DAFTAR ISI OPTIMALISASI PENERIMAAN PAJAK
HAL
R
I
NO
PR
MALALUI MINIMALISASI PRAKTEK TRANSFER PRICING LATAR BELAKANG
1
II
PENGERTIAN TRANSFER PRICING
III
TUJUAN, DASAR HUKUM & ATURAN PELAKSANAAN TRANSFER PRICING
IV
PERMASALAHAN PENERIMAAN NEGARA SEHUBUNGAN DENGAN TRANSFER PRICING
3
V
PEMBAHASAN PERMASALAHAN TRANSFER PRICING
4
A.
SKEMA TRANSFER PRICING
4
B.
MODUS OPERANDI TRANFER PRICING
C.
HUBUNGAN ISTIMEWA DAN KEWAJARAN HARGA DALAM TRANSFER PRICING
D.
KEBIJAKAN MENEKAN KECURANGAN PRAKTEK TRANSFER PRICING
SE TJ EN
D
I
2
4 5 8
1. PERJANJIAN PERPAJAKAN INTERNASIONAL
8
2. MUTUAL AGREEMENT PROCEDURE (MAP)
9
3. ADVANCE PRICING AGREEMENT (APA)
AN
AL
IS A
SARAN DAN SOLUSI PENCEGAHAN
9 12
BI R
O
AN
G
VI
G AR AN
D
AN
PE
LA
KS
AN
AA
N
AP
BN
–
3
Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR‐RI | 29
R PR
Saat ini dirasa tidak cukup hanya menjalankan kegiatan ekonomi di satu negara, sehingga ide untuk menyatukan pereknomian dunia pun bergaung dimana‐mana. Banyak lembaga internasional didirikan dan peraturan bersama disusun untuk menciptakan suasana perdagangan internasional yang kondusif, kompetitif, dan terbuka. Istilah yang sering diperbincangkan mengenai fenomena ini adalah globalisasi ekonomi. Globalisasi ekonomi ini bertujuan untuk mengintegrasikan perekonomian dunia menjadi satu kesatuan menembus batas‐batas negara. WTO (World Trade Organization), EU (European Union), ACFTA (ASEAN‐China Free Trade Area), dan GATT (General Agreement on Trade and Tariff) yang ikut meramaikan pesta globalisasi ekonomi ini dengan jargon‐jargon mereka seperti the borderless world. Globalisasi merupakan suatu proses ketergantungan ekonomis yang terus berkembang di antara negara‐negara dunia dengan ciri‐ciri: 1. Pertumbuhan transaksi keuangan dan perdagangan internasional yang cepat, terutama di antara perusahaan‐perusahaan multinasional, 2. Gelombang investasi asing langsung (foreign direct investment) yang mendapat dukungan luas dari kalangan perusahaan multinasional, 3. Timbulnya pasar global, serta 4. Timbulnya teknologi dan berbagai pemikiran sebagai akibat dari ekspansi sistem transportasi dan komunikasi yang cepat dan meliputi seluruh dunia. Suka atau tidak suka kita harus mengakui bahwa globalisasi telah menjadi hard fact di berbagai negara dan membawa dampak pada semakin meningkatnya transaksi transnasional atau cross border transaction. Arus barang, jasa, modal, dan tenaga kerja antarnegara semakin mudah dan lancar. Pengusaha melihat kondisi ini sebagai peluang usaha untuk memperluas jaringan bisnis mereka tanpa perlu mengkhawatirkan hambatan‐hambatan di perbatasan negara. Negara‐negara berkembang pun tak pelak menjadi pasar potensial bagi pengusaha untuk dijadikan basis bisnis mereka. Dalam sekejap, berdirilah anak‐anak perusahaan atau cabang‐ cabang perusahaan multinasional di berbagai belahan dunia. Dalam situasi seperti ini, dapat dikatakan dunia tengah mengalami era korporasi multinasional dan membuat dunia ini seolah‐olah berada pada sebuah pasar tunggal yang tak asing lagi satu dengan yang lainnya. Kata “jual‐beli” hanya digantikan oleh kata “ekspor‐impor” dan beberapa hal lainnya1.
BI R
O
AN
AL
IS A
AN
G
G AR AN
D
AN
PE
LA
KS
AN
AA
N
AP
BN
–
SE TJ EN
D
I.
MELALUI MINIMALISASI PRAKTEK TRANSFER PRICING LATAR BELAKANG
I
OPTIMALISASI PENERIMAAN PAJAK
1 http://hendriologi.blogspot.com/2011/12/abuse‐of‐transfer‐pricing‐dilema.html, Diposkan oleh Hendry Kurniawan di 12/19/2011 05:51:00 PM Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR‐RI | 30
PE
LA
KS
AN
AA
N
AP
BN
–
SE TJ EN
D
PR
R
Konsekuensi logis dari menjamurnya perusahaan multinasional adalah munculnya berbagai transaksi antaranggota yang meliputi penjualan barang dan jasa, lisensi hak dan harta tak berwujud lainnya, penyediaan pinjaman dan sebagainya. Penentuan harga atas berbagai transaksi antar anggota dikenal dengan sebutan transfer pricing (harga transfer). Transfer pricing dapat dilakukan oleh perusahaan multinasional ataupun perusahaan lokal yang bekerjasama dengan perusahaan lain. Dari sisi pemerintahan, transfer pricing mengakibatkan berkurang atau hilangnya potensi penerimaan pajak suatu negara karena perusahaan multinasional cenderung menggeser kewajiban perpajakannya dari negara‐negara yang memiliki tarif pajak yang tinggi (high tax countries) ke negara‐negara yang menerapkan tarif pajak rendah (low tax countries). Di pihak lain dari sisi bisnis, perusahaan cenderung berupaya meminimalkan biaya‐ biaya (cost efficiency) termasuk di dalamnya minimalisasi pembayaran pajak perusahaan (corporate income tax). Bagi korporasi multinasional, perusahaan berskala global (multinational corporations), transfer pricing dipercaya menjadi salah satu strategi yang efektif untuk memenangkan persaingan dalam memperebutkan sumber‐sumber daya yang terbatas. Uni Eropa dan Amerika Serikat sedang pusing menghindari pajak. Utang terus menumpuk dan pengeluaran pemerintah dipangkas agar deficit anggaran negara berkurang. Namun, di sisi lain, sejumlah warga kaya dan korporasi ketahuan menghindari pajak2.
I
D
PENGERTIAN TRANSFER PRICING
G AR AN
Transfer pricing didefinisikan sebagai nilai atau harga jual khusus yang dipakai dalam pertukaran antar divisional untuk mencatat pendapatan divisi penjual (selling division) dan biaya divisi pembeli (buying division)4. Transfer pricing adalah harga yang diperhitungkan untuk keperluan pe ngendalian manajemen atas transfer barang dan jasa antar pusat responsibilitas
AL
IS A
2.
Organization for Economic C0‐operation and Development (OECD) mendefinisikan transfer pricing sebagai harga yang ditentukan dalam transaksi antar anggota group dalam sebuah perusahaan multinasional di mana harga transfer yang ditentukan tersebut dapat menyimpang dari harga pasar wajar sepanjang cocok bagi groupnya3.
G
1.
AN
II.
AN
BI R
O
AN
3.
2
Koran Kompas, Jum’at 24 Mei 2013, Korporasi Besar Diduga Terlibat.
3 http://puslit.petra.ac.id/files/published/journals/AKU/AKU040602/AKU04060204.pdf, Iman Santoso,
Jurnal Akuntansi dan Keuangan Vol. 6, No. 2, NOPEMBER 2004 : 123‐139 4 puslit.petra.ac.id/journals/request.php?PublishedID=AKU00020106, Aspek Perpajakan Dalam Praktek Transfer Pricing Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR‐RI | 31
profit atau cost (Gunadi 1999:111). Dalam arti yang lebih luas, transfer pricing termasuk penentuan harga antara beberapa entitas, yang secara hukum pemiliknya bisa sama ataupun berbeda (Gunadi 1994:9)5.
PR
R
I
III. TUJUAN, DASAR HUKUM & ATURAN PELAKSANAAN
D
Tujuan:
SE TJ EN
memberi kepastian dan kelancaran dalam penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha bagi fiskus dan Wajib Pajak
–
Dasar Hukum:
AP
BN
1. Pasal 32A UU PPh 2. Pasal 18 ayat (3) UU PPh
AA
N
Aturan Pelaksanaan:
LA
KS
PERMASALAHAN PENERIMAAN NEGARA SEHUBUNGAN DENGAN TRANSFER PRICING Istilah transfer pricing menjadi begitu populer namun penanganannya belum memperlihatkan hasil yang cukup signifikan dalam struktur penerimaan negara.6
2.
Transfer pricing merupakan transaksi barang dan jasa antara beberapa divisi pada suatu kelompok usaha dengan harga yang tidak wajar, bisa dengan menaikkan (mark up) atau menurunkan harga (mark down), kebanyakan dilakukan oleh perusahaan global (Multi‐National Enterprise). Tujuannya, pertama, untuk mengakali jumlah profit sehingga pembayaran pajak dan pembagian dividen menjadi rendah. Kedua, menggelembungkan profit untuk memoles (windowdressing) laporan keuangan. Negara dirugikan triliunan rupiah karena praktek transfer pricing perusahaan asing di Indonesia7.
AN
PE
1.
IS A
AN
G
G AR AN
D
IV.
AN
PerDirjen Pajak No. PER‐43/PJ/2010 stdd PER‐32/PJ/2011
Seharusnya DJP sudah mempunyai mapping tentang karakter utama perusahaan (toll manufacturing, contract manufacturing, dan fully fledge
AN
AL
3.
BI R
O
5 http://puslit.petra.ac.id/search_engine/cache/AKU/AKU040602/AKU04060204.txt, ADVANCE PRICING
AGREEMENT DAN PROBLEMATIKA TRANSFER PRICING DARI PERSPEKTIF PERPAJAKAN INDONESIA, Iman Santoso 6 http://puslit.petra.ac.id/files/published/journals/AKU/AKU040602/AKU04060204.pdf, Iman Santoso, Jurnal Akuntansi dan Keuangan Vol. 6, No. 2, NOPEMBER 2004 : 123‐139 7 www.pajak.go.id/content/article/menangkalkecurangantransferpricing, 15 Agt 2012 Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR‐RI | 32
manufacturing) sehingga dapat dianalisis potensi perpajakan yang masih bisa diintensifikasikan.
G AR AN
I R PR
D
AN
PE
LA
KS
AN
AA
N
AP
BN
–
SE TJ EN
PEMBAHASAN PERMASALAHAN TRANSFER PRICING A. SKEMA TRANSFER PRICING
D
V.
AN
G
B. MODUS OPERANDI TRANSFER PRICING
BI R
O
AN
AL
IS A
Secara universal transaksi antar wajib pajak yang mempunyai hubungan istimewa yang dikenal dengan istilah transfer pricing, dapat mengakibatkan terjadinya pengalihan penghasilan atau dasar pengenaan pajak dan/atau biaya dari satu wajib pajak ke wajib pajak lainnya, yang dapat direkayasa untuk menekan keseluruhan jumlah pajak terhutang atas wajib pajak‐wajib pajak yang mempunyai hubungan istimewa tersebut. Kekurang wajaran sebagaimana tersebut di atas dapat terjadi pada: (1) harga penjualan; (2) harga pembelian; (3) alokasi biaya administrasi dan umum (overhead cost); (4) pembebanan bunga atas pemberian pinjaman oleh pemegang saham (Shareholder loan); (5) pembayaran komisi, lisensi, franchise, sewa, royalti, imbalan atas jasa manajemen, imbalan atas jasa teknik dan imbalan atas jasa lainnya; (6) pembelian harta perusahaan oleh pemegang saham (pemilik) atau pihak yang mempunyai Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR‐RI | 33
hubungan istimewa yang lebih rendah dari harga pasar; (7) penjualan kepada pihak luar negeri melalui pihak ketiga yang kurang/tidak mempunyai substansi usaha (misalnya dummy company, letter box company atau reinvoicing center).
R
I
D
PR
C. HUBUNGAN ISTIMEWA DAN KEWAJARAN HARGA DALAM TRANSFER PRICING
–
SE TJ EN
Terkait dengan isu transfer pricing, secara umum otoritas fiskal harus memperhatikan dua hal mendasar agar koreksi pajak terhadap dugaan transfer pricing mendapat justifikasi yang kuat. Kedua hal prinsipil tadi adalah: (1) afiliasi (associated enterprises) atau hubungan istimewa (special relationship) dan (2) kewajaran atau arm’s length principle (Bhakti 2002:30‐34).
BI R
O
AN
AL
IS A
AN
G
G AR AN
D
AN
PE
LA
KS
AN
AA
N
AP
BN
1. Hubungan Istimewa a. Pengertian mengenai hubungan istimewa menurut Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK No.7) adalah sebagai berikut: (a) perusahaan yang melalui satu atau lebih perantara (inter ‐ mediaries), mengendalikan, atau dikendalikan oleh, atau berada di bawah pengendalian bersama, dengan perusahaan pelapor (termasuk holding companies, subsidiaries dan fellow subsidiaries) (b) perusahaan asosiasi (associated company) (c) perorangan yang memiliki, baik secara langsung maupun tidak langsung, suatu kepentingan hak suara di perusahaan pelapor yang berpengaruh secara signifikan, dan anggota keluarga dekat dari perorangan tersebut (yang dimaksudkan dengan anggota keluarga dekat adalah mereka yang dapat diharapkan mempengaruhi atau dipengaruhi perorangan tersebut dalam transaksinya dengan perusahaan pelapor) (d) karyawan kunci, yaitu orang ‐orang yang mempunyai wewenang dan tanggung jawab untuk merencanakan, memimpin dan mengendalikan kegiatan perusahaan pelapor yang meliputi anggota dewan komisaris, direksi dan manajer dari perusahaan serta anggota keluarga dekat orang‐orang tersebut (e) perusahaan di mana suatu kepentingan substansial dalam hak suara dimiliki baik secara langsung maupun tidak langsung oleh setiap orang yang diuraikan dalam (c) atau (d), atau setiap orang tersebut mempunyai pengaruh signifikan atas perusahaan tersebut. Ini mencakup perusahaan perusahaan yang dimiliki anggota dewan komisaris, direksi atau pemegang saham utama dari perusahaan pelapor dan perusahaan‐perusahaan yang mempunyai anggota manajemen kunci yang sama dengan perusahaan pelapor8. b. Kategori hubungan istimewa yang diatur Pasal 18 UU No.36/2008 tentang PPh yaitu penyertaan modal minimal 25 persen, keterkaitan pengelolaan manajemen dan hubungan keluarga sederajat sedarah maupun semenda. Apabila wajib pajak tidak bisa menunjukkan bukti
8 ASPEK PERPAJAKAN DALAM PRAKTEK TRANSFER PRICING, Indriyana Widyastuti, STIE “AUB” Surakarta Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR‐RI | 34
2. Kewajaran Harga (Arm’s Length Principle) Harga wajar yang diberlakukan kepada pihak‐pihak yang tidak memiliki hubungan istimewa (non‐related party transaction).
SE TJ EN
D
I
PR
R
pendukung kewajaran harga transaksi, maka Ditjen Pajak akan menetapkan harga transaksi yang wajar antara pihak‐pihak yang terafiliasi. Namun ada pengecualian, kewajiban pelaporan transfer pricing dibatasi untuk nilai minimal sebesar Rp.10 milyar dalam satu tahun pajak.
a. Menurut arm’s length principle, harga‐harga transfer seharusnya ditetapkan supaya dapat mencerminkan harga yang disepakati sebagaimana transaksi tersebut dilakukan oleh pihak‐pihak yang tidak terkait yang bertindak secara bebas. Dapat dijelaskan bahwa apabila terjadi transaksi antara perusahaan yang memiliki hubungan istimewa maka kondisi dari transaksi tersebut haruslah sama dengan transaksi antara pihak yang independen, sehingga ketidaksesuaian, dapat menyebabkan dilakukannya koreksi oleh pihak otoritas fiskal9. b. OECD merekomendasikan agar negaranegara mengadopsi transfer rules: yaitu memberikan kewenangan kepada Negara untuk mendistribusikan, membagikan atau mengalokasikan gross income, pengurang penghasilan, credits atau allowances atau item lain yang mempengaruh Penghasilan Kena Pajak di antara WP yang mempunyai hubungan istimewa untuk menentukan Penghasilan Kena Pajak yang sebenarnya dari tiap wajib pajak tersebut. c. Menyangkut masalah kewajaran, PSAK No.17, menyebutkan, bahwa pengakuan akuntansi suatu pengalihan sumber daya secara normal didasarkan pada suatu harga yang disepakati pihak yang bersangkutan. Harga yang berlaku antara pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa adalah harga pertukaran antara pihak yang independen (arm's length price). Pihak yang mempunyai hubungan istimewa mungkin mempunyai suatu tingkat keluwesan dalam proses penentuan harga, yang tidak terdapat dalam transaksi antara pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa.
AL
IS A
AN
G
G AR AN
D
AN
PE
LA
KS
AN
AA
N
AP
BN
–
BI R
O
AN
d. Indonesia dalam UU PPh terbaru mengakui metode penentuan harga pasar wajar menurut OECD. Berikut adalah tiga metode yang digunakan dalam menghitung harga pasar wajar :
9 http://puslit.petra.ac.id/files/published/journals/AKU/AKU040602/AKU04060204.pdf, Iman Santoso,
Jurnal Akuntansi dan Keuangan Vol. 6, No. 2, NOPEMBER 2004 : 123‐139
Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR‐RI | 35
BI R
O
AN
AL
IS A
AN
G
G AR AN
D
AN
PE
LA
KS
AN
AA
N
AP
BN
–
SE TJ EN
D
PR
R
a) Comparable Uncontrolled Price (CUP) membandingkan harga pada suatu transaksi yang terkontrol dengan transaksi lainnya yang sejenis yang tidak terkontrol. Cara ini paling mudah secara konseptual, harga pasar wajar cukup ditentukan oleh dua perusahaan yang tidak terkait. Namun fakta bahwa setiap perubahan kecil dalam suatu transaksi (misalnya periode penagihan, kuantum dan merk) berpengaruh signifikan terhadap harga menjadikan sangat sulit untuk menemukan transaksi sejenis yang dapat diperbandingkan. Terdapat dua metode dalam CUP yaitu internal comparable dan external comparable. Perbedaannya sangat jelas, external comparable, artinya pengujian harga dilakukan pada perusahaan lain sedangkan internal comparable, pengujian dilakukan terhadap salah satu pihak yang melakukan transfer pricing. b) Cost Plus (CP) biasanya digunakan untuk barang jadi, ditentukan dengan menambah markup yang sesuai pada biaya yang timbul akibat proses produksi sebesar markup yang sesuai dengan keuntungan perusahaan lain yang diuji oleh pihak‐pihak yang terkait. Metode umunya diterima oleh otoritas Bea Cukai karena memberikan indikasi bahwa harga transfer mendekati nilai cost dari item yang diperdagangkan. Namun pendekatan biaya (cost of production) tidaklah setransparan seperti yang terlihat, karena perusahaan dapat dengan mudah mengubah akun biayanya untuk merubah besaran harga transfer. Perusahaan yang mengadopsi metode ini harus memilih satu diantara pendekatan berikut: pendekatan Biaya Aktual, pendekatan biaya standar, pendekatan biaya variabel dan pendekatan biaya marjinal. c) Resale Price (RP) penentuan harga pasar wajar didasarkan atas produk yang dibeli dari perusahaan afiliasi lalu dijual kembali kepada perusahaan independen. Lalu, harga pasar wajar dari metode ini dihitung dengan cara mengurangkan harga jual kembali tersebut dengan suatu margin laba kotor tertentu, dimana margin laba kotor itu diambil dari margin laba kotor perusahaan sejenis yang melakukan transaksi dengan pihak‐pihak yang tidak memiliki hubungan istimewa.
I
1) Metode Tradisional
2) Metode Non Tradisional a) Profit Split (PS) dan turunannya termasuk metode Comparative dan Residual Profit Split digunakan jika perusahaan yang terlibat dalam transaksi yang diperiksa terlalu terpadu sehingga tidak dapat Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR‐RI | 36
AP
BN
–
SE TJ EN
D
I
PR
R
dilakukan evaluasi secara terpisah, sehingga keuntungan akhir dari masing‐masing pihak dibagi berdasarkan tingkat kontribusi dari setiap peserta dalam proyek itu. Tingkat kontribusi itu sendiri ditentukan oleh beberapa faktor terukur seperti kompensasi karyawan, biaya administrasi dll dari masing‐masing pihak. b) Transactional Net Margin Method (TNMM), merupakan metode yang berfokus pada laba operasi wajar yang diperoleh salah satu entitas (pihak yang di uji) dalam transaksi. TNMM menegaskan bahwa laba operasi relatif (relatif terhadap penjualan, HPP, atau aktiva untuk memungkinkan komparasi antara perusahaan atau transaksi yang berbeda) dapat secara lebih kuat mengukur harga pasar wajar jika metode pembandingan seperti pada metode tradisional tidak dapat dilakukan. Di USA, TNMM biasa dinamakan metode Comparable Profits Method (CPM) dan selain metode tradisional, merupakan metode penentuan harga pasar wajar yang paling banyak digunakan.
AA
N
3) Metode Lainnya
PE
LA
KS
AN
OECD Guidelines tidak memperkenankan metode lainnya dalam menentukan harga pasar wajar karena metode ini tidak mencerminkan harga pasar wajar yang sesungguhnya. Termasuk dalam metode lainnya ini adalah metode global split method yang merupakan turunan dari profit split di atas, dan juga formulary apportionment.
D
D. KEBIJAKAN MENEKAN KECURANGAN PRAKTEK TRANSFER PRICING. 1. PERJANJIAN PERPAJAKAN INTERNASIONAL a. Persetujuan Penghindaran pajak Berganda (P3B): pembagian hak pemajakan, mencegah double tax & double nontax saat ini terdapat 62 P3B efektif b. Persetujuan Pertukaran Informasi Perpajakan (TIEA): perjanjian pertukaran informasi dengan negara mitra terutama low tax jurisdiction terdapat 4 TIEA yang sudah ditandatangani c. Konvensi tentang Bantuan Administratif Bersama di Bidang Perpajakan : ditandatangani 3 November 2011 terkait prosedur Pertukaran Informasi, dan bantuan penagihan pajak d. Klausulklausul Perpajakan dalam: Perjanjian Promosi dan Perlindungan Penanaman Modal (P4M) Perjanjian Perdagangan (Bilateral Trade Agreement), dll
BI R
O
AN
AL
IS A
AN
G
G AR AN
AN
Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR‐RI | 37
I R PR D
AA
N
AP
BN
–
SE TJ EN
2. MUTUAL AGREEMENT PROCEDURE (MAP) Tujuan: memberi kepastian hukum dan panduan dalam pelaksanaan prosedur administratif MAP dalam P3B Dasar Hukum: a. Pasal 32A UU PPh b. Pasal terkait MAP dalam P3B Aturan Pelaksanaan: a. PP 74 Tahun 2011 b. PerDirjen Pajak No. PER‐48/PJ/2010 3. ADVANCE PRICING AGREEMENT (APA)
AN
BI R
O
AN
AL
IS A
AN
G
G AR AN
D
AN
PE
LA
KS
Tujuan: memitigasi isu atau sengketa Transfer Pricing antara DJP, Wajib Pajak, dan/atau otoritas mitra P3B Dasar Hukum: a. Pasal 32A UU PPh b. Pasal 18 ayat (3a) UU PPh c. Pasal terkait corresponding adjustment dan MAP dalam P3B Aturan Pelaksanaan: a. PP 74 Tahun 2011 b. PerDirjen Pajak No. PER‐69/PJ/2010 Latar belakang APA adalah dengan menggunakan APA akan memberikan penyelesaian yang seimbang tidak hanya antara Wajib Pajak dan Pihak Administrasi Pajak Negara Domistik saja akan tetapi juga antara Pihak Administrasi Pajak Negara Lainnya yang terlibat. APA menyediakan sebuah mekanisme yang memperkenankan negara‐negara yang terlibat untuk melakukan kerjasama dalam kerangka hokum internasional untuk menghindari perselisihan dan meminimalkan beban pemeriksaan atas transaksi transfer pricing.‐
Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR‐RI | 38
AP
BN
–
SE TJ EN
D
I
PR
R
Kesepakatan harga transfer (Advance Pricing Agreement/APA) adalah kesepakatan antara Wajib Pajak dan Direktur Jenderal Pajak mengenai harga jual wajar produk yang dihasilkannya kepada pihak‐pihak yang mempunyai hubungan istimewa (related parties) dengannya. Tujuan diadakannya APA adalah untuk mengurangi terjadinya praktik penyalahgunaan transfer pricing oleh perusahaan multi nasional. Persetujuan antara Wajib Pajak dan Direktur Jenderal Pajak tersebut dapat mencakup beberapa hal, antara lain harga jual produk yang dihasilkan, dan jumlah royalti dan lain‐lain, tergantung pada kesepakatan. Keuntungan dari APA selain memberikan kepastian hukum dan kemudahan penghitungan pajak, Fiskus tidak perlu melakukan koreksi atas harga jual dan keuntungan produk yang dijual Wajib Pajak kepada perusahaan dalam grup yang sama. APA dapat bersifat unilateral, yaitu merupakan kesepakatan antara Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak atau bilateral, yaitu kesepakatan Direktur Jenderal Pajak dengan otoritas perpajakan negara lain yang menyangkut Wajib Pajak yang berada di wilayah yurisdiksinya10.
KS
AN
AA
N
Memori penjelasan pasal tersebut menyatakan bahwa: “kesepakatan harga transfer (Advance Pricing Agreement/APA) adalah kesepakatan antara wajib pajak dengan DJP mengenai harga jual wajar produk yang dihasilkannya kepada pihak‐pihak yang mempunyai hubungan istimewa (related parties) dengannya.
G AR AN
D
AN
PE
LA
Berdasarkan hal tersebut, pengaturan lebih jauh mengenai bagaimana wajib pajak mencapai kesepakatan harga transfer dengan DJP melalui APA menjadi hal yang penting mempertimbangkan resiko koreksi fiskal yang dapat dilakukan oleh pihak otoritas pajak berkenaan dengan indikasi ketidakwajaran harga yang diberlakukan kepada pihak‐pihak yang mempunyai hubungan istimewa.
BI R
O
AN
AL
IS A
AN
G
Secara garis besar APA memiliki empat tahap negosiasi utama, yaitu: (1) wajib pajak secara sukarela menunjukkan ketertarikannya untuk menerapkan sistem APA dengan cara mengajukan permintaan kepada fiskus; (2) penyampaikan aplikasi permohonan secara formal yang ditandai dengan pemberian informasi yang ekstensif mengenai operasi usaha serta metode transfer pricing apa yang dipergunakan guna memperoleh harga pasar wajar, dan mempersiapkan analisis yang mendalam mengenai perusahaan, pasar dan persaingan yang harus dihadapi; (3) dilakukannya evaluasi oleh fiskus dengan cara melakukan audit lunak (lenient audit) untuk memastikan apakah semua perhitungan yang diajukan oleh wajib pajak dapat diterima; (4) tercapainya APA diantara kedua belah pihak. Persetujuan ini kemudian akan berlaku selama jangka waktu tertentu, biasanya di dalam keadaan normal, akan berlaku selama 3 (tiga) hingga 5 (lima) tahun, dan apabila kesepakatan telah dicapai, APA dapat dipergunakan
10
Penjelasan Pasal 18, ayat (2) UU PPH No. 36/2008 Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR‐RI | 39
–
SE TJ EN
D
PR
R
Mekanisme kontrol yang dilakukan fiskus di dalam penerapan APA adalah dengan cara mewajibkan wajib pajak untuk menyiapkan laporan tahunan dimana di dalamnya wajib pajak memberikan penjelasan mengenai: (i) bagaimana APA yang telah disepakati diterapkan di tahun tersebut; (ii) menyerahkan laporan keuangan yang menunjukkan hasil dari penerapan metode transfer pricing yang disepakati; (iii) menyerahkan hasil rekonsiliasi pembukuan yang telah disesuaikan dengan Undang‐undang serta bukti pembayaran PPh badan; dan (iv) apabila terdapat kerugian yang dikompensasikan di tahun tersebut, wajib pajak harus dapat mendukungnya dengan data dan alasan yang kuat.
I
guna menyelesaikan kasus‐kasus transfer pricing yang terjadi saat ini maupun yang terjadi di tahun ‐tahun sebelumnya.
PE
LA
KS
AN
AA
N
AP
BN
APA tidak akan berlaku lagi dikarenakan dua alasan. Pertama, jika masa berlakunya telah habis dan pihak fiskus sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan, secara formal mencabut kesepakatan tersebut. Kedua, apabila salah satu atau lebih dari persyaratan yang tertuang di dalam persetujuan tersebut tidak dipatuhi oleh salah satu dan/atau kedua belah pihak. Apabila terbukti bahwa APA dibentuk berdasarkan data dan informasi yang menyesatkan, maka dianggap APA juga tidak pernah tercapai. Namun demikian, menyadari semakin cepatnya perubahan yang terjadi di dunia bisnis, APA memberikan fleksibilitas dan kemudahan kepada pihak‐pihak yang terkait11.
AN
HAMBATAN PENERAPAN APA (ADVANCE PRICING AGREEMENT) Beberapa hambatan penerapan APA di Indonesia, seperti: (i) kurangnya sumber daya manusia yang memiliki keahlian khusus di bidang transfer pricing; (ii) sistem pendataan pembanding Eksternal dari pelaporan DHE (Devisa Hasil Ekspor) yang masih belum memadai dan terorganisir baik padahal data ini diperlukan untuk mendeteksi aliran dana dan underlying transaksi ekspor.dan dokumentasi; serta (iii) moralitas otoritas fiskal dan wajib pajak yang masih perlu terus‐menerus diperbaiki, kiranya tidak dipakai untuk dijadikan alasan agar tidak meneruskan pembenahan prosedur teknis pengajuan APA yang telah dijadikan salah satu alternatif pence gahan praktik transfer pricing pada korporasi multinasional dalam UU Pajak kita. (diedit)
BI R
O
AN
AL
IS A
AN
G
G AR AN
D
Pengalaman penerapan APA di negara‐negara yang telah lebih dahulu memperkenalkan sistem ini pun harus dipelajari agar implikasinya terhadap korporasi multinasional dan iklim bisnis di Indonesia secara keseluruhan terus membaik. Satu hal yang perlu diingat di dalam penerapan sistem APA ini, bahwasanya bersifat sukarela. Artinya otoritas fiskal Indonesia tidak dapat
11 http://puslit.petra.ac.id/files/published/journals/AKU/AKU040602/AKU04060204.pdf, Iman Santoso, Jurnal Akuntasi dan Keuangan Vol. 6, No. 2, NOPEMBER 2004 : 123‐139 Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR‐RI | 40
memaksa atau mewajibkan korporasi multinasional untuk ikut berpartisipasi di dalam program APA ini. Oleh karenanya, keberhasilan sistem APA ini akan sangat tergantung kepada otoritas fiskal untuk membuatnya “menarik”12.
PR
R
I
SARAN DAN SOLUSI PENCEGAHAN PRAKTEK TRANSFER PRICING 1.
Diharapkan agar Direktorat Jenderal Pajak dapat diberikan akses terhadap sistem e‐KTP yang baru agar data WP lebih lengkap lagi sehingga mendukung sistem perpajakan.
2.
Diharapkan agar Direktorat Jenderal Pajak dapat diberikan akses terhadap sistem Perbankan, dan ini menyangkut Amandemen UU Perbankan sehingga data traksaksi WP orang atau Badan dapat diketahui tentunya dengan persyaratan tertentu.
3.
Diharapkan agar Direktorat Jenderal Pajak mengoptimalkan unit Potensi Penerimaan Pajak agar dapat memetakan karakter‐karakter utama perusahaan (toll manufacturing, contract manufacturing, dan fully fledge manufacturing) sehingga dapat dianalisis potensi perpajakan yang masih bisa diintensifikasikan.
4.
Mengaktifkan peran akuntan publik. Ketentuan paragraf 9 huruf d Standar Professional Akuntan Publik (SPAP) No. 34 mengatur peranan auditor untuk menguji kewajaran perhitungan jumlah related parties transaction yang diungkapkan dalam laporan keuangan.
5.
Memperluas kriteria transfer pricing tidak hanya related parties, tetapi melebar ke semua transaksi yang diindikasikan di bawah harga pasar wajar, termasuk dengan perusahaan non afiliasi.
6.
Menggunakan data pembanding Eksternal dari pelaporan DHE (Devisa Hasil Ekspor), dimana seluruh penerimaan DHE harus melalui Bank Devisa. Dengan ketentuan eksportir wajib menyampaikan informasi tentang DHE meliputi informasi tanggal PEB, kode kantor Bea Cukai, nomor pendaftaran PEB, dan NPWP eksportir. (Peraturan Bank Indonesia No.13/20/PBI/2011).
IS A
AN
G
G AR AN
D
AN
PE
LA
KS
AN
AA
N
AP
BN
–
SE TJ EN
D
VI.
BI R
O
AN
AL
7.
Mengumumkan ke publik tentang proses banding oleh wajib pajak yang melakukan transfer pricing, sebagai bentuk tekanan moral. Perlu dicermati, pada pasal 50 ayat (1) UU No.14/2002 tentang Pengadilan Pajak, disebutkan bahwa pengadilan pajak terbuka bagi publik. Dengan Pemerintah mengumumkan jalannya peradilan pajak, akan membuka mata publik bahwa perusahaan‐ perusahaan terkenal tersebut ternyata melakukan kecurangan untuk menghindari pajak.
12
http://puslit.petra.ac.id/files/published/journals/AKU/AKU040602/AKU04060204.pdf, Iman Santoso, Jurnal Akuntansi dan Keuangan Vol. 6, No. 2, NOPEMBER 2004 : 123‐139
Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR‐RI | 41
SE TJ EN
–
BN
BI R
O
AN
AL
IS A
AN
G
G AR AN
D
AN
PE
LA
KS
AN
AA
N
AP
13
Dirjen Pajak.go.id Oleh Anandita Budi Suryana, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR‐RI | 42
I
R
Pembentukan single document window (SDW) antar negara yang telah menerapkan tax treaty, dan forum multilateral, seperti APEC. Model SDW efektif untuk mengawasi harga pengiriman barang antar negara produsen dan konsumen. Dengan model SDW, penerbitan invoice oleh perusahaan perantara abalabal di tax haven country akan terkena pajak, sehingga modus transfer pricing tidak efisien untuk perusahaan tersebut13.
D
9.
Perlu ada data center, seperti Indonesian Coal Index, yang meng‐update harga terbaru komoditas tambang. Harga terbaru komoditas diperlukan untuk assesment kewajaran omset penjualan pada SPT tahunan perusahaan pertambangan.
PR
8.