PENGELOLAAN SISTEM USAHA TANI TANAMAN PANGAN DAN UPAYA PERBAIKANNYA DI PAPUA M. Zain Kanro, M.S. Lestari, A. Wahid Rauf, Atekan, dan Afrizal Malik Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Irian Jaya, Jl. Jahin Sentani Kotak Pos 256 Sentani, Jayapura 99352
ABSTRAK Kontribusi sektor pertanian terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di Papua cukup besar sekitar 17,80% pada tahun 1998, menduduki urutan kedua setelah sektor pertambangan. Namun, praktek usaha tani di daerah tersebut masih sangat sederhana, yaitu pertanian meramu, pertanian ladang berpindah, dan pertanian menetap secara subsisten. Teknologi yang diterapkan juga sangat sederhana meliputi pembukaan hutan, pembersihan lahan, pembakaran sisa-sisa tanaman, kemudian penanaman tanpa pemupukan. Produktivitas yang dicapai masih sangat rendah, yaitu 19,41−50,69% dari produktivitas potensial, tergantung pada jenis tanaman yang diusahakan. Secara teknis produktivitas beberapa komoditas sudah dapat ditingkatkan karena telah tersedia teknologi spesifik lokasi. Produktivitas jagung meningkat hingga empat kali lipat dengan menerapkan pemupukan berimbang. Penggunaan varietas unggul kedelai dan pemupukan dapat meningkatkan produktivitas hingga 30%. Varietas unggul ubi jalar Muara Takus berpotensi diadopsi oleh petani karena selain produktivitasnya tinggi, cita rasanya sama dengan varietas lokal Hielaleke. Penggunaan varietas unggul padi Membramo dan pemupukan berimbang dapat meningkatkan produktivitas hingga 5,60 t/ha. Aspek sosial ekonomi dan budaya masyarakat dalam pembangunan pertanian di Papua memerlukan penanganan tersendiri. Tingkat pendidikan yang rendah serta budaya pertanian meramu dan ladang berpindah memerlukan lebih banyak kegiatan nyata di lapang berupa demonstrasi teknologi. Melalui kegiatan seperti ini, diharapkan secara bertahap akan memperbaiki pola pikir petani. Sistem pemilikan lahan secara komunal (hak ulayat) juga memerlukan pendekatan tersendiri misalnya melibatkan kepala suku dalam program pembangunan pertanian itu. Kata kunci: Tanaman pangan, sistem usaha tani, penerapan teknologi, Papua
ABSTRACT Management of food crop farming system and its improvement in Papua Agricultural sector has the second major contribution to the PDRB of Papua province, reaching 17.80% in 1998. Agricultural practises were very simple i.e. food material collection from the forest, shifting cultivation, and subsistent farming. Also, technology application very simple that are: land clearing, and sowing, without fertilization. Consequently, farming system productivity was very low, varying only about 19.41 to 50.69% potencial productivity depend on kind of farming system that effort. Technicially, farming system productivity easy to increase by application of specific location technology. Maize productivity would increased drastically by fertilizer application. Used superior soybean variety and fertilizing application could increased about 30% soybean productivity. Superior sweet patato variety "Muara Takus" potencially adopted by farmer because it has high productivity and teste equally with "Hielaleke" local variety. Used Membramo rice variety and fertilizer application could increased rice productivity up to 5.60 t/ha. In sosio-culture aspect, for promote of farming system at Papua need specified approach. Low level of farmer education and tradisionally farming practiced need more technology demonstration on farmer site. Communal land ownership also need leader of etnic participation on development of farming system program. Involving of etnic leadership hoping to promote farming system on large area in Papua Province. Keywords: Food crops, farming system, technology transfer, Papua
S
ektor pertanian mempunyai peranan cukup besar dalam pembangunan ekonomi Propinsi Papua. Pada tahun 1998, kontribusi sektor pertanian terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) mencapai 17,80% yang menduduki urutan
140
kedua setelah pertambangan. Kontribusi sebesar ini baru sebesar 1,67 − 18,61% dari sumber daya pertanian yang ada (Badan Pusat Statistik Irian Jaya, 1998). Kontribusi terhadap PDRB akan lebih besar lagi bila pengelolaan usaha tani diperbaiki
dengan penerapan paket teknologi spesifik lokasi yang memadai. Sistem usaha tani yang banyak dipraktekkan oleh penduduk asli Papua terutama masih sangat tradisional dan bervariasi dari satu wilayah ke wilayah Jurnal Litbang Pertanian, 21(4), 2002
lainnya, atau dari satu masyarakat adat ke masyarakat adat lainnya. Petani asli Papua diklasifikasikan menjadi petani meramu, petani ladang berpindah, dan petani menetap subsisten. Kebiasaan berusaha tani seperti ini menjadi salah satu hambatan dalam upaya meningkatkan pendapatan petani. Praktek pertanian secara meramu dimaksudkan sebagai kegiatan pencarian bahan makanan atau bahan lain di hutan tanpa melakukan budi daya. Budaya seperti ini menyebabkan petani banyak tergantung pada alam tanpa ada usaha pemberdayaan sumber-sumber alam. Demikian pula praktek pertanian ladang berpindah masih banyak dilakukan petani dan menjadi penyebab utama meluasnya lahan kritis dan kerusakan hutan. Pertanian menetap walau mulai berkembang, kebanyakan masih bersifat subsisten yang bertujuan hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Penduduk asli Papua bukan konsumen beras, tetapi umumnya merupakan konsumen umbi-umbian dan sagu. Karena itu, usaha tani yang dominan diusahakan adalah umbi-umbian seperti ubi jalar dan keladi. Teknik budi daya yang dipraktekkan masih sangat sederhana, dan kebanyakan hasilnya hanya untuk memenuhi kebutuhan makan keluarga (belum berorientasi pasar). Padi dan kedelai kebanyakan diusahakan oleh masyarakat transmigran, dengan menerapkan teknologi, namun belum maksimal sehingga masih perlu upaya perbaikan. Pengembangan sistem usaha tani di Papua dihadapkan pada sistem pemilikan lahan yang bersifat komunal (hak ulayat). Dalam sistem kepemilikan seperti ini, keputusan pengelolaan lahan sangat ditentukan oleh pemimpin etnis. Oleh karena itu, perbaikan sistem usaha tani di Papua perlu mempertimbangkan aspek teknis, sosial, ekonomi, dan budaya. Dalam upaya perbaikan pengelolaan usaha tani di Papua, telah tersedia teknologi yang mampu meningkatkan produktivitas dari komoditas yang diusahakan. Selain itu, sudah banyak contoh sistem usaha tani intensif yang dapat digunakan sebagai wadah belajar bagi petani peramu dan petani lahan menetap. Dalam makalah ini dikemukakan kondisi sosial ekonomi dan budaya petani, cara pengelolaan usaha tani, jenis komoditas yang diusahakan dan tingkat produktivitasnya, serta hasil penelitian Jurnal Litbang Pertanian, 21(4), 2002
terampilan petani, 4) sikap petani yang mau menerima apa adanya dari alam (Anonim, 2000). Untuk mengurangi praktek ladang berpindah diperlukan upaya peningkatan pengetahuan masyarakat tentang dampak negatif dari praktek tersebut. Bentuk kegiatan dapat berupa penyuluhan yang intensif serta percontohan ladang menetap di daerah-daerah yang masih banyak mempraktekkan pertanian ladang berpindah.
dalam upaya peningkatan produktivitas dan pendapatan petani. Informasi ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi masyarakat pemerhati pertanian di Papua.
ASPEK SOSIAL, EKONOMI, DAN BUDAYA Praktek Pertanian di Papua Praktek pertanian di Papua masih sangat sederhana, mulai dari pertanian meramu, ladang berpindah, serta sebagian sudah merupakan petani ladang menetap dan perkebunan. Proporsi sistem pertanian yang dipraktekkan pada beberapa lokasi disajikan pada Tabel 1. Pada Tabel 1 terlihat bahwa pada daerah tertentu, usaha tani lahan menetap sudah meningkat seperti di Sorong dan Manokwari. Di Merauke dan Jayawijaya, proporsi praktek usaha tani lahan berpindah masih cukup tinggi. Ada beberapa alasan penyebab berkembangnya praktek ladang berpindah, antara lain: 1) masih terlalu luasnya lahan dan kurangnya penduduk, 2) status pemilikan lahan bukan pemilikan individu tetapi pemilikan komunal atau hak ulayat, 3) masih rendahnya pendidikan dan ke-
Sistem Pemilikan dan Penguasaan lahan Sistem pemilikan dan penguasaan lahan ditentukan oleh sistem kepemimpinan suatu etnis. Ada tiga tipologi sistem pemilikan dan penguasaan lahan di Papua, yaitu: 1) klen, subklen lineage, 2) individu subklen, dan 3) individu (Tabel 2). Pada sistem pemilikan kelompok I, tanah dimiliki secara bersama-sama oleh masing-masing klen, tetapi berada di bawah kekuasaan kepala klen utama yang dikenal dengan istilah Ondoafi, Ondofolo, atau Serabawa. Perkembangan individu dalam memanfaatkan sumber daya alam sepenuhnya tergantung pada kelompok
Tabel 1. Proporsi sistem pertanian yang dipraktekkan oleh petani pada beberapa daerah di Papua, 1998. Praktek pertanian Meramu Ladang berpindah Ladang menetap Perkebunan Nonpertanian Jumlah
Merauke
Proporsi sistem pertanian (%) Jayawijaya Sorong
− 37,70 29,90 5,40 27
1 36,40 10,20 9,70 42,70
100
100
13,30 − 42,20 40,80 3,70 100
Manokwari − − 36 49,40 14,60 100
Sumber: Badan Pusat Statistik Irian Jaya (1998).
Tabel 2. Sistem pemilikan lahan di Papua, 2000. Sistem pemilikan
Penguasa
Kesatuan etnis
I
Ondoafi, Ondofolo, Serabawa
Teluk Yos Sudarso, Yotefa, Sentani, Waropen Marin-anim Muyu
Klen, Subklen, Lineage
II Individu Subklen III Individu
Kepala Subklen, Lineage Individu dan keluarga
Sumber: Anonim (2000).
141
subklen masing-masing. Perkembangan kelompok atau klen sangat tergantung pada kebijakan kepala klen utama atau Ondoafi. Mungkin karena adanya fenomena ini, ada hipotesis yang menyatakan bahwa untuk keperluan inovasi di Papua perlu dilakukan pendekatan lewat kepala suku. Kelompok II mempunyai kekuasaan dalam pengelolaan kebun. Hutan sagu dapat dikuasai secara individu dan dapat diwariskan kepada keturunannya. Pada kelompok ini, tiap kampung atau dusun mempunyai batas sungai, pantai, rawa, hutan, dan padang rumput yang merupakan batas wilayah kekuasaan klen. Tipe pemilikan lahan kelompok ini sudah memberi kesempatan kepada anggota masyarakat untuk memiliki hak individu atas lahan. Pemilikan tipe III tidak memberi tempat bagi pemilikan secara bersama, tetapi hak individu mempunyai tempat tertinggi. Masyarakat kelompok ini sudah banyak memperoleh kemajuan dalam menata kehidupannya, namun kepedulian orang terhadap tetangga menjadi berkurang sehingga kehidupan individu sangat menonjol. Penyebaran suku-suku di Papua dapat dilihat pada Gambar 1.
Kependudukan dan Penyediaan Tenaga Kerja Menurut sensus tahun 1998, penduduk Papua mencapai 2.111.500 jiwa dengan luas wilayah 421.981 km2 atau kepadatan 5,003 jiwa/ km2. Distribusi penduduk menurut kabupaten disajikan pada Tabel 3. Kabupaten Merauke merupakan daerah paling potensial yang mempunyai luas wilayah 28,38% dari luas Papua, namun jumlah penduduknya belum proporsional dengan luasan yang dimiliki. Kepadatan penduduk yang termasuk rendah, yaitu 2,52 jiwa/km 2, menjadi kendala utama pembangunan pertanian di Kabupaten Merauke. Pemanfaatan sumber daya alam secara maksimal di daerah seperti ini memerlukan terobosan dengan mekanisasi pertanian atau penerapan sistem usaha tani terpadu dengan mengintroduksi beberapa komoditas perkebunan, tanaman pangan, peternakan atau perikanan air tawar yang prospeknya cukup baik di Papua. 142
Keterangan : No. Suku bangsa 1 Biak 2 Lha 3 Waropen 4 Senggi 5 Marin-anim 6 Yos Sudarso 7 Me 8 Mairasi 9 Mimika 1 0 Hatam Manikion
Tempat Biak Fak-Fak Yapen Waropen Jayapura Merauke Merauke Manokwari Fak-Fak Timika Manokwari
No 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Suku bangsa Asmat Kimaam Pantai Timur Sarmi Awyu Dani Meybrat Mek Muyu Bintuni Tor Pantai Barat Sarmi
Tempat Merauke Merauke Sarmi Merauke Jayawijaya Sorong Merauke Merauke Manokwari Sarmi Sarmi
Gambar 1. Penyebaran suku-suku di Papua (Anonim, 2000).
Tabel 3. Luas daerah serta jumlah dan kepadatan penduduk di Papua, 1998. Kabupaten/kota
Luas (km 2 )
Jumlah penduduk (jiwa)
Kepadatan (jiwa/km 2)
Merauke Jayawijaya Jayapura Paniai Puncak Jaya Nabire Fak-Fak Timika Sorong Manokwari Yapen Waropen Biak Numfor Kota Jayapura
119.749 52.916 61.493 15.563 14.532 10.247 20.546 27.534 38.684 37.901 18.746 3.130 940
301.500 465.800 144.500 105.600 63.900 108.700 61.769 55.431 256.900 170.100 72.700 103.600 201.000
2,52 8,80 2,35 6,79 4,40 10,61 3,01 2,01 6,64 4,49 3,88 33,10 213,83
Jumlah
421.981
2.111.500
5,003
Sumber: Badan Pusat Statistik Irian Jaya (1998).
Kota Jayapura merupakan wilayah terpadat dengan kepadatan 213,83 jiwa/ km2. Kondisi ini dapat dipahami karena Jayapura merupakan Ibu kota Propinsi
Papua. Penduduk umumnya bergerak di sektor jasa dan industri, dan hanya sebagian kecil yang bergerak di sektor pertanian. Jurnal Litbang Pertanian, 21(4), 2002
Pendidikan Tingkat pendidikan menggambarkan tingkat pengetahuan, wawasan, dan pandangan seseorang, yang dalam bidang pertanian diartikan sebagai cara seseorang merespon suatu teknologi. Untuk itu pendidikan memegang peranan kunci dalam pembangunan pertanian. Dengan pendidikan yang memadai transfer teknologi mudah terlaksana sehingga dapat memacu pengembangan teknologi di tingkat petani. Masyarakat Papua yang tidak mengenyam pendidikan cukup besar yaitu mencapai 27,14 % (Tabel 4). Karena masyarakat lapisan ini kebanyakan mempunyai sumber penghidupan di sektor pertanian, rendahnya pendidikan menjadi hambatan dalam pembangunan pertanian. Untuk memacu transfer teknologi diperlukan tindakan khusus, seperti demplot yang lebih intensif dan dalam waktu yang lama sehingga petani yakin akan manfaat teknologi yang diintroduksi. Masyarakat yang berpendidikan SLTP ke atas kebanyakan bekerja di sektor jasa dan pelayanan (Badan Pusat Statistik Irian Jaya, 1998). Tabel 4. Sebaran tingkat pendidikan masyarakat Papua umur 10 tahun ke atas, 1998. Tingkat pendidikan Tidak pernah sekolah Tidak tamat SD Tamat SD SLTP SMTA Diploma S1 ke atas Jumlah
Jumlah (orang)
Persentase (%)
254.547
27,14
142.063 270.981 102.356 141.403 15.940 10.742 938.032
15,14 28,89 10,91 15,07 1,70 1,15 100
Pada Tabel 5 terlihat bahwa produktivitas usaha tani masih sangat rendah. Hasil jagung, misalnya baru mencapai 1.359 kg/ha, sekitar 19,41% dari hasil potensial, sedangkan hasil padi dan kedelai masing-masing baru mencapai 50,69 dan 73%. Tingkat produktivitas masing-masing komoditas masih dapat ditingkatkan melalui perbaikan teknik budi daya. Teknik budi daya usaha tani lahan kering yang dipraktekkan petani masih terbatas pada membersihkan lahan kemudian mengumpulkan serasah/ rumput lalu membakarnya. Setelah itu dilakukan penanaman dengan cara menugal menggunakan kayu yang diruncingkan pada bagian ujungnya. Penggunaan pupuk buatan berupa urea, TSP atau KCl tidak umum dipraktekkan oleh petani, sehingga produktivitas tanaman rendah. Jagung yang diusahakan oleh penduduk asli kebanyakan untuk dikonsumsi dan diusahakan dalam pola usaha tani campuran bersama ubi jalar atau sayuran (Gambar 2). Benih yang digunakan kebanyakan varietas lokal dan belum menggunakan pupuk. Jagung kuning untuk industri sudah mulai diusahakan oleh penduduk asli dan masyarakat transmigran. Varietas yang banyak digunakan adalah Arjuna, Bisma, dan Lagaligo. Pupuk anorganik digunakan dengan takaran yang sangat minim, yaitu urea 20 − 100 kg, TSP 5 − 25 kg, dan KCl 5−20 kg/ha, sehingga produktivitasnya tanaman hanya 0,80 − 1,40 t/ ha (Malik et al., 2000). Teknologi usaha tani ubi jalar yang dipraktekkan petani meliputi penyiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, dan panen. Persiapan lahan dilakukan dengan mengolah lahan menggunakan sekop, kemudian membuat kuming, yaitu
Gambar 2.
Sistem usaha tani jagung pola campuran.
bumbunan tanah bercampur sisa tanaman atau rumput sebagai tempat penanaman setek. Jarak antarkuming berkisar 100 cm. Sisa tanaman atau rumput yang sudah lapuk digunakan sebagai sumber bahan organik bagi tanaman. Pupuk buatan terutama di daerah Jayawijaya tidak digunakan karena Pemerintah Daerah melarang penggunaan bahan kimia dalam budi daya pertanian varietas yang dikembangkan sudah lama beradaptasi dengan lingkungan setempat sehingga dianggap sebagai varietas lokal. Keragaan hasil varietas-varietas tersebut disajikan pada Tabel 6. Terlihat bahwa produktivitas dari varietas lokal umumnya masih rendah, jauh di bawah potensi produktivitasnya yang mencapai 20−30 t/ha (Anonim, 2000). Dua varietas lokal yang dominan diusahakan petani adalah Hielaleke dan Musan. Selain produktivitasnya lebih tinggi dibandingkan varietas lokal lainnya dan panen lebih awal, juga cita rasanya lebih disenangi masyarakat setempat.
Sumber: Badan Pusat Statistik Irian Jaya (1998).
JENIS USAHA TANI TANAMAN PANGAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI Dalam upaya memaksimalkan kontribusi usaha tani dalam perekonomian telah disusun konsep kawasan sentra produksi komoditas pertanian. Konsep tersebut disusun berdasarkan kesesuaian ekosistem, sosial, ekonomi, dan budaya. Jurnal Litbang Pertanian, 21(4), 2002
Tabel 5. Jenis usaha tani tanaman pangan yang berkembang di Papua, 1998. Usaha tani
Luas panen (ha)
Produksi (kg)
Produktivitas (kg/ha)
Ubi jalar Jagung Kedelai Padi sawah
30.090 6.071 5.243 15.098
287.641 8.250 7.614 49.904
9.559 1.359 1.452 3.305
Daerah pengembangan utama Jayawijaya, Paniai, Manokwari, Jayapura Jayapura, Manokwari Merauke, Manokwari Sorong
Sumber: Badan Pusat Statistik Irian Jaya (1998).
143
Tabel 6. Keragaan hasil beberapa varietas lokal ubi jalar, 1997. Varietas Silasike Wenabuge Hielaleke Musan Abukul Tamue Sutke
Hasil panen umur 120 hst (t/ha)
Produktivitas umur 165 hst (t/ha)
0,92 0,80 1,56 2,82 1,12 2,02 1,20
6,78 8,52 10,52 15,68 4,24 9,68 8,22
hst: hari setelah tanam. Sumber: Simanjuntak et al. (1997).
Varietas Hielaleke banyak digunakan pada upacara-upacara adat yang dikenal dengan istilah bakar batu. Masalah yang perlu diperhatikan adalah kemurnian dari kultivar lokal dan cara panen. Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa variabilitas dari sifat-sifat hasil dan komponen hasil beberapa kultivar sudah sangat tinggi atau kemurnian dari kultivar sudah menurun (Tabel 7). Untuk sifat bobot umbi, koefisien keragamannya mencapai 69,24−90%. Ini menunjukkan bahwa kultivar ubi jalar yang dikembangkan di tingkat petani sudah hampir hilang sifat aslinya sehingga perlu segera dimurnikan. Tanpa usaha pemurnian, dikhawatirkan dalam waktu lima tahun mendatang varietas asli Hielaleke atau Musan asli sudah tidak ditemukan lagi di lapangan. Keragaan visual dari umbi varietas Hielaleke diperlihatkan pada Gambar 3.
Gambar 3. 144
Tabel 7. Rata-rata dan koefisien keragaman sifat komponen hasil beberapa kultivar ubi jalar. Kultivar
Panjang umbi X KK (cm) (%)
Lebar umbi X KK (cm) (%)
Hielaleke lama Hielaleke baru Tamue Musan Bika
15,10 15,60 17,10 17,90 14,20
6,80 6,40 6,30 7,10 7
32,45 39,36 37,94 11,64 33,37
31,47 35,15 32,48 36,36 29,28
Bobot umbi X KK (g) (%) 484,70 443,70 405 795 418,70
70,62 81,79 69,24 90 71,29
Sumber: Simanjuntak et al. (2000).
Usaha tani padi umumnya dilakukan oleh masyarakat transmigran, dimana proses adopsi teknologi sudah mulai berjalan. Penggunaan varietas unggul dan pupuk buatan sudah diterapkan, namun produktivitas tanaman masih rendah. Beberapa faktor penyebab rendahnya produktivitas padi adalah kandungan Fe tanah yang tinggi. Tanah seperti ini memerlukan pemupukan berat terutama P2O5, sementara ketersediaan pupuk di daerah-daerah terpencil tidak terjamin (Sahari et al., 1996). Di Merauke menurunnya produktivitas padi disebabkan oleh tingginya curah hujan pada saat panen sehingga proses penjemuran gabah terganggu. Dalam waktu yang cukup lama, tingkat kerusakan gabah akan meningkat. Teknologi budi daya padi sudah mulai dipraktekkan petani dengan menggunakan benih bermutu yang
disiapkan oleh penangkar benih setempat. Varietas yang banyak digunakan adalah Digul, Membramo, dan Ciliwung. Pemilihan varietas Digul didasarkan pada produktivitas yang tinggi dan ketahanan terhadap berbagai penyakit seperti tungro dan hama putih palsu. Penggunaan pupuk lengkap sudah direspons oleh 20% petani, sedangkan 80% hanya menggunakan pupuk urea dengan takaran 150− 200 kg/ha. Rata-rata produktivitas padi antara 3,25−3,41 t/ha (Dinas Pertanian Tanaman Pangan TK I Irian Jaya, 1998).
UPAYA PERBAIKAN SISTEM USAHA TANI TANAMAN PANGAN Perbaikan sistem usaha tani di Papua tidak hanya ditentukan oleh aspek teknis,
Keragaan visual umbi dari varietas lokal Hielaleke (kiri), Visca (tengah), dan Muara Takus (kanan). Jurnal Litbang Pertanian, 21(4), 2002
tetapi juga aspek sosial budaya. Melalui kegiatan penelitian dan pengkajian telah ditemukan paket teknologi spesifik lokasi yang dapat meningkatkan produktivitas jagung, kedelai, dan ubi jalar.
Jagung Sistem usaha tani jagung dapat diperbaiki dengan penerapan teknologi anjuran, yang meliputi bibit unggul, pemupukan intensif, serta penyiangan intensif dan tepat waktu. Penggunaan benih bermutu dari jenis unggul lokal, pupuk berimbang urea, SP36, dan KCl masing-masing 100, 150, dan 100 kg/ha, serta penyiangan intensif dua kali dapat meningkatkan produktivitas hingga 5,60 t/ha. Tingkat produktivitas ini meningkat hingga empat kali lipat dari rata-rata daerah. Pendapatan yang diperoleh mencapai Rp 1.280.000 dengan R/C 1,40 (Nunuela, 2000).
Ubi Jalar Ubi jalar dapat dianggap sebagai tanaman asli Papua dan sudah sejak lama diusahakan sebagai tanaman pangan pokok. Teknik budi daya yang dikuasai oleh petani masih sederhana sehingga produktivitasnya rendah. Kultivar yang dikembangkan bermacam-macam bahkan sudah ada spesifikasi peruntukannya. Untuk pesta adat misalnya, mereka menggunakan varietas Hielaleke, untuk pakan babi diambil umbi kecil dari varietas Musan. Penggantian varietas sulit dilakukan, walaupun varietas yang di-
Tabel 8.
tawarkan mempunyai produktivitas lebih tinggi dari varietas lokal. Hasil penelitian Simanjuntak et al. (2000) menunjukkan bahwa minimal ada tiga varietas atau galur yang mempunyai produktivitas nyata lebih tinggi daripada varietas lokal (Hielaleke) yaitu Visca, 48-1, dan Muara Takus. Varietas Muara Takus mempunyai peluang untuk diadopsi oleh petani. Selain cita rasanya sama dengan Hielaleke, produktivitasnya juga lebih tinggi (Tabel 8). Permasalahan yang dihadapi adalah teknik panen dan pascapanen. Panen dilakukan menurut kebutuhan makan keluarga, sehingga tanaman ubi jalar dipertahankan di lapang dalam waktu yang lama. Bila terjadi bencana alam berupa "frost" atau ledakan hama, persediaan pangan penduduk akan terancam. Untuk itu perlu diperkenalkan panen serentak dan metode penyimpanan umbi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyimpanan umbi selama satu bulan dengan menggunakan media serbuk gergaji dapat mengurangi susut bobot sekitar 7,40% pada varietas Hielaleke (Lestari et al., 2000). Penelitian perlu diteruskan untuk menemukan teknik penyimpanan umbi minimal untuk waktu tiga bulan. Selain itu serbuk gergaji tidak tersedia cukup di pedalaman Papua sehingga perlu ditemukan bahan lainnya yang lebih tersedia atau cara lain dalam penyimpanan umbi. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa umbi yang dicuci setelah panen tidak tahan disimpan lama dibandingkan dengan umbi tanpa pencucian. Berdasarkan fakta ini penelitian metode penyimpanan ubi jalar
Rata-rata produktivitas varietas unggul dan galur harapan ubi jalar di Wamena, 2000.
Varietas/galur harapan
Produktivitas (t/ha)
12588-1 MIS 146-1 MIS 159-348-1 MIS 142-3 MIS 128-1 48-1 Muara Takus Visca Hielaleke Sumber: Simanjuntak et al. (2000).
Jurnal Litbang Pertanian, 21(4), 2002
21,20 17,20 19,20 17,40 15,80 29,20 27,60 30,11 20,11
Cita rasa Manis Manis Sedang Manis Manis Manis Enak, manis, suka Sedang Enak, manis, suka
perlu dilanjutkan dengan mempelajari efektivitas penutupan tanah pada permukaan umbi sebelum penyimpanan. Lestari et al. (2000) mengemukakan bahwa penutupan tanah pada permukaan umbi dapat mengurangi penguapan permukaan, sehingga kadar air umbi dapat dipertahankan tetap tinggi dalam waktu yang lama.
Kedelai Produktivitas kedelai secara teknis mudah ditingkatkan. Tabel 9 memperlihatkan hasil pengujian paket teknologi usaha tani kedelai introduksi dan pola petani. Tampak bahwa penerapan paket teknologi mempengaruhi produktivitas dan pendapatan petani. Untuk varietas unggul Orba, penggunaan pupuk 50 kg urea + 100 kg SP36 + 50 kg KCl, 5 t/ha pupuk hijau dan Rizhoplus meningkatkan produktivitas hingga 30%. Selain itu penerapan paket teknologi anjuran memberikan pendapatan Rp. 2.330.000/ha dengan net R/C rasio 1,05. Budi daya kedelai banyak diusahakan oleh penduduk transmigran, yang lebih peka terhadap pembaharuan, sehingga diharapkan adopsi teknologi berlangsung baik. Kendala utama dalam budi daya kedelai adalah belum tersedianya penangkar benih yang dapat menjamin ketersediaan benih bermutu pada saat penanaman. Benih biasanya dibeli di pasar sehingga kualitas fisik dan genetiknya sudah tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Padi Sudah banyak hasil penelitian dan pengkajian yang mampu memberi dukungan terhadap upaya perbaikan sistem usaha tani padi. Rauf et al. (2000) melaporkan bahwa penggunaan varietas Membramo, yang dipupuk urea, SP36, dan KCl masing-masing 200, 100, dan 150 kg/ ha mampu menghasilkan 4,20 t/ha gabah kering di Koya Timur dan 6,10 t/ha gabah kering di Kurik Merauke. Secara teknis peningkatan produktivitas usaha tani tanaman pangan tidak bermasalah, tetapi kondisi sosial, ekonomi, dan budaya perlu mendapat perhatian khusus. Budaya peternalistik yang tergantung pada kepala suku memerlukan penanganan yang cermat. 145
Tabel 9.
Paket teknologi introduksi dan teknologi petani dalam usaha tani kedelai di Arso Jayapura, 2000.
Uraian Varietas Jarak tanam
Pola introduksi
Pola petani
Orba 50 X 20 cm, 2 tanaman/ lubang 50 kg urea, 100 kg TSP, dan 50 kg KCl/ha Pupuk hijau 5 t/ha, tanpa pupuk + Rizhoplus Berdasarkan pemantauan ("scouting")
Lokal 50 X 30 cm, 3−4 tanaman/ lubang Tanpa pupuk, hanya diberi PPC 2 kali semprot/musim
Pengendalian gulma
Herbisida pratumbuh
Penyiangan tangan pada umur 3−4 minggu setelah tanam dan pada 6 minggu setelah tanam
Produktivitas (kg) R = Penerimaan (Rp) C = Pengeluaran (Rp) Pendapatan bersih (Rp) Net R/C
Penyiangan pada umur 3−4 minggu setelah tanaman tumbuh 1.400 4.540.000 2.210.000 2.330.000 1,05
Pemupukan
Pengendalian hama
Pengendalian berjadual
980 3.012.000 2.167.500 904.500 0,42
misalnya, masih menggunakan alat pengolah tanah berupa sekop sederhana yang efisiensi kerjanya sangat rendah. Hal ini menjadi salah satu penyebab sempitnya garapan usaha tani. Tiap kepala keluarga rata-rata hanya mampu mengelola usaha tani ubi jalar 0,10 ha/ tahun. Hal ini berbeda dengan usaha tani padi dan kedelai yang banyak diusahakan oleh masyarakat transmigran, yang pada umumnya sudah menggunakan traktor tangan dalam pengolahan tanah (Anonim, 2000). Transportasi merupakan salah satu hambatan utama dalam pengembangan usaha tani di Papua. Hubungan antardaerah dilakukan dengan menggunakan sarana transportasi udara (pesawat terbang) karena sarana transportasi darat belum tersedia. Untuk mengatasi masalah ini, dalam jangka panjang Pemerintah Daerah Papua sudah memprogramkan pembangunan sarana transportasi darat untuk membuka isolasi daerah.
Sumber: Saenong et al. (2000).
KESIMPULAN Keterlibatan kepala suku dalam pengambilan keputusan sangat menentukan keberhasilan suatu program. Beberapa masalah yang mungkin dapat diselesaikan melalui kebijakan kepala suku adalah: menekan praktek ladang berpindah dan mengubah pola pikir petani. Hal ini karena kepala suku memegang komando tertinggi dan harus dipatuhi oleh semua anggota masyarakat. Mereka yang membangkang perintah kepala suku akan tersisih dalam masyarakat atau akan dibunuh. Demikian pula sebaliknya, seorang kepala suku harus menjadi panutan dalam masyarakat dan selalu berjuang untuk kepentingan masyarakatnya. Bila seorang kepala suku dianggap meninggalkan masyarakatnya, dia juga akan dibunuh. Fenomena ini berlaku pada masyarakat yang menganut sistem pemilikan lahan komunal atau hak ulayat (Anonim, 2000). Untuk masyarakat dengan sistem pemilikan individu dalam subklen atau individu sepenuhnya, perbaikan atau inovasi tidak sesulit pada sistem pemilikan komunal. Hal ini karena mereka mempunyai jaminan penuh terhadap kekuasaan atas lahan dan meyakini bahwa apa yang mereka kerjakan hari ini akan menjadi milik keluarga dan keturunannya. Sayangnya pemilikan 146
lahan seperti ini hanya terdapat pada suku Marin-anim dan Muyu yang bukan mayoritas di Papua. Tingkat pendidikan petani yang rendah dan kebiasaan petani bergantung pada alam dengan pola hidup meramu akan menyulitkan dalam proses transfer teknologi (Anonim, 2000). Untuk menggerakkan masyarakat seperti ini diperlukan bukti-bukti nyata berupa demonstrasi teknologi dalam waktu yang cukup lama sehingga masyarakat betulbetul yakin akan dampaknya terhadap perbaikan tingkat kesejahteraan mereka. Aspek sosial lain yang menjadi masalah dalam pembangunan pertanian di Papua adalah kelangkaan tenaga kerja. Kepadatan penduduk yang hanya 5 jiwa/ km2 tidak akan mampu mengekploitasi sumber daya yang melimpah. Pendekatan yang mungkin digunakan untuk mengatasi masalah ini, yaitu penggunaan alsintan sederhana, seperti bajak yang ditarik oleh ternak kerja seperti yang sudah banyak dikembangkan di daerah lain. Sarana dan prasarana belum sepenuhnya mendukung pengembangan usaha tani terutama di daerah pedalaman. Usaha tani ubi jalar di daerah Jayawijaya
1) Ada tiga sistem pemilikan lahan di Papua, yaitu pemilikan komunal atau hak ulayat, pemilikan individu dalam subklen, dan pemilikan individu. Sistem pemilikan lahan ini banyak mempengaruhi perkembangan sistem usaha tani. Sistem pemilikan yang berbeda memerlukan pendekatan yang berbeda pula dalam pengembangan usaha tani. Pada sistem pemilikan komunal, dituntut perlunya memberi peran yang lebih besar kepada pemimpin etnis dalam upaya memajukan suatu sistem usaha tani. 2) Perladangan berpindah masih banyak dipraktekkan oleh masyarakat di Merauke dan Jayawijaya yang mendorong bertambah luasnya lahan kritis. Untuk mengatasi hal ini perlu upaya peningkatan pemahaman masyarakat terhadap dampak negatif dari praktek ladang berpindah melalui penyuluhan intensif atau memperbanyak kebun percontohan usaha tani menetap. 3) Tingkat pendidikan petani yang relatif rendah dan kelangkaan tenaga kerja menjadi hambatan sosial yang menonjol dalam upaya memajukan pembangunan pertanian di Papua. Pendidikan yang rendah menuntut Jurnal Litbang Pertanian, 21(4), 2002
kegiatan diseminasi teknologi yang lebih intensif. Sementara kelangkaan tenaga kerja memerlukan pengkajian kemungkinan penggunaan alsintan sederhana yang sesuai dengan kondisi petani. 4) Produktivitas tanaman pangan terutama jagung, ubi jalar, kedelai, dan padi pada umumnya masih rendah, karena penerapan teknologi masih sederhana. Penggunaan pupuk berimbang pada jagung dengan takaran urea, SP36, dan KCl masing-masing
100, 150, dan 100 kg/ha, dapat meningkatkan produktivitas hingga minimal empat kali dari rata-rata propinsi. Penggunaan varietas unggul kedelai Orba dan pupuk 50 kg/ha urea + 100 kg SP36 + 50 kg KCl, dan 5 t/ha pupuk hijau dan Rizhoplus dapat meningkatkan produktivitas kedelai hingga 30%. Selain itu, penerapan paket teknologi anjuran memberikan pendapatan Rp 2.330.000/ha dengan net R/C ratio 1,05. Varietas unggul ubi jalar Muara Takus berpotensi
untuk diadopsi oleh petani karena produktivitasnya tinggi dan mempunyai cita rasa yang sama dengan varietas lokal Hielaleke. Guna menjamin stabilitas pangan penduduk, teknik penyimpanan dan pengolahan ubi jalar spesifik lokasi perlu ditemukan. Produktivitas padi dapat ditingkatkan melalui penggunaan varietas unggul Membramo, dengan pemupukan urea, SP36, dan KCl masing-masing 200, 100, dan 150 kg/ ha.
jagung di Irian Jaya. Laporan Penelitian PAATP. Loka Pengkajian Teknologi Pertanian Koya Barat, Sentani, Jayapura. 83 hlm.
Sahari, D., M.Y. Maamun, Bahtiar, dan Wasniati. 1996. Identifikasi pengelolaan usaha tani di Kabupaten Merauke, Irian Jaya. Prosiding Identifikasi Sistem Usaha Tani di Irian Jaya. Badan Litbang Pertanian. Proyek Penelitian Sistem Usaha Tani Irian Jaya, Jayapura. hlm. 27−75.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2000. Rencana Induk Kawasan Sentra Produksi Propinsi Irian Jaya. Austraining, Jayapura. 300 hlm. Badan Pusat Statistik Irian Jaya. 1998. Irian Jaya dalam Angka. Kerja Sama Bappeda TK. I dengan Kantor Statistik Propinsi Irian Jaya. Badan Pusat Statistik Irian Jaya, Jayapura hlm. 77−504. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Tk. I Irian Jaya. 1998. Laporan Tahunan. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Dati I Irian Jaya, Jayapura. 93 hlm. Lestari, S.M., A. Rachim, D. Wamaer, dan A. Soplanit. 2000. Kajian teknologi penyimpanan dan pengolahan ubi jalar di Kabupaten Jayawijaya. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Sistem Usaha Tani Irian Jaya. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. hlm. 41−49. Malik. A., H. Lakuy, dan R. Hendayana. 2000. Analisis potensi dan kendala pengembangan
Jurnal Litbang Pertanian, 21(4), 2002
Nunuela, M. 2000. Pengkajian sistem usaha tani jagung pada lahan kering di Irian Jaya. Laporan Hasil Penelitian. Loka Pengkajian Teknologi Pertanian Koya Barat, Sentani Jayapura. 18 hlm. Rauf, A.W., A. Syam, S. Tanga, M.N. Noor, dan S. Saenong. 2000. Pengkajian pengembangan lahan sawah irigasi secara optimal. Laporan Hasil Penelitian. Loka Pengkajian Teknologi Pertanian Koya Barat, Sentani, Jayapura. 12 hlm. Saenong, S., Atekan, dan A. Rouw. 2000. Pengkajian SUT kedelai. Laporan Hasil Penelitian. Loka Pengkajian Teknologi Pertanian Koya Barat. Sentani, Jayapura. 54 hlm.
Simanjuntak, Y., D. Wamaer, dan A. Soplanit. 2000. Pengkajian adaptasi varietas ubi jalar di Kabupaten Jayawijaya. Laporan Hasil Penelitian. Loka Pengkajian Teknologi Pertanian Koya Barat, Sentani, Jayapura. 14 hlm. Simanjuntak, Y., Nicolas, dan N. Lewaherilla. 1997. Pengaruh cara tanam dan waktu panen terhadap produksi beberapa varietas ubi jalar lokal terpilih. Laporan Hasil Penelitian. Loka Pengkajian Teknologi Pertanian Koya Barat, Sentani, Jayapura. 12 hlm.
147