PENGARUH EKSTRAK ETANOL TEMULAWAK

Download Saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul “Pengaruh Ekstrak Etanol. Temulawak (Curcuma ...... Ekstraksi temulawak tergantung pada polarita...

1 downloads 711 Views 668KB Size
i

PENGARUH EKSTRAK ETANOL TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) TERHADAP JUMLAH TOTAL DAN DIFERENSIASI LEUKOSIT PADA AYAM PETELUR (Gallus gallus) STRAIN ISA BROWN

DIMAS NUGRAHA ADIPRATAMA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

i

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul “Pengaruh Ekstrak Etanol Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) terhadap Jumlah Total dan Diferensiasi Leukosit pada Ayam Petelur (Gallus gallus) Strain ISA Brown” adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi.

Bogor, September 2009

Dimas Nugraha Adipratama NIM B04051580

ii

ABSTRACT DIMAS NUGRAHA ADIPRATAMA. The Activity of Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) Ethanol Extract on total and leucocytes differentiation in The ISA Brown Laying Hens (Gallus gallus). Supervised by ANITA ESFANDIARI and BAMBANG PONTJO PRIOSOERYANTO The present experiment was conducted in order to study the effect of temulawak ethanol extracts on the total and differentiation of leucocytes between before and after treatments in laying hens. Eighty heads of ISA Brown laying hens, 16 weeks old were used in this experiment, and were devided into 8 groups treatments, there were: (1) 17.5 mg/kg BW temulawak ethanol (70%) extract; (2) 35 mg/kg BW temulawak ethanol (70%) extract; (3) 52.5 mg/kg BW temulawak ethanol (70%) extract; (4) 17.5 mg/kg BW temulawak ethanol (96%) extract; (5) 35 mg/kg BW temulawak ethanol (96%) extract; ( 6) 52.5 mg/kg BW temulawak ethanol (96%) extract; (7) positive control using commercial Phyllanthus niruri extract (Stimuno®); (8) negative control without the temulawak ethanol extract. Blood samples were drawn from brachialis vein to determine the total leucocytes and persentation of heterophyl, basophyl, eosinophyl, lymphocytes, and monocytes. Result of this study indicated that the administration of temulawak ethanol extracts increased the total and leucocytes differentiation in all treatments groups, with the highest activity was occured in the dose of 35 mg/kg BW of temulawak ethanol (96%) extract. In conclusion, temulawak ethanol extract has an activity as an immunostimulant for non specific immune response.

iii

ABSTRAK DIMAS NUGRAHA ADIPRATAMA. Pengaruh Ekstrak Etanol Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) terhadap Jumlah Total dan Diferensiasi Leukosit pada Ayam Petelur (Gallus gallus) Strain ISA Brown. Dibimbing oleh ANITA ESFANDIARI dan BAMBANG PONTJO PRIOSOERYANTO Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh ekstrak etanol temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) terhadap gambaran leukosit darah pada ayam petelur. Penelitian ini dilakukan dengan melihat selisih rataan persentase masing-masing jenis leukosit pada sebelum dan sesudah perlakuan dengan 10 kali ulangan. Sebanyak 80 ekor ayam petelur Strain ISA Brown umur 16 minggu dibagi ke dalam 8 kelompok perlakuan yaitu: (P1) dosis ekstrak etanol temulawak 17,5 mg/kg BB pelarut etanol 70%, (P2) dosis ekstrak etanol temulawak 35 mg/kg BB pelarut etanol 70%, (P3) dosis ekstrak etanol temulawak 52,5 mg/kg BB pelarut etanol 70%, (P4) dosis ekstrak etanol temulawak 17,5 mg/kg BB pelarut etanol 96%, (P5) dosis ekstrak etanol temulawak 35 mg/kg BB pelarut etanol 96% (P6) dosis ekstrak etanol temulawak 52,5 mg/kg BB pelarut etanol 96%, (K+) kontrol positif berupa ekstrak meniran (Phyllanthus niruri) komersial (Stimuno®), (K-) kontrol negatif tanpa pemberian ekstrak etanol temulawak. Pengamatan dilakukan terhadap jumlah total dan persentase pertumbuhan diferensiasi leukosit sebelum dan sesudah pemberian ekstrak etanol temulawak dengan dosis berbeda. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa terjadi peningkatan selisih sel darah putih antara sebelum dan sesudah perlakuan pada setiap dosis temulawak dimana selisih leukosit tertinggi terjadi pada kelompok perlakuan dosis ekstrak etanol temulawak 35 mg/kg BB pelarut etanol 96%. Dari hasil tersebut diatas disimpulkan bahwa ekstrak etanol temulawak dapat meningkatkan sistem pertahanan tubuh dengan meningkatkan total dan diferensiasi leukosit darah ayam.

iv

PENGARUH EKSTRAK ETANOL TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) TERHADAP JUMLAH TOTAL DAN DIFERENSIASI LEUKOSIT PADA AYAM PETELUR (Gallus gallus) STRAIN ISA BROWN

DIMAS NUGRAHA ADIPRATAMA

Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

v

Judul

Nama NRP

: Pengaruh Ekstrak Etanol Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) terhadap Jumlah Total dan Diferensiasi Leukosit pada Ayam Petelur (Gallus gallus) Strain ISA Brown. : Dimas Nugraha Adipratama : B04051580

Disetujui Pembimbing I

Pembimbing II

Dr. drh. Anita Esfandiari, M. Si NIP : 19621214 198903 2 001

drh. Bambang P. Priosoeryanto, MS, Ph.D NIP : 19600228 198601 1 001

Diketahui Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

Dr. Nastiti Kusumorini NIP : 19621205 198703 2001

Tanggal lulus :

vi

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di kota Surabaya, Jawa Timur pada tanggal 11 April 1987. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Bapak H. Sunarto dan Ibu Hj. Aristha Kartini. Pada umur 4 tahun, penulis memasuki jenjang Taman Kanak-kanak Aisyah Bustanul Atfal (ABA) 18, Surabaya. Tahun 1999 penulis lulus dari SD Muhammadiyah 11, Surabaya kemudian pada tahun 2002 penulis lulus dari SLTP Negeri 4 Surabaya. Penulis melanjutkan studi di Pondok Pesantren Darul Ulum tepatnya di SMU Unggulan Darul Ulum 2 BPP-T Jombang dan lulus tahun 2005. Tahun 2005 penulis diterima sebagai mahasiswa program sarjana di

Institut

Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Saringan Masuk IPB (USMI). Setahun kemudian penulis masuk ke Fakultas Kedokteran Hewan IPB setelah melalui seleksi Tingkat Persiapan Bersama. Penulis merupakan ketua angkatan Goblet 42. Tahun 2007-2008 penulis bergabung sebagai Staf Departemen Pengabdian Masyarakat Badan Eksekutif Mahasiswa FKH IPB. Selain itu penulis juga aktif pada berbagai kegiatan dan kepanitiaan yang diselenggarakan oleh berbagai organisasi di IPB. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif tergabung menjadi anggota dan pengurus Himpunan Minat Profesi (Himpro) Satwa Liar (SATLI), divisi internal Himpro SATLI FKH IPB.

vii

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan YME atas segala berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Proses penyusunan skripsi ini merupakan sebuah perjalanan panjang yang tidak lepas dari dukungan banyak pihak, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dr. drh. Anita Esfandiari, M.Si dan drh. Bambang Pontjo Priosoeryanto, MS, Ph.D selaku pembimbing, atas ilmu, keterampilan, nasihat, saran, kritik, dan kesabarannya dalam membimbing penulis. 2. drh. Endang Rachman S, MS selaku dosen penilai dalam seminar hasil penelitian atas masukan dan penjelasan untuk perbaikan tulisan ini. 3. drh. Nurhidayat, MS, Ph.D sebagai dosen Pembimbing Akademik. 4. Ibu Rini Madyastuti P, S.Si, Apt sebagai moderator dalam seminar hasil penelitian atas masukan dan penjelasan untuk perbaikan tulisan ini. 5. Dr. drh. Hj. Ahmad Arief Amin dan drh. Safitri Novelina, M.Si sebagai dosen penguji. 6. Seluruh dosen di Bagian Patologi, Departemen KRP, FKH, IPB. 7. Bapak Kasnadi serta seluruh laboran dan staf di Bagian Patologi, Departemen KRP. 8. Keluarga dan orang-orang tercinta (Ayah, Mama, Ola, Opi, Nenek) atas segala dukungan dan doanya. 9. Sarah Fauzia S. Puspita yang telah memberikan perhatian dan dukungan kepada penulis. 10. Rekan-rekan sepenelitian (Apid, Listia, Dine, Lince, Ete, Bidut, Ajeng, Maryam, dan Reni). 11. Teman-teman begajul dan melepas penat (Mieke, Lince, Ronald, Reky, Bidut, Mamah Firda, Cipie, Iwit). 12. Teman-teman GOBLET ’42 yang telah banyak membantu, mendoakan dan memotivasi dalam penyelesaian skripsi ini.

Bogor, September 2009 Dimas Nugraha Adipratama

viii

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................................ x DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xi DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xii I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ............................................................................... 1.2 Tujuan Penelitian............................................................................ 1.3 Manfaat Penelitian.......................................................................... 1.4 Hipotesa Penelitian .........................................................................

1 2 2 2

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ayam (Gallus gallus) 2.1.1 Klasifikasi Ayam .................................................................. 3 2.1.2 Ciri-ciri Ayam ...................................................................... 3 2.1.3 Ayam Petelur ........................................................................ 4 2.2 Temulawak ..................................................................................... 5 2.2.1 Komposisi Kimia Temulawak .............................................. 9 2.2.2 Sifat dan Khasiat Temulawak .............................................. 13 2.3 Sel Darah Putih (Leukosit) ............................................................. 2.3.1 Eosinofil ............................................................................... 2.3.2Heterofil (Neutrofil) .............................................................. 2.3.3 Basofil .................................................................................. 2.3.4 Limfosit ................................................................................ 2.3.5 Monosit.................................................................................

15 16 17 18 19 20

III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ........................................................ 22 3.2 Bahan dan Alat ............................................................................... 22 3.3 Metode Penelitian 3.3.1 Desain Penelitian .................................................................. 3.3.2 Pembuatan Ekstrak Temulawak ........................................... 3.3.3 Pemberian Perlakuan pada Hewan Percobaan ..................... 3.3.4 Pemeriksaan Jumlah Total dan Diferensiasi Leukosit ......... 3.3.5 Analisis Data ........................................................................

22 23 23 24 25

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Jumlah Total leukosit ..................................................................... 26 4.2 Diferensiasi Leukosit 4.2.1 Heterofil (Neutrofil) ............................................................. 4.2.2 Monosit................................................................................. 4.2.3 Limfosit ................................................................................ 4.2.4 Eosinofil ...............................................................................

27 28 29 31

ix

4.2.5 Basofil .................................................................................. 32 V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan..................................................................................... 36 5.2 Saran ............................................................................................... 36 VI. DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 37

x

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Komposisi rimpang temulawak..................................................................... 10 2 Nilai normal hematologi ayam ...................................................................... 16

xi

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Ayam petelur (Gallus gallus) ........................................................................ 4 2a Tanaman temulawak.................................................................................... 7 2b Bunga tanaman temulawak ......................................................................... 7 3 Rimpang temulawak...................................................................................... 8 4 Eosinofil ayam (tampak granul sitoplasma berwarna merah jambu) ............ 17 5 Heterofil ayam (tampak granul sitoplasma tidak berwarna) ......................... 18 6 Basofil ayam (tampak granul sitoplasma berwarna biru) ............................. 19 7 Limfosit ......................................................................................................... 20 8 Monosit ......................................................................................................... 20 9 Pengambilan darah ayam dari vena brachialis ............................................. 24 10 Grafik rata-rata persentase pertambahan jumlah total leukosit .................................................................................... 26 11 Grafik rata-rata pertambahan persentase heterofil ...................................... 28 12 Grafik rata-rata pertambahan persentase monosit ....................................... 29 13 Grafik rata-rata pertambahan persentase limfosit ....................................... 30 14 Grafik rata-rata pertambahan persentase eosinofil...................................... 31 15 Grafik rata-rata pertambahan persentase basofil ......................................... 32 16 Grafik rata-rata pertambahan persentase diferensiasi leukosit .................... 33

xii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Rataan persentase pertambahan jumlah total leukosit .................................. 41 2 Rataan pertambahan persentase heterofil ...................................................... 41 3 Rataan pertambahan persentase monosit ...................................................... 42 4 Rataan pertambahan persentase limfosit ....................................................... 42 5 Rataan pertambahan persentase eosinofil ..................................................... 43 6 Rataan pertambahan persentase basofil ........................................................ 43

1

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penggunaan tumbuh-tumbuhan sebagai obat tradisional ternyata telah lama dikenal oleh masyarakat Indonesia jauh sebelum pelayanan kesehatan menggunakan obat-obatan sintetik. Peningkatan penggunaan obat-obatan herbal seiring dengan peningkatan kesadaran masyarakat terhadap dampak negatif dari penggunaan obat sintetik. Masyarakat kembali memilih tumbuhan obat sebagai alternatif terhadap penyembuhan berbagai penyakit. Selain itu, efek samping yang ditimbulkan juga lebih kecil. Indonesia yang dikenal sebagai negara dengan megabiodiversitas, memiliki keanekaragaman hayati flora dan fauna yang sangat melimpah. Dari 28.000 jenis tumbuhan yang ditemukan di Indonesia, kurang lebih 7.000 jenis diantaranya adalah tumbuhan obat (Kassahara&Hemmi 1986). Tumbuhan obat adalah kelompok tumbuhan yang umumnya digunakan sebagai obat dan sumber bahan baku obat. Tumbuhan obat yang digunakan biasanya dalam bentuk simplisia yang berupa akar, daun, buah, dan biji (Wahid 1985). Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.)

merupakan salah satu

tumbuhan obat famili Zingiberaceae yang banyak tumbuh di Indonesia (Sidik et al 1995). Komponen utama yang berkhasiat sebagai obat dalam rimpang temulawak adalah kurkuminoid dan minyak atsiri yang merupakan hasil metabolisme sekunder dari tanaman ini. Kurkuminoid memberikan warna kuning pada rimpang temulawak dan mempunyai khasiat medis (Suwiah 1991). Zat ini berkhasiat menetralkan racun, menghilangkan rasa nyeri sendi, menurunkan kadar kolesterol dan trigliserida darah, antibakteri, dan sebagai antioksidan. Sedangkan minyak atsiri pada temulawak berkhasiat sebagai colagoga, yaitu bahan yang dapat merangsang pengeluaran cairan empedu yang berfungsi sebagai penambah nafsu makan dan anti spasmodicum, yaitu menenangkan dan mengembalikan kekejangan otot (Liang et al 1985). Penelitian tentang temulawak sebagai immunomodulator sampai sekarang belum banyak dilakukan. Immunomodulator (Immunostimulan) merupakan

2

senyawa yang dapat meningkatkan mekanisme pertahanan tubuh baik spesifik maupun non-spesifik. Senyawa semacam ini sebagian besar bekerja sebagai mitogen yaitu meningkatkan proliferasi sel yang berperan pada imunitas. Sel tujuannya adalah makrofag, granulosit, limfosit T dan B, karena senyawa ini bekerja menstimulasi mekanisme pertahanan seluler. Temulawak merupakan salah satu jenis tanaman obat yang juga memiliki fungsi sebagai immunomodulator. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah pemberian temulawak mempengaruhi jumlah total leukosit dan persentase semua jenis leukosit dalam darah.

1.2 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak etanol temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) terhadap peningkatan status kekebalan tubuh non-spesifik pada ayam petelur (Gallus gallus) strain ISA Brown.

1.3 Manfaat Manfaat penelitian ini adalah memberikan informasi tentang khasiat pemberian ekstrak temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) terhadap jumlah total dan diferensial leukosit.

1.4 Hipotesa Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini sebagai berikut: H0

: Pemberian ekstrak temulawak pada dosis tertentu dapat merangsang peningkatan jumlah leukosit pada ayam.

H1

: Pemberian ekstrak temulawak pada dosis tertentu tidak merangsang peningkatan jumlah leukosit pada ayam.

3

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ayam (Gallus gallus) 2.1.1 Klasifikasi Klasifikasi biologi ayam (Gallus gallus) berdasarkan Rasyaf (2003) adalah sebagai berikut :

Kingdom

: Animalia

Filum

: Chordata

Kelas

: Aves

Ordo

: Galliformes

Famili

: Phasianidae

Genus

: Gallus

Spesies

: Gallus gallus

Ayam (Gallus gallus) adalah unggas domestikasi yang merupakan turunan dari ayam Indian liar dan ayam hutan merah dari Asia Tenggara dan berhubungan juga dengan ayam hutan abu-abu (Gallus sonneratii). Penamaan ayam sangat luas tergantung dari asalnya. Ayam merupakan salah satu hewan domestikasi yang umum dan tersebar luas (Anonim 2008a). 2.1.2 Ciri-ciri Ayam Ayam memiliki ciri-ciri seluruh tubuh ditutupi oleh bulu mulai dari kepala, sayap sampai dengan ekor. Selain itu, memperlihatkan jengger yang penuh dengan bahan lilin berwarna merah. Kulit cukup tipis dan relatif bebas dari kelenjar sekretori, dengan pengecualian pada urophygial. Ayam mempunyai badan yang kompak, rangka yang ringan, sayap dan kaki yang tumbuh dengan baik. Ayam merupakan unggas yang aktif, nervous, lincah, berdarah panas, dan bertelur (Anonim2008a). Sistem respirasi unggas dibantu oleh kantong hawa. Alat pencernaan memperlihatkan modifikasi seperti tidak mempunyai gigi, esophagus yang mempunyai pelebaran disebut tembolok serta lambung yang terbagi dua yaitu

4

lambung kelenjar dengan banyak kelenjar pencernaan dan lambung otot tempat makanan digiling lebih efektif untuk penghancuran makanan secara mekanis (Anonim 2008a). 2.1.3 Ayam Petelur Ayam petelur merupakan ayam betina dewasa yang dipelihara khusus untuk diambil telurnya (Gambar 1). Asal mula ayam petelur adalah dari ayam hutan yang ditangkap dan dipelihara serta dapat bertelur cukup banyak. Ayam yang terseleksi untuk tujuan produksi daging dikenal dengan ayam broiler, sedangkan untuk produksi telur dikenal dengan ayam petelur. Selain itu, seleksi juga diarahkan pada warna kulit telur hingga kemudian dikenal ayam petelur putih dan ayam petelur cokelat. Persilangan dan seleksi itu dilakukan cukup lama hingga menghasilkan ayam petelur seperti yang ada sekarang ini. Dalam setiap kali persilangan, sifat jelek dibuang dan sifat baik dipertahankan (“terus dimurnikan”). Inilah yang kemudian dikenal dengan ayam petelur unggul (Prihatman 2000).

Gambar 1. Ayam Petelur (Gallus gallus) Tahun 1940-an, orang mulai membedakan antara ayam orang Belanda (Bangsa Belanda saat itu menjajah Indonesia) dengan ayam liar di Indonesia. Ayam liar kemudian dinamakan ayam lokal yang kemudian disebut ayam kampung karena keberadaan ayam itu memang di pedesaan. Sementara ayam orang Belanda disebut dengan ayam luar negeri yang kemudian lebih akrab

5

dengan sebutan ayam negeri (kala itu masih merupakan ayam negeri galur murni) yang dipelihara oleh hobiis. Hingga akhir periode 1980-an, orang Indonesia tidak banyak mengenal klasifikasi ayam. Ketika itu, sifat ayam dianggap seperti ayam kampung saja, bila telurnya enak dimakan maka dagingnya juga enak dimakan. Namun, pendapat itu ternyata tidak benar, ayam negeri/ayam ras ini ternyata bertelur banyak tetapi tidak enak dagingnya (Prihatman 2000). Ayam yang pertama masuk dan mulai diternakkan pada periode ini adalah ayam ras petelur white leghorn yang kurus dan umumnya setelah habis masa produktifnya. Antipati orang terhadap daging ayam ras cukup lama hingga menjelang akhir periode 1990-an. Ketika itu mulai merebak peternakan ayam broiler yang memang khusus untuk daging,

sementara

ayam

petelur

dwiguna/ayam petelur cokelat mulai menjamur pula. Disinilah masyarakat mulai sadar bahwa ayam ras mempunyai klasifikasi sebagai petelur handal dan pedaging yang enak. Mulai terjadi pula persaingan tajam antara telur dan daging ayam ras dengan telur dan daging ayam kampung. Sementara itu telur ayam ras cokelat mulai disukai masyarakat, sedangkan telur ayam kampung mulai terpuruk pada penggunaan untuk resep makanan tradisional saja. Persaingan inilah yang menandakan maraknya peternakan ayam petelur. Ayam kampung juga bertelur dan dagingnya dapat dimakan, tetapi tidak dapat diklasifikasikan sebagai ayam dwiguna secara komersial-unggul. Hal ini disebabkan karena dasar genetis antara ayam kampung dan ayam ras petelur dwiguna ini memang berbeda jauh. Ayam kampung mempunyai kemampuan adaptasi yang sangat baik, sehingga ayam kampung dapat mengantisipasi perubahan iklim dengan baik dibandingkan dengan ayam ras. Kemampuan genetisnyalah yang membedakan produksi kedua ayam ini, walaupun ayam ras juga berasal dari ayam liar di Asia dan Afrika (Prihatman 2000).

2.2 Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) Curcuma berasal dari kata Arab Kurkum berarti kuning. Xanthorrhiza berasal dari kata yunani xanthos berarti kuning dan rhiza berarti umbi akar, dalam bahasa Indonesia disebut temulawak, yang berarti akar kuning (Liang et al. 1985). Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.)

termasuk ke dalam

famili

6

Zingiberaceae (suku jahe-jahean) dan merupakan tanaman yang tumbuh merumpun (Gambar 2a). Tanaman ini tumbuh liar di hutan-hutan di bawah naungan pohon jati pada beberapa pulau di Indonesia, antara lain Jawa, Maluku, dan Kalimantan (Herman 1985). Menurut Anonim (2008b), temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) merupakan tanaman obat asli yang berasal dari Indonesia dan sangat dikenal oleh masyarakat, baik sebagai obat yang dapat digunakan untuk meningkatkan kekebalan tubuh maupun sebagai obat penambah nafsu makan. Menurut Rukmana (1995), klasifikasi temulawak secara lengkap adalah sebagai berikut :

Kingdom

: Plantae (tumbuhan)

Subkingdom : Tracheobionta (berpembuluh) Superdivisio : Spermatophyta (menghasilkan biji) Divisio

: Magnoliophyta (berbunga)

Kelas

: Liliopsida (berkeping satu / monokotil)

Sub-kelas

: Commelinidae

Ordo

: Zingiberales

Familia

: Zingiberaceae (suku jahe-jahean)

Genus

: Curcuma

Spesies

: Curcuma xanthorrhiza Roxb.

Curcuma xanthorrhiza Roxb. dalam bahasa Indonesia dikenal dengan nama Temulawak, dalam bahasa Sunda dikenal dengan nama Koneng Gede dan Temu Raya, dalam bahasa Jawa dikenal sebagai Temu Lawak, dalam bahasa Madura dikenal dengan sebutan Temo Labak (Darwis 1992).

7

Gambar 2a. Tanaman Temulawak (Sidik et al. 1995)

Gambar 2b. Bunga Tanaman Temulawak (Anonim 2008b)

Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) merupakan tanaman asli Indonesia dan termasuk salah satu jenis temu-temuan yang paling banyak digunakan sebagai bahan baku obat tradisional. Selain itu, temulawak merupakan sumber bahan pangan, pewarna, bahan baku industri (seperti kosmetika), maupun dibuat makanan atau minuman segar. Temulawak telah dibudidayakan dan banyak ditanam di pekarangan atau tegalan, juga sering ditemukan tumbuh liar di hutan jati atau padang alang-alang. Tanaman ini lebih produktif pada tempat terbuka yang terkena sinar matahari dan dapat tumbuh mulai dari dataran rendah sampai dataran tinggi. Untuk mencapai hasil yang maksimal, sebaiknya ditanam pada ketinggian sekitar 200-600 mdpl (Hargono 1985). Tanaman temulawak termasuk tanaman berbatang semu yang batangnya berasal dari pelepah-pelepah daun yang saling menutup membentuk batang. Batang semu ini tumbuh dari rimpang (Ramlan 1985). Tinggi tanaman dapat mencapai 2 m dan berwarna hijau cokelat. Tiap tanaman, berdaun antara 2 hingga 9 helai, bentuk daunnya bulat memanjang atau lanset (Gambar 2b). Daun berwarna hijau terang sampai hijau gelap dengan ukuran panjang antara 31 hingga 84 cm, lebar antara 10 hingga 18 cm. Daun termasuk tipe sempurna, artinya tersusun dari pelepah daun, tangkai daun, dan helai daun, kadang-kadang terdapat lidah daun (ligula). Terdapat semacam pita memanjang dengan warna merah keunguan pada sisi kiri dan kanan daun (Wahid 1985). Herman (1985) melaporkan bahwa tanaman tahunan (perennial) ini tumbuh merumpun dengan batang semu yang tumbuh dari rimpangnya. Batang semu berasal dari pelepah-pelepah daun yang saling menutup membentuk batang.

8

Tinggi tanaman ini dapat mencapai 2 m. tiap tanaman berdaun 2 hingga 9 helai, berbentuk bulat memanjang atau lanset, panjang 31 hingga 84 cm, lebar 10 hingga 18 cm, berwarna hijau dan merah keunguan. Perbungaan termasuk tipe exantha, yaitu jenis temu dimana bunga keluar langsung dari rimpang yang memiliki panjang antara 40 hingga 60 cm. Rimpang pada tanaman temulawak terbagi menjadi 2 bagian, yaitu rimpang induk yang berbentuk bulat panjang dengan warna rimpang kuning tua atau cokelat kemerahan dan pada bagian dalamnya berwarna jingga kecokelatan (Gambar 3). Dari rimpang induk keluar rimpang kedua yang lebih kecil dengan jumlah rimpang sebanyak 3-7 buah. Anak rimpang ini tumbuh ke arah samping dan berwarna lebih muda dengan bau harum yang khas dan rasa pahit agak pedas. Ujung akar membengkak membentuk umbi kecil. Bila tanaman temulawak dibiarkan tumbuh lebih dari satu tahun, maka akan tumbuh anak rimpang yang menghasilkan anak rimpang yang cukup banyak (Ketaren 1988).

Gambar 3. Rimpang Temulawak (Anonim 2008b)

Sumarhadi (1980) memaparkan bahwa rimpang dibedakan atas rimpang induk (empu) dan rimpang cabang. Rimpang induk berbentuk jorong atau gelondong, berwarna kuning tua atau cokelat kemerahan, bagian dalam berwarna jingga cokelat. Rimpang cabang keluar dari rimpang induk, ukurannya lebih kecil, tumbuhnya ke arah samping, bentuknya bermacam-macam, dan warnanya lebih muda. Akar-akar di bagian ujung membengkak, membentuk umbi yang kecil. Rimpang temulawak termasuk yang paling besar diantara semua rimpang marga curcuma. Rimpangnya dipanen jika bagian-bagian tanaman yang ada di atas mulai

9

kering dan mati, biasanya sekitar 9-24 bulan. Sebagian ahli taksonomi menganggap bahwa temulawak merupakan bentuk variasi intraspesifikasi dari Curcuma zedoaria (Temu Putih). Sebagai tanaman monokotil, tanaman temulawak tidak memiliki akar tunggang. Akar yang dimiliki berupa rimpang. Rimpang tanaman temulawak mengandung komponen-komponen penting yang sangat bermanfaat, yaitu zat kuning kurkumin, minyak atsiri, pati, protein, lemak (fixed oil), sellulosa, dan mineral (Ketaren 1988).

2.2.1 Komposisi Kimia Temulawak Temulawak terdiri dari fraksi pati, kurkuminoid, dan minyak atsiri (312%). Fraksi pati merupakan kandungan terbesar, berkisar antara 48-54% tergantung dari ketinggian tempat tumbuh. Makin tinggi tempat tumbuh, maka kadar pati semakin rendah sedangkan kadar minyak semakin tinggi. Temulawak terdiri dari pati, abu, protein, lemak, karbohidrat, serat kasar, kurkuminoid, kalium, natrium, kalsium, magnesium, besi, mangan, dan cadmium (Suwiah 1991). Pati rimpang temulawak dapat dikembangkan sebagai sumber karbohidrat, yang digunakan untuk bahan makanan atau campuran bahan makanan. Fraksi kurkuminoid mempunyai aroma khas, tidak toksik, dan terdiri dari kurkumin yang mempunyai aktivitas anti radang dan desmetoksikurkumin. Minyak Atsiri berupa cairan berwarna kuning atau kuning jingga, dan berbau aromatik tajam. Komposisinya tergantung pada umur rimpang, tempat tumbuh, teknik isolasi, teknik analisis, perbedaan klon varietas, dan sebagainya (Sidik et al. 1985). Liang et al. (1985) melaporkan bahwa dengan metode kromatografi gas, terdeteksi 31 komponen yang terkandung dalam temulawak. Beberapa diantaranya merupakan komponen minyak khas atsiri temulawak, yaitu isofuranogermakren, trisiklin, alloaromadendren, germaken, dan xanthorrhizol. Selain itu, terdapat komponen lain yang bersifat insect repellent yaitu ar-turmeron. Kandungan kurkuminoid dalam rimpang temulawak kering adalah 3,16%. Jumlah ini lebih kecil apabila dibandingkan dengan kandungan kurkuminoid rimpang kunyit, yakni 6,9%. Kadar kurkumin dalam kurkuminoid rimpang

10

temulawak berkisar antara 58-71%, sedangkan desmetoksikurkumin berkisar antara 29-42% (Sidik 1992). Komposisi rimpang temulawak dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi rimpang temulawak berdasarkan rimpang kering dengan kadar air. Komposisi

Kadar (%)

Pati

58,24

Lemak (fixed oil)

12,10

Kurkumin

1,55

Serat Kasar

4,20

Abu

4,90

Protein

2,90

Mineral

4,29

Minyak Atsiri

4,90

Sumber : (Ketaren 1998).

Menurut Sinambela (1985), komposisi rimpang kimia temulawak dapat dibagi menjadi dua fraksi yaitu zat warna dan minyak Atsiri. Warna kuning pada temulawak disebabkan oleh adanya kurkuminoid (C21H20O6). Fraksi kurkuminoid rimpang

temulawak

terdiri

dari

dua

macam

yaitu

kurkumin

dan

desmetoksikurkumin. Secara kimia, kurkuminoid pada temulawak merupakan turunan dari diferuloilmetan, yaitu dimetoksidiferuloilmetan (kurkumin) dan monodesmetoksidiferuloilmetan (desmetoksikurkumin). Menurut Bombardelli (1991), ekstraksi senyawa aktif dari tanaman obat adalah pemisahan secara fisik atau kimiawi. Ekstraksi temulawak tergantung pada polaritas senyawa yang akan diekstrak. Suatu senyawa menunjukkan kelarutan yang berbeda-beda dalam pelarut yang berbeda. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam memilih pelarut adalah selektivitas, kemampuan mengekstrak, toksisitas, kemudahan untuk diuapkan, dan harga pelarut. Menurut Harborne (1996), metode ekstraksi dikelompokan menjadi dua yaitu ekstraksi sederhana dan ekstraksi khusus. Ekstraksi sederhana terdiri atas maserasi, perkolasi, reperkolasi, avalokasi, dan dialokasi. Ekstraksi khusus terdiri

11

atas sokletasi, arus balik, dan ultrasonik. Maserasi merupakan ekstraksi yang sering digunakan dibandingkan dengan metode ekstraksi yang lainnya. Maserasi dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu maserasi sederhana, kinetik maserasi, dan maserasi dengan penggunaan tekanan. Ada

beberapa

faktor yang mempengaruhi

hasil

ekstraksi

yaitu

penggembungan bahan baku, difusi, pH, ukuran partikel, suhu, dan pemilihan pelarut. Penggembungan dari bahan tanaman menaikkan perembesan dari pelarut dan mengakibatkan pergerakan substansi bahan terlarut di dalamnya. Akibat dari penggembungan bahan baku memastikan terjadinya penyerapan dari pelarut terhadap zat yang akan diekstrak. Untuk mengekstraksi senyawa aktif

dari

tanaman obat, pelarut harus dapat berdifusi ke dalam sel dan senyawa harus terlarut secara sempurna di dalam pelarut sehingga tercapai kesetimbangan antara pelarut dan bahan terlarut (Harborne 1996). Kecepatan untuk mengambil senyawa aktif biasanya tergantung kepada suhu, pH, ukuran partikel, dan pergerakan pelarut di sekitar partikel. Biasanya pH memainkan peran dalam masalah selektivitas, sedangkan suhu dan pergerakan pelarut di sekitar padatan dapat mempengaruhi pergeseran kesetimbangan kejenuhan pelarut. Pergerakan pelarut dapat dilakukan dengan melakukan perputaran pelarut menggunakan pompa atau mesin pengaduk yang akan membuat pencampuran pelarut dan bahan baku secara berkesinambungan atau dengan menggunakan gelombang ultrasonik. Ukuran partikel berpengaruh terhadap mudah atau tidaknya bahan baku diambil ekstraknya. Bahan baku dalam bentuk serbuk lebih mudah diekstrak dibandingkan dengan bentuk simplisia (Harborne 1996). Hasil ekstraksi yang memberikan senyawa obat secara lengkap dapat diperoleh jika pelarut memberikan selektivitas maksimum, yaitu mencapai kapasitas dalam batas waktu tertentu untuk mencapai koefisien penjenuhan. Ria (1989) mengekstraksi rimpang temulawak menggunakan metode maserasi dengan jumlah pelarut yang digunakan 400, 600, dan 800 ml. Lama ekstraksi antara 1,3, hingga 5 jam, serta ukuran partikel 40 dan 60 mesh untuk melihat pengaruh jumlah pelarut, lama ekstraksi, dan ukuran partikel terhadap rendemen dan mutu oleoresin. Bahan baku diekstraksi pada suhu 50oC dengan kecepatan pengadukan

12

700 rpm dan pelarut methanol, diperoleh rendemen ekstrak yang diperoleh berkisar antara 15,70-19,19%. Rendemen terbesar diperoleh pada saat jumlah pelarut 600 ml, waktu ekstraksi 3 jam, dan ukuran partikel 40 mesh. Kadar kurkumin yang diperoleh berkisar antara 1,86-3,06% jika digunakan jumlah pelarut 400 ml, waktu ekstraksi 1 jam, dan ukuran partikel 40 mesh. Menurut List dan Schmidt (1989), parameter yang mempengaruhi hasil ekstraksi adalah perbandingan campuran, disolusi sel yang hancur, perendaman dan penggembungan material, difusi sel utuh, tetapan kesetimbangan, suhu, pH, interaksi senyawa yang terlarut dengan senyawa yang tidak terlarut, dan derajat lipophilicity. Fraksi kurkuminoid merupakan komponen yang memberi warna kuning pada rimpang temulawak. Selain dapat digunakan sebagai zat warna dalam makanan, minuman, atau

kosmetika, komponen kurkuminoid

diketahui

mempunyai berbagai aktivitas biologik dalam spektrum luas. Fraksi kurkuminoid yang terdapat dalam rimpang temulawak terdiri dari dua komponen, yaitu kurkumin dan desmetoksikurkumin. Hal ini berbeda dengan kandungan kurkuminoid pada rimpang kunyit (Curcuma domestika) yang mengandung satu komponen lain yaitu bisdesmetoksikurkumin (Sidik 1992). Menurut Rismunandar (1988), rimpang temulawak mengandung kurkumin sebesar 1,93%. Kadar kurkumin dan minyak Atsiri tergantung pada umur rimpang. Kadar kurkumin dan minyak Atsiri optimum tercapai saat rimpang berumur 10-12 bulan. Kurkumin mempunyai rumus molekul C12H20O6 dengan bobot molekul sebesar 368, sedangkan desmetoksikurkumin mempunyai rumus molekul C20H18O5 dengan bobot molekul sebesar 338. Melihat struktur kimia kurkumin dan desmetoksikurkumin, dan dengan memperhatikan aktivitas kurkumin yang sinergis dengan bisdesmetoksikurkumin, diduga gugusan aktif pada kurkuminoid terletak pada gugus metoksi karena pada bisdesmetoksikurkumin kedua gugus metoksi telah disubstitusi dengan atom hidrogen. Gugus hidroksil fenolat yang terdapat dalam struktur kurkuminoid menyebabkan kurkuminoid mempunyai aktivitas anti bakteri. Sifat kimia yang menarik adalah sifat perubahan warna akibat perubahan pH lingkungan. Kurkuminoid dalam suasana asam berwarna kuning atau kuning jingga, sedangkan dalam suasana basa kurkuminod berwarna

13

merah. Hal tersebut terjadi karena adanya sistem tautomeri pada molekulnya (Sidik 1992).

2.2.2 Sifat dan Khasiat Temulawak Temulawak dapat digunakan sebagai bahan obat utama (remedium cardinal), bahan obat penunjang (remedium adjuvans), pemberi warna (corrigentia coloris), maupun penambah aroma (corrigentia odoris). Secara empiris, temulawak digunakan sebagai obat dalam bentuk tunggal maupun campuran. Temulawak dapat digunakan untuk mengatasi gangguan hati dan penyakit kuning, baik berupa rebusan maupun seduhan rimpang yang dijadikan bubuk. Pati rimpang temulawak, dapat digunakan untuk makanan bayi atau sebagai pembuat kue. Temulawak dapat diperbanyak dengan rimpang yang telah berumur 9 bulan (Liang et al. 1985). Rimpang berbau aromatik tajam, dengan rasa pahit agak pedas. Temulawak mempunyai khasiat laktagoga, kolagoga, antiinflamasi, tonikum, dan diuretik. Minyak Atsiri temulawak, juga berkhasiat fungistatik terhadap berbagai jenis jamur dan bakteriostatik terhadap mikroba Staphyllococcus sp. dan Salmonella sp. Aktivitas kolagoga rimpang temulawak ditandai dengan meningkatnya produksi dan sekresi empedu yang bekerja sebagai kolekinetik dan koleretik (Liang et al. 1985). Kolikinetik adalah suatu aktivitas yang berperan dalam proses biosintesis peningkatan produksi empedu akibat terkandungnya sodium kurkuminat yang aktif dalam kurkumin, sedangkan koleretik adalah peningkatan sekresi empedu dari kantung empedu ke dalam usus halus (Solichedi 2003). Kerja kolekinetik dilakukan oleh fraksi kurkuminoid, sedangkan kerja koleretik dilakukan oleh komponen minyak Atsiri. Dengan meningkatnya pengeluaran cairan empedu maka partikel padat dalam kandung empedu berkurang. Keadaan ini akan mengurangi kolik empedu, perut kembung akibat gangguan metabolisme lemak, dan menurunkan kadar kolesterol darah yang tinggi. Sebagi obat tradisional, temulawak paling umum dipakai untuk gangguan hati dan penyakit kuning, baik berupa air perasan maupun rebusan. Disamping itu

14

juga sebagai ramuan jamu untuk obat demam (malaria), pegal-pegal, sembelit, tonikum, laktagoga, penyakit katup pembuluh darah, dan usus dua belas jari (Wahid 1985). Menurut Liang et al. (1985), temulawak dapat merangsang produksi empedu oleh sel hati dan mensekresikan ke dalam kandung empedu dan usus halus, serta merangsang sekresi pankreas. Dengan adanya rangsangan produksi empedu, temulawak bermanfaat untuk penyakit saluran pencernaan, yaitu kelainan di hati, kandung empedu, pankreas, dan usus halus. Sastroamidjojo (1967) melaporkan pula menyebutkan bahwa rimpang temulawak dapat digunakan untuk mengobati dan mengatasi radang hati (hepatitis), sakit kuning (jaundice), radang ginjal, radang kronis kandung empedu (kolestik kronis), meningkatkan aliran empedu ke saluran cerna, perut kembung, tidak nafsu makan (anoreksia) akibat kekurangan cairan empedu, demam, pegal linu, dan rematik, memulihkan kesehatan setelah melahirkan, sembelit, diare, kolesterol darah tinggi (hiperkolesterolemia), haid tidak lancar, flek hitam di muka, jerawat, wasir, penurunan produksi ASI (Air Susu Ibu). Menurut Dalimarta (2000), ekstrak temulawak sangat manjur untuk pengobatan penyakit hati. Hal ini disebabkan oleh komposisi kimia rimpang temulawak yang mengandung protein pati sebesar 29-30%, kurkumin 1-3%, dan minyak Atsiri 6-10%. Di samping itu, juga terbukti bisa menurunkan kadar kolesterol dalam darah dan sel hati. Kurkumin berperan dalam menjaga dan menyehatkan hati (hepatoprotector).

15

2.3 Sel Darah Putih (Leukosit) pada Ayam Darah adalah suatu cairan tubuh yang terdapat dalam pembuluh darah dan mengalir ke seluruh tubuh. Darah terdiri dari plasma darah (55%) dan sel darah (Caceci 1998). Plasma darah terdiri dari air, protein, lemak, karbohidrat, mineral, enzim, dan hormon. Kerja zat-zat tersebut akan selalu seimbang oleh karena mekanisme homeostasis yang berlangsung (Ganong 1996). Unsur seluler darah yaitu sel darah merah (eritrosit), sel darah putih, dan trombosit yang tersuspensi di dalam plasma dan mempunyai fungsi yang spesifik. Nilai normal hematologi ayam disajikan pada Tabel 2. Secara umum darah berfungsi sebagai alat transportasi, keseimbangan cairan tubuh, dan pertahanan tubuh dari infiltrasi benda asing maupun mikroorganisme (Ganong 1996). Darah berperan penting dalam termoregulasi dan homeostasis tubuh. Volume darah dalam tubuh bervariasi tergantung ukuran tubuh, umur, derajat aktivitas tubuh, keadaan kesehatan, makanan, dan lingkungan (Swenson 1977). Leukosit adalah komponen aktif sistem pertahanan tubuh yang dibentuk sebagian di dalam sumsum tulang dan sebagian lagi di dalam organ limfoid seperti timus, burasa fabriscius pada unggas, dan limpa. Leukosit mampu keluar dari pembuluh darah dan menuju ke jaringan-jaringan yang membutuhkan (Ganong 1996). Leukosit adalah sel dengan nukleus dan organel (Caceci 1998). Leukosit berfungsi untuk kekebalan tubuh, baik spesifik maupun non-spesifik. Leukosit dapat dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu leukosit granulosit dan leukosit agranulosit (Ganong 1996; Caceci 1998). Leukosit granulosit dikenal dengan adanya granula khas yang terdapat di dalam sitoplasma, sedangkan leukosit agranulosit tidak memiliki granula di dalam sitoplasma (Ganong 1996).

16

Tabel 2 Nilai normal hematologi ayam Parameter

Kisaran

Rataan

Eritrosit Total eritrosit (x106/µl)

2,5-3,5

3,0

Haemoglobin (g/dl)

7,0-13,0

9,0

PCV (%)

22,0-35,0

30,0

MCV (fl)

90,0-140,0

115,0

MCH (pg)

33,0-47,0

41,0

MCHC (%)

26,0-35,0

29,0

12.000-30.000

12.000

Heterofil

3.000-6.000

4.500

Limfosit

7.000-17.500

14.000

Monosit

150-2.000

1.500

Eosinofil

0-1.000

400

Basofil

Jarang

-

Heterofil

15,0-40,0

28,0

Limfosit

45,0-70,0

60,0

Monosit

5,0- 10,0

8,0

Eosinofil

1,5-6,0

4,0

Basofil

Jarang

-

0,1-0,4

0,2

Trombosit (x10 /µl)

20,0-40,0

30,0

Total protein plasma (g/dl)

4,0-5,5

4,5

Leukosit Total leukosit (/µl)

Persentase distribusi

Fibrinogen (g/dl) 5

Sumber : (Jain 1986)

2.3.1 Eosinofil Eosinofil adalah sel yang besar dengan sitoplasma banyak mengandung granula, dan akan tampak merah jika diwarnai dengan pewarnaan yang bersifat basa (Gambar 4). Inti eosinofil memiliki lobulasi yang lebih sedikit dibandingkan

17

dengan heterofil (neutrofil) (Ganong 1996). Sel ini dibentuk di dalam sumsum tulang, sangat motil dan bersifat fagositik (Ganong 1996; Melvin et al. 1993). Eosinofil berperan dalam reaksi alergi, serangan parasit (Caceci 1998) dan jumlahnya akan terus meningkat selama serangan alergi. Mereka bersifat fagositik terutama terhadap antigen dan antibodi kompleks (Caceci 1998; Malvin et al. 1993).

Fungsi

lainnya

yaitu

mengendalikan

dan

mengurangi

reaksi

hipersensitifitas (Kresno 1996 dalam Sukarno 2000). Eosinofil (Gambar 5) akan diproduksi dalam jumlah besar dan bermigrasi ke jaringan pada penderita infeksi parasit. Mekanismenya adalah dengan cara melekatkan diri pada parasit, kemudian melepaskan bahan-bahan yang dapat membunuh parasit tersebut. Jumlah eosinofil dalam sirkulasi darah ayam secara normal sangat sedikit, yaitu berkisar antara 0-7 % (Smith dan Mangkoewidjojo 1988), dan akan meningkat pada saat alergi dan infestasi parasit tertentu seperti cacing (Melvin et al. 1993).

Gambar 4. Eosinofil ayam tampak granul sitoplasma berwarna merah jambu (Anonim 2008c)

2.3.2 Heterofil (Neutrofil) Heterofil (Gambar 5) merupakan sel granulosit polimorfonuklear pada darah unggas dan sama dengan neutrofil pada darah mamalia yang diproduksi di dalam sumsum tulang. Sitoplasma pada heterofil tidak berwarna, dan hal ini yang membedakan heterofil dengan eosinofil dan basofil. Persentase heterofil ayam normal berkisar antara 9-56% (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Sturkie (1976) melaporkan bahwa heterofil memiliki ciri-ciri granulosit berbentuk bulat dengan diameter 10-15µ dan bersifat polimorfonuklear pseudoeosinofilik. Biasanya granula pada sitoplasma berbentuk bulat dan bersifat asidofilik, juga mengandung

18

butir halus berwarna ungu dengan ukuran bervariasi. Masa hidup heterofil di dalam sirkulasi dalam keadaan infeksi berat lebih pendek dibandingkan dalam keadaan normal, yaitu hanya beberapa jam. Selanjutnya heterofil dengan cepat menuju ke daerah infeksi (Guyton 1996).

Gambar 5. Heterofil ayam tampak granul sitoplasma tidak berwarna (Anonim 2008c)

Heterofil mempunyai fungsi fagositosis. Sel yang akan memasuki jaringan merupakan sel matang dan berperan sebagai garis pertahanan pertama bagi tubuh. Setelah melakukan proses fagositosis, sel heterofil akan menjadi tidak aktif dan mati (Tizard 2000). Peningkatan heterofil dapat dilihat pada peradangan akut dan penyakit infeksius seperti chlamydia, bakterial, dan fungal (Melvin et al. 1993). Heterofil mempunyai aktivitas amuboid dan mempunyai sifat fagositosis untuk mempertahankan tubuh melawan infeksi benda asing seperti virus dan partikel lain. Invasi bakteri, virus, dan parasit yang terjadi di jaringan akan mengakibatkan heterofil bergerak ke daerah infeksi melalui diapedesis dan gerak amuboid. Heterofil tertarik ke daerah invasi karena adanya berbagai faktor kemotaktik dari sel yang rusak untuk memfagosit bakteri dan partikel asing lainnya (Melvin et al. 1993). Proses penghancuran benda asing atau mikroorganisme dengan proses fagositosis oleh heterofil yaitu partikel tersebut terkurung dalam sitoplasma heterofil dan ditempatkan dalam fagosom (Tizard 2000).

2.3.3 Basofil Basofil

(Gambar

6)

adalah

leukosit

granulosit

yang

bersifat

polimorfonuklear-basofilik. Ukuran basofil lebih besar dibandingkan dengan heterofil. Persentase basofil dalam darah ayam berkisar antara 1-4% (Melvin et al. 1993). Bentuk sel tidak teratur dengan inti dan sitoplasma akan tampak biru

19

jika diwarnai dengan pewarnaan yang bersifat asam. Basofil dibentuk di dalam sumsum tulang (Melvin et al. 1993). Peningkatan jumlah basofil merupakan indikasi adanya peradangan akut yang menyebabkan hipersensitivitas dan adanya infeksi saluran pernapasan dan kerusakan jaringan yang hebat (Melvin et al. 1993). Basofil mempunyai fungsi yang sama dengan sel mast yaitu membangkitkan proses perbarahan akut pada tempat deposisi antigen (Tizard 2000). Basofil berperan penting pada reaksi hipersensitivitas tipe cepat (Ganong 1996).

Gambar 6. Basofil ayam tampak granul sitoplasma berwarna biru (Anonim 2008c)

2.3.4 Limfosit Limfosit (Gambar 7) merupakan sel yang tidak bergranul, dengan persentase di dalam darah unggas berkisar antara 24-84% (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Berdasarkan ukuran, limfosit terbagi menjadi limfosit besar, sedang, dan kecil. Limfosit kecil merupakan bentuk dewasa, sedangkan limfosit sedang dan besar merupakan limfosit muda (paralimfosit). Sel ini dibentuk di dalam limpa, kelenjar limfe, timus, sumsum tulang, tonsil, dan bursa fabrisius. Sitoplasma limfosit dewasa atau tipe kecil bersifat basofilik. Limfosit muda atau limfosit tipe besar dikelilingi oleh sitoplasma. Masa hidup limfosit sangat lama, berkisar antara 100-300 hari atau bahkan tahunan (Guyton 1996). Limfosit sangat berperan dalam sistem kekebalan tubuh (Melvin et al. 1993). Fungsi utama limfosit adalah memproduksi antibodi sebagai sel efektor khusus dalam menanggapi antigen yang terikat pada makrofag (Tizard 2000). Limfosit dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu limfosit T yang berasal dari timus dan limfosit B yang berasal dari bursa fabrisius. Sebanyak 70-75% limfosit T menghasilkan tanggap kebal yang berperantara sel yaitu tanggap kebal seluler,

20

juga menghasilkan limfokin yang mencegah perpindahan makrofag dan merupakan media kekebalan. Limfosit B berperan dalam reaksi kekebalan humoral dan tumbuh menjadi sel plasma pembentuk antibodi (Tizard 2000). Limfosit ada dalam jumlah banyak di usus, uterus, dan membran mukosa respirasi dengan cara migrasi. Limfosit ini motil dan menunjukkan aktivitas amuboid tapi tidak fagositik (Melvin et al. 1993).

Gambar 7. Limfosit (Anonim 2008c)

2.3.5 Monosit Monosit (Gambar 8) merupakan leukosit agranulosit dan merupakan jenis leukosit dengan ukuran sel terbesar, dengan sitoplasma lebih banyak dibandingkan dengan sitoplasma pada limfosit besar. Monosit dalam darah unggas sulit dibedakan dengan limfosit besar karena banyak bentuk-bentuk transisinya. Persentase normal monosit pada darah ayam berkisar antara 0-30% (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Sitoplasma monosit mengambil warna basofil. Inti monosit berbentuk bulat, besar seperti tapal kuda atau ginjal dengan salah satu tepi melekuk ke dalam. Monosit dibentuk di dalam sumsum tulang belakang yang akan masuk ke dalam jaringan dalam bentuk makrofag (Kimabal 1990 dalam Anggorowati 2002).

Gambar 8. Monosit (Anonim 2008c)

21

Apabila monosit masuk ke jaringan maka akan berubah menjadi makrofag bebas dalam pertahanan jaringan melawan agen infeksi seperti bakteri, benda asing, sel-sel mati, dan membantu membersihkan sel-sel yang rusak. Sel ini mempunyai kemampuan fagositosis yang tinggi setelah diaktifkan oleh limfokin dari limfosit T (Ganong 1996). Monosit berperan dalam mengatur tanggap kebal dengan mengeluarkan glikoprotein pengatur monokin seperti interferon, interleukin I, dan zat farmakologi aktif seperti prostaglandin dan lipoprotein. Monosit juga merupakan makrofag muda yang beredar dalam darah dan berperan dalam mempertahankan tubuh terhadap infeksi organisme, sel yang nekrotik, dan reruntuhan sel. Selama proses penyembuhan, makrofag membersihkan sisa-sisa jaringan yang mengalami kerusakan. Makrofag tersebut akan menghasilkan faktor pertumbuhan yang merangsang perbaikan jaringan. Monosit berada di dalam darah sekitar 40 jam dan dapat hidup di jaringan dalam beberapa bulan (Tizard 2000).

22

III. METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tenpat Penelitian Penelitian dilaksanakan bulan September 2007 sampai dengan Agustus 2008 bertempat di Bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

3.2 Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 80 ekor ayam petelur strain ISA Brown umur 16 minggu, ekstrak etanol temulawak, ekstrak meniran komersial, pelarut etanol 70% dan 96%, vaksin komersial lengkap untuk ayam petelur (Marek, ND, IB, IBD, Pox), larutan pewarna Giemsa, NaCl fisiologis, label, minyak emersi, kapas,dan pakan ayam layer komersial. Peralatan yang digunakan dalam penelitian meliputi kandang ayam, timbangan, gunting, pinset, syringe 1 ml, dan hemositometer set. Alat-alat gelas yaitu gelas obyek, gelas penutup, pipet dan mikroskop cahaya untuk pengamatan.

3.3 Metode penelitian 3.3.1 Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan ayam petelur strain ISA Brown yang sudah mendapatkan vaksin lengkap. Umur 7 minggu ayam diberi vaksin AI (Avian Influenza), 13 minggu dilakukan booster, dan pada umur 16 minggu (bobot badan yang seragam) sampai dengan 20 minggu diberi perlakuan. Sebelum perlakuan dimulai, dilakukan masa adaptasi selama 7 hari untuk mengembalikan kondisi ayam dari stres karena pemindahan dan transportasi. Selama masa ini diberikan vitamin dan elektrolit (Nopstress VitaminTM) lewat air minum sesuai dengan rekomendasi pabrik pembuat. Sebanyak 80 ekor ayam yang telah divaksinasi dengan vaksin AI H5N1 inaktif dibagi ke dalam 8 kelompok perlakuan, dengan masing-masing perlakuan diberikan secara oral (dicekok menggunakan sonde lambung) selama 4 minggu dengan selang istirahat selama 3 hari setiap minggu. Delapan kelompok perlakuan yang diberikan adalah :

23

P1

: perlakuan 1, ekstrak etanol (70%) temulawak 17,5 mg/kg BB.

P2

: perlakuan 2, ekstrak atanol (70%) temulawak 35 mg/kg BB.

P3

: perlakuan 3, ekstrak etanol (70%) temulawak 52,5 mg/kg BB.

P4

: perlakuan 4, ekstrak etanol (96%) temulawak 17,5 mg/kg BB.

P5

: perlakuan 5, ekstrak etanol (96%) temulawak 35 mg/kg BB.

P6

: perlakuan 6, ekstrak etanol (96%) temulawak 52,5 mg/kg BB.

K(+)

: Kontrol positif berupa ekstrak meniran komersial dosis 0,2ml/ kg BB.

K(-)

: Kontrol negatif berupa NaCl fisiologis dengan dosis 0,5 ml/kg BB.

3.3.2 Pembuatan Ekstrak Temulawak Pembuatan

ekstrak

temulawak

menggunakan

metode

maserasi.

Sebelumnya dibuat terlebih dahulu simplisia rimpang temulawak, selanjutnya simplisia temulawak direndam selama 6 jam dengan pelarut etanol dan aquabidest dengan perbandingan 1 : 10. Selama perendaman, campuran ini diaduk setiap 3 jam dalam kurun waktu 24 jam. Kemudian campuran diperas untuk memisahkan larutan dan endapan, endapan inilah yang digunakan. Setelah itu pelarut untuk ekstraksi dipisahkan kembali dengan penguapan menggunakan pompa vakum evaporator pada suhu 50oC (Afifah et al. 2005). Alkohol dipakai karena relatif aman untuk makanan, sifat polarnya membantu dalam mendapatkan emulsi oleoresin yang baik dan mempermudah kelarutan dalam air.

3.3.3 Pemberian Perlakuan terhadap Hewan Percobaan Perlakuan diberikan selama 32 hari dengan interval 24 jam yang dilakukan pada pukul 12.00 WIB. Setelah 7 hari pemberian perlakuan, ayam distirahatkan selama 3 hari tanpa perlakuan. Perlakuan yang diberikan adalah : (1) diberikan pencekokan ekstrak temulawak secara oral dengan dosis 17,5 mg per kilogram berat badan dengan pelarut 70 % Etanol; (2) diberikan pencekokan ekstrak temulawak secara oral dengan dosis 35 mg per kilogram berat badan dengan pelarut 96 % Etanol; (3) diberikan pencekokan ekstrak temulawak secara oral dengan dosis 35 mg per kilogram berat badan dengan pelarut 70 % Etanol; (4) diberikan pencekokan ekstrak temulawak secara oral dengan dosis 35 mg per

24

kilogram berat badan dengan pelarut 96 % Etanol; (5) diberikan pencekokan ekstrak temulawak secara oral dengan dosis 52,5 mg per kilogram berat badan dengan pelarut 70 % Etanol; (6) diberikan pencekokan ekstrak temulawak secara oral dengan dosis 52,5 mg per kilogram berat badan dengan pelarut 96 % Etanol; (7) diberikan pencekokan meniran komersial secara oral dengan dosis 0.2 cc per kilogram berat badan sebagai kontrol positif; (8) diberikan pencekokan NaCl fisiologis secara oral dengan dosis 0.5 ml/kg BB sebagai kontrol negatif (posisi ayam dalam kandang dan data pencekokan terlampir).

3.3.4 Pemeriksaan Jumlah Total dan Diferensiasi Leukosit Sampel darah diambil dari setiap ekor ayam dari masing-masing kelompok perlakuan (Gambar 9). Jadwal pengambilan sampel darah adalah sebelum dan setelah pemberian ekstrak temulawak berakhir pada semua kelompok perlakuan.

Gambar 9. Pengambilan darah ayam dari vena brachialis. Jumlah leukosit dihitung menggunakan metode hemositometer. Darah ayam dihisap dari vena di daerah sayap (vena brachialis) dengan aspirator pada pipet leukosit. Kemudian dengan pipet yang sama dihisap larutan Ress dan Ecker, lalu dihomogenkan perlahan-lahan. Campuran tersebut kemudian dimasukkan ke dalam kamar hitung Neubaueur dan jumlah total leukosit dihitung menggunakan mikroskop dengan perbesaran 400x. Hasil yang diperoleh dinyatakan dalam 1000 sel/mm3. Untuk pemeriksaan diferensiasi leukosit, contoh darah diambil dari vena brachialis. Dibuat preparat ulas, dikeringkan, kemudian difiksasi dengan metanol

25

selama 5 menit dan diwarnai dengan Giemsa selama 30 menit. Penghitungan dilakukan dalam seratus sel leukosit menggunakan mikroskop dengan perbesaran 1000x, meliputi sel heterofil, basofil, eosinofil, limfosit dan monosit. Hasil yang diperoleh dinyatakan dalam persentase masing-masing jenis leukosit.

3.3.5 Analisis Data Data kuantitatif dianalisis menggunakan uji analisis sidik ragam (ANOVA), kemudian dilanjutkan dengan uji Duncan untuk mengetahui pengaruh masing-masing jumlah ekstrak temulawak dan pengaruh pelarut etanol terhadap perubahan yang diamati.

26

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penghitungan terhadap jumlah total dan diferensiasi leukosit pada ayam petelur strain ISA Brown setelah pemberian ekstrak etanol temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) selama 28 hari, sebagai berikut :

4.1 Jumlah Total Leukosit Leukosit merupakan unit sistem pertahanan tubuh yang mobile. Leukosit sebagian besar dibentuk di sumsum tulang dan sebagian lagi di jaringan limfoid. Setelah dibentuk, sel darah putih diangkut dalam darah menuju ke berbagai bagian tubuh yang membutuhkannya. Manfaat dari leukosit yang sebenarnya adalah untuk menyediakan pertahanan tubuh yang cepat dan kuat terhadap agen-agen infeksius (Guyton&Hall 2008). Nilai persentase rataan pertambahan jumlah total leukosit masing-masing perlakuan disajikan pada Gambar 10.

Gambar 10. Grafik rata-rata persentase pertambahan jumlah total leukosit (x1000 sel/mm3) pada ayam setelah pemberian ekstrak etanol temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) dosis bertingkat. Huruf superskrip yang sama menyatakan tidak berbeda nyata pada taraf p>0,05.

Gambar 10 memperlihatkan bahwa rataan pertambahan jumlah total leukosit tertinggi terdapat pada kelompok perlakuan P5 dengan pemberian ekstrak etanol temulawak dosis 35 mg/kg BB-96%, kemudian P2 dengan pemberian

27

ekstrak etanol temulawak dosis 35 mg/kg BB-70%. Nilai rataan pertambahan terkecil ditunjukkan oleh kelompok perlakuan K(-) kontrol negatif yang diberi NaCl fisiologis dengan dosis 0,5 cc/kg BB. Berdasarkan uji Anova terlihat bahwa pemberian ekstrak etanol temulawak berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap pertambahan leukosit ayam petelur (Gallus gallus) pada setiap kelompok perlakuan. Hasil pertambahan jumlah total leukosit tertinggi terdapat pada kelompok perlakuan P5 dengan pemberian ekstrak etanol (96%) temulawak 35 mg/kg BB. Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa pemberian ekstrak etanol temulawak pada kelompok perlakuan P5 menghasilkan pertambahan jumlah total leukosit yang relatif sama dengan ekstrak etanol temulawak P2, tidak berbeda nyata dengan P6 (p>0,05) dan berbeda nyata dengan K(-) (p<0,05).

4.2 Diferensiasi Leukosit 4.2.1 Heterofil (Neutrofil) Heterofil merupakan leukosit granulosit yang berperan dalam respon terhadap infeksi. Leukosit heterofil dikenal sebagai pertahanan pertama tubuh (first line defense). Menurut Tizard (2000), fungsi utama heterofil adalah menghancurkan bahan asing melalui proses fagositosis. Rataan pertambahan persentase heterofil masing-masing perlakuan disajikan pada Gambar 11.

28

Gambar 11. Grafik rata-rata pertambahan persentase heterofil pada ayam setelah pemberian ekstrak etanol temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) dosis bertingkat. Huruf superskrip yang sama menyatakan tidak berbeda nyata pada taraf p>0,05.

Gambar 11 memperlihatkan bahwa rataan pertambahan persentase heterofil yang memiliki nilai rataan tertinggi terdapat pada kelompok perlakuan P6 dengan pemberian ekstrak etanol (96%) temulawak 52,5% mg/kg BB. Menurut hasil uji Anova, kelompok perlakuan P6 tidak berbeda nyata dengan P3 (p>0,05) yang diberi ekstrak etanol (70%) temulawak dosis 52,5 mg/kg BB tetapi berbeda nyata dengan K(+) dan K (-) (p<0,05). 4.2.2 Monosit Sel-sel monosit yang masuk jaringan akan menjadi makrofag jaringan (Ganong 1996). Peran utama makrofag adalah melakukan fagositosis, menghancurkan partikel asing dan jaringan mati, serta mengolah bahan asing sedemikian rupa sehingga bahan asing itu dapat membangkitkan tanggap kebal. Makrofag yang aktif akan bermigrasi sebagai respon terhadap rangsangan kemotaktik. Tidak hanya pada produk mikroorganisme dan produk reaksi kebal tapi juga pada faktor yang dikeluarkan oleh sel-sel yang rusak, terutama heterofil yang rusak (Tizard 2000). Rataan pertambahan persentase monosit masing-masing perlakuan disajikan pada Gambar 12.

29

Gambar 12. Grafik rata-rata pertambahan persentase monosit pada ayam setelah pemberian ekstrak etanol temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) dosis bertingkat. Huruf superskrip yang sama menyatakan tidak berbeda nyata pada taraf p>0,05.

Gambar 12 memperlihatkan bahwa rataan pertambahan persentase monosit yang memiliki nilai tertinggi didapat oleh perlakuan P5 dengan pemberian ekstrak etanol (96%) temulawak 52,5 mg/kg BB. Menurut uji Duncan, kelompok perlakuan P5 tidak berbeda nyata dengan P4, P6, dan K(+) (P>0,05), tetapi berbeda nyata dengan K (-) (P<0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa pemberian ekstrak temulawak dapat meningkatkan jumlah monosit. Jika pertambahan monosit dari setiap perlakuan diurutkan dari pertambahan dengan jumlah terkecil sampai terbesar, maka urutannya adalah K(-), P1, P2, P3, K(+), P4, P6, dan P5.

4.2.3 Limfosit Limfosit merupakan sel utama dalam kekebalan karena fungsi utamanya adalah memproduksi antibodi atau sebagai sel efektor khusus dalam menanggapi antigen terikat makrofag. Tanggap kebal ini akan terjadi bila tersedia lingkungan untuk interaksi yang efisien antara limfosit, makrofag, dan antigen. Rataan pertumbuhan persentase limfosit masing-masing perlakuan disajikan pada Gambar 13.

30

Gambar 13. Grafik rata-rata pertambahan persentase limfosit pada ayam setelah pemberian ekstrak etanol temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) dosis bertingkat. Huruf superskrip yang sama menyatakan tidak berbeda nyata pada taraf p>0,05.

Hasil penghitungan limfosit dan pengujian dengan Anova menunjukkan bahwa perlakuan yang diberikan mempunyai pengaruh yang nyata (p<0,05) terhadap pertambahan persentase limfosit. Hal ini memberikan arti bahwa pemberian ekstrak etanol temulawak dapat meningkatkan persentase limfosit di dalam darah ayam petelur. Gambar 13 memperlihatkan bahwa pertambahan persentase limfosit tertinggi terdapat pada kelompok perlakuan P5 dengan pemberian ekstrak etanol temulawak 35 mg/kg BB-96%. Menurut uji Duncan, pertambahan persentase limfosit tertinggi terdapat pada kelompok perlakuan P5 dengan pemberian ekstrak etanol (96%) temulawak 35 mg/kg BB yang relatif sama dengan P6, dan tidak berbeda nyata

dengan P4 (p>0,05), tetapi berbeda

nyata dengan K(-) (p<0,05). Jika hasil pertambahan persentase limfosit setiap perlakuan diurutkan dari yang terkecil sampai yang terbesar, maka urutannya adalah K(-), P1, P3, K(+), P2, P4, P6, dan P5. Kelompok perlakuan P5 menggunakan ekstrak etanol temulawak 35 mg/kg BB-96% menunjukkan pertambahan persentase limfosit tertinggi. sedangkan K(-) yang diberi NaCl fisiologis dengan dosis 0,5 cc/kg BB menunjukkan pertambahan persentase limfosit terendah.

31

4.2.4 Eosinofil Eosinofil merupakan sel fagosit yang lemah, dan menunjukkan fenomena kemotaksis. Eosinofil diproduksi dalam jumlah besar pada pasien terinfeksi parasit. Eosinofil ini bermigrasi dalam jumlah besar menuju jaringan yang diserang oleh parasit. Eosinofil juga diduga mampu mendetoksifikasi beberapa zat pencetus peradangan yang disebabkan oleh sel mast dan basofil, dan juga memfagositosis dan menghancurkan kompleks alergen-antibodi, sehingga mencegah penyebaran proses peradangan setempat (Ganong&Hall 2008). Rataan pertambahan persentase eosinofil masing-masing perlakuan disajikan pada Gambar 14.

Gambar 14. Grafik rata-rata pertambahan persentase eosinofil pada ayam setelah pemberian ekstrak etanol temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) dosis bertingkat. Huruf superskrip yang sama menyatakan tidak berbeda nyata pada taraf p>0,05.

Gambar 14 memperlihatkan bahwa rataan pertambahan persentase eosinofil yang memiliki nilai tertinggi didapat oleh kelompok perlakuan P6 dengan pemberian ekstrak etanol (96%) temulawak 52,5 mg/kg BB. Menurut uji Duncan, kelompok perlakuan P6 tidak berbeda nyata dengan P3 (p>0,05), tetapi berbeda nyata dengan K(-) (p<0,05). Jika hasil pertambahan persentase eosinofil diurutkan dari yang terkecil hingga terbesar, maka urutannya adalah kelompok perlakuan K(-), P1, K(+), P2, P5, P4, P3 dan P6.

Perlakuan P3 dan P6

32

menggunakan dosis yang sama yaitu 52,5 mg/kg BB, namun demikian pelarut yang digunakan berbeda. Pelarut 96% menunjukkan pertambahan persentase eosinofil yang lebih tinggi dibandingkan dengan pelarut 70%.

4.2.5 Basofil Basofil melepaskan heparin ke dalam darah, yaitu suatu bahan yang dapat mencegah pembekuan darah. Basofil juga melepaskan histamin, dan sejumlah kecil bradikinin serta serotonin. Basofil sangat berperan pada beberapa tipe reaksi alergi, karena tipe antibodi yang menyebabkan reaksi alergi, yaitu tipe immunoglobulin E (IgE), mempunyai kecenderungan khusus untuk melekat pada sel mast dan basofil (Guyton&Hall 2008). Rataan persentase pertambahan persentase basofil masing-masing perlakuan disajikan pada Gambar 15.

Gambar 15. Grafik rata-rata pertambahan persentase basofil pada ayam setelah pemberian ekstrak etanol temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) dosis bertingkat. Huruf superskrip yang sama menyatakan tidak berbeda nyata pada taraf p>0,05.

Gambar 15 menunjukkan hasil pertambahan persentase basofil tertinggi terdapat pada kelompok perlakuan P6 dengan pemberian ekstrak etanol (96%) temulawak 52,5 mg/kg BB. Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa pemberian ekstrak etanol temulawak pada kelompok perlakuan P6 berbeda nyata dengan K (-) (P<0,05). Kelompok perlakuan K(+) tidak berbeda nyata dengan kelompok P5,

33

P3, dan P1 (p>0,05). Semua kelompok perlakuan pemberian ekstrak etanol temulawak berbeda nyata dengan K(-) (p<0,05). Menurut Jain (1986), basofil jarang ditemukan pada darah ayam. Tidak munculnya basofil merupakan sesuatu yang normal, mengingat sel basofil memiliki daya fagositik sangat rendah dan secara normal jumlah sel ini sangat sedikit dalam sirkulasi darah (Swenson et al. 1993). Basofil biasanya akan muncul dengan melepaskan mediator untuk aktifitas perbarahan dan alergi. Juga ikut dalam metabolisme trigliserida dan memiliki reseptor untuk IgE dan IgG yang menyebabkan degranulasi melalui eksositosis. Peningkatan jumlah basofil merupakan indikasi adanya peradangan akut yang menyebabkan reaksi hipersensitivitas dan kerusakan jaringan. Gambar 16 berikut adalah grafik yang membandingkan pengaruh pemberian ekstrak etanol temulawak dengan dosis berbeda selama 28 hari terhadap persentase heterofil, monosit, limfosit, eosinofil, dan basofil.

Gambar 16. Grafik rata-rata persentase masing-masing jenis leukosit pada ayam setelah pemberian ekstrak etanol temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) dosis bertingkat.

Gambar 16 memperlihatkan bahwa jika ekstrak temulawak dilarutkan menggunakan pelarut etanol 96% menghasilkan pertambahan jumlah total dan persentase semua jenis leukosit tertinggi dibandingkan dengan kelompok perlakuan lainnya. Etanol 96% bersifat non-polar sehingga zat berkhasiat yang

34

banyak diserap adalah minyak atsiri (Purseglove et.al. 1981). Minyak atsiri kunyit putih (Kaempferia rofuncia) diketahui dapat meningkatkan limfosit dan antibodi spesifik, serta mengendalikan pertumbuhan sel tumor (Mardiana 2007). Sedangkan ekstrak temulawak menggunakan pelarut etanol 70% bersifat polar dan zat berkhasiat yang dapat diserap yaitu kurkumin dan polisakarida (Anonim 2006). Menurut Sidik et al. (1995), kurkumin dapat meningkatkan sintesis antibodi IgG dan dapat meningkatkan sel NK (Natural Killer cells). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pertambahan jumlah total leukosit tertinggi terdapat pada kelompok perlakuan P5 dengan pemberian ekstrak etanol temulawak dosis 35 mg/kg BB dengan pelarut etanol 96%. Hasil ini menunjukkan bahwa pemberian ekstrak temulawak mampu meningkatkan jumlah total leukosit dalam sirkulasi darah. Penelitian yang dilakukan oleh Dewi (2009), melaporkan bahwa ekstrak etanol (70% dan 96%) temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) dapat meningkatkan proliferasi sel limfosit secara in vitro. Komponen bioaktif yang terdapat dalam obat herbal seperti temulawak dapat mengaktifkan G-protein yang kemudian memproduksi fosfolipase C. Enzim ini menghidrolisis fosfatidil inositol bifosfat (PIP 2) menjadi produk reaktif diasilgliserol (DAG) dan inositol trifosfat (IP3). Reaksi tersebut berlangsung dalam membran plasma. IP3 kemudian menstimulasi pelepasan Ca 2+ ke dalam sitoplasma sehingga konsentrasi Ca 2+ meningkat. Peningkatan Ca2+ berperan penting dalam stimulasi kerja enzim protein kinase C. Protein kinase C memproduksi interleukin 2 (IL-2), IL-2 ini kemudian menjadi arakhidonat yang melalui jalur 5-lipoxygenase meningkatkan pembentukan cGMP. Peningkatan cGMP berakibat pada peningkatan aktivitas cGMP dependent protein kinase yang berfungsi dalam aktivasi DNA dependent, RNA polymerase, dan dalam awal sintesis ribosomal (rRNA) dan RNA lainnya. Sintesa RNA dan protein yang aktif dapat menyebabkan sel-sel leukosit (heterofil, neutrofil, eosinofil, monosit, dan limfosit) memasuki fase pembelahan (Kumala 2006). Menurut Campbell (2002), fase pembelahan terdiri dari 2 fase, yaitu fase mitotik (M) dan interfase. Fase mitotik (M) mencakup mitosis dan sitokinesis yang merupakan bagian tersingkat dari siklus sel. Pembelahan sel mitotik yang berurutan bergantian dengan interfase yang jauh lebih lama, yang sering kali

35

meliputi 90% dari siklus sel. Selama interfase inilah sel tumbuh dan menyalin kromosom dalam persiapan untuk pembelahan sel. Interfase dapat dibagi menjadi subfase: fase G1 (“gap pertama”), fase S, dan fase G2 (“gap kedua”). Selama ketiga subfase ini, sel tumbuh dengan menghasilkan protein dan organel dalam sitoplasma. Kromosom diduplikasi hanya selama fase S (sintesis DNA). Dengan demikian, suatu sel tumbuh (G1), terus tumbuh begitu sel tersebut sudah menyalin kromosomnya (S), dan tumbuh lagi sampai sel tersebut menyelesaikan persiapannya untuk pembelahan sel (G2), dan membelah (M) (Campbell 2002). Seperti halnya hampir semua peristiwa penting lain dalam sel, reproduksi berawal dalam nukleus itu sendiri. Tahap pertama adalah replikasi (duplikasi) semua DNA di didalam kromosom. Hanya setelah tahap ini dilalui, maka mitosis dapat berlangsung (Guyton&Hall 2008). Menurut Kumala (2006), zat aktif dari temulawak dapat meningkatkan cGMP dimana cGMP dapat mengaktivasi RNA Polymerase. Enzim utama untuk replikasi DNA adalah sebuah kompleks dari berbagai enzim yang disebut DNA Polymerase yang sebanding dengan RNA Polymerase (Guyton&Hall 2008).

36

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan Simpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah : 1. Ekstrak etanol temulawak dapat meningkatkan jumlah total leukosit dan persentase semua jenis leukosit darah ayam, 2. Pemberian ekstrak etanol temulawak 96% memberikan efek pertambahan jumlah total leukosit dan persentase semua jenis leukosit yang lebih tinggi dibandingkan dengan ekstrak etanol 70%, 3. Selisih pertambahan tertinggi jumlah total dan diferensiasi leukosit (heterofil, monosit, limfosit, eosinofil, dan basofil) ditunjukkan oleh ekstrak etanol temulawak menggunakan pelarut 96% dengan dosis 35 mg/kg BB dan 52,5 mg/kg BB. 5.2 Saran 1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui zat bioaktif utama dari temulawak yang dapat meningkatkan jumlah total dan diferensiasi leukosit, 2. Perlu dilakukan uji toksisitas akibat pemberian ekstrak etanol temulawak.

37

VI. DAFTAR PUSTAKA

[Anonim]. 2005. Leukosit. http://www.usm.edu/mbrg/jen WBC. html [30 Januari 2009]. . 2006. Echinacea Tingkatkan Kekebalan Tubuh. http://www.pikiran-

rakyat.co.id/cetak/2006/012006/26/cakrawala/lainnya.htm.[18 2009] .

Agustus

. 2008a. http://www.google.com/ayam petelur. [Oktober 2008]. . 2008b. http://www.google.com/klasifikasi temulawak. [Oktober 2008]. . 2008c. http://www.google.com/leukosit. [Oktober 2008].

Anggorowati B. 2002. Diferensial Leukosit Ayam Setelah Pemberian Berbagai Dosis Infeksi Eimeria tenella [skripsi]. Bogor : Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Bombardeli E. 1991. Technologies for The Processing of Medical Plants. CRC Press. Florida. Caceci T. 1998. Formed Element of Blood. The Cancer Journal. 11 (3) 17431826. http://www.cvm.tamu.edu/vaph 911/labtoc.htm. [20 November 2008]. Campbell NA, Reece JB, Mitchell LG. 2002. Biologi Jilid 1. Ed. Ke-5. Jakarta: Erlangga. Dalimarta S. 2000. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia Jilid 2. Jakarta: Trubus Agriwidya. Darwis SN. 1992. Tanaman Obat Famili Zingiberaceae. Seri Pengembangan no. 17. Jakarta. Dewi LK. 2009. Aktivitas Ekstrak Etanol Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) pada Proliferasi Sel Limfosit secara In Vitro [Skripsi]. Bogor: Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Ganong WF. 1996. Fisiologi Kedokteran. Edisi 17. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. Guyton AC. 1996. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 7. Bagian I. Ken Ariata Tengadi, penerjemah. 1986. Jakarta : EGC. Terjemahan dari : Textbook of Medical Physiology. Pp 65.

38

Guyton AC, Hall JE. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Irawati et al, penerjemah. 2006. Jakarta : EGC. Terjemahan dari : Textbook of Medical Physiology. Pp 65. Harborne JB. 1996. Metode Fitokimia. Ed. Ke 2. Terjemahan Kosasih Padmawinata. Bandung: ITB. Hargono D. 1985. Prospek Pemanfaatan Temulawak. Di dalam Proseding Simposium Nasional Temulawak. Lembaga Penelitian Universitas Padjajaran. Bandung. Herman. 1985. Perkembangan Tanaman Temulawak. Balai Penelitian Rempah dan Obat. Bogor. Jain NC. 1986. Schalm’s Veteriner Hematology. 4th Ed. Philadelphia : Lea & Febiger. Kassahara S, Hemmi S. 1986. Medical Herb Index in Indonesia. Ed. Ke-2. Jakarta: PT. Esai. Ketaren S. 1988. Penentuan Komponen Utama Minyak Atsiri Temulawak (Curcuma xanthorrhiza .Roxb.). Tesis. Institut Teknologi Bandung. Bandung. Kumala S. 2006. Pengaruh Ekstrak Buah Merah (Panamus conoideus) terhadap Pertumbuhan in vitro Limfosit dan Sel Tumor. Email:[email protected]. [18 Agustus 2009]. Liang OB, Widjaja Y, Puspa S. 1985. Beberapa Aspek Isolasi, Identifikasi dan Penggunaan Komponen-Komponen Curcuma Xanthorrhiza .Roxb. dan Curcuma domestica Val. Prosiding Simposium Nasional Temulawak. Lembaga Penelitian Universitas Padjajaran. Bandung. List PH, Schmidt PT. 1989. Phytopharmaceutical Technology. Heyden dan Son Limited. London. Mardiana L. 2007. Kanker pada Wanita : Pencegahan dan Pengobatan dengan Tanaman Obat. Jakarta: Penebar Swadaya. Melvin JS, William OR.1993. Duke’s Physiology of Domestic Animal. Ed ke-11. London : Cornel University Press. Prihatman K. 2000. Budidaya Ayam Petelur (Gallus sp.). Jakarta: Menteri Negara Riset dan Teknologi. Purseglove JW, Brown EG, Green CL, Robins SR. 1981. Spices. Vol 2. London: Longman.

39

Ramlan A. 1985. Etnobotanimarga Curcuma. Lembaga Penelitian Unuversitas Padjajaran. Bandung. Rasyaf M. 2003. Beternak Ayam Pedaging. Jakarta: Penebar Swadaya. Ria EB. 1989. Pengaruh Jumlah Pelarut, Lama Ekstraksi, dan Ukuran Bahan terhadap Rendemen dan Mutu Oleoresin Temulawak. Skripsi. FATETA IPB. Bogor. Rismunandar. 1988. Rempah-rempah Komoditi Ekspor Indonesia. Sinar Baru. Bandung. Rukmana R. 1995. Temulawak: Tanaman Rempah dan Obat. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Sadikin M. 2002. Biokimia Darah. Jakarta: Widya Medika Sastroamidjojo AS. 1967. Obat Asli Indonesia. PT. Pustaka Rakyat. Jakarta. Sidik. 1992. Temulawak (Curcuma xanthorrhiza .Roxb..). Di dalam: Sirait M Moesdarsono, editor. Pengembangan dan Pemanfaatan Obat Bahan Alam. Yayasan Pengembangan Obat Bahan Alam Phytomedica. Sidik, Mulyono WM, Mutadi A. 1995. Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb). Jakarta: Phyto Medika. Sinambela JM. 1985. Fitoterapi. Fitostandar, dan Temulawak. Di dalam: Proseding Simposium Nasional Temulawak. Lembaga Penelitian Universitas Padjajaran. Bandung. Smith JB, S Mangkoewidjojo. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan Hewan Percobaan Di Daerah Tropis. Jakarta : Universitas Indonesia Press. Solichedi K. 2003. Pemanfaatan kunyit (Curcuma domestica VAL) dalam ransum broiler sebagai upaya penurunan lemak abdimal dan kadar kolesterol darah. Jurnal Pengembangan Peternakan Tropis. 28 : 172-177. Sturkie PD. 1976. Avian Physiology. 3th ed. Spinger Verlag, New York. PP 5473.4 Sukarno AB. 2000. Diferensial Leukosit Pada Ayam Yang Diinfeksi Eimeria tenella Setelah Pemberian Berbagai Dosis Rebusan Batang Brotowali (trinospora cprspa (L) Mires [skripsi]. Bogor : FKH-IPB. Sumarhadi. 1980. Empon-empon. Di dalam: Sekretariat Bina Desa-Yayasan Tenaga Kerja Indonesia, Seminar Tanaman Obat. Hotel Dana Surakarta, 8-12 April, 1980.

40

Suwiah. 1991. Komposisi Rimpang Temulawak. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Bogor. Swayne DE. 2000. Avian Influenza : the virus and the disease. World Poultry. Hlm. 4-6. Swenson MJ. 1993. Duke’s Physiology of Domestic Animal, 9 ed. London : Cornell University Press. Syamsiah IS dan Tajudin. 2003. Khasiat dan Manfaat Bawang Putih “Raja Antibiotik Alami”. Jakarta : Agro Media Pustaka. Tabbu R. 2000. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya Penyakit Bakterial, Mikal dan Viral. Volume 1. Kanisisus. Jakarta. Tizard IR. 2000. Veterinary Immunology an Introduction 3th edition. USA. Saundres. Wahid PS. 1985. Pembudidayaan Tanaman Temulawak. Di dalam: Proseding Simposium Nasional Temulawak. Lembaga Penelitian Universitas Padjajaran. Bandung.

41

LAMPIRAN Tabel 1. Rataan persentase pertambahan jumlah total leukosit (x1000 sel/mm3) setelah pemberian ekstrak etanol temulawak dengan dosis berbeda selama 28 hari. Perlakuan Leukosit (%) P1

0,676±0,12c

P2

1,08±0,13a

P3

0,81±0,19bc

P4

0,62±0,16c

P5

1,22±0,21a

P6

1,04±0,12ab

K(+)

0,63±0,1c

K(-)

0,05±0,02d

Keterangan : Huruf superskrip yang sama menyatakan tidak berbeda nyata pada taraf p>0,05.

Tabel 2. Rataan pertambahan persentase heterofil setelah pemberian ekstrak etanol temulawak dengan dosis berbeda selama 28 hari Perlakuan

Heterofil (%)

P1

2,5±0,56bc

P2

2±0,27cd

P3

3±0,44ab

P4

1,9±0,35cd

P5

2,3±0,36bc

P6

3,6±0,72a

K (+)

1,3±0,46de

K (-)

0,6±0,17e

Keterangan : Huruf superskrip yang sama menyatakan tidak berbeda nyata pada taraf p>0,05.

42

Tabel 3. Rataan pertambahan persentase monosit setelah pemberian ekstrak etanol temulawak dengan dosis berbeda selama 28 hari Perlakuan

Monosit (%)

P1

1,7±0,26c

P2

2,3±0,3bc

P3

2,4±0,3bc

P4

2,7±0,36ab

P5

3,2±0,7a

P6

3±0,3ab

K (+)

2,5±0,56ab

K (-)

0,7±0,26d

Keterangan : Huruf superskrip yang sama menyatakan tidak berbeda nyata pada taraf p>0,05.

Tabel 4. Rataan pertambahan persentase limfosit setelah pemberian ekstrak etanol temulawak dengan dosis berbeda selama 28 hari Perlakuan

Limfosit (%)

P1

5,4±0,36c

P2

7,2±0,79bc

P3

6,2±2,72bc

P4

8,2±1,13ab

P5

10,1±1,23a

P6

9,7±0,98a

K (+)

6,5±0,76bc

K (-)

2,1±0,17d

Keterangan : Huruf superskrip yang sama menyatakan tidak berbeda nyata pada taraf p>0,05.

43

Tabel 5. Rataan pertambahan persentase eosinofil setelah pemberian ekstrak etanol temulawak dengan dosis berbeda selama 28 hari Perlakuan

Eosinofil (%)

P1

0,5±0,2de

P2

0,74±0,18cd

P3

1,2±0,27ab

P4

1,1±0,3bc

P5

0,94±0,12bc

P6

1,52±0,30a

K (+)

0,71±0,15cd

K (-)

0,27±0,08e

Keterangan : Huruf superskrip yang sama menyatakan tidak berbeda nyata pada taraf p>0,05.

Tabel 6. Rataan pertambahan persentase basofil setelah pemberian ekstrak etanol temulawak dengan dosis berbeda selama 28 hari Perlakuan

Basofil (%)

P1

0,6±0,17bcd

P2

0,5±0,26cd

P3

0,7±0,1bcd

P4

0,4±0,17d

P5

0,9±0,36bc

P6

1,7±0,27a

K (+)

1±0,27b

K (-)

0,3±0,1d

Keterangan : Huruf superskrip yang sama menyatakan tidak berbeda nyata pada taraf p>0,05.