Optimalisasi Penerimaan Perpajakan Melalui Pemanfaatan Data Perbankan Oleh Yusuf Munandar, Pegawai Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Saat ini terdapat jutaan data transaksi yang mencurigakan yang berasal dari transaksitransaksi penjualan/pembelian barang-barang mewah seperti mobil mewah, jam tangan mewah, rumah mewah, lukisan, asuransi, tabungan, aliran dana partai-partai politik dan lain-lain yang terdeteksi oleh Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Para pejabat PPATK sudah berkomitmen bahwa semua data transaksi mencurigakan yang berasal antara lain dari perbankan, asuransi dan pegadaian itu dapat dipegang dan diolah oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk ditindaklanjuti penggalian potensi pajaknya dari transaksi-transaksi yang mencurigakan tersebut. Jumlah laporan transaksi keuangan yang masuk ke PPATK dalam kurun waktu 2003 hingga 2011 mencapai 10,49 juta transaksi. Dan selama 2012, PPATK menerima 108.145 laporan transaksi keuangan mencurigakan dari 381 penyedia jasa keuangan. Dari seluruh laporan tersebut, sektor perbankan merupakan sektor yang paling banyak melaporkan transaksi mencurigakan ke PPATK, yaitu sebesar 54,5 persen dari total laporan transaksi mencurigakan yang masuk ke PPATK. Transaksi mencurigakan itu didapat dengan menelusuri profil para nasabah seperti pekerjaan, gaji, hingga penggunaan uang yang bersangkutan. Saat ini PPATK dan DJP sedang mencari mekanisme paling tepat tentang bagaimana penyampaian data-data transaksi mencurigakan berupa Laporan Hasil Analisis (LHA) PPATK itu dapat diakses oleh pegawai DJP (Account Representatif/AR, pemeriksa maupun penyidik) tanpa menyalahi aturan Undang-Undang Kerahasiaan PPATK. Tanpa melalui PPATK, saat ini pun sebenarnya DJP dapat memperoleh data perbankan sebagaimana diatur dalam UndangUndang Nomor 10 Tahun 1998, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/19/PBI/2000. Dalam Pasal 41 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 diatur bahwa untuk kepentingan perpajakan, pimpinan Bank Indonesia atas permintaan Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada bank agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai keadaan keuangan Nasabah Penyimpan tertentu kepada pejabat pajak. Perintah tertulis tersebut harus menyebutkan 1) nama pejabat pajak; 2) nama nasabah penyimpan wajib pajak yang dikehendaki keterangannya; 3) nama kantor Bank tempat nasabah mempunyai simpanan; 4) keterangan yang diminta; 5) alasan diperlukannya keterangan. Perintah tertulis tersebut harus dibubuhi tanda tangan basah Menteri Keuangan.
Gambar 1 Pengecualian Kerahasiaan Bank BANK dan PIHAK TERAFILIASI
Wajib merahasiakan keterangan mengenai:
NASABAH PENYIMPAN DAN SIMPANAN DARI NASABAH PENYIMPAN
KECUALI Kecuali dalam 7 hal, yaitu: 1. Untuk kepentingan perpajakan; 2. Untuk penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara; 3. Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana; 4. Untuk kepentingan peradilan dalam perkara perdata antara bank dengan nasabahnya; 5. Dalam rangka tukar menukar informasi antar bank; 6. Atas permintaan, persetujuan atau kuasa dari nasabah penyimpan yang dibuat secara tertulis; 7. Permintaan ahli waris yang sah dari Nasabah Penyimpan yang telah meninggal dunia. Sumber: Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 dan Peraturan Bank Indonesia Nomor: 2/19/PBI/2000.
Sementara itu, keterangan mengenai nasabah selain Nasabah Penyimpan bukan merupakan keterangan yang wajib dirahasiakan oleh bank, sehingga AR, pemeriksa, maupun penyidik pajak dapat langsung meminta data atau keterangan tentang, Nasabah Debitur misalnya, langsung kepada bank dimana Nasabah Debitur tersebut menjadi nasabah. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (2) Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/19/PBI/2000. Saat ini, mungkin seluruh wajib pajak badan sudah menggunakan jasa perbankan dalam transaksinya, sementara untuk wajib pajak orang pribadi mungkin terdapat sebagian kecil yang sama sekali tidak menggunakan jasa perbankan dalam transaksinya. Oleh karena itu, untuk optimalisasi pemeriksaan pajak, seyogyanya setiap pemeriksaan pajak harus dilengkapi dengan data dari perbankan. Data wajib pajak yang berasal dari perbankan tersebut diperoleh dengan mekanisme seperti dijelaskan di atas. Dari sisi Kementerian Keuangan, penerbitan draft surat permintaan data nasabah bank (untuk ditandatangani basah oleh Menteri Keuangan) di DJP dan surat permintaan data nasabah bank (yang sudah ditandatangani basah oleh Menteri Keuangan) di Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan seyogyanya dapat menjadi agenda rutin untuk tercapainya optimalisasi penerimaan perpajakan. *) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan merupakan sikap instansi dimana penulis bekerja.