Perpustakaan Nasional RI. : Katalog Dalam Terbitan (KDT) Wiratno NAKHODA Leadership Dalam Organisasi Konservasi Cet. 1 - Jakarta 16, 108; 12x17 cm ISBN 979-96837-7-7 Tata letak: Rully Prayoga, Sunardi Penyunting: Fachruddin Mangunjaya, Darmanto © Wiratno, Conservation International IndonesiaFebruari 2005 Hak cipta dilindungi Undang-undang Diterbitkan oleh Conservation International Indonesia
“Kita sekarang tahu bahwa galaksi kita hanyalah satu dari beberapa ratus ribu juta galaksi yang dapat diamati dengan menggunakan teleskop modern…” Stephen W. Hawking, Penulis Buku “Teori Segala Sesuatu: Asal-usul dan Kepunahan Alam Semesta”
KATA PENGANTAR Jatna Supriatna. Ph. D Regional Vice President Conservation International Indonesia
Salah satu persoalan mendasar dalam membangun dan mengembangkan organisasi konservasi adalah kemampuan kepemimpinan atau lebih populer disebut leadership. Oleh karenanya, persoalan itu diurai, dibedah, dianalisis, dari berbagai aspek antara lain aspek manusia dan organisasi. Inilah intisari yang kemudian disajikan dalam rangkaian Bab-bab dalam buku mungil ini. Di tengah hujan kritik praktik pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia, persoalan kepemimpinan dan pengembangan organisasi menjadi salah masalah yang paling dominan. Pesatnya perkembangan inisiatif baru penyelamatan hutan-hutan tropis yang masih tersisa di Indonesia belum diimbangi dengan pertumbuhan organisasi yang mumpuni dan kepemimpinan yang handal. Buku ini merupakan hasil perenungan atas pengalaman saudara Wiratno selama menjadi v
Kepala Unit KSDA Jogjakarta (1999-2001) dan Analis Kebijakan (2001-2003) dan secara intensif mengawal program konservasi pulau Siberut (2003-2004) di Conservation International Indonesia. Bersamaan dengan penyelesaian draft akhir buku ini, Wiratno ditugasi oleh Departemen Kehutanan menjadi Kepala Balai Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Tugas yang berat tetapi menantang. Seperti halnya gerakan konservasi lingkungan di Indonesia, skala persoalan konservasi di TNGL sangat besar dan kompleks. Mencakup pengamanan kawasan, pembinaan staf, pengembangan berbagai inisiatif kolaborasi, dan peningkatan komunikasi dan koordinasi dengan pemerintah daerah. Buku ini diharapkan akan menjadi pegangan ketika penulis menghadapi persoalan-persoalan konservasi dan pengembangan organisasi di TNGL. Lebih dari itu, tentunya naskah ini ditulis untuk semua orang. Buku ini dapat menjadi pelajaran bagi kita dalam memberi semangat, mendorong usaha-usaha, dan memberikan inspirasi dalam kerja konservasi di Indonesia.
vi
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis berhutang pada banyak orang atas terbitnya buku ini. Pada awalnya, ide penulisan embrionya tumbuh dari diskusi penulis dengan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan, Mas Suharyanto. Kami berbagi ide tentang pencarian metode memperbaiki oganisasi publik agar lebih responsif dan sensitif terhadap berbagai tuntutan perubahan zaman. Hasil diskusi yang inspiratif itu mendorong penulis membongkar-bongkar lagi ingatan, setumpuk buku, sederetan koran lama, bahan-bahan Sekolah Penjenjangan Administrasi Madya 1999, dan buku-buku tentang leadership dalam kaitannya dengan pengembangan organisasi publik. Bahan tertulis proses perencanaan di kantor Unit Konservasi Sumberdaya Alam Yogyakarta— di mana penulis bekerja menjadi Kepala Unit selama dua tahun (1999-2000)—juga menjadi batu pijak untuk menulis draft buku ini. Kala itu, penulis berkesempatan diskusi maraton dengan Kepala Bidang Bina Program, Mas R. B. Wiyono. Penulis, dengan segenap kesimpulan yang masih samar-samar dari diskusi itu, menilai, persoalan dasar yang ada di tubuh organisasi salah satunya adalah kepemimpinan (leadership). vii
Kesimpulan yang setengah mentah itu semakin matang setelah penulis bertemu dan mengasah wawasan bersama Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan, Mas Wahyudi Wardojo. Beliau tak kenal lelah menarik pelatuk diskusi mengenai pentingnya leadership para pengelola kawasan konservasi di Indonesia. Hasil diskusi itu penulis dokumentasikan secara sporadik. Beberapa versi awal buku ini telah beredar dan menjadi bahan diskusi terbatas di Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA): Pak Kusno, Pak Minto Basuki, Bu Ary Hastuti, dan lainnya telah memperkaya draft tersebut dengan komentar dan catatan-catatan yang berharga. Conservation International Indonesia (CII) ibarat laboratorium untuk mengolah pelbagai ide dan gagasan bagi penulis. Jatna Supriatna, Vice President for Regional CII memberikan pengalaman berharganya dalam membangun leadership. Beliau juga memberi kata pengantar. Suer Surjadi, kolega penulis saat di CII Program Papua, memberi ilham dengan kapasitas leadership-nya yang luar biasa. Konsistensinya juga membuat takjub penulis walau akhirnya kami “berpisah” akhir September 2004. Penulis juga berhutang pada Tony Suhartono, rekan senior di PHKA atas kritik struktur dan isi buku. Pertanyaanviii
pertanyaan pentingnya membuat buku ini menjadi lebih nyaman dibaca dan dimengerti. Yando Zakaria, pengulas yang tajam dan jernih, telah menunjukkan sisi lemah draft buku ini. Ia juga menyumbang analisa-analisa dengan cakrawala yang luas dan konstruktif. Saransarannya mendorong penulis untuk bekerja keras menulis buku yang lebih bermanfaat dan berguna. Buku sederhana ini tak akan selesai tanpa bantuan teman-teman kantor di CII: Rully Prayoga yang akhirnya “terdampar” di Siberut untuk program RARE Campaign. Ketekunannya menyiapkan lay-out dan diskusi malam hari sepanjang dua bulan di Gang Mawar Pasar Minggu pada paruh tahun 2003 membuat buku ini mencapai bentukya sekarang ini; Dessy atas hadiah The New Leaders-nya Daniel Goleman; Prasasti Ashandimitra memberi pelajaran dan cara pandang memahami kultur corporate dan kemungkinan-kemungkinan penerapannya pada organisasi publik serta pinjaman The Complete Guide to Nonprofit Management-nya Smith Bucklin; Hari Kushardanto dari RARE Program atas komentar tertulis mengenai persoalan organisasi; Fachruddin Mangunjaya, Redaktur TROPIKA, atas keterlibatannya dalam proses produksi; Amalia Firman selalu memberikan kesempatan ix
penulis untuk terlibat aktivitas INFORM dan memperkenalkan pada jaringan media (antara lain Mas Yudi Internews, Mas Binyo 68 FM-Interfaith); Nanang si ahli teknologi informasi, setia menolong kalau ada kesulitan dalam hal-hal teknis; Cece, mantan Direktur WALHI Sumatra Barat, yang memedam talenta membangun networking. Beberapa inspiring persons: Kang Edy Hendras-penulis paling produktif di CII; Iwan Setiawan dari PILI, Baehaqi, fasilitator-lepas handal dan tahan banting yang bekerja dari desa ke desa; Soewartono-Kepala Balai TN Kerinci Seblat yang tekun dan konsisten kerja di lapangan, si potensial Roby-SI;tak terlupakan, Darmanto Simaepa-editor dadakan serta Abang Barita O Manullang-pencermat terakhir, kata demi kata, sebelum draft naik cetak. Juga kepada semua orang yang telah menjadi guru—melalui pertemanan, pekerjaan, atau pertemuan singkat—yang tak bisa penulis sebutkan satu persatu, penulis berhutang kepada kalian semua... Akhirnya, penulis serahkan pada pembaca untuk mengambil manfaat gagasan dan inspirasi dari pelbagai pendapat pakar yang dikumpulkan, diulas, dan contoh nyata dalam buku kecil dan ringkas ini. Small is not just beautiful...” Wiratno
x
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR v UCAPAN TERIMA KASIH vii DAFTAR ISI xi PRAKATA xiii SAMBUTAN CETAKAN KEDUA xviii SELAYANG PANDANG MULLER-SCHWANER xx I. PENDAHULUAN 1-9 II. ORGANISASI PUBLIK 10-19 III. MANUSIA DAN POLA KEPEMIMPINAN 1. Manusia 20 2. Kapasitas Kepemimpinan 23 3. Kompetensi Pemimpin 36 IV. MEMBANGUN ORGANISASI 1. Visi 57 2. Misi 61 3. Strategi yang Efektif 62 4. Rencana Strategis 64 V. MEMBANGUN KEMITRAAN 77-93 VI. MENJADI ORGANISASI PEMBELAJAR 94-101 DAFTAR RUJUKAN
102 xi
PRAKATA Gerakan konservasi alam dan lingkungan hidup di Indonesia sekurang-kurangnya menghadapi tiga masalah pokok. Pertama, sumber daya manusia yang berkualitas masih sangat terbatas. Mencari orang yang memiliki komitmen kuat dalam membangun gerakan konservasi, baik di tingkat kebijakan maupun di lapangan ibarat mencari jarum dalam jerami. Semakin hari semakin langka. Pengalaman penulis saat bekerja di birokrasi memberi banyak pelajaran. Orang yang bekerja di organisasi pemerintah didera persoalan-persoalan seperti ini, pertama, kapasitas kepemimpinan yang lemah, manajemen yang tidak terencana dengan baik, pemetaan persoalan yang kacau sementara kondisi lapangan berubah dengan cepat, kurangnya data dan informasi mutakhir, rendahnya kekompakan tim kerja, minimnya mitra, luasnya kawasan yang dikelola, pendanaan— rutin maupun keproyekan—yang selalu kurang. Kedua, persoalan struktur dan kultur organisasi. Organisasi konservasi kebanyakan tidak didisain untuk menghadapi perkembangan xiii
zaman. Sementara budaya terbuka dan adaptif terhadap penemuan-penemuan baru juga belum terinternalisasi dengan secukupnya. Contoh paling nyata adalah bagaimana reaksi organisasi konservasi ketika terjadi gelombang desentralisasi dan devolusi birokrasi. Otonomi, yang tidak didisain dan dikawal di tingkat kabupaten, tiba-tiba seperti badai retorika. Meskipun kata-kata otonomi seperti buih lautan, dan hampir-hampir menjadi bahasa yang sangat inflatif, organisasi konservasi tak bisa menyesuaikan diri dalam praktisnya. Daerah terguncang dan mengalami turbulensi. Posisi organisasi konservasi di daerah mengalami gugatan. Peran, tanggung jawab, niat baik dan kewenangan pengelola kawasan konservasi — terutama milik pemerintah— dipertanyakan, digugat, dan diabaikan. Sementara itu, struktur organisasi yang kental nuansa vertikal sulit responsif dan antisipatif terhadap perkembangan di lapangan. Pengecualian tentu tetap ada untuk beberapa organisasi yang disokong oleh leadership yang trengginas dan konsisten. Ketiga, mitra kerja organisasi konservasi memiliki berbagai kendala yang tidak kecil. Pilihan-pilihan investasi lembaga mitra gampang xiv
dideterminasi oleh lembaga induk (donor). Di lain pihak, kebijakan konservasi lembaga induk belum tentu seirama dengan prioritas investasi konservasi di Indonesia. Implikasinya, sinergi mitra dengan pemangku kawasan seperti dua orang yang berjalan ke arah yang berbeda. Tujuan jangka panjang boleh jadi sama namun platform belum menjadi common interest. Buku ini bisa disebut sebagai kristalisasi rentetan persoalan-persolan seperti di atas. Kristal-kristal buku berdasarkan pengamatan penulis, yang terbatas dan lagi pula mungkin tidak benar, khususnya terhadap perkembanganperkembangan baru di lapangan dan dinamika organisasi konservasi sejak lima tahun terakhir ini. Hasil pengamatan dan pengalaman tersebut, direfleksikan dengan gagasan dari literatur dan dialektikan dengan konteks sosial di Indonesia. Semoga memberi inspirasi bagi kolega-kolega yang bekerja di lembaga pemerintah maupun di lembaga swadaya masyarakat. Buku ini tidaklah berpretensi untuk luar biasa. Buku ini hanya mengajak untuk menilai kembali, menghitung ulang dan berefleksi terhadap pelbagai ikhtiar yang telah dilakukan, baik secara bersama-sama maupun personal. Beberapa momen berharga, seperti Reuni 40 Tahun Fakultas xv
Kehutanan UGM, 19-20 September 2003 dan Workshop Sylva Indonesia di Universitas Tadolako, Palu, 16 Oktober 2003, memberi kesempatan draft awal tulisan ini dibagi dan didiskusikan. Kesempatan itu berbuah kritik, komentar dan masukan yang tak ternilai. Semoga kumpulan gagasan sederhana ini bermanfaat bagi rekan Kepala Balai Taman Nasional, Kepala Balai Konservasi Sumberdaya Alam se-Indonesia dan lembaga swadaya masyarakat serta pegiat konservasi di lapangan. Atau, bagi siapa saja yang menghadapi persoalan-persoalan internal organisasi. Semoga para pegiat konservasi kelak menjadi juru kemudi atau NAKHODA organisasi dalam menghadapi perubahan-perubahan yang gencar di sekitar kita. Buku ini jauh dari sempurna. Meskipun begitu, semoga buku kecil ini menjadi mitra kawankawan di lapangan. Juga bermanfaat dan memberi insight. Untuk itu, masukan kawankawan yang kaya pengalaman lapangan, dapat memperbaiki dan memperkaya ide-ide dalam buku ini, agar lebih bernas, berisi, dan memberikan kemanfaatan nyata. Jakarta, 10 Desember 2004 Wiratno xvi
SAMBUTAN CETAKAN KEDUA Sejak diterbitkan pertama kalinya pada akhir tahun 2004, buku Nakhoda ini beredar di berbagai kalangan, baik Kepala Balai dan staf TN/KSDA, lembaga swadaya masyarakat, maupun perseorangan. Pada umumnya mereka memberikan respon positif. Pertama, belum pernah diulas hal-hal yang menyangkut organisasi konservasi sebagai organisasi publik yang mengemban amanat pengurusan persoalan lingkungan dan konservasi alam secara khusus. Apalagi apabila ditinjau dari salah satu inti persoalan organisasi, yaitu leadership. Perjumpaan penulis dengan Saudara Ambang Wijaya, salah seorang manajer WWF untuk regional Kalimantan, khususnya yang bekerja di Heart of Borneo (HoB), pada pertengahan tahun 2010, telah mendorong inisiatif penerbitan ulang Nakhoda. Tujuannya agar Nakhoda dapat memberikan suntikan “darah” dan spirit kawankawasan yang sedang bekerja di HoB. Suatu pekerjaan besar yang memerlukan leadership, alignment, dan komitmen jangka panjang para xviii
pihak. Hal yang tidak mudah dilaksanakan tetapi sangat menantang dan adalah pekerjaan mulia. Terhadap upaya penerbitan ulang oleh Yayasan WWF Indonesia, dengan beberapa perbaikan dan tambahan kajian dan rujukan, penulis sampaikan penghargaan dan ucapan syukur. Semoga semakin banyak kawan-kawan pegiat lingkungan termasuk Pemerintah Daerah di seantero kawasan HoB yang mendapatkan manfaat dari membaca buku Nakhoda ini. Penulis percaya dan yakin bahwa buku akan menemukan pembacanya pada waktunya. Penulis sampaikan terima kasih kepada Dr.Jatna Supriatna-Vice President Conservation International Indonesia, yang telah mengijinkan pencetakan kedua buku ini, dan Fachrudin Mangunjaya-Conservation International Indonesia, yang telah membantu meminjamkan dummy Nakhoda. Semoga Allah swt, Sang Maha Pencipta, meridhoi semua niat baik ini dan selalu memberikan hidayah dan ketegaran bagi mereka yang terus menerus memperjuangkan kelestarian alam di planet bumi ini. Penulis Jakarta, akhir Juli 2010 xix
SELAYANG PANDANG MULLER-SCHWANER Muller - Schwaner adalah sebutan yang diberikan untuk gugusan pegunungan di bagian jantung Kalimantan (Heart of Borneo) yang menghubungkan langsung 3 (tiga) kawasan konservasi, yaitu: TN Betung Kerihun, TN Bukit Baka-Bukit Raya dan CA. Sapat Hawung. Selain itu, dilihat dari lanskap yang terbentuk, kawasan ini juga tidak dapat dipisahkan secara ekologis dengan kawasan TN. Kayan Mentarang dan TN. Danau Sentarum. Kedua pegunungan ini merupakan sebuah koridor ekologis yang menghubungkan berbagai jenis hidupan liar (flora fauna) beserta ekosistemnya di kelima kawasan konservasi tersebut, menjadikannya sebagai kawasan bernilai penting dan strategis dalam mendukung dan menyangga keberlangsungan kehidupan makluk hidup termasuk manusia. Sejarah nama Muller-Schwaner Lebih dari satu setengah abad yang lalu, seorang ahli geologi, biologi dan petualang bernama Gustaaf Adolf Frederik Molengraaff xx
(1860-1942) menamakan wilayah ini dengan sebutan Pengunungan Muller dan Pegunungan Schwaner, yang ditujukan sebagai penghargaan bagi dua orang penjelajah Borneo yang berhasil melakukan ekspedisi yang luar biasa melintasi rimba Borneo yang nyaris tak pernah dimasuki oleh penjelajah sebelumnya (pristine forest). Mayor Georg. Muller, pimpinan misi pemerintah Kerajaan Belanda, pada tahun 1825 melakukan ekspedisi melintasi Hutan Borneo dari ujung timur hingga barat. Tujuh belas tahun kemudian, seorang petualang berkebangsaan Jerman, C.A.L.M. Schwaner, melakukan dua rangkaian ekspedisi (1843 dan 1848) melintasi Borneo dari bagian selatan hingga barat Borneo. Cakupan Kawasan dan Fungsi MullerSchwaner Luas keseluruhan kawasan pegunungan ini adalah sekitar + 2.252.000 hektar, yang tersusun dari tipe hutan primer dan sekunder. Secara administrative, kawasan Muller-Schwaner berada di tiga provinsi, yaitu: Kalimantan Barat (Kab. Sintang, Melawi dan Kapuas Hulu), Kalimantan Tengah (Kab. Murung Raya, Gunung Mas dan Katingan) dan Kalimantan Timur (Kutai Barat). Status fungsi kawasan hutan Muller Schwaner xxi
meliputi Hutan Lindung, yaitu Bukit Batikap (Kalteng) dan Pangihan Lambuanak (Kalbar) yang pengelolaannya berada dalam kewenangan pemerintah daerah (Dinas Kehutanan); serta sebagian Hutan Produksi (HP) dan HP Terbatas. Kawasan Muller Schwaner, dengan beragam sumberdaya alam yang dikandungnya, tidak dapat dipungkiri lagi fungsi dan peranannya dalam mendukung keberlangsungan hidup masyarakat adat local. Beratus-ratus tahun lamanya masyarakat adat (suku dayak) memenuhi kebutuhan hidup, agama dan tradisi budayanya dari pemanfaatan kawasan ini. Suku Dayak yang terbagi dalam 11 dialek merupakan masyarakat yang dikenal arif dalam pemanfaatan sumberdaya alam (hutan). Pegunungan Muller yang bersambungan dengan Pegunungan Schwaner merupakan kawasan tangkapan air bagi sungai-sungai besar di Kalimantan dan berperan sebagai “menara air” di jantung Pulau Borneo. Sungai-sungai besar itu antara lain Sungai Kapuas, Katingan, Kahayan, Barito dan Mahakam. Selain sebagai kawasan tangkapan air yang penting di Pulau Kalimantan, kawasan ini menyimpan beragam jenis sumber daya hutan yang diperlukan untuk menunjang kehidupan xxii
masyarakat di sekitarnya. Sebuah kajian etnobotani di Desa Tumbang Naan menunjukkan intensitas ketergantungan masyarakat terhadap sumber daya hutan. Dari sekitar 400 jenis tumbuhan yang biasa dimanfaatkan untuk menunjang kehidupan masyarakat setempat, hanya baru sekitar 50 jenis yang telah dibudidayakan, sedangkan selebihnya masih diambil langsung dari alam. Pesona Hayati Muller Schwaner Tingginya keanekaragaman hayati yang dikandung oleh kawasan ini menjadi salah satu dasar dari upaya kita bersama untuk melindunginya. Sekitar 65% dari seluruh jenis burung yang ada di Kalimantan, dapat kita temukan di kawasan ini. Selain itu, dari hasil penelitian yang hanya dilakukan kurang dari tiga tahun, telah dicatat terdapat 2 jenis primata dan 1 satwa pemakan daging atau karnivora (Neofelis nebulosa) yang terdaftar sebagai Appendix I CITES, 2 primata dan 1 jenis binatang pengerat yang terdaftar sebagai Appendix II, dan 5 jenis ikan yang baru tercatat (new record). Hal ini menggambarkan se-begitu tingginya kekayaan hayati kawasan pegunungan Muller-Schwaner.
xxiii
Program Muller-Schwaner WWF Indonesia WWF Indonesia sejak tahun 2008 telah memfasilitasi berbagai kegiatan yang bertujuan untuk menciptakan kondisi pemungkin dalam mewujudkan efektifitas pengelolaan kawasan Muller-Schwaner. Beberapa kegiatan yang telah dilakukan antara lain: Kajian kondisi social ekonomi masyarakat desa di sekitar kawasan Muller-Schwaner di Kab. Murung Raya, Gunung Mas dan Katingan; Perencanaan Konservasi dan pemetaan Partisipatif, kajian-kajian ilmiah untuk menggali keragaman hayati kawasan dan nilai jasa lingkungan dan ekowisata. Dalam inisiasi dan pelaksanaan berbagai kegiatan, WWF Indonesia selalu melibatkan berbagai pihak terkait, antara lain pemerintah daerah dan pusat, kelompok kerja HoB Nasional, provinsi dan kabupaten, akademisi, LSM local, masyarakat setempat dan pihak-pihak terkait lainnya. “Buku Nakhoda ini perlu dijadikan salah satu acuan dalam mengembangkan leadership, dan jejaring para pihak, seperti inisiatif pelestarian MullerSchwaner yang memerlukan keterlibatan banyak pihak, konsistensi dan keterpaduan kebijakan lintas sektor“ xxiv
Bab I
PENDAHULUAN Tak banyak literatur di Indonesia yang dapat dijadikan acuan untuk merancang organisasi yang bergerak di bidang konservasi alam dan lingkungan. Padahal, organisasi konservasi di Indonesia begitu banyak dan begitu beragam. Organisasi sendiri laksana kendaraan yang kita tumpangi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Tujuan semua kendaraan itu jelas: alam dan lingkungan terkelola dengan baik dan bisa dimanfaatkan secara berkelanjutan. Kendaraan yang baik akan mempermudah kita mencapai tujuan. Sementara kendaraan yang bobrok akan mudah terperosok dan lunglai di jalan. Membangun organisasi yang kuat, barangkali sama pentingnya dengan menetapkan tujuan itu sendiri. Persoalan umum dan kunci yang muncul di organisasi pemerintah maupun lembaga nonpemerintah, antara lain sebagai berikut: tiadanya nilai dan visi bersama, ketakmampuan menetapkan arah strategis, tingkat kemitraan yang rendah, gaya kepemimpinan yang keliru dan sembarangan, ketrampilan yang pas-pasan, 1
kepercayaan antar komponen rendah, dan integritas yang tidak dibangun. Selain problematika di atas, organisasi juga mengidap penyakit menahun seperti pendanaan yang terbatas: dana yang seret, mengalir tidak kontinyu dan kerap datang terlambat. Belum lagi ditambah keruwetan sistem birokrasi di Indonesia yang kaku dan terpusat. Akhirnya, organisasi dan pegiatnya terjebak sekadar memenuhi pelaporan kegiatan (fisik dan keuangan). Keterjerumusan ini membawa gelombang kejumudan organisasi. Hampir-hampir semua kegiatan dinilai di atas ukuran ini: seberapa besar prosentase dana yang berhasil diserap dan seberapa banyak kegiatan fisik yang telah selesai dilaksanakan tanpa mempertimbangkan konteks sosial, dampak di lapangan, dan seberapa pengaruh terhadap etos kerja staf, kapasitas organisasi, dan kesadaran masyarakat. Penyakit itu mungkin lebih akut pada organisasi pemerintah meskipun lembagalembaga swadaya masyarakat, dengan akuntabilitas dan wewenang kerja yang lebih gampang diukur, juga tak luput dari penyakit menular ini. Lain tidak, untuk mengetahui dampak lapangan langsung (direct field impact) kegiatan konservasi, diperlukan semacam evaluasi. Evaluasi ini lebih 2
banyak mempertimbangkan hasil capaian (output). Bukan sekedar masukan (terutama dana) semata. Hingga kini kebanyakan indikator capaian tidak disiapkan sejak awal program: apa kriteria dan tolok ukurnya, serta apa metode pengukuran. Dalam banyak kasus indikator capaian ini memuat proses yang panjang dan keterlibatan banyak pihak. Kita bisa ambil sampel dari capaian membangun kemitraan dengan organisasi lain atau pihak yang berkepentingan dalam satu kawasan. Proses mencapai hasil yang baik harus diukur dalam jangka panjang dan melibatkan aktor di luar organisasi itu sendiri. Salah satu hal yang kerap dilupakan di organisasi adalah perumusan identitas atas keunggulan daya saing. Umumnya hal ini disepelekan oleh organisasi yang sedang berkembang. Lazimnya organisasi ini sedang mencari identitas atau core competency-nya. Kenapa hal itu terjadi? Tak bisa disangkal, organisasi tidak terbiasa memiliki rencana yang strategis. Semuanya di selesaikan di tengah jalan. Akhirnya: amburadul dan sporadik. Mengapa Rencana Strategis (RS) begitu penting? Rencana Strategis membantu organisasi pada arah yang lebih fokus dan strategis. Dalam hal ini, arah mengacu pada pengertian, pada satu titik 3
tertentu apabila investasi tidak dilakukan terhadapnya, sebuah organisasi akan kehilangan jati dirinya, kehilangan “core “ kompetensinya, kehilangan kesempatan mengolahnya, atau kehilangan mandat yang diembannya. Mandat itu sendiri suatu kepercayaan dan legitimasi dari sesuatu yang diwakilinya. Ia bisa saja pemerintah, masyarakat, publik, maupun, orang-perorang. Apabila ia kehilangan mandatnya dan juga arahnya, organisasi tersebut tak ubahnya banteng yang terluka. Mungkin kuat dan bertenaga, tapi tak tahu mau kemana dan melakukan apa terhadap konstituennya. Semua energi kinetik dan magnetik organisasi menguap entah kemana, sehingga keberadaannya tidak memberikan manfaat. Lambat laun dengan cara yang sempurna, organisasi itu akan kehilangan legitimasi, wibawa, dan pengakuan dari konstituen, atau organisasi lain. Arah strategis berhubungan dengan pembacaan strengh atau kekuatan, kelemahan (weakness), peluang (opportunity), dan ancaman (threat) yang akan menopang atau memerosotkan mandat organisasi tersebut. Sekarang kita ambil contoh organisasi pemerintah yang bergerak di bidang lingkungan hidup atau konservasi alam. Ia mendapatkan mandat dari negara melalui peraturan per4
undangan. Akan tetapi, diteropong dengan perspektif yang luas, lingkungan hidup dan konservasi alam adalah persoalan bersama— masyarakat yang hidup di dalamnya, lembaga publik non-pemerintah, pihak luar negeri, atau lembaga swasta. Lingkungan hidup bukanlah urusan organisasi pemerintah belaka. Ia merupakan the common problems yang dalam hitungan waktu yang sama juga menjadi the common interest. Apalagi lingkungan hidup adalah ruang maha besar yang menjadi habitat manusia, flora, dan fauna. Di mana mereka saling berinteraksi saling mempengaruhi, jalin menjalin membentuk jaringan kehidupan. Setiap perubahan lingkungan akan berdampak langsung bagi manusia. Sebut saja berbagai tragedi bencana alam—banjir, longsor, kebakaran, epidemi penyakit, pencemaran air akibat pertambangan. Dengan cara pandang yang lebih lengkap, persoalan lingkungan hidup bukan hanya menjadi interest atau tugas organisasi pemerintah. Lingkungan adalah concern dan tanggung jawab organisasi non-pemerintah dan seluruh komponen masyarakat. Aktivis lingkungan terkemuka, George J. Aditjondro (2003) membagi kelompok kepentingan di bidang lingkungan menjadi tiga bagian 5
besar: 1) kelompok masyarakat yang langsung terkena dampak kerusakan lingkungan hidup, 2) kelompok yang mendapatkan mandat rakyat untuk melaksanakan tugas mengelola lingkungan hidup, melalui hukum dan perundanganundangan. Misalnya Departemen Kehutanan dan jajaran unit-unit pelaksanan teknis di bawah Balai Taman Nasional atau Balai Konservasi Sumber Daya Alam/KSDA atau Kementrian Negara Lingkungan Hidup, dan 3) kelompok advokasi yang umumnya lembaga swadaya masyarakat. Ketiga kelompok tersebut, dalam kasus Indonesia, adalah pilar utama yang sangat berkepentingan terhadap kondisi lingkungan hidup. Latar belakang, tujuan, mandat, dan kompetensi masing-masing lembaga tersebut mewarnai sikap, posisi, dan respon yang berbeda-beda dalam memandang persoalan lingkungan hidup. Konflik kepentingan pada masa lalu, dan efeknya juga masih bekerja sekarang, kelompok-kelompok ini kurang membangun komunikasi apalagi hubungan yang saling menguntungkan atau harmonis. Upaya keras namun parsial yang telah mereka lakukan terbukti tidak mampu menyelesaikan persoalan inti lingkungan hidup. Konflik, pertarungan, saling serang bahkan hingga pengadilan adalah sarapan pagi bagi tiga 6
komponen tersebut. Jika pepatah lama mengatakan gajah bertarung sama gajah, maka pelanduk yang remuk redam itu tak lain adalah masyarakat. Sementara kayu-kayu dari hutan masyarakat telah berubah menjadi dolar, api membakar ladang-ladangnya, deru alat berat pertambangan terus mengeruk kekayaan alamnya, limbah-limbah menyimpan penyakit berbahaya terus menumpuk, pemerintah dan kelompok advokasi terus bertikai, merasa benar, bertarung tanpa henti seolah-oleh menjadi Kurawa dan Pandawa. Saya kira, kita tidak lagi harus kembali pada zaman yang menyimpan sejarah pertikaian itu. Jika kita sepakat bahwa tugas masing-masing dari kita adalah membuat lingkungan lebih baik, mengapa kita seperti minyak dan air? Dan bahkan hampir-hampir sesempurna ibarat itu. Apabila pelbagai pihak menyadari, kerjasama atau kolaborasi adalah keniscayaan pada zaman kita ini. Kolaborasi, dengan kekuatannya yang tersembunyi, akan menjadi legitimasi yang sahih dan masuk akal bagi penyelesaian persoalan untuk masing-masing pihak. Hal ini bukan saja menyangkut penyelesaian persoalan tetapi juga tentang bagaimana mengembangkan potensipotensi sumberdaya alam itu secara bersama dan 7
menghindarkan diri dari sikap egoisme dan kekanak-kanakan dalam persoalan lingkungan. Barangkali kolaborasi dalam pengertian gerakan lingkungan hidup agak dibedakan dengan organisasi profit yang menghindarkan diri dari kerjasama karena persaingan aset atau pasar. Kolaborasi, dengan stakeholders yang beragam dan lapisan organisasi yang kompleks akan menghasilkan jejaring kerja atau network secara horisontal dan vertikal. Networking inilah salah satu kendaraan baru bagi organisasi konservasi alam dan lingkungan agar dapat melakukan movement atau gerakan yang meluas dan diharapkan dapat memberikan satu pemahaman dan kesadaran baru tentang pentingnya konservasi alam dan perbaikan kualitas lingkungan hidup. Di atas segalanya, prasyarat utama kolaborasi, resolusi konflik, perbaikan perilaku organisasi, pembentukan networking adalah leadership (kepemimpinan) yang kuat dan konsisten. Kepemimpinan yang kuat dan kolektif adalah komponen paling penting organisasi yang menantang zaman. Kepemimpinan yang tahan banting pasti memiliki kelenturan yang mampu bersikap antisipatif terhadap perubahan mendadak, mengejutkan, dan mengancam eksistensi 8
dan peran organisasi. Kepemimpinan yang kuat dapat membawa organisasi berperan sebagai murid yang haus pengetahuan. Sebagai murid organisasi punya sikap belajar dan menjadi learning organization. O’Toole (2002) menyatakan bahwa pola kepemimpinan bersama atau joint leadership telah dimulai sejak tahun 1970-an di Amerika. Taruhlah contoh di Indonesia adalah pengelolaan kawasan konservasi. Dengan masalah yang sebegitu rumit dan kawasan yang sedemikian luas kita bisa mengambil pelajaran dari O’Toole. Dengan cara tertentu, organisasi dapat mempunyai dua pimpinan. Kepemimpinan bersama lahir dari perbedaan gaya, kepentingan, dan keahlian. Keduanya memiliki keahlian yang saling melengkapi. Misalnya Bill Gates jenius didampingi oleh orang keduanya-Steve Ballmer yang seorang pelaksana yang handal. Bagaimana dengan model leadership di organisasi konservasi? Pertanyaan kunci inilah yang menjadi tema sentral dan mewarnai hampir seluruh buku ini.
9
Bab II
ORGANISASI PUBLIK Ciri organisasi publik adalah mandat yang diemban memiliki konstituen yang luas. Mandat ini dapat berupa amanat rakyat melalui undangundang. Hampir semua organisasi pemerintah atau lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang konservasi alam dan atau lingkungan hidup adalah organisasi publik. Sebagai organisasi publik, organisasi ini mempertanggungjawabkan keberhasilan dan kegagalannya kepada publik. Lain halnya organisasi swasta yang keberhasilannya diukur dari produksi, penjualan, atau keuntungan dan mempertanggung jawabkannya kepada pemegang saham atau shareholders (Kushardanto, komunikasi pribadi, 2003). Organisasi publik baik pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat yang mengemban amanat publik, akuntabilitasnya lebih beragam dan dalam beberapa hal lebih sulit diukur secara kuantitatif. Akuntabilitas ini menyangkut output yang seringkali tidak terukur. Organisasi publik idealnya harus memiliki akuntabilitas di bidang: 10
administrasi keuangan; teknis-substansi, moral, etis, dan kultural. Pertanggungjawaban administrasi keuangan dilakukan dengan koridor peraturan yang jelas dan ketat. Tertib administrasi keuangan diukur dari aturan-aturan standar keuangan yang berlaku. Pertanggungjawaban teknis-substansi artinya hasil-hasil kegiatan organisasi tersebut harus dapat diaudit secara teknis dan dari segi substansi dapat memberikan dampak positif; memberikan kemanfaatan yang sebesar-besarnya untuk kepentingan publik. Namun demikian, pengukuran dampak ini seringkali tidak (sempat) dilaksanakan secara tertib dengan alasan berbagai kendala lapangan. Peninjauan lapangan terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilaporkan seringkali tidak dilakukan. Apalagi mengukur dampak di tingkat masyarakat, pasti sangat jarang dilakukan. Inilah sistim auditing tertutup yang sangat tidak memberikan ruang proses partisipasi dan pembelajaran bagi publik. Dan hal ini telah berlangsung berpuluh-puluh tahun dari sistim pembangunan nasional yang sentralistik itu.
11
Pertanggungjawaban secara moral atau etis artinya bahwa organisasi publik harus bisa mempertanggungjawabkan semua kegiatannya pada batas-batas moralitas dan etika yang hidup di masyarakat setempat. Pertanggungjawaban secara kultural diukur sejauh mana aspirasi lokal dan pertimbangan nilai-nilai lokal masyarakat menjadi bagian integral program organisasi konservasi. Ini menyangkut penghargaan terhadap kebudayaan dan pandangan hidup masyarakat. Nilai kultural suatu masyarakat berbeda dengan masyarakat lain dan hal itu terkait dengan kondisi geografis, geologis dan klimatik yang spesifik. Apresiasi yang tinggi terhadap nilai kultural setempat merupakan bagian penting berhasilnya program konservasi. Yang kerap terjadi, proyek konservasi secara teknis dan keuangan berlangsung sukses. Akan tetapi proyek tersebut tidak diterima atau masyarakat tidak buy-in program tersebut. Dari keempat pertanggungjawaban yang harus dipenuhi dalam program konservasi, umumnya hanya audit administrasi keuangan dan fisik yang terlaksana. Itupun agak problematis karena laporan keuangan pun dibuat tanpa melalui mekanisme audit publik, tetapi audit internal. 12
Sudah menjadi rahasia umum, laporan keuangan hanyalah ada di atas kertas. Dalam cemooh umum, “semua bisa di aturlah”. Hal ini seolah-olah menjadi stempel tetap bagi organisasi pemerintah. Sangat jauh bila kita mengatakan tugas penting organisasi pemerintah adalah mengemban mandat publik. Ascher (2000) dalam Kushardanto (komunikasi pribadi,2003)
Dampak
Evaluasi pasca proyek
Identifikasi Masalah
Menetapkan tujuan proyek
Evaluasi
Pemantauan Persiapan proyek
Pelaksanaan Proyek
Diagram 1: Siklus proyek/program sebagai proses pembelajaran
13
membuktikan rusaknya sumberdaya alam sebagian besar disebabkan kelemahan organisasi pemerintah dalam aspek akuntabilitasnya. Sisa birokrasi sentralistik juga masih bekerja hingga sekarang. Lihatlah kecenderungan ini dalam sistem pelaporan dan audit sebuah kegiatan. Semua penilaian dan evaluasi dilakukan secara struktural dan vertikal. Dalam pengertian semua akuntabilitas dilakukan oleh atasan secara tertutup di Jakarta. Sudah begitu birokratik, hal itu diperparah oleh tiadanya akuntabilitas horizontal. Semua pihak berkepentingan (stakeholders) dan perwakilan dari konstituen jarang sekali terlibat dalam proses ini. Ketakutan akan kritik, kelemahan, kekurangan, menjadi bagian yang inheren dalam birokrasi yang sentralistik ini. Bukan sebaliknya. Kritik adalah bagian dari kemajuan. Kekurangan adalah cermin ganda untuk melihat apakah kita perlu memperbaiki diri atau rendah hati. Sebenarnya, alangkah lezatnya apabila keberhasilan program konservasi tidak dinilai oleh atasan atau otoritas yang lebih tinggi. Semua ukuran keberhasilan dinilai dan ditentukan oleh penerimaan konstituen (masyarakat) melalui dialog publik. Apa yang akan, sedang, dan telah dikerjakan terjadi melalui kesepakatan dan agenda bersama para pihak. 14
Merekalah yang akan memantau jalannya kegiatan, menilai hasil, dan kemanfaatannya. Diagram 1 di atas memberi ilustrasi teoritik mengenai siklus proyek. Mekanisme proses daur ulang dengan urutan yang siklik bermakna proses pembelajaran dari program secara terus menerus. Dalam proses ini, sangat penting ditekankan adanya perubahan cara berpikir dari mentalitas keproyekan menuju mentalitas program. Mentalitas program berorientasi jangka panjang dan disertai taktik strategis. Program juga secara implisit memikul semangat terbuka. Mulai dari identifikasi masalah dan atau potensi serta perencanaan. Organisasi pemerintah, bisa dipastikan, dibubuhi predikat sebagai organisasi yang tertutup-soliter. Selain itu, organisasi pemerintah juga dicap tebal telinga dan tebal muka. Kita sulit mengurai apakah ini karena birokrasi yang sedemikian ruwet atau kapasitas sumber daya manusia yang tidak berkualitas. Lebih sulit lagi, hampir semua tidak peduli. Selama ada negara, selama itu pula akan di gaji. Sejenis pisikologi ignorance yang tak mau ambil peduli asal kita selamat sendiri. Sistim reward and punishment, penilaian dan pembinaan tidak merangsang sumber daya manusia untuk 15
berprestasi. Bekerja keras atau malas, jungkir balik atau tidak pernah bekerja tidak berdampak atas pengakuan dan penghargaan. Tidak bekerja pun tidak ada teguran atau hukuman. Implikasinya, insentif untuk melakukan perbaikan kinerja organisasi melemah. Ini gejala umum yang diidap oleh organisasi pemerintah. Gejala ini nampaknya mulai menjangkiti lembaga swadaya masyarakat. Walaupun demikian, seperti hukum apapun di dunia, selalu ada anomali. Di berbagai tempat inisiatif dan keberanian melakukan terobosan kepemimpinan dan manajemen diam-diam akan selalu ada. Situasi agak berlainan dapat diperoleh dari pengalaman sistim organisasi profit. Mereka dibangun oleh kompetisi produksi. Persaingan— terbuka atau tertutup—adalah kebajikan yang layak mendapat penghargaan. Mereka juga bekerja lebih fokus, arah yang jelas dan pengukuran keberhasilan yang dapat diukur. Persoalan mendasar penyoknya performa organisasi pemerintah adalah sumberdaya manusia di satu sisi dan sejarah birokrasi sentralistik di keping lainnya. Lemahnya kapasitas kepemimpinan, budaya egaliter, cupetnya menganalisis permasalahan adalah sedikit masalah sumber daya manusia. Fenomena 16
ini menjalar seperti akar dari Sabang sampai Merauke. Mentalitas pegawai organisasi pemerintah justru tidak melayani masyarakat tetapi minta dilayani. Sistim politik sentralistik selama beberapa dekade terakhir telah mengurat akar dalam kesadaran manusia Indonesia. Bayang-bayang itu tercermin dari struktur bangunan organisasi pemerintah arsitektonik dalam pengertian hirarkis dan tertutup. Misalnya saja perencanaan kegiatan konservasi terpusat dan dikendalikan oleh departemen sektoral dan Bappenas. Ada memang, mekanisme rapat kordinasi pembangunan (Rakorbang) dengan masukan dari bawah ke atas (bottom-up), tetapi ini hanyalah kamuflase selebrasi untuk menutupi dominasi elitelit birokrasi. Organisasi pemerintah juga tercebur pada sistim keproyekan tahunan. Mereka tidak mampu membangun program jangka menengah atau jangka panjang dengan program yang komprehensif, fokus, strategis, dan konsisten. Persoalan-persoalan mendasar seperti di atas menyebabkan sebagian organisasi publik lumpuh. Organisasi publik juga kewalahan beradaptasi terhadap perubahan jaman. Sifat-sifatnya penuh kelemahan; bergerak lamban, berbiaya mahal, tidak efisien, tidak efektif, kaku. Akhirnya, tidak 17
jelas arah dan longsor dihempas zaman. Kultur organisasi publik yang seperti ini harus didekonstruksi. Urusan berikutnya adalah merombak struktur dan kultur organisasi publik tersebut agar bisa menjadi organisasi pembelajar yang fleksibel, adaptable, credible, sekaligus responsible terhadap perubahan zaman. Berikutnya adalah menerjemahkan mandat dari publik. Publik sendirilah yang akan memberi rapor performa organisasi publik. Pertanggungjawaban ke organisasi induk atau ke pusat di Jakarta memang masih diperlukan akan tetapi hal itu hanya memenuhi beban formalitas—yang pada kaca mata tertentu terlihat tidak relevan atau tidak perlu lagi. Sejak pergantian rezim yang otoriter, gelombang desentralisasi dan otonomi, sapuan badai perubahan telah menghantar perkembangan. Contoh konkretnya terjadi di Departemen Kehutanan. Sejak tahun 2000 Departemen Kehutanan mulai menyiapkan Rencana Strategis yang disempurnakan pada tahun 2003. National Forest Plan juga sedang disusun dengan keterlibatan mitra kunci. Ditjen PHKA meminta seluruh Kepala Balai TN/KSDA untuk mempresentasikan rencana lima tahun organisasinya di depan Eselon I Departemen Kehu18
tanan, serta dengan mengundang mitra kerja terkait. Walaupun kemudian diketahui bahwa rencana lima tahun yang dimaksudkan sebagai rencana strategis tersebut, ternyata belum disusun berdasarkan kaidah-kaidah penyusunan RS yang melibatkan key stakeholders.
19
Bab III
MANUSIA DAN POLA KEPEMIMPINAN 1. Manusia Manusia adalah mahluk yang multidimensional. Ki Moenadi (2001) dalam Thoha (2004) menyebut manusia terdiri unsur-unsur daya potensi ketenagaan. Unsur itu mewadah dalam ruh, rasa, hati, akal, dan nafsu. Pujangga besar Ranggawarsita membabarkan bahwa manusia terdiri dari tujuh unsur; hayyu-hidup, nurcahaya, sir-rasa, ruh-sukma, nafsu-angkara, akalbudi, dan jasad-badan. Ketujuh unsur tersebut musti diolah dalam bentuk etika praktis atau laku susila sehingga dapat mentransformasikan manusia biasa menjadi manusia sempurna atau “insan kamil”. Proses tersebut melalui “tapaning ngaurip” atau bertapa dalam hidup. Kongkritnya badan jasmani-bersikap menguasai diri, budikesanggupan menerima, nafsu-rela, jiwabersungguh hati, rasa-mampu berdiam dan berserah diri, cahaya-suci bersih hening, atmaawas dan sadar (Thoha 2004). Menurut Harefa (20000, manusia sekurang20
kurangnya memiliki tiga panggilan tugas dalam hidupnya. Tugas pertama menjadi manusia pembelajar, lantas menjadi pemimpin, dan ketiga menjadi guru. Ciri-ciri ketiga panggilan tugas Pembelajar
Pemimpin
Guru
• Selalu merasa ditentukan pihak lain •Melihat masalah di luar dirinya •Berusaha menyenangkan semua orang • Tak berani bertindak atas nama pribadi •Berfikir hitamputih;kalah menang • Senang memiliki idola, tokoh pujaan •Masih memerlukan
•Perhatian pada kelompok atau organisasi •Merumuskan tujuan bersama kelompok/ organisasi •Berperan sebagai aktor utama •Menggunakan bakat, kekuatan, dan talenta untuk kepentingan kelompok atau organisasi •Membiasakan diri dengan
•Pendamping utama kaum pembelajar •Aktor intelektual di belakang layartut wuri handayani •Dirasakan kehadirannya karena tidak menganggap penting popularitas, kedudukan, dan kekuasaan •Memulai proses transformasi
21
pengawasan tindakan dalam tugas proaktif, •Masih perlu memulai motivasi aktivitas (outside in) dengan •Mudah memikirkan berjanji-mudah hasil akhirnya melupakan lebih dulu, dan mendahulukan •Belum hal-hal yang menemukan utama arah hidupnya •Hadir di •Hampir tidak masyarakat pernah untuk mengambil menceritakan inisiatif kiat-kiat sukses •Membangun • Satu hubungan atas pemimpin dasar like/ membuat haldislike hal penting • Sering dikejutkan oleh terjadi apapun situasi dan perubahan keadaannya •Cepat menilai sesuatu
22
total (kultural dan struktural) •Mengarahkan ke kehidupan “dunia yang akan datang” •Menyelaraskan spiritual-hati nurani dengan rasionalitas akal budi • Kebutuhan utamanya adalah aktualisasi diri, orientasidevosi diri • Belajar dari dirinya sendiri
yang disebut sebagai “tri tugas” tersebut diuraikan olehnya dalam rincian berikut: Dari ketiga panggilan tugas tersebut, proses menjadi pemimpin nampaknya harus dimulai dari tahapan belajar. Manusia pembelajar adalah manusia yang mengetahui potensi-potensi yang ada dalam dirinya dan selalu berusaha untuk mengaktualisasikan potensinya ke dalam tindakan. Pembelajaran tak bisa dipisahkan dari pendidikan. Pendidikan adalah belajar menjadi (to being). Pendidikan dan pembelajaran adalah perkara kepemimpinan. Tidak ada sekolah dan universitasnya kecuali kehidupan dan pengalaman itu sendiri. Dilihat dari segi evolusinya, tingkatan pembelajar adalah tingkatan paling rendah lantas menuju pemimpin dan akhirnya ke tataran paling tinggi yaitu seorang guru. Tidak semua orang mampu mencapai tingkatan pemimpin apalagi pada tingkatan guru. 2. Kapasitas Kepemimpinan Terdapat perbedaan yang signifikan antara pemimpin (leader) dengan manager. Leader adalah seorang pemberi arah. Ia akan melakukan “to do the right things”. Seorang pemimpin harus memiliki kemampuan membawa arah 23
organisasinya secara tepat. Sedangkan manager didefinisikan sebagai “to do the things right”. Seseorang yang mampu melaksanakan semua yang telah ditetapkan arahnya. Seorang manajer tidak (perlu) memperdulikan apakah arah yang ditentukan tersebut sesuai dengan tujuan atau aspirasi yang berkembang baik dalam organisasi maupun di masyarakat. Dia tinggal melaksanakan apa saja yang telah ditetapkan. Di bidang konservasi yang kita perlukan adalah seorang pemimpin, bukan “sekedar” manajer. Idealnya kita memiliki keduanya. Di tengah masa krisis legitimasi seperti sekarang ini, kita lebih membutuhkan pemimpin untuk membawa organisasi konservasi (Balai Taman Nasional maupun Balai KSDA) menjadi organisasi responsif terhadap tuntutan dan perubahan-perubahan. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana mendapatkan seorang pemimpin? Kita bisa pinjam gagasan J. C. Maxwell dalam buku The 21 Irrefutable Laws of Leadership. Teori hukum kepemimpinan ketigabelasnya menyatakan 85% pemimpin dibentuk oleh pengaruh pemimpin sebelumnya. Hanya 10% sebagai karunia alam dan 5% sebagai akibat dari krisis. Hukum proses kepemimpinan yang regeneratif dan reproduktif tergambar dalam diagram berikut: 24
Hukum Reproduksi: Dibutuhkan seorang pemimpin untuk mengangkat seorang pemimpin (Maxwell, J.C., 2001)
Bagaimana Mereka Menjadi Pemimpin Pengaruh pemimpin lain
Akibat krisis
Karunia alam
0
20
40
60
80
100
(prosentase)
Empat hukum lainnya yang relevan untuk dibahas dalam urusannya dengan kepemimpinan konservasi adalah Hukum Katup, Hukum Pengaruh, Hukum Navigasi, dan Hukum Landasan yang Mantap. Hukum Katup Kemampuan memimpin ibarat katup yang menentukan tingkat efektivitas tindakan seseorang. Semakin rendah kemampuan seseorang untuk memimpin, semakin sedikit katup yang terbuka bagi potensinya. Efektifitas seseorang maupun organisasi berbanding lurus dengan daya kepemimpinan. Maxwell (2001) menyebut, dalam situasi tertentu, untuk 25
mengubah jalan organisasi gantilah pemimpinnya. Hukum Pengaruh Kepemimpinan sejati tidak dapat dianugerahkan, ditunjuk, atau ditugaskan. Kepemimpinan bukanlah wingit dari surga. Ia datang dari kehidupan nyata. Ia tidak dapat dimandatkan tetapi harus diraih. Terdapat lima mitos penting kepemimpinan. Salah satu yang penting adalah mitos manajemen. Ada salah kaprah tentang memimpin (to lead) dan mengelola (to manage). Keduanya sering dianggap sama, padahal terdapat perbedaan yang besar antara hal tersebut. Memimpin adalah soal mengajak, menginspirasi, mengilhami orang lain untuk berbuat sesuatu sehingga menjadi pengikut dari gagasan yang dianut seseorang. Mengelola adalah mengatur gagasan dan memfokuskan pada sistim serta proses. Memimpin jauh lebih beresiko dan berat. Cara terbaik untuk menguji apakah seseorang dapat memimpin atau mengelola adalah dengan memintanya untuk menciptakan perubahan positif. Para manajer dapat mengelola arahan, namun tidak dapat mengubahnya. Untuk menggerakkan orang lain ke arah yang baru, 26
diperlukan pengaruh. Hakekat kepemimpinan adalah memberi pengaruh atau inspirasi, tidak lebih tidak kurang. Intisari segala kekuasaan mempengaruhi terletak pada kemampuan membuat orang lain berprestasi. Membuat menjadi lebih dari sang inspirator. Hermawan Kertajaya orang paling berpengaruh dalam bidang pemasaran dan presiden MarkPlus & Co menyatakan: pemimpin yang baik adalah pemimpin yang menjadi teladan bagi pengikutnya. Keteladanan itu bukan melalui apa yang diucapkannya semata, namun terlebih melalui apa yang diperbuatnya. Sekarang banyak sekali pemimpin perusahaan terjun langsung ke lapangan. Bersama-sama “bermandi peluh” dengan staf di lapangan. Kertajaya (2004) mengutip buku James M. Kouzes dan Barry Z. Posner (The Leadership Challenge), tentang 5 karakter pemimpin yang baik yaitu: Challenged the process (change), Inspired a shared vision (dream), Enabled others to act (empower), Modeled the way (model), dan Encouraged the heart (love). Hukum Navigasi Seorang pemimpin adalah seseorang yang melihat lebih banyak daripada yang dilihat orang lain. Ia melihat sesuatu sebelum orang lain 27
melihat. Siapapun dapat mengemudikan kapal, namun hanya pemimpin yang dapat menentukan arah kemana kapal akan bersandar. Dalam hukum navigasi ini, satu rahasia kunci adalah persiapan. Persiapan yang baik akan membangkitkan keyakinan serta kepercayaan pada diri orang lain. Hukum Landasan Yang Mantap Kepercayaan atau trust adalah pondasi kepemimpinan. Tanpa kepercayaan tidak ada kepemimpinan yang kuat. Kepercayaan terbangun berkat keteladanan seorang pemimpin. Baik keteladanan dalam bersikap, keteladanan keahlian, keteladanan dalam berhubungan dengan orang lain dan keteguhan karakter. Tapi seorang pemimpin bukanlah malaikat atau dewa. Yang tak pernah salah. Yang tak pernah takut. Kualitas kemampuan dan keyakinan juga harus diimbangi dengan keterbukaan dan menerima kemungkinan melakukan tindakan yang salah. Orang akan memaafkan kekeliruan dari segi kapasitas sekali-kali terutama apabila pemimpin dapat tumbuh setelah salah. Namun orang akan kehilangan kepercayaan bila pemimpin tidak konsisten dan kehilangan karakter. Karakter memungkinkan terciptanya kepercayaan. Keper28
cayaan adalah beton penyangga kepemimpinan. Itulah hukum landasan yang mantap. Sikap penting seorang pemimpin lain yang berhasil adalah sikap proaktif. Sifat proaktif bukan sekedar mengambil inisiatif. Proaktif adalah suatu perilaku fungsi dari keputusan. Bukan kondisi atau situasi. Pemimpin yang proaktif selalu mempunyai inisiatif dan tanggungjawab untuk membuat semua yang diimpikan, dicitacitakan, dan diimajinasikan dapat terjadi. Ia selalu berusaha to make it happen. Membuat halhal yang mustahil menjadi nyata. Merealisasikan apa yang diimpikannya dan diimpikan oleh organisasinya. Ketika semua orang berpikir tidak mungkin, ia akan berkata, kita bisa mewujudkannya. Sedangkan arti tanggungjawab dapat diuraikan berikut ini. Dalam bahasa Inggris kita mengenal istilah responability. Apabila diuraikan kita mendapatkan dua komponen yaitu “respon” dan “ability”. Tanggungjawab dapat diartikan suatu kemampuan untuk memilih respon. Sikap proaktif dapat mendorong kita mengenali tanggungjawab. Perilaku proaktif merupakan pilihan sadar (berdasarkan nilai-nilai pribadi maupun organisasi) dan bukan berasal dari produk dari “kondisi” (berdasarkan perasaan). 29
Pemimpin juga harus bisa memberikan penguatan kekuasaan (empowerment). Pemimpin yang efektif adalah pemimpin yang bersedia membagi kekuasaan dan tanggungjawabnya dengan orang yang dipimpin. Pembagian kekuasaan ini bisa melalui banyak cara. Antara lain restrukturisasi organisasi yang lebih egaliter, pelibatan staff dalam tanggung jawab bersama mitra melalui perwakilan, pembangunan teamwork, dan sebagainya. Di dalam proses pemberdayaan tersebut terdapat unsur-unsur: pemberian wewenang dan tanggungjawab kepada orang yang dipimpin. Dengan cara seperti ini terbangun saling percaya antara manajemen dengan staf. adanya pelibatan staf dalam proses pengambilan keputusan (Wening 2002). Kita bisa mengambil kata-kata bijak dari Lee Iacocca, pemimpin puncak industri otomotif Chysler. “Kepemimpinan berarti memberikan teladan,”, ia mengatakan, “jika anda memegang posisi kepemimpinan, orang akan mengikuti segala gerakgerik anda.”. Hal yang diuraikan di atas, belum cukup menjadikan seorang menjadi pemimpin. Masih banyak hal yang harus dimiliki pemimpin. Di antaranya ada empat kebajikan utama hal yang dimiliki oleh seorang nakhoda organisasi. Semua 30
pemimpin yang elegan dan dihormati memiliki honesty (kejujuran), forward looking (visi jauh ke depan), inspiring (inspirasi), dan competent (kemampuan). Kejujuran seorang pemimpin adalah segalanya (Kouzes dan Posner 1993 dalam Harefa 2003). Andreas Harefa lewat buku Mengasah Indra Pemimpin menegaskan, pekerjaan utama seorang pemimpin adalah melayani konstituennya (mulai dari anggota keluarga, pegawai, sampai warga negara), yang aktual maupun yang potensial. Ia melayani bukan agar nantinya dilayani. Ia melayani agar konstituennya dapat melayani diri sendiri sekaligus kepentingan masyarakat. Parahnya ini terjadi seratus delapan puluh derajad dengan kenyataan dalam masyarakat kita. Kepemimpinan pertama-tama lebih dimengerti sebagai sebuah jabatan. Bukan sebuah pekerjaan. Ada begitu banyak orang yang sibuk berburu jabatan tetapi malas bekerja, apalagi “menjadi pelayan”. Ada banyak orang enggan mengambil inisiatif, memrakarsai suatu perbuatan baik jika ia tidak memperoleh keuntungan bagi dirinya sendiri karena jabatannya itu. Dengan mengutip Warren Bennits, Harefa (2003) membuat perbedaan antara manajer dan pemimpin: 31
manajer mengelola-pemimpin menginovasi; manajer adalah tiruan-pemimpin orisinal; manajer mempertahankan-pemimpin mengembangkan; manajer berfokus pada sistim dan struktur-pemimpin fokus pada orang lain; manajer bergantung pada pengawasanpemimpin membangkitkan kepercayaan; manajer melihat jangka pendek-pemimpin melihat perspektif jangka panjang; manajer bertanya kapan dan bagaimanapemimpin bertanya apa dan mengapa; manajer melihat hal pokok-pemimpin menatap masa depan; manajer meniru-pemimpin melahirkan; manajer menerima status quo-pemimpin menantangnya; manajer adalah prajurit yang baikpemimpin adalah dirinya sendiri; manajer melakukan hal-hal dengan benar-pemimpin melakukan hal-hal yang benar. Pemimpin dan kepemimpinan selalu berurusan dengan soal efektivitas, mengurus orang, memberdayakan dan memerdekakan potensi orang (Andreas Harefa, 2000)
32
Untuk maju dan berkembang, berdasarkan uraian di atas, organisasi memerlukan pemimpinnya dan bukan sekadar manajer. Salah usaha pokok pemimpin selain menetapkan visi dan misi, ia juga menentukan strategi yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan organisasi. Pakar manajemen, Hermawan Kartajaya menyatakan, kunci pengembangan organisasi terletak pada gagasan me-manusia-kan manusia. Dengan gagasan ini, semua unsur dalam sebuah organisasi sama pentingnya. Semua harus di hargai dan dapat secara merdeka mengungkapkan pikiran, keluhan, ketidaksetujuan dan harapannya. Suatu pemberian peluang untuk berekspresi. Yang merasa bertanggungjawab bukan hanya ketua atau kepalanya saja. Akan tetapi manajemen seperti ini agak hati-hati. Situasi ini kalau tidak terkelola, masih menurut Hermawan Kertajaya, membawa suatu situasi sense of belongings. Merasa bahwa semua anggota adalah milik organisasi dan karena itu ia akan melakukan segalanya demi organisasi. Hal ini justru berbahaya karena akan mengakibatkan staf bersikap patuh, penurut, taat, dan membuat orang malas berkreativitas. Padahal, organisasi kalau ingin terus melanjutkan siklus hidupnya secara dinamis harus terus 33
berfikir dan berkreativitas. Lebih lanjut, direktur konsultan pemasaran terkemuka ini menyatakan sense of belonging cenderung menjurus ke blindloyalty dan membuat organisasi menjadi statis. Pada masa yang lebih modern, yang perlu dikembangkan adalah sense of ownership. Semuanya saling memiliki dan melengkapi. Tidak hanya memiliki saja. Manajemen seperti ini membutuhkan sikap saling membutuhkan dan mengandaikan tidak bisa jalan tanpa kehadiran secara bersama. Bila hal ini terjadi maka akan terwujud dedikasi kemanusiaan secara utuh (total human reward) dari pimpinan ke staf dan dari staf ke pemimpin. Secara timbal balik hal ini akan menciptakan situasi saling puas atau win-win. Pimpinan senang karena memiliki staf handal dan staf bangga bekerja diorganisasi yang dipimpinnya. Delapan Bekal bagi Pemimpin Dalam khazanah Jawa kita mengenal Astabrata (delapan kebajikan alam semesta). Siapa pun yang dapat menepati dan melaksanakan delapan jalan utama alam semesta tersebut dapat disebut raja tak bermahkota. Meskipun berasal dari khazanah yang lebih tua, kita bisa mengambil inspirasi atau pelajaran dari delapan bekal 34
tersebut. Seorang pemimpin kalau menempuh jalan ini ia akan berada di singgasana kemuliaan sebagai manusia: 1. Jalan matahari, matahari memiliki sifat panas dan penuh energi. Ia memberi sarana hidup. Artinya bahwa setiap pemimpin harus dapat memberi semangat, memberi kehidupan, memberi energi kepada setiap anak buahnya; 2. Jalan bulan, bulan yang indah mampu menerangi kegelapan. Artinya setiap pemimpin harus menyenangkan dan memberi terang apabila anak buahnya dalam kegelapan; pemimpin yang dapat memberikan nyala suar di tengah gulita; Ia berfungsi sebagai bulan di tengah kegalauan akibat ketidakjelasan; 3. Jalan bintang, selain indah bintang juga memberikan kompas, arah, dan petunjuk. Artinya pemimpin harus bisa menjadi contoh tauladan dan pedoman; 4. Jalan angin, sifat angin dapat berada di mana-mana di setiap jengkal ruangan. Artinya pemimpin harus melakukan tindakan yang teliti, cermat, turun ke lapangan menyelami kehidupan bawahannya; 5. Jalan mendung, mendung bersifat menakutkan tetapi ketika sudah turun hujan akan menjadi berkah. Artinya seorang pemimpin perlu 35
berwibawa tetapi dalam tindakannya harus bermanfaat bagi kehidupan anak buahnya; 6. Jalan api, api bersifat tegak dan sanggup membakar apa saja yang ada didekatnya. Artinya pemimpin harus bisa bertindak adil, berprinsip, tegak tanpa pandang bulu; 7. Jalan samudra, samudra mempunyai sifat luas dan rata. Artinya pemimpin harus memiliki pandangan yang luas dan sanggup menerima persoalan dan tidak membenci terhadap seseorang; 8. Jalan bumi, bumi bersifat sentosa dan suci. Artinya setiap pemimpin harus dapat berfungsi seperti bumi, yaitu sentosa budinya, jujur, dan mau memberi anugerah kepada bawahannya yang berjasa; 3. Kompetensi Kepemimpinan Penulis terkenal, Daniel Goleman (2002), dalam buku bertajuk The New Leaders menjelaskan kompetensi seorang pemimpin. Kompetensi dapat ditakar dengan 4 indikator kunci, yaitu self-awareness (kepekaan pribadi), selfmanagement (kemandirian manajemen), social awareness (kepekaan sosial), dan relationship management (interaksi manajerial). Masing-masing indikator akan diuraikan secara rinci dalam tabel sebagai berikut: 36
SELF-AWARENESS (Kepekaan Pribadi) ini memuat unsur-unsur: 1. Emotional self-awareness (Kepekaan emosi): Pemimpin dengan kesadaran emosi tinggi dan terbiasa dengan pertanda akan mengenali bagaimana perasaan dapat mempengaruhi pekerjaannya. Mereka terbiasa dengan nilai-nilai yang tertanam dalam hati dan seringkali memberi intuisi untuk berusaha sebaik-baiknya. Kecerdasan emosi akan mempermudah kita melihat gambaran besar dalam situasi yang kompleks. Secara emosional, seorang yang peka emosinya umumnya jujur, bicara terbuka tentang emosi dan keyakinan akan visinya.
37
2. Accurate self-assessment (Sadar Potensi): Pemimpin ini sadar akan keterbatasan dan kekuatannya dan menunjukkan rasa humor tentang mereka sendiri. Mereka menunjukkan keanggunan dalam belajar dimana mereka memerlukan perbaikan dan terbuka terhadap kritik yang konstruktif. Sadar akan kemampuan dan kekurangan diri membantu pemimpin mengetahui kapan meminta bantuan dan kapan menanam kekuatan kepemimpinan baru. 3. Self-confidence (Percaya Diri): Dengan bekal potensi dan emosi pemimpin tidak ragu-ragu dalam membuat keputusan atau bertindak sesuatu. Ia secara sadar dan percaya akan mengambil resiko dari kebijakan yang ia keluarkan. Ia juga akan menyambut tugas yang menantang dengan percaya diri dan optimis. SELF-MANAGEMENT(Kemandirian Manajemen): 1. Self-control (Kontrol diri): Pemimpin dengan emosi yang terkendali menemukan cara mengelola emosi dan rangsangan mengganggu, dan mengarahkannya pada cara-cara yang bermanfaat. Mereka juga pemimpin yang tetap tenang dengan yang jelas ketika menghadapi tekanan dan krisis. 38
2. Transparency (Keterbukaan): Transparansi adalah keterbukaan yang tulus kepada pihak lain tentang perasaan, kepercayaan, dan tindakan. Keterbukaan menumbuhkan kematangan dan integritas. Pemimpin seperti ini secara terbuka mengakui kesalahan dan kegagalan. Ia cenderung menghadapi masalah dan tingkah laku tidak etis pihak lain secara jantan dan berusaha menghadapinya daripada berpura-pura tidak tahu dan menutup mata atas apa yang terjadi 3. Adaptability (Penyesuaian Diri): Sikap ini dapat menghadapi perubahan waktu, karakter, atau perubahan suasana. Ia dapat menyulap kondisi sulit menjadi lebih baik tanpa kehilangan fokus dan tenaganya. Pemimpin ini bisa luwes terhadap tantangan baru. Cekatan menyesuaikan diri terhadap perubahan. Lentur dalam berfikir menghadapi realitas baru, tanpa harus kehilangan integrtas dan karakter; 4. Achievement (Pencapaian): Pemimpin harus memiliki standar pencapaian yang tinggi. Standar yang tinggi mendorong pencarian terus-menerus terhadap perbaikan performa. Mereka pragmatis, menetapkan tujuan yang terukur tetapi menantang, dan mampu 39
mengkalkulasi resiko sehingga tujuan mereka tetap bernilai dan dapat dicapai. Mereka memerlukan pembelajaran yang kontinyu, pengajaran, dan cara-cara melakukan sesuatu dengan lebih baik. 5. Initiative (Inisiatif): Pemimpin ini memiliki rasa kemanjuran. Seluruh nasib organisasi ditentukan oleh inisiatif mereka sendiri. Mereka menciptakan kesempatan dan meraihnya, bukan hanya menunggu. Pemimpin ini tidak segan-segan menerobos badai atau bahkan mengabaikan aturan ketika perlu menciptakan kemungkinan yang lebih baik pada masa depan. 6. Optimism (Optimisme) Pemimpin ini lebih melihat kesempatan sebagai peluang daripada ancaman. Pemimpin ini melihat pihak lain secara positif, mengharapkan yang terbaik dari mereka. Cara pandang mereka—gelas separuh penuh dan bukannya gelas kosong separuh dalam memandang gelas yang berisi air setengah—membawa mereka untuk terus berharap bahwa selalu ada kondisi yang lebih baik di masa depan dengan tindakan hari ini.
40
SOCIAL AWARENESS (Kepekaan Sosial): 1. Empathy (Empati): Pemimpin ini terbiasa dengan sinyal emosi yang lebar. Pemimpin ini mendengarkan orang lain dengan penuh perhatian. Ia dapat menangkap perspektif pihak lain. Mereka bisa bergaul dengan orang dengan berbagai latar belakang dan budaya. 2. Organizational awareness (Kesadaran Berorganisasi): Pemimpin dengan kesadaran sosial yang tajam bisa mendeteksi jaringan sosial yang krusial dan membaca hubungan-hubungan kekuatan kunci. Pemimpin ini mampu mengerti tekanan politik yang terjadi dalam organisasi. Ia dapat menanamkan nilai-nilai dan mengarahkan pandangan melalui aturan-aturan tak tertulis dalam organisasi. 3. Service (Pelayanan): Ia adalah orang yang terus menerus memahami dan bukannya pribadi yang minta dipahami. Pemimpin ini memantau kepuasan pelanggan secara hati-hati untuk menjamin bahwa mereka mendapatkan apa yang mereka perlukan. Mereka juga senantiasa siap apabila diperlukan.
41
RELATIONSHIP MANAGEMENT (Interaksi Manajemen): 1. Inspiration (Inspirasi): Pemimpin ini mampu mengartikulasikan shared-mission dengan cara-cara yang memberikan inspirasi pihak lain untuk mengikutinya. Mereka menawarkan rasa kebersamaan akan tujuan di atas tugas sehari-hari, dan membuat bekerja menjadi lebih menarik. 2. Influence (Pengaruh): Pemimpin ini bersifat persuasif dan mengajak bila mereka menghadapi permasalahan. Pemimpin ini juga mengetahui cara membangun ketertarikan dari orang-orang kunci dan jaringan untuk mendukung inisiatif. 3. Developing others (Membangun Orang Lain): Pemimpin ini ahli dalam membantu meningkatkan kemampuan orang lain. Ia dengan antusias dan tulus memberi pertolongan dan membantu orang lain mengenali tujuan, kekuatan, dan kelemahan orang lain. Pemimpin seperti ini mampu memberikan masukan yang konstruktif dan seorang pendamping yang penuh kasih. 4. Change catalyst (Katalis Perubahan): Pemimpin dapat mendorong perubahan meskipun dia tidak selamanya mengikuti proses 42
perubahan tersebut. Ia menjadi penyedia jasa yang dapat merangsang perubahan, menantang status quo, dan pelopor era baru. Mereka bisa melakukan advokasi dengan kuat untuk perubahan bahkan menghadapi rongrongan dari luar dan membuat argumentasi yang jenius. 5. Conflict management (Manajemen Konflik): Pemimpin yang dapat mengelola konflik menggambarkan kemampuannya memahami berbagai perspektif yang berbeda dan menemukan suatu gagasan dimana setiap orang mendukungnya. 6. Teamwork and collaboration (Kerja Tim dan Kolaborasi). Pemimpin ini dapat membentuk tim yang bersahabat dan produktif. Ia dapat mendorong setiap orang saling menghargai aktivitas dan pendapat orang lain. Ia dapat mendorong pihak lain untuk aktif, berkomitmen untuk usaha bersama. Ia juga membangun identitas kolektif dan memberi semangat. Uraian tentang kompetensi kepemimpinan di atas akan lebih menarik lagi bila kita bandingkan dengan artikel Roy Sembel dan Sandra Sembel, Bank Budi, Banknya Para Pemimpin di harian Sinar Harapan September 2004. Dengan mengambil istilah perbankan, mereka menyebut enam 43
“deposito” bagi para pemimpin. Enam deposito yang perlu dimiliki oleh para pemimpin adalah yaitu deposito kasih, deposito keteladanan, deposito keyakinan, deposito perhatian, deposito perubahan, dan deposito kompetensi. Ibu Theresa merupakan salah satu contoh konkrit pemimpin besar yang memiliki deposito kasih yang sangat besar. Semakin banyak deposito kasih yang disetornya ke rekening orang lain, semakin besar pula jumlah pengikutnya yang menjadi setia membantu dan mendukungnya. Siapa yang bersedia mengikuti pemimpin yang tidak yakin akan keputusan yang diambilnya? Siapa yang mau dipimpin oleh orang yang selalu ragu pada hasil yang akan diperjuangkannya bersama-sama dengan kita? Seorang pemimpin, sebelum menyakinkan orang-orang yang dipimpinnya, haruslah terlebih dulu meyakini apa yang akan diperjuangkannya. Untuk itu, ia perlu mempersiapkan diri. Kita bisa mengambil teladan dari Katherine Graham pimpinan tertinggi surat kabar Washington Post. Ia dengan yakin dan nyaris tanpa keraguan membela anak buahnya yang membongkar skandal presiden Amerika kala itu, Lindon B. Johnson. Meskipun mendapat tekanan politik yang luar biasa tinggi dan ancaman yang akan melengserkan jabatannya, 44
Katherine berdiri teguh membela anak buahnya. Perhatian yang tulus merupakan cara ampuh untuk menggalang dukungan orang lain. Perhatian yang tulus tak ditujukan pada perkara besar semata. Hal-hal kecil seperti mengucapkan terima kasih atas saran orang lain atau memberi ucapan selamat atas kesuksesan anak buah dalam pekerjaan yang sederhana adalah contoh yang dapat diteladani. Semua pemimpin besar selalu menawarkan perubahan ke arah yang lebih baik bagi orang-orang di sekitar mereka. Perubahan memberikan jalan keluar bagi masalah. Aung San Suu Kyi dan Mahatma Gandhi menebarkan perubahan untuk kepentingan rakyatnya. Mereka mendapatkan simpati dari seluruh penjuru dunia karena keyakinan, semangat dan komitmen yang luar biasa. Pada dasarnya kita lebih percaya pada orang yang memiliki dan menunjukkan keyakinan yang tinggi. Jadi, ketika kita berkomunikasi, pastikan bahwa apa yang kita komunikasikan tersebut benar-benar kita yakini dan kita perjuangkan. Saat kita yakin terhadap apa yang kita lakukan, akan lebih mudah meyakinkan orang lain.
45
Bab IV
MEMBANGUN ORGANISASI Setelah terjadi perubahan kenegaraan pasca 1998, kita mendapat hikmah sejauh mana keterlibatan pemerintah dalam organisasi konservasi. Apabila peran pemerintah kuat, terlalu dominan, maka akan sulit bagi publik melakukan kontrol. Walaupun telah terjadi pembenahan, sebagian besar mesin birokrasi pemerintah saat ini ternyata masih memiliki mentalitas dan kebiasaan kerja pemerintahan lama. Apakah kondisi birokrasi memang sudah sedemikian parah? Atau adakah peluang untuk merubah sistem secara total. Birokrasi barangkali satu noktah kecil dari persoalan pembangunan yang maha besar. Kebalikannya, kontribusi birokrasi bisa sangat menentukan ke arah mana masyarakat ke depan. Untuk membangun kultur birokrasi yang lebih segar dan bersaing, pertama-tama, kita perlu mendefinisikan ulang peran pemerintah atau negara. Giddens (2000) jauh-jauh hari telah memberi semacam ramalan. Lewat buku yang kondang, The Third Way, ia menyatakan bahwa “sekarang yang menjadi isu bukan peran 46
pemerintah yang lebih besar atau lebih kecil, tetapi pengakuan bahwa pemerintahan harus menyesuaikan diri dengan lingkungan baru dan abad global,” lanjutnya, “dan otoritas, termasuk legitimasi negara harus diperbaharui secara aktif”. Dia menekankan 6 pokok perubahan yang harus ditanggapi pemerintah atau negara. 1) Negara harus merespon globaliasi secara struktural, hal ini memberikan implikasi desentralisasi. 2) Negara harus memperluas peran ruang publik. Hal ini mengarah pada transparansi dan keterbukaan yang lebih besar. 3) Untuk mempertahankan dan memperoleh legitimasi, negara harus meningkatkan efisiensi administrasinya. Karena kurang memiliki disiplin pelayanan, lembaga negara menjadi malas dan layanan yang diberikan tidak bermutu; 4) Tekanan globalisasi ke bawah tidak hanya memperkenalkan kemungkinan tetapi juga pentingnya bentuk-bentuk demokrasi yang lain, misalnya eksperimen demokrasi langsung yang bersifat lokal, 5) Negara lebih menggantungkan legitimasi pada kapasitas untuk mengelola resiko. Pengambilan resiko pada hal-ihwal yang berhubungan dengan sains, teknologi, ekonomi perlu melibatkan ahli, pemerintah, dan masyarakat, dan 6) Pendemokrasian demokrasi 47
tidak bisa hanya lokal dan nasional. Negara harus memiliki pandangan kosmopolitan. Anthony Giddens tidak sendirian dalam menyarankan perubahan peran pemerintah. David Osborne dan Ted Gaebler juga mengatakan hal yang sama lewat bukunya, Reinventing Government, pada tahun 1992. Ia mengajukan 10 prinsip bagi negara bila pemerintahan ingin mengimbangi profesionalisme lembaga-lembaga swasta. Pada masa rezim Bill Clinton, buku ini sangat berpengaruh dan menjadi panduan kebijakan negara Amerika.Yang menarik dari kajian ini adalah bahwa negara sebesar Amerikapun, tidak terlepas dari gurita birokrasi yang terpusat, kaku, dan cenderung tidak memiliki respon cepat terhadap perubahan dan kebutuhan masyarakat yang dilayaninya. Sepuluh prinsip Reinventing Government yang diajukan kedua penulis tersebut adalah. Prinsip Kesatu : Pemerintahan Katalistik Dalam hal ini sekarang ini, peranan pemerintah hendaknya lebih diposisikan sebagai pengatur dan pengendali daripada pelaksana langsung suatu urusan dan pelayanan. Secara implisit, prinsip ini mengandung petunjuk bahwa pemerintah harus lebih banyak memberi peran 48
dan tanggungjawab penyelenggaraan negara kepada swasta dan masyarakat. Urusan-urusan yang sebenarnya bisa dilakukan oleh masyarakat berikanlah kepada masyarakat. Bila semua urusan dipegang pemerintah, itu akan menimbulkan gejala ketergantungan masyarakat kepada pemerintah. Akibatnya, daya kreativitas dan inovasi individu dan masyarakat melemah. Prinsip Kedua : Pemerintahan Milik Rakyat Dalam prinsip ini, pemerintah secara normatif dimiliki oleh rakyat. Pemerintah semestinya mendorong masyarakat mengontrol pelayanan birokrasi. Pemberian wewenang kepada masyarakat untuk menyelesaikan masalah mereka sendiri akan memacu kuatnya komitmen, perhatian lebih baik, dan kreatifitas masyarakat dalam memecahkan masalah. Ketergantungan masyarakat kepada pemerintah pun dapat dikurangi dengan cara ini. Prinsip Ketiga : Pemerintahan yang Kompetitif Pemerintah hendaknya mendorong dan menciptakan iklim kompetisi pemberian pelayanan kepada masyarakat. Kompetisi dapat meningkatkan efisiensi dan menambah keuntungan, memperbaiki kualitas pelayanan, serta 49
membangkitkan harga diri dan semangat juang pegawai. Kompetisi juga akan memaksa pihak swasta berbuat seperti yang dilakukan oleh pemerintah. Pegawai negeri contoh yang baik untuk menjelaskan relevansi prinsip ini. Jarang ada hubungan antara prestasi dan kerja keras seorang pegawai dengan penghargaan yang mereka terima. Pola karier pegawai tidak jelas. Kalaupun itu ada, tidak diterapkan dengan konsisten. Pegawai yang tidak berprestasi atau malah bertindak kesalahan hanya dimutasi ke bagian lain. Rekruitmen pegawai membenihkan nepotisme dan korupsi. Orang awam pun melihat birokrasi pemerintah jauh dari iklim kompetisi yang sehat. Birokrasi bukannya melayani masyarakat tetapi minta dilayani. Prinsip Keempat : Pemerintahan yang Digerakkan oleh Misi Pemerintahan yang digerakkan oleh misi diharapkan dapat bekerja lebih efisien, efektif, dan inovatif dibandingkan dengan yang digerakkan oleh peraturan semata. Misi yang cerdas mendatangkan hasil yang lebih baik, fleksibel, dan memiliki semangat yang lebih tinggi dalam melaksanakan kegiatannya. Pekerjaan yang hanya dipandu oleh peraturan cenderung kaku, 50
tidak dinamis, berwawasan sempit dan kurang inovasi. Seperti halnya organisasi swasta, birokrasi pemerintah harus mempunyai visi dan misi yang jelas. Saat ini organisasi pemerintah digerakkan oleh peraturan. Apabila peraturannya belum jelas, kurang jelas atau belum ada, keputusan tidak dapat diambil, dan hanya menunggu peraturan tersebut terbit. Pelayanan kepada masyarakat? Jelas akan terhambat. Prinsip kelima : Pemerintahan Berorientasi Hasil Prinsip ini memuat gagasan bahwa pokok perhatian pemerintah diarahkan pada proses membiayai hasil kegiatan dan bukan pada masukan yang diperoleh atau pada kepatuhan prosedur yang harus dijalankan. Dengan kata lain organisasi pemerintah lebih terfokus pada pencapaian kinerja. Prosedur kerja yang berbelitbelit harus dihilangkan. Prinsip ini membawa konsekuensi yang cukup luas. Antara lain, perlunya penyerahan kewenangan ke level yang lebih bawah sehingga rantai peraturan dan prosedur kerja yang berbelit-elit dapat dipangkas. Masalahnya, kinerja organisasi pemerintah sulit diukur. Repotnya lagi, prosedur kerja kadang belum ada. Kalaupun ada umumnya tidak 51
transparan sehingga masyarakat tidak mengetahui. Bagian perijinan merupakan contoh yang baik apabila kita ingin mengetahui kinerja suatu organisasi pemerintah. Sumber ketidakpuasan masyarakat terhadap pelayanan dan perilaku birokrasi pemerintah sebagian besar terjadi pada bagian itu. Prinsip Keenam : Pemerintah yang Berorientasi pada Pelanggan Kalau ada pepatah pembeli adalah raja, maka pepatah itu bisa dioper untuk prinsip ini. Rakyat adalah raja. Rakyat berfungsi sebagai konsumen atau pelanggan jasa pelayanan umum. Pemerintah wajib memenuhi. Pemerintah yang demokratis dibentuk untuk dapat melayani masyarakat secara optimal. Kita sering melupakan bahwa pelayanan umum itu mengandung unsur-unsur ketepatan waktu, sederhana, berkeadilan, kejelasan dan kepastian, efisien, terjamin keamanannya, ekonomis, dan keterbukaan. Prinsip ini berkaitan erat dengan prinsip kelima. Ciri-ciri pimpinan yang bertindak sebagai pelayan adalah kemampuan mendengarkan tinggi, matang secara konseptual, prediksi ke depan yang akurat, empati, dan komitmen pengembangan sumber daya manusia yang kuat. Ia akan 52
mewujudkan hakekat pelayanan umum; mendorong kreativitas, prakarsa dan peranserta masyarakat, mendorong efektivitas sistim dan tatalaksana, dan meningkatkan mutu dan produktivitas pelaksanaan tugas. Yang ada sampai dengan saat ini adalah prinsip melayani atasan. Mentalitas yang terbentuk selama puluhan tahun rupanya cukup sulit dihapuskan. Perbaikan terhadapnya hanya mungkin apabila kita mulai berani menempatkan pimpinan organisasi yang muda, berbakat, energik, dan penuh dedikasi. Orang-orang muda ini sebenarnya banyak di kalangan birokrasi pemerintah. Mereka seperti benih berkualitas yang tidak berkecambah karena tajuk generasi tua. Tongkat estafet kepemimpinan sebagian besar belum diserahkan kepadanya. Prinsip Ketujuh : Pemerintah sebagai Wirausaha Pemerintah mengeluarkan energinya bukan hanya untuk membelanjakan uang atau melakukan pengeluaran anggaran, melainkan juga untuk memperolehnya. Fungsi pemerintah perlu diarahkan seperti usaha publik yang memberi keuntungan. Fungsi ini dapat diperankan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Beberapa 53
unit organisasi konservasi telah berhasil melakukannya. Balai Taman Nasional Bunaken punya cerita sukses mengembangkan pariwisata alam. Selain menghasilkan uang,taman nasional ini mampu membiayai dirinya sendiri dan mengurangi ketergantungan dari dana pemerintah. Sampel semacam ini sebetulnya harus diimbangi dengan pemberian keleluasaan oleh Departemen Kehutanan untuk menjadi Unit Swadana. Langkah ini sudah diikuti oleh beberapa taman nasional seperti Gunung Gede Pangrango, Ujungkulon, Bromo Tengger-Semeru, Bunaken, Komodo yang sudah siap menjadi unit mandiri. Prinsip Kedelapan : Pemerintahan Antisipatif Pemerintahan yang antisipatif akan berusaha mencegah masalah daripada memperbaiki. masalah. Pemerintah harus selalu mengantisipasi masalah publik agar mampu melakukan tindakan preventif atau pencegahan. Biaya mencegah masalah jauh lebih murah dari pada biaya mengatasi masalah. Kemampuan antisipatif diperoleh dari keahlian melakukan proyeksi dan prediksi-prediksi masa depan. Keahlian tersebut didukung penguasaan data dan informasi komprehensif. Kemampuan ini berkaitan dengan 54
daya pantau, dokumentasi dan evaluasi yang baik dan berkelanjutan. Banyak kasus terjadi berulang tanpa pernah bisa diatasi. Kebakaran lahan dan hutan, penjarahan hutan, konflik satwa dengan masyarakat berlangsung tiap tahun tanpa bisa dicegah. Semua kejadian tersebut sebenarnya dapat diantisipasi karena gejalanya telah mulai nampak jauh hari. Semua terjadi karena tidak pernah diprediksi-prediksi secara cermat. Kita lebih bersikap re-aktif dan bukannya pro-aktif. Prinsip Kesembilan : Pemerintahan yang Terdesentralisasi Pemerintah terdesentralisasi akan melimpahkan wewenang kepada organisasi-organisasi yang lebih kecil serta kepada kelompok-kelompok masyarakat. Desentralisasi akan mendorong pemerintah berurusan langsung dengan masyarakat dalam membuat keputusan. Ini perlu untuk mengembangkan partisipasi masyarakat. Dalam kasus mutakhir, proses desentralisasi lebih diwarnai kepentingan politik dan persiapan yang kurang matang secara kultural. Daerah—dengan sumberdaya manusia yang belum terlalu siap— cenderung mengulang kinerja model birokrasi terpusat. Pejabat-pejabat di daerah juga cen55
derung mengambil keputusan lebih untuk kepentingan (maaf) pribadi. daripada kepentingan publik Prinsip Kesepuluh : Pemerintah yang Berorientasi Pasar Pemerintah perlu melakukan perubahan dengan menjalin hubungan yang positif dengan pasar. Pemerintah tak perlu memusuhi pasar dan memilih mekanisme birokratik yang lama. Pemerintah dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan perubahan. Perubahan ini mungkin apabila struktur organisasi pemerintah besar dan bertele-tele seperti rantai panjang berbelit-belit. Prinsip ini terkait dengan prinsip-prinsip sebelumnya. Desentralisasi bertugas memotong jalur birokrasi yang panjang dan orientasi pasar akan memudahkan pengembangan sistim pengawasan yang efektif di tingkat provinsi, kabupaten, dan lokal. Perampingan sistim birokrasi pemerintah adalah langkah pertama yang dapat di lakukan. Organisasi publik yang bergerak di bidang konservasi alam dan lingkungan perlu membangun budaya baru dalam menyikapi perubahan-perubahan politik, sosial, ekonomi, dan budaya yang tak menentu. Membangun, seperti halnya menyiapkan rumah perlu tahapan56
tahapan tertentu, tidak langsung jadi dan sempurna. Selalu mengalami proses coba dan salah (trial and error). Tahapan pertama adalah merumuskan strategic direction. Tahapan ini mencakup perumusan visi, misi, strategi, dan penyusunan rencana strategis organisasi yang akan diuraikan dalam paparan berikut ini 1. Visi Bagaimana kita hidup kalau tak punya tujuan untuk hidup. Banyak orang merasa hidupnya hampa. Ini karena tak ada visi dalam kehidupan seseorang. Organisasi pun seperti manusia. Masalah utama organisasi sering di tempat ini. Ia tak punya nilai dan visi. Di organisasi swasta, istilah ini sudah lama dipakai dan bahkan wajib dipakai dalam membangun organisasi. Perusahaan-perusahaan besar pasti memiliki apa yang disebut sebagai “corporate culture” yang sebenarnya adalah nilai-nilai organisasi tersebut. Visi menjadi pegangan bagi semua staf. Semua gerak organisasi dikonsentrasikan dalam menerjemahkan visi tersebut. Visi menjadi semacam candle in the night bagi organisasi. Pola pengembangan organisasi pemerintah dengan visi yang jelas baru berkembang pada era 1990an. Kadang kita juga sulit memberi pengertian 57
apa itu visi, misi, dan tujuan organisasi. Kata-kata tersebut banyak diucapkan dan dipertukarkan namun sering tak diketahui duduk perkaranya. “Yang penting visi-misi organisasi kami adalah…..?”. Penghamburan kata-kata itu kerap tanpa disertai dengan pemahaman yang benar dan cukup mendalam. Visi adalah representasi keyakinan kita tentang bagaimana seharusnya bentuk organisasi di masa depan dalam pandangan pelanggan, staff, dan stakeholders lainnya. Visi bersifat intuitif pada mulanya. Visi bisa berkembang mengikuti nilai dan keyakinan manajemen. Visi sebaiknya dirumuskan oleh semua yang berkepentingan (stakeholders). Proses untuk mendapatkan kesepakatan ini seringkali memerlukan waktu lama (visioning process). Meski butuh waktu lama, hasilnya merupakan kesepakatan bersama (shared-vision) yang menjadi impian atau cita-cita bersama. Pernyataan visi diformulasikan secara : ringkas, menarik perhatian dan mudah diingat, memberikan inspirasi dan tantangan bagi prestasi masa depan, dapat dipercaya dan konsisten dengan nilai strategis, dan pernyataan misi, berfungsi sebagai titik temu dengan stakeholder penting, 58
secara jelas menyatakan esensi mengenai seperti apakah seharusnya organisasi, memungkinkan fleksibilitas dan kreativitas dalam pelaksanaannya.
Buku The Visionary Leader: Pemimpin yang Bervisi Kuat karangan B. Wall dkk. (1999) menyatakan, visi harus mempunyai tiga komponen yaitu : a) Pernyataan Misi; merupakan pernyataan tertulis yang disusun untuk mengilhami staf agar mempunyai komitmen terhadap visi organisasi, b) Daftar kata-kata; menentukan kata-kata kunci dan ungkapan dalam Pernyataan Misi. Ini mencegah timbulnya perbedaan penafsiran terhadap misi, dan c) Asas pedoman; merupakan nilai-nilai penting yang memandu hubungan staf dengan pelanggan dan antara sesama mereka. Visi memberikan inspirasi, menggugah emosi, membangkitkan entusiasme, dan menyuntikkan motivasi Andreas Harefa (2000) Rumusan visi biasanya tidak dipahami oleh pihak lain dan terjebak menjadi slogan. Andreas Harefa menyebut kurang lebih 17 penyebab visi tidak menjadi ruh bagi organisasi: 59
60
visi itu tidak cukup jelas; visi itu tidak cukup dikomunikasikan; visi itu tidak cukup menarik perhatian; visi itu tidak sesuai dengan harapan dan keinginan banyak orang; visi itu tidak cukup sederhana untuk dapat diingat; visi itu tidak cukup ambisius; visi itu tidak cukup memotivasi; visi itu tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dianut sebagian besar orang; visi itu tidak menginspirasikan entusiasme; visi itu, kalau tercapai, tidak memberikan rasa bangga; visi itu tidak mampu memberikan makna dalam kaitannya dengan kehidupan seharihari; visi itu tidak merefleksikan keunikan; visi itu tidak diyakini dapat dicapai; visi itu tidak membuat orang bersedia berkorban; visi itu tidak “bernafas” atau tidak “hidup”; visi itu tidak dirumuskan secara positif; visi itu tidak dipelihara baik-baik oleh penggagasnya.
2. Misi Misi adalah garis besar langkah-langkah yang harus dilalui untuk waktu tertentu dalam rangka mencapai Visi. Misi juga menunjukkan “daftar dan ruang-lingkup” kegiatan utama organisasi. Misi dirancang untuk memberikan tuntunan yang kuat dalam pengambilan keputusan penting. G.L.Morrisey (1997), seorang pakar perencanaan dalam bukunya Pedoman Perencanaan Jangka Panjang, menyatakan bahwa misi sekurang-kurangnya memuat: Konsep organisasi Sifat bisnis Alasan keberadaan organisasi Pihak-pihak yang dilayani Prinsip dan nilai yang akan menjadi pegangan ketika menjalankan organisasi
VISI = MISI + DAFTAR KATA-KATA + ASAS PEDOMAN
Pernyataan misi memiliki dua fungsi. Pertama, ia menetapkan sasaran organisasi. Kedua, ia mengkoordinasikan tindakan dan usaha. Lebih lengkap lagi apabila pernyataan misi tersebut di 61
tambah dengan kemampuan pemimpin menjawab empat pertanyaan B. Wall dan kawankawannya (1999) mengeneai organisasi: Siapa kita? Apa yang kita lakukan? Untuk siapa kita melakukannya? Mengapa kita melakukannya? 3. Strategi Yang Efektif Untuk mencapai visi dan misi seorang pemimpin harus memiliki strategi. Strategi adalah upaya taktis untuk mencapai misi yang ditetapkan. Strategi, tentunya, harus efisien, jitu, dan efektif. Ahli manajemen Philipina, Prof Eduardo A. Morato mengidentifikasi 14 ciri strategi yang brilian, yakni: Dapat mengenali trend dan arah lingkungan dominan, apa yang organisasi dapat/tidak dapat lakukan; apa yang organisasi miliki/ tidak dimiliki; Mampu menentukan skenario ke depan yang paling tepat dalam kaitannya dengan penempatan posisi organisasi; Mengidentifikasi strategi berdasarkan visi, nilai, dan preferensi; Menembak sasaran terpilih, tidak menghamburkan sumber daya; 62
Organisasi mengarahkan sumberdayanya untuk melaksanakan strategi terpilih; Seluruh komponen organisasi harus bergerak mendukung tercapainya strategi terpilih; Mampu menghindari mismatch antara alokasi sumber daya manusia, struktur organisasi, sistim, tujuan, strategi terpilih, dan tugas dari organisasi; Mampu menetapkan tujuan yang terjangkau dalam durasi waktu tertentu; Harus do-able atau dapat dilaksanakan oleh organisasi; Diantara variabel yang dipekerjakan harus saling mendukung, bukan saling menjatuhkan; Mampu memantau apakah “action” bergerak menuju tujuannya; Strategi harus diterjemahkan ke dalam dampak yang dapat dirasakan atau dikenali; Perlu melakukan perubahan, modifikasi, atau merubah seluruh strategi terkait dengan perubahan lingkungan; Organisasi harus bertanggung jawab terhadap hasil dan bertanggung jawab bagi target groups. Organisasi tidak berorientasi pada inputs dan tasks. Harus yakin bahwa 63
inputs dan tasks mengarah pada outputs dan outcomes. Thorpe (2002) menambahkan lewat buku Berpikir Cara Einstein: Cara-Cara Sederhana Untuk Melanggar Aturan Serta Menemukan Kejeniusan Anda Yang Tersembunyi, organisasi seharusnya menjadi tempat yang hebat untuk pemikiran inovatif-kreatif. Organisasi memiliki orang-orang dengan berbagai pengetahuan dan pengalaman. Mereka memiliki enerji untuk menumbuhkan bahkan konsep-konsep yang sulit pun menjadi solusi-solusi fenomenal. Seharusnya mereka menjadi lahan yang subur bagi kreativitas. Sayangnya, dunia nyata tidaklah bekerja seperti itu. Kebanyakan organisasi terbelenggu oleh kelambanan birokratis mereka sendiri. 4. Rencana Strategis Sebagaimana telah disinggung di bab terdahulu, kunci membangun organisasi adalah perencanaan yang tepat lewat dokumen Rencana Strategis (Renstra). Dokumen ini menjadi kompas untuk menunjukkan tujuan. Lewat dokumen ini, tingkah polah organisasi dipantau. Apakah berjalan pada kesepakatan atau sudah melenceng dari koridor? Bagaimana mekanisme penyusunan Renstra? 64
Apakah cukup disusun oleh konsultan perencanaan profesional? Apakah organisasi hanya menerima hasil untuk kemudian dilaksanakan? Atau ada cara lain? Secara sederhana, Renstra harus menjawab minimal empat pertanyaan fundamental, yaitu 1) kemana kita akan pergi (vision-mission), 2) bagaimana kita sampai ke sana (strategi), 3) sumber daya apa saja yang kita miliki untuk melakukan aktivitas (SDM dan pendanaan), dan 4) bagaimana kita tahu bahwa kita berada di jalur yang benar (pemantauan, kontrol, evaluasi). Ciri-ciri Renstra dapat dibandingkan dengan perencanaan tradisional. Beberapa perbedaan diantaranya adalah: Renstra lebih terbuka dan justru dengan keterbukaan itu (dicirikan dengan keterlibatan stakeholder kunci dalam proses penyusunan), kita akan menemukan berbagai kesamaan atau perbedaan visi, simpul jaringan, potensi mitra, aspirasi publik, bahkan ancaman organisasi. Renstra juga memungkinkan staf pemerintah mengadaptasi perkembangan dan pengetahuan baru yang tidak didapatkan dari organisasi. Renstra lebih proaktif, berorientasi ke publik, dengan mencakup berbagai isu, tidak hirarkis, dan mendorong konsensus publik untuk berbagai isu penting atau permasalahan yang dihadapi. 65
Perencanaan tradisional bersifat top-down. Renstra lebih bernuansa bottom-up. Semua ide dan gagasan berasal dari staff dan beberapa pihak kunci (stakeholders). Agar lebih demokratis dan egaliter diperlukan fasilitator handal dan netral dalam proses penyusunan Renstra. Komitmen atasan dan komunikasi bawahan serta masukan dan usulan dari pihak luar disatukan secara setara. Perubahan mendasar adalah mengarahnya pola pertanggungjawaban administratif (pola lama) ke pertanggungjawaban publik (pola Renstra). Syarat-syarat yang diperlukan untuk mencapai ini adalah kesiapan birokrasi pemerintah untuk tidak merasa pihak paling penting. Dalam banyak kasus, birokrasi tidak siap. Perlu masa transisi cukup lama untuk perubahan ini. 4.1. Mengapa Perlu Renstra Organisasi publik harus melihat masa depan sebagai kesempatan ketimbang ancaman. Perencanaan yang tepat akan membantu mengeksplorasi dan mengeksploitasi masa depan itu. Caranya dengan membatasi ancaman eksternal, mengambil keuntungan dari kesempatan, dan mampu merespon isu-isu dan masalah di masyarakat dengan bijak dan bertanggungjawab. 66
Perencanaan tradisional cepat menjadi absolut dan kaku karena situasi kompleksitas lingkungan luar yang dinamis. Perencanaan pemerintah terkenal dengan sifatnya yang reaktif, jangka pendek, berorientasi ke staff belaka, didominasi isu tunggal, hirarkis, dan kurang mendapatkan dukungan masyarakat. Kenapa kurang mendapatkan dukungan? Pertama-tama, jarang dikonsultasikan ke masyarakat. Kedua teknikteknik perencanaan sangat tradisional. Jarang ada perencanaan yang terbuka, partisipatif, saling memahami, dan pemahaman komitmen. Dalam kasus-kasus yang penulis pernah terlibat, perencanaan sekedar formalitas dengan legitimasi pihak kunci stakeholder. Substansi masalahnya tidak dibahas dan didiskusikan. Di kalangan yang kritis, LSM terutama, ada pameo 3-I: invite, involve, dan ignore. Diundang, dilibatkan, lalu akhirnya dilupakan atau diabaikan. 4.2. Tahapan Penyusunan Renstra Kerangka kerja proses penyusunan Renstra melintasi ruang lingkup kewenangan (beyond boundary). Renstra juga yang melebar cakrawala analisis kepada lingkungan di luar organisasi (external environment) yang berpotensi memberi ancaman (threat) sekaligus memberi peluang dan 67
kesempatan (opportunity). Salah satu framework di bawah ini penulis coba angkat untuk secara bersama kita analisis.
Sumber: Schwartz, Michael A. dan Timothy N.Burelle dalam Smith, Bucklin and Associates (1994)
Sebagaimana digambarkan dalam flowchart tersebut di atas, tahapan Renstra dimulai dari Kajian Internal, Kajian Eksternal, dikaitkan dengan Nilai-nilai Organisasi yang bersangkutan, serta Visi dan Misinya. Selanjutnya dari analisis keterkaitan antara nilai organisasi, visi, misi, kondisi internal, dan kondisi eksternal, akan diperoleh dan diidentifikasi isu-isu strategis yang harus dikerjakan oleh organisasi tersebut. Isu-isu strategis tersebut dapat dijadikan basis kompetensi (core competency) organisasi dan dijadikan core programs atau program inti. Seluruh 68
energi dan sumber daya organisasi harus dicurahkan untuk menangani isu-isu strategis tersebut. Dalam proses penyusunan Renstra, kita perlu fahami tahapan-tahapan sebagai berikut: 1. Nilai-nilai Organisasi Organisasi harus memiliki nilai (value). Nilainilai inilah semacam ruh yang terus ditiupkan. Suatu spirit of the organization. Nilai adalah sesuatu yang setiap orang ingin mendapatkannya. Sesuatu yang diharapkan bersama. Nilai adalah juga jangkar yang menyelamatkan organisasi. Ia menjadi “kitab suci” bagi setiap staf untuk memandu langkahnya. Nilai suatu organisasi, misalnya adalah transparansi atau keterbukaan. Apabila organisasi sepakat menerimanya, setiap langkahnya harus selalu memegang keterbukaan. Perwujudannya tercermin dalam proses perencanaan program yang terbuka. Organisasi yang tidak menganut nilai ini akan melihat pihak luar melulu sebagai ancaman. Nilai lain adalah networking atau jejaring kerja. Organisasi yang memiliki nilai akan selalu mencari mitra dalam bekerja. Pola ini akan merubah wajah organisasi menjadi lebih simpatik, egaliter, terbuka, fleksibel, tanpa harus kehilangan identitas. Keterbukaan bukan berarti semua 69
informasi dapat diakses dan diumumkan ke publik. Keterbukaan dilakukan pada bagianbagian yang menjadi komitmen. Kalau tidak, organisasi yang bermitra tidak punya identitas dan kemandirian sesuai dengan mandat. Nilai-nilai organisasi harus disusun dan dirumuskan oleh pemimpin organisasi tersebut bersama-sama dengan seluruh staf dan nilai-nilai itu akan disepakati untuk dijadikan pegangan bersama dan menjadi spirit seluruh staf dalam menjalankan roda organisasi. Kemampuan leadership dituntut dalam proses penyusunan nilai dan proses internalisasi nilai-nilai itu ke dalam seluruh proses jalannya organisasi tersebut. Keteladanan seorang pemimpin akan membantu mempercepat proses internalisasi nilai-nilai ke dalam bawah sadar masing-masing staf. Pembahasan nilai-nilai organisasi bersangkut paut dengan modal sosial. Modal sosial dalam pengertian ini adalah seperangkat hubungan horizontal antara individu. Ia adalah jaringan keterikatan sosial yang diatur oleh norma-norma yang menentukan tindakan kelompok atau komunitas. Ada tiga dimensi dalam modal sosial menurut R. Syahra dalam risalahnya di Jurnal Masyarakat dan Budaya, (2003) Modal Sosial: Konsep dan Aplikasi. Pertama, dimensi kognitif: 70
berkaitan dengan nilai-nilai, sikap dan keyakinan yang mempengaruhi kepercayaa n, solidaritas dan resiprositas yang mendorong ke arah terciptanya kerjasama dalam masyarakat guna mencapai tujuan bersama (common goals); kedua adalah dimensi kultural, di mana kelompok etnik tertentu memiliki nilai-nilai budaya sebagai modal sosial yang memungkinkan terpeliharanya hubungan yang harmonis; ketiga adalah dimensi struktural: berupa susunan, ruang lingkup organisasi dan lembaga-lembaga masyarakat yang mewadahi terjadinya kegiatan-kegiatan kolektif yang bermanfaat bagi seluruh warga masyarakat. Seorang pemimpin harus mampu mengidentifikasi modal sosial. Baik yang ada dalam organisasinya maupun modal sosial yang dimiliki dan masyarakat di mana organisasi itu akan melakukan kegiatan. Dengan demikian, kehadiran organisasi tersebut akan dapat menggunakan modal sosial yang telah ada dan sekaligus meningkatkannya untuk kepentingankepentingan bersama. Modal sosial salah satu faktor kunci dan pilar Renstra yang partisipatif. 2. Kajian Internal Kajian ini dilakukan untuk mengukur 71
kekuatan dan kelemahan organisasi. Termasuk didalamnya adalah sumberdaya manusia, struktur organisasi, anggaran, sistim perencanaan, dan leadership. Konsultan dari luar kalau perlu, diminta menilai performa organisasi. Organisasi harus fair dan berimbang dalam menilai kekuatan dan kelemahan. Kekuatan dijadikan faktor pendorong pelaksanaan kegiatan penting. Kelemahan harus dicari upaya pemecahannya, baik jangka pendek maupun jangka menengah. 3. Kajian Eksternal Kajian ini dilakukan terhadap peluang, ancaman maupun tantangan dari luar. Kajian juga dapat dilakukan terhadap pesaing dan sekaligus calon mitra. Perhatikan peluang yang mempengaruhi kekuatan meraih peluang. Perhatikan pula ancaman yang merongrong kelemahan. Kajian ini lebih sulit dilakukan dan sangat tergantung proses konsultasi dengan pihak luar. Ambillah contoh Taman Nasional atau KSDA. Mitra potensialnya mulai dari Bappeda, Dinas Pemda, Pusat Studi dan lembaga penelitian, universitas, LSM, kelompok swadaya masyarakat (KSM), media massa, sampai pihak swasta. Orang menyebutnya analisys stakeholders. 72
Analisis ini untuk menjawab seberapa besar kemungkinan organisasi bermitra dengan pihak luar. Analisis semacam ini diarahkan untuk membaca hambatan atau ancaman ketika organisasi akan melaksanakan kegiatan dan bagaimana melakukan antisipasi. 4. Isu-isu Strategis Hasil dari kajian Internal dan Kajian Eksternal membantu mengklasifikasikan isu-isu strategis dan isu-isu taktis. Isu strategis memuat skala prioritas program dan kegiatan dengan memperhatikan ketersediaan sumber daya. Idealnya, seleksi prioritas isu-isu strategis tersebut juga dilakukan bersama dengan pihak kunci lain. Isu-isu strategis mencakup pengembangan organisasi dan mitra dalam membangun citra organisasi ke depan. Pemilahan isu-isu strategis memudahkan penyusunan program-program yang relevan (core programs). Program-program ini adalah program yang harus didahulukan dan mendapat prioritas karena menyangkut hubungan dengan pihak luar dan masyarakat. 5. Monitoring dan Evaluasi Bersama Seberapa jeniusnya cara menyusun Renstra, ia tidak sempurna karena melewati ruang dan 73
waktu yang dapat berubah. Untuk itu diperlukan monitoring dan evaluasi. Monitoring dan evaluasi ini harus dilakukan bersama-sama dengan pihak yang memiliki komitmen. Kemungkinan penyimpangan kegiatan, baik segi keuangan dan substansi, dapat diluruskan pihak-pihak lain. Monitoring dan evaluasi umumnya sulit dilaksanakan. Apabila dilaksanakan, apa yang disebut dalam manajemen sebagai build-in control dapat terjadi. Kemungkinan penyelewengan akan dapat diantisipasi dan kegiatan dapat dilaksanakan sesuai dengan rencana. Keseluruhan proses adalah belajar dalam semua proses antar semua pihak. Semua pihak dapat terus belajar bersama. Hasil pembelajaran memberi masukan bagi organisasi dengan mitranya untuk membangun kegiatan ke depan yang lebih baik, penambahan strategi, dan melakukan evaluasi relevansi program. Proses pembelajaran bersama dapat dijadikan alat ukur untuk mengetahui seberapa besar komitmen staf dan mitra organisasi terhadap visi dan misi. Proses ini juga menjadi ajang komunikasi multiarah dan selanjutnya akan membangun kepercayaan. Hasilnya adalah situasi sama sama menang dan sama-sama saling menguntungkan. Situasi sinergis ini membuat semua pihak merasakan 74
manfaat bersama-sama. Contoh, bimbingan, dan guideline tentang bagaimana menyusun Renstra bagi Unit-unit Pelaksana Teknis di lapangan. Minimal membuka pintu dialog dan komunikasi dengan berbagai pihak kunci. Masyarakat tidak hanya dijadikan obyek proyek pemerintah. Proses yang partisipaif ini menyemai pemberdayaan dan energi sosial dan intelektual di masyarakat dan memandirikan masyarakat dari kebiasaan ketergantungan pada pemerintah. 6. Konsultasi Publik Pola yang benar dalam menyusun Renstra adalah melalui konsultasi publik. Tidak dilakukan konsultan kontrakan. Proses ini dikawal fasilitator yang netral. Tugas fasilitator adalah membantu kelancaran proses dialog multipihak yang akan melahirkan kepahaman dan kesepakatan bersama tentang isu-isu strategis yang akan dijadikan program bersama (common agenda). Kebanyakan perencanaan kegiatan organisasi konservasi—khususnya di lingkungan pemerintah—dilakukan konsultan yang disewa. Proses konsultasi ini memakai para spesialis. Proses ini bukannya tidak baik. Kekurangannya adalah rendahnya partisipasi dari pihak-pihak kunci, termasuk masyarakat lokal yang menerima 75
dampak pelaksanaan program. Hanya konsultan dan organisasi itu sendiri yang mengetahui semua kegiatan. Organisasi mudah terperosok ke dalam mentalitas keproyekan yang hanya mementingkan pertanggungjawaban administrasi (keuangan dan laporan pelaksanaan fisik/ kegiatan). Kepentingan yang lebih besar dan substansial tidak terjangkau serta tidak mencapai sasaran. Konsultasi publik—termasuk dengan pakar dan praktisi—dalam penyusunan Renstra di bidang konservasi alam dan lingkungan hidup, ibaratnya, hukumnya wajib a’in. Pemerintah pusat di Jakarta, dapat memberikan kewenangan, contoh, bimbingan, dan guideline tentang bagaimana menyusun Renstra bagi Unit-unit Pelaksana Teknis di lapangan. Minimal membuka pintu dialog dan komunikasi dengan berbagai pihak kunci. Masyarakat tidak hanya dijadikan obyek proyek pemerintah. Proses yang partisipaif ini menyemai pemberdayaan dan energi sosial dan intelektual di masyarakat dan memandirikan masyarakat dari kebiasaan ketergantungan pada pemerintah.
76
Bab V
MEMBANGUN KEMITRAAN Konsultasi publik dalam penyusunan Renstra tidak semudah membalikkan telapak tangan. Kultur organisasi yang soliter dan pengalaman bermitra yang terbatas adalah kendala utama. Organisasi sedikit sekali pengalaman kolaboratifnya. Meski kata ini riuh rendah digunakan secara luas, pengertian yang tepat masih simpang siur. Semua orang berduyun-duyun membopong istilah ini dalam setiap kerja mereka. Kosakata, karena masih segar dan baru, gampang di salah artikan dan digunakan secara semena-mena. Uraian berikut ini sedikit memahami pengertian kolaborasi. a) Kolaborasi Penulis memberi batasan kolaborasi sebagai berikut ini: “Suatu hubungan kerjasama dalam upaya mencapai tujuan bersama dengan saling memberikan tanggungjawab, otoritas, dan tanggunggugat dengan berpegang pada prinsip saling menghormati, saling percaya, saling menguntungkan, serta saling memperkuat (empowering) di antara para pihak”.
sama-sama 77
Kolaborasi bukan sekadar bekerja sama-sama tau sama-sama bekerja. Lebih dari itu, di dalamnya terkandung common vision atau tujuan bersama dan saling menguatkan (empowering), melalui shared vision. Tujuan tersebut saling menguntungkan pihak yang bekerjasama. Pengertian kerjasama tersebut memuat kejelasan tanggung jawab, kewenangan, dan tanggunggugat. Saling memperkuat atas dengan moralitas saling menghormati dan saling percaya. Kolaborasi adalah satu langkah strategis khususnya dalam membangun visi bersama. Banyak organisasi menghadapi perbedaan pendapat, pandangan, prioritas, ukuran keberhasilan dan enerjinya sedemikian dihamburhamburkan untuk berselisih. Kolaborasi hanya bisa dibangun melalui proses kerjasama saling percaya (trust). Kepercayaan akan meningkatkan dan menumbuhkan kerjasama. Grafik di bawah ini menunjukkan hasil resultan antara semakin tingginya kerjasama dengan semakin dalamnya tingkat kepercayaan. Pada tahap awal, tingkat kerjasama yang rendah dan membuahkan kepercayaan yang minimal dan produknya adalah situasi defensif (atau seringkali disebut sebagai situasi menang– kalah atau kalah-menang). Pada tahapan 78
berikutnya ketika situasi kerjasama membaik rasa saling percaya tumbuh terjalin sikap saling menghormati dan menghargai. b) Networking Kolaborasi tak akan lengkap dan bisa jalan tanpa membangun jaringan atau networking. Networking ini dapat dipakai sebagai kendaraan oleh organisasi dalam melaksanakan kegiatankegiatan yang telah disepakati dalam rencana strategis yang telah disusun bersama tersebut. Jaringan dalam konteks konservasi alam dan lingkungan mungkin memang belum ada definisi yang konkrit. Apalagi, bila networking melibatkan multilevel-stakeholders, seperti antara Pemerintah Pusat-Pemerintah Propinsi- Pemerintah Kabu79
paten- Masyarakat di tambah dengan Lembaga internasional-LSM lokal-universitas-pengusaha. Jaringan seperti yang terjadi sekarang bersifat trial and error dan sedang mencari identitas bersama. Namun fenomena ini tak pernah terbayangkan dapat terjadi 10-15 tahun lalu. Kita perlu mulai mendefinisikan apa yang disebut networking itu. Dengan ringkas networking penulis definisikan sebagai berikut: “Sistim kolaborasi multi-level stakeholders yang didasarkan pada kesamaan titik pandang tentang tujuan bersama yang hendak dicapai dan cara mencapainya, atas dasar kesadaran kolektif, dengan bertumpu pada semangat kebersamaan, saling pengertian, kesetaraan peran, saling menghormati dan menghargai, serta kemanfaatan bersama”
Definisi Networking di atas dapat di bandingkan dengan pendapat yang menarik dari C. J. Bibby dan C. C. Alder (2003) berikut ini. Keduanya menghubungkan antara network, coordination, alliance, dan partnership. a. Mengapa Network? Banyak alasan mengapa kita perlu membangun network. Beberapa alasan dapat dikemukakan di sini: 1. Pengalaman membuktikan usaha konservasi alam dan penyelamatan lingkungan gagal 80
dilakukan oleh pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat sendiri-sendiri. Sekurang-kurangnya ada dua penyebab mengapa itu terjadi. Penyebab pertama adalah kompleksitas dan luasnya permasalahan (wilayah, tanggung jawab, isu) konservasi alam dan keterbatasan (sumberdaya manusia, teknis, dana, sistim perencanaan, sistim kerja, komitmen) masing-masing lembaga. Masyarakat yang berada 81
di lokasi sumber daya alam itu tetap menanggung kerusakan secara langsung (banjir, tanah longsor, pencemaran air, pencemaran tanah, penurunan kesuburan tanah, eksplosi hama dan penyakit) dan masyarakat luas kehilangan sumber daya alam secara tak langsung (punahnya berbagai jenis-jenis hidupan liar, hilangnya habitat alami, lenyapnya sumber inspirasi dan sebagainya); 2. Kita sering meragukan kemampuan orang lain, terutama masyarakat dalam usaha memperbaiki kualitas lingkungan hidup. Data Kementerian Lingkungan Hidup tahun 2003 memberi bukti, yang menurut penulis tak terbantahkan lagi. Sejak 1980-2003 sebanyak 195 orang/kelompok telah menerima penghargaan Kalpataru. Mereka adalah contoh individu atau kelompok masyarakat yang mengabdi, menyelamatkaan, dan membina lingkungan hidup di mana mereka tinggal atas inisiatif sendiri. Inilah modal sosial yang sangat besar dari masyarakat yang tidak bisa dipandang sebelah mata oleh pemerintah; 3. Permasalahan konservasi alam dan lingkungan terlalu kompleks untuk ditangani secara parsial. Baik pekerjaan lapangan atau advokasi dan kebijakan. Penanganan advokasi dan kebijakan maupun penyelesaian konkrit di 82
lapangan perlu melibatkan pendekatan multidisipliner dan multi-level stakeholders. Pengalaman kerja yang melibatkan banyak lapisan, kepentingan, dan pemain seperti ini belum pernah dilakukan pemerintah. Pada dosis tertentu langkah ini justru dimulai lembaga swadaya masyarakat; 4. Kendaraan bernama network dapat mengangkut kesadaran kolektif dan komitmen untuk bekal aksi konkrit yang kolektif (collective actions). Lantas, sinergi antar stakeholders dalam menyelesaikan masalah dapat dilakukan; 5. Proses berbagi pengalaman, dalam proses networking, dapat menginspirasi dan memberi ilham. Pencerahan ini hanya dapat dilakukan bila keran komunikasi yang selama ini buntu dapat terbuka. Pencerahan untuk menangkal isu-isu anti lingkungan yang banyak mendistorsi informasi, memanipulasi informasi dan menjerumuskan masyarakat secara ke liang pembodohan. Proses kerjasama penyuluhan yang mencerahkan secara terus menerus dapat terbangun melalui networking yang konsisten. 6. Dalam perspektif ekonomi, networking akan mengurangi biaya dan waktu kegiatan karena ada sebagian kegiatan yang beririsan dapat dilakukan bersama-sama. Seperti kebajikan tua 83
ringan sama dipikul berat sama dijinjing. Proses ke arah itu memerlukan waktu lama. b. Langkah Membangun Network Networking, dapat ditempuh berbagai cara dan tahapan. Pengalaman penulis membangun network organisasi konservasi di Yogyakarta, pada masa 1999-2000, memberi pelajaran berharga. Beberapa pengalaman tersebut adalah: 1. Mengidentifikasi Simpul Network Yang dimaksud dengan simpul sebenarnya adalah pihak-pihak kunci (stakeholders). Mereka dapat berupa LSM, dinas-dinas pemerintah daerah, pihak swasta, dan media. Identifikasi pihak-pihak kunci dapat dilakukan secara internal. Data dan informasi sekunder akan sangat membantu tahapan ini. Pengumpulan data dapat dilakukan secara formal dan informal. Setelah daftar stakeholder diperoleh, langkah selanjutnya membuat klasifikasi ke dalam beberapa kelompok berdasar minat dan pengalaman, level kepentingan. Misalnya, kita bisa mulai dari pengelompokan daerah sasaran dan aktivitas beberapa pihak kunci berdasar wilayah geografi. Atau kita bisa membuat pengelompokan berdasar atas level aktivitas: Apakah aktif di lapangan, advokasi kebijakan, pemberi bantuan teknis atau campuran dari semua itu. 84
Pengelompokan awal di atas dilanjutkan dengan pendalaman dan perkenalan. Proses ini melewati dialog. Dialog tidak mudah karena bukan sermonial atau dialog main-main. Dialog kerap tak perlu direncanakan. Beberapa pertemuan resmi maupun tak resmi yang mempertemukan beberapa pegiat organisasi dapat dimanfaatkan. Seminar, lokakarya, diskusidiskusi perlu diikuti karena pada forum-forum seperti itu kita dapat mencatat banyak hal dari calon simpul dari jaringan. Kesulitan timbul karena interest masing-masing organisasi beragam dan berubah-ubah sehingga sulit mengelompokkannya. Kecerdasan kita dalam mengklasifikasi pihak kunci berhubungan dengan pembuatan strategi kerjasama. Simpul-simpul mana yang sekiranya cukup strategis dalam mendukung gagasan kita itu. Sering terjadi interpretasi kita ternyata tidak benar dan meleset. Modal awal untuk mendapatkan informasi adalah mendengarkan (listening skill). Hal ini sering sulit, karena orang lebih suka berbicara. Suatu cara menunjukkan eksistensi namun menjadi bumerang. Penyakit lama birokrat adalah merasa benar, hebat, dan mengatasi banyak hal. Diperlukan kemampuan mendengar, mencatat, memahami, membuat review, dan 85
mengkristalkan relasi dengan pihak kunci untuk membangun jaringan strategis. 1. Membangun Komunikasi Asertif Antar Simpul Setelah melakukan identifikasi, langkah selanjutnya adalah mengetahui aktivitas dan potensi masing-masing simpul jaringan. Pengetahuan ini dapat diperoleh melalui komunikasi asertif, saling menghargai dan dialog setara serta mendalam. Komunikasi dikembangkan melalui forum-forum dialog yang di rancang bersama secara periodik berdasarkan topik yang menjadi ketertarikan masing-masing. Tidak selalu pihak pemerintah yang mengundang. Setiap kesempatan pertemuan merupakan peluang tak langsung untuk melakukan identifikasi, pendekatan, dan dialog intens dengan simpul potensial. Kemampuan mendengarkan, mencatat, memahami dan yang lebih penting adalah membangun iklim dialog yang kondusif. Kemampuan ini adalah alat menumbuhkan kepercayaan (trust building). Kepercayaan merupakan modal awal berkembangnya interaksi yang jauh lebih kompleks nantinya.
86
a. Kesadaran Kolektif Kesadaran kolektif merupakan kesadaran-kesadaran individu, kelompok, atau institusi sebagai hasil dari komunikasi asertif antar pihak kunci. Kesadaran kolektif adalah akumulasi dan kristalisasi kesadaran bersama yang tak pernah mencapai titik temu. Kesadaran kolektif adalah kesadaran bersama dari berbagai komponen masyarakat di berbagai level. Kesadaran tentang apa? Tak lain kesadaran tentang kerusakan lingkungan hidup, kesadaran tentang perlunya usaha bersama dalam mengatasinya, kesadaran bahwa bila dilakukan secara parsial terbukti tidak akan membawa manfaat yang substansial dan cukup signifikan. Kesadaran kolektif ibarat embrio bagi aksi bersama (collective actions). Aksi bersama adalah suatu gerakan bersama yang akan memberikan dampak luas dalam wilayah yang luas dan bisa berimbas terhadap institusi atau orang di luar pihak-pihak kunci. Kesadaran bersama dapat dilihat dari kesadaran umum (mass consciousness). Kesadaran kolektif ini terbentuk apabila semua orang merasakan hal yang sama dan melakukan hal yang sama pula. Sarjana, doktor dan ahli konservasi keluar dari lembaga pendidikan seperti barang produksi; pusat-pusat studi, 87
lembaga kajian, lembaga konservasi tumbuh ibarat jamur di musim hujan namun relevansi kehadiran mereka dalam membangun masyarakat dan perbaikan kualitas lingkungan hidup dan konservasi alam tidak sebanding dengan jumlahnya. Beberapa contoh aksi bersama ini misalnya kasus perlawanan masyarakat Porsea terhadap PT. Indorayon. Kesamaan nasib dan perasaan terpinggirkan oleh kekuasaan ekonomi yang menindas membuat masyarakat bangkit dan menyusun solidaritas. Kesadaran dan tindakan mereka secara bergelombang beririsan dengan solidaritas gereja, mendapat dukungan advokasi dari LSM dan menggugah tokoh-tokoh masyarakat serta mengundang simpati media massa. Kesatuan aksi kolektif ini akhirnya mengubah kebijakan pemerintah. Advokasi semakin kuat apabila masyarakat korban, Organisasi Non-Pemerintah, tokoh lokal, media massa tumbuh sebagai gerakan sosial. Saya kira tantangan gerakan konservasi lingkungan pada masa depan adalah melakukan penempatan posisinya sebagai gerakan sosial. Kesadaran kolektif tak selalu berhubungan dengan perlawanan konfrontatif. Kita ambil pelajaran dari kelompok pelestari penyu di Pantai 88
Samas, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Balai KSDA Yogyakarta bekerja sama dengan nelayan pantai Samas sejak tahun 2000. Setahun kemudian terbentuk Forum Konservasi Penyu. Sebagian besar anggotanya adalah Karang Taruna dan tokoh masyarakat setempat, dan diketuai ketua Kelompok Tani Nelayan. Kelompok ini meluaskan jaringan dengan menggandeng Dinas Pertanian dan Kehutanan, Bapedal, dan Pemerintahan Daerah. Setelah dua tahun, aksi kolektif ini berhasil mengumpulkan 725 butir telur dan melepaskan 23 ekor penyu yang mendarat. Kelompok ini juga berhasil menetaskan 125 butir telur. Dari sekian telur yang ditetaskan, 15 ekor tukik berhasil diliarkan kembali ke laut. Mahasiswa, Bupati Bantul, dan siswa-siswa sekolah dasar, yayasan pendidikan lingkungan akhirnya terlibat dalam gerakan ini. Aksi tersebut terus berkembang. Pada tahun ketiga setelah kerjasama, 633 telur berhasil ditetaskan. Pada tahun ke empat aksi ini berhasil melepaskan 85 ekor tukik ke laut. Banyak pelajaran berharga dari Kasus Pelestarian Penyu di Bantul ini. Aksi bersama memanglah skala kecil ini. Namun demikian, usaha konservasi akan efektif ketika menjadi gerakan kolektif secara nyata di lapangan. Ini 89
dapat terjadi apabila pemerintah aktif dalam mengkembangkan kesadaran kolektif (collective awareness) menjadi aksi bersama (collective action). Konsistensi fasilitasi dan pendampingan Balai KSDA Yogyakarta dalam kasus di atas berhasil membangkitkan pemahaman dan kesadaran masyarakat luas. Terjadi perubahan budaya dari mengambil telur dan menangkap menuju menyelamatkan penyu. Perubahan ini berimplikasi sangat luas. Pihak-pihak luar yang berada di belakang perdagangan penyu dan telur di Yogyakarta menjadi gentar karena mereka tidak bisa memperalat masyarakat. Masyarakat juga menyadari, mereka dapat mengambil keuntungan ekonomi dari usaha pelestarian ini. Kesadaran kolektif ini juga memberi bukti masyarakat bisa mengelola kehidupan secara mandiri. Secara luas, upaya ini telah menarik minat pihak keraton dan beberapa yayasan untuk melakukan aksi bersama. Dengan konteks Yogyakarta, keterlibatan keraton yang memiliki nilai kultural tersendiri dalam aksi ini merupakan nilai tambah dan menjadi tambahan modal sosial yang tak ternilai.
90
c. Sinergi Hasil proses kolaborasi dan networking adalah sinergi. Sinergi adalah suatu keadaan dimana hasil akhir kegiatan secara keseluruhan lebih besar daripada jumlah bagian-bagiannya penyusunnya. Sinergi merupakan situasi menangmenang. Dalam konsepsi tingkatan komunikasi seperti yang disajikan dalam Grafik (Hal. 80), posisi sinergi menduduki peringkat paling atas. Sinergi ini suatu keadaan yang ditimbulkan dari jumlahan tingginya tingkatan kerjasama yang secara bertahap meningkatkan kepercayaan atau trust. Sinergi merupakan intisari dari kepemimpinan yang berpusat pada prinsip. Ia juga merupakan jalan tengah atau jalan yang lebih tinggi, seperti puncak dari sebuah segitiga. Perbedaan merupakan intisari dari apa yang disebut sebagai “sinergi”. Sinergi hanya tercapai melalui kerjasama visioner atau shared vision. Dalam pengembangan organisasi, shared vision hanya bisa dibangun apabila pemimpin mendorong tumbuhnya kerjasama internal organisasi dan kerjasama dengan pihak luar Contoh konkrit pengertian sinergi ada pada pengalaman kabupaten Mandailing Natal (Madina), Sumatra Utara. Melalui serentetan dia91
log dan komunikasi intensif Pemda Mandailing Natal bersama dengan Departemen Kehutanan, LSM internasional, dan LIPI berhasil menggolkan hutan lindung di kawasan Batang Gadis, seluas hampir 108.000 hektar, menjadi taman nasional. Lembaga internasional hanya memfasilitasi dan mendampingi proses di Jakarta. Ia hanya sedikit membantu lewat rapid biological assessment bersama LIPI untuk mengetahui potensi kawasan yang diusulkan. Pada akhirnya Departemen Kehutanan menetapkan kawasan Batang Gadis tersebut menjadi taman nasional melalui SK. Menteri Kehutanan No.126/Menhut-II/2004. Dalam kasus ini, hampir semua pihak mencapai kesepahaman pentingnya suatu kawasan hutan dilindungi melalui peningkatan status. Peningkatan status tersebut membuka kesempatan pengelolaan yang intensif dan bermanfaat bagi masyarakat. Kasus ini seperti oasis di tengah gurun. Sementara sebagian besar kabupaten berlomba meningkatkan pendapatan asli daerah dengan eksploitasi sumber daya (terutama hutan) kabupaten Mandailing Natal bersikap lain. Kawasan hutan lindung di Batang Gadis justru dijadikan taman nasional walaupun ada potensi tambang emas di dalamnya. Sekali lagi, konsistensi fasilitasi dan pendampingan 92
membuahkan sinergi. Namun demikian, sinergitas ini perlu terus ditingkatkan setelah penetapan status. Terutama sinergi dalam kolaborasi pengelolaan kawasan di masa depan secara efektif dan efisien, untuk sebesar-besarnya kepentingan dan kemaslahatan masyarakat. Ini perlu dibuktikan dan sang waktulah yang akan menjadi jurinya.
93
Bab VI
MENJADI ORGANISASI PEMBELAJAR Tantangan organisasi konservasi di masa depan tercermin dari pertanyaan seberapa mampu ia melakukan perubahan-perubahan strategis dalam merespon perubahan internal dan eksternal? Atau tepatnya, bagaimana sikap organisasi menghadapi tantangan zaman. Organisasi swasta lebih cepat dalam menghadapi perubahan ekonomi-politik secara global. Perubahan itu dihadapi dengan pembuatan strategi, perubahan-perubahan struktural, termasuk pengembangan manajerial dan leadership di dalam organisasinya. Langkah ini jarang dimiliki di bidang lingkungan hidup dan konservasi alam—khususnya organisasi pemerintah. L. I. Darsono dalam artikel Perubahan Organisasi, Khususnya Transformasi Organisasional: Hambatan, Solusi, dan Kunci Suksesnya dalam jurnal Telaah Bisnis (2003), menyebut tiga elemen organisasi yang menjadi target perubahan: struktur, teknologi dan sumber daya manusia. Dari ketiga elemen tersebut, manusia merupakan 94
elemen terpenting. Merubah orang berarti merubah budaya. Dan itu sulitnya minta ampun Merubah budaya organisasi artinya merubah praktik organisasi dan berarti juga merubah struktur organisasi tersebut. Perubahan manusia memerlukan transformasi. Transformasi bertujuan mencari praktik baru yang tepat dalam merespon lingkungan. Di jaman globalisasi sekarang ini, batas-batas administrasi pemerintahan dan negara sudah semakin kabur. Semua organisasi—pemerintah, swasta, lembaga swadaya masyarakat, lembaga pendidikan—menghadapi situasi dunia yang carut marut tidak menentu. Di Indonesia, ketidakpastian itu disulut desentralisasi yang tidak direncanakan secara matang. Semua terjadi karena kecelakaan politik. Desentralisasi seperti ini menyulitkan penataan struktur mental dan struktur manajemen. Kewenangan menjadi tumpang tindih. Daerah tidak menyiapkan sumber daya manusia, sarana, dan pendanaan. Tongkat estafet kewenangan dan tanggung jawab dari pusat berubah bentuk menjadi tongkat pemukul untuk menghajar sumber daya alam daerahnya. Politik desentralisasi melahirkan anakanak kembar. Anak-anak itu berwajah sentralisasi baru di daerah-daerah yang lebih 95
mengerikan dalam mengeskploitasi. Atas dalih otonomi, hampir-hampir sumber daya alam tak di sisakan lagi bagi generasi selanjutnya. Situasi geopolitik-sosial-ekonomi-budaya ini menggoyahkan tiang-tiang perencanaan organisasi. Termasuk di dalamnya budaya kepemimpinan dan manajemen. Organisasi seperti orang buta yang berjalan pada suasana gelap gulita. Sangat penting untuk mencari tongkat dan nyala obor menghindari kegelapan ini. Tongkat dan obor itu dapat disiapkan melalui pengamatan kondisi situasi eksternal. Tanda-tanda alam telah mengajari kita agar sensitif terhadap perubahan kondisi. Bukankah semua ekosistem telah berjalan secara ko-evolutif dan adaptif dengan alam? Organisasi pun demikian. Ia harus punya insting adaptasi, perubahan, diskresi, penyesuaian, dan antisipasi tanpa harus kehilangan arah dan kompetensi strategisnya. Nilai bukanlah bernilai abadi untuk keseluruhan zaman. Ia juga buatan manusia. Kelak nanti organisasi akan berubah dan mungkin akan diamputasi. Perubahan dan pembacaan terhadapnya membutuhkan kerendah hatian untuk terus memiliki semangat belajar. Pemimpin, mula-mula adalah manusia pembelajar. Andreas Harefa menyebut ciri-cirinya. Manusia pembelajar adalah manusia yang 96
“belajar tentang”, “belajar menjadi”, dan “belajar menyatakan diri”. Ia akan belajar, menginternalisasi proses itu dan ditransformasikan ke dalam pengembangan kemampuan, menerima dan menunaikan sejumlah tanggungjawab. Diatas semuanya, peranan leadership menjadi sangat penting. Hempasan badai di laut dan terjangan ombak menggunung dapat dilewati bila dalam kapal tersedia pemimpin yang tangguh. Seorang pemimpinlah yang membawa layar organisasi menuju pulau-pulau harapan baru. Dalam situasi seperti ini, kita tidak cukup hanya memiliki seorang leader-manajer yang handal. Kapal juga dimuati orang-orang yang cerdas. Seorang diri, meski ia nakhoda yang piawai, dalam menghadapai riuh taufan tak akan berhasil mendaratkan sauhnya ditempat yang tenang. Semua orang adalah pemimpin. Penting untuk itu suatu kepemimpinan kolektif joint leadership atau collective leadership. Kepemimpinan ini membawa semangat untuk saling melengkapi dalam menghadapi ganasnya lingkungan. Kita memerlukan keahlian seorang pemimpin sekaligus manajer. Percampuran keduanya menghasilkan pemimpin yang bijak dan rendah hati, tegas, dan berani.
97
Jika kita berusaha mengurai seluruh permasalahan yang berkaitan dengan organisasi, kepimpinan dan gerakan lingkungan hampirhampir semua itu terhubung seperti jalinan ekosistem sendiri. Kompleks, rumit, dan melibatkan hubungan timbal balik. Misalnya untuk membentuk kinerja yang efektif kita membutuhkan networking dan partnership yang kuat dan luas. Ibarat nakhoda kapal, pemimpin membutuhkan data-data metereologi dari ahli cuaca, keahlian tukang kayu jenius konstruksi perahu, insinyur yang telaten untuk merancang desain mesin yang tahan banting. Ia tak bisa bekerja sendirian. Kemitraan menjadi modal kunci bagi kemampuan bertahan hidup. Networking yang hebat akhirnya berlanjut menjadi dasar kesadaran kolektif dan aksi kolektif. Aksi kolektif akan membuat kohesi sosial bertunas. Nah, kohesi sosial, menurut refleksi Eko Budiharjo, pengamat sosial dan Rektor Universitas Diponegoro, terbentuk apabila suatu komunitas atau lingkungan telah memenuhi empat syarat yaitu trust, integrity, tolerance, dan spirit to unite. Balik lagi ke awal, empat syarat itu menjadi kompetensi seorang pemimpin visioner. Pemimpin visioner merupakan modal intelektual (intellectual capital) penting dalam mendorong terbangunnya net98
working yang kuat dan strategis. Kondisi timbal balik terjadi. Gerakan sosial dan kohesi sosial dalam bidang lingkungan akan menghasilkan pemimpin yang piawai sekaligus dihasilkan oleh pemimpin yang memiliki kapasitas dan kredibilitas. Lepas dari rantai interaksi tersebut, kita bisa memulai dengan berinvestasi mengembangkan sumberdaya manusia (human capital). Termasuk kapasitas intelektual seorang staff yang akan melanjutkan regenerasi kepemimpinan. Adakah saat ini kita sudah memiliki strategi ke depan dalam investasi sumberdaya manusia dan organisasi di Indonesia, khususnya yang bergerak di bidang lingkungan hidup dan konservasi alam? Pertanyaan seperti itu perlu kita renungkan bersama. Dunia semakin hari semakin pragmatis. Semua orang berpacu meraih keuntungan. Manusia pembelajar dan pemimpin pemimpin yang reflektif semakin jarang. Mencari pemimpin dan orang yang mengabdikan diri dan hidupnya untuk konservasi alam dan pelestarian lingkungan di tingkat lapangan seperti mencari satu bintang di antara jutaan galaksi. Terdapat dua masalah besar dalam hal ini. Pertama masalah struktural. Aspek ini disebabkan oleh peraturan yang membelenggu 99
sehingga organisasi sulit responsif terhadap perubahan. Persoalan ini dapat dikurangi dengan cara membangun kemitraan, jaringan, dan kolaborasi dengan pihak lain. Aspek ini berkait erat dengan aspek kedua yakni aspek kultural. Aspek ini disebabkan lemahnya kapasitas kepemimpinan sehingga organisasi kehilangan arahnya. Kepemimpinan yang handal, konsisten, dan memiliki integritas dan kredibilitas adalah syarat utama memperbaiki masalah kedua. Kepemimpinan bukan sesuatu yang terberi atau anugerah dari Tuhan. Kepemimpinan terbentuk melalui proses sosial. Ia adalah social construction. Ia bukan berasal dari sononya. Ia melintasi waktu dan ruang. Pendek kata, melalui sejarah. Pemimpin bisa dicetak, dibentuk, dan direkayasa. Pemimpin handal dihasilkan dari kepemimpinan yang kondusif. Guna menghasilkan tunas-tunas kepemimpinan yang lebih kompatibel, pemerintah harus melakukan investasi sumberdaya manusia. Pemerintah juga harus memberi kesempatan bagi orang muda untuk belajar dan menerima tantangan. Tempatkanlah orang muda yang ambisius dan cerdas pada pucuk pimpinan agar organisasi mengalami perubahan dan perbaikan. Kita harus menerima tantangan ini. Tanpa pemimpin yang profesional, 100
organisasi konservasi—milik pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat—akan longsor ditelan sejarah. Apakah benar kedua hal tersebut yang akan terjadi di Indonesia? Jawabannya terpulang kepada hati kita masing-masing. Perubahanperubahan substansial harus dimulai dari diri sendiri. Bila kita berubah, energi perubahan itu dapat mentransformasi perubahan di lingkungan sekitar kita, tempat kita bekerja, mitra kerja kita, dan masyarakat. Siapkah kita melakukan perubahan-perubahan itu? Pertanyaan-pertanyaan itu seperti teka-teki. Mengandung ancaman dan peluang. Kecemasan dan sekaligus harapan. Tanpa transformasi diri, tak ada perubahan sosial. Tak ada perubahan, tak ada kesempatan untuk memperbaiki lingkungan sekitar kita menjadi lebih baik. Bila ini yang terjadi, manusia yang paling bertanggungjawab terhadap kehancuran bumi, yang tinggal menunggu hitungan skala waktu peradaban manusia. Walau kita sadar bahwa manusia sebenarnya mahluk tanpa daya. Kehadiran Tsunami, tanggal 26 Desember 2004 membuktikan ketakberdayaan itu. Maka, jangan sekalipun melupakan sejarah dan asal-usul kemanusiaan kita. 101
DAFT AR RU JUK AN DAFTAR RUJUK JUKAN Aditjondro, G. J. 2003. Pola-pola Gerakan Lingkungan. Refleksi untuk Menyelamatkan Lingkungan dari Ekspansi Modal. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Ascher, W. 2000. Why Government Waste Natural Resources. John Hopkins University Press, Baltimore. Bibby, C. J. & C. Alder (editor). 2003. The Conservation Project Manual. The BP Conservation Programme. Cambidge. UK. Budiharjo,E. 2002. Kohesi Sosial Melalui Pendekatan Multikultur. Kompas, 26 Nopember 2002. Covey, S. 1997. The Seven Habits of Highly Effective People. Bina Rupa Aksara. Jakarta. Darsono, L. I. 2002. Perubahan Organisasi, Khususnya Transformasi Organisasional: Hambatan, Solusi, dan Kunci Suksesnya. Telaah Bisnis Volume 3 (2): 101-114. Giddens,A. 2000. Jalan Ketiga.Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Goleman, D. 2002. The New Leaders. Transforming the Art of Leadership into the Science of Results. A Little Brown Book. London. 102
Harefa, A. 2000. Menjadi Manusia Pembelajar: Pemberdayaan Diri, Transformasi Organisasi dan Masyarakat Lewat proses Pembelajaran. Penerbit Kompas. Gramedia. Jakarta Harefa, A. 2003. Mengasah Indra Pemimpin. Penerbit Gradien. Jakarta. Kemp, R. L. Strategic Planning in Local Government. Planners Press. American Planning Association. Chicago. Illionis. Kementerian Lingkungan Hidup. 2003. Ringkasan Kegiatan Penerima KALPATARU 1980-2003. Kementerian Lingkungan Hidup, Republik Indonesia. Keraf, A. S. 2002. Etika Lingkungan. Gramedia. Jakarta. Kertajaya, H. Modeling the Way. Garuda Magazine. September 2004. Kertajaya, H. 2001. Siasat Memenangkan Persaingan Global. Gramedia Pustaka Utama, MarkPlus Profesional Service dan harian Bisnis Indonesia. Jakarta. Korten, D.C. 2001. Menuju Abad ke-21: Tindakan Sukarela dan Agenda Global. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Maxwell, J. C. 2001 The 21 Irrefutable Laws of Leadership (21 Hukum Kepemimpinan Sejati). Interaksara. Jakarta. 103
Morato, E. A. 1994. Manual on Strategic Planning Process. Asian Institute of Management. Philipines. Morrisey, G. L.1997a. Pedoman Perencanaan Taktis. Prenhallindo. Jakarta. Morrisey, G. L.1997b. Pedoman Perencanaan Jangka Panjang. Prenhallindo, Jakarta. Morrisey, G. L.1997c. Pedoman Pemikiran Strategis. Prenhallindo, Jakarta. Muhamad, R. Ilmu Jaringan: Ketika Fisika dan Sosiologi Bertemu. Kompas, 5 September 2003. O’Toole, J. 2002. Leadership A to Z. A Guide for the Appropriately Ambitious. Penerbit Erlangga. Jakarta. Parlan, H. 2002. Reposisi Gerakan Lingkungan Menuju Gerakan Sosial. Jurnal Ilmu Sosial Transformatif Wacana, XII. Putra, F. 1999. Devolusi: Politik Desentralisasi sebagai Media Rekonsiliasi Ketegangan Politik Nagara-Rakyat. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Sembel, R. dan S. Sembel. Bank Budi, Banknya Para Pemimpin. Sinar Harapan, 7 September 2004. Smith, Bucklin and Associates. 1994. The Complete Guide to Nonprofit Management. John Wiley and Sons, Inc. New York. 104
Soedarsono, A. M.1999. Perencanaan Strategis (Sebuah Persepsi Praktis). Wisya Iswara Utama dan Pusat Diklat Kehutanan. Bogor. Soedarsono, A. M. 1999. Lingkungan Eksternal. Widya Iswara Utama dan Pusat Diklat Kehutanan. Bogor. Sofia, A. 1999. Pengetahuan Visi dan Misi Nasional. Lembaga Administrasi Negara. Jakarta. Syahra, R. 2003. Modal Sosial: Konsep dan Aplikasi. Jurnal Masyarakat dan Budaya, V (1). Thoha, M. 2004. Paradigma Baru Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora. Dialog Antar Peradaban: Islam, Barat, dan Jawa. Refleksi Masyarakat Baru.Jakarta. Thorpe, S. 2002. Berpikir Cara Einstein. Cara-cara Sederhana Untuk Melanggar Aturan serta Menemukan Kejeniusan Anda yang Tersembunyi. Interaksara. Jakarta. Tjokrowinoto, M. dkk. 2001.Birokrasi dalam Polemik. Pustaka Pelajar. Yogyakarta Wall, B., R.S. Solum, dan M. R. Sobol. 1999. The Visionary Leader: Pemimpin yang Bervisi Kuat. Interaksara. Jakarta. Wall, B. dkk. 1999. The Visionary Leader. Interaksara. Jakarta. Wening, N. 2002. Empowerments: Sebuah Kunci dalam Persaingan. Telaah Bisnis 3 (1): 39-40. 105
TENT ANG PENULIS TENTANG
Wiratno, lahir di Tulungagung, 28 Maret 1962. Sarjana Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada (UGM) dan Master of Science dari ITC, Belanda. Ilmu sosial dan humaniora dikenal penulis ketika melakukan studi di Desa Saneosebuah desa pinggir hutan di pojok timur Sumbawa, persisnya di Kabupaten Dompu, Pulau Sumbawa. Itu terjadi pada tahun 1986. Kenangan Sumbawa itu tak bisa dilepaskan dari kehandalan karibnya Harry “Pauk” Kuswondho. Sejak itu, penulis merasakan bahwa guru terbaik kita bukan di kampus, tetapi di lapangan, di alam. Studi di Sumbawa itu membawanya jadi sarjana kehutanan. Kesempatan bekerja di Balai Latihan Kehutanan Manokwari hanya sebentar di tahun 1989, lalu penulis mendapatkan kesempatan mengikuti Post Graduate Program di ITC, khusus mendalami Landuse Planning. Itu terjadi di tahun 1990, dengan fokus di Kabupaten Sukabumi. Masternya diraih di institut yang sama, pada 106
tahun 1993, dengan riset di daerah penyangga TN. Gunung Gede Pangrango. Tahun 1994, bekerja pada Seksi Pemolaan Konservasi dan Ekosistem-Ditjen PHKA, lalu tahun 1999-2001, ditugasi menjadi Kepala Unit KSDA di Jogjakarta. Kesempatan diberikan kepadanya untuk diperbantukan menjadi Analis Kebijakan di Conservation International Indonesia selama 4 tahun, dan ketika buku mungil ini dalam proses penerbitan di awal 2005, penulis ditugaskan sebagai Kepala Balai TN.Gunung Leuser. Pada periode 2001-2002, berbagai artikelnya di Duta Rimba, Majalah Kehutanan Indonesia, di Seminar dan Workshop, serta di berbagai mass media nasional, menjadi bahan baku penulisan buku berjudul: “Berkaca di Cermin Retak : Refleksi Konservasi dan Implikasinya bagi Pengelolaan Taman Nasional, merupakan kerja bareng dengan dua adik seperguruan di Fakultas Kehutanan UGM, yang cerdas, yaitu Daru Indriyo dan Ahmad Syarif dan diedit oleh Ani Kartikasari. Kontak email di:
[email protected].
107
“NAKHODA”
Namun demikian, patut dicatat bahwa di samping organisasi, persoalan budaya organisasi, dan sumberdaya manusia sebagai penggerak utama organisasi juga harus mendapatkan porsi perhatian, perencanaan, dan investasi yang memadai. Persoalan kunci dalam pengembangan organisasi dan sumberdaya manusia bukan sekedar persoalan kuantitas tetapi juga kualitas dan arah organisasi. Buku ini berisi upaya untuk mengurai berbagai aspek dari organisasi, sumberdaya manusia, serta kemampuan leadership yang seharusnya dibangun ke depan.
NAHKODA Leadership Dalam Organisasi Konservasi
Persoalan lingkungan dan konservasi alam di Indonesia, skalanya semakin besar dan kompleks, sejak tiga puluh tahun terakhir. Organisasi pemerintah yang mendapatkan mandat dan tanggungjawab mengelola isu-isu lingkungan dan konservasi alam juga melakukan berbagai pembenahan dan perkembangan.