Republik Indonesia
BUKU I: LANDASAN ILMIAH
PEDOMAN TEKNIS PENGHITUNGAN BASELINE EMISI DAN SERAPAN GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
Republik Indonesia 2014
Penasehat Endah Murniningtyas, Deputi Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, Bappenas Prof. Herman Haeruman, Institut Pertanian Bogor Koordinator Wahyuningsih Darajati, Direktur Lingkungan Hidup, Bappenas Editor Fahmuddin Agus, Iman Santosa, Sonya Dewi, Prihasto Setyanto, Syamsidar Thamrin, Yuliana Cahya Wulan, Febyana Suryaningrum Tim Penulis Iman Santosa, Ruanda Agung Sugardiman, Ari Wibowo, Saipul Rachman, Anna Tosiani, I. Wayan Susi Darmawan, Mega Lugina, Fahmuddin Agus, Ai Dariah, Maswar, Prihasto Setyanto, Miranti Arianti, Wiharjaka, Anggri Hervani, Ali Pramono, Yeni Widiawati, Wisri Puastuti, Dwi Yullistiani, Anny Meilani, Sonya Dewi, Feri Johanna, Degi Harja, Andree Ekadinata, Febyana Suryaningrum, Yuliana Cahya Wulan Tim Pendukung Teknis Medrilzam, Pungki Widiaryanto, Novita Sari, Ira Ratnasari ISBN: ………. Sitasi F. Agus, I. Santosa, S. Dewi, P. Setyanto, S. Thamrin, Y. C. Wulan, F. Suryaningrum (eds.). 2013. Pedoman Teknis Penghitungan Baseline Emisi dan Serapan Gas Rumah Kaca Sektor Berbasis Lahan: Buku I Landasan Ilmiah. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Republik Indonesia, Jakarta.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) Deputi Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Jl. Taman Suropati 2 Jakarta 10310 Telp. (021) 31936207 Website: www.bappenas.go.id Republik Indonesia
BUKU I: LANDASAN ILMIAH
PEDOMAN TEKNIS PENGHITUNGAN BASELINE EMISI DAN SERAPAN GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kami ucapkan kepada seluruh staf di Kedeputian Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, Kementerian PPN/Bappenas atas bantuan fasilitasi teknis dalam penyusunan pedoman ini. Penyusunan Pedoman Umum Rencana Aksi Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca didukung oleh The Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit GmbH (GIZ) melalui Proyek Policy Advice for Environment and Climate Change (PAKLIM) dan Green Economy and Locally Appropriate Mitigation Actions in Indonesia (GE-LAMA I). Dukungan tersebut sangat dihargai. Proses penyusunan dokumen ini tidak terlepas dari dukungan kemitraan dan dedikasi berbagai institusi berikut: 1. 2. 3. 4. 5.
Kementerian Kehutanan Kementerian Pertanian World Agroforestry Cente (ICRAF) Kementerian Lingkungan Hidup Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) 6. Japan International Cooperation Agency (JICA) 7. Indonesian Climate Change Trust Fund (ICCTF) Terima kasih yang setinggi-tingginya juga disampaikan kepada para pihak yang telah banyak memberikan masukan dalam penyempurnaan pedoman ini.
DAFTAR ISI
UCAPAN TERIMA KASIH
ii
DAFTAR ISI
iii
KATA PENGANTAR
ix
DAFTAR ISTILAH
x
BAB 1. PENDAHULUAN
1
BAB 2. DATA AKTIVITAS PENGGUNAAN DAN PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN
5
2.1. Sumber Data Aktivitas
5
2.2. Dasar pemilihan tahun 2006- 2011 sebagai base year
14
BAB 3. EMISI DARI BIOMAS TUMBUHAN
17
3.1 Cadangan karbon
17
3.2 Faktor emisi
18
3.3 Perkiraan emisi masa lalu (2006-2011) dan emisi pada periode yang akan datang (2011-2020)
24
3.4 Rencana Aksi Nasional Penurunan emisi gas rumah kaca
43
3.5 Manfaat tambahan dari aksi penurunan emisi gas rumah kaca
46
BAB 4. EMISI DARI TANAH GAMBUT
49
4.1 Emisi karena dekomposisi gambut
49
4.2 Emisi dari kebakaran gambut (below ground)
55
4.3 RAN Penurunan emisi dari oksidasi dan kebakaran gambut
61
4.4 Manfat tambahan dari aksi mitigasi pada lahan gambut
61
BAB 5. EMISI METANA DARI LAHAN SAWAH
63
5.1 Data Aktivitas
64
5.2 Faktor emisi metana dari lahan sawah
65
5.3 Emisi masa lalu (2006-2011) dan emisi ke depan (2011-2020)
68
5.4 Rencana aksi nasional penurunan emisi GRK
69
5.5 Manfat tambahan dan risiko penurunan GRK terhadap produksi padi
71
iii
BAB 6. EMISI N2O DARI PEMUPUKAN
73
6.1 Data Aktivitas
74
6.2 Faktor emisi
75
6.3 Emisi masa lalu (2006-2011) dan emisi ke depan (2011-2020)
78
6.4 RAN Penurunan emisi N2O
79
6.5 Manfaat tambahan mitigasi emisi N2O dari pemupukan
80
BAB 7. EMISI DARI SUBSEKTOR PETERNAKAN
83
7.1 Emisi CH4 dari proses pencernaan: Data aktivitas dan faktor emisi
83
7.2 Emisi CH4 dari kotoran ternak: Data aktivitas dan faktor emisi
86
7.3 Emisi N2O dari kotoran hewan: Data aktivitas dan faktor emisi
86
7.4 Emisi masa lalu (2006-2011) dan proyeksi emisi 2011-2020
87
7.5 RAN/RAD Penurunan emisi GRK Subsektor Perternakan
90
7.6 Manfat tambahan
93
EMISI BAU DAN MITIGASI SEMUA SUB-SEKTOR BERBASIS LAHAN
95
REFERENSI
98
DAFTAR TABEL
iv
Tabel 1
Zone Pemanfaatan Ruang wilayah Indonesia yang dibagi atas lahan mineral dan lahan gambut (Sumber: diolah dari Ritung et al. 2011 dan data Penunjukan Kawasan yang diterbitkan oleh Kemenhut).
7
Tabel 2
Tipe penutupan hutan dan lahan berdasarkan klasifikasi Ditjen Planologi Kehutanan.
8
Tabel 3
Matriks penutupan dan transisi penutupan lahan mineral Indonesia antara tahun 2006 sampai 2011 pada semua zone pemanfaatan ruang (ribu hektar).
11
Tabel 4
Matriks penutupan dan transisi penutupan lahan gambut Indonesia antara tahun 2006 sampai 2011 pada semua zone pemanfaatan ruang (dalam ribu hektar).
12
Tabel 5
Matriks penutupan dan transisi penutupan lahan mineral Indonesia antara tahun 2006 dan 2011 pada areal penggunaan lain (APL) dalam ribu hektar.
13
Tabel 6
Faktor emisi (cadangan karbon) di atas permukaan tanah yang direkomendasikan untuk inventarisasi emisi dari perubahan penggunaan lahan pada skala nasional
19
Tabel 7
Emisi, penyerapan (sekuestrasi dan net emisi CO2-e dari biomas tumbuhan karena pengaruh perubahan penggunaan lahan tahun 2006-2011 di seluruh Indonesia pada lahan gambut dan lahan mineral.
27
PEDOMAN TEKNIS PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
Tabel 8
Matriks emisi base year tahun 2006-2011 skala nasional dari biomas di atas permukaan lahan mineral akibat perubahan tutupan lahan (juta ton CO2e/tahun).
29
Tabel 9
Matriks emisi base year tahun 2006-2011 skala nasional yang berasal dari biomas di atas permukaan lahan gambut akibat perubahan tutupan lahan (juta ton CO2e/tahun).
30
Tabel 10
Emisi base year (tahun 2006-2011) skala nasional yang berasal dari biomas akibat perubahan tutupan lahan mineral dan lahan gambut (juta ton CO2e/tahun).
31
Tabel 11
Matriks proyeksi tutupan dan transisi tutupan lahan mineral Indonesia antara tahun 2016-2021 pada semua zone pemanfaatan ruang (dalam ribu hektar) berdasarkan skenario BAU historis.
38
Tabel 12
Matriks proyeksi tutupan lahan gambut Indonesia antara tahun 2016-2021 pada semua zone pemanfaatan ruang (dalam ribu hektar) berdasarkan skenario BAU historis.
39
Tabel 13
Matriks proyeksi emisi tahun 2011-2016 skala nasional yang berasal dari biomas pada lahan mineral dan lahan gambut akibat perubahan tutupan lahan (juta ton CO2e/tahun).
40
Tabel 14
Matriks proyeksi emisi tahun 2016-2021 skala nasional yang berasal dari biomas pada lahan mineral dan lahan gambut akibat perubahan tutupan lahan (juta ton CO2e/tahun).
41
Tabel 15
Faktor emisi dari lahan gambut yang didrainase dan perbandingannya dengan angka acuan dari berbagai sumber lainnya.
50
Tabel 16
Matriks faktor emisi dari dekomposisi gambut (ton CO2e/(ha . tahun)) pada berbagai kelas penutupan (angka pada diagonal) dan perubahan penutupan lahan (angka di luar diagonal) lahan gambut.
53
Tabel 17
Matriks emisi base year (tahun 2006-2011) skala nasional yang berasal dari dekomposisi gambut akibat penggunaan dan perubahan penggunaan lahan gambut (juta ton CO2e/tahun).
54
Tabel 18
Luas panen padi sawah di Indonesia dari tahun 2000 sampai 2012
66
Tabel 19
Faktor koreksi emisi metana dari lahan sawah dengan berbagai sistem pengelolaan air
66
Tabel 20
Faktor emisi dan faktor koreksi emisi metana (CH4) dari lahan sawah untuk berbagai varietas padi (Sumber: Setyanto et al. 2005).
67
Tabel 21
Konsumsi pupuk N lahan pertanian Indonesia dari tahun 2007 sampai tahun 2011
74
Tabel 22
Faktor emisi N2O langsung dan tidak langsung.
76
Tabel 23
Faktor emisi gas metana (CH4) dari proses pencernaan berbagai jenis ternak
84
DAFTAR ISI
v
Tabel 24
Populasi ternak Indonesia dari tahun 2006 sampai tahun 2012 (ribu ekor).
85
Tabel 25
Estimasi populasi ternak dari tahun 2013 sampai 2020.
85
Tabel 26
Faktor emisi CH4 dari kotoran hewan dengan berbagai metode pengelolaan (IPCC, 2006).
86
Tabel 27
Angka acuan (default) untuk kandungan N pada kotoran hewan di Asia dan perkiraan berat badan rata-rata.
87
Tabel 28
Faktor emisi N2O dari kotoran ternak dengan berbagai sistem pengelolaan
87
DAFTAR GAMBAR
vi
Gambar 1
Peta sebaran lahan gambut Indonesia (Ritung et al. 2011).
Gambar 2
Konsep perhitungan perubahan cadangan karbon, dengan pendekatan stock difference, dan konsep cadangan karbon rata-rata waktu (time averaged C stock) untuk perubahan tutupan lahan dari hutan sekunder (Hs) ke dua siklus hutan tanaman industri (Ht).
22
Gambar 3
Konsep perhitungan riap karbon pada hutan sekunder (Hs) dengan cadangan C 169 t/ha dan riap 2.3 ton C/(ha . tahun) dan perubahan hutan sekunder menjadi hutan tanaman industri (Ht).
24
Gambar 4
Deskripsi perhitungan emisi berbasis lahan, termasuk Sektor Pertanian.
27
Gambar 5
Emisi CO2e skala nasional dari biomas di atas permukaan tanah gambut dan tanah mineral dari perubahan tutupan lahan.
32
Gambar 6
Kontribusi masing-masing zona pemanfaatan ruang terhadap emisi nasional dari perubahan penggunaan lahan pada lahan gambut (g) dan lahan mineral.
33
Gambar 7
Skenario baseline dan proyeksi tingkat emisi kotor (REL) dan net emisi (RL) pada tingkat lokal (Provinsi dan Kabupaten) berdasarkan tahapan dalam kurva ‘Forest transition’ (Dewi et al. 2012).
35
Gambar 8
Skema perhitungan emisi kumulatif pada skenario business as usual (BAU) dan skenario mitigasi emisi gas rumah kaca.
36
Gambar 9
Perkiraan net emisi Business as Usual (BAU) kumulatif dari biomas tumbuhan pada lahan mineral dan lahan gambut berdasarkan pendekatan historis.
37
Gambar 10
Perkiraan emisi tahunan dan emisi kumulatif pada skenario bussiness as usual (BAU) dari dekomposisi gambut dan biomas tumbuhan karena perubahan tutupan lahan berdasarkan pendekatan historis dan forward looking dengan asumsi bahwa emisi mengalami kenaikan sebanyak 2,5% per tahun atau 12,5% pada periode 2011-2016 dan 25% pada periode 2016-2021 dibandingkan dengan emisi pada pendekatan historis periode yang sama.
42
PEDOMAN TEKNIS PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
6
Gambar 11
Perkiraan jumlah emisi CO2e tahunan dari kehilangan biomas tumbuhan dan dekomposisi gambut pada skenario BAU dan beberapa skenario penurunan emisi gas rumah kaca. BAU = Business as usual; S 1 = Penangguhan penggunaan hutan gambut untuk pertanian dan Ht; S2 = S1 + penangguhan penggunaan hutan pada lahan mineral untuk pertanian dan Ht; S3 = S2 + pemanfaatan belukar gambut untuk menjaga trend perluasan lahan pertanian dan Ht agar sama dengan trend 2006-2011, dan S4 = S3 + Pemanfaatan belukar lahan mineral untuk menjaga trend perluasan lahan pertanian dan Ht sama dengan trend 2006-2011.
44
Gambar 12
Memperlihatkan bahwa penangguhan penggunaan hutan gambut dan hutan mineral tanpa mengurangi laju perluasan lahan pertanian dan Ht (Skenario S4) mampu menurunkan emisi GRK secara signifikan. Skenario ini merubah posisi emisi dari biomas tumbuhan dari 340 juta ton CO2e/tahun pada periode 2006-2011 menjadi negatif 8.4 juta ton CO2e/tahun pada periode 2011-2016 dan negatif 1.1 juta ton CO2e/tahun pada periode 2016-2021. Emisi dari dekomposisi gambut tidak mengalami penurunan dengan skenario S4 ini, malahan meningkat dari 278 juta ton CO2e/tahun pada periode 20062011 menjadi 287 juta ton CO2e/tahun pada periode 20112016 dan 294 juta ton CO2e/tahun pada periode 2016-2021. Hal ini disebabkan karena luas lahan gambut yang dipengaruhi drainase tidak berkurang, malahan drainase lahan gambut semakin dalam dengan konversi belukar gambut menjadi lahan pertanian dan Ht.
44
Gambar 13
Emisi CO2 dari perubahan tutupan lahan pada lahan mineral dan lahan gambut serta dekomposisi tanah gambut pada berbagai skenario pengendalian deforestasi di kawasan hutan pada pada periode 2016-2021.
46
Gambar 14
Emisi CO2e kumulatif pada periode 2006-2011, 2006-2016 dan 2006 -2021 CO2 dari dekomposisi gambut.
55
Gambar 15
Perkiraan emisi rata-rata tahun 2000 sampai 2006 dari kebakaran gambut di pulau-pulau utama di Indonesia (dalam juta ton CO2e/tahun; %) (van der Werf et al. 2008).
60
Gambar 16
Variasi tahunan dan kecenderungan emisi CO2 dari kebakaran gambut Indonesia tahun 2000 sampai 2006 (diolah dari van der Werf et al. 2008).
60
Gambar 17
Luas panen padi sawah tahun 2006-2011 dan proyeksi sampai tahun 2021 dengan model kuadratik.
68
Gambar 18
Emisi historis dan proyeksi emisi CH4 dari lahan sawah tanpa usaha mitigasi (BAU) antara tahun 2006 sampai tahun 2011 dan proyeksinya sampai tahun 2021.
69
Gambar 19
Perkiraan emisi CH4 dari lahan sawah tahun 2006 sampai tahun 2011 dan proyeksi antara tahun 2021 dengan pengelolaan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT).
70
DAFTAR ISI
vii
viii
Gambar 20
Perkiraan emisi CH4 dari lahan sawah tahun 2006 sampai tahun 2011 dan proyeksinya antara tahun 2011 sampai tahun 2021 dengan pengelolaan konvensional (BAU) dan skenario mitigasi melalui Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT).
71
Gambar 21
Perkiraan emisi N2O historis tanah yang dikelola dari tahun 2007-2011.
78
Gambar 22
Perkiraan emisi N2O langsung dari tanah yang dikelola tahun 2007-2011 dan proyeksinya sampai tahun 2020.
78
Gambar 23
Populasi ternak dari tahun 2006 dan proyeksinya sampai tahun 2020.
85
Gambar 24
Emisi CH4 dari proses pencernaan ternak dari tahun 2006 sampai 2012 dan proyeksinya dari tahun 2013 sampai tahun 2020.
88
Gambar 25
Persentase emisi metana (CH4) dari proses pencernaan berbagai jenis hewan ternak Indonesia berdasarkan data aktivitas populasi ternak tahun 2011.
88
Gambar 26
Emisi metana (CH4) dari kotoran ternak di Indonesia.
89
Gambar 27
Emisi N2O dari kotoran ternak Indonesia
90
Gambar 28
Emisi CH4 dan N2O dari berbagai sumber Subsektor Peternakan antara tahun 2013 sampai 2012 dan proyeksi antara tahun 2013 sampai 2020.
92
Gambar 29
Estimasi emisi metana pada skenario BAU historis dan penurunan emisi dari sektor peternakan apabila diterapkan teknik mitigasi melalui manajemen pemberian pakan.
92
Gambar 30
Perkiraan emisi BAU dari semua sub-sektor dari bidang berbasis lahan untuk periode base year 2006-2011 dan proyeksi pada periode 2011-2016 serta 2016-2021.
96
Gambar 31
Sumbangan emisi tahunan dari berbagai sub-sektor pada sektor berbasis lahan pada periode tahun dasar (base year) 2006-2011.
97
Gambar 32
Emisi dari semua sektor berbasis lahan pada skenario BAU forward looking dan skenario penurunan emisi 13% dan 20,5% dari BAU pada periode 2011-2016 dan 26% dan 41% dari BAU pada periode 2016-2021.
97
PEDOMAN TEKNIS PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
KATA PENGANTAR Dalam rangka menyusun recana aksi nasional penurunan emisi gas rumah kaca (RAN-GRK) seperti diamanatkan oleh Peraturan Presiden No. 61 tahun 2011, diperlukan suatu buku panduan teknis yang menguraikan tentang landasan ilmiah perhitungan emisi gas rumah kaca pada skenario business as usual (BAU) dan beberapa skenario penurunan emisi. Buku ini dikemas dalam uraian yang sederhana dan mudah dipahami oleh para pihak yang berkepentingan. Buku panduan teknis ini disusun untuk meningkatkan pemahaman berbagai pihak di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten untuk menyusun RAN dan rencana aksi daerah (RADGRK). Badan Perencanaan Pembangunan Nasional mengucapkan terima kasih kepada Tim Ahli yang mewakili Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian dan World Agroforestry Centre (ICRAF) yang telah meluangkan waktu dan pemikirannya untuk penyusunan pedoman ini. Pedoman ini merupakan living document yang akan diperbaharui sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang terkait dengan faktor emisi dan penetapan data aktivitas, serta kesepakatan para pihak terkait dengan kebijakan nasional dan hasil negosiasi di tingkat internasional.
Deputi Bidang Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup Bappenas
DAFTAR ISTILAH
Bahan organik (Organic matter). Bahan yang berasal dari makhluk hidup yang dapat terdekomposisi atau merupakan hasil dekomposisi atau bahan yang terdiri dari senyawa organik. BAU (business as usual). Angka perkiraan tingkat emisi gas rumah kaca pada satu atau dua periode yang akan datang (dalam panduan ini periode 20112016 dan 2016-2021) berdasarkan kecenderungan yang berlaku sekarang (dalam panduan ini 2006-2011). Berat isi (BI) atau kerapatan lindak tanah (Soil bulk density). Berat kering tanah per satuan volume (termasuk volume padatan dan pori tanah) dalam keadaan tidak terganggu. Biomas (Biomass). Masa (berat) dari organisme yang hidup yang terdiri atas tumbuhan dan hewan yang terdapat pada suatu areal. Satuannya adalah t/ha. Untuk panduan ini biomas adalah berat kering tumbuhan dalam satu satuan luas. Biomas di atas permukaan tanah (Above ground biomass). Masa tumbuhan yang terdapat di atas permukaan tanah yang terdiri atas pohon, dahan, ranting dan daun. tumbuhan Biomas di bawah permukaan tanah (Below ground biomass). Masa tumbuhan yang terdapat di bawah permukaan tanah yang terdiri atas akar tumbuhan dan makhluk hidup di dalam tanah. Pada umumnya yang dihitung untuk panduan ini adalah akar tumbuhan. Satuan dari biomas adalah ton/ha atau secara umum satuan berat dibagi dengan satuan luas lahan. Cadangan karbon (Carbon stock). Jumlah berat karbon yang tersimpan di dalam ekosistem pada waktu tertentu, baik berupa biomas tumbuhan, tumbuhan yang mati, maupun karbon di dalam tanah.
x
PEDOMAN TEKNIS PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
Data aktivitas (Activity data). Luas suatu penutupan lahan dan luas suatu lahan yang berubah dari suatu kelas penutupan menjadi kelas penutupan lainnya. Untuk Sektor Peternakan data aktivitas adalah jumlah ternak dan jumlah kotoran yang dihasilkan ternak pada suatu negara, perovinsi, kabupaten, kecamatan atau desa. Untuk emisi dari lahan sawah, data aktivitas adalah luas lahan sawah dengan sistem pengelolaan tertentu, misalnya sawah irigasi dan sawah tadah hujan yang menanam varietas padi tertentu. Ekivalen karbon dioksida (Carbon dioxide equivalent). Suatu ukuran yang digunakan untuk membandingkan daya pemanasan global (global warming potential, GWP) gas rumah kaca tertentu relatif terhadap daya pemanasan global gas CO2. Misalnya, GWP metana (CH4) selama rata-rata 100 tahun adalah 21 dan nitrous oksida (N2O) adalah 298. Ini berarti bahwa emisi 1 juta ton CH4 dan 1 juta t N2O berturut-turut, menyebabkan pemanasan global setara dengan 25 juta ton dan 298 juta ton CO2. Emisi (Emissions). Proses terbebasnya gas rumah kaca ke atmosfir, melalui dekomposisi bahan organik oleh mikroba yang menghasilkan gas CO2 atau CH4, proses terbakarnya bahan organik menghasilkan CO2 dan proses nitrifikasi dan denitrifikasi yang menghasilkan gas N2O. Fermentasi enteric (enteric fermentation). Fermentasi dalam lambung hewan yang menghasilkan gas metana (CH4). Fluks (Flux). Kecepatan mengalirnya gas rumah kaca, misalnya kecepatan pergerakan CO2 dari dekomposisi bahan organik tanah ke atmosfir dalam satuan berat gas per luas permukaan tanah per satuan waktu tertentu (misalnya mg/(m2 . jam). Kandungan bahan organik tanah (Soil organic matter content, SOM). Masa bahan organik tanah untuk setiap satuan berat kering tanah. Satuannya adalah % berat atau g/kg (g bahan organik/kg tanah) atau t/t atau Mg/Mg. Kandungan bahan organik 98% = 980 g/kg = 0,98 Mg/Mg = 0,98 t/t atau 0,98 ton bahan organik untuk setiap satu ton berat kering tanah.
DAFTAR ISTILAH
xi
Kandungan karbon organik tanah (Soil organic carbon content, Corg). Masa karbon untuk setiap satuan berat tanah. Satuannya adalah % berat atau g/kg (g Corg/kg tanah) atau t/t atau Mg/Mg. Bila analisis laboratorium hanya menghasilkan kandungan bahan organik (misalnya dengan metode pengabuan kering atau loss on ignition, LOI) maka kandungan Corg tanah diasumsikan 1/1,724 dari kandungan bahan organik tanah. Apabila tanah gambut mempunyai kandungan bahan organik 98% maka Corg = 98%/1,724 = 57% = 570 g/kg = 0,57 Mg/Mg = 0,57 t/t. Karbon (Carbon). Unsur kimia bukan logam dengan simbol atom C yang banyak terdapat di dalam semua bahan organik dan di dalam bahan anorganik tertentu. Unsur ini mempunyai nomor atom 6 dan berat atom 12 g. Karbon dioksida (Carbon dioxide). Gas dengan rumus CO2 yang tidak berbau dan tidak bewarna, terbentuk dari berbagai proses seperti pembakaran bahan bakar minyak dan gas bumi, pembakaran bahan organik (seperti pembakaran hutan), dan/atau dekomposisi bahan organik serta letusan gunung berapi. Dewasa ini konsentrasi CO2 di udara adalah sekitar 0,039% volume atau 388 ppm. Konsentrasi CO2 cenderung meningkat dengan semakin banyaknya penggunaan bahan bakar minyak dan gas bumi serta emisi dari bahan organik di permukaan bumi. Gas ini diserap oleh tumbuhan dalam proses fotosintesis. Berat molekul CO2 adalah 44 g. Konversi dari berat C ke CO2 adalah 44/12 atau 3,67. Lahan gambut (Peatland). Lahan yang tanahnya kaya dengan sisa tumbuhan yang terdekomposisi sebagian, dengan kadar C organik tanah >18% dan ketebalan >50 cm. Tanah yang berada pada lahan gambut disebut tanah gambut. Lahan gambut banyak terdapat pada lahan basah (wetland). Tanah gambut tropis mempunyai kisaran ketebalan 0,5 - >15 m dan yang terbanyak antara 2-8 m. Pohon-pohonan, belukar, rumput-rumputan, pohon-pohonan dan lumut dapat berkontribusi dalam pembentukan gambut apabila lahan berada dalam keadaan tergenang atau jenuh air. Lihat definisi Tanah gambut. Nekromas atau tumbuhan yang mati (Necromass/dead organic matter). Berat dari makhluk hidup yang telah mati dalam keadaan kering oven, biasanya ditampilkan dalam satuan t/ha atau Mg/ha. Nekromas terdiri atas sisa tumbuhan (pohon, dahan, ranting dan daun dari tumbuhan yang mati) yang terdapat di atas permukaan tanah, dan sebagiannya bisa saja terkubur di dalam tanah. Peningkatan jumlah nekromas pada suatu areal bisa terjadi karena matinya satu pohon atau lebih atau bisa karena matinya pohon dari lokasi tertentu karena kerusakan skala besar disebabkan kebakaran, serangan hama atau penyakit dan karena angin.
xii
PEDOMAN TEKNIS PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
Neraca karbon (Carbon budget). Neraca dari terjadinya perpindahan karbon dari satu penyimpan karbon (carbon pool) ke penyimpan lainnya dalam suatu siklus karbon, misalnya antara atmosfir dengan biosfir dan tanah. Penggunaan lahan (Land use). Klasifikasi jenis kegiatan dan pekerjaan manusia di atas permukaan bumi, misalnya hutan, pertanian tanaman semusim, perkebunan, perkotaan dan areal konservasi. Penyerapan karbon (Carbon sequestration). Proses penyerapan karbon dari atmosfir ke penyimpan karbon tertentu seperti tanah dan tumbuhan. Proses utama penyerapan karbon adalah fotosintesis. Penyimpan karbon (Carbon pool). Subsistem yang mempunyai kemampuan menyimpan dan atau membebaskan karbon. Contoh penyimpan karbon adalah biomas tumbuhan, tumbuhan yang mati, tanah, air laut dan atmosfir. Proyeksi emisi historis (historical BAU). Perkiraan jumlah emisi untuk periode yang akan datang berdasarkan kecenderungan pada satu periode tahun acuan (base year). Proyeksi emisi forward looking. Perkiraan jumlah emisi untuk periode yang akan datang berdasarkan kecenderungan pada satu periode tahun acuan (base year) serta dengan memperhatikan rencana pembangunan dan kebijakan yang akan datang. Tanah gambut (Peat soil). Tanah yang terbentuk dari sisa tumbuhan yang terdekomposisi sebagian, dengan: a. ≥18% C organik (setara dengan ≥ 30% bahan organik) jika mengandung fraksi liat ≥ 60% atau lebih, atau b. ≥12% C organik (setara dengan 20% bahan organik) jika tidak ada kandungan fraksi liat, atau c. ≥12% + (liat dengan kelipatan 0,1 kali) C organik, jika mengandung fraksi liat <60 dan ketebalan >50 cm. Tingkat emisi referensi (Reference Emission Level, REL): Tingkat emisi kotor dari suatu area geographis yang diestimasi dalam suatu periode tertentu. Tingkat referensi (Reference Level, RL): Tingkat emisi netto yang sudah memperhitungkan pengurangan (removals) dari sekuestrasi atau penyerapan C.
DAFTAR ISTILAH
xiii
xiv
PEDOMAN TEKNIS PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
BAB 1
PENDAHULUAN
Peraturan Presiden (Perpres) No. 61/2011 memberikan mandat kepada Kementerian/Lembaga di tingkat pusat dan provinsi untuk menyusun Rencana Aksi Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK), serta mengembangkan data acuan perkiraan emisi GRK pada skenario Business as usual (BAU). Emisi pada skenario BAU akan menjadi bagian penting dalam menentukan status emisi GRK saat ini dan projeksinya di masa datang, yang selanjutnya penting dalam menentukan perhitungan pengurangan emisi/tingkat absorbsi dan merumuskan aksi-aksi penurunan emisi GRK serta pemantauan keberhasilan pelaksanaan aksi-aksi ini. Proyeksi BAU merupakan perkiraan emisi GRK di masa depan (dalam hal ini 2011-2021 ) dengan skenario laju pembangunan yang berlaku sekarang, tanpa intervensi kebijakan yang khusus ditujukan untuk aksi mitigasi, atau kebijakan pembangunan yang menyebabkan terjadi peningkatan emisi secara signifikan. Untuk dapat diakui secara nasional dan internasional, maka BAU harus mempertimbangkan aspek teknis (landasan ilmiah) dengan tetap memperhatikan aspek kebijakan pembangunan berbasis lahan. Metodologi yang dipilih juga harus sesuai dengan standar nasional dan internasional dengan mengacu pada kaedah keilmuan, kondisi sosial, ekonomi dan budaya, serta peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Metode yang dipakai untuk mengembangkan BAU harus sederhana dan ringkas, sehingga mudah dimengerti dan diikuti oleh berbagai lembaga, baik di tingkat nasional maupun provinsi dan kabupaten. Sejak diluncurkannya Pedoman Penyusunan RAD-GRK pada awal tahun 2012, BAPPENAS telah membentuk Tim Koordinasi Perubahan Iklim yang terdiri atas lima Kelompok Kerja. Sejak bulan Januari sampai dengan April 2012, Bappenas dan POKJA telah melaksanakan sosialisasi kebijakan perubahan iklim ini dan juga
1
pedoman penyusunan Rencana Aksi Daerah, baik pada tingkat nasional maupun daerah. Pada bulan Mei 2012, Bappenas dan beberapa kementerian telah melaksanakan kegiatan pelatihan untuk membangun BAU daerah serta menyusun RAD-GRK Provinsi, yang diikuti oleh lebih dari 200 orang peserta dari 33 Provinsi. Untuk keperluan sosialisasi dan pelatihan ini POKJA RAN-GRK untuk sektor berbasis lahan telah merumuskan pedoman singkat penyusunan BAU dan skenario penurunan emisi. Pedoman singkat tersebut diuraikan di dalam buku Panduan Teknis ini guna untuk memberikan penjelasan ringkas tentang landasan ilmiah dari perhitungan dan cara penyusunan RAD-GRK. Buku ini khusus membahas metode perhitungan BAU untuk sektor berbasis lahan dan lahan gambut, serta emisi dari Sektor Pertanian (sawah, pemupukan dan peternakan). Topik utama yang dibahas dalam pedoman ini adalah data aktivitas, faktor emisi, pendekatan mitigasi emisi dan prediksi jumlah emisi dari berbagai sektor/ subsektor, serta manfaat tambahan (co-benefit) dari aksi mitigasi. Bidang utama yang dibahas dalam pedoman ini adalah: 1. Emisi dari biomas tumbuhan akibat perubahan penggunaan lahan 2. Emisi dari dekomposisi gambut 3. Emisi dari kebakaran gambut 4. Emisi dari lahan sawah 5. Emisi CH4 dan N2O dari Sub-sektor peternakan, dan 6. Emisi N2O dari pupuk nitrogen, baik yang berasal dari pupuk buatan, maupun pupuk organik. Beberapa kegiatan di sektor berbasis lahan yang terkait dengan bidang dan sub-bidang lainnya dikelompokkan sebagai berikut: Pada lahan mineral, cadangan karbon yang hilang karena alih guna lahan, misalnya dari hutan menjadi perkebunan kelapa sawit, diperhitungkan dalam Bidang Kehutanan dan Lahan Gambut. Pada lahan mineral dan lahan gambut, emisi N2O yang disebabkan oleh pemupukan, diperhitungkan sebagai emisi dari Bidang Pertanian.
2
PEDOMAN TEKNIS PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
Pada lahan gambut, emisi yang terjadi sebagai dampak pengelolaan dan perubahan penggunaan lahan serta emisi karena kebakaran gambut, diperhitungkan dalam bidang Kehutanan dan Lahan Gambut. Emisi yang berasal dari pabrik pengolahan kelapa sawit dimasukan dalam kelompok/bidang Industri. Emisi karena penggunaan biogas yang berasal dari limbah pertanian atau limbah industri pertanian dimasukan dalam emisi Sektor Energi.
3
4
PEDOMAN TEKNIS PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
BAB 2
DATA AKTIVITAS PENGGUNAAN DAN PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN
Bab 2 membahas tentang data aktivitas penggunaan dan perubahan penggunaan lahan, baik untuk lahan gambut, maupun lahan mineral. Data aktivitas untuk penghitungan emisi dari perubahan penggunaan lahan adalah luas suatu penutupan hutan dan lahan yang dalam periode analisis tidak mengalami perubahan atau penutupan lahan yang mengalami perubahan dari suatu kelas menjadi kelas penutupan lainnya. Definisi Data Aktivitas untuk Sektor Pertanian akan diberikan secara terpisah pada Bagian 5.1, 6.1 dan 7.1.
2.1. Sumber Data Aktivitas Data yang digunakan untuk perhitungan data aktivitas tipe penutupan lahan terdiri atas: 1. Data spasial lahan gambut yang diterbitkan oleh Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP), Badan Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian (Gambar 1; Ritung et al., 2011). Tumpang susun (overlay) data lahan gambut dengan data wilayah Indonesia akan memisahkan antara lahan gambut dengan lahan mineral (non-gambut). 2. Data spasial tutupan hutan dan lahan tahun 2006 dan 2011 yang dihasilkan oleh Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan, Kementerian Kehutanan. Berdasarkan tumpang susun data
5
tutupan hutan dan lahan tahun 2006 dengan 2011 dihasilkan matriks penutupan dan transisi penutupan lahan (MPTPL). 3. Data Penunjukan Kawasan sebagai dasar pembuatan zona pemanfaatan ruang (unit perencanaan) berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan untuk setiap provinsi, yang diterbitkan secara bertahap dari tahun 1999-2012. Misalnya, untuk Provinsi Papua data penunjukan kawasan diterbitkan berdasarkan SK.782/MENHUT-II/2012. Data tabular hasil tumpang susun antara zone pemanfaatan ruang dengan peta lahan gambut disajikan pada Tabel 1. Dari 186.071.434 ha luas lahan Indonesia, sekitar 14,9 juta ha (8%) adalah lahan gambut dan sisanya adalah lahan mineral. Lahan gambut terdiri atas 6 zone dan lahan mineral terdiri atas 14 zone. Zone terluas (sekitar 54,9 juta ha) pada lahan mineral adalah Areal Penggunaan Lain (APL), yaitu kawasan di luar kawasan hutan yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan seperti pertanian, perumahan dan industri. Untuk lahan gambut, hanya sekitar 2,5 juta ha lahan berada di zone APL. Luas total zone APL pada lahan gambut dan lahan mineral adalah sekitar 31% dari total luas lahan Indonesia dan sisanya seluas 69% adalah kawasan hutan.
Gambar 1.
6
Peta sebaran lahan gambut Indonesia (Ritung et al. 2011).
PEDOMAN TEKNIS PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
Tabel 1. Zone Pemanfaatan Ruang wilayah Indonesia yang dibagi atas lahan mineral dan lahan gambut. Lahan Mineral No.
Lahan Gambut
Zone Luas (ha)
1
Cagar Alam Darat
2
Persen (%)
Luas (ha)
Persen %)
48.051
0
-
-
Hutan Lindung
29.596.833
16
974.370
1
3
Hutan Produksi
27.938.342
15
5.043.350
3
4
Hutan Produksi Konversi
17.277.674
9
3.502.558
2
5
Hutan Produksi Terbatas
23.644.143
13
818.735
0
17.260.743
9
2.015.264
1
6
Hutan Suaka Alam dan Margasatwa Hutan Suaka Alam dan Wisata Laut
5
0,000003
-
-
7 8
Suaka Margasatwa Darat
24.687
0,0001
-
-
9
Taman Buru
60.602
0,03
-
-
10
Taman Hutan Raya
1.745
0,0009
-
-
11
Taman Nasional Darat
431.356
0,23
-
-
12
Taman Nasional Laut
5.975
0,003
-
-
13
Taman Wisata Alam
29.132
0,016
-
-
14
Areal Penggunaan Lain
54.855.415
29
2.542.454
1
92 14.896.731
8
Jumlah
171.174.703
Jumlah lahan gambut dan mineral
186.071.434
100
Sumber: diolah dari Ritung et al. 2011 dan data Penunjukan Kawasan yang diterbitkan oleh Kemenhut
Masing-masing zone Pemanfaatan Ruang seperti pada Tabel 1, ditumpang susun lagi dengan peta spasial tutupan hutan dan lahan tahun 2006 dan 2011 yang terdiri atas 21 kelas (Tabel 2) tanpa tubuh air sehingga menghasilkan MPTPL tahun 2006-2011. Dengan demikian untuk tingkat nasional dihasilkan 21 MPTPL sesuai dengan jumlah kelas tutupan hutan dan lahan, yaitu 14 MPTPL pada lahan mineral dan 7 MPTPL pada lahan gambut. Untuk tingkat sub-nasional (provinsi) jumlah MPTPL berjumlah maksimum 21 matriks. Provinsi yang tidak mempunyai lahan gambut akan mempunyai MPTPL maksimum 14, sesuai jumlah maksimum zone pemanfaatan ruang pada lahan mineral. Masing masing MPTL berdimensi 21 baris dan 21 kolom.
BAB 2 DATA AKTIVITAS PENGGUNAAN DAN PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN
7
Tabel 2. Tipe penutupan hutan Kehutanan. Tipe penutupan No Kode lahan 1 Hp Hutan Lahan Kering Primer, tanah mineral 2 Hs Hutan Lahan Kering Sekunder, tanah mineral 3 Hmp Hutan Mangrove Primer 4 Hrp Hutan Rawa Primer 5
Ht
Hutan Tanaman
6
B
Semak Belukar
7
Pk
Perkebunan
8
Pm
Permukiman
9
T
Tanah Terbuka
10 S 11 Hms 12 Hrs 13 Br 14 Pt
Pertanian Lahan Kering Pertanian Lahan Kering Campur
Keterangan Hutan alam tanah mineral yang belum memperlihatkan tanda penebangan berupa jalur logging. Hutan alam tanah mineral yang sudah pernah ditebang, baik tebang pilih, maupun tebang habis, ditandai dengan jalur logging Hutan alam pada kawasan mangrove yang belum memperlihatkan tanda penebangan, jalur logging. Hutan alam bertanah gambut yang belum memperlihatkan tanda penebangan, jalur logging. Disebut juga dengan hutan tanaman industri, yaitu lahan yang ditanam dengan tanaman industri hutan seperti Acacia, Eucaliptus dan seterusnya. Lahan yang ditumbuhi semak belukar dengan tinggi kanopi sampai 5 m. Lahan yang ditumbuhi tumbuhan perkebunan sepeti kelapa sawit, karet, kopi, teh, kelapa, kakao, dll. Areal yang ditutupi oleh perumahan dan pekarangan Lahan terbuka tanpa vegatasi dan lahan terbuka bekas kebakaran/land clearing. Lahan yang ditumbuhi oleh berbagai jenis rumputan, alang-alang dan paku resam. Hutan mangrove yang sudah pernah ditebang dan tumbuh kembali. Hutan rawa yang sudah pernah ditebang dan tumbuh kembali. Lahan rawa yang ditumbuhi semak belukar.
16 Sw
Sawah
Lahan yang ditutupi berbagai komoditas pertanian seperti padi, jagung, nanas dan sayur-sayuran. Lahan yang ditutupi campuran tumbuhan tahunan (pohon-pohonan) dengan berbagai tumbuhan semusim (agroforestry). Lahan yang digunakan untuk sawah.
17 Tm
Tambak
Lahan yang digunakan untuk tambak.
18 Bdr/ Plb 19 Tr
Bandara/Pelabuhan
20 Tb 21 Rw
Pertambangan Rawa
22 A
Tubuh Air
Lahan yang digunakan untuk bangunan dan landasan bandar udara/Pelabuhan. Lahan yang digunakan untuk perumahan dan pekarangan transmigran. Lahan ini biasanya mempunyai areal pekarangan yang lebih luas (sekitar 0.25 ha untuk masing-masing rumah). Areal yang digunakan untuk pertambangan. Areal rawa yang digenangi air, kemungkinan bertanah mineral atau tanah gambut. Lahan yang digenangi air, termasuk sungai, danau, waduk dll.
15 Pc
8
Savana/Padang Rumput Hutan Mangrove Sekunder Hutan Rawa Sekunder Belukar Rawa
dan lahan berdasarkan klasifikasi Ditjen Planologi
Transmigrasi
PEDOMAN TEKNIS PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
Contoh MPTPL tingkat nasional antara tahun 2006 dan 2011, kumulatif untuk lahan mineral semua zone; lahan gambut semua zone; dan APL pada lahan mineral disajikan berturut-turut pada Tabel 3, Tabel 4 dan Tabel 5. Angka pada diagonal menunjukkan luas suatu penutupan hutan atau lahan yang tidak berubah antara tahun 2006 dan 2011, sedangkan angka di luar diagonal adalah data luas lahan yang mengalami perubahan dari satu kelas penutupan ke penutupan lainnya dalam periode tersebut. Pada Tabel 3 terlihat bahwa penggunaan lahan utama pada lahan mineral pada tahun 2006 adalah hutan primer (sekitar 40 juta ha), hutan sekunder (39 juta ha), pertanian campuran atau agroforestry (25 juta ha), semak belukar (15 juta ha) dan lahan perkebunan (7,2 juta ha). Sebagai pembanding, Gunarso et al. (2013) memperkirakan luas lahan perkebunan kelapa sawit di pulau Sumatera, Kalimantan dan Papua pada tahun 2010 seluas 6,2 juta ha. Pusdatin Kementerian Pertanian (2013) memperkirakan luas perkebunan kelapa sawit seluruh Indonesia (total lahan gambut dan lahan mineral) tahun 2011 sekitar 8,9 juta ha. Dalam analisis ini, yang dimaksud dengan lahan perkebunan adalah lahan perkebunan besar yang memperlihatkan barisan tumbuhan pohon yang beraturan. Perkebunan karet rakyat, kopi, kakao dan teh kemungkinan masuk di dalam kelas tutupan agroforestry dalam analisi RAN GRK ini. Lahan semak belukar relatif sulit dibedakan dengan agroforestry dan perkebunan tradisional dan kerancuan ini menjadi sumber ketidakpastian (uncertainty) pada analisis tingkat nasional (RAN GRK), namun ketidak-pastian ini dapat diverifikasi melalui pengecekan di lapangan, terutama untuk analisi tingkat provinsi dan kabupaten (RAD GRK). Dalam jangka waktu lima tahun ini luas hutan primer pada tanah mineral yang tetap bertahan sebagai hutan primer adalah sekitar 38,7 juta ha. Sekitar 1,1 juta ha hutan primer pada lahan bertanah mineral berubah menjadi hutan sekunder. Luas lahan perkebunan meningkat dari 7,2 juta ha pada tahun 2006 menjadi 8,2 juta ha pada tahun 2011. Tabel 4 memperlihatkan sedikit kerancuan antara data penutupan lahan pada lahan gambut. Misalnya, luas lahan dengan kelas penutupan hutan primer (Hp), Hs, Hmp dan Hms seharusnya nol, namun pada Tabel 4 tercatat penutupan lahan ini berturut-turut seluas 383.000,
BAB 2 DATA AKTIVITAS PENGGUNAAN DAN PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN
9
346.000, 237.000 dan 88.000 ha pada tahun 2006 dan berturut-turut 374.000, 330.000, 233.000 dan 91.000 pada tahun 2011. Hal ini kemungkinan disebabkan perbedaan penggunaan peta dasar dalam analisis tipe tutupan lahan dan analisis luas lahan gambut (apakah peta gambut versi Wahyunto et al. 2003, 2004 dan 2006 atau Ritung 2011). Akan tetapi kesalahan ini relatif kecil yaitu 1,1 dari 8,2 juta ha (sekitar 13% dari total luas hutan gambut). Dalam perhitungan emisi (Bagian 4.1 dan 4.2.) lahan ini diperlakukan sebagai lahan hutan gambut karena peta dasar yang adalah peta lahan gambut. Tabel 5 memperlihatkan MPTPL pada zone APL pada lahan mineral Indonesia. Hutan primer yang tetap menjadi hutan primer pada selang waktu ini adalah 732.000 ha. Hutan primer yang luasnya 774.000 ha pada tahun 2006, berkurang menjadi 733.000 ha pada tahun 2011. Pengurangannya terutama terjadi karena sekitar 36.000 ha hutan primer berubah menjadi hutan sekunder. Penggunaan lahan APL tanah mineral yang paling luas adalah lahan pertanian campuran (agroforestry), yaitu sekitar 16,2 juta ha pada tahun 2006 yang berkurang menjadi 15,8 juta ha pada tahun 2011. Penggunaan lahan perkebunan monokultur hanya tercatat sekitar 4,5 juta ha, jauh di bawah penggunaan lahan agroforestry.
10
PEDOMAN TEKNIS PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
BAB 2 DATA AKTIVITAS PENGGUNAAN DAN PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN
11
33
Ht 844
22
13.1
1
148
13
128
1
50
Pk
3
2
1
Pm
25
4
151
76
101
142
1
4
167
19
30
12
1
2.422
7.026 4
330
3
3
195
3
T
10
1
S
1
1
3
69
16
36
65
2
11
1
1
1
49
3.151
1.942 66
38
96
86
302
12
5
974
43
Hms
18
39
2
15
1
1
Br
3
1
1
1
5.05
2.943 216
141
Hrs
Pc
8
15
1
15
17
3
35
1.048
28
326
6
401
2
2
8
12
15
11
14
3
Sw
1
143
25
1
10
1
10
1
1
Tm
1
765
6.527 1
1.321 23.613 56
8.205 105
8
2
10
44
9
30
67
32
42
Pt
38.721 38.501 1.112 3.247 3.892 14.501 8.231 2.495 2.681 3.279 1.023 3.087 5.344 9.914 25.243 7.052 792
Definisi penutupan lahan terdapat pada Tabel 2.
TOTAL
Rw
Tb
Tr
Bdr
Tm
3
15
Sw
Pc
5 8
3
2
Pt
Br
Hrs
Hms
S
85
69
15
75 1
2
B 32
3.663 77
3.245 6
Hrp
T
1.112
Hmp
Pm
1
18
B
Pk
9
Ht
Hrp
37.343
14
Hmp
Hs
Hs
38.706 1.123
Hp
Tahun 2011
Hp
Penutupan lahan
15
14
Tb
393
34
3
3
4
9
2
1
42
2
24
1
TOTAL
394
321
15
768
6.724
25.444
8.841
5.41
3.398
1.008
3.244
2.448
2.448
7.185
14.804
3.917
3.411
1.157
39.131
39.884
1.196 1.224
7
Rw
323 519 1.203 171.175
319
1
2
Bdr Tr
Tabel 3. Matriks penutupan dan transisi penutupan lahan mineral Indonesia antara tahun 2006 sampai 2011 pada semua zone pemanfaatan ruang (ribu hektar).
Tahun 2006
Hp 367 7
Hs Hmp 15 314 233
2.132
Hrp 0
0
4
Ht
B 5
Pk
7
0 8
121 8 0 Ht B 0 8 297 16 Pk 13 3 1.227 Pm 0 66 25 67 T S Hms Hrs 30 0 134 Br 1 92 253 58 Pt 1 Pc 1 8 Sw 0 Tm Bdr Tr Tb Rw 12 1 TOTAL 374 330 233 2.132 347 591 1.528 Definisi penutupan lahan terdapat pada Tabel 2.
Penutupan lahan Hp Hs Hmp Hrp
1 251
0
0 2.758 4.156
67 667 162
PEDOMAN TEKNIS PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
91
0
87
0
2
2
0 0
5 4 212 26
Pt
1 430 2.265
42
1 1
6
1 0 12
Br
4.066 8
0
1
80 0
0
4
Tahun 2011 Hms Hrs
5 6
S
37
4 0 13
T
315 0 162 0 192 89 0 0 6
67
0
Pm
4 1
1
0 4
0 455
391
24 19
10
Pc
0 402
9 1 0 392
Sw
9
9
0 0
0
0
Tm Bdr
Tr
5
5
8
8
0 0 0 0
0
0
0
Tb
330 332
2
0
Rw
333 1.251 67 528 162 88 4.883 2.797 215 433 392 9 0 5 8 345 14.897
173
TOTAL 383 346 237 2.245
Tabel 4. Matriks penutupan dan transisi penutupan lahan gambut Indonesia antara tahun 2006 sampai 2011 pada semua zone pemanfaatan ruang (dalam ribu hektar).
Tahun 2006
12
BAB 2 DATA AKTIVITAS PENGGUNAAN DAN PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN
13
733
6
4.921
5
938
2
53
1.282 5.308 5.143 2.234
Definisi penutupan lahan terdapat pada Tabel 2.
TOTAL
1.154
1
1
1.112
35
5
S
271
2
266
4
1
1.781
46
6
29
Br
133
844
6.123
4
1
5
26
8
26
38
10
0
0
27
Pt
475 1.864 7.246
468
7
Hms Hrs
6.051
54
375
1
1
7
12
15
9
6
2
Sw
466
1
4
4
1
Tm
15.838 6.534 478
24
15.001
99
4
1
13
11
2
33
540
12
0
0
97
1
Pc
13
12
Bdr
227
Tr
26
1
2
1
3
1
23
1
10
Tb
266 274
206
228
12
468
6,235
16,214
6,683
1,924
624
279
1,150
875
2,193
4,471
5,834
1,298
67
99
4,948
774
Rw TOTAL
228 273 267 54,855
0
6
19
26
6
21
28
1
646
20
45
9
105
T
Rw
4.425
3
130
12
1
2.168
3
2
1
1
Pm
205
1
73
62
58
77
1
4
90
0
4.365
238
1
2
101
3
Pk
Tahun 2011
Tb
Tr
Bdr
Tm
Sw
4
1
Pc
44
Br 2
0
Hrs 3
0
Hms
Pt
12
S
20
7
2
8
1.253
1
220
3
B
T
57
57
3
Ht
1
95
95
Hmp Hrp
Pm
3
3
B
Pk
1
4.382
36
Hs
Ht
Hrp
Hmp
1
Hs
Hp
732
Hp
Penutupan lahan
Tabel 5. Matriks penutupan dan transisi penutupan lahan mineral Indonesia antara tahun 2006 dan 2011 pada areal penggunaan lain (APL) dalam ribu hektar.
Tahun 2006
2.2. Dasar pemilihan tahun 2006- 2011 sebagai base year Sektor berbasis lahan secara historis tercatat sebagai penyumbang emisi nasional terbesar sehingga penurunan emisi terbesar (87%) ditargetkan berasal dari penggunaan dan pengelolaan hutan dan lahan gambut (PERPRES 61/2011). Laju deforestasi sangat fluktuatif dengan angka tertinggi tercatat pada tahun 1997 dan secara gradual menurun sejak tahun 2003. Penurunan tersebut seiring dengan ditetapkannya sejumlah kebijakan, mulai dari soft landing policy, Gerakan Rehabilitasi Lahan (GERHAN) dan gerakan lain penanaman pohon, pengembangan hutan tanaman (Hutan Tanaman Industri, Ht; Hutan Rakyat, Hr), penerapan beberapa skema pengelolaan hutan lestari (PHPL) baik yang bersifat mandatory, maupun voluntary, pemberantasan penebangan kayu ilegal dan perdagangannya melalui Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK), serta peningkatan pencegahan kebakaran hutan dan lahan. Meskipun tidak secara eksplisit disebut sebagai upaya mitigasi perubahan iklim, namun sejalan dengan Article 4 Komitmen Konvensi Perubahan Iklim UNFCCC, kegiatan-kegiatan tersebut merupakan policy and measures dalam mitigasi perubahan iklim. Indonesia meratifikasi UNFCCC tahun 1995 seperti disebutkan di dalam Undang-undang No. 6/1995. Dengan demikian data tutupan hutan tahun 2006-2011 sudah tidak murni mencerminkan kondisi business as usual (BAU). Pertimbangan pemilihan tahun 2006-2011 sebagai tahun dasar (base year) karena pada akhir tahun 2009 Indonesia untuk pertama kalinya mengumumkan secara internasional komitmen untuk menurukan emisi secara sukarela sebesar 26% dengan usaha sendiri dan 41% bila ada dukungan internasional dari BAU pada tahun 2020. Pengumuman tersebut diperkuat dengan keluarnya PERPRES 61/2011 tentang RAN-GRK dan PERPRES 71/2011 tentang Inventarisasi GRK yang merupakan keputusan formal pertama di tingkat nasional yang mengamanatkan penyusunan RAN dan RAD-GRK serta MRV (measuring, reporting and verification atau pemantauan, evaluasi dan pelaporan, PEP). Tahun sebelum tahun 2011 adalah tahun persiapan yang dianggap sebagai tahun awal persiapan REDD.
14
PEDOMAN TEKNIS PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
Walaupun gagasan REDD dicanangkan untuk pertama kalinya pada tahun 2005, namun gagasan tersebut merupakan ide dalam perundingan pada tingkat internasional, bukan pada tingkat nasional. Keikut-sertaan Indonesia dalam berbagai forum United Nations Framework Conference on Climate Change (UNFCCC) sebelum tahun 2010 menghasilkan kesepakatan multilateral dan bilateral (seperti Letter of Intent antara Indonesia dengan Norwegia), namun bukan merupakan komitment unilateral nasional yang resmi yang menargetkan penurunan emisi GRK. Selain itu tahun 2006-2011 lebih menggambarkan laju perubahan tutupan lahan terkini sebelum langkah-langkah persiapan dan penerapan penurunan emisi GRK dalam skema RAN-GRK diterapkan pada tahun selanjutnya. Pada awal sosialisasi RAN GRK pada tahun 2012 ada beberapa alternatif yang dikaji oleh Kelompok Kerja (Pokja) penyusun Panduan Teknis ini, misalnya tahun 2000-2005 seperti pada Second National Communication menggunakan base year tahun 2000-2005 (MoE, 2010). Beberapa pertimbangan penggunaan base year tersebut antara lain pada saat itu belum banyak peraturan yang terkait dengan perubahan iklim, tersedianya historical data untuk mendukung penghitungan base year tersebut. Dalam RAN GRK ada usulan untuk menggunakan tahun 2000-2010 dengan pertimbangan semakin lama jangka waktunya semakin baik perkiraan emisi karena pola perubahan lahan jangka menengah lebih terlihat. Sesudah melalui beberapa tahapan diskusi, pada tahun 2012 Pokja Nasional dan Daerah sepakat memilih tahun 2006-2011 sebagai base year, baik untuk Sektor berbasis lahan, maupun sektor lainnya (Sektor Energi, Limbah dan Transportasi). Ini mengingat tahun 2006-2011 lebih mencerminkan keadaan terkini dari perubahan penggunaan lahan. Analisis yang dilakukan oleh setiap provinsi untuk semua bidang sudah menggunakan tahun 2006-2011 sebagai base year. Namun sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, informasi terkini, kebijakan di bidang mitigasi perubahan iklim dan negosiasi di tingkat internasional maka perhitungan emisi BAU (termasuk base year, faktor emisi dan metode perhitungan) pun akan dapat dikaji ulang dan diperbarui secara berkala, misalnya sekali dalam lima tahun atau sekali dalam empat tahun sesuai dengan frekuensi penyampaian National Communication.
BAB 2 DATA AKTIVITAS PENGGUNAAN DAN PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN
15
16
PEDOMAN TEKNIS PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
BAB 3
EMISI DARI BIOMAS TUMBUHAN
3.1 Cadangan karbon Biomas tumbuhan (jaringan tumbuhan yang masih hidup di atas permukaan tanah dan akar tumbuhan) adalah salah satu dari penyimpan (pool) karbon (C) yang terpenting. Selain pada biomas karbon juga disimpan di dalam jaringan tumbuhan yang sudah mati yang disebut dengan nekromas dan di dalam tanah sebagai karbon organik tanah (Hairiah et al. 2011; IPCC 2006; Agus et al. 2011). Di dalam tanah juga tersimpan karbon anorganik, namun jumlahnya relatif sedikit. Dari berbagai simpanan tersebut jumlah cadangan yang terbesar untuk lahan mineral adalah pada biomas di atas permukaan tanah, terutama untuk hutan dan perkebunan serta lahan agroforestry. Data karbon biomas pada akar tumbuhan biasanya diasumsi sekitar sepertiga dari karbon pada biomas di atas permukaan tanah, walaupun angka tersebut sangat bervariasi tergantung jenis tumbuhan, kesuburan tanah dan iklim setempat (Hairiah et al. 2011). Dalam inventarisasi GRK dan perhitungan neraca karbon, data yang paling umum digunakan oleh berbagai pihak (misalnya US-EPA 2012, Agus et al. 2013), adalah cadangan karbon pada biomas tumbuhan di atas permukaan tanah. Hal ini disebabkan data ini relatif lebih banyak tersedia dan perubahan cadangan karbon dari pool ini relatif lebih tinggi dibandingkan dengan pool lainnya pada tanah mineral. Monitoring karbon di dalam nekromas dan karbon organik tanah mineral memakan waktu dan biaya yang cukup banyak, namun perubahan cadangan karbon pada pool ini relatif rendah sehingga biaya transaksi untuk melakukan inventarisasi cadangan karbon dan emisi pada kedua pool ini relatif mahal.
17
3.2 Faktor emisi Faktor emisi untuk perubahan penutupan lahan adalah perbedaan jumlah cadangan karbon apabila lahan dengan suatu kelas tutupan berubah menjadi tutupan lain. Untuk mendapatkan faktor emisi tersebut diperlukan data acuan (default) cadangan karbon dari semua tipe tutupan lahan yang terdapat dalam MPTPL. Untuk setiap tipe tutupan lahan tersebut dibangun angka acuan yang mewakili (representative) yang berasal dari hasil penelitian atau inventarisasi nasional di berbagai lokasi yang kemudian dirata-ratakan. Tergantung ketersediaan data, untuk tutupan lahan di tingkat nasional data cadangan karbon acuan berasal dari berbagai lokasi yang mewakili daerah beriklim kering dan beriklim basah dan dari lahan yang subur serta kurang subur. Sejalan dengan itu, jika data tersedia untuk tingkat provinsi digunakan data yang mewakili dari berbagai lokasi di dalam wilayah provinsi tersebut.
3.2.1 Cadangan karbon berbagai tutupan lahan Untuk tutupan lahan hutan (termasuk hutan terdegradasi) digunakan data cadangan karbon rata-rata hutan. Untuk tutupan lahan perkebunan dan pertanian dengan siklus penanaman dan panen secara beraturan digunakan data cadangan karbon rata-rata waktu (time averaged C stock) (Hairiah et al. 2011; Agus et al., 2013; US-EPA 2012). Tabel 6 memperlihatkan data acuan cadangan karbon pada biomas di atas permukaan tanah yang digunakan di dalam RAN-GRK. Untuk tingkat sub-nasional (provinsi dan kabupaten) didorong untuk mengembangkan faktor emisi lokal dengan tingkat ketelitian yang lebih tinggi, serta lebih mencerminkan keadaan di provinsi atau kabupaten yang bersangkutan. Penggunaan Tier yang lebih tinggi juga sangat diperlukan dalam perdagangan karbon yang berbasis hasil penurunan emisi (result-based payment).
18
PEDOMAN TEKNIS PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
Tabel 6. Faktor emisi (cadangan karbon) di atas permukaan tanah yang direkomendasikan untuk inventarisasi emisi dari perubahan penggunaan lahan pada skala nasional Cadangan C No Tutupan lahan Referensi (t/ha) 1 Hutan Lahan Kering 195 World Agroforestry Centre (2011); Prasetyo et Primer al. (2000); Laumonier et al. (2010); IPCC (2006) for Tropical rainforest; Harja et al. (2011) dengan nilai cadangan karbon berturut-turut 300, 252, 180, 150, 121 dan 93 t/ha 2 Hutan Lahan Kering 169 World Agroforestry Centre (2011) untuk hutan Sekunder sekunder berkerapatan tinggi; Rahayu et al. (2005); IPCC (2006) for tropical Asia; Saatchi et al. (2011); World Agroforestry Centre (2011) untuk hutan berkerapatan rendah, Harja et al. (2011) dengan nilai berturut-turut 250, 203, 180, 158, 150 dan 74 t/ha 3 Hutan Mangrove 170 Komiyama et al. (2008) Primer 4 Hutan Rawa Primer 196 MoF (2008), IFCA 5 Hutan tanaman 64 World Agroforestry Centre ( 2011) tanah mineral 70 t/ha, tanah gambut 60 t/ha 6 Semak Belukar 30 IPCC (2006); Istomo et al. (2006); Jepsen (2006); World Agroforestry Centre (2011) berturut-turut 35, 30, 20 dan 27 t/ha. 7 Perkebunan 63 Palm et al. (1999) perkebunan karet (89 t/ ha); Rogi (2002 ) kelapa sawit (60t/ha); van Noordwijk (2010) kelapa sawit (40 t/ha) 8 Permukiman 4 World Agroforestry Centre (2011) 9 Tanah Terbuka 2.5 Asumsi 10 Padang rumput 4 Rahayu et al. (2005) 11 Hutan Mangrove 120 Komiyama et al. (2008) Sekunder 12 Hutan Rawa 155 MoF (2008) Sekunder 13 Belukar Rawa 30 Diasumsi sama dengan belukar di lahan kering 14 Pertanian Lahan 10 Hashimotio et al. (2000), Murdiyarso and Wasrin Kering (1996); World Agroforestry Centre (2011) berturut-turut 12,5; 10 dan 8 t/ha 15 Pertanian Lahan 30 Rahayu et al. (2005) (agroforestry) Kering Campur 16 Sawah 2 Palm et al. (1999) 17 Tambak 0 Asumsi 18 Bandara/Pelabuhan 0 Asumsi 19 Transmigrasi 10 BAPPENAS (2010), diasumsi bahwa sepertiga areal dialokasikan untuk pertanian campuran 20 Pertambangan 0 Asumsi 21 Rawa 0 Asumsi
BAB 3 EMISI DARI BIOMAS TUMBUHAN
19
3.2.2 Pendekatan perhitungan emisi dari perubahan tutupan lahan Terdapat dua pendekatan untuk perhitungan emisi gas rumah kaca, yaitu (i) perubahan cadangan karbon (stock difference) dan (ii) perhitungan peningkatan dan penurunan cadangan karbon (gain and loss). Dalam pedoman RAN-GRK ini digunakan metode stock difference. (i) Metode perhitungan perubahan karbon (stock difference)
cadangan
Metode perubahan cadangan karbon (stock difference) adalah metode dengan cara memperkirakan perbedaan cadangan karbon pada suatu selang waktu, misalnya satu siklus tumbuhan perkebunan (Pk) atau hutan tanaman (Ht). Metode ini digunakan juga oleh US-EPA (2012), van Noordwijk et al. (2010) dan Agus et al. (2013). Lahan yang penggunaannya tidak berubah dalam periode waktu tertentu, diasumsi tidak mengemisi (emisi nol) dan lahan yang mengalami perubahan tutupan mengemisikan karbon sejumlah karbon yang dikandung oleh tutupan lahan awal dikurangi dengan cadangan karbon tutupan lahan berikutnya. Untuk sistem dengan suatu siklus pertumbuhan teratur, cadangan karbon yang digunakan adalah cadangan karbon rata-rata waktu (time average carbon stock) yang secara konseptual diperlihatkan pada Gambar 2. Apabila suatu Hutan tanaman (Ht) mempunyai siklus (daur masak tebang) delapan tahun maka cadangan karbon pada awal tahun siklus dianggap (mendekati) nol dan cadangan karbon pada puncak pertumbuhan adalah 2 * 64 = 128 ton/ha. Cadangan karbon rata-rata untuk setiap siklus adalah 64 ton/ha (Tabel 6). Dengan asumsi bahwa kurva pertumbuhan merupakan kurva linear, maka setiap tahun akan terjadi penyerapan sekitar 16 ton C/ha atau ekivalen dengan 59 ton CO2/ha. Sesudah mencapai puncak pertumbuhan pada tahun ke delapan,
20
PEDOMAN TEKNIS PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
Ht tersebut akan ditebang dan karbon yang tersimpan di dalam jaringan tumbuhan hasil tebangan (sejumlah 128 t/ha) akan teremisi dalam waktu relatif pendek melalui berbagai proses. Berdasarkan pedoman dari IPCC (2006) pada Tingkat Ketelitian 1 (Tier 1) diasumsi 128 ton C/ ha tersebut langsung teremisi. Bila tersedia data hasil penelitian tentang jumlah karbon yang dapat disimpan dari hasil penebangan serta tahun paroh (half year) karbon di dalam hasil panen kayu (misalnya yang tersimpan dalam kertas atau perabot), maka data tersebut dapat digunakan pada perhitungan emisi Tier 2 atau Tier 3. Karena adanya siklus serapan (gain) selama pertumbuhan dan emisi (loss) sewaktu tumbuhan sudah ditebang, maka cadangan karbon rata-rata waktu untuk Ht adalah 64 t/ ha. Dengan demikian, jika hutan sekunder (Hs) dengan cadangan karbon 169.7 t/ha beralih guna menjadi Ht dengan cadangan karbon rata-rata 64 t/ha, maka perubahan tutupan lahan tersebut mengemisikan karbon sebanyak (169.7-64) t/ha = 105,7 ton C/ha atau 389 ton CO2e/ha. Gambar 2 juga memperlihatkan bahwa antara siklus pertama dan kedua dari sistem Ht terjadi pengulangan pertumbuhan dengan laju serapan karbon yang relatif sama. Pada akhir masa pertumbuhan pada tahun ke delapan juga terjadi penebangan. Karena siklus pertama mempunyai cadangan karbon rata-rata 64 t/ha dan siklus kedua juga 64 t/ha maka menurut sistem perhitungan stock difference, net emisi dari biomas tumbuhan antara siklus pertama Ht dan siklus kedua Ht adalah nol. Jika tutupan lahan awal adalah semak belukar (B) dengan cadangan karbon 30 t/ha dirubah menjadi Ht maka dengan metode perhitungan yang sama akan terjadi net emisi sebanyak (30-64) ton C/ha = -34 ton C/ha (-125 ton CO2e/ha). Angka negatif emisi menunjukkan terjadinya net serapan (sequestration) karbon.
BAB 3 EMISI DARI BIOMAS TUMBUHAN
21
Gambar 2.
Konsep perhitungan perubahan cadangan karbon, dengan pendekatan stock difference, dan konsep cadangan karbon rata-rata waktu (time averaged C stock) untuk perubahan tutupan lahan dari hutan sekunder (Hs) ke dua siklus hutan tanaman industri (Ht).
180 Penyerapan 16 t C/hatahun
Emisi 106 ton C/ha
Cadangan C (t/ha)
160 140 120 100 80
Time averaged = 64 t C/ha
60 40
(ii) perhitungan peningkatan dan cadangan karbon (gain and loss)
Ht 8
Ht 7
Ht 6
Ht 5
Ht 4
Ht 3
Ht 2
Ht 1
Ht 0
Ht 8
Ht 7
Ht 6
Ht 5
Ht 4
Ht 3
Ht 2
Ht 1
Hs
0
Ht 0
20
penurunan
Metode perhitungan penyerapan dan kehilangan (gain and loss) karbon dilakukan dengan cara menghitung perubahan tahunan cadangan C pada berbagai carbon pools (biomas, nekromas, C tanah). Tambahan (gains) dan kehilangan (losses) dari cadangan C diinventarisasi dan diperhitungkan setiap tahun sehingga didapatkan riap tahunan (mean annual increment/MAI) dikurangi kehilangan C dari berbagai aktifitas seperti penebangan, penjarangan, pengambilan kayu bakar, kebakaran hutan dan lain-lain (IPCC 2006). Konsep gain (riap) untuk hutan sekunder dengan laju 2,23 t /ha/tahun dicontohkan pada Gambar 3. Bila nilai riap adalah 2,3 ton C/ha/tahun, maka hanya dalam 9 tahun cadangan C hutan sekunder sudah menyamai hutan primer. Dalam keadaan yang sebenarnya cadangan C hutan primer sulit disamai oleh hutan sekunder. Apabila konsep gain and loss digunakan, maka sewaktu lahan berubah menjadi Hutan Tanaman (Ht), angka perkiraan emisi dari perubahan Hs menjadi Ht akan semakin tinggi,
22
PEDOMAN TEKNIS PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
yaitu (195,4-64) ton C/ha = 131,4 ton C/ha, sedangkan jika angka riap tidak diperhitungkan, maka jumlah emisi adalah (169,7-64) ton C/ha = 105,7 ton C/ha. Berbagai kendala dalam penerapan metode gain and loss: Sulit mendapatkan data riap C berbagai jenis tutupan lahan Tidak ada informasi sampai berapa tahun angka riap dapat dipertahankan. Jika digunakan untuk puluhan tahun maka angka cadangan C suatu tutupan lahan tertentu menjadi tidak realistis. Sulit mendapatkan angka kehilangan cadangan karbon akibat kebakaran karena angka ini sangat bervariasi tergantung musim dan iklim setempat. Untuk satu atau dua jenis tutupan lahan tertentu, misalnya beberapa unit perkebunan, sistem ini dapat diterapkan, namun untuk skala nasional dan provinsi dengan MPTPL berdimensi 21 x 21 seperti yang digunakan dalam RAN/RAD GRK, sistem gain and loss sangat sulit untuk diterapkan. Berdasarkan uraian pada Bagian 3.2.2 ini maka dalam penetapan BAU untuk RAN GRK serta untuk berbagai skenario mitigasi digunakan sistem stock difference pada tingkat keakuratan Tier 2. Sebagai bagian dari pelaksanaan Pemantauan, Evaluasi dan Pelaporan (PEP) dari kegiatan RAD/RAN-GRK dapat dikumpulkan data pertumbuhan in situ pada areal dimana kegiatan mitigasi dilakukan. Data ini nantinya akan bisa mendukung penghitungan Tier 3 dan juga bisa dipakai sebagai bahan untuk mereview kembali apakah data yang tersedia sudah mungkin digunakan untuk mengganti metode stock difference dengan metode gain loss. Perlu diingat bahwa bukan hanya data pertumbuhan (gain) yang harus dikumpulkan akan tetapi juga data pemanenan dan kehilangan lainnya (losses) seperti kebakaran, penjarangan dan penebangan. Juga masih harus dipertanyakan apakah data aktivitas yang didapatkan dari data satelit dengan tingkat resolusi sedang (medium resolution imageries) bisa mengimbangi data faktor emisi untuk mengakomodir metode gain loss.
BAB 3 EMISI DARI BIOMAS TUMBUHAN
23
Gambar 3.
Konsep perhitungan riap karbon pada hutan sekunder (Hs) dengan cadangan C 169 t/ha dan riap 2.3 ton C/(ha . tahun) dan perubahan hutan sekunder menjadi hutan tanaman industri (Ht).
Cadangan C (ton/ha)
Riap = 2,23 t/ha/tahun 200 180 160 140 120 100 80 60 40 20 0
Cadangan C hutan primer = 195 t/ha Cadangan C hutan primer = 169 t/ha
HS Hs Hs Hs Hs Hs Hs Hs Hs Hs Ht 0Ht 1Ht 2Ht 3Ht 4Ht 5Ht 6Ht 7Ht 8
3.3 Perkiraan emisi masa lalu (20062011) dan emisi pada periode yang akan datang (2011-2020) 3.3.1 Prinsip dan metode perhitungan Langkah pertama dalam memperkirakan emisi dari kehutanan dan alih guna lahan adalah menghitung tingkat emisi masa lalu (tahun 2006-2011). Dalam memperkirakan tingkat emisi masa lalu, maka metode yang digunakan mengacu pada Pedoman IPCC 2006 mengenai AFOLU (Agriculture, Forestry and other Land Uses/Pertanian, Kehutanan dan Penggunaan Lahan Lainnya). Metode ini merupakan pendekatan yang sistematik untuk memperkirakan perubahan cadangan karbon (yang terkait dengan emisi dan sekuestrasi CO2 dari biomas, nekromas dan tanah serta emisi dari kebakaran. Tahap selanjutnya adalah memperkirakan emisi masa datang (tahun 2011-2016 dan 2016-2021). Beberapa metode telah dikembangkan untuk memperkirakan tingkat emisi di masa datang, di antaranya: (1) Pendekatan historis (projeksi linear berdasarkan tren di masa lalu); (2) Pendekatan Spasial dan (3) Pendekatan Ekonometrik. Dalam Panduan Teknis ini yang digunakan adalah metode dengan prinsip spasial yang memperkirakan kemungkinan perubahan lahan di masa datang dengan
24
PEDOMAN TEKNIS PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
memperhitungkan aktifitas di masa lalu dan juga mempertimbangkan kemungkinan rencana perubahan/ penggunaan lahan di masa depan. Model yang digunakan adalah “Marcov Chain Transition Matrix” yang menghitung distribusi perubahan lahan pada dua titik waktu yang berbeda. Untuk mempermudah perhitungan, maka digunakan alat yang sudah dikembangkan oleh ICRAF, yaitu LUWES (Land Use Planning for Low Emission Development Strategy). Walaupun pada prinsipnya spreadsheet excel dapat juga digunakan untuk membantu perhitungan, namun penggunaannya akan sangat rumit untuk MPTPL dengan dimensi besar (21 x 21) dan jumlah matriks (zone pemanfaatan ruang) yang banyak seperti yang digunakan pada RAN/RAD GRK (Tabel 1). Langkah-langkah penerapan metodologi dalam memperkirakan emisi historis dan emisi baseline RAD GRK adalah sebagai berikut (Dewi et al. 2013): 1. Membangun unit perencanaan/zona pemanfaatan ruang dengan mengintegrasikan rencana tata ruang wilayah, rencana pembangunan dan rencana strategis lainnya 2. Mengenali pola perubahan tutupan lahan pada periode tahun acuan (2006-2011) dan menghitung emisi dari perubahan tutupan lahan dari masa lalu (emisi historis) 3. Memproyeksikan perubahan lahan di masa depan (2011-2016 dan 2016-2021) berdasarkan pola perubahan lahan di masa lalu dan memperkirakan emisi baseline di masa depan yang selanjutnya emisi baseline (Business as usual, BAU) 4. Membangun skenario alokasi tutupan lahan rendah emisi atau skenario mitigasi untuk periode yang akan datang 5. Melakukan analisis trade-off atas skenario alokasi tutupan lahan rendah emisi dengan melibatkan pemangku kepentingan dari berbagai sektor 6. Menerjemahkan strategi menjadi aksi-aksi mitigasi dan menghitung perkiraan penurunan emisi Untuk membantu menganalis pola perubahan lahan dan menghitung emisi dalam spread sheet, LUWES dilengkapi dengan perangkat lunak REDD Abacus SP (Harja et al. 2011). Abacus mempunyai kemampuan untuk :
BAB 3 EMISI DARI BIOMAS TUMBUHAN
25
Melakukan estimasi emisi dari perubahan tutupan lahan dengan memperhatikan keragaman jenis tanah, elevasi, iklim dan karakteristik biofisik lansekap lainnya tergantung ketersediaan data aktivitas dan faktor emisi. Melakukan analisis trade-off antara emisi dan keuntungan ekonomi (opportunity cost analysis), membuat kurva abatement cost, memprediksi emisi dan keuntungan ekonomi di masa yang akan datang (Reference Emission Level (REL) projection). Melakukan simulasi skenario kegiatan mitigasi dan kebijakan pada unit perencanaan tertentu untuk pengurangan emisi dan melakukan analisis potensi opportunity cost-nya. REDD Abacus SP dirancang untuk menghitung: Jumlah emisi dari perubahan tutupan lahan Proyeksi MPTPL beberapa periode yang akan datang Menghitung emisi dari sumber lain, misalnya dari pengelolaan lahan dan emisi dari dekomposisi gambut Menghitung biaya penurunan emisi (opportunity cost) Jika emisi historis dihitung berdasarkan data aktivitas tahun 2006-2011, proyeksi MPTPL bisa dihitung oleh Abacus untuk periode 2011-2016 dan 2016-2021 dan seterusnya. Namun disarankan proyeksi ke depan tidak lebih dari dua periode karena semakin jauh periode prediksi dari base year, maka hasil proyeksi akan menjadi kurang realistis. Secara sederhana emisi dihitung dengan persamaan seperti pada Gambar 4 (IPCC, 2006). Untuk lahan yang mengalami perubahan tutupan dalam periode waktu tahun acuan (base year) emisi dari perubahan cadangan karbon di dalam biomas tumbuhan dihitung berdasarkan perbedaan cadangan karbon antara tutupan lahan awal dengan tutupan lahan berikutnya, seperti diterangkan pada Bagian 3.2.2. Untuk lahan yang penggunaannya tidak berubah dalam suatu periode, maka emisi dari biomas tumbuhan pada periode tersebut dianggap nol. Emisi dari dekomposisi gambut pada lahan gambut yang didrainase tetap berlangsung walaupun lahan tidak mengalami perubahan kelas tutupan (Bab IV).
26
PEDOMAN TEKNIS PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
Gambar 4. Deskripsi perhitungan emisi berbasis lahan, termasuk Sektor Pertanian.
Emisi
=
Emisi: Jumlah gas rumah kaca yang lepas ke atmosfir dari suatu landscape (ton GRKe/tahun)
Data Aktivitas
Faktor emisi
X
Data Aktivitas: Luas lahan, jumlah ternak atau jumlah pupuk N yang menjadi sumber emisi GRK
Faktor Emisi: Jumlah GRK yang dikeluarkan oleh satu unit luas lahan, satu ekor ternak atau satu satuan berat pupuk N per satuan waktu
3.3.2 Besaran Emisi masa lalu Ringkasan hasil perhitungan emisi skala nasional dari biomas permukaan tanah akibat perubahan tutupan lahan periode 2006-2011 adalah seperti pada Tabel 7. Lebih dominannya perubahan penutupan lahan dari lahan dengan cadangan C tinggi (seperti hutan) menjadi lahan dengan cadangan C relatif rendah (seperti semak belukar, lahan pertanian semusim) menyebabkan sekuestrasi hanya sekitar 14,5% dari emisi total. Tabel 7. Emisi, penyerapan (sekuestrasi dan net emisi CO2-e dari biomas tumbuhan karena pengaruh perubahan penggunaan lahan tahun 2006-2011 di seluruh Indonesia pada lahan gambut dan lahan mineral. No
Sumber
Satuan
Jumlah
ton CO2e/(ha.tahun)
2,14
Sekuestrasi per-ha Luasan
ton CO2e/(ha.tahun)
0,31
Net Emisi per ha
ton CO2e/(ha.tahun)
1,83
4
Total Emisi
ton CO2e/(tahun)
397.670.631
5
Total Sekuestrasi
ton CO2e/(tahun)
57.689.432
6
Net Emisi
ton CO2e/(tahun)
339.981.199
1
Emisi per ha
2 3
Catatan: Data aktivitas untuk perhitungan ini adalah hasil penjumlahan Tabel 3 dan Tabel 4 dan faktor emisi adalah Tabel 6.
Tabel 8 memperlihatkan matriks emisi skala nasional dari biomas permukaan tanah akibat perubahan tutupan lahan pada lahan bertanah mineral dan Tabel 9 memperlihatkan emisi dari sumber yang sama pada lahan gambut. Tabel 10 memperlihatkan total emisi dari biomas tumbuhan pada lahan mineral dan lahan gambut.
BAB 3 EMISI DARI BIOMAS TUMBUHAN
27
Dari Tabel 10 terlihat bahwa net emisi dari biomas tumbuhan, baik dari lahan gambut, maupun lahan mineral berjumlah sekitar 340 juta ton CO2e/tahun. Lahan mineral menyumbang sekitar 264 juta ton, sedangkan lahan gambut sekitar 75 juta ton CO2e/tahun. Lahan gambut yang luasnya hanya sekitar 8% dari luas total lahan Indonesia menyumbang sekitar 22% emisi dari biomas tumbuhan. Ini menunjukkan bahwa intensitas perubahan tutupan lahan dari yang bercadangan C tinggi ke lahan bercadangan C rendah jauh lebih tinggi pada lahan gambut dibandingkan dengan lahan mineral dalam periode 2006-2011 ini. Dari Tabel 10 dan Gambar 5 juga terlihat bahwa perubahan tutupan lahan hutan sekunder merupakan penyumbang utama emisi dari biomas tumbuhan dengan jumlah sekitar 185 juta ton. Penyumbang utama lainnya adalah hutan rawa sekunder dan hutan lahan kering primer karena beralih fungsi menjadi belukar, lahan kosong, perkebunan dan berbagai penggunaan lahan pertanian. Ini menunjukkan bahwa penurunan emisi secara signifikan dapat ditempuh dengan mengendalikan perubahan tutupan ketiga jenis hutan ini. Sumber utama emisi pada hutan sekunder adalah konversinya menjadi semak belukar yang menyumbangkan sekitar 87 juta ton CO2e, hutan sekunder menjadi lahan pertanian campuran (sebagiannya kemungkinan perkebunan) menyumbang sekitar 33 juta ton CO2e/tahun, hutan sekunder menjadi lahan terbuka sekitar 37,4 juta ton CO2e/tahun. Sumber utama emisi hutan rawa sekunder (baik yang bertanah mineral maupun bertanah gambut) adalah perubahan menjadi belukar rawa dengan emisi sekitar 59 juta ton CO2e/tahun, tanah terbuka sebesar 28 juta ton CO2e/ tahun dan perkebunan sekitar 18 juta ton CO2e/tahun. Berubahnya hutan primer menjadi hutan sekunder mengemisi sekitar 21 juta ton CO2e/tahun dan hutan primer menjadi semak belukar sekitar 3,8 juta ton CO2e/ tahun.
28
PEDOMAN TEKNIS PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
BAB 3 EMISI DARI BIOMAS TUMBUHAN
29
-
-
-
-
-
-
-
Ht
B
Pk
Pm
T
S
Hms
-
-
-
Tm
Bdr
Tr
-
-
-
-
-
-
(0,02)
(0,28)
-
-
-
-
-
-
-
(0,03) (0,00)
(0,32)
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Hmp
-
-
-
-
-
-
-
-
-
(0,05)
-
-
-
-
-
-
-
-
-
(0,00)
(0,00)
Hrp 0,32
Pk
0,54
-
1,92
-
-
-
(7,99)
0,00
0,29
0,00
86,49 15,22
3,83
B
-
0,15
0,05
0,10
-
-
0,16
0,03
Pm
-
0,09
(2,43)
9,56
0,03
(0,93) (0,19)
-
(3,66)
0,55
0,04
0,01
0,00
0,01
-
1,39
0,09
0,72
7,25
0,21
0,02
-
0,00
1,70
1,94
3,89
0,01
0,00
36,98
1,68
T
-
-
-
-
-
(0,01)
-
-
0,02
0,01
0,91
-
-
-
-
-
(0,00) 0,01
-
-
-
0,00
-
55,89
-
0,00
-
0,01
1,80
0,13
0,06
-
Br
Pt
Pc
0,84
-
0,71
0,02
0,00
33,41
0,67
(0,03) (0,05)
1,16
0,98
1,26
0,00
0,01
4,88
0,03
1,10
-
(0,00)
-
(0,00)
(0,00)
(0,00)
1,24
-
-
-
-
3,93
-
-
-
-
-
-
-
-
-
(1,53)
-
1,34
0,04
(0,84) (0,52)
19,37
-
0,12
0,24
0,01
(0,04) (0,27)
-
1,16
2,35
0,05
0,02
0,01
0,00
0,00
0,03
0,66
0,23
0,63
-
-
0,32
-
Sw
-
-
(0,00)
-
-
-
-
22,18 26,91 34,32
(0,00) (0,01)
(0,00)
-
-
5,45
(0,00)
-
-
-
(0,02) (0,00) (0,00) (0,00)
-
-
(0,01)
-
19,82
1,17
-
Catatan: Data aktivitas adalah Tabel 3 dan faktor emisi adalah Tabel 6. Definisi penutupan lahan terdapat pada Tabel 2.
1,06
(1,17) (0,00) (0,00) (0,00)
(0,00) (0,01) (0,00) (0,00)
(0,01)
-
-
(0,01)
(0,31) (0,24)
0,01
-
(0,00)
(0,00) (0,01) (0,00) (0,00) (0,00) (0,04) -
-
4,24
-
-
-
Hrs
(0,01) (0,01)
-
-
1,59
0,00
-
Hms
(0,10) (0,00) (0,05) (0,78) (0,24) (0,34)
-
-
0,18
-
-
-
0,08
-
S
Tahun 2011
1,34
-
-
-
-
-
0,00
0,02
0,00
0,21
0,16
0,89
0,00
0,00
0,00
0,01
0,01
0,00
-
0,03
-
-
Tm
-
-
0,01
-
-
-
0,27
-
Tr
Tb
0,01
0,05
0,93
0,11
0,00
0,00
3,04
0,17
0,00
-
0,00
-
-
0,75
0,02
0,06
0,46
0,01
(0,00) 0,00
0,01
-
-
-
-
-
0,27
-
-
-
-
-
5,64
-
-
-
-
-
0,00 (0,00) 0,00
0,01
0,00
-
-
0,00
-
0,00 (0,00) 0,02
0,00
-
-
-
-
-
-
-
Bdr
TOTAL
1,76
183,22
27,91
5,08
(7,42)
2,46
(1,41)
(2,52)
(1,19)
(0,01)
0,00
(0,00)
(0,06)
(1,62)
0,80 264,49
-
-
-
-
-
-
0,00 18,96
-
0,00 (1,34)
0,75 39,67
-
-
0,00 (13,79)
0,00 (0,09)
-
-
0,00 7,88
0,05 6,98
-
-
-
Rw
nasional dari biomas di atas permukaan lahan mineral akibat perubahan
(0,01) (0,03) (0,16) (0,04) (0,00)
(0,37)
(0,33) (0,18) (2,94)
(0,12)
0,03
0,07
-
(3,10) (1,70) (7,42) (0,00)
(0,00) (0,01) (0,01)
(0,01)
(1,87)
-
0,58
-
2,58
0,01
Ht
(0,27) 17,83 (0,00) (0,05) (2,56) 89,99 (0,57)
-
-
Sw
Rw
-
Pc
-
-
Pt
Tb
-
Br
TOTAL
-
-
(0,07)
(0,00)
(0,00)
(1,88)
(0,74)
-
-
-
21,17
Hs
(0,00) (0,00)
-
Hrp
Hrs
-
(0,27)
Hs
Hmp
-
Hp
Hp
Penutupan lahan
Tabel 8. Matriks emisi base year tahun 2006-2011 skala tutupan lahan (juta ton CO2e/tahun).
Tahun 2006
0,07
0,20
0,55
B
(0,39)
0,73
0,60
Pk
0,33
21,45
0,27
0,09
1,66
1,85
0,44
T
S
(0,04)
(0,02)
2,40
Hrs
0,01
0,15
1,49
0,03
0,06
Br
PEDOMAN TEKNIS PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
0,19
(0,56)
0,00 (0,00) (3,76)
5,30
(0,05)
(0,01)
0,01 27,68 0,00
0,12
1,79
Pc
0,03
0,02
0,41
0,03
(0,00) (0,78)
0,14
0,38
0,17
Sw
0,98
2,51
Tm
Bdr
Tr
Rw
TOTAL
0,05
(7,52)
0,32
(0,48)
2,01
6,48
0,18
2,25
0,33
(0,63)
(0,01)
0,26
(0,05)
(2,55)
0,01 0,18 74,84
Tb
0,18 0,00 0,00 0,00 0,02 0,18 75,49
(0,00) (0,01) (0,00) (0,00) 1,53 40,32
(0,02)
0,06
0,50
Catatan: Data aktivitas adalah Tabel 4 dan faktor emisi adalah Tabel 6. Definisi penutupan lahan terdapat pada Tabel 2.
TOTAL
Rw
Tb
Tr
Bdr
Tm
(0,02)
(0,20)
Sw
Pc
(1,40) (0,06)
Pt
0,03
Pt
(0,00) (0,01) (0,86) (0,01) (0,20)
0,14
Hms
Tahun 2011
(2,30) 0,01
Pm
Br
9,06
(2,95) (0,51) (2,99)
(0,01)
(0,21)
0,28
Ht
0,05
(0,00)
Hrp
39,39
Hmp
2,01
(0,09)
(0,00)
(0,00)
0,29
Hs
Hrs
(0,13)
(0,13)
Hp
Hms
S
T
Pm
Pk
B
Ht
Hrp
Hmp
Hs
Hp
Penutupan lahan
Tabel 9. Matriks emisi base year tahun 2006-2011 skala nasional yang berasal dari biomas di atas permukaan lahan gambut akibat perubahan tutupan lahan (juta ton CO2e/tahun).
Tahun 2006
30
BAB 3 EMISI DARI BIOMAS TUMBUHAN
31
(0,00)
(0,07)
Pm
T
(0,28)
(0,02)
Pc
Sw
0,09
(0,56)
0,15
0,05
0,10
0,16
0,03
Pm
4,73
(1,23)
(0,01)
(0,01)
(0,16)
(3,86)
(2,99)
(3,84)
18,62
0,03
(0,19)
1,51
0,09
2,51
28,70
0,21
0,01
0,02
0,01
0,91
1,06
83,57
1,10
(0,00) (0,00) (0,00)
(0,00) (0,00)
(0,00)
(0,02)
6,64
Hrs
(0,01)
(0,05)
(0,01) (0,01)
1,73
Hms
0,01
0,15
3,29
0,16
0,12
Br
Pt
Pc
0,87
0,73
0,02
33,83
0,70
(0,03) (0,05)
1,16
1,01
1,26
0,01
4,92
0,03
(0,00)
(0,00)
1,37
5,46
(0,00) (0,02)
(0,00)
(0,31) (1,02)
0,01
(0,00)
(1,53)
1,34
0,04
(0,84) (0,52)
19,75
0,18
0,74
0,01
1,16
2,35
0,22
0,02
0,01
0,03
0,66
0,23
0,63
0,32
Sw
62,50 27,89 36,83
5,63
(0,00) (0,01) (0,00) (0,00)
(0,00)
(0,00)
(0,02) (0,00) (0,00) (0,00)
(0,01)
59,21
1,22
(0,04) (0,27)
(0,10) (0,00) (0,06) (1,63) (0,25) (0,54)
0,18
0,08
S
Tahun 2011
(0,00) (0,00) (0,00) (0,04)
(0,04) (0,00)
0,56
0,04
0,01
0,01
0,02
1,96
2,03
5,55
1,86
37,42
1,68
T
Bdr
1,35 0,01
0,02 0,01
0,21
0,16
0,89
0,01
0,01
0,03
Tm
Tb
0,01
0,05
0,93
0,11
3,04
0,17
0,27
(0,00)
(0,00)
TOTAL
1,94
185,48
28,23
2,51
(1,41)
(21,31)
(0,09)
5,41
(7,90)
9,89
0,05 13,46
Rw
(1,81)
(0,01)
0,00
(0,00)
(0,06)
(1,63)
19,23
(2,57)
(3,89)
5,65 0,98 339,98
0,75
0,02
0,06
0,47 0,93 114,51
0,01
(0,00) 0,02
0,01
0,27
Tr
Catatan: Data aktivitas adalah Tabel 3 dan Tabel 4 dan faktor emisi adalah Tabel 6. Angka emisi pada Tabel 10 ini merupakan hasil penjumlahan dari matriks pada Tabel 8 dan Tabel 9. Definisi penutupan lahan terdapat pada Tabel 2.
TOTAL
(0,40) 18,02 (0,00) (0,05) (6,32) 90,32
(0,00)
Rw
(0,01)
Tb
(0,00)
(0,01) (0,03)
(0,39)
(0,33) (0,18)
(2,42)
(0,93)
Tr
Bdr
Tm
(0,03) (0,00)
Pt
(0,01)
(8,38)
0,00
1,02
15,82
0,32
Pk
(6,06) (2,21) (10,40) (0,00)
2,04
(0,41)
Br
0,60
2,11
87,04
3,83
B
(0,00) (0,01)
(0,02)
(2,09)
0,58
2,86
0,01
Ht
Hrs
(0,05)
(0,00)
(0,00)
Hrp
0,07
Hmp
Hms
(0,00) (0,00)
(0,00)
Pk
S
(1,88)
B
21,45
Hs
(0,74)
(0,40)
Hp
Ht
Hrp
Hmp
Hs
Hp
Penutupan lahan
Tabel 10. Emisi base year (tahun 2006-2011) skala nasional yang berasal dari biomas akibat perubahan tutupan lahan mineral dan lahan gambut (juta ton CO2e/tahun).
Tahun 2006
Gambar 5.
Emisi CO2e skala nasional dari biomas di atas permukaan tanah gambut dan tanah mineral dari perubahan tutupan lahan.
Emisi (juta t CO 2 -e/tahun
250 200 150 100 50 0 -50
H u H u H u H u H u P e H u H u Tr Ba A i Pe Ta Pe Sa Ru Ra Pe Pe Be Se Ta t a t a t a t a t a rk e t a t a a n s n d r r t a m b r m w a m p w a r t a r t a l u k m a n a n n n n n b n n m ar m ak uk h u n ia n ia a r k h T La Ra La Ra Ta u n M M i g a/ ba t im n n Ra Be l er b h a w h a w n a a n a n a n ra P e ng an L a La w uk u gr gr si lab n aS n aP m an ha ha a ar ka Ke e k Ke r i a n ov ov u n n m h eS eP r in u n r in e Ke Ke a n g de g r e r r in r in i k m Se r Pr u g g e nd r im ku Ca er er nd m er pu
r
Seperti pada Tabel 10, Gambar 5 juga memperlihatkan bahwa beberapa jenis tutupan lahan seperti semak belukar, belukar rawa dan lahan terbuka pada tahun 2006 dapat menyerap karbon (emisi negatif) karena berubahnya tutupan menjadi lahan dengan cadangan karbon yang lebih tinggi seperti perkebunan dan hutan tanaman. Ini menunjukkan bahwa jika pengembangan perkebunan dan Hutan tanaman difokuskan pada lahan dengan cadangan C rendah tersebut maka akan terjadi penurunan jumlah emisi dan peningkatan serapan CO2 secara nyata. Gambar 6 menunjukan kontribusi emisi dari zona pemanfaatan ruang pada lahan mineral dan lahan gambut. Berdasarkan 21 zona pemanfaatan ruang yang ada (14 zona pada lahan mineral dan 7 zona pada lahan gambut), terlihat variasi kontribusi emisi historis (2006-2011) dari masing-masing zona. Grafik tersebut menunjukkan tingginya emisi yang terjadi pada zona Hutan Produksi, Area Penggunaan Lain (APL), dan Hutan Produksi Terbatas (HPT).
32
PEDOMAN TEKNIS PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
Gambar 6.
Kontribusi masing-masing zona pemanfaatan ruang terhadap emisi nasional dari perubahan penggunaan lahan pada lahan gambut (g) dan lahan mineral.
H Emisi Historis 2006-2011 (juta ton CO2-e/tahun) Hu Ar uta ta eal n P n P ro Pr en d od gg uk uk un si Ar si aa (g) Hu ea K l P Hu on n la ta n Hu en ta ve in Su g n rs ak H tan gu Pr i (g a uta Pr na od ) Al n od an uk am p u L si r da od ksi ain n uk Ter (g Hu M si ba ) ta ar Ko ta Hu n ta Pr Hu gas nve s n od ta at rs Su uk n wa i ak L a Hu si Te ind (g) Al ta r un am n ba g L t Ta da ind as m n u (g an m ng ) a Ca Na rga (g) ga sio sa r A na tw la l D a T a Hu Ta m T m ara m an am Da t ta an W a ra n n t Su ak Ta Nas isat Bu i m a a r Al an ona Al u am N l L am da asio aut Su Tam n W na (g) ll ak a an H isat aut M a ar uta La ga n ut R sa tw aya a Da ra t
120 100 80 60 40 20 0
-20 0
Zona Pemanfaatan Ruang
3.3.3 Proyeksi emisi ke depan Dengan menggunakan data tahun acuan (base year) emisi pada satu atau dua periode ke depan dapat diperkirakan dengan menggunakan paket kalkulator emisi seperti Abacus (Harja et al. 2011). Secara konseptual emisi ke depan dapat dihitung berdasarkan proyeksi emisi historis (historical projection) yaitu perhitungan emisi berdasarkan kecenderungan pada satu periode sebelumnya atau dengan pendekatan forward looking yang memperhatikan kebijakan pembangunan pada provinsi tertentu (Gambar 7). Pendekatan penyusunan skenario BAU bisa berbasis pada teori transisi penutupan hutan dan lahan (forest transition) yang mempertimbangkan tahap pembangunan suatu provinsi, emisi masa lampau dan cadangan karbon dalam
BAB 3 EMISI DARI BIOMAS TUMBUHAN
33
bentuk biomasa yang ada saat ini. Untuk operasionalisasinya daerah di Indonesia bisa dikelompokkan menjadi empat kelas berdasarkan posisi daerah tersebut pada kurva gradient penutupan lahan (forest transition) (Gambar 7). Penetapan pendekatan baseline ditentukan berdasarkan kelas tahapan ‘forest transition’ sebagai berikut: 1. Daerah yang termasuk dalam kategori ‘Forest_Core’ atau dominan ditutupi hutan, yaitu daerah dengan pembangunan pada tahap dini seperti Papua dan Papua Barat, , dengan emisi masa lampau yang relatif rendah dan cadangan karbon yang masih tinggi, menerapkan metode forward looking. 2. Daerah yang termasuk kategori ‘Forest_Frontier’, yaitu daerah dengan laju alihguna hutan yang sudah stabil, membuat skenario baseline dengan pendekatan historical. 3. Daerah yang termasuk dalam kategori ‘Forest_ Mosaics’, dimana laju alihguna hutan sudah menurun, emisi masa lampau tinggi dan cadangan karbon rendah, skenario baseline untuk alihguna lahan memakai laju yang terdiskonto dari laju di masa lalu, maksudnya laju deforestasi akan semakin rendah dari laju base year. 4. Daerah peri-urban dan urban, dimana net emisi dari perubahan penutupan lahan hampir nol ataupun negatif, atau tahap pemulihan tutupan pohon sudah dicapai. Skenario baseline untuk memproyeksikan RL sesuai dengan laju peningkatan tutupan pohon di masa lampau. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Kabupaten (RTRWP/K) dapat dijadikan acuan utama untuk memproyeksikan MPTPL dengan pendekatan forward looking. Pada umumnya BAU berdasarkan forward looking didapatkan secara bottom-up, yaitu berdasarkan usulan dari provinsi/kabupaten. Secara konseptual emisi BAU, proyeksi emisi dengan aksi mitigasi dan proyeksi penurunan emisi diperlihatkan pada Gambar 8.
34
PEDOMAN TEKNIS PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
Proyeksi emisi dapat disajikan dalam bentuk kumulatif (contoh pada Gambar 9) atau emisi rata-rata tahunan tergantung pada satuan mana yang akan dipilih dalam menentukan target penurunan emisi. Dalam perdagangan karbon, perlu dihitung jumlah kumulatif emisi pada periode tertentu. Target penurunan emisi 26% dan 41% pada tahun 2020 menurut Perpres 61/2011, berpatokan pada emisi rata-rata tahunan. Dengan demikian dalam pedoman ini lebih difokuskan pada proyeksi emisi ratarata tahunan. Untuk penyusunan skenario baseline beberapa hal di bawah ini perlu dipertimbangkan (Dewi et al. 2012): Provinsi dan kabupaten menyusun skenario secara bottom-up mengacu panduan teknis yang disusun di tingkat nasional pedoman penyusunan dibuat untuk memberi acuan pendekatan baseline apa yang bisa diambil oleh suatu daerah tertentu, dengan mengetengahkan dan mempertimbangkan kondisi daerah tersebut, cadangan karbon yang tersedia, emisi di masa lampau dan pemicu alih guna lahan tersedianya peluang untuk bernegosiasi antara daerah dan nasional dalam penentuan skenario baseline Gambar 7.
Skenario baseline dan proyeksi tingkat emisi kotor (REL) dan net emisi (RL) pada tingkat lokal (Provinsi dan Kabupaten) berdasarkan tahapan dalam kurva ‘Forest transition’ (Dewi et al. 2012).
Forest CoreForwad Looking REL Forest FrontierHistorical REL
Forest MosaicsDiscounted Historical REL EL
Peri-UrbanHistorical RL Historical RL
BAB 3 EMISI DARI BIOMAS TUMBUHAN
35
Gambar 8.
Skema perhitungan emisi kumulatif pada skenario business as usual (BAU) dan skenario mitigasi emisi gas rumah kaca.
BAU
Juta ton
Proyeksi Penurunan Proyeksi emisi aksi mitigasi
Emisi Historis
2005
2010
2020
Dengan menggunakan kalkulator Abacus dengan input MPTPL tahun 2006-2011 dapat dihasilkan proyeksi matriks tutupan lahan tahun 2011-2016 dan 2016-2021. Contoh matriks proyeksi perubahan tutupan lahan tahun 20162021 disajikan pada Tabel 11 untuk lahan mineral dan Tabel 12 untuk lahan gambut. Matriks perkiraan jumlah emisi dari biomas pada lahan mineral dan lahan gambut untuk periode 2011-2016 dan 2016-2021 disajikan berturut-turut pada Tabel 13 dan Tabel 14. Seperti pada Tabel 8 dan Tabel 9, Tabel 13 juga memperlihatkan bahwa alih guna hutan sekunder menjadi semak belukar, tanah terbuka dan pertanian lahan kering campuran, merupakan sumber utama emisi. Selanjutnya, semak belukar, belukar rawa dan lahan terbuka berpotensi menyerap karbon apabila direhabilitasi menjadi tutupan lahan dengan cadangan karbon yang lebih tinggi seperti perkebunan dan hutan tanaman. Ini menunjukkan bahwa jika pengembangan perkebunan dan Ht difokuskan pada lahan dengan cadangan C rendah maka akan terjadi penurunan jumlah emisi dan peningkatan serapan CO2 secara nyata.
36
PEDOMAN TEKNIS PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
Gambar 9.
Perkiraan net emisi Business as Usual (BAU) kumulatif dari biomas tumbuhan pada lahan mineral dan lahan gambut berdasarkan pendekatan historis. 6000 Lahan gambut
Emisi (juta ton CO2-e)
5000
Lahan mineral 967
4000 3000
696
2000
3840 377
1000
2601
1322
0 2006-2011
2006-2016
2006-2021
Periode
Gambar 9 memperlihatkan bahwa emisi kumulatif BAU dari biomas di permukaan tanah gambut adalah sebesar 377 juta, 696 juta dan 967 juta ton CO2-e dan untuk tanah mineral adalah sebesar 1,32; 2,60 dan 3,84 Gigaton ton CO2-e berturut-turut untuk periode tahun 2006-2011, 2006-2016 dan 2006-2021 (1 Gigaton = 1.000.000.000 ton). Pada Gambar 10 terlihat bahwa untuk periode yang sama emisi kumulatif dari dekomposisi gambut (akan diuraikan lebih lanjut pada Bagian 4.1.) berturut turut adalah 1,27; 2,59 dan 3,96 Gigaton. Emisi tahunan dari dekomposisi gambut adalah sebesar 254, 264 dan 274 juta ton CO2-e berturut-turut untuk periode 2006-2011, 2011-2016 dan 2016-2021 berdasarkan perhitungan historis. Perhitungan forward looking memerlukan modifikasi pada proyeksi MPTPL tahun 2011-2016 dan 2016-2021, misalnya dengan menurunkan konversi hutan dan meningkatkan konversi lahan semak belukar perkebunan dan Ht. Pada Gambar 10 emisi business as usual (BAU) forward looking dari kehilangan biomas dan dekomposisi gambut diasumsi mengalami peningkatan sebanyak 2,5 % setiap tahunnya. Ini berarti bahwa untuk periode 2011-2016 emisi forward looking adalah 12,5% lebih tinggi dari emisi historis dan untuk periode 2016-2021, 25% lebih tinggi dari emisi historis periode masing-masing.
BAB 3 EMISI DARI BIOMAS TUMBUHAN
37
0
1
Pm
T
32
0
Ht
PEDOMAN TEKNIS PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
0
3
0
Pt
Pc
Sw
Definisi penutupan lahan terdapat pada Tabel 2.
TOTAL 36.497 37.229 1.027
25
0
0
4
149
93
98
117
1
5
195
0
9.047
317
3
3
0
188
3
Pk
0
0
0
0
21
30
15
0
0
0
1
2.518
5
3
2
1
0
Pm
2.943 3.865 13.981 10.248 2.597
0
Rw
0
0
2
146
16
124
Tb
0
14
10
5
1
51
99
1
29
12.59
Tr
Bdr
Tm
3
Br
2
80
0
19
72
0
1
817
30
B
3.623 76
2.942 5
0
0
Hrp
Hrs
0
1.027
Hmp
Hms
0
0
Pk
0
18
B
S
9
Ht
Hrp
36.136
14
Hs
Hmp
36.483 1.059
Hs
Hp
Penutupan lahan Hp
2.993
1
0
1
0
3
68
20
35
54
3
11
2.268
0
49
92
85
0
0
292
11
T
3.361
0
1
0
1
2
47
3.223
77
9
1
S
1.046
0
0
0
0
5
0
1.001
0
0
0
0
40
0
Hms
Tahun 2021
2.565
3
2.434
0
1
0
0
128
Hrs
5.179
0
0
1
1
1
4.916
179
18
45
0
2
0
13
1
1
Br
Pc
7
12
1
15
20
3
45
1.007
28
0
0
316
5
0
28
1
0
7.203
23.246 55
495
2
0
0
3
9
12
19
11
14
3
Sw
11.843 24.862 7.826
1
0
0
158
1.3
10.128 129
8
2
0
10
51
9
38
64
31
0
0
40
0
Pt
841
0
814
1
1
0
9
1
10
1
1
0
0
0
0
0
Tm
16
15
0
0
0
0
0
0
0
326
322
0
0
1
0
0
0
0
2
Bdr Tr
1.155
0
0
5
0
0
0
0
Rw
768 1.162
0
643
0
0
34
3
3
3
0
0
10
2
1
41
2
0
0
24
1
Tb
171.175
1.183
644
324
15
817
7.421
25.049
10.913
5.266
2.811
1.036
3.319
2.858
2.545
9.252
14.228
3.875
3.091
1.068
37.867
37.592
TOTAL
Tabel 11. Matriks proyeksi tutupan dan transisi tutupan lahan mineral Indonesia antara tahun 2016-2021 pada semua zone pemanfaatan ruang (dalam ribu hektar) berdasarkan skenario BAU historis.
Tahun 2016
38
BAB 3 EMISI DARI BIOMAS TUMBUHAN
39
0
0
15 287
Hs
225
0 0
Hmp
0
0 0
Hrp
0
0 3
Ht
Hrp 0 0 0 1.923 0 Ht 0 0 0 0 342 B 0 0 0 0 21 Pk 0 0 0 0 19 Pm 0 0 0 0 0 T 0 0 0 0 95 S 0 0 0 0 0 Hms 0 0 0 0 0 Hrs 0 0 0 0 22 Br 0 1 0 0 88 Pt 0 0 0 0 0 Pc 0 0 0 0 1 Sw 0 0 0 0 0 Tm 0 0 0 0 0 Bdr 0 0 0 0 0 Tr 0 0 0 0 0 Tb 0 0 0 0 0 Rw 0 0 0 0 11 TOTAL 356 302 225 1.923 603 Definisi penutupan lahan terdapat pada Tabel 2.
Hmp
Hp
350 6
Hp Hs
Penutupan lahan
0 22 745 4 0 37 0 0 0 242 0 0 0 0 0 0 0 0 1.055
0
0 5
B
7 0 40 1.774 0 97 0 0 98 56 2 9 0 0 0 0 0 1 2.091
0
0 7
Pk
0 0 0 0 67 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 68
0
0 0
Pm
S
0
0 0
12 0 104 0 11 0 9 0 0 0 455 0 0 161 0 0 139 0 85 0 0 0 7 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 826 161
0
0 3
T
0 0 0 0 0 0 0 93 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 97
4
0 0
Hms
Tahun 2021
0
0 1
Br
0
0 0
Pt
0
0 4
Pc
0
0 0
Sw
72 11 0 0 0 1 17 0 3 0 0 2 4 10 0 1 1 0 2 0 0 0 0 0 0 0 61 2 14 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 2.954 312 3 18 0 8 2.17 4 18 8 0 0 285 0 1 0 0 28 431 0 0 0 0 0 411 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 3.036 2.576 328 499 421
0
0 0
Hrs
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 9 0 0 0 0 9
0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0
0 0
Tm Bdr
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 5 0 0 5
0
0 0
Tr
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 9 0 9
0
0 0
Tb
0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 306 308
0
0 0
2.025 489 834 1.81 67 761 161 94 3.547 2.68 289 477 411 9 0 5 9 320 14.897
229
365 316
Rw TOTAL
Tabel 12. Matriks proyeksi tutupan lahan gambut Indonesia antara tahun 2016-2021 pada semua zone pemanfaatan ruang (dalam ribu hektar) berdasarkan skenario BAU historis.
Tahun 2016
(0,00)
(0,08)
Pk
Pm
T
15,55
0,31
Pk
(0,28)
(0,02)
Pc
Sw
PEDOMAN TEKNIS PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
(0,04)
Definisi penutupan lahan terdapat pada Tabel 2.
(7,89) 88,73
TOTAL
(0,01) (0,54)
Tb
Rw
(0,01)
(0,00)
(0,01) (0,03)
(0,39)
(0,37) (0,21)
(2,39)
0,10
(0,94)
Tr
Bdr
(0,39) 17,44 (0,00)
(0,04) (0,00)
Tm
(0,40)
1,74
Hrs
Pt
0,00
(0,01)
(8,51) 0,17
0,05
0,10
0,16
0,03
Pm
0,25
(1,21)
(0,01)
(0,01)
(0,17)
(3,84)
(3,36)
(3,79)
16,39
0,04
(0,19)
1,08
(0,00)
(0,00)
(0,00)
(0,00)
(0,04)
0,56
0,05
0,01
0,00
0,01
(7,13) (2,51) (11,90) (0,00) 0,07
Br
0,70
2,30
85,63
3,72
B
(0,00) (0,02)
(0,02)
(2,21)
0,56
2,81
0,00
Ht
Hms
(0,00) (0,00)
(0,00)
B
S
(0,73)
(1,84)
Ht
(0,04)
(0,00)
(0,00)
Hrp
0,00
Hmp
0,97
20,83
Hs
Hrp
(0,39)
Hp
Hmp
Hs
Hp
Penutupan lahan
80,92
(0,00)
(0,00)
0,01
(0,00)
(0,00)
1,51
0,10
2,48
24,84
0,22
0,02
0,00
2,27
2,06
7,20
1,77
0,01
36,80
1,63
T
1,08
(0,00)
0,00
(0,00)
0,02
0,01
0,90
(0,11)
0,18
0,08
S
1,31
(0,04)
(0,00)
(0,00)
(0,00)
(0,30)
0,01
(0,00)
(0,00)
(0,01)
(0,01)
1,66
0,00
Hms
Tahun 2016
5,11
(0,02)
(1,01)
(0,00)
(0,06)
(0,06)
(0,01)
(0,04)
6,31
Hrs
Pt
Pc
0,99
0,75
0,02
0,00
33,27
0,68
(0,03) (0,05)
1,33
1,01
1,25
0,00
0,01
4,84
0,04
(1,72)
3,10
0,04
(0,88) (0,54)
19,61
0,18
0,64
0,01
1,15
2,64
0,22
0,02
0,01
0,00
0,00
0,03
0,75
0,22
0,63
0,31
Sw
(0,00) 54,52 27,67 35,65
5,99
(0,00) (0,01) (0,00) (0,00)
(0,00)
(0,02) (0,00) (0,00) (0,00)
(0,01)
51,53
1,24
(0,04) (0,28)
(1,93) (0,28) (0,63)
0,02
0,30
3,13
0,16
0,11
Br
Bdr
0,01
0,26
Tr
Tb
Rw
1,86
182,43
27,41
TOTAL
6,22
(8,12) 0,01 0,00 (0,09)
0,06
0,92
0,11 0,00 11,87
0,00 0,04 12,80
0,00
3,00
0,16
0,00
0,00
1,34 0,01
0,27
2,55
(1,43)
(2,88)
5,54 0,88 319,46
(1,77)
(0,02)
0,00
(0,00)
(0,06)
(1,71)
0,75 0,00 19,09
0,02
0,06 0,00 (3,84)
0,42 0,83 99,73
0,01
(0,00) 0,00
0,00 0,00 (0,00) 0,00
0,02 0,01
0,00 0,00
0,21
0,15
0,91 0,00
0,00
0,00 0,00 (0,00) 0,02 0,00 (24,60)
0,00 0,00
0,01
0,01
0,00
0,03
Tm
Tabel 13. Matriks proyeksi emisi tahun 2011-2016 skala nasional yang berasal dari biomas pada lahan mineral dan lahan gambut akibat perubahan tutupan lahan (juta ton CO2e/tahun).
Tahun 2011
40
BAB 3 EMISI DARI BIOMAS TUMBUHAN
41
Hs
Hrp
(0,00)
(0,00)
(0,08)
Pk
Pm
T
Ht
B
Pk 15,28
0,30
(0,28)
(0,03)
Pc
Sw
Bdr
(0,52)
(0,01)
(0,01)
(0,00)
(0,01) (0,03)
(0,39)
Definisi kelas penutupan lahan diberikan pada Tabel 2.
TOTAL
Rw
Tb
Tr
(2,33) (0,41) (0,23)
0,09
(0,95)
(0,38) 16,87 (0,00) (0,04) (9,05) 87,18
(0,04) (0,00)
Tm
(0,40)
1,48
Hrs
Pt
(0,01)
(8,65)
0,00
Pm
0,19
0,05
0,10
0,15
0,03
(3,43)
(1,18)
(0,01)
(0,01)
(0,18)
(3,83)
(3,70)
(3,72)
14,48
0,04
(0,20)
T
1,50
0,11
2,42
21,58
0,22
0,02
0,00
2,57
2,09
8,55
1,68
0,01
36,19
1,58
0,01
0,88 0,02
0,01
0,00
1,09
78,53
1,05
(0,00) (0,00) (0,00)
(0,00) (0,00)
(0,00)
(0,06)
6,01
Hrs
(0,01)
(0,07)
(0,01) (0,01)
1,60
0,00
Hms
0,02
0,42
2,98
0,15
0,11
Br
Pt
Pc
1,12
0,77
0,02
0,00
32,71
0,66
(0,03) (0,05)
1,49
1,01
1,24
0,00
0,01
4,75
0,03
(0,00)
(0,00)
1,25
4,79
(0,00) (0,02)
(0,00)
(0,30) (0,98)
0,01
(0,00)
(1,89)
2,72
0,04
(0,93) (0,57)
19,49
0,18
0,56
0,01
1,14
2,91
0,21
0,02
0,01
0,00
0,00
0,03
0,85
0,22
0,62
0,31
Sw
47,76 27,47 34,56
6,32
(0,00) (0,01) (0,00) (0,00)
(0,00)
(0,00)
(0,02) (0,00) (0,00) (0,00)
(0,01)
45,01
1,25
(0,04) (0,28)
(0,11) (0,00) (0,07) (2,14) (0,30) (0,69)
0,18
0,08
S
Tahun 2021
(0,00) (0,00) (0,00) (0,04)
(0,05) (0,00)
0,55
0,05
0,01
0,00
0,01
(7,88) (2,73) (12,97) (0,00) 0,07
Br
0,79
2,45
84,20
3,61
(0,00) (0,02)
(0,03)
(2,33)
0,53
2,76
0,00
Hms
(0,00) (0,00)
(1,81)
B
S
(0,73)
Ht
(0,04)
(0,00)
(0,00)
0,92
Hmp
Hrp
20,23 0,00
(0,38)
Hp
Hmp
Hs
Hp
Penutupan lahan Bdr
0,01
0,26
Tr
Tb
Rw
TOTAL
1,80
179,36
26,62
7,01
(8,33) 0,01 0,00 (0,09)
0,07
0,90
0,11 0,00 13,49
0,00 0,04 12,17
0,00
2,95
0,16
0,00
0,00
1,34 0,01
0,26
2,58
(1,44)
(3,17)
5,44 0,80 301,82
(1,73)
(0,02)
0,00
(0,00)
(0,07)
(1,80)
0,74 0,00 18,96
0,02
0,06 0,00 (3,75)
0,39 0,75 87,18
0,01
(0,00) 0,00
0,00 0,00 (0,00) 0,00
0,02 0,01
0,00 0,00
0,21
0,13
0,92 0,00
0,00
0,00 0,00 (0,00) 0,02 0,00 (26,95)
0,00 0,00
0,01
0,01
0,00
0,02
Tm
Tabel 14. Matriks proyeksi emisi tahun 2016-2021 skala nasional yang berasal dari biomas pada lahan mineral dan lahan gambut akibat perubahan tutupan lahan (juta ton CO2e/tahun).
Tahun 2016
Gambar 10. Perkiraan emisi tahunan dan emisi kumulatif pada skenario bussiness as usual (BAU) dari dekomposisi gambut dan biomas tumbuhan karena perubahan tutupan lahan berdasarkan pendekatan historis dan forward looking dengan asumsi bahwa emisi mengalami kenaikan sebanyak 2,5% per tahun atau 12,5% pada periode 2011-2016 dan 25% pada periode 2016-2021 dibandingkan dengan emisi pada pendekatan historis periode yang sama. Forward Looking Biomas Tumbuhan Dekomposisi Gambut
Emisi (juta ton CO2e/tahun)
800 700 600 500 400 300 200 100 -
2006-2011
2011-2016
2016-2021
2006-2011
2006-2016
2006-2021
Emisi kumulatif (juta ton CO2e)
12000 10000 8000 6000 4000 2000 0
42
PEDOMAN TEKNIS PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
3.4 Rencana Aksi Nasional Penurunan emisi gas rumah kaca Berdasarkan besaran emisi seperti tercantum pada Tabel 10 dan Tabel 13 maka emisi dari biomas tumbuhan akibat perubahan tutupan lahan dapat diturunkan melalui penerapan berbagai skenario sebagai berikut. Senario pada contoh ini menggunakan pendekatan BAU historis: 1. Business as usual (BAU) historis: Perubahan tutupan lahan pada periode 2011-2016 dan 2016-2021 berjalan mengikuti trend yang ada pada tahun 2006-2011, dan diasumsi tidak ada perubahan arah kebijaksanaan tentang perubahan tutupan lahan dalam dua periode yang akan datang. 2. Skenario S1: Penangguhan (moratorium) deforestasi hutan primer dan sekunder gambut untuk pertanian dan Hutan tanaman sampai pada dua periode yang akan datang (hingga tahun 2021). 3. S2 = S1 + Penangguhan deforestasi hutan primer dan sekunder pada lahan mineral untuk pengembangan pertanian dan Ht. 4. S3 = S2 + Pemanfaatan belukar gambut untuk menjaga agar laju perluasan perkebunan dan Ht pada lahan gambut mengikuti trend seperti pada periode 2006-2011. 5. S4 = S3 + Pemanfaatan belukar pada lahan mineral untuk menjaga agar laju perluasan perkebunan dan Ht pada lahan mineral mengikuti trend seperti pada periode 2006-2011. Perkiraan jumlah emisi pada berbagai skenario tersebut diperlihatkan pada Gambar 11. Berbagai skenario lainnya dapat dikembangkan untuk mencapai target penurunan emisi GRK. Apabila keempat skenario yang bersifat additive ini sukses diterapkan dengan sempurna, maka diperkirakan akan mampu menurunkan emisi GRK sebanyak 52% dari total net emisi perubahan penggunaan lahan dan lahan gambut pada skenario BAU. Skenario 4 lebih logis karena dengan memanfaatkan belukar, pembangunan pertanian dan Ht tetap dapat dijalankan. Dengan penerapan S4 emisi tidak signifikan meningkat dibandingkan dengan skenario S2 dan S3.
BAB 3 EMISI DARI BIOMAS TUMBUHAN
43
Gambar 11. Perkiraan jumlah emisi CO2e tahunan dari kehilangan biomas tumbuhan dan dekomposisi gambut pada skenario BAU dan beberapa skenario penurunan emisi gas rumah kaca. BAU = Business as usual; S 1 = Penangguhan penggunaan hutan gambut untuk pertanian dan Ht; S2 = S1 + penangguhan penggunaan hutan pada lahan mineral untuk pertanian dan Ht; S3 = S2 + pemanfaatan belukar gambut untuk menjaga trend perluasan lahan pertanian dan Ht agar sama dengan trend 2006-2011, dan S4 = S3 + Pemanfaatan belukar lahan mineral untuk menjaga trend perluasan lahan pertanian dan Ht sama dengan trend 2006-2011. S1
S2
S3
S4
600 500 52%
Emisi (juta tCo2e/tahun)
700
400 300 200 100 2006-2011
2011-2016 Periode
2016-2021
Gambar 12. Memperlihatkan bahwa penangguhan penggunaan hutan gambut dan hutan mineral tanpa mengurangi laju perluasan lahan pertanian dan Ht (Skenario S4) mampu menurunkan emisi GRK secara signifikan. Skenario ini merubah posisi emisi dari biomas tumbuhan dari 340 juta ton CO2e/tahun pada periode 2006-2011 menjadi negatif 8.4 juta ton CO2e/tahun pada periode 2011-2016 dan negatif 1.1 juta ton CO2e/ tahun pada periode 2016-2021. Emisi dari dekomposisi gambut tidak mengalami penurunan dengan skenario S4 ini, malahan meningkat dari 278 juta ton CO2e/tahun pada periode 2006-2011 menjadi 287 juta ton CO2e/tahun pada periode 2011-2016 dan 294 juta ton CO2e/tahun pada periode 2016-2021. Hal ini disebabkan karena luas lahan gambut yang dipengaruhi drainase tidak berkurang, malahan drainase lahan gambut semakin dalam dengan konversi belukar gambut menjadi lahan pertanian dan Ht.
Emisi (juta tCo2e/tahun)
700 Biomas
600
Dekomposisi Gambut
500 400 300 200 100 (100)
2006-2011
2011-2016 Periode
44
PEDOMAN TEKNIS PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
2016-2021
Gambar 12. Emisi pada tahun acuan (2006-2011) dan proyeksi pada periode 2011-2016 serta 2016-2021 pada skenario S4 (Gambar 11) yaitu penangguhan penggunaan hutan gambut dan hutan lahan mineral tanpa mengurangi laju perkembangan lahan pertanian dan hutan tanaman industri melalui pemanfaatan semak belukar, baik pada lahan mineral maupun lahan gambut. Skenario mitigasi yang lebih detil, dengan mengendalikan deforestasi pada kawasan hutan, adalah sebagai berikut, 1. BAU: Business as usual, tanpa intervensi mitigasi. Penggunaan/tutupan lahan pada periode 2011-2016 dan 2016-2021 mengikuti kecenderungan seperti pada periode 2006-2011 2. S1: Pengendalian deforestasi pada semua kawasan Hutan Lindung Gambut (HLG). 3. S2: Pengendalian deforestasi pada semua kawasan HLG dan Hutan Produksi Gambut (HPG) 4. S3: Pengendalian deforestasi pada semua kawasan HLG, HPG dan Hutan Produksi Konversi pada lahan gambut Gambut (HPKG) 5. S4: Pengendalian deforestasi pada HLG+HPG+HPKG dan Hutan Suaka Alam Gambut (HSAG) 6. S5: S4 + pengendalian deforestasi pada Hutan Lindung (HL) di lahan mineral. 7. S6: S5 + pengendalian deforestasi pada Hutan Produksi (HP) di lahan mineral. 8. S7: S6 + pengendalian deforestasi pada Hutan Produksi Konservasi (HPK) di lahan mineral. Perkiraan dampak dari penerapan S1 sampai S7 terhadap penurunan emisi CO2 diperlihatkan pada Gambar 13. Untuk semua skenario, penurunan emisi pada umumnya berasal dari pengurangan emisi dari biomas, bukan dari dekomposisi gambut. Penurunan emisi dari dekomposisi gambut mungkin bisa dicapai bila dilakukan usaha penggenangan kembali (rewetting) lahan gambut (IPCC 2013) namun pendekatan ini relatif sulit diterapkan karena pada umumnya keuntungan ekonomi gambut yang didrainase jauh lebih tinggi dari gambut dalam keadaan tergenang. Dari Gambar 13 terlihat bahwa apabila 7 skenario ini dipenuhi secara sempurna, maka diperkirakan akan terjadi penurunan emisi setinggi 30% dibandingkan BAU.
BAB 3 EMISI DARI BIOMAS TUMBUHAN
45
Gambar 13. Emisi CO2 dari perubahan tutupan lahan pada lahan mineral dan lahan gambut serta dekomposisi tanah gambut pada berbagai skenario pengendalian deforestasi di kawasan hutan pada pada periode 20162021.
Dekomposisi Gambut
30%
Biomas Tumbuhan
218 272
116
242 272
100
272
246 272
200
147
256 274
300
272
280 274
400
284
500
274
Emisi (juta ton CO2e/tahun)
600
BAUS
1S
2S
3S
4S
5S
6S
7
Skenario
3.5 Manfaat tambahan dari aksi penurunan emisi gas rumah kaca Pada umumnya aksi mitigasi emisi GRK tidak hanya bermanfaat untuk menurunkan emisi GRK, tetapi juga memberikan berbagai manfaat tambahan (co-benefits). Apabila hutan dipertahankan sebagai hutan, selain dapat menurunkan emisi juga akan mengurangi risiko kebakaran (terutama untuk hutan primer), mempertahankan keanekaragaman hayati serta menjaga kestabilan tata air suatu daerah aliran sungai (DAS) atau suatu lansekap. Deforestasi menjadi perkebunan dan Ht pada umumnya akan meningkatkan emisi GRK dan menurunkan keanekaragaman hayati dan kestabilan tata air, namun perkebunan dan pertanian memberikan manfaat ekonomi pada tingkat sedang sampai tinggi. Pembalakan hutan dan penelantarannya menjadi semak belukar yang tidak produktif, selain meningkatkan emisi GRK juga akan meningkatkan risiko kebakaran lahan, menurunkan keanekaragaman hayati dan menurunkan kestabilan tata air DAS. Manfaat ekonomi dan sosial dari lahan semak-belukar sangat rendah, bahkan bisa negatif karena tingginya ancaman bahaya kebakaran. Dengan demikian aksi rehabilitasi lahan semak belukar
46
PEDOMAN TEKNIS PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
menjadi lahan perkebunan merupakan langkah mitigasi yang disarankan dalam RAN GRK karena selain memberikan manfaat lingkungan juga akan memberikan manfaat ekonomi. Selain itu, sebisa mungkin lahan hutan dipertahankan sebagai hutan dan pembangunan diprioritaskan pada lahan dengan cadangan karbon rendah.
BAB 3 EMISI DARI BIOMAS TUMBUHAN
47
48
PEDOMAN TEKNIS PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
BAB 4
EMISI DARI TANAH GAMBUT
Selain emisi dari biomas tumbuhan di atas permukaan tanah yang sudah dibahas pada Bab III, lahan gambut yang didrainase merupakan sumber emisi CO2 karena proses dekomposisi gambut oleh mikroba tanah dan kebakaran gambut (IPCC 2013; Agus et al. 2011).
4.1 Emisi karena dekomposisi gambut Dalam keadaan berhutan, lahan gambut merupakan penyimpan karbon terpenting, namun apabila lahan gambut didrainase, maka karbon yang tersimpan di dalamnya akan mudah dirombak oleh mikro organisme dan teremisi dalam bentuk CO2 (Agus dan Subiksa, 2008; Agus et al. 2011). Emisi CO2 dari lahan gambut meningkat dengan semakin dalamnya saluran drainase (Hooijer et al. 2010; Kalsum et al. 2013; Mezbahuddin et al. 2013). Akan tetapi IPCC (2013) dan Hergoalc’h dan Verchot (2013) tidak secara langsung menghubungkan antara laju emisi dengan kedalaman muka air tanah, melainkan dengan sistem penggunaan lahan. Pada Panduan Teknis ini digunakan pendekatan yang menghubungkan emisi dengan kedalaman muka air tanah rata-rata (kolom 3, Tabel 15). Tabel 15 juga memperlihatkan beberapa data acuan emisi gambut dari beberapa literatur sebagai pembanding. Terlihat perbedaan data acuan faktor emisi yang cukup besar antara satu sumber dengan yang lainnya. Faktor emisi yang digunakan untuk RAN-GRK (kolom 4, Tabel 15) setara dengan angka acuan IPCC (2013) untuk sistem semak belukar, perkebunan, hutan rawa sekunder dan belukar rawa, tetapi jauh lebih rendah dari angka acuan IPCC (2013) untuk penggunaan lahan
49
Ht, tanah terbuka, pertanian lahan kering, pertanian campuran serta sawah. Semak belukar, hutan rawa sekunder dan perkebunan merupakan sistem penggunaan lahan yang dominan pada lahan gambut dan angka yang digunakan oleh RAN-GRK untuk lahan ini setara dengan angka acuan IPCC (2013). Akan tetapi IPCC (2013) tidak memberikan faktor emisi untuk seluruh kelas tutupan lahan gambut yang digunakan dalam pedoman ini (21 kelas penutupan lahan) sehingga persamaan Hooijer et al. (2006 dan 2010) yang dimodifikasi dianggap lebih akomodatif untuk tujuan RANGRK. Untuk perkembangan selanjutnya dari RAN GRK referensi pembanding ini (IPCC 2013; Hergoalc’h dan Verchot 2013 dan hasil penelitian lain) dapat dipertimbangkan. Tabel 15. Faktor emisi dari lahan gambut yang didrainase dan perbandingannya dengan angka acuan dari berbagai sumber lainnya. Kelas No Penutupan lahan
1 1 2 3 4
2 Hutan Lahan Kering Primer Hutan Lahan Kering Sekunder Hutan Mangrove Primer Hutan Rawa Primer
Emisi (ton CO2 e/(ha . tahun))
RANGRK1)
Agus et al. (2013)2)
Hergoalc’h & Verchot (2013)
IPCC (2013)
3
4
5
6
7
0
n.a.
n.a.
n.a.
n.a.
30
n.a.
n.a.
n.a.
n.a.
0
n.a.
n.a.
n.a.
n.a.
0
n.a.
n.a.
n.a.
n.a.
5
Hutan Tanaman
50
32
37
71,8±12,7
73
6
Semak Belukar
30
19
22
41,0±6,7
19
7
Perkebunan
60
38
43
29,9±10,6
403)
8
Permukiman
70
45
50
n.a.
n.a.
9
Tanah Terbuka
30
19
22
n.a.
51
9
19
22
41,0±6,7
35
n.a.
n.a.
n.a.
n.a.
Savana/Padang 10 Rumput
3)
11
Hutan Mangrove Sekunder
30
12
Hutan Rawa Sekunder
30
19
22
19,4±9,4
19
30
19
22
41,0±6,7
19
13 Belukar Rawa
50
Asumsi kedalaman drainase (cm)
PEDOMAN TEKNIS PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
Kelas No Penutupan lahan
Asumsi kedalaman drainase (cm)
Pertanian Lahan Kering Pertanian Lahan 15 Kering Campur (Agroforest) 14
Emisi (ton CO2 e/(ha . tahun))
30
19
22
41,0±6,7
51
50
32
37
41,0±6,7
51
16 Sawah
9
6
7
25,6±11,5
34
17 Tambak
0
n.a.
n.a.
n.a.
n.a.
Bandara/ 18 Pelabuhan
0
n.a.
n.a.
n.a.
n.a.
19 Transmigrasi
71
45
50
n.a.
n.a.
20 Pertambangan
100
64
72
n.a.
n.a.
0
0
0
n.a.
n.a.
21 Rawa 1)
Emisi (ton CO2/ha/tahun) = 0.7 *0.91 * cm kedalaman drainase (Hooijer et al. 2012). Faktor 0.7 digunakan untuk memisahkan sumbangan respirasi akar sekitar 30% (Agus et al. 2010).
2) Emisi (ton CO2/ha/tahun) = 0.81 *0.91 * cm kedalaman drainase (Hooijer et al. 2012). Angka 0.81 digunakan untuk memisahkan sumbangan respirasi akar sekitar 19% berdasarkan Jauhiainen et al. (2012) untuk perkebunan Acacia. 3)
Perkebunan kelapa sawit. Emisi dari perkebunan sagu sekitar 8.6±5.3 ton CO2 ha/tahun menurut Hergoalc’h and Verchot (2013) dan sekitar 5.5 ton CO2 /ha/tahun menurut IPCC (2013). n.a. = tidak berlaku atau tidak tersedia.
4.1.1. Data Aktivitas Data aktivitas yang digunakan dalam perhitungan emisi dari dekomposisi gambut sama dengan data aktivitas yang digunakan dalam pengukuran emisi dari biomas di atas permukaan tanah (misalnya Tabel 4 dan Tabel 12).
4.1.2. Faktor emisi dari dekomposisi gambut Faktor emisi pada Tabel 15, dimodifikasi dalam bentuk matriks seperti pada Tabel 16 sehingga matriks data aktivitas mempunyai dimensi yang sama dengan matriks faktor emisi yaitu 21 kolom x 21 baris. Angka pada diagonal Tabel 16 adalah faktor emisi untuk lahan yang tidak berubah penggunaannya selama periode perhitungan. Misalnya, faktor emisi lahan perkebunan yang tetap sebagai lahan perkebunan adalah 38 ton CO2e/(ha.tahun). Faktor emisi di luar diagonal adalah faktor emisi dari lahan dengan kelas tutupan tertentu yang berubah ke kelas tutupan lainnya pada suatu periode analisis. Dengan asumsi bahwa luas lahan yang mengalami
BAB 4 EMISI DARI TANAH GAMBUT
51
perubahan terbagi secara merata dalam periode analisis, maka faktor emisi lahan tersebut adalah rata-rata dari faktor emisi penutupan lahan awal dan penutupan lahan berikutnya. Sebagai contoh, faktor emisi lahan semak belukar rawa yang berubah menjadi lahan perkebunan, maka faktor emisinya adalah 28.5 ton CO2e/(ha.tahun). Angka ini berasal dari rata-rata faktor emisi belukar rawa setinggi 19 ton CO2e/(ha.tahun) dan perkebunan setinggi 38 ton CO2e/(ha.tahun).
4.1.3. Emisi masa lalu (2006-2011) dan emisi ke depan (2011-2020) Emisi historis dekomposisi gambut Indonesia tahun 2006-2011 (Tabel 17) berjumlah sekitar 254 juta ton CO2e/tahun. Hasil tersebut didapatkan dari perkalian setiap angka pada “cell” dengan posisi yang sama antara data aktivitas perubahan penggunaan lahan (Tabel 4) dengan faktor emisi gambut (Tabel 16).
52
PEDOMAN TEKNIS PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
BAB 4 EMISI DARI TANAH GAMBUT
53
Tr 22,5 32 22,5 22,5 38,5 32 41,5 45 32 25,5 32 32 32 32 38,5 25,5 22,5 22,5 45 54,5 22,5
Bdr 0 9,5 0 0 16 9,5 19 22,5 9,5 3 9,5 9,5 9,5 9,5 16 3 0 0 22,5 32 0
Rw
32 0 41,5 9,5 32 0 32 0 48 16 41,5 9,5 51 19 54,5 22,5 41,5 9,5 35 3 41,5 9,5 41,5 9,5 41,5 9,5 41,5 9,5 48 16 35 3 32 0 32 0 54,5 22,5 64 32 32 0
Tb
(angka pada diagonal)
Catatan: Penggunaan lahan Hutan Primer (Hp), Hutan Sekunder (Hs), Hutan Mangrove Primer (Hmp) dan Hutan Mangrove Sekunder (Hms) yang merupakan lahan mineral diberikan faktor emisi gambut yang sama dengan Hutan Rawa Primer (Hrp) dan Hutan Rawa Sekunder (Hrs) untuk menantisipasi kesalahan penghitungan emisi jika terjadi kesalahan dalam interpretasi citra tutupan lahan gambut. Definisi kelas penutupan lahan diberikan pada Tabel 2.
Tabel 16. Matriks faktor emisi dari dekomposisi gambut (ton CO2e/(ha . tahun)) pada berbagai kelas penutupan dan perubahan penutupan lahan (angka di luar diagonal) lahan gambut. Penutupan Hp Hs Hmp Hrp Ht B Pk Pm T S Hms Hrs Br Pt Pc Sw Tm lahan Hp 0 9,5 0 0 16 9,5 19 22,5 9,5 3 9,5 9,5 9,5 9,5 16 3 0 Hs 9,5 19 9,5 9,5 25,5 19 28,5 32 19 12,5 19 19 19 19 25,5 12,5 9,5 Hmp 0 9,5 0 0 16 9,5 19 22,5 9,5 3 9,5 9,5 9,5 9,5 16 3 0 Hrp 0 9,5 0 0 16 9,5 19 22,5 9,5 3 9,5 9,5 9,5 9,5 16 3 0 Ht 16 25,5 16 16 32 25,5 35 38,5 25,5 19 25,5 25,5 25,5 25,5 32 19 16 B 9,5 19 9,5 9,5 25,5 19 28,5 32 19 12,5 19 19 19 19 25,5 12,5 9,5 Pk 19 28,5 19 19 35 28,5 38 41,5 28,5 22 28,5 28,5 28,5 28,5 35 22 19 Pm 22,5 32 22,5 22,5 38,5 32 41,5 45 32 25,5 32 32 32 32 38,5 25,5 22,5 T 9,5 19 9,5 9,5 25,5 19 28,5 32 19 12,5 19 19 19 19 25,5 12,5 9,5 S 3 12,5 3 3 19 12,5 22 25,5 12,5 6 12,5 12,5 12,5 12,5 19 6 3 Hms 9,5 19 9,5 9,5 25,5 19 28,5 32 19 12,5 19 19 19 19 25,5 12,5 9,5 Hrs 9,5 19 9,5 9,5 25,5 19 28,5 32 19 12,5 19 19 19 19 25,5 12,5 9,5 Br 9,5 19 9,5 9,5 25,5 19 28,5 32 19 12,5 19 19 19 19 25,5 12,5 9,5 Pt 9,5 19 9,5 9,5 25,5 19 28,5 32 19 12,5 19 19 19 19 25,5 12,5 9,5 Pc 16 25,5 16 16 32 25,5 35 38,5 25,5 19 25,5 25,5 25,5 25,5 32 19 16 Sw 3 12,5 3 3 19 12,5 22 25,5 12,5 6 12,5 12,5 12,5 12,5 19 6 3 Tm 0 9,5 0 0 16 9,5 19 22,5 9,5 3 9,5 9,5 9,5 9,5 16 3 0 Bdr 0 9,5 0 0 16 9,5 19 22,5 9,5 3 9,5 9,5 9,5 9,5 16 3 0 Tr 22,5 32 22,5 22,5 38,5 32 41,5 45 32 25,5 32 32 32 32 38,5 25,5 22,5 Tb 32 41,5 32 32 48 41,5 51 54,5 41,5 35 41,5 41,5 41,5 41,5 48 35 32 Rw 0 9,5 0 0 16 9,5 19 22,5 9,5 3 9,5 9,5 9,5 9,5 16 3 0
Tahun 2011 Penutupan lahan Hp Hs Hmp Hrp Ht B Pk Pm T S Hms Hrs Br Pt Pc Sw Tm Bdr Tr Tb Rw TOTAL Hp 0,15 0,15 Hs 0,06 5,97 0,09 0,10 0,22 0,07 0,01 0,01 0,10 6,63 Hmp 0,04 0,04 Hrp 0,14 0,12 0,76 0,12 1,14 Ht 3,86 0,20 0,94 0,01 0,15 0,03 5,20 B 0,22 5,64 0,45 0,09 0,02 0,03 0,10 0,01 6,55 Pk 0,47 0,08 46,61 0,17 0,02 0,01 0,04 47,40 Pm 3,00 3,00 T 1,67 0,48 1,92 5,99 0,81 0,03 0,25 11,16 S 0,97 0,97 Hms 1,65 0,01 1,67 Hrs 0,77 3,83 3,64 77,26 8,16 0,09 0,62 0,02 94,39 Br 0,02 2,35 4,80 1,65 1,69 0,16 43,03 0,07 0,47 0,11 54,36 Pt 0,04 0,01 4,03 0,00 0,01 4,09 Pc 0,03 0,29 0,01 0,15 0,01 0,66 12,53 0,01 13,68 Sw 0,00 2,35 2,35 Tm 0,00 Bdr 0,00 Tr 0,22 0,22 Tb 0,48 0,48 Rw 0,19 0,02 0,01 0,22 TOTAL 0,06 6,13 0,00 0,00 9,65 11,31 55,18 3,02 12,88 0,97 1,69 78,21 52,33 4,92 14,15 2,47 0,00 0,00 0,22 0,50 0,02 253,72
Tabel 17. Matriks emisi base year (tahun 2006-2011) skala nasional yang berasal dari dekomposisi gambut akibat penggunaan dan perubahan penggunaan lahan gambut (juta ton CO2e/tahun).
PEDOMAN TEKNIS PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
Definisi penutupan lahan terdapat pada Tabel 2. Emisi dari masing-masing kelas penutupan dan perubahan penutupan lahan adalah perkalian dari masing masing cell dengan kelas penutupan dan perubahan penutupan lahan pada Tabel 4 dengan faktor emisi pada kelas penutupan dan perubahan penutupan lahan yang sama yang terdapat dan Tabel 16.
Tahun 2006
54
Perkiraan emisi kumulatif dari dekomposisi gambut selama rentang waktu 2006-2011, 2006-2016 dan 20062021 berturut-turut adalah sebesar 1.269, 2.588 dan 3.955 juta ton CO2e (Gambar 14). Emisi kumulatif dan penurunan emisi kumulatif digunakan dalam perdagangan karbon, untuk menaksir berapa jumlah penurunan emisi yang layak dihargai atau diperdagangkan. Data emisi rata-rata tahunan digunakan untuk melihat fluktuasi dan kecenderungan jumlah emisi, apakah mengalami peningkatan atau penurunan.
3955
2588
4500 4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0
1269
Emisi (juta ton CO2-e)
Gambar 14. Emisi CO2e kumulatif pada periode 2006-2011, 2006-2016 dan 2006 -2021 CO2 dari dekomposisi gambut.
2006-2011
2006-2016
2006-2021
Periode
4.2 Emisi dari kebakaran gambut (below ground) Kebakaran gambut didefinisikan sebagai peristiwa kebakaran yang menghanguskan lapisan tanah gambut, bukan hanya biomas dan nekromas di atas permukaan tanah gambut. Tingkat ketidakyakinan (uncertainty) perkiraan emisi dari kebakaran gambut sangat tinggi. Hal ini disebabkan karena sulitnya membangun data aktivitas serta penetapan faktor emisi.
IPCC (2013) memberikan rumus penghitungan emisi CO2-C dan non-CO2 dari kebakaran gambut sebagai
berikut:
BAB 4 EMISI DARI TANAH GAMBUT
55
Ekg = A * Mb * Cf * Gef * 10-3
[1]
Ekg = jumlah emisi CO2 atau non-CO2 dari kebakaran, ton A = total areal yang terbakar per tahun, ha M = massa bahan yang mudah terbakar B (ton/ha) (angka acuan untuk Tier 1 diberikan pada Tabel 2.6, IPCC 2013) Cf = Faktor combustion, yaitu massa gambut yang terbakar dibagi massa bahan yang mudah terbakar, diasumsi sama dengan 1.0 (Yokelson et al., 1997). Gef = Faktor emisi gas (g/kg bahan gambut kering (angka acuan untuk Tier 1 diberikan pada Tabel 2.7, IPCC 2013)
4.2.1 Data Aktivitas Mengacu pada Persaman [1] penetapan Mb cukup sulit dan data ini bisa didekati dengan data perkiraan kedalaman gambut yang terbakar serta berat isi (BD, bulk density) gambut. Dengan demikian peubah utama data aktivitas kebakaran gambut adalah luas dan kedalaman lahan gambut yang terbakar sedangkan BD dapat ditaksir sekitar 0,126 ton/m3 (Agus et al. 2011). Untuk mengestimasi luasan area gambut yang terbakar, salah satu opsi data yang bisa dipakai adalah dataset titik api (hotspot) MODIS yang disediakan untuk publik oleh Earth Observation System (https://earthdata.nasa.gov/ data/near-real-time-data/faq/firms). Data MODIS tersedia setiap hari dengan resolusi 250, 500 dan 1000 m. Untuk akses publik data tersedia sekali dalam delapan hari. Data ini perlu dikombinasikan dengan pengecekan lapangan apakah di daerah hotspot benar terjadi kebakaran atau tidak. Sebaiknya analisis data dilakukan secara konservatif (kriteria adanya kebakaran harus sangat tinggi untuk bisa dilabelkan sebagai kejadian kebakaran), sehingga kecenderungan terjadinya under estimate lebih besar daripada over estimate. Sebaran titik-titik api dalam selang waktu yang cukup sempit sangat berguna dalam mengestimasi data aktivitas untuk kebakaran gambut. Diperlukan pula analisis spatial yang intensif, antara lain berupa tumpang-susun data titik api dengan data lain, misalnya kawasan hutan, area konsesi dan kepadatan penduduk. Selain itu diperlukan pemodelan untuk mencari hubungan antara titik api dengan kejadian kebakaran.
56
PEDOMAN TEKNIS PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
Pengecekan lapangan sangat krusial untuk dilakukan, akan tetapi karena biaya yang mahal serta tingkat kesulitan dan resiko yang tinggi, data pengecekan lapangan sangat jarang tersedia. Perkiraan kedalaman gambut yang terbakar juga merupakan tantangan yang berat. Data kedalaman gambut terbakar didominasi oleh sejumlah studi di Kalimantan Tengah pada tahun-tahun El Niño, yang keadaannya sangat berbeda dengan tahun normal dan tahun basah. Berbagai studi memperlihatkan data perkiraan yang sangat bervariasi. Perkiraan kedalaman gambut yang terbakar di Kalimantan Tengah berkisar antara 50 cm pada tahun 1997 (Page et al. 2002), 39 cm pada tahun 2002 (Usup et al. 2004) dan 33 cm pada tahun 2006 (Balhorn et al. 2009). Perkiraan ini harus dimaknai dengan hati-hati, karena berlaku sangat spesifik untuk lokasi dan waktu monitoringnya, sehingga sulit dijadikan acuan untuk kedalaman kebakaran pada tahun dan tempat yang lain. Kelembaban gambut dan kedalaman muka air tanah sangat menentukan kedalaman gambut yang terbakar.
Dari uraian pada Bagian 4.2.1 ini terlihat bahwa data luas dan kedalaman gambut yang terbakar sulit tersedia sehingga analisis tingkat nasional dan sub-nasional lebih banyak berupa asumsi. Estimasi data aktivitas kebakaran gambut akan menjadi lebih baik bila di kemudian hari tersedia teknologi citra satelit dengan resolusi spatial penentuan elevasi permukaan gambut yang lebih tinggi (yang dapat menaksir kedalaman gambut yang terbakar) dan dengan resolusi temporal sebaik MODIS.
4.2.2 Faktor emisi dari kebakaran gambut Christian et al. (2003) memperkirakan masa gambut yang terbakar dari deforestasi rata-rata 154.2±60.4 t/ha dan kebakaran gambut sejumlah tersebut mengemisikan sebanyak 262.6±117.1 ton CO2e/ha. IPCC (2013) memperkirakan perkiraan masa gambut kering kering yang terbakar sebanyak 353 dan 155 ton/ha berturut-turut untuk kebakaran liar (wild fire) dan kebakaran terkendali (controlled fire) dan faktor emisi 464 g CO2-C/kg masa gambut kering. Dengan demikian emisi dari kedua bentuk kebakaran ini berturut-turut adalah sekitar 601 dan 264 t CO2e/ha untuk kebakaran liar dan kebakaran terkendali.
BAB 4 EMISI DARI TANAH GAMBUT
57
Di lapangan sulit membedakan antara kebakaran liar dan kebakaran terkendali, namun berbagai peristiwa kebakaran sering terjadi pada lahan yang mengalami perubahan penggunaan, seperti untuk persiapan perkebunan. Dengan demikinan kebanyakan kebakaran adalah merupakan bagian dari pengelolaan (managed atau controlled fire). Untuk itu bila tidak diketahui secara pasti apakah kebakaran merupakan kebakaran liar atau kebakaran terkendali disarankan untuk menggunakan angka 264 faktor emisi ton CO2e/ha. Angka ini serupa dengan angka perkiraan dari Christian et al. (2003) sebanyak 262,6 ton CO2e/ha.
4.2.3 Emisi masa lalu (2006-2011) dan emisi ke depan (2011-2020) Berbagai pendekatan telah dilakukan untuk menaksir jumlah emisi dari kebakaran gambut. Perkiraan emisi kebakaran gambut yang digunakan di dalam Second National Communication (MoE, 2012) mengacu kepada van der Werf et al. (2008) yang mengolah data citra satelit hot spot tahun 2000 sampai 2006. Rata-rata emisi dari kebakaran gambut pada enam tahun peristiwa kebakaran lahan gambut adalah 128 juta ton C atau ekivalen dengan 470 juta ton CO2/tahun. Kalimantan menjadi penyumbang terbesar emisi seperti terlihat pada Gambar 15. Van der Werf (2008) tidak membedakan antara emisi dari biomas tumbuhan dan emisi dari dekomposisi gambut. Angka perkiraan didapatkan dari interpretasi citra satelit tentang hotspot di lahan gambut dan emisi ditaksir berdasarkan kenaikan konsentrasi gas CO yang seterusnya direinterpretasi ke konsentrasi CO2e. Dengan demikian angka yang ditampilkan oleh van der Werf et al. (2008) merupakan campuran dari emisi kebakaran biomas dan emisi kebakalan lapisan gambut sehingga bisa menyebabkan perhitungan ganda (double counting) pada emisi biomas. Analisis van der Werf et al. (2008) juga memperlihatkan kecenderungan bahwa jumlah emisi dari kebakaran lahan gambut meningkat dari tahun ke tahun (Gambar
58
PEDOMAN TEKNIS PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
16). Musim kemarau panjang menjadi faktor penentu utama kebakatan lahan, namun luas lahan yang dibuka, dan pengelolaan pembersihan lahan yang sebagiannya diikuti oleh pembakaran, menentukan jumlah emisi dari kebakaran gambut. Secara historis api telah digunakan sebagai alat manajemen dalam mempersiapkan lahan untuk perkebunan, terlepas dari adanya peraturan yang melarang penggunaannya (Someshwar et al. 2011). Agus et al. (2012; 2013) menyarankan untuk menggunakan angka yang relatif konservatif untuk memperkirakan kedalaman gambut yang terbakar, yaitu 15 cm untuk hutan rawa yang terbakar dan 5 cm untuk kebakaran semak belukar di lahan rawa. Angka ini berdasarkan asumsi bahwa kebakaran hutan gambut lebih banyak bahan bakarnya (fuel) dan menyebabkan kebakaran yang lebih dalam dibandingkan dengan kebakaran semak belukar yang sedikit bahan bakarnya. Agus et al. (2011; 2013) juga mengasumsikan bahwa tidak ada pembakaran dan kebakaran gambut selama lahan dibudidayakan, walaupun sebenarnya lahan perkebunan atau lahan pertanian masih bisa terbakar. Perhitungan faktor emisi untuk kebakaran gambut didasarkan pada asumsi kerapatan karbon rata-rata 0,06 ton/m (Agus et al. 2011; Page et al. 2002) sehingga faktor emisi menjadi 330 dan 110 ton CO2e/ha berturut-turut untuk kebakaran hutan gambut dan belukar gambut. Analisis yang dilakukan oleh Indonesian Forest Carbon Assembly (IFCA Report; MoF, 2008) dengan menggunakan data hotspot dan asumsi kedalaman kebakaran gambut sekitar 40 cm pada areal yang terbakar, memperkirakan emisi kebakaran gambut seluruh Indonesia sekitar 6.4 juta ton CO2/tahun. Angka ini jauh lebih rendah dari perkiraan lainnya (misalnya van der Werf et al. 2008; Hooijer et al. 2002). Untuk pedoman versi yang sekarang ini, analisis hotspot tahun 2006-2011 untuk RAN GRK tidak tersedia, sehingga emisi dari kabakaran gambut tidak dimasukkan dalam perhitungan.
BAB 4 EMISI DARI TANAH GAMBUT
59
Gambar 15. Perkiraan emisi rata-rata tahun 2000 sampai 2006 dari kebakaran gambut di pulau-pulau utama di Indonesia (dalam juta ton CO2e/tahun; %) (van der Werf et al. 2008). Lainnya (Papua); 18.35; 4%
Sumatera; 179.83; 38% Kalimantan; 271.58; 58%
Gambar 16. Variasi tahunan dan kecenderungan emisi CO2 dari kebakaran gambut Indonesia tahun 2000 sampai 2006 (diolah dari van der Werf et al. 2008).
Emisi (juta ton CO2-e)
1200 y = 110,36x- 220587 R² = 0,5107
1000 800 600 400 200 0 2000
2001
2002
2003 Tahun
60
PEDOMAN TEKNIS PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
2004
2005
2006
4.3 RAN Penurunan emisi dari oksidasi dan kebakaran gambut Emisi karena dekomposisi dan kebakaran gambut dapat dikurangi dengan: a. Mengendalikan penggunaan hutan gambut untuk berbagai kepentingan ekonomi. Sebisa mungkin lahan yang digunakan adalah lahan mineral, terutama lahan yang ditutupi oleh semak belukar. b. Intensifikasi sistem pertanian dan Ht yang ada sehingga laju deforestasi dapat dikurangi. c. Untuk lahan yang sudah digunakan untuk pertanian existing perlu diusahakan agar kedalaman muka air tanah sedangkal mungkin sehingga emisi menjadi kecil, tanpa mengurangi produktivitas tanaman. d. Berbagai perangkat hukum melarang keras praktek pembakaran hutan, walaupun praktek tersebut tetap ada. Penegakan hukum diharapkan akan menurunkan emisi dari kebakaran terkendali (controlled fire). e. Gerakan fire watch juga akan dapat mengendalikan kebakaran liar. f. Dampak kebakaran terkendali dan kebakaran liar juga dapat dikurangi dengan mempertahankan muka air tanah agar tidak terlalu dalam. Risiko kebakaran gambut akan meningkat apabila kedalaman muka air tanah >30 cm.
4.4 Manfat tambahan dari aksi mitigasi pada lahan gambut Mitigasi emisi gambut baik karena dekomposisi maupun kebakaran sangat penting karena akan meningkatkan masa penggunaan lahan gambut. Lahan gambut yang tinggi laju emisinya akan mengalami penyusutan (subsidence) secara cepat sehingga akan mudah tergenang dan kebanjiran. Pengendalian kebakaran juga sangat penting untuk menghindari efek negatif dari asap, baik terhadap kesehatan, maupun terhadap lalu lintas darat, laut dan udara.
BAB 4 EMISI DARI TANAH GAMBUT
61
62
PEDOMAN TEKNIS PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
BAB 5
EMISI METANA DARI LAHAN SAWAH
Sawah berperan penting dalam penyediaan beras sebagai bahan pangan pokok. Seiring dengan pertambahan jumlah penduduk, pemanfaatan lahan sawah untuk pertumbuhan padi dan palawija meningkat untuk memenuhi kebutuhan pangan. Budidaya tanaman padi intensif di lahan sawah dengan teknologi Revolusi Hijau dituduh kurang ramah lingkungan karena penggunaan pupuk dengan takaran tinggi dan penggunaan pestisida yang berlebihan. Selain itu, pertanaman padi sawah dipandang sebagai salah satu sumber emisi GRK, terutama metana (CH4), yang berpotensi menyebabkan pemanasan bumi secara global (Neue dan Sass, 1994). Lahan sawah di Indonesia umumnya dikelola dalam keadaan tergenang air. Petani menginginkan air menggenangi tanaman padi karena dapat mengurangi pertumbuhan gulma yang kerap menguras biaya dan tenaga petani dalam mengelola sawah. Metana adalah salah satu GRK yang dihasilkan melalui dekomposisi anaerobik bahan organik. Untuk mengurai bahan organik menjadi CH4 dibutuhkan kondisi redoks potential dibawah -100 mV dan pH berkisar antara 6-7. Lahan sawah tergenang adalah kondisi ideal untuk proses ini. Selain dekomposisi bahan organik, sumber pelepasan CH4 lainnya adalah fermentasi enterik dari pencernaan hewan ternak, proses pembakaran bahan organik yang tidak sempurna (incomplete combustion), serta akibat proses eksplorasi pertambangan minyak dan gas. Berbeda dengan CO2, rosot CH4 yang selama ini dikenal hanyalah melalui dua proses yaitu dikonsumsi oleh bakteri metanotrof dan reaksi dengan ion radikal di atmosfir bumi. CH4 dapat bertahan selama 12 tahun di atmosfir sedangkan nilai GWP-nya adalah 21 kali
63
lebih besar dari CO2. Konsentrasinya di atmosfir saat ini mencapai 1852 ppbv (part per billion volume). Laju produksi dan emisi CH4 akibat proses dekomposisi bahan organik di lahan sawah dapat diukur dengan peralatan gas kromatografi dan boks penangkap gas (closed chamber) yang beroperasi secara otomatik. Selama periode 1998-2004, Balai Penelitian Lingkungan Pertanian (saat itu adalah Loka Penelitian Pencemaran Lingkungan Pertanian) di Jakenan menginventarisasi emisi CH4 di sentra-sentra produksi padi di Jawa Tengah dan menemukan bahwa emisi CH4 di beberapa daerah bervariasi, tertinggi 798 kg CH4/(ha . musim) dan terendah 107 kg CH4/(ha . musim). Variasi emisi CH4 tersebut tidak hanya dipengaruhi secara signifikan oleh jenis tanah, tetapi juga oleh cara pengelolaan tanah dan tanaman. Penelitian di Jakenan, Pati dengan jenis tanah Planosol menurut World Reference Base for Soils atau Alfisols atau Inceptisols menurut US Soil Taxonomy (Morand, 2010) menunjukkan bahwa laju emisi CH4 dapat ditekan dengan penanaman varietas padi, penggunaan pupuk anorganik, pengaturan air irigasi dan pemakaian herbisida. Laju emisi metan dari tanah sawah ditentukan oleh kombinasi berbagai faktor alami seperti redoks potensial tanah (Eh), tingkat keasaman (pH) tanah, kondisi iklim, suhu udara (Watanabe et al., 2005; Huang et al., 2005), sumber karbon, karakteristik tanah, serta sistem pengelolaan air dan budidaya tanaman padi sawah yang diterapkan (Susilokarti, 2007). Gas metana mempunyai daya pemanas global (GWP) sekitar 21 kali gas CO2, maksudnya satu ton CH4 mempunyai efek pemanasan global setara dengan 23 ton CO2. Untuk itu, dalam perhitungan emisi metana perlu dikonversi ke CO2 ekivalen (CO2e) dengan menggunakan faktor pengali 23.
5.1 Data Aktivitas Data aktivitas yang terpenting dalam menentukan emisi CH4 dari lahan sawah adalah luas lahan sawah atau luas panen lahan sawah. Pembedaan data luas sawah beririgasi teknis dan non teknis serta sawah tadah hujan
64
PEDOMAN TEKNIS PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
akan dapat memberikan perkiraan jumlah musim tanam dan lama penggenangan lahan sawah dalam satu tahun. Selanjutnya sistem pengelolaan air, misalnya irigasi kontinu dan irigasi terputus (intermitten) juga mempengaruhi lama penggenangan.
Setyanto et al. (2002) dan Wiharjaka et al. (1999) berpendapat bahwa berbagai varietas padi mempengaruhi jumlah CH4 yang diemisikan. Dengan demikian penggunaan data aktivitas yang membedakan luas lahan sawah yang ditanami dengan berbagai varietas tersebut akan dapat meningkatkan ketepatan perhitungan. Data luas panen lahan padi sawah nasional dan proyeksinya sampai tahun 2021 disajikan pada Tabel 18 dan Gambar 17. Jika data aktivitias yang tersedia adalah luas panen, maka dalam perhitungan emisi di lahan sawah, tidak perlu mengalikannya dengan jumlah musim tanam dalam satu tahun. Akan tetapi jika data aktivitas yang tersedia adalah luas baku lahan sawah, maka perhitungan harus dikalikan dengan jumlah musim tanam dalam satu tahun, karena faktor emisi yang tersedia adalah emisi dalam 1 musim tanam.
5.2 Faktor emisi metana dari lahan sawah Angka acuan (default) emisi lahan sawah yang diberikan IPCC (2006) adalah 475 kg CH4/ha/tahun atau sekitar = 0.475 ton CH4 * 21 CO2-e/CH4 = 10 ton CO2-e/ha/tahun dengan asumsi dua musim tanam dalam satu tahun. Untuk Indonesia diperkirakan emisi 160 kg CH4/ha/musim atau sekitar = 6.72 ton CO2-e/(ha . musim) (KLH, 2012). Berbagai sistem pengelolaan air, varietas padi dan jenis tanah mempunyai efek yang berbeda terhadap emisi dari lahan sawah. Untuk itu, jika tersedia data sebaran lahan sawah dengan berbagai sistem pengelolaan air dan berbagai varietas padi, maka faktor koreksi seperti pada Tabel 19 dan Tabel 20 dapat digunakan dalam perhitungan emisi.
BAB 5 EMISI METANA DARI LAHAN SAWAH
65
Tabel 18. Luas panen padi sawah di Indonesia dari tahun 2000 sampai 2012 Tahun
Luas panen padi sawah (ha)
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
11.793.475 11.041.225 11.257.753 11.797.078 12.118.779 12.168.796 12.281.206 12.147.637 12.327.425 12.883.576 13.253.450 13.203.643 13.445.524
2008 2009 2010 2011 2012
Sumber: Badan Pusat Statistik, http://www.bps.go.id/tnmn_pgn.php?kat=3, (diunduh Okt. 2013).
Tabel 19. Faktor koreksi emisi metana dari lahan sawah dengan berbagai sistem pengelolaan air Faktor Faktor koreksi koreksi (Prihasto, et Kategori Pengelolaan air (IPCC, al. 2000, 2002, 1996) 2011) Padi ladang Padi sawah
Tidak ada Irigasi Tergenang terus menerus (default, acuan) Pengairan Single Aeration berselang (pengeringan satu kali) Multiple Aeration (pengeringan beberapa kali)
Rawan banjir Tadah hujan Rawan kekeringan
66
PEDOMAN TEKNIS PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
0 1,0
1,00
0,5 (0,20,7) 0,46 (0,38-0,53) 0,2 (0,10,3)
0,8 (0,51,0) 0.4 (0-0.5)
0,49 (0,19-0,75)
Tabel 20. Faktor emisi dan faktor koreksi emisi metana (CH4) dari lahan sawah untuk berbagai varietas padi (Sumber: Setyanto et al. 2005).
1)
No Varietas
Rata-rata emisi (kg CH4/ ha/musim)
Faktor koreksi terhadap Varietas IR64
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37
496,9 365,9 273,6 244,2 223,2 204,6 202,3 187,2 186,7 157,8 153,5 147,5 146,2 145,6 145,5 127,0 115,6 115,2 114,8 99,2 91,6 73,9 255 234 286 269 245 215 196 197 219 308 323 301 271 272 359
2,46 1,81 1,35 1,21 1,10 1,01 1,00 0,93 0,92 0,78 0,76 0,73 0,72 0,72 0,72 0,63 0,57 0,57 0,57 0,49 0,45 0,37 1,26 1,16 1,41 1,33 1,21 1,06 0,97 0,98 1,08 1,52 1,60 1,49 1,34 1,34 1,77
Gilirang Fatmawati Aromatic Tukad Unda IR 72 Cisadane IR 641) Margasari Cisantana Tukad Petanu Batang Anai IR 36 Memberamo Dodokan Way Apoburu Muncul Tukad Balian Cisanggarung Ciherang Limboto Wayrarem Maros Mendawak Mekongga Memberamo IR42 Fatmawati BP360 BP205 Hipa4 Hipa6 Rokan Hipa 5 Ceva Hipa 6 Jete Inpari 1 Inpari 6 Jete Inpari 9 Elo
IR64 dijadikan sebagai varietas patokan.
BAB 5 EMISI METANA DARI LAHAN SAWAH
67
5.3 Emisi masa lalu (2006-2011) dan emisi ke depan (2011-2020) Emisi BAU dihitung berdasarkan luasan riil luas panen lahan sawah dari tahun 2006-2011 yang kemudian diproyeksikan sampai tahun 2021 ) berdasarkan kecenderungan luas panen tahun acuan (Gambar 17). Asumsi yang digunakan adalah bahwa luasan lahan sawah di Indonesia masih menerapkan sistem pengairan tergenang selama musim tanam padi, aplikasi bahan organik segar 2 t/ha dan belum menggunakan varietas padi yang rendah emisi. Proyeksi emisi berdasarkan data luas panen tahun 2006-2011 dan perkiraan sampai tahun 2021 disajikan pada Gambar 18. Gambar 17. Luas panen padi sawah tahun 2006-2011 dan proyeksi sampai tahun 2021 dengan model kuadratik. 20
Luas panen (j ( uta ha)
18 16 14 12 10 8
y = 24.209x 2 - 96.973.743x + 97.123.091.681 R² = 0,97
6 4 2 2006
68
2011
PEDOMAN TEKNIS PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
2016
2021
Gambar 18. Emisi historis dan proyeksi emisi CH4 dari lahan sawah tanpa usaha mitigasi (BAU) antara tahun 2006 sampai tahun 2011 dan proyeksinya sampai tahun 2021. Emisi CH4 (juta ton CO2-e/tahun)
80 70
y = 90.035x2 - 360.655.051x + 361.210.490.272 R² = 0,97
60 50 40 30 20 10 0 2006
2011
2016
2021
Tahun
Proyeksi dengan model kuadratik ini dipilih dengan pertimbangan: a. Adanya komitmen pemerintah untuk melakukan perluasan areal persawahan untuk mempertahankan swasembada pangan terutama di luar Pulau Jawa b. Komitmen pemerintah untuk terus mempertahankan lahan pertanian potensial, yang tercermin dalam UU No. 41/2009 tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan c. Komitmen pemerintah mengupayakan perbaikan infrastruktur pertanian dan memperluas jaringan irigasi, sehingga kesempatan petani untuk menanam akan menjadi lebih besar dan areal panen akan terus bertambah.
5.4 Rencana aksi nasional penurunan emisi GRK Lahan sawah adalah lahan penghasil beras, sehingga keberadaan sawah dan produktivitas sawah yang tetap tinggi secara berkelanjutan sangat penting untuk menjaga ketahanan, keamanan dan kedaulatan pangan nasional. Walaupun sawah merupakan salah satu sumber emisi GRK, terutama metana (CH4), aksi adaptasi jauh lebih diprioritaskan dan aksi mitigasi emisi GRK hanya dilakukan selama tidak mengurangi produksi lahan sawah. Dengan
BAB 5 EMISI METANA DARI LAHAN SAWAH
69
demikian pemilihan aksi mitigasi emisi lahan sawah perlu dilakukan secara berhati-hati. Sekolah Lapang - Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT) adalah salah satu pendekatan inovatif dalam upaya meningkatkan produktivitas dan efisiensi usahatani melalui perbaikan paket teknologi yang sinergis antar komponen teknologi, dilakukan secara partisipatif oleh petani serta bersifat spesifik lokasi. SLPTT merupakan inovasi baru untuk memecahkan berbagai permasalahan dalam peningkatan produktivitas padi. Teknologi intensifikasi padi bersifat spesifik lokasi, bergantung pada masalah yang akan diatasi (demand driven technology). Komponen teknologi PTT ditentukan bersama-sama petani melalui analisis kebutuhan teknologi (need assessment). Komponen teknologi PTT dasar/compulsory adalah teknologi yang dianjurkan untuk diterapkan di semua lokasi. Komponen teknologi PTT pilihan adalah teknologi pilihan disesuaikan dengan kondisi, kemauan, dan kemampuan petani. Komponen teknologi PTT pilihan dapat menjadi compulsory apabila hasil KKP (Kajian Kebutuhan dan Peluang) memprioritaskan komponen teknologi yang dimaksud menjadi keharusan untuk pemecahan masalah utama suatu wilayah, demikian pula sebaliknya bagi komponen teknologi dasar (pedum SLPTT, 2013). Hasil perhitungan penurunan emisi CH4 dari lahan sawah dengan penerapan teknologi SLPTT, adalah seperti pada Gambar 19 dan Gambar 20.
Emisi CH4 (juta ton CO2-e/tahun)
Gambar 19. Perkiraan emisi CH4 dari lahan sawah tahun 2006 sampai tahun 2011 dan proyeksi antara tahun 2021 dengan pengelolaan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT). 70 60 50 40 30
y = 44.604x 2 - 178.377.936x + 178.380.481.662 R² = 0.99
20 10 0 2006
2011
2016 Tahun
70
PEDOMAN TEKNIS PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
2021
Gambar 20. Perkiraan emisi CH4 dari lahan sawah tahun 2006 sampai tahun 2011 dan proyeksinya antara tahun 2011 sampai tahun 2021 dengan pengelolaan konvensional (BAU) dan skenario mitigasi melalui Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT). 70 10% BAU
60
SLPTT 50 40 30
2006
2011
2016
2021
Tahun
5.5 Manfat tambahan dan risiko penurunan GRK terhadap produksi padi Selain menurunkan emisi, beberapa teknologi pengelolaan tanaman ini juga berpotensi meningkatkan produksi. Melalui penerapan SLPTT, petani akan mampu mengelola sumberdaya yang tersedia secara terpadu di lahan usahataninya sesuai dengan keadaan tanah dan lingkungan. Petani dilatih untuk menjadi lebih terampil serta mampu mengembangkan usahataninya dalam rangka peningkatan produksi padi. Peningkatan produktivitas dilakukan melalui pemakaian benih varietas unggul bermutu berproduktivitas tinggi termasuk benih padi hibrida dan jagung hibrida, sistem jarak tanam jajar legowo, pemupukan berimbang, pemakaian pupuk organik, pupuk hayati, pengelolaan pengairan dan perbaikan budidaya disertai pengawalan, pendampingan, pemantauan dan koordinasi. Strategi ini terutama dilaksanakan di wilayah dimana perluasan areal sudah sulit dilakukan, sehingga dengan penerapan teknologi spesifik lokasi diharapkan masih dapat ditingkatkan produktivitasnya.
BAB 5 EMISI METANA DARI LAHAN SAWAH
71
72
PEDOMAN TEKNIS PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
BAB 6
EMISI N2O DARI PEMUPUKAN
Pertanian menyumbangkan sekitar 10-12 % dari total emisi gas rumah kaca (GRK) global, dimana 60% nya adalah gas nitrous oxide (N2O) dan 40% nya adalah metana (CH4). Sumber utama emisi N2O dari lahan pertanian adalah dari penggunaan pupuk N. Sejak tahun 1950, konsumsi pupuk N sintetis secara global telah meningkat dari sekitar 10 menjadi 100 juta ton N di tahun 2008 (Robertson and Vitousek, 2009), dengan input N global pada sistem pertanian yang berasal dari pupuk buatan meningkat lebih dari 40 kali lipat sejak 1930 (Mosier et al, 1999). Asia mengkonsumsi 58,6% dari total konsumsi pupuk dunia (FAO, 2010). Kebutuhan pangan dan energi meningkat seiring dengan peningkatan populasi manusia, hal ini menyebabkan peningkatan kebutuhan pupuk N buatan (untuk meningkatkan hasil panen), yang pada akhirnya menyebabkan peningkatan emisi nitrous oxide (N2O). Emisi N2O akibat kegiatan manusia (baik dari pertanian, maupun di luar pertanian) mengalami peningkatan sebesar 150 juta ton N/tahun (Mosier, 2001), dengan konsentrasi N2O global di atmosfer sebesar 320 ppbv, sementara pada masa pra industrialisasi hanya sebesar 270 ppbv (Forster et al. 2007). Emisi N2O terdiri dari emisi langsung dan emisi tidak langsung. Emisi langsung N2O di dalam tanah terjadi karena proses nitrifikasi dan denitrifikasi serta denitrifikasi secara kimia yang tidak melibatkan mikroba. Nitrifikasi adalah proses oksidasi amonium (NH4+) oleh mikroba secara aerobik menjadi nitrit dengan hasil antara berupa NH2OH, dan kemudian berubah menjadi nitrat:
73
NH4+ → NH2OH → NO2- → NO3Bila jumlah oksigen terbatas (kadar air tanah mendekati jenuh), oksidator ammonium dapat memanfaatkan NO2sebagai electron acceptor dan selanjutnya menghasilkan N2O. N2O juga terbentuk dalam proses denitrifikasi, yaitu proses reduksi nitrat oleh mikroba dalam keadaan anaerobik yang menghasilkan gas NO, N2O dan N2: NO3- → NO2- → NO → N2O → N2 Pada umumnya, peningkatan konsentrasi N di dalam tanah akan meningkatkan nitrifikasi dan denitrifikasi yang kemudian meningkatkan produksi N2O. Peningkatan N tersedia dapat terjadi karena pemupukan N, perubahan penggunaan lahan dan pengelolaan bahan organik yang menyebabkan terjadinya mineralise N organik tanah.
6.1 Data Aktivitas Data aktifitas yang paling sederhana untuk menghitung emisi N2O adalah jumlah pupuk N yang digunakan untuk lahan pertanian, baik yang berasal dari pupuk buatan, maupun pupuk organik. Estimasi jumlah penggunaan pupuk organik dan kandungan N-nya jauh lebih rumit dibandingkan dengan penggunaan pupuk buatan. Karena itu data aktivitas adalah jumlah penggunaan masingmasing pupuk dikalikan dengan kandungan N-nya. Untuk tingkat provinsi data penggunaan pupuk N dapat diperoleh dari dinas pertanian provinsi dan kabupaten serta dari BPS. Secara nasional, data konsumsi pupuk diperoleh dari Assosiasi Produsen Pupuk Indonesia dan ditampilkan pada Tabel 21 (http://www.appi.or.id/?statistic, diunduh Oktober 2013).
Tabel 21. Konsumsi pupuk N lahan pertanian Indonesia tahun 2011 Jenis Pupuk Urea
74
dari tahun 2007 sampai
Jumlah penggunaan (ton/tahun) pada tahun 2007 5.028.818
2008 5.133.220
2009 5.411.462
2010
2011
5.131.287
5.225.137
ZA
746.062
773.668
935.828
731.044
956.596
NPK
732.599
1.175.027
1.666.517
1.804.413
2.124.474
PEDOMAN TEKNIS PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
6.2 Faktor emisi Sumber emisi N2O langsung adalah: • Penggunaan pupuk N buatan • N organik dari pupuk kandang, kompos, limbah lumpur dan sampah • N yang terkandung di dalam urin dan kotoran hewan • N dalam sisa tanaman • N yang terbentuk dari proses mineralisasi yang berhubungan dengan hilangnya bahan organik tanah Dari sumber-sumber tersebut hanya emisi N2O dari pemberian pupuk buatan yang relatif mudah didapatkan data aktivitasnya sehingga hanya komponen ini yang dimasukkan dalam Panduan Teknis RAN-GRK ini. Sumber emisi N2O tidak langsung adalah: • Volatilisasi N ke dalam bentuk NH3 dan oksida N ( NOx ) dan deposisi gas-gas tersebut di atas permukaan tanah atau danau dalam bentuk NH4+ dan NO3. Sebagian NO3- ini selanjutnya mengalami denitrifikasi membentuk N2O • Pencucian (leaching) dan limpasan permukaan (runoff) dari tanah yang mengandung N yang sebagiannya mengalami proses nitrifikasi dan denitrifikasi. Faktor emisi N2O langsung dan tidak langsung diberikan pada Tabel 22 (bersumber dari IPCC, 2006). Menurut IPCC (2006) faktor emisi langsung dari pupuk N adalah sekitar 1% atau 0,01 (Tabel 22), maksudnya, dari pupuk N yang diberikan sekitar 1% N akan teremisi menjadi N2O. Untuk emisi N2O tidak langsung, menggunakan data aktivitas yang sama dengan emisi N2O langsung, hanya saja berbeda pada nilai faktor emisi. Dalam perhitungan emisi N2O langsung secara nasional, digunakan pendekatan yang dimodifikasi dengan menggunakan faktor emisi N2O dari lahan sawah berdasarkan hasil-hasil penelitian di Indonesia (Bab 6.3). Pendekatan ini juga sudah diadopsi dalam perhitungan inventarisasi GRK Kementerian Lingkungan Hidup untuk digunakan dalam Laporan Komunikasi Indonesia yang
BAB 6 EMISI N2O DARI PEMUPUKAN
75
ketiga (TNC). Faktor emisi N2O yang digunakan adalah 0,0027 kg N2O/ha/hari (Balingtan 2007, 2008,2009,2010). Pendekatan dan asumsi yang digunakan adalah sebagai berikut : N2Osawah = EF * CF * t * A * 10-6
[2]
N2Osawah = emisi N2O dari tanah budidaya padi sawah, Gg N2O per tahun (1 Giga gram = 1000 ton). EF = faktor emisi untuk N2O; kg N2O per hari CF = faktor koreksi emisi N2O t = lama budidaya padi sawah; hari A = luas panen padi sawah ; ha per tahun
Tabel 22. Faktor emisi N2O langsung dan tidak langsung. Faktor emisi (FE) Angka acuan Emisi langsung FE untuk penambahan N dari pupuk buatan, 0,01 bahan organik sisa tanaman dan mineralisasi karbon tanah [kg N2O–N/(kg N)] 0,003 FE NO2 lahan sawah tergenang [kg N2O–N/ (kg N)] FE untuk pertanian organik di daerah tropis 16 dan padang rumput [kg N2O–N/ha] Faktor emisi langsung dari pupuk buatan untuk 0,0027 lahan sawah [kg N2)/(ha . hari)] (Balingtan 2007, 2008,2009,2010) untuk penggunaan Indonesia Emisi tidak langsung 0,010 FE N yang tervolatilisasi dan redeposisi [kg N2O–N/ (kg NH3–N + NOX–N yang tervolatilisasi)] FE pencucian (leaching) dan limpasan 0,0075 permukaan (runoff) (kg N2O–N /(kg N leaching/runoff) Fraksi volatilisasi dari pupuk buatan [(kg 0,10 NH3–N + NOx–N)/ (kg N Pemberian)] Fraksi volatilisasi dari semua N pupuk organik 0,20 termasuk urin dan kotoran hewan [(kg NH3–N + NOx–N)/(kg N yang diberikan)] Fraksi leaching [kg N/(kg N yang diberikan 0,30 dalam bentuk pupuk atau dari kotoral ternak gembala)] Faktor emisi tidak langsung dari pupuk buatan (0,01*0,10)+ (0,0075 *0,30)= 0,00325
Kisaran 0,003 – 0,03
0,000 – 0,006 5 – 48
0,002 – 0,05
0,0005 -0,025
0,03 – 0,3
0,05 – 0,5
0,1 – 0,8
Catatan: Faktor emisi (FE) dengan huruf tebal adalah yang faktor emisi yang digunakan di dalam RAN GRK ini.
76
PEDOMAN TEKNIS PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
Asumsi yang digunakan adalah : • Umur tanaman: 110 hari • Faktor emisi N2O = 0,0027 kg N2O/(ha . hari) • Faktor koreksi N2O = 1 Perhitungan ini hanya untuk emisi N2O langsung yang berasal dari lahan sawah, sedangkan untuk emisi N2O langsung dari lahan kering, masih menggunakan pendekatan yang sama dengan IPCC 2006 yaitu menghitung besarnya jumlah N yang diberikan pada lahan kering dan dikalikan dengan faktor emisi defaultnya, kemudian hasilnya dijumlahkan dengan emisi N2O dari lahan sawah. Contoh perhitungan: Apabila pada suatu provinsi digunakan 100.000 ton urea dan 200.000 ton ZA (Amonium Sulfat, (NH4)2SO4) maka emisi N2O langsung dan tidak langsung dapat dihitung dengan cara sebagai berikut: • N di dalam Urea = 46% N di dalam ZA = 22% • Global warming potential (daya memanas, GWP) N2O = 298 N2O/N = 44/28 • Emisi N2O langsung dari 100.000 ton Urea = 0,46* 100,000*0,01*44/28*298 = 215.411 ton CO2-e • Emisi N2O tidak langsung =0,46* 100,000*0,00325*44/28*298 = 63.007 ton CO2-e • Jumlah emisi N2O langsung dan tidak langsung dari urea = 278.448 ton CO2e • Emisi N2O langsung dari 200.000 ton ZA = 0,22*200.000*0.01*44/28*298 = 206.045 ton CO2e • Emisi N2O tidak langsung dari dari 200.000 ton ZA = 0,22*200.000*0,00325*44/28*298 = 66.965 ton CO2e • Jumlah emisi N2O langsung dan tidak langsung dari penggunaan 200.000 ton pupuk ZA = = 273,010 ton CO2e • Dengan demikian jumlah emisi N2O dari penggunaan 100.000 ton urea dan 200.000 ton pupuk ZA adalah 278.448 ton CO2e + 273.010 ton CO2e = 551.458 ton CO2e
BAB 6 EMISI N2O DARI PEMUPUKAN
77
6.3 Emisi masa lalu (2006-2011) dan emisi ke depan (2011-2020) Gambar 21 memperlihatkan emisi N2O tahun 20062011 yang berasal dari penggunaan pupuk N di lahan pertanian (lahan sawah dan lahan kering) yang merupakan emisi total secara langsung maupun tidak langsung. Perkiraan emisi menjelang tahun 2020 disajikan pada Gambar 22.
Gambar 21. Perkiraan emisi N2O historis tanah yang dikelola dari tahun 2007-2011. Emisi N2O (Juta tCO2-e/th)
25 20 15 10 5 2006
2007
2008
2009
2010
2011
Tahun Gambar 22. Perkiraan emisi N2O langsung dari tanah yang dikelola tahun 2007-2011 dan proyeksinya sampai tahun 2020.
Emisi N2O (Juta tCO2-e/th)
25 20 15 10 5 2006
2008
2010
2012
2014
Tahun
78
PEDOMAN TEKNIS PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
2016
2018
2020
6.4 RAN Penurunan emisi N2O Penurunan emisi dari pupuk N ditempuh dengan cara meningkatkan efisiensi pupuk N, misalnya dengan penggunaan bagan warna daun (BWD), pembenaman pupuk N (deep placement), penggunaan pupuk N slow release dan penggunaan bahan penghambat nitrifikasi. Sejauh ini faktor emisi yang tersedia berhubungan dengan efisiensi (penghematan) penggunaan pupuk N, sedangkan faktor emisi untuk pengaruh deep placement dan penggunaan zat penghambat nitrifikasi belum tersedia. Peningkatan efisiensi pupuk N dilakukan dengan menggunakan bagan warna daun (BWD) atau leaf color chart (LCC) yang merupakan salah satu paket dari Perangkat uji tanah sawah (PUTS, yang dikeluarkan oleh Balai Penelitian Tanah, Badan Litbang Pertanian). BWD merupakan alat sederhana yang mudah digunakan untuk menentukan status hara N tanaman padi. Perbandingan antara warna daun tanaman padi dan salah satu dari empat warna pada BWD menunjukkan apakah tanaman padi kekurangan unsur N atau tidak. Pembacaan BWD dimulai sekitar 25 hari sesudah tanam (HST) dan frekuensi pembacaan yang dianjurkan adalah sekali dalam 7-10 hari sampai 50 HST, atau sampai 10% pembungaan pada padi hibrida dan padi tipe baru (PTB). Nilai warna kritis untuk pemupukan N adalah warna 4. Bila pembacaan BWD kecil dari 4 perlu diberikan pupuk N pada tanaman padi. Jumlah N yang diberikan bagi varietas padi indica yang semi pendek (semidwarf) tergantung pada besarnya hasil yang diharapkan. Pada tingkat hasil harapan sebesar 5 t/ha diberikan 50 kg Urea/ha, dan bila hasil harapan tanaman lebih tinggi maka pupuk N yang diberikan juga harus lebih tinggi; yaitu 25 kg Urea/ha untuk setiap ton peningkatan hasil harapan di atas 5 t/ha. Data aktivitas yang diperlukan dalam MRV adalah jumlah penggunaan pupuk N pada dosis konvensional dan dosis dengan penerapan efisiensi N.
BAB 6 EMISI N2O DARI PEMUPUKAN
79
6.5 Manfaat tambahan mitigasi emisi N2O dari pemupukan Manfaat mitigasi emisi N2O melalui usaha peningkatan efisiensi penggunaan N atau pembatasan penggunaan pupuk N secara berlebihan antara lain adalah berkurangnya pencemaran badan air dan berkurangnya ancaman penyakit pada bayi disebabkan pencemaran nitrat pada air tanah yang digunakan sebagai air minum. Kelebihan nitrat pada badan air juga akan menyebabkan eutrifikasi yang menyebabkan meningkatnya pertumbuhan tumbuhan semak air seperti enceng gondok. Peningkatan efisiensi N juga akan menurunkan biaya usaha tani, meningkatkan produksi dan mengurangi risiko serangan hama dan penyakit tanaman.
80
PEDOMAN TEKNIS PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
BAB 6 EMISI N2O DARI PEMUPUKAN
81
82
PEDOMAN TEKNIS PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
BAB 7
EMISI DARI SUBSEKTOR PETERNAKAN Gas rumah kaca terpenting yang dihasilkan oleh hewan ternak adalah gas metana (CH4) yang dikeluarkan dari proses pencernaan (enteric fermentation). CH4 juga dihasilkan dari proses oksidasi anaerob kotoran hewan, namun jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan emisi dari proses pencernaan. Dari total gas metana yang dihasilkan oleh ternak ruminansia, sekitar 94 % berasal dari fermentasi pencernaan dalam rumen dan 6 % dari kotoran yang baru dieksresikan. Selain itu kotoran hewan juga menghasilkan gas nitrous oksida (N2O).
7.1 Emisi CH4 dari proses pencernaan: Data aktivitas dan faktor emisi Data aktivitas yang dapat digunakan untuk menghitung emisi dari sektor peternakan adalah dengan menggunakan metoda dari IPCC tahun 1996 yang telah direvisi dan IPCC tahun 2006. Pada tahun 2008 telah dilakukan kegiatan untuk memverifikasi laju emisi gas rumah kaca (GRK) pada peternakan Indonesia. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk a) validasi hasil perhitungan emisi GRK pada komoditas peternakan; b) inventarisasi faktor-faktor yang mempengaruhi emisi GRK pada komoditas peternakan; c) inventarisasi teknologi dan manajemen mitigasi emisi GRK pada budidaya peternakan. Penghitungan mengikuti petunjuk dari IPCC (2006) (Thalib et al., 2008). Selanjutnya pada tahun 2011 dilakukan pula estimasi emisi CH4 dan N2O dari fermentasi enterik dan dari pengelolaan kotoran ternak (manure management) dengan mengacu kepada Worksheet dari IPCC 2006 (Widiawati, 2013). Faktor emisi yang digunakan mengacu kepada panduan IPCC untuk wilayah Asia
83
(Tabel 23) dan data aktivitas yang digunakan adalah populasi ternak seluruh Indonesia tahun 2006-2012 (Tabel 24) serta proyeksi linearnya pada tahun 20132020 (Tabel 25; Gambar 23). Populasi ternak meningkat dari tahun ke tahun dengan laju pertumbuhan yang bervariasi secara temporal dan antar jenis ternak (Dirjen Peternakan, 2012). Laju pertumbuhan rata-rata ternak ruminansia ditargetkan 7%/tahun dan unggas 12,5%/tahun. Mulai dari tahun 2012, diproyeksikan akan terjadi percepatan peningkatan populasi ternak, khususnya untuk sapi potong, domba dan kambing. Hal ini akan terjadi sebagai dampak dari kebijakan pemerintah dalam upaya swasembada daging nasional. Untuk tingkat provinsi faktor emisi tingkat nasional dapat digunakan menjelang tersedia faktor emisi spesifik lokasi. Data aktivitas disesuaikan dengan populasi ternak masing-masing provinsi. Penghitungan dengan hanya menggunakan populasi ternak, merupakan metode yang termudah dan dapat diterapkan di semua wilayah. Data populasi sebagai data aktivitas telah dimiliki oleh setiap Dinas Peternakan provinsi dan data populasi ternak nasional tersedia di Direktorat Jenderal Peternakan, Kementerian Pertanian.
Tabel 23. Faktor emisi gas metana (CH4) dari proses pencernaan berbagai jenis ternak Emisi Jenis ternak (kg CH4/(ekor . tahun) Sapi potong 47 Sapi perah 61 Kerbau 55 Kambing 5 Domba 5 Babi 1 Kuda 18 Ayam buras t.t. Ayam ras petelur t.t. Ayam ras pedaging t.t. Itik t.t. Sumber: IPCC (2006) t.t. = data tidak tersedia
84
PEDOMAN TEKNIS PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
Tabel 24. Populasi ternak Indonesia dari tahun 2006 sampai tahun 2012 (ribu ekor). Tahun
Jenis ternak Sapi Potong
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
10.875
11.515
12.257
12.760
13.582
14.824
16.034
369
374
458
475
488
597
622
Sapi Perah Domba
8.980
9.514
9.606
10.199
10.725
11.791
12.768
Kambing
13.790
14.470
15.147
15.815
16.62
16.946
17.862
Kerbau
2.167
2.086
1.931
1.933
2.000
1.305
1.378
401
393
399
419
424
430
Kuda Unggas (juta)
1.221
1.311
1.293
1.428
1.394
1.575
1.730
Babi
6.218
6.711
6.838
6.975
7.477
7.525
7.831
Sumber: Ditjen Peternakan (2012).
Tabel 25. Estimasi populasi ternak dari tahun 2013 sampai 2020. Tahun
Jenis ternak
2013
2014
2015
2016
2017
2018
2019
2020
17.108
18.277
19.538
20.977
22.553
24.187
25.903
27.757
681
754
821
901
1000
1.089
1.196
1.314
Domba
13.544
14.371
15.370
16.460
17.679
18.914
20.195
21.585
Kambing
18.650
19.457
20.288
21.149
22.017
22.998
23.988
25.016
Kerbau
1.294
1.209
1.132
1.048
951
903
842
784
436
442
451
461
468
476
484
492
Unggas (juta)
1.941
2.194
2.533
2.945
3.515
3.748
4.266
4.867
Babi
8.141
8.409
8.705
9.034
9.324
9.664
10.008
10.359
Sapi Potong Sapi Perah
Kuda
Sumber: Proyeksi dari data populasi ternak tahun 2006-2012 yang tercantum pada Tabel 24.
Gambar 23. Populasi ternak dari tahun 2006 dan proyeksinya sampai tahun 2020.
25
Sapi Potong
20
Sapi Perah
15
Domba Kambing
10
Kerbau Kuda Babi
5
20 20
18 20
16 20
14 20
12 20
10 20
08 20
06
0
20
Populasi (juta ekor)
30
Tahun
BAB 7 EMISI DARI SUBSEKTOR PETERNAKAN
85
7.2 Emisi CH4 dari kotoran ternak: Data aktivitas dan faktor emisi Data aktivitas untuk emisi dari kotoran ternak adalah populasi ternak dan perkiraan jumlah kotorang hewan (Tabel 24, Tabel 25, dan Gambar 23). Faktor emisi CH4 dari kotoran ternak disajikan padaTabel 26. Tabel 26. Faktor emisi CH4 dari kotoran hewan dengan berbagai metode pengelolaan (IPCC, 2006). Faktor emisi (kg Ternak Cara pengelolaan kotoran CH4/ekor/tahun) Sapi perah Sapi lainnya
Sekitar setengah dari kotoran sapi digunakan untuk biogas dan sisanya dikelola dalam keadaan kering.
31 1
Babi
Sekitar 40% kotoran dikelola dalam keadaan basah
7
Kerbau
Kotoran dikelola dalam keadaan kering dan disebar di padang rumput
2
Domba
0,15
Kambing
0,17
Kuda
1,64
Ayam Pedaging
0,02
Ayam Petelur
0,03
Itik/ Bebek
0,03
7.3 Emisi N2O dari kotoran hewan: Data aktivitas dan faktor emisi Jumlah N yang dieksresi (dikeluarkan melalui kotoran) hewan ditentukan oleh populasi ternak dan berat badan rata-rata ternak (Tabel 27), sedangkan jumlah N yang teremisi menjadi N2O ditentukan oleh sistem pengelolaan kotoran ternak. Semakin lama dan semakin banyak kotoran ditumpuk akan menyebabkan jumlah oksigen di dalam tumpukan makin terbatas dan akan membentuk N2O. Bila kotoran tidak ditumpuk dan langsung disebar ke lahan, maka hampir seluruh N tersebut berubah menjadi NO3- (nitrat) yang merupakan zat hara tanaman. Faktor emisi (rasio pembentukan N2O) dari N yang tekandung di dalam kotoran hewan pada berbagai sistem pengelolaan kotoran disajikan pada Tabel 28.
86
PEDOMAN TEKNIS PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
Tabel 27. Angka acuan (default) untuk kandungan N pada kotoran hewan di Asia dan perkiraan berat badan rata-rata. Asumsi rata-tara berat Eksresi N (kg N/(1000 kg Jenis hewan badan ternak (kg/ 1) berat badan . hari)) . ekor)2) Sapi perah
0,47
300
Sapi lainnya
0,34
250
Babi
0,50
100
Ayam umur ≥ 1 tahun
0,82
2
Ayam muda
0,60
1.5
Ayam lainnya
0,82
2
Broiler
1,10
2
Kalkun
0,74
5
Bebek
0,83
2
Domba
1,17
45
Kambing
1,37
40
Kuda
0,46
550
Kerbau
0,32
300
1)
Disarikan dari Tabel 10.19, IPCC 2006;
2)
Dari Thalib et al. (2008) untuk peternakan Indonesia.
Tabel 28. Faktor emisi N2O dari kotoran ternak dengan berbagai sistem pengelolaan Faktor emisi: Rasio N Sistem pengelolaan yang berubah menjadi Perhitungan jumlah N2O teremisi kotoran ternak N2O Ditumpuk (dry lot)
0,020
(0,02 * Ekskresi N)/(1000/kg Berat badan)*365*44/28
Ditumpuk beberapa bulan dalam keadaan padat (Solid storage)
0,005
(0,005 * Ekskresi N)/(1000/kg Berat badan)*365*44/28
Disebar ke lahan setiap 0 hari (Daily spread)
0
Catatan: Nilai eksresi N dan Berat badan tercantum pada Tabel 27.
7.4 Emisi masa lalu (2006-2011) dan proyeksi emisi 2011-2020 7.4.1 Emisi metana dari pencernaan ternak Emisi CH4 dari pencernaan ternak dihitung dengan rumus: Emisi CH4 (kg/tahun) = Populasi ternak (ekor) x Faktor emisi (kg CH4 /(ekor . tahun) Berdasarkan data populasi ternak pada Tabel 24, Tabel 25 dan 23, serta faktor emisi pada Tabel 26, dapat dihitung
BAB 7 EMISI DARI SUBSEKTOR PETERNAKAN
87
besarnya emisi gas metana yang berasal dari proses pencernaan seluruh ternak. Data penghitungan emisi gas metana dari proses pencernaan tahun 2006 sampai tahun 2012 dan proyeksi untuk tahun 2013 sampai 2020 ditampilkan pada Gambar 24.
40 35 30
Babi
25
Kuda
20
Kerbau
15
Kambing
10
Domba Sapi Perah Sapi Potong
5
20 16 20 18 20 20
20 12 20 14
20 10
0
20 06 20 08
Emisi CH4 (juta ton CO2-e/tahun)
Gambar 24. Emisi CH4 dari proses pencernaan ternak dari tahun 2006 sampai 2012 dan proyeksinya dari tahun 2013 sampai tahun 2020.
Tahun
Di antara berbagai jenis ternak, kontributor emisi dari fermentasi pencernaan yang terbesar (sekitar 72%) adalah dari sapi potong (Gambar 25). Dengan demikian aksi mitigasi sebaiknya diprioritaskan untuk ternak sapi potong. Gambar 25. Persentase emisi metana (CH4) dari proses pencernaan berbagai jenis hewan ternak Indonesia berdasarkan data aktivitas populasi ternak tahun 2011. 1%
0%1%
7%
Sapi Potong
9%
Sapi Perah Domba
6%
Kambing
4%
Kerbau Kuda 72%
88
PEDOMAN TEKNIS PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
Babi
7.4.2 Emisi metana dari kotoran ternak Emisi metana dari kotoran ternak dihitung dengan rumus: Emisi CH4 (ton CO2-e) = Jumlah ternak * Faktor emisi Data populasi ternak terdapat pada Tabel 24 dan Tabel 25 dan data faktor emisi CH4 dari kotoran ternak disajikan pada Tabel 26. Hasil perhitungan emisi metana dari kotoran ternak disajikan pada Gambar 26. Gambar 26. Emisi metana (CH4) dari kotoran ternak di Indonesia. 6 Babi Unggas Kuda Kerbau Kambing Domba Sapi Perah Sapi Potong
5 4 3 2 1 0
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020
Emisi CH4 (juta ton CO2-e/tahun)
7
Tahun
Ternak unggas merupakan kontributor emisi gas metana dari kotoran yang tertinggi, sedangkan kontributor kedua tertinggi adalah ternak babi.
7.4.3 Emisi N2O dari kotoran ternak Emisi N2O dari kotoran ternak dihitung dengan mengalikan data aktivitas (Tabel 24 dan Tabel 25) dan faktor emisi pada Tabel 28 dan ditampilkan pada Gambar 27.
BAB 7 EMISI DARI SUBSEKTOR PETERNAKAN
89
Babi
12
Unggas
10
Kuda Kerbau
6
Kambing
4
Domba
2
Sapi Perah
-
Sapi Potong
20 16 20 18 20 20
8
20 06 20 08 20 10 20 12 20 14
Emisi N2O (juta ton CO2-e/tahun)
Gambar 27. Emisi N2O dari kotoran ternak Indonesia 14
Tahun
Kontributor terbesar dari emisi N2O adalah unggas, kemudian sapi potong. Data yang ditampilkan pada Gambar 27 didasarkan atas asumsi metode pengelolaan kotoran ternak secara konvensional yaitu cara menumpuk kotoran beberapa bulan dalam keadaan padat (solid storage).
7.5 RAN/RAD Penurunan emisi GRK Subsektor Perternakan Dari beberapa sumber emisi GRK Subsektor Peternakan Gambar 28 emisi CH4 dari proses pencernaan paling banyak jumlahnya, diikuti oleh emisi N2O dari kotoran ternak. Emisi CH4 dari kotoran ternak relatif sedikit. Dengan demikian usaha mitigasi difokuskan pada pengelolaan pakan ternak untuk menurunkan emisi CH4 dari proses pencernaan. Beberapa pendekatan yang dapat ditempuh untuk menurunkan emisi dari Subsektor Peternakan adalah: • Penerapan teknologi pengolahan bahan pakan berserat kasar tinggi seperti jerami padi, limbah pertanian dan perkebunan melalui fermentasi dan ammoniasi. Selain dapat menurunkan emisi gas metana dari ternak, proses pengolahan juga bermanfaat untuk mengawetkan bahan pakan yang dapat digunakan sebagai cadangan makanan di musim kemarau. Selain itu, proses pengolahan pakan juga dapat meningkatkan kualitas pakan yang mengandung serat kasar tinggi. • Penerapan teknik suplementasi bahan pakan berkualitas tinggi terhadap bahan pakan berkualitas rendah. Tanaman leguminosa seperti kaliandra, lamtoro
90
PEDOMAN TEKNIS PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
dan gliricidia serta daun singkong dapat digunakan sebagai pakan suplemen. Teknik suplementasi dapat meningkatkan daya cerna dan efisiensi penggunaan pakan, serta berdampak pada pengurangan produksi gas metana di dalam rumen (Gambar 29). Pemberian tanaman leguminosa lain seperti daun akasia pada sapi, domba dan kambing juga merupakan salah satu teknik mitigasi karena bahan aktif tannin yang terkandung dalam daun akasia. • Penyusunan ransum komplit yang terdiri dari limbah pertanian dan perkebunan sebagai sumber serat dengan konsentrat yang berasal dari biji-bijian maupun limbah industri pertanian/perkebunan merupakan salah satu bentuk mitigasi untuk menurunkan emisi gas metana dari sektor peternakan. Peningkatan nilai nutrisi ransum komplit menyebabkan peningkatan kecernaan dan efisiensi penggunaan pakan yang selanjutnya menurunkan produksi gas metana dalam rumen. • Sistem integrasi tanaman-ternak di wilayah perkebunan kelapa sawit (sawit-sapi), perkebunan kakao (kakaokambing), pertanian/padi (padi-sapi) merupakan bentuk upaya mitigasi gas metana dan memperbaiki siklus karbon dari sub-sektor peternakan. Integrasi yang dimaksud dapat diartikan bahwa ternak berada langsung di dalam areal perkebunan atau pertanian secara umum. Arti lainnya adalah bahwa ternak dan tanaman berada pada areal yang berbeda, tetapi pakan yang diberikan merupakan produk dari tanaman tersebut. • Pemanfaatan kotoran ternak untuk menghasilkan energi melalui proses biogas. Pembangunan unit biogas skala kecil untuk peternakan rakyat dengan kepemilikan 4-5 ekor per kepala keluarga (KK) dapat dilakukan dengan sistem penggunaan bersama beberapa KK. Energi yang dihasilkan dapat dimanfaatkan untuk penerangan maupun memasak. • Proses pembuatan kompos sederhana dari kotoran ternak dengan sistem tertutup dapat dilakukan untuk mengurangi emisi gas metana selama proses pengomposan. Penambahan starter/ mikroba untuk mempercepat proses pengomposan juga merupakan upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi emisi gas metana dari kotoran ternak.
BAB 7 EMISI DARI SUBSEKTOR PETERNAKAN
91
Gambar 28. Emisi CH4 dan N2O dari berbagai sumber Subsektor Peternakan antara tahun 2013 sampai 2012 dan proyeksi antara tahun 2013 sampai 2020. 60 Emisi (juta ton CO2-e)
Emisi N2O dari kotoran ternak
50
Emisi CH4 dari kotoran ternak
40
Emisi CH4 proses pencernaan
30 20 10
20
06 20 0 20 7 08 20 09 20 10 20 11 20 12 20 13 20 14 20 15 20 16 20 1 20 7 18 20 19 20 20
Tahun
Aplikasi teknologi mitigasi pada sektor peternakan, khusunya dari manajemen pemberian pakan dengan menggunakan bahan baku lokal dapat menurunkan emisi gas metana khususnya dari proses pencernaan. Diperoleh penurunan yang bervariasi, mulai dari 8 % sampai 20 %, tergantung kepada teknik mitigasi yang digunakan (Purnomoadi et al., 2005; Thalib dan Widiawati,2006; Wina, 2012). Penerapan sistem biogas dalam pengelolaan kotoran dan memanfaatkan energi yang dihasilkan untuk memasak atau penerangan dapat menurunkan tingksat emisi dari kotoran ternak. Gambar 29. Estimasi emisi metana pada skenario BAU historis dan penurunan emisi dari sektor peternakan apabila diterapkan teknik mitigasi melalui manajemen pemberian pakan. Emisi CH4 (juta ton CO2-e/tahun)
40
Kondisi BAU
35
15 %
30 25 20
Setelah mitigasi
15 10 5 20 0 20 6 0 20 7 08 20 09 20 10 20 11 20 12 20 13 20 14 20 15 20 16 20 1 20 7 18 20 19 20 20
0
Tahun
92
PEDOMAN TEKNIS PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
7.6 Manfat tambahan Penerapan teknologi mitigasi gas metana di sektor peternakan akan berdampak positif terhadap lingkungan dan ternak. Terhadap lingkungan, penerapan teknologi mitigasi dapat menurunkan emisi gas metana yang di sumbang dari peternakan. Disamping itu, penurunan gas metana yang dihasilkan dari ternak memberikan nilai positif bagi ternak, karena gas metan yang dihasilkan merupakan energi pakan yang terbuang dari ternak. Dengan demikian penurunan produksi gas metana dari setiap ternak mengandung arti penyelamatan energi yang terbuang untuk kemudian digunakan sebagai tambahan energi untuk produksi ternak sehingga dapat terjadinya peningkatan produktivitas ternak.
BAB 7 EMISI DARI SUBSEKTOR PETERNAKAN
93
94
PEDOMAN TEKNIS PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
EMISI BAU DAN MITIGASI SEMUA SUB-SEKTOR BERBASIS LAHAN
Emisi BAU untuk semua sub-sektor pada Sektor berbasis lahan berdasarkan pendekatan forward looking berkisar antara 682 juta pada periode 20062011, 764 juta pada periode 2011-2016 dan 852 juta ton CO2-e pada periode 2016-2021 (Gambar 30). Pendekatan forward looking diberlakukan dengan asumsi kenaikan emisi untuk perubahan penggunaan lahan dan lahan gambut adalah sekitar 2,5% per tahun. Perkiraan kenaikan ini mengingat perluasan areal pertanian berbasis sumberdaya hutan dan lahan cenderung meningkat di beberapa provinsi di Papua dan Kalimantan. Di Sumatera emisi dari biomas diperkirakan akan menurun (Gunarso et al. 2013; Agus et al. 2013). Untuk Sub-sektor Pertanian emisi pendekatan forward looking dihitung berdasarkan trend linear dan kuadratik, tergantung kecenderungan perkembangan pada tahun acuan (base year). Pada pelaksanaanya penyusunan RAN GRK dengan pendekatan forward looking memerlukan data proyeksi penggunaan lahan yang disesuaikan dengan rencana tata ruang wilayah provinsi dan kabupaten (RTRWP/K). Pendekatan bottom-up perlu ditempuh, sehingga rencana forward looking lebih mencerminkan rencana pembangunan yang sebenarnya. Dengan skenario penurunan emisi 26% (penurunan emisi unilateral menurut Perpres 61/2011), maka emisi pada periode 2016-2021 harus turun menjadi 631 juta atau penurunan sebanyak 222 juta ton CO2-e. Untuk menurunkan emisi 41%, maka emisi pada periode 2016-2021 harus turun menjadi 503 juta atau penurunan sebanyak 350 juta ton CO2-e (Gambar 31). Berbeda dengan hasil penghitungan pada RAN GRK ini, di dalam Perpres 61/2011, indikasi penurunan emisi 26% dari Sektor Kehutanan dan lahan gambut adalah
95
sebanyak 672 juta ton CO2e/tahun. Perbedaan target penurunan emisi menurut Perpres 61/2011 dengan hasil penghitungan RAN GRK ini disebabkan oleh 2 faktor: 1. Perpres 61/2011 dan Second National Communication (MoE, 2010, SNC) memasukkan emisi dari kebakaran gambut sebagai salah satu sumber emisi. SNC menggunakan angka perkiraan kebakaran gambut dari van der Werf et al. (2008) yang besarannya cukup tinggi, yaitu 470 juta ton CO2e/tahun pada tahun 2000-2006. Angka ini setara dengan 69% emisi 20062011 untuk semua sektor berbasis lahan menurut RAN GRK. Panduan Teknis ini tidak memasukkan kebakaran gambut dalam penghitungannya. Hal ini disebakan karena sangat tingginya tingkat ketidak-yakinannya (uncertainty) emisi kebakaran gambut, baik dari aspek data aktivitas, maupun faktor emisi. 2. Di dalam Perpres 61/2011 Sektor Kehutanan (dan lahan gambut) dianggap mampu mengkompensasi penurunan emisi dari Sektor lain. Di dalam Panduan Teknis ini perkiraan penurunan emisi dari Sektor Kehutanan dan lahan gambut tidak mengasumsikan pembebanan penurunan emisi dari sektor lain ke sektor kehutanan dan lahan gambut. Angka perkiraan penurunan emisi yang akan diajukan oleh provinsi pada RAD GRK akan menampilkan kemampuan masing-masing sektor dalam menurunkan emisi. Angka tersebut akan bervariasi tergantung kemampuan provinsi. Tidak semua provinsi akan mampu menurunkan emisi sebanyak 26% dari bidang kehutanan dan lahan gambut.
Emisi (juta ton CO2-e/tahun)
Gambar 30. Perkiraan emisi BAU dari semua sub-sektor dari bidang berbasis lahan untuk periode base year 2006-2011 dan proyeksi pada periode 20112016 serta 2016-2021. 900 800 Peternakan 700 Pemupukan 600 500 CH4 Sawah 400 Dekomposisi gambut 300 Biomas lahan gambut 200 Biomas lahan mineral 100 2006-2011 2011-2016 2016-2021 Periode
96
PEDOMAN TEKNIS PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
Dari berbagai subsektor terlihat bahwa penyumbang utama emisi sektor berbasis lahan adalah emisi dari dekomposisi lahan gambut, diikuti oleh emisi dari biomas tumbuhan lahan mineral, emisi dari biomas tumbuhan pada lahan gambut dan emisi dari lahan sawah. Sumbangan emisi dari pemupukan dan peternakan berturutturut hanya sekitar 3% dan 4% (Gambar 32). Dengan demikian usaha mitigasi perlu diprioritaskan pada sub-sektor yang menjadi sumber emisi terbesar, dalam hal ini perubahan penggunaan lahan. Pengurangan penggunaan lahan hutan dan memprioritaskan penggunaan lahan semak belukar untuk pengembangan perkebunan dan pertanian, berpotensi menurunkan emisi secara signifikan. Gambar 31. Sumbangan emisi tahunan dari berbagai sub-sektor pada sektor berbasis lahan pada periode tahun dasar (base year) 2006-2011. Pemupukan 3%
CH4 Sawah 6%
Dekomposisi gambut 37%
Peternakan 4%
Biomas lahan mineral 39%
Biomas lahan gambut 11%
Jumlah = 682 juta ton CO2-e
Gambar 32. Emisi dari semua sektor berbasis lahan pada skenario BAU forward looking dan skenario penurunan emisi 13% dan 20,5% dari BAU pada periode 2011-2016 dan 26% dan 41% dari BAU pada periode 2016-2021.
Emisi (juta ton CO2-e/tahun)
900
BAU
Penurunan 26%
Penurunan 41%
800 700 600 500 400 300 200 100 0 2006-2011
2011-2016
2016-2021
Periode
EMISI BAU DAN MITIGASI SEMUA SUB-SEKTOR BERBASIS LAHAN
97
REFERENSI
Agus, F., P. Gunarso, B.H. Sahardjo, N. Harris,M. van Noordwijk, danT.J. Killeen. 2013. Historical CO2 emissions from land use and land cover change from the oil palm industry in Indonesia, Malaysia and Papua New Guinea. Roundtable on Sustainable Palm Oil, Kuala Lumpur, Malaysia. Agus, F., Wahyunto, A. Dariah, E. Runtunuwu, E. Susanti dan W. Supriatna, W. 2012. Emission reduction options for peat soil in Kubu Raya and Pontianak districts, West Kalimantan, Indonesia. Journal of Oil Palm Research, 24, 1378-1387. Agus, F., dan I.G. Made Subiksa. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan Aspek Lingkungan. Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre, Bogor. Agus, F. K. Hairiah dan A, Mulyani. 2011. Measuring carbon stock in peat soils: practical guidelines. World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast Asia Regional Program dan Indonesian Centre for Agricultural Land Resources Research and Development, Bogor. 60p. Badan Litbang Pertanian. 2008-2009. Laporan Konsorsium Perubahan Iklim: Identifikasi dan Pengujian Varietas Padi Rendah Emisi Gas Rumah Kaca. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. Balai Penelitian Lingkungan Pertanian. 2007. Laporan Tahunan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta Balai Penelitian Lingkungan Pertanian. 2008. Laporan Tahunan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta Balai Penelitian Lingkungan Pertanian. 2009. Laporan Tahunan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta Balai Penelitian Lingkungan Pertanian. 2010. Laporan Tahunan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta Christian T.J., B. Kleiss, R.J. Yokelson, R. Holzinger, P.J. Crutzen, W.M. Hao, B.H. Saharjo, D.E. Ward. 2003. Comprehensive laboratory measurements of biomassburning emissions: 1. Emissions from Indonesian, African, and other fuels. J Geophys Res 108. doi:10.1029/2003JD003704 Dewi, S., F. Johana,P. Agung, M.T. Zulkarnain, D. Harja, G. Galudra, S. Suyanto, A. Ekadinata. 2013. Perencanaan Penggunaan Lahan untuk Mendukung Pembangunan
98
PEDOMAN TEKNIS PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
Rendah Emisi; LUWES - Land Use Planning for Low Emission Development STrategies, World Agroforestry Centre (ICRAF) SEA Regional Office, Bogor, Indonesia. 135p. Dewi, S., M. van Noordwijk, dan P. Minang. 2012. Reference Emission Levels (REL) in the context of REDD and land-based NAMAs: forest transition stages can inform nested negotiations. Submission to SBBSTA UNFCCC, February 28, 2012. Dirjen Peternakan 2012. Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementrian Pertanian. FAO (Food and Agriculture Organization). 2010. The State of Food Insecurity in The World : Addressing in food insecurity in protracted crisis. FAO Publishing Branch, Rome, Italy, 62 p. Forster, P., V. Ramaswamy, P. Artaxo, T. Berntsen, R. Betts, D.W. Fahey, J. Haywood, J. Lean D.C. Lowe, G. Myhre, J. Nganga, R. Prinn, G. Raga, M. Schulz, R. Van Dorland. 2007. Changes in atmospheric constituents and in radiative forcing. Climate change 2007: the physical science basis. Contribution of working group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental panel on climate change. Solomon S, Qin D, Manning M, Chen Z, Marquis M, Averyt KB, Tignor M, Miller HL (eds) Cambridge University Press, Cambridge, United Kingdom and New York, NY, USA, Intergovernmental Panel on Climate Change. Gunarso, P., M.E. Hartoyo, F. Agus, T.J. Killeen. 2013. Oil palm and land use change in Indonesia, Malaysia And Papua New Guinea. Roundtable on Sustainable Palm Oil. Kuala Lumpur, Malaysia. Hairiah, K., S. Dewi, F. Agus, S. Velarde, A. Ekadinata, S. Rahayu and M. van Noordwijk. 2011. Measuring Carbon Stocks Across Land Use Systems: A Manual. World Agroforestry Centre (ICRAF), SEA Regional Office, Bogor, Indonesia. 154 halaman. Harja D., S. Dewi, M. van Noordwijk, A. Ekadinata and A. Rahmanulloh A. 2011. REDD Abacus SP - User Manual and Software. World Agroforestry Centre - ICRAF, SEA Regional Office, Bogor, Indonesia. 89 p. Hergoualc’h, K. and L. V. Verchot. 2013. Greenhouse gas emission factors for land use and land-use change in Southeast Asian peatlands. Mitig Adapt Strateg Glob Change. DOI 10.1007/s11027-013-9511-x. Huang, Y., H. Wang, H. Huang, Z.W. Feng, Z.H, Yang, dan Y.C. Luo. 2005. Characteristics of Methane Emission from Wetland Rice–Duck Complex Ecosystem. Agriculture, Ecosystems and Environment 105:181–193 IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change). 2006. IPCC Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories. Prepared by The National Greenhouse Gas Inventories Programme, In Eggleston H.S., Buendia, L., Miwa, K., Ngara, T. & Tanabe, K. (Eds.). IPCC National Greenhouse Gas Inventory Programme, Published by IGES
REFERENSI
99
Institute for Global Environmental Strategies (IGES), Hayama, Japan. IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change). 2013. Drained inland organic soils, Chapter 2 in Wetland Supplement of IPCC Good Practice Guidelines. IPCC, IGES Institute for Global Environmental Strategies (IGES), Hayama, Japan (in Press). Kalsum, L., N. Ngudiantoro, M. Faizal and A. Halim Pks. 2013. Controlling CO2 and CH4 emission in a degraded peat swamp forest related to water table and peat characteristics. Applied Mechanics and Materials, 391:202-206. Mezbahuddin, M., R. F. Grant and T. Hirano. 2013. Modelling effects of seasonal variation inwater table depth on net ecosystem CO2 exchange of a tropical peatland. Biogeosciences Discuss., 10, 13353–13398, 2013, doi:10.5194/bgd-10-133532013. MoF (Ministry of Forestry). 2008. IFCA 2007 Consolidation Report: Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation in Indonesia, Published by FORDA, MoF, Jakarta. MoE (Ministry of Environment). 2010. Second National Communication. MoE, Jakarta. Morand, D.T. 2010, The World Reference Base for Soils (WRB) and Soil Taxonomy: an initial appraisal of their application to the soils of the Northern Rivers of New South Wales. Proceedings 19th World Congress of Soil Science, 1 – 6 August 2010, Brisbane, Australia, Hal. 28-31. Mulyadi, A. Pramono, Poniman dan A. Wihardjaka. 2004. Pengaruh pupuk kandang terhadap hasil padi gogo rancah dan emisi gas CH4 di lahan sawah tadah hujan. Seminar Nasional Pengelolaan Lingkungan Pertanian. 479-485. Mosier A., C. Kroeze, C. Nevison, O. Oenema, S. Seitzinger S, O. van Cleemput. 1999. An overview of the revised 1996 IPCC guidelines for national greenhouse gas inventory methodology for nitrous oxide from agriculture. Env Sci & Pol 2(3):325– 333. Mosier, A.R., M.A. Bleken, C. Pornipol, E.C. Ellis, J.R. Freney, R.B. Howarth, P.A. Matson, K. Minami, R. Naylor, K.N. Weeks, Z. Zhu. 2001. Policy implications of human-accelerated nitrogen cycling. Biogeochemistry 52:281–320 Neue, H.U., dan R.L. Sass. 1994. Trace gas emission from rice fields. Environ. Sci. Research 48 : 119 – 147. Purnomoadi, A., E. Rianto, K. Higuchi and M. Kurihara. 2005. Beer cake could reduce methane production from buffalo fed basal diet containing rice straw and commercial concentrate. Proc The 2nd Greenhouse Gases and Animal Agriculture. Zurich. Pusdatin (Pusat Data dan informasi Pertanian). 2013. Informasi Ringkas Komoditas
100
PEDOMAN TEKNIS PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
Perkebunan, No. 01/01/I, 7 Januari 2013. Pusdatin, Jakarta. Ritung, S., Wahyunto, K. Nugroho, Sukarman, Hikmatullah, Suparto, C. Tafakresnanto. 2011. Peta Lahan Gambut Indonesia Skala 1:250.000 (Indonesian peatland map at the scale 1:250,000). Indonesian Center for Agricultural Land Resources Research and Development, Bogor, Indonesia. Robertson, G.P., P.M. Vitousek. 2009. Nitrogen in agriculture: balancing an essential resource. Annu Rev Energy Environ 34:97–125. doi:10.1146/annurev. environ.032108.105046 Setyanto, P., A.K. Makarim, A.M. Fagi, R. Wassmann, L.V. Buendia. 2000. Crop management affecting methane emission from irrigated and rainfed rice in central Java. N.C.E. 58 : 85-93 Setyanto et al. 2002. Influence of soil properties on CH4 emission from rice field, Indonesian J Ag. Sci. Setyanto, P., A. Suharsih, A. Wihardjaka, A.K. Makarim. 1999. Pengaruh pemberian pupuk anorganik terhadap emisi gas metan pada lahan sawah. Risalah Seminar Hasil Penelitian Emisi Gas Rumah Kaca Dan Peningkatan Produktifitas Padi di Lahan Sawah. 36-43. Setyanto, P. 2001. Methane emission from three soil types planted with flooded rice. M.S. Thesis, Universiti Putra Malaysia. Serdang, Malaysia. Setyanto, P. 2004. Methane emission from rice field under different crop establisments and rice cultivars. Ph. D Disertation. Universiti Putra Malaysia. Serdang, MaSetyanto, P. A.B Rosenani, R. Boer, C.I. Fauziah and M.J. Khanif. 2005. The Effect of Rice Cultivars on Methane Emission From Irrigated Rice Field. Indonesian Journal of Agricultural Sciences. IAARRD. MoA Indonesia. Setyanto, P., H. Burhan, S. Y. Jatmiko. 2008. Effectiveness of water regime and soil management on methane emission reduction from rice field. Prosiding seminar Nasional pencemaran lingkungan pertanian melalui pendekatan pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) secara terpadu. 219-233 Setyanto, P., A.K. Makarim, A.M. Fagi, R. Wassmann, L.V. Buendia. 2000. Crop management affecting methane emission from irrigated and rainfed rice in central Java. N.C.E. 58 : 85-124 Suharsih, P. Setyanto, A.K. Makarim. 2004. Emisi gas metan pada lahan sawah irigasi inceptisol akibat pemupukan nitrogen pada tanaman padi. PP Tanaman Pangan 22 (2) : 43-47 Thalib, A., Suryahadi dan Unadi, A. 2008. Verifikasi Laju Emisivitas GRK Pada Peternakan. Laporan Akhir Konsorsium Penelitian dan Pengembangan Perubahan
REFERENSI
101
Iklim pada Sektor Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian . Thalib, A. dan Y. Widiawati. 2008. Peningkatan produksi dan kualitas susu dengan emisi gas metan yang rendah melalui pemberian RMK sebagai imbuhan pada ransum sapi perah. Pros. Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas 2020. Puslitbangnak dan STEKPI, pp. 82-87. Jakarta, 21 April 2008 US-EPA (United States Environmental Protection Agency). 2012. Notice of Data Availability concerning Renewable Fuels Produced From Palm Oil Under the RFS Program; Extension of Comment Period. Federal Register / Vol. 77, No. 30 / Tuesday, February 14, 2012. Van der Werf, G.R., J. Dempewolf, S.N. Trigg, J.T. Randerson, P.S. Kasibhatla, L. Giglio, D. Murdiyarso, W. Peters, D.C. Morton, G.J. Collatz, A.J. Dolman and R.S. DeFries. 2008. Climate regulation of fire emissions and deforestation in equatorial Asia. PNAS 105(51): 20350–20355. Van Noordwijk, M., S. Dewi, N. Khasanah, A. Ekadinata, S. Rahayu, J.P. Caliman, M. Sharma dan R. Suharto. 2010. Estimating the Carbon Foot print of Biofuel Production from Oil Palm: Methodology and Results from Two Sites in Indonesia. International Conference on Oil Palm and Environment, 23-25 Feb. 2010, Bali, Indonesia. Watanabe, A., H. Yamada, dan M. Kimura. 2005. Analysis of Temperature Effects on Seasonal and Interannual Variation in CH4 Emission from Rice-Planted Pots. Agriculture, Ecosystems and Environment 105 : 439–443 Widiawati, Y. 2013. Current and Future Mitigation Activities on Methane Emission from Ruminant in Indonesia. Paper in International Workshop on Inventory Data and Mitigation of Carbon and Nitrogen Cycling From Livestock in Indonesia. Jakarta, 24th April 2013. Wina, E. 2012. Saponins: Effects on Rumen microbial ecosystem and metabolism in the rumen. In: Dietary phytochemicals and microbes. Patra, A.K. (ed).Springer. London. Pp. 311-350. Yokelson, R.J., R. Susott, D.E. Ward, J. Reardon and D.W.T. Griffith. 1997. Emissions from smoldering combustion of biomass measured by open-path Fourier transform infrared spectroscopy. Journal of Geophysical Research 102: 18865–18877.
102
PEDOMAN TEKNIS PENGHITUNGAN BASELINE EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR BERBASIS LAHAN
Didukung oleh