PAUD

Download Program Posyandu Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) atau Pos PAUD ... dini yang sudah ada seperti Posyandu, Bina Keluarga Balita (BKB), Taman...

0 downloads 857 Views 228KB Size
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Program Posyandu Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) atau Pos PAUD mendapat perhatian yang cukup besar dari pemerintah. Permendagri nomor 19 tahun 2011 menyebutkan bahwa Pos PAUD adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan

melalui

pemberian

rangsangan

pendidikan

untuk

membantu

pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. Keberadaan Pos PAUD menjadi salah satu strategi pemerintah untuk mencapai target Angka Partisipasi Kasar (APK) layanan pendidikan dan perawatan sebesar 75% di tahun 2015 sesuai dengan Rencana Aksi Nasional Pendidikan Untuk Semua (RAN PUS) (Depdiknas, 2005). Petunjuk Teknis Pos PAUD (2012) menyebutkan bahwa Pos PAUD merupakan salah satu bentuk Satuan PAUD Sejenis (SPS) berbasis masyarakat yang mengandalkan kader-kader yang sudah ada di wilayah tersebut untuk menjadi pengelola dan pendidik. Direktorat PAUDNI menyebutkan bahwa dalam layanan PAUD di Indonesia terdapat tiga jalur yaitu jalur formal, jalur nonformal, dan jalur informal. Pos PAUD yang termasuk dalam kategori SPS merupakan bagian dalam jalur informal. Jalur formal terdiri dari Taman Kanak-kanak (TK), Raudhatul Athfal (RA), dan bentuk lain yang sederajat sedangkan jalur nonformal adalah Kelompok Bermain (KB), Taman Penitipan Anak (TPA) dan bentuk lain yang sederajat. Mengapa permasalahan PAUD di Indonesia khususnya Pos PAUD

1

2

menjadi isu strategis? Di Indonesia, wacana pentingnya pendidikan anak usia dini baru mengemuka pada akhir tahun 2000 meskipun perhatian mengenai pentingnya Pendidikan Untuk Semua (PUS atau Education For All) sejak lahir sudah dicanangkan pada tahun 1990. Lebih lanjut disebutkan bahwa sebagian strategi yang akan digunakan adalah mengintegrasikan layanan pendidikan dan layanan kesehatan dengan mengoptimalkan layanan yang sudah ada serta mengembangkan model integrasi dengan program layanan kepada anak usia dini yang sudah ada seperti Posyandu, Bina Keluarga Balita (BKB), Taman Pengajian Al Quran (TPQ), dan Sekolah Minggu, maupun mengembangkan program rintisan yang disesuaikan dengan kebutuhan lokal. Kegiatan tersebut dilakukan untuk mengoptimalisasi tumbuh kembang anak usia dini. Tujuan optimalisasi tumbuh kembang anak usia dini (usia 0 – 6 tahun) adalah kesiapan bersekolah pada anak. Kesiapan bersekolah merupakan tahapan perkembangan seorang anak di saat anak siap untuk mengikuti pendidikan formal dan menjadi bagian penting bagi anak-anak (Ackerman & Barnett, 2005; Dockett & Perry, 2001; Fleege, Charlesworth, Burts, & Hart, 1992), orangtua (Kennedy & Kennedy, 2004; Dockett & Perry, 2001), pendidik (Kennedy & Kennedy, 2004) dan pengambil kebijakan (Saluja, Scott-Little, & Clifford, 2000). Laporan “Teacher Employment and Teacher Employment and Deployment: Opportunities for Equity, Efficiency, and Quality Improvement" di tahun

2007

yang didukung oleh Bank Dunia, Kedutaan Besar Belanda, Ausaid dan Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia menyebutkan bahwa angka pengulangan siswa sekolah dasar (SD) sebanyak 12,5% terjadi di kelas satu SD (http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0712/21/humaniora/4093656. htm). Persentase ini menggambarkan bahwa satu dari delapan siswa kelas satu

3

SD gagal menuntaskan pelajarannya. Diperkirakan bahwa salah satu faktor penyebab tingginya angka tersebut adalah siswa mengalami kesulitan mengikuti pelajaran karena belum menguasai bahasa pengantar yaitu bahasa Indonesia terutama pada siswa yang tinggal di daerah pedesaaan.

Ditemukan bahwa

penyebab kesulitan tersebut adalah siswa-siswa belum memperoleh layanan PAUD sebelum memasuki sekolah dasar. Di dalam kegiatan PAUD, siswa mulai dibiasakan untuk menggunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi. Hal ini sejalan dengan studi terdahulu yang dilakukan oleh Alisjahbana (2006) pada kelompok Taman Posyandu di Jawa Barat

yang mengintegrasikan layanan

kesehatan dan pendidikan. Studi tersebut membandingkan kinerja anak (sikap dan prestasi belajar) pada anak-anak yang mengikuti kegiatan Taman Posyandu dengan yang tidak. Pengukuran dilakukan pada saat anak-anak tersebut di kelas satu hingga tiga sekolah dasar. Ditemukan bahwa anak-anak yang mengikuti kegiatan Taman Posyandu memiliki penyesuaian, kompetensi dan kemandiran yang lebih tinggi. Lebih dari itu, prestasi belajar mereka di kelas satu hingga tiga juga lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang tidak mengikuti kegiatan tersebut. Di tahun 2011, temuan ini dikuatkan dalam laporan evaluasi kesiapan sekolah yang dilakukan oleh UNICEF dan tim Universitas Atmajaya Jakarta. Evaluasi dilakukan di wilayah Aceh Besar, Pandeglang, Sukabumi, Wonosobo, Banyumas, Probolinggo, Bone, Lombok Tengah, Sikka, Belu dan Jayapura pada 269 anak kelas satu. Hasil uji beda menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan (t = 3,730; p < 0,05) pada kesiapan bersekolah pada anak usia dini yang memperoleh intervensi melalui kegiatan pendidikan anak usia dini dibandingkan dengan anak yang tidak memperoleh intervensi. Anak yang

4

mengikuti kegiatan PAUD memiliki rerata sekor kesiapan bersekolah yang lebih tinggi (Irwanto, Pandia, Widyawati, & Irwan, 2011). UNICEF

(www.unicef.org/indonesia/id/ECD_Indonesia.pdf)

dalam

laporannya di tahun 2009 menyatakan bahwa minimnya layanan program PAUD, rendahnya angka partisipasi anak usia dini di daerah tertinggal dan rendahnya kualitas layanan menjadi masalah utama dalam program pengembangan PAUD. Dalam laman Kemendiknas (http://www.kemdiknas.go.id/kemdikbud/berita/2060), disebutkan bahwa Angka Partisipasi Kasar (APK) anak usia tiga hingga enam tahun di Indonesia mencapai 69,4%. Terdapat perbedaan prosentase apabila diperhitungkan dari anak usia nol hingga enam tahun. BKKBN menyebutkan bahwa cakupan layanan PAUD anak usia nol hingga enam tahun baru berada pada kisaran 34% (http://www.beritasatu.com/kesra/170558-bkkbn-paud-barujangkau-30-anak-usia-06-tahun-di-indonesia.html). Dari angka tersebut terdapat kesenjangan yang tajam pada angka partisipasi antara anak di daerah perkotaan dan pedesaan. Diperkirakan 70% anak usia dini yang tinggal di pedesaan, tidak memiliki akses pada layanan PAUD karena faktor kemiskinan dan keterasingan serta pelayanan yang tidak memadai. Salah satu titik awal implementasi kegiatan pemenuhan layanan PAUD sudah dilakukan oleh Universitas Padjajaran bekerjasama dengan World Health Organization (WHO) pada tahun 1997 dengan rintisan program pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan nonformal di daerah Jawa Barat. Tujuan dari program ini adalah memberikan sentuhan pendidikan pada kegiatan Posyandu. Kegiatan ini dikenal dengan nama ‘Taman Posyandu’. Pada perkembangannya, pola integrasi kegiatan pendidikan dengan kegiatan layanan anak usia dini yang sudah ada menjadi salah satu strategi yang digunakan baik oleh pemerintah

5

maupun

Lembaga

Swadaya

Masyarakat

(LSM)

untuk

mengembangkan

pendidikan anak usia dini berbasis masyarakat. Keterlibatan masyarakat sebagai mitra dalam sektor kesehatan dan pendidikan menjadi salah satu strategi dalam mengatasi permasalahan yang menuntut pendekalatan holistik dan tidak dapat ditangani sendiri oleh salah satu pihak (Ansari & Phillips, 2001). Newberry menyebutkan masyarakat

(2012)

bahwa bersumber

dalam

dorongan dari

risetnya

mengenai

pembentukan

keinginan

agar

PAUD

kegiatan terjadi

di

PAUD

Indonesia berbasis

peningkatan

status

masyarakat menjadi status menengah; pandangan umum bahwa kegiatan tersebut akan bermanfaat bagi anak-anak; adanya pengumuman/sosialisasi dari pemerintah mengenai program PAUD; dan adanya minat pribadi dari warga setempat. Proses pembentukan Pos PAUD yang berbasis masyarakat membuat lembaga ini tidak sama dengan layanan PAUD yang lain. Secara teknis, pembentukan Pos PAUD berbeda dengan PAUD formal (Taman Kanakkanak/TK dan Raudatul Athfal/RA) maupun PAUD nonformal (Kelompok Bermain/KB). Pembentukan Pos PAUD diawali dengan inisiatif dari masyarakat untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas layanan anak usia dini (AUD) yang sudah ada di lingkungannya. Salah satu layanan anak usia dini yang cukup strategis adalah pos pelayanan terpadu (Posyandu). Posyandu memberikan layanan berupa pemantauan per bulan pada tumbuh kembang anak usia nol sampai enam tahun. Untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas layanan tersebut, diberikan layanan stimulasi tumbuh kembang dengan frekuensi dan intensitas yang lebih tinggi daripada kegiatan rutin Posyandu. Seperti telah disebutkan dalam Petunjuk Teknis Pos PAUD, kader menjadi tulang punggung utama dalam melaksanakan kegiatan ini. Mereka

6

menjadi relawan yang berperan sebagai tenaga pendidik dan kependidikan. Maka pertanyaan berikut yang mengemuka adalah siapakah mereka yang bersedia menjadi kader relawan dalam kegiatan Pos PAUD? Keberadaan kader sebagai relawan merupakan salah satu kelenturan dalam pembentukan Pos PAUD apabila dibandingkan dengan proses pendirian PAUD formal (Taman Kanak-kanak/TK) dan informal (Kelompok Bermain/KB). Pendirian Pos PAUD dapat berawal dari inisiatif pemerintah desa, tokoh masyarakat, kader Posyandu atau PKK yang didukung oleh masyarakat dan memperoleh ijin dari pemerintah desa/kelurahan berupa Surat Keputusan (SK) Kepala Desa atau Lurah. Dukungan tersebut menjadi salah satu faktor terpenting karena menyangkut pemanfaatan fasilitas umum yang dimiliki masyarakat untuk menunjang

kegiatan

Pos

PAUD

seperti

balai

masyarakat

(balai

RT/RW/Kelurahan), teras tempat ibadah, rumah warga, serta pendanaan kegiatan. Bentuk dukungan yang lain adalah sosialisasi kepada masyarakat mengenai pentingnya PAUD melalui kegiatan kemasyarakatan yang rutin dilakukan seperti pertemuan dasawisma, PKK, pengajian, arisan ibu-ibu, arisan bapak-bapak, dan ceramah di tempat ibadah. Tujuan sosialisasi adalah untuk meningkatkan partisipasi atau dukungan sosial. Sebagai warga, partisipasi sosial, kepercayaan, dan identifikasi sosial berkorelasi positif dengan kualitas jaringan sosial yang dimiliki individu. Semakin berkualitas jaringan sosial, semakin tinggi tingkat intensi untuk menolong dan jam kerja relawan juga akan semakin panjang (Tong, Hung, & Yuen, 2010). Secara umum kader merupakan bagian dari struktur para relawan yang membantu pengelolaan dan penerapan suatu program (Shrestha, 2007).

7

Hamidjoyo dan Chauls (1995) menyebutkan bahwa mereka kebanyakan wanita, pemimpin di komunitasnya, seringkali istri kepala desa atau pegawai negeri, dan tidak menerima bayaran atas kerja mereka. Lebih lanjut disebutkan bahwa keberadaan kader sebagai relawan berawal pada tahun 1970-an pada saat gerakan

Keluarga

Berencana

(KB)

digencarkan

di

pedesaan.

Pada

perkembangannya, peran kader tidak hanya sebatas memobilisasi program KB tetapi juga menangani program lain yang terintegrasi dengan program KB yaitu posyandu,

Bina

Keluarga

Balita

(BKB),

maupun

program

peningkatan

pendapatan (Hamidjoyo & Chauls, 1995). Kader merupakan tenaga sukarela yang dipilih oleh dan dari masyarakat dan bertugas untuk mengembangkan masyarakat (Departemen Kesehatan RI, 1984; Gunawan & Suteja, 1980). Petunjuk Teknis Pos PAUD (2012) secara spesifik menyebutkan bahwa pendidik Pos PAUD dapat disebut kader atau sebutan lain sesuai dengan kebiasaan setempat dan memenuhi beberapa persyaratan di antaranya adalah bersedia bekerja secara sukarela dan memiliki waktu untuk melaksanakan tugasnya. Persyaratan ini sejalan dengan definisi Meyer, Pascucci, dan Murphy (2012) yang menyebutkan bahwa relawan adalah mereka yang mengabdikan sejumlah waktu untuk menyediakan layanan tanpa bayaran di organisasi sosial. Hall (1997), secara spesifik menyebutkan bahwa ’sukarela’ secara umum berarti ’tanpa paksaan’ dan ’tanpa remunerasi’. Secara umum, sukarelawan dapat diartikan sebagai bekerja dengan kemauan sendiri, dengan rela hati atau berdasarkan kehendak sendiri tanpa adanya kewajiban. Gibelman, Margaret, dan Sweifach (2008) mendefinisikan kerelawanan sebagai memberikan bakat atau kelebihan, waktu, dan enerji seseorang pada orang lain, kelompok, komunitas, atau organisasi tanpa memperoleh kompensasi. Sementara Harootyan dan

8

James (1996) memahami perilaku kerelawanan sebagai segala kegiatan yang bertujuan untuk membantu orang lain yang dilakukan tanpa adanya keterikatan dalam memberikan bayaran atau kompensasi material kepada relawan. Dari beberapa definisi di atas, terdapat kesamaan dalam menjelaskan terminologi relawan yaitu pekerjaan atau kegiatan tersebut dilakukan atas kemauan sendiri dan tidak ada imbal balik berupa bayaran maupun kompensasi material. Berdasarkan pengertian di atas, kader Pos PAUD dapat dikategoriksan sebagai relawan dengan dua alasan. Pertama, keterlibatan seseorang sebagai kader Pos PAUD bersifat sukarela tanpa adanya ikatan kewajiban yang melatar belakanginya (Direktorat PAUDNI, 2012). Pos PAUD didirikan atas inisiatif lembaga kegiatan komunitas seperti PKK, Posyandu dan lain sebagainya. Dampak dari inisiatif tersebut adalah anggota-anggota lembaga ini banyak yang terlibat sebagai kader Pos PAUD, meskipun tidak bersifat wajib. Alasan kedua, kegiatan Pos PAUD tidak menjanjikan bayaran maupun kompensasi material lainnya kepada para kader sebagaimana disebutkan di dalam buku Petunjuk Teknis Pos PAUD. Untuk menunjang kegiatan operasional Pos PAUD, pemerintah di tingkat nasional dan daerah berinisiatif memberikan imbalan (honorarium) kepada kader Pos PAUD. Imbalan ini bernilai sangat kecil (kurang lebih Rp 135.000/ bulan) sehingga tidak dapat dijadikan sebagai penunjang mata pencaharian utama. Selain itu, karena keterbatasan dana anggaran, pemberian imbalan ini bersifat sangat terbatas kerena pada umumnya hanya diberikan kepada satu orang kader di tiap Pos PAUD dan tidak ada kepastian kesinambungan.

Sumber

dana

operasional

yang

lain

adalah

swadaya

masyarakat khususnya dari orangtua. Besaran nilai dana swadaya tersebut juga terbatas untuk menutup biaya operasional di luar honor kader seperti pembelian

9

bahan habis pakai, pemberian makanan tambahan (PMT), dan kebutuhan lain. Dapat disimpulkan bahwa kader Pos PAUD adalah tenaga sukarela yang dipilih oleh dan berasal dari masyarakat dan memiliki tugas sebagai pendidik dalam kegiatan Pos PAUD. Dari deskripsi di atas dapat teramati secara jelas bagaimana Pos PAUD sangat bergantung pada kerelawanan anggota masyarakat, khususnya para kader. Oleh karena itu dapat dipahami peran vital para kader sebagai tulang punggung kelangsungan program Pos PAUD. Pertanyaan yang mengemuka kemudian adalah, bagaimana agar kegiatan Pos PAUD yang bersifat sukarela dan kinerja kader sebagai relawan di dalamnya dapat terus terjaga? Sebagai suatu organisasi yang memberikan layanan pendidikan, Pos PAUD perlu mempertahankan keberadaan kader sebagai tulang punggung kegiatan dalam jangka panjang. Kestabilan layanan menjadi atribut kritikal dalam proses layanan (Chacon, Vecina & Davila, 2007). Penelitian kinerja dalam dunia relawan

banyak

menggunakan

pendekatan

dunia

industri

dengan

mempertimbangkan beberapa aspek yang membedakan keduanya. Farmer & Fedor (2000), Miller, Powel, dan Seltzer (1990); serta Laczo & Hanisch (2000) menggunakan pendekatan turnover karyawan dalam mencari pengaruh prediktor psikologis dan kondisi personal tetapi disebutkan bahwa terdapat perbedaan dari aspek manajemen, sikap, nilai, dan motivasi relawan. Rendahnya kepuasan dan komitmen berkaitan dengan intensi relawan untuk keluar dari kegiatannya (Miller, Powell, & Seltzer, 1990). Silverberg, Marshall, dan Ellis (2001) secara intens melakukan studi mengenai relawan dan menyatakan bahwa faktor penentu bagi relawan untuk bertahan sekaligus penentu kesuksesan dan kestabilan kegiatan adalah kepuasan kerja.

Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa kedua

10

variabel tersebut berperan secara signifikan (F = 6,80; p<0,01) terhadap kepuasan kerja. Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Farmer & Fedor (1997) menunjukkan adanya korelasi yang signifikan (r = 0,15; p<0,01) antara durasi menjadi relawan dan terpenuhinya harapan dalam berkegiatan sebagai relawan. Lebih lanjut disebutkan bahwa kepuasan berasosiasi dengan terpenuhinya harapan relawan (r = 0,19; p<0,01) dan adanya dukungan sosial (r = 0,77; p<0,01).

Kepuasan

tersebut

berasosiasi

dengan

peningkatan

partisipasi

kerelawanan (r = 0,52; p<0,01) dan menurunnya niatan untuk berhenti menjadi relawan (r = - 0,67; p<0,01). Beberapa peneliti lain juga menyebutkan bahwa kepuasan para relawan akan bergantung pada hasil evaluasi sejauh mana aspirasi psikologis mereka dapat terpenuhi di dalam kegiatan kerelawanan (Clary et al., 1998; Snyder, 1992). Bang dan Ross (2009) melakukan studi mengenai apa yang menjadi motif seseorang menjadi relawan dan mengapa mereka memutuskan untuk berhenti menjadi relawan dalam dunia olahraga. Penelitian ini menggunakan pendekatan Farrell, Johnston, dan Twynam (1998) yang memposisikan motif dan kecenderungan untuk bertahan pada relawan sebagai hal yang simetris yaitu apabila motivasi terpenuhi, relawan dipastikan akan bertahan. Pada penelitian Bang dan Ross tersebut, ditemukan bahwa faktor motivasi yang menjadi prediktor terbaik kepuasan adalah untuk mengekspresikan nilai (kepedulian pada orang lain, demi suksesnya program, dan masyarakat), orientasi karir (memperoleh pengalaman dan relasi karir), dan kecintaan pada dunia olahraga (cinta olahraga dan menyukai kegiatan olahraga apapun). Relawan yang merasa puas dengan kegiatannya akan menjadi lebih aktif dan cenderung melanjutkan bantuannya (Finkelstein, 2008). Barraza (2011) dalam penelitiannya juga membuktikan bahwa ekspektasi emosional (simpati dan

11

kepuasan) berkorelasi dengan niat untuk melanjutkan kerja relawan dan mampu memprediksi persistensi enam bulan ke depan pada relawan baru. Dalam organisasi masyarakat, Sagawa (2010) menyebutkan bahwa relawan termotivasi untuk terlibat dalam kegiatan karena adanya rasa memiliki komunitas serta untuk berbagi ketrampilan atau kemampuan teknis di luar pekerjaan yang memperoleh bayaran. Dari sisi lain, studi mengenai penyebab relawan keluar dari organisasi pernah dilakukan oleh Hustinx (2008) pada relawan pemadam kebakaran. Penyebab tersebut antara lain adanya tekanan dan beban kerja yang berlebih, ketidakpuasan terhadap kegiatan secara umum, waktu yang tidak sesuai dengan pekerjaan, ingin memiliki waktu lebih untuk keluarga atau bersantai, tidak cocok dengan cara kerja agensi lokal, faktor organisasi, perubahan keluarga, dan relokasi. Selain aspek kepuasan personal kader, keberlangsungan program berbasis relawan semacam Pos PAUD ini juga bergantung pada efektivitas kerja kader dalam mencapai sasaran yang sudah ditetapkan. Efektivitas menjadi fokus dalam pengukuran kinerja organisasi nirlaba seperti yang terjadi di Amerika (Brest, 2010) dan Inggris (Ailworth, 2009) untuk meminimalkan perubahanperubahan yang terjadi pada sumberdaya manusia yang terlibat di dalamnya. Konteks pendidikan yang mewarnai layanan Pos PAUD memposisikan kinerja kader sebagai pendidik sehingga pengukuran efektivitas kinerja dilakukan dalam konteks pendidik. Belum ada definisi maupun standar secara khusus mengenai kinerja kader Pos PAUD. Berbeda dengan layanan PAUD formal dan nonformal, konteks kinerja kader Pos PAUD berada dalam ranah kegiatan relawan yang nirlaba bukan organisasi formal dengan orientasi keuntungan (laba). Di sisi lain, layanan yang diberikan adalah layanan pendidikan sehingga kinerja kader dapat

12

diukur dalam perannya sebagai seorang pendidik. Kondisi ini menyebabkan kinerja kader Pos PAUD tidak dapat diukur hanya dari satu sisi sebagai pendidik tetapi juga dari sisi relawan. Pada Petunjuk Teknis Pos PAUD tidak disebutkan secara khusus definisi maupun tolok ukur kinerja kader sebagai pendidik. Buku petunjuk tersebut mencatumkan tugas kader yaitu menyiapkan kelengkapan administrasi

(daftar

hadir

anak,

rencana

kegiatan

anak,

buku

catatan

perkembangan anak, dan buku administrasi lain), menyiapkan tempat dan alat permainan edukatif, menyiapkan kegiatan anak, menyambut kedatangan anak, mendampingi orantua dalam pengasuhan bersama, mencatat perkembangan anak, melakukan pemeriksaan deteksi dini tumbuh kembang dan mencatatnya, bersama kader lain memandu anak dalam kegiatan pembukaan maupun kegiatan anak di kelompok.

Apabila dibandingkan dengan guru dalam

pendidikan formal, Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 pasal 20 Tentang Guru dan Dosen, Pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa guru adalah pendidik profesional

dengan

tugas

utama

mendidik,

mengajar,

membimbing,

mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Hal yang perlu dicermati, undang-undang maupun peraturan tersebut tidak dapat diberlakukan pada pendidik atau kader Pos PAUD karena Pos PAUD berada di luar jalur formal pendidikan anak usia dini. Meskipun belum ada standar khusus mengenai kinerja pendidik atau kader Pos PAUD, kader melaksanakan tugas berdasarkan petunjuk teknis seperti yang diuraikan oleh Borman (1998) bahwa kinerja adalah suatu kontribusi peran/posisi anggota terhadap organisasi berupa perilaku yang menghasilkan atau meningkatkan efektivitas suatu organisasi. Salah

satu

indikator

yang

digunakan

oleh

13

pemerintah untuk mengukur efektivitas kinerja pendidik adalah kualifikasi akademik dimilikinya. Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan menyebutkan bahwa pendidik PAUD wajib memiliki kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1) dalam bidang PAUD, kependidikan lain, atau psikologi; dan memiliki sertifikat profesi guru untuk PAUD. Lebih lanjut, acuan penilaian kinerja pendidik PAUD juga menggunakan peraturan pemerintah tersebut yang menyebutkan bahwa pendidik dalam PAUD harus memiliki kompetensi pedagogis, kompetensi kepribadian,

kompetensi

profesional,

dan

kompetensi

sosial.

Dalam

kenyataannya, Dirjen PAUDNI menyebutkan dari sekitar 300.000 pendidik PAUD, baru 21% pendidik yang memenuhi persyaratan sarjana dan dari jumlah tersebut

hanya

1%

yang

berpendidikan

linier

dengan

persyaratan

(http://www.pikiran-rakyat.com/node/28104). Pemerintah dan organisasi mitra berusaha untuk meningkatkan kompetensi tersebut melalui pelatihan, beasiswa, pendampingan, maupun program atau kegiatan lain tetapi usaha tersebut belum mampu memenuhi besarnya kebutuhan peningkatan kualitas pendidik PAUD. Kesenjangan antara persyaratan dan kondisi di lapangan memunculkan pertanyaan mengenai bagaimana efektivitas pendidik PAUD khususnya Pos PAUD dalam melaksanakan tugasnya meningkatkan kualitas anak usia dini? Study yang dilakukan oleh Pianta et al. (2005) pada 238 kelas PAUD yang mewakili program di enam negara bagian di Amerika Serikat menunjukkan bahwa kualitas pendidikan lebih rendah pada kelas-kelas yang memiliki lebih dari 60% siswa yang berasal dari keluarga yang berada di bawah kemiskinan, memiliki pendidik yang tidak terlatih (atau tidak berpendidikan) di bidang PAUD, dan tidak memiliki keyakinan mengenai pendidikan yang berpusat pada anak.

14

Program dan atribut pendidik memiliki peran yang signifikan dalam memprediksi kualitas. Penelitian tersebut juga menemukan tidak adanya hubungan antara kualitas hasil pendidikan dengan kondisi gedung sekolah, rasio anak dan tenaga pendidik, serta durasi kegiatan. Sejalan dengan temuan Pianta et al. (2005), Bornfreund (2012) menyebutkan bahwa untuk menjadi pendidik anak usia dini yang efektif, diperlukan sejumlah pelatihan yang yang memberikan pemahaman mendalam mengenai perkembangan anak usia dini.

Penekanan pada

pentingnya pelatihan untuk mengasah kemampuan mengajar juga ditemukan dalam riset yang dilakukan oleh Palardy dan Rumberger (2008). Riset tersebut menunjukkan bahwa relevansi kualifikasi pendidik terhadap efektivitas tidak sebesar pengaruh kemampuan praktek mengajar, sikap, dan keyakinan atas kemampuan tersebut. Chait (2010) mengemukakan bahwa pendidik yang tidak efektif akan menghambat proses belajar pada sebagian besar peserta didik dan akan menghambat prestasi mereka. Lebih lanjut, ia menambahkan bahwa pada level makro, ketidakefektifan pendidik akan merusak budaya di sekolah dan lingkungan belajar baik untuk pendidik maupun peserta didik. Maka dapat disimpulkan bahwa ketidakefektifan kinerja kader sebagai pendidik berpotensi menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan dan kelancaran program Pos PAUD. Dari hasil survei awal yang dilakukan penulis pada 46 kader Pos PAUD di wilayah Semarang dan Klaten dalam bulan Juli 2012 ditemukan hasil 29 orang (63%) meniai dirinya belum efektif dalam melakukan tugasnya sebagai pendidik. Mereka menyebutkan beberapa ketidakefektifan tersebut karena merasa kurang kompeten, ada permasalahan dalam tim kerja, kurangnya sarana dan prasarana

15

pendukung serta kurangnya dukungan dari orangtua siswa dan masyarakat. Kondisi ini membuat 35 orang (76%) merasa belum puas atas kinerjanya. Hingga saat ini, belum ada definisi yang ditetapkan secara resmi mengenai efektivitas kader Pos PAUD sebagai pendidik dalam konteks relawan. Evaluasi dalam proses akreditasi yang dilakukan pada lembaga PAUD lebih menekankan pada program secara menyeluruh berdasarkan Permendiknas nomor 58 tahun 2009. Apabila dicermati dalam peraturan mengenai kualifikasi guru, terdapat persyaratan kualifikasi dan kompetensi pendidik PAUD tetapi tidak disebutkan indikator mengenai efektivitas sebagai pendidik. Demikian pula dalam Petunjuk Teknis Pos PAUD (2012) yang hanya menyebutkan persyaratan untuk menjadi kader Pos PAUD serta keberhasilan program Pos PAUD dengan mengevaluasi keseluruhan aspek dalam kegiatan Pos PAUD. Dapat disimpulkan bahwa indikator efektivitas menjadi sesuatu yang dipahami dan dirasakan oleh kader Pos PAUD dalam melaksanakan tugasnya tetapi belum terjabarkan secara formal. Untuk itu, diperlukan penggalian yang lebih dalam untuk menjabarkan definisi operasional efektivitas kader Pos PAUD dalam melaksanakan tugasnya. Menyadari pentingnya faktor efektivitas dan kepuasan kerja kader sebagai penopang keberlangsungan program Pos PAUD, penelitian ini berfokus untuk memahami faktor-faktor yang berpengaruh terhadap efektivitas dan kepuasan kerja kader Pos PAUD serta dinamika keterkaitan antara faktor-faktor tersebut. Untuk dapat mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas kerja dan kepuasan kader, diperlukan dasar pengetahuan tentang berbagai informasi kontekstual yang membentuk pola kerja yang khas di dalam Pos PAUD.

16

Pos PAUD dikelola dengan prinsip “dari, oleh, dan untuk masyarakat” dan dibentuk atas kesepakatan masyarakat berdasarkan azas gotong-royong, kerelawanan, dan kebersamaan. Kanter (1972) dalam tulisannya mengenai komitmen pada organisasi relawan menyebutkan bahwa permasalahan utama organisasi ini adalah bagaimana proses pengelolaan yang harus dilakukan oleh kelompok untuk bertahan dan, di sisi lain, memuaskan serta dapat melibatkan anggotanya dalam jangka waktu yang lama. Seseorang akan bertahan menjadi relawan

selama

keseluruhan

pengalamannya

memberikan

manfaat

dan

kepuasan pada kebutuhan uniknya. Apabila merasa puas maka dia akan melanjutkan partisipasinya. Sebaliknya, dia akan berhenti untuk berpartisipasi bila merasa tidak puas (Cnaan & Goldberg-Glen, 1991). Kelanjutan partisipasi tersebut menjadi penentu keberlanjutan atau kesinambungan kegiatan relawan. Telah disebutkan sebelumnya bahwa kader Pos PAUD adalah tenaga relawan yang berasal dari lingkungan masyarakat yang ada di sekitar Pos PAUD. Disebutkan pula bahwa persyaratan minimal untuk menjadi kader Pos PAUD yaitu berpendidikan SMU, atau sederajat, pernah mengikuti pelatihan PAUD dari lembaga yang terakreditasi, menyayangi anak usia dini, memiliki komitmen untuk melaksanakan tugasnya, serta mampu bekerjasama dengan orangtua dan tim (Petunjuk Teknis Pos PAUD, 2012). Persyaratan minimal ini menggambarkan bahwa pada dasarnya kader Pos PAUD bukan tenaga pendidik PAUD yang memperoleh pendidikan formal yang memadai meskipun telah mengikuti pelatihan PAUD. Dengan latar belakang pendidikan tersebut, diperlukan keyakinan diri yang kuat dalam diri kader untuk merasa mampu melakukan tugasnya dalam mencapai tujuan yang sudah dirancang. Keyakinan ini dikenal sebagai konsep efikasi diri (Bandura, 1997). Bandura (1997) menyebutkan

17

manusia memiliki kemampuan untuk mengendalikan hal-hal yang terjadi pada diri dan lingkungannya dengan bertindak menjadi agen pelaku perubahan atau menjadi objek pada saat merespon suatu perubahan. Pada konteks kader Pos PAUD, proses tersebut terjadi sejalan dengan waktu di saat kader menghadapi berbagai permasalahan atau tantangan dengan hasil penyelesaian yang menggembirakan maupun mengecewakan. Pengaruh dari lingkungan muncul dalam bentuk respon dari orang-orang terdekat atas hasil kinerjanya berupa dukungan atau cercaan maupun keberadaan Pos PAUD lain yang dipandang lebih baik atau sukses untuk ditiru. Semua yang dialami kader dalam berkegiatan akan memunculkan respon fisik yang nyaman atau tidak nyaman serta perasaan/emosi positif (puas, bangga, senang, dan sebagainya) atau negatif (susah, sedih, kecewa, malu, dan sebagainya). Hal-hal tersebut menjadi sumber yang semakin memperkuat atau semakin memperlemah keyakinan dalam diri kader bahwa dia mampu untuk melakukan tugasnya. Menurut Bandura (1997), sumber tersebut dikenal dengan istilah pengalaman keberhasilan atau kegagalan (mastery experience), dukungan verbal (verbal persuasion), pengalaman meniru dari keberhasilan orang/kelompok lain (vicarious experience), serta kondisi fisiologis dan emosi (physiological and affective state). Efikasi lain yang diperkirakan memberikan pengaruh dalam dinamika kelompok kader Pos PAUD adalah efikasi relasional yaitu kemampuan seseorang untuk mengelola relasi serta kedekatan emosi dengan orang-orang terdekat

untuk

mencapai

suatu

hasil

yang

diharapkan

bersama

serta

kemampuan untuk menghadapi permasalahan dan dampak dari permasalahan tersebut (Kim & Park, 2006a). Hal ini disebabkan oleh banyaknya relasi yang harus dijalin oleh kader dalam kegiatan Pos PAUD. Relasi tersebut antara lain

18

dengan sesama kader, pengelola Pos PAUD, anak didik, orangtua anak didik, dan pihak lain yang berhubungan langsung dengan kegiatan Pos PAUD. Pada situasi tersebut, diperlukan kemampuan kader untuk mengelola relasi dengan orang-orang terdekatnya agar kader mampu menghadapi masalah dan dampak dari masalah tersebut. Adanya kemampuan untuk menjalin relasi yang baik akan membuat kader semakin memiliki keyakinan atas kemampuannya melaksanakan tugas sebagai kader Pos PAUD. Di setiap Pos PAUD terdapat minimal empat orang kader. Mereka bersama-sama berbagi tugas dalam kegiatan Pos PAUD. Proses kegiatan yang menuntut keterlibatan yang intens memunculkan pengenalan kader atas kemampuan

kader

lain

dalam

kelompoknya

maupun

pihak

lain

yang

berhubungan langsung dengan kegiatan Pos PAUD. Pada relasi yang intens tersebut, terjadi proses yang sama seperti pada masing-masing kader dalam menghadapi permasalahan dan tantangan, hanya saja kondisi ini dihadapi secara bersama-sama dalam kelompok dan disebut sebagai efikasi kolektif (Bandura, 1986). Dengan berjalannya waktu, keyakinan kader terhadap kapabilitas kelompoknya untuk membuat keputusan dengan sumberdaya dan strategi semakin menguat atau melemah tergantung sumber-sumber efikasi kolektif yang muncul dalam dinamika kegiatan kader Pos PAUD sebagai satu tim. Bila dikaitkan dengan kinerja siswa, efikasi kolektif terbukti meningkatkan komitmen pendidik pada kemitraan antara sekolah dan masyarakat dan komitmen mereka pada misi sekolah (Ross & Gray, 2006). Pada aspek keterkaitan antara efikasi diri dan efikasi kolektif, Caprara, Barbaranelli, Borgogni dan Rubinaci (2003) menemukan adanya asosiasi antara efikasi diri dan efikasi kolektif yang dimediasi oleh persepsi konstituen organisasi. Lebih lanjut

19

disebutkan bahwa kedua efikasi tersebut berkontribusi secara signifikan pada kepuasan kerja pendidik. Efikasi diri, efikasi relasional, dan efikasi kolektif memiliki sumber pembentukan yang sama namun berbeda pada unit letak sumber tersebut berproses. Pada efikasi diri, proses pengolahan sumber tersebut berada pada unit individu sedangkan efikasi relasional dan kolektif melibatkan lebih dari satu orang proses pengolahan sumber tersebut. Bandura (1986) menyebutkan bahwa efikasi mempengaruhi proses agency (dorongan dari dalam diri untuk bertindak) pada diri sesorang (dalam hal ini kader) dan pada akhirnya akan mewujud dalam bentuk kinerja yang diharapkan. Kim dan Park (2006a) dalam risetnya menggunakan gabungan efikasi diri, efikasi relasional, dan efikasi kolektif yang terdapat dalam diri seseorang sebagai manifestasi sistem budaya pada level individual yang kemudian disebut sebagai efficacy belief. Apa saja yang dapat mempengaruhi proses terbentuknya efficacy belief pada diri kader? Di dalam kegiatan Pos PAUD, terdapat sumber daya lain selain kader. Sumber daya tersebut antara lain tim penggerak PKK sebagai pihak penyelenggara dan sumber daya lain berupa tempat serta fasilitas baik dari pemerintah desa maupun masyarakat. Tempat kegiatan Pos PAUD pada umumnya menggunakan tempat milik desa (balai desa atau balai RW), tempat ibadah (teras masjid, gereja, dan sebagainya) atau rumah milik warga termasuk rumah pribadi milik kader. Ada pula Pos PAUD yang memiliki gedung sendiri sebagai hasil dari kemitraan baik dengan program pemerintah seperti Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Pedesaan dan Alokasi Dana Desa (ADD), program kepedulian masyarakat (Corporate Social Responsibility/CSR) dari perusahaan, atau swadaya masyarakat. Secara struktural, kegiatan ini

20

berada di bawah pengelolaan PKK di tingkat kelurahan sehingga ijin kegiatan berupa Surat Keputusan (SK) diterbitkan oleh kelurahan. Keterkaitan dengan Dinas Pendidikan dalam hal-hal administratif seperti melaporkan kegiatan, pemutakhiran data tiap bulan mengenai jumlah anak yang dilayani dalam kegiatan Pos PAUD, serta koordinasi bantuan yang bersumber dari APBD maupun APBN. Kondisi ini menggambarkan peran pihak lain seperti tim penggerak PKK, pemerintah desa, masyarakat, maupun dinas terkait dalam berbagai bentuk. Dukungan dari berbagai pihak tersebut menjadi salah satu hal yang dipandang memberikan pengaruh pada dinamika kader dalam melakukan kegiatannya. Beberapa ahli menyebutkan dukungan tersebut sebagai dukungan sosial yaitu dukungan yang diberikan oleh orang lain yang muncul dalam konteks relasi interpersonal (Hirsch, 1981) dan diperoleh melalui ikatan sosial dengan individu lain, kelompok, dan komunitas yang lebih besar (Lin, Simeone, Ensel, & Kuo, 1979). Kegiatan Pos PAUD dilselenggarakan minimal empat kali dalam sebulan dengan durasi minimal tiga jam dalam tiap pertemuannya. Beberapa Pos PAUD bahkan menyelenggarakan kegiatan sebanyak lima kali dalam seminggu karena adanya permintaan dari masyarakat. Seringkali rasio antara jumlah peserta didik yang hadir dengan jumlah kader tidak berimbang

atau jumlah peserta didik

melebihi daya tampung tempat belajar. Pada situasi tersebut, pengelola biasanya akan membentuk kelas-kelas berdasarkan kelompok usia dan kegiatan untuk tiap kelompok tersebut dilaksanakan pada hari yang berbeda. Konsekuensi dari situasi tersebut adalah kegiatan di Pos PAUD menuntut komitmen waktu yang cukup panjang bagi kader. Alokasi waktu tersebut antara lain untuk melakukan persiapan kegiatan seperti menyusun materi Rencana Kegiatan Bermain Harian

21

(RKBH), menyiapkan tempat (membersihkan dan menata), menyiapkan bahan ajar sesuai jumlah anak dan RKBH, melakukan kegiatan dengan durasi minimal tiga jam dalam tiap pertemuannya, melakukan tugas administrasi untuk mencatat perkembangan dan pertumbuhan anak serta administrasi yang lain (absensi anak dan kader, mengisi buku induk, mencatat inventaris, dan lain-lain) dan kegiatan lain yang berkaitan langsung dengan kegiatan Pos PAUD. Alokasi waktu yang relatif lama merupakan bentuk nyata kerelaan kader Pos PAUD untuk menyumbangkan waktunya bagi kegiatan ini. Sesuai dengan kondisi awal para kader yang merupakan kader Posyandu maupun kader kegiatan lain di desa, dapat dipastikan bahwa mereka juga mengalokasikan waktu mereka untuk kegiatan-kegiatan

sosial/relawan

lain

di

lingkungannya.

Kemauan

untuk

menyumbangkan waktu mereka menjadi salah satu hal yang diprediksi menjadi faktor yang mendorong para kader Pos PAUD untuk melakukan kegiatan ini. Dalam hal ini dukungan dari keluarga yang ikut menyumbangkan waktu kebersamaan dengan berkurangnya waktu luang kader untuk keluarga menjadi faktor penting bagi relawan untuk bertahan dalam kegiatannya (Gibelman & Swiefach, 2008). Dari sisi kader, kerelaan untuk melakukan sesuatu demi kepentingan orang lain dengan memberikan ’pengorbanan’ disebut sebagai tindakan altruistik (Monroe, 2002). Barker (1993) dalam studinya mengidentifikasi tiga faktor yang memotivasi seseorang untuk menjadi relawan. Tiga faktor tersebut adalah altruisme, instrumentalisme, dan obligasi. Termasuk di dalam motif altruistik adalah solidaritas dan rasa iba pada mereka yang memerlukan. Di sisi lain, motif instrumental berakar dari kepuasan pribadi dan mewakili dorongan untuk belajar dan memperoleh pengalaman baru. Motif obligasi berkisar pada

22

tugas moral atau keagamaan termasuk adanya perasaan bersalah serta tanggungjawab politis untuk mempromosikan perubahan. Terdapat beberapa riset yang mengaitkan kinerja relawan maupun pendidik dengan variabel lain yang diperkirakan memiliki pengaruh terhadap kinerja. Riset yang dilakukan oleh Finkelstein (2007) menunjukkan korelasi yang signifikan antara relawan yang memiliki kepuasan yang tinggi dan

adanya

motivasi nilai altruistik (r = 0,35; p<0,01) dan dorongan untuk memanfaatkan ketrampilannya dalam melayani orang lain (r = 0,20; p<0,05). Kinerja, komitmen, dan kegigihan dalam melaksanakan tugas meskipun menghadapi kegagalan dan hambatan memiliki relasi dengan efikasi pendidik (Guskey, 1988; TschannenMoran & Woolfolk Hoy, 2001). Sumber efikasi diri paling utama bersumber dari mastery experiences (Bong & Skaalvik, 2003; Pajares, 1997). Persepsi efikasi diri yang bersumber dari mastery experiences akan meningkatkan prestasi apabila dilanjutkan dengan penghargaan, akan memunculkan kepuasan kerja sebagai imbal baliknya (Caprara, Barbaranelli, Borgogni, & Steca, 2003). Caprara et. al. (2003) dalam penelitiannya menyebutkan pendidik yang memiliki efikasi diri akan mampu mempromosikan proses belajar, bekerjasama dengan rekan pendidik dan keluarga, serta mengelola kelas secara efektif. Mereka juga akan mampu membuat dan mengelola kesempatan untuk

memperoleh

pengakuan dari orang lain dan penghargaan intrinsik. Lebih lanjut, penelitian yang dilakukan Skaalvik dan Skaalvik (2007) menunjukkan bahwa efikasi diri pada pendidik berbeda dengan perceived efikasi kolektif dan berkorelasi tinggi dengan efikasi kolektif dan burnout. Berdasarkan latar belakang di atas, terdapat permasalahan praktis maupun teoritis dalam penelitian ini. Permasalahan praktis yang dihadapi adalah

23

proses psikologis dalam diri kader Pos PAUD dalam menjalankan tugasnya yang belum memperoleh perhatian khusus. Dampak dari kurangnya perhatian tersebut, kinerja kader Pos PAUD menjadi area yang kurang bahkan tidak dikelola dengan maksimal. Kondisi ini dapat menjadikan rendahnya kualitas kegiatan atau terjadi kegiatan yang tidak berkesinambungan karena kinerja kader Pos PAUD yang buruk. Persoalan praktis ini kiranya tidak perlu menjadi fokus dari penelitian ini karena menyangkut kelembagaan dan implementasi di lapangan. Permasalahan teoretis berawal dari masih sedikitnya penelitian mengenai model kinerja kader Pos PAUD. Penelitian pada kader Pos PAUD yang ada lebih mengarah pada kemampuan teknis kader Pos PAUD dalam menstimulasi perkembangan anak atau kemampuan pengelolaan/manajemen Pos PAUD. Secara psikologis, dari uraian sebelumnya teridentifikasi adanya pengaruh efficacy belief pada kinerja kader Pos PAUD Faktor-faktor psikologis lain yang berpengaruh adalah kesukarelaan (nilai altruistik) dan dukungan sosial

dari

pihak-pihak yang terkait. Selain faktor-faktor tersebut, adakah faktor lain yang berperan? Dengan mengasumsikan adanya tiga variabel utama yang berperan, yaitu efficacy belief, dukungan sosial, dan altruisme, kiranya masih perlu dilihat lebih rinci besarnya peran masing-masing variabel itu. Di samping itu, juga masih belum cukup jelas apakah masing-masing variabel itu berpengaruh langsung atau ada yang berperan menjadi variabel antara. Dengan demikian diperlukan pengkajian model kinerja kader Pos PAUD sebagai kerangka teoritis yang teruji yang dapat diaplikasikan dalam pembentukan atau penguatan Pos PAUD.

24

Penelitian yang memposisikan efficacy belief sebagai mediator banyak dilakukan dalam konteks sekolah atau dunia pendidikan. Salah satu penelitian yang banyak diacu dalam ranah pendidikan adalah penelitian yang dilakukan oleh Goddard (2001) serta Goddard, Hoy, dan Hoy (2004). Penelitian tersebut merupakan penelitian mengenai relasi multilevel antara pendidik dan kolektif efikasi serta penelitian mengenai model terbentuknya efikasi kolektif dalam kegiatan pembelajaran. Pada model tersebut, efikasi diri dan efikasi kolektif dipengaruhi secara timbal balik oleh budaya dan norma. Dikaitkan dengan pengalaman masa lalu, Goddard, LoGerfo, dan Hoy (2004) menemukan pengalaman kesuksesan masa lalu memberikan pengaruh positif pada kolektif efikasi dan menjadi prediktor kinerja siswa. Di Turki, Demir (2008) meneliti peran moderator

budaya

kolaboratif

dan

efikasi

guru

terhadap

transformasi

kepemimpinan dan efikasi kolektif pada 218 pendidik. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kepemimpinan transformasional kepala sekolah, efikasi pendidik dan budaya kolaboratif di sekolah secara bersama-sama dapat menjelaskan 53% varians pada efikasi kolektif pendidik. Studi pada kegiatan olahraga remaja dilakukan Bourne et al. (2012) yang mengukur peran efikasi diri sebagai mediator antara peran personal dan relasional terhadap proses transformasi pembelajaran dan kegiatan olahraga remaja. Peran efikasi diri sebagai mediator antara sumber informasi efikasi dan prestasi siswa juga ditemukan dalam studi yang dilakukan oleh Kim dan Park (2006b) dan Mohamadi dan Asadzadeh (2011). Chan, Lau, Nie, Lim, dan Hogan (2008) meneliti mengenai komitmen pendidik dan menyebutkan bahwa terdapat peran efikasi sebagai mediator antara persepsi terhadap kondisi politis organisasi, dialog reflektif, dan pengalaman mendidik dengan komitmen pendidik. Penelitian dalam

25

dunia organisasi juga menempatkan efikasi sebagai mediator dalam variabelvariabel yang ditelitinya. Borgogni, Russo, Petitta, dan Latham (2009) menemukan adanya peran kolektif efikasi sebagai mediator antara

persepsi

karyawan terhadap top manajemen, kolega, dan atasan langsung

dengan

komitmen organisasi. Kolektif efikasi juga terbukti memediasi kepemimpinan transformasional (keterlibatan dan kualitas kepemimpinan) dengan kepuasan kerja dalam situasi perubahan organisasi ditemukan dalam studi yang dilakukan oleh Albion & Gagliardi (2007). Pada konteks komunitas, Teig et al. (2009) menemukan potensi efikasi kolektif sebagai mediator antara dukungan sosial dan akses terhadap berbagai sumberdaya terhadap kesehatan subjek yang suka berkebun. Pengaruh efikasi kolektif sebagai mediator potensi dan kinerja kelompok merupakan hasil dari meta analisa pada 96 studi yang dilakukan oleh Stajkovic, Lee, dan Nyberg (2009). Efikasi diri juga berperan sebagai mediator antara latar belakang pendidikan dan tingkat kecemasan relawan ombudsman (Keith, 2000). Efikasi juga banyak diteliti sebagai variabel eksogen dalam beberapa penelitian. Penelitian tersebut antara lain penelitian yang dilakukan Williamson dan Mattiske (2003) mengenai peran penilaian kognisi sebagai mediator antara efikasi diri dalam hal relasi dengan kecemasan dan prestasi. Yasin dan Bussey (2003) memposisikan efikasi diri sebagai prediktor

dalam studi mengenai

kualitas relasi romantik. Terkait dengan kinerja kelompok, Stajkovic et al. (2009) menemukan adanya asosiasi antara kolektif efikasi dengan potensi dan kinerja kelompok. Keterkaitan antara kolektif efikasi dan efektivitas kerja kelompok juga diteliti oleh Little dan Madigan (1997). Hasil yang sama juga diperoleh dalam studi yang dilakukan Tasa, Taggar, dan Seijts (2007) dalam uji model

26

pembentukan efikasi kolektif.

Korelasi positif antara efikasi kelompok dan

kohesivitas kelompok terhadap kinerja kelompok juga ditemukan dalam penelitian Ramzaninezhad (2009) pada tim klub bola voli profesional di Iran. Temuan sejenis juga diperoleh Myers, Paiement, dan Feltz (2007) dalam penelitiannya terhadap 12 tim hoki wanita di Amerika, kolektif efikasi secara signifikan dapat memprediksi kinerja tim. Penelitian pada 26.267 pendidik dan 6.711 kepala sekolah di Amerika menunjukkan komitmen profesi dapat diprediksi oleh efikasi diri dan kolektif (Ware &Kisantas, 2007). Korelasi negatif antara efikasi kolektif dengan kepemilikan dua atau lebih pasangan seksual dan korelasi positif antara regulasi efikasi kolektif dengan usia merupakan hasil studi pada remaja di Chicago yang dilakukan oleh Browning, Burrington, Leventhal, & Brooks-Gunn (2008). Temuan mengenai adanya pengaruh perceived efikasi kolektif terhadap pencegahan aksi terorisme pada pengemudi bahan bakar minyak dan propane di Kanada diteliti James (2008). Korelasi yang tinggi antara efikasi kolektif keluarga dengan kualitas hubungan paternal dan maternal terhadap strategi koping ditemukan pada remaja Spanyol yang kecanduan obat dan alkohol (Pepe, Gomez-Fraguela, Villar-Torres, 2008). Pengaruh efikasi diri yang dimanipulasi bersama dengan iklan serta pesan berbingkai terhadap dorongan emosi untuk menjadi relawan merupakan hasil penelitian pada mahasiswa di Jerman yang dilakukan oleh Lindenmeier (2008). Allen, Jones, dan Sheffield (2009) memposisikan kolektif efikasi sebagai variabel tergantung dalam penelitiannya mengenai pengaruh referensi atribusi tim terhadap emosi dan kolektif efikasi. Demikian pula peletakan variabel efikasi kolektif sebagai variabel endogen juga dilakukan oleh Ohmer (2006) yang menemukan bahwa semakin tinggi partisipasi warga dalam organisasi kemasyarakatan, semakin tinggi pula

27

tingkat efikasi kolektif mereka. Efikasi diri juga menjadi salah satu pembentuk intensi perilaku warga untuk terlibat dalam pembenahan sistem pengelolaan dan daur ulang sampah (Maeda & Hirose, 2009). Di Cina dilakukan penelitian pada 64 kelompok mahasiswa oleh Chuang, Chou, dan Yeh (2004) dengan hasil kepercayaan pada anggota tim secara signifikan mempengaruhi efikasi kolektif dan kinerja tim. Lebih lanjut disebutkan bahwa gaya kepemimpinan secara tidak langsung mempengaruhi kolektif efikasi dan kinerja tim dengan dimediasi oleh trust. Efikasi diri juga terbukti secara signifikan mempengaruhi kompetensi relawan di Cina (Cheung, Lo, & Liu, 2012) dan kesediaan untuk menjadi relawan dalam eksperimen galatea effect (Eden & Kinnar, 1991). Di dalam dunia perawat yang berhadapan dengan pasien berpenyakit akut, efikasi diri dan optimisme berkorelasi dengan tingkat stres (Hubert & Morrison, 2006). Penelitian-penelitian tersebut menunjukkan adanya keragaman peran efficacy belief sebagai mediator maupun prediktor pada variabel-variabel yang diteliti. Berdasarkan

wacana

keragaman

peran

efficacy

belief

tersebut,

pengkajian model kinerja kader Pos PAUD dalam penelitian memungkinkan peran efficacy belief sebagai mediator antara variabel-variabel yang akan diteliti.

B. Rumusan Permasalahan Berdasarkan kajian di atas, permasalahan penelitian ini dapat dirumuskan dalam pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut. 1. Apakah efficacy belief, dukungan sosial, dan kesukarelaan (nilai altruistik) menjadi faktor utama yang mempengaruhi kinerja kader Pos PAUD?

28

2. Bagaimana efficacy belief, dukungan sosial, dan nilai altruistik dapat membentuk model kinerja kader Pos PAUD? Apakah efficacy belief berperan sebagai mediator antara dukungan sosial dan nilai altruistik dengan kinerja kader? 3. Apakah model tersebut sesuai dengan fakta di lapangan?

C. Tujuan Tujuan utama penelitian ini adalah sebagai berikut. 1.

Menyusun model teoretis yang terdiri dari efficacy belief, nilai altruistik, dan dukungan sosial terhadap kinerja kader Pos PAUD.

2.

Menguji model kinerja kader Pos PAUD yang disusun tersebut berdasarkan pada data di lapangan.

D. Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoretis maupun praktis yaitu: 1. Secara teoretis, diharapkan penelitian ini memberikan kontribusi berupa: a. Ditemukannya model kinerja kader Pos PAUD dengan efficacy belief sebagai faktor yang berperan pada kinerja dalam konteks relawan di dunia pendidikan. Temuan ini akan memperkaya ilmu pengetahuan mengenai peran efficacy belief pada relawan pegiat komunitas di Indonesia. b. Dasar teoretis bagi penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan kinerja relawan pegiat komunitas.

29

2. Secara praktis, manfaat penelitian ini adalah: a. Menjadi dasar dalam pembentukan

Pos

penyusunan

PAUD

baru,

program

yang

mempertahankan

bertujuan

untuk

kesinambungan

keberadaan Pos PAUD yang telah ada dan selanjutnya dapat diarahkan pada peningkatan kualitas. Dampak yang diperoleh dari kesinambungan program ini akan sangat besar. Salah satu gambaran adalah wilayah Jawa Tengah yang memiliki 4.227 Pos PAUD (data Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Tengah, 2012), dengan rerata terdapat empat orang kader dan 25 anak

untuk masing-masing Pos PAUD maka kesinambungan tersebut

menyangkut mempertahankan keberadaan 16.908 kader dalam proses stimulasi tumbuh kembang 105.675 anak usia dini. b. Memberikan landasan teoritis yang jelas dan kontekstual kepada pengambil kebijakan dalam menentukan strategi penambahan jumlah Pos PAUD, proses peningkatan kapasitas kader maupun stakeholder yang terkait dalam kegiatan Pos PAUD melalui proses peningkatan kapasitas (sosialisasi,

pelatihan,

pendampingan,

dan

sebagainya),

pemberian

bantuan, dan pemantauan serta evaluasi kegiatan. c. Meningkatkan pemahaman semua pihak khususnya pengambil kebijakan mengenai pentingnya memberikan perhatian pada aspek yang bersifat non teknis (dinamika psikologis kader) selain aspek teknis pengetahuan dan ketrampilan kader dalam PAUD.

30

E. Keaslian Penelitian mengenai efikasi sebagai mediator bukan hal baru dalam dunia penelitian. Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian ini pada umumnya terletak pada kancah yang diteliti. Di antaranya dalam dunia pendidikan yang dilakukan oleh Goddard et al. (2004) mengenai model pembentukan, pengaruh, dan perubahan perceived efikasi kolektif.

Penelitian pada ranah manajemen

yaitu efikasi diri dalam manajemen organisasi oleh Wood dan Bandura (1986) serta kepemimpinan (Albion & Gagliardi, 2007); dalam dunia kesehatan seperti depresi dan stress (Holahan & Holahan, 1987a, 1987b) dan penyakit jantung (Maibach, Flora, & Nass, 1991); dalam fungsi kognitif (Schunk, 1984), prestasi akademik (Zimmerman, Bandura, & Martinez-Pons, 1992), dan

dalam dunia

olahraga (Kane, Marks, Zaccaro, & Blair, 1996). Keseluruhan konteks dan subjek penelitian-penelitian tersebut berada dalam ranah dan konteks yang berbeda dengan penelitian ini. Variabel-variabel yang diteliti dalam kaitannya dengan efikasi juga berbeda. Pada konteks relawan, penelitian yang sudah dilakukan antara lain penelitian mengenai faktor yang mempengaruhi seseorang untuk mau menjadi relawan. Penelitian tersebut antara lain penelitian yang dilakukan oleh Shye (2010) mengenai motivasi relawan yang diukur dengan teori kualitas hidup sistematis, pengaruh tingkat pendidikan dan relijiusitas pada intensi kerja relawan (Suanet, Groenou, & Braam, 2009), pengaruh generalized trust pada relawan Taniguchi, 2012) serta pengaruh emosi positif dalam memprediksi hasil kerja sukarelawan pada relawan baru (Arbak & Villeval, 2011). Beberapa penelitian lain secara spesifik mengaitkan nilai altruistik dalam diri individu sebagai variabel yang mempengaruhi motivasi menjadi relawan atau melakukan tindakan

31

prososial seperti menolong atau berkorban. Penelitian-penelitian tersebut antara lain perilaku prososial altruistik pada anak-anak dan pemuda yang terlibat dalam kegiatan kepanduan (Ruiz-Olivares, Pino, & Herruzo, 2013), perbedaan perilaku altruistik pada mahasiswa dan anggota masyarakat dalam kegiatan amal (Carpenter, Connoly, & Myers, 2008), altruisme sebagai motivasi mahasiswa dalam melakukan kegiatan relawan (Burns, Reid, Toncar, Fawcett, & Anderson, 2006), serta durabilitas perilaku altruistik dikaitkan dengan kemanfaatan yang diberikan pada masyarakat (Jaffe, 2004). Meskipun mereka meneliti mengenai relawan

dan

beberapa

penelitian

yang

dihubungkan

dengan

altruisme,

penelitian-penelitian tersebut memiliki variabel dan kancah yang berbeda dengan penelitian ini. Mengenai penelitian dengan subjek penelitian kader Pos PAUD, belum banyak penelitian yang mengkaji dinamika psikologi kader Pos PAUD dalam mewujudkan efektivitas dan kepuasan kerjanya. Penelitian yang ada umumnya lebih terfokus pada kemampuan teknis kader sebagai pendidik seperti pengembangan PAUD holistik integratif (Handayani, Munawir, Chandra, & Prasetyawati, 2012), pengembangan media flash card dalam pembelajaran (Nandari, 2011), pengembangan motorik anak usia dini (Marwati, 2011), penguasaan kosa kata baru (Prasetyo, Yulianti, Diah, & Octavia, 2011), pentingnya bimbingan teknis (Prasetyo, Khasanah, Karmila, & Rakhmawati, 2012), serta kemampuan manajemen kader antara lain pengelolaan Pos PAUD (Fitroni, 2009) dan penerapan prinsip PAUD dan manajemen kurikulum (Fahyan, 2011). Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penelitian ini berbeda dengan penelitian yang ada terutama pada keterkaitan variabel yang

32

akan diteliti dan konteks penelitian. Pos PAUD sebagai suatu organisasi kemasyarakatan yang diteliti memiliki kekhasan dibandingkan lembaga PAUD yang lain. Kekhasan tersebut adalah prinsip dasar berbasis masyarakat (dari, oleh, dan untuk masyarakat) dan tenaga kader yang bersifat sukarela. Kondisi ini memunculkan dinamika psikologi yang berbeda dibandingkan dengan dinamika psikologi pada organisasi sejenis yang bersifat formal dan profesional.