PENGARUH PEMBELAJARAN IPA TERPADU TERHADAP PENGEMBANGAN LITERASI SAINS SISWA SMPN 3 CIMAHI DAN SMPN 1 LEMBANG Yeni Hendriani Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Ilmu Pengetahuan Alam Bandung e-mail:
[email protected]. 1. Pendahuluan Memasuki abad ke-21 dunia pendidikan di Indonesia masih mengalami tiga masalah besar terutama masih rendahnya mutu pendidikan (Muhaimin, 2001). Dengan kenyataan tersebut dikhawatirkan Indonesia akan gagal dalam memasuki APEC pada tahun 2010 dan pasar bebas pada tahun 2020. Indikasi ke arah tersebut telah nampak dari beberapa kompetisi akademis dan kenyataan di masyarakat. Studi PISA tahun 2003 menunjukan bahwa Indonesia di peringkat 38 dari 41 negara peserta pada bidang literasi sains. Sedangkan pada TIMSS, Indonesia menduduki urutan 34 dari 45 negara peserta (Ali, 2006). Mutu pendidikan yang tercermin dalam kedua studi internasional tersebut diduga akan membawa dampak terhadap daya saing sumber daya manusia Indonesia (terutama pada persaingan pasar kerja). Menyadari kenyataan di atas, berbagai kebijakan telah diluncurkan oleh pemerintah terutama kebijakan tentang standarisasi dalam bidang pendidikan. Dalam implementasi kurikulum, telah dilakukan berbagai studi yang mengarah pada peningkatan efisiensi dan efektivitas layanan dan pengembangan sebagai konsekuensi dari suatu inovasi pendidikan. Sebagai salah satu bentuk efisiensi dan efektivitas implementasi kurikulum dikembangkan berbagai model implementasi kurikulum. Model pembelajaran terpadu merupakan salah satu model implementasi kurikulum yang dianjurkan untuk diaplikasikan pada semua jenjang pendidikan. Model pembelajaran ini pada hakikatnya merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang memungkinkan peserta didik baik secara individual maupun kelompok aktif mencari, menggali, dan menemukan konsep serta prinsip secara holistik dan otentik (Depdikbud, 1996:3 dalam Depdiknas, 2006). Pembelajaran ini merupakan model yang mencoba memadukan beberapa pokok bahasan (Beane, 1995:615 dalam Depdiknas, 2006). Melalui pembelajaran IPA terpadu, peserta didik dapat memperoleh 1
pengalaman langsung, sehingga dapat menambah kekuatan untuk mencari, menyimpan, dan menerapkan konsep yang telah dipelajarinya. Dengan demikian, peserta didik terlatih untuk dapat menemukan sendiri berbagai konsep yang dipelajari secara menyeluruh (holistik), bermakna, otentik dan aktif. Hasil penelitian tentang pendidikan IPA di Australia menunjukkan bahwa tujuan utama pendidikan IPA di Australia adalah meningkatkan literasi (melek) IPA. Orang yang literasi IPA akan dapat berkontribusi terhadap kesejahteraan baik dari aspek sosial maupun ekonomi. Memang di berbagai negara maju sejak beberapa tahun ini, literasi sains merupakan prioritas utama dalam pendidikan IPA. Salah satu stategi untuk meningkatkan literasi sain adalah dengan pembelajaran IPA terpadu.
2. Metoda a. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di SMPN 3 Cimahi dan SMPN 1 Lembang, Jawa Barat. Waktu penelitian dilakukan selama empat bulan yaitu mulai bulan Agustus sampai dengan November
2008. Pemilihan lokasi dilakukan secara acak di sekolah yang gurunya
diperkirakan memiliki kesamaan pemahaman yang sama tentang IPA Terpadu. b. Metoda
Desain penelitian yang digunakan mengacu pada desain Research and Developmen (R&D Design) dari Borg & Gall (1983) yang sudah mengalami modifikasi (gambar 1). Desain tersebut meliputi empat tahap yaitu a) studi pendahuluan yang meliputi studi kepustakaan dan survei lapangan; b) perancangan program; c) pengembangan program yang meliputi kegiatan penilaian draf program, ujicoba program dan finalisasi program dan; d) validasi program.
2
Studi Pendahuluan Studi Kepustakan mengenai : Pembelajaran IPA Terpadu dan Literasi Sains
Perancangan Program
Pengkajian terhadap Draf Program Draf Program Pembelajaran RPP LKS Alat Evaluasi
Studi Lapangan mengenai : Pembelajaran IPA saat ini
Gambar 1
Pengembangan Program
Validasi Program
Implementasi Program
Revisi I Uji coba terbatas
Analisis data
Revisi II Program Teruji Program Final yang bersifat hipotetis
Desain Penelitian, diadaptasi dari Borg & Gall (1983)
Instrumen penelitian yang digunakan adalah angket, lembar penilaian, dan catatan lapangan. Indikator yang digunakan untuk melihat literasi sains siswa yaitu kemampuan mengidentifikasi pertanyaan, memperoleh pengetahuan baru, menjelaskan gejala ilmiah, menarik kesimpulan yang didasarkan pada bukti-bukti tentang isu yang terkait dengan sains, kesadaran tentang bagaimana sains dan teknologi mendorong pada suatu lingkungan budaya tertentu, serta kesediaan untuk terlibat dalam isu-isu yang terkait dengan sains
3. Hasil dan Diskusi
3.1 Kesiapan dan Persepsi Guru tentang Pembelajaran IPA Terpadu Dari tahap Perancangan Program tersusun tiga buah program pengajaran dengan tema Rokok dan Kesehatan, Transpormasi Energi pada Tumbuhan Hijau, Wujud Zat serta Perubahan Fisika dan Kimia. Dari hasil pengolahan data uji kesiapan dan persepsi guru terhadap pembelajaran IPA Terpadu, diperoleh informasi sebagai berikut: Rata-rata skor per item untuk kesiapan 3
guru dalam melaksanakan pembelajaran IPA Terpadu adalah sebesar 4,37, sedangkan rata-rata skor untuk persepsi guru tentang pembelajaran IPA Terpadu adalah sebesar 4,52. Jika mengacu pada skala sikap yang telah dibuat, yaitu skor 1 untuk sikap negatif, 2 untuk sikap agak netral, 3 untuk sikap netral, 4 untuk sikap positif, 5 untuk sikap sangat positif, maka dapat disimpulkan bahwa kesiapan guru
dalam melaksanakan
pembelajaran IPA Terpadu adalah positif, sedangkan persepsi guru tentang pembelajaran IPA Terpadu adalah sangat positif. Semua guru menyadari bahwa pembelajaran IPA Terpadu memerlukan persiapan yang lebih baik. Dimana semua guru menyatakan setuju dan sangat setuju bahwa pembelajaran IPA Terpadu lebih menuntut adanya kerja sama diantara guru IPA. Kerjasama ini terwujud dimulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, sampai evaluasi. Dalam proses perencanaan RPP yang dilaksanakan dalam pembelajaran dibuat bersamasama oleh tim guru. RPP Pembelajaran IPA Terpadu dibuat berdasarkan adanya keterkaitan yang dirumuskan dalam suatu tema, Dengan demikian pembelajaran terpadu memberikan peluang bagi guru untuk mengembangkan situasi pembelajaran yang utuh, menyeluruh, dinamis, dan bermakna sesuai dengan harapan dan kemampuan guru, serta kebutuhan dan kesiapan peserta didik. Semua guru menyatakan untuk saat ini pembelajaran IPA Terpadu sulit dilaksanakan karena guru tidak mungkin menguasai semua bidang studi IPA, walaupun demikian kesulitan ini mungkin tidak akan menjadi halangan bagi guru untuk melaksanakan pembelajaran ini, karena 100 % guru menyatakan setuju bahwa mereka ingin mengetahui lebih jauh tentang IPA Terpadu, ingin menularkan pembelajaran IPA Terpadu pada teman sejawat, IPA Terpadu lebih menarik untuk dilaksanakan dalam pembelajaran di kelas, dan siswa terlihat lebih bergairah saat pembelajaran IPA Terpadu. Faktor pendukung lainnya untuk terlaksananya pembelajaran IPA Terpadu adalah adanya dukungan kepala sekolah. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa pembelajaran IPA terpadu dapat memudahkan dan memotivasi peserta didik untuk mengenal, menerima, menyerap, dan memahami keterkaitan atau hubungan antara konsep pengetahuan dan nilai atau tindakan yang termuat dalam tema tersebut. Dengan model pembelajaran yang terpadu dan sesuai dengan kehidupan sehari-hari, peserta didik digiring untuk berpikir luas dan mendalam
4
untuk menangkap dan memahami hubungan konseptual yang disajikan guru. Selanjutnya peserta didik akan terbiasa berpikir terarah, teratur, utuh, menyeluruh,sistimik, dan analitik. Peserta akan termotivasi dalam belajar bila mereka merasa bahwa pembelajaran itu bermakna baginya, dan bila mereka berhasil menerapkan apa yang telah dipelajarinya. Menurut Slameto (2003:180), minat tidak dibawa sejak lahir, melainkan diperoleh kemudian. Minat terhadap sesuatu dipelajari dan mempengaruhi belajar selanjutnya serta mempengaruhi minat-minat baru. Jadi minat terhadap sesuatu merupakan hasil belajar dan menyokong belajar selanjutnya Dari hasil uji statistik untuk persepsi dan kesiapan guru, diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada kedua lokasi penelitian, baik jika dilihat dari level signifikansi maupun dari nilai t hitung dan t tabel. Dari tabel 2 dapat dilihat bahwa level signifikansi antara guru SMPN 3 Cimahi dengan SMPN 1 Lembang adalah 0,944426 Level signifikansi tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan diantara kedua lokasi baik pada taraf kepercayaan 99% maupun 95%. Nilai t hitung adalah sebesar 0,07007 dan nilai t
tabel
adalah 2,010635 dengan demikian nilai t
hitung
tabel,
itu
berarti bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan dari kesiapan dan persepsi guru diantara kedua lokasi penelitian Dengan model pembelajaran IPA Terpadu guru mendapatkan wawasan baru tentang aplikasi suatu metode pembelajaran. Hal yang harus diperhatikan guru pada model pembelajaran IPA Terpadu adalah sebagai berikut: 1. Koordinasi yang baik antar guru IPA dalam membuat perencanaan pembelajaran yang berkaitan dengan pemilihan dan penetapan topik pemersatu, perumusan indikator, silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran yang sesuai dengan tema. 2. Pemilihan sumber belajar yang bervariasi dan metode yang sesuai dengan hakikat IPA 3. Pembagian tugas atau kegiatan yang jelas pada saat kegiatan pembelajaran, sehingga masing-masing guru dapat saling mengisi, menguatkan dan menunjukkan adanya kesalingterkaitan konsep.
5
B. Literasi Sains dan Persepsi Siswa tentang Pembelajaran IPA Terpadu Dari hasil pengolahan data persepsi siswa terhadap pembelajaran IPA Terpadu, diketahui bahwa rata-rata skor per item adalah sebesar 4,58, maka dapat disimpulkan bahwa persepsi siswa tentang pembelajaran IPA Terpadu adalah sangat positif. Faktor-faktor yang menyebabkan mengapa siswa lebih termotivasi dengan IPA Terpadu dapat dilihat dari respon
siswa yang menyatakan sangat setuju bahwa
pembelajaran
dengan kehidupan sehari-hari, ada informasi
hendaknya dikaitkan
pendahuluan, latihan-latihan dalam LKS, serta guru mengajukan pertanyaan-pertanyaan pada saat demostrasi IPA terpadu dan presentasi hasil diskusi. Materi juga menjadi lebih menarik dan lebih bermakna
karena guru selalu
mengaplikasikannya pada
lingkungan. Hal ini dapat dijadikan acuan bahwa untuk keberhasilan suatu pembelajaran faktor-faktor diatas hendaknya selalu diperhatikan dan dilaksanakan oleh guru. Dari hasil kuesioner dan observasi siswa juga diketahui bahwa Pembelajaran IPA Terpadu meningkatkan motivasi belajar,
dengan demikian model pembelajaran ini
membuat siswa berpikir positif tentang sains. Seperti dinyatakan oleh Rubba (1993), bahwa karakteristik individu yang memiliki literasi sains diantaranya adalah bersikap positif terhadap sains. Belajar adalah petualangan sepanjang hayat untuk menciptakan pemahaman personal tiap individu. Proses belajar ini haruslah melibatkan kemampuan untuk secara terus menerus menganalisis dan meningkatkan bagaimana cara belajar, dan juga kemampuan untuk sadar akan proses belajar dan berpikir. (Rose et al, 2006). Berdasarkan hal tersebut di atas, pembelajaran IPA hendaknya juga menerapkan pendekatan dan metode pembelajaran yang memberikan ruang gerak dan kesempatan kepada siswa untuk melakukan eksplorasi melalui kegiatan-kegiatan yang relevan, sehingga memungkinkan siswa merekonstruksi kembali pemahaman konseptualnya. Penerapan pembelajaran IPA Terpadu mempengaruhi siswa untuk lebih aktif dalam proses pembelajaran dan bisa
memahami materi lebih baik.
Oleh karena itu model
pembelajaran IPA Terpadu dapat dijadikan sebagai alternatif untuk membelajarkan siswa agar menjadi lebih aktif pada pelajaran IPA. Berikut ini adalah faktor-faktor yang meningkatkan motivasi siswa dalam pembelajaran IPA Terpadu: 1. Guru banyak mengajukan pertanyaan yang dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari. 2. Guru memberikan informasi pendahuluan tentang IPA Terpadu.
6
3. Adanya latihan-latihan dalam LKS. 4.
Pertanyaan-pertanyaan guru pada saat kegiatan pembelajaran
IPA terpadu dan
adanya tugas untuk mempresentasikan hasil diskusi. 5. Guru selalu mengaplikasikan konsep yang sedang dipelajari siswa pada lingkungan.
Pendekatan pembelajaran yang memungkinkan siswa mengembangkan kemampuan dan keterampilannya secara tidak langsung mengajarkan siswa tentang belajar bagaimana mempelajari sesuatu. Dengan demikian, siswa akan terlatih untuk selalu berupaya mengembangkan penalaran dan kreativitasnya dalam rangka pengembangan dirinya. Pada abad pengetahuan yaitu abad 21, diperlukan sumber daya manusia dengan kualitas tinggi yang memiliki keahlian, yaitu mampu bekerja sama, berpikir tingkat tinggi, kreatif, terampil, memahami berbagai budaya, mampu berkomunikasi, dan mampu belajar sepanjang hayat (life long leaning) (Trilling and Hood, 1999). PISA 2006 mendefinisikan literasi (melek) sains sebagai pengetahuan scientific (ilmiah) seseorang dan penggunaan
pengetahuan
tersebut untuk mengidentifikasi
pertanyaan-pertanyaan, memperoleh pengetahuan baru, menjelaskan gejala ilmiah, dan untuk menggambarkan bukti-bukti yang didasarkan pada kesimpulan tentang isu yang terkait dengan sains. Berdasarkan hasil angket siswa terlihat ada peningkatan literasi sains dalam hal mengidentifikasi pertanyaan. Hal ini terlihat dari hasil jawaban angket siswa yang menyatakan 96,45% dari mereka sangat setuju dan setuju bahwa dengan IPA terpadu mereka lebih mudah mengidentifikasi pertanyaan-pertanyaan yang diajukan guru atau teman. Hal ini juga terlihat dari jawaban pertanyaan LKS yang dapat dijawab semua oleh hampir semua kelompok siswa. Namun demikian masih perlu banyak pembiasaan, agar mereka tidak malu dan mau bertanya jika menghadapi kesulitan. Kompetensi ilmiah lain yang dapat dikembangkan dalam pembelajaran IPA Terpadu adalah kemampuan siswa dalam menjelaskan gejala-gejala ilmiah, hal ini terlihat dari observasi pada saat praktikum, dmana siswa dapat memahami hubungan antara aktvitas tubuh dengan laju kecepatan pernapasan seseorang. Siswa juga mengembangkan kompetensi literasi sains yang lain yaitu kemampuan menggunakan bukti ilmiah. Hal ini terbukti dari kemampuan siswa menggunakan tabel hasil pengamatan untuk menyimpulkan hasil kegiatan dan menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan
7
kesimpulan tersebut. Ketiga kemampuan siswa ini sesuai dengan pernyataan Ministry of Education New Zealand bahwa ada tiga kompetensi ilmiah dalam literasi sains, yaitu kemampuan mengidentifikasi isu-isu ilmiah, kemampuan menjelaskan fenomenafenomena secara ilmiah, dan kemampuan menggunakan bukti ilmiah. Semua siswa menyatakan setuju bahwa setelah mempelajari IPA secara terpadu, mereka menyadari bahwa IPA dan teknologi dapat mendorong pada suatu pola kebiasaan hidup tertentu yang lebih baik dan sehat. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa literasi sains siswa yang berkaitan dengan kemampuan menerapkan konsep dan prinsip IPA dalam kehidupan meningkat. Bukti lain yang ditunjukkan literasi sain ini adalah semua kelompok siswa dapat menjawab dengan tepat pertanyaan nomor 5 dalam LKS. Hal ini sesuai dengan pernyataan Rubba (1993), yang menyatakan bahwa karakteristik individu yang memiliki literasi sains diantaranya adalah bersikap positif terhadap sains, memiliki pengetahuan tentang konsep dan prinsip sains, serta mampu menerapkannya dalam teknologi dan masyarakat. Jika kita lihat dari sudut pandang bahwa melek sains juga diartikan sebagai pemahaman tentang karakteristik sains sebagai bentuk pengetahuan manusia dan inkuairi, kesadaran tentang bagaimana sains dan teknologi menghasilkan barang-barang yang kita perlukan, intelektual dan lingkungan budaya, serta kesediaan untuk terlibat dalam isu-isu yang terkait dengan sains, maka masih ada kelemahan yang kurang dapat terjangkau dengan model pembelajaran IPA Terpadu yang telah dilakukan. Hal ini terkait dengan kesediaan untuk terlibat dalam isu-isu yang terkait dengan sains yang masih direspon negatif oleh sebagian siswa, dimana 41,38% siswa menyatakan kurang setuju dan tidak setuju bahwa setelah memahami IPA secara terpadu, mereka bersedia melakukan sesuatu untuk menangani isu-isu yang terkait dengan sains (misalnya ikut program kampanye bahaya rokok bagi kesehatan). Menurut Dahar (1996:110) belajar bermakna akan terjadi jika peserta didik dapat menghubungkan/mengaitkan konsep lama dengan konsep baru sehingga terbentuk suatu konsep yang mantap. Jika sudah demikian maka informasi yang disimpan sebagai konsep dapat digunakan dalam berbagai situasi, termasuk yang sangat berbeda dari yang digunakan dalam proses belajar. Oleh karena itu menjadi tugas guru untuk membiasakan siswanya diakhir kegiatan pembelajaran untuk menuliskan tindakantindakan positif yang dapat dia lakukan sebagai individu dalam menerapkan konsep yang
8
telah dia pelajari yang berguna bagi diri, keluarga, dan lingkungannya. Oleh karena itu pendekatan yang paling tepat pada saat melaksanakan pembelajaran IPA terpadu adalah pendekatan STS (sains, teknologi, dan masyarakat). Dengan pendekatan ini, siswa dilatih untuk menggunakan proses-proses ilmiah dalam menerapkan konsep-konsep dan keterampilan-keterampilan sains guna memecahkan masalah-masalah yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Dengan pendekatan STS dalam pembelajaran IPA Terpadu diharapkan literasi sains siswa dapat meningkat. Hal ini sesuai dengan pendapar Yager dalam Rubba, (1993), yang menyatakan bahwa pengajaran dengan pendekatan STS dapat meningkatkan literasi sains dan teknologi individu. Dari hasil uji statistik untuk kuesioner siswa, diketahui bahwa terdapat perbedaan yang signifikan dari persepsi siswa pada kedua lokasi penelitian, baik jika dilihat dari level signifikansi maupun dari nilai t hitung dan t tabel. Dari tabel 4 dapat dilihat bahwa level signifikansi antara SMPN 3 Cimahi dengan SMPN 1 Lembang untuk persepsi siswa adalah 0,012633, Level signifikansi tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan diantara kedua lokasi pada taraf kepercayaan 95%, namun pada taraf kepercayaan 99%, hasil ini tidak berbeda nyata. Nilai t 2,62514 dan nilai t
tabel
adalah 2,028094, dengan demikian nilai t
hitung
hitung
>t
adalah sebesar tabel,
itu berarti
bahwa terdapat perbedaan yang signifikan dari persepsi siswa diantara kedua lokasi penelitian
5.1 Kesimpulan Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: 1. Penerapan pembelajaran IPA Terpadu mempengaruhi literasi sains siswa. 2. Beberapa kompetensi ilmiah literasi sains yang berkembang yaitu dalam hal bersikap positif terhadap sains, kemampuan mengidentifikasi pertanyaanpertanyaan, menjelaskan gejala-gejala atau fenomena-fenomena secara ilmiah, dan kemampuan menggunakan bukti ilmiah. 3. Kesiapan dan persepsi guru tentang pembelajaran IPA Terpadu adalah positif dan sangat positif, sedangkan persepsi siswa adalah sangat positif
9
DAFTAR PUSTAKA AAAS, 2006, Benchmarks for Science Literacy A tool for curriculum reform, http://www.project2061.org/publications/bsl/online, 1 Oktober 2008. Anonime, 2006, Review of Science Education Literature and Reports: Executive Summary,http://www.dest.gov.au/.../publications_resources/science_in_australian.schoo l/executive_summary.htm, 1 Oktober 2008. Chamberlain, P.J., 1985, Integrated Science as a Preparation for “A” Level Physics, Chemistry and Biology, Research in Science&Technological Education, volume 3, Issues 2 1985, pages 153-158. Chiu, M.F & Kao, H.L.2006, An Exploration of Effect of Integrated Teaching about the History of Science upon Elementary School Children’s Viewpoints of the Nature of Science, Chinese Journal of Science Education, Vol. 14 No. 2 , hal 163 – 187. Cotter, G., Frame, M., Sepic, R., 2004, Integrated Science for Environmental Decisionmaking: The Chalenge for Biodiversity and Ecosystem Informatics, Science Journal, Volume 3, 28 April 2004 Depdiknas, 2006, Model Pembelajaran Terpadu IPA, SMP/MTs/SMP LB, Pusat Kurikulum Balitbang Diknas. Galbreath, J. 1999. Preparing the 21st Century Worker: The Link Between ComputerBased Technology and Future Skill Sets. Educational Technology. Desember: 1422. Johnson, E. B. 2002. Contextual Teaching and Learning. California: Corwin Press, Inc. Lang, M., and Olson, J., 2000. Integrated Science Teaching as a Challenge for Teachers to Develop New Conceptual Structures, Research in Science Education 2000, 30 (2), 213-224. Larry D.Y. 2006, What is Meant by Constructivist Science Teaching and Will the Science Education Community Stay the Course for Meaningful Reform?. http://unr.edu/homepage/crowther/ejse/yore/html, 1 Oktober 2008 Main,J.D., Rowe,M.D. (1993). The Relation of Locus of Control Orientation and Task Structure to Problem Solving Perfomance of Sixth-Grade Student Pairs, Journal of Research in Science Teaching. 30 (4):401-426. Ministry of Education, Science literacy achievement: senior secondary schooling, Wellington, New Zealand
10
National Science Teacher Association.(NSTA) 1993. Standars For Science teacher Preparation. http://www.nsta.org/main/pdfs/NSTAstandards2003.pdf. 1 Oktober 200 Rofi’uddin, A. 2000. Model Pendidikan Berpikir Kritis-Kreatif Untuk Siswa Sekolah Dasar. Majalah Bahasa dan Seni 1(28) Pebruari : 72-94. Rubba, P.A. (1993), “Examination of Preservice and Inservice Secondary Science Teachers Beliefs about Science –Technology-Society Interactions”, Science Education, 407-431. Silberman, M.L.(1996). Active Learning: 101 Strategies to Teach Any Subject. Boston: Allyn and Bacon. Slameto. 2003. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta. Susianna , N. 2007, The Use of Mind-Mapping in Integrating Science and Social Learning for High School Students, Fakultas Ilmu Pendidikan – Universitas Pelita Harapan. Tri Jalmo, 2007, Profile Of Science Teachers’ Performances Of Junior High School In Bandar Lampung City In Anticipating Educational Standardization Era, Department of Biology Education, FPMIPA, FKIP, Universitas Lampung
11