PENGARUH TOPOGRAFI TERHADAP CURAH HUJAN MUSIMAN DAN TAHUNAN DI

Download Untuk mengetahui pengaruh ketinggian tempat/topografi terhadap curah hujan ... dijelaskan dalam buku “Meteorologi dan Klimatologi” dengan p...

5 downloads 652 Views 1MB Size
Prosiding Seminar Penerbangan dan Antariksa 2010 Sub Seminar Sains Atmosfer dan Iklim Serpong, 15 Nopember 2010

PENGARUH TOPOGRAFI TERHADAP CURAH HUJAN MUSIMAN DAN TAHUNAN DI PROVINSI BALI BERDASARKAN DATA OBSERVASI RESOLUSI TINGGI Sartono Marpaung Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim LAPAN, Jl.dr.Djundjunan 133, Bandung, 40173 E-mail : [email protected]

Abstrak Data dengan resolusi tinggi sangat diperlukan dalam kegiatan penelitian agar hasil analisis yang diperoleh menjadi optimal. Dalam makalah ini dilakukan analisis tentang pengaruh topografi terhadap curah hujan dalam skala musiman dan tahunan. Data yang digunakan adalah data curah hujan dari Worldclim dengan resolusi spasial 1 km2, periode pengamatan tahun 1950-2000 (rata-rata klimatologi) dan data topografi dari satelit NOAA yang memiliki resolusi grid 30 detik. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, perata-rataan curah hujan dan topografi secara zonal menggambarkan bahwa di Provinsi Bali, wilayah dengan topografi yang lebih tinggi memiliki curah hujan yang lebih besar dibandingkan dengan wilayah dengan topografi rendah pada saat musim basah dan masa peralihan dari musim basah ke musim kering. Rata-rata curah hujan tahunan secara spasial menunjukkan bahwa daratan dengan ketinggian 600-1300 meter memiliki rata-rata curah hujan tahunan tertinggi sebesar 2300 s/d 2800 mm/tahun, sedangkan wilayah dengan ketinggian di bawah 600 meter dan di atas 1300 meter rata-rata tahunan curah hujannya lebih rendah. Peningkatan curah hujan pada ketinggian 600 s/d 900 meter sebesar 159 mm setiap ketinggian naik 100 meter. Sedangkan untuk ketinggian di atas 900 s/d 1300 meter curah hujan menurun sebesar 113 mm setiap ketinggian bertambah 100 meter. Kata kunci : curah hujan, topografi, worldclim dan regresi linier.

Abstract High resolution data is important in research activity so analysis result to be optimal. In this paper has been doing an analysis of topography influence on rainfall in the seasonal and annually. The data used are rainfall data from Worldclim with spatial resolution of 1 km2 with period from 1950 to 2000 (climatological) and topography data from the NOAA satellite with grid resolution 30 seconds. Based on the analysis conducted, average rainfall and topography in zonal direction illustrate that in Bali province, the region with higher topography has a greater rainfall than region with low topography during the wet season and the transition from wet season to dry season. Average of annual rainfall spatially showed that the land with altitude 600-1300 meters have the highest annual rainfall, amount 2300 to 2800 mm / year. But the region with an altitude below 600 meters and above 1300 meters the annual average rainfall is lower. Increasing of rainfall from altitude 600 to 900 is 159 mm/year each altitude rises 100 meters. For altitude above 900 to 1300 meter rainfall decreased by 113 mm/year each 100 meter altitude increased. Keywords : rainfall, topography, worldclim and liniear regression.

1. Pendahuluan Curah hujan merupakan hasil akhir dari proses fisis cuaca dan iklim yang terjadi dalam atmosfer yaitu lapisan troposfer. Ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap curah hujan, baik dalam skala global, regional maupun lokal. Faktor lokal dari suatu wilayah memiliki pengaruh yang signifikan terhadap curah hujan yang terjadi di wilayah tersebut. Salah satu faktor lokal yang berperan adalah topografi atau ketinggian tempat. Ada

104

Prosiding Seminar Penerbangan dan Antariksa 2010 Sub Seminar Sains Atmosfer dan Iklim Serpong, 15 Nopember 2010

tiga proses yang menghubungkan curah hujan dengan topografi. Yang pertama adalah pembelokan angin yang membawa masa lembap dalam arah vertikal karena faktor topografi. Kedua, topografi menyebabkan terjadi perubahan sistem tekanan rendah. Ketiga, topografi tertentu mendorong terjadinya arus konveksi lokal [1]. Topografi mempunyai efek terhadap distribusi curah hujan [2]. Secara umum curah hujan di Indonesia bertambah sesuai dengan ketinggian tempat.Rata-rata curah hujan di Indonesia untuk setiap tahun tidak sama, tetapi masih tergolong cukup tinggi yaitu rata-rata 2000 sampai 3000 mm/tahun. Demikian juga antara tempat yang satu dengan tempat yang lain rata-rata curah hujannya berbeda-beda. Ada beberapa daerah yang mempunyai rata-rata curah hujan yang sangat rendah dan ada juga daerah yang mendapat curah hujan tinggi [3] WorldClim adalah kumpulan data permukaan iklim global dalam bentuk grid dengan resolusi spasial satu kilometer persegi. Data permukaan yang dihasilkan diperoleh dengan melakukan interpolasi terhadap data iklim rata-rata bulanan dari stasiun-stasiun cuaca. Variabel data yang dihasilkan oleh WorldClim adalah : total dan rata-rata presipitasi bulanan, minimum dan maksimum temperatur dan 19 variabel bioklimatik turunan. Sumber data yang digunakan oleh WorldClim berasal dari : Global Historical Climatology Network (GHCN), Food and Agriculture Organization (FAO), World Meteorology Organisation (WMO), International Center for Tropical Agriculture (CIAT), serta database iklim dari beberapa negara seperti : Australia, Selandia Baru, Ekuador, Peru, Bolivia dan lain-lain. Pembahasan secara lengkap tentang proses kompilasi dan interpolasi yang dilakukan terhadap data-data iklim permukaan sehingga menjadi data grid dipaparkan secara mendetail dalam jurnal klimatologi internasional yang berjudul : “Very high resolution interpolated climate surfaces for global land areas”[4]. Untuk mengidentifikasi perubahan (peningkatan atau penurunan) curah hujan yang terjadi sesuai dengan bertambahnya ketinggian, diperlukan data curah hujan maupun topografi dengan resolusi spasial yang tinggi. Dengan data presipitasi dari WordClim dan topografi dari NOAA yang memiliki resolusi yang tinggi dan sama ukuran spasialnya ( 1 km x 1 km), maka kajian tentang pengaruh topografi terhadap curah hujan memungkinkan untuk dilakukan. Disamping itu perlu diketahui kecenderungan/trend curah hujan untuk mengetahui jumlah curah hujan yang bertambah atau berkurang akibat perubahan ketinggian.

2. Metode Penelitian Data yang digunakan dalam kajian ini terdiri dari dua bagian yaitu : data curah hujan bulanan (rata-rata klimatologi) dari Worldclim dengan resolusi spasial 1 km x 1 km, periode pengamatan tahun 1950 sampai 2000 (situs sumber data adalah : http://www.worldclim.org/) dan data topografi dari satelit NOAA (situsnya : www.ngdc.noaa.gov/mgg/topo/globe.html) dengan resolusi grid 30 detik. Lokasi kajian adalah daerah tingkat I Provinsi Bali dengan batasan bujur dari 114,4042o s/d 115,8292o bujur timur dan batasan lintang dari -8,8708o s/d -8,0042° lintang selatan. Untuk mengetahui pengaruh ketinggian tempat/topografi terhadap curah hujan dilakukan perata-rataan curah hujan dan topografi terhadap bujur (dalam arah zonal) untuk skala musiman dan tahunan. Selanjutnya dilakukan pengecekan terhadap curah hujan tahunan dan topografi untuk mengetahui nilai topografi/ketinggian wilayah yang memiliki curah hujan tertinggi. Dari pasangan data topografi dan curah hujan tahunan yang telah diperoleh dilakukan identifikasi kecenderungan atau tren curah hujan terhadap ketinggian dengan menerapkan metode statistik regresi linier. Hubungan linier antara curah hujan tahunan dengan ketinggian tempat/topografi dijelaskan dalam buku “Meteorologi dan Klimatologi” dengan persamaan regresi linier [5], sebagai berikut : y = ax + b, dimana y = jumlah curah hujan tahunan (mm) x = ketinggian tempat/topografi (meter) a = koefisien regresi atau nilai kecenderungan dari x. b = konstanta.

3. Hasil 3.1. Skala Musiman Berdasarkan pengolahan data yang telah dilakukan terhadap data curah hujan bulanan tahun 1950 sampai dengan 2000 (rata-rata klimatologi) untuk skala musiman dan data topografi, diperoleh hasil pengolahan data secara spasial dan rata-rata zonal untuk wilayah kajian Provinsi Bali seperti yang ditampilkan pada Gambar 3.1.

105

Prosiding Seminar Penerbangan dan Antariksa 2010 Sub Seminar Sains Atmosfer dan Iklim Serpong, 15 Nopember 2010

Gambar 3.1. Topografi dan curah hujan bulan DJF, MAM secara spasial dan rata-rata zonal. Gambar 3.1. (a) dan (d) adalah topografi Provinsi Bali secara spasial dan rata-rata zonal. Gambar (b) dan (e) merupakan rata-rata curah hujan musim basah DJF (Desember-Januari-Februari) dari tahun 1950 sampai 2000, spasial dan rata-rata zonal. Sedangkan (c) dan (f) adalah rata-rata curah hujan musim peralihan Maret-April-Mei (MAM) spasial dan rata-rata zonal. Provinsi Bali memiliki ketinggian/topografi dari 0 s/d 3000 meter dari permukaan laut. Daerah yang memiliki topografi lebih tinggi di Pulau Bali, tampak membentang dari barat ke timur.

Gambar 3.2. Topografi dan curah hujan bulan JJA, SON secara spasial dan profil zonal. Gambar 3.2. (a) dan (d) adalah tampilan topografi secara spasial dan profil rata-rata zonal. Gambar (b) dan (e) menunjukkan rata-rata curah hujan musim kering JJA (Juni-Juli-Agustus) periode pengamatan tahun 1950 2000, spasial dan rata-rata zonal. Gambar (c) dan (f) adalah tampilan spasial dan rata-rata zonal rata-rata curah hujan musim peralihan peralihan dari kering ke basah SON (September-Oktober-November).

3.2. Skala Tahunan Hasil pengolahan data topografi dan rata-rata curah hujan tahunan dari tahun 1950 sampai dengan 2000 secara spasial dan profil rata-rata zonal untuk wilayah kajian Provinsi Bali sebagai berikut.

106

Prosiding Seminar Penerbangan dan Antariksa 2010 Sub Seminar Sains Atmosfer dan Iklim Serpong, 15 Nopember 2010

Gambar 3.3.Tampilan topografi dan rata-rata curah hujan tahunan secara spasial dan rata-rata zonal. Gambar 3.3. (a) dan (b) memperlihatkan tampilan topografi dan curah hujan tahunan secara spasial, sedangkan (c) dan (d) adalah profil rata-rata zonal topografi dan curah hujan tahunan. Rata-rata curah hujan tahunan yang terjadi berkisar antara 800 s/d 2800 mm/tahun. Berdasarkan analisis lanjutan yang telah dilakukan melalui identifikasi dan deteksi terhadap data curah hujan tahunan dan topografi, hasil yang diperoleh seperti ditampilkan pada Gambar 3.4. berikut ini.

Gambar 3.4. Topografi 600 s/d 1300 meter dan curah hujan tahunan tertinggi dari 2300 s/d 2800 mm. Gambar 3.4. (a) merupakan tampilan topografi dari ketinggian 600 sampai 1300 meter dari permukaan laut dan (b) adalah distribusi spasial curah hujan tahunan tertinggi dari 2300 sampai dengan 2800 mm/tahun. Dari deteksi yang telah dilakukan ternyata curah hujan tertinggi dengan kisaran nilai 2300 s/d 2800 mm/tahun terjadi pada wilayah dengan topografi/ketinggian antara 600 sampai 1300 meter. Curah hujan yang terjadi pada ketinggian 600 sampai 1300 meter bervariasi, dilakukan analisis selanjutnya untuk mengetahui profil curah hujan terhadap ketinggian.

107

Prosiding Seminar Penerbangan dan Antariksa 2010 Sub Seminar Sains Atmosfer dan Iklim Serpong, 15 Nopember 2010

Hasil analisis yang diperoleh tentang profil perubahan curah hujan tahunan terhadap ketinggian (600 s/d 1300 m), serta kecenderungannya (peningkatan/penurunan) terhadap pertambahan ketinggian seperti ditampilkan pada Gambar 3.5. berikut ini.

Gambar 3.5. Profil dan kecenderungan/tren curah hujan terhadap ketinggian. Gambar 3.5. (a) merupakan profil curah hujan tahunan tertinggi dari 2300 sampai 2800 mm terhadap ketinggian /topografi mulai dari 600 s/d 1300 meter. Dari gambar (a) terlihat bahwa curah hujan tahunan meningkat sesuai dengan bertambahnya ketinggian mulai dari 600 meter sampai dengan 900 meter. Setelah mencapai maksimum, curah hujan pada ketinggian 900 sampai 1300 meter mengalami penurunan walaupun ketingian bertambah. Gambar (b) adalah tren atau kecenderungan curah hujan tahunan terhadap pertambahan ketinggian. Tampak bahwa garis regresi (warna biru) dan persamaannya yaitu y = 1,5975x + 1419 menggambarkan terjadi peningkatan curah hujan tahunan pada level ketinggian 600 sampai 900 meter. Gambar (c) merupakan tren curah hujan terhadap ketinggian, mulai dari ketinggian 900 sampai 1300 meter. Persamaan regresinya adalah y = 1,1308x + 3777, menunjukkan terjadi penurunan curah hujan.

4. Pembahasan Tampilan profil curah hujan secara zonal pada saat musim basah Desember-Januari-Februari (DJF) dan masa transisi Maret-April-Mei (MAM) menunjukkan bahwa wilayah dengan topografi yang lebih tinggi mempunyai rata-rata curah hujan musiman yang lebih besar dibandingkan dengan wilayah bertopografi rendah (bulatan hitam). Sedangkan tampilan curah hujan secara spasial menunjukkan bahwa daerah dengan topografi tinggi memiliki curah hujan yang lebih tinggi terutama daerah lereng pegunungan, tetapi di kawasan puncak pegunungan yang lebih tinggi curah hujan makin berkurang. Hal ini disebabkan kadar uap air dalam udara semakin ke atas makin berkurang . Pada musim kering Juni-Juli-Agustus (JJA) tampak bahwa daerah yang memiliki topografi rendah mempunyai rata-rata curah hujan musiman yang lebih besar. Profil rata-rata zonal curah hujan mempertegas bahwa daerah bertopografi rendah memiliki curah hujan lebih tinggi dibandingkan daerah dengan topografi lebih tinggi pada saat musim kering JJA (bulatan hitam). Demikian juga halnya untuk musim peralihan SON, wilayah dengan topografi rendah rata-rata curah hujan yang terjadi lebih besar dibandingkan wilayah bertopografi tinggi baik dalam tampilan spasial maupun profil rata-rata zonal (bulatan hitam). Hal ini akibat pengaruh penguapan yang lebih intensif terjadi di daerah pantai atau pesisir dibandingkan daerah pegunungan. Kondisi yang terjadi pada musim JJA dan SON kontradiksi dengan yang terjadi pada saat musim basah DJF dan masa transisi MAM yang telah di bahas sebelumnya. Profil rata-rata zonal curah hujan tahunan menunjukkan bahwa pada wilayah dengan topografi yang lebih tinggi terdapat rata-rata curah hujan tahunan yang lebih besar. Secara spasial terlihat bahwa topografi yang lebih tinggi mempunyai curah hujan tahunan yang lebih tinggi, tetapi untuk daerah pegunungan atau pada daerah yang lebih tinggi terjadi penurunan curah hujan. Hal dapat diketahui dari slope yang terjadi di daerah pegunungan, curah hujan yang terjadi lebih tinggi di daerah lereng gunung di bandingkan dengan wilayah puncak pegunungan. Ini menandakan bahwa terdapat level atau interval ketinggian dimana curah hujan tahunan akan bertambah seiring dengan bertambahnya ketinggian dan untuk level yang lebih tinggi terdapat interval ketinggian dengan curah

108

Prosiding Seminar Penerbangan dan Antariksa 2010 Sub Seminar Sains Atmosfer dan Iklim Serpong, 15 Nopember 2010

hujan semakin berkurang dengan bertambahnya ketinggian. Hal ini menunjukkan semakin ke atas kandungan uap air semakin berkurang. Hasil identifikasi dan deteksi menunjukkan bahwa curah hujan tahunan tertinggi, dari 2300 s/d 2800 mm terjadi pada wilayah dengan ketinggian 600 sampai 1300 meter dari permukaan laut. Sedangkan curah hujan tahunan pada ketinggian di atas 1300 meter dan ketinggian di bawah 600 meter lebih rendah. Hal ini menggambarkan bahwa hujan yang terjadi di wilayah kajian merupakan hujan orografi. Curah hujan tertinggi terdapat pada lereng pegunungan sebelah selatan. Hal ini diakibatkan oleh angin meridional yang bertiup dari selatan menuju utara terhalang oleh ketinggian atau daerah pegunungan. Penurunan curah hujan yang terjadi di atas 1300 meter karena kadar uap air dalam udara merupakan fungsi dari ketinggian. Dengan bertambahnya ketinggian kadar uap air makin sedikt dalam udara. Koefisien regresi yang bernilai positif menyatakan besarnya nilai peningkatan curah hujan yang terjadi akibat kenaikan topografi. Koefisien regresi yang terjadi dari ketinggian 600 sampai 900 meter adalah 1,5975. Artinya setiap ketinggian bertambah satu meter terjadi peningkatan curah hujan sebesar 1,5975 mm atau setiap ketinggian bertambah 100 meter terjadi peningkatan curah hujan sekitar 159 mm/tahun. Sedangkan koefisien regresi yang bernilai negatif merupakan besarnya nilai penurunan curah hujan yang terjadi akibat kenaikan topografi. Koefisien regresi yang terjadi dari ketinggian 900 sampai 1300 meter sebesar -1,1308. Hal ini bermakna setiap ketinggian bertambah satu meter terjadi penurunan curah hujan tahunan sekitar 1,1308 mm atau setiap ketinggian bertambah 100 meter terjadi penurunan curah hujan tahunan sebesar 113 mm. Penurunan curah hujan yang terjadi di ketinggian 900 sampai 1300 meter akibat kadar uap air dalam udara semakin berkurang. Udara dari permukaan yang mengandung uap air terdorong oleh angin sehingga naik ke atas mengikuti ketinggian, setelah mencapai ketinggian 600 sampai 900 meter terjadi hujan. Dengan terjadinya hujan mengakibatkan kandungan uap air dalam udara semakin berkurang. Ketika udara tersebut terdorong/dipaksa oleh angin naik ke atas, maka curah hujan yang terjadi di atas ketinggian 900 meter akan semakin berkurang karena kandungan uap air dalam udaranya sudah berkurang. Ini merupakan ciri khas dari hujan orografi. Peningkatan dan penurunan curah hujan yang terjadi akibat bertambahnya ketinggian seperti yang telah diuraikan berlaku untuk daerah kajian Provinsi Bali.

5. Kesimpulan Wilayah yang memiliki topografi lebih tinggi memiliki curah hujan yang lebih besar dibandingkan dengan wilayah dengan topografi rendah pada saat musim basah DJF dan masa peralihan dari musim basah ke musim kering MAM. Sedangkan dalam musim kering JJA dan masa transisi SON curah hujan yang lebih tinggi terdapat pada wilayah dengan topografi rendah. Curah hujan tahunan menggambarkan bahwa daratan dengan ketinggian 600-1300 meter dari permukaan laut memiliki curah hujan tahunan tertinggi sebesar 2300 s/d 2800 mm. Curah hujan meningkat dengan tajam mulai dari ketinggian 600 meter dan mencapai puncaknya pada ketinggian 900 meter. Dari ketinggian 900 meter curah hujan tahunan mengalami penurunan yang signifikan. Besarnya peningkatan curah hujan pada ketinggian 600 s/d 900 meter sebesar 159 mm setiap ketinggian bertambah 100 meter. Untuk ketinggian di atas 900 sampai 1300 meter terjadi penurunan curah hujan tahunan sekitar 113 mm setiap ketinggian bertambah 100 meter.

Ucapan Terima Kasih Terima kasih saya ucapkan kepada Pak Noersomadi, M.Si., atas bantuannya dalam pengolahan data serta saransaran yang diberikan dalam melakukan kajian pada makalah ini.

Daftar Pustaka [1] [2] [3]

Juaeni et al., 2006, Periode Curah Hujan Dominan dan Hubungannya dengan Topografi, Jurnal Sains dan Teknologi Modifikasi Cuaca, UPT Hujan Buatan BPPT, Vol. 7, No. 2, Jakarta. Suzuki et al., 2004, Study On Rainfall-Topography Relationships in Japan with Regard to the Spatial Scale of Mountain Slopes. Sixth International Symposium On Hydrological Applications Of Weather Radar, Melbourne, Australia. http://klastik.wordpress.com/2006/12/03/pola-umum-curah-hujan-di-indonesia/

109

Prosiding Seminar Penerbangan dan Antariksa 2010 Sub Seminar Sains Atmosfer dan Iklim Serpong, 15 Nopember 2010

[4] [5]

Hijmans et al,, 2005, Very High Resolution Interpolated Climate Surfaces For Global Land Areas, International Journal Of Climatology, Vol 25 : 1965–1978. Published online in Wiley InterScience (www.interscience.wiley.com), DOI: 10.1002/joc.1276. Rafi’i., 1995, Meteorologi dan Klimatologi, Penerbit Angkasa Bandung.

110