PEMANTAUAN KUALITAS PERAIRAN RAWA JABUNG BERDASARKAN

Download Pemantauan Kualitas Perairan Rawa Jabung berdasarkan. Keanekaragaman dan ... biota air, baik berupa makrobentos, meiobentos, ikan, plankton...

0 downloads 379 Views 207KB Size
BioSMART Volume 2, Nomor 1 Halaman: 40 - 46

ISSN: 1411-321X April 2000

Pemantauan Kualitas Perairan Rawa Jabung berdasarkan Keanekaragaman dan Kekayaan Komunitas Bentos KUSUMO WINARNO, OKID PARAMA ASTIRIN, AHMAD DWI SETYAWAN Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta ABSTRAK Benthos could be used as a reliable indicator of the quality of aquatic environment. The habitats of the fauna are in the sediment, and their respond to their environment is as their long term of adaptation form. The purposes of the study were to know: The diversity and richness of benthic community at Jabung Tuban district and Lamongan, East Java, and the water quality at Jabung swamp based on the diversity and richness of benthic community. The study including: field sampling, identification, and data analysis at laboratory. Locations of the study were at inlet, pools and outlet, with triplicate in each location. Samples were taken on September to November 1999. Collection was done using surber with soil sampling methods. Thirteen benthos spesies were found in the study can be grouped into 3 families: Mollusca (5 spp.), Annelids (5 spp.) and insects (3 spp.). Benthic community could be used to know the level of water pollution. Based on the index of benthic diversity, Jabung swamp can be categorized as medium to heavy polluted. Key words: biomonitoring, water quality assesment, Jabung swamp, benthos

PENDAHULUAN Indonesia memiliki sekitar 200 sungai yang cukup besar, seperti Bengawan Solo di Jawa, Sungai Musi dan Batanghari di Sumatera, Sungai Mahakam dan Barito di Kalimantan serta Sungai Mamberamo di Irian Jaya (Papua) (Jalal, 1987). Sungai-sungai di Indonesia dan teritorial lautnya merupakan habitat bagi 25% populasi ikan di dunia (Groombridge, 1990). Sungai-sungai ini memiliki pola kerusakan yang sama. Umumnya disebabkan penggundulan hutan, perusakan vegetasi tepian sungai, pemindahan aliran, penghilangan dan pengaturan arus air, pembuangan limbah dari pemukiman, pertanian, industri, penambangan pasir, eksploitasi berlebihan terhadap spesies endemik dan introduksi spesies asing di sungai (Dudgeon, 1992; 1994). Usaha pengendalian kerusakan sungai dan kebijakan pengelolaannya mengharuskan pemantauan kualitas akuatik sungai-sungai tersebut. Pemantauan ini umumnya dilakukan dengan menggunakan parameter fisik atau kimia, tetapi akhir-akhir ini pemantauan dengan biota lebih diperhatikan, mengingat biota lebih tegas dalam mengekspresikan kerusakan sungai, termasuk pencemaran lingkungan, karena biota terpengaruh langsung dengan sungai dalam kurun waktu yang panjang, sedang sifat-sifat fisik dan kimia cenderung menginformasikan keadaan sungai pada waktu pengukuran saja. Di samping itu, biota lebih

ramah lingkungan, lebih murah, cepat dan mudah diinterpretasikan. Penelitian tentang kemelimpahan biota sungai relatif masih jarang, termasuk di sungai-sungai kecil. Umumnya penelitian ini hanya berkaitan dengan ikan dan manfaat budidayanya. Penelitian biota air, baik berupa makrobentos, meiobentos, ikan, plankton, epifauna dan motil-fauna dapat digunakan untuk mengetahui adanya perubahan lingkungan akibat kegiatan manusia (antropogenik) (Warwick, 1993). Makrobentos (benthic macroinvertebrate) adalah salah satu indikator kualitas lingkungan akuatik yang dapat diandalkan. Fauna ini hidup di dalam sedimen, bersentuhan langsung dengan tanah dan terkena air yang masuk melalui pori-pori sedimen, sehingga tanggapan bentos terhadap lingkungannya merupakan bentuk adaptasi yang telah berlangsung dalam jangka panjang. Menurut Chessman (1995), pemantauan kualitas lingkungan sungai dengan biota dapat dilakukan terhadap berbagai jenis habitat, seperti riak (riffle), kedung (pool), kedung berbatu, hamparan makrofita dan kayu yang tenggelam. Rawa Jabung terletak di hilir Bengawan Solo, secara administratif termasuk dalam Kabupaten Tuban dan Lamongan, Jawa Timur, merupakan jenis rawa dataran banjir (flood plains; bonorowo). Habitat lokasi ini akan berubah karena akan dibangun sebuah bendungan. Oleh karena itu penelitian keanekaragaman hayati perlu dilakukan, © 2000 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta

WINARNO dkk. – Bentos di Rawa Jabung

sehingga setelah bendungan dibangun dapat dilakukan studi ulang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) keanekaragaman dan kekayaan komunitas bentos di Rawa Jabung, Kabupaten Tuban dan Lamongan, Jawa Timur, serta (2) kualitas perairan rawa tersebut berdasarkan keanekaragaman dan kekayaan komunitas bentos.

41

sebanyak 10 spesimen untuk awetan. Spesies ini dimatikan dalam formalin 4%, lalu disimpan dalam etanol 70%. Peralatan koleksi dicuci sebelum digunakan untuk mengambil sampel lain Semua spesimen bentos diidentifikasi ulang di laboratorium dengan mikroskop dan mikroskop stereo, dipandu pustaka-pustaka: Dean dan Suter (1996), Florowits dkk. (1995), Harvey dan Growns (1996), serta Hawking (1986; 1993; 1995).

METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif yang dilakukan secara eksploratif di lapangan dan di laboratorium. Adapun langkahlangkah pelaksanaannya meliputi: sampling di lapangan, dilanjutkan identifikasi dan analisis data di laboratorium. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian dibagi dalam tiga stasiun, yaitu stasiun I: Babat (saluran masuk dari Bengawan Solo), stasiun II: Baturan (kolam rawarawa) dan stasiun III: Jabung (saluran keluar kembali menuju Bengawan Solo). Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September sampai dengan Nopember 1999. Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi surber/ hand held dip net, hand counter, Sedgewick-Rafter Counting Cells (SRCC), sekop, mikroskop, mikroskop stereo, lup, pipet, forcept, nampan putih, ayakan dan botol koleksi/flakon. Bahan kimia yang diperlukan adalah formalin 4% dan alkohol 70% untuk pengawetan. Cara Kerja Pada setiap stasiun penelitian dilakukan tiga kali ulangan. Masing-masing mewakili kondisi habitat air mengalir (riffle), air tenang/kedung (pool) dan di sekitar hamparan makrofita akuatik. Koleksi dilakukan dengan surber, menggunakan metode soil sampling. Surber ditancapkan secara penuh ke dasar perairan yang mengandung sedimen. Kemudian isi surber dituang ke dalam ayakan bertingkat, lalu fauna yang terkoleksi dipindah dengan forcept kecil atau pipet ke nampan sortasi berwarna putih, diratakan dan diberi sedikit air. Bentos langsung diidentifikasi serta dicatat jumlah dan jenisnya (setidak-tidaknya sampai tingkat familia). Semua spesimen diamati, baik yang terlihat nyata dan berwarna atau yang kecil dan tersembunyi. Spesimen diseleksi dan dihitung ketika masih hidup, dimana binatang yang ukurannya kecil dan tersembunyi mudah diamati melalui gerakannya. Setiap spesies dikoleksi

Analisis data Data jumlah organisme yang didapatkan dari perhitungan pada ketiga stasiun, kemudian dianalisis dengan rumus indeks diversitas Shannon Wienner: H’ = - ∑t i ni/N log e ni/N Dimana: H’ = indeks diversitas dari komunitas t = jumlah spesies n = jumlah individu dari masing-masing spesies N = jumlah seluruh individu Menurut Odum (1983), pada ekosistem alamiah yang subsidi energinya tidak besar, maka indeks diversitasnya akan berkisar dari 0,6 sampai dengan 0,8. Apabila terjadi pencemaran bahan kimia atau bahan organik (eutrofikasi), maka dapat terjadi penurunan indeks diversitas. Sedang menurut Lee dkk. (1978), perairan yang belum tercemar memiliki indek diversitas > 2,0, tercemar ringan = 2,0-1,6, tercemar sedang = 1,5-1,0 dan tercemar berat <1,0. HASIL DAN PEMBAHASAN Keanekaragaman Bentos di Rawa Jabung Dalam penelitian ini ditemukan 13 spesies bentos yang terkelompok dalam tiga familia, yaitu Mollusca (5 spp.), Annelida (5 spp.) dan Insecta (3 spp.) (periksa tabel 1). Dua familia yang pertama merupakan spesies khas akuatik, dimana selama hidupnya berada di sekitar habitat ini, sedang Insecta umumnya hanya pada masa muda (juvenile) hidup di habitat akuatik, selanjutnya tumbuh dan dewasa sebagai fauna terestrial. Keanekaragaman dan kemelimpahan spesies bentos sangat bervariasi berdasarkan ketinggian okasi dari permukaan laut, jumlah terendah terdapat pada ketinggian 1800-2000 m dpl. (Furtado, 1969; St. Quentin, 1973). Pada habitat alami yang jauh dari campur tangan manusia, biasanya ditemukan lebih dari 100 individu bentos setiap sekitar 10 m2 (Chessman, 1995; Wright dkk., 1995).

BioSMART, Vol. 2, No. 1, April 2000, hlm. 40 - 46

42

Tabel 1. Spesies-spesies bentos di stasiun Babat (saluran masuk), stasiun Baturan (kolam rawa) dan stasiun Jabung (saluran keluar) No

Nama

Fam. Mollusca 1. Sabularium anum 2. Cymbela sp. 3. Eudorina aureum 4. Coelastrum sp 5. Omphycochytium sp Fam. Annelida 1. Eunotia sp 2. Mougeotia sp 3. Noteus amphus 4. Lymnaea 5. Milasteria agata Fam. Insecta 1. Valio carpas 2. Chloropela 3. Tribolium sp Indeks Diversitas (Shannon Wienner) Rata-rata indeks diversitas (Shannon Wienner)

1

Babat 2

3

1

Baturan 2

3

1

Jabung 2

3

1 1 -

9 1 -

3 6 2

2 1 1 3

1 4 7 2 1

5 6 1 1

4 9 11

9 2 1 1

2 4 1 1

8 12 -

1 -

5 -

25 19 21

1 9 1

4 2

3 4 4 2 1

14 11 16 -

2 3 -

2 0,7702

2 0,3610

4 0,9004

0,6772

Kehidupan bentos di habitat perairan tawar didominasi oleh anggota-anggota familia Mollusca, Annelida dan Insecta, meskipun distribusi, keanekaragaman dan kemelimpahannya berbedabeda tergantung faktor-faktor lingkungan yang ada. Keberadaan Mollusca sangat dipengaruhi ketinggian tempat dari permukaan laut (altitude).. Familia ini umumnya melimpah pada ketinggian rendah (Hubbard dan Peters, 1984). Pada musim hujan, dimana masukan allochtonous bahan organik meningkat dan luasan badan air bertambah, antara lain dengan terbentuknya dataran banjir, maka sebagian besar anggotanya melakukan reproduksi, sehingga tingkat kemelimpahannya sering kali bertambah. Mollusca umumnya hidup sebagai meiobentos di dalam sedimen, meskipun ada pula yang hidup di permukaan batuan atau menempel pada makrofita akuatik. Familia Annelida yang hidup sebagai bentos, hampir selalu dalam bentuk meiobentos, yakni tertanam di dalam sedimen. Familia ini biasa ditemukan di dataran rendah, dan seringkali melimpah di badan-badan air yang tercemar secara fisik maupun kimia. Kemampuan adaptasinya ini diberikan oleh sistem respirasi, reproduksi dan nutrisinya. Di samping itu pada tempat-tempat yang tercemar, ikan sebagai predator utamanya sering tidak dapat bertahan hidup, sehingga Annelida dapat berkembang biak dengan predasi minimal. Familia Insecta umumnya mendominasi kehidupan bentos di perairan yang cenderung masih perawan/asli dan terletak di dataran tinggi.

2 1 1 1,8621

6 1,5644 1,6865

1 1,7858

1,7092

4 2 1,828

2 1,8409

1,8437

Golongan ini lebih banyak hidup di permukaan bebatuan (makrobentos) dari pada di dalam sedimen (meiobentos). Menurut Hubbard dan Peters (1984), pada ketinggian rendah, yakni di bawah 300 m dpl keanekaragaman dan kekayaan jenisnya mulai berkurang. Sungai Bengawan Solo Sungai Bengawan Solo merupakan sungai terbesar dan terpanjang di Pulau Jawa. Sungai ini memiliki panjang sekitar 600 km, melewati kawasan yang dihuni puluhan juta manusia. Daerah Aliran Sungai Bengawan Solo meliputi dua propinsi, yaitu Jawa Tengah dan Jawa Timur serta melewati 17 Kabupaten/Kotamadya, dari Kabupaten Wonogiri di hulu hingga Kabupaten Tuban dan Lamongan di hilir. Di sepanjang tepian sungai ini terdapat berbagai macam kegiatan manuasi yang berpengaruh terhadap kualitas sungai, terutama buangan limbah domestik/pemukiman dan industri. Bengawan Solo sebagai bentuk sungai besar dan memiliki dataran banjir memangku konsep flood pulse (Bayley, 1995; Junk dkk., 1989), dimana sifat hidrologinya sangat dipengaruhi oleh banjir tahunan pada musim hujan, yang menyebabkan areal sungai meluas ke arah samping (Amoros, 1991). Pada saat banjir organisme akuatik berpindah dari batang sungai ke dataran banjir, memanfaatkan habitat dan sumber energi baru, serta membentuk biomassa baru seperti larva ikan, invertebrata dan serangga air (Johnson dkk., 1995). Rawa Jabung merupakan salah satu kawasan dataran banjir Bengawan Solo. Rawa ini terletak di

WINARNO dkk. – Bentos di Rawa Jabung

bagian hilir, menjelang muara sungai, sehingga kondisi fisik, kimia dan biota di lokasi ini mewakili akumulasi pengaruh kegitan manusia terhadap sungai tersebut, mulai dari hulu hingga hilir. Pengaruh-pengaruh ini antara lain berupa kerusakan vegetasi riparian (daerah aliran sungai) yang mengakibatkan tingginya tingkat sedimentasi, eksploitasi yang berlebih sehingga mengurangi tingkat keanekaragaman dan kekayaan spesiesspesies fauna akuatik, pencemaran material kimia dan fisik dari industri, masukan allochtonous berupa sampah organik dari pemukiman/perkotaan yang menyebabkan melimpahnya beberapa spesies tertentu, sebaliknya mengurangi keanekaragaman jenis yang semula ada dan lain-lain. Pencemaran Lingkungan Limbah organik yang dibuang ke perairan dapat menjari bahan pencemar. Limbah ini menyebabkan terjadinya eutrofikasi, suatu proses pengkayaan unsur hara pada suatu perairan, sehingga kualitas air tidak layak bagi kebutuhan hidup sehari-hari. Limbah organik dapat merubah serangkaian sifat fisik, kimia, dan biologi perairan. Bahan-bahan tersebut akan diuraikan oleh kegiatan bakteri menjadi amonia dan ntrit, yang akhirnya menjadi nitrat dan fosfat. Senyawa-senyawa ini digunakan oleh fitoplankton, terutama dari kelas Cyanophyceae dan Chlorophyceae untuk tumbuh dan berkembang, sehingga sering mengakibatkan pertumbuhan pesat (blooming). Kondisi ini dapat mempengaruhi rantai makanan, dimana jumlah fitoplankton yang berlebihan menyebabkan grazing oleh zooplankton dan ikan-ikan kecil berkurang, sehingga jumlahnya terus bertambah. Meningkatnya pertumbuhan fitoplankton Cyanophyceae yang sukar dicerna atau tidak dapat digunakan sebagai makanan zooplankton dan ikan-ikan kecil, menyebabkan perairan menjadi keruh, terbentuk lapisan pekat pada permukaan air, serta terbentuk gelembunggelembung gas semacam buih tebal yang menimbulkan bau dan rasa tidak enak serta pandangan yang kurang sedap. Di lain pihak akan terjadi perubahan komposisi jenis-jenis ikan, dimana ikan-ikan yang tidak dapat bertahan akan digantikan ikan-ikan yang lebih toleran. Parameter Kualitas Lingkungan Parameter kualitas lingkungan perairan dapat didekati secara fisik, kimia dan biologi. Adapun kriteria kualitas perairan yang bersifat fisik antara lain: temperatur dan kejernihan, sedang yang bersifat kimia antara lain: konsentrasi ion hidrogen (pH), oksigen terlarut (DO), karbon dioksida bebas

43

(CO2), kalsium (Ca), sulfat (SO4), fosfat (PO4) dan nitrit (NO2). Penggunaan biota air untuk pengujian kualitas perairan relatif masih baru, menyusul penggunaan karakter fisik dan kimia yang telah dilakukan sejak lama. Pada masa lalu, penggunaan biota dalam pengujian kualitas perairan jarang digunakan, karena belum dibakukannya standardisasi dan membutuhkan waktu yang relatif lama, sehingga tidak praktis dan mahal. Namun dengan berkembangnya ilmu dan teknologi, kesulitan ini telah teratasi terutama dengan ditemukannya pola standardisasi yang tepat, serta metode yang lebih praktis dan efisien (Plafkin dkk., 1989; Norris dan Gorges, 1986; Chambell, 1982). Biota akuatik dapat digunakan untuk mengetahui perubahan dan pencemaran lingkungan; toksisitas limbah dan dampaknya terhadap lingkungan; akumulasi limbah pada biota dan pengaruhnya terhadap rantai makanan; serta pengaruh limbah, penggunaan air dan tanah terhadap ekosistem (Norris dan Norris, 1995). Komunitas Bentos Komunitas merupakan tingkat organisasi biologi paling sesuai untuk mempelajari dampak perubahan lingkungan perairan. Komunitas alami bersifat dinamis dan selalu berubah menuju keseimbangan (Botkin, 1990; Pimm, 1991). Pada tingkat organisasi yang lebih rendah, baik biokimia, fisiologi maupun seluler, pengaruh ini sulit diperkirakan dan hanya mencerminkan keadaan sesaat, sedang pada tingkat organisasi yang lebih tinggi, yakni ekosistem, pemantauan sulit dilakukan karena komplek (Warwick, 1993). Spesies-spesies bentos yang ditemukan dalam penelitian ini umumnya merupakan spesies yang hidup di dalam sedimen (meiobentos), hal ini selain terkait dengan metode yang digunakan, yaitu soil sampling, juga dikarenakan stasiun penelitian umumnya memiliki aliran air yang relatif tenang dan dasar perairan mengandung sedimen, sehingga bentos yang hidup di permukaan dasar perairan (makrobentos) umumnya hanya sedikit. Keadaan sedimen merupakan faktor pembatas distribusi bentos. Sedimen yang terganggu kestabilannya pada musim hujan, sangat mempengaruhi keberadaan bentos (Dudgeon, 1984). Populasi bentos dapat terus bertambah selama pemasukan bahan makanan terjamin dan tidak ada pencucian sedimen (Bishop, 1973). Sekalipun apabila dasar perairan terganggu, bentos dapat segera melakukan rekolonisasi (Benzie, 1984). Populasi dan keanekaragaman jenis bentos mencapai puncaknya pada awal musim kemarau dan mencapai titik terendah pada musim hujan

44

BioSMART, Vol. 2, No. 1, April 2000, hlm. 40 - 46

(Singh dan Srivastava, 1989; Wirjoatmodjo dan Atmowidjojo, 1985). Banjir satu malam dapat mencuci komunitas bentos, tetapi periode daur hidup bentos akan mengembalikan densitas populasi dan komposisi komunitas ini ke posisi semula (Dudgeon, 1992). Biomonitoring dengan Bentos Dalam pengujian kualitas perairan, bentos cenderung lebih bernilai dari pada organisme lain. Bentos hidup melekat pada permukaan tanah atau di dalam tanah dan tidak mudah berpindah-pindah, sehingga kemelimpahan dan keanekaragamannya merupakan tanggapan adaptasi yang panjang/lama terhadap faktor-faktor lingkungan perairan di sekitanya. Fauna motil, seperti ikan dapat berpindah tempat apabila kondisi lingkungan berubah, dan segera kembali lagi apabila kondisi lingkungan memungkinkan. Pada bentos tindakan ini tidak dapat dilakukan. Motilitasnya yang rendah, menyebabkan bentos tidak bebas bergerak untuk mencari badan air yang lebih sesuai bagi kehidupannya, sehingga apabila terjadi perubahan lingkungan, maka pilihannya hanya menyesuaikan diri atau mati. Pada lingkungan akuatik yang berubah namun telah kembali mencapai keseimbangannya, maka keberadaan ikan-ikan tertentu dapat menggantikan ikan-ikan yang semula ada di tempat tersebut. Namun dalam lingkungan akuatik yang kondisinya masih terus berubah biota ini sulit menggambarkan keadaan habitat akuatiknya secara lengkap, karena tingginya tingkat migrasi. Di kawasan industri yang telah mapan, dimana jenis-jenis bahan pencemar yang dibuang ke badan air cenderung telah memiliki komposisi jenis yang tetap, maka beberapa spesies ikan tertentu dapat beradaptasi dan tumbuh melimpah, karena berkurangnya kompetisi dengan spesies lain dalam kebutuhan makanan dan ruang. Sedang pada kawasan industri yang belum mantap, dimana jenis dan jumlah pabrik masih terus berubah, sehingga komposisi jenis limbahnya masih berubah-ubah, maka seringkali komposisi spesies-spesies ikannya berubah-ubah dalam jangka waktu pendek. Di kawasan industri sekitar Kabupaten Karanganyar, komunitas ikan pada anak-anak sungai Bengawan Solo yang melewati kawasan industri tersebut didominasi oleh ikan lele, garingan dan ikan introduksi sapu-sapu, disamping Gambusia yang sejak lama telah melimpah. Penggunaan komunitas plankton untuk menguji kualitas perairan yang selama ini sering dilakukan, karena lebih mudah dalam assay-nya juga memiliki beberapa kelemahan dibanding bentos. Kehidupan plankton yang melayang-layang dan terbawa air,

menyebabkan pengambilan data di suatu titik di sungai, sering tidak mencerminkan kondisi lingkungan pada tempat pengambilan data, akan tetapi menunjukkan kondisi lingkungan sungai sejauh beberapa kilometer ke arah hulu, tergantung kecepatan aliran air. Sehingga keanekaragaman dan dan kemelimpahan planton di suatu titik hanya menjelaskan kondisi lingkungan sesaat. Penggunaan karakter fisik dan kimia untuk menguji kualitas perairan sungai juga memiliki beberapa kelemahan. Salah satu kelemahan mendasar adalah sifat-sifat yang terukur merupakan kondisi sesaat dan akan berubah sesuai dengan mengalirnya arus sungai. Pada pengamatan kondisi fisik, misalnya tingkat sedimentasi, maka akan terjadi perbedaan sangat menyolok antara musim hujan dan kemarau. Suhu badan air pada sungai yang melewati kawasan industri yang IPAL-nya tidak sempurna juga berubah-ubah sesuai dengan volume dan jenis limbah cairnya. Sebagaimana suhu, faktor-faktor kimia seperti BOD, COD, pH, kandungan logam berat, kandungan nitrit dan lainlain juga berubah-ubah dan umumnya hanya mencerminkan kondisi kualitas badan air pada saat pengujian. Di samping itu, penggunaan bahanbahan kimia dalam pengujian kualitas air tidak bersifat ramah lingkungan, karena reagen kimia yang digunakan umumnya bersifat racun bagi lingkungan, meskipun dalam kadar yang relatif terbatas. Kualitas Perairan Rawa Jabung Berdasarkan indeks diversitas bentos, maka Rawa Jabung dan kawasan sekitarnya termasuk dalam katagori tercemar sedang dan berat. Stasiun Babad yang merupakan saluran masuk air Bengawan Solo ke kolam rawa memiliki indeks diversitas rata-rata hanya 0.6772, sehingga tergolong tercemar berat (ID < 1,0), sedangkan stasiun Baturan yang merupakan kolam rawa dan stasiun Jabung yang merupakan saluran keluar dari rawa kembali menuju Bengawan Solo, secara berturut-turut memiliki indeks diversitas rata-rata sebesar 1,8437 dan 1,6865, sehingga termasuk katagori tercemar sedang (ID = 1,5-1,0). Tingkat pencemaran sedang dan berat untuk kawasan hilir Sungai Bengawan Solo merupakan kenyataan yang memprihatinkan, meskipun telah dirasakan sejak lama. Tingginya populasi penduduk di Daerah Aliran Sungai tersebut menyebabkan tingginya eksploitasi alam dan kebutuhan akan lahan. Hal ini menyebabkan tingginya tingkat perubahan hutan dan kawasan perlindungan untuk lahan pertanian, pemukiman, jalan, industri dan lain-lain, sehingga luasan kawasan konservasi

WINARNO dkk. – Bentos di Rawa Jabung

berkurang serta terjadi sedimentasi dan perubahan pola pengaturan air (hidrologi). Proses industrialisasi di Jawa, yang pada masa lalu bertumpu pada murahnya tenaga kerja dan longgarnya penegakan peraturan di bidang lingkungan memiliki andil besar terhadap masuknya sejumlah besar limbah industri, baik fisik maupun kimia ke dalam perairan Bengawan Solo. Tumbuhnya pemukiman dan perkotaan baru juga menambahkan masukan limbah organik ke badan air, sehingga menyebabkan tingginya allochtonous yang hanya mendukung dan memacu kehidupan/ organisme tertentu. Tingkat pencemaran di sekitar Rawa Jabung (hilir Bengawan Solo) merupakan konsekuensi logis dari proses pembangunan dan penegakan hukum yang terjadi sebelumnya. Dalam penelitian ini, indeks diversitas bentos di kolam rawa (stasiun Baturan) dan saluran keluar (stasiun Jabung) jauh lebih tinggi dari pada indeks diversitas bentos di saluran masuk (stasiun Babat). Pada stasiun Baturan dan Jabung tingkat pencemarannya adalah tercemar sedang dan pada stasiun Babat tergolong tercemar berat. Hal ini menunjukkan bahwa air di saluran masuk masih merupakan air yang sama dengan air Sungai Bengawan Solo sehingga tingkat pencemarannya setara dengan sungai tersebut. Sedang air di dalam kolam rawa dan saluran keluar telah mengalami pengendapan, terjadi proses mineralisasi bahan organik serta perubahan-perubahan fisik dan kimia lainnya, sehingga tingkat pencemarannya menurun. Fakta ini mendukung asumsi yang selama ini dipercaya bahwa kawasan rawa-rawa pantai, termasuk hutan mangrove berperan besar dalam menurunkan tingkat pencemaran badan air, serta menjadi daerah penyangga (buffer) bahan pencemar dari daratan ke laut atau sebaliknya. Oleh karena itu pengelolaan kawasan Rawa Jabung merupakan bagian integral dari sistem pengelolaan daerah aliran sungai Bengawan Solo, mulai dari gununggunung di daerah hulu sungai hingga kawasan hutan mangove di muara. KESIMPULAN Dari hasil penelitian dapat disimpulakan bahwa: (1) di Rawa Jabung, ditemukan 13 spesies bentos, yang tergolong dalam tiga familia, yaitu Mollusca (5 spp.), Annelida (5 spp.) dan Insecta (3 spp.); (2) berdasarkan indeks diversitas bentos, maka Rawa Jabung dapat digolongkan tercemar sedang hingga berat, dimana pada saluran masuk tergolong tercemar berat dengan indek diversitas 0,6772, sedang pada kolam rawa dan saluran keluar tergolong ercemar sedang dengan indeks diversitas

45

secara berturut-turut 1,6865 dan 1,8437; (3) komunitas bentos dapat digunakan untuk mengethui tingkat pencemaran dari suatu badan perairan. DAFTAR PUSTAKA Amoros, C. 1991. Changes in Side-Arm Connectivity and Implication of River System Management. Rivers 2: 105112. Bayley, P.B. 1995. Understanding Large River Floodplain Ecosystems. BioScience 45: 153-158. Benzie, J.A.H. 1984. The Colonisation Mechanism of stream Benthos in a Tropical Rivers. Hydrobiologia 111: 171-179. Botkin, D.B. 1990. Discordan Harmonies: The New Ecology for the Twenty-First Century. Oxford: Oxford University Press. Chambell, I.C. 1982. Biological Water Monitoring: Australian Viewpoints. Dalam Water Quality Management. Monitoring Programs and Diffuse Runoff. (ed. B.T. Hart). Melbourne: Water Resources Centre, Chrisholm Institute of Technology and Australian Society for Limnology. Chessman, B.C. 1995. Rapid assessment of Rivers Using Macroinvertebrates: A Procedure Based on Habitat specific sampling, Family Level Identification and a Biotic Index. Australian Journal of Ecology 20: 122-129. Dean, J.C. dan P.J. Suter. 1996. Mayflay Nymph of Australia, A Guide to Genera. CRC for Freshwater Ecology. Identification Guide No. 7. Presented at the Taxonomy Workshop Held at the Murray-Darling Freshwater Research Centre. Albury. February 1996 Dudgeon, D. 1984. Longitudinal and Temporal Changes in Functional Organisation of Macroinvertebrate Communities in the Lam Tsuen River, Hong Kong, Hydrobiologia 111: 207-217 Dudgeon, D. 1992. Endangered Ecosystem: a Review of the Conservation Status of Tropical Asia Rivers. Hydrobiologia 248: 167-191. Dudgeon, D. 1994. Endangered Ecosystem: a Review of Threats to Tropical Asian Running Waters. Hydrobiologia, unpiblished manuscript for submission. Florowitz, P., B. Knott dan W.D. Williams. 1995. A Preliminary Key to the Malacostracan Families (Crustaceae) Found in Australian Inland Waters. CRC for Freshwater Ecology. Identification Guide No. 4. Presented at the Taxonomy Workshop Held at the Murray-Darling Freshwater Research Centre. Albury. 8-10th February 1995 Furtado, J.I. 1969. Ecology of Malaysian Odonates: Biotype and Association of Spesies. Verg. Int. Verein. Limnol 17: 863-887 Groombridge, B., 1990. Global Biodiversity: Status of the Earth Living Resources. London: Chapman and Hall. Harvey, M.S. dan J.E. Growns. 1996. A Guide to the Identification of Families of Water Mites (Arachnida: Acarina). CRC for Freshwater Ecology. Identification Guide No. 18. Presented at the Taxonomy Workshop Held at the Murray-Darling Freshwater Research Centre. Albury. 10-12th February 1998 Hawking, J.H. 1986. Dragonfly of the River Murray System. Albury-Wodonga Development Corporation. Technical Report No. 6. Albury. July 1986. Hawking, J.H. 1993. A guide to Keys and Zoolgical Information to Identify Macroinvertebrates from Fresh Water in Australia. Austr. Soc. Limnol. Newsl. 31: 44-57. Hawking, J.H. 1995. Monitoring River Health Initiative Taxonomic Workshop Handbook. Murray-Darling Freshwater Research Centre. Monitoring River Health Workshop. Albury. 6-7th Februari 1995

46

BioSMART, Vol. 2, No. 1, April 2000, hlm. 40 - 46

Hubbard W.D. dan W.L. Peters. 1984. Ephemeroptera of Sri Langka: an Introduction to Their Ecology and Biogeography. Dalam c.H. Fernando (ed.) Ecology and Biogeography in Sri Langka. The Hague: W. Junk Publishers. Hynes, H.B.N. 1970. The Ecology of Running Waters. Liverpool: Liverpool University Press. Jalal, K.F. 1987. Regional Water Resources Situation: Quantitative and Qualitative Aspects. Dalam Water Resources Policy for Asia (ed. M. Ali, G.E. Radosevich dan A.A. Khan). Boston: Balkema Publishers. Johnson, B.L., W.B. Richarson dan T.J. Naimo. 1995. Past, Present and Future Concepts in Large River Ecology. BioScience 45 (3): 134-141. Junk, W.J., P.B. Bayley dan R.E. Sparks. 1989. The Flood Pulse Concept in River Floodplain systems. Can. Spec. Publ. Fish. Aquat. Sci. 106: 110-127 Norris, R.H. dan A. Gorges. 1986. Design and Analysis for Assessment of Water Quality. Dalam: Limnology in Australia (ed. P. de Deckker dan W.D. Williams). Commonwealth Scientific and Industrial Research Organisation. Dordrecht: Melbourne and Junk Publishers Norris, R.H. dan K.R. Norris. 1995. The need for Biological assessment of Water Quality: Australian Perpective. Australian Journal of Ecology 20: 1-6 Odum, F.P. 1983. Principles of Ecolgy. Philadelphia: W.B. Saunders

Pimm, S.L. 1991. The Balance of Nature? Ecological Issues in the Conservation of Spesies and Communitie. Chicago: University of Chicago Press. Plafkin, J.L., M.T. Barbour, K.D. Potter, S.K. Gross dan R.M. Hughes. 1989. Rapid Bioassessment Protocols for Use in Streams and Rivers. Benthic Macroinvertebrates and Fish. Washington: US Environmental Protection Agency. Singh, S.R. dan V.K. Srivastava. 1989. Observation on the Bottom fauno on the Ganga River (between Buxar and Ballia) with special references to its Role in the Seasonal Abundance of Freswater Prawn Macrobrachium birmanicum Choprai (Tiwari). Acta Hydrochim. Hidrobiol. 17: 159-166. St. Quentin, D. 1973. Results of the Austrian-Ceylonese Hydrobiological Mission. Bull. Fish res. Stn. Sri Langka (Ceylon) 24: 113-124. Warwick, R.M. 1993. Environmental Impact Studies on Marine Communities: Pragmatical Considerations. Australian Journal of Ecology 18: 63-80. Wirjoatmodjo, S. dan A.H. Atmowidjojo. 1985. Insect Community of stream Ecosystem of Ketambe Forest Gunung Leuser National Park Indonesia. Berita Biologi. 3: 111-115. Wright, I.A., B.C. Chessman, P.G. Fairweather dan L.J. Benson. 1995. Measuring the Impact of Sewage Effluent on the Macroinvertebrata Community of an Upland Stream: The Effect of Different Levels of Taxonomic resolution and Quantification. Australian Journal of Ecology 20: 142-149