PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL

Download ekstrak etanol (70% dan 96%) temulawak pada berbagai dosis terhadap sistem kekebalan nonspesifik ayam melalui aktivitas ... kemauan untuk b...

0 downloads 674 Views 1MB Size
PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) PADA AKTIVITAS DAN KAPASITAS FAGOSITOSIS MAKROFAG PERITONEAL AYAM PETELUR (Gallus sp.)

AHMAD NUR AFIFUDIN

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) pada Aktifitas dan Kapasitas Makrofag Peritonial Ayam Petelur (Gallus sp.) adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi.

Bogor, Agustus 2009

Ahmad Nur Afifudin B04052849

ABSTRACT AHMAD NUR AFIFUDIN. The Effect of Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) Ethanol Extract on Phagocytosis Activity and Capacity of Peritoneal Macrophages in Laying Hens (Gallus sp.). Under the direction of BAMBANG PONTJO PRIOSOERYANTO and OKTI NADIA POETRI.

The activity of temulawak (Curcuma xanthorrhiza. Roxb) ethanol (70% and 96%) extract on phagocytic activity and capacity of laying hens peritoneal macrophages in order to elaborate the immunomodulatory effect was conducted. Twenty four head of laying hens were divided into eight treatments groups, there were negative control, positive control (Phyllanthus niruri extract), three groups were treated with temulawak ethanol (70%) extract with the doses of 17.5; 35 and 52.5 mg/kg BW, and the other three groups were treated with temulawak ethanol (96%) extract with the doses of 17.5; 35 and 52.5 mg/kg BW for 4 weeks. The birds were then challenge with a non (-A) Staphylococcus aureus intraperitoneally to observed the phagocytic activity and capacity of each treated groups. Result showed that there was increasing in phagocytic activity and capacity all temulawak treated groups. The highest activity was detected on the temulawak ethanol (96%) extract with the dose of 52.5 mg/kg BW. Based on all finding mentioned above we suggest that temulawak ethanol extract has an immunostimulator activity and could be use for increasing the health status of laying hens. Keywords: chicken, extract,ethanol, phagocytosis, Curcuma xanthorrhiza

ABSTRAK AHMAD NUR AFIFUDIN. Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) pada Aktivitas dan Kapasitas Fagositosis Makrofag Peritoneal Ayam Petelur (Gallus sp.). Dibimbing oleh BAMBANG PONTJO PRIOSOERYANTO dan OKTI NADIA POETRI.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian 2 jenis ekstrak etanol (70% dan 96%) temulawak pada berbagai dosis terhadap sistem kekebalan nonspesifik ayam melalui aktivitas dan kapasitas fagositosis makrofag peritoneal. Dua puluh empat ayam petelur dibagi menjadi 8 kelompok perlakuan, yaitu kontrol negatif, kontrol positif (Phyllanthus niruri ekstrak), 3 kelompok diberi ekstrak etanol (70%) temulawak dengan dosis 17,5; 35 dan 52,5 mg/kg BB dan 3 kelompok lagi diberi ekstrak etanol (96%) temulawak dengan dosis 17,5, 35 dan 52,5 mg/kg BB selama 4 minggu. Ayam kemudian ditantang dengan Staphylococcus aureus nonprotein A secara intraperitoneal untuk mengetahui masing-masing aktivitas dan kapasitas fagositosis dari masing-masing perlakuan. Hasil pengamatan menunjukkan terjadi peningkatan aktivitas dan kapasitas fagositosis pada semua kelompok perlakuan ekstrak etanol temulawak. Kenaikan aktivitas dan kapasitas fagositosis tertinggi terjadi pada ekstrak temulawak dalam pelarut etanol 96% pada dosis 52,5 mg/kg BB. Berdasarkan semua hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa ekstrak temulawak memiliki aktivitas imunostimulator dan dapat digunakan sebagai bahan untuk meningkatkan status kesehatan ayam atau unggas pada umumnya.

Kata kunci: ayam, ekstrak, etanol, fagositosis, temulawak

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penyusunan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) PADA AKTIVITAS DAN KAPASITAS FAGOSITOSIS MAKROFAG PERITONEAL AYAM PETELUR (Gallus sp.)

AHMAD NUR AFIFUDIN

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

Judul Skripsi

: Pengaruh

Pemberian

Ekstrak

Etanol

Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) pada Aktivitas dan Kapasitas Fagositosis Makrofag Peritoneal Ayam Petelur (Gallus sp.) Nama

: Ahmad Nur Afifudin

NIM

: B04052849

Disetujui

Pembimbing I

Pembimbing II

drh. Bambang P.Priosoeryanto, M.S, Ph.D

drh. Okti Nadia Poetri, M.Si

NIP : 19600228 198601 1 001

NIP : 19801027 200501 2 003

Diketahui Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor

Dr. Nastiti Kusumorini NIP: 19621205 198703 2 001

Tanggal lulus :

PRAKATA Alhamdulillahirobilalamin. Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat, taufik dan hidayah-Nya serta kemudahan dan pertolonganNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul “ Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) pada Aktivitas dan Kapasitas Fagositosis Makrofag Peritoneal Ayam Petelur (Gallus sp.)“. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Dalam pelaksanaan penelitian dan penyusunan banyak sekali hambatan dan rintangan yang dihadapi penulis, namun karena pertolongan dan kemudahan Allah SWT akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan. Bantuan dan dukungan dari berbagai pihak juga sangat membantu selesainya skripsi ini. Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. 1. drh. Bambang Pontjo Priosoeryanto, M.S, Ph.D sebagai dosen pembimbing I yang telah meluangkan waktu untuk memberikan perhatian, bimbingan, arahan, telaah dan koreksi yang sangat berguna bagi penulis selama penelitian dan penyusunan skripsi. 2. drh. Okti Nadia Poetri, M.Si sebagai dosen pembimbing II yang telah meluangkan waktu untuk memberikan perhatian, bimbingan, arahan, telaah dan koreksi yang sangat berguna bagi penulis selama penelitian dan penyusunan skripsi. 3. drh. Bambang Pontjo Priosoeryanto, M.S, Ph.D selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan saran, arahan dan bimbingan dalam kegiatan akademik penulis. 4. Dr. drh. Hera Maheshwari, M.Sc selaku dosen penilai yang telah memberikan saran dan arahannya. 5. Seluruh staf pengajar dan pegawai Laboratorium Patologi FKH-IPB yang telah memberikan bantuannya. 6. Keluargaku tercinta orang tuaku dan kakakku, atas segala kasih sayang, dukungan, perhatian, bantuan dan ketulusannya.

7. Sahabatku Dimas TN, atas segala bantuan, semangat dan perhatiannya. 8. Rita Oktariani, atas perhatian dan kasih sayang kepada penulis. 9. Teman terbaikku, Mas Andri dan Zeni FR kepada penulis. 10. Teman-teman baikku Nova A, Tiara Putri, Mariani, Thufiel Y dan masih banyak lagi yang tidak bisa disebutkan satu per satu, atas segala kesabaran, kebersamaan, bantuan dan kemauan untuk berbagi dengan penulis. 11. Teman-teman di Forum Kajian Islam Ilmiah Mahasiswa Majelis Ta’lim Al Furqon. 12. Teman-teman di Pondok Sahabat, (Rizal F, Alfa MW, Yusep M, Hernawan, Doli R, Janji, Eldi) atas bantuan, kebersamaan dan perhatiannya. 13. Mba Renny Safety Anggie S.KH, atas bantuannya dalam penulisan makalah dan skripsi. 14. Mas Muhammad Daud, S.Hut, atas kuliah statistik dan bantuannya untuk pengolahan data penelitian. 15. Temanku Nurandi Setiabudi di statistika 42 atas bantuannya mengolah data penelitian. 16. Semua teman FKH angkatan 42 dan teman satu tim penelitian (Maryam, Ester, Keszia, Herlince, Dimas Nugroho, Reni, Listia, Dine, Ajeng) yang telah mendukung. 17. Mas Wawan Tri Mulya dkk, atas perhatian dan bantuannya kepada penulis selama ini. 18. Semua pihak, semoga Allah membalas dengan ridho dan SurgaNya. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini, namun penulis juga berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis pribadi dan pihak lain yang membutuhkan. Bogor, Agustus 2009

Ahmad Nur Afifudin

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Pekalongan pada tanggal 3 Agustus 1987, anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan bapak Suwarno Susilo dan ibu Kautun. Penulis menyelesaikan pendidikan taman kanak-kanak di TK Budi Harapan II Jakarta Selatan pada tahun 1993, pendidikan dasar di SDN 17 Pagi Jakarta Selatan pada tahun 1999, sekolah lanjutan tingkat pertama di SLTP Negeri 153 Jakarta Selatan yang diselesaikan hingga tahun 2002 dan sekolah menengah atas di SMA Negeri 90 Jakarta Selatan yang diselesaikan tahun 2005. Penulis diterima menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 2005 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama menjadi mahasiswa penulis pernah menjadi pengurus Kerohanian Islam B19 dan B20 pada tahun 2005 hingga 2006. Semasa kuliah penulis juga terdaftar sebagai pengurus himpunan profesi (Himpro) Satwa Liar (SATLI) pada tahun 2006 hingga 2007 dan anggota himpunan profesi (Himpro) Hewan Kesayangan dan Satwa Akuatik pada tahun 2006 hingga 2007, anggota Neunzig Community (NECO) pada tahun 2005 hingga 2006, ketua divisi internal DPM KM FKH pada tahun 2006 hingga 2007 serta pengurus BEM FKH pada tahun 2007 hingga 2008. Tahun 2008 hingga sekarang penulis aktif sebagai anggota di Forum Kajian Islam Ilmiah Mahasiswa Majelis Ta’lim Al Furqon.

DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ...................................................................................................

x

DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xii DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xiii PENDAHULUAN ...........................................................................................

1

Latar Belakang ........................................................................................ Tujuan ..................................................................................................... Manfaat Penelitian ..................................................................................

1 3 3

TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................

4

Temulawak ............................................................................................. Klasifikasi ........................................................................................ Deskripsi .......................................................................................... Komposisi ........................................................................................ Manfaat ............................................................................................ Meniran (Phyllanthus niruri).................................................................. Klasifikasi dan Morfologi................................................................ Sifat dan Khasiat .............................................................................. Komposisi ........................................................................................ Ayam Petelur .......................................................................................... Klasifikasi ........................................................................................ Produktivitas .................................................................................... Staphylococcus aureus............................................................................ Klasifikasi ....................................................................................... Patogenitas ....................................................................................... Mekanisme Tanggap Kebal Inang .......................................................... Definisi ............................................................................................ Sel Leukosit Sebagai Sistem Kekebalan ......................................... Sistem Kekebalan Pada Unggas ...................................................... Imunomodulator .....................................................................................

4 4 4 6 6 7 7 8 8 9 9 10 11 12 12 15 15 15 17 19

BAHAN DAN METODE ................................................................................ 20 Waktu dan Tempat Penelitian................................................................. Bahan dan Alat ....................................................................................... Bahan ............................................................................................... Alat .................................................................................................. Hewan Penelitian ............................................................................. Isolat Bakteri ................................................................................... Metode Penelitian ................................................................................... Persiapan kandang ........................................................................... Pembuatan Ekstrak Etanol Temulawak ...........................................

20 20 20 20 20 21 21 21 21

x

Preparasi Suspensi Bakteri Staphylococcus aureus (SA) non A ............................................................................................... Pemberian Vaksin AI ...................................................................... Pemberian Perlakuan Terhadap Hewan Percobaan ......................... Pemeriksaan Aktivitas dan Kapasitas Fagositosis ........................... Variabel Pengamatam ............................................................................. Aktivitas Fagositosis ....................................................................... Kapasitas Fagositosis ....................................................................... Rancangan Percobaan .............................................................................

22 22 22 23 23 23 23 24

HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................ 25 Aktivitas Fagositosis............................................................................... 25 Kapasitas Fagositosis .............................................................................. 31 Mekanisme Temulawak pada Fagositosis .............................................. 34 SIMPULAN DAN SARAN ............................................................................. 39 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 40 LAMPIRAN .................................................................................................... 45

xi

DAFTAR GAMBAR Halaman 1. 2. 3. 4.

Tanaman Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.)..................... Bakteri Staphylococcus aureus ......................................................... Struktur antigenik pada Staphylococcus sp ...................................... Aktivitas fagositasis makrofag peritonial ayam petelur rata-rata pada ayam petelur yang diberikan dosis ekstrak etanol temulawak secara bertahap selama 4 minggu ..................................................... 5. Kurva respon hubungan dosis ekstrak temulawak dalam pelarut etanol 70% terhadap aktivitas fagositosis makrofag. ....................... 6. Kurva respon hubungan dosis ekstrak temulawak dalam pelarut etanol 96% terhadap aktivitas fagositosis makrofag. ....................... 7. Kapasitas fagositasis makrofag peritonial ayam petelur rata-rata pada ayam petelur yang diberikan dosis ekstrak etanol temulawak secara bertahap selama 4 minggu ..................................................... 8. Kurva respon hubungan dosis ekstrak temulawak dalam pelarut etanol 70% terhadap kapasitas fagositosis makrofag. ...................... 9. Kurva respon hubungan dosis ekstrak temulawak dalam pelarut etanol 96% terhadap kapasitas fagositosis makrofag. ...................... 10. Proses fagositosis. ............................................................................. 11. Preparat cairan intraperitoneal ayam petelur setelah pemberian ekstrak etanol (96%) temulawak 52,5 mg/kg BB. ............................

5 14 14

25 30 30

31 35 35 38 38

xii

DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Hasil analisis ragam aktivitas fagositosis makrofag peritonial ayam petelur setelah pemberian ekstrak etanol temulawak .............. 2. Hasil uji Duncan perbedaan terhadap aktivitas fagositosis makrofag peritonial ayam petelur pada masing-masing perlakuan dosis ................................................................................. 3. Hasil analisis ragam jumlah ekstrak, konsentrasi pelarut etanol serta interaksinya terhadap aktivitas fagositosis makrofag peritonial ayam petelur setelah pemberian ekstrak etanol temulawak ......................................................................................... 4. Hasil uji Duncan perbedaan terhadap aktivitas fagositosis makrofag peritonial ayam petelur pada masing-masing konsentrasi pelarut etanol ................................................................. 5. Hasil uji Duncan perbedaan terhadap aktivitas fagositosis makrofag peritonial ayam petelur pada masing-masing jumlah ekstrak temulawak. ........................................................................... 6. Hasil analisis ragam kapasitas fagositosis makrofag peritonial ayam petelur setelah pemberian ekstrak etanol temulawak. ............. 7. Hasil uji Duncan perbedaan terhadap kapasitas fagositosis makrofag fagositik ayam petelur pada masing-masing perlakuan dosis. ................................................................................ 8. Hasil analisis ragam jumlah ekstrak, konsentrasi pelarut etanol serta interaksinya terhadap kapasitas fagositosis makrofag peritonial ayam petelur setelah pemberian ekstrak etanol temulawak ......................................................................................... 9. Hasil uji Duncan perbedaan terhadap kapasitas fagositosis peritonial makrofag ayam petelur pada masing-masing konsentrasi pelarut etanol.. ............................................................... 10. Hasil uji Duncan perbedaan terhadap kapasitas fagositosis peritonial makrofag ayam petelur pada masing-masing jumlah ekstrak temulawak.. .......................................................................... 11. Data mentah aktivitas fagositosis. .................................................... 12. Data mentah kapasitas fagositosis .................................................... 13. Gambar skema proses pembuatan ekstrak etanol temulawak........... 14. Perhitungan persamaan uji ortogonal polinomial pada aktivitas fagositosis ekstrak etanol (70%) temulawak ...................... 15. Perhitungan persamaan uji ortogonal polinomial pada aktivitas fagositosis ekstrak etanol (96%) temulawak ...................... 16. Perhitungan persamaan uji ortogonal polinomial pada kapasitas fagositosis ekstrak etanol (70%) temulawak ..................... 17. Perhitungan persamaan uji orthogonal polinomial pada kapasitas fagositosis ekstrak etanol (96%) temulawak ..................... 18. Data pencekokan ekstrak temulawak pada ayam petelur .................

45

46

47

48

49 50

51

52

53

54 55 56 57 58 59 60 61 62

xiii

PENDAHULUAN Latar Belakang Daging dan telur merupakan salah satu bahan makanan konsumsi sebagai sumber protein hewani dan bahan utama yang berfungsi dalam proses pertumbuhan dan perkembangan tubuh. Tingkat konsumsi daging dan telur untuk penduduk Indonesia relatif tinggi, maka diperlukan usaha pemenuhan daging dan telur dengan meningkatkan budidaya perternakan. Peternakan unggas adalah suatu usaha membudidayakan ternak unggas yang bertujuan untuk

menghasilkan keuntungan. Untuk tujuan tersebut, maka

diperlukan pemeliharaan peternakan yang baik dan penggunaan biaya pemeliharaan yang efisien. Usaha untuk meningkatkan produk peternakan unggas dapat dilakukan dengan pemilihan bibit unggul, penerapan manajemen kandang dan pakan yang baik, serta pencegahan dan pengobatan penyakit. Menurut Efrizanti (2005) pakan dalam sebuah industri peternakan unggas merupakan komponen biaya produksi terbesar, mencapai 60-70%. Tingginya biaya pakan, disebabkan oleh pengunaan pakan komersial yang tinggi harganya. Antibiotik, hormon dan feed additive merupakan bahan perangsang pertumbuhan untuk meningkatkan efisiensi penggunaan pakan. Feed additive yang biasa digunakan yaitu bersifat komersil, namun sebagai alternatif dapat digunakan tanaman tradisional temulawak. Penyakit unggas merupakan salah satu masalah dalam usaha peternakan unggas. Usaha peternakan unggas akan berkembang baik jika ternak unggas bebas dari penyakit. Salah satu penyakit yang sering menyerang ternak unggas diantaranya avian influenza atau flu burung yang dapat mengakibatkan tingginya tingkat kematian pada unggas dan menimbulkan kerugian yang besar. Salah satu tindakan pencegahan dari penyakit flu burung dengan cara meningkatkan kesehatan unggas pada sistem kekebalannya yang spesifik (antibodi) dengan vaksinasi dan nonspesifik (fagositosis makrofag). Faktor lain dari keberhasilan usaha peternakan unggas yaitu penggunaan obat untuk pencegahan dan pengobatan penyakit. Penggunaan obat dapat bersifat sintetik dan alamiah. Namun, penggunaan obat sintetik memiliki kelemahan,

contohnya yaitu adanya residu antibiotik dalam produk hasil unggas. Penggunaan obat yang bersifat alamiah merupakan salah satu alternatifnya, yaitu penggunaan tanaman temulawak. Potensi obat-obatan alamiah ini mampu memberikan peranannya dalam upaya pemeliharaan, peningkatan dan pemulihan kesehatan serta pengobatan penyakit. Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) merupakan tanaman obat asli Indonesia. Temulawak termasuk famili Zingiberacea dan dikenal sebagai obat fitofarmaka dengan khasiatnya yaitu untuk mengobati penyakit saluran pencernaan, kelainan hati, kandung empedu, pankreas, usus halus, tekanan darah tinggi, kontraksi usus, TBC, sariawan dan dapat dipergunakan sebagai tonikum. (Raharjo dan Otih 2005). Menurut Dalimartha (1999), temulawak juga memiliki khasiat sebagai antiinflamasi, antioksidan, dan antitumor. Khasiat obat alami dapat meningkatkan kekebalan tubuh dan kesehatan manusia. Obat-obat tersebut memiliki kemampuan sebagai imunomodulator yang dapat membuat sistem imun berperan lebih aktif dalam menjalankan fungsinya, yakni yang akan berperan aktif dalam menguatkan sistem imun tubuh (imunostimulator). Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa temulawak (curcuma xanthorrhiza) merupakan tanaman multifungsi yang mengandung bahan-bahan aktif seperti kurkuminoid, minyak atsiri, flavonoid dan pati (polisakarida) (Ketaren 1988). Manfaat-manfaat temulawak tersebut telah berhasil dibuktikan khasiatnya pada manusia, tetapi sejauh ini belum ada yang menelusuri khasiat temulawak terhadap tingkat kesehatan ayam melalui sistem kekebalan tubuh yang spesifik (antibodi) dan nonspesifik (fagositosis makrofag). Makrofag merupakan salah satu sel yang berperan penting dalam respon imun dengan fagositosis dan sebagai antigen presenting cells (APC). Makrofag peritoneal dari sistem fagositik mononuklear memiliki aktivitas fagositosis yang tahan lama, sehingga akan terbentuk tanggap kebal (Tizard 2009). Dengan alasan-alasan tersebut, penulis ingin menjelaskan dan memberikan pengetahuan terutama untuk tanaman temulawak (curcuma xanthorrhiza Roxb.) yang bekerja meningkatkan daya tahan tubuh (imunostimulator) melalui sistem kekebalan nonspesifik (fagositosis makrofag).

2

Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas ekstrak temulawak dalam meningkatkan respon kekebalan nonspesifik melalui aktivitas dan kapasitas fagositosis. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk

mengetahui kegunaan

temulawak terhadap pertumbuhan dan status kesehatan ayam, terutama meningkatkan sistem kekebalan nonspesifik melalui aktivitas dan kapasitas fagositosis.

3

TINJAUAN PUSTAKA Temulawak Temulawak merupakan tanaman obat berupa tumbuhan rumpun berbatang semu. Di daerah Jawa Barat temulawak disebut sebagai koneng gede sedangkan di Madura disebut sebagai temu lobak. Kawasan Indo-Malaysia merupakan tempat dari mana temulawak ini menyebar ke seluruh dunia. Saat ini tanaman ini selain di Asia Tenggara dapat ditemui pula di Cina, IndoCina, Bardabos, India, Jepang, Korea, di Amerika Serikat dan Beberapa negara Eropa (Prihatman 2008).

Klasifikasi Menurut Prihatman (2008), Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) merupakan tanaman asli Indonesia dan merupakan salah satu tumbuhan obat yang cukup dikenal oleh masyarakat. Temulawak merupakan salah satu jenis temutemuan yang termasuk keluarga zingiberaceae, klasifikasi temulawak secara lengkap adalah Divisi: Spermatophyta, Subdivisi: Angiospermae, Kelas: Monocotyledonem, Bangsa: Zingiberales, Suku: Zingiberaceae, Genus: Curcuma dan Spesies: Curcuma xanthorrhiza Roxb. Deskripsi Tanaman berbatang semu dengan tinggi antara 1-2 m, berwarna hijau atau coklat gelap. Tiap batang mempunyai daun 2-9 helai dengan bentuk bundar dengan warna daun hijau atau coklat keunguan dan memiliki panjang daun 31–84 cm dan lebar 10-18 cm serta panjang tangkai daun termasuk helaian 43-80 cm (Gambar 1a). Perbungaan lateral, tangkai ramping dan sisik berbentuk garis dengan panjang tangkai 9-23 cm dan lebar 4–6 cm. Kelopak bunga berwarna putih berbulu dengan panjang 8–13 mm dan mahkota bunga berbentuk tabung dengan panjang keseluruhan 4,5 cm serta helaian bunga berbentuk bundar memanjang berwarna putih dengan ujung yang berwarna merah dengan panjang 1,25-2 cm dan lebar 1 cm (Gambar 1b). Rimpang induk temulawak bentuknya bulat seperti telur dan berukuran besar, sedangkan rimpang cabang terdapat pada bagian samping yang bentuknya memanjang. Tiap tanaman memiliki rimpang cabang

4

antara 3–4 buah. Warna rimpang cabang umumnya lebih muda dari pada rimpang induk (Gambar 1c) . Warna kulit rimpang sewaktu masih muda maupun tua adalah kuning atau coklat kemerahan. Warna daging rimpang adalah kuning tua dengan cita rasanya amat pahit atau coklat kemerahan berbau tajam, serta keharumannya sedang. Rimpang terbentuk dalam tanah pada kedalaman 16 cm. Tiap rumpun tanaman temu lawak umumnya memiliki enam buah rimpang tua dan lima buah rimpang muda (Gambar 1d) (Prihatman 2008).

Gambar 1 Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.). a) Morfologi tanaman temulawak. b) Bunga tanaman temulawak. c) Akar rimpang temulawak. d) Daging rimpang temulawak. (Sumber: Prihatman 2008).

5

Komposisi Kandungan zat aktif yang terdapat di temulawak adalah kurkumin, kurkuminoid, P-toluilmetilkarbinol, seskuiterpen d-kamper, mineral, minyak atsiri serta minyak lemak, karbohidrat, protein, mineral seperti Kalium (K), Natrium (Na), Magnesium (Mg), Besi (Fe), Mangan (Mn) dan Kadmium (Cd) (Boesro et al. 2006). Bagian yang paling berkhasiat dari temulawak adalah rimpangnya. Ekstrak rimpang temulawak mengandung lebih dari 100 macam zat seperti amilase, fenolase, lemak, pati dan berbagai mineral senyawa fenol serta minyak atsiri. Seperti

umumnya

fetoterapi,

zat-zat

tersebut

berkerja

secara

totalitas

meningkatkan daya tahan tubuh (Ketaren 1988). Rimpang temulawak segar mengandung air sekitar 75%, minyak atsiri (volatile oil), lemak (fixed oil), zat warna (pigmen), protein, resin, selulosa, pentosan, pati, mineral, zat-zat penyebab rasa pahit dan sebagainya. Kandungan dari komponen-komponen dalam temulawak sangatlah tergantung pada umur tumbuhan pada saat dipanen (Ketaren 1988). Rimpang temulawak mengandung karbohidrat sekitar 29-34% dan minyak 6-10% bobot kering. Komposisi temulawak sangat tergantung pada musim, dengan komponen utama pati temulawak yang kadarnya berkisar antara 30-40% dan komponen minyak atsirinya berkisar antara 7-30% dihitung berdasarkan bobot kering (Prihatman 2008). Curcuma xanthorriza Roxb. mempunyai kandungan minyak atsiri yang paling tinggi diantara jenis Curcuma sp (Ketaren 1988). Kandungan minyak atsiri pada temulawak sekitar 8% dan warna kuning merupakan warna dari kurkumin. Komposisi rimpang temulawak dapat dilihat pada Tabel 1.

Manfaat Di Indonesia satu-satunya bagian yang dimanfaatkan adalah rimpang temulawak untuk dibuat jamu godok. Rimpang ini mengandung 48-59,64 % zat tepung, 1,6-2,2 % kurkumin dan 1,48-1,63 % minyak atsiri. Berbagai macam manfaat temulawak telah banyak diteliti, disamping sebagai obat temulawak juga dijadikan makanan, minuman, kosmetika dan pewarna (Aggrawall et al. 2007).

6

Hasil penelitian tentang kandungan zat aktif pada temulawak diketahui bahwa khasiat temulawak terutama disebabkan oleh beberapa kelompok kandungan kimia utama, yakni golongan kurkuminoid, minyak atsiri, flavonoid dan pati (polisakarida). Kurkumoinoid terdiri dari dua jenis senyawa yaitu kurkumin

dan

desmetosikurkumin

yang

berkhasiat

menetralkan

racun,

menghilangkan rasa nyeri sendi, meningkatkan ekskresi empedu, menurunkan kadar lemak darah, anti bakteri, serta dapat mencegah terjadinya perlemakkan dalam sel-sel hati dan sebagai anti oksidan penangkal senyawa-senyawa radikal bebas yang berbahaya. Minyak atsiri temulawak yang terdiri dari 32 komponen secara umum bersifat meningkatkan produksi getah empedu dan mampu menekan pembengkakan jaringan (Liang et al. 1985). Manfaat lain dari rimpang tanaman ini adalah sebagai obat jerawat, meningkatkan nafsu makan, anti kolesterol, anti inflamasi, anemia, anti oksidan, pencegah kanker dan anti mikroba (Raharjo dan Otih 2005; Dalimartha 1999). Tabel 1 Komposisi Rimpang Temulawak Kering Komposisi

Kadar (%)

Pati

58,24

Lemak (fixed oil)

12,10

Minyak Atsiri

4,90

Abu

4,90

Mineral

4,29

Serat Kasar

4,20

Protein

2,90

Kurkumin

1,55

(Sumber: Luthana 2008) Meniran (Phyllanthus niruri) Klasifikasi dan Morfologi Klasifikasi Meniran adalah sebagai berikut: Kingdom: Plantae, Divisi: Magnoliophyta,

Kelas:

Magnoliopsida,

Ordo:

Euphorbiales,

Famili:

Euphorbiaceae, Genus: Phyllanthus dan Spesies: Phyllanthus niruri Linn (Van 1999). Meniran merupakan rumput berdaun kecil dan berwarna hijau pucat atau

7

hijau kemerahan. Batang tumbuhan ini berbentuk bulat, basah dengan tinggi kurang dari 50 cm. Daunnya bersirip genap dan setiap satu tangkai daun terdiri atas daun majemuk yang mempunyai ukuran kecil dan berbentuk lonjong. Sedangkan bunganya muncul di ketiak daun dan menghadap ke arah bawah (Utami 2008). Helaian daun bulat telur sampai bulat memanjang, ujung tumpul, pangkal membulat, permukaan bawah berbintik, tepi rata, panjang sekitar 1,5 cm, lebar sekitar 7 mm dan berwarna hijau. Dalam satu tanaman ada bunga betina dan bunga jantan. Bunga jantan keluar di bawah ketiak daun, sedangkan bunga betina keluar di atas ketiak daun. Buahnya berbentuk kotak, bulat pipih, licin, bergaris tengah 2-2,5 mm serta memiliki biji yang kecil, keras, berbentuk seperti ginjal, dan berwarna coklat (Dalimartha 1999).

Sifat dan Khasiat Menurut Dalimartha (2008), herba ini rasanya agak pahit, manis, sifatnya sejuk dan astringen. Berkhasiat membersihkan hati, anti radang, pereda demam (antipiretik),

peluruh

kencing (diuretik),

peluruh

dahak,

peluruh

haid,

menerangkan penglihatan dan penambah nafsu makan.

Komposisi Tanaman meniran mengandung berbagai macam zat aktif yang bermanfaat untuk pengobatan seperti golongan lignan. Antara lain filantin, hipofilantin, niranin, nirtetralin dan fitetralin. Beberapa senyawa lignan baru, juga telah diisolasi

dari

Phyllantus

niruri

yaitu

seco-4-hidroksilintetralin,

seco-

isoarisiresinoltrimetileter, hidroksinirantin, dibenzilbutirolakton, nirfilin dan neolignan (filnirurin). Akar dan daun meniran juga banyak mengandung senyawa flavonoid, antara lain quercetin, qeurcetrin, isoquercetrin, astragalin dan rutin (Dexamedica 2009). Menurut Utami (2008), kandungan kimia filantin, hipofilantin, kalium, damar dan tanin. Filantin dan hipofilantin berkhasiat melindungi sel hati dari zat toksik (hepatoprotektor). Phyllanthus niruri L. mempunyai efek terhadap respon imun nonspesifik yaitu peningkatan fagositosis dan kemotaksis makrofag dan kemotaksis neutrofil. Sedangkan terhadap respon imun spesifik, pemberian

8

ekstrak tumbuhan ini dapat meningkatkan proliferasi sel limfosit T dan terhadap imunitas humoral, ekstrak ini memiliki efek dalam meningkatkan produksi imunoglobulin M (IgM) serta imunoglobulin G (IgG).

Ayam Petelur Ayam petelur adalah ayam-ayam betina dewasa yang dipelihara khusus untuk diambil telurnya. Asal mula ayam unggas adalah berasal dari ayam hutan dan itik liar yang ditangkap dan dipelihara serta dapat bertelur cukup banyak. Tahun demi tahun ayam hutan diseleksi secara ketat oleh para pakar. Arah seleksi ditujukan pada produksi yang banyak. Ayam yang terseleksi ditujukan untuk produksi daging dikenal dengan ayam broiler, sedangkan untuk produksi telur dikenal dengan ayam petelur. Selain itu, seleksi juga diarahkan pada warna kulit telur hingga kemudian dikenal ayam petelur putih dan ayam petelur cokelat. Persilangan dan seleksi itu dilakukan cukup lama hingga menghasilkan ayam petelur seperti yang ada sekarang ini. Dalam setiap kali persilangan, sifat jelek dibuang dan sifat baik dipertahankan. Inilah yang kemudian dikenal dengan ayam petelur unggul. Menurut Rasyaf (2003) ayam petelur mempunyai kerabang berwarna putih berasal dari strain Hisex putih, Lohman putih, Steggles Longhorn dan Shaver 288. Ayam petelur yang mempunyai kerabang telur yang berwarna coklat, berasal dari strain ayam ras tipe telur berwarna coklat yang telah dibudidayakan antara lain: Hisex Brown, Hiline Brown, Ross Brown, Enya Red, Lohman Brown, Isa Brown, Rosella dan Austra White. Appleby et al. (2004) menyatakan bahwa nenek moyang dari unggas domestik adalah Gallus gallus (the red jungle fowl atau ayam hutan merah). Sedangkan asal usul dan domestikasi dari spesies utama pada unggas dimulai dengan Galliformes.

Klasifikasi Klasifikasi ayam domestikasi termasuk dalam Kingdom: Animalia, Filum: Chordata, Kelas: Aves, Ordo: Galliformes, Famili: Phasianidae, Genus: Gallus dan Spesies: Gallus gallus (Brotowidjoyo 1989). Menurut Chan dan Zamroni (1992) klasifikasi jenis ayam yang dipelihara di Indonesia dapat dibedakan

9

menjadi tiga tipe yaitu: (1) ayam pedaging; (2) ayam petelur; (3) ayam dwiguna. Ciri-ciri ayam tipe petelur menurut Chan dan Zamroni (1992); Sundaryani dan Santosa (1994) adalah ayam petelur mempunyai ukuran badan lebih kecil dibanding ayam pedaging dan langsing sehingga disebut tipe ringan. Ayam petelur aktif bergerak untuk mencari makan dan lebih cepat mengalami dewasa kelamin sehingga cepat bertelur serta memiliki kaki yang bersih tanpa bulu. Makanan yang dimakan tidak banyak dan efisien sekali dalam memetabolisme makanan menjadi hasil produksi (telur). Bertelur dalam jumlah telur banyak dengan telur berwarna putih serta telur jarang dierami. Menurut Rasyaf (2003) ayam ras petelur dapat dibagi dua berdasarkan warna bulu dan warna kerabangnya (kulit telur). Pertama, ayam petelur putih memiliki bulu dan telur berwarna putih, tubuhnya ramping, mata bersinar tajam, jengger tunggal berwarna merah darah. Ayam ini mampu bertelur banyak sekali dan dikenal sebagai ayam ras tipe petelur unggul. Kedua, ayam ras petelur berbulu coklat dan warna kerabangnya juga coklat. Ayam ini agak gemuk, telur lebih besar tetapi dari segi jumlah lebih sedikit. Ayam petelur semacam ini dikenal juga sebagai ayam petelur tipe dwiguna, awalnya digunakan sebagai penghasil telur dan setelah diafkir dapat dijual sebagai ayam pedaging.

Produktivitas Ayam ras petelur mulai bertelur pada umur 22 minggu dengan lama produksi sekitar 15 bulan. Produksi telur mencapai puncak pada kisaran umur 3236 minggu dan akan mengalami penurunan dengan perlahan sampai menjelang afkir pada saat ayam berumur 82 minggu dengan rataan produksi 55%. Daya produksi ayam petelur rata-rata 20 butir telur perbulan perekor selama periode satu tahun pertama masa produksi (Karo Karo 2007) Produktivitas dari ayam sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, menurut Chan dan Zamroni (1992) ayam petelur mempunyai sifat-sifat tertentu, pada umumnya jenis ayam petelur sangat peka terhadap perubahan-perubahan keadaan diantaranya

perubahan

cuaca,

perubahan

susunan

makanan,

perubahan

pemeliharaan (pemilik) dan perubahan kandang. Perubahan-perubahan ini dapat

10

mengakibatkan produksi telur menurun. Jenis ayam yang tahan terhadap perubahan tersebut adalah jenis ayam dwiguna.

Staphylococcus aureus Staphylococcus aureus merupakan spesies dari genus Staphylococcus yang bersifat pathogen. Nama Staphylococcus berasal dari kata staphylo yang dalam bahasa Yunani berarti anggur, ini dikarenakan sifatnya yang membelah diri tidak hanya pada satu lapis permukaan dan tersusun bergerombol sehingga terlihat menyerupai rangkaian anggur. Staphyloccocus aureus merupakan bakteri gram positif, dibawah mikroskop mereka nampak seperti putaran (cocci) dan terlihat seperti seikat buah anggur (Gambar 2). Umumnya bakteri ini tidak berbahaya dan merupakan mikroflora normal di selaput lendir dan kulit manusia dan organisme yang lain (Jawetz et al. 1996). Menurut Pratama (2005) Staphylococcus aureus tumbuh optimum pada temperatur 35-40oC tetapi dapat tumbuh pada kisaran suhu 6,5-46oC, sedangkan pH optimum untuk pertumbuhannya adalah 7,0-7,5 dengan kisaran pH yang memungkinkan pertumbuhan antara 4,2-9,3. Staphylococcus aureus adalah bakteri aerob dan anaerob, fakultatif yang mampu menfermentasikan manitol dan menghasilkan enzim koagulase, hyalurodinase, fosfatase, protease dan lipase. Staphylococcus aureus memiliki pigmen berwarna kuning keemasan, kuman ini diduga memiliki banyak strain patogenik dan beberapa strain nonpatogen. Strain Staphylococcus berkemungkinan besar bersifat patogen apabila memiliki pigmen, bersifat hemolitik, memiliki enzim koagulase (koagulase positif), memfermentasi manitol dan laktosa dalam suasana alkalis dan mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam media yang mengandung Kristal violet. Dilihat dari struktur antigeniknya Staphylococcus aureus memiliki polisakarida dan protein yang bersifat antigenik. Protein A salah satu komponen pada permukaan sel Staphylococcus aureus mempunyai kemampuan untuk berikatan kuat pada bagian Fc dari struktur IgG sehingga menghambat ikatan antara bagian Fc dari IgG dengan reseptor Fc di permukaan sel netrofil dan makrofag (Gambar 3) (Jawetz et al. 1996).

11

Klasifikasi Secara morfologi Staphylococcus berbentuk bundar (kokus) atau agak lonjong dengan diameter 0,5-1,5µm. Mikroba ini digolongkan bakteri gram positif, bersifat aerobik dan anaerobik fakultatif, tidak motil dan tidak membentuk spora (Jawetz et al. 1996). Klasifikasi Staphylococcus aureus menurut Capuccino (2001) adalah termasuk Kingdom: Bakteria, Divisi: Firmicutes, Kelas: Bacilli, Ordo: Bacillales, Famili: Staphylococcaceae, Genus: Staphylococcus dan Spesies: Staphylococcus aureus.

Patogenitas Staphylococcus dapat menyebabkan penyakit dengan dua cara yaitu pertama, Staphylococcus menyebabkan penyakit dengan cara menginvasi, memperbanyak diri dan menyebar pada jaringan tubuh. Kedua, Staphylococcus dapat menimbulkan penyakit melalui substansi ekstraseluler yang dihasilkannya, diantarannya adalah eksotosin, leukosidin, enterotoksin dan enzim koagulase. Menurut Pratama (2005) toksin yang dibentuk oleh Staphylococcus aureus adalah haemolysin alfa, beta, gamma delta dan apsilon. Toksin lain ialah leukosidin, enterotoksin dan eksfoliatin. Enterotosin dan eksoenzim dapat menyebabkan keracunan

makanan

terutama

yang

mempengaruhi

saluran

pencernaan.

Leukosidin menyerang leukosit sehingga daya tahan tubuh akan menurun. Selain itu ada juga substansi lain yang dihasilkan seperti hialuronidase, staphilokinase, penisilinase, proteinase dan lipase. Staphylococcus aureus mengandung lysostaphin yang dapat menyebabkan lisisnya sel darah merah (Jawetz et al. 1996). Patogenitas pada Staphylococcus merupakan efek kombinasi dari substansi ektraseluler dan toksin yang dihasilkan dengan kemampuan invasi dari Staphylococcus.

Pada

kulit

infeksi

dari

Staphylococcus

aureus

dapat

menyebabkan jerawat, boils, furunkle, karbunkel, abses, pyoderma dan infeksi pada luka. Eksofoliatin merupakan toksin yang menyerang kulit dengan tandatanda kulit terkena luka bakar (Schlegel 1994). Pada selaput lendir, Staphylococcus aureus menyebabkan rhinitis, sinusitis, faringitis, bronkhitis dan endometritis, sedangkan pada organ dapat menyebabkan mastitis dan pneumonia.

12

Prevalensi mikroba ini amatlah tinggi pada kasus mastitis sapi (Hidayattullah 1999). Keracunan makanan juga dapat terjadi akibat tercemarnya makanan oleh toksin

yang

dihasilkan

galur-galur

toksigenik

Staphylococcus

aureus

(Hidayattullah 1999). Wibawan et al. (2003) menyatakan bahwa protein permukaan bertanggung jawab atas sifat adhesif Staphylococcus antigen permukaan pada Staphylococcus aureus seperti polisakarida, dinding sel, produk seluler dan protein permukaan merupakan faktor virulensi yang berperan dalam ptogenesis infeksi kuman pada inang. Bakteri ini memiliki sejumlah determinan virulensi yaitu dinding sel, kapsul polisakarida, protein permukaan, sejumlah enzim ekstraseluler dan eksotoksin seperti toksin A, B , D, G, leukosidin dan enterotoksin serta enzin ekstraseluler seperti koagulase dan protease (Cifrian et al. 1996). Staphylococcus aureus dapat menyebabkan penyakit yang beragan pada manusia dan hewan lain melalui invasi atau produksi toksin. Toksin Staphylococcus aureus biasanya menyebabkan keracunan pada makanan. Salah satu spesies Staphyloccocus yang patogen adalah Staphylococcus aureus bakteri ini dapat menginfeksi luka dan menyebabkan lesi supuratif, mastitis, artritis dan botriomikosis pada kambing. Pada kuda, bakteri ini menimbulkan pyoderma infeksi traktus urinarius dan diskospondilitis. Pada anjing bakteri ini menyebabkan bumblefoot, lesi kulit serta arthritis pada ayam (Carlton dan Charles 1993). Bakteri ini dapat bertahan di permukaan yang kering, sehingga dapat kesempatan untuk transmisi. Pada manusia sehat bakteri ini secara normal terdapat dalam hidung dan kulit dengan proporsi yang berbeda. Staphylococcus aureus merupakan bakteri oportunistik patogen yang dapat menginfeksi jaringan bila terjadi kerusakan kulit atau membran mukosa dan penurunan daya tahan tubuh. Selain itu bakteri ini dapat menyababkan berbagai infeksi diantaranya endokarditis, osteomiolitis, sepsis, abses kulit, septisemia dan arthritis. Staphylococcus aureus dapat menimbulkan penyakit pada ayam yakni artritis dan tenosinovitis, dermatitis ganggrenosa, bumblefoot, spondilitis dan osteomielitis. Bursitis

sternalis,

blefaritis dan granuloma pada hati, limpa dan paru (Tabbu 2000).

13

Gambar 2 Bakteri Staphylococcus aureus. (Sumber: Matt 2008)

Gambar 3 Struktur antigenik pada Staphylococcus sp. (Sumber: Jawets et.al. 1996)

14

Mekanisme Tanggap Kebal Inang Definisi Sistem tanggap kebal merupakan kemampuan tubuh untuk mengenali dan menghancurkan bahan yang dianggap asing. Sistem ini mempunyai kemampuan untuk membedakan antara unsur dasar tubuh normal dan benda asing, hal ini sangat penting jika tubuh ingin mempertahankan diri bebas dari serangan mikroorganisme dan parasit (Tizard 2009). Sekelompok jaringan termasuk leukosit dan system retikulositendotelia secara terus-menerus melawan setiap agen infeksi yang mencoba menyerang tubuh. Dalam menjalankan tugasnya untuk mencegah infeksi, jaringan mempunyai 2 respon yaitu : menghancurkan agen penyerang dengan fagositosis dan membentuk antibodi dan limfosit spesifik yang disensitifkan, salah satu atau keduanya akan menghancurkan penyerang (Guyton dan Hall 1997). Respon imun yang pertama dapat digolongkan sebagai respon nonspesifik, sedangkan yang kedua respon spesifik. Jadi secara umum respon imun dapat digolongkan menjadi respon nonspesifik yaitu respon yang diperantarai sel-sel fagositik dan respon imun yang spesifik yaitu sistem kekebalan yang bersifat spesifik mengenali dan menghancurkan antigen yang spesifik (Campbell et al. 1994).

Sel Leukosit Sebagai Sistem Kekebalan Sel leukosit atau sel darah putih merupakan unit mobil dari sistem pertahanan tubuh. Terdapat 6 jenis sel darah putih yang normal berada dalam peredaran darah, yaitu netrofil, eosinofil, basofil, monosit, limfosit dan sel plasma (Guyton dan Hall 1997). Netrofil, eosinofil dan basofil disebut sebagai sel granulosit karena mempunyai granula di sitoplasmanya, sedangkan monosit dan limfosit disebut sebagai sel agranulosit karena tidak memiliki granula di sitoplasmanya (Tizard 2009; Guyton dan Hall 1997). Salah satu mekanisme utama dari sel leukosit dalam pertahanan tubuh adalah dengan cara melakukan fagositosis terhadap benda asing atau agen penyakit. Sel fagosit pada mamalia terdiri dalam dua sistem komplementer. Sistem yang pertama adalah sistem myeloid, terdiri dari sel yang bekerja cepat

15

tetapi tidak mampu bertahan lama. Sistem yang kedua, sistem fagositik mononukleus, terdiri dari sel yang bekerja lebih lambat tetapi mampu melakukan fagositosis berulang-ulang kali. Tidak seperti sistem myeloid, sel fagositik mononukleus mampu mengolah antigen untuk kemudian dipergunakan dalam sistem tanggal kebal spesifik (Tizard 2009). Sel utama yang berperan dalam sistem myeloid adalah sel granulosit netrofil (Tizard 2009). Netrofil merupakan garis pertahanan penting dalam sistem fagositik. Secara morfologi netrofil memiliki apparatus golgi dan beberapa mitokondria tetapi tidak memiliki ribosom atau retikulum endoplasmik kasar. Netrofil memiliki cadangan energi yang terbatas dan tidak dapat diisi kembali sehingga kemampuan fagositosisnya terbatas (Tizard 2009). Netrofil umumnya hanya melakukan satu kali fagositosis dengan kapasitas antara 5-20 partikel bakteri sebelum netrofil itu sendiri menjadi tidak aktif dan mati (Guyton dan Hall 1997). Pada manusia dan karnivora, netrofil merupakan bagian terbesar dari populasi sel darah putih (Tizard 2009; Guyton dan Hall 1997). Sel yang mempunyai peranan kedua dalam sistem myeloid ialah eosinofil. Granula pada sitoplasma eosinofil berwarna kuat dengan pewarnaan eosin. Eosinofil tidak seefisien netrofil dalam fagositosis, tetapi eosinofil memiliki fungsi istimewa, yang pertama mempunyai kemampuan untuk menghancurkan larva cacing yang menyusup. Kedua , enzim dari eosinofil mampu menetralkan factor radang yang dilepas oleh sel mast dan basofil. Sel ketiga pada sistem myeloid adalah basofil. Basofil memiliki inti yang bulat atau oval dengan banyak granula kecil berwarna gelap yang terwarnai kuat dengan zat warna yang bersifat basofilik seperti hematoksilin. Fungsi dari basofil serupa dengan yang dimiliki sel mast, yaitu untuk membangkitkan perbarahan akut pada tempat deposisi antigen (Tizard 2009). Sistem

pertahanan

fagositik

yang

kedua

adalah

sistem

fagositik

mononukleus, yang dilakukan oleh sel monosit. Monosit dari sumsum tulang akan masuk ke peredaran darah dan beredar kurang lebih 72 jam. Sel-sel ini kemudian bermigrasi dari pembuluh darah ke dalam jaringan dan akan mengalami perubahan menjadi makrofag yang merupakan bentuk matang dari monosit (Tizard 2009; Guyton dan Hall 1997). Sel makrofag akan diaktifkan oleh limfokin

16

dari limfosit T makrofag yang aktif akan bermigrasi sebagai respon terhadap ransangan kemotaktik. Selanjutnya menelan dan membunuh bakteri melalui proses yang umumnya serupa dengan neutrofil (Ganong 2003). Selain sistem sel fagositik, mekanisme lain dari sistem kekebalan oleh sel darah putih diperantarai oleh sel limfosit. Limfosit merupakan unsur kunci dari sistem kekebalan tubuh. Pada mamalia, sistem ini memiliki kemampuan yang menonjol dalam menghasilkan antibodi terhadap berjuta zat asing berlainan yang menyusup dalam tubuh (limfosit B). Disamping itu, sistem kekebalan ini memiliki kemampuan untuk mengingat sehingga pada pemaparan yang kedua kalinya oleh senyawa asing yang sama akan menghasilkan respon yang lebih cepat dan hebat, aktifitas ini dilakukan oleh sel limfosit T pembantu (Ganong 2003).

Sistem Kekebalan Pada Unggas Sistem imun pada unggas tidak jauh berbeda dengan sistem imun pada mamalia. Imunitas spesifik berkaitan dengan kemampuan dalam mengenal serta merespon antigen tertentu melalui dua mekanisme interaksi yaitu respon humoral dan seluler (Arstila et al. 1994). Ayam yang diimunisasi dengan antigen spesifik akan memproduksi antibodi spesifik terhadap antigen tersebut dalam jumlah banyak dan akan ditransfer ke kuning telur. Vertebrata tingkat rendah (reptil, amphibi dan burung) menghasilkan imunoglobulin Y (IgY) yang ditransfer dari serum darah ayam ke kuning telurnya agar keturunannya mendapatkan imunitas. Proses transfer IgY pada keturunannya melalui dua tahap; pertama, IgY ditransfer dari serum ke kuning telur yang analog dengan transfer antibodi melalui plasenta pada mamalia, kedua transmisi IgY dari kantung embrio yang sedang berkembang. Konsentrasi IgY pada telur yang telah matang sebesar 10-20 mg/ml (Carlender 2002). Sistem kekebalan pada ayam terdiri dari bursa fabrisius, sumsum tulang, limfa, timus, glandula harderian, limfonodus, sirkulasi limfosit dan jaringan limfoid di traktus alimentarius. Sel pembentuk antibodi (sel B) diproduksi oleh bursa fabrisius, sedangkan sumsum tulang adalah sumber dari bursa dan timus dari sel tali pusat. Limpa merupakan pusat proliferasi sel plasma dan sel B memori, sehingga unggas tanpa limpa akan mengalami penurunan produksi

17

antibodi. Timus adalah pusat pematangan tali pusat yang berdiferensial menjadi limfosit T. Aktifitas limfosit T pada unggas sama dengan aktifitas limfosit T pada mamalia (Larsson et al. 1998). Sel fagositik memiliki sistem yang saling komplemen yaitu sistem myeloid dan sistem fagositik mononuklear. Pada sistem myeloid sel-sel yang berperan adalah sel-sel yang dapat bekerja dengan cepat tetapi tidak mampu bertahan lama, yaitu neutrofil (disebut heterofil dalam darah unggas), eosinofil dan basofil. Sedangkan sistem pertahanan fagositik mononuklear dilakukan oleh sel monosit. Sel monosit bekerja lebih lambat tetapi mampu bertahan dengan melakukan fagositosis berulang-ulang (Tizard 2009). Heterofil unggas memiliki fungsi yang sama seperti neutrofil mamalia dan merupakan leukosit dominan dalam respon peradangan hematologis ataupun di jaringan. Heterofil juga merupakan sel fagosit jaringan yang penting untuk melawan mikroba patogen (Stedman 2001). Heterofil merupakan sel utama yang berperan dalam sistem myeloid dan disebut juga sel granulosit polimorfonuklear. Heterofil merupakan sistem pertahanan pertama dari invasi benda asing dalam tubuh. Heterofil berfungsi terutama untuk fagositosis (Tizard 2009). Heterofil dalam tahap kemotaksis akan menuju bahan asing melalui pengaruh rangsangan kimiawi eksternal. Rangsangan kimiawi tersebut dapat berupa produk bakteri, faktor-faktor yang dilepaskan oleh sel rusak atau produk reaksi kebal (Tizard 2009). Sebuah sel heterofil mampu memfagosit 5-20 bakteri sebelum sel heterofil itu sendiri menjadi inaktif dan mati (Guyton dan Hall 1997). Monosit dalam darah merupakan cikal bakal makrofag. Monosit akan berdiferensiasi menjadi makrofag ketika barada di jaringan untuk melaksanankan fungsi fagositosisnya. Makrofag memiliki aktivitas fagositosis yang mampu bertahan lama dari pada neutrofil untuk mengolah antigen dalam persiapan reaksi imunitas dan memberikan kontribusi langsung terhadap perbaikan jaringan yang rusak. Mekanisme dasar tanggal kebal yang khusus mengatasi infeksi bakteri yaitu berupa netralisasi toksin atau enzim oleh antibodi, pemusnahan bakteri oleh antibodi, komplemen dan lisozim, opsonisasi bakteri oleh antibodi dan komplemen yang mengakibatkan fagositosis dan penghancuran bakteri serta penghancuran intraseluler bakteri oleh makrofag yang teraktivasi (Tizard 2009).

18

Faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya antibodi diantaranya adalah umur hewan percobaan yang digunakan, ukuran molekul antigen, kerumitan struktur kimiawi antigen, konstitusi genetik, metoda pemasukan antigen dan dosis yang diberikan (Subowo 1993).

Imunomodulator Imunomodulator berasal dari kata imuno yang berarti kekebalan dan modulator yang berarti pembawa. Imunomodulator adalah suatu agen atau zat yang dapat membawa, merangsang atau menyiapkan sistem pertahanan tubuh (Fitriani 2000). Zat tersebut dapat memiliki kemampuan memperbaiki dan merangsang sistem imun bila terganggu atau dapat menekannya bila berlebihan. Menurut Imanishi (1993) menyatakan bahwa efek imunomodulator yang dimiliki oleh suatu obat mengandung dua pengertian yaitu pertama imunomodulator positif (imunostimulan), bila obat tersebut dapat meningkatkan respon kekebalan. Kedua imunomodulator negatif (imunodepresan), bila obat tersebut dapat menurunkan respon kekebalan. Salah satu efek dari imunomodulator positif (imunostimulan) adalah peningkatan aktifitas biologis dari sel fagositik akibat akumulasi dari beberapa jenis antimikroba. Sedangkan salah satu contoh dari imunomodulator negatif (imunodepresan) adalah obat-obatan dari golongan kortikosteroid yang dapat menurunkan tanggap kebal (Gemmel 1991; Baba et al. 1998; Woo et al. 1999).

19

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai dari bulan September 2007 sampai dengan Agustus 2008, bertempat di Laboratorium Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah ekstrak etanol temulawak, ekstrak meniran komersial, larutan Giemsa, kloroform, NaCl fisiologis, THB (Todd Hewitt Broth), metanol, larutan BaSO4 10% (620 nm), kapur putih, minyak emersi, kapas, label dan pakan ayam yang mengandung coccidiostat, bakteri Staphylococcus aureus nonprotein A dan hewan penelitian berupa ayam petelur strain Isa Brown umur 16 minggu yang telah divaksinasi AI.

Alat Peralatan yang digunakan dalam penelitian meliputi kandang ayam, timbangan, gunting, pinset, syring 1 ml, peralatan untuk nekropsi serta pembuatan preparat ulas berupa gelas objek, gelas penutup dan pipet serta mikroskop cahaya untuk pengamatan.

Hewan Penelitian Penelitian ini menggunakan ayam petelur yang berumur 16 minggu dengan bobot badan yang seragam. Sebelum perlakuan dimulai, diadakan masa adaptasi selama 7 hari untuk mengembalikan kondisi ayam dari stres karena pemindahan dan transportasi. Selama masa ini diberikan vitamin dan elektrolit (Nopstress VitaminTM) lewat air minum sesuai dengan rekomendasi pabrik pembuat. Sebanyak 24 ekor ayam didistribusikan ke dalam kandang-kandang individu dengan sistem baterai yang berukuran sesuai standart komersial. Ayam dibagi ke dalam 3 kelompok perlakuan yaitu : (1) kelompok ayam yang divaksin AI tetapi tidak diberi ekstrak temulawak, sebagai kontrol negatif, dengan distribusi ayam

20

sebanyak 3 ekor. (2) kelompok ayam yang divaksin AI dan diberi ekstrak meniran komersial, sebagai kontrol positif, dengan distribusi ayam sebanyak 3 ekor. (3) kelompok ayam yang divaksin AI dan diberi ekstrak temulawak (dengan 3 tingkat dosis yang berbeda), dengan distribusi ayam sebanyak 18 ekor. Selama percobaan, pemberian pakan dan minum sesuai dengan perlakuan di peternakan ayam komersil.

Isolat Bakteri Pada penelitian ini untuk membantu mendeteksi aktivitas dan kapasitas fagositosis dari sel fagosit (makrofag), dilakukan uji tantang dengan menggunakan bakteri Staphylococcus aureus nonprotein A yang disuntikan secara intraperitoneal.

Metode Penelitian Persiapan kandang Kandang ayam percobaan dibuat menurut sistem baterai. Seluruh dinding dan lantai ruangan percobaan dikapur dengan kapur tembok berwarna putih, didesinfeksi dengan desinfektan kelompok fenol sintetik dua hari sebelum ayam percobaan dimasukkan.

Pembuatan Ekstrak Etanol Temulawak Pembuatan ekstrak temulawak menggunakan metode maserasi. Jenis pelarut ekstrak temulawak yang digunakan terdiri dari 2 jenis etanol dengan konsentrasi berbeda yaitu etanol 70% dan 96%. Etanol dipakai karena relatif aman untuk makanan. Sebelumnya dibuat terlebih dahulu simplisia rimpang temulawak. Selanjutnya simplisia temulawak direndam dengan pelarut etanol dan aquabidest menggunakan perbandingan 1:10. Selama perendaman, campuran ini diaduk setiap 3 jam selama 24 jam. Kemudian campuran ini diperas untuk memisahkan larutan dan ampasnya. Setelah itu pelarut untuk ekstraksi dipisahkan kembali dengan penguapan menggunakan pompa vakum evaporator pada suhu 50 oC (Afifah et al. 2005). Dosis yang digunakan dari masing-masing ekstrak adalah

21

17,5; 35 dan 52,5 mg/kg BB. Dosis didapat dari hasil uji aktivitas biologik fraksi bioaktif pada penelitian sebelumnya.

Preparasi Suspensi Bakteri Staphylococcus aureus nonprotein A Inokulasi bakteri dilakukan dua hari sebelum hewan percobaan ditantang dan persiapan suspensi dilakukan satu hari menjelang proses tantang. Bakteri Staphylococcus aureus yang sebelumnya sudah disiapkan, diinokulasikan dari kulturnya ke dalam 1000 ml THB, kemudian diinkubasi dalam inkubator pada suhu 37 oC selama 24 jam. Setelah 24 jam, biakan tersebut disentrifus selama 10 menit dengan kecepatan 1500 rpm sampai terbentuk pelet. Pelet yang terbentuk diambil dan disuspensikan kembali dengan NaCl fisiologis steril sampai sepersepuluh volume awal.

Suspensi bakteri kemudian disentrifus kembali

sampai terbentuk pelet, dibilas dan disuspensikan dengan NaCl fisiologis steril sampai mencapai volume 100 ml. Suspensi bakteri disetarakan dengan larutan BaSO4 10% pada panjang gelombang 620 nm menggunakan spektrofotometer, sehingga diharapkan suspensi bakteri setara dengan konsentrasi 109 partikel bakteri per ml suspensi. Suspensi tersebut disimpan pada suhu 4 oC sampai pada hari penginfeksian hewan percobaan.

Pemberian Vaksin AI Vaksin AI komersial yang secara legal telah mendapat persetujuan pemerintah digunakan dalam penelitian ini. Dosis yang digunakan sesuai dengan petunjuk pabrik pembuat. Sebelum mendapat suntikan vaksin, semua ayam dipastikan harus dalam keadaan sehat.

Pemberian Perlakuan Terhadap Hewan Percobaan Perlakuan diberikan selama 4 minggu dengan interval 24 jam. Ayam distirahatkan selama 3 hari tanpa perlakuan setelah 7 hari pemberian perlakuan. Delapan perlakuan yang diberikan adalah perlakuan pertama diberikan pencekokan ekstrak temulawak secara oral dengan dosis 17,5 mg/kg BB dengan pelarut etanol 70%. Perlakuan kedua diberikan pencekokan ekstrak temulawak secara oral dengan dosis 35 mg/kg BB dengan pelarut etanol 70%. Perlakuan

22

ketiga diberikan pencekokan ekstrak temulawak secara oral dengan dosis 52,5 mg/kg BB dengan pelarut etanol 70%. Perlakuan keempat diberikan pencekokan ekstrak temulawak secara oral dengan dosis 17,5 mg/kg BB dengan pelarut etanol 96%. Perlakuan kelima diberikan pencekokan ekstrak temulawak secara oral dengan dosis 35 mg/kg BB dengan pelarut etanol 96%. Perlakuan keenam diberikan pencekokan ekstrak temulawak secara oral dengan dosis 52,5 mg/kg BB dengan pelarut etanol 96%. Perlakuan ketujuh diberikan pencekokan meniran komersial secara oral dengan dosis 0.2 cc/kg BB sebagai kontrol positif. Perlakuan kedelapan diberikan pencekokan NaCl fisiologis secara oral dengan dosis 0.5 cc/kg BB sebagai kontrol negatif.

Pemeriksaan Aktivitas dan Kapasitas Fagositosis Pengamatan aktivitas dan kapasitas fagositosis secara in vitro, dilakukan langkah sebagai berikut dilakukan pada 24 jam setelah perlakuan ekstrak temulawak

terakhir,

semua

ayam

percobaan

ditantang

dengan

bakteri

Staphylococcus aureus non A sebanyak 1 ml suspensi bakteri (109 partikel bakteri/ml) melalui intraperitoneal.

Setelah 1 jam, ayam-ayam percobaan

disembelih, dipanen cairan peritoneal, dibuat preparat ulas, dikeringkan, difiksasi dengan metanol selama 3 menit, diwarnai dengan Giemsa, lalu dihitung aktivitas dan kapasitas fagositosis makrofag peritoneal.

Variabel Pengamatam Aktivitas Fagositosis Aktivitas fagositosis adalah jumlah makrofag yang aktif melakukan proses fagositosis dalam 50 makrofag yang diamati, dan dinyatakan dalam persen. Penghitungan dilakukan sebanyak 2 kali (duplo).

Kapasitas Fagositosis Kapasitas fagositosis adalah jumlah rata-rata bakteri Staphylococcus aureus nonprotein A yang difagosit oleh makrofag yang aktif dan besaran kapasitas fagositosis adalah jumlah partikel bakteri per butir sel makrofag peritoneal yang aktif. Penghitungan dilakukan sebanyak 2 kali (duplo).

23

Rancangan Percobaan Penelitian ini bertujuan untuk mengamati interaksi dan pengaruh dari ekstrak temulawak terhadap aktivitas dan kapasitas fagositosis sel makrofag peritoneal dari hewan ayam petelur. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) yang terdiri dari 8 perlakuan dosis dimana masing-masing perlakuan diulang sebanyak 2 kali yaitu : (1) A1B1 = dosis 17,5 mg/kg BB pelarut etanol 70%, (2) A2B1 = dosis 35 mg/kg BB pelarut etanol 70%, (3) A3B1 = dosis 52,5 mg/kg BB pelarut etanol 70%, (4) A1B2 = dosis 17,5 mg/kg BB pelarut etanol 96%, (5) A2B2 = dosis 35 mg/kg BB pelarut etanol 96%, (6) A3B2 = dosis 52,5 mg/kg BB pelarut etanol 96%, (7), K1 = kontrol positif dan (8) K2 = kontrol negatif. Model Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktor tunggal menurut Gaspersz (1991) adalah sebagai berikut:

dengan Yij

= Nilai pengamatan pada satuan percobaan ke-j yang memperoleh kombinasi perlakuan ke-i

µ

= Nilai tengah umum

τi

= Pengaruh perlakuan ke-i

εij

= Pengaruh galat percobaan ke-j yang memperoleh kombinasi perlakuan ke-i Data hasil pengamatan dianalisis dengan analisis ragam (ANOVA) untuk

mengetahui pengaruh pemberian dosis ekstrak temulawak pada aktivitas dan kapasitas fagositosis makrofag peritoneal pada ayam petelur. Selanjutnya uji Duncan dilakukan untuk perlakuan yang berpengaruh nyata. Terakhir uji ortogonal polinomial dilakukan untuk melihat persamaan pengaruh peningkatan dosis ekstrak etanol temulawak pada pelarut etanol 70% dan 96% terhadap aktivitas dan kapasitas fagositosis makrofag peritoneal ayam petelur.

24

HASIL DAN PEMBAHASAN Aktivitas Fagositosis Hasil pengamatan aktivitas fagositosis (%) dari makrofag peritoneal ayam petelur bervariasi dengan nilai antara 44,2-87,9%. Rata-rata aktivitas fagositosis pada masing-masing dosis ditunjukkan pada Gambar 4.

Gambar 4 Aktivitas fagositasis makrofag peritonial ayam petelur rata-rata pada ayam petelur yang diberikan dosis ekstrak etanol temulawak secara bertahap selama 4 minggu. Keterangan: A1 = dosis 17,5 mg/kg BB, A2 = dosis 35 mg/kg BB, A3 = dosis 52,5 mg/kg BB, B1 = pelarut etanol 96%, B2 = pelarut etanol 96%, K1 = kontrol positif dan K2 = kontrol negatif. Berdasarkan Gambar 4 menunjukkan bahwa aktivitas fagositosis makrofag peritoneal ayam petelur yang telah diberi ekstrak etanol temulawak cenderung meningkat dengan meningkatnya dosis ekstrak dan konsentrasi pelarut. Aktivitas fagositosis terendah didapat pada kontrol negatif dengan nilai 46,1%, sedangkan aktivitas fagositosis tertinggi 83,9% diperoleh pada perlakuan dosis ekstrak temulawak 52,5 mg/kg BB dalam pelarut etanol 96%.

25

Hasil analisis ragam (Lampiran 1) menunjukkan bahwa dosis ekstrak etanol temulawak berpengaruh nyata (p<0,01) terhadap aktivitas fagositosis sel makrofag peritonial ayam petelur. Hasil uji Duncan (Lampiran 2) menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan nyata (p>0,01) antara perlakuan K2 dengan perlakuan A1B1, namun terdapat perbedaan nyata (p<0,01) perlakuan A1B2, perlakuan A2B2, perlakuan A2B1, perlakuan A3B1, perlakuan K1 dan perlakuan A3B2. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan perlakuan K2 akan memberikan aktivitas fagositosis makrofag yang relatif sama dengan perlakuan A1B1, namun relatif berbeda dengan perlakuan A1B2, perlakuan A2B2, perlakuan A2B1, perlakuan A3B1, perlakuan K1 dan perlakuan A3B2. Analisis ragam menggunakan rancangan faktorial dengan rancangan dasar rancangan acak lengkap dilakukan untuk melihat pengaruh jumlah ekstrak, konsentrasi pelarut etanol serta interaksinya terhadap aktivitas fagositosis sel makrofag peritonial ayam petelur (Lampiran 3). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa ada pengaruh jumlah ekstrak, konsentrasi pelarut dan interaksinya terhadap aktivitas fagositosis sel makrofag peritonial ayam petelur. Hal ini juga menunjukkan bahwa ada perbedaan nyata (p<0,01) aktivitas fagositosis sel makrofag peritoneal akibat adanya perbedaan konsentrasi pelarut etanol yang digunakan sebagaimana yang ditunjukkan pada Lampiran 4 yang mengindikasikan bahwa penggunaan ekstrak temulawak dengan menggunakan pelarut etanol 96% akan menghasilkan aktivitas fagositosis yang lebih tinggi dibandingkan pelarut etanol 70%. Hal ini disebabkan oleh semakin tingginya zat bioaktif terutama kurkuminoid (kurkumin), flavonoid, minyak atsiri, golongan terpena dan terpenoid seperti α-pinena dan β-pinena yang terlarut dengan semakin tingginya konsentrasi pelarut etanol. Hal ini juga sesuai dengan Paryanto dan Bambang (2006) bahwa semakin tinggi konsentrasi etanol dalam pelarut maka kadar kurkuminoid (kurkumin) dalam ekstrak semakin tinggi. Hasil Uji Duncan (Lampiran 5) menunjukkan bahwa dosis ekstrak etanol temulawak 52,5 mg/kg BB menunjukkan aktivitas fagositosis yang berbeda tidak nyata (p>0,01) dengan dosis ekstrak etanol temulawak 35 mg/kg BB, namun berbeda sangat nyata (p<0,01) dengan dosis ekstrak etanol temulawak 17,5 mg/kg BB. Hal ini menunjukkan bahwa dosis ekstrak etanol temulawak 52,5 mg/kg BB

26

akan memberikan aktivitas fagositosis sel makrofag peritonial ayam petelur yang relatif sama dengan dosis ekstrak etanol temulawak 35 mg/kg BB namun relatif berbeda dengan dosis ekstrak etanol temulawak 17,5 mg/kg BB. Berdasarkan hasil uji juga menunjukkan bahwa dosis ekstrak etanol temulawak 52,5 mg/kg BB dan 35,0 mg/kg BB akan memberikan kekebalan yang tinggi dibandingkan dengan 17,5 mg/kg BB, karena menunjukkan aktivitas fagositosis sel makrofag peritonial yang relatif tinggi dibanding dengan dosis ekstrak yang lain. Semakin tinggi dosis ekstrak temulawak akan memungkinkan jumlah zat bioaktif terlarut yang menyebabkan semakin tinggi pula aktivitas fagositosis sel makrofag peritonial. Semakin tinggi dosis ekstrak etanol temulawak akan meningkatkan jumlah zat bioaktif yang bersifat imunomodulator (imunostimulator) yang larut dalam dosis. Beberapa zat ekstraktif yang memiliki sifat bioaktif adalah dari golongan flavonoid, saponin, alkaloid dan golongan tepena dan terpenoid (Robinson 1991). Hasil penelitian Kusmardi et al. (2006) dan Kusmardi et al. (2007) menunjukkan bahwa kandungan flavonoid pada ekstrak etanol daun Johar (Cassia siamea Lamk) dan ekstrak ketepeng cina (Cassia alata L) dapat meningkatkan aktivitas fagositosis sel makrofag pada mencit. Temulawak merupakan jenis tanaman yang telah dimanfaatkan sebagai tanaman obat. Menurut Sugiharto (2004) bahwa komponen utama rimpang temulawak adalah kurkumin, minyak atsiri, flavonoid, pati, gula, protein, lemak, serta beberapa kation (Fe, Ca, Na dan K). Santosa dan Gunawan (2003) melaporkan bahwa rimpang remulawak mengandung minyak atsiri, mirsen, αfelandren,

kurkumin,

atlanton,

β-kurkumin,

borneol,

d-kmafer,

desmetoksikurkumin, isofuranogermakren, I-sikloisoprenmirsen, monodesmetoksi kurkumin, p-toluil metal karbinol, amilum, turmeron, xanthorizol, zingiberen dan zingiberol. Senyawa minyak atsiri yang terkandung dalam rimpang temulawak ini adalah α-pinena, kamfena, β-pinena, β-mirsena, limonene, β-linalool, DL-kamfor, isoborneol, β-elemena, α-zingibirena, isokariofilena, β-fernesena, α-kurkumina, sativena, germakrena dan α-farnesena. Senyawa hasil ekstrak temulawak yang telah terbukti sebagai antibakteri adalah terutama kurkumin, xanthorizol dan minyak atsirinya.

27

Menurut

Majeed

et

al.

(1995),

kurkumin

[1,7-bis(4-hidroksi-3-

metoksifenil)-1,6-heptadiena-3,5-dion] telah terbukti memberikan efek terhadap aktivitas biologis dengan spektrum yang sangat luas. Aktivitas kurkumin ini disebabkan oleh adanya gugus hidroksi aromatik terminal, gugus β-diketon dan ikatan rangkap, sehingga memungkinkan kurkumin ini digunakan sebagai antikanker dan antimutagenik. Substitusi kurkumin pada C-4 dengan substituen pendorong elektron (gugus alkil) dan substituen penarik elektron (gugus fenil dan fenil tersubstitusi), mempengaruhi stabilitas tautomer kurkumin. Substituen pendorong elektron meningkatkatkan stabilitas tautomer β-diketo, sedangkan substituen penarik elektro meningkatkan stabilitas keto enol kurkumin (Istyastono et al. (2003). Hal ini diduga akan memberikan efek imunomodulator (imunostimulator) pada sel makrofag yang ditunjukkan dengan peningkatan aktivitas fagositosis sel makrofag. Hal ini didukung oleh penelitian Supardjan dan Da’i (2005) melaporkan bahwa gugus pendorong elektron pada C-4 kurkumin menaikkan aktivitas turunan kurkumin melalui stabilitas struktur β-diketo dan sebaran muatan parsial positif struktur turunan kurkumin. Kurkumin juga dilaporkan bersifat antibakteri (Sidik et al. 1995; Sugiharto 2004). Selain itu, Sidik et al. (1995) juga melaporkan bahwa gugus metoksi dan gugus hidroksi fenolat yang terdapat dalam struktur kurkuminoid merupakan gugus aktif dan mempunyai aktivitas antibakteri. Sifat antibakteri dari kurkumin juga menyebabkan bakteri Staphylococcus aureus lebih mudah terfagosit oleh sel fagosit peritonial makrofag. Senyawa flavonoid yang terekstrak dalam pelarut etanol juga memiliki sifat imunomodulator (imunostimulator) sehingga dapat meningkatkan aktivitas fagositosis pada sel peritonial makrofag ayam petelur terhadap serangan bakteri Staphylococcus aureus. Peningkatan aktivitas sel makrofag peritoneal juga disebabkan oleh adanya komponen minyak atsiri dan dari golongan terpena dan terpenoid seperti α-pinena dan β-pinena yang bersifat antibakteri. Menurut Johnson et al. (1994) bahwa Staphylococcus aureus merupakan bakteri yang memiliki dinding yang terdiri dari 50% lapisan peptidoglikan dan memiliki susunan dinding yang kompak. Dinding inilah yang membuat bakteri Staphylococcus aureus lebih toleran zat kimia penghambat dan bersifat lebih

28

patogen. Walaupun demikian, pemberian ekstrak etanol temulawak pada ayam petelur dan diuji tantang dengan bakteri Staphylococcus aureus terbukti dapat meningkatkan aktivitas fagositosis sel makrofag darah ayam petelur melawan bakteri patogen tersebut dengan cara menangkap, menelan dan menghancurkan bakteri tersebut. Semakin tinggi ekstrak etanol temulawak yang diberikan yang berarti semakin tinggi pula zat bioaktif terutama kurkumin yang terkandung dalam dosis, maka semakin tinggi pula bakteri Staphylococcus aureus yang difagosit oleh sel makrofag sebagai akibat peningkatan aktivitas fagositosis pada sel peritonial makrofag ayam petelur. Hasil analisis ortogonal polinomial menunjukkan bahwa peningkatan dosis ekstrak dengan pelarut etanol 70% terhadap aktivitas fagositosis merupakan fungsi kuadratik (Gambar 5), sedangkan pada dosis ekstrak dengan pelarut etanol 96% merupakan fungsi linier (Gambar 6). Persamaan kuadrat hubungan antara dosis ekstrak pelarut 70% dengan aktivitas fagositosis adalah , sedangkan persamaan linier hubungan antara dosis ekstrak pelarut 96% dengan aktivitas fagositosis adalah

. Hal ini

menunjukkan bahwa pada pelarut etanol 70%, peningkatan aktivitas fagositosis sangat terpengaruh oleh peningkatan dosis ekstrak namun akan cenderung konstan pada dosis ekstrak di atas 35 mg/kg BB. Pada pelarut etanol 96%, peningkatan dosis ekstrak akan meningkatkan aktivitas fagositosis dengan nilai peningkatan aktivitas fagositosis sebesar 0,1324% dari peningkatan 1 mg/kg BB dosis ekstrak.

29

Gambar 5 Kurva respon hubungan dosis ekstrak temulawak dalam pelarut etanol 70% terhadap aktivitas fagositosis makrofag.

Gambar 6 Kurva respon hubungan dosis ekstrak temulawak dalam pelarut etanol 96% terhadap aktivitas fagositosis makrofag.

30

Kapasitas Fagositosis Hasil pengamatan kapasitas fagositosis (rata-rata bakteri/50 sel fagosit aktif) dari makrofag peritoneal ayam petelur bervariasi antara 4,3-25,1. Rata-rata kapasitas fagositosis pada masing-masing dosis ditunjukkan pada Gambar 7.

Gambar 7 Kapasitas fagositasis makrofag peritonial ayam petelur rata-rata pada ayam petelur yang diberikan dosis ekstrak etanol temulawak secara bertahap selama 4 minggu. Keterangan : A1 = dosis 17,5 mg/kg BB, A2 = dosis 35 mg/kg BB, A3 = dosis 52,5 mg/kg BB, B1 = pelarut etanol 70%, B2 = pelarut etanol 96%, K1 = kontrol positif dan K2 = kontrol negatif. Berdasarkan Gambar 7 menunjukkan bahwa kapasitas fagositosis makrofag cenderung meningkat dengan meningkatnya dosis ekstrak dan konsentrasi pelarut. Kapasitas fagositosis terendah didapat pada kontrol negatif nilai 4,7 rata-rata bakteri/50 sel fagosit, sedangkan kapasitas fagositosis tertinggi 24,4 rata-rata bakteri/50 sel fagosit didapat pada dosis ekstrak 52,5 mg/kg BB dengan pelarut etanol 96%. Hasil analisis ragam (Lampiran 6) menunjukkan bahwa jenis dosis ekstrak etanol temulawak berpengaruh nyata (p<0,01) terhadap kapasitas fagositosis sel makrofag peritonial ayam petelur. Hasil uji Duncan (Lampiran 7) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata (P<0,01) antara perlakuan K2 dengan perlakuan 31

A1B1, perlakuan A1B2, perlakuan A2B2, perlakuan A2B1, perlakuan A3B1, perlakuan K1 dan perlakuan A3B2. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan perlakuan K2 akan memberikan kapasitas fagositosis makrofag yang relatif berbeda dengan perlakuan A1B1, perlakuan A1B2, perlakuan A2B2, perlakuan A2B1, perlakuan A3B1, perlakuan K1 dan perlakuan A3B2. Analisis ragam menggunakan rancangan faktorial dengan rancangan dasar rancangan acak lengkap dilakukan untuk melihat pengaruh jumlah ekstrak, konsentrasi pelarut etanol serta interaksinya terhadap kapasitas fagositosis sel makrofag peritonial ayam petelur (Lampiran 8). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa ada pengaruh jumlah ekstrak, konsentrasi pelarut dan interaksinya terhadap kapasitas fagositosis sel makrofag peritonial ayam petelur. Hal ini juga menunjukkan bahwa ada perbedaan nyata (p<0,01) kapasitas fagositosis sel fagosit peritonial akibat adanya perbedaan pelarut etanol yang digunakan

sebagaimana

yang

ditunjukkan

pada

Lampiran

9

yang

mengindikasikan bahwa penggunaan ekstrak temulawak dengan menggunakan pelarut 96% akan menghasilkan kapasitas fagositosis yang lebih tinggi dibandingkan pelarut etanol 70%. Hal disebabkan oleh semakin tingginya zat bioaktif terutama kurkuminoid (kurkumin), flavonoid, polisakarida dan minyak atsiri golongan terpena dan terpenoid seperti α-pinena dan β-pinena yang terlarut dengan semakin tingginya konsentrasi pelarut etanol. Hal ini juga sesuai dengan Paryanto dan Bambang (2006) bahwa semakin tinggi konsentrasi etanol dalam pelarut maka kadar kurkuminoid (kurkumin) dalam ekstrak semakin tinggi. Hasil Uji Duncan (Lampiran 10) menunjukkan bahwa dosis ekstrak etanol temulawak 52,5 mg/kg BB menunjukkan kapasitas fagositosis yang berbeda nyata (p<0,01) dengan dosis ekstrak etanol temulawak 35 mg/kg BB, dan 17,5 mg/kg BB. Hal ini menunjukkan bahwa dosis ekstrak etanol temulawak 52,5 mg/kg BB akan memberikan kapasitas fagositosis sel makrofag peritonial ayam petelur yang berbeda dengan dosis ekstrak etanol temulawak 35 mg/kg BB dan 17,5 mg/kg BB.

Berdasarkan hasil uji juga menunjukkan bahwa dosis ekstrak etanol

temulawak 52,5 mg/kg berat akan memberikan kekebalan yang tinggi dibandingkan dengan dosis ekstrak etanol temulawak 35,0 mg/kg BB dan 17,5 mg/kg BB, karena menunjukkan kapasitas fagositosis sel makrofag peritonial

32

yang relatif tinggi dibanding dengan jumlah ekstrak yang lain. Semakin tinggi dosis ekstrak temulawak akan memungkinkan jumlah zat bioaktif terlarut yang semakin tinggi pula sehingga menyebabkan kapasitas fagositosis sel fagosit peritonial semakin tinggi pula. Semakin tinggi dosis ekstrak etanol temulawak akan meningkatkan jumlah zat bioaktif yang bersifat imunomodulator (imunostimulan) yang larut dalam dosis. Kusmardi et al. (2006) dan Kusmardi et al. (2007) melaporkan bahwa kandungan flavonoid pada ekstrak etanol daun Johar (Cassia siamea Lamk.) dan ekstrak ketepeng cina (Cassia alata Lamk.) memiliki sifat imunomodulator yang dapat meningkatkan kapasitas fagositosis sel makrofag pada mencit. Menurut Peschel et al. (2006) kurkuminoid (kurkumin) adalah pigmen kuning

dari

temulawak

yang

dapat

digunakan

sebagai

antioksidan,

antikarsinogenik dan antihiperkolesterolimea. Berdasarkan hasil penelitian Suparjdan dan Da’i

(2005) menunjukkan bahwa kurkuminoid (curcumin)

memiliki aktivitas biologis berspektrum luas yaitu antikanker, antimutagenik, antiproliferasi, antioksidan dan memacu apoptosis. Pada keadaan normal sel akan menghasilkan radikal bebas sebagai konsekuensi logis pada reaksi biokomia dalam keadaan aerobik. Radikal bebas secara fisiologis akan berperan dalam proses fagositosis, sintesa DNA dan protein. Apabila radikal bebas berada dalam jumlah berlebihan sementara antioksidan seluler tetap atau sedikit maka kelebihannya tidak dapat menetralkan dan dapat berakibat kerusakan sel (Waras 2008). Kurkumin sebagai antioksidan akan menangkal radikal bebas yang dihasilkan oleh sel dalam keadaan berlebih, sehingga kapasitas fagositosis dapat berjalan secara normal bahkan akan meningkat. Selain sifat imunomodulator, sifat antibakteri dari kurkumin juga menyebabkan sel makrofag peritonial memfagosit

bakteri Staphylococcus aureus yang ditunjukkan meningkatnya

kapasitas sel makrofag. Peningkatan kapasitas fagositosis pada sel peritonial makrofag ayam petelur juga disebabkan oleh keberadaan senyawa flavonoid yang terekstrak

dalam

pelarut

etanol

juga

memiliki

sifat

imunomodulator

(imunostimulator), sehingga dapat meningkatkan sifat fagositik sel makrofag peritoneal terhadap infeksi bakteri Staphylococcus aureus. Peningkatan kapasitas

33

sel makrofag juga disebabkan oleh adanya komponen minyak atsiri yang bersifat antibakteri sehingga banyak bakteri yang terfagosit. Hasil analisis ortogonal polinomial menunjukkan bahwa pengaruh peningkatan dosis ekstrak terhadap kapasitas fagositosis pada pelarut etanol 70% dan 96% merupakan fungsi linier. Persamaan linier hubungan antara dosis ekstrak pelarut 70% dengan kapasitas fagositosis adalah (Gambar 8). Hal ini mengindikasikan bahwa kapasitas fagositosis dengan pelarut etanol 70% akan meningkat sebanyak 0,1362% dari peningkatan dosis ekstrak sebanyak 1 mg/kg BB. Persamaan linier hubungan antara dosis ekstrak pelarut 96% dengan nilai kapasitas fagositosis adalah

(Gambar

9). Hal ini menunjukkan bahwa kapasitas fagositosis pada pelarut etanol 96% akan meningkat sebanyak 0,2314% dari peningkatan dosis ekstrak sebanyak 1 mg/kg BB.

Mekanisme Temulawak pada Fagositosis Mekanisme dasar tanggal kebal yang khusus mengatasi infeksi bakteri yaitu berupa netralisasi toksin atau enzim oleh antibodi, pemusnahan bakteri oleh antibodi, komplemen dan lisozim, opsonisasi bakteri oleh antibodi dan komplemen yang mengakibatkan fagositosis dan penghancuran bakteri serta penghancuran intraseluler bakteri oleh makrofag yang teraktivasi. Sel fagositik memiliki sistem yang saling komplemen yaitu sistem myeloid dan sistem fagositik mononuklear. Pada sistem myeloid sel-sel yang berperan adalah sel-sel yang dapat bekerja dengan cepat tetapi tidak mampu bertahan lama, yaitu neutrofil (disebut heterofil dalam darah unggas), eosinofil dan basofil. Sedangkan sistem pertahanan fagositik mononuklear dilakukan oleh sel monosit. Sel monosit bekerja lebih lambat tetapi mampu bertahan dengan melakukan fagositosis berulang-ulang (Tizard 2009). Makrofag memiliki

peran

yang penting dalam menyelenggarakan

pertahanan dalam infeksi dan kanker. Ketika mikroorganisme atau patogen berhasil melewati pertahanan pertama tubuh berupa sel epitel kulit, patogen akan ditelan melalui proses fagositosis dari sel makrofag dan dicerna menggunakan enzim lisozim yang disekresikan (Kim et al. 2001; Kim et al. 2007).

34

Gambar 8 Kurva respon hubungan dosis ekstrak temulawak dalam pelarut etanol 70% terhadap kapasitas fagositosis makrofag.

Gambar 9 Kurva respon hubungan dosis ekstrak temulawak dalam pelarut etanol 96 % terhadap kapasitas fagositosis makrofag.

35

Proses fagositosis menurut Guyton dan Hall (1997) yaitu makrofag akan mendekati partikel atau benda asing, kemudian menjulurkan pseudopodia. Pseudopodia bertemu satu sama lain dan bergabung, membentuk ruang yang mengelilingi partikel. Kemudian ruang ini berinvaginasi ke dalam sitoplasma membentuk gelembung fagositik (fagosom). Setelah partikel difagositosis, lisosom dan granul sitoplasma lainnya akan bergabung ke dalam jumlah besar yang berisi enzim proteolitik untuk mencerna bakteri dan bahan protein asing lainnya. Fagositosis sel makrofag peritoneal ayam petelur setelah pemberian ekstrak etanol temulawak dapat dilihat pada Gambar 10 dan 11. Sekresi lain dari makrofag akibat adanya mikroorganisme atau patogen adalah disekresikannya sitokin (IL-1, IL-6, IL-8, IL-12 dan TNF-α) dan media peradangan seperti nitric oxide (NO), hydrogen peroxide (H2O2) dan prostaglandin (PGs). NO dan H2O2 dari makrofag memainkan peran penting dalam

penyelanggaraan

pertahanan

tubuh

dalam

melawan

serangan

mikroorganisme. NO telah diidentifikasi sebagai molekul penting pada proses penghancuran sel tumor akibat aktivasi makrofag. NO dan PGs dihasilkan dari masing-masing

rangsangan

induksi

nitric

oxide

synthase

(iNOS)

dan

cyclooxygenase-2 (COX-2). Ekspresi iNOS dikatalisasi dari produk NO berupa Larginin, dan diatur oleh faktor transkripsi NF-κB di dalam makrofag. NF-κB terletak berada di dalam sitoplasma. COX-2 merupakan pendukung enzim peradangan yang diatur juga oleh NF-κB. COX menghasilkan berbagai tipe PGs dalam berbagai keadaan fisiologi, termasuk dalam proses peradangan dan imunomodulator (Kim et al. 2001; Kim et al. 2007). Kurkuminoid (kurkumin) dan polisakarida dalam temulawak dapat meningkatkan aktivitas fagositosis dan menghasilkan NO dan H2O2. Fagositosis makrofag

merupakan

tahap

pertama

dalam

respon

terhadap

serangan

mikroorganisme dan mengaktifkan peningkatan respon kekebalan bawaan. Selama proses fagositosis berjalan makrofag yang teraktivasi menghasilkan reactive oxygen species (ROS) seperti NO dan H2O2. ROS memainkan peran sebagai agen sitotoksik dalam melawan serangan mikroba. Saat NO masuk ke dalam fungsi sitolitik dari makrofag untuk melawan berbagai patogen, sintesis NO dapat mempengaruhi aktivitas imunostimolator makrofag. Selain itu, NO

36

dikenal sebagai salah satu pembawa pesan penting pada fungsi patofisiologi, meliputi relaksasi vaskuler, vasodilatasi, mediator kekebalan dan sitotosik dalam melawan sel tumor. Makrofag akan bekerja juga menghalangi serangan mikroorganisme dengan disekresikan sitokin ketika teraktivasi. Salah satu contoh sitokin adalah TNF-α, TNF-α memainkan peran penting dalam pertahanan serangan intraseluler patogen (Kim et al. 2001; Kim et al. 2007). Kurkuminoid (kurkumin) dan polisakarida juga menginduksi produksi dari mediator peradangan seperti PGE2 yang tergolong lipopolisakarida (LPS). LPS berpotensi sebagai aktivator NF-κB pada sel makrofag. PGE2 pada fungsi yang lain dilibatkan pada perkembangan saraf, persembuhan luka dan respon kekebalan. Media aktivasi makrofag, produksi ROS dan sitokin yang menjadi kontribusi imunostimulator. Selain itu, kurkuminoid (kurkumin) dan polisakarida juga menginduksi produksi iNOS dan COX-2. Ekspresi dari iNOS dan COX-2 dalam makrofag yang sebagian besar diatur dalam mekanisme trankripsional, antara lain NF-κB yang merupakan

faktor primer transkripsi dan mengatur

berbagai gen dalam respon kekebalan, proses peradangan dan apoptosis. Aktivasi dari NF-κB terjadi sebagian besar melalui IκB kinase melalui perantara molekul penghambat (IKK) fosforilasi. Fosforilasi dari IκB memperlihatkan dan mempengaruhi aktivasi NF-κB (Kim et al. 2001; Kim et al. 2007). Berdasarkan hasil penelitian, kemampuan ekstrak etanol temulawak untuk meningkatkan aktivitas dan kapasitas fagositosis sel makrofag peritoneal ayam petelur, diduga disebabkan oleh kurkumin, polisakarida dan minyak atsirinya. Senyawa-senyawa tersebut bekerja merangsang sel-sel makrofag melakukan respon fagositosis terhadap bakteri Staphylococcus aureus sehingga dapat memperbaiki sistem imun (imunostimulator) pada ayam petelur.

37

Gambar 10 Proses fagositosis. M = sel makrofag aktif dan S = Staphylococcus aureus nonprotein A yang terfagosit oleh makrofag.

Gambar 11 Preparat cairan intraperitoneal ayam petelur setelah pemberian ekstrak etanol (96%) temulawak 52,5 mg/kg BB. M = sel makrofag aktif dan S = Staphylococcus aureus nonprotein A yang terfagosit oleh makrofag.

38

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Simpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah 1. Ekstrak etanol temulawak terbukti dapat merangsang sistem kekebalan nonspesifik pada ayam petelur dengan meningkatnya respon aktivitas fagositosis dan kapasitas fagositosis. 2. Nilai aktivitas dan kapasitas fagositosis tertinggi dihasilkan pada perlakuan dosis 52,5 mg/kg BB pelarut etanol 96%. 3. Peningkatan dosis ekstrak etanol temulawak dan peningkatan kosentrasi pelarut etanol pada ekstrak etanol temulawak menunjukkan adanya pengaruh peningkatan aktivitas dan kapasitas fagositosis sel makrofag ayam petelur.

Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui zat bioaktif utama yang mempengaruhi kekebalan nonspesifik atau kemampuan fagositosis dan penelitian lebih lanjut untuk pemberian ekstrak etanol temulawak pada ayam petelur untuk mengetahui respon sistem kekebalan spesifik (titer antibodi), serta dilakukan penelitian tentang histopatologi terhadap organ-organ ayam petelur (hati, ginjal, paru-paru, bursa fabrisius, usus dan limpa) untuk mengetahui efek toksiksitas dari pemberian ekstrak etanol temulawak.

39

DAFTAR PUSTAKA Afifah E. 2005. Khasiat dan Manfaat Temulawak, Rimpang Penyembuh Aneka Penyakit. Jakarta: Agro Media Pustaka. Aggrawall BB, C Sundaram, N Malani dan H Ichikawa. 2007. Curcumin: the Indian solid gold. Adv. Exp. Med. Biol. 595: 1-75. Appleby MC, JA Menchn dan BO Hughes. 2004. Poultry Behaviour and Welfare. Oxford. Inggris: CABI Publishing. Arstila TP, O Vainio dan O Lassila. 1994. Central Role of CD4+T Cells in Avian Immune Respon. Poult Sci.73(7): 1019-1026. Baba T, N Yamashita, H Kodama, M Mukamoto, M Asada, K Nakamoto, Y.Nose dan ED McGruders. 1998. Effect of Tylosin tartate (Tylan Soluble®) on Cellular Immune Responses in Chickens. Poult. Sci. 77: 1306-1311. Boesro S, S Soeryati dan K Fauziah. 2006. Ekstrak rimpang temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) dengan konsentrasi antara 1,9 – 7,6% b/v dalam sediaan krim dapat digunakan untuk menghambat pertumbuhan Staphylococcus aureus dan Staphylococcus epidermidis. [Skripsi]. Bandung: Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Padjadjaran. Brotowidjoyo MD. 1989. Zoologi Dasar. Jakarta: Erlangga. Campbell NA, LG Mitchell dan JB Reece. 1994. Biology Concepts and Connections. San Fransisico. Amerika Serikat: The Benjamin Cummings Publishing Company, Inc. Capuccino JG dan N Sherman. 2001. Microbiology A Laboratory Manual Ed ke6. San Fransisico. Amerika Serikat: Benjamin Cummings Publishing, Inc. Carlender D. 2002. Avian IgY Antibody: In vitro and In vivo. Uppsala: Acta Universitatis Upsaliensis. Carton LG dan OT Charles. 1993. Pathogenesis of Bacterial Infectins in Animal Ed ke-2. Lowa: Lowa State University Pr. Chan H dan M Zamroni. 1992. Pemeliharaan dan Cara Pembibitan Ayam Petelur. Ed ke-2. Jakarta: Andes Utama. Cifrian E, AJ Guidary, AJ Bramley, NL Norcross, FDB Corcuera dan WW Marqurdt. 1996. Effect of Staphylococcus B-Toxin Onthe Cytotoxicity, Proliperation and Adherence of Staphylococcus aureus to Bovine Mammary Epithelial Cells. Vet. Microbiol. 48:187-198.

40

Dalimartha S. 1999. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia. Ungaran: Trubus Agriwidya. ___________. 2008. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia Jilid 2 Cetakan ke-5. Jakarta: Trubus Agriwidya. [Dexamedica]. 2009. Meniran Imunomodulator http://www.stimuno.com/spes.html. [20 Aug 2009].

Alami.

Efrizanti. 2005. Aplikasi Saponin pada Ayam Broiler: Performan, Perubahan Patologis dan Efektivitas terhadap Infeksi Eimeria spp. [Tesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Fitriani E. 2000. Tilmikosin sebagai Imunomodulator dan Pengaruhnya Terhadap Aktivitas dan Kapasitas Fagositosis Sel Radang Polimorf dan Makrofag Peritonium. [Skripsi]. Jakarta: Fakultas Farmasi, Universitas Pancasila. Gammel CG. 1991. Macrolides and Host Defences to Respiratory Tract Phatogens. J Hosp Infect.19 Suppl A: 11-9. Ganong WF. 2003. Buku Ajar Fisiologi kedokteran. Jakarta: EGC. Gaspersz V. 1991. Metode Perancangan Percobaan. Bandung: CV. Armico. Guyton AC dan JE Hall. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Ed ke-9. Jakarta: EGC. Hidayatullah. 1999. Pengaruh Suhu Lemari Es pada Pertumbuhan Staphylococcus aureus dalam Susu. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Imanishi K. 1991. Aloctin-A an Active Substance of Aloe Arborescens Miller as an Immunomodulator. Di dalam: International Congress of Phitotherapy. Soul. Republik Korea Selatan. Istiyastono EP, AM Supardjan dan HD Pramono. 2003. Tautomeri Keto-Enol Kurkumin dan Beberapa Turunan Kurkumin Tersubstitusi Pada C-4, Suatu Kajian Pendekatan Kimia Komputasi. Majalah Farmasi Indonesia. 14(3):107133. Jawetz E, JL Melnick dan AE Aldelberg. 1996. Mikrobiologi Kedokteran Ed ke20. Jakarta: EEC. Johnson AG, R Zeigler, TJ Fitgerald, O Lukasewycz dan L Hawley. 1994. Mikrobiologi dan Imunologi. Jakarta: Binarupa Aksara.

41

Karo Karo J. 2007. Pengaruh Pemberian Antigen Ekskretori Sekretori Larva Ascaridia galli terhadap Produksi dan Bobot Telur pada Ayam Petelur. [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Ketaren S. 1988. Penentuan Komponen Utama Minyak Atsiri Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.). [Skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Kim KI, KS Shin, WJ Jun BS Hong DH Shin, HY Cho, HH Chang, SM Yoo dan HC Yang. 2001. Effect of Polysaccharides from Rhizomes of Curcuma zedoria on Macrophage Function. Biosci. Biotecthnol. Biochem. 65(1): 2369-2377. Kim AJ, YO Kim, JS Shin dan JK Hwang. 2007. Immunostimulating Activity of Crude Polysaccharide Extract Isolated from Curcuma xanthorrhiza Roxb. Biosci. Biotecthnol. Biochem. 71(6): 1428-1438. Kusmardi SK dan EE Triana. 2006. Efek Imunomodulator Ekstrak Ketepeng Cina (Cassia alata L.) terhadap Aktivitas dan Kapasitas Fagositosis Makrofag. Makara Kesehatan. 11 (2): 89-93 Kusmardi SK dan D Wulandari. 2007. Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol Daun Johar (Cassia siamea Lamk.) Terhadap Peningkatan Aktivitas dan Kapasitas Fagositosis Makrofag. Makara Kesehatan. 10 (2): 50-53 Larsson A dan J Sjoquist. 1998. Chicken Antibodies: A Tool to Avoid False Positive Results by Rheumatoid Factor in Latex Fixation Test. J Immunol Methods A Review.108:205. Liang OB, Y Widjaja dan S Puspa. 1985. Beberapa Aspek Isolasi Identifikasi dan Penggunaan Komponen-Komponen Curcuma xanthorrhiza Roxb. dan Curcuma domestica Val. Di dalam: Prosiding Symposium Nasional Temulawak. Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Padjajaran. Luthana YK. 2008. Temulawak. http://www.indofarma.co.id/index. [2 Okt 2008]. Majeed M, V Badmaev, U Shirakumar dan R Rajendran. 1995. Curcuminoids Antioxidant Phytonutriends. New Jarsey: NutrieScience Publisher Inc. Matt. 2008. MRSA: Is Antibiotic Resistant Staph Lurking At Your Gym?. http://www.answerfitness.com/date/2008/09/. [14 jul 2009]. Paryanto I dan S Bambang. 2006. Ekstraksi Kurkuminoid dari Temulawak (Curcumin xanthorrhiza Roxb.) Secara Perkolasi dengan Pelarut Etanol. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia. 4(2): 74-77.

42

Peschel D, R Koerting dan N Nass. 2006. Curcumin Induces Chenge In Expression Of Genesinvolved In Cholesterol Homeostasis. J Nutr Biochem 18: 113-119. Pratama MR. 2005. Pengaruh Ekstrak Serbuk Kayu Siwak (Salvadora Persica) Terhadap Pertumbuhan Bakteri Streptococcus mutans dan Staphylococcus aureus dengan Metode Difusi Agar. [Skripsi]. Solo: Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Prihatman K. 2008. Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.). http://images.google.co.id/imgres?imgurl=http://minyakatsiriindonesia.files. [19 Aug 2009]. Raharjo M dan R Otih. 2005. Budidaya Tanaman Temulawak. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatika. Rasyaf M. 2003. Manajemen Peternakan Ayam Petelur. Jakarta: Penebar Swadaya. Robinson T. 1991. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Bandung: Penerbit ITB. Santosa D dan D Gunawan. 2003. Ramuan Tradisional untuk Penyakit Kulit. Jakarta: Penebar Swadaya. Schlegel HG. 1994. Mikrobiologi Umum Ed ke-6. Yogyakarta: Gadjah Mada University Pr. Stedman NL, TP Brown dan DI Bounous. 2001. Heterophil Function and Resisten to Staphylococcal Challenge in Broiler Chickens Naturally Infected with Avian Leukosis Virus Subgroup J. Vet Pathol. 38: 519-527. Sidik MW dan A Muhtadi. 1995. Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.). Yayasan Pengembangan Obat Bahan Alam Phyto Medika. Subowo.1993.Imunobiologi.Edisi ke-2. Jakarta: Angkasa. Sugiharto. 2004. Pengaruh Infus Rimpang Temulawak (Curcuma xanthorrhiza) Terhadap Kadar Hemoglobin dan Jumlah Eritrosit Tikus Putih yang Diberi Larutan Timbal Nitrat [(PbNO3)2]. Berk.Panel.Hayati.10: 53-57. Sundaryani T dan H Santosa. 1994. Pembibitan Ayam Ras. Jakarta: Penebar Swadaya. Supardjan AM dan M Da’i. 2005. Hubungqan Struktur dan Aktivitas Sitotoksik Turunan Kurkumin Terhadap Sel Myeloma. Majalah Farmasi Indonesia. 16 (2): 100-104.

43

Tabbu CR. 2000. Penyakit Ayam dan Penanggulagannya Volume ke-1. Yogyakarta: Kanisius. Tizard I. 2009. Pengantar Imunologi Veteriner. New York: WB Saunders Company. Utami P. 2008. Buku Pintar Tanaman Obat. Jakarta: PT. Agromedia Pustaka. Van H. 1999. Phyllanthus Di dalam : de Padua LS, Bunyapraphatsara N dan Lemmens RHMJ, editor. Plant Resources of South-East Asia Medicinal and poisonous plants 1. Leiden: Backhuys Publishers. Waras N. 2008. Profil Senyawa Penciri Dan Bioaktivitas Tanaman Temulawak Pada Agrobiofisik Berbeda. [Tesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Wibawan IWT, RD Soejoedono, CS Damayanti dan TB Tauffani. 2003. Diktat Imunologi. [Diktat]. Bogor: Lab Imunologi. Fakultas Kedokteran Hewan, Institus Pertanian Bogor. Woo PC, HW Tsoi, LP Wong, HC Leung dan KY Yuen. 1999. Antibiotics Modulate Vaccine-Induced Humoral Immune Response. Cli. Diagn. Lab. Immunol. 6 (6): 832-837.

44

LAMPIRAN

45

Lampiran 1 Hasil analisis ragam aktivitas fagositosis makrofag peritonial ayam petelur setelah pemberian ekstrak etanol temulawak Sumber Keragaman

Derajat Bebas

Jumlah Kuadrat

Dosis

7

4402,556

Ragam Kuadrat Tengah 628,937

Galat

16

74,453

4,653

Total

23

4477,010

FHitung

135,158**

FTabel

4,03

Keterangan: **) Perlakuan ekstrak etanol temulawak terhadap aktivitas fagositosis makrofag peritonial berpengaruh nyata pada taraf nyata 1%

45

Lampiran 2 Hasil uji Duncan perbedaan terhadap aktivitas fagositosis makrofag peritonial ayam petelur pada masing-masing perlakuan dosis Perlakuan Dosis

Aktivitas Fagositosis Rata-Rata (%)

A3B2

83,90a

A2B2

82,47ab

A1B2

79,23ab

K1

77,73b

A3B1

68,07c

A2B1

65,77c

A1B1

50,37d

K2

46,07d

Keterangan: Huruf superscript menunjukkan hasil uji Duncan dan huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan nyata pada taraf nyata 1%

46

Lampiran 3 Hasil analisis ragam jumlah ekstrak, konsentrasi pelarut etanol serta interaksinya terhadap aktivitas fagositosis makrofag peritonial ayam petelur setelah pemberian ekstrak etanol temulawak Sumber Keragaman Derajat Bebas

Jumlah Kuadrat

FHitung

FTabel

354,168

Ragam Kuadrat Tengah 177,084

Jumlah ekstrak

2

48,296

9,33

Konsentrasi Etanol

1

1683,934

1683,934

459,255

Interaksi

2

217,454

108,727

29,653

Galat

12

44,000

3,667

Total

17

2299,556

Keterangan: **) Perlakuan ekstrak etanol temulawak terhadap aktivitas fagositosis makrofag peritonial berpengaruh nyata pada taraf nyata 1%

47

Lampiran 4 Hasil uji Duncan perbedaan terhadap aktivitas fagositosis makrofag peritonial ayam petelur pada masing-masing konsentrasi pelarut etanol Konsentrasi Pelarut

Aktivitas Fagositosis Rata-Rata (%)

Etanol 96%

81,9a

Etanol 70%

61,4b

Keterangan: Huruf menunjukkan hasil uji Duncan dan huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan nyata pada taraf nyata 1%

48

Lampiran 5 Hasil uji Duncan perbedaan terhadap aktivitas fagositosis makrofag peritonial

ayam

petelur

pada

masing-masing

dosis

ekstrak

temulawak Dosis Ekstrak Etanol Temulawak

Aktivitas Fagositosis Rata-Rata (%)

52,5 mg/kg berat badan

75,90a

35,0 mg/kg berat badan

74,12a

17,5 mg/kg berat badan

64,80b

Keterangan: Huruf superscript menunjukkan hasil uji Duncan dan huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan nyata pada taraf nyata 1%

49

Lampiran 6. Hasil analisis ragam kapasitas fagositosis makrofag peritonial ayam petelur setelah pemberian ekstrak etanol temulawak Sumber Keragaman

Derajat Bebas

Jumlah Kuadrat

Perlakuan

7

726,220

Ragam Kuadrat Tengah 103,746

Galat

16

26,013

1,626

Total

23

752,233

FHitung

63,811**

FTabel

4,03

Keterangan: **) Perlakuan ekstrak etanol temulawak terhadap kapasitas fagositosis makrofag peritonial berpengaruh nyata pada taraf nyata 1%

50

Lampiran 7 Hasil uji Duncan perbedaan terhadap kapasitas fagositosis makrofag ayam petelur pada masing-masing perlakuan dosis Perlakuan Dosis

Kapasitas Fagositosis Rata-Rata (jumlah bakteri/50 sel fagosit)

A3B2

24,43a

K1

18,70bc

A2B2

19,40b

A1B2

16,33bcd

A3B1

16,07cd

A2B1

13,97de

A1B1

11,30e

K2

4,73f

Keterangan: Huruf superscript menunjukkan hasil uji Duncan dan huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan nyata pada taraf nyata 1%

51

Lampiran 8 Hasil analisis ragam jumlah ekstrak, konsentrasi pelarut etanol serta interaksinya terhadap kapasitas fagositosis makrofag peritonial ayam petelur setelah pemberian ekstrak etanol temulawak Sumber Keragaman

Derajat Bebas

Jumlah Kuadrat

FHitung

FTabel

179,830

Ragam Kuadrat Tengah 89,915

Jumlah ekstrak

2

280,984

9,33

Konsentrasi Etanol

1

188,180

188,180

588,063

Interaksi

2

20,730

10,365

32,391

Galat

12

Total

17

Keterangan: **) Perlakuan ekstrak etanol temulawak terhadap kapasitas fagositosis makrofag peritonial berpengaruh nyata pada taraf nyata 1%

52

Lampiran 9 Hasil uji Duncan perbedaan terhadap kapasitas fagositosis makrofag peritonial ayam petelur pada masing-masing konsentrasi pelarut etanol Konsentrasi Pelarut Etanol 96%

Kapasitas Fagositosis Rata-Rata (jumlah bakteri/50 sel fagosit) 20,1a

Etanol 70%

13,8b

Keterangan: Huruf menunjukkan hasil uji Duncan dan huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan nyata pada taraf nyata 1%

53

Lampiran 10 Hasil uji Duncan perbedaan terhadap kapasitas fagositosis makrofag peritonial ayam petelur pada masing-masing jumlah ekstrak temulawak Jumlah Ekstrak Etanol Temulawak 52,5 mg/kg berat badan

Kapasitas Fagositosis Rata-rata (%) 20,25a

35,0 mg/kg berat badan

15,70b

17,5 mg/kg berat badan

12,55c

Keterangan: Huruf superscript menunjukkan hasil uji Duncan dan huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan nyata pada taraf nyata 1%

54

Lampiran 11 Data mentah aktivitas fagositosis Tabel Nilai Aktivitas Fagositosis Perlakuan

A1B1

Nilai Aktivitas Fagositosis (%) Ulangan

Nilai Rata-Rata

52,0

50,4

50,5 48,6 A2B1

66,1

65,8

65,6 65,6 A3B1

71,4

68,1

65,6 67,2 A1B2

80,6

79,2

79,5 77,6 A2B2

83,6

82,5

82,0 81,8 A3B2

83,1

83,9

80,6 87,9 K1

79,2

77,7

78,6 75,4 K2

44,2

46,1

48,2 45,8

55

Lampiran 12 Data mentah kapasitas fagositosis Tabel Nilai Kapasitas Fagositosis Perlakuan

Nilai Kapasitas Fagositosis (Jumlah bakteri/50 sel fagositik)

A1B1

Ulangan

Nilai Rata-Rata

13,4

11,3

8,7 11,8 A2B1

13,3

14,0

14,1 14,5 A3B1

15,7

16,1

16,4 16,1 A1B2

16,8

16,3

15,9 16,3 A2B2

17,7

19,4

21,4 19,1 A3B2

25,1

24,4

23,7 24,5 K1

20,3

18,7

17,2 18,6 K2

4,3

4,7

5,2 4,7

56

Lampiran 13 Gambar skema proses pembuatan ekstrak etanol temulawak

Rimpang Temulawak Segar Pencucian Pengeringan Pengirisan Penjemuran (di bawah sinar matahari secara tidak langsung) Simplisia Kering Rimpang Temulawak Penghancuran (menjadi Serbuk) Ekstraksi dengan Metode Maserasi Penyaringan Evaporasi Ekstrak Temulawak

57

Lampiran 14 Perhitungan persamaan uji ortogonal polinomial pada aktivitas fagositosis ekstrak etanol (70%) temulawak

K1 C1 K2 C1

17,5 Ý1 151,1 -1 +1

35,0 Ý2 197,3 0 -2

52,5 Ý3 204,2 +1 +1

FHitung K2 = = = 23,40 FTabel 5% = 4,75 FTabel 1% = 9,33 KEPUTUSAN FHitung > FTabel Maka Tolak HO

KTK1 = JKK1 = 469,935 KTK2 = JKK2 = 85,805 FHitung K1 = = = 128,15

58

Lampiran 15 Perhitungan persamaan uji ortogonal polinomial pada aktivitas fagositosis ekstrak etanol (96%) temulawak

K1 C1 K2 C1

17,5 Ý1 237,7 -1 +1

35,0 Ý2 247,4 0 -2

52,5 Ý3 251,6 +1 +1

FHitung K1 = = = 6,59 FHitung K2 = = = 0,34 FTabel 5% = 4,75 FTabel 1% = 9,33 KEPUTUSAN FHitung > FTabel Maka Tolak HO

KTK1 = JKK1 = 32,20 KTK2 = JKK2 = 1,68

59

Lampiran 16 Perhitungan persamaan uji ortogonal polinomial pada kapasitas fagositosis ekstrak etanol (70%) temulawak

FHitung K1 =

K1 C1 K2 C1

17,5 Ý1 33,9 -1 +1

35,0 Ý2 41,9 0 -2

52,5 Ý3 48,2 +1 +1

= = 19,67 FHitung K2 = = = 0,09 FTabel 5% = 4,75 FTabel 1% = 9,33 KEPUTUSAN FHitung > FTabel Maka Tolak HO

KTK1 = JKK1 = 34,08 KTK2 = JKK2 = 0,160

60

Lampiran 17 Perhitungan persamaan uji ortogonal polinomial pada kapasitas fagositosis ekstrak etanol (96%) temulawak

K1 C1 K2 C1

17,5 Ý1 49 -1 +1

35,0 Ý2 58,2 0 -2

52,5 Ý3 73,3 +1 +1

FTabel 5% = 4,75 FTabel 1% = 9,33 KEPUTUSAN FHitung > FTabel Maka Tolak HO

KTK1 = JKK1 = 20,38 KTK2 = JKK2 = 1,93 FHitung K1 = = = 11,77 FHitung K2 = = = 1,11

61

Lampiran 18 Data pencekokan ekstrak etanol temulawak pada ayam petelur Tanggal (September & Oktober) 2007 Sediaan

Dosis

18

19

20

21

22

23

24

25

26

27

28

29

30

1

2

3

4

5

6

7

8

9

23

24

25

26

27

28

29

30

31

17,5 70%

35 52,5 17,5

96%

35 52,5

Kontrol (+)

0,2 ml

Kontrol (-) Tanggal (Oktober) 2007 Sediaan

Dosis

10

11

12

13

14

15

16

17

18

19

20

21

17,5 70%

35 52,5 17,5

96%

35 52,5

Kontrol (+)

0,2 ml

Kontrol (-)

Keterangan : Kotak hitam = Istirahat tidak diberi ekstrak etanol temulawak

62

22