MS 08 2014 FINAL.INDD

Download 17 Ags 2014 ... hati dalam menunjukkan kesalahan orang lain, rendah hati dalam bergaul, dan rajin menolong dan menyelamatkan orang lain. Me...

0 downloads 837 Views 2MB Size
PERSPEKTIF

Jusuf Sutanto

Kitab Dua Angin – Seni Kepemimpinan Zen

Jusuf Sutanto

Faculty of Psychology, Universitas Pancasila, Jakarta Peneliti Senior Pusat Studi Pancasila – Universitas Pancasila THE jusuf sutanto CENTER Anggota Masyarakat Neuurosains Indonesia MNI E-mail: [email protected] Web: www.jusufsutanto.com

KEARIFAN KUNO dan REVOLUSI MENTAL “Orang Besar Adalah Justru Mengurus Hal Kecil”

JENGHIS KHAN, raja Mongol, memerintah dari 1206 hingga 1227, jajahannya meliputi sebagian besar wilayah Asia termasuk Tiongkok Utara dan mendirikan Dinasti Yuan. Dalam kisah silat “Pendekar Rajawali Sakti”, ia mempunyai anak angkat yang sangat disayangi bernama Kwee Ceng, pendekar muda yang sudah kembali ke Tiongkok. Di akhir hidupnya ketika usianya sudah lanjut dan kesehatan mulai menurun, dia rindu dan mengundangnya ke Mongol bernostalgia pergi ke gurun pasir untuk menunjukkan betapa luas jajahannya melebihi sejauh mata memandang. Kwee Ceng bertanya: “Khan Agung, berapa banyak airmata dan nyawa orang muda yang harus dikorbankan dan apa gunanya menaklukkan manusia kalau tidak bisa merebut hatinya”. Ia menghela nafas panjang sambil batuk dan nafas tersengal merogoh kitab lecek dari dadanya. “Seorang pendeta kelana dari Tiongkok pernah datang ke sini dan memberi buku ini. Saya belum sempat membaca karena terus perang meluaskan jajahan. Hanya karena yakin isinya berguna saya terus simpan dan bawa ke mana-mana. Sekarang saya baru bisa membaca dan memahami betapa dalam maknanya. Saya sudah berhasil menaklukkan dunia, tapi akhirnya ternyata tidak bisa mengalahkan musuh dalam diri saya yaitu proses menjadi tua dan sakit”.

16

Agustus 2014

Selama pemilu kita menyaksikan betapa riuh rendah pergulatan yang didorong ingin mendapatkan posisi bagi dirinya. Mengejar ‘wortel/carrot’ dengan harapan kalau tercapai akan mendapatkan kebahagiaan yang dicita-citakan. Tapi tidak pernah kesampaian sampai menjelang akhir hidupnya dan karena post power syndrome takut kehilangan jabatan. Padahal tujuan hidup setiap orang hanya sederhana sama seperti sekuntum bunga dalam syair sbb:

A Flower Doesn’t Talk “Silently a flower blooms - In silence it falls away; Yet, here, now, at this moment, at this place the whole of the flower, the whole of the world is blooming. This is the talk of the flower, the truth of the blossom; The Glory of eternal life is fully shining here” (Zenkei Shibayama)

Meski tahu bahwa akhirnya akan gugur, bunga tidak pernah kehilangan semangat untuk mekar. Setelah fully blossom, tidak bisa lain akan gugur. Kesadaran bahwa hidup adalah fana, ditafsirkan sebagai setiap hari umur kita akan berkurang satu hari (bukan merayakan hari ulang tahun). Sebagai kompensasinya setiap hari harus menjadi orang yang lebih baik dari kemarin dan besok lebih baik dari hari ini. Dalam manajemen Jepang dikenal sebagai KAIZEN. Kalau mereka tahu bahwa dunia sedang menghadapi masalah besar dalam membangun kesehatan, maka perilakunya dalam berpolitik akan berbeda. Kita tidak bisa menurunkan usia harapan hidup. Tapi kalau hasilnya memperbanyak orang bermasalah setelah lanjut usia, lantas apa gunanya? Mereka yang berdebat seru di TV seolah memiliki organ tubuh/nyawa serep sehingga tak pernah merasa suatu hari akan menjadi tua dan sakit atau takut menghadapi realitas sehingga berperilaku seperti burung onta. Lantas siapa yang akan menanggung biaya perawatan kalau jatuh sakit? Negara dengan ekonomi maju juga sudah tidak sanggup, apalagi keluarganya. Ketika ilmu ekonomi diberi kesempatan memimpin, berhasil mengangkat pendapatan kelas bawah dan menengah, namun langsung dibarengi perubahan gaya hidup sehingga menderita penyakit yang biasanya terjadi pada orang yang sudah benar-benar kaya. Kini sudah saatnya ilmu kesehatan untuk bicara memberikan bimbingan.

Thomas Cleary dalam buku “Zen Lessons: The Art of Leadership” menerjemahkan buku “Chanlin Baoxun” yang ditulis oleh guru Zen Dahui dan Zhu-an pada awal abad ke-12. Dilanjutkan Jhingsan di akhir abad 12. Diterjemahkan Penerbit Karaniya dengan judul “Dua Angin – Seni Kepemimpinan Zen”. Untuk pertama kalinya seratus tahun kemudian 1279 diterbitkan di Jepang. Dalam bab ‘Krisis Kepemimpinan’ ditulis sebagai berikut:

“Sekarang ini kita lihat pemimpin-pemimpin di banyak tempat dengan pikiran penuh akal untuk mengendalikan pengikutnya; Sementara itu para pengikut mereka melayani pemimpin-pemimpin itu dengan motif-motif tersembunyi untuk mendapatkan pengaruh, kekuasaan dan keuntungan. Antara pemimpin dengan pengikutnya melakukan jual-beli. Yang di atas dan yang di bawah saling membohongi. Bagaimana mungkin pendidikan maju dan masyarakat tumbuh?” (Surat Shuian awal abad ke-12).

Pendidikan pemimpin tanpa menyentuh Revolusi Mental akan menghasilkan masyarakat amburadul juga sudah terjadi 800 tahun lalu. Dan cara mengatasinyapun sudah diketemukan! Orang Besar adalah justru yang mengurus hal kecil.

“Bara yang membakar hutan bermula dari sebuah percikan api; sungai yang mengikis sebuah bukit diawali oleh tetestetes air. Setitik air dapat dibendung dengan segenggam tanah. Namun bila sudah melimpah ruah dapat mencabut pohon, menghanyutkan batu besar dan meruntuhkan bukit. Setitik api dapat dipadamkan dengan secangkir air, tapi bila berkobar dapat membakar kota, kampung, hutan dan gunung. Dan kalau itu terjadi maka meskipun memiliki banyak orang beritikad baik, namun sulit untuk mengatasinya.” (Caotang Qing awal abad ke-12)

Agustus 2014

17

Karena itu orang zaman dulu melakukannya mulai dari dirinya sendiri dengan menghentikan pikiran buruk sebelum bertunas, dan emosi sebelum kacau sehingga dengan menggunakan enerji yang sangat sedikit, berhasil meraih pencapaian yang luar biasa. Mereka gembira mendengar kesalahan mereka sendiri, bersukacita di dalam berbuat baik, agung di dalam keluhuran budi, murah hati dalam menunjukkan kesalahan orang lain, rendah hati dalam bergaul, dan rajin menolong dan menyelamatkan orang lain. Mereka tidak mencemarkan pikiran mereka sendiri, sehingga cahaya mereka terang bersinar menembus masa lalu dan sekarang. (Jusuf Sutanto “Tai Chi dan Seni Memimpin”, Pustaka Sinar Harapan, 1999)

18

Melacak Paradigma Seni Memimpin

Memimpin Negara sama dengan Memimpin Diri Sendiri

Lantas apa kata Kitab tentang Perubahan I Ching?

Bagi yang mempelajari Kearifan Kuno ternyata akarnya jauh lebih dan sangat dalam seperti pendapat Seng Chao (384-414):

Saya tidak tahu apakah yang sedang terjadi dalam diri Jokowi memang seperti ini. Tapi blusukan yang dilakukan memang nampaknya sedang mengejawantahkan ajaran ini. Mau kembali ke alam sebagai sumbernya untuk mendapatkan inspirasi kepemimpinan yang lebih genuine bagaimana alam semesta yang terus berubah abadi dari beginningless past menuju endless future dan selalu bisa memperbaharui dirinya. Dengan hanya “Walk Your Talk – Talk Your Walk” semuanya akan mengikuti.

„„ Yang diajarkan di sekolah kepemimpinan saat ini dan dikenal sebagai piramida kekuasaan untuk mengatur dari atas: Pemimpin/YANG di atas mengatur yang berada di bawah/YIN. Energi Chi dari YANG berada di atas dan di tempatkan di atas. Chi Bumi yang berada di bawah, ditempatkan di bawah. Hubungan antara keduanya seperti minyak dan air saling menolak. Kepemimpinan yang hanya berhasil untuk jangka terbatas kemudian lapuk seperti di musim gugur lalu seolah berhenti di musim dingin. Dalam Kitab I Ching posisi kondisi ini ada di Titik No. 12/P’i/Stagnan. „„ Tiba-tiba terjadi Titik Fu/Balik No. 24: “Cahaya penuh kuasa yang selama ini ditekan telah kembali. Ada gerakan yang tidak berdasarkan kekuatan muncul alamiah dan spontan. Karena itu peralihan dari yang tua menjadi gampang. Yang lama ditinggalkan seraya yang baru diperkenalkan. Karena keduanya sesuai dengan masanya, tidak menimbulkan cedera.” Rakyat ditempatkan di atas dan angin ribut berada di bawah. Seperti ketika sekuntum bunga mekar, pertanda tibanya musim semi dan diikuti oleh bunga-bunga yang lain. Setelah Jokowi, muncul Walikota Surabaya – Gubernur Jawa Tengah – Walikota Bandung – Walikota Bogor – Bupati termuda di Kalimantan. „„ Kemudian bergerak menuju Titik No. 11/T’ai/Damai, Pemimpin/YANG diletakkan di bawah sehingga Chi nya ingin naik ke atas – Rakyat/ YIN ditempatkan di atas, sehingga Chi nya ingin turun ke bawah. Karena saling berinteraksi membuahkan harmoni/damai. Fenomena ini disebut pemimpin yang blusukan.

“Langit, Bumi dan aku berasal dari akar yang sama; Ribuan mahluk di dunia dan aku terbuat dari bahan yang satu. Oh bunga kecil, seandainya aku mengerti siapa engkau, akarmu dam semua, semua dan semua. Semestinya aku akan memahami siapa Tuhan dan manusia” Dilanjutkan Chang Zai 1020 – 1077:

”Langit adalah Ayah – Bumi adalah Ibu; Meski mahluk sekecil saya ini, telah menemukan tempatnya yang intim di antara keduanya. Karena itu semua isi alam semesta saya anggap sebagai tubuh saya. Dan yang mengarahkan alam semesta saya pandang sebagai bagian alamiah saya. Semua orang adalah kakak laki-laki dan perempuan saya. Dan semua benda adalah sahabat saya” 500 tahun kemudian dielaborasi oleh Wang Yang Ming (1472-1529), sebagai berikut:

“Orang besar menganggap Langit dan Bumi serta segenap isinya sebagai satu tubuh. Dia melihat dunia sebagai satu keluarga dan negara sebagai satu person. Mereka yang membuat pemisahan antara obyek dan membedakan antara dirinya dengan yang lain, adalah orang kecil. Bahwa orang besar menganggap Langit-Bumi dan segenap isinya sebagai satu tubuh bukan karena kehendaknya sendiri untuk melakukan itu. Tetapi karena merupakan sesuatu yang wajar dan alamiah dari pikirannya untuk melakukan hal itu” Karena itu memang benar ketika ditanya, ajaran baru apa yang mau diajarkan, Konfusius mengatakan “Tidak ada yang baru! Saya hanya menemukan yang lama dan melanjutkan saja”. Lao Tzu yang lebih senior mengatakan, ‘Ikan berenang seperti ikan – burung terbang seperti burung’. Agustus 2014

“Kalau diri sudah lurus, meski tampa memerintah semuanya akan beres. Kalau diri sendiri tidak lurus, meski memerintah tidak ada yang mengikuti” Wacana ini mestinya harus diajarkan di Sekolah Kepemimpinan. Karena itu memang benar sekali harus ada Revolusi Mental! Zen master Seng Ts’an (606) bahkan sudah mengatakan “When you see everything with your personal bias, your view of reality is clouded. Truth simply as it is, BUT the clouded mind cannot gasp it”. Meski menggunakan super mikroskop elektron dan komputer, kalau pikiran kita berkabut, tidak akan mampu menangkap realitas sebagaimana adanya. Kita lantas bertanya, apanya yang baru yang diajarkan di Sekolah Kepemimpinan yang disebut modern ini?

“Yang miskin perlu dibantu – Yang kaya perlu dididik” (Cheng Yen)

Konfusius mengatakan “Dari raja sampai rakyat jelata harus terus belajar sepanjang hidup!”

“Sebelum batu jade yang indah dipotong, ia tidak berbeda dengan batu dan genteng; Sebelum satu kuda yang baik dipacu, ia berbaur dengan kuda betina. Setelah dipotong dan dihaluskan, dipacu dan diuji, Batu Jade dan krikil; kuda perang dan betina bisa dibedakan”

Kalau kemudian mereka sampai pada Jalan Kepemimpinan ‘The Tao of Leadership’

“Mastering others is strength, mastering yourself is true power” “He who know others is wise, He who knows himself is enlightened” Knowing others is intelligence, Knowing yourself is true wisdom” maka dikatakan “To the mind that is still, the whole universe surrenders”. Hanya dengan pikiran yang hening, bisa menaklukkan seluruh alam semesta karena bisa “ngeluruk tanpa bala – menang tanpa ngasorake”. Kita melihat di TV bagaimana seorang wanita muda mengorganisir “Blood for Life” setelah melihat bagaimana sulitnya orang mendapat donor darah ketika mau dioperasi. Dalam wawancara Jokowi dengan salah satu tv swasta dalam rangka HUT Kemerdekaan ke-69 RI, ia kembali mengatakan pentingnya Revolusi Mental yang perlu dilakukan bangsa ini agar kerja keras para pahlawan yang memproklamirkan kemerdekaan RI tidak sia-sia. Memperbaiki sistem dengan serba dikomputerisasi, akhirnya yang melakukan manusia juga. Lantas siapa yang mengontrol manusia? Aksara kanji mengajar kesadaran ini ketika menulis kata “Xin/Hati”. “Peran Pemimpin seperti angin; ke mana bertiup ke situlah rumput akan rebah” (Konfusius) Kita sedang mendengar “Kembalinya Pendekar Rajawali Sakti” Seni Memimpin yang mengalir seperti air, barang terlunak di dunia, menggerus dan meresap masuk ke Sekolah Kepemimpinan. Inilah ‘tanda-tanda zaman’ yang seharusnya ditangkap dan direspons oleh siapapun yang mau menjadi Presiden dan Wakil Presiden dalam Pemilu saat ini dan selanjutnya.

Agustus 2014

19