PENGARUH SUHU DAN SALINITAS TERHADAP BIVALVIA

Download hidupan larva bivalvia pada suhu lebih tinggi. (hingga kisaran optimum) kemungkinan berhubungan dengan proses asimilasi yang. Gambar2. Efek...

1 downloads 437 Views 3MB Size
Oseana, Volume

xxxvm,

Nomor 2, Tahun 2013: 1 - 10

ISSN0216-1877

PENGARUH SUHU DAN SALINITAS TERHADAP BIVALVIA Oleh M"b1mmad Masnu-lsI'nu1)

ABSTRACT THE EFFECT OFTEMPERATUREAND

SALINTIY ON BIVALVIA. The existence of a

bivalve in a given environment implies that the bivalve has succeeded or survived in the presence of all the abiotic and biotic influences that impinge upon it included temperature and salinity. Temperature and salinity are not only limitations for the spatial distribution of bivalves.but also as major controlling factors in many physiologicol rate processes, e.g. feeding and gro-wth, larva settlement, rates of respiration, clearance, excretion and absorption efficiency, and the endogenous rhythm. The majority of marine bivalves have temperature and salinity tolerant range. At an extreme condition, bivalves have some mechanisms and ability to control their metabolism activity. Marine bivalves can withstand marked changes in temperature and salinity by closing their shell valves for several days in order to reduce energy expenditure, which is particularly important as "energy conservation" function.

flM)AHULUAN

memiliki kemampuan untuk bertahan hidup dan

Lingkungan bila dipandang dari perspektif ekosistem memiliki komponen penyusun yang mengontrol dan mempengaruhi sistem ekologi yang ada di dalamoya. Komponen tersebut adalah biotik dan abiotik. Kedua komponen ekosistem tersebut saling berioteraksi di mana pada umumnya faktor fisikkimia akan mempengaruhi komponen hidup yang ada di dalamnya, sedangkan komponen biotik akao mengontrol komponen abiotik yang ada Adanya berbagai fulctor fisik -kimia tecsebut mengharuskao suatu biota (misalnya bivalvia)

berkembang meskipun kondisinya tidak menguntungkao. Bivalvia umumnya memiliki batas toleransi terhadap kondisi liogkungan abiotik yang ada. Apabila kondisinya telah melewati ambang batas toleransi maka akao terganggu perkem-bangannya bahkan terkadang berefek leta 1 atau kematian.Contoh faktor lingkungan yang sangat mempengaruhi kehidupan kerang adalah suhu dan salinitas. Berbagai proses yang terjadi pada bivalvia seperti pemijahan, fase larva, perkembangao dan pertumbuhan sangat dipengaruhi oleh kedua faktor liogkungan di atas.

I)UPT

BaJai Konservasi Biota Laut Ambon, LIP!

1

Bivalvia mempunyai fuse kritis dimana kondisi lingkungan sangat berpengaruh terhadap kelulushidupan dan perkembangannya. Menurut Connet 01. (1993), ada dua fase penting dalam siklus hidup bivalvia yang sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti suhu dan salinitas. Fase tersebut meliputi: 1) dari fcrtilisasi hingga larva yang bersifat pelagis dan hanya dilindungi oleb cangkang halus larva; dan 2) setelah penempatan (settlement) di mana individu menjadi bentik dan mengembangkan cangkang mytiliform yang cukup keras. Senada dengan pernyataan di atas, Bayneet al. (1976) menambahkan bahwa fasefase awal perkembangan bivalvia merupakan fase paling scnsitif dari siklus hidup bivalvia terutama saat larva berkembang menjadi juvenil bentik (Gam bar 1). Ketika fase semakin meningkat maka toleransi terhadap kondisi liogkungan juga semakin baik. Kbalanski & Bordet dalam Verweenet al. (2007) menyatakan bahwa bivalvia dewasa lebih toleran terhadap kondisi subu dan salinitas karena ketika kondisinya tidak sesuai, bivalvia dewasa dapat menutup kedua cangkangnya babkan dapat menghentikan produksi byssus-tiye untuk melindungi kondisi tubuhnya dari kondisi Iingkungan eksternal yang tidak mengnntungkan.

Distribusi dan kepadatan bivalvia juga sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan perairan yang ada elihabitatnya. Pengaruh suhu dan salinitas terhadap bivalvia telah elipelajari seeara luas, terntama terkait dengan perkem-

bangan larva dan proses peletakan (settlement). Beberapa pengaruh tersebut akan dibahas dalam tulisan ini, terntama terkait pengaruh suhu dan salinitas terbadap proses yang terjadi pada bivalvia.

FASE KRmS BIVALVIA Invertebrata termasuk bivalvia memiliki tingkat toleransi terhadap kondisi lingkungan seperti suhu, salinitas dan derajat keasaman (pH) yang bervariasi selama peri ode hidupnya. Kapasitas bivalvia untuk bertahan bidup dan berkembang di dalam babitatnya dibatasi oleh batas toleransinya terbadap faktor abiotik yang ada. Verweenet 01. (2007) menyatakan bahwa rentang suhu yang sesuai untuk pertumbuhan dan proses fisiologis umumnya lebih rendah dari batas toleransinya. Demikian balnya dengan toleransi terhadap sa1initas juga tidak sama antar fase pertumbuhan yang ada. Untuk mengetabui efek dari beberapa faktor lingkungan tersebut diperlukan studi yang mendalam dan saling terkait, dalam artian tidak dapat dilakukan secara parsial agar didapatkan kesimpulan yang komprehensif.

}.-Gambar 1. Fase kritis bivalvia terhadap kondisi liogkungan eksternal (Bayne et al.• 1976)

2

Setiap spesies bivalvia mempunyai toleransi yang berbeda-beda terhadap suhu. Subu optimum bagi bivalvia berkisar antara 25 28°C. Pada bivalvia, suhu dan konsentrasi partikel tersuspensi merupakan faktor terpenting yang mempengarubi jumlah filtrasi. Hal tersebut bergantung pada jenis spesies moluska dan rata-rata variasi dari kedua faletor tersebut (Miranda-Baeza et al., 2006). Peningkatansuhu diketahui bisa mempercepat reaksi kimia dalam jaringan tubub, seperti proses metabolisme yang akan cenderung naik hingga puncak seiring dengan kenaikan suhu tapi kemudian akan menurun kembali. Pada banyak invertebrata laut, tingkat toleransi terhadap faletor fisika-kimia semisal suhu sangat bervariasi tergantung jenis dan ontogeni atau tahap perkembangan individu tersebut (Manoj & Appukuttan, 2003). Percobaan yang bertujuan mengetahui suhu optimum untuk perkembangan, pertumbuban dan kelulushidupan larva kerang Perna viridis yang dibesarkan di laboratorium dilakukan oleh Manoj & Appukuttan (2003). Percobaan ini mempelajari efek pertumbuhan yang dihasilkan dari variasi suhu yang diberikan pada perkembangan larva kerang. Hasil percobaan diketahui bahwa telur P. viridis yang telah dibuahi membutuhkan waktu 10, 8, 6 dan 5 jam untuk mencapai tahap trochopore pada kisaran subu 24°C, 27 °C, 29 °C dan 31°C. Sedangkan larva membutuhkan waktu 30, 22,14-18, dan8-l3jam untukmenjadi veliger pada suhu 24°C, 27 °C, 29°C dan 31 °C (Tabe1l).

Berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa fase larva merupakan fase paling kritis dari bivalvia terhadap perubaban kondisi lingkungan. Meskipun beberapa spesies bivalvia memiliki rentang toleransi yang lebar,

namun tetap saja tingkat kelulusbidupannya akan menurun pada fase larva, misalnya pada jenis Perna viridis, Mytilopsis leucophaeata, Ruditapes philippinarum dan bivalvia jenis lainnya (Kimet al., 200 I; Manoj&Appukuttan, 2003; Verweenet al., 2007). SUHU Suhu merupakan faletor yang sangat penting bagi kehidupan biota di perairan karena suhu dapat mempengaruhi metabolisme dan perkembangbiakan komunitas benthos. Suhu juga berperan penting dalam pengaturan aktivitas suatu biota. Perubahan suhu dapat menjadi isyarat bagi suatu biota untuk memulai atau mengakhiri berbagai aletivitas,misalnya reproduksi (Nybakken, 1992). Perubahan suhu juga akan berpengaruh terhadap pola kebidupan organisme perairan. Pengaruh suhu yang utama adalah mengontrol penyebaran bewan dan tumbuhan. Suhu mempengaruhi secara langsung aktivitas organisme seperti pertumbuhan dan metabolisme bahkan menyebabkan kematian organisme. Sedangkan pengaruh tidak langsung adalah meningkatnya daya akumulasi berbagai zat kimia dan menurunkan kadar oksigen dalam air. Suhu juga merupakan falctorpembatas bagi beberapa fungsi biologis hewan air seperti migrasi, pemijahan, kecepatan proses perkembangan embrio serta kecepatan bergerak (Hutagalung do/am Razak, 2002).

Tabe1l. Lama waktu perkembangan P. viridis dari tahap telur hingga veliger pada suhu yang berbeda (Manoj & Appuknttan, 2003)

Rettmr: KQ}tu tip aJlgJpala Tdq?

Trochqx:re Veliger

Moe 10 30

POC 8 22-~

3

SIiru terlI!IIIu

19°e 6 S-13

310C 5 13-18

Suhu berpengaruh terhadap laju pertumbuhan larva bivalvia terutama dalam mempengaruhi proses makan, proses metabolisme dan kecepatan pertumbuhan cangkang. Ketidakmampuan larva untuk tumbuh pada suhu rendah ini bisa jadi karena ketidakmampuan untuk mencerna makanan yang masuk. Pada suhu rendah, larva akan menunda siklus metamorfosis dalam periode waktu yang lebih lama dibandingkan pada suhu tinggi. Selain itu periode larva yang berenang bebas di perairan sangat bergantung dengan suhu. Persentase larva yang berhasil menyelesaikan siklus metamorfosis berkurang sangat drastis dengan semakin berkurangnya suhu.

Berdasarkan basil percobaan enam suhu yang berbeda dapat diindikasikan bahwa ada hubungan langsung antara suhu dan pertumbuhan larva, serta tingkat kelulusbidupan (Gambar 2). Pada kisaran suhu optimum (29°C), dilaporkan bahwa kenaikan suhu air yang lebih tinggi memberikan basil pertumbuhan yang lebih baik daripada suhu yang lebih rendah. Hal ini kemungkinan terkait dengan adanya proses asimilasi yang lebih baik. Namun kematian total terjadi setelah 24 jam ketika larva dibesarkan pada suhu 33°C dan 35°C, hal ini menunjukkan bahwa suhu yang lebih tinggi dari kisaran suhu optimum tidak cocok untuk perbesaran larva Perna viridis (Manoj & Appukuttan, 2003).

'~lIrii'>I

O~~

Gambar2. Efek perbedaan suhu terhadap persentase pertumbuhan larva dan peletakannya (larva settlement) (Manoj & Appukuttan, 2003). Tingkat kelulushidupan dan pertumbuhan larva semakin meningkat dengan semakin meningkatnya suhu (dalam kisaran salinitas normal dan nutrien yang memadai). Naiknya pertumbuhan dan tingkat kelulushidupan larva bivalvia pada suhu lebih tinggi (hingga kisaran optimum) kemungkinan berhubungan dengan proses asimilasi yang

lebih baik dari enzim pencernaan. Apabila faktor nutrien diasumsikan tidak berpengaruh maka suhudapat dianggap sebagai faktor dominan yang mempengaruhi pertumbuhan larvabivalvia (Manoj & Appukuttan, 2003). Hasil serupa juga didapatkan Cbicharo & Chicharo (2000) yang menyatakan bahwa kelimpahan musiman larva bivalviadikontrol oleh

4

Ruditapes philippinarum

dengan suhu optimum pada 20°C dan korelasinya akan semak:in rendah pada suhu> 20°C. Suhu perairan juga mempengarubi aktivitas respirasi, detak jantung dan pergerakan silia pada insang. Laju pertumbuhan cangkang pada R. philippinarum akan mencapai maksimum pada suhu sekitar 25°C. Variasi suhu ini tergantung dari intensitas cahaya matahari dan koodisi pasang surut yang ada elisuatu perairan.

subu perairan sebagai faktor utama yang mempengaruhi sildus reproduksi bivalvia. Variasi

kelimpaban larva bivalvia menunjukkan pola yangjelas di mana kelimpahan tertinggi terjaeli pada musim panas dan musim semi sedangkan kelimpahan minimum terjaelipada musim gugur dan musim dingin (Gambar 3). Kanazawa &Sato (2008) mengungkapkan bahwa suhu juga berpengaruh terhadap pola pertumbuhan mikro dari cangkang

10000

I

t

~

i5:

30

eooo

2S

eooo

~

20 «JOO 1&

2000 0

Ii

~

~

$

A.

It!

.. g ~! I~iI i ~a

~ ~

; ~

10

MONTHS (1SKM>-1991)

Gambar3. Pengarub suhu terhadap kelimpahan larva bivalvia secara musiman (Chicharo & Chicharo, 2(00).

Manoj & Appukuttan (2003) mengumpulkan data terkait suhu optimum untuk pertumbuhan larva pada beberapa spesies kerang eli iklim sedang maupun tropis (Tabel 2). Hasil-hasil penelitian di atas mengindikasikan bahwa kerang sangat seositif terhadap perubahan suhu di luar reotang toleraosinya yang dicirikao deogan meouruonya laju pertumbuhan, settlement, dan produksi spat

SALlNITAS Salioitas merupakan jumlab total (gram) dari material padat termasuk garam NaO yang terkanduog dalam satu kilogram air laut. Salinitas meoggambarkan padatan total elidalam air, setelah semua karbonat dikonversi menjaeli oksida, semua bromida dan iodida digantikan oleb klorida, dan semua bahan organik telah elioksidasi (Nontji, 2(02).

5

Tabel2. Suhu optimum untuk pertumbuhan

larva pada beberapa spesies bivalvia

(Manoj &Appukuttan,

~arenaria

Cro.ttas-trea gigas Socastrea eJinata Pinaodafucaa MytiJus eddis Perm perm Perm viridis Perm viridis

2003).

Sticlaey (19~)

17,2- 23,2 15- J) 29 28- 32 15- J) 27,7 26,4 31

HeJm& Mllican (1982) Coordiet al, (1984) Kri9um (1987) Hrs-Brenko & Calahese (19(J) Siddill ( 19?)a, b) Maroj & AppUruttal (20m)

mengernukakan

Nilai salinitas sangat berfluktuasi terutama di daerab estuarin, tergantung pada masukan air sungai dan dipengaruhi juga oleh genangan pasang surut serta intensitas penguapan yang terjadi di laut. Adanya perubahan salinitas secara mendadak dapat mempengaruhi distribusi makrobenios. Beberapa bal yang dapat mempengarubi fluktuasi tersebut antara Lainbujan yang lebat dan penguapan yang cukup besar (Nybakken,

babwa Crassostrea gigas memiliki rentang salinitas yang lebar. Kerang ini dapat bidup pad a salinitas dj bawah 10 bingga di atas 35 psu, meskipun sangat ekstrim untuk pertumbubannya terutama pada fase larva. Perubaban salinitas juga diketahui berpengaruh terhadap perkembangan dan produksi telur Paphia malabarica. Pertumbuhan telur tertinggi terdapat pada salinitas 30 - 33 ppm, sedangkan larva tidak dapat bertahan bidup setelah 5 bari berada pad a salinitas di atas 35 ppm (Gambar 4). Laju pertumbuhan dari umbo bingga penempatan menunjukkan peningkatan yang signifikan sesuai dengan naiknya salinitas, di mana tertinggi meacapai 5,1 mm pada salinitas 30 ppm dan 33 ppm (Gireesh & Gopinatban, 2004). Verweenet al. (2007) dalam penelitiannya menemukan bahwa embrio Mytllopsis leucophaeata memiliki toleransi normal terhadap salinitasrendah (5-10 psu) hingga salinitas 22 psu. Meskipun M leucophaeata termasuk spesies eurybaline (kisaran toler ansi salinitasnya lebar) namun untuk embrio yang sangat muda (umur 2 han) paling rentan terhadap perubaban salioitas. Gradien resistensi terhadap perubaban salinitas akan semakin meningkat hingga ke fuse bentik.

1992). Salinitas berpengaruh pada produksi, distribusi, lama bidup serta orientasi migrasi. Variasi salinitas jauh dari pantai relatif kecil dibandingkan dengan variasi salinitas dekat

pantai. Hal ini disebabkan adanya pemasukan dari air sungai dan sifat dan kimia air laut akan berubab (Nontji, 2002). Damme (1996) menyatakan bahwa salinitas mempengaruhi struktur dan fungsional biota termasuk bivalvia dalam beberapa hal, meliputi: 1) konsentrasi total osmostik; 2) proporsi relatif cairan tubuh; 3) koefisien adsorpsi dan kejenuhan dari gas terlarut; dan 4) densitas dan viskositas. Sarna halnya dengan suhu, fase awal perkembangan bivalvia juga sangat terpengaruh oleb kondisi salinitas terutarna apabila salinitas berubah secara mendadak. Fabioux et al., 2005) 6

.Umbo

C Spat MttIed

IS

Gambar 4. Persentasekelulushidupan

33

umbo dan penempatan spat pada salinitas yang berbeda

(Gireesb & Gopinathan, 2004).

Seperti yang telab disebutkan di atas, selain kelulushidupan dan perkembangan larva, salinitas juga berpengarub terbadap beberapa proses fisiologis yang terjadi pad a bivalvia. Proses-proses tersebut di antaranya ritrne endogenous, laju respirasi, ekskresi, absorpsi, filtrasi dan efisiensi asimilasi (Kim et al., 2001; ResgalJa et a/., 2007; Enriquez-Ocana et al., 2012).

Salinitas optimum yang dapat ditoleransi bingga 31 psu, di alas nilai tersebut kelulushidupannya sangat reodab.Beberapa studi baik lapangan maupun laboratorium dilakukan untuk mengetahui pengarub saJinitas terbadap perkembangan dan kelulushidupan bivalvia tersaji dalam Tabe13.

Tabe13. Toleransi salinitas beberapa spesies bivalvia (Verweenet al., 2007).

~ies

.IleHu.so

Lwva

Rqerensi

14'iiJopsis teucophaeaa CerasIOderma edde

0,)-31 18-40

3-22

VerneeneJ aL, (20CJl)

a>-~; 30-35

&)den &Ru;~l(1972);

(q>timmV

(q>timm)

10-35 1540

15-«)

King;tal(1974) FabiruxeJ al. (m5) A.ImIdr Villela (l984); Imlk> & Calalm:se (19<9) Robert eJ al. ~19~)

Onss~treagifJlS 14:6lus eduis

(q>timn:Jl

atrea eddis

28-32(~

7

bertahan saat terjadi perubahan salinitas ditandai dengan menutupnya katup cangkang selama beberapa hari. Bivalvia diketahui mampu menjadi organisme anaerob saat jaringan tubuhnya sang at kekurangan oksigen akibat dari penutupan cangkang. Perilaku ini diinterpretasikan sebagai mekanisme bertahap bivalvia dalam mempertahankan kondisi cairan mantel untuk mengurangi terjadinya shock osmotik pada jaringan tubuh agar mampu bertahan hidup lebih lama.Kim et al., 200 I mengemukakan bahwa penurunan laju konsumsi oksigen dan proses fisiologis lainnya pada kerang ini kemungkinan bertujuan untuk mengurangi pengeluaran energi. Hal ini sangat diperlukan oleh organisme laut terutama di daerah pasang surut, di mana sering mengalami perubaban salinitas drastis. Selain itu dapat pula berfungsi sebagai "konservasi energi" dengan cara mengurangi pemanfaatan energi yang dikeluarkan untuk respirasi dan beraktivitas saat berada pad a kondisi salinitas yang tidak sesuai.

Kimet al. (2001) dalam penelitiannya mengukur ritme endogenous laju konsumsi oksigen (the oxygen consumption rate, OCR) kerang manila (Ruditapes ph ilipp inarum) dengan perlakuan adanya salinitas yang diturunkan secara drastis. Hasilnya menunjukkan pada awalnya (salinitas 16-36 ppm) tidak ada ritme diurnal selama beberapa hari pertama penelitian, namun setelah 5 hari menunjukkan rimte circatidal sesuai dengan kondisi pasang surut. Namun ketika salinitas berubah menjadi 15 ppm, kerang tersebut menunjukkan ritme semi-diurnal dalam hal konsumsi oksigen setelah sebelumnya memperkecil ritme konsumsi oksigennya selama 36-48 jam. Hal ini menunjukkan bahwa R. philippinarum dapat mengembalikan aktivitas atau ritme konsumsi oksigennya pada salinitas di atas 15 ppm. Salinitas 15 ppm dan 10 ppm diindikasikan sebagai batas salinitas terendah yang dapat ditolerir oleh R. philippinarum. Apabila kerang tersebut terpapar dalam waktu yang lama pada salinitas di bawah 15 pp maka tidak dapat mengembalikan aktivitas metabolisme secara normal. Hasil serupa juga didapatkan oleh Resgalla et al. (2007) bahwa laju respirasi, ekskresi dan efisiensi absorpsi dari Pernaperna optimal pada salinitas 20-40 ppm. Namun ketika salinitas diturunkan menjadi di bawah 15 ppm maka ketiga proses tersebut akan menurun drastis. Enriquez-Ocana et al. (2012) menyatakan bahwa proses fisiologis seperti filtrasi dan efisiensi asimilasi pada kerang Crassostrea corteziensis terjadi secara normal pada salinitas 25-40 psu (optimum pada 35 psu). Ketika kondisi salinitas di bawah 20 psu atau di atas 40 psu maka ketiga proses tersebut akan menurun drastis.Kemampuan beberapa bivalvia untuk mengontrol energi saat terjadi penurunan salinitas telah diteliti oleh BaynedalamKimet al. (2001). Bivalvia mampu

Suhu dan salinitas merupakan dua dari sekian banyak kondisi lingkungan yang memberikan efek yang luas terhadap bivalvia, bukan hanya pada fase perkembangan larva dan kelulushidupannya, namun juga dapat mempengaruhi fungsi fisiologis dari bivalvia tersebut. Studi ten tang berbagai efek yang ditimbulkan oleh suhu dan salinitas ini semakin ban yak dilakukan terutama mengarah pada mekanisme pertahanan diri (defensemechanism) yang dilakukan oleh bivalvia itu terhadap perubahan kondisi lingkungan secara fisiologis. Hal ini menjadi penting terutama untuk mendukung upaya budidaya dari bivalvia yang bernilai ekonomis penting.

8

DAFrAR PUSfAKA

salinity on the filtration, c1earncerate and

Almada-Villela, P. C. 1984.The effectsof reduced salinity on the shellgrowth of small

assimilation efficiency of the mangrove oyster Crassostrea cortezieruis(Hertlein, 1951). Arch. Bioi. Sci. Vol 64 (2): 479-488.

Mytilus edulisL. J.Mar. Biol.Assoc.UK (64):171-182.

Fabioux, C., A. Huvet, P. Le Souchu, M. Le Pennec&S. Pouvreau. 2005. Temperature and photoperiod drive Crassostrea gigas reproductive internal lock. Aquaculture

Bayne, B. L., R J. Thompson & J. Widdows. 1976. Physiology L In:Bayne, B.L. (Ed.),

Marine Mussels: Their Ecology and Physiology. Cambridge Scientific Press, UK,pp.121-206.

250,458-470. Kanazawa, T. & S. Sato. 2008. Environmental and physiological controls on shell microgrowth pattern of Ruditapes philippinarum (Bivalvia: Veneridae) from Japan. Journal oj Molluscan Studies.

Boyden, C. R & Russel, PJ. C. 1972. The distribution and habitat range of the brackish water cockle (Cerastoder-maedule) inthe British Isles. J. Anim. Ecol. (41): 719734

Vol. 74: 89-95. Kim, W. S., H. T. Huh & T. W. Lee. 2001. Effect

Brenko,M.H, CaIabrese,A,I969. Thecombined effects of salinityand temperature on larvae of the mussel Mytilus edulis.

of salinity on endogenous rhythm of the manila clam, Ruditapes philippinarum (Bivalvia: Veneridae). Marine Biology.

Mar.Biol. (4):224-226.

\bl. 138: 157-162.

Chicharo, L. M. Z. & M. A. Cbicharo. 2000. Short-term fluctuation in bivalve larvae compared with some environmental factors in coastal lagoon (South Portugal). Sci. Mar. VoL64 (4): 413 -420.

Kingston, P., 1974. Some observations on the effects of temperature andsalinity upon the growth of Cardium edule and Cardium glaucum larvae in the laboratory. J. Mar. Bioi. Assoc. UK(54):

309-317. Conn, D. B., R A Lutz, Y. P. Hu & V. Kennedy. 1993. Guide to the identification oj larval

Manoj, N. R & K.K Appukuttan. 2003. Effect of suhue on the development, growth, survival and settlement of green mussel Perna viridis (Linnaeus, 1758). Aquaculture Research. Vol. 34: 1037-

andpost larval stages oj zebra mussels Dreissena spp. and the dark falsemussel Mytilopsis leucophaeata New York Sea Grant. 22 pp.

1045. Dame,

R F. 1996. Ecology of marine bivalves: an ecosystem approach. CRC Press, Inc. Florida: 240 pp.

Miranda-Baeza, A., D. Voltolina & B. CorderoEsquivel. 2006. Filtration and clearance rates of Anadara grandis juveniles (pelecypoda, Arcidae) with different

Enriquez-Ocana, L F., M Nieves-Soto, P. PinaValdez, L. R Martinez-Cordova & M. A. Medina-Jaso. 2012. Evaluation of the combined effect of emperature and

temperatures and suspended matter concentrations. Rev. Bioi. Trop. Int. J.

Trop.Bioi. 54(3): 787-792.

9

Resgalla Jr. C., E. S. Brasil & L. C. Salomao. 2007. The effect of temperature and salinity on the physiological rates of the mussel Perna perna (Linnaeus 1758).

Nontji, A. 2002. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta: 367 p. Nybakken, J. W. 1992. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologi. EIDMAN H. M., KOESOEBIONO, D. G. BENGEN, M. HUTOMO & S. SUKARDJO (penerjemah). Penerbit Gramedia. Jakarta: 459 p. Terjemahan dari: MarineBiology:

Brazilian Archives of Biology and Technology.Vol.50 (3): 543-556. Robert, R, His, E. &Dinet,A, 1988. Combined effects oftemperatureand salinity on fed and starved larvae of the European flat oyster Ostrea edulis. Mar. BioI. 97 (1): 95-100.

an ecological approach. Razak, A 2002. Dinamika karak1eristik fisik-kimia sedimen dan hubungannya dengan struktur komunitas moluska benthik. di Muara Bandar Bakali Padang [tesis]. Institut Pertanian Bogor: 106p.

Verween,A., M. Vincx & S. Degraer. 2007. The effect of temperature and salinity on the survival of Mytilopsis leucopha-eata larvae (Mollusca, Bivalvia): The search for environmental limits. Journal of

Experimental Marine Biology and Ecology. 348: 111-120.

10