PENGALAMAN LANSIA DENGAN INKONTINENSIA FEKAL DI KOTA DENPASAR, BALI Ns. Ni Putu Kamaryati, S.Kep., MNS*, NS NLP Dina Susanti, S.Kep.,M.Kep** IGP Darma Suyasa, S.Kp.,M.Ng.,Ph.D.*** * (Staf Pengajar STIKES Bali Prodi Ilmu Keperawatan; Korespondensi,
[email protected] Telepon: +62 82146957793) ABSTRACT Background: nowadays, Indonesia is in the ageing structure era with fifth rank of older people population in the world. One of older people’s health problem is fecal incontinence. Aim: to explore the older people experiences of fecal incontinence in Denpasar city. Methode : current study was qualitative study with phenomenology approach involved 6 older peoples and 2 family members as a triangulation data. This research was conducted in Denpasar city of Bali in 2014 using depth interview. Data was transcribed and analysed by using theme. Result: in this study found that there were 5 themes consisted of elimination disturbance, self care deficit, health personal and Primary Health Care Unit role, traditional treatment, and diet. Conclusion: Based on the result, this study can use a based line data for making a good strategies to manage fecal incontinence in the older people lived in community. Keywords: older people, fecal incontinence, experience
86
LATAR BELAKANG Indonesia adalah negara berkembang yang memasuki era penduduk berstruktur lanjut usia (lansia) (aging structured population). Saat ini Indonesia menduduki peringkat 5 besar dalam jumlah lansia di dunia. Jika dilihat dari populasi lansia, penduduk lansia di Indonesia mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada tahun 2010 jumlah lansia sebanyak 14,439, 967 jiwa (7.18 %). Sementara tahun 2011, jumlah lansia menjadi 20 juta jiwa (9.51 %) dengan UHH 67.4 tahun dan pada tahun 2020 diperkirakan penduduk lansia di Indonesia mengalami peningkatan sebesar 28.8 juta jiwa (11.34 %) dengan usia harapan hidup (UHH) 71.1 tahun (Depkes, 2012). Dengan penambahan populasi lansia diperlukan perhatian dan penanganan khusus terhadap permasalahan-permasalahan yang kemungkinan muncul dalam proses menua. Penyakit kronis seperti hipertensi, diabetes dan penyakit paru merupakan permasalahan terbanyak yang dikeluhkan oleh lansia (World Health Organization [WHO], 2009). Dan yang tidak kalah pentingnya adalah permasalahan penurunan fungsi pencernaan karena penurunan fungsi organ fisik seperti terjadinya inkontinensia khususnya fekal (Bliss et al., 2005; Bliss et al., 2008; Peden-McAlpine et al., 2008). Dari penelitian sebelumnya, terdapat 22.4 % lansia yang mengalami inkontinensia fekal. Data ini didapat dari studi kwantitatif yang melibatkan 303 lansia di Kota Denpasar (Suyasa, 2011). Tetapi, dalam penelitian tersebut belum mengeksplorasi bagaimana pengalaman lansia dalam menghadapi masalahnya. Dengan mengetahui dan memahami pengalaman lansia secara nyata tentang
inkontinensia fekal dapat diambil strategi untuk mengatasi permasalahan tersebut (Peden-McAlpine et al., 2008). Penelitian pengalaman lansia tentang inkontinensia fekal sudah pernah diteliti sebelumnya namun penelitian tersebut dilakukan di Amerika Serikat yang hanya terfokus pada lansia wanita. Disamping itu, budaya dan kebiasaan lansia di negara maju seperti Amerika Serikat akan berbeda dengan budaya di negara berkembang seperti halnya Indonesia. Berdasarkan data diatas, penulis tertarik untuk meneliti pengalaman lansia dengan inkontinensia fekal. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengalaman lansia dengan inkontinensia fekal di Kota Denpasar, Bali. Diharapkan dengan memahami pengalaman yang dirasakan lansia selama menghadapi inkontinensia fekal akan dapat mengembangkan strategi keperawatan yang berguna untuk mengurangi dan mengatasi permasalahan lansia yang berhubungan dengan inkontinensia fekal. METODE Desain Penelitian dan Sampel Desain penelitian ini adalah Descriptive qualitative study dengan dimana akan berusaha memahami peristiwa dan kaitannya terhadap orangorang yang biasa dalam situasi tertentu. Penelitian ini melibatkan 8 partisipan yang terdiri atas 6 lansia dan 2 orang keluarga dengan menggunakan metode sampling convinience. Kriteria inklusi sebagai berikut: lansia berusia 60 tahun atau lebih, lansia yang mengalami inkontinensia fekal, bertempat tinggal di wilayah kerja puskesmas Kota Denpasar, dan bersedia ikut berpartisipasi dalam penelitian. Kriteria eksklusi penelitian ini adalah lansia yang mengalami penyakit terminal 87
dan sedang dalam perawatan di rumah sakit. Prosedur dan Pertimbangan Etik Pengumpulan data diawali dengan mendapatkan izin penelitian dari Kesbangpolinmas Provinsi Bali dan Kota Denpasar. Selanjutnya, surat ijin pengumpulan data ditujukan kepada masing-masing kepala puskesmas di Kota Denpasar. Perawat komunitas yang bertanggung jawab disetiap puskesmas akan memberikan data lansia yang mengalami masalah inkontinensia. Selanjutnya peneliti menghubungi calon partisipan. Calon partisipan diberikan penjelasan tentang penelitian, tujuan, dan prosedur penelitian. Setelah calon partisipan memahami betul tentang informasi yang diberikan maka mereka diminta untuk menandatangani atau memberikan cap jempol pada lembar persetujuan menjadi responden penelitian. Penelitian dilaksanakan di Puskesmas Kota Denpasar, Bali dan waktu pengumpulan data adalah Januari sampai Februari 2014.Metode dalam pengumpulan data yang digunakan adalah metode interview mendalam (deep interviewed) dengan daftar pertanyaan yang sudah dibuat oleh peneliti. Penelitian ini telah mendapatkan ijin Kesbangpolinmas Provinsi Bali dan Kesbangpolinmas Kota Denpasar. Penelitian ini juga menjaga kerahasiaan dari partisipan dimana dalam pengolahan data partisipan akan menggunakan kode dan hasil akan di laporkan secara keseluruhan. Analisa Statistik Proses analisa data dalam penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengalaman hidup lansia tentang inkontinensia fekal. Langkah-langkahnya
sebagai berikut: membuat kode responden, mendengarkan hasil dari wawancara berupa rekaman sebanyak 8 kaset durasi waktu kurang lebih 30 menit, membuat transkrip hasil wawancara dari data rekaman ke data tulisan secara manual. Setelah melakukan transkrip dilanjutkan penyusunan tema dan analisis tema secara manual. Dari hasil tema dilakukan interpretasi secara komprehensif dan menyajikan data hasil analisa dan sintesa. Pada penelitian ini dilakukan validasi data penelitian dengan triangulasi sumber dimana validasi data dilakukan kepada informan yang berbeda dalam hal ini keluarga partisipan. Triangulasi dilaksanakan untuk menentukan keabsahan data/trust worthness. HASIL Karakteristik Partisipan Partisipan dalam penelitian ini sebanyak 8 orang yang keseluruhannya dilakukan wawancara mendalam. Delapan partisipan terdiri atas 6 orang lansia dan 2 orang keluarga lansia. Adapun umur ratarata dari partisipan adalah 71 tahun dengan masa mengalami gangguan inkontinensia fekal (IF) adalah 2 sampai dengan 5 tahun. Adapun penjelasan masing-masing partisipan sebagai berikut: partisipan P.001 umur 80 tahun dengan pengalaman gangguan IF 1 tahun, partisipan P.002 umur 70 tahun dengan 5 tahun mengalami IF, partisipan P.003 umur 85 tahun dengan pengalaman IF 2 tahun, partisipan P.004 umur 80 tahun dengan 1 tahun gangguan IF, partisipan P.005 umur 85 tahun dengan pengalaman 2 tahun gangguan IF, dan partisipan P.06 umur 80 tahun dengan pengalaman 2 tahun gangguan IF. Sedangkan untuk partisipan K.001 umur 48 tahun dengan 2 tahun pengalaman merawat penderita dengan gangguan IF 88
dan partisipan K.002 umur 50 tahun dengan 1 tahun pengalaman merawat penderita dengan gangguan IF. Hasil Analisa Tema Setelah dilakukan analisa dan penelusuran tema-tema diidentifikasi lima kategori yaitu : 1) gangguan eliminasi, 2) perawatan diri, 3) petugas kesehatan dan peran puskesmas Puskesmas, 4) pengobatan tradisional (herbal), 5) diet dan membatasi makanan. 1. Gangguan Eliminasi Eliminasi adalah proses pembuangan sisa metabolisme tubuh baik berupa urine atau bowel (feses). Miksi merupakan proses pengosongan kandung kemih bila kandung kemih terisi. Sistem tubuh yang berperan dalam terjadinya proses eliminasi urine adalah ginjal, ureter, kandung kemih dan uretra. Defekasi merupakan pengeluaran feses dari anus dan rektum. Hal ini juga disebut bowel movement. Frekwensi defekasi pada setiap orang sangat bervariasi dari beberapa kali perhari sampai 2 atau 3 kali perminggu. Gangguan eliminasi sangat di penggaruhi oleh beberapa hal termasuk usia dari partisipan dan penyakit yang sedang diderita, beberapa partisipan mengungkapkan masalah yang dirasakan berkaitan dengan gangguan eliminasi, hal tersebut berkaitan dengan : Buang Air Besar (BAB) tidak terkontrol dan mengompol, a. BAB tidak terkontol Partisipan menyatakan gangguan eliminasi berawal dari masalah kesehatan yang dihadapinnya, hal tersebut dapat dilihat dari pernyataan pernyataan partisipan berikut ini
“Semenjak saya kencing tersendat-sendat disana awal mula saya mengalami ngompol berak” (P.001) “Saya biasanya ya di tempat tidur saja jika pengen ke belakang pasti saya bilang ke istri..tapi kalau sudah tidak bias kontrol biasanya saya dikamar beraknya” (P.006) Partisipan lain juga mengatakan sering merasaka BAB tidak terkontrol karena di pengaruhi oleh usia dan penyakitnya, Keluarga partisipan juga memperkuat dengan beberapa pernyataan, Hal tersebut dapat dilihat pada pernyataan berikut ini : “Nggih…..begini…. awalnya sakit pinggang saya terus kencing dan berak kebelakang tidak bisa saya tahan…biasanya saya bisa tahan sampai ke WC tapi saat itu tidak” (P.003) “Awalnya kakak saya bilang kok tidak tahu kapan beraknya…eh..tiba-tiba sudah berak di celana atau di tempat tidur… makanya kami menggunakan pempers waktu itu Bu” (K.001) b. Mengompol Beberapa partisipan mengatakan sering kali mengompol karena memang tidak merasakan saat miksi, hal tersebut dapat dilihat dari pernyataan pernyataan partisipan berikut ini
89
“Kalau anak dan menantu saya itu telaten bu….karena saya diketahui punya masalah ini jadi kalau saya ngompol gitu…mereka yang bersihkan atau ngajak saya ke wc” (P.004) “Ohh sementara sekarang tidak, kondisinya masih bagus.. Hahaha… dahulu kalau ngompol terus ke dokter pakai pampers..Iyaa, kalau tidak memakai pampers saya malu disana crett..crett.. terburu-buru kalau mau ke toilet” (P.001) Keluarga partisipan juga menjelaskan dengan beberapa pernyataan, Hal tersebut dapat dilihat pada pernyataan berikut ini : “Yaa semenjak sakit strokenya ini terus ngompol ini …ya bapak bisa menerima..mungkin sakitnya ini disebabkan karena stroke nya” (K.002) 2. Gangguan Perawatan Diri Defisit perawatan diri adalah suatu kondisi pada seseorang yang mengalami kelemahan kemampuan dalam melakukan atau melengkapi aktivitas perawatan diri secara mandiri seperti mandi, berpakaian, berhias, makan dan BAB/BAK. Menurut Orem 1971 dalam Kozier 2010, defisit perawatan diri terjadi bila tindakan perawatan diri tidak adekuat dalam memenuhi kebutuhan perawatan diri yang disadari. Sebagian besar partisipan mengatakan sulit melakukan perawatan diri terutama dalam hal BAB dan BAK, Hal ini
dapat kita lihat pada pernyataan berikut ini : “Kalau anak dan menantu saya itu telaten bu….karena saya diketahui punya masalah ini jadi kalau saya ngompol gitu…mereka yang bersihkan atau ngajak saya ke wc” (P.004) “Mereka bantu saya bu ngajak ke wc, terus sekarang dikamar saya sudah dikasih perlak dan ember biar saya bisa cepat berak atau kencingnya bu” (P.005) Keluarga juga mengatakan pendapat yang sama, keluarga berusaha memberikan perawatan yang maksimal hal tersebut dapat dilihat dari pernyataan pernyataan partisipan berikut ini, “Kami sekeluarga ya pasti bantu bapak…dan berusaha untuk bekerja karena bapak harus minum obat dan sewaktu-waktu membeli pempers bu… saya dan ipar saya bekerja bu… obat kakak saya kan mahal-mahal ini” (K.001) 3. Petugas Kesehatan dan peran Puskesmas. Puskesmas merupakan suatu kesatuan organisasi kesehatan fungsional yang merupakan pusat pengembangan kesehatan masyarakat yang juga membina peran serta masyarakat disamping memberikan pelayanan secara menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat di wilayah kerjanya dalam bentuk kegiatan pokok, yang di tunjang oleh petugas kesehatan yang memadai dan dapat mendukung segala kegiatan kesehatan. Partisipan membutuhkan peranan puskesmas dam memberikan 90
pembinaan dan perawatan secara langsung terhadap masalah yang di hadapinya. Beberapa partisipan mengungkapkan perawatan yang diberikan dari petugas kesehatan, hal tersebut dapat kita lihat pada pernyataan berikut ini, “dulu waktu saya sakit sering saya ditengok sama ibu dari puskesmas…ibu itu rajin sekali tengok saya…tapi sekarang tidak pernah lagi…kira-kira sudah 3 tahunan ini bu” (P.002) “Dulu pernah bu bapak wintreg itu sering kerumah saat 2 tahun ini beliau ndak kerumah lagi” (P.005) Disamping perawatan dari puskesmas partisipan juga membutuhkan perawatan dari petugas kesehatan seperti dokter, beberapa partisipan juga mengatakan beberapa kali kontrol kedokter. Hal ini juga diperkuat dengan pernyataan partisipan dan keluarga seperti dibawah ini, “Ada pak wintreg yang perhatian dengan saya, waktu ini saya diajak ke renon ada pengobatan gratis itu ada rumah sakit baru katanya………tiang numpang dimobil sudah dijemput dengan mobil” (P.003) Pernyataan keluarga partisipan “Dulu…waktu ada bu sagung… ibunya rajin sekali datang kerumah ya…mulai pemeriksaan tensi, memberi makanan sumbangan dan banyak lagi bu… sekarang beliau katanya sekolah…sejak itu tidak pernah berkunjung lagi bu kesini. Kalau saya ke puskesmas mau ambil obat gitu misalnya ndak enak aja bu…soalnya kan ndak ada yang saya kenal” (K.001)
4. Pengobatan Tradisional (Herbal) Obat herbal merupakan obat yang berasal dari seluruh atau sebagian dari tumbuh-tumbuhannya, pengobatan secara tradisional khususnya obat herbal telah dikenal dan banyak digunakan sejak zaman dahulu, karena memiliki khasiat yang manjur dan ampuh. Obat herbal diolah secara tradisional dan turun-menurun, berdasarkan resep nenek moyang, adat istiadat, kepercayaan, atau kebiasaan setempat, Pada masa kini, para ahli mulai tertarik dengan penggunaan obat herbal karena efek samping yang ditimbulkan minimal. Hal tersebut dikarenakan komposisi di dalamnya masih dapat dicerna oleh tubuh. Saat dilakukan wawancara kepada partisipan dan keluargannya, mereka mengatakan guna mengatasi masalah yang dihadapi terutama gangguan eliminasi sebagian mengatakan menggunakan obat herbal tradisional Bali “Loloh” atau sejenis dengan jamu, hal tersebut dapat kita lihat pada pernyataan berikut ini, “Oohhh tetangga saya ada yang nyaranin saya untuk minum loloh….biar perutnya adem katanya” (P.004) Pernyataan dari partisipan yang lainnya adalah ; “Sekarang saya lagi minum obat ramuan dikasih oleh dokter yang ada di banjar saya ini… obat herbal katanya” (P.006) Pernyataan tersebut diatas juga di dukung oleh pernyataan keluaraga yang menyatakan selain pengobatan modern, partisipan juga menggunakan 91
pengobatan secara herbal, hal ini dapat kita lihat pada pernyataan berikut ini, “Awalnya bapak merasa malu tapi sekarang saat sudah sering begini biasa saja bu. Apalagi dengan minum obat herbal ini..katanya sih sudah mendingan rasanya dari pada dulu” (K.002) 5. Diet dan Membatasi Makanan Diet atau membatasi asupan makanan merupakan cara untuk mengurangi penimbunan kalori didalam tubuh, namun pada partisipan untuk mengurangi masalah dalam eliminasi dan mencegah pengeluaran terlalu banyak mereka mengurangi asupan makanan. Hal ini dapat kita lihat pada pernyataan partisipan berikut ini, “Ooohhh itu…saat saya sakit itu dulu saya tidak sampai ke puskesmas berobat…saya hanya dirumah saja dengan mengikuti pantangan yang sudah dikasih tahu…. Terus keluarga saya ada yang ngasih tahu jangan ngerapu makannya….dan tidak boleh makan yang pedas-pedas nanti menyebabkan panas pada perut nanti kambuh lagi sakit saya” (P.003) Pernyataan dari partisipan lainnya adalah, “Anak saya sayang sekali ke saya sampai-sampai saya tidak dikasih makan sebarangan…. Ya saya makan yang sudah dibikin menantu saya saja bu” (P.004) “Yah kalau saya … jaga makan saja mungkin bu terus dan saya lanjut dengan obat herbal ini” (P.006)
Keluarga dari partisipan juga mengatakan tentang pengaturan pola makan dan diet, hal tersebut dapat kita lihat pada pernyataan berikut, “Kalau tindakan ya itu-itu saja sih bu…. Saya atur pola makan bapak, terus saya kasih perlak di tempat tidur dan ember juga saya siapkan bu..sehingga jika bapak perlu sudah ada” (K.002) “Ya… kalau saya sih biar ada obatnya…. Tapi kalau karena stroke… ya tunggu sehat dulu bapaknya. Terus makan-makanan yang bergizi dan minum yang banyak mungkin begitu ya bu” (K.001) PEMBAHASAN Berdasarkan hasil analisa data telah disimpulkan terdapat 5 kategori yang merupakan pengalaman lansia dengan inkontinensia fekal yaitu: gangguan eliminasi, gangguan perawatan diri, petugas kesehatan dan peran puskesmas, pengobatan tradisional (herbal), dan diet dan membatasi makanan. 1. Gangguan eliminasi Gangguan eliminasi dapat dialami oleh siapa saja tidak terkecuali pada lansia. Dengan bertambahnya usia, lansia tidak saja dihadapi permasalahan mengenai penurunan fungsi-fungsi tubuh oleh karena usia namun penyakit tertentu pun seperti stroke bisa menyebabkan terjadinya gangguan eliminasi. Pudjiastuti (2003 dalam Muhith, 2010) menyebutkan bahwa bertambahnya usia dapat menurunkan fungsi fisik tubuh seperti system defekasi dalam mengontrol buang air besar atau mengompol. Pada penelitian ini ditemukan bahwa seorang partisipan mengatakan tidak 92
bias mengontrol berak sehingga berak di kamar. Hal ini diperkuat oleh keluarga partisipan yang mengatakan saat lansia mengatakan ingin berak namun kenyataannya sudah berak di celana karena tidak bias mengontrol buang air besar lagi. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Suyasa, Xiao, Lynn, Skuza, and Paterson (2014) dimana menyatakan ada kurang lebih dari 50% yang tidak dapat memprediksi kapan terjadinya masalah dalam mengontrol buang air besar atau ngompol. 2. Gangguan perawatan diri Dengan bertambahnya usia pada lansia dapat menyebabkan pemenuhan perawatan diri terganggu khususnya perawatan diri oleh karena kejadian inkontinensia fekal. Dalam penelitian ini menemukan bahwa partisipan yang terlibat sebagai responden mengungkapkan selama mereka mengalami inkontinensia fekal , mereka dibantu oleh keluarga dalam hal persiapan alat-alat yang diperlukan saat terjadi buang air besar yang tidak terkontrol seperti ember, pempers dan lainnya. Hal ini juga disampaikan oleh keluarga partisipan dimana mereka memberikan perhatian khusus kepada lansia yang mengalami permasalahan berak tidak terkontrol dengan giat bekerja untuk menyediakan pempers bagi lansia karena lansia sebagian besar tidak bekerja dan hanya diam di rumah. Hasil penelitian ini kontradiktif dengan penelitian yang dilakukan oleh Peden-McAlpine et al (2009) yang menyebutkan dalam penanganan inkontinensia fekal, lansia melakukan strategi perawatan diri
yang terbagi dalam empat eksistensial hidup. Perbedaan ini terjadi dikarenakan dalam penelitian menggunakan rentang usia yang berbeda. Jika dibandingkan rata-rata usia partisipan dalam penelitian ini rata-rata usianya adalah 71 tahun yang lebih tinggi dari penelitian sebelumnya (64 tahun). Di samping itu, pada penelitian ini melibatkan lansia laki-laki dan perempuan sedangkan penelitian terdahulu hanya focus pada pengalaman lansia perempuan dalam penanganan inkontinensia fekal. Sehingga hal ini bisa mempengaruhi kemampuan lansia dalam pemenuhan perawatan dirinya dimana dengan usia yang lebih muda memungkinkan pemenuhan perawatan diri dapat dilakukan secara mandiri. Alasan lainnya, lansia lakilaki khususnya di Bali yang menganut patriarkat dimana kekuasaan berada di tangan laki-laki yang menyebabkan laki-laki diagungkan dan dibantu segala pemenuhan kebutuhannya apalagi pada usia lanjut. 3. Petugas kesehatan dan peran puskesmas Puskesmas merupakan tempat pelayanan primer di masyarakat. Salah satu kegiatan yang dicanangkan oleh pemerintah Denpasar, Bali untuk para lansia adalah santun lansia dimana lansia yang dating memeriksakan dirinya atau berobat ke puskesmas mendapatkan prioritas dan tempat yang terpisah dari pasien yang lainnya. Sebagian partisipan dalam penelitian ini mengungkapkan harapan untuk mendapatkan dukungan dari tenaga kesehatan dan pihak puskesmas baik dukungan material maupun 93
psikologis dalam peningkatan status kesehatannya. Hasil ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang menemukan bahwa tenaga kesehatan diharapkan untuk mengenal permasalahan inkontinensia fekal pada lansia dan memberikan strategi penanganan yang tepat pada lansia (Paden-McAlpine et al, 2009) sehingga kualitas hidup lansia dapat meningkat. Penelitian lain yang dilakukan oleh Kamaryati et al (2013) menemukan bahwa dukungan dari significant others yang meliputi keluarga, tetangga, dan petugas kesehatan berhubungan erat dengan peningkatan kualitas hidup lansia yang mengalami kondisi penyakit kronis. Selain itu, dukungan dari orang lain sangat membantu meningkatkan kondisi kesehatan lansia (Santoso dan Lestari, 2008). 4. Pengobatan tradisional (herbal) Young (1980 dalam Supardi & Susyanty, 2010) menyatakan sumber pengobatan mencakup tiga sector yang saling terkait yaitu pengobatan sendiri menggunakan obat, obat tradisional, dan pengobatan medis. Penggunaan obat tradisional dalam pengobatan sendiri merupakan suatu perilaku kesehatan. Sebagian partisipan dalam penelitian ini menggunakan obat-obat tradisional yang didapat langsung dari tanaman obat keluarga maupun obat tradisional yang sudah diolah oleh orang yang berkompeten di bidangnya. Cara tradisional yang dipilih oleh partisipan dalam mengurangi atau menurunkan kondisi gangguan inkontinensia fekal yang dialaminya. Menurut analisa yang dilakukan oleh Supardi & Susyanty
(2010) dalam penelitian yang berjudul penggunaan obat tradisional dalam upaya pengobatan sendiri menemukan bahwa proporsi penggunaan obat tradisional pada kelompok lansia lebih tinggi dari pada yang belum lansia. Hal ini kemungkinan disebabkan karena pemilihan pengobatan dengan cara tradisional akan lebih cost effective, efek samping yang minimal, dan mudah serta praktis dalam penggunaannya. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian terdahulu yang menyebutkan bahwa walaupun tidak ada bukti yang menyebutkan pengobatan tradisional efektif dalam penanganan masalah inkontinensia fekal namun hal lain yang mendukung penggunaan obat tradisional adalah kepercayaan lansia dalam kesehatan (Suyasa et al, 2014). 5. Diet dan membatasi makanan Dalam penelitian ini menemukan strategi yang dilakukan oleh para lansia di Denpasar Selatan dalam mengatasi gangguan inkontinensia fekal adalah salah satunya diet dan membatasi makanan. Sebagian partisipan menyebutkan menghindari atau mengurangi makanan yang dapat mengiritasi perut yaitu makanan pedas sehingga dapat mengurangi kejadian ngompol berak. Pernyataan partisipan juga dibenarkan dan didukung dengan pernyataan keluarga partisipan dimana keluarga memperhatikan benar makanan yang harus dikonsumsi oleh partisipan untuk penanganan masalah yang dialami. Menurut PedenMcAlpine (2009) menyatakan lansia yang mengalami gangguan inkontinensia fekal menggunakan strategi modifikasi diet baik itu dalam 94
pemilihan jenis makanan maupun jumlah makanan yang dikonsumsi setiap harinya. Hal ini menunjukkan bahwa diet merupakan suatu cara yang bisa dipilih oleh lansia dalam penanganan inkontinensia fekal. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan phenomenology yang bersifat eksploratif, masih sangat jarang dilakukan penelitian ini pada populasi lansia. Disamping itu, saat dilakukan triangulasi dengan sumber dalam hal ini adalah keluarga partisipan yang merawat partisipan tidak dapat dilaksanakan secara maksimal karena informasi yang didapatkan dalam keluarga belum tentu dirasakan oleh partisipan. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Berdasarkan hasil penelitian dan uraian dalam pembahasan dapat disimpulkan bahwa pengalaman lansia dengan inkontinensia fekal sangat bervariasi dari setiap lansia. Gangguan inkontinensia fekal sangat sering dialami dengan bertambahnya usia atau karena gangguan dari penyakit yang diderita lansia. Dengan pengenalan sedini mungkin permasalahan yang dihadapi oleh lansia dan partisipasi keluarga dalam merawat lansia yang mengalami gangguan inkontinensia fekal maka lansia dapat mengontrol penyakitnya sehingga status kesehatannya dapat dipertahankan. Sehingga sarannya adalah keluarga tetap mempertahankan keikutsertaan dalam perawatan lansia dengan gangguan inkontinensia fekal dan memberikan dukungan baik fisik maupun psikologis sehingga lansia dapat beradaptasi dengan kondisi kesehatan yang dialaminya. Dengan meningkatnya status kesehatan
lansia maka semakin meningkat kualitas hidup lansia yang akhirnya umur harapan hidup semakin panjang.Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan/pedoman dalam penyusunan strategi penanganan gangguan buang air besar khususnya pada lansia. Untuk peneliti selanjutnya diharapkan meneliti lebih lanjut tentang faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya inkontinensia fekal pada lansia secara studi kwantitatif. Dengan menemukan factor dominannya maka sangat diperlukan untuk penanganan lebih lanjut masalah inkontinensia fekal pada lansia. Acknowledgement Ucapan terima kasih diberikan kepada Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) Bali atas bantuan dana hibah yang telah diberikan dalam penyelesaian penelitian ini. Referensi Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2012). Buletin lanjut usia di Indonesia. Sumber: http://www.depkes.go.id. Tanggal akses: 23 Desember 2013. Kamaryati, N.P., Wisawatapnimit, P., dan Chantian, P. (2013). Relationships between age, gender, marital status, headache, fatique, functional status, general health perception, social support, and quality of life in the older people with hypertension. 2013 ANPOR Annual Conference. Muhith, A. (2010). Kemampuan fungsional lansia di UPT Panti Werdha Majapahit Mojokerto. Hospital Majapahit. 2(2) : 16-32.
95
Peden-McAlpine, C., Bliss, D. and Hill, J. (2008). The experience of community-living women managing fecal incontinence. Western Journal of Nursing Research. 30(7): 817-835.
Newman, D.K., …, Wells, T.J. (2004).Shaping future directions for incontinence research in aging adults. Nursing Research. 53(6S): S1-S10.
Putra, A. (2012). Makalah inkontinensia alvi. Sumber: http://www.louwga.blogspot.com. Tanggal akses: 27 Desember 2013. Santoso, A dan Lestari, N.B. (2008). Peran serta keluarga pada lansia yang mengalami post power syndrome. Media Ners. 2(1): 1-44. Supardi, S dan Susyanty, A.L. (2010). Penggunaan obat tradisional dalam upaya pengobatan sendiri di Indonesia (analisis data susenas tahun 2007). Bul. Penelit. Kesehat, 38 (2): 80-89. Suyasa, I. G. P. D., Xiao, L.D., Lynn, P.A., Skuza, P.P., and Paterson, J. (2014). Prevalence of faecal incontinence in communitydwelling older people in Bali, Indonesia. Australasia Journal on Ageing. DOI: 10.1111/ajag.12141. World
Health Organization (WHO). (2009). Global Health Risks: Mortality and Burden of Disease Attributable to Selected Major Risks. Sumber:http://www.who.int/healthi nfo/global_burden_disease/Global HealthRisks_report_full.pdf. Tanggal akses: 23 Desember 2013.
Wyman, J.F., Bliss, D.Z., Dougherty, M.C., Gray, M., Kaas, M., 96