PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DAN PENGURANGAN PENGANGGURAN DI

Download kondisi ekonomi Indonesia, dan pada akhirnya akan berpengaruh pada jumlah penganggur. Dengan begitu besarnya dampak positif pembangunan inf...

0 downloads 527 Views 833KB Size
PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DAN PENGURANGAN PENGANGGURAN DI INDONESIA 1976 – 2006

OLEH ARDIANTI NIKEN MUSLIKHAH H 14104067

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

RINGKASAN

ARDIANTI NIKEN MUSLIKHAH. Pembangunan Infrastruktur dan Pengurangan Pengangguran di Indonesia 1976 - 2006 (dibimbing oleh D. S. PRIYARSONO).

Tingkat pengangguran di Indonesia pasca terjadinya krisis ekonomi yang mulai melanda pada tahun 1997 menunjukkan tren yang selalu meningkat. Hal ini terjadi karena banyaknya kasus Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang dilakukan oleh banyak perusahaan karena mengalami kebangkrutan sebagai dampak dari inflasi yang tinggi. Keadaan ini diperparah dengan banyaknya investor yang memindahkan investasinya dari Indonesia, sehingga menyebabkan semakin sempitnya lapangan pekerjaan di Indonesia. Sampai saat ini, setelah satu dasawarsa terjadinya krisis, perekonomian Indonesia belum mengalami kemajuan yang signifikan, terlihat dari semakin meningkatnya jumlah penganggur dan masih rendahnya kepercayaan investor untuk berinvestasi di Indonesia. Pemerintah menyadari bahwa jumlah penganggur yang semakin meningkat harus segera diatasi, karena tingginya pengangguran akan mengganggu stabilitas ekonomi. Salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah adalah dengan melaksanakan pembangunan infrastruktur yang dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) melalui instrumen pengeluaran pembangunan. Pengeluaran pemerintah untuk pembangunan infrastruktur mempunyai dua manfaat, yaitu membuka kesempatan kerja (banyaknya tenaga kerja yang dibutuhkan dalam pelaksanaan proses pembangunan) dan dalam jangka panjang akan menarik minat investor untuk berinvestasi di Indonesia sebagai hasil dari kondisi infrastruktur yang lebih baik. Kedua manfaat tersebut pada akhirnya akan mengurangi jumlah penganggur. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah (1) bagaimana bentuk keterkaitan antara jumlah pengeluaran pemerintah untuk pembangunan infrastruktur dengan jumlah penganggur di Indonesia? (2) bagaimana bentuk keterkaitan antara berbagai variabel ekonomi dengan jumlah penganggur di Indonesia? dan (3) upaya apa yang dapat ditempuh oleh pemerintah untuk mengurangi jumlah penganggur di Indonesia? Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah (1) mengidentifikasi bentuk keterkaitan antara jumlah pengeluaran pemerintah untuk pembangunan infrastruktur dengan jumlah penganggur di Indonesia; (2) mengidentifikasi bentuk keterkaitan antara berbagai variabel ekonomi dengan jumlah penganggur di Indonesia; dan (3) mengetahui upaya yang dapat ditempuh oleh pemerintah untuk mengurangi jumlah penganggur di Indonesia. Penelitian ini menggunakan data time series sejak tahun 1976-2006. Metode analisis yang digunakan adalah persamaan simultan dengan menggunakan metode Two Stage Least Square (TSLS) dengan lima persamaan. Variabel-variabel yang digunakan adalah pengangguran, pengeluaran pemerintah untuk pembangunan infrastruktur, pendapatan nasional, upah minimum, inflasi, investasi, penerimaan pemerintah, angkatan kerja, tenaga kerja, pendapatan per kapita, nilai tukar, lag pengeluaran pemerintah untuk pembangunan infrastruktur, lag pendapatan nasional, lag upah minimum, dan lag inflasi. Pengangguran secara signifikan dipengaruhi oleh pengeluaran pemerintah untuk pembangunan infrastruktur. Peningkatan pengeluaran pemerintah untuk

pembangunan infrastruktur membuka lapangan pekerjaan pada saat proses pelaksanaan pembangunan. Adanya lapangan kerja baru mengurangi jumlah penganggur. Pengangguran secara signifikan juga dipengaruhi oleh upah minimum dan inflasi. Ini terjadi karena upah dianggap sebagai bagian dari biaya produksi, sehingga adanya peningkatan biaya produksi akan menyebabkan terjadinya PHK sehingga jumlah penganggur meningkat. Ekspektasi inflasi yang terlalu tinggi menyebabkan upah nominal meningkat lebih cepat dibandingkan peningkatan harga. Serikat pekerja yang menuntut kenaikan upah riil pada saat terjadinya inflasi menyebabkan peningkatan jumlah penganggur. Walaupun hubungan antara pendapatan nasional terhadap pengangguran benar secara teori (berhubungan negatif), tetapi pendapatan nasional tidak berpengaruh secara signifikan. Pengeluaran pemerintah untuk pembangunan infrastruktur (GEI) secara signifikan dipengaruhi oleh pengangguran, penerimaan pemerintah (GR), angkatan kerja, dan tenaga kerja. Meskipun hubungan lag GEI dan investasi benar secara teori, namun kedua variabel tersebut tidak berpengaruh secara signifikan. Pendapatan Nasional (GDP) secara signifikan dipengaruhi oleh investasi, pendapatan per kapita, angkatan kerja, dan lag GDP. Meskipun tanda dari pengangguran sesuai dengan teori, tetapi pengangguran tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pendapatan nasional. Upah minimum secara signifikan dipengaruhi oleh inflasi, NAIRU, pengeluaran pemerintah untuk pembangunan infrastruktur tahun sebelumnya, upah minimum tahun sebelumnya, dan penerimaan pemerintah. Walaupun hubungan pengangguran dan GDP terhadap upah minimum benar secara teori, tetapi kedua variabel tersebut tidak signifikan. Sedangkan inflasi dipengaruhi secara signifikan oleh nilai tukar, pengeluaran pemerintah untuk tahun sebelumnya, NAIRU, dan upah minimum. Variabel pengangguran, inflasi tahun sebelumnya, dan GDP tidak berpengaruh secara signifikan. Jumlah penganggur akan berkurang apabila ada peningkatan pengeluaran pemerintah untuk pembangunan infrastruktur. Adanya peningkatan program pembangunan infrastrukur tersebut akan membuka kesempatan kerja lebih luas. Peningkatan lapangan pekerjaan akan mengurangi jumlah penganggur. Namun, jumlah penganggur akan mengalami peningkatan apabila terjadi peningkatan upah minimum dan inflasi. Peningkatan upah minimum dan inflasi akan menyebabkan peningkatan biaya produksi, sehingga pengusaha yang rasional akan melakukan PHK untuk efisiensi biaya. Upaya yang yang dapat ditempuh oleh pemerintah untuk mengurangi jumlah penganggur di Indonesia adalah melalui peningkatan pembangunan infrastruktur, pengendalian inflasi, dan peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia.

PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DAN PENGURANGAN PENGANGGURAN DI INDONESIA 1976 – 2006

Oleh ARDIANTI NIKEN MUSLIKHAH H 14104067

Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa

: Ardianti Niken Muslikhah

Nomor Registrasi Pokok

: H14104067

Program studi

: Ilmu Ekonomi

Judul Skripsi

: Pembangunan

Infrastruktur

dan

Pengurangan

Pengangguran di Indonesia 1976-2006

dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor

Menyetujui, Dosen Pembimbing,

D.S. Priyarsono, Ph.D NIP. 131 578 814

Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,

Rina Oktaviani, Ph.D NIP. 131 846 872 Tanggal kelulusan :

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENARBENAR HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, Juni 2008

Ardianti Niken Muslikhah H14104067

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Wonogiri, Jawa Tengah, pada tanggal 3 Januari 1986 sebagai anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan H. Yusuf Supriyadi dan Hj. Sri Hartini, BA. Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1998 di SD Negeri 1 Wonokarto, Wonogiri, pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2001 di SLTP Negeri 1 Wonogiri, dan pendidikan menengah atas diselesaikan pada tahun 2004 di SMU Negeri 1 Wonogiri. Tahun 2004 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan terdaftar sebagai mahasiswa Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Selama mengikuti pendidikan, penulis terdaftar sebagai anggota organisasi Koperasi Mahasiswa (KOPMA) dan aktif dalam organisasi Sharia Student Club (SESC) pada tahun 2005, selain itu penulis juga aktif di beberapa kegiatan yang diselenggarakan oleh Koperasi Mahasiswa dan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Manajemen.

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang dengan rahmat dan karunia - Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “ Pembangunan Infrastruktur dan Pengurangan Pengangguran di Indonesia 1976 - 2006 ”. Masalah pengangguran yang terus meningkat pasca krisis ekonomi satu dasawarsa yang lalu merupakan permasalahan yang harus segera diatasi untuk mencapai kestabilan ekonomi. Kondisi infrastruktur Indonesia yang buruk diperkirakan menjadi salah satu penyebab jumlah pengangguran belum dapat diturunkan. Keterkaitan itulah yang ingin diteliti. Disamping hal tersebut, skripsi ini juga merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1. D.S. Priyarsono, Ph.D selaku dosen pembimbing yang telah sabar dalam memberikan bimbingan, baik secara teknis maupun teoritis. 2. Dr. Ir. H. Bambang Juanda, M. S, yang telah bersedia memberikan saran mengenai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). 3. Alla Asmara, S.Pt, M.Si selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan kritik yang membangun bagi kesempurnaan karya ini. 4. Jaenal Effendi, MA sebagai dosen penguji Komisi Pendidikan yang telah memberikan saran mengenai tata cara penulisan yang baik dan benar. 5. Staf Departemen Ilmu Ekonomi dan staf Fakultas Ekonomi dan Manajemen atas kerjasamanya selama penulis menuntut ilmu di Departemen Ilmu Ekonomi. 6. Seluruh staf perpustakaan IPB, FEM, BPS, BI, LIPI, dan Depnakertrans atas bantuannya pada saat penulis mencari data dan literatur yang dibutuhkan dalam penulisan skripsi ini. 7. Bapak Ibu tercinta, H. Yusuf Supriyadi dan Hj. Sri Hartini, BA, atas segala kasih sayang dan doa’nya untuk keberhasilan penulis dan selalu memberikan dukungan sehingga karya ini bisa terselesaikan. 8. Kakak tersayang, Andriyani Retno, SE dan Deli Suntoro, SE atas dukungannya selama ini.

9. Mbak Dian, terima kasih atas info dan kerja samanya selama ini. 10. Teman-teman Ilmu Ekonomi angkatan 41 atas persahabatan dan solidaritasnya selama 4 tahun kebersamaan ini. 11. Teman – teman di Wisma Gajah, terima kasih atas kebersamaan dan persaudaraannya selama 3 tahun ini. 12. Dan terakhir kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Mohon maaf apabila ada yang terlupakan oleh penulis. Terima kasih atas semua bantuan dan dukungannya selama ini.

Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkan.

Bogor, Juni 2008

Penulis

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR TABEL ..................................................................................

xii

DAFTAR GAMBAR .............................................................................

xiii

DAFTAR LAMPIRAN ...........................................................................

xiv

I.

PENDAHULUAN ........................................................................

1

Latar Belakang ................................................................................

1

Perumusan Masalah ........................................................................

10

Tujuan Penelitian ............................................................................

12

Kegunaan Penelitian ........................................................................

12

Ruang Lingkup Penelitian ...............................................................

13

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN .......

14

Tinjauan Teori .................................................................................

14

Hubungan Pengeluaran Pemerintah untuk Pembangunan Infrastruktur dan Pengangguran ..............

13

Hubungan Pendapatan Nasional dan Pengangguran ........................

18

Hubungan Inflasi dan Pengangguran ...............................................

19

Hubungan Upah Minimum dan Pengangguran .................................

22

Penelitian Terdahulu ........................................................................

24

Kerangka Pemikiran Konseptual ......................................................

32

Hipotesis Penelitian ..........................................................................

34

METODE PENELITIAN ..............................................................

36

Jenis dan Sumber Data .....................................................................

36

Metode Analisis Data .......................................................................

36

Persamaan Analisis ..........................................................................

36

3.3.1. Pengangguran (U) ............................................................

37

3.3.2. Pengeluaran Pemerintah untuk Pembangunan Infrastruktur (GEI) ................................................................................

37

3.3.3. Pendapatan Nasional (GDP) ............................................

39

3.3.4. Upah Minimum (WAGE) ................................................

39

II.

III.

3.3.5. Inflasi ...............................................................................

41

Identifikasi Model ............................................................................

43

Uji Statistik ......................................................................................

45

3.5.1. Uji - F ...............................................................................

45

3.5.2. Uji - t ................................................................................

46

3.5.3. Koefisien Determinasi (R2) .............................................

47

3.6. Uji Ekonometrika ...................................................................

48

3.6.1. Uji Autokorelasi ..............................................................

48

3.6.2. Uji Heteroskedastisitas ....................................................

49

3.6.3. Uji Normalitas .................................................................

50

IV. GAMBARAN UMUM .................................................................

52

Pengeluaran Pemerintah untuk Pembanguna Infrastruktur (GEI) ......................................................................................

52

Pengeluaran Pemerintah ...................................................................

52

Infrastruktur ......................................................................................

54

Pengangguran (U) ............................................................................

56

Pendapatan Nasional (Gross Domestic Product/GDP) .....................

58

Investasi (INVP) ...............................................................................

59

Upah Minimum (Wage) ...................................................................

60

Inflasi ................................................................................................

62

Penerimaan Pemerintah (GR) ..........................................................

63

Angkatan Kerja (AK) .......................................................................

64

Tenaga Kerja (TK) ...........................................................................

66

4.10. NAIRU ..................................................................................

67

4.11. Pendapatan per Kapita (PPKT) .............................................

68

4.12. Nilai Tukar (ER) ..................................................................

69

4.13. Hubungan Pengangguran dan Berbagai Variabel Ekonomi..

70

4.13.1. Hubungan antara Pengangguran (U) dan GEI ...............

70

4.13.2. Hubungan antara Pengangguran (U) dan GDP ..............

70

4.13.3. Hubungan antara Pengangguran (U) dan Upah Minimum

72

4.13.4. Hubungan antara Pengangguran (U) dan Inflasi ............

72

V.

HASIL DAN PEMBAHASAN .....................................................

74

Uji Stasioner .....................................................................................

74

Hasil Uji Statistik .............................................................................

77

5.3. Hasil Uji Ekonometrika ..........................................................

78

5.4. Hasil Uji Ekonomi .................................................................

78

5.5. Upaya Pengurangan Pengangguran ........................................

89

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................

91

Kesimpulan ......................................................................................

91

Saran .................................................................................................

92

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................

93

LAMPIRAN ...........................................................................................

97

xii

DAFTAR TABEL

Nomor

Halaman

1.1. Jumlah Angkatan Kerja, Tingkat Pengangguran, dan Jumlah Penganggur Tahun 1987 – 2006 .....................................................

4

1.2. Pengeluaran Pemerintah untuk Pembangunan Infrastruktur, Investasi, dan Jumlah Penganggur di Indonesia 1987 – 2006 ........ 1.3. Kinerja Infrastruktur Indonesia di ASEAN .....................................

8 10

1.4. Posisi Indonesia untuk Kualitas Infrastruktur dalam The Global Competitiveness Report 2004 – 2005 and 2005 – 2006 ...................

11

3.1. Hasil Identifikasi Model ..................................................................

44

4.1. Konversi Susunan Belanja Negara dalam APBN dari T - Account ke I – Account .....................................................................................

53

5.1. Hasil Unit Root Test Tingkat Level ................................................

76

5.2. Hasil Unit Root Test Tingkat First Difference ................................

77

5.3. Perkembangan GDP dan Jumlah Penganggur Tahun 1987-2006 ...

81

xiii

DAFTAR GAMBAR

Nomor

Halaman

2.1. Kenaikan Belanja Pemerintah dalam Perpotongan Keyneysian .....

15

2.2. Fungsi Produksi dan Pasar Tenaga Kerja ........................................

16

2.3. Peningkatan Pengangguran akibat Penurunan Investasi .................

17

2.4. Dampak Serikat Pekerja terhadap Penggunaan Tenaga Kerja ........

20

2.5. Pengaruh Upah Minimum dalam Pasar Tenaga Kerja ....................

23

2.6. Kerangka Pemikiran Konseptual .....................................................

32

4.1. Perkembangan GEI 1976 – 2006 ....................................................

55

4.2. Perkembangan Pengangguran 1976 – 2006 .....................................

57

4.3. Perkembangan GDP 1976 – 2006 ...................................................

59

4.4. Perkembangan Investasi 1976 – 2006 ..............................................

60

4.5. Perkembangan Upah Minimum 1976 – 2006 ..................................

62

4.6. Perkembangan Inflasi 1976 – 2006 ..................................................

63

4.7. Perkembangan Penerimaan Pemerintah 1976 – 2006 ......................

64

4.8. Perkembangan Angkatan Kerja 1976 – 2006 ..................................

66

4.9. Perkembangan Tenaga Kerja 1976 – 2006 ......................................

67

4.10. Perkembangan NAIRU 1976 – 2006 .............................................

67

4.11. Perkembangan Pendapatan per Kapita 1976 – 2006 .....................

68

4.12. Perkembangan Nilai Tukar 1976 – 2006 .......................................

69

4.13.1. Hubungan Pengangguran dan GEI 1976 – 2006 ........................

70

4.13.2. Hubungan Pengangguran dan GDP 1976 – 2006 .......................

71

4.13.3. Hubungan Pengangguran dan Upah Minimum 1976 – 2006 ......

72

4.13.4. Hubungan Pengangguran dan Inflasi 1976 – 2006 .....................

73

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor

Halaman

1. Hasil Estimasi Model Analisis ...................................................

98

2. Uji Autokorelasi .........................................................................

103

3. Uji Heteroskedastisitas ...............................................................

104

4. Uji Normalitas ............................................................................

105

5. Uji Unit Root Level ....................................................................

108

6. Uji Unit Root First Difference ...................................................

112

7. Data Analisis ..............................................................................

116

8. Hubungan antar Peubah dalam Penelitian ..................................

119

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Suatu negara sudah seharusnya melaksanakan suatu proses pembangunan untuk menuju pada suatu kehidupan yang lebih baik di masa depan demi kesejahteraan masyarakat, bangsa, dan negaranya. Begitu juga yang dilakukan oleh Indonesia.

Sejak memperoleh kemerdekaan hingga saat ini, bangsa

Indonesia masih terus melaksanakan proses pembangunan dengan harapan dapat memperoleh kehidupan yang lebih sejahtera bagi seluruh masyarakat Indonesia di masa yang akan datang. Pembangunan nasional merupakan salah satu tujuan bangsa Indonesia berdasarkan

Pancasila

dan

UUD

1945.

Pembangunan

yang

dapat

mensejahterakan seluruh rakyat adalah pembangunan yang berkelanjutan. Pembangunan dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, di samping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan. Pembangunan harus mencerminkan perubahan total suatu masyarakat atau penyesuaian sistem sosial secara keseluruhan, tanpa mengabaikan keragaman kebutuhan dasar dan keinginan individual maupun kelompok-kelompok sosial yang ada di dalamnya, untuk bergerak maju menuju suatu kondisi kehidupan yang serba lebih baik, secara material maupun spiritual (Todaro, 2004).

2

Pembangunan nasional yang baik seharusnya diikuti dengan pertumbuhan ekonomi. Kuznets dalam Jhingan (2007) mendefinisikan pertumbuhan ekonomi sebagai kenaikan jangka panjang dalam kemampuan suatu negara untuk menyediakan semakin banyak jenis barang-barang ekonomi kepada penduduknya; kemampuan ini tumbuh sesuai dengan kemajuan teknologi, dan penyesuaian kelembagaan dan ideologis yang diperlukannya.

Definisi ini memiliki tiga

komponen (1) pertumbuhan ekonomi suatu bangsa terlihat dari meningkatnya secara terus-menerus persediaan barang; (2) teknologi maju merupakan faktor dalam pertumbuhan ekonomi yang menentukan derajad pertumbuhan kemampuan dalam penyediaan aneka macam barang kepada penduduk; (3) penggunaan teknologi secara luas dan efisien memerlukan adanya penyesuaian di bidang kelembagaan dan ideologi sehingga inovasi yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan ummat manusia dapat dimanfaatkan secara tepat. Di dalam visi pembangunan Indonesia jangka panjang yaitu terwujudnya negara kebangsaan Indonesia modern yang aman dan damai, adil dan demokratis, serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaaan, kemerdekaan, dan persatuan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, tersirat makna bahwa Indonesia saat ini mengarah kepada tiga sasaran yaitu : (1) Terwujudnya kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara yang aman, bersatu, rukun, dan damai ; (2) Terwujudnya masyarakat, bangsa, dan negara yang menjunjung tinggi hukum, kesetaraan, dan hak-hak

azasi

manusia;

(3)

Terwujudnya

perekonomian

yang

mampu

menyediakan kesempatan kerja dan penghidupan yang layak serta memberikan pondasi yang kokoh bagi pembangunan yang berkelanjutan.

3

Pada sasaran ketiga itulah dapat terlihat bahwa pemerintah sangat memberikan perhatian pada masalah pengangguran di Indonesia.

Hal ini

tercermin pada keinginan untuk mewujudkan perekonomian yang mampu menyediakan kesempatan kerja dan penghidupan yang layak serta memberikan pondasi yang kokoh bagi pembangunan yang berkelanjutan. Penghidupan yang layak dan pondasi yang kokoh bagi pembangunan yang berkelanjutan akan sulit tercapai apabila tingkat pengangguran di Indonesia masih relatif tinggi. Penghidupan yang layak tidak akan tercapai selama masih banyak orang Indonesia yang belum memiliki pekerjaan sehingga merekapun juga tidak memiliki penghasilan yang dapat digunakan untuk memperoleh kehidupan yang layak dan lebih baik. Jika penghidupan yang layak belum bisa tercapai maka akan semakin sulit untuk mewujudkan suatu pondasi yang kokoh bagi pembangunan yang berkelanjutan. Salah satu konsep dari pembangunan yang berkelanjutan adalah apabila pembangunan yang dilaksanakan oleh generasi sekarang tidak merusak sumber daya alam saat ini sehingga di masa yang akan datang generasi selanjutnya tetap dapat menikmati sumber daya alam yang ada saat ini. Akan tetapi, dengan banyaknya orang yang menganggur maka pembangunan berkelanjutan akan sulit tercapai, karena dengan kondisi tidak memiliki pekerjaan dan penghasilan, padahal mereka tetap harus memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, maka salah satu cara yang dapat digunakan untuk memperoleh penghasilan adalah dengan merusak alam. Salah satu contoh adalah dengan menebangi pohon di hutan tanpa melakukan reboisasi. Penebangan hutan dilakukan supaya mereka bisa memperoleh penghasilan dari hasil penjualan kayu

4

tersebut. Jika hal ini terus berlanjut, maka terwujudnya suatu pondasi yang kokoh bagi pembangunan yang berkelanjutan bisa menjadi suatu hal yang mustahil. Oleh karena itu, untuk mencapai suatu penghidupan yang layak dan terwujudnya suatu pembangunan yang berkelanjutan, maka hal pertama yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah dengan mengatasi tingginya tingkat pengangguran di Indonesia, yaitu dengan cara menciptakan kesempatan kerja yang cukup sebanding dengan jumlah angkatan kerja yang terus meningkat setiap tahunnya. Tingkat pengangguran di Indonesia cenderung mengalami peningkatan dalam 20 tahun terakhir (Tabel 1. 1). Tabel 1.1. Jumlah Angkatan Kerja, Tingkat Pengangguran, dan Jumlah Penganggur Tahun 1987–2006 Angkatan Kerja Tingkat Pengangguran Tahun (juta jiwa) (Persen) 1987 60,970,453 2.55 1988 63,091,834 2.79 1989 63,997,006 2.76 1990 65,481,840 2.51 1991 66,651,483 2.59 1992 68,793,047 2.71 1993 69,546,852 2.76 1994 74,221,775 4.36 1995 72,345,339 7.24 1996 79,109,986 4.89 1997 78,475,015 4.68 1998 92,734,932 5.46 1999 94,847,178 6.36 2000 95,650,961 6.08 2001 98,812,448 8.10 2002 100,779,270 9.06 2003 100,316,007 9.50 2004 103,973,387 9.86 2005 105,802,372 10.26 2006 106,388,935 10.28 Sumber : BPS (1987-2006), diolah

Jumlah Penganggur (jiwa) 1,554,747 1,760,262 1,766,317 1,643,594 1,726,273 1,864,292 1,919,493 3,236,069 5,237,803 3,868,478 3,672,631 5,063,327 6,032,281 5,815,578 8,003,808 9,130,602 9,530,021 10,251,776 10,855,323 10,936,783

5

Jumlah penganggur semakin meningkat pada saat terjadinya krisis ekonomi, yang mulai melanda Indonesia pada tahun 1997. Terjadinya krisis ekonomi semakin menyebabkan jumlah penganggur di Indonesia yang sudah cukup tinggi menjadi semakin tinggi.

Banyak para pekerja yang kehilangan

pekerjaan karena terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang diakibatkan banyak perusahaan dan pabrik yang gulung tikar pada saat terjadi krisis. Krisis ekonomi ini akhirnya berkembang menjadi krisis multidimensi yang pada akhirnya berakibat pada kurang stabilnya kondisi ekonomi, politik, hukum dan keamanan di Indonesia. Kondisi tersebut menyebabkan banyak investor yang pada akhirnya memindahkan investasi mereka keluar dari Indonesia. Turunnya investasi semakin menyebabkan kondisi perekonomian Indonesia semakin memburuk di masa krisis, yang pada akhirnya berujung pada naiknya tingkat pengangguran sebagai akibat dari berkurangnya kesempatan kerja.

Saat ini

tingkat pengangguran masih belum berkurang, bahkan cenderung mengalami peningkatan, yaitu mencapai 10, 28 persen di akhir tahun 2006. Salah satu cara yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk mengurangi jumlah penganggur adalah melalui pembangunan sarana infrastruktur baru. Sektor infrastruktur sebagai roda penggerak ekonomi memiliki peran yang sangat penting dan strategis serta merupakan salah satu sektor pembangunan yang sangat penting dalam strategi pembangunan nasional.

Selain itu, pembangunan

infrastruktur yang dilaksanakan oleh pemerintah setidaknya mempunyai dua manfaat penting, yaitu pertama, menyerap pengangguran dengan cara membuka kesempatan kerja pada proses pelaksanaan pembangunan tersebut dan yang kedua

6

adalah dengan tersedianya infrastruktur yang lebih baik maka akan dapat menarik minat para investor untuk kembali berinvestasi di Indonesia. Menurut Zetha dan Tambunan (2006), salah satu pertimbangan serius bagi setiap investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia adalah kondisi infrastruktur yang ada. meningkatkan

Oleh karena itu, maka pemerintah perlu untuk

pembangunan

infrastruktur

untuk

memperbaiki

kondisi

infrastruktur sehingga dapat kembali menarik minat investor untuk berinvestasi. Dengan meningkatnya investasi, maka akan tercipta suatu kesempatan kerja yang lebih luas sehingga dalam jangka panjang dapat mengurangi jumlah penganggur di Indonesia. Infrastruktur memiliki peranan positif terhadap pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek, yaitu dengan menciptakan lapangan kerja sektor konstruksi. Sedangkan dalam jangka panjang dan menengah, apabila manfaat dari pembangunan

infrastruktur

tersebut

dapat

tercapai

dengan

baik

maka

pembangunan infrastruktur yang dilakukan oleh pemerintah akan dapat memperlancar jalannya proses pembangunan nasional serta akan mendukung peningkatan efisiensi dan produktivitas sektor-sektor terkait.

Jadi, adanya

perbaikan sarana infrastruktur di Indonesia, baik dari segi kuantitas maupun kualitas, pada akhirnya akan menarik minat investor untuk berinvestasi di Indonesia, sehingga dalam jangka panjang jumlah penganggur akan berkurang. Jika jumlah penganggur dapat ditekan, maka proses pembangunan nasional akan dapat berlangsung dengan lebih lancar, sehingga dalam jangka panjang suatu pondasi yang kokoh bagi pembangunan yang berkelanjutan dapat terwujud.

7

Menyadari pentingnya manfaat infrastruktur bagi perekonomian bangsa, maka setiap tahun pemerintah mempunyai anggaran untuk pembangunan infrastruktur.

Pembangunan infrastruktur yang dilaksanakan oleh pemerintah

termasuk di dalam instrumen pengeluaran pemerintah untuk pembangunan, dimana dana untuk pembangunan tersebut ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) melalui pengeluaran pembangunan. APBN disusun setiap tahunnya dengan besar anggaran yang berbeda-beda, tergantung pada kondisi yang sedang berlangsung di Indonesia. Oleh karena itu, alokasi dana untuk pembangunan infrastruktur pun berubah-ubah setiap tahunnya tergantung pada kondisi negara pada saat APBN ditetapkan. Pada saat suatu negara mengalami krisis ekonomi, maka alokasi untuk infrastruktur merupakan hal pertama yang dikorbankan. Dan pada saat krisis ekonomi melanda Indonesia, perhatian utama terfokus pada pembenahan kebijakan moneter, sehingga pembangunan infrastruktur menjadi stagnan. Menurut Bank Dunia (2007), investasi Indonesia untuk pembangunan infrastruktur sangat kecil, terutama pada saat terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1997.

Investasi infrastruktur yang dimaksud oleh Bank Dunia disini adalah

pengeluaran yang dilakukan pemerintah untuk pembangunan infrastruktur. Investasi untuk infrastruktur turun cukup drastis pada saat terjadi krisis yaitu dari 5-6 persen dari Gross Domestic Product (GDP) pada masa sebelum krisis menjadi 1-2 persen di tahun 2000, dan saat ini stabil pada 3, 4 persen. Penurunan ini pada akhirnya berpengaruh pada besarnya investasi dan jumlah penganggur di Indonesia.

8

Kondisi infrastruktur Indonesia yang mengalami penurunan baik secara kuantitas maupun kualitas pasca krisis, pada akhirnya menyebabkan kondisi ini menjadi tidak memadai untuk menopang kebutuhan minimal pertumbuhan ekonomi yang dibutuhkan untuk menekan tingkat pengangguran (Bakrie, 2005). Tabel 1.2 menyajikan data mengenai pengeluaran pemerintah untuk pembangunan infrastruktur, investasi, dan jumlah penganggur di Indonesia selama 20 tahun terakhir. Tabel 1. 2. Pengeluaran Pemerintah untuk Pembangunan Infrastruktur, Investasi, dan Jumlah Penganggur di Indonesia 1987-2006 GEI INVP Jumlah Penganggur Tahun (miliar rupiah) (miliar rupiah) (jiwa) 1987 9,477.0 72,356.6 1,554,747 1988 12,251.0 80,695.1 1,760,262 1989 13,834.0 91,477.1 1,766,317 1990 19,452.0 104,808.6 1,643,594 1991 21,764.0 112,199.3 1,726,273 1992 24,135.0 117,161.6 1,864,292 1993 28,428.0 123,828.0 1,919,493 1994 30,692.0 315,689.0 3,236,069 1995 29,812.0 359,869.3 5,237,803 1996 35,952.0 412,102.1 3,868,478 1997 38,359.0 447,408.8 3,672,631 1998 67,869.0 264,596.8 5,063,327 1999 78,311.0 245,191.9 6,032,281 2000 25,800.0 298,946.1 5,815,578 2001 41,600.0 310,785.7 8,003,808 2002 37,300.0 307,584.6 9,130,602 2003 69,200.0 310,776.9 9,530,021 2004 68,400.0 359,604.4 10,251,776 2005 53,384.0 389,757.2 10,855,323 2006 83,077.0 404,606.6 10,936,783 Sumber : BPS (1987-2006), diolah Keterangan : GEI = Pengeluaran Pemerintah untuk Pembangunan Infrastruktur INVP = Investasi

9

Dengan pentingnya sarana infrastruktur, maka Pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Presiden No.42 Tahun 2005 sebagai pengganti Keputusan Presiden No. 81 Tahun 2001 mengenai pembentukan Komite Kebijakan Percepatan Pembangunan Infrastruktur.

Komite tersebut bertugas

merumuskan kebijakan dan strategi percepatan pembangunan infrastruktur termasuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi peningkatan investasi swasta maupun kerjasama antara Pemerintah dengan swasta dalam pembangunan infrastruktur, mengkoordinasikan keterpaduan rencana dan program, serta memantau pelaksanaan kebijakan percepatan pembangunan infrastruktur. Selain itu juga bertugas di dalam menetapkan upaya pemecahan berbagai permasalahan yang terkait dengan pembangunan infrastruktur. Infrastruktur sangat penting bagi perekonomian di suatu negara, karena infrastruktur yang terpuruk dalam kerusakan mengakibatkan turunnya tingkat pelayanan, sehingga menghambat perbaikan perekonomian bangsa. Ketersediaan infrastruktur yang baik juga salah satu alasan yang mempengaruhi keputusan investor untuk berinvestasi di suatu negara, termasuk juga di Indonesia. Investasi yang ditanamkan oleh para investor di Indonesia akan sangat mempengaruhi kondisi ekonomi Indonesia, dan pada akhirnya akan berpengaruh pada jumlah penganggur. Dengan begitu besarnya dampak positif pembangunan infrastruktur terhadap pengurangan pengangguran pada khususnya dan kondisi perekonomian pada umumnya, maka seyogyanya pemerintah secara rutin di setiap tahun dapat melaksanakan pembangunan sarana infrastruktur baru atau minimal melaksanakan

10

perbaikan serta pemeliharaan sarana infrastruktur yang telah ada demi kehidupan bangsa yang lebih baik di masa yang akan datang.

1.2.Perumusan Masalah Tingginya jumlah penganggur dapat mengganggu stabilitas ekonomi. Untuk itu, masalah pengangguran harus secepat mungkin diselesaikan. Dalam hal ini, pemerintah dapat mengatasi masalah pengangguran salah satunya dengan cara pembangunan sarana infrastruktur baru maupun perbaikan serta pemeliharaan sarana infrastruktur yang telah ada. Ketersediaan infrastruktur yang baik sangat penting bagi suatu negara, karena hal itu merupakan salah satu pertimbangan bagi investor untuk melakukan investasi di suatu negara, tak terkecuali Indonesia. Namun, sejak terjadinya krisis yang dimulai tahun 1997, kinerja infrastruktur Indonesia mulai mengalami penurunan (Tabel 1. 3). Tabel 1. 3. Kinerja Infrastruktur Indonesia di ASEAN Tahun 2000 No

Indikator

1. Tingkat elektrifikasi 2. Jaringan telepon tetap 3. Jumlah pemohon mobile phone 4. Akses ke sanitasi yang baik 5. Akses ke air bersih 6. Jaringan jalan raya (km per 1000 penduduk) Sumber : World Bank (2005b) dalam Tambunan (2006)

Indonesia (%) 53 4 6 55 78 1,7

Peringkat dalam ASEAN 11 dari 12 negara 12 dari 12 negara 9 dari 12 negara 7 dari 12 negara 7 dari 12 negara 8 dari 12 negara

Tabel 1. 4 menyajikan informasi mengenai posisi Indonesia di dunia untuk kualitas infrastruktur pada tahun 2004 – 2005 dan 2005 – 2006. Terlihat bahwa kualitas infrastruktur di Indonesia pada tahun 2005 – 2006 mengalami penurunan di setiap indicator jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

11

Tabel 1.4. Posisi Indonesia untuk Kualitas Infrastruktur dalam The Global Competitiveness Report 2004 - 2005 dan 2005 - 2006 No

Indikator

1. Kualitas keseluruhan 2. Pembangunan jalan raya 3. Kualitas pelabuhan 4. Kualitas transport udara 5. Suplai listrik 6. Efisiensi kantor pos 7. Kualitas telepon/fax 8. Jaringan telepon per 1000 penduduk (data, 2003) Sumber : WEF (2004, 2005) dalam Tambunan (2006)

Peringkat 2004-2005 2005-2006 44 66 28 52 40 71 61 70 68 84 57 69 85 90 86 96

Dengan pentingnya pembangunan infrastruktur bagi tercapainya program pengurangan pengangguran di Indonesia, maka terdapat tiga permasalahan yang ingin diangkat penulis di dalam penelitian ini, yaitu : 1. Bagaimana bentuk keterkaitan antara jumlah pengeluaran pemerintah untuk

pembangunan

infrastruktur

dengan

jumlah penganggur di

Indonesia? 2. Bagaimana bentuk keterkaitan antara berbagai variabel ekonomi dengan jumlah penganggur di Indonesia? 3. Upaya apa yang dapat ditempuh oleh pemerintah untuk mengurangi jumlah penganggur di Indonesia?

12

1.3.Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan, maka tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Mengidentifikasi

bentuk

keterkaitan

antara

jumlah

pengeluaran

pemerintah untuk pembangunan infrastruktur dengan jumlah penganggur di Indonesia. 2. Mengidentifikasi bentuk keterkaitan antara berbagai variabel ekonomi dengan jumlah penganggur di Indonesia . 3. Mengetahui upaya yang dapat ditempuh oleh pemerintah untuk mengatasi masalah pengangguran di Indonesia.

1.4.Kegunaan Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai : 1. Bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam pengambilan keputusan untuk penetapan alokasi anggaran APBN untuk pembangunan infrastruktur. 2. Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai besarnya anggaran APBN

yang dialokasikan

untuk

pembangunan

infrastruktur

dan

pengaruhnya terhadap jumlah penganggur. 3. Sebagai bahan rujukan untuk penelitian selanjutnya mengenai besarnya pengaruh alokasi anggaran APBN untuk pembangunan infrastruktur terhadap jumlah penganggur di Indonesia.

13

1.5. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini menganalisis pengaruh besarnya pengeluaran pemerintah untuk pembangunan infrastruktur terhadap jumlah penganggur di Indonesia, selama periode 1976 - 2006.

II.TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1. Tinjauan Teori 2.1.1.Hubungan Pengeluaran Pemerintah untuk Pembangunan Infrastruktur dan Pengangguran Instrumen pengeluaran pemerintah merupakan salah satu dari kebijakan fiskal yang dilakukan oleh pemerintah di samping pajak.

Peningkatan

pengeluaran pemerintah untuk pembangunan infrastruktur merupakan kebijakan fiskal pemerintah yang bersifat ekspansif, yang berdampak pada peningkatan pendapatan nasional ( Gambar 2. 1). Hal ini sesuai dengan persamaan identitas pendapatan nasional, dimana pengeluaran pemerintah berpengaruh positif terhadap pendapatan nasional. Identitas keseimbangan pendapatan nasional : Y = C + I + G + (X-M) dimana : Y = pendapatan nasional (GDP) C = konsumsi G = pengeluaran pemerintah X = ekspor M = impor

(2.1)

15

Pengeluaran, E

Pengeluaran Aktual

B ∆G

E2 =- Y2

Pengeluaran yang Direncanakan

∆Y

E1 = Y1

A

45○ E1 = Y1

E2 = Y2

Pendapatan, Output, Y

Gambar 2. 1. Kenaikan Belanja Pemerintah dalam Perpotongan Keynesian Sumber : Mankiw, 2003

Kenaikan belanja pemerintah sebesar ∆G meningkatkan pengeluaran yang direncanakan sebesar jumlah itu untuk semua tingkat pendapatan. Ekuilibrium bergerak dari titik A ke titik B, dan pendapatan meningkat dari Y1 ke Y2. Kenaikan dalam pendapatan ∆Y melebihi kenaikan belanja pemerintah, sehingga kebijakan fiskal ini memiliki dampak pengganda terhadap pendapatan. Pendapatan yang lebih tinggi menyebabkan konsumsi yang lebih tinggi. Dalam jangka pendek, pada harga yang lama, perusahaan mampu menjual lebih banyak output. Oleh karena itu, perusahaan mempekerjakan lebih banyak pekerja, sehingga dapat mengurangi pengangguran ( Mankiw, 2003). Kenaikan pada pendapatan nasional akan menyebabkan pertumbuhan output dan akan meningkatkan kesempatan kerja (Gambar 2.2). Melalui kurva fungsi produksi, peningkatan jumlah tenaga kerja yang bekerja (dari n0 ke n1) membuat jumlah output bertambah (dari Y0 ke Y1). Kurva fungsi produksi yang tidak linier menandakan bahwa persentase pertumbuhan output di atas proposional

16

dari persentase penambahan tenaga kerja (increasing return to scale). Ini berarti bahwa peningkatan tidak hanya terjadi pada sisi jumlah tenaga kerja, tetapi juga pada sisi produktivitas. Sudut dari kurva fungsi produksi tersebut yang merupakan marginal produk dari tenaga kerja dipengaruhi oleh teknologi yang menentukan berapa banyak tenaga kerja yang diperlukan untuk membuat satu atau sejumlah output dengan adanya pergeseran kurva Nd ke kanan. TP (Output) TP Y1 Y0

n0

n1

Tenaga Kerja

Wage Ns

Nd1 Nd0 n0

n1

Tenaga Kerja

Gambar 2.2. Fungsi Produksi dan Pasar Tenaga Kerja Sumber : Supartinah, 1999

Penurunan pengeluaran pemerintah untuk pembangunan infrastruktur setelah krisis berakibat pada penurunan kualitas dan kuantitas infrastruktur yang ada. Kondisi infrastruktur yang menurun tersebut merupakan salah satu alasan investor memindahkan investasi dari Indonesia Zetha dan Tambunan, 2006).

17

Penurunan investasi menyebabkan jumlah penganggur mengalami peningkatan karena berkurangnya kesempatan kerja ( Gambar 2. 3). Wage

Pengeluaran

E=Y S=Y

S E0=C0+I0+G0 K

E1=C0+I1+G0

Wf

D

0

n1

nf

Pekerjaan 0

Pasar Komoditi Keseluruhan

y1

yf

Pendapatan

Pasar Tenaga Kerja Keseluruhan

Gambar 2.3. Peningkatan Pengangguran akibat Penurunan Investasi Sumber : Bellante dan Jackson, 1990

Pada pasar komoditi keseluruhan, permintaan nyata keseluruhan pada mulanya adalah E0 = C0 + I0 + G0; penawaran nyata keseluruhan merupakan garis vertikal S = Y (pada tingkat pengangguran alamiah).

Permintaan nyata

keseluruhan dalam hubungan dengan penawaran nyata keseluruhan, menghasilkan suatu tingkat pendapatan keseimbangan yf. Dalam seluruh pasar tenaga kerja, seluruh permintaan dan penawaran tenaga kerja menghasilkan suatu upah nyata keseimbangan Wf dan penggunaan tenaga kerja penuh nf .

Apabila permintaan keseluruhan jatuh pada

E1 = C0 + I1 + G0 disebabkan adanya penurunan pada investasi keseluruhan, maka tingkat pendapatan sekarang jatuh pada y1.

Ketidakseimbangan pada pasar

komoditi keseluruhan membawa kepada ketidakseimbangan dalam pasar tenaga kerja keseluruhan, yang mengakibatkan perusahaan ”terlepas” dari kurva

18

permintaan (tidak dapat menjual output yang dihasilkan oleh unit tenaga kerja nf) mereka pada titik K. Terjadi kelebihan penawaran tenaga kerja, yaitu n f – n1 (pengangguran), dengan tingkat upah tetap di Wf. Sehingga,

pengaruh

pengeluaran

pemerintah

untuk

pembangunan

infrastruktur (GEI) terhadap pengangguran adalah negatif, yaitu jika terjadi peningkatan GEI, maka jumlah pengaNggur akan berkurang.

Dampak tidak

langsung GEI terhadap jumlah penganggur terlihat pada investasi, dimana jika terjadi penurunan GEI yang berakibat pada penurunan kondisi infrastruktur, maka investasi akan menurun. Penurunan investasi menyebabkan peningkatan jumlah penganggur.

2.1.2. Hubungan Pendapatan Nasional dan Pengangguran Hubungan antara pendapatan nasional (GDP) dan pengangguran dapat dijelaskan dengan Hukum Okun. Hukum Okun diambil dari nama Arthur Okun, nama ekonom yang pertama kali mempelajari hubungan antara pendapatan nasional dan pengangguran. Hukum Okun menyatakan bahwa terdapat hubungan negatif antara pengangguran dan GDP riil. Hal itu dapat dijelaskan melalui fakta bahwa ketika GDP riil meningkat para pekerja membantu dalam proses memproduksi barang sedangkan para penganggur tidak. Oleh karena itu, peningkatan dalam tingkat pengangguran akan menyebabkan GDP riil turun.

19

Lebih jauh, Hukum Okun dapat dijelaskan melalui persamaan berikut : Perubahan persentase dalam GDP riil = 3% - 2 x Perubahan dalam Tingkat pengangguran

(2.2)

Berdasarkan persamaan di atas, maka jika tingkat pengangguran tetap sama, GDP riil tumbuh sekitar 3 persen. Pertumbuhan produksi barang serta jasa yang normal ini merupakan hasil dari pertumbuhan angkatan kerja, akumulasi modal, dan kemajuan teknologi. Selain itu, untuk setiap poin persentase kenaikan tingkat pengangguran, pertumbuhan GDP riil biasanya turun sekitar 2 persen (Mankiw, 2003). Dalam Siregar (2005), Hukum Okun juga menyatakan bahwa laju pengangguran berbanding terbalik dengan selisih laju pertumbuhan ekonomi terhadap laju pertumbuhan ekonomi dalam keadaan normal, atau ut = -q(gt – gtn) + et

(2.3)

dimana : ut = laju pengangguran gt = laju pertumbuhan ekonomi gtn= laju pertumbuhan ekonomi dalam keadaan normal q = konstanta positif e = faktor-faktor lain yang secara agregat bersifat acak dengan rataan nol.

2. 1. 3. Hubungan Inflasi dan Pengangguran Menurut Norton (1976), hubungan antara pengangguran dan inflasi adalah berhubungan positif, dimana ketika inflasi naik, maka pengangguran juga naik.

20

Bahwa trade-off antara pengangguran dan inflasi cenderung semakin buruk ketika ekspektasi inflasi menjadi lebih luas (menyebar). Trade-off itu akan semakin memburuk jika kenaikan inflasi menyebabkan ekspektasi inflasi masyarakat meningkat karena ekspektasi inflasi akan menyebabkan kenaikan inflasi ke tingkat yang semakin parah. Menekan tingkat inflasi akan menyebabkan terjadinya distorsi pada harga relatif, dan ketika pada akhirnya inflasi naik, akan memberikan efek sebaliknya pada kondisi pengangguran dan juga pada produktivitas. Gangguan terbesar pada saat terjadi inflasi yang cepat adalah pengaruhnya pada pasar modal dan produktivitas yang menyebabkan kenaikan pengangguran. Serikat pekerja yang menuntut kenaikan upah riil pada saat terjadinya inflasi menyebabkan peningkatan jumlah penganggur (Gambar 2. 4). Wage

Wu

S1u

We

Su

VMPPu E1u

Eu

Tenaga Kerja

Gambar 2. 4. Dampak Serikat Pekerja terhadap Penggunaan Tenaga Kerja Sumber : Bellante dan Jackson, 1990

Upah keseimbangan berada pada We dengan penggunaan tenaga kerja di Eu. Ketika terjadi inflasi, serikat pekerja menuntut adanya kenaikan upah sampai

21

ke Wu, sehingga dengan adanya kenaikan upah menyebabkan perusahaan melakukan PHK dan penggunaan tenaga kerja turun ke E1u. Pada saat inflasi tinggi, pemerintah sedapat mungkin menghindari kebijakan excess demand dan kebijakan meningkatkan upah karena kebijakankebijakan tersebut dapat meningkatkan ekspektasi inflasi masyarakat, padahal pengukuran ekspektasi inflasi terlalu tinggi akan merusak stabilitas ekonomi. Pada akhirnya ekspektasi inflasi ini akan menyebabkan masalah pengangguran, selama kebijakan peningkatan upah masih sangat dipengaruhi oleh tingkat permintaan. Oleh sebab itu, menghindari kebijakan excess demand merupakan cara tepat untuk mengendalikan inflasi.

Bagaimanapun juga, kebijakan

pengelolaan permintaan yang tepat dan pembatasan upah akan membantu untuk memperkecil ekspektasi inflasi. Menghindari kebijakan excess demand berarti pengangguran tidak harus dipaksa turun ke tingkat yang tidak seharusnya.

Usaha untuk memaksa

menurunkan pengangguran di bawah tingkat yang semestinya untuk menaikkan inflasi melalui ekspansionari moneter dan kebijakan anggaran belanja (budgetary policies) pada jangka pendek memang akan menurunkan pengangguran, tapi akan menimbulkan permasalahan baru yang berkebalikan yaitu inflasi akan naik lebih tinggi lagi (dengan sangat cepat, bukan hanya sekedar mengalami kenaikan) pada jangka sangat pendek (dari awal diberlakukannya kebijakan tersebut). Memaksa menurunkan pengangguran ke tingkat yang tidak sesuai akan menyebabkan peningkatan inflasi yang sangat pesat, dan menyebabkan perekonomian tidak stabil.

Hal ini menyebabkan baik inflasi maupun pengangguran mengalami

22

peningkatan.

Terdapat paradoks kebijakan yang dialami pemerintah, yaitu

kebijakan menciptakan excess demand dengan tujuan untuk menurunkan tingkat pengangguran pada akhirnya justru menyebabkan kenaikan pada tingkat pengangguran. Alternatif kebijakan yang disarankan adalah dengan mempertahankan kebijakan pengelolaan permintaan, yaitu dengan mengikuti peningkatan, bukan mengikuti excess demand, maka trade-off yang lebih baik antara inflasi dan pengangguran bisa dicapai.

Kemudian, trade-off mungkin dapat ditingkatkan

dengan langkah yang tepat untuk meningkatkan mobilitas pekerjaan dan regional dari angkatan kerja, untuk mengurangi hambatan pekerjaan dan untuk mengendalikan peningkatan tajam pada semua tingkat upah riil.

Dengan

kebijakan tersebut, tingkat pengangguran relatif lebih stabil dan tingkat pengangguran rata-rata bisa diminimalkan. Sedangkan kebijakan yang sebaliknya yaitu kebijakan menciptakan excess demand akan menyebabkan kenaikan tingkat pengangguran rata-rata dan berlanjutnya inflasi yang cepat. Kenaikan harga barang secara umum pada akhirnya akan meningkatkan biaya produksi sebagai akibat dari meningkatnya bahan baku. Peningkatan biaya produksi tersebut akan menyebabkan perusahaan melakukan PHK untuk melakukan efisiensi biaya, sehingga menyebabkan pengangguran meningkat.

2. 1. 4. Hubungan Upah Minimum dan Pengangguran Di Indonesia, sistem pengupahan tenaga kerja berdasarkan pada upah minimum, yang ditetapkan oleh pemerintah. Perubahan dalam tingkat upah akan

23

berpengaruh pada tingkat pengangguran. Apabila pemerintah menaikkan upah minimum, maka tingkat pengangguran akan meningkat.

Hal ini disebabkan

karena upah dianggap sebagai bagian dari biaya produksi, sehingga jika upah naik, maka biaya produksi akan meningkat. Untuk mengatasi kenaikan biaya produksi, maka perusahaan yang ingin melakukan efisiensi melakukan PHK. Akibatnya, jumlah penganggur meningkat. Wage

Modal/periode

K D

e m i

S

w2 w1

q1

S

D

L2

L1

L3

i2

Tenaga Kerja/periode (a) Pasar

q2

i1

Tenaga Kerja/periode (b) Setiap Perusahaan

Gambar 2. 5. Pengaruh Upah Minimum dalam Pasar Tenaga Kerja Sumber : Nicholson, 1999.

Pada awalnya, tenaga kerja di L1 pada tarif upah sebesar w1, dimana upah w1 ditetapkan oleh kekuatan-kekuatan penawaran dan permintaan. Pada tarif upah ini, perusahaan memilih untuk menggunakan i1 unit tenaga kerja.

Adanya

kebijakan upah minimum di w2 menyebabkan perusahaan tersebut menurunkan penggunaan unit tenaga kerja ke i2, karena mengganti tenaga kerja dengan modal (dan input-input lainnya) dan mengurangi output.

Permintaan dari semua

perusahaan akan berkurang ke L2 dengan adanya tingkat upah baru ini. Adanya

24

penurunan penggunaan tenaga kerja oleh perusahaan dari i2 ke i1 menyebabkan terjadinya peningkatan penawaran tenaga kerja ke L3, sehingga terdapat pengangguran sebesar L3 - L2.

2.2. Penelitian Terdahulu Penelitian mengenai pengaruh pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur terhadap pengangguran pada khususnya dan perekonomian pada umumnya, baik perekonomian secara luas yaitu dalam lingkup wilayah nasional (Indonesia) maupun dalam lingkup wilayah yang lebih sempit (tingkat propinsi) sudah banyak dilakukan. Penelitian lain yang relevan dengan penelitian ini yaitu mengenai upah minimum, pendapatan nasional dan inflasi pun juga sudah banyak dilakukan. Yudhoyono (2004) menganalisis tentang pembangunan pertanian dan perdesaan sebagai upaya mengatasi kemiskinan dan pengangguran dengan analisis ekonomi politik kebijakan fiskal dengan menggunakan model persamaan simultan yang bersifat dinamik, dan dirumuskan dalam bentuk persamaan linier additive dengan menggunakan 31 persamaan, yang terdiri dari 9 persamaan identitas dan 22 persamaan struktural. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pengangguran secara nyata dipengaruhi oleh pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur, dan desentralisasi.

Pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur merupakan faktor

yang berpengaruh nyata dalam mengurangi pengangguran.

Peningkatan

pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur sebesar Rp 1 miliar akan menurunkan tingkat pengangguran sebesar 0.019 juta orang, sehingga untuk mengurangi tingkat pengangguran sebesar 1 juta orang diperlukan kenaikan anggaran

25

pengeluaran untuk sektor infrastruktur sebesar Rp 52, 52 miliar. Hasil selanjutnya adalah mengenai pengeluaran pemerintah untuk sektor infrastruktur yang dipengaruhi secara nyata oleh kemiskinan, penerimaan pemerintah, reformasi, dan desentralisasi. Kenaikan tingkat kemiskinan sebesar satu juta orang akan diikuti dengan pertambahan anggaran belanja pemerintah untuk infrastruktur sebesar 2.13 miliar rupiah. Minimnya pembiayaan untuk menyelesaikan suatu program akan mendorong pemerintah untuk memperoleh sumber dana tambahan. Peningkatan penerimaan pemerintah sebesar 1 miliar rupiah memberikan dampak kepada bertambahnya jumlah anggaran belanja pemerintah untuk infrastruktur sebesar 0,09 miliar rupiah.

Dengan kata lain, pengeluaran pemerintah untuk sektor

infrastruktur akan bertambah sebesar 1 miliar rupiah apabila pemerintah mampu meningkatkan penerimaan sebesar 11, 64 miliar rupiah. Lebih lanjut, diperoleh gambaran bahwa pada era reformasi dan desentralisasi, pegeluaran untuk infrastruktur cenderung menurun. Persamaan yang digunakan dalam penelitiannya, antara lain : Ut

= a0 + a1GDPt + a2GEIt + a3POPt + a4DRPt + a5DDt + μ1t

(2.4)

GEEHt = d0 + d1POVt + d2Ut + d3GRt + d4INFt + d5DRPt + d6DDt + d7GEEht-1+ μ4t GEIt

= e1POVt + e2GRt + e3INFt + e4DRPt + e5DDt + μ5t

(2.5) (2.6)

GEAt = f1POVt + f2GRt + f3INFt + f4DRPt + f5DDt + μ6t

(2.7)

Gt

(2.8)

= GEEHt + GEIt + GEAt + GELt

26

GDPAt= m0 + m1LAt + m2PCt + m3HCt + m4GEIt + m5DRPt + m6DDt + m7GDPAt-1 + μ13t

(2.9)

GDPLt = n0 + n1LNt + n2PCt + n3HCt + n4GEIt + n5DRPt + n6DDt + n7GDPLt-1 + μ14t

(2.10)

GDPt = GDPAt + GDPLt INFt

(2.11)

= r1GDPt + r2ERt + r3MSt + r4DRPt + r5DDt + μ19t

(2.12)

Penelitian mengenai kaitan pembangunan infrastruktur dan pertumbuhan output serta dampaknya terhadap kesenjangan di Indonesia dilakukan oleh Yanuar (2006) dengan menggunakan analisa GLS Fixed Effect Model (GLS-FEM) Penelitian tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa masing-masing infrastruktur secara parsial memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan output pada sektor pertanian dan industri. Infrastruktur kesehatan lebih besar memberikan kontribusi terhadap sektor pertanian sedangkan infrastruktur listrik memberikan kontribusi negatif terhadap output sektor pertanian. Namun, nilai elastisitasnya relatif kecil dibanding sektor industri.

Adapun infrastruktur jalan memberikan kontribusi

lebih besar pada sektor industri dibandingkan sektor pertanian. Demikian juga dengan infrastruktur telepon juga memberikan kontribusi positif terhadap output (PDRB riil per tenaga kerja) sektor pertanian, namun kontribusinya relatif lebih kecil dibandingkan sektor industri. Hasil penelitian tersebut juga menyatakan bahwa kesenjangan yang terjadi dalam perekonomian dapat disebabkan oleh adanya ketimpangan stok dari infrastruktur. Sementara adanya kebijakan desentralisasi ternyata berpengaruh positif terhadap output sektor pertanian namun untuk sektor industri memberikan

27

pengaruh yang negatif.

Adapun hasil tinjauan kebijakan infrastruktur

memperlihatkan bahwa kebijakan pemerintah pada awal masa orde baru masih mempertahankan proteksi yang tinggi terhadap infrastruktur, baik dari pembangunan maupun pengelolaanya. Ditetapkannya otonomi daerah ditambah dengan adanya standarisasi pelayanan, efisiensi, dan kemajuan teknologi telah mendorong pemerintah untuk mengubah kebijakannya untuk mengatasi keadaan infrastruktur yang memprihatinkan. Namun sejauh ini, kebijakan pemerintah tersebut masih berorientasi kepada perkotaan dan kawasan barat Indonesia. Dalam penelitiannya, Yanuar (2006) menggunakan dua persamaan, yaitu : y pit  a pit  PC pit  lisit  J ln it  Tel it  Kes it  Penit  Des it   pit (2.13)

y mit  a mit  PC mit  lisit  J ln it  Tel it  Kesit  Penit  Des it   mit (2.14)

Ginting

(2007)

menganalisis

faktor-faktor

yang

mempengaruhi

pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur transportasi dan sumberdaya air serta kaitannya dengan PDRB Kota Bogor menggunakan metode persamaan simultan dengan tiga persamaan, yaitu : RGI t  a0  a1 RRt  a 2 RGt  a3 POPt  a 4 RGI t 1  u1t

(2.15)

RTG t  RIG t  RGt

(2.16)

PDt  b0  b1 POPt  b2 RGI t  b3 RI t  b4 PDt 1  b5 DK t  u 2t

(2.17)

Penelitiannya menghasilkan kesimpulan bahwa variabel rasio antara pengeluaran Pemkot untuk non infrastruktur terhadap total pengeluaran Pemkot, variabel rasio antara penerimaan Pemkot terhadap total pengeluaran Pemkot, variabel populasi penduduk dan variabel rasio antara pengeluaran Pemkot satu tahun yang lalu secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap variabel rasio

28

antara pengeluaran Pemkot untuk infrastruktur terhadap total pengeluaran Pemkot. Secara parsial, variabel eksogen yang berpengaruh nyata terhadap variabel rasio antara pengeluaran Pemkot untuk infrastruktur terhadap total pengeluaran Pemkot (variabel endogen) pada taraf signifikansi 10 persen adalah variabel rasio antara penerimaan daerah terhadap total pengeluaran Pemkot, variabel rasio antara pengeluaran Pemkot untuk non infrastruktur terhadap total pengeluaran Pemkot dan variabel rasio antara pengeluaran Pemkot untuk infrastruktur satu tahun yang lalu. Adapun variabel populasi penduduk tidak berpengaruh secara nyata terhadap variabel rasio antara pengeluaran Pemkot untuk infrastruktur terhadap total pengeluaran Pemkot. Sihombing (2003) dalam penelitiannya menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pengeluaran pemerintah dengan pendekatan Error Correction Model (ECM) menemukan bahwa dalam jangka pendek variabel arus modal masuk dan inflasi mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap besarnya pengeluaran pemerintah.

Sementara dalam jangka panjang, hasil estimasi

menunjukkan bahwa variabel pertumbuhan ekonomi, arus modal masuk, inflasi, pengeluaran tahun sebelumnya, perubahan inflasi tahunan, dan perubahan pengeluaran pemerintah tahunan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pengeluaran pemerintah Indonesia. Namun, ditemukan pula bahwa perubahan arus modal masuk tahunan tidak memberikan pengaruh yang signifikan secara statistik terhadap pengeluaran pemerintah. Andriani (2004) yang menganalisis Inflation Targetting dan faktor-faktor penentu inflasi di Indonesia menggunakan metode persamaan simultan

29

menghasilkan suatu kesimpulan bahwa inflasi dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berasal dari sisi permintaan, sisi penawaran, dan variabel dummy kebijakan. Faktor-faktor yang berasal dari sisi permintaan adalah uang kartal dan GDP riil, sedangkan dari sisi penawaran adalah nilai tukar dan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Dalam penelitiannya, Andriani (2004) menggunakan dua persamaan, yaitu : yt   0   1 yt 1   2 it 1   3 qt

(2.18)

 t   0  1 yt   2 qt   3 M 0   4 PBBM   5 D

(2.19)

Lisna

(2007)

dalam

penelitiannya

tentang

dampak

kebijakan

ketenagakerjaan terhadap tingkat pengangguran dan perekonomian Indonesia era otonomi daerah dengan menggunakan metode persamaan simultan dengan 34 persamaan struktural dan 18 persamaan identitas menyimpulkan bahwa : (1) beberapa kelemahan Undang - Undang Ketenagakerjaan era otonomi daerah (otda) cenderung menghambat penyelesaian perselisihan hubungan industrial; (2) meskipun upah minimum ditargetkan bagi buruh tanpa pengalaman dan nol masa kerja, dalam pelaksanaannya telah menyebabkan kenaikan upah rata-rata bagi buruh di semua tingkatan, peningkatan tingkat pengangguran dan inflasi dan pada akhirnya menurunkan GDP; (3) peningkatan kebijakan penyesuaian upah minimum, peningkatan kekuatan serikat pekerja dan peningkatan jumlah kasus pemogokan dan unjuk rasa berpengaruh nyata terhadap investasi, penawaran agregat, pengangguran, dan inflasi.

30

Simaremare (2006) yang meneliti analisis pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap tingkat pengangguran di Indonesia : aplikasi Hukum Okun dengan menggunakan

metode

Ordinary

Least

Square

(OLS).

Penelitiannya

menghasilkan suatu kesimpulan bahwa Hukum Okun berlaku untuk Indonesia, dimana koefisien Okun yang diperoleh bernilai negatif.

Hasil uji hipotesis

memberikan kesimpulan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak berpengaruh terhadap tingkat pengangguran.

Tingkat pengangguran cenderung terus

meningkat seiring pertumbuhan ekonomi yang dicapai setiap tahunnya. Pertumbuhan angkatan kerja dan jumlah pengangguran tahun sebelumnya berpengaruh positif terhadap tingkat pengangguran. Peningkatan angkatan kerja setiap tahunnya menjadi beban perekonomian dalam menyediakan lapangan kerja yang dibutuhkan. Lapangan kerja yang tercipta tidak mampu mengurangi jumlah pengangguran dan tingkat pengangguran. Chow breakpoint test memberikan hasil bahwa krisis ekonomi pada tahun 1997 tidak berpengaruh terhadap tingkat pengangguran. Trend tingkat pengangguran yang meningkat baik pada periode 1985 - 1996 maupun pada 1997 - 2005 diduga menyebabkan pengaruh krisis ekonomi tidak signifikan. Adapun persamaan analisis yang digunakan adalah : U t  1 PE t  2 At  3 Pt 1  et

(2.20)

Sandra (2004) menganalisis Dampak Kebijakan Upah Minimum Terhadap Tingkat Upah dan Pengangguran Di Pulau Jawa dengan menggunakan persamaan simultan yang terdiri dari empat persamaan termasuk persamaan identitas.

31

Persamaan yang digunakan adalah : LD

= a0 + a1Wriil + a2Yriil + a3Iriil + a4LD1 + a5D1 + a6D2 + a7D3 + a8D4 +e1

LS

(2.21)

= b0 + b1Wriil + b2Pop + b3LS1 + b4D1 + b5D2 + b6D3 + b7D4 + e2

(2.22)

WRIIL = c0 + c1UMPriil + c2Infl + c3Wt-1 + c4D1 + c5D2 + c6D3 + c7D4 +e3 Ut

= LSt – LDt

(2.23) (2.24)

Hasil analisisnya menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan dan penawaran tenaga kerja kurang berpengaruh terhadap permintaan dan penawaran tenaga kerja itu sendiri.

Tetapi, model upah riil memiliki

variabel – variabel yang memiliki pengaruh kuat terhadap tingkat upah riil, seperti Upah Minimum Provinsi (UMP), inflasi, dan tingkat upah sebelumnya. UMP yang ditetapkan pemerintah ternyata memberikan pengaruh yang nyata terhadap tingkat upah riil pekerja di Pulau Jawa. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu terletak pada periode analisis dan variabel yang digunakan. Penelitian ini menggunakan data sekunder tahunan dari tahun 1976-2006, yaitu 31 tahun. Kemudian variabel-variabel yang digunakan adalah pengangguran, pengeluaran pemerintah untuk pembangunan infrastruktur, pendapatan nasional, upah minimum, inflasi, investasi, penerimaan pemerintah, angkatan kerja, tenaga kerja, pendapatan per kapita, nilai tukar, lag pengeluaran pemerintah untuk pembangunan infrastruktur, lag pendapatan nasional, lag upah minimum, dan lag inflasi

32 2.3. Kerangka Pemikiran Konseptual Pembangunan ekonomi

-

Kebijakan Moneter : OPT Tingkat suku bunga minimum Rasio cadangan minimum

Dibiayai APBN melalui pengeluaran pembangunan

Menarik Investor

Manfaat Tidak Langsung

Kebijakan Fiskal :

-

pajak Pengeluaran Pemerintah

Pengeluaran Pemerintah untuk Pembangunan

Pembangunan infrastruktur

Manfaat Langsung Membuka Kesempatan Kerja

Menyerap Tenaga Kerja

Kebijakan Upah

Mempengaruhi Jumlah Penganggur

Minimum

Pendapatan Nasional (GDP)

Inflasi

Keterangan : : hal yang dianalisis

: hal yang tidak dianalisis

: Berdampak Langsung pada jumlah penganggur

Gambar 2. 6. Kerangka Pemikiran

33

Berdasarkan kerangka pemikiran di atas maka dapat dijelaskan bahwa pembangunan ekonomi dilakukan oleh pemerintah melalui dua kebijakan, yaitu kebijakan fiskal dan moneter.

Pengeluaran pemerintah untuk pembangunan

infrastruktur termasuk di dalam kebijakan fiskal. Pengeluaran pemerintah untuk pembangunan infrastruktur mempunyai manfaat langsung dan manfaat tidak langsung terhadap jumlah penganggur. Manfaat

langsung

dari

adanya

pengeluaran

pemerintah

untuk

pembangunan infrastruktur terhadap jumlah penganggur adalah bahwa adanya proses pembangunan infrastruktur akan menyerap tenaga kerja secara langsung di dalam proses pelaksanaan pembangunan tersebut. Manfaat tidak langsungnya adalah bahwa pembangunan infrastruktur secara otomatis akan memperbaiki kondisi infrastruktur sehingga hal tersebut akan menarik minat investor untuk berinvestasi di Indonesia.

Dengan adanya peningkatan investasi maka akan

membuka lebih banyak kesempatan kerja sehingga akan menyerap tenaga kerja dan mengurangi jumlah penganggur. Pendapatan nasional (GDP) berdampak langsung terhadap jumlah penganggur.

Jika GDP meningkat, maka jumlah penganggur akan menurun

(Berdasarkan Hukum Okun). Peningkatan GDP akan menyebabkan peningkatan pendapatan per kapita (PPKT), sehingga dengan adanya peningkatan pendapatan maka masyarakat akan meningkatkan konsumsi.

Peningkatan konsumsi akan

meningkatkan permintaan output, sehingga perusahaan akan membutuhkan tenaga kerja baru untuk memenuhi peningkatan permintaan tersebut. Dengan adanya peningkatan permintaan perusahaan terhadap tenaga kerja, maka hal tersebut akan

34

membuka kesempatan kerja, sehingga akan mempengaruhi jumlah penganggur (menurunkan jumlah penganggur). Selain GDP, kebijakan upah minimum yang ditetapkan oleh pemerintah juga mempunyai dampak langsung terhadap jumlah penganggur.

Penurunan

(peningkatan) upah minimum akan secara langsung berpengaruh terhadap jumlah penganggur, karena upah dianggap sebagai biaya produksi. Tingkat inflasi yang terjadi juga merupakan faktor yang secara langsung dapat mempengaruhi jumlah penganggur karena inflasi merupakan salah satu faktor yang berpengaruh pada biaya produksi perusahaan.

2.4. Hipotesis Penelitian Pada penelitian ini diajukan enam hipotesis, yaitu : 1.

Semakin besar pengeluaran pemerintah untuk pembangunan infrastruktur maka tingkat pengangguran akan berkurang.

Pengaruh pengeluaran

pemerintah untuk pembangunan infrastruktur terhadap pengangguran adalah berbanding terbalik. 2.

Semakin besar pendapatan nasional (GDP) maka jumlah penganggur akan turun.

Pengaruh pendapatan nasional terhadap jumlah penganggur

berbanding terbalik. 3.

Peningkatan upah minimum menyebabkan jumlah penganggur meningkat. Pengaruh upah minimum terhadap jumlah penganggur adalahberbanding lurus.

35

4.

Jika inflasi naik, maka jumlah penganggur naik. Pengaruh inflasi terhadap jumlah penganggur adalah berbanding positif.

5.

Jika penerimaan pemerintah naik, maka pengeluaran pemerintah untuk pembangunan infrastruktur meningkat. Pengaruh penerimaan pemerintah terhadap pengeluaran pemerintah untuk pembangunan infrastruktur berbanding positif.

6.

Jika pengeluaran pemerintah untuk pembangunan infrastruktur meningkat, upah minimum akan meningkat. pengaruh pengeluaran pemerintah untuk pembangunan infrastruktur terhadap upah minimum adalah positif.

III. METODE PENELITIAN

3.1. Jenis dan Sumber Data Dalam penelitian ini, penulis menggunakan data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh dalam bentuk yang sudah jadi, yaitu berupa publikasi atau dalam file digital. Sumber untuk memperoleh data yaitu berasal dari Biro Pusat Statistik (BPS), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Bank Indonesia (BI) serta Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans). Data-data pendukung lainnya diperoleh dari internet maupun buku-buku penunjang.

3.2. Metode Analisis Data Metode analisis yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah model persamaan simultan.

Model persamaan simultan adalah model dalam mana

terdapat lebih dari satu persamaan regresi, satu untuk tiap-tiap variabel yang saling bergantungan.

Misalnya Y = f (X), tetapi juga X = f (Y).

Dalam

persamaan simultan suatu variabel eksogen dalam suatu persamaan dapat juga menjadi variabel endogen pada persamaan lainnya.

3.3. Persamaan Analisis Untuk mendapatkan model terbaik, maka berdasarkan tinjauan teori, penelitian terdahulu, dan berbagai literatur terkait, diperoleh lima persamaan stuktural, yaitu persamaan pengangguran (U), persamaan pengeluaran pemerintah

37

untuk pembangunan infrastruktur (GEI), pendapatan nasional (GDP), upah minimum (WAGE), dan inflasi. 3.3.1. Pengangguran (U) Pengangguran diduga dipengaruhi oleh pengeluaran pemerintah untuk pembangunan infrastruktur (GEI), pendapatan nasional (GDP), upah minimum (WAGE), dan inflasi. Adapun alasan digunakannya keempat variabel tersebut adalah : 1. Berdasarkan data yang diperoleh, pengeluaran pemerintah untuk pembangunan infrastruktur yang menurun pada saat terjadi krisis diikuti dengan peningkatan pengangguran, maka pada persamaan ini akan dilihat bagaimana pengaruh pengeluaran pemerintah untuk pembangunan infrastruktur terhadap pengangguran di Indonesia. 2. Pendapatan nasional dipakai dalam model ini berdasarkan pada Hukum Okun. 3. Adanya peningkatan upah minimum dan inflasi akan meningkatkan biaya produksi, sehingga pengusaha akan memilih untuk melakukan PHK, yang akan berdampak pada pengangguran. U

= a0 + a1GEI + a2GDP + a3INVP + a4WAGE + a5INFLASI + u1t

(3.1)

3.3.2 Pengeluaran Pemerintah untuk Pembangunan Infrastruktur (GEI) Faktor–faktor

yang

diduga

berpengaruh

terhadap

GEI

adalah

pengangguran, investasi, penerimaan pemerintah, angkatan kerja, tenaga kerja,

38

dan lag GEI. Pemilihan variabel–variabel tersebut didasarkan pada alasan sebagai berikut : 1. Adanya peningkatan pengangguran akan mendorong pemerintah untuk melakukan pembangunan dengan tujuan untuk menyerap jumlah penganggur. Selain itu, alasan digunakannya model persamaan simultan adalah untuk melihat bagaimana pengaruh GEI terhadap jumlah penganggur dan sebaliknya.

Oleh karena itu, maka variabel

pengangguran dimasukkan dalam model ini. 2. Adanya penurunan investasi di sektor riil pada saat krisis hingga saat ini, salah satu penyebabnya adalah kondisi infrastruktur yang buruk. Untuk itu,

variabel

investasi

diduga

berpengaruh

terhadap

keputusan

dilaksanakannya pembangunan infrastruktur oleh pemerintah. 3.

Sumber dana atas terselenggaranya pembangunan infrastruktur adalah dari penerimaan pemerintah. Setiap pengeluaran yang dilakukan oleh individu dipengaruhi oleh pendapatan yang diperoleh.

4. Angkatan kerja dan tenaga kerja merupakan bagian dari pengangguran, sehingga

kedua

variabel

ini

perlu

untuk

dimasukkan

untuk

menyempurnakan persamaan GEI. 5. Besarnya pengeluaran pemerintah untuk pembangunan infrastruktur tahun sebelumnya merupakan tolok ukur bagi pemerintah untuk melaksanakan pembangunan di tahun berikutnya. GEI

= b0 + b1U + b2INVP + b3GR + b4AK + b5TK + b6GEI(-1) + u2t

(3.2)

39

3.3.3. Pendapatan Nasional (GDP) Untuk persamaan pendapatan nasional, maka variabel–variabel yang diduga mempengaruhi GDP adalah pengangguran, investasi, pendapatan per kapita, angkatan kerja, dan lag GDP. Adapun alasan pemilihan variabel–variabel tersebut adalah : 1. Pemilihan variabel pengangguran berdasarkan Hukum Okun. 2. Variabel investasi dipilih berdasarkan rumus identitas pendapatan nasional. 3. Pendapatan per kapita merupakan hasil bagi antara GDP dan populasi. Dengan asumsi jumlah populasi relatif konstan, maka pendapatan per kapita mampu mencerminkan kondisi pendapatan nasional suatu bangsa. 4. Variabel angkatan kerja dimasukkan untuk melihat bagaimana pengaruh peningkatan angkatan kerja terhadap GDP, karena peningkatan angkatan kerja tanpa diikuti peningkatan kesempatan kerja hanya akan menjadi beban perekonomian suatu negara (Dumairy, 1996). 5. Pendapatan nasional yang diperoleh tahun sebelumnya ikut menentukan kinerja pemerintah pada tahun berikutnya. GDP

= c0 + c1LNU + c2INVP + c3PPKT + c4AK + c5GDP(-1) + u3t

(3.3)

3.3.4. Upah Minimum (WAGE) Upah minimum diduga dipengaruhi oleh pengangguran, inflasi, NAIRU, penerimaan pemerintah, pendapatan nasional, lag GEI, dan lag upah minimum.

40

Pemilihan variabel–variabel independen tersebut didasarkan pada alasan berikut ini : 1. Tinggi rendahnya pengangguran akan berpengaruh pada tingkat upah. Ketika tingkat pengangguran rendah, maka pengusaha akan bersedia untuk meningkatkan upah untuk memperoleh tenaga kerja terbaik. 2. Ketika terjadi inflasi, maka upah riil yang diterima oleh pekerja akan mengalami penurunan. 3. Ketika NAIRU > Tingkat pengangguran, maka upah akan meningkat, karena hal itu mencerminkan rendahnya tingkat pengangguran. 4. Penerimaan pemerintah dan GDP akan mempengaruhi upah minimum yang ditetapkan oleh pemerintah. GDP

meningkat,

maka

Ketika penerimaan pemerintah dan

pemerintah

memiliki

kemampuan

untuk

meningkatkan upah minimum. 5. Peningkatan

pembangunan

infrastruktur

tahun

sebelumnya

akan

memperbaiki kondisi infrastruktur, sehingga hal tersebut akan berdampak pada penghematan biaya produksi (misal : karena arus distribusi barang lebih lancar). Adanya penghematan biaya produksi akan meningkatkan kemampuan perusahaan untuk meningktakan upah. 6. Upah minimum yang berlaku tahun sebelumnya merupakan acuan pemerintah untuk menetapkan tingkat upah tahun berikutnya. WAGE = d0 + d1U + d2INFLASI + d3NAIRU + d4GR + d5GDP + d6GEI(-1) + d7WAGE(-1) + u4t

(3.4)

41

3.3.5. Inflasi Persamaan terakhir yang dianalisis dalam penelitian ini adalah persamaan inflasi, yang diduga dipengaruhi oleh pengangguran, nilai tukar, NAIRU, upah minimum, GEI, GDP, dan lag inflasi.

Berikut ini adalah alasan pemilihan

variabel–variabel tersebut : 1. Variabel pengangguran dipilih berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Norton (1976) bahwa pengangguran mempengaruhi inflasi. 2. Nilai tukar dipilih berdasarkan rumus nilai tukar, yaitu ketika terjadi depresiasi maka akan terjadi inflasi. 3. Variabel NAIRU dimasukkan dalam persamaan berdasarkan rumus inflasi tarikan – permintaan. 4. Upah minimum dipilih berdasarkan pada rumus upah riil. 5. Salah satu cara mengatasi adanya defisit anggaran karena adanya peningkatan pembangunan infrastruktur adalah melalui pencetakan uang (seigniorage). 6. Adanya peningkatan GDP akan meningkatkan GEI (rumus identititas pendapatan nasional) yang akan menyebabkan peningkatan permintaan agregat.

Jika penawaran tidak bisa segera menyeimbangkan naiknya

permintaan, maka akan menyebabkan terjadinya inflasi. Selain itu, adanya peningkatan seigniorage.

GEI

akan

menyebabkan

pemerintah

melaksanakan

42

7. Inflasi tahun sebelumnya menetukan kebijakan Inflation Targeting yang dilakukan pemerintah, dalam hal ini Bank Indonesia, untuk melaksanakan kebijakan tersebut pada tahun berikutnya. INFLASI = e0 + e1U + e2ER + e3NAIRU + e4 WAGE + e5GEI + ef6GDP + e7INFLASI(-1) + u5t

(3.5)

Langkah selanjutnya adalah mentransformasikan persamaan ke dalam bentuk logaritma natural untuk mempermudah melihat respon dari variabel independen terhadap variabel dependen. Berikut ini adalah persamaan analisis yang telah ditransformasi ke dalam bentuk logaritma natural. LNU

= a0 + a1LNGEI + a2LNGDP + a3LNINVP + a4LNWAGE + a5INFLASI + u1t

LNGEI

= b0 + b1LNU + b2LNINVP + b3LNGR + b4LNAK + b5LNTK + b6LNGEI(-1) + u2t

LNGDP

(3.8)

= d0 + d1LNU + d2INFLASI + d3LNNAIRU + d4LNGR + d5LNGDP + d6LNGEI(-1) + d7LNWAGE(-1) + u4t

INFLASI

(3.7)

= c0 + c1LNU + c2LNINVP + c3LNPPKT + c4LNAK + c5LNGDP(-1) + u3t

LNWAGE

(3.6)

(3.9)

= e0 + e1LNU + e2LNER + e3LNNAIRU + e4LNWAGE + e5LNGEI + e6LNGDP + e7INFLASI(-1) + u5t

(3.10)

dimana : U

= Pengangguran

GEI

= Pengeluaran Pemerintah untuk Pembangunan Infrastruktur

43

GDP

= Pendapatan Nasional

INVP

= Investasi

WAGE

= Upah Minimum

INFLASI

= Inflasi

GR

= Penerimaan Pemerintah

AK

= Angkatan Kerja

TK

= Tenaga Kerja

PPKT

= Pendapatan per Kapita

NAIRU

= Pengangguran Alamiah

ER

= Nilai Tukar

3.4. Identifikasi Model Identifikasi model perlu dilakukan dalam model persamaan simultan untuk mengetahui apakah taksiran angka dari parameter persamaan struktural dapat diperoleh dari koefisien bentuk yang direduksi yang ditaksir. Agar

suatu

persamaan

dapat

diidentifikasi,

maka

banyaknya

predetermined variables yang tidak termasuk dalam persamaan tersebut (excluded) harus tidak boleh kurang dari banyaknya variabel endogen yang tercakup dalam persamaan dikurang satu, yaitu : K-M ≥ G-1

(3.11)

44

dimana : K

= jumlah variabel dalam model (peubah endogen dan predeterminan)

M

= jumlah variabel (peubah endogen dan predeterminan yang terdapat dalam satu persamaan)

G

= jumlah peubah endogen total

Jika K-M = G-1, persamaan tersebut tepat teridentifikasi (just identified) K-M > G-1, maka persamaan tersebut over identified K-M < G-1, maka persamaan tersebut tidak teridentifikasi (underidentified)

Model ekonomi yang dipakai dalam penelitian ini terdiri dari enam persamaan struktural.

Variabel endogen berjumlah enam (G = 5) sedangkan

variabel predeterminan berjumlah 11. Jadi, total variabel yang terdapat dalam model tersebut adalah 16 (K = 16). Berdasarkan rumus identifikasi model di atas, setiap persamaan yang terdapat dalam penelitian ini termasuk dalam kategori over identified (Tabel 3. 1). Tabel 3. 1. Hasil Identifikasi Model Nama Persamaan LNU LNGEI LNGDP LNWAGE INFLASI

K 16 16 16 16 16

M 5 7 6 8 8

G 5 5 5 5 5

K-M 11 9 10 8 8

G-1 5 5 5 5 5

Kategori Over Identified Over Identified Over Identified Over Identified Over Identified

Berdasarkan hasil identifikasi model, terlihat bahwa keenam model analisis overidentified, sehingga pengujian dilakukan dengan menggunakan metode Two Stage Least Square (TSLS).

45

Terdapat tiga uji yang dilakukan pada penelitian ini, yaitu statistik, uji ekonometrik, dan uji ekonomi. Uji statistik meliputi uji–F, uji–t, dan R-Squared. Sedangkan uji ekonometrik meliputi uji autokorelasi, uji heteroskedastisitas, dan uji normalitas.

Uji ekonomi dilakukan untuk menguji hasil estimasi model

berdasarkan logika dan teori ekonomi. 3. 5. Uji Statistik 3. 5. 1. Uji-F Uji-F digunakan untuk melakukan uji hipotesis koefisien (slope) regresi secara bersamaan. Secara umum hipotesisnya dituliskan sebagai berikut : H0 : β1 = β2 = ... = βi = 0 (tidak ada pengaruh nyata variabel-variabel eksogen dalam persamaan) H1 : minimal terdapat βi ≠ 0 (paling sedikit ada 1 variabel eksogen yang berpengaruh nyata terhadap variabel endogen) untuk : i : 1, 2, 3, ..., k β : dugaan parameter Statistik uji yang dilakukan dalam uji-F : F-hitung =

KTR KTG

(3.12)

KTR

=

JKR k 1

(3.13)

KTG

=

JKG nk

(3.14)

dengan derajat bebas = k-1 (n-k)

46

dimana : KTR

= Kuadrat Tengah Regresi

KTG

= Kuadrat Tengah Galat

JKR

= Jumlah Kuadrat Regresi

JKG

= Jumlah Kuadrat Galat

k

= Jumlah Parameter

n

= Jumlah Pengamatan

Jika F-hitung > F-tabel, maka tolak Ho berarti minimal ada satu variabel independen yang berpengaruh nyata terhadap variabel dependen, dan berlaku sebaliknya.

Selain itu, dapat juga dibandingkan antara nilai probabilitas F-

statistic terhadap taraf nyata (α) yang telah ditetapkan dalam penelitian. Jika nilai probabilitas F-statistic < α maka tolak Ho dan itu artinya minimal ada satu variabel independen yang berpengaruh nyata terhadap variabel dependen, dan berlaku sebaliknya.

3. 5. 2. Uji-t Setelah melakukan uji koefisien regresi secara keseluruhan, maka langkah selanjutnya adalah menghitung koefisien regresi secara individu dengan menggunakan uji-t. Hipotesis pada uji-t adalah : H0 : βi = 0 H1 : βi ≠ 0

47

Rumus uji-t adalah : t-hitung =

i S i

(3.15)

dimana : βi

= Parameter dugaan variabel ke-i

Sβi

= Standar error dari parameter dugaan βi

Jika t-hitung > t-tabel maka H0 ditolak yang berarti variabel independen secara statistik nyata pada taraf nyata (α) yang telah ditetapkan dalam penelitian, dan berlaku hal yang sebaliknya. Selain itu, jika nilai probabilitas t-statistic < α maka tolak H0 dan berarti bahwa variabel independent nyata secara statistik, dan sebaliknya.

3. 5. 3. Koefisien Determinasi (R2) Menurut Nachrowi (2006) koefisien determinasi (Goodness of Fit) merupakan

suatu

ukuran

yang

penting

dalam

regresi,

karena

dapat

menginformasikan baik atau tidaknya model regresi yang terestimasi. Nilai R2 mencerminkan seberapa besar variasi dari variabel dependen Y dapat diterangkan oleh variabel dependen X.

Jika R2 = 0, maka variasi dari Y tidak dapat

diterangkan oleh X sama sekali. Dan jika R2 = 1, artinya bahwa variasi dari Y secara keseluruhan dapat diterangkan oleh X. Adapun rumus untuk Koefisien Determinasi adalah :

R2 

SSR SST

(3.16)

48

dimana : R2

= koefisien determinasi

SST

= variasi dari data

SSR

= variasi dari garis regresi yang dibuat

3. 6. Uji Ekonometrika 3. 6. 1. Uji Autokorelasi Autokorelasi adalah korelasi yang terjadi antar observasi dalam satu variabel atau korelasi antar error masa yang lalu dengan error masa sekarang. Dalam data time series, masalah autokorelasi adalah yang menjadi fokus utama. Uji autokorelasi yang dilakukan tergantung pada jenis data dan sifat model yang digunakan. Karena data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data time series dan mengandung variabel endogen beda - kala (model autoregresif), maka pengujian autokorelasi dilakukan dengan menggunakan uji Durbin h (Gujarati, 1978). Pengujian ini disebut dengan statistik h.

h  pˆ

N 1  N varˆ 2 

Tidak terjadi autokorelasi apabila h-hitung < nilai kritis h pada tabel distribusi normal pada taraf nyata (α) yang dipakai dalam penelitian.

(3.17)

49

3. 6. 2. Uji Heteroskedastisitas Menurut Nachrowi (2006) salah satu asumsi yang harus dipenuhi dalam persamaan regresi adalah bahwa taksiran parameter dalam model regresi bersifat BLUE (Best Linier Unbiased Estimate) maka var (ui) harus sama dengan σ2 (konstan), atau semua residual atau error mempunyai varian yang sama. Kondisi itu disebut dengan homoskedastisitas. Sedangkan bila varian tidak konstan atau berubah-ubah disebut dengan heteroskedastisitas. Untuk menguji ada tidaknya masalah heteroskedastisitas, maka salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan Uji White. Sebagai contoh terdapat persamaan regresi sebagai berikut : Y1 = β0 + β1X1i + β2X2i + ui

(3.18)

Berdasarkan regresi yang mempunyai dua variabel bebas di atas, Uji White dapat dilakukan dengan beberapa langkah, yaitu : 1. Hasil estimasi dari model di atas akan menghasilkan nilai error, yaitu : uˆ i2 2. Buat persamaan regresi : uˆ i2 = α0 + α1X1i + α2X2i + α3X21i + α4X22i + α5X1iX2i + vi

(3.19)

Uji ini mengasumsikan bahwa varian error merupakan fungsi yang mempunyai hubungan dengan variabel bebas, kuadrat masing-masing variabel bebas, dan interaksi antar variabel bebas, sesuai dengan model di atas. 3. Dengan hipotesis : H0 : Homoskedastisitas H1 : Lainnya

50

Sampel berukuran n dan koefisien determinasi R2 yang didapat dari regresi akan mengikuti distribusi Chi-Square dengan derajat bebas jumlah variabel bebas atau jumlah koefisian regresi di luar intercept. Dengan demikian, formulasi Uji White adalah sebagai berikut : n R2 ~ χ2

(3.20)

4. Jika nilai penghitungan melebihi nilai kritis dengan α yang dipilih, diputuskan bahwa tidak terdapat heteroskedastisitas. Hal ini disebabkan α1 = α2 = α3 = α4 = α5 = 0, sehingga uˆ i2 = α0 (konstan). Selanjutnya untuk menguji apakah variabel-variabel independen secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap variabel dependen pada masingmasing persamaan, digunakan statistik uji F. Kemudian untuk menguji apakah masing-masing variabel independen secara individual berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel dependen pada masing-masing persamaan, digunakan statistik uji t.

3. 6. 3. Uji Normalitas Uji normal dilakukan untuk memeriksa apakah error term mendekati distribusi normal atau tidak. Jika asumsi tidak terpenuhi maka prosedur pengujian menggunakan statistik t menjadi tidak sah. Uji normalitas error term dilakukan dengan menggunakan uji Jargue Bera. Uji ini didasarkan pada error penduga least square.

51

Prosedur pengujian : 1. H0 : error term terdistribusi normal H1 : error term tidak terdistribusi normal 2. Statistik JB dihitung melalui tahapan berikut : a. Kecondongan (α3) dan ketinggian (α4) distribusi error term b. Hitung statistik uji JB dengan rumus berikut :

  32 ( 4  3) 2   JB = n  24   24

(3.21)

Daerah kritis penolakan H0 adalah nilai JB > X2 atau probabilitas lebih kecil daripada taraf nyata. Jika H0 ditolak maka error term tidak terdistribusi normal.

IV. GAMBARAN UMUM

4. 1. Pengeluaran Pemerintah untuk Pembangunan Infrastruktur (GEI) 4. 1. 1. Pengeluaran Pemerintah Pengeluaran

pemerintah

perekonomian suatu negara.

merupakan

salah

satu

instrumen

dalam

Pengeluaran pemerintah merupakan salah satu

instrumen kebijakan fiskal disamping pajak. Kebijakan fiskal adalah kebijakankebijakan yang berkenaan dengan penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Pemerintah melakukan pengeluaran untuk membiayai kegiatan-kegiatan untuk pelaksanaan pembangunan. Pengeluaran-pengeluaran tersebut bukan saja untuk menjalankan roda pemerintahan setiap hari, tetapi juga untuk membiayai kegiatan perekonomian. Pengeluaran pemerintah dapat dibedakan menjadi dua yaitu pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan.

Pengeluaran rutin adalah pengeluaran

pemerintah yang pada dasarnya berunsurkan pos-pos pengeluaran untuk membiayai pelaksanaan roda pemerintahan sehari-hari. Sedangkan pengeluaran pembangunan adalah pengeluaran yang bersifat menambah modal masyarakat dalam bentuk prasarana fisik. Di dalam penelitian ini pengeluaran pemerintah dibatasi pada pengeluaran pembangunan. Pengadaan infrastruktur merupakan salah satu pengeluaran yang dilakukan oleh pemerintah yang dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) melalui instrumen pengeluaran pembangunan.

53

Tabel 4. 1. Konversi Susunan Belanja Negara dalam APBN dari T-Account ke I-Account. FORMAT LAMA BELANJA NEGARA 1. Belanja Pemerintah Pusat - Pengeluaran Rutin a. Belanja Pegawai b. Belanja Barang c. Pembayaran BungaUtang d. Subsidi e. Pengeluaran Rutin Lainnya - Pengeluaran Pembangunan

2. Belanja Untuk Daerah b. Dana Perimbangan c. Dana Otonomi Khusus Penyesuaian

dan

FORMAT BARU BELANJA NEGARA 1. Belanja Pemerintah Pusat a. Belanja Pegawai b. Belanja Barang c. Belanja Modal d. Pembayaran Bunga Utang e. Subsidi f. Belanja Hibah g. Bantuan Sosial h. Belanja lain-lain 2. Belanja Untuk Daerah a. Dana Perimbangan b. Dana Otonomi Khusus Penyesuaian.

dan

Sumber : Depkeu

Mulai tahun 2005 diterapkan anggaran belanja terpadu, yaitu menyatukan anggaran belanja rutin dengan anggaran belanja pembangunan. Struktur APBN yang lama disebut T-Account, dimana prinsip anggaran yang digunakan adalah anggaran berimbang dinamis, yaitu jumlah penerimaan negara selalu sama dengan pengeluaran negara. Dalam format T-Account belanja negara diklasifikasikan ke dalam dua bagian, yaitu pengeluaran rutin, yang terdiri dari lima jenis pengeluaran, dan pengeluaran pembangunan. Dan belanja daerah diklasifikasikan menjadi dua yaitu, Dana Perimbangan dan Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian. Sedangkan format APBN yang baru disebut dengan I-Account, dimana prinsip anggaran yang digunakan adalah anggaran surplus / defisit. Pada format yang baru, terdapat perubahan pada Belanja Pemerintah Pusat, yaitu menggabungkan antara anggaran belanja rutin (pengeluaran rutin) dan anggaran

54

belanja pembangunan (pengeluaran pembangunan). Perubahan format APBN dari T-Account menjadi I-Account disajikan pada tabel 4.1.

4. 1.2. Infrastruktur Menurut Ramelan (1997), infrastruktur pembangunan terdiri atas dua jenis, yaitu infrastruktur ekonomi dan infrastruktur sosial. Infrastruktur ekonomi adalah infrastruktur fisik, baik yang digunakan dalam proses produksi maupun yang dimanfaatkan oleh masyarakat luas. Dalam pengertian ini meliputi semua prasarana umum seperti tenaga listrik, telekomunikasi, perhubungan, irigasi, air bersih dan sanitasi, serta pembuangan limbah. Sedangkan infrastruktur sosial antara lain meliputi prasarana kesehatan dan pendidikan. Infrastruktur dapat digolongkan sebagai modal (capital). Namun, berbeda dengan modal yang berpengaruh langsung terhadap kegiatan produksi seperti bangunan pabrik, mesin dan peralatan, serta bahan baku, infrastruktur tergolong sebagai social overhead capital. Dengan karakteristik ini, perluasan infrastruktur ini tidak hanya menambah stok dari modal tetapi juga sekaligus meningkatkan produktivitas perekonomian dan taraf hidup masyarakat luas. Ada dua kendala utama pengadaan infrastruktur dalam Yanuar (2006), yaitu pertama kemungkinan terjadinya kegagalan pasar (market failure), dan kedua menyangkut aspek pembiayaan, yaitu memerlukan dana investasi yang besar dan merupakan investasi jangka panjang. Beberapa jenis infrastruktur dapat mengalami kegagalan pasar seperti jalan raya. Dengan adanya kendala tersebut, maka pengadaan akan infrastruktur dilaksanakan oleh pemerintah melalui

55

pengeluaran pemerintah dengan dana yang terdapat dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) melalui pengeluaran pembangunan. Pengadaan

infrastruktur

yang

memadai

mutlak

diperlukan

bagi

terlaksananya pembangunan suatu negara menuju ke arah yang lebih baik karena kondisi infrastruktur yang ada di suatu negara sangat mempengaruhi kinerja perekonomian, yaitu berpengaruh pada tingkat pengangguran, tingkat kemiskinan, dan pertumbuhan ekonomi. Jadi pengeluaran pemerintah untuk pembangunan infrastruktur adalah pengeluaran pemerintah untuk melaksanakan pembangunan sarana infrastruktur seperti jalan raya, terminal, dan pelabuhan yang dibiayai oleh APBN. Berikut ini adalah perkembangan GEI selama 31 tahun terakhir (1976 – 2006). GEI (miliar rupiah) 100000

GEI

80000 60000

GEI

40000 20000

19 76 19 79 19 82 19 85 19 88 19 91 19 94 19 97 20 00 20 03 20 06

0

Tahun

Gambar 4. 1. Perkembangan GEI 1976 – 2006

Terlihat pada grafik di atas bahwa GEI mengalami penurunan yang cukup tajam pada tahun 2000, dan mulai mengalami peningkatan pada tahun 2001. Hal ini sesuai dengan laporan Bank Dunia bahwa pengeluaran pemerintah Indonesia

56

untuk pembangunan infrastruktur mengalami penurunan yang cukup signifikan pada tahun 2000, yaitu hanya sekitar 1 – 2 persen dari GDP. Padahal sebelum krisis, pengeluaran pemerintah Indonesia untuk pembangunan infrastruktur berkisar antara 5 – 6 persen dari GDP dan saat ini relatif konstan pada 3, 4 persen dari GDP.

4. 2. Pengangguran (U) Menurut Biro Statistik Tenaga Kerja dalam Don Bellante - Mark Jackson (1990),

seseorang

dikatakan

menganggur

apabila

selama

seminggu

berlangsungnya survei, orang itu tidak mempunyai pekerjaan, tetapi siap bekerja, dan telah melakukan usaha pencarian kerja selama empat minggu sebelumnya. Secara konseptual, pengangguran dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu pengangguran friksional, pengangguran struktural, dan pengangguran karena kurangnya permintaan (demand deficiency unemployment).

Pengangguran

friksional terjadi karena kurangnya informasi yang kurang sempurna dan biayanya mahal untuk memperolehnya. Pengangguran struktural terjadi karena lowongan pekerjaan yang tersedia membutuhkan keahlian yang berbeda yang dimiliki oleh para pencari kerja, atau karena lowongan pekerjaan yang dapat diperoleh itu berada dalam kawasan geografis lain dari lokasi tempat tinggal pekerja yang menganggur. Pengangguran karena kurangnya permintaan timbul apabila pada tingkat upah dan harga yang sedang berlaku, tingkat permintaan tenaga kerja secara keseluruhan terlampau rendah, dengan akibat bahwa jumlah tenaga kerja

57

yang diminta perekonomian secara keseluruhan lebih rendah dibandingkan dengan jumlah pekerja yang menawarkan tenaga kerjanya. Gambar 4.2 akan menunjukkan perkembangan jumlah penganggur di Indonesia selama tahun 1976 – 2006. Pengangguran (jiwa) 12000000 10000000 8000000 6000000

Pengangguran

4000000 2000000

19 76 19 79 19 82 19 85 19 88 19 91 19 94 19 97 20 00 20 03 20 06

0

Gambar 4. 2. Perkembangan Pengangguran 1976 – 2006

Selama 31 tahun terakhir, jumlah pengangguran di Indonesia cenderung mengalami peningkatan, terutama sejak terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1998. Hal ini disebabkan karena setelah krisis, investasi sektor riil Indonesia mengalami penurunan yang cukup tajam. Setelah krisis, investasi lebih banyak di sektor keuangan, seperti pada saham dan portofolio, sehingga investasi pada sektor tersebut tidak banyak membuka kesempatan kerja. Peningkatan pengangguran diperparah dengan adanya peningkatan angkatan kerja setiap tahunnya, padahal peningkatan tersebut tidak mampu diimbangi dengan peningkatan kesempatan kerja.

58

4. 3. Pendapatan Nasional (Gross Domestic Product / GDP) Ada dua cara untuk melihat pendapatan nasional. Salah satunya adalah dengan melihat GDP sebagai pendapatan total dari perekonomian. Cara lain untuk mengukur GDP adalah sebagai pengeluaran total atas output barang dan jasa perekonomian.

GDP sering dianggap sebagai ukuran terbaik kinerja

perekonomian suatu negara.

GDP mengukur pendapatan dari suatu negara.

Perekonomian dengan output barang dan jasa yang besar dapat lebih baik memenuhi permintaan rumah tangga, perusahaan, dan pemerintah (Mankiw, 2003). Menurut Dumairy (1996) terdapat tiga macam pendekatan untuk mengukur GDP yaitu menurut pendekatan produksi, pendekatan pendapatan, dan pendekatan pengeluaran. Menurut pendekatan produksi, GDP adalah jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi di wilayah suatu negara dalam jangka waktu satu tahun. Menurut pendekatan pendapatan, GDP adalah jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor produksi yang turut serta dalam proses produksi di wilayah suatu negara dalam jangka waktu satu tahun. Sedangkan menurut pendekatan pengeluaran, GDP adalah jumlah seluruh komponen akhir yang meliputi (1) pengeluaran konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta yang tidak mencari keuntungan; (2) pembentukan modal tetap domestik bruto dan perubahan stok; (3) pengeluaran konsumsi pemerintah; dan (4) ekpor neto, yaitu ekspor dikurangi impor, dalam jangka waktu setahun.

59

Persamaan Pendapatan Nasional (persamaan 2. 1) : Y = C + I + G + (X-M) Gambar 4.3 menunjukkan perkembangan GDP Indonesia selama 31 tahun terakhir. GDP Indonesia cenderung mengalami peningkatan sebelum terjadinya krisis, dan pada saat krisis terjadi GDP mengalami penurunan, bahkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 1998 mencapai – 13 persen. Namun, pada saat ini GDP cenderung mulai mengalami peningkatan.

600000.00 500000.00 400000.00 300000.00 200000.00

gdp

100000.00 0.00 19 76 19 79 19 82 19 85 19 88 19 91 19 94 19 97 20 00 20 03 20 06

Pendapatan Nasional

Pendapatan Nasional (miliar rupiah)

Tahun

Gambar 4. 3. Perkembangan GDP 1976 – 2006

4. 4. Investasi (INVP) Investasi

merupakan

faktor

yang

sangat

penting bagi

jalannya

pembangunan dan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Dengan adanya investasi, maka kesempatan kerja akan tercipta sehingga pengangguran bisa berkurang. Investasi merupakan komponen penting yang berperan pada pendapatan nasional suatu negara (berdasarkan persamaan pendapatan nasional). Investasi di Indonesia sering juga disebut sebagai Pembentukan Modal Domestik Bruto.

Pembentukan modal domestik bruto mencakup pengadaan,

60

pembuatan atau pembelian barang modal baru dari dalam negeri dan barang modal baru ataupun bekas dari luar negeri. Barang modal yang dibeli atau dibuat sendiri adalah barang tahan lama yang digunakan untuk berproduksi dan biasanya berusia pakai satu tahun atau lebih. Selama 31 tahun terakhir, investasi Indonesia mengalami peningkatan, kecuali pada masa terjadinya krisis ekonomi. Kurang kondusifnya kondisi politik, ekonomi, dan hankam Indonesia pada saat terjadi krisis merupakan salah satu penyebab investor memindahkan investasinya dari Indonesia.

Gambar 4. 4

menggambarkan kondisi investasi Indonesia periode 1976 – 2006.

160000.00 140000.00 120000.00 100000.00 80000.00 60000.00 40000.00 20000.00 0.00

Investasi

19 76 19 79 19 82 19 85 19 88 19 91 19 94 19 97 20 00 20 03 20 06

Investasi

Investasi (miliar rupiah)

Tahun

Gambar 4. 4. Perkembangan Investasi 1976 – 2006

4. 5. Upah Minimum (Wage) Menurut UU No.13 Tahun 2003 gaji atau upah adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari pengusaha kepada karyawan / pekerja untuk pekerjaan / jasa yang telah atau akan dilakukan, dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang yang ditetapkan menurut suatu persetujuan, atau peraturan perundang-undangan dan dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara pengusaha dengan karyawan /

61

pekerja termasuk tunjangan, baik untuk karyawan / pekerja sendiri maupun keluarganya. Upah minimum merupakan upah yang ditetapkan secara minimum regional, sektor sektoral, maupun sub sektoral. Menurut A.W. Philips terdapat trade off antara laju inflasi upah dengan pengangguran.

Kurva Philips menunjukkan bahwa jika laju inflasi upah

meningkat maka pengangguran akan menurun. Secara sederhana Kurva Philips dapat dirumuskan sebagai : gw = -ε (U – U*)

(4.1)

Persamaan ini menyatakan bahwa upah akan menurun apabila U > U*, dimana U* adalah tingkat pengangguran alamiah, yang besarnya 4 %. Dan upah akan naik apabila tingkat pengangguran lebih kecil dibandingkan pengangguran alamiahnya (U < U*). Pada saat terjadi inflasi, upah riil yang diterima para pekerja mengalami penurunan. Hal ini terjadi pada saat terjadi krisis, dimana pada tahun 1998 inflasi mencapai 77, 63 persen, sehingga upah riil mengalami penurunan yang sangat tajam. Pada gambar 4. 5 akan terlihat kondisi upah minimum nominal Indonesia selama periode 1976 – 2006.

62

700000 600000 500000 400000 300000 200000 100000 0

Upah

19 76 19 79 19 82 19 85 19 88 19 91 19 94 19 97 20 00 20 03 20 06

Upah

Upah (rupiah)

Tahun

Gambar 4. 5. Perkembangan Upah Minimum 1976 – 2006

4. 6. Inflasi Menurut Boediono (1996) inflasi adalah kecenderungan harga-harga untuk meningkat secara umum dan terus-menerus dalam suatu periode waktu tertentu. Di dalam definisi inflasi tersebut tercakup tiga aspek yaitu : 1.

Adanya kecenderungan harga-harga untuk meningkat pada suatu waktu tertentu dan mempunyai kecenderungan untuk meningkat, walaupun di satu waktu pernah mengalami penurunan.

2.

Peningkatan tersebut berlangsung terus-menerus dan bukan pada satu waktu saja.

3.

Mencakup pengertian tingkat harga umum, yang berarti yang mengalami peningkatan bukan hanya pada satu atau beberapa komoditi saja, tetapi tingkat harga secara keseluruhan.

Inflasi di Indonesia selama tahun 1976 – 1997 berfluktuatif, tetapi relatif konstan. Namun, saat krisis melanda pada tahun 1998, inflasi melonjak tajam

63

hingga 77, 63 persen. Saat ini, inflasi cenderung berada dalam keadaan stabil. Hal tersebut dapat terlihat pada gambar 4. 6. Inflasi (persen) 100

Inflasi

80 60

inflasi

40 20

19 76 19 79 19 82 19 85 19 88 19 91 19 94 19 97 20 00 20 03 20 06

0

Tahun

Gambar 4. 6. Perkembangan Inflasi 1976 – 2006

4. 7. Penerimaan Pemerintah (GR) Penerimaan pemerintah dapat dibedakan antara penerimaan pajak dan penerimaan bukan pajak. Penerimaan bukan pajak misalnya adalah penerimaan pemerintah yang berasal dari pinjaman pemerintah baik pinjaman dalam negeri maupun pinjaman luar negeri, penerimaan dari badan usaha milik pemerintah, penerimaan dari lelang, dan sebagainya. Penerimaan pemerintah lainnya adalah dari pajak. Definisi pajak adalah suatu pungutan yang merupakan hak prerogatif pemerintah yang berdasarkan Undang - Undang, pemungutannya dapat dipaksakan kepada subyek pajak dan tidak ada balas jasa yang langsung dapat ditunjukkan penggunaanya. Penerimaan pemerintah diperlukan untuk

membiayai

pengeluaran

pemerintah. Penerimaan dan pengeluaran pemerintah dirangkum dalam suatu

64

konsep terpadu mengenai pendapatan dan belanja negara dan terangkum pada APBN. Pada tahun 1998, ketika rupiah terdepresiasi, penerimaan pemerintah mengalami peningkatan. Ketika terjadi depresiasi rupiah terhadap dolar Amerika, harga barang dalam negeri menjadi lebih murah dibandingkan harga barang luar negeri, sehingga produsen dalam negeri lebih memilih untuk mengekspor barang dibandingkan menjual barang tersebut di dalam negeri supaya keuntungan yang diperoleh lebih besar. Peningkatan ekspor memberikan dampak peningkatan pajak ekspor yang diterima oleh pemerintah, sehingga penerimaan pemerintah dari sektor pajak meningkat. Secara keseluruhan, penerimaan pemerintah pun meningkat.

700000 600000 500000 400000 300000 200000 100000 0

Penerimaan Pemerintah

19 76 19 79 19 82 19 85 19 88 19 91 19 94 19 97 20 00 20 03 20 06

GR

Penerimaan Pemerintah (miliar rupiah)

Tahun

Gambar 4. 7. Perkembangan GR 1976 – 2006 4. 8. Angkatan Kerja (AK) Angkatan kerja merupakan konsep yang memperlihatkan economically active population. Angkatan kerja adalah penduduk dalam usia kerja yang sedang bekerja maupun yang sedang mencari pekerjaan. Sebelum tahun 1998, penduduk

65

yang termasuk dalam angkatan kerja adalah penduduk dengan usia 10 tahun ke atas. Namun, sejak tahun 1998, penduduk yang masuk dalam angkatan kerja adalah penduduk yang berusia 15 tahun ke atas. Pertumbuhan tenaga kerja lebih tinggi daripada pertumbuhan jumlah penduduk secara keseluruhan.

Hal ini disebabkan karena struktur penduduk

Indonesia saat ini didominasi oleh penduduk usia muda. Jumlah angkatan kerja tumbuh lebih cepat daripada jumlah penduduk, bahkan jika juga dibandingkan dengan jumlah tenaga kerja. Dumairy (1996) menjelaskan bahwa angkatan kerja yang tumbuh dengan sangat cepat akan membawa beban tersendiri bagi perekonomian, yaitu penciptaan atau perluasan lapangan kerja. Jika lowongan kerja baru tidak mampu menampung semua angkatan kerja, dimana penawaran tenaga kerja lebih tinggi daripada permintaan tenaga kerja, maka sebagian angkatan kerja baru itu akan menambah jumlah penganggur yang ada. Setelah tahun 2000, jumlah angkatan kerja baru selalu lebih dari 1 juta jiwa setiap tahunnya. Ukuran angkatan kerja tergantung L pada ukuran jumlah penduduk yang berusia layak kerja ( age-eligible population), yaitu P, dan keseluruhan tingkat partisipasi angkatan kerja L/P, yaitu persentase penduduk yang berusia layak kerja yang memilih untuk ikut dalam angkatan kerja. L = P (L/P)

(4.2)

Di Indonesia, yang tergolong dalam penduduk usia layak kerja adalah penduduk yang telah berusia 15 tahun ke atas.

66

Angkatan kerja Indonesia selama 1976 – 2006 selalu mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan karena setiap tahunnya penduduk yang masuk usia kerja selalu bertambah dan pengangguran tahun sebelumnya juga menyebabkan angkatan kerja selalu meningkat setiap tahunnya. Angkatan Kerja (jiwa) 120000000

AK

100000000 80000000 60000000 40000000

AK

19 76 19 79 19 82 19 85 19 88 19 91 19 94 19 97 20 00 20 03 20 06

20000000 0

Tahun

Gambar 4. 8. Perkembangan AK 1976 – 2006

4. 9. Tenaga Kerja (TK) Tenaga kerja adalah orang - orang yang mempunyai pekerjaan, mencakup orang yang mempunyai pekerjaan dan (saat disensus atau disurvai) memang sedang bekerja, serta orang yang mempunyai pekerjaan namun untuk sementara waktu kebetulan sedang tidak bekerja. Gambar 4. 9 menggambarkan perkembangan tenaga kerja di Indonesia selama 31 tahun terakhir. Saat terjadinya krisis, jumlah tenaga kerja mengalami penurunan, karena banyaknya kasus PHK sebagai akibat banyaknya perusahaan yang mengalami kebangkrutan.

Mulai tahun 2000, jumlah tenaga kerja

mengalami peningkatan, tetapi karena jumlah angkatan kerja juga mengalami

67

peningkatan dan tidak diimbangi dengan peningkatan kesempatan kerja, maka kesempatan kerja yang ada tidak mampu menampung semua angkatan kerja. Tenaga Kerja (jiwa) 120000000

TK

100000000 80000000 60000000 40000000

TK

19 76 19 79 19 82 19 85 19 88 19 91 19 94 19 97 20 00 20 03 20 06

20000000 0

Tahun

Gambar 4. 9. Perkembangan TK 1976 – 2006

4. 10. NAIRU NAIRU adalah tingkat pengangguran alamiah, dimana orang yang menganggur tersebut memang tidak berkeinginan untuk bekerja semata-mata untuk memperoleh materi. Contoh dari pengangguran alamiah adalah orang yang bekerja sebagai sukarelawan. NAIRU besarnya sudah ditetapkan, yaitu sebesar 4 persen dari total angkatan kerja. NAIRU (jiwa) 5000000

3000000

NAIRU

2000000 1000000 0

19 76 19 79 19 82 19 85 19 88 19 91 19 94 19 97 20 00 20 03 20 06

NAIRU

4000000

Tahun

Gambar 4. 10. Perkembangan NAIRU 1976 – 2006

68

Perkembangan pengangguran alamiah selama 31 tahun terakhir mengalami peningkatan sebagai akibat dari meningkatnya angkatan kerja. Karena besarnya pengangguran alamiah adalah 4 persen dari jumlah total angkatan kerja, maka peningkatan angkatan kerja akan menyebabkan peningkatan jumlah penganggur alamiah.

4. 11. Pendapatan per Kapita (PPKT) Pendapatan per kapita merupakan hasil bagi antara pendapatan nasional (GDP) dengan populasi. Pendapatan per kapita mencerminkan pendapatan per kepala penduduk. Semakin besar pendapatan per kapita suatu negara, maka besar kemungkinan negara tersebut sudah cukup makmur dan maju. Hukum Wagner : ”Dalam suatu perekonomian, apabila pendapatan per kapita meningkat, maka secara relatif pengeluaran pemerintah pun akan meningkat”

1400000.0 1200000.0 1000000.0 800000.0 600000.0 400000.0 200000.0 0.0

PpKT

19 76 19 79 19 82 19 85 19 88 19 91 19 94 19 97 20 00 20 03 20 06

Pendapatan per Kapita

Pendapatan per Kapita (rupiah)

Tahun

Gambar 4. 11. Perkembangan PPKT 1976 – 2006

69

Pendapatan per kapita tahun 1998 mengalami penurunan yang cukup tajam akibat dari adanya krisis ekonomi. GDP yang menurun menyebabkan pendapatan per kapita Indonesia juga mengalami penurunan. Pada tahun 2005, pendapatan per kapita kembali mengalami penurunan setelah pemerintah melaksanakan kebijakan dua kali kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Pada 1 Maret 2005, harga BBM dinaikkan sebesar 29 persen, kemudian pada tanggal 1 Oktober 2005 harga BBM kembali dinaikkan sebesar 127 persen.

4. 12. Nilai Tukar (ER) Nilai tukar (kurs / exchange rate) antara dua negara adalah tingkat harga yang disepakati penduduk kedua negara untuk saling melakukan perdagangan. Tingkat inflasi yang tinggi menyebabkan depresiasi mata uang, ceteris paribus. Gambar 4. 14 merupakan perkembangan nilai tukar nominal selama 31 tahun terakhir. Sebelum krisis, nilai tukar cukup stabil, namun pada saat terjadinya krisis, nilai tukar melonjak tajam.

Saat ini, nilai tukar relatif stabil jika

dibandingkan pada saat terjadinya krisis. Nilai Tukar (Rp/$) 12000

6000 4000

ER

2000 0

19 76 19 79 19 82 19 85 19 88 19 91 19 94 19 97 20 00 20 03 20 06

ER

10000 8000

Tahun

Gambar 4. 12. Perkembangan ER 1976 – 2006

70

4. 13. Hubungan Pengangguran dan Berbagai Variabel Ekonomi 4. 13. 1. Hubungan antara Pengangguran (U) dan GEI Pada gambar 4. 13. 1 terlihat hubungan antara pengeluaran pemerintah untuk pembangunan infrastruktur dan jumlah pengangguran di Indonesia selama 31 tahun terakhir.

12000000 10000000 8000000 6000000 4000000 2000000

Pengangguran (jiwa)

90000 80000 70000 60000 50000 40000 30000 20000 10000 0

GEI Pengangguran

0

19 7 19 6 7 19 9 8 19 2 8 19 5 8 19 8 9 19 1 9 19 4 9 20 7 0 20 0 0 20 3 06

GEI (miliar rupiah)

Hubungan Pengangguran dan GEI

Tahun

Gambar 4. 13. 1. Hubungan Pengangguran dan GEI 1976 – 2006

Pada tahun 1998, ketika GEI mengalami penurunan sebagai salah satu dampak dari krisis ekonomi, jumlah pengangguran mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Saat GEI hanya sekitar 1 – 2 persen dari GDP pada tahun 2000, jumlah pengangguran mengalami peningkatan. Sempitnya lapangan pekerjaan menyebabkan jumlah pengangguran terus mengalami peningkatan.

4. 13. 2. Hubungan antara Pengangguran (U) dan GDP Selama 31 tahun terakhir, GDP Indonesia mengalami peningkatan, kecuali pada saat terjadi krisis ekonomi, sedangkan pengangguran cenderung mengalami peningkatan selama 31 tahun terakhir ini. Saat krisis, GDP Indonesia mengalami

71

penurunan dan pengangguran mengalami peningkatan, seperti terlihat pada gambar 4. 13. 2.

600000.00

12000000

500000.00

10000000

400000.00

8000000

300000.00

6000000

200000.00

4000000

100000.00

2000000

gdp Pengangguran

0

19 7 19 6 7 19 9 8 19 2 8 19 5 8 19 8 9 19 1 9 19 4 9 20 7 0 20 0 0 20 3 06

0.00

Pengangguran (jiwa)

GDP (miliar rupiah)

Hubungan Pengangguran dan GDP

Tahun

Gambar 4. 13. 2. Hubungan Pengangguran dan GDP 1976 – 2006

Setelah krisis, GDP Indonesia mulai mengalami peningkatan. Namun, jumlah pengangguran di Indonesia tidak mengalami penurunan. Hal tersebut disebut dengan paradoks atau puzzle pertumbuhan – pengangguran. Ada dua alasan penyebab terjadinya puzzle tersebut, yaitu pertama bahwa pertumbuhan ekonomi yang terjadi bukan bersumber pada sektor – sektor utama, yakni bukan dari sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, hotel dan restoran, serta sektor pertanian yang merupakan tiga sektor terbesar dari sisi output maupun penyerapan tenaga kerja.

Alasan kedua adalah karena besaran angka

pertumbuhan ekonomi tersebut masih relatif rendah dibandingkan rataan pertumbuhan ekonomi historis Indonesia.

72

4. 13. 3. Hubungan Pengangguran (U) dan Upah Minimum Upah minimum yang ditetapkan oleh pemerintah selama 31 tahun ini selalu mengalami peningkatan. Peningkatan upah minimum akan diikuti dengan peningkatan jumlah penganggur, karena upah dianggap sebagai biaya produksi. Dengan meningkatnya upah, maka biaya produksi akan meningkat, sehingga pengusaha yang rasional akan memilih untuk melakukan PHK. Dengan adanya kebijakan perusahaan tersebut, maka jumlah penganggur akan meningkat. Hal ini terlihat pada gambar 4. 13. 3.

700000

12000000

600000 500000

10000000

400000 300000

6000000

8000000

4000000

200000 100000

2000000 0

Upah Minimum Pengangguran

19 7 19 6 7 19 9 8 19 2 8 19 5 8 19 8 9 19 1 9 19 4 9 20 7 0 20 0 0 20 3 06

0

Pengangguran (jiwa)

Upah Minimum (rupiah)

Hubungan Pengangguran dan Upah Minimum

Tahun

Gambar 4. 13. 3. Hubungan Pengangguran dan Upah Minimum 1976 – 2006

4. 13. 4. Hubungan Pengangguran (U) dan Inflasi Inflasi di Indonesia mengalami peningkatan yang cukup tajam pada tahun 1998, pada saat krisis ekonomi menyerang Indonesia, yaitu mencapai 77, 63 persen.

Inflasi yang melonjak sangat tajam tersebut menyebabkan tingkat

pengangguran mengalami peningkatan, seperti yang terlihat pada gambar 4. 13. 4.

73

Hubungan Pengangguran dan Inflasi (persen) 100 80 60

inflasi

40

Pengangguran

20

19 76 19 79 19 82 19 85 19 88 19 91 19 94 19 97 20 00 20 03 20 06

0

Tahun

Gambar 4. 13. 4. Hubungan Pengangguran dan Inflasi 1976 – 2006

Terjadinya inflasi menyebabkan peningkatan harga bahan baku, sehingga biaya produksi akan meningkat.

Meningkatnya biaya produksi akan

menyebabkan perusahaan lebih memilih untuk mengurangi jumlah tenaga kerja daripada mengurangi output untuk efisiensi biaya, sehingga pengangguran akan meningkat. Selain itu, adanya inflasi menyebabkan serikat pekerja menuntuk kenaikan upah. Dengan adanya peningkatan upah, maka perusahaan akan melakukan PHK yang berakibat pada peningkatan tingkat pengangguran.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan estimasi yang telah dilakukan dengan menggunakan program Eviews 4.1, maka telah diperoleh hasil yang dapat menjelaskan mengenai pengaruh pengeluaran pemerintah untuk pembangunan infrastruktur serta berbagai variabel ekonomi terhadap jumlah penganggur di Indonesia, serta upaya yang dapat ditempuh oleh pemerintah untuk mengurangi jumlah penganggur. Hasil yang diperoleh bagi lima persamaan yang diteliti dapat dijelaskan baik secara statistik, ekonometrik maupun secara teori ekonomi. 5.1. Uji Stasioner Sebelum melakukan estimasi, maka perlu dilakukan uji kestasioneran variabel terlebih dahulu, yaitu untuk memastikan bahwa variabel - variabel yang dipergunakan dalam model memang dapat dan layak untuk dipakai.

Dalam

penggunaan data time series, uji stasioner menjadi hal sangat penting karena data time series merupakan sekumpulan nilai dari suatu variabel yang diambil pada waktu yang berbeda. Sekumpulan data dinyatakan stasioner jika nilai rata-rata dan varian dari data time series tersebut tidak mengalami perubahan secara sistematik sepanjang waktu atau dapat dikatakan bahwa rata-rata dan variannya tetap. Uji stasioner menjadi hal yang sangat penting pada data time series karena tidak stasionernya suatu variabel dapat menyebabkan terjadinya regresi palsu (spurious regression). hasil

regresi

lebih

Regresi palsu dapat terjadi yaitu ketika nilai R2 dari besar

(R2 > Statistik Durbin Watson).

dari

nilai

Statistik

Durbin-Watson

75

Untuk melakukan uji stasioner dengan menggunakan program Eviews 4.1, maka dapat dilakukan dengan menggunakan Unit Root Test.

Uji ini

diperkenalkan oleh David Dickey dan Wayne Fuller. Pada uji ini kita akan membandingkan antara nilai uji Augmented Dickey-Fuller (ADF) dengan nilai kritis pada taraf nyata 1 persen, 5 persen, dan 10 persen. Suatu variabel dikatakan stasioner apabila nilai kritis variabel tersebut lebih besar daripada nilai uji ADF. Karena pada penelitian ini menggunakan taraf nyata 5 persen maka nilai kritis pada taraf nyata 5 persen harus lebih besar daripada nilai uji ADF. Nilai probabilitas (prob*) juga harus lebih kecil daripada taraf nyata yang digunakan, yaitu harus lebih kecil dari 5 persen (0, 05). Pengujian terlebih dahulu dilakukan pada tingkat level karena yang diuji adalah data awal. Sedangkan pengujian pada tingkat first difference perlu dilakukan apabila pengujian pada tingkat level memberikan hasil bahwa variabel - variabel yang digunakan dalam penelitian tidak stasioner.

Keseluruhan variabel harus stasioner pada tingkat

pengujian yang sama. Hasil Unit Root Test pada tingkat level disajikan pada Tabel 5. 1.

76

Tabel 5. 1. Hasil Unit Root Test Tingkat Level Variabel

Nilai ADF

U 2.753688 GEI -0.443820 GDP 2.403601 WAGE 3.297283 INFLASI -2.959195 GR 2.117935 INVP 0.835967 AK 4.402643 TK 3.911600 PPKT 1.405047 NAIRU 4.401536 ER -0.864124 Keterangan : S = Stasioner TS = Tidak Stasioner

1% -2.641672 -2.641672 -2.641672 -2.647120 -2.641672 -2.641672 -2.641672 -2.644302 -2.644302 -2.641672 -2.644302 -2.641672

Nilai Kritis 5% -1.952066 -1.952066 -1.952066 -1.952910 -1.952066 -1.952066 -1.952066 -1.952473 -1.952473 -1.952066 -1.952473 -1.952066

10% -1.610400 -1.610400 -1.610400 -1.610011 -1.610400 -1.610400 -1.610400 -1.610211 -1.610211 -1.610400 -1.610211 -1.610400

Prob*

Ket

0.9978 0.5141 0.9949 0.9994 0.0044 0.9901 0.8866 1.0000 0.9999 0.9568 1.0000 0.3336

TS TS TS TS S TS TS TS TS TS TS TS

Dari Tabel 5. 1 terlihat bahwa 11 variabel dari 12 variabel tidak stasioner pada tingkat level, sehingga perlu dilakukan Unit Root Test pada tingkat first difference. Pengujian pada tingkat first difference juga harus tetap dilakukan pada variabel inflasi walaupun variabel inflasi sudah stasioner pada tingkat level. Hal ini karena keseluruhan variabel yang digunakan di dalam model harus stasioner pada tingkat pengujian yang sama. difference disajikan pada Tabel 5. 2.

Hasil Unit Root Test pada tingkat first

77

Tabel 5. 2. Hasil Unit Root Test Tingkat First Difference Variabel U GEI GDP INVP WAGE INFLASI GR AK TK PPKT NAIRU ER

Pada

Nilai ADF -4.340738 -6.118934 -4.142679 -4.614842 -5.749696 -7.735277 -4.998152 -2.054309 -2.076943 -4.555988 -2.054126 -7.339323

1% -2.644302 -2.644302 -2.644302 -2.644302 -2.644302 -2.644302 -2.644302 -2.647120 -2.647120 -2.644302 -2.647120 -2.644302

Nilai Kritis 5% -1.952473 -1.952473 -1.952473 -1.952473 -1.952473 -1.952473 -1.952473 -1.952910 -1.952910 -1.952473 -1.952910 -1.952473

10% -1.610211 -1.610211 -1.610211 -1.610211 -1.610211 -1.610211 -1.610211 -1.610011 -1.610011 -1.610211 -1.610011 -1.610211

Prob*

Ket

0.0001 0.0000 0.0002 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0402 0.0382 0.0000 0.0402 0.0000

S S S S S S S S S S S S

Tabel 5. 2 terlihat bahwa semua variabel sudah stasioner pada

tingkat first difference. Sehingga dapat disimpulkan bahwa semua variabel dapat dipergunakan di dalam model.

5. 2. Hasil Uji Statistik Hasil uji statistik meliputi uji–t , uji–F, dan Koefisien Determinasi. Untuk uji–t, hasil estimasi menunjukkan bahwa ada beberapa variabel yang signifikan, dan beberapa variabel lainnya tidak signifikan pada taraf nyata 5 persen. Selanjutnya, hasil uji–F menunjukkan bahwa variabel–variabel independen di setiap persamaan mampu menjelaskan secara bersama–sama variabel dependen, yang ditunjukkan dengan probabilitas F – statistic yang lebih kecil dari taraf nyata 5 persen. Untuk hasil uji–t, uji–F, dan Koefisien Determinasi (R2) dapat dilihat pada Lampiran 1.

78

5. 3. Hasil Uji Ekonometrika Berdasarkan hasil estimasi, lima persamaan analisis bebas dari autokorelasi, heteroskedastisitas, dan menyebar normal ( Lampiran 2, Lampiran 3, dan Lampiran 4).

5. 4. Hasil Uji Ekonomi Dalam pengujian ekonomi, hasil pendugaan dalam persamaan disesuaikan dengan teori ekonomi, yaitu atas dasar teori ekonomi dan berhubungan dengan tanda serta ukuran parameter dari hubungan ekonomi. Model yang diperkirakan dievaluasi berdasarkan teori yang ada (Koutsoyiannis, 1977). Pada uji ekonomi yang dilihat adalah tanda serta nilai dari koefisien masing – masing variabel independen dari hasil analisis regresi. Jika tanda dari koefisien variabel independen adalah positif (+), maka hubungan antara variabel dependen dan independen adalah berbanding lurus, dimana jika variabel independen mengalami peningkatan, maka variabel dependen juga akan mengalami peningkatan, dan begitu juga sebaliknya. Dan jika tanda dari koefisien adalah negatif, maka hubungan yang terjadi adalah hubungan yang berbanding terbalik, dimana jika variabel independen mengalami peningkatan (penurunan), maka variabel dependen akan mengalami penurunan (peningkatan). Untuk persamaan pengangguran (U), pengangguran secara negatif dipengaruhi oleh pengeluaran pemerintah untuk pembangunan infrastruktur (GEI). Nilai GEI secara negatif mempengaruhi U sebesar 0, 681807. Ini berarti

79

bahwa jika pemerintah menaikkan GEI sebesar 1 persen, maka akan menurunkan jumlah penganggur sebesar 0,681807 persen.

Hal ini menunjukkan bahwa

pengaruh GEI terhadap pengurangan pengangguran sangat besar. Pembangunan infrastruktur yang dilakukan oleh pemerintah akan mampu menyerap tenaga kerja dalam proses pelaksanaannya, sehingga jumlah penganggur akan berkurang. Upah minimum dan inflasi berpengaruh secara positif terhadap pengangguran, yang artinya jika terjadi peningkatan pada upah minimum dan inflasi maka akan terjadi peningkatan pada jumlah penganggur.

Upah

berpengaruh positif sebesar 1,975337. Ini berarti bahwa jika terjadi kenaikan upah minimum sebesar 1 persen, maka jumlah penganggur akan meningkat sebesar 1,975337 persen (ceteris paribus).

Peristiwa ini terjadi karena upah

dianggap sebagai bagian dari biaya produksi, maka kenaikan upah akan meningkatkan biaya produksi. Meningkatnya biaya akan menurunkan laba yang diterima perusahaan, sehingga pengusaha yang rasional akan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) untuk mengurangi kenaikan biaya produksi tersebut. Inflasi berpengaruh secara positif sebesar 0,016478.

Ini menunjukkan

bahwa jika inflasi naik sebesar 1 persen maka jumlah penganggur akan meningkat sebesar 0,016478 persen (ceteris paribus). Pada saat inflasi naik dengan cepat, maka ekspektasi inflasi dari masyarakat menyebabkan kenaikan inflasi yang lebih buruk lagi. Faktor lainnya dapat juga memperburuk trade - off antara inflasi dan pengangguran. Ekspektasi inflasi yang terlalu tinggi menyebabkan upah nominal meningkat lebih cepat dibandingkan peningkatan harga. Serikat pekerja yang

80

menuntut kenaikan upah riil pada saat terjadinya inflasi menyebabkan peningkatan jumlah penganggur. Inflasi berpengaruh secara negatif terhadap tenaga kerja. Sebagai contoh, beberapa faktor yang cenderung sedang mengalami penurunan pertumbuhan produktivitas juga akan mengalami penurunan kesempatan kerja; besarnya ketidakstabilan pada pasar finansial akan menyebabkan peningkatan pesat pada pengangguran. Sedangkan pendapatan nasional (GDP) tidak berpengaruh secara signifikan. Hal ini terlihat pada kenyataan di Indonesia, yaitu peningkatan GDP tidak diikuti dengan pengurangan jumlah penganggur. Yang selama ini terjadi adalah bahwa ketika GDP mengalami peningkatan, jumlah penganggur juga mengalami peningkatan (Tabel 5. 3). Peningkatan GDP yang diikuti dengan peningkatan jumlah penganggur disebut dengan Paradoks atau Puzzle Pertumbuhan – Pengangguran. Peningkatan GDP tidak mengurangi jumlah penganggur disebabkan oleh dua faktor, yaitu : a. Pertumbuhan ekonomi yang terjadi bukan bersumber pada sektor – sektor utama, yakni bukan bersumber pada sektor – sektor utama, yaitu sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, hotel, dan restoran, serta sektor pertanian.

Ketiga sektor tersebut selama ini merupakan tiga sektor

terbesar, baik dari sisi output maupun penyerapan tenaga kerja. Sehingga, berkurangnya kontribusi sektor tersebut menyebabkan peningkatan pertumbuhan ekonomi yang terjadi belum mampu mengurangi jumlah penganggur.

81

b. Laju pertumbuhan yang terjadi setelah krisis masih relatif jauh di bawah laju pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kondisi normal, yaitu sekitar 7 persen, sedangkan laju pertumbuhan ekonomi dari tahun 1998 – 2005 jika diakumulasikan hanya sekitar 2 persen per tahun. Tabel 5. 3. Perkembangan GDP dan Jumlah Penganggur Tahun 1987–2006 Tahun 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Sumber : BPS, 1987 – 2006.

GDP (Miliar Rupiah) 330,980.3 350,913.1 377,381.7 404,387.8 432,493.8 460,430.2 490,341.7 1,244,080.6 1,347,027.8 1,452,341.0 1,520,599.2 1,320,994.4 1,331,445.1 1,396,953.1 1,442,984.6 1,506,124.4 1,577,171.3 1,656,516.8 1,750,656.1 1,846,654.9

Jumlah Pengangguran (Jiwa) 1,554,747 1,760,262 1,766,317 1,643,594 1,726,273 1,864,292 1,919,493 3,236,069 5,237,803 3,868,478 3,672,631 5,063,327 6,032,281 5,815,578 8,003,808 9,130,602 9,530,021 10,251,776 10,855,323 10,936,783

Pengangguran secara positif mempengaruhi pengeluaran pemerintah untuk pembangunan infrastruktur (GEI) sebesar 0, 869504. Hal ini berarti bahwa jika terjadi kenaikan pengangguran sebesar 1 persen, maka pemerintah akan meningkatkan

pengeluaran

untuk

pembangunan

infrastruktur

sebesar

0,869504 persen. Jika pengangguran meningkat, maka pemerintah akan berusaha

82

untuk mengurangi jumlah penganggur karena jumlah penganggur yang tinggi bisa menyebabkan distorsi ekonomi. Untuk itu, pemerintah melaksanakan kebijakan fiskal melalui instrumen pengeluaran pemerintah sebagai salah satu langkah mengurangi pengangguran. Pemerintah melaksanakan pembangunan infrastruktur sehingga lapangan pekerjaan akan tersedia pada saat proses pembangunan berlangsung. Dengan terbukanya lapangan pekerjaan maka jumlah penganggur akan berkurang. Penerimaan pemerintah (GR) menunjukkan bahwa GR berpengaruh secara positif terhadap GEI sebesar 1,539781.

Ini berarti bahwa jika GR

mengalami peningkatan sebesar 1 persen maka GEI akan meningkat sebesar 1, 539781 persen. Jika GR mengalami peningkatan (penurunan), baik itu melalui sektor pajak maupun sektor non pajak, maka secara langsung GEI akan mengalami peningkatan (penurunan).

Karena di dalam ilmu ekonomi, setiap

pengeluaran yang akan dilakukan pasti dipengaruhi oleh besarnya pendapatan yang diperoleh. Peningkatan GEI lebih besar daripada GR karena GEI tidak hanya dipengaruhi oleh GR saja, melainkan juga pada pendapatan nasional (GDP), jadi kekurangan dari GR dapat diperoleh melalui GDP. Angkatan Kerja (AK) berpengaruh terhadap GEI secara negatif sebesar 20, 75933 persen, artinya jika terjadi kenaikan AK sebesar 1 persen maka GEI akan menurun sebesar 20, 75933. AK berbanding terbalik terhadap GEI karena peningkatan dalam angkatan kerja akan menjadi beban perekonomian apabila peningkatan kesempatan kerja tersebut tidak sebanding dengan peningkatan angkatan kerja.

Hal tersebut pada akhirnya akan menyebabkan penerimaan

83

pemerintah melalui pajak akan berkurang ( misalnya adalah pajak penghasilan), sehingga pada akhirnya akan menurunkan kemampuan pemerintah untuk melaksanakan pembangunan infrastruktur. Tenaga kerja (TK) berpengaruh secara positif terhadap GEI sebesar 17, 79857. Ini berarti bahwa jika TK meningkat sebesar 1 persen maka GEI akan meningkat sebesar 17, 79857 persen. Pembangunan infrastruktur, baik dari segi kualitas maupun kuantitas perlu dilakukan untuk mengimbangi kenaikan TK, sehingga mobilitas TK bisa berjalan dengan lebih lancar. Lag GEI dan investasi tidak berpengaruh terhadap GEI karena GEI lebih dipengaruhi oleh penerimaan pemerintah pada tahun itu. Walaupun investasi dan GEI tahun sebelumnya rendah, pemerintah tidak dapat meningkatkan GEI tahun ini jika penerimaan pemerintah mengalami penurunan. Karena penurunan pada penerimaan pemerintah akan menurunkan kemampuan pemerintah untuk melaksanakan pembangunan infrastruktur. Pengangguran tidak berpengaruh terhadap pendapatan nasional (GDP). Hal ini disebabkan karena meskipun menganggur dan tidak mempunyai penghasilan, tetapi manusia tetap akan melakukan konsumsi untuk bertahan hidup, dan konsumsi merupakan salah satu variabel pembentuk pendapatan nasional ( Persamaan 2. 1).

Oleh karena itu maka tinggi rendahnya tingkat

pengangguran tidak akan mempengaruhi pendapatan nasional. Pendapatan per kapita (PPKT) berpengaruh signifikan secara positif dengan GDP sebesar 1, 003697. Jika PPKT naik sebesar 1 persen, maka GDP akan naik sebesar 1, 003697 persen. Semakin tinggi PPKT maka semakin tinggi

84

daya beli masyarakat, sehingga konsumsi akan meningkat. Peningkatan konsumsi akan menyebabkan peningkatan GDP (berdasarkan identitas pendapatan nasional), ceteris paribus. Tinggi rendahnya PPKT mencerminkan kemakmuran dan kesejahteraan suatu negara. Dugaan parameter AK sebesar 0,528412 menunjukkan bahwa nilai AK memberikan kontribusi positif terhadap pembentukan GDP.

Jika AK naik

1 persen, maka GDP akan naik sebesar 0,528412 persen. AK akan memberikan kontribusi positif pada GDP jika peningkatan AK dapat diimbangi dengan peningkatan kesempatan kerja. Selain itu, AK akan memberikan dampak positif apabila penduduk yang termasuk dalam AK tersebut merupakan para wirausahawan yang justru mampu menciptakan lapangan pekerjaan, sehingga mampu menyerap pengangguran yang ada. Lag GDP berpengaruh secara negatif terhadap GDP sebesar 0,139233. Sehingga, jika GDP tahun sebelumnya turun sebesar 1 persen, maka GDP akan naik sebesar 0,139233 persen. Jika GDP tahun sebelumnya rendah, maka di tahun berikutnya pemerintah akan berusaha untuk meningkatkan GDP supaya kesejahteraan rakyat dapat meningkat dibanding tahun sebelumnya. Pengangguran tidak berpengaruh terhadap upah minimum yang ditetapkan oleh Pemerintah.

Hal ini disebabkan karena dasar pertimbangan Pemerintah

dalam menetapkan upah minimum bukan berdasarkan pada tinggi rendahnya tingkat pengangguran di Indonesia.

85

Berikut ini adalah faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan pemerintah dalam menetapkan upah minimum: a. Kebutuhan Hidup Minimum b. Indeks Harga Konsumen (IHK) atau inflasi c. Perluasan Kesempatan Kerja d. Upah pada umumnya yang berlaku secara regional e. Tingkat perkembangan perekonomian daerah setempat.

Pendapatan Nasional (GDP) tidak berpengaruh terhadap upah minimum, karena berdasarkan faktor – faktor yang dipertimbangkan Pemerintah dalam penetapan tingkat upah, yang mempengaruhi kebijakan tingkat upah adalah perkembangan ekonomi daerah setempat, yaitu Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB). Sehingga, penetapan tingkat upah tidak berdasarkan pendapatan nasional secara total, melainkan PDRB daerah setempat. Pengangguran Alamiah (NAIRU) berpengaruh positif terhadap upah minimum, dimana jika jumlah NAIRU lebih besar daripada jumlah penganggur, maka upah akan meningkat. Jika NAIRU > jumlah penganggur, maka hal itu mengindikasikan bahwa jumlah penganggur rendah, yaitu di bawah 4 persen. Saat pengangguran rendah, pengusaha cenderung meningkatkan upah sebagai upaya untuk mendapatkan calon terbaik.

NAIRU berpengaruh secara positif

terhadap upah minimum sebesar 0,673509. Hal ini mengindikasikan bahwa jika NAIRU mengalami peningkatan sebesar 1 persen maka upah minimum akan naik sebesar 0,673509 persen.

86

Walaupun pengangguran tidak berpengaruh secara signifikan, tetapi benar secara teori, yaitu berhubungan negatif. Pengangguran tidak berpengaruh secara signifikan karena upah di Indonesia bersifat kaku, sehingga meskipun jumlah penganggur di Indonesia meningkat, pemerintah tidak bisa menurunkan tingkat upah. Hal itu disebabkan karena penurunan tingkat upah akan menimbulkan gejolak demonstrasi dari para buruh, sehingga pemerintah tidak akan menurunkan tingkat upah walaupun jumlah penganggur mengalami peningkatan. Parameter inflasi menunjukkan bahwa inflasi berpengaruh secara negatif terhadap upah minimum sebesar 0,006740.

Ini berarti bahwa jika inflasi

mengalami peningkatan sebesar 1 persen maka upah akan menurun sebesar 0,006740 persen. Jika inflasi naik maka upah riil akan turun, karena kemampuan upah untuk membeli barang mengalami penurunan.

Keadaan tersebut pada

akhirnya akan merugikan masyarakat penerima upah. GEI tahun sebelumnya berpengaruh secara positif terhadap upah minimum sebesar 0,082734, yang artinya jika GEI tahun sebelumnya meningkat sebesar 1 persen maka upah akan naik sebesar 0,082734 persen. Hal ini karena adanya pembangunan infrastruktur yang dilakukan pemerintah di beberapa daerah akan meningkatkan perekonomian daerah tersebut, sehingga kenaikan PDRB akan berdampak pada kenaikan upah minimum yang ditetapkan oleh pemerintah. Nilai Tukar (ER) berpengaruh secara positif terhadap inflasi sebesar 25,89170. Ini berarti bahwa jika ER mengalami peningkatan sebesar 1 persen maka inflasi akan naik sebesar 25,89170 persen. Jika kurs riil meningkat, maka

87

barang – barang luar negeri relatif lebih murah, sedangkan barang – barang domestik relatif lebih mahal. Hal ini sesuai dengan persamaan berikut :

  e

P P

( 5.1)

dimana : ε = kurs riil e = kurs nominal P = harga luar negeri P* = harga domestik

GEI berpengaruh secara signifikan terhadap inflasi sebesar 19, 01531 yang artinya jika GEI meningkat sebesar satu persen, maka inflasi sebesar 19, 01531 persen. Peningkatan GEI memungkinkan terjadinya defisit anggaran. Defisit anggaran pemerintah salah satunya dibiayai dengan pencetakan uang baru, yang disebut dengan seigniorage. Adanya kebijakan ini menyebabkan terjadinya inflasi, sesuai dengan persamaan Seigniorage and The Inflation Tax berikut ini : Sr 

dMB  m  dm  m P

dimana : Sr

= Seigniorage

P

= tingkat harga

MB

= persediaan uang

μm

= pertumbuhan Money Base

(5. 2)

88

dm

= perubahan Money Balance

πm

= tingkat inflasi

Pengangguran

alamiah

(NAIRU)

mempengaruhi

inflasi

sebesar

94,15219, yang berarti bahwa jika jumlah NAIRU meningkat 1 persen, maka inflasi akan meningkat sebesar 94,15219. Jika jumlah NAIRU lebih besar daripada jumlah penganggur, maka NAIRU > jumlah penganggur, maka hal itu mengindikasikan bahwa jumlah penganggur rendah, yaitu di bawah 4 persen. Jumlah penganggur yang rendah akan menarik inflasi ke atas. Hal ini disebut dengan inflasi tarikan – permintaan (demand pull – inflation). Sedangkan lag inflasi tidak berpengaruh secara signifikan. Jika upah riil turun, maka tingkat harga aktual akan meningkat. Upah minimum berpengaruh terhadap inflasi sebesar -52, 32262, yang artinya jika upah riil menurun sebesar satu persen, maka inflasi akan meningkat sebesar 52, 32262 persen. Hal ini sesuai dengan rumus pada Model Upah - Kaku :



W P    P P

dimana : W / P = upah riil ω

= upah riil target

P*

= tingkat harga yang diharapkan

P

= tingkat harga aktual



( 5. 3)

89

GDP tidak berpengaruh secara signifikan terhadap inflasi, karena inflasi lebih dipengaruhi oleh kebijakan fiskal yaitu pengeluaran pemerintah (Budi Gajah dalam Safrida, 1999).

5. 5. Upaya Pengurangan Pengangguran Besarnya jumlah penganggur harus segera diatasi, karena tingginya pengangguran dapat mengakibatkan distorsi ekonomi, yang pada akhirnya akan mengganggu kestabilan politik, ekonomi, serta pertahanan dan keamanan bangsa Indonesia. Ada dua syarat yang harus dipenuhi dalam rangka upaya pengurangan pengangguran (Siregar, 2006) : 1. Syarat keharusan (necessary condition) bagi pengurangan pengangguran adalah pertumbuhan ekonomi yang cepat. Dengan adanya pertumbuhan ekonomi yang cepat, maka akan meningkatkan pendapatan per kapita sehingga konsumsi meningkat, dan output akan meningkat. Peningkatan konsumsi akan menyebabkan perusahaan harus memenuhi peningkatan tersebut, sehingga membutuhkan lebih banyak tenaga kerja, dan pada akhirnya pengangguran akan berkurang. 2. Syarat kecukupannya (sufficient condition) adalah peningkatan kualitas pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Peningkatan kualitas yang dimaksud adalah pertumbuhan ekonomi yang terjadi dapat dinikmati secara merata oleh semua penduduk Indonesia tanpa terkecuali, serta pertumbuhan yang terjadi berkelanjutan (sustainable).

90

Peningkatan kualitas sumber daya manusia juga menjadi faktor penting bagi pengurangan pengangguran. Jika kualitas SDM Indonesia meningkat, maka tenaga kerja Indonesia akan mempunyai daya saing yang lebih tinggi, karena salah satu pertimbangan investor untuk berinvestasi di suatu negara adalah kualitas SDM negara tujuan investasi tersebut. Oleh sebab itu, maka peningkatan kualitas SDM harus dilakukan. Fogel (2006), mengambil contoh dari negara China, bahwa upaya peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan dan kesehatan berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi hingga 60 persen.

Tingginya pertumbuhan

ekonomi China dan kemungkinan masih akan tingginya angka pertumbuhan ekonominya di masa yang akan datang menurut Fogel antara lain juga dipengaruhi oleh peningkatan ketersediaan infrastruktur, serta kepercayaan masyarakat yang tinggi terhadap pemerintah atas sensitivitas pemerintah mengatasi masalah – masalah kesenjangan dan korupsi. Selain peningkatan kualitas sumber daya manusia, pengurangan jumlah penganggur dapat dilakukan oleh Pemerintah dengan cara meningkatkan pengeluaran untuk pembangunan infrastruktur, sehingga akan terbuka kesempatan kerja pada sektor konstruksi. Pengendalian inflasi juga perlu dilakukan sebagai upaya untuk mengurangi jumlah penganggur di Indonesia, karena inflasi yang tidak terkendali akan meningkatkan jumlah penganggur sebagai dampak dari meningkatnya biaya produksi.

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6. 1. Kesimpulan 1. Pengangguran secara signifikan dipengaruhi oleh pengeluaran pemerintah untuk pembangunan infrastruktur (GEI). pemerintah

untuk

pembangunan

Peningkatan pengeluaran

infrastruktur

membuka

lapangan

pekerjaan pada saat proses pelaksanaan pembangunan. Adanya lapangan kerja baru akan mengurangi jumlah penganggur.

Peningkatan GEI

mempunyai dampak tidak langsung yaitu meningkatkan investasi, yang pada akhirnya akan mengurangi jumlah penganggur. 2. Pengangguran secara signifikan juga dipengaruhi oleh upah minimum dan inflasi.

Ini terjadi karena upah dianggap sebagai bagian dari biaya

produksi, sehingga adanya peningkatan biaya produksi akan menyebabkan terjadinya PHK sehingga jumlah penganggur meningkat.

Ekspektasi

inflasi yang terlalu tinggi menyebabkan upah nominal meningkat lebih cepat dibandingkan peningkatan harga. Serikat pekerja yang menuntut kenaikan upah riil pada saat terjadinya inflasi menyebabkan peningkatan jumlah penganggur.

Walaupun hubungan investasi dan pendapatan

nasional terhadap pengangguran benar secara teori (berhubungan negatif), tetapi investasi dan GDP tidak berpengaruh signifikan terhadap jumlah penganggur.

92

3. Upaya pengurangan pengangguran dapat dilakukan dengan peningkatan pengeluaran pemerintah untuk pembangunan infrastruktur, pengendalian inflasi, dan peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia.

6. 2. Saran 1. Pemerintah meningkatkan kualitas dan kuantitas infrastruktur, karena adanya peningkatan aktivitas pembangunan infrastruktur akan mampu untuk mengurangi jumlah penganggur di Indonesia. 2. Pemerintah lebih berhati – hati dalam menetapkan tingkat upah minimum, sehingga adanya kebijakan baru mengenai upah minimum tidak memperparah kondisi jumlah penganggur di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Andriani, F. 2004. Analisis Inflation Targetting dan Faktor-Faktor Penentu Inflasi di Indonesia [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Bakrie, A. 2005. ”Sambutan Menteri Koordiantor Bidang Perekonomian : Masa Depan Ekonomi Indonesia dari Industri Pertambangan dan Sumber Daya Mineral di Indonesia”. www.pt-inco.co.id/pdf/Sambutan%20Menko%20Perekonomian.pdf. [diakses 26 Juni 2008] Bank Indonesia. 1994 - 2006. Indonesia, Jakarta.

Laporan Perekonomian Indonesia.

Bank

BAPPENAS. 2003. Infrastruktur Indonesia Sebelum, Selama, dan Pasca Krisis. BAPPENAS, Jakarta. Bellante, D dan M. Jackson. 1990. Ekonomi Ketenagakerjaan. Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.

Lembaga

Boediono. 1996. Ekonomi Moneter. BPFE, Yogyakarta. BPS Indonesia. 1975 - 2006. Statistika Indonesia. Jakarta. Indonesia. Capello, R. 2007. Regional Economics. Routledge Taylor & Francis Group, London and New York. Damayanti, R. 1997. Analisis Hubungan Kausalitas antara Inflasi dan Pengangguran di Indonesia Tahun 1983. 1 – 1995. 4 [tesis]. Program Pasca Sarjana, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. 2006. Administrasi Ketenagakerjaan Indonesia 2006. ILO/USA Declaration Project Indonesia, Jakarta. . 2000. Profil Sumber Daya Manusia Indonesia (The Human Resources Profile in Indonesia). Departemen Tenaga Kerja Republik Indonesia, Badan Perencanaan dan Pengembangan Tenaga Kerja, Jakarta. Dumairy. 1996. Perekonomian Indonesia. Erlangga, Jakarta. Fogel, R. W. 2006. ” Why China is Likely to Achieve Its Growth Objectives”. http://www.nber.org/papers/w121222. [diakses 26 Juni 2008]

94

Ginting, R. S. 2007. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengeluaran Pemerintah untuk Infrastruktur Transportasi dan Sumberdaya Air serta Kaitannya dengan PDRB Kota Bogor [skripsi]. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Gujarati, D. 1978. Ekonometrika Dasar. Erlangga, Jakarta.

Zain dan Sumarno [penerjemah].

Hossain, A dan A. Chowdhury. 1998. Open – Economy Macroeconomics for Developing Countries. MPG Books Ltd, Bodmin, Cornwall, England. Jhingan, ML. 2007. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Grafindo Persada, Jakarta.

PT. Raja

Juanda, B. 2007. Metodologi Penelitian Ekonomi & Bisnis. IPB Press, Bogor. Koutsoyiannis, A. 1977. Theory of Econometrics Second Edition. Macmillan Press Ltd, United Kingdom.

The

Lisna, E. 2007. Dampak Kebijakan Ketenagakerjaan terhadap Tingkat Pengangguran dan Perekonomian Indonesia Era Otonomi Daerah [disertasi]. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Mangkoesoebroto, G. 2001. Ekonomi Publik. BPFE, Yogyakarta. Mankiw, G. 2003. Teori Makroekonomi Edisi Kelima. Erlangga, Jakarta. Nachrowi, D. N dan H. Usman. 2006. Pendekatan Populer dan Praktis Ekonometrika Untuk Analisis Ekonomi dan Keuangan. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta. Nicholson, W. 1999. Teori Mikroekonomi Prinsip Dasar dan Perluasan. Binarupa Aksara, Jakarta. Norton, W. E. 1976. R. H. Carnegie. 1976. “Inflation and Unemployment”. Economics Papers The Economics Society and New Zealand New South Wales and Victorian Branches Autumn Forum. No. 51:13-23. Pasaribu, S. H, D. Hartono, dan T. Irawan. 2005. Pedoman Penulisan Skripsi. Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Priyarsono, D.S, A. Daryanto, dan T. W. Nugroho. Dampak Kebijakan Pembangunan Pertanian terhadap Pengentasan Kemiskinan di Indonesia. Ramelan, R. 1997. Kemitraan Pemerintah – Swasta dalam Pembangunan Infrastruktur di Indonesia. Koperasi Jasa Profesi LPPN, Jakarta.

95

Safrida. 1999. Dampak Kebijakan Upah Minimum dan Makroekonomi terhadap Laju Inflasi, Kesempatan Kerja serta Keragaan Permintaan dan Penawaran Agregat [tesis]. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sandra, N. 2004. Dampak Kebijakan Upah Minimum Terhadap Tingkat Upah dan Pengangguran di Pulau Jawa [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sihombing, P. T. 2003. Analisis Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Pengeluaran Pemerintah dengan Pendekatan Error Correction Model [tesis]. Program Pasca Sarjana, Universitas Sumatera Utara, Medan. Simaremare, R. J. 2006. Analisis Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Tingkat Pengangguran di Indonesia : Aplikasi Hukum Okun [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Siregar, H - 2006. M. F. Hasan, T. Tambunan, R. Oktaviani dan E. Puspitawati, T. A. Falianty, D. A. Purwanto, E. S. Hartati. 2006. ”Perbaikan Struktur dan Pertumbuhan Ekonomi : Mendorong Investasi”. Bisnis & Ekonomi Politik Quarterly Review of the Indonesia Economy, Volume 7 Nomor 2 : 29-45. Tambunan, T - 2006. M. F. Hasan, H. Siregar, R. Oktaviani dan E. Puspitawati, T. A. Falianty, D. A. Purwanto, E. S. Hartati. 2006. ”Iklim Investasi di Indonesia : Masalah, Tantangan dan Potensi”. Bisnis & Ekonomi Politik Quarterly Review of the Indonesia Economy, Volume 7 Nomor 2 : 5-28. Todaro, M. P dan S. C. Smith. 2004. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Erlangga, Jakarta. World Bank. 2007. Spending for Development : Making the Most of Indonesia’s New Opportunities Indonesia Public Expenditure Review 2007. The World Bank. Yanuar, R. 2006. Kaitan Pembangunan Infrastruktur dan Pertumbuhan Output serta Dampaknya Terhadap Kesenjangan di Indonesia [tesis]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Yudhoyono, S. B. 2004. Pembangunan Pertanian dan Perdesaan sebagai Upaya Mengatasi Kemiskinan dan Pengangguran dengan Analisis Ekonomi Politik Kebijakan Fiskal [disertasi]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Yudhoyono, S. B dan J. Kalla. 2004. Membangun Indonesia yang Aman, Adil, dan Sejahtera Visi, Misi, dan Program. Jakarta.

96

Zetha, E dan T. Tambunan. 2006. ”Laporan Ekonomi Bulanan Agustus 2006 Kamar Dagang dan Industri Indonesia”. www. kadin-indonesia. or. id. [diakses 26 Juni 2008].

LAMPIRAN

98

Lampiran 1. Hasil Estimasi Model Analisis 1.1. Hasil Estimasi U Dependent Variable: LNU Method: Two-Stage Least Squares Sample(adjusted): 1976 2006 Included observations: 31 after adjusting endpoints Instrument list: LNU LNGEI LNWAGE INFLASI LNGDP LNGDP(-1) LNGEI(-1) LNWAGE(-1) INFLASI(-1) LNGR LNTK LNAK LNNAIRU LNER LNINVP LNPPKT Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 21.99066 2.916613 7.539794 0.0000 LNGEI -0.681807 0.166793 -4.087734 0.0004 LNWAGE 1.975337 0.358198 5.514643 0.0000 INFLASI 0.016478 0.004722 3.489337 0.0017 LNGDP -0.160467 0.165149 -0.971646 0.3402 Prob(F-statistic) 0.0000 Kriteria Statistik R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat

Nilai 0.880711 0.862358 0.323621 47.98939 7.855513 0.872292 2.722996 1.058324

99

1.2. Hasil Estimasi GEI Dependent Variable: LNGEI Method: Two-Stage Least Squares Sample(adjusted): 1976 2006 Included observations: 31 after adjusting endpoints Instrument list: LNGEI LNU LNINVP LNGR LNAK LNTK LNGEI(-1) LNGDP LNER LNWAGE LNPPKT LNTK LNGDP(-1) LNINVP(-1) LNWAGE(-1) INFLASI(-1) LNPOV LNNAIRU LNPOP LNMS Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 19.05516 5.650769 3.372137 0.0025 LNU 0.869504 0.419792 2.071274 0.0492 LNINVP -0.022904 0.079082 -0.289616 0.7746 LNGR 1.539781 0.248841 6.187817 0.0000 LNAK -20.75933 8.061672 -2.575065 0.0166 LNTK 17.79857 7.561079 2.353972 0.0271 LNGEI(-1) 0.115838 0.142476 0.813039 0.4242 Prob(F-statistic) 0.0000 Kriteria Statistik R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat

Nilai 0.837027 0.796284 0.178115 20.54395 9.750226 0.394627 0.761397 1.934103

100

1.3. Hasil Estimasi GDP Dependent Variable: LNGDP Method: Two-Stage Least Squares Sample(adjusted): 1976 2006 Included observations: 31 after adjusting endpoints Instrument list: LNGDP LNU LNINVP LNPPKT LNAK LNGDP(-1) INFLASI LNPOV LNGR LNGEI LNTK LNWAGE LNPOP LNGEI(-1) LNNAIRU LNINVP(-1) LNWAGE(-1) LNER INFLASI(-1) LNMS Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 6.486296 0.632053 10.26226 0.0000 LNU -0.029429 0.019898 -1.479008 0.1516 LNINVP 0.152206 0.032715 4.652428 0.0001 LNPPKT 1.003697 0.013886 72.28051 0.0000 LNAK 0.528412 0.076432 6.913500 0.0000 LNGDP(-1) -0.139233 0.034985 -3.979786 0.0005 Prob(F-statistic) 0.0000 Kriteria Statistik R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat

Nilai 0.999723 0.999668 0.020866 18074.34 12.10370 1.145381 0.010884 2.165639

101

1.4. Hasil Estimasi WAGE Dependent Variable: LNWAGE Method: Two-Stage Least Squares Sample(adjusted): 1976 2006 Included observations: 31 after adjusting endpoints Instrument list: LNWAGE LNU INFLASI LNNAIRU LNPOP LNGDP LNGEI(-1) LNWAGE(-1) LNPOV LNGR LNTK LNINVP LNGEI LNGDP(-1) LNPPKT LNINVP(-1) LNNAIRU INFLASI(-1) LNMS LNER Variable Coefficient Std. Error t-Statistic C -9.018458 1.313697 -6.864943 LNU -0.032925 0.042697 -0.771125 INFLASI -0.006740 0.000722 -9.340334 LNNAIRU 0.673509 0.174045 3.869754 LNGDP 0.005390 0.024192 0.222803 LNGEI(-1) 0.082734 0.028563 2.896543 LNWAGE(-1) 0.432402 0.074273 5.821803 LNGR 0.142650 0.068892 2.070629 Prob(F-statistic) Kriteria Statistik R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat

Prob. 0.0000 0.4485 0.0000 0.0008 0.8257 0.0081 0.0000 0.0498 0.0000

Nilai 0.994265 0.992520 0.044514 569.6475 -2.911164 0.514683 0.045575 1.920514

102

1.5. Hasil Estimasi INFLASI Dependent Variable: INFLASI Method: Two-Stage Least Squares Sample(adjusted): 1976 2006 Included observations: 31 after adjusting endpoints Instrument list: INFLASI LNU LNER INFLASI(-1) LNINVP LNGEI LNWAGE LNGEI(-1) INFLASI(-1) LNGR LNWAGE(-1) LNTK LNNAIRU LNAK LNGDP LNGDP(-1) Variable Coefficient Std. Error t-Statistic C -1208.831 223.2718 -5.414169 LNU -1.319613 8.316378 -0.158676 LNER 25.89170 11.31032 2.289210 INFLASI(-1) -0.135327 0.118096 -1.145908 LNGEI 19.01531 4.725493 4.023985 LNNAIRU 94.15219 35.37932 2.661221 LNWAGE -52.32262 14.58534 -3.587342 LNGDP -3.831097 4.474677 -0.856173 Prob(F-statistic) Kriteria Statistik R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat

Prob. 0.0000 0.8753 0.0316 0.2636 0.0005 0.0140 0.0016 0.4007 0.0018

Nilai 0.739577 0.660318 7.582817 9.331211 12.46452 13.01052 1322.480 1.742110

103

Lampiran 2. Uji Autokorelasi 2.1. Uji Autokorelasi U Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: Obs*R-squared 4.779510 Probability

0.091652

2.2. Uji Autokorelasi GEI Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: Obs*R-squared 5.344647 Probability

0.069091

2.3. Uji Autokorelasi GDP Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: Obs*R-squared 0.760887 Probability

0.683558

2.4. Uji Autokorelasi WAGE Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: Obs*R-squared 1.019120 Probability

0.600760

2.5. Uji Autokorelasi INFLASI Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: Obs*R-squared 1.506382 Probability

0.470862

104

Lampiran 3. Uji Heteroskedastisitas 3.1. Uji Heteroskedastisitas U White Heteroskedasticity Test: F-statistic 1.940165 Obs*R-squared 12.82367

Probability Probability

0.104433 0.118062

Probability Probability

0.019289 0.052696

Probability Probability

0.025450 0.055275

3.2. Uji Heteroskedastisitas GEI White Heteroskedasticity Test: F-statistic 2.928637 Obs*R-squared 19.49946

3.3. Uji Heteroskedastisitas GDP White Heteroskedasticity Test: F-statistic 2.762484 Obs*R-squared 17.98158

3.4. Uji Heteroskedastisitas WAGE White Heteroskedasticity Test: F-statistic 1.828592 Obs*R-squared 19.07701

Probability Probability

0.123514 0.162028

3.5. Uji Heteroskedastisitas INFLASI White Heteroskedasticity Test: F-statistic 3.673048 Obs*R-squared 23.64342

Probability Probability

0.007394 0.050573

105

Lampiran 4. Uji Normalitas 4.1. Uji Normalitas U 8 Series: Residuals Sample 1976 2006 Observations 31

7 6

Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis

5 4 3 2 1

Jarque-Bera Probability

0 -0.4

-0.2

0.0

0.2

0.4

-1.31E-08 -5.96E-05 0.687589 -0.492288 0.301275 0.402503 2.341187 1.397675 0.497163

0.6

4.2. Uji Normalitas GEI 12 Series: Residuals Sample 1976 2006 Observations 31

10 8

Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis

6 4 2

Jarque-Bera Probability

0 -0.4

-0.2

0.0

0.2

0.4

-1.13E-08 -0.007047 0.373569 -0.465826 0.159311 -0.295099 4.529196 3.470415 0.176364

106

4.3. Uji Normalitas GDP 5 Series: Residuals Sample 1976 2006 Observations 31

4

Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis

3

2

-3.86E-09 3.59E-05 0.034743 -0.040164 0.019048 -0.304511 2.832292

1 Jarque-Bera Probability

0 -0.04

-0.02

0.00

0.515420 0.772819

0.02

4.4. Uji Normalitas WAGE 10 Series: Residuals Sample 1976 2006 Observations 31

8

Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis

6

4

9.61E-16 0.004551 0.083961 -0.101934 0.038976 -0.323817 3.524633

2 Jarque-Bera Probability

0 -0.10

-0.05

0.00

0.05

0.10

0.897283 0.638495

107

4.5. Uji Normalitas INFLASI 7 Series: Residuals Sample 1976 2006 Observations 31

6 5

Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis

4 3 2 1

Jarque-Bera Probability

0 -10

-5

0

5

10

15

7.50E-07 -1.271581 17.21657 -11.11088 6.639477 0.667001 2.940643 2.303148 0.316139

108

Lampiran 5. Unit Root Test Level 5.1. Unit Root Test Level U Null Hypothesis: U has a unit root Exogenous: None Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=9) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level

t-Statistic

Prob.*

2.753688 -2.641672 -1.952066 -1.610400

0.9978

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

5.2. Unit Root Test Level GEI Null Hypothesis: GEI has a unit root Exogenous: None Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=9) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level

t-Statistic

Prob.*

-0.443820 -2.641672 -1.952066 -1.610400

0.5141

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

5.3. Unit Root Test Level GDP Null Hypothesis: GDP has a unit root Exogenous: None Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=9) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.

t-Statistic

Prob.*

2.403601 -2.641672 -1.952066 -1.610400

0.9949

109

5.4. Unit Root Test Level INVP Null Hypothesis: INVP has a unit root Exogenous: None Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=9) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level

t-Statistic

Prob.*

0.835967 -2.641672 -1.952066 -1.610400

0.8866

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

5.5. Unit Root Test Level WAGE Null Hypothesis: WAGE has a unit root Exogenous: None Lag Length: 2 (Automatic based on SIC, MAXLAG=9) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level

t-Statistic

Prob.*

3.297283 -2.647120 -1.952910 -1.610011

0.9994

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

5.6. Unit Root Test Level INFLASI Null Hypothesis: INFLASI has a unit root Exogenous: None Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=9) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.

t-Statistic

Prob.*

-2.959195 -2.641672 -1.952066 -1.610400

0.0044

110

5.7. Unit Root Test Level AK Null Hypothesis: AK has a unit root Exogenous: None Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=9) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level

t-Statistic

Prob.*

4.402643 -2.644302 -1.952473 -1.610211

1.0000

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

5.8. Unit Root Test Level ER Null Hypothesis: ER has a unit root Exogenous: None Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=9) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level

t-Statistic

Prob.*

-0.864124 -2.641672 -1.952066 -1.610400

0.3336

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

5.9. Unit Root Test Level GR Null Hypothesis: GR has a unit root Exogenous: None Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=9) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.

t-Statistic

Prob.*

2.117935 -2.641672 -1.952066 -1.610400

0.9901

111

5.10. Unit Root Test Level NAIRU Null Hypothesis: NAIRU has a unit root Exogenous: None Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=9) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level

t-Statistic

Prob.*

4.401536 -2.644302 -1.952473 -1.610211

1.0000

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

5.11. Unit Root Test Level PPKT Null Hypothesis: PPKT has a unit root Exogenous: None Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=9) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level

t-Statistic

Prob.*

1.405047 -2.641672 -1.952066 -1.610400

0.9568

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

5.12. Unit Root Test Level TK Null Hypothesis: TK has a unit root Exogenous: None Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=9) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.

t-Statistic

Prob.*

3.911600 -2.644302 -1.952473 -1.610211

0.9999

112

Lampiran 6. Unit Root Test First Difference 6.1. Unit Root Test First Difference U Null Hypothesis: D(U) has a unit root Exogenous: None Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=9) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level

t-Statistic

Prob.*

-4.340738 -2.644302 -1.952473 -1.610211

0.0001

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

6.2. Unit Root Test First Difference GEI Null Hypothesis: D(GEI) has a unit root Exogenous: None Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=9) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level

t-Statistic

Prob.*

-6.118934 -2.644302 -1.952473 -1.610211

0.0000

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

6.3. Unit Root Test First Difference GDP Null Hypothesis: D(GDP) has a unit root Exogenous: None Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=9) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.

t-Statistic

Prob.*

-4.142679 -2.644302 -1.952473 -1.610211

0.0002

113

6.4. Unit Root Test First Difference INVP Null Hypothesis: D(INVP) has a unit root Exogenous: None Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=9) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level

t-Statistic

Prob.*

-4.614842 -2.644302 -1.952473 -1.610211

0.0000

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

6.5. Unit Root Test First Difference WAGE Null Hypothesis: D(WAGE) has a unit root Exogenous: None Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=9) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level

t-Statistic

Prob.*

-5.749696 -2.644302 -1.952473 -1.610211

0.0000

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

6.6. Unit Root Test First Difference INFLASI Null Hypothesis: D(INFLASI) has a unit root Exogenous: None Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=9) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.

t-Statistic

Prob.*

-7.735277 -2.644302 -1.952473 -1.610211

0.0000

114

6.7. Unit Root Test First Difference AK Null Hypothesis: D(AK) has a unit root Exogenous: None Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=9) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level

t-Statistic

Prob.*

-2.054309 -2.647120 -1.952910 -1.610011

0.0402

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

6.8. Unit Root Test First Difference ER Null Hypothesis: D(ER) has a unit root Exogenous: None Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=9) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level

t-Statistic

Prob.*

-7.339323 -2.644302 -1.952473 -1.610211

0.0000

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

6.9. Unit Root Test First Difference GR Null Hypothesis: D(GR) has a unit root Exogenous: None Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=9) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.

t-Statistic

Prob.*

-4.998152 -2.644302 -1.952473 -1.610211

0.0000

115

6.10. Unit Root Test First Difference NAIRU Null Hypothesis: D(NAIRU) has a unit root Exogenous: None Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=9) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level

t-Statistic

Prob.*

-2.054126 -2.647120 -1.952910 -1.610011

0.0402

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

6.11. Unit Root Test First Difference PPKT Null Hypothesis: D(PPKT) has a unit root Exogenous: None Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=9) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level

t-Statistic

Prob.*

-4.555988 -2.644302 -1.952473 -1.610211

0.0000

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

6.12. Unit Root Test First Difference TK Null Hypothesis: D(TK) has a unit root Exogenous: None Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=9) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.

t-Statistic

Prob.*

-2.076943 -2.647120 -1.952910 -1.610011

0.0382

116

Lampiran 7. Data Analisis Penerimaan TAHUN GDP Investasi GEI Pemerintah 1975 17,986.86 3,697.87 8,032.76 15,709.77 1976 19,252.79 3,919.74 9,877.40 17,739.42 1977 20,939.59 4,545.02 9,336.80 18,652.81 1978 22,581.54 5,228.56 10,222.40 21,206.40 1979 23,994.05 5,459.40 13,336.21 26,836.88 1980 26,364.68 6,490.32 16,571.71 32,831.65 1981 28,454.65 7,214.21 17,350.25 34,804.00 1982 29,093.87 8,151.00 17,235.60 33,626.00 1983 173,961.76 8,787.48 20,753.04 38,396.44 1984 184,458.34 42,301.38 18,884.06 36,780.83 1985 188,627.89 47,442.54 19,697.64 41,350.36 1986 212,475.36 48,408.47 14,242.74 37,423.93 1987 222,598.51 50,642.43 14,854.23 42,258.62 1988 236,004.16 56,478.57 18,149.63 48,881.48 1989 253,805.48 64,024.91 19,348.25 53,383.22 1990 271,968.20 73,355.64 24,716.65 62,834.82 1991 290,870.69 78,528.40 25,248.26 60,317.87 1992 309,659.18 82,001.49 26,668.51 64,274.03 1993 329,775.90 86,667.30 28,428.00 66,866.00 1994 354,460.80 98,589.00 28,106.23 69,831.50 1995 383,792.30 112,386.40 25,136.59 69,159.36 1996 413,797.90 128,698.60 28,465.56 78,804.43 1997 433,245.90 139,724.80 27,340.70 90,278.69 1998 376,374.90 82,633.00 27,234.75 86,328.25 1999 379,352.50 76,572.90 25,862.29 81,018.82 2000 398,016.90 93,360.20 7,792.21 62,005.44 2001 411,132.10 97,057.70 11,161.79 80,788.84 2002 429,121.16 96,058.00 9,095.34 72,811.51 2003 449,363.67 97,054.95 16,059.41 79,229.52 2004 471,970.59 112,303.67 14,918.21 88,942.20 2005 498,792.52 121,720.32 9,943.01 92,270.44 2006 526,144.25 126,357.76 15,042.01 115,480.54 Keterangan : - dari berbagai sumber, diolah. - satuan dalam miliar rupiah - berdasarkan Indeks Harga Konsumen (IHK) tahun dasar 1993

117

Lanjutan lampiran 7. INFLASI Angkatan Kerja Tenaga Kerja Upah Minimum TAHUN ( persen ) ( jiwa ) ( jiwa ) ( rupiah ) 1975 19.1 44,482,642 43,486,231 12,349 1976 19.8 41,210,487 40,262,646 15,015 1977 11 42,814,849 41,838,671 21,052 1978 8.1 43,789,445 42,703,467 24,937 1979 20.6 44,317,110 43,337,701 23,563 1980 18.5 43,436,933 42,715,880 27,426 1981 12.2 44,945,851 44,055,923 32,466 1982 9.5 49,662,516 48,167,675 35,993 1983 11.8 50,196,786 48,891,670 38,258 1984 10.5 53,224,814 51,707,907 41,562 1985 4.7 51,051,428 49,943,612 46,772 1986 5.9 59,149,145 57,587,608 49,120 1987 9.1 60,970,453 59,415,707 50,958 1988 5.8 63,091,834 61,331,571 54,969 1989 6 63,997,006 62,230,688 57,842 1990 10 65,481,840 63,838,246 59,454 1991 9.5 66,651,483 64,925,209 62,535 1992 5 68,793,047 66,928,756 67,010 1993 10.5 69,546,852 67,627,359 67,990 1994 9.2 74,221,775 70,985,706 70,827 1995 8.6 72,345,339 67,107,536 72,975 1996 6.5 79,109,986 75,241,508 77,460 1997 11.1 78,475,015 74,802,384 78,847 1998 77.63 92,734,932 87,671,605 58,091 1999 21.5 94,847,178 88,814,897 80,470 2000 9.35 95,650,961 89,835,383 87,777 2001 12.55 98,812,448 90,808,640 88,885 2002 10.03 100,779,270 91,648,668 92,373 2003 5.06 100,316,007 90,785,986 96,903 2004 6.4 103,973,387 93,721,611 99,240 2005 17.11 105,802,372 94,947,049 98,264 2006 2.87 106,388,935 95,452,152 106,203 Keterangan : - dari berbagai sumber, diolah. - berdasarkan Indeks Harga Konsumen (IHK) tahun dasar 1993

118

Lanjutan lampiran 7. ER PPKT Pengangguran NAIRU TAHUN (Rp/$) (rupiah) (jiwa) (jiwa) 1975 420 153,704.3 996,411 1,779,306 1976 421 137,629.1 947,841 1,648,419 1977 415 134,783.3 976,179 1,712,594 1978 634 134,305.4 1,085,978 1,751,578 1979 632 118,526.9 979,408 1,772,684 1980 634 109,808.0 721,053 1,737,477 1981 643 105,772.6 889,928 1,797,834 1982 692 101,310.3 1,494,842 1,986,501 1983 994 542,269.6 1,305,116 2,007,871 1984 1,026.57 520,436.3 1,516,907 2,128,993 1985 1,110.12 508,097.1 1,107,816 2,042,057 1986 1,288.84 540,048.3 1,561,537 2,365,966 1987 1,644.28 518,777.9 1,554,747 2,438,818 1988 1,687.26 519,871.2 1,760,262 2,523,673 1989 1,771.65 527,806.6 1,766,317 2,559,880 1990 1,848.27 513,834.5 1,643,594 2,619,274 1991 1,951.12 501,732.9 1,726,273 2,666,059 1992 2,031.35 508,762.7 1,864,292 2,751,722 1993 2,085.35 490,341.7 1,919,493 2,781,874 1994 2,161.58 1,139,268.0 3,236,069 2,968,871 1995 2,249.33 1,135,773.9 5,237,803 2,893,814 1996 2,342.62 1,149,913.7 3,868,478 3,164,399 1997 2,866.33 1,083,819.8 3,672,631 3,139,001 1998 9,804.34 530,094.0 5,063,327 3,709,397 1999 7,881.58 439,711.1 6,032,281 3,793,887 2000 8,106.96 421,912.7 5,815,578 3,826,038 2001 10,294 387,170.5 8,003,808 3,952,498 2002 9,350 367,257.8 9,130,602 4,031,171 2003 8,593 366,017.9 9,530,021 4,012,640 2004 9,290 361,290.5 10,251,776 4,158,935 2005 9,831 326,067.4 10,855,323 4,232,095 2006 8,995 334,357.2 10,936,783 4,255,557 Keterangan : - dari berbagai sumber, diolah. - berdasarkan Indeks Harga Konsumen (IHK) tahun dasar 1993

119

Pendapatan perkapita

Penerimaan pemerintah GDP

AK

NAIR U

Tenag a Kerja

Wmin

G for infrastructure

U

INFLASI

Investasi ER

Keterangan :

:

Aliran Pengaruh

:Variabel Eksogen

Lampiran 6. Hubungan Antar Peubah dalam Penelitian

: Variabel Endogen