PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN

Download pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan tersebut. Di lain pihak, lemahnya dan makin lunturnya kepedulian masyarakat (community awarenes...

2 downloads 607 Views 615KB Size
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN BERBASIS PENGETAHUAN DAN KEARIFAN LOKAL (LOCAL WISDOM ) DI KALIMANTAN 1 Oleh: Said Fadhil 2

Abstract Improper management of natural resources all this time has caused bad impact towards human beings, such as floods, landslide, forest fire, air contamination and other concerning condition. One of the triggers of these impacts is that management of natural resources done by the government has been conducted without involving the people around the resources itself. This article will portray the practices of local wisdom on how people in Kalimantan manage the natural resources. The identification of the local wisdom is expected to stimulate the government to change the paradigm of natural resources management by using a continuing development concept with regard to continuity, balance and preservation principles supported by applying traditional knowledge and wisdom of local society. Key Word: Sumber Daya Alam, Kearifan Lokal

Latar Belakang Bumi beserta isinya yang berupa Sumber Daya Alam (SDA) merupakan anugerah yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia untuk dapat dimanfaatkan dan dikelola secara arif dan bijaksana guna menopang kehidupan manusia sehingga perlu dipelihara dan dilestarikan. Dalam pemanfaatan SDA tentunya diperlukan pengelolaan yang baik agar kelangsungan sumber daya alam tersebut dapat menjadi koeksistensi secara suistainable dan saling menguntungkan (mutualisme) antara sumber daya alam tersebut dapat lestari dan manusia sebagai pengguna dapat memperoleh manfaat tanpa harus merusak alam sekitarnya. Namun dalam prakteknya berbagai fakta dan data menunjukkan bahwa keberlangsungan dan kelestarian sumber daya alam dewasa ini sangat memprihatinkan. Banjir dan longsor kini telah rutin dan menyebar di seluruh Indonesia. Dalam tahun 2003 saja, telah terjadi 236 kali banjir di 136 kabupaten dan 26 propinsi, disamping itu juga terjadi 111 kejadian longsor di 48 kabupaten dan 13 propinsi. Dalam tahun yang sama tercatat 78 kejadian kekeringan yang tersebar di 11 Propinsi dan 36 Kabupaten (KLH, 2004). Dalam periode itu juga, 19 propinsi lahan sawahnya terendam banjir, 263.071 Ha sawah terendam dan gagal panen, serta 66.838 Ha sawah puso. Data lain menunjukan bahwa Indonesia tergolong negara yang kawasan hutan 1

Tulisan ini merupakan saduran dari hasil penelitian PKP2A III LAN dengan tema “Pola Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Berbasis Kearifan Local (Local Wisdom) di Kalimantan” dimana dalam kegiatan penelitian tersebut penulis adalah sebagai anggota tim Peneliti.

2

Said Fadhil, SIP, adalah Staf Peneliti Pada PKP2A III LAN Samarinda dan Dosen Luar Biasa Pada Universitas Widyagama Mahakam Samarinda

tropisnya hilang dalam waktu tercepat di dunia. Laju deforestasi terus meningkat mencapai rata-rata 2 juta ha per tahun. Tipe hutan tropis ini dalam waktu dekat dipastikan hampir seluruhnya lenyap di Sulawesi dan Sumatera, dan di Kalimantan diperkirakan akan lenyap pada tahun 2010, jika laju deforestari tersebut terus berlangsung. Disamping itu hampir setengah dari luas hutan di Indonesia sudah terfragmentasi oleh jaringan jalan, jalur akses lainnya, dan berbagai kegiatan pembangunan, seperti pembangunan perkebunan dan hutan tanaman industri. Akibat lanjutannya dari kerusakan lingkungan (SDA) adalah fungsi lingkungan hutan yang mendukung kehidupan manusia terabaikan, beragam kehidupan flora dan fauna yang membentuk mata rantai kehidupan yang bermanfaat bagi manusia menjadi rusak dan hilang. Semua ini mengakibatkan timbulnya ketidakadilan dan kesenjangan mengakses manfaat pembangunan bagi masyarakat di sekitar kawasan hutan. Jika kita melihat kembali kepada pengelolaan sumber daya alam yang telah dilakukan selama ini, sistem pengelolaan sumber daya alam yang diterapkan di Indonesia pada umumnya dan Kalimantan khususnya, lebih kepada pendekatan dimana negara ataupun daerah dalam hal ini pemerintah lah yang mempunyai kewenangan dalam pengelolaan sumber daya alam tanpa mempertimbangkan dan melibatkan masyarakat sekitarnya sehingga pada saat terjadi penyimpangan dalam pelaksanaan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan di lapangan, masyarakat disekitarnya tidak akan peduli dan tidak akan bertindak untuk menjaga kelestariannya bahkan malah akan turut terlibat dalam perusakannya dengan memanfaatkan sumber daya alam yang ada tanpa memperhatikan kelestariannya. Kebijakan pengelolaan sumber daya alam yang diterapkan oleh pemerintah dengan pendekatan top down dan struktural tersebut, dengan sendirinya terkadang mengabaikan kepentingan masyarakat yang tinggal disekitarnya dan kurang memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berpartisipasi langsung dalam proses pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan tersebut. Di lain pihak, lemahnya dan makin lunturnya kepedulian masyarakat (community awareness) untuk mengelola sumber daya alam dan lingkungan secara lestari dan memecahkan persoalan-persoalan bersama yang ada terkait dengan permasalahan sumber daya alam dan lingkungan. Dengan kata lain, kebijakan pemerintah dalam hal pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan selama ini belum mampu menumbuhkan rasa memiliki dan keinginan dari masyarakat disekitar lingkungan tersebut untuk turut menjaganya. Itulah sebabnya, implementasi suatu kebijakan yang penerapannya berhubungan langsung dengan sumber daya alam dan kehidupan masyarakat, justru sering ditolak dan menimbulkan konflik vertikal yang kontra-produktif. Hal seperti ini sungguh sangat ironis di era otonomi luas seperti saat ini. Sedangkan penerapan desentralisasi yang banyak dilakukan pada era otonomi saat ini hanya merupakan penyerahan wewenang yang semu dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, sedangkan dalam pelaksanaan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan, pemerintah daerah tidak melibatkan masyarakat sekitar, kalaupun ada hanya kegiatan dengan skala kecil dan untuk daerah tertentu saja. Bahkan kebijakan desentralisasi (otonomi) yang diharapkan mempercepat lajut pembangunan dan peningkatan perekonomian secara merata di seluruh daerah, secara tidak langsung justru turut juga mempercepat kerusakan sumber daya alam dan lingkungan karena adanya pemegang wewenang baru didaerah-daerah yang berkeinginan membangun daerahnya masing-masing dengan segera sehingga

melakukan eksploitasi secara besar-besaran terhadap sumber daya alam tanpa memperhatikan kelangsungan sumber daya alam dan lingkungan serta masyarakat disekitarnya. Oleh karena itu, langkah terpenting yang dapat dilakukan adalah dengan mengembangkan partisipasi masyarakat setempat. Pendekatan kebijakan yang sifatnya sentralistik dari pemerintah sebagai pemegang kewenangan kepada masyarakat perlu direvisi dengan metode yang lebih kolaboratif dan melibatkan peran langsung warga. Dengan metode baru ini, perlu dibentuk kelompok-kelompok masyarakat di sekitar sumber daya alam yang kemudian seharusnya menjadi mitra atau “rekanan” Pemerintah dalam pengelolaan dan penjagaan kelestarian sumber daya alam dan lingkungan tersebut. Dengan pola pengelolaan seperti ini, diharapkan dapat menghasilkan output berupa tetap terjaganya sumber daya alam dan lingkungan tersebut, dan terberdayakannya masyarakat yang bertempat tinggal disekitarnya sehingga kehidupan sosial ekonomi masyarakat juga meningkat, serta berkurangnya beban pengawasan oleh pemerintah untuk secara langsung di lapangan dalam kegiatan penjagaan yang sesungguhnya bisa diserahkan kepada masyarakat sendiri. Dengan model “kerjasama” tersebut, peran pemerintah dapat dikurangi secara signifikan, sehingga sumber daya aparatur yang ada dapat dimanfaatkan secara lebih produktif untuk sektor-sektor yang lebih membutuhkan. Ini berarti pula bahwa kebijakan Pemerintah lebih mampu “memanusiakan” kelompok-kelompok marginal masyarakat yang berada di sekitar sumber daya alam tersebut. Pada saat yang bersamaan, upaya ini juga dapat menumbuhkan rasa saling percaya (trust) diantara masyarakat dengan pemerintah, sekaligus mengembangkan jaringan kerja (network) yang harmonis serta meningkatkan kehidupan sosial ekonomi melalui pemberdayaan masyarakat. Dengan kata lain, kebijakan yang partisipatif dan memperhatikan normanorma sosial budaya yang berlaku pada masyarakat akan mengantarkan pada menguatnya kepedulian dan kontrol sosial masyarakat untuk mengatasi masalahmasalah pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan. Dengan demikian, perlu adanya upaya untuk mendeteksi hal-hal yang ada dan berkembang di masyarakat mengenai pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan berbasis pengetahuan dan kearifan local (local wisdom) dimasing-masing daerah untuk kemudian dikembangkan sehingga hal tersebut dapat diterima oleh masyarakat dan akan dapat menunjang program pemerintah dalam hal pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan secara baik dan lestari. Ini berarti pula bahwa kebijakan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan tidak boleh hanya berorientasi pada keuntungan yang besar namun dalam tempo waktu yang tidak lama kemudian habis dan meninggalkan permasalahan yang mengancam kelangsungan kehidupan sendiri, tetapi harus pula mengacu pada pengelolaan sumber daya dan lingkungan secara berkelanjutan (suistainable) dan lestari.

Konsepsi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Dalam bukunya3, Akhmad Fauzi membagi pemahaman terhadap sumber daya alam, kedalam dua pandangan yang berbeda, yaitu. Pertama, pandangan konservatif atau sering disebut sebagai pandangan pesimis atau perspektif Malthusian. Dalam 3

Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan: Teori dan Aplikasi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 2004.

pandangan ini, resiko akan terkurasnya sumber daya alam menjadi perhatian utama. Dalam pandangan ini, sumber daya alam harus dimanfaatkan secara hati-hati karena karena ada faktor ketidakpastian terhadap apa apa yang akan terjadi terhadap sumber daya alam untuk generasi yang akan datang. Pandangan ini berakar pada pemikiran Malthus yang dikemukakan sejak tahun 1879 ketika bukunya yang tersohor itu, Principle of Population diterbitkan. Dalam perspektif Malthus, sumber daya alam yang jumlahnya terbatas ini tidak akan mampu mendukung pertumbuhan penduduk yang cenderung tumbuh secara eksponensial. Sementara produksi dari sumber daya alam akan mengalami apa yang disebut dalam teori konvensional sebagai diminishing return dimana output perkapita akan mengalami kecenderungan yang menurun sepanjang waktu. Menurut Malthus, ketika proses diminishing return ini terjadi, standar hidup juga akan menurun sampai ke tingkat subsisten yang pada gilirannya akan mempengaruhi reproduksi manusia. Pandangan kedua, adalah pandangan eksploitatif atau sering juga disebut sebagai perspektif Ricardian. Dalam pandangan ini dikemukakan antara lain:  SDA dianggap sebagai mesin pertumbuhan (engine of growth) yang mentransformasikan sumber daya ke dalam man-made capital yang pada gilirannya akan menghasilkan produktifitas yang lebih tinggi di masa datang.  Keterbatasan supply dari sumber daya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dapat disubstitusikan dengan cara intensifikasi (eksploitasi sumber daya secara intensif) atau dengan cara ekstensifikasi (memanfaatkan sumber daya yang belum dieksploitasi). Jika sumber daya menjadi langka, hal ini akan tercermin dalam dua indikator ekonomi, yakni meningkatnya baik itu harga output maupun biaya ekstraksi per satuan output. Meningkatnya harga output akibat meningkatnya biaya per satuan output akan menurunkan permintaan terhadap barang dan jasa yang dihasilkan sumber daya alam. Di sisi lain, peningkatan harga output menimbulkan insentif kepada produsen sumber daya alam untuk berusaha meningkatkan supply. Namun, karena ketersediaan sumber daya alam sangat terbatas, kombinasi dampak harga dan biaya akan menimbulkan insentif untuk mencari sumber daya substitusi dan peningkatan daur ulang. Selain itu, untuk mengembangkan inovasi-inovasi seperti pencarian deposit baru, peningkatan efisiensi produksi, dan peningkatan teknologi daur ulang sehingga dapat mengurangi tekanan terhadap pengurasan sumber daya alam. Kemudian dalam hirarki konseptual, sumber daya alam merupakan barang publik (public goods). Konsekuensi atas konsepsi ini adalah bahwa akses untuk mendapatkannya harus terbuka untuk sebanyak mungkin pelaku ekonomi dan masyarakat luas. Jenis public goods seperti ini harus dikelola secara transparan dan diawasi secara terbuka. Dengan demikian, jika kendali pengelolaannya dilakukan pemerintah saja tanpa kontrol yang memadai dari pihak masyarakat, maka kemanfaatannya menjadi sangat terbatas pula. Pengalaman Indonesia selama ini memperlihatkan bahwa kontrol pemerintah pusat sangat kuat sehingga kemanfaatannya pun terbatas pada kalangan dekat birokrasi pusat tersebut. Hal ini terbukti dari alokasi berbagai potensi sumber daya alam seperti pertambangan, hutan, perikanan dan sebagainya (Rachbini: 2003). Pola pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan, pada umumnya dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu pertama; melalui kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah untuk kemudian diterapkan dilapangan dengan disertai aturan-aturan

dan konsekuensi dalam pelaksanaannya sehingga pemerintah beserta aparat akan berperan sebagai subjek sedangkan sumber daya alam dan masyarakat akan menjadi objek yang hanya mengikuti ketetapan pemerintah, sedangkan pendekatan yang kedua; adalah dilakukan desentralisasi pengelolaan SDA oleh pemerintah kepada masyarakat, sehingga masyarakat akan turut berperan secara langsung dan turut menjadi subjek dalam pengelolaannya sehingga akan tumbuh rasa memiliki dan keinginan turut menjaga kelestariannya. Praktek pola pengelolaan SDA secara sentralistik mewarnai perjalanan sejarah pembangunan di Indonesia dan telah memberikan dampak yang cukup luas. Salah satu dampak yang sangat dahsyat akibat sentralisasi pemerintahan dan manajemen pemerintahan Orde Baru adalah hilangnya inisiatif lokal dan masyarakat dalam mengcreate dan mengembangkan berbagai potensi yang dimilikinya seperti potensi hutan yang dimilikinya. Masyarakat seperti terhipnotis oleh lakon pejabat -- mulai dari pusat hingga daerah -- yang secara semena-mena dan tanpa mempertimbangkan ekosistem dan nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom) yang sejak turun-temurun dimiliki masyarakat dan telah berinteraksi dengan ekosistem hutan yang menurut mereka sebagai bagian dari matapencaharian lestari. Pada era tersebut para penyelenggara negara selalu memandang sumber daya alam, termasuk hutan sebagai sumber daya sebagai engine of growth atau sebagaimana pandangan yang dianut oleh ilmuwan ekonomi konvensional seperti Adam Smith dan David Ricardo. Akibat cara pandang yang cenderung eksploitatif tersebut, maka sumber daya alam (hutan) termasuk sumber daya alam yang ‘dikuasai’ oleh pemerintah pusat yang dikelola secara sentralistis. Padahal disisi lain masyarakat tidak memandang hutan sebagaimana cara pandang pengusaha dan pemerintah pusat pada saat itu, dimana hutan sebagai potensi ekonomi yang dilihat sebagai potensi kayu yang memiliki nilai ekspor tinggi. Akan tetapi masyarakat menilai berbagai potensi yang ada dalam hutan akan menyelamatkan generasi masa mendatang karena hutan masyarakat bisa hidup dan menyelamatkan generasi yang akan datang. Dengan sistem pemerintahan yang sentralistik, pengelolaan sumber daya alam khususnya sumber daya hutan sangat ditentukan oleh pemerintah pusat. Kebijakan pemerintah untuk mengelola hutan secara legal mendorong praktek ekstraksi sumber daya hutan. Artinya penerima manfaat yang besar adalah pemerintah pusat dan pengusaha, sementara daerah mendapat bagian yang sangat kecil bahkan untuk daerah penghasil khususnya masyarakat hanya menjadi penonton dan penerima dampak langsung yang ditimbulkan oleh pengusahaan hutan. Bahkan masyarakat seringkali menjadi kambing hitam sebagai penyebab dampak negatif yang ditimbulkan oleh praktek-praktek swasta (pengusaha hutan) dan kebijakan pemerintah Praktek sentralisme dan ketertutupan birokrasi tersebut juga berdampak buruk pada pola pengelolaan sumber-sumber potensi ekonomi yang cenderung mengabaikan kepentingan masyarakat banyak dan tidak memperhitungkan dampak yang ditimbulkan akibat rusaknya ekosistem yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat di masa datang. Bukti-bukti empiris seperti yang terjadi saat ini seperti banjir bandang di berbagai pelosok republik yang terjadi secara terus menerus, peristiwa tanah longsor, dan terjadinya kekeringan adalah akibat dari pola-pola pengelolaan lingkungan atas dasar kepentingan sesaat yang tidak berorientasi kedepan. Memperhatikan kondisi tersebut, perubahan paradigma pembangunan khususnya pola pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan dan berkesinambungan dengan

mengacu kepada prinsip kesinambungan, keseimbangan dan kelestarian merupakan pilihan yang harus dipilih oleh pemerintah. World Commission on Environment and Development (WCED) atau Brundtland Commission memberikan definisi pada prinsip pembangunan berkelanjutan sebagai “pembangunan yang memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi-generasi mendatang memenuhi kebutuhan sendiri”, definisi tersebut tercantum dalam Laporan Brundtland Commission Our Common Future yang diterbitkan pada tahun 19874. Terlepas dari perdebatan interpretasi pendefinisian pembangunan berkelanjutan tersebut, menurut Emil Salim, terdapat tiga langkah, sebagai implikasi kebijakan yang penting untuk dipikirkan para pengambil keputusan pembangunan, sebagai berikut: Pertama, berkenaan dengan pengelolaan sumber daya alam (resource management) dengan tekanan pada pengelolaan hutan, tanah dan air. Pengelolaan hutan harus mencakup sumber hayati plasma nuftah, yang merupakan sumber alam genetik (genetic resource), sehingga pengelolaan hutan itu tidak hanya memperhatikan kayu-kayunya, melainkan juga sumber genetik tersebut. Hal ini penting karena pada awal abad 21, sumber alam genetik akan menjadi sumber daya alam yang amat menentukan pembangunan yang akan datang (Salim, 1992 dan Rachbini, 2001). Kedua, berkenaan dengan pengelolaan dampak pembangunan terhadap lingkungan yang mencakup penerapan analisis dampak pembangunan terhadap lingkungan, pengendalian pencemaran, khususnya bahan berbahaya dan beracun, maupun pengelolaan lingkungan binaan manusia (man made environment) seperti kota, waduk dan lain sebagainya. Ketiga, berkenaan dengan pembangunan sumberdaya manusia (human resources development), yang mencakup pengendalian jumlah penduduk atau kualitasnya (tingkat kelahiran, tingkat kematian, dan tingkat kesakitan); pengelolaan mobilitas perpindahan penduduk kedaerah dan ke kota, pengembangan kualitas penduduk, baik secra fisik maupun non fisik yang menyangkut kualitas pribadi maupun kualitas bermasyarakat, serta pengembangan keserasian kuantitatif, keserasian kualitatif dan keserasian wawasan.

Pengelolaan SDA Berbasis Kearifan Lokal di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur 1. Sektor Kehutanan Secara umum dapat dikemukakan adanya pergeseran paradigma dalam manajemen kehutanan, dari pola sentralistis kearah yang lebih desentralistik dengan mengedepankan otonomi masyarakat adat. Selama masa Orde Baru, kebijakan pembangunan kehutanan yang berlandaskan faham sentralistik, penyeragaman dan paternalistik dengan paradigma pengelolaan hutan yang berorientasi pada hasil hutan berupa kayu semata (timber extraction) telah memarginalkan peran dan keberadaan masyarakat adat. Namun, gerakan reformasi di sektor kehutanan telah merubah paradigma maupun konstelasi pelaku pengelolaan hutan yang teraktualisasi melalui kebijakan desentralisasi pengelolaan sumber daya hutan berbasis masyarakat dengan instrumen pendukung berupa sistem pendekatan partisipatif yang bersifat bawah atas (bottom up), mengakui kemajemukan (pluralism) dan bersifat sejajar (equality). Forum diskusi sepakat untuk menerapkan prinsip

4

Dikutip dari http://www.goodgovernance-bappenas.go.id/artikel_34.htm

keterbukaan, partisipasi dan akuntabilitas publik dalam penetapan setiap kebijakan pengelolaan hutan serta menerapkannya secara konsisten dan non diskriminasi. Salah satu persoalan yang paling menonjol dalam manajemen kehutanan adalah terjadinya kebakaran hutan. Kasus ini sebagian besar disebabkan oleh praktek tebas bakar (slash and burn agriculture) dalam berbagai bentuk, baik oleh masyarakat asli (indigenous people) ataupun pendatang (migrants), di wilayah pantai (coastal zone) ataupun pedalaman (remote areas) yang ada di Kaltim, sehingga resiko kebakaran saat ini terdapat dimana-mana. kegiatan membakar yang merupakan bagian dari sistem perladangan telah dipraktekkan/dilakukan oleh masyarakat secara turuntemurun, dan dengan demikian teknologi pengendalian api telah dikenal secara baik, serta dipergunakan secara efektif dalam mencegah kebakaran. Beberapa pengalaman yang terjadi diungkapkan dibeberapa kelompok masyarakat lokal yang ada di Kaltim, termasuk suku Berau di Berau, dan suku Dayak Blusu di Bulungan yang secara geografis berdekatan dengan masyarakat Berau. Suku lokal ini telah mempraktekkan pengetahuan yang dimilikinya dalam pengendalian api selama kegiatan perladangan, emlalui implementasi pengetahuan tradisional (traditional knowledge) atau kearifan lokal (local genius). Bagi masyarakat lokal khususnya suku dayak, hutan memiliki nilai yang sangat sakral selain sebagai sumber penghidupan. Hutan, tanah merupakan bagian dari suatu lingkungan yang tidak terpisahkan dari kehidupan mereka. Sumber daya sekitar hutan tidaklah dipandang sebagai obyek yang harus dieksploitasi, tetapi sebagai subyek bagi adaptasi manusia untuk berakar pada adaptasi kehidupan yang selaras dengan kosmos. Kebutuhan hidup masyarakat sehari-hari sangat tergantung pada hutan yaitu sebagai salah satu sumber penghidupan sehingga sangat dijaga kelestariannya, baik dari gangguan pihak luar maupun terhadap ancaman kebakaran. Oleh karena itu perladangan yang merupakan salah satu aktivitas yang memanfaatkan lahan hutan, dilakukan dengan mengikuti aturan adat yang berlaku, terutama yang berhubungan dengan penggunaan api pada saat pembakaran lahan. Dalam kegiatan perladangan, api digunakan untuk memudahkan pembersihan lahan yang secara khusus dilakukan pada tahap-tahap awal kegiatan perladangan. Alasan utama masih digunakannya api pada saat pembukaan ladang terutama pada aspek kemudahan pengerjaan dan pembiayaan bila dibandingkan dengan cara lainnya. Dalam kegiatan membakar ladang api sangat diperlukan terutama sekali untuk membersihkan sisa-sisa dari kegiatan merintis/menebas ladang, dan kegiatan lainnya dalam tatacara membuka ladang. Penggunaan api dipergunakan juga untuk kegiatan berburu, memancing, dan memukat. Teknologi penggunaan api (Marepm Api dalam bahasa Dayak Benuaq) di masyarakat lokal telah dikenal lama dan diaplikasikan dari generasi ke generasi. Cara pewarisannya secara umum melalui cerita, pemberian contoh secara langsung dan pelibatan generasi muda oleh generasi yang lebih tua. Meskipun demikian pada saat ini muncul kendala yang mengakibatkan proses pewarisan teknologi tersebut tidak sepenuhnya berjalan dengan lancar. Kendala yang dihadapi masyarakat lokal secara umum dalam kegiatan pemadaman kebakaran hutan yang besar adalah minimnya peralatan. Alat tradisional yang selama ini digunakan untuk pengendalian api dalam kegiatan pembukaan ladang tidak memadai untuk digunakan dalam pemadaman kebakaran hutan yang besar. Peralatan ini pada umumnya hanya digunakan untuk mengendalikan api yang

kecil terutama sekali mencegah menjalarnya api pada saat pembakaran ladang. Beberapa peralatan yang dipergunakan oleh masyarakat lokal seperti suku Dayak Benuaq diantaranya; pocet, topoq, gawaakng, kiba, pemupar apuy, agit, pengokot, beliung, mandau. Selain itu, dalam penggunaan api, terdapat nilai budaya yang harus ditaati saat akan membuat ladang, pembakaran ladang maupun saat berburu. Bila terjadi kebakaran hutan pada saat pembukaan ladang biasanya ada unsur kesengajaan dan kelalaian, kesemuanya akan dikenakan sanksi dari hasil keputusan adat dan berlaku untuk semua masyarakat baik di kampung maupun orang luar termasuk perusahaan. Mengantisipasi terjadinya kebakaran, aturan adat dalam pengendalian api biasanya sangat ditaati masyarakat mengingat aturan tersebut dibuat untuk dilaksanakan. Berkaitan dengan kebakaran hutan maupun lahan, baik disengaja maupun tidak, ada beberapa hal yang terkait dengan aturan adat yang ada pada masyarakat tradisional di Kaltim. Aturan adat ini pada dasarnya tidak tertulis dan berasal dari aturan kegiatan pengendalian api pada masyarakat saat proses pembakaran ladang. Salah satu langkah penting dalam perlindungan dan sekaligus pemanfaatan hutan secara lestari adalah diperkenalkannya konsep Model Forest (MF). Model Forest adalah konsep pengelolaan hutan berbasis lahan, dimana hutan sebagai salah satu sumberdaya atau nilai utamanya, melalui suatu bentuk kemitraan sukarela dari berbagai pihak yang mempunyai kepentingan dalam pengelolan hutan lestari. Tujuan yang ingin dicapai dari konsep MF ini antara lain adalah terwujudnya kelestarian sumber daya hutan, peningkatan keuntungan ekonomi dan jasa lingkungan, berjalannya proses pendidikan publik/masyarakat, serta menemukan keseimbangan antara keuntungan ekonomis dengan kebutuhan lingkungan. Salah satu prinsip utama dari pengembangan MF ini adalah menghargai nilainilai pengetahuan masyarakat setempat, wanita dan penduduk asli. Artinya, kemitraan MF dan program-programnya menghargai nilai-nilai pengetahuan yang dipunyai oleh masyarakat setempat termasuk wanita dan penduduk asli, sehingga mereka bisa memainkan peranan penting dalam memberikan kontribusi kearah kelestarian sumber daya dan kesejahteraan masyarakat, memberikan perhatian terhadap kualitas hasil penelitian, dan membaginya dengan para anggota dan mitra dari jaringan model forest. Dengan pola partisipatif dan penghargaan terhadap nilainilai tradisional ini, maka program MF diharapkan dapat memberikan manfaat langsung bagi masyarakat berupa; Terpeliharanya sistem tata air / sumber air bagi masyarakat; Tersedianya bahan obat-obatan alami; Ketersediaan bahan pangan hewani maupun nabati; Terjaminnya keberlanjutan mata pencaharian masyarakat; Meningkatkan produksi pertanian; dan Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan masyarakat dalam berorganisasi serta dalam memenuhi kebutuhan sosial ekonomi. 2. Sektor Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kabupaten Berau merupakan salah satu daerah yang sangat kaya dengan potensi perikanan (baik darat maupun laut). Total spesies ikan laut sebanyak 1051 spesies, diantaranya Ikan Karang sebanyak 832 species. Selain itu, Berau juga merupakan satu dari tempat peneluran penyu hijau dan sisik terbesar di Asia Tenggara, disamping memiliki Danau Laut yang unik dengan Ubur-ubur endemik. Dalam

konteks internasional, Berau memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang luarbiasa sebagai bagian dari SSME (Sulu-Sulawesi Marine Ecoregion), dan bagian dalam NEBFS (North East Borneo Functional Seascape). Peta potensi sumber daya kelautan di Berau ini dapat dilihat dalam Gambar dibawah ini. Meskipun potensi sumber daya lautnya sangat melimpah, namun cukup banyak persoalan yang dihadapi oleh Pemkab Berau. Beberapa permasalahan yang sering ditemui antara lain adalah; Perikanan ilegal dan merusak, walaupun sudah menurun; Pengambilan penyu dewasa dan eksploitasi telur penyu; dan Perubahan penggunaan / peruntukan lahan serta pembangunan wilayah pesisir dan obyek wisata secara massal. Problema illegal fishing (penangkapan ikan dengan cara merusak atau oleh pihak asing yang tidak memiliki ijin) dan over fishing (penangkapan ikan secara berlebihan) sendiri antara lain disebabkan oleh faktor-faktor berikut: • Peningkatan jumlah penduduk (alami maupun migrasi), telah mengakibatkan kebutuhan terhadap konsumsi ikan menjadi naik secara signifikan. • Open access dan shared resource, yakni suatu prinsip bahwa kekayaan sumber daya kelautan terbuka untuk siapa saja dan tidak dapat dibagi-bagi (indivisible) diantara segmen masyarakat. Meskipun demikian, pemerintah tetap memiliki fungsi regulasi dalam hal pemanfaatan sumber daya kelautan, hanya saja masih belum optimal. • Gagalnya manajemen konvensional, dimana fungsi monitoring dan pengendalian oleh pemerintah masih lemah. Sebagai akibat dari berbagai persoalan diatas, maka kelestarian dan keberlangsungan fungsi keanekaragaman hayati kelautan menjadi terancam. Untuk mengatasi kondisi tersebut, salah satu upaya yang telah dilakukan oleh Pemkab Berau yakni dengan mengeluarkan SK Bupati No.70/2004 tentang Penetapan Pulau Kakaban sebagai Kawasan Konservasi, atau sering dikenal dengan istilah Large Scale Marine Protected Area (LS-MPA). Beberapa saat sebelumnya, telah diterbitkan pula SK Bupati No.35/2001 dan No.60/2346-Um/XII/2001, No.36/2002 tentang Konservasi Penyu untuk Pulau Derawan dan Sangalaki. Berbagai kebijakan ini merupakan tindak lanjut dari program nasional tentang KKL (Konservasi Kawasan Laut), serta penjabaran SK Mentan No. 604/Kpts/Um/8/1982 tentang Kawasan Konservasi Pulau Semama (Cagar Alam) dan Pulau Sangalaki (Taman Wisata Laut) di Berau. Penerapan KKL atau KPL (Kawasan Perlindungan Laut) tersebut hanya dapat berhasil jika mengikutsertakan masyarakat selaku subyek utama. Dalam kaitan ini, beberapa hal yang dapat dilakukan oleh masyarakat dalam mendukung program KKL/KPL sebagai wujud implementasi local wisdom (kearifan lokal) antara lain adalah: • Peningkatan kepedulian penduduk sekitar dan pendatang, melalui program seperti rehabilitasi terumbu karang dan kebersihan lingkungan laut. • Menciptakan apresiasi publik terhadap kekayaan alam laut (terumbu karang). Hal ini bersesuaian dengan tujuan jangka panjang pembangunan kawasan konservasi laut Kabupaten Berau yang berbasis masyarakat (community-based conservation program). Sementara itu dari sektor pesisir, pemanfaatan dan pengembangan kawasan pesisir dibagi menjadi 3 (tiga) zonasi, yaitu: • Zona Pesisir Daratan, didefinisikan dan didelineasi sebagai kumpulan kelurahan/desa pesisir



Zona Pesisir Laut, didefinisikan sebagai wilayah perairan yang berupa laut lepas dan perairan pantai • Zona Kepulauan dan Pulau-Pulau Kecil, didefinisikan sebagai kumpulan pulaupulau kecil yang terletak di sepanjang kawasan pesisir dan lautan Kabupaten Berau. Baik pesisir daratan, pesisir laut, maupun wilayah kepulauan dan pulau-pulau kecil, pola pengelolaannya sudah mengakomodir kemungkinan hak milik baik bagi kelompok adat, maupun milik pribadi. Dalam kaitan ini, terdapat 4 (empat) pola kepemilikan lahan / wilayah / sumber daya alam sebagai berikut: Kelompok milik negara, Milik bersama, Milik pribadi / swasta, dan Tanpa milik. Berau sangat terkenal dengan Kepulauan Derawan yang mencakup wilayah Kecamatan Pulau Derawan dan Maratua. Secara geografis, Kepulauan Derawan terletak di semenanjung utara perairan laut Kabupaten Berau, yang terdiri dari beberapa pulau yaitu Pulau Panjang, Pulau Raburabu, Pulau Samama, Pulau Sangalaki, Pulau Kakaban, dan Pulau Maratua, serta beberapa gosong karang seperti gosong Muaras, Pinaka, Buliulin, Masimbung, dan Tababinga. Di Kepulauan Derawan terdapat beberapa ekosistem pesisir dan pulau kecil yang sangat penting yaitu terumbu karang, padang lamun, dan hutan mangrove. Selain itu, banyak spesies yang dilindungi berada di Kepulauan Derawan seperti penyu hijau, penyu sisik, paus, lumba-lumba, kima, ketam kelapa, duyung, dan beberapa spesies lainnya. Dengan demikian jelaslah bahwa pengelolaan pulau-pulau kecil sangat penting dilakukan untuk tujuan-tujuan sosial budaya (seperti pendidikan dan penelitian), konservasi (melindungi populasi telur dan tukik, habitat sarang, terumbu karang dan lamun). Bentuk pengelolaan kawasan ini adalah berbasiskan masyarakat sehingga menjamin pemanfaatan sumber daya yang ada dan sekaligus dengan adanya kawasan-kawasan yang dilindungi oleh masyarakat sendiri. Selain Pulau Derawan, Berau juga memiliki Pulau Kakaban yang tidak kalah atraktif dan spektakuler. Di wilayah ini terdapat Danau Kakaban yang bagaikan kolam raksasa di tengah laut. Tersembunyi dibalik dinding karang atol setinggi 60 meter. Ditumbuhi hutan mangrove yang lebat. danau ini menyimpan rahasia kenekaragaman hayati yang sangat unik dan indah. Memasuki Danau Kakaban bagaikan terlontar ke jaman purba, dengan ribuan ubur-ubur memenuhi kolom air dan dasar danau, menghiasi hamparan ‘karpet hijau’ alga Halimeda. Ikan puntang, serinding kaca, anemon pemakan ubur-ubur, spons dan tunikata yang berwarna cerah yang melekat di akar-akar bakau adalah penghuni Danau Kakaban yang bersifat endemik. Sebagai pulau atol yang memiliki laguna berair payau di dalamnya, Kakaban tergolong langka. Sebab, di dunia ini diketahui hanya ada dua yang memiliki kondisi serupa, lainnya adalah Pulau Palau, di Mikronesia, yang berjarak 1.000 kilometer dari Filipina. Sayangnya, kehadiran manusia dalam lingkungan yang masih alami itu sedikit banyak menimbulkan kerusakan karena terinjaknya karang, matinya tumbuhan, matinya biota renik dan lunak di karang ataupun danau akibat aktivitas mereka. Gangguan yang terus-menerus apalagi dalam jumlah besar akan membuat kerusakan di kawasan itu bersifat permanen, tak dapat pulih kembali. Sebagai satu kesatuan ekosistem Kepulauan Derawan, Pulau Kakaban yang telah ditemukan suku Bajau

sejak dulu, saat ini boleh dibilang merupakan benteng terakhir tempat biota laut di kawasan berlindung dari serbuan manusia yang populasinya sudah kian meningkat. Sementara itu, di enam danau kecil yang juga terdapat di pulau Kakaban, masyarakat menebarkan ikan belanak, kima, dan penyu sisik untuk dibesarkan. Terkadang mereka mengambil kepiting kenari, kayu gagil (sejenis meranti) untuk dibuat perahu dan rumah. Namun kegiatan masyarakat ini masih relatif kecil menimbulkan gangguan keseimbangan ekosistem kawasan itu karena dilakukan dengan alat sederhana dan dalam skala terbatas. 3. Sektor Sektor Daerah Aliran Sungai (DAS) Sungai Kelay adalah sungai yang terpanjang di Kabupaten Berau. Mengalir dari pegunungan sekitar Gunung Mantam, sepanjang 254 kilometer sampai pada pertemuan dengan Sungai Segah membentuk Sungai Berau di Tanjung Redeb. Sungai Segah panjangnya sekitar 152 kilometer, hulu sungai berada di sekitar Gunung Kundas. Di DAS dan hulu-hulu Sungai Kelay terdapat hutan primer dataran rendah yang luas, dan yang tersisa di Kalimantan. Hutan ini merupakan ekosistem daratan yang paling beragam di dunia. Di DAS Kelay terdapat 11 jenis primata termasuk orangutan dan bekantan yang terancam punah. Sementara habitat alami orangutan yang lain di Kalimantan Timur terus mengalami degradasi. Tampaknya Kabupaten Berau berpotensi bagi pelestarian habitat orangutan, dengan ditemukannya populasi alami yang cukup tinggi dan kondisi habitat yang masih baik. Dengan melestarikan habitat orangutan berarti juga melestarikan jenis-jenis satwa lainnya, juga melestarikan hutan dataran rendah yang merupakan bagian DAS Kelay, dan pada akhirnya melestarikan sumber daya alam dan daya dukung bagi masyarakat setempat maupun masyarakat yang lebih luas. Dalam konteks bentang alam, pelestarian hutan ini juga berdampak positip bagi upaya pelestarian daerah pesisir dan terumbu karang di sekitar kepulauan Derawan. Sayangnya, aktivitas ekonomi manusia cenderung membawa dampak kurang baik terhadap kelestarian lingkungan dan DAS di Kabupaten Berau. Kemungkinan terjadinya degradasi sendiri bersumber dari beberapa faktor, diantaranya adalah sebagai berikut: • Penangkapan populasi sumberdaya ikan yang berlebihan (overexploitation of fisheries resources). • Kerusakan fisik dan habitat pesisir dan laut (Kerusakan karang, reklamasi, penangkapan ikan yang merusak). • Kerusakan karena sebab alamiah (coral bleaching dan kerusakan karena predator). Untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut, maka ditempuh upaya-upaya yang menerapkan pendekatan kelestarian ekosistem (Ecosystem-Based Management), misalnya dalam bentuk program-program sebagai berikut: • Pengembangan sistem penyimpanan ikan yang memproduksi lebih banyak ikan yang besar yang mampu menghasilkan anak ikan lebih banyak untuk mensuplai sumberdaya perikanan. • Program sitem proteksi koridor untuk perlindungan migrasi paus dan mamalia laut dunia dari Samudera India ke Samudera Pasifik dan Pengembangan program coastal tourist attraction, yang diharapkan dapat menumbuhkan dan menggairahkan perekonomian masyarakat setempat.



Memberikan kontribusi kepada nilai-nilai sosial dan budaya masyarakat serta mengikut sertakan masyarakat secara aktif. • Kawasan konservasi laut dapat melindungi habitat dan biodiversitas biota, sehingga fungsi dan struktur ekosistem terjaga dari dampak kegiatan penangkapan ikan. Dalam konteks pengembangan dan pengakuan kearifan lokal, masyarakat telah turut serta menjaga DAS di Berau, yang secara konkrit diwujudkan dalam bentuk pelarangan penangkapan ikan menggunakan alat-alat moder atau semi modern. Local wisdom yang dikembangkan adalah bahwa penangkapan ikan hanya diperkenankan dengan menggunakan alat tradisional seperti tombak. Namun sayangnya, hal ini belum dapat diterapkan untuk seluruh wilayah Berau atau DAS yang ada.

Pengelolaan SDA Berbasis Kearifan Lokal di Kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah 1. Potensi Sumber Daya Alam (SDA) dan Lingkungan Murung Raya mendapat julukan “surganya” Kalimantan Tengah atau Bumi Tambun Bungai, karena potensi sumber daya alam yang begitu melimpah namun belum bisa dimanfaatkan optimal untuk kesejahteraan masyarakat. Padahal, potensi sumber daya alam tersebut, selain melimpah, juga bentuknya sangat beragam. Potensi batu bara, misalnya, tersedia di empat kecamatan dengan deposit yang melimpah. Emas serta intan tersedia di Kecamatan Murung, Permata Intan, Tanah Siang, dan Sumber Barito. Potensi tambang ini belum digarap serius, kecuali digarap tradisional oleh masyarakat sekitar dengan peralatan sederhana. Begitu pun bahan galian golongan C seperti batu, kapur, granit, andesit, fospat, dan hasil tambang lainnya, masih dibiarkan begitu saja terbenam di Murung Raya. Selain kaya bahan tambang, kawasan hutan di kabupaten ini masih terhampar seluas 1,23 juta hektar. Bahkan, sekitar 800.000 hektar kawasan Pegunungan Muller yang disebut kawasan konservasi dunia karena keanekaragaman flora dan faunanya sebagian merupakan wilayah Murung Raya. 2. Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) dan Lingkungan oleh Masyarakat a. Perladangan Dalam melakukan perladangan, masyarakat memiliki kearifan dalam mengolah tanah yang dinamakan tradisi berladang olah ulang. Sekali membuka hutan dapat dimanfaatkan 3-5 kali berladang dan kemudian dilanjutkan dengan cara berkebun tanam tumbuh, seperti; karet, rotan, kopi, durian, tengkawang dan tumbuhan lainnya. Masyarakat dayak dalam menentukan dan melaksanakan pembuatan ladang ada beberapa tahapan yang dilakukan yaitu: 1) Pemilihan Lahan Perladang Tahapan yang paling awal dalam pemilihan ladang adalah survey areal. Areal yang dipilih merupakan hak milik peladang itu sendiri baik itu berasal dari warisan keluarga atau tanah yang dipinjam dari peladang lain. Lahan yang dipilih untuk pembukaan ladang adalah semak belukar, hutan, kebun karet yang sudah mati atau tidak produktif lagi. Syarat lainnya adalah dekat dengan mata air atau sungai, dengan asumsi tanahnya lebih subur dan memudahkan mereka dalam kegiatan rumah tangga sehari-hari seperti masak, minum dan MCK. Dalam hal penentuan lahan perladangan ada hal-

hal yang menjadi larangan atau pantangan untuk dijadikan ladang, diantaranya adalah hutan keramat (tempat penadaran atau upacara adat). 2) Penebasan Tujuan utama tahap ini adalah untuk mematikan tumbuh-tumbuhan, sehingga tumbuh-tumbuhan tersebut kering, sehingga memudahkan pembakaran lahan. Hal ini penting karena tumbuh-tumbuhan yang ditebas nantinya akan ikut membantu pembakaran pohon-pohon besar. Tujuan lainnya adalah untuk mempersiapkan tempat yang terbuka dan bebas dari semak belukar, sehingga mereka bisa bekerja menebang pohon-pohon besar dengan aman. 3) Menebang Kayu Setelah dilakukan penebasan baru dilaksanakan penebangan kayu-kayu besar. Pada tahap menebang, masyarakat setempat memotong semua pohon besar di ladang, yang belum dipotong pada tahap menebas sebelumnya. Tujuan dari menebang pohon-pohon ada dua. Pertama, pohon-pohon perlu ditebang agar supaya mati dan kering. Kemudian ketika ladang dibakar, pohon-pohon tersebut akan terbakar dengan baik dan menghasilkan banyak abu. Abu ini merupakan faktor penting bagi keberhasilan ladang, karena dapat dipakai sebagai sumber gizi bagi tanaman yang sedang tumbuh. Tujuan kedua, ialah untuk memungkinkan matahari bisa menyinari permukaan ladang. Jika satu pohon dibiarkan berdiri, puncaknya akan menghalangi sinar matahari yang kemudian akan merintangi tumbuhnya tanaman padi yang ditanam di ladang tersebut. 4) Penebangan Tambahan Kegiatan penebangan tambahan yaitu memotong cabang-cabang besar pada pohon sehingga jatuh ketanah. Potongan cabang-cabang tersebut akan lebih memadatkan tumpukan kayu yang telah ditebang, yang kemudian apabila ladang dibakar, kayu-kayuan akan terbakar dengan baik. 5) Pembakaran Tujuan yang paling penting dari pembakaran ialah untuk mengubah tumbuhtumbuhan yang telah ditebas dan ditebang dan juga lapisan humus diatas tanah hutan tersebut menjadi abu. Proses perabuan ini melepaskan zat-zat gizi yang terdapat di batang pohon, dahan-dahan, daun-daun dan humus. Tujuan terakhir dari pembakaran adalah untuk mematikan tumbuh-tumbuhan hidup yang masih ada diladang termasuk pohon-pohon yang terlalu sulit untuk ditebang pada tahap menebang, demikian pula untuk mencegah tumbuhnya pohon-pohon yang baru. Proses pembakaran ini merupakan tahap terakhir dalam penyediaan lahan untuk berladang. Setelah proses ini selesai, maka lahan tersebut siap untuk dijadikan ladang. b. Sistem Kepemilikan Tanah Kepemilikan wilayah tanah adat berdasarkan keberadaan turun temurun dengan ditandai dengan tanaman buah-buahan sebagai batasan sepanjang waktu. Tanah tersebut secara adat menjadi milik seseorang jika di dalam areal tanah tersebut telah ada kebun/tanam tumbuh, seperti durian, tengkawang, karet, rotan, nyatu, kopi, dan pohon buah-buahan lainnya yang sudah ada, baik yang sudah ratusan tahun digarap turun temurun, maupun yang baru digarap dalam satu atau dua tahun. Tanah sebagai tempat hidup dan sumber kehidupan masyarakat

memiliki nilai spiritual bagi masyarakat. Tanah sebagai tempat berpijak dan tumbuhnya sumber kehidupan, memberi jaminan pemenuhan kebutuhan hidup bagi generasi sekarang dan yang akan datang. Ada hubungan timbal balik antara masyarakat dan alam sekitar, demikian pula tanah. Sedemikian besar ketergantungan masyarakat pada tanah, sedemikian kuat pula keinginan masyarakat untuk tetap menjaga kelestarian alam dengan kearifan alamiah yang mereka miliki secara turun temurun. c. Kawasan Keramat Beberapa gunung dianggap sebagai tempat keramat bagi masyarakat seperti Gunung Kambang, Batu Ponyang, Pokahan Lumpung, Gunung Baruh, dan Pokahan Luning. Gunung Batu Ponyang, adalah kisah turun temurun dari nenek moyang sebelum penjajahan Belanda. Tanah-tanah disekitar gunung Muro adalah tanah pusaka yang turun temurun ditempati rakyat beberapa desa di tiga kecamatan untuk hidup dan tumbuh berkembang dengan segenap generasinya. Namun sejak diketahuinya keberadaan emas di daerah masyarakat adat tidak lagi menempati daerah tersebut yang merupakan cikal bakal berdirinya PT Indo Muro Kencana (PT IMK) yaitu perusahaan penambangan emas. d. Penambangan Masyarakat Sejak pertama kali ditemukannya lokasi urat emas, masyarakat Dayak Siang Murung memperoleh tambahan penghasilan dari usaha mendulang emas. Sebagai masyarakat penemu lokasi tambang dan bahan galian urat emas, amatlah wajar jika terdapat ikatan emosi antara masyarakat dengan tambang. Secara turun temurun masyarakat mengolah daerah tersebut sebagai lahan pertanian, perkebunan yang kemudian berkembang sebagai areal tambang tradisional. Dengan adanya tambang rakyat tersebut, terjadi peningkatan kondisi sosial ekonomi masyarakat dan peningkatan kemampuan masyarakat untuk memberikan pendidikan pada anak-anaknya. Banyak sekali pemuda-pemudi daerah ini menempuh pendidikan hingga sarjana dari hasil menambang. Dari segi kemasyarakatan, dengan adanya tambang rakyat ini, berdatangan penduduk dari berbagai desa sekitar sehingga lokasi tambang rakyat ini semakin berkembang. Dengan teknologi sederhana yang mereka gunakan, frekuensi eksplorasi yang dilakukan-pun relatif kecil skalanya sehingga dampak yang ditimbulkan sangat rendah karena masyarakat adat memiliki kearifan tradisional dalam mengelola sumber daya alam yang ada. Sejak tahun 1971 orang Bakumpai dari desa Muara Babuat datang berladang di Sei Luit hingga tahun 1979, dimana pada tahun 1978/1979 masuk pula PT. Djayanti Jaya (HPH) masuk ke daerah tersebut untuk produksi kayu/hutan. Bersamaan dengan dibukanya jalan HPH tersebut, maka terbukalah urat emas di permukaan tanah oleh dorongan traktor di Bukit Arong dan bukit Tengkamong (Luit Raya). Lokasi mesin tumbuk pertama dibangun pada tahun 1981 oleh masyarakat. Dimana sejak saat itu masyarakat berbondong-bondong dari berbagai desa seperti; desa Belawan, Kalangkalo, Mangkoloesoe, Kerali, Datah Kuto, Dirung Lingking, Olong Hanangan, Muro dan Oreng yang masuk Kecamatan Tanah Siang serta desa Batu Mirau, Bantian, Tambilum, Kolon, dan Apak sebagai desa di sekitar sungai Babuat kecamatan Permata Intan ditambah dengan desa Muara Babuat, Tumbang Lahong, Juking Sopan, Baratu dan Pantai Laga yang

merupakan kecamatan Permata Intan untuk menambang urat yang pertama kali ditemukan di wilayah Murung Raya yang kemudian berkembang atas inisiatif masyarakat di bukit-bukit lainnya (Bukit Elpi, Batu Badinding, bukit Jalan Muro Nanep, Lobang Emas Timbul/Juta, Gunung Baruh, Marindu, Kerikil, Tobuno Ontu Bahandang, Serujan). Kesadaran masyarakat dalam pengelolaan tambang tradisional diikuti dengan kesadaran untuk membangun sebuah organisasi yang dapat mengatur dan mengetahui pelaksanaan kegiatan penambangan tradisional sehingga terbentuklah kelompok Gunung Batu Ponyang. Perkembangan tersebut diiringi dengan pertumbuhan fasilitas umum baik itu sarana transportasi berupa jalan ke lokasi tambang dengan lebih mudah, juga dibangunnya sarana umum berupa Mesjid, Mushola, Gedung Sekolah Dasar, Madrasah, Gereja, Jembatan dan pos Kamling. Kebiasaan masyarakat Dayak dalam melunas/menambang emas tersebut dilakukan dengan menggunakan peralatan serba sederhana, yakni dengan menggunakan linggis, sekop, cangkul, jumah/linggis kayu untuk menggali tanah, parang, gergaji, palu, kapak/beliung untuk penebasan, dan memotong alat, pangudam, pahat untuk memahat dan memecahkan batuan urat, keranjang rotan untuk memuat batuan urat, tali/rotan untuk menderek keranjang, sak-sak atau karung goni sebagai tempat menyimpan batuan urat, lampu-lampu dari lilin-lilin kecil untuk penerangan, tangguk (angkatan), piring, handuk/karpet serta dulang untuk proses pengeluaran bijih emasnya.

Pengelolaan SDA Berbasis Kearifan Lokal di Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan 1. Potensi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Kawasan Hutan Lindung Meratus juga menyimpan Potensi Biotik yang sangat beragam, diamana dikawasan tersebut tercatat 141 jenis pohon, 17 jenis rotan, 8 jenis palem-paleman, dimana semua itu termasuk dalam 41 famili, dimana yang terbanyak adalah famili dipterocarpaceae, kemudian famili graminea (rotan). Sebagian dari jenis diatas adalah flora endemik Pulau Kalimantan. Terkait dengan keaneka ragaman hayati yang dikandung oleh Kawasan Hutan Lindung Meratus, menuruh hasil kajian Yayasan Cakrawala Hijau Indonesia (YCHI)5 kawasan pegunungan meratus dihuni oleh berbagai jenis satwa satwa yaitu; mamalia (78 jenis dari 21 suku), Avifauna (316 jenis burung dari 47 suku atau sekitar 88.27% dari jumlah jenis burung di pulau Kalimantan, yaitu 358 jenis, lihat MacKinnon, dkk, 1998), Herpetofauna (130 jenis dan 20 suku, termasuk 59 jenis diantaranya hanya dapat diidentifikasi sampai tingkat marga), ikan (65 jenis dari 25 suku, termasuk 6 jenis hanya dapat diidentifikasi sampai tingkat marga dan 2 jenis sama sekali tidak teridentifikasi, namun hanya nama lokal), dan insekta 408 jenis dari 54 suku dan masih banyak yang belum teridentifikasi sampai tingkat species). Dari kajian status satwa, kawasan ini menjadi tempat penting terakhir (refuge) bagi satwa endemik di Kalimantan, diantaranya 19 jenis mamalia endemik dan 25 jenis burung (dari total 37 jenis burung endemik Kalimantan), dan jumlah jenis satwa yang dilindungi baik nasional mupun internasional adalah lebih dari 120 jenis. 5

”Kajian Biodiversitas Bersama Masyarakat Di Kawasan Pegunungan Meratus Kalimantan Selatan”

2. Peran/Program Pemerintah dalam Pengelolaan SDA Komitmen dan kesadaran Pemerintah Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST) terhadap pengelolaan Sumber Daya Alam dapat dilihat dari beberapa kebijakan yang diambil oleh pemerintah, diantaranya adalah adanya Peratuan Daerah Kabupaten HST tentang Pengelolaan Pengusahaan Pertambangan yang dimaksudkan untuk mengendalikan kegiatan penambangan termasuk yang berada di kawasan pegunungan meratus. Disamping itu, Pemerintah Kab. HST juga telah mengeluarkan surat edaran penghentian kegian penambangan bahan galian golongan C yang selama ini dilakukan disepanjang garis sempadan sungai baik yang menggunakan teknologi tinggi maupun secara manual, karena akan terjadi kerusakan pada garis sempadan sungai sehingga berpotensi terjadi bencana banjir maupun penggurangan fungsi sungai sebagai sumber air bagi kehidupan masyarakat. Kegiatan penebangan liar (illegal logging) di kawasan Pegunungan Meratus khususnya yang berada dalam wilayah administratif pemerintah Kab. HST jumlahnya sangat kecil. Hal ini disebabkan karena terbatasnya akses jalan (hanya bisa di tempuh dengan kendaraan roda dua) sehingga menyulitkan cukong-cukong kayu untuk mengangkut hasil penebangan tesebut. Terbatasnya akses jalan tersebut, adalah juga merupakan salah satu kebijakan (langkah) yang diambil oleh pemerintah setempat untuk menjaga kelestarian kawasan pegunungan meratus dari kegiatan eksploitasi hutan yang tidak terkendali. 3. Peran Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Pendampingan Masyarakat dan Pengelolaan SDA Diantara LSM yang melakukan pemberdayaan terhadap masyarakat setempat yaitu Lembaga Pembinaan Masyarakat Adat (LPMA) diantaranya melakukan pendampingan terhadap masyarakat setempat untuk mendirikan koperasi, yang diberi nama Credit Union (CU). Selain CU, juga terdapat koperasi kelompokkelompok tani. Disamping itu juga telah terbentuk Organisasi Masyarakat Adat Gunung Kelawan (OEMA GK) yang didirikan sebagai wadah bagi petani madu untuk meningkatkan kesejahteraan petani madu. Disamping itu juga ada Lembaga Bina Potensia (LBP) yang melakukan pembinaan terhadap masyarakat melalui program penyadaran terhadap masyarakat Dayak Meratus yang masih sangat kental dengan budaya tradisional. Beberapa pendekatan dan pendampingan yang telah dilakukan oleh LBP diantaranya melalui pendidikan, kampanye hidup bersih dan sehat. Di sektor ekonomi, pendampingan dilakukan dengan mengajarkan budidaya ternak (unggas). LBP juga menggulirkan program agro-forestry sejak tahun 1987 untuk mengoptimalkan produk non hutan. LSM di Kalimantan Selatan juga berperan dalam pemantauan pengelolaan SDA, diantaranya melalui penyadaran terhadap masyarakat dalam melakukan pelestarian sumber daya hutan seperti yang dilakukan oleh Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Adat (LPMA) melalui perumusan peraturan desa tentang pemanfaatan dan perlindungan terhadap sumber daya hutan di beberapa desa di kawasan Pegununan Meratus. Dengan adanya peraturan desa tersebut, bentuk-bentuk kearifan lokal yang selama ini hanya menjadi hukum adat di dalam masyarakat setempat telah diakomodir kedalam tata urutan hukum positif formal yang tertulis. 4. Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan SDA Berdasarkan hasil penelitian di daerah Hulu Sungai Tengah, dapat disimpulkan bahwa bentuk partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam sudah

terintegrasi kedalam sistem sosial, budaya dan religus masyarakat setempat (masyarakat di kawasan pegunungan meratus). Budaya masyarakat di kawasan Meratus pada dasarnya sangat menjungjung tinggi keberadaan potensi sumber daya alam (hutan) sebagai nafas kehidupan mereka maupun dalam kontek spiritual kepercayaan mereka yang sangat terkait dengan hutan. Hal itu terefleksikan kedalam hukum adat didalam masyarakat Dayak Kawasan Meratus. Secara umum hukum adat dikelompokkan kedalam 3 (tiga) klasifikasi, yaitu: 1. Hukum adat yang mengatur hubungan antar sesama manusia, kekerabatan, perwasisan, perselisihan.perkelahian. 2. Aturan yang mengatur hubungan dengan alam seperti perburuan, menebang pohon, mengelola air, pemeliharaan jenis-jenis flora dan fauna. 3. Aturan yang mengatur hubungan dengan yang maha kuasa dan para leluhur. Seperti peribadatan, persembahan/pengorbanan. Keberadaan hukum adat tentang pengelolaan hutan tersebut yang tidak tertulis dan tidak termasuk dalam urutan tata perundang-undangan telah mendorong masyarakat untuk menuangkan aturan-atruran adat tersebut kedalam bentuk peraturan desa, yang merupakan salah satu urutan tata perundang-udanangan yang terendah yang berlaku. Dimana beberapa desa di kawasan pegunungan meratus telah melahirkan peraturan desa terkait dengan pengelolaan hutan. Peraturan desa tersebut hampir semuanya memuat tentang hukum-hukum adat yang berlaku didalam masyarakat setempat yang mengatur tentang pengklasifikasian jenis-jenis hutan, hak-hak atas hutan, cara-cara pengelolaan dan pemanfaatan hutan. Peraturan desa tersebut juga tetap mengakui keberadaan struktur dan lembaga adat setempat. Disamping itu peraturan desa juga mengakomodir mekanisme sanksi bagi yang melakukan pelanggaran/pengrusakan terhadap kawasan hutan, dimana dalam pengambilan keputusan terhadap pemberian sanksi tersebut dilakukan oleh lembaga adat dengan diketahui oleh kepala desa setempat, namun apabila tidak dicapai kesepakatan dengan mekanisme hukum adat, maka perkara tersebut akan dilimpahkan kepada aparat hukum negara yang terkait. 5. Kearifan Masyarakat Dayak Meratus Dalam Pengelolaam SDH Hutan adalah satu bagian dari lingkaran kehidupan komunitas Dayak Meratus, seperti juga tanah, air, ladang, palawija, dan makhluk hidup di sekitarnya. Membicarakan hutan dan sumber daya alam lain dalam konteks masyarakat Dayak tidak bisa dipisahkan dari pembicaraan tentang ‘tanah’. ‘Tanah’ dalam adat Dayak Meratus adalah asal mula manusia, sehingga ia mendapatkan penghormatan yang sangat tinggi dan merupakan harta kekayaan yang tidak bisa diperlakukan secara sembarangan. Hubungan ini menciptakan tatacara tertentu untuk mencapai keseimbangan hidup dalam interaksi manusia dengan alamnya, yang oleh masyarakat Dayak disebut sebagai Aruh. Secara garis besar sistem kepemilikan tanah digolongkan berdasarkan pewarisan, perkawinan, jual beli, dan sistem sewa. Berdasarkan pewarisan, pembagian tanah yang dilakukan oleh orang tua kepada anak-anaknya lebih melihat pada seberapa besar kemampuan masing-masing anak mampu mengelola lahan, tanpa membedakan jenis kelamin. Kepemilikan tanah bisa menjadi hilang apabila si pemilik tanah meninggal dunia, tanah dihumai oleh orang lain karena si pemilik lama meninggalkan balai dan lahannya tidak ditanami tanaman keras, dan tentu saja jika tanah tersebut dijual.

Masyarakat Dayak Meratus mengenal pembedaan bentuk permukaan bumi, terutama berkaitan dengan pembagian peruntukan pengelolaan lahan. Berdasarkan kesepakatan masyarakat dalam satu balai, wilayah adat dalam satu balai dibagi menjadi beberapa kelompok penggunaan lahan. Sebagian besar dari kawasan adat merupakan katuan (hutan) larangan yang tidak boleh digunakan untuk bahuma (bertanam) karena dipercayai sebagai kediaman leluhur masyarakat Balai. Katuan larangan merupakan kawasan hutan yang sama sekali tidak boleh ditebang, tetapi hasil hutan selain kayu masih bisa diambil oleh masyarakat. Hutan ini letaknya di gunung-gunung pada ketinggian di atas 700 meter dari permukaan laut, dan merupakan daerah perlindungan selain bagi tumbuhan dan hewan di dalamnya juga sebagai daerah penyedia sumber air bagi masyarakat setempat. Disamping hutan larangan, kawasan hutan yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat Dayak Meratus adalah katuan adat. Hutan ini milik adat yang sebagian bisa dibuka untuk pahumaan dan masyarakat boleh memanfaatkan kayu di dalamnya untuk memenuhi kebutuhan membangun rumah dan kayu bakar. Kawasan ini juga bisa ditanami tanaman perkebunan atau kayu keras oleh semua warga masyarakat di dalam balai tersebut setelah mereka tidak bahuma (berladang) di situ. Bagian katuan adat yang semacam ini disebut dengan jurungan atau wilayah bekas pahumaan yang ditinggalkan dan suatu waktu akan dibuka kembali. Kawasan hutan, selain katuan larangan dan katuan adat terdapat juga katuan keramat. Kawasan ini merupakan tempat pemakaman bagi leluhur dan sama sekali tidak bisa dimanfaatkan untuk apa pun selain sebagai makam. Katuan keramat ini biasanya terletak di gunung atau munjal. Pembagian lainnya adalah kawasan kebun gatah (karet) dan ladang. Kebun gatah adalah kawasan yang khusus ditanami karet untuk memenuhi kebutuhan ekonomi masyarakat setempat sedangkan ladang adalah kawasan yang ditanami dengan tanaman jangka pendek (padi, cabe, mentimun, palawija, dsb). Ladang biasanya dibuka di daerah taniti atau datar. Hanya sebagian kecil wilayah adat berupa kampung yang merupakan daerah pemukiman, termasuk di dalamnya Balai Adat, seluas kurang dari 2 hektar. Kampung biasanya terletak di datar (lembah) ataupun taniti (perbukitan) yang merupakan daerah yang relatif landai. Sebagai masyarakat peladang orang dayak yang sudah sangat lama mendiami kawasan pegunungan Meratus mereka sangat kaya dengan pengatahuan lokal terutama yang menyangkut dengan musim baik musim kemarau maupun musim hujan. Pengatahuan tersebut sangat penting karena sangat menentukan sekali terhadap irama kehidupan. Irama kehidupan orang dayak terus bergerak mengikuti perubahan musim. Ketika musim memasuki kemarau aktivitas masyarakat mulai disibukkan dengan kegiatan pengolahan tanah. Seperti menetapkan lahan, menebas dan menebang pohon. Kala musim kemarau beralih ke musim hujan proses pengolahan tanah sudah harus selesai karena mereka sudah harus memulai menanam padi. Ketergantungan pertanian terhadap musim yang sangat tinggi inilah yang membuat mereka berhati-hati sekali dalam membaca perubahan musim. Ketika proses pengolahan tanah terlambat sampai memasuki musim hujan perladangan akan mengalami kegagalan sebab proses pembakaran tidak dapat dilakukan. Kalau lahan tidak bisa terbakar berarti mereka tidak bisa manunggal. Untuk menentukan perpindahan musim, masyarakat Dayak Meratus biasa menggunakan beberapa indikator seperti: Perubahan terhadap posisi matahari dan bintang tertentu, Indikator

Flora dan Indikator Fauna. Disamping pengetahuan tentang musim, hal lain yang juga tidak kalah penting dalam kegiatan perladangan adalah penentuan tingkat kesuburan tanah. Berdasarkan pengatahuan lokal yang berkembang dimasyarakat indikator-indikator yang berhubungan dengan tingkat kesuburan tanah bisa digolongkan kedalam beberapa bagian seperti indikator fisik tanah dan indikator Flora. Masyarakat Dayak Meratus mengatasi hambatan alam dalam berladang sekaligus menjaga katuan adat mereka dengan mengembangkan pola perladangan “gilir balik” atau yang biasa dikenal sebagai perladangan berpindah. Setelah membuka payah (ladang) dengan menebang dan membakar, mereka menanaminya dengan padi dan palawija satu kali hingga tiga kali tanam untuk mengatasi ketidaksuburan tanah dan menghindari erosi. Mereka kemudian akan berpindah beberapa kali hingga kembali ke payah (ladang) yang dibuka pertama kali untuk memberi waktu pemulihan kesuburan dan tumbuhnya pepohonan setelah 10 hingga 15 tahun. Ikatan yang kuat antara masyarakat Dayak Meratus dengan alam yang memberikan segala kekayaan hidup, diwujudkan dengan Aruh. Secara tidak langsung, aruh merupakan pesan kepada warga balai untuk tetap menjaga keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam dan rohroh pemeliharanya. Ada sembilan aruh yang dilakukan masyarakat Dayak Meratus sejak persiapan membuka ladang hingga setelah panen, antara lain: (1) Mamuja Tampa, atau memuja alat-alat pertanian; (2) Aruh mencari daerah tabasan (ladang baru); (3) Patilah, aruh menebang rumpun bambu bila di bakal ladang itu ditumbuhi rumpun bambu; (4) Katuan atau Marandahka Balai Diyang Sanyawa, yaitu merobohkan balai Diyang Sanyawa; (5) Bamula, yaitu upacara untuk memulai menanam padi; (6) Basambu Umang, yaitu menyembuhkan atau merawat umang; (7) Menyindat padi, yaitu mengikat rumput dan tangkai padi dan Manatapakan Tihang Babuah, yaitu menegakkan tangkai padi yang berbuah; (8) Bawanang, yaitu memperoleh wanang; dan (9) Mamisit padi, yaitu memasukkan padi ke dalam lumbung. Tiga aruh pertama dilakukan oleh umbun yang bersangkutan, sedangkan aruh-aruh lainnya dilakukan oleh beberapa umbun dalam bubuhan (lingkungan) yang bersangkutan. Saat panen raya adalah aruh yang paling besar yaitu aruh wanang atau sering disebut sebagai aruh ganal (aruh besar). Kedudukan hutan sebagai nafas kehidupan masyarakat Dayak Meratus, bertimbal balik dengan kesadaran mereka menjaga dan memelihara hutan dengan baik. Hutan menjadi landasan ideologi, sosial dan sekaligus sumber penunjang perekonomian mereka. Mereka percaya bawa Jubata, Duwata (Tuhan) dalam sistem kepercayaan masyarakat Dayak Meratus akan mengutuk mereka yang menghancurkan hutan, sehingga dalam kehidupan Dayak Meratus manusia dan hutan adalah satu kesatuan yang saling memberikan perlindungan. Pemanfaatan hutan dan isinya diatur dalam hukum adat yang mereka sepakati, bahkan diberlakukan sanksi adat bagi pelanggarnya yang diputuskan oleh Kepala Adat atau Damang. Aturan ini tergambar dalam sanksi adat bagi mereka yag menebang pohon dengan sembarangan atau melakukan perbuatan yang merugikan orang lain di seluruh wilayah adat di pegunungan Meratus, antara lain: Menebang pohon buah-buahan didenda oleh adat dan dibayarkan kepada yang bersangkutan. Menebang pohon madu didenda 10-15 tahil, dituntut oleh hak waris dan denda

diserahkan kepada adat. (1 tahil = 1 piring kaca, jika dirupiahkan dihitung berdasarkan kesepakatan bersama masyarakat). Menebang pohon yang menjadi keramat, bisa dituntut oleh hak waris, dan denda diserahkan ke adat (Kepala Adat). Menebang pohon damar didenda oleh semua masyarakat yang termasuk wilayahnya, denda diserahkan ke adat. Menebang pohon lalu menimpa pohon buah-buahan sendiri/orang lain dikenakan denda yang dibayarkan sesuai kerugian atas robohnya pohon buah tersebut. Menebang pohon lalu menimpa rumah/pondok orang lain, diminta ganti rugi jika pohon menimpa rumah orang lain. Membakar ladang/sawah dan apinya merambat ke kebun orang lain didenda sesuai kerugian atas kebun tersebut. Terdapat lima prinsip dasar pengelolaan sumber daya alam yang bisa dicermati dalam budaya Dayak, yaitu: keberlanjutan, kebersamaan, keanekaragaman hayati, subsisten, dan kepatuhan kepada hukum adat. Bila kelima prinsip ini dilaksanakan secara konsisten maka akan menghasilkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan yang mencakup secara ekonomis bermanfaat, secara ekologis tidak merusak dan secara budaya tidak menghancurkan.

Penutup Upaya mencari pola pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan yang lebih baik menjadi sangat penting dilakukan. Upaya ini makin terasa justru pada saat ancaman deforestasi hutan terjadi dengan angka yang sangat mengerikan. Menurut Menteri Lingkungan Hidup (2006), deforestasi hutan mencapai 2 juta hektar pertahun. Sebuah angka yang tentu mengejutkan banyak kalangan. Dampak yang ditimbulkannya pun sudah didepan mata. Berbagai bencana banjir, tanah longsor dan bencana lain yang akhir-akhir ini terjadi, sungguh diakibatkan oleh deforestasi hutan tersebut. Pandangan terhadap pengelolaan sumber daya hutan pun harus berubah, bukan lagi hutan dipandang sebagai sumber ekonomi potensial saja, tetapi hutan sebagai sumber ekonomi dan sebagai sumber-sumber alam genetik (genetic resources) yang sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia. Tawaran terhadap konsep pembangunan berkelanjutan menjadi sesuatu keniscayaan karena konsep ini menawarkan sebuah model keseimbangan antara pengelolaan sumber daya alam yang mempertimbangkan aspek jangka panjang (generasi masa depan) di satu sisi, dengan tetap mempertimbangkan aspek-aspek pengelolaan sumber daya manusia di sisi yang lain. Berbagai model atau pola praktis atas pendekatan pembangunan berkelanjutan pun banyak dikembangkan oleh berbagai pihak, baik itu pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat, sebagai upaya menemukan jalan keluar atas krisis hutan selama ini. Dan tentu, tidak ada satupun model yang bersifat general yang bisa diterapkan ke seantero Indonesia karena kebinekaan Indonesia yang memungkinkan pola tersebut tidak isa diterapkan. Beragamnya suku, kultur daerah serta berbagai pranata sosial dan kearifan lokal yang dimiliki menjadikan sebuah pola pengelolaan sumber daya hutan hanya bisa diimplementasikan di wilayah tertentu.

Daftar Pustaka Badan Kelola Masyarakat Kepulauan Derawan dan Maratua (Yayasan BESTARI, Yayasan KALBU, Yayasan KEHATI), Konservasi dan Pemanfaatan SDA

Lestari yang Berbasis Masyarakat di Kepulauan Derawan tahun 2003-2005, Hasil Perencanaan Kampung 22 –23 September 2003. Bappeda Kab. Berau, Strategi Pengembangan Pesisir, bahan presentasi, tt. Dinas Perikanan dan Kelautan Kab. Berau, Kebijakan Pengembangan Kawasan Konservasi Laut di Kabupaten Berau, bahan presentasi, tt. Fauzi, Akhmad. Ekonomi Sumber daya Alam dan Lingkungan: Teori dan Aplikasi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 2004: 2. Ismuranty, Christien, Ani Mardiastuti, Jan Henning Steffen, Merintis Konservasi Pulau Kakaban: Kerangka Pengembangan Model Pengelolaan Kolaboratif Kepulauan Derawan Berbasis Masyarakat, Yayasan KEHATI, Januari 2004. Kompas, Kakaban, Benteng Terakhir Kepulauan Derawan, 16 Juni 2004, http://www.kompas.com/kompas-cetak/0406/16/bahari/1065450.htm Nanang, Martinus dan Devung, G. Simon. Kabupaten Kutai Barat: Panduan Pengembangan Peran dan Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan. IGES. Kanagawa, Jepang. 2004. P2O-LIPI, Departeman Kelautan dan Perikanan (DKP), Yayasan Kehati, WWF Indonesia, Proyek Pesisir, Yayasan Bestari, Yayasan Kalbu, Profil Kepulauan Derawan, tt. Rachbini J, Didik. Politik Ekonomi Baru Menuju Demokrasi Ekonomi. Grasindo. Jakarta. 2001 Salim, Emil. Pembangunan Berkelanjutan: Keperluan Penerapannya di Indonesia. Dalam Sudjatmoko. Pembangunan Berkelanjutan: Mencari Format Politik. PT Gramedia Pustaka Utama bekerjasama dengan Yayasan Spes. Jakarta. 1992: 3. ----------, Sertifikasi Sumber daya Alam dalam Perspektif Ekonomi Politik Global. Sekretariat Bersama Kelautan, Pengembangan Konservasi Kawasan Laut, Yayasan Kehati, Bestari, The Nature Conservancy, WWF Indonesia, Mitra Pesisir/CRMP II USAID, Kalbu, Berau. Utomo, Tri Widodo W., et.al., 2005. “Kajian Tentang Pola Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Berbasis Kearifan Local (Local Wisdom) di Kalimantan”, Samarinda: PKP2A III LAN. Yayasan Cakrawala Hijau Indonesia (YCHI), ”Kajian Biodiversitas Bersama Masyarakat Di Kawasan Pegunungan Meratus Kalimantan Selatan”, Banjarmasin, 2006.