PENGARUH PENDIDIKAN FORMAL, PELATIHAN, DAN

Download Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 19, Nomor 1 ... pengaruh tingkat pendidikan formal, intensitas pelatihan, dan intensitas pertemuan a...

0 downloads 755 Views 89KB Size
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 19, Nomor 1, Maret 2013

PENGARUH PENDIDIKAN FORMAL, PELATIHAN, DAN INTENSITAS PERTEMUAN TERHADAP KOMPETENSI PENYULUH PERTANIAN (THE INFLUENCE OF FORMAL EDUCATION, TRAINING, AND MEETING INTENSITY TO THE COMPETENCE OF AGRICULTURAL EXTENTION EDUCATION AGENT) Oos M. Anwas Pustekkom Kemdikbud Jalan RE. Martadinata Ciputat Km 15,5 Tangerang Selatan, Banten e-mail: [email protected] Diterima tanggal: 3/11/2012; Dikembalikan untuk revisi tanggal: 26/11/2012; Disetujui tanggal: 8/02/2013 Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi: 1) tingkat pendidikan formal, intensitas pelatihan, intensitas pertemuan antarpenyuluh, dan kompetensi penyuluh pertanian; dan 2) pengaruh tingkat pendidikan formal, intensitas pelatihan, dan intensitas pertemuan antarpenyuluh terhadap peningkatan kompetensi penyuluh pertanian. Penelitian menggunakan metode survei terhadap penyuluh pertanian Pegawai Negeri Sipil di Kabupaten Karawang dan Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat. Pengolahan data menggunakan analisis deskriftip dan regresi berganda. Hasil analisis dekriptif menunjukkan bahwa tingkat pendidikan formal rendah, intensitas pertemuan antarpenyuluh tinggi, intensitas pelatihan masih sangat rendah, dan kompetensi penyuluh pertanian rendah. Hasil analisis regresi berganda menunjukkan bahwa intensitas pertemuan antarpenyuluh dan intensitas pelatihan berpengaruh signifikan terhadap kompetensi penyuluh pertanian, sedangkan tingkat pendidikan formal yang diikuti penyuluh setelah menjadi penyuluh PNS tidak cukup signifikan berpengaruh dalam membentuk kompetensi penyuluh pertanian. Oleh karena itu, intensitas pertemuan antarpenyuluh dan intensitas pelatihan perlu ditingkatkan. Kata kunci: pendidikan formal, intensitas pelatihan, intensitas pertemuan antarpenyuluh, dan kompetensi penyuluh pertanian Abstract: This research aimed to find out: 1) the level of formal education, training intensity, meeting intensity, and competence of extention education agent; and 2) the influence of the level of formal education, training intensity, meeting intensity, and competence of extention education agent to the enhancement of competence of the extention education agent. The research used survey method applied to public service extention education agents in Karawang District and Garut District, West Java. Descriptive and multiple regression analysis were used to proceed the data. The result of descriptive statistic analysis showed that the level of formal education was low, the intensity of meeting among the extention education agents mostly was high, the intensity of attended training was very low, and the competence of extention education agent was also low. The analysis of multiple regression showed that the intensity of meeting among the extention education agents and the intensity of training influenced significantly toward the competency of extention education agents, while the level of in-service formal education followed by public service extension education agents was not significant enough to influence their competency. For that reason the intensity of meeting and training should be enhanced. Keywords: the formal education, the intensity of training, the intensity of meeting among extention education agents, the competency of agricultural extention education agent.

50

Oos M. Anwas, Pengaruh Pendidikan Formal, Pelatihan, dan Intensitas Pertemuan terhadap Kompetensi Penyuluh Pertanian

Pendahuluan

yang dihadapi merupakan tantangan tersendiri

Penyuluhan (extention education) merupakan

bagi penyuluh pertanian. Penyuluhan pertanian

upaya untuk mengubah perilaku klien ke arah yang

diarahkan untuk memberdayakan petani yang

lebih baik dalam meningkatkan kualitas hidup dan

diwujudkan dalam bentuk tingkat partisipasi

kesejahteraan masyarakat. Kegiatan penyuluhan

(Anwas, 2011). Dalam realisasinya, menum-

(pendidikan nonformal) ini diperlukan dalam

buhkan partisipasi aktif masyarakat tidaklah

berbag ai kehidup an masyara kat, mulai dari

mudah. Oleh karena itu, keberhasilan penyuluhan

penyuluhan pertanian, perikanan, kehutanan,

did uga berk orel asi posi tif deng an k uali tas

kesehatan, keluarga berencana, hukum, pen-

penyuluh di lapangan.

didikan, dan aspek penyuluhan lainnya. Dalam

Hasil-hasil penelitian yang terkait dengan

perkembangannya, kegiatan penyuluhan ter-

kompetensi penyuluh seperti dilakukan Bambang

utama dalam penyuluhan pertanian mengalami

Nuryanto (2008) dan Teddy Rachmat Mulyadi

berbagai tuntutan perubahan. Hal ini disebabkan

(2009) menunjukkan masih lemahnya kompetensi

ol eh p erub ahan sistem pem erintaha n da ri

penyuluh pertanian. Rendahnya mutu tenaga

sentralisasi menjadi desentralisasi (otonomi

penyuluh juga ditegaskan oleh Margono Slamet

daerah) dan lahirnya Undang-Undang Nomor 16

(2008) bahwa idealnya penyuluh lapangan itu

Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian,

juga profesional yang mampu berimprovisasi

Perikanan, dan Kehutanan.

secara bertanggung jawab sesuai dengan situasi

Sistem otonomi daerah dan lahirnya Undang-

dan kondisi lapangan yang dihadapi, namun

Undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem

tenaga-tenaga yang profesional semacam itu

Penyuluhan Pertanian, ternyata dalam reali-

pada saat ini belum cukup tersedia. Kondisi ini

sasinya berakibat pada beragamnya penyuluhan

mengindikasikan perlunya berbagai pihak untuk

pertanian di setiap kabupaten/kota. Realisasi

mengkaji bagaimana m eningkatkan kualitas

penyuluhan tersebut sangat ditentukan oleh

penyuluh.

kebijakan dari pimpinan daerah. Dalam hal ini

Untuk meningkatkan kompetensi itu banyak

Sumardjo (2006) mengidentifikasi beberapa

upaya yang dapat dilakukan di antaranya melalui

permasalahan penyuluhan di era otonomi daerah

peningk atan pendidi kan form al, pela tiha n,

di antaranya: 1) adanya kesalahan persepsi bagi

pertemuan atau diskusi antarpenyuluh, menye-

para penyelenggara penyuluhan di daerah; 2) citra

diakan lahan/tempat uji coba inovasi pertanian,

penyuluhan dianggap masih kurang baik; 3) apriori

penyediaan sarana dan prasarana penyuluhan,

di kal anga n ma syar akat ter tent u te rhad ap

dan kegiatan lainnya. Berdasarkan identifikasi

penyuluhan; 4) di masa lalu penyuluhan terwarnai

tersebut, pendidikan formal yang diikuti setelah

oleh muatan politik organisasi politik tertentu; dan

menjadi penyuluh pertanian, pelatihan, dan

5) di era otonomi penyuluhan ditinggalkan oleh

kegiatan pertemuan antarpenyuluh diasumsikan

sebagian penguasa di daerah karena tidak jelas

memiliki pengaruh yang signifikan terhadap

dan tidak tampak secara langsung.

peningkatan kompetensi penyuluh. Oleh karena

Di sisi lain, profesionalisme tenaga penyuluh

itu, perlu dilakukan penelitian terhadap variabel-

pertanian semakin dituntut untuk dapat menye-

variabel tersebut. Adapun masalah penelitian ini

suaikan dengan kebutuhan dan dinamika masya-

dirumuskan sebagai berikut: 1) bagaimana tingkat

rakat yang terus berkembang. Tenaga penyuluh

pendidikan formal lanjutan, intensitas pelatihan,

merupakan ujung tombak pelaksanaan penyu-

dan intensitas pertemuan antarpenyuluh; dan

luhan, karena berhadapan langsung dengan klien

2) apakah tingkat pendidikan formal lanjutan,

di lapangan. Tuntutan profesionalisme dan peru-

intensitas pelatihan, dan intensitas pertemuan

bahan tersebut perlu dijawab dengan upaya

antarpenyuluh berpengaruh secara signifikan

meningkatkan kompetensi para penyuluh per-

terha dap pening katan komp etensi penyuluh

tanian. Pergeseran pendekatan penyuluhan dari

pertanian.

top down ke arah partisipatif dengan memberikan

Berdasarkan permasalahan tersebut maka

kesempatan pada masyarakat untuk aktif seluas-

tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui: 1)

luasnya dalam memecahkan masalah-masalah

tingkat pendidikan formal yang diikuti penyuluh

51

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 19, Nomor 1, Maret 2013

se tela h me njad i pe nyul uh PNS, inte nsit as

ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh

pelatihan, intensitas pertemuan antarpenyuluh,

Lim, dkk (2008) dalam menganalisis keterkaitan

dan kompetensi penyuluh pertanian; dan 2)

program pendidi kan dan moti vasi dengan

pengaruh tingkat pendidikan formal yang diikuti

pembentukan kompetensi guru di Korea. Hasil

penyuluh setelah menjadi penyuluh Pegawai

penelitian ini menunjukkan bahwa adanya keter-

Negeri Sipil (PNS), intensitas pelatihan, dan

kaitan antara program pendidikan dan motivasi

intensitas pertemuan antarpenyuluh terhadap

dalam pembentukan kompetensi guru di Korea.

peningkatan kompetensi penyuluh pertanian.

Kajian tersebut membuktikan bahwa mengikuti pendidikan formal merupakan suatu upaya untuk

Kajian Literatur

meningkatkan kemampuan atau kompetensi.

Pendidikan Formal

Oleh karena itu, pendidikan formal yang diikuti

Secara umum jalur pendidikan dapat dikatagorikan

penyuluh pertanian diduga berpengaruh signifikan

dalam tiga kelompok yaitu jalur pendidikan formal,

terhadap peningkatan kompetensinya.

nonformal, dan informal. Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Pelatihan

Nasional, pendidikan formal adalah jalur pen-

Kompetensi Penyuluh Pertanian

didikan yang terstruktur dan berjenjang yang

Dalam pengembangan sumber daya manusia,

ter diri

pend idik an

pelatihan memiliki peran yang sangat penting

menengah, dan pendidikan tinggi. Pendidikan

ata s pe ndid ikan

dasar,

untuk meningkatkan kemampuan pegawai sesuai

nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendi-

tuntutan perubahan zaman. Pelatihan menurut

dikan formal yang dapat dilaksanakan secara

Bosk er (1997 ) adalah suatu k egiatan pem-

terstruktur dan berjenjang, sedangkan pendi-

belajaran yang terprogram dengan tujuan untuk

dikan informal adalah jalur pendidikan keluarga

meningkatkan kemampuan dan keterampilan

dan lingkungan.

peserta . Me nurut Mondy dan Noe (199 6),

Dalam perkembangannya, pendidikan formal

pelatihan merupakan aktivitas yang dilakukan

tidak hanya dilaksanakan secara konvensional,

untuk meningkatkan keahlian, pengetahuan, dan

tetapi dapat dilakukan dengan sistem jarak jauh,

sikap dalam rangka meningkatkan kinerja saat ini

atau mendayagunakan Teknologi Informasi dan

dan masa yang akan datang. Dengan demikian,

Komunikasi (TIK). Manfaat mendayagunakan TIK

pelatihan merupakan upaya untuk meningkatkan

dalam pendidikan formal ini memberikan banyak

kemampuan peserta sehingga kinerjanya dapat

alternatif sumber belajar, mengatasi berbagai

meningkat sesuai kebutuhan.

kendala komunikasi dalam sistem konvensional,

Pe rkem bang an t eknologi inf orma si d an

serta dapat menciptakan peserta didik lebih aktif

komunikasi telah mempengaruhi sistem pelatihan.

dan gairah untuk belajar. Menurut Anwas (2011)

Oleh karena itu, pelatihan dalam meningkatkan

pendayagunaan TIK untuk pendidikan, khususnya

kemampuan penyuluh tidak hanya dapat dilaku-

pendidikan formal diperlukan empat aspek, yaitu

kan secara konvensional, akan tetapi dapat di-

mulai dari kebijakan pimpinan lembaga pendi-

lakukan melalui pemanfaatan Teknologi Informasi

dikan, penyediaan infrastruktur, penyediaan dan

dan Komunikasi (TIK). Pendayagunaan TIK untuk

akses konten TIK yang relevan, serta membangun

kegiatan pembelajaran atau pelatihan dapat

sistem pemanfaatanya.

dilakukan melalui online, offline, atau melalui

Pendidikan formal bagi penyuluh pertanian

teknologi penyiaran (Yuni Sugiarti, 2012). Metode

merupakan tuntutan profesi dan tuntutan masya-

dan materi pelatihan disesuaikan dengan tun-

rakat yang terus berkembang. Artinya mengikuti

tutan, kebutuhan, dan perkembangan zaman

pendidikan formal ditujukan untuk meningkatkan

yang dapat dilakukan melalui analisis kebutuhan

kemampuan, sikap, dan keterampilannya yang

di lapangan.

se suai dengan tunt utan pek erja an sebag ai

Penyuluh pertanian merupakan pekerjaan

penyuluh. Menurut Slamet (1992) dan Mardikanto

profesional yang bekerja pada organisasi formal.

(1993) bahwa tingkat pendidikan formal dapat

Menurut Mathis dan Jackson (2000), bekerja di

mempengaruhi tingkat kompetensi individu. Hal

dalam organisasi merupakan proses belajar yang

52

Oos M. Anwas, Pengaruh Pendidikan Formal, Pelatihan, dan Intensitas Pertemuan terhadap Kompetensi Penyuluh Pertanian

berkelanjutan, dan belajar sebagai jantung dari

Tempat pertemuan dilaksanakan di tingkat keca-

seluruh aktivitas pelatihan. Belajar di sini di-

matan masing-masing atau dibagi dalam wilayah

lakukan dengan cara berbeda-beda bergantung

(beberapa kecamatan) atau kadang-kadang di

pada pribadi yang bersangkutan. Hasil penelitian

tingkat kabupaten. Pertemuan antarpenyuluh baik

yang dilakukan Frisdiantara, dkk (2011) terhadap

di tingkat kecamatan (Balai Penyuluhan) atau di

kompetensi manajerial Sarjana Akuntansi di

tingkat desa/kelurahan (Pos penyuluhan desa/

Jakarta, Surabaya, dan Malang menunjukkan

kelurahan) penting bagi penyuluh sebagai wa-

bahwa pelatihan berpengaruh secara signisifikan

hana komunikasi dan tukar informasi khususnya

dalam memperkuat kompetensi lulusan sarjana

antarpenyuluh. Dalam perspektif komunikasi

akuntansi. Penelitian ini membuktikan bahwa

massa, salah satu dampak negatif dari perkem-

kegiatan pelatihan merupakan variabel penting

bangan teknologi informasi dan komunikasi adalah

dalam membentuk kompetensi.

kesenjangan pengetahuan yang semakin melebar

Pelatihan merupakan upaya meningkatkan

(Sever in d an Tanka rd, 2001 ). U paya unt uk

diri, baik dalam aspek pengetahuan, sikap, dan

mengatasi kesenjangan pengetahuan tersebut

keterampilan. Jika frekuensi pelatihan sering

menurut Viswanath (dalam Severin dan Tankard,

dilakukan, maka penyuluh mendapatkan penge-

2001) adalah melalui kegiatan atau pertemuan

tahuan, sikap, dan keterampilan yang dibutuhkan

kelompok dan segmentasi media yang sesuai

dalam kegiatan penyuluhan. Di sisi lain, mengikuti

dengan sasaran. Oleh karena itu, pertemuan

kegiatan pelatihan tidak hanya mendapatkan ilmu

antarpenyuluh ini adalah merupakan wahana

pengetahuan saja, akan tetapi penyuluh sangat

komunikasi, berbagi pengalaman, serta wahana

dimungkinkan untuk mendapatkan aspek lain

untuk memecahkan berbagai masalah yang terkait

yang berguna untuk meningkat kan kemam-

dengan kegiatan penyuluhan pertanian yang

puanya. Aspek lain tersebut di antaranya: ber-

dihadapi di tempat kerjanya masing-masing.

int erak si d enga n na ra sumbe r (i nstr uktur)

Dalam kajian ilmu komunikasi, pertemuan

pelatihan, berbagi (sharing) pengalaman dengan

antarpenyuluh merupakan bentuk komunikasi

se sama penyuluh, m emp erol eh e nerg i ba ru

int erpe rsonal. Dala m pe rtem uan ini terj adi

(motivasi) untuk belajar, serta informasi terbaru

komunikasi antarpenyuluh, komunikasi penyuluh

lainnya yang diperlukan dalam penyuluhan. Oleh

dengan pimpinan penyuluh, komunikasi penyuluh

karena itu, diduga bahwa semakin banyak inten-

dengan nara sumber, bahkan terjadi pula komu-

sitas kegiatan pelatihan yang diikuti penyuluh,

nikasi penyuluh dengan klien. Melalui wahana ini

maka kompetensinya juga meningkat. Dengan

penyuluh dapat berbagi pengalaman dan meme-

de miki an, inte nsit as p ela tiha n ya ng d iikuti

cahkan masalah-masalah yang dihadapi sehari-

penyuluh berpengaruh terhadap peningkatan

hari da lam melaksana kan tugasnya sebagai

kompetensinya.

penyuluh pertanian. Oleh karena itu, kegiatan pertemuan antarpenyuluh diduga berpengaruh

Pertemuan Antarpenyuluh

secara signifikan terhadap peningkatan kompe-

Dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006

tensi penyuluh pertanian.

tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan, menyebutkan bahwa di tingkat

Kompetensi Penyuluh

kecamatan dibentuk Balai Penyuluhan. Salah satu

Konsep kompetensi mengacu pada pemikiran

fungsi dari Balai Penyuluhan adalah sebagai

Boyatzis (1984), Spencer and Spencer (1993),

tempat pertemuan para penyuluh, pelaku utama,

Sumardjo, (2009), yang dapat disarikan bahwa

dan pelaku usaha. Begitu pula pada tingkat desa/

kompetensi adalah kemampuan yang dilandasi

kelurahan dibentuk Pos penyuluhan desa/kelu-

oleh pengetahuan, keterampilan, dan didukung

rahan. Pos penyuluhan ini berfungsi sebagai

oleh sikapnya yang dituntut dalam melaksanakan

tempat pertemuan para penyuluh, pelaku utama,

tug as p eker jaanya. Ini bera rti komp etensi

dan pelaku usaha di tingkat kelurahaan atau desa.

penyuluh pertanian adalah kemampuan yang

Pertemuan antarpenyuluh merupakan perte-

dilandasi oleh pengetahuan, keterampilan, dan

muan rutin yang dilakukan sebulan dua kali.

didukung oleh sikap yang dituntut dalam melak-

53

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 19, Nomor 1, Maret 2013

sanakan tugasnya dalam memberdayakan petani

Sampel diambil secara random menggunakan

(Anwas, 2011).

teknik random sampling dengan menggunakan

Berdasarkan kajian dari pemikiran beberapa

rumus Slovin (dalam Sevilla dkk., 1993) pada

pakar penyuluhan, diantaranya: Van den Ban dan

persen kelonggaran sebesar 7 persen. Hasil

Hawkins (1996), Asngari (2006). Sumardjo (1999),

perhitungan dengan rumus Slovin te rsebut,

dan Slamet (1992), serta memperhatikan Undang-

ditetapkan jumlah sampel penelitian sebanyak

Undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem

170 orang, yang terdiri dari 80 orang penyuluh

Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehu-

yang bertugas di pertanian padi dan 90 orang

tanan, dapat dirumuskan tujuh dimensi kompe-

penyuluh yang bertugas di pertanian sayuran.

tensi penyuluh pertanian dalam memberdayakan

Instrumen penelitian telah diuji validitas dan

petani. Adapun ketujuh dimensi kompetensi

reliabilitasnya. Validitas instrumen yang diuji dalam

tersebut adalah: 1) Kompetensi Pemahaman Po-

penelitian ini yaitu validitas isi (content validity) dan

tensi Wilayah; 2) Kompetensi Komunikasi Inovasi;

validitas konstruk (construct validity). Uji validitas

3) Kompetensi Pengelolaan Pembelajaran; 4)

konstruk dilakukan uji coba kuesioner terhadap

Kom pete nsi Peng elol aan Pemb ahar uan; 5)

sasaran yang relatif sama dengan objek pene-

Kompetensi Pengelolaan Pelatihan; 6) Kompetensi

litian. Uji coba ini dilakukan terhadap 30 penyuluh

Pengembangan Kewirausahaan; dan 7) Kompe-

di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Selanjutnya, skor

tensi Pemandu Sistem Jaringan (Anwas, 2009).

tiap item dikorelasikan (Korelasi Pearson Product Moment) antara skor tes dengan skor kriteria. Uji

Metode Penelitian

reliabilitas instrumen diolah dengan mengguna-

Penelitian ini menggunakan metode survei, yaitu

kan teknik Alpha Cronbach. Instrumen penelitian

cross sectional survey dimana pengumpulan data

berdasarkan hasil uji validitas dan reliabilitas

penelitian dilakukan pada saat yang bersamaan

secara umum valid dan reliabel.

antara peubah X dengan Y. Variabel yang diteliti

Pengumpulan data dilakukan pada bulan

yaitu tingkat pendidikan formal (X1), intensitas

Februari sampai dengan April 2009. Data yang

pelatihan (X2), intensitas pertemuan antar-

dikumpulkan menggunakan beberapa cara, yaitu:

penyuluh (X3) dan kompetensi penyuluh pertanian

pengamatan (observation), kuesioner (questioner),

(Y).

dan wawancara (interview). Data yang diperoleh Definisi operasional dari variabel tingkat

dari lapangan melalui kuesioner merupakan data

pendidikan formal adalah jenjang pendidikan

skala ordinal dengan simbol 1, 2, 3 dan 4. Untuk

formal (Diploma 1, Diploma 3, Sarjana/Diploma 4,

keperluan analisis statistik (statistik parametrik),

Magister, dan Doktor) yang diikuti penyuluh

dilakukan tranformasi data ke data interval. Dalam

setelah menjadi penyuluh PNS baik di perguruan

tranformasi indeks indikator, tiap indikator memiliki

tinggi negeri maupun swasta. Intensitas pelatihan

nilai 0 s.d 100. Nilai indeks terkecil 0 diberikan

didefinisikan sebagai keseringan/frekuensi pe-

untuk jumlah skor terendah dan nilai 100 untuk

nyuluh mengikuti pelatihan dalam lima tahun

jumlah skor tertinggi dari tiap indikator. Pem-

terakhir sejak penelitian ini dilakukan. Intensitas

bulatan angka menyesuaikan pembulatan dalam

pertemuan antarpenyuluh didefinisikan sebagai

program komputer. Pengolahan data digunakan

tingkat keseringan penyuluh dalam mengikuti

analisis kuantitatif dengan bantuan softwere

per temuan a ntarp enyuluh dalam tig a bulan

aplikasi SPSS versi 17.

terakhir sejak penelitian ini dilakukan. Kompetensi

Untuk mendukung dan mempertajam analisis

penyuluh pertanian adalah kemampuan yang

kuantitatif dilengkapi dengan informasi ber-

dilandasi oleh pengetahuan, keterampilan, dan

dasarkan data kualitatif (Dey, 1993). Analisis

didukung oleh sikapnya dalam melaksanakan

kuantitatif menggunakan statistik yang meliputi:

tugas penyuluhan dalam memberdayakan petani.

analisis statistik deskriptif dan analisis regresi

Populasi dalam penelitian ini yaitu penyuluh

berganda (Kerlinger, 1993; Johnson dan Wichern,

pertanian Pegawai Negeri Sipil garapan padi di

2002). Analisis dekriptif dilakukan untuk men-

Kabupaten Karawang dan penyuluh garapan

desktipsikan data tentang: tingkat pendidikan

sayuran di Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat.

formal lanjutan (X1), intensitas pelatihan (X2),

54

Oos M. Anwas, Pengaruh Pendidikan Formal, Pelatihan, dan Intensitas Pertemuan terhadap Kompetensi Penyuluh Pertanian

intensitas pertemuan antarpenyuluh (X3), dan

meningkatkan SDM penyuluh sesuai dengan

kompetensi penyuluh pertanian (Y). Analisis

amanat Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006

re gresi be rganda d igunakan unt uk m enguji

tentang Sistem Penyuluhan Pertanian.

pengaruh: tingkat pendidikan formal lanjutan (X1),

Intensitas pertemuan antarpenyuluh (Tabel

intensitas pelatihan (X2), dan intensitas per-

1) sebagian besar (78%) dalam katagori tinggi.

temuan antarpenyuluh (X3) terhadap peningkatan

Begitupun rata-rata skor (sebesar 93) yaitu ada

kompetensi penyuluh pertanian (Y).

dalam katagori tinggi (skor 76 s.d. 100). Pertemuan antarpenyuluh ini merupakan pertemuan

Hasil Penelitian dan Pembahasan

rutin yang dilakukan sebulan dua kali. Tempat

Deskripsi Pendidikan Formal, Pelatihan,

pertemuan dilaksanakan di tingkat kecamatan

Intensitas Pertemuan, dan Kompetensi

ma sing -masing atau di bagi dal am w ilay ah

Penyuluh

(beberapa kecamatan) atau kadang-kadang di

Variabel penelitian yang diteliti berdasarkan hasil

tingkat kabupaten. Pertemuan antarpenyuluh ini

pengump ulan data yait u tingkat pendidikan

merupakan media belajar terutama dalam me-

formal, intensitas mengikuti pertemuan antar-

mecahkan masalah-masalah yang dihadapi oleh

penyuluh, intensitas mengikuti pelatihan, dan

masing-masing penyuluh di lapangan. Pertemuan

kompetensi penyuluh dapat dideskripsikan dalam

ini juga merupakan media untuk berbagi (sharing)

Tabel 1 (Anwas, 2009). Tingkat pendidikan formal

pengalaman dan informasi atau temuan baru yang

yang dilakukan penyuluh cukup menyebar yaitu

terkait dengan pelaksanaan tugas penyuluhan.

34% dalam katagori sedang, 28% dalam katagori

Intensitas pelatihan yang diikuti penyuluh

rendah, 21% sangat rendah, dan hanya 17%

dalam lima tahun terakhir menunjukkan sebagian

dalam katagori tinggi. Namun dari rata-rata skor

besar (71%) sangat rendah. Begitu pula rata-rata

sebesar 50, berada dalam katagori rendah (skor

skor sebesar 20, berada dalam katagori sangat

26 s.d. 50).

rendah (skor 0 s.d. 25). Ini menunjukkan bahwa

Berdasarkan pendalaman di lapangan, ke-

kegiatan pelatihan yang dilakukan penyuluh dalam

ragaman dalam penyebaran tingkat pendidikan

lima tahun terakhir sangat jarang. Hasil ini juga

formal ini terkait dengan beragamnya kemampuan

dapat ditafsirkan, bahwa perhatian pemerintah

(terutama finansial) dan kesempatan penyuluh

dan lembaga penyuluhan dalam peningkatan SDM

untuk mengikuti pendidikan formal. Kenyataannya

penyuluh di tempat penelitian ini masih sangat

untuk melanjutkan pendidikan formal seperti

rendah. Rendahnya intensitas pelatihan ini diduga

program beasiswa atau tugas belajar masih

berpengaruh terhadap kompetensi penyuluh.

sangat terbatas. Biaya pendidikan formal lanjutan

Kompetensi penyuluh menunjukkan lebih dari

harus ditanggung oleh penyuluh yang bersang-

setengahnya (64%) dalam katagori rendah.

kutan. Hal ini adalah pekerjaan rumah bagi

Begitu pula rata-rata skor berada dalam katagori

pem erinta h dan lemba ga pe nyuluhan untuk

rendah (skor 26 s.d. 50). Masih rendahnya kom-

Tabel 1.

Sebaran Persentase dan Rata-rata Skor Tingkat Pendidikan Formal, Intensitas Pertemuan, Intensitas Pelatihan, dan Kompetensi Penyuluh

Variabel

Katagori

Tingkat Pendidikan Formal %

Rata2 Skor

Intensitas Pertemuan

%

3

71

20

2

25

64

2

35

2

0

Sangat Rendah

21

Rendah

28

Sedang

34

18

Tinggi

17

78

50

Kompetensi

Rata2 Skor

%

Rata2 Skor

Intensitas Pelatihan

93

%

Rata2 Skor

1 48

Keterangan: 0 – 25 = Sangat rendah, 26 – 50 = Rendah, 51 – 75 = Sedang, 76 – 100 = Tinggi 55

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 19, Nomor 1, Maret 2013

petensi penyuluh tersebut diduga dipengaruhi

pertemuan antarpenyuluh merupakan pertemuan

ol eh k etig a va riab el t ersebut yai tu t ingk at

rutin di Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) yang

pendidikan formal, intensitas mengikuti pertemuan

dilakukan sebula n dua kali . Kadang-k adang

antarpenyuluh, dan intensitas mengikuti pe-

dilakukan perwilayah atau di kabupaten. Perte-

latihan.

muan rutin ini merupakan sarana belajar. Penyuluh belajar mendalami materi dan membicarakan

Pengaruh Pendidikan Formal, Pelatihan, dan

temuan-temuan di lapangan masing-masing.

Intensitas Pertemuan, terhadap Kompetensi

Penyuluh juga berbagi informasi inovasi-inovasi

Penyuluh

baru dan mendiskusik an perma salahan dari

Variabel yang diteliti berpengaruh terhadap

lapangan.

kompetensi penyuluh pertanian dalam penelitian

Dalam era informasi, setiap penyuluh tidak

ini yaitu tingkat pendidikan formal, intensitas

bisa lepas dari terpaan (exposure) media massa.

mengikuti

dan

Ke butuhan dan tunt uta n ma syar akat ser ta

intensitas mengikuti pelatihan. Hasil uji regresi

perkembangan inovasi dan teknologi pertanian

berganda diketahui (Tabel 2) bahwa yang ber-

seringkali diperoleh melalui media massa, baik

pengaruh signifikan dan positif terhadap kom-

media cetak maupun elektronik. Para penyuluh

petensi penyuluh yaitu: 1) intensitas pertemuan

wal aupun pr ofesinya sam a, t etap i me mili ki

antarpenyuluh (p=0,000); dan 2) intensitas

berbagai perbedaan karakteristik dan kemampuan

pelatihan (p=0,000), sedangkan tingkat pendi-

dalam merespon terpaan media massa tersebut.

dikan formal lanjutan terbukti tidak berpengaruh

Dalam perspektif komunikasi massa, kegiatan

secara signifikan (p=0,680) (Anwas, 2009).

pertemuan dapat menjadi wahana pendalaman

p erte muan

ant arpe nyul uh,

Intensitas pertemuan antarpenyuluh menun-

dan klarifikasi atas respon penyuluh yang relatif

jukkan koefisien regresi nyata pada taraf ke-

beragam terhadap terpaan media massa. Hal ini

per cayaan 0,01. Artinya, p ertemuan ant ar-

sejalan dengan teori Lazarsfeld yaitu teori komu-

penyuluh merupakan wahana yang berpengaruh

nikasi dua tahap (two step flow) (Sandjaja. dkk,

signifikan terhadap kompetensi penyuluh. Inten-

2004), teori Difusi Inovasi (Rogers, 1995) dan

sitas pertemuan antarpenyuluh yang dilakukan

teori Kincaid dan Schramm (1987). Pendapat

sebulan dua kali, sudah menjadi wahana mendis-

um um d itentuka n ol eh proses saling me m-

kusikan masalah-masalah yang ditemukan di

pengaruhi antara komunikasi massa, komunikasi

lapangan, berbagi (sharing) pengalaman, wahana

anta rpribad i, dan persepsi indiv idu tentang

informasi inovasi/teknologi baru, serta sebagai

pendapatnya dalam hubungannya dengan pen-

me dia komunika si a nta rpenyuluh da n juga

dapat orang-orang lain sekitarnya (Severin dan

penyuluh dengan pimpinan lembaga penyuluhan.

Tankard, 2001). Oleh karena itu, upaya untuk

Hasil pendalaman dengan beberapa penyuluh

mengatasi kesenjangan respon terhadap media

senior di lapangan, menjelaskan pentingnya

ma ssa atau pengeta hua n te rseb ut m enur ut

pertemuan antarpenyuluh. Menurut mereka,

Viswanath (Severin dan Tankard, 2001) yaitu

Tabel 2. Hasil Uji Regresi Berganda Pengaruh Tingkat Pendidikan Formal, Intensitas Pertemuan, Intensitas Pelatihan terhadap Kompetensi Penyuluh

Coefficientsa Unstandardized Model 1

B

Standardized Coefficients

Std. Error

Beta

t

Sig.

(Constant)

27.487

3.317

8.286

.000

Pertemuan

.184

.036

.337

5.121

.000

Pelatihan

.172

.030

.380

5.691

.000

Pend.Formal

.009

.022

.027

.413

.680

a. Dependent Variable: Kompetensi

56

Coefficients

Oos M. Anwas, Pengaruh Pendidikan Formal, Pelatihan, dan Intensitas Pertemuan terhadap Kompetensi Penyuluh Pertanian

melalui kegiatan atau pertemuan kelompok.

dan keterampilan yang dibutuhkan dalam kegiatan

Pertemuan kelompok atau pertemuan antar-

penyuluhan. Di sisi lain, mengikuti kegiatan

penyuluh tersebut adalah kegiatan yang dapat

pelatihan tidak hanya mendapatkan ilmu penge-

menciptakan interaksi dan komunikasi, sehingga

ta huan saj a, a kan teta pi p enyuluh sang at

terjadi sharing pengetahuan dan pengalaman

dimungkinkan untuk mendapatkan aspek lain

masing-masing.

yang berguna untuk meningkat kan kemam-

Da lam pert emua n ti dak

hanya t erja di

pua nya. Asp ek l ain tersebut di anta rany a:

komunikasi formal saja, akan tetapi banyak terjadi

berinteraksi dengan nara sumber (instruktur)

komunikasi nonformal. Melalui komunikasi non-

pelatihan, interaksi dengan sesama penyuluh,

formal ini, antarpenyuluh, penyuluh dengan

memperoleh energi baru (motivasi) untuk belajar,

pimpinan lembaga penyuluhan, atau penyuluh

serta informasi terbaru lainnya yang diperlukan

dengan petani (klien) dapat saling tukar pe-

dalam penyuluhan. Rendahnya intensitas pe-

ngalaman serta menyampaikan keluhan dan

latihan (Tabel 1) ini mengakibatkan kompetensi

kesulitan yang dihadapi mereka secara terbuka.

penyuluh juga rendah. Hal ini sejalan dengan

Kondisi ini tentu saja secara langsung mening-

pendapat Hafsah (2009) bahwa permasalahan

katkan kesiapan dan kemampuan penyuluh dalam

yang dihadapi dalam penyuluhan salah satunya

melaksanakan kegiatan penyuluhan.

adalah rendahnya SDM penyuluh sebagai akibat

Untuk meningkatkan kualitas intensitas pertemuan, petani (kelompok tani) perlu dilibatkan.

dari kurangnya frekuensi dan mutu pelatihan bagi penyuluh.

Salah satu prinsip penyuluhan menurut Dahama

Rendahnya intensitas pelatihan (Tabel 1) ini

dan Bhatnagar (1980) bahwa penyuluhan harus

menunjukkan komitmen pemerintah baik pusat

menggerakkan partisipasi masyarakat untuk

maupun daerah masih lemah dalam meningkatkan

bekerja sama dalam merencanakan dan melak-

kompetensi penyuluh. Padahal pendidikan dan

sanakan program penyuluhan ( pr inci ple of

latihan merupakan tanggungjawab Pemerintah

cooperation and participation). Melibatkan kelompok

sepe rti diam anatkan dalam U ndang-Undang

tani dan tokoh masyarakat dapat berdiskusi

Nomor 16 tahun 2006 Pasal 21 Ayat 1 dijelaskan

secara langsung permasalahan yang dihadapi

bahwa pemerintah pusat dan pemerintah daerah

petani dan sekaligus mencari solusi yang tepat.

berkewajiban meningkatkan kompetensi penyu-

Menurut Van den Ban dan Hawkins (1996) bahwa

luh PNS melalui pendidikan dan pelatihan. Ini

petani memiliki informasi yang sangat penting

berarti untuk meningkatkan kompetensi penyuluh,

untuk merencanakan program (penyuluhan) dan

diperlukan komitmen pemerintah dalam pening-

yang lebih penting lagi, petani akan termotivasi

kat an i ntensita s ke giat an p elat ihan secara

untuk bekerja sama dalam program penyuluhan

kontinyu sesuai kebutuhan dan tuntutan masya-

jika ikut bertanggungjawab di dalamnya. Oleh

rakat. Di sisi lain, peran swasta (dunia usaha)

karena itu, petani (terutama tokohnya) perlu

perlu dilibatkan untuk peduli terhadap pening-

dilibatkan dalam perencanaan dan pengambilan

katan SDM penyuluh. Begitu pula organisasi

keputusan melalui kegiatan pertemuan antar-

profesi yang terkait dengan penyuluhan, perlu

penyuluh tersebut.

mengamb il peran unt uk meningkat kan SDM

Intensitas pelatihan merupakan variabel yang

penyuluh termasuk mendorong pemerintah dan

juga berpengaruh terhadap kompetensi penyuluh

swasta agar peduli terhadap peningkatan SDM

(Tabel 2). Ini bermakna bahwa intensitas pelatihan

penyuluh sesuai dengan tuntutan masyarakat.

penyuluh berperan signifikan dalam meningkatkan

Realitas bahwa intensitas pelatihan rendah,

kompetensi penyuluh. Pelatihan dalam penelitian

sedangkan tuntutan perubahan masyarakat terus

ini, seperti dijelaskan dalam definisi operasional

meningkat, akibatnya kompetensi penyuluh juga

adalah keseringan ata u intensitas p enyuluh

rendah. Rendahnya intensitas pelatihan seringkali

mengikuti pelatihan dalam lima tahun terakhir

disebabkan oleh alasan klasik seperti keter-

sejak penelitian ini dilakukan.

batasan dana dan alasan lainnya. Oleh karena

Jika frekuensi pelatihan sering dilakukan,

itu, menurut Rosenberg (2001) bahwa dalam era

maka penyuluh mendapatkan pengetahuan, sikap,

perkembangan teknologi informasi dan komu-

57

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 19, Nomor 1, Maret 2013

nikasi, sistem pelatihan yang tradisional perlu

yang mempengaruhi kompetensi penyuluh di luar

diubah. Menurut Rosenberg (2001) ada lima

kedua variabel tersebut. Hal ini menjadi bahan

macam perubahan pelatihan tersebut yaitu:

kajian untuk dilakukan penelitian lebih lanjut

1) menekankan bukan pada proses tetapi pada

dengan mengkaji variabel yang lebih luas dan

output pelatihan yang memberikan efek positif

kajian teori yang mendalam.

bagi kinerja; 2) belajar dapat dilakukan di mana

Variabel tingkat pendidikan formal tidak

saja, kapan saja dengan kebutuhan dan kece-

berpengaruh nyata terhadap kompetensi pe-

patan belajar yang fleksibel; 3) dari kertas ke

nyuluh. Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian

online; 4) dari fasilitas fisik ke fasilitas jaringan;

Mulyadi (2009) dan Effendy (2009) yang me-

dan 5) materi pelatihan akan berganti cepat sesuai

lakukan penelitian kompetensi penyuluh pertanian

dengan kebutuhan sasaran yang nyata (real)

di Jawa Barat bahwa tingkat pendidikan formal

dalam kehidupan. Ini berarti sistem pelatihan bagi

yang diikuti penyuluh setelah menjadi penyuluh

penyuluh tidak bisa mengandalkan bentuk kon-

PNS tidak berpengaruh nyata terhadap kompe-

vensional tatap muka biasa saja, akan tetapi perlu

tensi penyuluh. Bahwa kompleksitas pekerjaan

memanfaatkan berbagai media belajar. Dengan

penyuluhan pertanian tidak cukup terpenuhi oleh

kata lain, sistem pelatihan yang masih konven-

kemampuan yang dimiliki dari hasil pendidikan

sional perlu diubah dengan mendayagunakan

formal saja.

teknologi informasi dan komunikasi dan informasi.

Penyuluh pertanian ketika diangkat menjadi

Keuntungan pemanfaatan teknologi informasi

penyuluh PNS yaitu lulus setingkat SLTA. Data

dan komunikasi dalam pelatihan di antaranya: 1)

kualitatif hasil pendalaman dengan beberapa

penyuluh dibiasakan belajar dengan berbagai

penyuluh senior di lapangan menjelaskan tentang

sumber sehingg a di te mpat tug asny a ak an

penga laman mela njutkan pe ndidikan f ormal

terbiasa untuk terus belajar melalui berbagai

setingkat sarjana (S1) sebagai berikut: “Do-

sumber; 2) mengurangi kesenjangan kualitas

rongan utama mengikuti pendidikan sampai

penyuluh di berbagai daerah; 3) dapat melibatkan

sar jana, supa ya bi sa na ik pa ngkat menj adi

peserta pelatihan (penyuluh) lebih besar; 4)

penyuluh ahli. Peng etahuan dan wawa san

penyuluh dapat mengikuti pelatihan tanpa harus

mungkin ada peningkatan, tetapi yang lebih

meninggalkan tempat tugasnya; dan 5) biaya

terasa untuk melaksanakan tugas penyuluhan

lebih efiesien. Diklat Siaran Radio Pendidikan bagi

adalah pengalaman yang diperoleh di lapangan,

Guru SD yang dilakukan Pustekkom Depdiknas

terutama dalam melakukan ujicoba atau memiliki

me rupa kan sala h sa tu cont oh p emanfaat an

lahan garapan. Manfaat yang paling dirasakan

berbagai media untuk meningkatkan SDM (Anwas,

setelah lulus setingkat Sarjana adalah lebih

2000). Oleh karena itu, pelatihan bagi penyuluh

percaya diri terutama dalam mengadapi kepala

pertanian dapat dilakukan dengan memanfaatkan

desa, camat, atau aparat pemerintah lainnya”.

berbagai teknologi informasi dan komunikasi.

Inf ormasi terse but me nunjuk kan ba hwa

Tabel 3 berdasarkan nilai R Square diketahui

motiva si utama penyul uh d alam mengikuti

sebesar 0,309. Artinya, kontribusi varaibel inten-

pendidi kan forma l ad alah meme nuhi sya rat

sitas pertemuan dan intensitas pelatihan ter-

administrasi untuk menjadi penyuluh ahli dalam

hadap kompetensi penyuluh sebesar 30,9%. Ini

jabatan fungsional penyuluh pertanian. Informasi

berarti masih terdapat sekitar 69.1% variabel lain

hasil pendalaman di atas juga mengisyaratkan

Tabel 3. Kontribusi Variabel Intensitas Pertemuan dan terhadap Kompetensi Penyuluh

Intensitas Pelatihan

Model Summary Model 1

R .556a

R Square .309

Adjusted R Square .296

Std. Error of the Estimate 8.11501

a. Predictors: (Constant), Pendlanjut, Pertemuan, Pelatihan

58

Oos M. Anwas, Pengaruh Pendidikan Formal, Pelatihan, dan Intensitas Pertemuan terhadap Kompetensi Penyuluh Pertanian

bahwa pendidikan formal yang menyiapkan te-

Saran

na ga p enyuluh tersebut ce nder ung kura ng

Pendidikan formal yang masih rendah dan belum

relevan dengan kebutuhan di lapangan, sehingga

cukup signifikan mem pengaruhi kom petensi

penyuluh merasakan pengalaman yang diperoleh

penyuluh pertanian sangat perlu ditingkatkan.

di lapangan, terutama dalam melakukan ujicoba

Oleh karena itu, lembaga pendidikan yang terkait

atau memiliki garapan lebih bermanfaat diban-

dengan penyuluh pertanian perlu melakukan

dingkan dengan hasil pendidikan formal yang

pembenahan, mulai dari: seleksi calon peserta,

diikuti. Hal ini sejalan dengan pendapat Slamet

pembenahan kurikulum yang sesuai kebutuhan

(2009) bahwa kurikulum pendidikan tinggi selama

klien, proses pembelajaran yang tidak sekedar

ini barangkali yang banyak dibekalkan adalah

teori tetapi juga praktik, menggunakan teknologi

pengetahuan (ilmu, teori, teknologi, filosofi, dsb)

informasi dan komunikasi (TIK) serta meman-

dan kurang aspek yang lain. Karena itu, belum

faatkan berbagai sumber belajar lainnya.

mampu menumbuhkan kemampuan bertindak

Int ensit as pel atiha n yang masi h sangat

atau kompetensi tertentu. Pembaharuan kuri-

rendah menyebabkan kompetensi penyuluh juga

kulum harus dilakukan oleh kalangan perguruan

rendah. Oleh karena itu, pemerintah dan lembaga

tinggi sendiri dan selanjutnya perlu ditinjau

pengelola penyuluh pertanian perlu meningkatkan

kembali kemampuan-kemampuan dosennya.

intensitas dan kualitas pelatihan. Upaya tersebut dapat dilakukan melalui: meningkatkan frekuensi

Simpulan dan Saran

pelatihan, materi pelatihan disesuaikan dengan

Simpulan

kebutuhan klien/petani, proses pelatihan di-

Tingkat pendidikan formal yang diikuti penyuluh

lakukan secara interaktif, serta perlu meman-

setelah menjadi penyuluh pertanian PNS dalam

faatkan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK).

katagori rendah. Intensitas pertemuan antar-

Untuk lembaga pengelola penyuluh pertanian,

penyuluh da lam kata gori tinggi, int ensi tas

pertemuan antarpenyuluh yang selama ini sudah

pelatihan yang diikuti penyuluh pertanian dalam

berjalan sebulan dua kali perlu dipertahankan dan

lima tahun terakhir dalam katagori sangat rendah,

sekaligus kualitasnya ditingkatkan. Kegiatan

sedangkan kompetensi penyuluh pertanian dalam

pertemuan ini juga tidak hanya dilakukan dengan

katagori rendah.

penyuluh saja, akan tetapi terjadi pertemuan

Tingkat pendidi kan form al y ang diik uti

penyuluh dengan berbagai pihak terkait, antara

penyuluh setelah menjadi penyuluh PNS tidak

lain: petani, peneliti, pakar, pemerintah daerah,

cukup signifikan berpengaruh dalam membentuk

anggota dewan, dan pihak-pihak lainnya.

kom pete nsi peny uluh per tani an. Inte nsit as

Selanjutnya, perlu dilakukan penelitian/kajian

mengikuti pertemuan antarpenyuluh yang tinggi

lebih lanjut dengan mengkaji variabel yang lebih

berpengaruh signifikan terhadap kompetensi

luas dan kajian teori yang mendalam dalam

penyuluh pertanian. Intensitas mengikuti pela-

menemukan variabel-variabel lain yang diduga

tihan yang sangat rendah berpengaruh signifikan

berpengaruh signifikan terhadap kompetensi

terhadap kompetensi penyuluh pertanian yang

penyuluh pertanian.

juga r enda h. K ontr ibusi v aria bel inte nsit as mengikuti pertemuan antarpenyuluh dan intensitas mengikuti pelatihan terhadap kompetensi penyuluh pertanian sebesar 30,9%. Ini berarti masih terdapat sekitar 69.1% variabel lain yang mempengaruhi kompetensi penyuluh pertanian di luar kedua variabel tersebut.

59

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 19, Nomor 1, Maret 2013

Pustaka Acuan Anwas, Oos M. 2000. Siaran Radio Pendidikan: Analisis Model Peningkatan Kualifikasi Guru SD. Jakarta: Jurnal Teknodik. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Anwas, Oos M. 2009. Pemanfaatan Media dalam Pengembangan Kompetensi Penyuluh Pertanian. Disertasi: Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Pascasarjana IPB Bogor (tidak dipublikasikan). Anwas, Oos M.

2011. Kompetensi Penyuluh Pertanian dalam Memberdayakan Petani. Jurnal

Matematika, Sains, dan Teknologi. Universitas Terbuka, Jakarta: Maret 2011. Asngari, Pang S. 2006. Kumpulan Bahan Kuliah Prinsip-prinsip Penyuluhan. Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan. Sekolah Pascasarjana. Bogor: IPB. (tidak dipublikasikan). Boyatzis, RE. 1984. The Competent Manager: A Model for Effective Performance. New York: Jihn Willy & Sons. Bosker, J. 1997. Training Effectiveness, New York, Pergamon. Dahama, O.P. dan O.P. Bhatnagar. 1980. Education and Communication for Development. New Delhi: Oxford & IBH Publishing Co. Dey, Ian. 1993. Qualitatif Data Analisis: A User Frienly Guide for Social Sientists. New York: Routledge. Effendy, Lukman. 2009. Kinerja Petani Pemandu dalam Pengembangan PHT dan Dampaknya pada Perilaku Petani di Jawa Barat. Disertasi Pascasarjana IPB Bogor. Frisdiantara, Christea. Eka Afnan Troena. Armana Thoyib.

dan Suhardjono. 2011. Faktor-faktor yang

Mempengaruhi Pembentukan Kompetensi Manajerial; Studi pada Sarjana Akuntansi di Jakarta, Surabaya, dan Malang. Jurnal Aplikasi Manajemen, Universitas Brawijaya. Volume 9 Nomor 2 Maret 2011. Hafsah, Mohammad Jafar. 2009. Penguatan Peran PAPPI dalam Mendukung Tumbuh dan Berkembangnya Modal Sosial di Masyarakat. Makalah Simposium dan Kongres Perhimpunan Ahli Penyuluhan Pembangunan Indonesia (PAPPI). Bogor, 24 s.d. 25 November 2009. Johnson, Richard A., dan Dean W. Wichern. 2002. Applied Multivariate Statistical Analysis. Fifth Edition. New Jersey: Pearson Education. Kerlinger, Fred N. 1993. Asas-asas Penelitian Behavioral. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Kincaid, D. Lawrence dan Wilbur Schramm. 1987. Asas-Asas Komunikasi Antar Manusia. Edisi Indonesia. Jakarta: LP3ES. Lim, Theo. Suah K, Ling L. Angela FL. and Si Via Chong. 2008. Motivation, Competence, and Comfidence to teach: An Exploratory Study of the Impact of an Initial Teacher Preparation (ITP) Programme on Beginning Primary School Teachers, KJEP Journal. Mathis, Robert L. dan John H. Jackson. 2000. Human Resource Management, 9-th edition. SouthWetern College Publishing. Mondy, R. Wayne, dan Robert M. Noe. 1996. Human Resource Management. Upper Saddle River, NJ: Prentice-Hall.

60

Oos M. Anwas, Pengaruh Pendidikan Formal, Pelatihan, dan Intensitas Pertemuan terhadap Kompetensi Penyuluh Pertanian

Mardikanto, Totok. 1993. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Surakarta: Sebelas Maret University Press. Mulyadi, Teddy Rachmat. 2009. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Penyuluh Pertanian dan Dampaknya Pada Perilaku Petani Padi di Jawa Barat. Disertasi Sekolah Pasca Sarjana IPB Bogor. Nuryanto, Bambang Gatut. 2008. Kompetensi Penyuluh dalam Pembangunan Pertanian di Propinsi Jawa Barat. Disertasi Sekolah Pasca Sarjana IPB Bogor. Rosenberg, Mj. 2001. E-learning: Strategis for Delivering Knowledge in the Digital Age. New York: McGraw-Hill. Rogers, Everett M. 1995. Diffusion of Innovations. Fourh Edition. New York:The Free Press. Sevilla, C. G., J. A. Ochave, T. G. Punsalan, B. P. Regala, dan G. G. Uriarte. 1993. Pengantar Metode Penelitian.

Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Spencer, M. Lyle dan M. Signe Spencer. 1993. Competence at Work: Models for Superrior Performance, John Wily & Son, Inc. New York, USA Severin, J. Werner dan James W. Tankard. 2001. Communication Theory: Origin, Methods, and Uses in The Mass Media. Eddison Wesley Lngman, Inc. Slamet, Margono. 1992. Perspektif Ilmu Penyuluhan Pembangunan Menyongsong Era Tinggal Landas. Diedit oleh: Aida V., Prabowo T., dan Wahyudi R.

Jakarta: Pustaka Pembangunan Swadaya

Nusantara. Slamet, Margono. 2008. Menuju Pembangunan Berkelanjutan Melalui Implementasi UU No. 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan. Dalam Pemberdayaan Manusia Pembangunan yang Bermartabat. Penyunting: Adjat Sudrajat dan Ida Yustina. Bogor: Sydex Plus. Slamet, Margono. 2009. Perkembangan Penyuluhan Teori dan Praktek. Bogor: Program Mayor Penyuluhan Pembangunan Departemen Komunikasi & Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia, IPB http://margonoipb.wordpress.com/category/makalah-makalah/ penyuluhan-teori-dan-praktek/ (2 Agustus 2011) Sumardjo. 1999.

Transformasi Model Penyuluhan Pertanian Menuju Pengembangan Kemandirian

Petani. Disertasi Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. Sumardjo. 2006.

Kompetensi Penyuluh.

Makalah disampaikan pada Pertemuan KPPN dengan

Departemen Pertanian di Batam pada April 2006. Sumardjo. 2008. Perlukah Stadarisasi Kompetensi. Makalah disajikan dalam Seminar Pemberdayaan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia IPB, 7 Juli 2008 Sumardjo. 2009. Penyuluhan Pembangunan: Pilar Pendukung Kemajuan dan Kemandirian Masyarakat. Dalam Pemberdayaan Manusia Pembangunan yang Bermartabat. Penyunting: Adjat Sudrajat dan Ida Yustina. Bogor: Sydex Plus. Sandjaja, Sasa Djuarsa, dan Ilya Sumawinardi. 2004. Teori Komunikasi; Materi Pokok Modul Universitas Terbuka, Jakarta: UT.

61

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 19, Nomor 1, Maret 2013

Sugiarti, Yuni. 2012. Pendayagunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Meningkatkan Kompetensi Guru Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Artikel Jurnal Teknodik Vol. XVI No. 1 Maret 2012. Jakarta: Pustekkom Kemdikbud. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: 2003. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan. Jakarta: 2006. Van den Ban, A.W. dan H.S. Hawkins, 1996. Agricultural Extension (second edition). Blackwell Science, Osney Mead, Oxford OX2 OEL.

62