PENGARUH TERAPI KELOMPOK TERHADAP PENURUNAN STRES PENDAMPING

Download waktu luang, dan penggunaan coping stres. Emotion yang rendah, kehangatan dan yang tidak tepat. sedikit memberikan kritik. Oleh karena itu...

0 downloads 540 Views 1MB Size
PENGARUH TERAPI KELOMPOK TERHADAP PENURUNAN STRES PENDAMPING UTAMA SKIZOFRENIA Rizkia Purnamasari H. Fuad Nashori Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya UII Yogyakarta Email: [email protected]/[email protected] Abstract This study is aimed to reveal the influence of group therapy to reduce stress a primary caregiver of people with schizophrenia. The group therapy in this study uses interactive approach. The subjects in this study are 7 primary caregiver of people with schizophrenia. The measurement tool in this study is stress scale. This research is a quasi experiment (pretest-posttest control group design with follow up). The data analysis used U Mann Whitney Test to determine whether there was an effect of group therapy to reduce stress in primary caregiver with people of schizophrenia and qualitative analysis. The result of study shows there was significant stress difference in the experiment group and control group after group threapy session. In addition, the data analysis used Mann Whitney to define whether there was an effect of group therapy to reduce stress primary caregiver of people with schizophrenia. The result shows that the value of p= 0.032 which means the value of p<0,05. The value of p shows that there isi significant stress difference between the experiment group and control group after the group therapy. Keywords: group therapy, stress, primary caregiver of people with schizophrenia

Skizofrenia adalah gangguan jiwa berat. Gangguan ini ditandai dengan gejalagejala positif seperti pembicaraan yang kacau, delusi, halusinasi, gangguan kognitif dan persepsi. Selain itu juga terdapat gejala negatif seperti menurunnya minat dan dorongan, berkurangnya keinginan untuk bicara dan miskin isi pembicaraan serta menurunnya minat untuk berinteraksi dengan lingkungan sosial. Hal ini menyebabkan kurang adanya kesesuaian antara pemikiran dan emosi, atau antara persepsi seseorang tentang realitas dan apa yang benar-benar terjadi. Pasien-pasien skizofrenia juga mengalami penurunan fungsi atau ketidakmampuan dalam menjalani hidupnya. Mereka gagal untuk berfungsi sesuai peran yang diharapkan sebagai pelajar, pekerja atau pasangan, dan keluarga serta komunitas mereka menjadi kurang toleran terhadap perilaku mereka yang menyimpang (Nevid, Jurnal Psikologi Mandiri

2002). Menurut American Psychological Assosiation (APA), sekitar 1% dari populasi orang dewasa di Amerika Serikat terkena skizofenia, dengan jumlah keseluruhan lebih dari dua juta orang, sedangkan hasil penelitian multinasional World Health Organization (WHO) memperkirakan jumlah penderita skizofrenia di seluruh dunia sekitar 24 juta orang (Olson dalam Nevid, 2002). Di Indonesia prevalensi penderita skizofrenia adalah 0,3-1% dan biasanya timbul pada usia sekitar 18-45 tahun. Pada saat ini diperkirakan sekitar dua juta jiwa penduduk Indonesia menderita skizofrenia. Skizofrenia adalah gangguan mental yang cukup banyak dialami orang Indonesia. Fakta menunjukkan bahwa sekitar 99% pasien di rumah sakit jiwa di Indonesia adalah penderita skizofrenia (Arif, 2006). Berdasarkan wawancara dengan 11

Rizkia Purnamasari & H. Fuad Nashori

dokter jiwa RSUD Sleman (11/12/2012) dapat diketahui bahwa penderita skizofrenia setiap tahunnya bertambah. Usia penderita juga bervariasi dari remaja hingga dewasa. Tingkat kekambuhan pasien juga masih terus terjadi. Hal ini dikarenakan kurangnya pengetahuan keluarga tentang penanganan skizofrenia. Keluarga juga menanggung beban biaya pengobatan pasien skizofrenia, padahal pengobatan tersebut membutuhkan banyak biaya dan jangka waktu yang cukup panjang. Selain beban biaya keluarga juga merasa lelah dengan perilaku penderita skizofrenia. Apabila penderita sedang kambuh, keluarga merasa bingung apa yang harus dilakukan. Jika sedang kambuh ada yang berbicara terlalu banyak, ada yang lebih menyendiri, mengamuk, berteriakteriak dan merusak barang-barang di rumah. Dokter jiwa RSUD Sleman juga mengatakan bahwa selama ini belum ada intervensi untuk membantu penanganan pasien skizofrenia selain penanganan medis. Bagi keluarga yang merawat pasien juga belum pernah dilakukan intervensi formal, seperti pemberian terapi, pelatihan atau konseling kepada keluarga pasien. Selama ini dari pihak rumah sakit terutama dokter jiwa hanya memberikan informasi secara informal dan terbatas mengenai gangguan jiwa berat atau skizofrenia. Menurut dokter jiwa RSUD Sleman, sebenarnya penanganan untuk pendamping skizofrenia sangat diperlukan. Hal ini dikarenakan para pendamping memerlukan informasi dan dukungan dari oranglain. Syah, Wadoo dan Latoo (2010) mengungkapkan bahwa adanya anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa akan memengaruhi kondisi keluarga tersebut. Gangguan jiwa yang diderita oleh salah satu anggota keluarga menimbulkan dampak yang negatif bagi penderita maupun keluarganya. Dalam hal ini adalah keluarga utama yang selanjutnya disebut sebagai pendamping utama. Dorian dkk (2008) menyatakan bahwa yang dimaksud pendamping utama adalah sesorang yang mempunyai tanggung jawab besar untuk merawat pasien dan memiliki kontak 12

personal dengan pasien paling sedikit seminggu sekali. Pendamping utama di antaranya adalah ayah atau ibu. Sreeja (2009) menambahkan bahwa yang termasuk pendamping utama adalah pasangan, orangtua, anak atau saudara pasien. Hal ini sejalan dengan Meijer dkk (2004) yang menyebutkan bahwa pendamping utama pasien skizofrenia adalah ayah, ibu, anak perempuan atau anak laki-laki, kakak perempuan atau kakak lakilaki, saudara, suami atau istri, dan teman. Berdasarkan observasi yang dilakukan oleh peneliti selama praktek profesi psikologi (Desember 2011 - Januari 2012) di poli jiwa RSUD Sleman, diketahui bahwa kebanyakan pasien diantar oleh salah satu keluarganya. Pasien diantar oleh ibu, ayah, anak kandung, saudara kandung atau saudara pasien itu sendiri. Bahkan di antara pasien kontrol tidak hanya salah satu keluarganya saja yang mengantar kontrol, saudara-saudara yang lain kadang ikut mendampingi. Para pendamping utama mengeluhkan perilaku dari pasien yang mudah curiga, berbicara terlalu banyak dan mengamuk. Ada pendamping yang hanya diam saja ketika pasien berbicara dengan dokter dan memalingkan muka terhadap pasien. Hal ini tentunya akan berdampak pada kondisi pasien dan keluarga. Dampak yang ditimbulkan oleh pasien akan memengaruhi kondisi baik pasien maupun keluarganya (Schene, 1998). Dampak bagi penderita sendiri yaitu rawat diri mereka sehari-hari akan terhambat, berkurangnya kapasitas dalam menjalin hubungan sosial dan berkurangnya kesempatan untuk bekerja, sedangkan bagi pendamping akan merasa kehilangan dan sedih (Miller, 1990; Schene 1998). Selain itu keluarga juga merasakan emosi-emosi yang bertentangan, seperti malu, merasa bersalah, dan marah. Situasi tersebut menimbulkan stres dan berpengaruh pada kesejahteraan pendamping utama antara lain pekerjaan, interaksi sosial dan hubungan dengan lingkungan sekitar. Hal ini dikarenakan pendamping utama membantu menyiapkan kebutuhan sehariJurnal Psikologi Mandiri

PENGARUH TERAPI KELOMPOK TERHADAP PENURUNAN STRES PENDAMPING UTAMA SKIZOFRENIA

hari pasien dan memberikan dukungan emosional. Stres pendamping utama disebabkan oleh faktor resiko yang dimiliki oleh pasien antara lain ketidakmampuan yang tinggi terhadap rawat diri dan simtomsimtom yang mengganggu. Hal ini menyebabkan adanya perasaan bersalah, kehilangan, kurangnya bantuan, kerentanan, kecemasan, kekesalan, kebencian atau kemarahan pada pendamping skizofrenia (Syah dkk, 2010). Dampak dari stres yang dialami oleh pendamping utama terhadap kondisi keluarga mereka yang mengalami gangguan jiwa adalah mereka merasa tidak diperhatikan, marah-marah, keluar rumah, dan tidak mau minum obat. Dalam sejarah gangguan jiwa sering dikonotasikan negatif dalam masyarakat. Gangguan jiwa juga mengalami diskriminasi dari masyarakat. Mereka mempersepsikan pasien dengan “orang gila” dan diidentikkan dengan kekerasan, orang yang berbahaya, perilaku yang tidak dapat diprediksi bahkan moral yang buruk. Skizofrenia adalah jenis gangguan jiwa yang paling berpotensi mendapat pandangan negatif dari masyarakat (Torres, 2 0 0 6 ) . K e l u a rg a j u g a m e n g a l a m i stigmatisasi dan isolasi sosial sama seperti penderita. Hal ini terjadi karena secara langsung mereka adalah keluarga yang tinggal bersama orang yang menderita gangguan jiwa (Torres dkk, 2006). Philips dkk (2012) juga menyatakan bahwa orang dengan gangguan jiwa dan keluarganya berpotensi untuk mengalami stigmatisasi dari masyarakat. Oleh karena itu keluarga memiliki peran yang sangat penting bagi perawatan penderita yang akan memberikan dukungan besar bagi penderita dalam kehidupan sehari-hari (Meijer dkk, 2004). Barrowlough dan Tarrier (1990) menyatakan bahwa pasien skizofrenia membutuhkan dukungan dari keluarga. Pasien membutuhkan keterlibatan langsung dalam pendampingan sehari-hari, seperti menjauhi tindakan bermusuhan, Expression Emotion yang rendah, kehangatan dan sedikit memberikan kritik. Oleh karena itu Jurnal Psikologi Mandiri

pendamping mempunyai tugas untuk menyediakan materi yang dapat membantu pasien secara langsung, seperti memberikan informasi atau saran mengenai situasi dan kondisi pasien, memberikan afeksi seperti rasa nyaman dan dihargai serta membuat pasien merasa dibutuhkan oleh keluarga. Keluarga juga menghargai sikap positif dari pasien dan memberikan semangat dengan memberikan penilaian yang positif kepada pasien sehingga pasien merasa menjadi anggota dari suatu kelompok yang saling membutuhkan. Hal ini menunjukkan beratnya beban seorang pendamping utama skizofrenia yang harus memenuhi kebutuhan baik fisik maupun psikologis dari pasien. Penderita skizofrenia memerlukan penyembuhan secara holistik baik itu dari penderita maupun dari pihak keluarga. Keluarga atau pendamping merupakan faktor penting dalam upaya pencegahan kekambuhan pasien skizofrenia. Pendamping utama mempunyai beban yang berat karena harus merawat pasien. Menurut Syah dkk (2010) beban keluarga yang mempunyai pasien gangguan jiwa terdiri dari beban objektif dan beban subjektif. Beban objektif antara lain kekacauan dalam hubungan keluarga, dibatasi dalam lingkungan sosial, kehilangan waktu senggang dan aktivitas kerja, kesulitan keuangan, dan dampak negatif pada kesehatan fisik. Beban subjektif berupa rasa kehilangan, kesedihan, kecemasan, merasa malu di lingkungan sosial, stres, frustrasi yang disebabkan adanya perubahan pada hubungan kekeluargaan. Young (2001) mengatakan bahwa beban subjektif adalah perasaan emosional termasuk perasaan cemas, stres, perasaan bersalah, menyalahkan diri sendiri, depresi, ketakutan dan marah. Hal ini sejalan dengan yang dikatakan oleh Sreeja, Rakesh dan Singh (2009) bahwa keluarga menanggung beban diantaranya adalah beban keuangan, terganggunya aktivitas rutin, kehilangan waktu luang, dan penggunaan coping stres yang tidak tepat. Pendamping utama dihadapkan pada 13

Rizkia Purnamasari & H. Fuad Nashori

tantangan untuk menghadapi anggota keluarga mereka yang mengalami skizofrenia. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa keluarga yang mempunyai pasien skizofrenia diketahui bahwa keluarga merasa malu dengan adanya stigma dari masyarakat yang masih memandang negatif seorang pasien skizofrenia. Keluarga juga kadang merasa lelah dengan perilaku yang ditunjukkan oleh pasien. Selain itu keluarga juga merasa sedih dan khawatir ketika mengetahui ada anggota keluarga mereka yang mengalami gangguan jiwa. Keluarga berusaha mencari bantuan kepada orang-orang tertentu seperti dukun, kyai, orang pintar akan tetapi penyakitnya tidak sembuh. Keluarga kadang menjadi putus asa karena salah satu anggota keluarga yang mereka sayangi mengalami skizofenia. Seorang pendamping skizofrenia diharapkan mempunyai ketrampilan koping yang efektif sehingga dapat mengatasi masalah yang muncul dalam menghadapi pasien skizofrenia. Hasil wawancara dengan Ibu N (13/12/2011) yang salah satu anggota keluarganya, yaitu suaminya mengalami skizofrenia, menunjukkan bahwa sejak suaminya mengalami skizofrenia, Ibu N bingung dan tidak mengetahui apa yang seharusnya dilakukan. Atas saran tetangga Ibu N membawa suaminya ke dukun, tetapi suaminya tidak sembuh. Setelah itu Ibu N mendapatkan saran yang berbeda, yaitu diminta untuk membawa suaminya ke dokter jiwa. Ibu N merasa sedikit lega karena dengan pengobatan dari dokter kondisi suaminya mengalami sedikit kemajuan. Akan tetapi, Ibu N mengeluhkan besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk membeli obat sedangkan mereka berasal dari keluarga tidak mampu. Suami Ibu N yang menjadi tulang punggung keluarga sekarang tidak dapat memberinya nafkah. Hal ini menimbulkan masalah bagi keluarga Ibu N, yaitu masalah dalam keuangan dan merawat suaminya. Ibu N menjadi sering sakit dan tidak bisa tidur karena memikirkan suaminya. Bahkan, Ibu 14

N juga memeriksakan diri ke dokter jiwa karena merasa putus asa dan kehilangan semangat. Berdasarkan hasil wawancara tersebut, di atas dapat diketahui pendamping menanggung beban yang berat dalam menangani salah satu anggota keluarga mereka yang mengalami skizofrenia. Pendamping harus menanggung biaya pengobatan yang cukup mahal serta tenaga yang banyak untuk merawat seorang pasien skizofrenia. Kondisi ini memengaruhi kondisi pikiran, perasaan, dan fisik pendamping utama yang menjadi cenderung negatif sehingga menyebabkan stres. Menurut Urizar dkk (2006), keluarga skizofrenia menanggung beban yang tinggi dalam merawat pasien sehingga membutuhkan dukungan psikososial dari masyarakat. Menurut Lazarus dan Folkman (Sarafino, 2008), stres adalah keadaan di mana transaksi yang ada membuat orang mengalami kesenjangan antara tuntutan fisik atau fisiologis dari situasi dan sumber dari sistem biologis, psikologis, dan sosialnya. Sumber stres dapat berupa peristiwa-peristiwa hidup yang mengancam kesehatan fisik, psikologis seseorang dengan karakteristik sebagai suatu perubahan, konflik, frustrasi, kebosanan dan trauma. Dalam berbagai kasus penelitian didapat hasil bahwa sebagian besar tanda dan simtom dari stres pada pendamping adalah masalah psikologis, kecemasan umum, depresi, khawatir dan kesepian (Bevans & Stenberg, 2012). Menurut Sarafino (2008), stres adalah suatu kondisi di sebabkan oleh transaksi antara individu dengan lingkungan yang menimbulkan persepsi jarak antara tuntutan-tuntutan yang berasal dari situasi dengan sumber-sumber daya sistem biologis, psikologis dan sosial dari seseorang. Stres muncul sebagai akibat dari adanya tuntutan yang melebihi kemampuan individu untuk memenuhinya. Seseorang yang tidak bisa memenuhi tuntutan kebutuhan akan merasakan suatu kondisi ketegangan dalam diri. Ketegangan yang Jurnal Psikologi Mandiri

PENGARUH TERAPI KELOMPOK TERHADAP PENURUNAN STRES PENDAMPING UTAMA SKIZOFRENIA

berlangsung lama dan tidak ada penyelesaian, akan berkembang menjadi stres. Berdasarkan hasil kunjungan rumah pada sebuah keluarga yang memiliki anak skizofrenia dapat diketahui bahwa keluarga tidak mengetahui tentang sakitnya pasien. Keluarga tidak mengetahui penyebab pasien sakit. Pada saat salah satu anggota keluarga mereka di rawat di rumah sakit jiwa, keluarga jarang mengunjungi pasien karena merasa takut dan tidak memahami apa yang dibicarakan oleh pasien. Setelah dirawat selama tiga bulan dan kembali ke rumah, keluarga mendapat stigma dari masyarakat. H a l i n i m e m b u a t k e l u a rg a t i d a k memperbolehkan anaknya keluar rumah. Pengetahuan masyarakat tentang gangguan jiwa yang kurang, dapat menimbulkan stigma pada keluarga yang mempunyai pasien skizofrenia. Hal ini sejalan dengan pernyataan Torres (2006) bahwa gangguan jiwa berat sering dikonotasikan negatif oleh masyarakat dan skizofrenia adalah jenis gangguan jiwa yang berpotensi mendapat pandangan negatif dari masyarakat yang akhirnya menimbulkan diskriminasi terhadap keluarga pasien. Beberapa hal yang dialami pendamping utama tersebut menimbulkan tekanan atau stres pada pendamping. Stres merupakan suatu istilah yang digunakan untuk menunjukkan adanya suatu tekanan atau tuntutan yang dialami individu atau organisme yang menyebabkan individu tersebut harus beradaptasi atau menyesuaikan diri (Nevid, 2002). Lazarus mengungkapkan bahwa stres adalah hubungan antara suatu tuntutan dengan kekuatan atau sumber daya yang dimiliki individu untuk mengatasi tuntutan tersebut. Lazarus juga menjelaskan bahwa stres yang terjadi merupakan hasil dari suatu penilaian terhadap suatu situasi yaitu sebagai suatu hal yang berbahaya atau membahayakan, mengancam maupun hal yang menantang (Sarafino, 2008). Stressor yang sama dapat dipersepsi secara berbeda, yaitu dapat dinilai sebagai peristiwa yang positif dan tidak berbahaya atau menjadi peristiwa Jurnal Psikologi Mandiri

yang berbahaya dan mengancam. Hal itu disebut sebagai penilaian kognitif individu terhadap stres. Terdapat dua macam penilaian terhadap stress, yaitu penilaian primer dan penilaian sekunder. Penilaian primer adalah ketika menghadapi situasi yang berpotensi untuk menjadikan stres, maka seseorang mencoba untuk mengartikan peristiwa tersebut sebagai sesuatu yang membahayakan, menimbulkan ancaman di masa yang akan datang atau sebagai peristiwa yang harus dihadapi. Penilaian sekunder mengevaluasi potensi atau kemampuan dan menentukan seberapa efektif potensi atau kemampuan yang dapat digunakan untuk menghadapi suatu kejadian. Stressor yang didapat pendamping berasal dari salah satu anggota keluarga mereka yang mengalami skizofrenia. Stressor tersebut termasuk simtomsimptom yang muncul pada diri pasien, peristiwa yang merugikan seperti rawat inap di rumah sakit, dan lamanya pasien sakit (Hazel dkk, 2004). Menurut Lazarus dan Folkman (Sarafino, 2008), ada dua faktor yang dapat menyebabkan stres yaitu faktor dalam diri (internal) dan faktor situasi (eksternal). Faktor internal termasuk kemampuan intelektual, motivasi, dan karakter pribadi. Faktor situasi misalnya sebuah situasi yang melibatkan tuntutan yang sangat kuat dan dekat dianggap sebagai stres. Faktor stres yang muncul pada keluarga skizofrenia adalah termasuk dalam dua faktor tersebut. Selain dari faktor internal seperti kemampuan memahami pasien skizofrenia, juga terdapat faktor eksternal seperti situasi yang mengharuskan mereka memberikan bantuan aktivitas sehari-hari, dukungan emosi kepada pasien, menghadapi dan tinggal bersama pasien (Syah, Wadoo & Latoo, 2010). Reaksi yang diberikan terhadap stres akan berbeda antara satu orang dengan orang yang lainnya. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh faktor psikologis dan sosial yang dapat mengubah dampak stressor bagi seseorang. Dukungan sosial adalah satu 15

Rizkia Purnamasari & H. Fuad Nashori

faktor yang dapat merubah stres seperti adanya keluarga dan perkawinan. Hal ini sejalan dengan yang disampaikan Gottlieb (Smet, 1994) bahwa dukungan sosial terdiri dari informasi atau nasehat verbal dan non verbal, bantuan nyata, atau tindakan yang diberikan oleh keakraban sosial atau didapat karena kehadiran mereka dan mempunyai manfaat emosional atau efek perilaku bagi pihak yang menerima. Jika keluarga yang salah satu anggotanya mengalami skizofrenia dan mendapatkan dukungan sosial yang tinggi maka kemungkinan mereka tidak mengalami stres. Dalam upaya merawat dan menyesuaikan diri dengan kehadiran skizofrenia dalam keluarga, tentunya keluarga memerlukan intervensi untuk mengatasi stres selama mendampingi pasien anggota keluarga mereka yang mengalami skizofrenia. Arif (2006) menyatakan beberapa alternatif intervensi yang dapat dilakukan terhadap keluarga yang memiliki pasien skizofrenia seperti adanya informasi atau psikoedukasi tentang skizofrenia (gejala-gejala, perjalanan penyakit, berbagai bantuan medis dan psikologis), sikap yang tepat seperti mempunyai rasa humor, menerima anggota mereka yang sakit, keseimbangan dalam keluarga, dan realistis, adanya support group. Alternatif yang lain adalah terapi keluarga. Penelitian mengenai penanganan stres pada pendamping telah banyak dilakukan. Beberapa intervensi yang telah terbukti efektif dapat menangani stres pada pendamping antara lain psikoedukasi untuk keluarga yang mempunyai pasien skizofrenia (Maldonado & Urizar, 2007). Dalam penelitiannya, Maldonado dan Urizar (2007) menggunakan 45 pendamping skizofrenia untuk diberikan intervensi berupa psikoedukasi. Partisipan terdiri dari ibu, ayah, saudara, istri, dan orang di luar keluarga yang peduli terhadap pasien. Hasil dari penelitian ini diketahui bahwa psikoedukasi hanya efektif untuk ibu-ibu yang mempunyai tingkat pendidikan yang rendah. 16

Brown (2005) menggunakan terapi kognitif perilakuan untuk mengatasi masalah psikologis seorang pendamping. Terapi diberikan sebanyak 12-14 sesi. Hasil dari penelitian ini didapat bahwa terapi kognitif perilakuan dapat memberikan dukungan awal seorang pendamping. Brown menyatakan bahwa terapi kognitif perlakuan ini lebih efektif jika dilakukan secara kelompok. Corey (2010) menyatakan bahwa terapi kelompok behavioral menekankan pada perubahan perilaku, adanya laporan yang teliti mengenai pra perilaku dan pasca perilaku di dalam dan di luar kelompok. Adanya imbalan untuk memperkuat perilaku yang diinginkan muncul. Anggota kelompok harus menentukan target perubahan perilaku mereka, mempertahankan serta menerapkan teknik yang telah mereka dapat dalam terapi. Te r a p i k e l o m p o k b e h a v i o r a l i n i membutuhkan prosedur dan teknik. Pendamping utama akan mengalami kesulitan untuk menentukan dengan tepat target mereka. Adanya pemantauan perilaku dan pencacatan perubahan perilaku akan memberatkan pendamping karena tugas mereka mendampingi pasien juga telah menghabiskan waktu. Pendamping dihadapkan pada kondisi yang mengharuskan mereka membagi waktu antara mendampingi pasien, bekerja dan mengerjakan kegiatan sehari-hari. Hasil penelitian tentang Program Dukungan Keluarga (Medven & Krans, dalam Chien, 2008) menujukkan program dukungan beberapa keluarga dapat meningkatkan inisiatif dan kenyamanan saat berbicara masalah psikis dan sosial ketika merawat pasien skizofrenia. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Wyman dkk (2008) tentang program dukungan beberapa keluarga yang berpengaruh positif terhadap kesejahteraan hidup pendamping skizofrenia. Young (2001) menggunakan kelompok dukungan untuk mengurangi beban pendamping ketika merawat pasien skizofrenia dan menghadapi situasi yang sulit saat merawat Jurnal Psikologi Mandiri

PENGARUH TERAPI KELOMPOK TERHADAP PENURUNAN STRES PENDAMPING UTAMA SKIZOFRENIA

keluarga mereka yang mengalami skizofrenia. Intervensi yang dilakukan Young memberikan pemahaman pada pendamping bahwa ada beberapa orang yang mengalami situasi yang sama sehingga mereka merasa terdukung. Program kelompok dukungan keluarga (McFarlane, dalam Chien, 2008) Dukungan sosial (Chien, 2004), Psikoedukasi dengan pendekatan kognitif perilakuan (Baum dkk, 2006; Maldonado, 2007; Nasr dan Kausar, 2009) adalah beberapa program yang sudah digunakan untuk menurunkan beban pendamping skizofrenia. Hazel (2004) dalam penelitiannya mengatakan bahwa adanya terapi kelompok dapat menurunkan distres dan menggali potensi yang dimiliki pendamping sehingga pendamping dapat berfungsi dengan baik. Dengan adanya terapi kelompok, keluarga dapat saling berbagi pengalaman mereka dalam merawat pasien skizofrenia dan dapat saling mengungkapkan perasaan. Selain itu mereka juga akan mendapatkan informasi mengenai skizofrenia dan cara menanganinya. Terapi kelompok dengan pendekatan kognitif perilakuan terbukti efektif terhadap kondisi pasien. Penelitian yang dilakukan oleh Bradley dkk (2007) menemukan bahwa keluarga yang diberikan intervensi terapi kelompok dengan pendekatan kognitif perilakuan menunjukkan hasil yang signifikan di antaranya adalah faktor kekambuhan pasien menurun, mengurangi simtom-simtom positif seperti curiga dan halusinasi, beban subjektif berkurang karena adanya dukungan dalam kelompok. Wa i - To n g d a n C h a n ( 2 0 0 6 ) merekomendasikan adanya pengembangan dalam bentuk kelompok dukungan orangtua sebagai bentuk intervensi pada orangtua pasien kanker anak. Kelompok dukungan ini diberikan agar para orangtua memperoleh dukungan melalui berbagi dengan sesama, menawarkan kesempatan pada orangtua untuk saling membantu, media pemberian informasi, dan diskusi kelompok. Hal ini sejalan dengan Jurnal Psikologi Mandiri

Swastiningsih (2009) yang memberikan intervensi kelompok dukungan untuk menurunkan stres orangtua pasien kanker anak. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kelompok dukungan dapat menurunkan stres orangtua pasien kanker anak. Berdasarkan alternatif terapi di atas peneliti memilih terapi kelompok dengan pendekatan interaksional untuk menurunkan stres pada pendamping skizofrenia. Pendekatan interaksional ini dikembangkan oleh Yalom (2005). Terapi kelompok interaksional ini dipilih karena memiliki beberapa kelebihan yaitu anggota dapat belajar perilaku baru, kesempatan untuk menggali masalah, kesempatan untuk mempelajari ketrampilan sosial, saling mendukung dan saling memberi serta menerima. Shapiro (Rice, 1999) menjelaskan bahwa dukungan sangat penting ketika seseorang menghadapi stressor yang muncul karena ada anggota keluarganya yang memiliki sakit kronis atau suatu keterbatasan kondisi. Manfaat dari terapi kelompok pada suatu keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan keterbatasan kondisi adalah kesempatan untuk bertukar informasi mengenai caracara perawatan dan juga permasalahan emosional yang muncul sebagai pendamping. Menurut Yalom (2005), terapi kelompok terdiri dari minimal 3 orang sampai dengan 10 orang individu yang bertemu dengan terapis dalam satu kelompok. Anggota kelompok didorong untuk memberikan umpan balik terhadap anggota kelompok lainnya. Umpan balik ini terdiri dari mengekspresikan perasaan terhadap apa yang dikatakan dan dilakukan oleh anggota kelompok lainnya. Interaksi antara anggota kelompok terjadi dalam bentuk memberikan memberikan dorongan dan kesempatan pada masing-masing anggota untuk mencoba cara-cara berinteraksi dengan orang lain. Proses ini terjadi dalam suatu kondisi yang aman, yaitu anggota kelompok berusaha 17

Rizkia Purnamasari & H. Fuad Nashori

mempertahankan rasa saling percaya yang memungkinkan mereka bicara secara pribadi dan jujur. Terapi kelompok interaksional merupakan salah satu bentuk intervensi bagi para pendamping utama yang salah satu keluarganya mengalami skizofrenia. Pendamping utama pasien skizofrenia mengalami berbagai permasalahan selama mendampingi pasien. Hal tersebut akan menimbulkan tekanan bagi pendamping yang mengalaminya. Bentuk intervensi yang akan diberikan adalah dengan memberikan terapi kelompok, yang didalamnya berisi program-program yang bertujuan untuk memberikan dukungan kepada pendamping sehingga dapat menurunkan tingkat stres pendamping skizofrenia tersebut. Berdasarkan penjelasan di atas, hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada perbedaan tingkat stres antara pendamping utama yang mendapat terapi kelompok dengan pendamping utama yang tidak mendapat terapi kelompok. METODE PENELITIAN Rancangan eksperimen Penelitian ini merupakan penelitian kuasi-eksperimen dengan model rancangan penelitian pretest-posttest control group design (Shadish dkk, 2002). Desain ini bertujuan untuk melihat efek suatu perlakuan terhadap kelompok yang diberi perlakuan dan kelompok kontrol. Pemilihan subjek ditetapkan dengan cara tidak random yaitu dengan cara matching. Subjek penelitian Subjek penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Pendamping merupakan salah satu a n g g o t a k e l u a rg a d a r i p a s i e n skizofrenia. b. Usia pendamping berada pada usia di atas 17 tahun. c. Mempunyai skor stres sedang sampai tinggi

18

Metode pengumpulan data Pengumpulan data dalam penelitian ini diperoleh melalui wawancara awal dan observasi. Selain itu penelitian ini juga menggunakan pengukuran dengan skala stres yang disusun berdasarkan empat aspek stres dari Sarafino (2008) yaitu: (1) aspek fisiologis, (2) aspek kognitif (3) aspek emosi, (4) aspek perilaku. Skala tersebut menggunakan empat alternatif pilihan respon, yaitu HTP (Hampir Tidak Pernah), J (Jarang), S (Sering), dan HS (Hampir Selalu). Jumlah aitem pada skala stres adalah 36 butir. Rentang skor yang diberikan untuk masing-masing jawaban bergerak dari 1-4. Skor 1 yaitu untuk pilihan jawaban HTP, 2 untuk pilihan jawaban J, 3 untuk jawaban S, dan 4 untuk jawaban HS. Skor terendah yang mungkin didapat subjek adalah 36 dan tertinggi adala 144. Semakin tinggi skor yang didapat maka semakin tinggi tingkat stresnya, sedangkan semakin rendah skor yang didapat subjek maka semakin rendah tingkat stresnya. Selanjutnya peneliti melakukan kategorisasi skor menjadi tiga yaitu rendah, sedang, tinggi (Azwar, 2000). Hasil analisis aitem skala kesepian menunjukkan bahwa dari 36 aitem yang diujicobakan, terdapat 2 aitem yang gugur, yaitu aitem dengan nomor 1 dan 18. Aitem yang dianggap valid sebanyak 24, dengan koefisien korelasi bergerak antara 0,3790,821, dan koefisien reliabilitas alpha sebesar 0,952. Prosedur pemberian perlakuan Penelitian ini dilakukan dengan beberapa tahapan, yaitu tahapan penyusunan modul, pemilihan trainer dan staf penelitian, dan pelaksanaan. Pertama: Penyusunan modul terapi. Penyusunan modul penelitian ini dilakukan oleh peneliti. Modul terapi kelompok ini mengacu pada pendekatan interpersonal dari Yalom (2011). Bentuk ini lebih menekankan interaksi antar anggota. Fokus ada pada di sini dan saat ini. Budaya di dalam kelompok lebih menekankan pada saling membantu, memberikan dukungan, dan menunjukkan Jurnal Psikologi Mandiri

PENGARUH TERAPI KELOMPOK TERHADAP PENURUNAN STRES PENDAMPING UTAMA SKIZOFRENIA

model perilaku yang sehat. Pemimpin kelompok dapat bertindak sebagai pengamat luar yang dapat memberikan komentar proses berdasarkan kejadian disini dan saat ini yang terjadi di dalam kelompok.

Penyusunan modul menggunakan tahap-tahap persiapan dalam terapi kelompok dan menggunakan faktor-faktor kuratif dalam kelompok. Penyusunan modul menggunakan tahap-tahap persiapan dalam terapi kelompok dan menggunakan faktor-faktor kuratif dalam kelompok. Tabel 1. Rancangan kegiatan pelaksanaan terapi

Pertemuan

Waktu

Kegiatan

I

5’

Pembukaan

185’

10’

Perkenalan

Tujuan Membuka sesi terapi - Saling mengenal antara partisipan dan tim fasilitator - Menumbuhkan

suasana

akrab

dalam

kelompok 10’

Penjelasan maksud dan tujuan terapi

- Partisipan mengerti mengenai maksud, tujuan dan manfaat terapi - Penjelasan mengenai norma kelompok

30’

Skizofrenia:

definisi, Memberikan informasi mengenai

penyebab dan simtom skizofrenia dan kekambuhan 110’

Masalah Ku

Partisipan mengetahui dan mengenali tentang

apa

yang

dirasakan

nya

sehubungan dengan merawat pasien Memberikan kesempatan pada anggota kelompok untuk mengungkapkan ide dan perasaannya 10’

Menutup pertemuan pertama

II

90’

Masalah Ku

190’

- Mengingatkan

anggota

untuk

kehadirannya dipertemuan berikutnya - Anggota kelompok saling terbuka dan saling percaya untuk mengungkapkan permasalahannya - Mengungkapkan perasaan baik positif maupun negatif - Belajar mendengarkan, saling memberi dukungan antar anggota kelompok

90’

SolusiKu

- Partisipan dapat belajar mengatasi konflik yang dihadapi - Partisipan dapat memecahkan masalah

Jurnal Psikologi Mandiri

19

Rizkia Purnamasari & H. Fuad Nashori

Kedua: Seleksi fasilitator, ko-fasilitator. Persiapan diawali dengan menentukan fasilitator terapi kelompok. Seorang fasilitator dalam terapi ini harus memiliki kualifikasi (a) Psikolog yang memiliki surat izin praktek psikolog, (b) Mampu dan pernah menjadi terapis kelompok, dan (c) Bersedia terlibat selama proses terapi. Selain itu terapis kelompok juga harus mempunyai beberapa ketrampilan yang membuat terapi kelompok ini menjadi efektif. Menurut George dan Christiani (Prawitasari, 2011), perilaku efektif pemimpin kelompok adalah sebagai berikut (a) Mampu mendengarkan dengan aktif, (b) Mampu mengamati proses kelompok dengan seksama, (c) Dapat memberikan umpan balik, (d) Dapat menghubungkan antara satu pernyataan dengan pernyataan yang lain, (e) Dapat menghubungkan peristiwa yang satu dengan peristiwa lain, (f) Mempunyai kemampuan untuk melakukan konfrontasi, (g) Mempunyai kemampuan untuk memahami proses kelompok, (h) Dapat meringkas apa yang terjadi di sini dan saat ini. Untuk ko-fasilitator dalam terapi ini harus memiliki kualifikasi sebagai berikut: (a) Mahasiswa Magister Profesi Psikolog bidang klinis dan telah berpengalaman menjalankan praktek kerja profesi sebelumnya dan (b) Pernah mengikuti dan menerapkan terapi kelompok. Ketiga: pelaksanaan. Terapi yang diberikan dalam penelitian ini, yaitu terapi kelompok interaksional dapat dilaksanakan sesuai rencana. Terapi pada kelompok eksperimen dilakukan di ruang komite medik RSUD Sleman pada tanggal 8 Juni 2013, 12 Juni 2013 dan 15 Juni 2013. Fasilitator terapi kelompok ini merupakan psikolog yang telah berpengalaman menangani berbagai kasus termasuk kasus keluarga penderita gangguan jiwa. Metode analisis data Metode analisis data menggunakan analisis kuantitatif dan kualitatif. Analisis data kuantitatif menggunakan paket Statistical Product and Service Solution 20

(SPSS) for windows. Pengujian hipotesis dalam penelitian ini dengan dilakukan dengan analisis nonparametrik U Mann Whitney Test. Hal ini dikarenakan jumlah sampelnya kecil. Selain itu untuk mengetahui signifikansi perbedaan antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol setelah diberikan terapi kelompok. Analisis data kualitatif dilakukan untuk mengetahui proses yang terjadi pada masing-masing subjek. Analisis kuantitatif akan digunakan untuk menjabarkan data kualitatif yang diperoleh selama intervensi berlangsung.

HASIL PENELITIAN Deskripsi data penelitian Tabel 2. Deskripsi data subjek penelitian kelompok eksperimen Subjek Subjek

Jenis

Usia

Pengukuran

kelamin Prates Pascates Tindak lanjut

G-score

Gained

Gained score(pra-

(pra-pasca)

score(pasca-

tindaklanjut)

tindaklanjut) Subjek 11 Subjek

P

50

170

66

74

104

-8

96

Subjek 22 Subjek

P

49

112

49

54

63

-5

58

Subjek 33 Subjek

P

50

71

49

45

22

4

26

Tabel 3. Deskripsi data subjek penelitian kelompok Kontrol Subjek

Jenis

Usia

Pengukuran

kelamin Prates Pascates Tindak lanjut

Gained

Gained

Gained

score(pra-

score(pasca-

score(pra-

pasca)

tindaklanjut)

tindaklanjut)

S1

L

55

68

68

70

0

-2

-2

S2

P

43

115

118

110

-3

8

5

S3

P

60

104

104

96

0

8

8

S4

P

59

79

80

79

-2

1

0

Tabel 4. Deskripsi Data Penelitian Klasifikasi

Kelompokeksperimen

Kelompokkontrol

Min

Maks

Rerata

SD

Min

Maks

Rerata

SD

Prates

71

170

117,67

49,743

68

115

91,50

21,733

Pascates

49

66

54,67

9,815

68

118

92,50

22,650

Tindaklanjut

45

74

57,67

14,844

70

110

88,75

17,802

Hasil uji hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada perbedaan tingkat stres antara kelompok eksperimen yang diberikan terapi kelompok dan kelompok kontrol yang tidak Jurnal Psikologi Mandiri

PENGARUH TERAPI KELOMPOK TERHADAP PENURUNAN STRES PENDAMPING UTAMA SKIZOFRENIA

mendapatkan terapi kelompok. Pengujian hipotesis dilakukan dengan uji statistic, yaitu U Mann Whitney. Hasil analisis data dengan uji U Mann Whitney terdapat pada tabel di bawah ini: Tabel 5. Rangkuman uji Mann Whitney kelompok eksperimen dan kelompok kontrol prates Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]

pascates tindaklanjut

4.000

.000

1.000

14.000

6.000

7.000

-.707

-2.141

-1.768

.480

.032

.077

.629

a

.057

a

.114

a

Pada tabel 5 menunjukkan ada perbedaan tingkat stres pendamping yang signifikan antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol pada saat pasca tes, hal ini ditunjukkan dengan skor Z=-2,141 dan p=0,032 (p<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa setelah diberikan terapi kelompok interaksional kelompok eksperimen mengalami penurunan stres daripada kelompok kontrol yang tidak diberi terapi kelompok. Pada saat tindak lanjut tidak ada perbedaan tingkat stres pendamping antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Hal ini ditunjukkan dengan skor Z=-1,768 dan p=0,077(p>0,05). PEMBAHASAN Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh terapi kelompok terhadap penurunan stres pendamping utama skizofrenia pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Selain itu juga untuk mengetahui perbedaan tingkat stres sebelum dan sesudah diberikan terapi kelompok pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan didapatkan hasil bahwa terdapat perbedaan tingkat stres antara kelompok kontrol dan kelompok eksperimen setelah diberi terapi kelompok. Hasil analisis Mann Jurnal Psikologi Mandiri

Whitney menunjukkan skor Z=-2,141 dan nilai p= 0,032 (p<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan tingkat stres pendamping yang signifikan antara kelompok kontrol dan kelompok eksperimen setelah diberi terapi kelompok. Kelompok eksperimen tingkat stresnya lebih rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol. Hal ini menandakan bahwa terapi kelompok mempunyai pengaruh terhadap penurunan stres pendamping skizofrenia setelah diberi terapi kelompok. Setelah dua minggu dilakukan tindak lanjut untuk melihat pengaruh terapi kelompok terhadap penurunan stres pendamping skizofrenia. Berdasarkan analisis Mann Whitney menunjukkan skor Z= -2,141 dan p=0,034 (p<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaaan tingkat stres pendamping skizofrenia antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol setelah diberi terapi dan pada saat tindak lanjut. Hasil penelitian ini mendukung penelitian terdahulu yang telah dilakukan oleh Young (2001) yang menggunakan terapi kelompok untuk menurunkan beban p e n d a m p i n g s k i z o f r e n i a . Yo u n g memberikan pemahaman kepada para pendamping bahwa ada beberapa orang yang mengalami situasi yang sama sehingga mereka merasa terdukung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terapi kelompok efektif dalam menurunkan beban psikologis pendamping skizofrenia. Hasil ini juga sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Hazel (2004) yang menunjukkan bahwa terapi kelompok dapat menurunkan distres dan menggali potensi yang dimiliki oleh pendamping sehingga pendamping dapat berfungsi dengan baik. Adanya terapi kelompok, keluarga dapat saling berbagi pengalaman mereka dalam merawat keluarga mereka yang mengalami skizofrenia dan dapat saling mengungkapkan perasaan. Selain itu mereka juga mendapatkan informasi mengenai skizofrenia dan cara menanganinya. 21

Rizkia Purnamasari & H. Fuad Nashori

Hasil ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh McFarlane dkk (2001) tentang terapi kelompok keluarga dan psikoedukasi serta penelitian terapi kelompok dari Chien (2008). Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa terapi kelompok untuk pendamping skizofrenia merupakan proses berbagi tentang situasi umum dan pengalaman tentang perhatian umum dalam sesi kelompok terapi. Kekuatan pada kelompok ini adalah adanya pengetahuan tentang cara mengatur sakitnya pasien dan berusaha untuk mengubah hidupnya senormal mungkin. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hence (Chien, 2001) bahwa psikoedukasi dan kelompok dukungan caregiver skizofrenia dapat menurunkan distress atau beban pendamping dan meningkatkan interaksi hubungan antara keluarga dengan pasien. Faktor penting yang menunjang keberhasilan sebuah penelitian adalah modul terapi kelompok, fasilitator dan karekteristik partisipan. Modul terapi kelompok untuk pendamping skizofrenia mengacu pada beberapa sumber dengan mempertimbangkan masukan dari dosen pembimbing (psikolog), psikolog klinis rumah sakit jiwa dan dokter jiwa (psikiater). Terapi kelompok interaksional disusun sebagai bentuk intervensi bagi para pendamping utama yang salah satu keluarganya mengalami skizofrenia. Metode yang ada pada terapi kelompok adalah pemberian informasi tentang skizofrenia dan stres pendamping skizofrenia, penggalian masalah dan pengungkapan ide dan perasaan, saling berbagi pengalaman dan adanya problem solving dari anggota kelompok dan terapis. Pada setiap pertemuan peserta diajak untuk saling berbagi, saling mendukung dan saling memberikan masukan atas masalah yang dialami masing-masing anggota kelompok. Adanya norma kelompok dalam terapi kelompok dapat membangun saling percaya antar anggota kelompok sehingga mereka saling terbuka terhadap masalahnya (Prawitasari, 2011). Selain itu adanya 22

sebelas faktor penyembuh dalam terapi kelompok juga mendukung keberhasilan terapi kelompok ini. Sebelas faktor tersebut adalah membangkitkan harapan, universalitas, penyampaian informasi, altruisme, pengulangan korektif keluarga asal, pengembangan teknik sosialisasi, peniruan tingkah laku, belajar berhubungan dengan pribadi lain, rasa kebersamaan, katarsis dan faktor-faktor eksistensial (Yalom,2005). SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa terapi kelompok mempunyai pengaruh terhadap penurunan stres pendamping skizofrenia. Hal ini terlihat dari skor Z=-2,141 dan p=0,032 (p<0,05), yang artinya ada perbedaan tingkat stres pendamping kelompok eksperimen setelah diberi terapi kelompok dan kelompok kontrol yang tidak diberi terapi kelompok. Kelompok eksperimen memiliki tingkat stres yang lebih rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol. Saran Berdasarkan penelitian ini, ada beberapa rekomendasi untuk penelitian selanjutnya, yaitu (a) Kepada peneliti selanjutnya, diharapkan dapat lebih memperhatikan kriteria subjek untuk terapi kelompok, (b) Peneliti selanjutnya menyusun aitem dalam alat ukur sesuai dengan karakteristik subjek sehingga dapat dipahami oleh subjek, (c) Peneliti selanjutnya sebaiknya memastikan untuk kehadiran peserta dalam terapi kelompok, (d) Mengembangkan terapi kelompok yang telah diterapkan oleh peneliti, dan (e) Menjadikan hasil penelitian ini sebagai data awal yang dapat dimanfaatkan untuk mengatasi kasus lain yang berhubungan dengan pendampingan keluarga yang mempunyai anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa berat.

Jurnal Psikologi Mandiri

PENGARUH TERAPI KELOMPOK TERHADAP PENURUNAN STRES PENDAMPING UTAMA SKIZOFRENIA

DAFTAR PUSTAKA Arif, I.S, (2006). Skizofrenia: Memahami Dinamika Keluarga Pasien. Bandung: PT.Refika Aditama Azwar, S. (2000). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka pelajar. Barrowlough, C., dan Tarrier, N., (1990). Social Functioning in Schizophrenia. Journal of Social and Psychiatric Epidemology, 25, 130-131. Baum, J., Frobose, T., Kraemer, S., Rentrop, M., dan Pitschel-Walts, G., (2006). Psychoeducation: A Basic Psychotherapeutic Intervention for Patient With Schizophrenia and Families. Schizophrenia Bulletin, 32 (1), 1-9. Bevans, M., dan Sternberg, E.M., (2012). Caregiving Burden, Stress and Helath Among Family Caregivers of Adult Cancer Patients. American Medical Association, 307(4), 398-403. Bradley, G.M, Couchman, G.M, Parlesz, A, Nguyen, A.T, Singh, B, dan Ries, C. (2006). Multiple Family Group Treatment for Engslish and Vietnamese-Speaking Families Living With Schizophrenia. Psychiatricservices.org, 57(4). Brown, R.G dan Secker, D.L.(2005). Cognitive behavioural therapy (CBT) for carers of patients with Parkinson's disease: a preliminary randomised controlled trial. J o u r n a l N e u ro l N e u ro s u rg Psychiatry,76,491-497. Chien, F.P., Greenberg J.S. (2004). A Positive Aspect of Caregiving: The Influence of Social Support on Caregiving Gains for Family Members of Relatives with Jurnal Psikologi Mandiri

Schizophrenia. Community Mental Health Journal, 40 (5), 423-435. Chien, W. (2008). Effectiveness of Psychoeducation and Mutual Support Group Program for Family Caregivers of Chinese People with Schizophrenia. The Open Noursing Journal. 2, 28-29. Corey, G. (2010). Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung: PT Refika Aditama. Dorian, M., Gracia, J.R., Lopez, S.R., Hernandez, M.B. (2008). Acceptance and Express Emotion in Mexican American Caregivers of Relative With Schizophrenia. Proquest Journal, 47 (2), 215-228. Hazel, N.A, McDonell, M.G, Short, R.A, Berry, C.M, Voss, W.D, Rodgers, M.L, dan Dyck, D.G. (2004). Impact of Multiple-Family Groups for Outpatients With Schizophrenia on Caregivers' Distress and Resources. http//Psychiatryonline.org Maldonado. J.G, (2006). Burden of Care in Families of Patients with Schizophrenia. Departemen of p e r s o n a l i t y, P s y c h o l o g i c a l treatment, Universitas de Barcelona, Spain Maldonado, J.G., Urizar, A.C., (2007). Effectiveness of a Psychoeducational Intervention for Reducing Burden in Latin Families with Schizophrenia. Springer Science Bussiness Media, 16, 739747. McFarlane, W.R., Lukens, E., Link B. (2001). Multiple-family groups and psychoeducation in the treatment of schizophrenia. Archives of General Psychiatry, 52, 679–687. 23

Rizkia Purnamasari & H. Fuad Nashori

Meijer, K., Schene, A., Martin, K., Knudsen, C., Becker, T., Thornicroft, G., Vasquez, J.L, dan Tansela, M. (2004). Need for Care of Patient with Schizophrenia and The Consequences for Their Informal Caregivers. Soc Psychiatry Epidemiol, 39, 251-258. N a s h r , T. , K a u s a r , R . ( 2 0 0 9 ) . Psychoeducation and The Family Burden in Schizophrenia: A Randomized Controlled Trial. Annals of General Psychiatry, 8 (17), 1-6. Nevid, J.F., Rathus, S.A., Greene, B. (2002). Psikologi Abnormal Jilid I. Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama. Prawitasari, J.E. (2011). Psikologi Klinis Pengantar Terapan Mikro dan Makro. Jakarta: Penerbit Erlangga Philips, M.R., Pearson, V., Feifei, L., Xu, M., Yang, S. (2012). Stigma and Expressed Emotion: A Study Of People With Schizophrenia and Their Familiy Members in China. The Britihs Journal Of Psychiatry, 181, 488-493.

Generalized Causal Inference. NewYork: Houghton Mufflin Company. Sreeja,I., Sandhiya, I., Rakesh, MB, Singh. (2009). Comparison Of Burden Between Family Caregivers Of Patients Having Schizophrenia And Epilepsy. The Internet Journal of Epidemology. 6(2), 1540-2614. Syah, A.J, Wadoo, O.V, dan Latoo, J. (2010). Psychological Distress in Careers of People With Mental Disorder. British Journal of Medical Praticioners, 5 (5), 327334. Smet, B. (1994). Psikologi Kesehatan. Jakarta: PT. Gramedia Widisarana Indonesia. Swastiningsih, N. (2009). Kelompok Dukungan Untuk Menurunkan Stres Orangtua Pasien Kanker Anak. Tesis tidak diterbitkan. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Rice, P.L. (1998). Stress and Health. Third Edition. Moorhead State University: Brooks/Cole Publishing Company

Torres, M.A., Gonzales., Oraa Rodrigo., Aristegui, M., Rivas, M.A., Guimon,J. (2006). Stigma and discriminination towards people with schizophrenia and their family members. Social Psychiatry Psychiatr Epidemol. 42, 14-23.

Sarafino, E. P. (2008). Health Psychology Biopsychosocial Interaction Sixth Edition. United States of America: New Jersey.

Urizar., A.C., Maldonado, J.G. (2006). Burden of Care in Families with Schizophrenia. Quality of Life of Research. 15, 719-724.

Schene, A.H, Wijngaarden, B.V, dan Koeter, M.W. (1998). Family Caregiving in Schizophrenia: Domain and Stress. Bulletin Schizophrenia, 24 (4), 609-618.

Wai-Tong, C, Sally, W.C, Chan dan Thompson, D.R. (2006). Effect of a Mutual Support Group for Families of Chinese People With Schizophrenia: 18 month follow up. The British Journal of Psychiatry. 189, 421-49.

Shadish, W.R, Cook, T.D, Campbell, D.T. (2002). Experimental and Quasi Experimental Design For 24

Jurnal Psikologi Mandiri

PENGARUH TERAPI KELOMPOK TERHADAP PENURUNAN STRES PENDAMPING UTAMA SKIZOFRENIA

Wyman, K., Clarke, S., McKenzie, P.,Gilbert, M. (2008). The Impact of Participation in A Support Group for Carers of A Person with Schizophrenia: A Qualitative Study. International Journal of Psychosocial Rahabilitation, 12 (2), 97-109.

Young, B. (2001). Support Groups for Relatives of People Living With a Serious Mental Illness. International Journal of Psychososial Rehabilitation. 147168.

Yalom, I. (2005). The Theory and Practice of Group Psychotherapy 5th. New York: Basic Books.

Jurnal Psikologi Mandiri

25