya yang dapat dimasukkan dalam elemen cerita sebagai pemandu sekaligus penguat karakter dan cerita. Sebagai pemandu dan penguat cerita, anakanak usia prasekolah yang belajar BIPA dapat mengenali ikon-ikon dan produk budaya Indonesia yang dimunculkan dalam ilustrasi cerita seperti topi petani, baju batik, bentuk rumah, dan bentang alam tropis. Mengingat buku cerita bergambar ini masih merupakan model yang belum pernah diujicobakan pada anak-anak usia prasekolah yang diberi pajanan BIPA, maka masih terbuka kemungkinan untuk melakukan penyelarasan utamanya pada pewarnaan, jumlah kata ideal yang seharusnya ada dalam setiap halaman, serta penggambaran detil ilustrasi yang mewakili dan menampilkan citra Indonesia.

Daftar Rujukan Brown, Douglas. H. 2008. Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa. Terjemahan oleh Noor Cholis dan Yusi Avianto Pareanom. Kedubes Amerika Serikat. Jakarta. Cullinan, Bernice E. 1989. Literature and the Child. Harcourt Brace Jovanovich, Inc. USA. http://economy.okezone.com/read/2015/08/24/320/1201647/ diunduh 30 Agustus 2015. Purwo, Bambang Kaswanti. Bahasa Kita Jadi Bincang di Dunia Maya. Kompas 27 Juli 2015. Purwo, Bambang Kaswanti. 2000. Kajian Serba Linguistik untuk Anton Moeliono. Universitas Atmajaya-PT BPK Gunung Mulia. Jakarta. Rivai, Soviaty. 2010. Pemetaan pengajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA) di Asia. http://km.ristek.go.id/assets/files/Pendidikan/BIPA%20di%20Asia/BIPA%20di%20Asia.pdf (diunduh 6 Agustus 2015).